Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

NASIHAT EMAS PARA IMAM KAUM MUSLIMIN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT

NASIHAT EMAS DAN UNGKAPAN SEJUK DARI PARA IMAM KAUM MUSLIMIN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT

النَّصِيحَةُ الذَّهَبِيَّةُ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ

-----

Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====


====

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • INILAH NASIHAT EMAS DAN PANDANGAN SEJUK DARI IMAM KAUM MUSLIMIN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT.
  • MEREKA MENGUTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
  • MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
  • MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT
  • PARA SALAF SENANTIASA SALING MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN:
  • SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUSSUNNAH DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT QUNUT SUBUH
  • SIKAP TAWADHU’ IMAM MALIK DENGAN MENOLAK PERMINTAAN TIGA KHALIFAH

 ******

بِاسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN

Ada dua klasifikasi perbedaan pendapat :

Pertama : ikhtilaf tanawwu’ (اِخْتِلَافِ التَّنَوُّعِ):

Kedua : ikhtilaf tadhod (اِخْتِلَافُ التَّضَادِّ)

Perbedaan makna diantara kedua nya adalah :

اِخْتِلَافُ التَّضَادِّ هُوَ قَوْلَانِ مُتَنَافِيَانِ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، حَيْثُ إِنَّ أَحَدَهُمَا يُثْبِتُ وَالآخَرَ يَنْفِي، وَإِذَا صَحَّ أَحَدُهُمَا بَطَلَ الآخَرُ. عَلَى النَّقِيضِ مِنْ اِخْتِلَافِ التَّنَوُّعِ الَّذِي تَكُونُ فِيهِ الْأَقْوَالُ مُخْتَلِفَةً لَكِنِ الْمَعْنَى وَاحِدٌ وَلَا يَتَنَافَى.

Ikhtilaf tadhod (perbedaan yang kontradiktif) adalah dua pendapat yang saling bertentangan dan tidak mungkin disatukan, karena salah satunya menetapkan sedangkan yang lain menafikan. Jika salah satu pendapat itu benar, maka pendapat yang lain pasti batal.

Berbeda dengan ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang variatif), di mana pendapat-pendapatnya tampak berbeda, tetapi maknanya tetap satu dan tidak saling bertentangan.

PERHATIAN : Perlu dijelaskan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan khilafiyah dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah fikih yang bersifat ikhtilaf tanawwu’ (اِخْتِلَافِ التَّنَوُّعِ), yaitu perbedaan yang masih dalam koridor kebenaran dan bersifat variatif dalam penerapan hukum. Perbedaan semacam ini merupakan bagian dari keluasan dan rahmat dalam syariat Islam.

Adapun perbedaan dalam masalah akidah tidak termasuk dalam kategori tersebut, karena hal itu tergolong ikhtilaf tadhod (اِخْتِلَافُ التَّضَادِّ), yaitu perbedaan yang saling bertentangan dan tidak mungkin benar keduanya. Dalam perkara akidah, kebenaran hanya berada pada satu kelompok yang disebut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yakni golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah , pemahaman para sahabat dan para ulama salaful ummah.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ‌‌(118) إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119) }

“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini :

يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى جَعْلِ النَّاسِ كُلِّهم أُمَّةً وَاحِدَةً، مِنْ إِيمَانٍ أَوْ كُفْرَانٍ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا} [يُونُسَ: 99] .

وَقَوْلُهُ: {وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ} أَيْ: وَلَا يَزَالُ الخُلْفُ بَيْنَ النَّاسِ فِي أَدْيَانِهِمْ وَاعْتِقَادَاتِ مِلَلِهِمْ وَنِحَلِهِمْ وَمَذَاهِبِهِمْ وَآرَائِهِمْ.

قَالَ عِكْرِمَةُ: {مُخْتَلِفِينَ} فِي الْهُدَى. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: {مُخْتَلِفِينَ} فِي الرِّزْقِ، يُسخّر بَعْضُهُمْ بَعْضًا، والمشهورُ الصَّحِيحُ الْأَوَّلُ.

وَقَوْلُهُ: {إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ} أَيْ: إِلَّا الْمَرْحُومِينَ مِنْ أَتْبَاعِ الرُّسُلِ، الَّذِينَ تَمَسَّكُوا بِمَا أُمِرُوا بِهِ مِنَ الدِّينِ. أَخْبَرَتْهُمْ بِهِ رُسُلُ اللَّهِ إِلَيْهِمْ، وَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبَهُمْ، حَتَّى كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأُمِّيُّ خَاتَمَ الرُّسُلِ وَالْأَنْبِيَاءِ، فَاتَّبَعُوهُ وَصَدَّقُوهُ، وَنَصَرُوهُ وَوَازَرُوهُ، فَفَازُوا بِسَعَادَةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ؛ لِأَنَّهُمُ الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ، كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ فِي الْمَسَانِيدِ وَالسُّنَنِ، مِنْ طَرْقٍ يَشُدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا: "إِنَّ الْيَهُودَ افترقت على إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَإِنَّ النَّصَارَى افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا فِرْقَةَ وَاحِدَةً". قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي".

رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ".

“Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain ‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’.

Lalu firmanNya: ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’, artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka.

Ikrimah berkata: ’Mereka berbeda dalam petunjuk’.

Hasan al Bashri berkata: ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’.

Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah).

Dan firman selanjutnya: ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’, artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain :

‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’.

Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.”

(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)

Al-Hafidz Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah Dia menciptakan mereka”.

قَالَ ابْنُ وَهْبٍ: أَخْبَرَنِي مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ طَاوُسٍ؛ أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَيْهِ فَأَكْثَرَا  فَقَالَ طَاوُسٌ: اخْتَلَفْتُمَا فَأَكْثَرْتُمَا ! فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: لِذَلِكَ خُلِقْنَا. فَقَالَ طَاوُسٌ: كَذَبْتَ. فَقَالَ: أَلَيْسَ اللَّهُ يَقُولُ: {وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ} قَالَ: لَمْ يَخْلُقْهُمْ لِيَخْتَلِفُوا، وَلَكِنْ خَلَقَهُمْ لِلْجَمَاعَةِ وَالرَّحْمَةَ. كَمَا قال الْحَكَمِ بْنِ أَبَانٍ، عَنْ عِكْرِمة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لِلرَّحْمَةِ خَلَقَهُمْ وَلَمْ يَخْلُقْهُمْ لِلْعَذَابِ. وَكَذَا قَالَ مُجَاهِدٌ وَالضَّحَّاكُ وَقَتَادَةُ. وَيَرْجِعُ مَعْنَى هَذَا الْقَوْلِ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ} [الذَّارِيَاتِ:56]

Ibn Wahb berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muslim bin Khalid dari Ibnu Abi Najih dari Thawus, bahwa ada dua orang datang kepadanya untuk berselisih, lalu keduanya memperpanjang perselisihan itu. Maka Thawus berkata: “Kalian berselisih dan memperbanyak perdebatan!” Salah satu dari keduanya berkata: “Untuk itulah kita diciptakan.” Maka Thawus berkata: “Engkau berdusta.” Ia pun menjawab: “Bukankah Allah berfirman: ‘Dan mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka’.” (Hud: 118–119) Thawus berkata: “Allah tidak menciptakan mereka untuk berselisih, tetapi menciptakan mereka untuk bersatu dan memperoleh rahmat.”

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Untuk rahmatlah Allah menciptakan mereka, bukan untuk azab.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Qatadah. Makna dari perkataan ini kembali kepada firman Allah Ta‘ala: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56) [(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/362.]

Lalu Ibnu Katsir mengutip riwayat lain dari al-Hasan al-Bashri :

وَقِيلَ: بَلِ الْمُرَادُ: وَلِلرَّحْمَةِ وَالِاخْتِلَافِ خَلَقَهُمْ، كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: {وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ} قَالَ: النَّاسُ مُخْتَلِفُونَ عَلَى أَدْيَانٍ شَتَّى

Dan dikatakan: Yang dimaksud adalah bahwa Allah menciptakan mereka untuk rahmat dan juga untuk perbedaan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri dalam salah satu riwayat darinya mengenai firman Allah: “Dan mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka.” Ia berkata: “Manusia berselisih dalam berbagai agama yang beraneka ragam.” [(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/362.]

Dalam tafsir At Thabari, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari:

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ، يَا مُحَمَّدُ، لَجَعَلَ النَّاسَ كُلَّهُمْ جَمَاعَةً وَاحِدَةً عَلَى مِلَّةٍ وَاحِدَةٍ، وَدِينٍ وَاحِدٍ.

حَدَّثَنَا بَشَرٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلُهُ: (وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً)، يَقُولُ: لَجَعَلَهُمْ مُسْلِمِينَ كُلَّهُمْ.

“Dan seandainya Tuhanmu berkehendak, wahai Muhammad, benar-benar seluruh manusia akan dijadikan jamaah yang satu, di atas millah yang satu, dan agama yang satu.”

Berkata kepada kami Bisyr, dia berkata, berkata kepada kami Yazid, dia berkata, berkata kepada kami Sa’id, dari Qatadah, tentang firmanNya: “Dan seandainya Tuhanmu bekehendak, manusia benar-benar dijadikan umat yang satu,” dia berkata: Mereka seluruhnya benar-benar dijadikan sebagai muslim.

(Baca : Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, karya Imam Abu Ja’far ath Thabari, 15/531. Cet. 1, 2000M/1420H, Mu’asasah ar Risalah)

Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.

Dari Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian tetap di atas sunnahku, dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang telah mendapat petunjuk dan gigit dengan geraham kalian.”

(HR. Sunan Ibnu Majah, Juz. 1, Bab Ittiba’ as Sunnah al Khulafa’ ar Rasyidin al Mahdiyin, hal. 50, no. 43. Musnad Ahmad, Juz. 35, hal. 7, no. 16519. Al Hakim, Mustadrak ‘ Ala ash Shahihain, Juz.1, hal. 321, no. 303)

Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan pasti terjadi. Solusinya adalah tetap pada sunah Rasulullah dan para Khulafa’us Rasyidin Ridhwanullah ‘Alaihim, yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenar-benarnya..

====****===== 

INILAH NASIHAT EMAS DAN PANDANGAN SEJUK 
DARI IMAM KAUM MUSLIMIN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT.

Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah :

لَقَدْ كَانَ الْخِلَافُ مَوْجُودًا فِي عَصْرِ الْأَئِمَّةِ الْمَتْبُوعِينَ الْكِبَارِ: أَبِي حَنِيفَةَ، وَمَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَالثَّوْرِيِّ، وَالْأَوْزَاعِيِّ، وَغَيْرِهِمْ. وَلَمْ يُحَاوِلْ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَنْ يَحْمِلَ الْآخَرِينَ عَلَى رَأْيِهِ، أَوْ يَتَّهِمَهُمْ فِي عِلْمِهِمْ أَوْ دِينِهِمْ مِنْ أَجْلِ مُخَالَفَتِهِمْ.

Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.”

(Baca : Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, karya Dr. Umar bin Abdullah Kamil, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Jika kita menelusuri sejarah, akan tampak jelas bahwa para Imam Ahlus Sunnah memiliki kebijaksanaan luar biasa dalam menyikapi perbedaan pendapat ijtihadiyah, terutama dalam persoalan variasi amal dalam syariat. Sikap mereka menunjukkan kedewasaan ilmiah dan kelapangan dada yang sangat tinggi.

Namun, realitas pada masa kini sering kali berbanding terbalik. Sebagian orang yang mengaku ingin mengikuti jejak para imam tersebut justru gagal meneladani akhlak dan adab mereka dalam berilmu. Mereka mudah mencela, menyesatkan, bahkan memusuhi sesama muslim hanya karena perbedaan dalam masalah cabang (furu’).

