BENARKAH JIKA BELUM BAIAT BERARTI
BELUM MASUK ISLAM ?.
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
******
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
BENARKAH JIKA BELUM BAI’AT BERARTI BELUM MASUK ISLAM ?.
----
Dalam hal ini ada BEBERAPA POINT yang perlu
dijawab.
****
POINT PERTAMA:
Ada anggapan bahwa seorang muslim yang belum bai’at
pada Imam kaum muslimin maka dia belum Islam.
Anggapan seperti ini adalah tidak benar . Kenapa ?
Jawabannya : Ada beberapa alasan, diantaranya
adalah sbb :
ALASAN PERTAMA:
Tidak semua orang-orang yang masuk Islam pada zaman
Nabi ﷺ itu
membaiat beliau, tapi cukup menyatakan Islam dan bersyahadat, terutama mereka
yang tinggal di tempat yang jauh dari kediaman Nabi ﷺ seperti
di Yaman, Syaam, Afrika dan lainnya.
Nabi ﷺ ketika
mengirim surat ke raja-raja, dalam isi suratnya tidak ada perintah untuk
berbaiat atau menyerahkan kekuasaanya kepada Nabi ﷺ. Di antara surat-surat itu adalah, surat
yang ditujukan kepada Raja Romawi, Heraclius. Imam Bukhari dalam Shahih
Bukhari, meriwayatkan teks surat untuk Heraclius itu. Bunyi surat itu adalah:
" Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi
Maha Penyayang
Dari Muhammad hamba Allah dan utusanNya kepada
Heraclius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk.
Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu
pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang
Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah
kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun;
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan
selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka.
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)."
Begitu juga pada masa Khulafaaur Roosyidiin Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali, tidak semua dari masing-masing umat Islam di
wajibkan berbai’at.
Dan begitu juga setelah generasi Khulafaaur
Roosyidiin.
ALASAN KE DUA:
Yang wajib bagi masing-masing individu umat Islam
adalah mengakui pembai’atan Waliyul Amr / pemimpin serta mentaatinya. Adapun
hadir untuk berbai’at terhadapnya, maka itu tidak di wajibkan atas semuanya,
melainkan cukup dari mereka di wakili oleh ahlul hill wal ‘aqdi (أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعِقْدِ).
Al-Maaziry berkata:
«يَكْفِي فِي بَيْعَةِ الإِمَامِ أَنْ يَقَع
مِنْ أَهْل الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَلا يَجِب الاسْتِيعَاب، وَلا يَلْزَم كُلّ
أَحَدٍ أَنْ يَحْضُرَ عِنْدَهُ وَيَضَع يَدَهُ فِي يَدِهِ، بَلْ يَكْفِي
اِلْتِزَامُ طَاعَتِهِ وَالانْقِيَادُ لَهُ بِأَنْ لا يُخَالِفَهُ وَلا يَشُقَّ
الْعَصَا عَلَيْه»
“Cukup dalam berbai’at terhadap Imam dilaksanakan
oleh ahlul hill wal ‘aqdi, dan tidak wajib mencakup seluruh individu
masyarakat. dan tidak harus setiap individu hadir di sisinya lalu meletakkannya
pada tangan imam, akan tetapi cukup dengan berkewajiban mentaatinya dan tunduk
padanya dengan tidak menyelisinya serta tidak dipatahkan tongkat atas mereka
(tidak mengangkat senjata untuk memberontak).
Siapakah Ahlul hill wal ‘aqdi (أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعِقْدِ) ?
Ahlul halli wal ‘aqdi (أَهْلُ
الْحَلِّ وَالْعِقْدِ) yaitu
lembaga yang terdiri dari para wakil rakyat yang berhak membentuk suatu sistem
dalam sebuah negara dan membubarkannya)
Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti “orang
yang berwenang melepaskan dan mengikat.”
Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat
orang-orang yang mengangkat ahlul halli; dan disebut “melepaskan” karena mereka
yang duduk disitu bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang
tidak disepakati.
Tradisi ahlul halli dicontohkan oleh sahabat Umar
bin Khattab ketika akan meninggal. Dia memilih orang-orang terpercaya sebagai
wakil dari kaum Muslimin untuk mencari jalan keluar pasca meninggalnya sang
khalifah (Umar bin Khattab). Mereka yang terpilih kemudian bermusyawarah,
berdebat, dan memutuskan sesuatu yang harus ditaati anggota ahlul halli dan
kaum Muslimin. Keputusannya saat itu, di antaranya adalah memilih Utsman bin
Affan sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab.
Tradisi ini semakin dikenal umat Islam setelah para
Faqih memformulasikan dalam bentuk ilmu Fikih yang dipelajari oleh kaum
Muslimin, seperti yang dilakukan Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam
as-Sulthoniyah.
Al-Mawardi memasukkan lembaga ahlul halli wal aqdi
sebagai institusi tersendiri yang berfungsi semacam legislatif di samping
institusi-institusi lain yang membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam fikih, institusi ini adalah wujud dari
perintah Al-Qur’an dalam ayat:
{ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ}
“ …dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu.” (QS Ali Imran (3): 159).
