Inilah beberapa nasihat emas imam kaum muslimin dalam perbedaan pendapat.
Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” [Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133]
Pandangan Imam Malik Rahimahullah
Imam
Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik):
“Ingatlah bahwa para shahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu
memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” [Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al
Maktabah At Taufiqiyah]
Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:
“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” [Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah]
Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.
Nasihat Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah,
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” [Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H]
NASIHAT IMAM AN-NAWAWI Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam]
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.
Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah, ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” [Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah]
Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, ketika membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” [Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56]
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktivitas dan penganekaragaman furu’ (cabang)-nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” [Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58]
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut shubuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” [Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292]
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” [Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224]
Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama).
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” [Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 1. hal. 383-384]
Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” [Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25]
Di bawah bimbingan Abu Haitsam Fakhry.
0 Komentar