Yang lebih ironis, sebagian dari mereka bukanlah ulama, melainkan penuntut ilmu yang baru duduk di satu majelis tanpa membuka diri terhadap majelis-majelis lain. Akan tetapi, perilakunya seolah-olah seorang ulama besar dan ahli fatwa. Mereka baru menyentuh tepian samudra ilmu, namun bertindak layaknya penjelajah lautan dalam; baru berada di permukaan, namun bersikap seperti penyelam yang berpengalaman.

Nasihat yang datang dari luar kelompoknya jarang mereka terima, karena fanatisme terhadap golongan sendiri begitu kuat. Sesungguhnya, orang-orang seperti ini lebih pantas dikasihani daripada dibenci.

Berikut ini beberapa contoh pandangan dan nasihat dari para imam kaum muslimin :

=====

PERTAMA : PANDANGAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :

Khalifah Umar bin Abdul Aziz – rahimahullah- wafat pada tahun 101 H.

Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang memberitahu kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq berkata, Abu Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari Qatadah :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ يَكُنْ رُخصَةٌ.

Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata: "Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan ada keringanan (rukhshah)."

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :

وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ الدَّقَّاقُ وَهُمَا صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

وَأَخْرَجَهُ الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ القَطَّانِ، عَنْ مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ مُخْتَصَرًا.

وَهَذِهِ الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَعْنَى ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.

Dan ini adalah isnad yang hasan, di dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah orang yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya (tsiqah).

Al-Khatib juga meriwayatkannya dalam Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq, dari Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.

Jalur-jalur ini saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul Aziz”. [ Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17 disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:

Musaddad berkata: Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari 'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:

قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا يَسُرُّنِي بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا.

Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di antara para sahabat Rasulullah ; karena jika kami mengambil pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita mengambil pendapat yang lainya ; maka kita benar juga” .

Lalu al-Hafidz berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’*

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :

رَوَاهُ الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.

الحُكمُ عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ بِهَذَا السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا يُعلَمُ قَولُ الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ وَلَعَلَّهُ كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.

“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.

Penilaian terhadapnya: Atsar ini dari Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin Abdul Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar: "Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah jalur-jalur lainnya”.

=====

KEDUA : PANDANGAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :

Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin Sa’id Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka, mengatakan:

"مَا بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ أَنَّ الْمُحَرِّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"

“Tidak pernah berhenti para ulama ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang mengharamkannya tidak memvonis bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena berpendapat menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak memvonis bahwa orang yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.”

[Baca : “Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2/80 dan al-Baihaqi dalam al-Madkhol sebagaimana disebutkan dalam al-Maqoshid al-Hasanah hal. 27 – Cet. Al-Khoniji].

Dan di riwayatkan dari jalur yang lain oleh Adz-Dzahabi dengan lafal:

"أَهْلُ الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ، وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ، فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا هَذَا عَلَى هَذَا".

“Ahli ilmu adalah orang-orang yang luas pandangannya (berlapang dada), dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat, sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca : At-Radzkirah 1/139].

====

KETIGA : PENDANGAN SUFYAN AST-TSAURI

Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah (97 H – 161 H). Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ فَلَا تَنْهَهْ.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” [Hilyatul Auliya’ karya Imam Abu Nu’aim al Asbahany, 6/368 dan al-Faqiih wa al-Mutafaqqih karya al-Khothib 2/136]

====

KEEMPAT : PANDANGAN IMAM MALIK :

Pandangan Imam Malik Rahimahullah (93 H – 179 H).

Pernyataan Imam Malik ketika terhadap Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik):

Ibnu Abdil-Barr berkata:

" وَذَكَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ قَالَ نَا يَحْيَى بْنُ مِسْكِينٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالا سَمِعْنَا مَالِكًا يَذْكُرُ دُخُولَهُ عَلَى أَبِي جَعْفَرٍ وَقَوْلَهُ فِي انْتِسَاخِ كُتُبِهِ فِي الْعِلْمِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‌قَدْ ‌رَسَخَ ‌فِي ‌قُلُوبِ ‌أَهْلِ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ ‌مَا ‌اعْتَقَدُوهُ ‌وَعَمِلُوا ‌بِهِ وَرَدُّ الْعَامَّةِ عَنْ مِثْلِ هَذَا عَسِيرٌ ".

Dan al-Zubayr bin Bakkaar menyebutkan, dia berkata: Yahya bin Miskiin dan Muhammad bin Maslamah memberi tahu kami, mereka berkata: Kami mendengar Malik menyebutkan kisah dirinya masuk ke Khalifah Abu Ja'far , dan perkataannya tentang pemyalinan kitab-kitabnya dalam ilmu [ hadits , atsar dan fiqih ] dan menyuruh orang-orang agar berpatokan hukum padanya :

Imam Malik berkata: Aku berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, apa yang mereka yakini dan mereka amalkan telah tertanam kuat di hati para penduduk masing-masing daerah, dan sulit bagi masyarakat umum untuk berpaling dari hal seperti itu". [ al-Intiqoo Fi Fadholi ats-tsalatash al-Aimmah karya Ibnu Abdil Barr hal. 41].

Dan riwayat lain menunjuk ke arah yang sama.

Ibnu Asaakir meriwayatkan dari jalur “Khalid bin Nizaar Al-Aylii, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas, rahimahullah, berkata:

" دَعَانِي أَبُو جَعْفَرٍ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ لِي ‌يَا ‌أَبَا ‌عَبْدِ ‌اللَّهِ ‌إِنِّي ‌أُرِيدُ ‌أَنْ ‌أَكْتُبَ ‌إِلَى ‌الْآفَاقِ ‌فَأَحْمِلُهُمْ ‌عَلَى ‌كِتَابِ ‌الْمُوَطَّإِ حَتَّى لَا يَبْقَى أَحَدٌ يُخَالِفُكَ فِيهِ قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ تَفَرَّقُوا فِي الْبُلْدَانِ وَاتَّبَعَهُمُ النَّاسُ فَرَأَى كُلُّ فَرِيقٍ أَنْ قَدِ اتَّبَعَ مَتْبَعًا".

Abu Jaafar Amirul Mukminin memanggil saya, lalu dia berkata kepada saya: Wahai Abu Abdullah [Imam Malik] , saya ingin memperbanyak salinan kitab al-Muwaththa dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri , dan menggiring orang-orang ke kitab Muwaththa, hingga tidak ada lagi satu pun orang yang berbeda pendapat dengan Anda di dalamnya.

Imam Malik berkata : Maka aku berkata: Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah tersebar di penjuru negeri-negeri , dan orang-orang mengikuti mereka, dan masing-masing kelompok melihat bahwa dirinya telah mengikuti orang yang berhak untuk diikuti [yakni sahabat Nabi] . [ Kasyful Mughoththo karya Ibnu Asaakir hal. 27 dan al-Muwaththa , riwayat Yahya 1/80 . Tahqiiq al-A'dzomi ]

====

KE-LIMA : SIKAP IMAM SYAFI’I TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT :

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dia adalah Muhammad bin Idris, (lahir 150 H - wafat 204 H)

Yunus bin Abdul ‘Ala berkata:

(مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْقَلَ مِن الشَّافِعِيِّ، لَوْ جُمِعَتْ أُمَّةٌ فُجُعِلَتْ فِي عَقْلِ الشَّافِعِيِّ لَوَسِعَهُمْ عَقْلُهُ؛ نَاظَرْتُهُ يَوْمًا فِي مَسْأَلَةٍ ثُمَّ افْتَرَقْنَا، وَلَقِيَنِي فَأَخَذَ بِيَدِي، ثُمَّ قَالَ لِي: يَا أَبَا مُوسَى، أَلَا يَسْتَقِيمُ أَنْ نَكُونَ إِخْوَانًا وَإِن لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ؟)

"Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dari pada al-Syafi'i. Seandainya suatu umat digabungkan dan diletakkan dalam kecerdasan al-Syafi'i, niscaya kecerdasannya akan mencakupi mereka. Aku pernah berdebat dengannya suatu hari mengenai sebuah masalah, kemudian kami berpisah. Ketika bertemu lagi, dia memegang tanganku dan berkata:

'Wahai Abu Musa, tidakkah sepantasnya kita tetap menjadi saudara (bersahabat) meskipun kita tidak sepakat dalam suatu masalah?'" [Baca : "Sejarah Damaskus" oleh Ibnu Asakir (51/302) dan “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” (10/16)].

Dalam kitab “الْحِلْيَةُ” (9/122)  karya Abu Nu’aim ( wafat 430 H ) di sebutkan :

عَنْ يُونُسَ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – تِلْمِيذِ الإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – ذَاتَ يَوْمٍ: يَا يُونُسُ، إِذَا بَلَّغْتَ عَنْ صَدِيقٍ لَكَ مَا تَكْرَهُهُ، فَإِيَّاكَ أَنْ تُبَادِرَ بِالْعَدَاوَةِ، وَقَطْعِ الْوِلَايَةِ، فَتَكُونَ مِمَّنْ أَزَالَ يَقِينَهُ بِشَكٍّ، وَلَكِنِ الْقِهِ، وَقُلْ لَهُ: بَلَغَنِي عَنْكَ كَذَا وَكَذَا، وَأَجْدَرُ أَنْ تُسَمِّيَ الْمُبَلِّغَ، فَإِنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ، فَقُلْ لَهُ: أَنتَ أَصْدَقُ وَأَبَرُّ، وَلَا تَزِيدَنَّ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، وَإِنِ اعْتَرَفَ بِذَلِكَ فَرَأَيْتَ لَهُ وِجْهًا، بِعُذْرٍ فَاقْبَلْ مِنْهُ" "الْحِلْيَةُ" (9/122).

Dari Yunus bin Abdul A’la , murid al-Imam asy-Syafi’i , bahwa pada suatu hari Imam Syafii berkata :

“ Wahai Yunus, ketika sampai kepada kamu sebuah informasi tentang seorang teman mu , yang isinya informasi yang kamu benci, maka waspadalah, kamu jangan tergesa-gesa melakukan permusuhan dan pemutusan persahabatan, sehingga kamu akan menjadi salah satu dari mereka yang suka menghilangkan sesuatu yang yakin dengan keraguan .

Langkah yang benar, temui lah dia, dan ceritkan kepadanya : telah sampai kepadaku informasi tentang dirimu bahwa kamu begitu dan begitu ??? dan sebaiknya kau sebutkan nama orang orang yang menyampaikannya . Maka ketika dia mengingkarinya , maka kamu katakan : Kamu lebih jujur dan lebih baik , dan jangan menambahkan apapun padanya . Dan jika dia mengakuinya , lalu kamu lihat di wajahnya nampak menyesal maka kamu terimalah“.

===

KEENAM : PERNYATAAN YAHYA BIN MA’IN :

Al-Imam Yahya bin Ma’iin rahimahullah ( lahir 158 H – wafat 233 H) berkata :

"مَا رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ خَطَأً إِلَّا سَتَرْتُهُ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ أُزَيِّنَ أَمْرَهُ، وَمَا اسْتَقْبَلْتُ رَجُلًا فِي وَجْهِهِ بِأَمْرٍ يَكْرَهُهُ، وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَلِكَ، وَإِلَّا تَرَكْتُهُ."

“ Tidaklah aku lihat kesalahan seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya,  aku senang untuk memperindah urusan dirinya.

Tidaklah aku menjumpai seseorang dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya (secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia yang tahu.