Anggota Ahlul halli adalah perwakilan dari
orang-orang yang berpengaruh dan penting di dalam umat, karena dalam wilayah
yang luas dan umat yang banyak tidak mungkin satu orang diwakili satu orang,
dan semua menjadi anggota ahlul halli.
Mereka adalah ahli syuuro seperti yang Allah SWT
firmankan:
{ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ }
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka” (QS. Asy-Syura: 38)
Dengan demikian, tidak mungkin anggota syuuro itu
melibatkan seluruh individu kaum muslimin, maka tidak boleh tidak yang terlibat
dalam Syuroo itu hanya sekelompok orang-orang yang merepresentasikan umat, yang
mana keputusannya seperti keputusan seluruh individu umat. Mereka itu tiada
lain adalah ahlul halli wal aqdi.
Ibnu Bath-thool (ابْنُ
بَطَّالٍ) dalam
kitabnya Syarah al-Bukhory berkata tentang kejadian Bai’at Abu Bakar
ash-Shiddiiq:
(ثُمَّ بَايَعَهُ النَّاسُ أَحْسَنَ بَيْعَةٍ
وَأَجْمَلَهَا. فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ أَنَّ الْقَوْمَ لَمْ يُبَايِعُوهُ إِلَّا
بَعْدَ التَّشَاوُرِ وَالتَّنَاظُرِ وَاتِّفَاقِ الْمَلَإِ مِنْهُمْ الَّذِينَ هُمْ:
أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ عَلَى الرِّضَا بِإِمَامَتِهِ) ا.ه.
Artinya: “Kemudian orang-orang membai’atnya dengan
bai’at yang terbaik dan terindah. Maka hadits ini menunjukkan bahwa kaum
Muslimiin tidak membai’atnya kecuali setelah mereka bermusyawarah,
mempertimbangkan dan terjadinya kesepakatan orang-orang ada di tempat tersebut.
Mereka adalah ahlul Halli wal aqdi yang ridho terhadap kepemimpinan Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu “.
Al-Imam an-Nawawi dalam kitab nya Syarah Shahih Muslim ketika mensyarahi hadits no. 3407, beliau berkata:
« أَمَّا الْبَيْعَة: فَقَدْ اِتَّفَقَ
الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لا يُشْتَرَط لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَة كُلّ النَّاس،
وَلا كُلّ أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعِقْدِ، وَإِنَّمَا يُشْتَرَط مُبَايَعَة مَنْ
تَيَسَّرَ إِجْمَاعهمْ مِنْ الْعُلَمَاء وَالرُّؤَسَاء وَوُجُوه النَّاس وَلا
يَجِب عَلَى كُلّ وَاحِد أَنْ يَأْتِيَ إِلَى الأَمَام فَيَضَع يَده فِي يَده
وَيُبَايِعهُ، وَإِنَّمَا يَلْزَمهُ الانْقِيَادُ لَهُ، وَأَلا يُظْهِر خِلافًا،
وَلا يَشُقّ الْعَصَا» اهـ
Artinya: “Adapun BAI’AT, maka para ulama telah
sepakat bahwasannya tidak di syaratkan dalam shahnya BAI’AT itu harus
melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk berbai’at, dan juga tidak harus
seluruh ahlul halli wal aqdi, akan tetapi yang di syaratkan itu adalah bai’atnya
orang-orang yang mudah di hubungi untuk melahirkan sebuah kesepakatan bersama,
yaitu dari kalangan para ulama, para pemimpin dan orang-orang terpandang.
Dan tidak wajib atas setiap individu masyarakat untuk mendatangi Imam lalu meletakkan tanggannya pada tangannya dalam rangka untuk membai’atnya, akan tetapi yang wajib atas masing-masing individu masyarakat adalah ketundukan padanya serta tidak menampakkan sikap menentang dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka (yakni: tidak mengangkat senjata untuk memberontak)” .
Syeikh Muhammad al-‘Utsaimiin berkata:
« الْبَيْعَةُ تَثْبُتُ لِلْإِمَامِ إِذَا بَايَعَهُ
أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ، وَلَا يُمْكِنُ أَنْ نَقُولَ: إِنَّ الْبَيْعَةَ حَقٌّ
لِكُلِّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْأُمَّةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا: أَنَّ الصَّحَابَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ بَايَعُوا الْخَلِيفَةَ الْأَوَّلَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْأُمَّةِ، بَلْ مِنْ
أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ، فَإِذَا بَايَعَ أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ لِرَجُلٍ
وَجَعَلُوهُ إِمَامًا عَلَيْهِمْ صَارَ إِمَامًا، وَصَارَ مَنْ خَرَجَ عَنْ هَذِهِ
الْبَيْعَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إِلَى الْبَيْعَةِ حَتَّى لَا يَمُوتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً »
Artinya: “Sebuat Bai’at dianggap shah dalam
menetapkan seorang Imam ketika ahlul halli wal aqdi telah resmi membai’atnya.
Dan tidak mungkin kami mengatakan: Seungguhnya bai’at itu hak masing-masing
individu dari individu umat. Sebagai dalil untuk hal ini adalah: para sahabat
Nabi ﷺ membai’at Khalifah Pertama yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiiq, dan terjadinya bai’at tersebut itu tidak melibatkan masing-masing
individu dari setiap individu umat, akan tetapi hanya melibatkan ahlul halli
wal aqdi. Maka Jika ahlul halli wal aqdi telah membai’at seseorang untuk
menjadikannya sebagai Imam bagi umat maka orang tersebut shah sebagai Imam.
Dengan demikian, setiap orang yang keluar dari BAI’AT ini, wajib atasnya untuk
segera kembali kepada Bai’at tersebut, agar jangan sampai dia mati dalam
keadaan mati Jahiliyah “.
ALASAN KE TIGA:
Bai’at yang Syar’i tidak di batasi hanya kepada
satu Imam untuk semua umat, melainkan jika terdapat beberapa imam di
negeri-negeri umat Islam yang berbeda, seperti yang terjadi sekarang ini, maka
bagi masing-masing individu dari mereka bai’atnya juga berbeda-beda.
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhaab berkata:
« الْأَئِمَّةُ مُجْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ
عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ - أَوْ بُلْدَانٍ - لَهُ حُكْمُ الْإِمَامِ
فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ، وَلَوْلَا هَذَا مَا اسْتَقَامَتِ الدُّنْيَا، لِأَنَّ النَّاسَ
مِنْ زَمَنٍ طَوِيلٍ قَبْلَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا مَا اجْتَمَعُوا
عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ، وَلَا يَعْرِفُونَ أَحَدًا مِنَ الْعُلَمَاءِ ذَكَرَ أَنَّ
شَيْئًا مِنَ الْأَحْكَامِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِالْإِمَامِ الْأَعْظَمِ » ا.هـ.
“Para ulama telah ber ijma’ dari seluruh madzhab
bahwa orang yang menguasai sebuah negeri atau negara, maka baginya hukum Imam dalam
semua perkara, dan kalau bukan karena adanya aturan seperti maka dunia tidak
akan pernah tegak lurus, karena manusia semenjak zaman dulu sebelum Imam Ahmad
hingga hari ini mereka tidak berijtima’ berbaia’at kepada satu imam, dan mereka
tidak pernah tahu akan adanya seorang ulama yang menyebuntukan bahwa hukum
tidak akan berlaku kecuali jika tegaknya satu Imam Besar “.
Al-Imam asy-Syaukaani berkata:
« لَا بَأْسَ بِتَعَدُّدِ الْأَئِمَّةِ وَالسَّلَاطِينِ،
وَيَجِبُ الطَّاعَةُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بَعْدَ الْبَيْعَةِ لَهُ عَلَى أَهْلِ
الْقُطْرِ الَّذِي يَنْفُذُ فِيهِ أَوَامِرُهُ وَنَوَاهِيهِ، وَكَذَلِكَ صَاحِبُ الْقُطْرِ
الْآخَرِ».
“Tidak lah mengapa jika terdapat beberapa imam dan beberapa
penguasa, dan wajib taat pada masing-masing dari mereka - setelah terjadinya
baiat terhadapnya - semua penduduk wilayah yang undang-undangnya mencakup
wilayah tersebut, begitu juga kepada imam atau penguasa wilayah lainnya".
Syeikh Muhammad bin Sholeh al-‘Ustaimin berkata:
« وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْعَامَّةِ فِي الشَّرِيعَةِ
الْإِسْلَامِيَّةِ أَنَّ اللهَ يَقُولُ: ﴿ فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ﴾، فَإِذَا
لَمْ يُوجَدْ خَلِيفَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ عُمُومًا فَمَنْ كَانَ وَلِيَّ أَمْرٍ فِي
مَنْطِقَةٍ فَهُوَ وَلِيُّ أَمْرِهَا ».
Artinya: “Salah satu dari Qaidah-Qaidah umum dalam
syariat Islam bahwa Allah swt berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah semampu
kalian”, Maka jika tidak ada khalifah bagi umat Islam secara menyeluruh, maka
siapa saja yang mengendalikan urusan umat pada sebuah daerah, maka dia adalah
waliyul amri nya di daerah tersebut".
ALASAN KE EMPAT:
Ada banyak macam bai’at di masa Rasulullah ﷺ dan para sahabat, diantara nya sbb:
o Bai’at masuk islam yang
mengharuskan seseorang untuk tunduk kepada berbagai hukum islam.
o Bai’at meminta perlindungan
seperti yang dilakukan saat bai’at di hari Aqobah yang ketika itu beliau ﷺ mengambil bai’at dari kaum Anshor dalam rangka
melindunginya sebagaimana mereka melindungi para istrinya.
o Bai’at untuk tidak lari dari
medan pertempuran seperti bai’at Ridhwan.
o Bai’at yang diberikan kepada
Amirul Mukminin untuk mendengar dan taat kepadanya dalam rangka mendengar dan
taat kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
o Bai’at dalam bentuk ikatan
janji untuk melakukan suatu amal, seperti ikatan janji yang dilakukan oleh para
mujahidin di perang Yarmuk.
o Bai’at untuk tidak
meminta-minta kepada manusia.