Jika dia menerima penjelasanku (maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku membiarkannya

(Lihat : Tarikh Baghdad – karya al-Khathib 16/263 no. 7436 dan Siyar al-A’laam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi 11/83)

Dan nasihat Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah (158 H – 233 H).

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قَالَ ابْنُ الْجُنَيْدِ: وَسَمِعْتُ يَحْيَى يَقُولُ: تَحْرِيمُ النَّبِيذِ صَحِيحٌ، وَلَكِنْ أَقِفُ، وَلَا أُحَرِّمُهُ، قَدْ شَرِبَهُ قَوْمٌ صَالِحُونَ بِأَحَادِيثَ صِحَاحٍ، وَحَرَّمَهُ قَوْمٌ صَالِحُونَ بِأَحَادِيثَ صِحَاحٍ.

“Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” [Siyar A’lam an Nubala, Imam Adz Dzahabi, 11/88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H]

 =====

KE-TUJUH: PANDANGAN IMAM AHMAD

Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (164 H – 241 H)

Dalam kitab Al-Adab Asy Syar’iyyah disebutkan:

وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ الْمَرْوَذِيِّ: لَا يَنْبَغِي لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ، وَلَا يُشَدِّدَ عَلَيْهِمْ. وَقَالَ مِهْنَأٌ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَشْرَبَ هَذَا النَّبِيذَ، يَتَّبِعْ فِيهِ شُرْبَ مَنْ شَرِبَهُ، فَلْيَشْرَبْهُ وَحْدَهُ.

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (yaitu segala jenis minuman memabukkan selain perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” [Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, 1/212 Syamilah]

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya nabidz, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang berpendapat halal meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

====

KE-DELAPAN : AL-IMAM AL-AJURRIY

Al-Imam al-Ajurri rahimahullah (wafat pada tahun 360 H). Ketika beliau menyebutkan :

"ذِكْرُ الأَغْلَطَاتِ وَتَعْقِيدُ الْمَسَائِلِ"

“Kekacau balauan dan rumitnya hukum masalah-masalah “

 Beliau berkata tentang adab perbedaan pendapat yang benar :

وَلَيْسَ هَـٰذَا طَرِيقُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَا كَانَ يَطْلُبُ بَعْضُهُمْ غَلَطَ بَعْضٍ، وَلَا مُرَادُهُمْ أَنْ يُخْطِئَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، بَلْ كَانُوا عُلَمَاءَ عُقَلَاءَ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ مُنَاصَحَةً وَقَدْ نَفَعَهُمُ ٱللَّهُ بِالْعِلْمِ

Ini bukanlah cara yang dilakukan oleh para salafus saaleh, tidak ada sebagian dari mereka yang suka mencari-cari kesalahan satu sama lain, dan tujuan mereka bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain .

Sebaliknya, mereka adalah para ulama yang berakal sehat , mereka jika berbicara berdasarkan ilmu dengan tujuan untuk saling bernasihat dan dinasihati. Dan Allah swt telah menjadikan ilmu mereka bermanfaat “.

Baca : kitab “أَخْلَاقُ الْعُلَمَاءِ” hal. 87 dalam perbedaan pendapat .

===

KE-SEMBILAN : NASIHAT IMAM AN-NAWAWI

Imam an-Nawawi Rahimahullah (631 H – 676 H) berkata :

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam.

Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar.

Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam]

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

====

KE-SEPULUH : PENDANGAN AL-IMAM AS-SUYUTHI

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah ( wafat 911 H):

Ketika beliau membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nadzoir:

[الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ: لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ‌وَإِنَّمَا ‌يُنْكَرُ ‌الْمُجْمَعُ ‌عَلَيْهِ]

" وَيُسْتَثْنَى صُوَرٌ، يُنْكَرُ فِيهَا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ:

إحْدَاهَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَذْهَبُ بَعِيدَ الْمَأْخَذِ، بِحَيْثُ يُنْقَصُ. وَمِنْ ثَمَّ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَى الْمُرْتَهِنِ بِوَطْئِهِ الْمَرْهُونَةَ، وَلَمْ يُنْظَرْ لِخِلَافِ عَطَاءٍ.

الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَرَافَعَ فِيهِ الْحَاكِمُ، فَيَحْكُمُ بِعَقِيدَتِهِ، وَلِهَذَا يُحَدُّ الْحَنَفِيُّ بِشُرْبِ النَّبِيذِ ; إذْ لَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَحْكُمَ بِخِلَافِ مُعْتَقَدِهِ.

الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ لِلْمُنْكِرِ فِيهِ حَقٌّ، كَالزَّوْجِ يَمْنَعُ زَوْجَتَهُ مِنْ شُرْبِ النَّبِيذِ، إذَا كَانَتْ تَعْتَقِدُ إبَاحَتَهُ، وَكَذَلِكَ الذِّمِّيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ

Kaidah yang ke-35 : “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”

Dikecualikan dari kaidah ini beberapa keadaan, di mana perkara yang diperselisihkan boleh diingkari, yaitu:

Pertama: Apabila pendapat yang diikuti sangat lemah dasar argumnentasinya, sehingga tidak dapat diterima. Contohnya, kewajiban dijatuhkannya hukuman hadd terhadap seseorang yang menggauli wanita (budak) yang digadaikan, meskipun ada pendapat berbeda dari Atho’, namun pendapat tersebut tidak dianggap.

Kedua: Apabila perkara itu dibawa kepada hakim untuk diputuskan, maka hakim wajib memutus sesuai keyakinannya. Karena itu, seorang hakim (yang bukan Hanafi) tetap menjatuhkan hukuman hadd terhadap seseorang bermazhab Hanafi yang meminum nabidz (nabidz, adalah segala jenis minuman memabukkan dari selain perasan anggur), sebab tidak boleh bagi hakim memutus perkara yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri.

Ketiga: Apabila pihak yang mengingkari memiliki hak dalam perkara itu. Misalnya, seorang suami berhak melarang istrinya meminum nabidz, meskipun sang istri meyakini bahwa minuman itu halal; demikian pula halnya dengan wanita dzimmiyah (non muslimah, tapi tinggal negara Islam) menurut pendapat yang paling sahih.

[Al Asybah wa An Nadzoir, karya Imam As Suyuthi, hal. 158]

KE-SEBELAS : PANDANGAN SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Pandangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H):

Beliau berkata:

وَكَانَ السَّلَفُ يَتَنَاظَرُونَ فِي الْمَسْأَلَةِ مُنَاظَرَةَ مُشَاوَرَةٍ وَمُنَاصَحَةٍ، وَرُبَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُمْ فِي الْمَسْأَلَةِ الْعِلْمِيَّةِ وَالْعَمَلِيَّةِ مَعَ بَقَاءِ الأُلفَةِ وَالْعِصْمَةِ وَأُخُوَّةِ الدِّينِ

"Dan para salaf saling berdebat dalam suatu masalah dengan cara diskusi, bermusyawarah dan saling menasihati, dan kadang-kadang pendapat mereka berbeda dalam masalah ilmiah dan praktis, namun mereka tetap menjaga keharmonisan, keamanan, dan persaudaraan dalam agama." [Baca : "Majmu' al-Fatawa" (24/172)].

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata pula :

وَمَن جَالَسَنِي يَعْلَمْ ذَلِكَ مِنِّي: أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مَعَيَّنٌ إِلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إِلَّا إِذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرِّسَالِيَّةُ، الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً، وَفَاسِقًا أُخْرَى، وَعَاصِيًا أُخْرَى، وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا، وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ.

Dan siapa pun yang duduk dengan saya pasti tahu tentang saya : bahwa saya adalah salah satu dari orang-orang keras yang melarang pentakfiran , pentafsikan dan mengecap ahli maksiat yang ditujukan pada orang tertentu, kecuali setelah diketahui bahwa “al-hujjah ar-rosaaliyah” telah disampaikan padanya.

Siapapun yang menentangnya , maka terkadang dia kafir , terkadang fasiq , dan terkadang maksiat .

Dan saya menyatakan bahwa Allah telah mengampuni umat ini atas kesalahannya.

Ini meliputi semua kesalahan , dalam masalah kabar ucapan dan masalah-masalah amalan . (Majmu’ Fataawaa Ibnu Taymiyyah, 3/229).

Makna ““al-hujjah ar-rosaaliyah” adalah : dalil syar’i yang di bawa oleh Nabi .

Dan Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:

"وَكَثِيرٌ مِنْ مُجْتَهِدِي السَّلَفِ وَالْخَلَفِ قَدْ قَالُوا وَفَعَلُوا مَا هُوَ بِدْعَةٌ، وَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ بِدْعَةٌ، إِمَّا لِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ ظَنُّوهَا صَحِيحَةً، وَإِمَّا لِآيَاتٍ فَهِمُوا مِنْهَا مَا لَمْ يُرَدْ مِنْهَا، وَإِمَّا لِرَأْيٍ رَأَوْهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ نُصُوصٌ لَمْ تَبْلُغْهُمْ، وَإِذَا اتَّقَى الرَّجُلُ رَبَّهُ مَا اسْتَطَاعَ" – يَعْنِي : مِنْ هَؤُلَاءِ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ أَخْطَؤُوا - "دَخَلَ فِي قَوْلِهِ : [رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا] [البقرة : 286 ] وَفِي الصَّحِيحِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ قَالَ : " قَدْ فَعَلْتُ "."

“Banyak mujtahid Salaf dan Kholaf telah berpendapat dan melakukan apa yang merupakan bid'ah, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah bid'ah , Entah karena dha’ifnya hadits yang mereka anggap shahih, atau karena ayat-ayat yang mereka pahami yang tidak ada keterangan yang sampai kepadanya tentang makna ayat-ayat tersebut , atau karena pendapat yang mereka lihat , padahal dalam hal itu ada nash yang belum sampai kepada mereka .

Dan jika ada seseorang yang berusaha semampunya agar bisa bertakwa kepada Rabbnya ; maka dia masuk dalam katagori firman Allah SWT :

{ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”

Dan dalam hadits Shahih, Allah telah berfirman : Aku telah melakukan . [Majmu’ al-Fataawaa: 19/191].

Penulis katakan : Beliau mengisyaratkan pada hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , dia berkata,

"لَمَّا نَزَلَتْ هذِه الآيَةُ: {وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ} [البقرة: 284]، قالَ : دَخَلَ قُلُوبَهُمْ مِنْها شيءٌ لَمْ يَدْخُلْ قُلُوبَهُمْ مِن شيءٍ، فقالَ النبيُّ ﷺ:
قُولوا: سَمِعْنا وأَطَعْنا وسَلَّمْنا
قالَ: فألْقَى اللَّهُ الإيمانَ في قُلُوبِهِمْ، فأنْزَلَ اللَّهُ تَعالَى: {لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا} . قالَ: قدْ فَعَلْتُ
{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا} . قالَ: قدْ فَعَلْتُ .
{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا} قالَ: قدْ فَعَلْتُ ".

"Ketika turun ayat :

{وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ}

'(Dan jika kamu melahirkan sesuatu yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu) ' (Qs. Albaqarah: 284).

Ibnu Abbas berkata, "Maka masuklah suatu kesedihan darinya ke dalam hati mereka yang mana belum pernah masuk ke dalam hati mereka sedikit pun sebelumnya ."

Maka Nabi bersabda: "Katakanlah, 'Saya mendengar dan saya menaati serta saya menyerahkan diri'."

Ibnu Abbas berkata, "Lalu Allah meletakkan iman pada hati mereka, yang kemudian menurunkan ayat:

{لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا}

'(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), 'Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah) ' (Qs. Al Baqarah: 286),

Allah berfirman: "Sungguh aku telah melakukannya."