Bai’at-ba’iat tersebut di atas terjadi tidak
melibatkan seluruh individu kaum muslimin, terkadang hanya berlaku pada
beberapa orang, contohnya bai’at untuk tidak minta-minta kepada manusia.
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ أَلَا تُبَايِعُونَ رَسُولَ
اللَّهِ وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ أَلَا تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ فَقُلْنَا قَدْ
بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ أَلَا تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ ؟ قَالَ: ((عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَتُطِيعُوا))، وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً:
((وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا)). فَلَقَدْ كَانَ بَعْضُ أُولَئِكَ النَّفَرِ
يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ، فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ.
“Saat itu kami Sembilan atau delapan atau bertujuh di sisi
Rasulullah ﷺ, maka
beliau berkata: “Tidakkah kalian mau membaiat Rasulullah?” , sementara kami
belum lama telah membaiatnya, maka kami pun menjawab: Sungguh kami baru saja
membaiat engkau, wahai Rasulullah ﷺ.
Kemudian beliau berkata lagi: “Tidakkah kalian mau
membaiat Rasulullah?” , maka kami pun menjawab lagi: Sungguh kami baru saja
membaiat engkau, wahai Rasulullah.
Kemudian beliau berkata lagi: “Tidakkah kalian mau
membaiat Rasulullah?” Maka kami pun mengembangkan tangan-tangan kami untuk
membaiat, dan kami berkata: “Sungguh kami baru saja membaiat engkau, wahai
Rasulullah kemudian kami disuruh membaiat engkau untuk hal apa lagi?”
Beliau ﷺ bersabda:
“Untuk supaya kalian menyembah Allah saja, tanpa menyekutukannya dengan apapun,
supaya kalian sholat lima waktu dan supaya kalian taat, kemudian membisikkan
sebuah kalimat samar-samar: “Janganlah kalian meminta kepada manusia sesuatu
apapun.”
Perawi hadits ini berkata: “Maka sungguh aku
melihat sebagian dari mereka ketika berada di atas tunggangannya dan cambuk
binatangnya terjatuh, dia tidak meminta bantuan kepada siapapun untuk
mengambilkannya.” (HR. Muslim no. 1043)
*****
POINT KEDUA:
Anggapan bahwa orang yang belum dibai’at belum
Islam, itu tidak benar. Karena berarti mereka beranggapan, bai’at sebagai
syarat atau rukun Islam. Padahal kita mengetahui, rukun Islam itu lima, dan
bai’at tidak termasuk di dalamnya. Sebagaimana hal ini disebuntukan dalam
beberapa hadits, antara lain:
عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ
لِعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَلاَ تَغْزُو فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ
يَقُولُ إِنَّ اْلإِسْلاَمَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ
الْبَيْتِ
“Dari Thawus, sungguh seorang laki-laki berkata kepada Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘anhu: “Tidakkah Anda berperang?” , maka dia berkata:
“Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda
:
’Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima
(tonggak), syahadat Laa ilaaha illa Allah, menegakkan shalat, membayar zakat,
puasa Ramadhan, dan haji’.”
[HR Muslim, no. (16)-22].
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan -hafizhahullah-
berkata: “Hadits ini memiliki urgensi yang besar, karena memberikan penjelasan
dasar-dasar dan kaidah-kaidah Islam, yang Islam dibangun di atasnya. Dengannya
seorang hamba menjadi muslim. Dan tanpa itu semua, maka seorang hamba lepas
dari agama”. [Baca: Qawaid wa Fawaid minal-Arba’in Nawawiyah, hlm. 53]
Selain itu, menilai seseorang sebagai muslim ialah
dengan melihat lahiriyahnya. Yaitu barang siapa telah mengucapkan syahadat dan
menjalankan shalat, serta tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan
Islam, maka di dunia ini seseorang itu dianggap sebagai muslim.
Adapun hati dan urusannya di akhirat diserahkan
kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:
“Setiap ulama yang aku menghafal ilmu darinya telah
sepakat, jika seorang kafir mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا
اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: (aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan
utusan-Nya), dan bahwasannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah haq (benar),
Dan aku berlepas diri kepada Allah dari seluruh
agama yang menyelisihi agama Islam,’ -ketika mengatakannya itu dia sudah
dewasa, sehat dan berakal- maka dia seorang muslim.
Jika setelah itu dia kembali (kafir), yaitu
menampakkan kekafiran, maka dia menjadi orang murtad”.
[Baca: Al-Ijma’, hlm. 154. Dinukil dari kitab
Mauqif Ibni Taimiyyah minal-Asya’irah, Dr. ‘Abdur-Rahman bin Shâlih bin Shâlih
al-Mahmud, juz 3, hlm. 940]
Adapun adanya hadits yang memberitakan bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu
Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen).
Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak
ada bai’at, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”.
(HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133.
Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari ‘Abdullah bin
‘Umar).
Maksud bai’at dalam hadits ini:
Adalah bai’at taat kepada imam yang disepakati oleh
kaum muslimin. Imam yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud,
mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban dan
hak seorang imam.
Demikian jenis bai’at yang dibicarakan oleh para
ulama dalam kitab-kitab fiqih.
Hukum bai’at ini adalah wajib, jika memang ada imam
kaum muslimin sebagaimana di atas. Melepaskan bai’at merupakan dosa besar,
sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan ulama dalam masalah ini.
Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian
jahiliyah” , dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut.
1]. An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas
sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau, tidak
memiliki imam” [baca: Syarah Muslim, 12/238]
2]. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang
jahiliyah tidak membai’at imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka
barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada
imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Jika dia
mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam
keadaan melakukan dosa besar” . [baca: Al-Mufhim, 4/59]
3]. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya
orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam
yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang
dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan
maksiat. Dan dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang
maknanya dia mati seperti orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah.
Atau bahwa kalimat itu disampaikan sebagai peringatan dan untuk menjauhkan,
sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang dimaksudkan” .[Baca: Fathul-Bâri,
13/9, syarah hadits no. 7054]
Lagi pula, Bai’at untuk mendengar dan taat ketika
Nabi ﷺ masih hidup, hanyalah ditujukan kepada beliau.
Kemudian setelah beliau ﷺ wafat,
maka hak menerima bai’at itu dimiliki khalifah-khalifah pengganti beliau.
Demikian juga menjadi hak para penguasa kaum
muslimin yang memiliki wilayah –baik dalam lingkup dunia maupun satu wilayah
negara- dan ia memiliki kekuasaan dalam menegakkan agama, hudud, mengumumkan
jihad, dan semacamnya.
Bai’at taat ini tidak boleh diberikan kepada
pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah sebagaimana yang ada pada zaman ini.
Karena bai’at taat yang dilakukan Salafush-Shalih
hanyalah diberikan kepada penguasa kaum muslimin.
Dengan demikian, maka terhadap orang-orang yang
digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau semacamnya yang muncul dari kalangan
ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya, sedangkan mereka tidak
memiliki wilayah dan kekuasaan sedikitpun, maka mereka sama sekali tidak berhak
dibai’at.
Bai’at kepada mereka merupakan bid’ah dan
memecah-belah umat.
Adapun jika ada imam yang nyata keberadaannya dan
disepakati oleh ahlul hali wal-‘aqd (tokoh-tokoh kaum muslimin), ia memiliki
wilayah dan kekuasaan serta menegakkan syariat, maka kaum muslimin wajib
berbai’at untuk taat kepada imam yang disepakati ini.
Konsekwensi bai’at ini, ialah taat kepada imam
dalam perkara ma’ruf, dalam keadaan suka maupun benci, berat maupun susah, dan
tidak melakukan pemberontakan kepadanya. Meninggalkan bai’at kapada imam ini
merupakan dosa besar.
Demikian secara ringkas pembahasan bai’at yang
disebuntukan dalam kitab-kitab fiqih.
*****
POINT KETIGA:
Anggapan bahwa orang yang belum dibai’at belum
Islam, itu sama saja menganggap orang Islam di luar kelompoknya sebagai musuh
dan mengolok-olok orang dari kelompok lain.
Kalau memang kelompok yang demikian, maka ini
bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang
siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” . [QS. al-Hujurat
49/11].
Namun demikian, jika ada orang Islam atau suatu
kelompok melakukan kesalahan atau peyimpangan, kemudian dikritik dan dibantah
secara ilmiah, dengan tanpa kedustaan, caci maki, dan kata-kata kasar, dan hal
itu dilakukan karena Allah semata, maka tentu kritik dan bantahan ini tidak
termasuk memperolok atau merendahkannya, bahkan merupakan nasihat dan amar
ma’ruf nahi mungkar.
Misalnya, seperti peringatan Rasulullah ﷺ terhadap bahaya firqah Khawarij, bantahan para sahabat
terhadap firqah Qadariyah, dan bantahan para ulama Ahlus-Sunnah dahulu dan
sekarang terhadap orang-orang yang menyimpang.
===***===
BEBERAPA
CARA BERBAI’AT DAN MENGANGKAT SEORANG IMAM
BERDASARKAN
IJTIHAD PARA SAHABAT DAN PARA ULAMA.