{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا}

'(Wahai Rabb kami, dan janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami) ' (Qs. Al baqarah: 286),

Allah berfirman: "Aku telah melakukanya."

{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا}

'(Wahai Rabb kami, Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami) '

Allah berfiraman: "Aku telah lakukan." [SELESAI]

Ketika Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:

“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.”

Beliau rahimahullah juga berkata:

فَإِنَّ مَسَائِلَ الدَّقِّ فِي الْأُصُولِ لَا يَكَادُ يَتَّفِقُ عَلَيْهَا طَائِفَةٌ؛ إذْ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمَا تَنَازَعَ فِي بَعْضِهَا السَّلَفُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَقَدْ يُنْكَرُ الشَّيْءُ فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ. وَعَلَى شَخْصٍ دُونَ شَخْصٍ

“Sesungguhnya masalah-masalah yang rinci dalam ilmu ushul hampir tidak ada satu kelompok pun yang sepakat tentangnya; karena seandainya demikian, niscaya para salaf dari kalangan sahabat dan tabi‘in tidak akan berselisih dalam sebagian perkara tersebut.

Dan bisa saja suatu hal dianggap tercela dalam satu keadaan, namun tidak dalam keadaan yang lain, atau terhadap satu orang tetapi tidak terhadap orang lain”. [Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 6/56]

Katanya lagi:

فَلَمَّا دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى تَفْرِيعِ الْأَعْمَالِ وَكَثْرَةِ فُرُوعِهَا وَذَلِكَ مُسْتَلْزِمٌ لِوُقُوعِ النِّزَاعِ اطْمَأَنَّتْ الْقُلُوبُ فِيهَا إلَى النِّزَاعِ؛ بِخِلَافِ الْأُمُورِ الْخَبَرِيَّةِ؛ فَإِنَّ الِاتِّفَاقَ قَدْ وَقَعَ فِيهَا عَلَى الْجُمَلِ؛ فَإِذَا فُصِلَتْ بِلَا نِزَاعٍ فَحَسَنٌ؛ وَإِنْ وَقَعَ التَّنَازُعُ فِي تَفْصِيلِهَا فَهُوَ مَفْسَدَةٌ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ دَاعِيَةٍ إلَى ذَلِكَ

Ketika muncul kebutuhan untuk perluasan aktivitas dan penganekaragaman furu’ (cabang)-nya - yang memang mengharuskan terjadinya perbedaan pendapat- maka hati manusia merasa tenang terhadap perselisihan itu.

Berbeda dengan perkara-perkara yang bersifat berita (khobariyah). Sesungguhnya, kesepakatan telah terjadi dalam hal-hal secara umum. Maka jika suatu perkara dapat dirinci tanpa perselisihan, itu baik; tetapi jika terjadi perselisihan dalam merincinya, maka hal itu merupakan kerusakan tanpa adanya kebutuhan yang mendorongnya. [Ibnu Taimiyah, Ibid, 6/58]

Ia juga berkata:

وَأَمَّا مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ فَضْلُ إمَامٍ عَلَى إمَامٍ أَوْ شَيْخٍ عَلَى شَيْخٍ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ كَمَا تَنَازَعَ الْمُسْلِمُونَ وَأَمَّا مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ فَضْلُ إمَامٍ عَلَى إمَامٍ أَوْ شَيْخٍ عَلَى شَيْخٍ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ كَمَا تَنَازَعَ الْمُسْلِمُونَ: أَيُّهُمَا أَفْضَلُ التَّرْجِيعُ فِي الْأَذَانِ أَوْ تَرْكُهُ؟ أَوْ إفْرَادُ الْإِقَامَةِ أَوْ تَثْنِيَتُهَا؟ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ بِغَلَسِ أَوْ الْإِسْفَارُ بِهَا؟ وَالْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ تَرْكُهُ؟ وَالْجَهْرُ بِالتَّسْمِيَةِ؛ أَوْ الْمُخَافَتَةُ بِهَا؛ أَوْ تَرْكُ قِرَاءَتِهَا؟ وَنَحْوُ ذَلِكَ؛ فَهَذِهِ مَسَائِلُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ فَكُلٌّ مِنْهُمْ أَقَرَّ الْآخَرَ عَلَى اجْتِهَادِهِ مَنْ كَانَ فِيهَا أَصَابَ الْحَقَّ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ كَانَ قَدْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ لَهُ فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَد لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ وَنَحْوُ ذَلِكَ

Adapun orang yang lebih condong menurut pendapatnya kepada keutamaan seorang imam atas imam lain atau seorang syeikh atas syeikh lain berdasarkan ijtihadnya ; maka masalah ini sama seperti masalah yang diperselisihkan kaum Muslimin tentang :

Apakah yang lebih utama adalah diterapkan at-Tarji’ (muadzin mengucapkan dua kalimat syahadat dengan suara pelan terlebih dahulu, kemudian mengulanginya sekali lagi dengan suara keras) dalam adzan atau ditinggalkannya?

Atau dalam iqamah, apakah dikumandangkan sekal-sekali atau diulang dua kali – dua kali?

Apakah shalat Subuh dilakukan dengan waktu gholas (gelap) atau isfaar (terang benderang)?

Apakah qunut dilakukan dalam shalat Subuh atau ditinggalkan?

Apakah membaca basmalah dengan suara keras atau pelan, atau ditinggalkan?

Dan hal-hal semisal itu.

Ini adalah masalah-masalah ijtihad yang telah diperselisihkan oleh para salaf dan para imam; masing-masing dari mereka mengakui ijtihad yang dilakukan oleh yang lain. Barang siapa yang dalam ijtihadnya tepat dan benar, maka baginya dua pahala; dan barang siapa yang berijtihad namun salah, maka baginya satu pahala ijtihad dan dosanya diampuni.

Barang siapa yang lebih condong menurut pendapatnya mengikuti madzhab Syafi‘i, maka dia tidak boleh mencela orang yang lebih condong mengikuti madzhab Malik.

Dan barang siapa yang lebih condong mengikuti madzhab Ahmad, dia tidak boleh mencela orang yang lebih condong mengikuti madzhab Syafi‘i, dan seterusnya”. [Ibnu Taimiyah, Ibid, 20/292]

Beliau juga berkata:

وَاجْتِهَادُ الْعُلَمَاءِ فِي الْأَحْكَامِ كَاجْتِهَادِ الْمُسْتَدِلِّينَ عَلَى جِهَةِ الْكَعْبَةِ؛ فَإِذَا صَلَّى أَرْبَعَةُ أَنْفُسٍ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِطَائِفَةِ إلَى أَرْبَعِ جِهَاتٍ لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ الْقِبْلَةَ هُنَاكَ: فَإِنَّ صَلَاةَ الْأَرْبَعَةِ صَحِيحَةٌ وَاَلَّذِي صَلَّى إلَى جِهَةِ الْكَعْبَةِ وَاحِدٌ وَهُوَ الْمُصِيبُ الَّذِي لَهُ أَجْرَانِ

“Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat.

Contohnya : Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan orang yang shalatnya tepat menghadap kiblat, maka dialah yang mendapat dua pahala”. [Ibnu Taimiyah, Ibid, 20/224]

Lihat! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masing-masing ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama).

Dia juga berkata:

أَمَّا الْقَوْلُ وَالْعَمَلُ الَّذِي لَا يُعْرَفُ يَقِينًا (قَطْعِيًّا) وَيَتَعَارَضُ مَعَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَهُوَ مِنْ مَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ، وَقَدْ يُعْتَبَرُ قَطْعِيًّا عِنْدَ بَعْضِ آخَرِينَ مِمَّنْ أَنَارَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِنُورِ الْهِدَايَةِ. وَمَعَ ذَلِكَ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُكْرَهَ النَّاسُ عَلَى رَأْيهِ أَوْ يُفْرَضُوهُ عَلَى مَنْ لَمْ يَحْصُلْ عَلَى مَا أَرَادَ.

“Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” [Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, 1/383-384]

Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:

فَإِنَّ تَعَارُضَ دَلَالَاتِ الْأَقْوَالِ وَتَرْجِيحَ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ بَحْرٌ خِضَمٌّ

“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah ucapan-ucapan dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” [Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 30]

==== 

KE-DUA BELAS : PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :

Ibnu Qayyim rahimahullah (wafat. 751 H) berkata:

"وُقُوعُ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ إِرَادَاتِهِمْ وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ بَغْيُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."

"Terjadinya perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena perbedaan keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun, yang tercela adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dan permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah 1/269].

====

KE-TIGA BELAS : AL-IMAM ADZ-DZAHABI

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat 748 H / 1348 M), dia berkata:

" وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَنْ أَخْطَأَ فِي اجْتِهَادِهِ مَعَ صِحَّةِ إِيمَانِهِ، وَتَوَخِّيْهِ لِاتِّبَاعِ الْحَقِّ أَهْدَرْنَاهُ، وَبَدَّعْنَاهُ؛ لَقَلَّ مَنْ يَسْلَمُ مِنَ الْأَئِمَّةِ مَعَنَا، رَحِمَ اللهُ الْجَمِيعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ".

“Dan jika setiap orang yang salah dalam ijtihadnya dengan kebenaran imannya, dan  keinginannya yang kuat untuk mengikuti kebenaran, lalu kami menyia-nyiakannya, dan kami menganggapnya ahli bid’ah ; maka jika demikian, sangat sedikit orang yang selamat dari kalangan para imam yang bersama kami .

Semoga Allah merahmati semua orang dengan rahmat dan kemurahan-Nya”

[ Baca : “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” (14/376)].

Dan di halaman lain Al-Dzahabi rahimahullah juga berkata :

"وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَا أَخْطَأَ إِمَامٌ فِي اجْتِهَادِهِ فِي آحَادِ المَسَائِلِ خَطَأً مَغْفُورًا لَهُ قُمْنَا عَلَيْهِ وَبَدَّعْنَاهُ وَهَجَرْنَاهُ؛ لَمَا سَلِمَ مَعَنَا لَا ابْنُ نَصْرٍ، وَلَا ابْنُ مَنْدَه" -هَؤُلَاءِ مِنَ الكِبَارِ- "وَلَا مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُمَا، وَاللهُ هُوَ هَادِي الخَلْقِ إِلَى الحَقِّ، وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الهَوَى وَالفَظَاظَةِ".

Dan jika semua kesalahan yang dilakukan seorang imam dalam ijtihadnya pada masalah-masalah tertentu, kesalahan yang dimaafkan, lalu kami bangkit menyalahkannya, membid’ahkannya, dan mengucilkannya ( meng hajernya ) ; maka tidak akan ada yang selamat orang – orang yang bersama kami, tidak pula ulama sekelas Ibnu Nasher dan tidak pula sekelas Ibnu Mandah – mereka berdua adalah para ulama besar – bahkan tidak akan selamat pula para ulama yang lebih besar dari keduanya . 

Dan Allah adalah Pemberi petunjuk makhluk kepada kebenaran, dan Dia adalah Maha Penyayang dari semua penyayang , maka Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan bercerai berai / pecah belah “.

[ Baca : “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” (14/40)].

====

KE-EMPAT BELAS : PERKATAAN AL-MUNAWI

Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata:

"فَاخْتِلَافُ المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ، وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ الأُمَّةُ."

"Perbedaan mazhab adalah nikmat besar, dan keutamaan besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca : Faidhul Qodiir 1/209 no. 288].