Imam an-Nawawi berkata:
« أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ الْخَلِيفَةَ
إِذَا حَضَرَتْهُ مُقَدِّمَاتُ الْوَفَاةِ وَقَبْلَ ذَلِكَ يَجُوزُ لَهُ الِاسْتِخْلَافُ
وَيَجُوزُ لَهُ تَرْكُهُ، فَإِنْ تَرَكَهُ فَقَدِ اقْتَدَى بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا، وَإِلَّا فَقَدِ اقْتَدَى بِأَبِي بَكْرٍ، وَأَجْمَعُوا
عَلَى انْعِقَادِ الْخِلَافَةِ بِالِاسْتِخْلَافِ، وَعَلَى انْعِقَادِهَا بِعَقْدِ
أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ لِإِنْسَانٍ إِذَا لَمْ يَسْتَخْلِفِ الْخَلِيفَةُ، وَأَجْمَعُوا
عَلَى جَوَازِ جَعْلِ الْخَلِيفَةِ الْأَمْرَ شُورَى بَيْنَ جَمَاعَةٍ كَمَا فَعَلَ
عُمَرُ بِالسِّتَّةِ، وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ
خَلِيفَةٍ، وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ».
“Umat Islam telah ber Ijma’/sepakat bahwa seorang kholifah pada
saat menjelang wafatnya dibolehkan untuk menunjuk seseorang sebagai
penggantinya nanti dan di bolehkan pula untuk tidak menunjuknnya. Jika dia
tidak menunjuk calon penggantinya maka di telah mengikuti sunnah Nabi ﷺ dalam masalah ini, namun jika ia menunjuknya maka
dia mengikuti teladan Abu Bakar ash-Shiddiiq.
Dan umat Islam telah berijma’ akan shahnya
pengangkatan kholifah dengan cara penunjukkan calon pengganti (الِاسْتِخْلَافُ), dan begitu juga shah pengangkatan khalifah berdasarkan hasil
sidang lembaga ahlul halli wal aqdi jika tidak ada al-istikhlaaf (الِاسْتِخْلَافُ) sebelumnya.
Dan kaum muslimin juga telah berijma’ akan bolehnya
dalam pengangkatan khalifah dengan jalur musyawarah (شُورَى) antar jamaah yang ada, seperti yang di
lakukan Umar dengan enam orang sahabat.
Dan kaum muslimin telah berijma’ pula bahwa wajib
atas umat Islam untuk mengangkat seorang khalifah, dan di wajibkannya itu
berdasarkan hukum syar’i, bukan hukum logika.
Al-Haafidz Ibnu Katsiir berkata:
"وَالإِمَامَةُ تُنَالُ بِالنَّصِّ كَمَا
تَقُولُ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أَبِي بَكْرٍ، أَوْ بِالإِيمَاءِ إِلَيْهِ
كَمَا يَقُولُهُ آخَرُونَ مِنْهُمْ، أَوْ بِاسْتِخْلَافِ الْخَلِيفَةِ آخَرَ بَعْدَهُ
كَمَا فَعَلَ الصِّدِّيقُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَوْ بِتَرْكِهِ شُورَى فِي جَمَاعَةٍ
صَالِحِينَ كَمَا فَعَلَهُ عُمَرُ، أَوْ بِاجْتِمَاعِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ
عَلَى مُبَايَعَتِهِ، أَوْ بِمُبَايَعَةِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ لَهُ، فَيَجِبُ الْتِزَامُهَا
عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَحَكَى عَلَى ذَلِكَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ الْإِجْمَاعَ وَاللهُ
أَعْلَمُ، أَوْ يَقْهَرُ وَاحِدٌ النَّاسَ عَلَى طَاعَتِهِ فَتَجِبُ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ
ذَلِكَ إِلَى الشِّقَاقِ وَالِاخْتِلَافِ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهَا الشَّافِعِيُّ"
“Pengangkatan imam itu harus berdasarkan nash,
seperti yang di katakan oleh sekelompok ulama ahli sunnah wal jama’ah dalam
pengangkatan Abu Bakar.
Atau dengan isyarat terhadap seseorang seperti yang
di katakan oleh sebagian orang dalam pengangkatan Abu Bakar.
Atau dengan cara al-Istikhlaaf / seorang kholifah
menentukan calon pengganti sesudahnya seperti yang di lakukan oleh Abu Bakar
ash-Shoddiq terhadap Umar bin al-Khaththoob.
Atau menyerahkan urusan pengganti khalifah kepada
dewan syuro yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang sholeh seperti yang
pernah di lakukan oleh Umar.
Atau diselenggrakan nya rapat ahlul halli wal aqdi
untuk membaiat seseorang atau membaiat salah satu dari mereka sendiri.
Jika sudah terbaiat, maka wajib ditaatinya, ini
menurut pendapat Jumhur ulama, bahkan dalam hal ini Imam al-Haramain telah
menghikayatkan adanya Ijma para ulama, wallaahu alam.
Atau jika ada seseorang punya kemampuan memaksa
manusia untuk taat kepadanya, maka wajib taat kepadanya agar mereka tetap
bersatu tidak pecah belah dan tidak berselisih, ini adalah Nash Imam
asy-Syaafi’ii “.
Imam asy-Syaafi’ii berkata:
« كُلُّ مَنْ غَلَبَ عَلَى الْخِلَافَةِ بِالسَّيْفِ
حَتَّى يُسَمَّى خَلِيفَةً وَيَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَهُوَ خَلِيفَةٌ».