=== 

KE-LIMA BELAS : PERKATAAN SYEIKH AL-ALBANI

Syekh Al-Albani berkata:

"مِثْلُ النَّوَوِيِّ، وَابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيِّ، وَأَمْثَالِهِمْ، مِنَ الظُّلْمِ أَنْ يُقَالَ عَنْهُمْ: إِنَّهُمْ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ، أَنَا أَعْرِفُ أَنَّهُمَا مِنْ "الأَشْعَرِيَّةِ"، لَكِنَّهُمَا مَا قَصَدَا مُخَالَفَةَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَإِنَّمَا وَهِمَا، وَظَنَّا أَنَّ مَا وَرِثَاهُ مِنَ الْعَقِيدَةِ الأَشْعَرِيَّةِ: ظَنَّا شَيْئَيْنِ اثْنَيْنِ".

“Misalnya Al-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan semisalnya, termasuk kedzaliman jika ada yang mengatakan bahwa mereka itu Ahli Bid’ah. Saya mengetahui bahwa mereka berdua termasuk dalam golongan "Asy'ariyyah," namun mereka tidak bermaksud menentang Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka hanya keliru dan mengira bahwa apa yang mereka warisi dari akidah Asy'ariyyah adalah benar. Mereka mengira ada dua hal .

Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).

Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.

(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)

===== 

KE-ENAM BELAS : PERKATAAN SYEIKH SHOLEH AL-FAUZAAN :

Syeikh Sholeh al-Fauzaan pernah di tanya :

لَقَدْ ظَهَرَ بَيْنَ طُلَّابِ العِلْمِ اخْتِلَافٌ فِي تَعْرِيفِ المُبْتَدِعِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ مَنْ قَالَ أَوْ فَعَلَ البِدْعَةَ وَلَمْ تَقَعْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا بُدَّ مِنْ إِقَامَةِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ العَالِمِ المُجْتَهِدِ وَغَيْرِهِ مِنَ الَّذِينَ أَصَّلُوا أُصُولَهُمُ المُخَالِفَةَ لِمَنْهَجِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَظَهَرَ مِنْ بَعْضِ هَذِهِ الأَقْوَالِ تَبْدِيعُ ابْنِ حَجَرٍ وَالنَّوَوِيِّ، وَعَدَمُ التَّرَحُّمِ عَلَيْهِمْ.

Di kalangan para penuntut Ilmu (طُلَّابُ العِلْمِ) telah muncul perbedaan pendapat dalam definisi ahli bid’ah.

Sebagian dari mereka berkata: Dialah yang mengatakan atau melakukan bid'ah meskipun belum sampai kepadanya hujjah .

Dan sebagian dari mereka berkata: Hujjahnya harus ditegakkan dulu terhadapnya.

Dan di antara mereka ada yang membedakan antara ulama yang mujtahid dengan orang lain yang membangun pondasi pemahaman agamanya bertentangan dengan Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.

Dan telah nampak dari sebagian perkataan mereka membid'ahkan Ibnu Hajar dan an-Nawawi, dan melarang untuk mendoakan rahmat untuk mereka “. 

Maka Syeikh Shaleh menjawab :

هٰذِهِ مُلَاحَظَةٌ مُهِمَّةٌ: 

"أَوَّلًا: لَا يَنْبَغِي لِلطَّلَبَةِ المُبْتَدِئِينَ، وَغَيْرِهِمْ مِنَ العَامَّةِ أَنْ يَشْتَغِلُوا بِالتَّبْدِيعِ وَالتَّفْسِيقِ"، صِغَارُ الشَّبَابِ هٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنْفُسَهُمْ مُحَامِينَ عَنْ مَنْهَجِ السَّلَفِ، وَعِنْدَهُمْ جَهْلٌ وَغُلُوٌّ وَإِفْرَاطٌ، وَيُرِيدُ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي ابْنِ حَجَرٍ وَالنَّوَوِيِّ، مَا هُوَ مُسْتَوَاكَ؟ مَنْ الَّذِي نَصَبَكَ فِي عُلَمَاءَ أَكْبَرَ مِنْكَ، وَأَغْيَرَ مِنْكَ عَلَى الدِّينِ، وَأَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى القِيَامِ بِأَمْرِ اللهِ؟ 

سُبْحَانَ اللهِ! مَجْمُوعَةُ غَوْغَاءَ لَا يَصْلُحُ أَنْ تَقُولَ: نِصْفَ طَالِبِ عِلْمٍ، وَمِنْ أَسْوَإِ صِفَاتِهِمْ قِلَّةُ الأَدَبِ، إِذَا كَانَ طُلَّابُ الإِمَامِ أَحْمَدَ -رَحِمَهُمُ اللهُ- يَجْلِسُونَ عِنْدَهُ لِيَتَعَلَّمُوا مِنْهُ الأَدَبَ قَبْلَ العِلْمِ، هٰؤُلَاءِ لَا عِلْمَ وَلَا أَدَبَ، وَلِذٰلِكَ التَّطَاوُلُ عِنْدَهُمْ سَهْلٌ، يَأْتِي لِشَيْخٍ فِي الحَرَمِ يَضْرِبُهُ بِالنِّعَالِ، يَقُولُ: سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ الوُجُوهُ، لَا يُوجَدُ أَدَبٌ وَلَا تَرْبِيَةٌ. 

مِثْلُ هٰؤُلَاءِ الغُلَاةِ فِي التَّكْفِيرِ، مَنْ الَّذِي يَتَوَلَّى التَّكْفِيرَ؟ 

صِغَارٌ، وَيَنْصِبُ نَفْسَهُ قَاضِيًا، وَيَحْكُمُ بِالرِّدَّةِ، وَيَسْتَبِيحُ الدَّمَ، وَيَسْتَحِلُّ المَالَ، المَسَائِلُ خَطِيرَةٌ كَبِيرَةٌ يَنْتَصِبُ لَهَا أَغْرَارٌ سُفَهَاءُ، لَا أَدَبَ وَلَا عِلْمَ، وَلَا فِقْهَ، وَلَا حِكْمَةَ، وَلَا يَعْرِفُ مُوَازَنَةَ المَصَالِحِ وَالمَفَاسِدِ أَسَاسًا، وَيُرِيدُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالتَّكْفِيرِ وَالتَّبْدِيعِ، وَالحُكْمِ بِاسْتِحْلَالِ الدَّمِ وَالمَالِ، وَهٰذِهِ مُصِيبَتُنَا، هٰذِهِ الآنَ مِنْ مَصَائِبِ الأُمَّةِ، الأُمَّةُ الآنَ مُتَخَلِّفَةٌ، وَتَسَلَّطَ عَلَيْهَا الأَعْدَاءُ، التَّشَبُّهُ بِالكُفَّارِ، وَالاشْتِغَالُ بِالدُّنْيَا، وَأَشْيَاءُ كَثِيرَةٌ مِنْ أَسْبَابِ تَخَلُّفِ الأُمَّةِ، وَهٰذَا وَاحِدٌ مِنْهَا، يَعْنِي: هٰذَا وَاحِدٌ مِنَ الابْتِلَاءَاتِ. 

Ini adalah catatan-catatan penting:

Pertama: Tidak pantas bagi para siswa pemula, dan lainnya dari masyarakat umum, untuk terlibat/menyibukkan diri dalam membid’ahkan seseorang dan memfasiq kan nya .”

Anak-anak muda yang masih ingusan , mereka mengira bahwa diri mereka adalah sebagai para pembela manhaj salaf , padahal mereka ini hanya memiliki kedunguan, ghuluw dan kebablasan , lalu tiba-tiba dia ingin berbicara tentang kesesatan Ibnu Hajar dan Al-Nawawi ?? Level mu Apa?

Siapakah yang mengangkat kamu di antara para ulama yang lebih besar darimu, lebih cemburu dari kamu dalam agama, dan lebih bersemangat dari kamu untuk menjalankan perintah Allah?

Subhanallah ! Sekelompok gerombolan gembel yang tidak pantas untuk dikatakan : Setengah penuntut ilmu, dan salah satu ciri terburuk mereka adalah sedikitnya adab .

Jika murid-murid Imam Ahmad saja - semoga Allah merahmati mereka - duduk bersamanya untuk belajar darinya adab sebelum ilmu , namun mereka kelompok para gembel ini tidak berilmu dan tidak punya adab,  oleh karena itu mulut mereka sangat mudah menjelek-jelek orang .

Salah seorang dari mereka ada yang datang kepada seorang Syeikh di mesjid al-Haram, lalu dia memukulnya dengan sandal, sambil mengatakan :

سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ الوُجُوهُ

“Semoga Allah menghitamkan wajahmu , di hari ketika wajah-wajah menjadi hitam “

[[NOTE :

Penulis katakan : si gembel yang memukul syekh tersebut disebabkan karena dia menganggap syeikh tersebut telah menyelisihi pendapat imamnya yang sangat dia kultuskan, dan menurut nya bahwa pendapat yang hak dan benar itu cuma satu, tidak boleh lebih, jika lebih, maka selebihnya adalah batil dan bid’ah . Dan yang hak dan benar adalah pendapat imam-nya atau syeikhya.

Adapun ucapan nya “سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ” maka in mengisyaratkan pada Firman Allah SWT :

]يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ فَذُوقُوا۟ ٱلْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ[

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):

"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS: Ali-Imran :106 )

Dan apa yang dikatakan sigembel pemukul syeikh tersebut, ada kemiripan dengan perkataan Ibnu Muljam ketika menebas leher Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” lalu Ia membaca firman Allah SWT :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).

(Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 5/143-146, ath-Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad, 3/36-37, al-Muntazham, 5/172-173, al- Kamil, 3/388-389 dan Tarikh Islam juz Khulafaur Rasyidin halaman 607-608. PEN. ))

Perbuatan si gembel pemukul syeikh tersebut menandakan bahwa dia itu terpapar manhaj Khawarij, pemecah belah umat. Imam Ahmad (no. 22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000) meriwayatkan dari Abu Umamah :

رَأى أَبُو أُمَامَةَ رُؤُوسًا مَنصُوبَةً عَلَى دَرَجِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَن قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ (يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَو لَم أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَو مَرَّتَيْنِ أَو ثَلَاثًا أَو أَرْبَعًا - حَتَّى عَدَّ سَبْعًا - مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.

“Abu Umamah radhiyallahu anhu melihat kepala kepala [kaum khowarij yang terbunuh] diletakkan [dipancangkan] di tangga masjid Damaskus.

Beliau berkata, “Mereka itu adalah anjing anjing neraka. Mereka seburuk buruk orang yang terbunuh di kolong langit. Dan sebaik baik yang dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka.”

Kemudian dia membacakan ayat :

( يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ).

( Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah yang nampak putih berseri, dan ada pula wajah-wajah yang nampak hitam muram. Adapun orang-orang yang wajahnya hitam muram (maka kepada mereka dikatakan): "Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu"). [QS. Ali Imran : 106].

Abu Ghalib berkata kepada Abu Umamah, “Engkau mendengar itu dari Rasulullah ?”

Beliau berkata, “Jika aku mendengarnya hanya sekali , dua kali , tiga kali , empat kali hingga tujuh kali tentu aku tidak berani menyampaikan pada kalian. Tapi aku mendengarnya lebih dari tujuh kali.”

Abu Iisa at-Tirmidzi berkata :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزَوَّرٌ وَأَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ اسْمُهُ صُدَيُّ بْنُ عَجْلَانَ وَهُوَ سَيِّدُ بَاهِلَةَ

"Ini adalah hadits hasan , nama Abu Ghalib adalah Hazur, dan nama Abu Umamah al-Bahili adalah Suday Ibnu 'Ajlan, dan dia adalah tokoh Bahilah".

Dan al-Haitsami merujuknya kepada ath-Thabarani, beliau berkata: "Para perawinya adalah tsiqaat (terpercaya)" (Majma' al-Zawaid 6/234). Hal ini juga disebutkan oleh al-Hakim yang mensahihkannya dan disetujui oleh al-Dzahabi (al-Mustadrak 2/149-150). Ibnu Katsir juga meriwayatkannya dan berkata: "Hadits ini, bagian-bagian terkecilnya adalah mawquuf dari perkataan seorang sahabat" (Tafsir Ibnu Katsir 1/346).

Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482.]] (SELESAI SAMPAI DI SINI TAMBAHAN DARI PENULIS).

LANJUTAN PERKATAAN SYEIKH SHALEH AL-FAUZAAN :

“ Dia tidak punya adab dan tidak berpendidikan.

Mirip seperti itu para ekstremis ( Ghulaat ) dalam mengkafirkan orang lain , siapa sebenarnya yang berhak menentukan pengkafiran seseorang ?

Mereka anak-anak kecil, tapi mengangkat dirinya seolah-seolah sebagai hakim , dia menghukumi murtadnya seseorang, lalu menghalalkan darahnya, dan menghalalkan hartanya.

Masalah-masalahnya sangat berbahaya , tertipu dan terpdaya orang-orang dungu yang diangkat untuk membimbing mereka, tidak beradab , tidak faham ilmu fiqih , tidak tahu hikmah dan tidak mengerti tentang keseimbangan antara maslahat dan mafsadat .

Dan dia itu berkeinginan menyibukkan dirinya dengan mentakfirkan ( mengecap kafir seseorang  ) dan mentabdi’kan ( mengecap seseorang sebagai ahli bid’ah ) , juga menghukumi halalnya darahnya dan hartanya .

Ini adalah mushibah atas kami yang sekarang ini telah menimpa umat ini . Umat ini sekarang saling berselisih , dan musuh-musuh umat ini ikut terlibat dalam mengendalikannya, ber tasyabbuh dengan orang-orang kafir , sibuk dengan dunia , banyak sekali sebab-sebab yang membuat umat ini menjadi tertinggal , dan ini adalah salah satu dari ibtila’aat (الِابْتِلَاءَات)”.

===*****===

MEREKA MENGUTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:

وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا حَسَنًا

"Disunnahkan bagi seseorang untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi meninggalkan perubahan bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar.

Juga seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman yang menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia shalat di belakangnya dengan sempurna 4 rakaat . Dia (Ibnu Mas’ud) berkata : 'Perselisihan adalah keburukan’.' Ini adalah pandangan yang baik”.

Abdurrahman bin Yazid berkata :

"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".

Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata: 

“Aku dulu shalat bersama Nabi , Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.

Kemudian terjadilah perbedaan pendapat diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” 

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau: 

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?” 

Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu adalah buruk .” 

["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."

Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].

Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:

وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ‌ابْنِ ‌مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ

Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:

'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'

Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perselisihan itu adalah buruk.'"

Perselisihan itu lebih dahsyat dampak buruknya dari pada amalan sunnah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar radhiyalahu ‘anhu . Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki, ia berkata:

كُنَّا قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ، فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، ‌فَقِيلَ ‌لَهُ: ‌عِبْتَ ‌عَلَى ‌أَمِيرِ ‌الْمُؤْمِنِينَ ‌شَيْئًا، ‌ثُمَّ ‌صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ فِيمَنْ يُعِزُّهُ "

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ

Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.

Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya: "Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.

Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar dan Umar."

Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi kemudian engkau sendiri melakukannya."

Dia menjawab: **Perselisihan itu lebih dahsyat (dampak buruknya)**. Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda: 'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan mereka. Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi perpecahan dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi, kemudian dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa tersebut.'

Rasulullah memerintahkan kami agar tidak mengalah dalam tiga hal: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang mungkar, dan mengajarkan sunnah kepada manusia.

(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460.)

Syu'aib Al-Arna'ut berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي الصِّدْقُ.

Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat", tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang jujur. [Baca : Musnad 35/364. No. 21460].

Begitu pula masalah yang berkenaan dengan mengeraskan baca **Bismillah** dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

فَمَقْصُودُ أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا ( البَسْمَلَة ) فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا جَهَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ: لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَكَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ الْجَهْرُ بِهَا مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ أَيْضًا

Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah sunnah.

Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali. Dan Nabi kadang-kadang mengeraskan bacaan ayat dalam shalat Dzuhur dan Ashar.

Oleh karena itu, diriwayatkan dari kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan isti'adzah."

===****===

MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :

Ada ungkapan masyhur dikalangan para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :

إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.

"Sesungguhnya perbedaan di antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .

Dan :

إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.

"Ijma’ (kesepakatan) mereka adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca : "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2)]

Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):

Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan “Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid al-Hasanah hal. 27 no, 39) :

Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:

"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"

“Perbedaan di antara para sahabat Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”

Al-Qasim ini, beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Perkataan Imam Malik (w. 179 H) kepada Harun al-Rasyid.

Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:

أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ‌إنَّ ‌اخْتِلَافَ ‌الْعُلَمَاءِ ‌رَحْمَةٌ ‌مِنْ ‌اللَّهِ ‌تَعَالَى ‌عَلَى ‌هَذِهِ ‌الْأُمَّةِ، ‌كُلٌّ ‌يَتْبَعُ ‌مَا ‌صَحَّ ‌عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ الآخِرَة".

" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."

Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"

Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:

"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."

"Aku telah melakukan al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka. Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu adalah mengikuti sunnah semata-mata." [ Baca : Hilyatul Awliyaa Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].

Ibnu Qudamah (w. 620 H) berkata:

وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، ‌اتِّفاقُهم ‌حُجَّةٌ ‌قاطِعة، ‌واخْتلافُهم ‌رحمةٌ ‌واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم (10) ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام

"Allah telah menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.

Kesepakatan pendapat mereka adalah hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca : al-Mugni 1:4-5].

Imam As-Suyuti, rahimahullah:

Dia berkata di awal risalatnya "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :

«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»

"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata: Nabi Muhammad datang dengan satu syariat, dari mana kemudian muncul empat madzhab?".

Lalu as-Suyuthi berkata :

«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...

Dan telah disebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau maknanya”.

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH : Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

PERHATIAN :

Ada hadits Nabi yang menyatakan :

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً

" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".

Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" ini tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.

Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:

"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"

"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."

Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:

وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.

" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".

====***===

MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT

Perbedaan pendapat masalah-masalah furu’ agama adalah anugerah dan rahmat dari Allah SWT untuk umat ini. Lebih jauh dari itu, sebagian para tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.

Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif, rahimahullah, muridnya Musa Al-Juhani berkata:

"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".

“Thalhah biasa mengatakan ketika kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]

Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:

"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".

“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].

Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :

"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"

“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”

Perbedaan pendapat merupakan kata yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca : al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].

Ini adalah peringatan yang halus untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.

Mereka menyukai keluasan dalam syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.

Keluasan dan kemudahan terkait dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya yang mengekspresikan “rahmat”.

Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya oleh seseorang:

سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ.

“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi .’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar ].

Dan adanya pengakuan (gagasan kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada ucapan mereka.

Diantaranya adalah sikap Imam Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".

Riwayat-riwayat bervariasi tentang siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka, tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.

Lihat dan renungkanlah kenyataan yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!

Ingatlah tindakan mereka yang mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu bab dari "Mushannaf Ibnu Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf, mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.

===****===

PARA SALAF SENANTIASA SALING MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN:

Para ulama dan para imam dari kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara mereka. 

Berikut ini adalah perkataan sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka terhadap perbedaan pendapat. 

CONTOH -NYA :

[1] SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :

Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata:

«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».

"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."

Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].

[2] ABU HANIFAH (wafat 150 H) :

Pernyataan yang serupa juga datang dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :

«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».

"Pendapat kami ini adalah sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih berhak atas kebenaran daripada kami."

Bahkan dalam "al-Intiqa" (hal. 140) beliau berkata :

«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».

"Apa yang kami tetapkan ini adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan. Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia mengemukakannya."

[3] IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):

Betapa agungnya perkataan Ibnu al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:

«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».

"Aku mendengar hadis lalu menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī anīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].

Karena perkataan itu mengandung makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .

[4] YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah berkata:

مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.

“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.” [ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]

[5] Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :

Al-Awza'i adalah salah satu imam mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr berkata 

«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».

"al-Awza'i berkata tentang orang yang mencium istrinya:

Jika dia datang bertanya kepadaku, maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak mencelanya!"  " . [Lihat pula : "al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr. Qulaji].

[6] IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):

Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.

Namun demikian telah diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

[7] IMAM AHMAD (wafat 241 H):

Dan yang serupa disebutkan tentang perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab "Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):

«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».

"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah  mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]

Dan tentang qunut shubuh,  diceritakan sebagai berikut:

فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]

Abu Dawud berkata:

«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».

"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'

Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Amad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].

Dalam "al-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:

«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».

"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].

Dan para pengikut mereka juga mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.

Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

===***===

SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUSSUNNAH DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT QUNUT SUBUH

Persoalan qunut Subuh merupakan masalah perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan sampai memecahkan barisan dan persatuan kaum muslimin.

Para imam kita telah menegaskan kaidah,

الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ

“Suatu ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh ijtihad lainnya”.

PERTAMA : AL-IMAM ASY-SYAFI’IY

Beliau adalah salah satu dari imam empat madzhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam. Beliau termasuk yang membolehkan qunut Subuh. Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut shubuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ: فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

Asy-Syafi’i ra. meninggalkan qunut pada shalat Subuh ketika beliau shalat bersama jamaah kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata asy-Syafi’iyyah (pengikut asy-Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”

[Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

KEDUA : IMAM AHMAD BIN HANBAL

Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang menolak qunut Subuh, namun beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, yaitu:

وَانْظُرُوا إِلَى الأَئِمَّةِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ مِقْدَارَ الِاتِّفَاقِ، فَقَدْ كَانَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Lihatlah para imam yang mengetahui banyak kesepakatan, adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan do’anya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”

(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

KETIGA : IMAM SUFYAN ATS-TSAURY .

Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam at-Tirmidzi yaitu,

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ

Sufyan Ats Tsauri berkata; "Jika seseorang melakukan qunut dalam shalat subuh maka itu baik, jika tidak maka itu juga baik." Dan Sufyan Ats Tsauri memilih untuk tidak melakukan qunut.

Demikian juga Ibnu Al Mubarak, ia tidak melakukan qunut dalam shalat subuh . ( Lihat : Sunan at-Turmudzy di bawah hadits no. 368 ).

KEEMPAT : IMAM IBNU HAZM (ulama madzhab adz-Dzoohiriyah) .

Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam asy-Syaukani,

وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ حَزْمٍ: كُلٌّ مِنَ الفِعْلِ وَالتَّرْكِ حَسَنٌ.

“Berkata ats-Tsauri dan Ibnu Hazm: “Siapa saja yang melakukan qunut shubuh dan yang meninggalkan-nya, adalah baik.”

KELIMA : SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH .

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut shubuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perseleihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya.” [lihat : Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam]

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa berqunut atau tidak dalam shalat shubuh , maka sholatnya tetap shahih. Perbedaan terjadi pada yang mana yang lebih utama ?.

Beliau berkata :

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ.

وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ.

فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ.

Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang yang mana yang lebih utama / lebih afdhol ?.