“Setiap orang yang berhasil dengan pedang nya
memaksa dirinya menjadi Khalifah sehingga dia gelari khalifah dan orang-orang
juga sepakat menganggapnya sebagai khalifah, maka dia adalah khalifah” . (Baca:
“فَتَاوَى الشَّافِعِيِّ” karya al-Baihaqi 1/448)
Al-Haafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam kitab
Fathul Bari 13/7 berkata:
"وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ
طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ، وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ
مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدُّهَمَاءِ".
“Para Fuqoha telah berijma’ / sepakat akan wajibnya taat kepada
penguasa yang berhasil merebut kekuasaan dengan pedang (kudeta) dan wajib
berjihad bersamanya, karena taat kepadanya lebih baik dari pada keluar dari
ketaatan terhadapnya, karena dengan demikian itu bisa mencegah terjadinya
pertumpahan darah serta bisa menentramkan masyarakat luas“.
Syeikh Sholeh al-Fauzan berkata:
(وَتَنْصِيبُ الْإِمَامِ يَتِمُّ بِطُرُقٍ:
الطَّرِيقُ الْأَوَّلُ: بَيْعَةُ
أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ لَهُ كَمَا حَصَلَ لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُ.
الطَّرِيقُ الثَّانِي: أَنْ يَعْهَدَ
الْإِمَامُ إِلَى مَنْ بَعْدَهُ بِالْإِمَامَةِ كَمَا عَهِدَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ
إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَلَزِمَتْ إِمَامَتُهُ وَانْقَادَ
النَّاسُ لَهُ، فَكَانَ ذَلِكَ خَيْرًا لِلْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ.
الطَّرِيقُ الثَّالِثُ: أَنْ يَعْهَدَ
الْإِمَامُ إِلَى جَمَاعَةٍ مِنْ أَهْلِ الشُّورَى يَخْتَارُونَ مِنْ بَيْنِهِمْ إِمَامًا
لِلْمُسْلِمِينَ كَمَا عَهِدَ عُمَرُ الْفَارُوقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى السِّتَّةِ
الْبَاقِينَ مِنَ الْعَشَرَةِ الْمُفَضَّلِينَ، وَهُمْ: عُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ وَسَعْدُ بْنُ
أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ، فَاخْتَارُوا مِنْ بَيْنِهِمْ أَفْضَلَهُمْ
عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَبَايَعُوهُ وَلَزِمَتْ بَيْعَتُهُ
لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ.
الطَّرِيقُ الرَّابِعُ: أَنْ يَتَغَلَّبَ
مُسْلِمٌ بِسَيْفِهِ حَتَّى يَخْضَعَ لَهُ النَّاسُ وَيَنْقَادُوا لَهُ، فَتَلْزَمَ
إِمَامَتُهُ جَمْعًا لِلْكَلِمَةِ وَخُرُوجًا مِنَ الْخِلَافِ، وَيَكُونَ إِمَامًا
لِلْمُسْلِمِينَ كَمَا حَصَلَ لِعَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ، رَحِمَهُ اللهُ).
“Pengangkatan seorang Imam terselenggara dengan beberapa jalan:
Jalan pertama:
Bai’at ahlul halli wal aqdi terhadapnya seperti
yang terjadi pada Abu bakar ash-Shiddiiq radhiyallahu .
Jalan kedua:
Seorang Imam menunjuk seseorang sebagai calon
pengganti sesudah dirinya, seperti yang dialkukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiiq
terhadap Umar bin al-Khoththoob, maka kepimimpinnya menjadi resmi dan semua
umat Islam tunduk padanya, dan kejadian tersebut adalah kebaikan bagi Islam dan
umat Islam.
Jalan ke tiga:
Seorang Imam menyerahkan urusan imam penggantinya
kepada dewan syuuro agar mereka yang memilihnya dari salah satu diantara mereka
sebagi Imam bagi Umat Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar terhadap
enam sahabat yang tersisa dari sepuluh sahabat yang paling utama, mereka itu
adalah: ‘Utsman, Ali, Abdurrahman bin ‘Auf, Tholhah, az-Zybair bin al-‘Awaam
dan Sa’ad bin Abi Waqqoosh. Maka mereka memilih yang terbaik dianatara mereka
yaitu ‘Utsmaan bin ‘Affaan, lalu mereka membai’atnya, dan bai’atnya harus
diakui dan ditaati oleh kaum muslimiin.
Jalan keempat:
Seorang muslim dengan kekuatannya mampu menguasi
kaum muslimin sehingga kaum muslimin patuh dan tunduk kepadanya , maka dia shah
sebagai imam yang wajib dipatuhi agar bisa menyatukan kalimat dan agar bisa
keluar dari perpecahan. Dengan demikian dia adalah Imam bagi Umat Islam,
seperti yang terjadi pada khalifah Abdul Malik bin Marwan“.
===***===
CARA YANG TIDAK SYAR’I DALAM MENGANGKAT KHOLIFAH
Yaitu dengan cara kudeta dan memaksakan kehendak.