Begitu juga perbedaan pendapat tentang masalah-masalah yang mana yang dilakukan oleh Nabi ? seperti masalah qunut pada shubuh dan witir, mengeraskan bacaan bismillah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya , maka semua itu termasuk dalam pembahasan ini.

Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang tidak mengerasknannya juga sah shalatnya, yang berqunut shubuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir.

[Lihat : Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah]

KEENAM : IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH .

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah, beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut shubuh sebagaimana beliau uraikan dalam kitabnya “Zaadul Ma’ad”, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah merutinkannya pada shalat shubuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut shubuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat shahabat yang membid’ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah , kadang melakukan qunut dalam shalat shubuh. Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا .

“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat shubuh dan kadang meringankannya, meringankan bacaan dalam shalat Maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam subuh dan kadang dia berqunut, beliau tidak mengeraskan bacaan dalam shalat Ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadang beliau mengeraskan.” [Zaadul Ma’ad, 1/247. Muassasah Ar Risalah]

Beliau tidaklah mengingkari qunut secara mutlak, yang beliau ingkari adalah anggapan bahwa qunut subuh dilakukan terus menerus. Berikut ini ucapannya:

وَقَنَتَ فِي الفَجْرِ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا، ثُمَّ تَرَكَ القُنُوتَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ هَدْيِهِ القُنُوتُ فِيهَا دَائِمًا، وَمِنَ المَحَالِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ فِي كُلِّ غَدَاةٍ بَعْدَ اعْتِدَالِهِ مِنَ الرُّكُوعِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ..." إلخ، وَيَرْفَعُ بِذَلِكَ صَوْتَهُ، وَيُؤَمِّنُ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ دَائِمًا إِلَى أَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا.

“(Beliau) Qunut dalam shubuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat shubuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan:

اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ…” الخ

Dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. [Ibid, 1/271]

Lalu beliau mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut subuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). [HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih]

Beliau juga mengutip dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” [HR. Ad Daruquthni No. 1723]

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). ( Lihat : Nashbur Rayyah, 3/183).

Imam Al Baihaqi mengatakan : tidak shahih. (baca : Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). ( Baca : Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits.

Beliau berkata :

فَأَهْلُ الحَدِيثِ مُتَوَسِّطُونَ بَيْنَ هَؤُلَاءِ وَبَيْنَ مَنْ اسْتَحَبَّهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَغَيْرِهَا، وَهُمْ أَسْعَدُ بِالحَدِيثِ مِنَ الطَّائِفَتَيْنِ، فَإِنَّهُمْ يَقْنُتُونَ حَيْثُ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَيَتْرُكُونَهُ حَيْثُ تَرَكَهُ، فَيَقْتَدُونَ بِهِ فِي فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ، وَيَقُولُونَ: فِعْلُهُ سُنَّةٌ، وَتَرْكُهُ لِسُنَّةٍ، وَمَعَ هَذَا فَلَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ دَاوَمَ عَلَيْهِ، وَلَا يَكْرَهُونَ فِعْلَهُ، وَلَا يَرَوْنَهُ بِدْعَةً، وَلَا فَاعِلَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، كَمَا لَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ، وَلَا يَرَوْنَ تَرْكَهُ بِدْعَةً، وَلَا تَارِكَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، بَلْ مَنْ قَنَتَ، فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ تَرَكَهُ، فَقَدْ أَحْسَنَ.

Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini.

Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya.

Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunnah, meninggalkannya juga sunnah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” [Ibid, 1/274-275]

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia, mereka saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan perilaku merutinkan qunut pada shubuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi-. Namun mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وَبِالجُمْلَةِ فَتَخْصِيصُ صَلَاةِ الصُّبْحِ بِالقُنُوتِ مِنَ المَسَائِلِ الخِلَافِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ، فَمَنْ صَلَّى وَرَاءَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ خَاصَّةً قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُتَابِعَهُ، وَإِنْ كَانَ الرَّاجِحُ الِاقْتِصَارَ فِي القُنُوتِ بِالفَرَائِضِ عَلَى النَّوَازِلِ فَقَطْ.

“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah rukuk, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’, No. 902]

Syaikh Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah, beliau ditanya:

عِنْدَنَا إِمَامٌ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِصِفَةٍ دَائِمَةٍ، فَهَلْ نُتَابِعُهُ؟ وَهَلْ نُؤَمِّنُ عَلَى دُعَائِهِ؟

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat shubuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

مَن صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ فَلْيُتَابِعِ الإِمَامَ فِي القُنُوتِ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ، وَيُؤَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ بِالخَيْرِ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى.

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat shubuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada shalat shubuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. [Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177]

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jabrain Rahimahullah, beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat mazhab Syafi’i maka itu jangan ingkari.

Beliau berkata :

وَبِكُلِّ حَالٍ فَمَن قَنَتَ تَبَعًا لِلشَّافِعِيَّةِ فَلا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَلَكِنَّ الصَّحِيحَ أَنَّهُ لا يُشْرَعُ. وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْهُ ﷺ، الاِسْتِمْرَارُ عَلَيْهِ. فَالأَظْهَرُ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ بِلَا سَبَبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ. .

Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. [ lihat : Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid]

Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

===***===

SIKAP TAWADHU’ IMAM MALIK DENGAN MENOLAK PERMINTAAN TIGA KHALIFAH

Imam Malik menolak permintaan dari tiga khalifah , Abu Ja'far , al-Ma'mun dan Harun al-Rasyiid agar kitab al-Muwaththa di jadikan rujukan bagi seluruh kaum muslimin, dan melarang mereka berpatokan pada selainya. Tujuan para khalifah tersebut adalah dalam rangka untuk menyatukan kaum muslimin .

PERTAMA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH ABU JA'FAR [WAFAT 158 H]:

Ibnu Abdil-Barr berkata:

" وَذَكَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ قَالَ نَا يَحْيَى بْنُ مِسْكِينٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالا سَمِعْنَا مَالِكًا يَذْكُرُ دُخُولَهُ عَلَى أَبِي جَعْفَرٍ وَقَوْلَهُ فِي انْتِسَاخِ كُتُبِهِ فِي الْعِلْمِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‌قَدْ ‌رَسَخَ ‌فِي ‌قُلُوبِ ‌أَهْلِ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ ‌مَا ‌اعْتَقَدُوهُ ‌وَعَمِلُوا ‌بِهِ وَرَدُّ الْعَامَّةِ عَنْ مِثْلِ هَذَا عَسِيرٌ ".

Dan al-Zubayr bin Bakkaar menyebutkan, dia berkata: Yahya bin Miskiin dan Muhammad bin Maslamah memberi tahu kami, mereka berkata: Kami mendengar Malik menyebutkan kisah dirinya masuk ke Khalifah Abu Ja'far , dan perkataannya tentang pemyalinan kitab-kitabnya dalam ilmu [ hadits , atsar dan fiqih ] dan menyuruh orang-orang agar berpatokan hukum padanya :

Malik berkata: Aku berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, apa yang mereka yakini dan mereka amalkan telah tertanam kuat di hati para penduduk masing-masing daerah, dan sulit bagi masyarakat umum untuk berpaling dari hal seperti itu". [ al-Intiqoo Fi Fadholi ats-tsalatash al-Aimmah karya Ibnu Abdil Barr hal. 41].

Dan riwayat lain menunjuk ke arah yang sama.

Ibnu Asaakir meriwayatkan dari jalur “Khalid bin Nizaar Al-Aylii, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas, rahimahullah, berkata:

" دَعَانِي أَبُو جَعْفَرٍ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ لِي ‌يَا ‌أَبَا ‌عَبْدِ ‌اللَّهِ ‌إِنِّي ‌أُرِيدُ ‌أَنْ ‌أَكْتُبَ ‌إِلَى ‌الْآفَاقِ ‌فَأَحْمِلُهُمْ ‌عَلَى ‌كِتَابِ ‌الْمُوَطَّإِ حَتَّى لَا يَبْقَى أَحَدٌ يُخَالِفُكَ فِيهِ قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ تَفَرَّقُوا فِي الْبُلْدَانِ وَاتَّبَعَهُمُ النَّاسُ فَرَأَى كُلُّ فَرِيقٍ أَنْ قَدِ اتَّبَعَ مَتْبَعًا".

Abu Jaafar Amirul Mukminin memanggil saya, lalu dia berkata kepada saya: Wahai Abu Abdullah [Imam Malik] , saya ingin memperbanyak salinan kitab al-Muwaththa dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri , dan menggiring orang-orang ke kitab Muwaththa, hingga tidak ada lagi satu pun orang yang berbeda pendapat dengan Anda di dalamnya.

Malik berkata : Maka aku berkata: Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah tersebar di penjuru negeri-negeri , dan orang-orang mengikuti mereka, dan masing-masing kelompok melihat bahwa dirinya telah mengikuti orang yang berhak untuk diikuti [yakni sahabat Nabi] . [ Kasyful Mughoththo karya Ibnu Asaakir hal. 27 dan al-Muwaththa , riwayat Yahya 1/80 . Tahqiiq al-A'dzomi ]

Dan dalam riwayat lain: Imam Malik berkata :

لَمَّا حَجَّ أَباُ جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ دَعَانِي فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَحَادَثْتُهُ وَسَأَلَنِي فَأَجَبْتُهُ فَقَالَ إِنِّي عَزَمْتُ أَنْ آمُرَ بِكُتُبِكَ هَذِهِ الَّتِي قَدْ وَضَعْتَ يَعْنِي الْمُوَطَّأَ فَتُنْسَخَ نُسَخًا ثُمَّ أَبْعَثُ إِلَى كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا نُسْخَةً وَآمُرُهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِمَا فِيهَا وَلا يَتَعَدَّوْهَا إِلَى غَيْرِهَا وَيَدَعُوا مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ هَذَا الْعِلْمِ الْمُحْدَثِ فَإِنِّي رَأَيْتُ أَصْلَ الْعِلْمِ رِوَايَةَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَعِلْمَهُمْ قَالَ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَفْعَلْ هَذَا فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ أَقَاوِيلُ وَسَمِعُوا أَحَادِيثَ وَرُوُّوا رِوَايَاتٍ وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سبق إِلَيْهِمْ وَعَمِلُوا بِهِ وَدَانُوا بِهِ مِنَ اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَغَيْرِهِمْ وَإِنَّ رَدَّهُمْ عَمَّا اعْتَقَدُوهُ شَدِيدٌ ‌فَدَعِ ‌النَّاسَ ‌وَمَا ‌هُمْ ‌عَلَيْهِ ‌وَمَا ‌اخْتَارَ ‌أَهْلُ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ ‌لأَنْفُسِهِمْ فَقَالَ لَعَمْرِي لَوْ طَاوَعْتَنِي عَلَى ذَلِكَ لأَمَرْتُ بِهِ

Ketika Abu Ja`far al-Mansur berangkat haji, dia mengundang ku . Maka aku masuk padnya , lalu aku berbincang-bincang dengannya . Dan dia bertanya padaku , maka aku jawab . Lalu dia berkata :

Saya berkeinginan untuk menulis kitab-kitab Anda ini yang telah anda susun , yakni al-Muwaththa - dalam bentuk salinan, dan kemudian saya mengirimkan salinannya ke semua daerah kaum Muslimin di Mesir, memerintahkan mereka untuk bertindak dan beramal sesuai dengan itu. Dan tidak boleh melampauinya dari selain ilmu yang diperbarui ini, karena saya melihat bahwa asal usul ilmu agama itu berasal dari riwayat penduduk Madinah dan amalan mereka."