Merebut kekuasaan dengan cara melakukan
pemberontakan, kudeta dan yang semisalnya, maka ini adalah cara-cara yang
diharamkan, dan itu adalah salah satu macam bentuk pengkhianatan, karena
masuk dalam katagori keluar dari ketaatan terhadap Imam, yang mana Allah swt telah
mewajibkan taat kepadanya, dan Rosulullah ﷺ telah
bersabda:
« مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ
الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ
عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ
عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ
بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي
عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ».
"Barangsiapa keluar dari ketaatan dan dia memisahkan diri
dari Jama'ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan
barangsiapa mati di bawah bendera fanatik buta, dia marah karena fanatik
kesukuan atau dia menyeru pada kefanatikan atau dia menolong karena kefanatikan
kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan barangsiapa keluar
dari ummatku, kemudian menyerang orang-orang yang baiknya maupun yang faajirnya
tanpa memperdulikan orang mukmin di dalamnya, dan tidak pernah mengindahkan
janji yang telah di buatnya, maka dia tidak termasuk dari golonganku dan saya
tidak termasuk dari golongannya.” (HR. Muslim)
Dan dari Arfajah, ia berkata: aku mendengar
Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ
جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ
جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ
“Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika
kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin
merusak persatuan kalian atau memecah belah jama’ah kalian, maka kalian
bunuhlah ia” . [Hadits riwayat Imam Muslim, nomor 1852].
Akan tetapi jika dia (si pemberontak) itu berhasil
merebut kekuasaan dengan kekuatannya dan dia mampu mengendalikan keadaan dan
menstabilkan suhu politik sehingga dia diakui sebagai imam, maka wajib taat
kepadanya selama bukan pada kemaksiatan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Dan baginya tanggungan dosa atas perbuatan
kudetanya dan pemaksaannya terhadap manusia, adapun diwajibkan taat kepadanya
adalah dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menentramkan masyarakat
banyak.
Di tambah lagi jika keluar dan meninggalkan
ketaatan kepadannya, itu sama saja mematahkan tongkat kaum muslimin (memecah
belah), menumpahkan darah mereka, menghilangkan harta benda mereka dan
menyebabkan musuh-musuh umat Islam menguasai mereka.
Imam Ahmad berkata:
«وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ، وَقَدْ كَانَ النَّاسُ اجْتَمَعُوا عَلَيْهِ، وَأَقَرُّوا لَهُ بِالْخِلَافَةِ
بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ، بِالرِّضَا أَوِ الْغَلَبَةِ؛ فَقَدْ شَقَّ هَذَا الْخَارِجُ
عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَخَالَفَ الْآثَارَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ مَاتَ الْخَارِجُ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً، وَلَا يَحِلُّ
قِتَالُ السُّلْطَانِ وَلَا الْخُرُوجُ عَلَيْهِ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، فَمَنْ فَعَلَ
ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ وَالطَّرِيقِ».
“Barang siapa keluar dari ketaatan terhadap seorang
imam dari imam-imam kaum muslimiin - sementara orang-orang telah sepakat dan
mengukuhkannya sebagai khalifah, dengan cara apapun baik dengan cara sukarela
maupun dengan cara kudeta - maka orang yang keluar ini telah memecah belah
persatuan kaum muslimiin dan menyelisihi hadits-hadits Rosulullah ﷺ, dan
jika orang yang keluar dari ketaatan kepada Imam ini mati, maka kematiannya itu
seperti bangkai jahiliyah.
Tidak halal masing-masing orang memerangi penguasa
dan juga tidak halal keluar dari ketaatan terhadapnya, maka barang siapa yang
melakukan hal tersebut, dia itu AHLI BID’AH, dia tidak berada diatas as-Sunnah
dan jalan yang lurus".
Imam asy-Syaafi’ii berkata:
«كُلُّ مَنْ غَلَبَ عَلَى الْخِلَافَةِ بِالسَّيْفِ
حَتَّى يُسَمَّى خَلِيفَةً وَيَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَهُوَ خَلِيفَةٌ».
“Setiap orang yang berhasil dengan pedang nya
memaksa dirinya menjadi Khalifah sehingga dia gelari khalifah dan orang-orang
juga sepakat menganggapnya sebagai khalifah, maka dia adalah khalifah” . (Baca:
“فَتَاوَى الشَّافِعِيِّ” karya al-Baihaqi 1/448)
Al-Haafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam kitab Fathul Bari 13/7 berkata:
"وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ
طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ، وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ
مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدُّهَمَاءِ".
“Para Fuqoha telah berijma’ / sepakat akan wajibnya taat kepada
penguasa yang berhasil merebut kekuasaan dengan pedang (kudeta) dan wajib
berjihad bersamanya, karena taat kepadanya lebih baik dari pada keluar dari
ketaatan terhadapnya, karena dengan demikian itu bisa mencegah terjadinya
pertumpahan darah serta bisa menentramkan masyarakat luas".
Wallahu a’lam.
Al-Hamdulillah selesai
وصلى الله على نبينا محمد وعلى
وآله وصحبه أجمعين. والحمد لله رب العالمين
0 Komentar