Aku [Malik] berkata : " Wahai Amirul Mukminin! Jangan engkau lakukan itu, karena sebelum mereka lahir perbedaan pendapat itu telah ada . Mereka telah mendengar hadits-hadits dan riwayat-riwayat. Dan masing-masing orang telah mengambil apa yang telah ada dan mereka telah terbiasa mengamalkannya.

Dan perbedaan-perbedaan itu mereka ambil dari para sahabat Rasulullah yang berdekatan dan juga dari yang lainnya.

Sesungguhnya mengalihkan mereka dari apa yang telah mereka yakini itu sesuatu yang berat. Maka biarkanlah orang-orang itu dengan keadaannya dan biarkanlah apa yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka sendiri."

Dia [Khalifah Abu Ja'far] berkata: " Dan sungguh usiaku sebagai tebusannya , Jika saja Anda menyutujui saya dalam hal itu, maka saya akan memerintahkannya".

[ al-Muwaththa, riwayat Yahya 1/80, Tahqiiq al-A'dzomi, al-Intiqoo ha. 41, Tarikh ath-Thobari 11/660 dan Al-Madaarik oleh al-'Iyaadh 1/191]

Kisah tersebut di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani rahimahullah , dan dia berkata :

وَأَقُولُ: إِنَّ هَذِهِ الْقِصَّةَ مَعْرُوفَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنْ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهُ

" Dan saya katakan: Kisah ini terkenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah". [Sifatusholatin Nabi hal. 63].

Abu Suleiman Al-Jundi Al-Atsari berkata :

" الرِّوَايَةُ صَحِيحَةٌ وَثَابِتَةٌ عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهُ، حَيْثُ وُرِدَتْ فِي "كَشْفِ الْمُغَطَّى فِي فَضْلِ الْمُوَطَّإِ" (ص 6) لِابْنِ عَسَاكِرَ، وَكَذَلِكَ فِي "تَذْكِرَةِ الْحُفَّاظِ" لِلْإِمَامِ الذَّهَبِيِّ (1/195)، وَكَذَلِكَ فِي "الِانْتِقَاءِ" لِابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ (ص 41).

Riwayat ini shahih dan terbukti dari Imam Malik – rahimahullah - , di mana disebutkan dalam Kasyf al-Mughothaa fi Fadhel al-Muwaththa ((hal. 6)) oleh Ibnu Asaker . Demikian juga dalam Tadhkirat al-Hafiz karya Imam al-Dhahabi - 1/195. Begitu juga - Al-Intiqaa - oleh Ibnu Abd al-Barr (hal. 41)

[ Lihat : Multaqoo Ahlil hadits – al-Maktabah asy-Syaamilah al-Hadiitsah 71/342].

Al-Muhaddits Al-A'dzomi berkata :

خُلاَصَةُ البَحْثِ: نَرَى فِي رِوَايَةِ مَعْنِ بْنِ عِيسَى، وَالوَاقِدِيِّ، وَيَحْيَى بْنِ مَسْكِينٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ، وَخَالِدِ بْنِ نَزَّارٍ الأَيْلِيِّ، وَعُتْبَةَ بْنِ حَمَّادٍ القَارِئِ الدِّمَشْقِيِّ، كُلَّ هَؤُلاَءِ، يَرْوُونَ عَنْ مَالِكٍ مَا مَفَادُهُ: أَنَّ أَبَا جَعْفَرٍ المَنْصُورَ طَلَبَ مِنَ الإِمَامِ مَالِكٍ كِتَابَهُ، فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَثْنَى عَلَيْهِ، وَأَبْدَى رَغْبَتَهُ فِي نَشْرِهِ فِي العَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ حِينَذَاكَ، وَقَدْ عَارَضَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ - لِلَّهِ دَرُّهُ - هَذِهِ الرَّغْبَةَ مِنَ الخَلِيفَةِ، وَبَيَّنَ السَّبَبَ، وَطَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَدَعَ النَّاسَ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ، وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ لِأَنْفُسِهِمْ. 

فَلَيْتَنَا نَتَّعِظُ مِنْ كَلاَمِ الإِمَامِ مَالِكٍ وَسُلُوكِهِ، لاَ سِيَّمَا مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَصْبِغَ العَالَمَ كُلَّهُ بِفِقْهِهِ، مُسَبِّبًا الفِرْقَةَ وَالإِنْشِقَاقَ وَالفِتَنَ.

Ringkasan pembahasan :

Kita melihat dalam riwayat Ma'an bin Iisaa, Al-Waqidi, Yahya bin Miskin, Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Nizaar Al-Ayli, dan Utbah bin Hammad, qoori Damaskus, semuanya , mereka meriwayatkan dari Malik sebagai berikut:

Bahwa Abu Ja'far al-Mansur meminta kepada Imam Malik untuk memberikan kitabnya, lalu dia membacanya, kemudian memujinya, dan menyatakan keinginannya untuk menerbitkannya dan menyebarkannya pada dunia Islam pada waktu itu.

Imam Malik - rahimahullah- menolak keinginan khalifah ini , menjelaskan alasannya, dan memintanya agar membiarkan orang-orang dengan apa yang telah terbiasa mereka amalkan, dan dengan apa yang telah dipilih oleh masing-masing daerah untuk diri mereka sendiri.

Marilah kita belajar dari perkataan dan perilaku Imam Malik ini , khususnya bagi orang yang bernafsu ingin mengemas dan mewarnai seluruh dunia dengan karya fikihnya, sehingga menimbulkan banyak perpecahan, perselisihan dan fitnah .

[ al-Muwaththa , riwayat Yahya 1/80 . Tahqiiq al-A'dzomi]

KEDUA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH HARUN AR-RASYID [ W. 193 H] :

Dan dari Abdullah bin Abdul Hakim, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata:

" شَاوَرَنِي هَارُونُ الرَّشِيدُ فِي ثَلَاثٍ فِي أَنْ يُعَلِّقَ الْمُوَطَّأَ فِي الْكَعْبَةِ وَيَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَا فِيهِ، وَفَى أَنْ يَنْقُضَ مِنْبَرَ النَّبِيِّ ﷺ وَيَجْعَلَهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ وَفَى أَنْ يُقَدِّمَ نَافِعَ بْنَ أَبِي نُعَيْمٍ إِمَامًا يُصَلِّي فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمَّا تَعْلِيقُ الْمُوَطَّأِ فِي الْكَعْبَةِ فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ اخْتَلَفُوا فِي الْفُرُوعِ وَتَفَرَّقُوا فِي الْآفَاقِ وَكُلٌّ عِنْدَ نَفْسِهِ مُصِيبٌ، وَأَمَّا نَقْضُ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَاتِّخَاذُكَ إِيَّاهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ فَلَا أَرَى أَنْ تَحْرِمَ النَّاسَ أَثَرَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَمَّا تَقْدِمَتُكَ نَافِعًا إِمَامًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَإِنَّ نَافِعًا إِمَامٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَلَا يُؤْمَنُ أَنْ تَنْدُرَ مِنْهُ نَادِرَةٌ فِي الْمِحْرَابِ فَتُحْفَظَ عَلَيْهِ، قَالَ: وَفَّقَكَ اللهُ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ ".

Harun Al-Rasyid mengajak bermusyawarah dengan saya tentang tiga hal;

1] Tentang kitab al-Muwaththa digantung di Ka'bah dan membawa orang-orang untuk mengikuti apa yang ada di dalamnya.

2] Tentang mimbar Nabi untuk dihancurkan lalu dibuatkan untuknya dari permata, emas dan perak.

3] Dan tentang Naafi' bin Abi Nua'im agar ditunjuk sebagai imam shalat di masjid Rasulullah .

Aku berkata: Wahai Amirul Mukminin; Adapun untuk menggantungkan al-Muwaththa di Ka'bah, maka para sahabat Rasulullah telah berbeda-beda dalam cabang-cabang agama dan mereka telah terpencar di segala penjuru negeri , dan masing-masing yang ada pada diri mereka adalah benar .

Adapun untuk menghancurkan mimbar Rasulullah lalu membuatkan untuknya dari permata, emas dan perak, maka saya berpandangan tidak boleh mengharamkan manusia untuk menjaga peninggalan Nabi .

Adapun pengangkatan anda terhadap Nafi' sebagai imam shalat di masjid Rasulullah , maka Nafi' adalah seorang imam dalam qira'ah , tidak perlu khawatir dia akan jarang di mihrab, maka dengan demikian akan terjaga dengan baik.

Lalu dia [Harun ar-Rasyid] berkata: " Semoga Allah memberimu taufiq , wahai Abu Abdullah".

[Lihat : Hilyatul Awliyaa 6/332 dan (Tahdzib nya ) 2/ 360 ].

KETIGA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH AL-MA'MUUN [ W. 198 H] :

Dari Abu Mushir , dia berkata:

" سَأَلَ الْمَأْمُونُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ هَلْ لَكَ دَارٌ؟ فَقَالَ: لَا، فَأَعْطَاهُ ثَلَاثَةَ آلَافِ دِينَارٍ وَقَالَ: اشْتَرِ لَكَ بِهَا دَارًا قَالَ: ثُمَّ أَرَادَ الْمَأْمُونُ الشُّخُوصَ وَقَالَ لِمَالِكٍ: ‌تَعَالَ ‌مَعَنَا ‌فَإِنِّي ‌عَزَمْتُ ‌أَنْ ‌أَحْمِلَ ‌النَّاسَ ‌عَلَى ‌الْمُوَطَّأِ ‌كَمَا ‌حَمَلَ ‌عُثْمَانُ ‌النَّاسَ عَلَى الْقُرْآنِ فَقَالَ لَهُ: مَا لَكَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلٌ، وَذَلِكَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ افْتَرَقُوا بَعْدَهُ فِي الْأَمْصَارِ فَحَدَّثُوا فَعِنْدَ كُلِّ أَهْلِ مِصْرٍ عِلْمٌ وَلَا سَبِيلَ إِلَى الْخُرُوجِ مَعَكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ». وَقَالَ: «الْمَدِينَةُ تَنْفِي خَبَثَهَا كَمَا ينْفَى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ» وَهَذِهِ دَنَانِيرُكُمْ فَإِنْ شِئْتُمْ فَخُذُوهُ وَإِنْ شِئْتُمْ فَدَعُوهُ".

Al-Ma'mun bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah : Apakah kamu punya rumah? Dia berkata: Tidak". Lalu dia memberinya tiga ribu dinar dan berkata: Belikan rumah untukmu dengan itu.

Dia [Abu Mushir] berkata : Kemudian Al-Ma'mun mengajak para tokoh. Lalu Dia berkata kepada Malik, "Ikutlah dengan kami, karena aku bertekad membuat orang-orang mengikuti Muwaththa' sebagaimana Utsman membawa orang-orang ke Al-Qur'an [Mushaf Utsmani]."

Dia berkata kepadanya : Tidak ada jalan untuk itu, karena para sahabat Nabi – radhiyallahu 'anhum - terebar setelah dia ke kota-kota yang berbeda , lalu mereka menyampaikan hadits-hadits, maka penduduk masing-masing kita memiliki ilmu tertentu, dengan demikian maka tidak jalan untuk keluar bersama anda.

Nabi bersabda :

(Dan Madinah lebih baik bagi mereka jika mereka hanya tahu)

Dan beliau juga bersabda :

(Madinah menghilangkan kotorannya seperti las pendai besi menghilangkan karat dari besi)

Dan ini adalah dinar Anda, jika Anda mau, ambillah, dan jika Anda mau, tinggalkan.

[Lihat : Hilyatul Awliyaa 6/331 dan (Tahdzib nya ) 2/ 359 ].


Posting Komentar

0 Komentar