KEWAJIBAN ORANG TUA MENGKADER ANAKNYA AGAR MENJADI CERDAS DALAM DALAM MENGELOLA HARTA DAN MENGEMBANGKAN USAHA
بسم الله الرحمن الرحيم
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
TERUTAMA KEWAJIBAN PARA WALI ANAK YATIM TERHADAP ANAK YATIM
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
” مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“
(ابتغوا في مال اليتيم أو أموال اليتامى لا تذهبها ولا تستهلكها الصدقة)
وهذا مرسل إلا أن الشافعي رحمه الله أكده بالاستدلال بالخبر الأول وبما روي عن الصحابة رضي الله عنهم
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH [ SAFIIH : ORANG YANG TIDAK CERDAS MENGELOLA HARTA] MESKIPUN HARTA ITU HAK MILIK SI SAFIIH TERSEBUT
ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾".
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾
LARANGAN MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH
[[حَجْر bukan هَجْر]]
Hajer adalah Penahanan harta milik orang yang belum cerdas mengelola-nya)
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
Artinya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)
Allah SWT melarang para orang tua, para wali anak yatim dan penguasa menyerahkan harta kepada para safiih (orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta tersebut hak milik para safiih tadi. Dan tidak boleh membiarkan orang yang safiih mengelola hartanya, meski sudah berada ditangannya.
Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian syariat Islam dalam menjaga serta melindungi harta umatnya.
Allah Ta'ala memerintahkan untuk menjaga harta benda, dan menjadikan karantina harta Safiih sebagai salah satu cara untuk melindungi mereka yang tidak mampu mengelola kekayaannya dengan baik seperti orang gila, atau mereka yang berpotensi menghamburkan hartanya seperti anak kecil, atau mereka yang cenderung menghamburkan secara sembrono, atau mereka yang berpotensi merugikan hak orang lain seperti orang yang terlilit hutang.
Allah telah memberlakukan karantina [Hajr] sebagai bentuk perlindungan terhadap harta mereka, untuk melindungi kepentingan orang yang dikarantina dengan menjaga harta dan hak-haknya, serta untuk menghindari kerugian bagi orang lain dan melindungi hak-hak mereka.
ORANG-ORANG YANG HARUS DI HAJER [ DI TAHAN HARTANYA].
أكْثَرُ عُلمَاءِ الأمْصارِ من أهْلِ الحِجَازِ، والعِرَاقِ، والشَّامِ، ومِصْرَ، يَرَوْنَ الحَجْرَ على كل مُضَيِّعٍ لِمَالِه، صَغِيرًا كان أو كَبِيرًا.
“Sebagian besar ulama dari Hijaz, Irak, Syam, dan Mesir melihat bahwa karantina harta berlaku bagi setiap orang yang ceroboh dalam mengelola hartanya, baik itu jumlahnya sedikit atau banyak". [Lihat: al-Mughni karya Ibnu Quddaamah 6/595].
Jenis-jenis Hajr [Karantina harta]:
Hajr [Karantina harta] terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Karantina untuk melindungi hak pribadi sesesorang, seperti karantina terhadap harta anak yang masih kecil, orang yang ceroboh, orang yang boros, dan orang yang gila, demi menjaga harta mereka.
Kedua: Karantina untuk melindungi hak orang lain, seperti karantina harta terhadap orang yang terlilit hutang demi melindungi kreditor, dan karantina terhadap orang yang sakit parah yang berpotensi meninggal dunia demi melindungi ahli warisnya."
KISAH SAHABAT ABDULLAH BIN AZ-ZUBAIR MENGHAJER alias MENYITA HARTA AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHA
Abdullah bin az-Zubair bin al-Awaam , ibunya adalah Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiiq. Kakak kandung ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha .
Beliau pernah menyita seluruh harta bibinya , Aisyah ; karena setiap kali mendapatkan rezki , maka Aisyah selalu mensedakahkan semuanya , tanpa ada yang tersisa.
Dari 'Urwah bin Az
Zubair berkata :
كانَ عبدُ اللَّهِ بنُ الزُّبَيْرِ أحَبَّ البَشَرِ إلى عَائِشَةَ بَعْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَبِي بَكْرٍ، وكانَ أبَرَّ النَّاسِ بهَا، وكَانَتْ لا تُمْسِكُ شيئًا ممَّا جَاءَهَا مِن رِزْقِ اللَّهِ إلَّا تَصَدَّقَتْ، فَقالَ ابنُ الزُّبَيْرِ: يَنْبَغِي أنْ يُؤْخَذَ علَى يَدَيْهَا، فَقالَتْ: أيُؤْخَذُ علَى يَدَيَّ؟! عَلَيَّ نَذْرٌ إنْ كَلَّمْتُهُ، فَاسْتَشْفَعَ إلَيْهَا برِجَالٍ مِن قُرَيْشٍ، وبِأَخْوَالِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، فَامْتَنَعَتْ، فَقالَ له الزُّهْرِيُّونَ أخْوَالُ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، منهمْ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ الأسْوَدِ بنِ عبدِ يَغُوثَ، والمِسْوَرُ بنُ مَخْرَمَةَ: إذَا اسْتَأْذَنَّا فَاقْتَحِمِ الحِجَابَ، فَفَعَلَ فأرْسَلَ إلَيْهَا بعَشْرِ رِقَابٍ فأعْتَقَتْهُمْ، ثُمَّ لَمْ تَزَلْ تُعْتِقُهُمْ حتَّى بَلَغَتْ أرْبَعِينَ، فَقالَتْ: ودِدْتُ أنِّي جَعَلْتُ حِينَ حَلَفْتُ عَمَلًا أعْمَلُهُ فأفْرُغَ منه.
'Abdullah bin Az Zubair adalah orang yang paling disayangi oleh 'Aisyah radliallahu 'anha setelah Nabi ﷺ dan Abu Bakr dan juga orang yang Aisyah paling banyak berbuat kebajikan kepadanya.
'Aisyah radliallahu 'anha [sangat dermawan] sehingga dia tidak pernah sekalipun menahan rejeki dari Allah, melainkan dia pasti langsung mensedekahkannya.
Maka suatu kali Ibnu-Zubair berkata; "Sebaiknya hartanya diambil [dihajer] dari kedua tangannya."
Maka 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Apakah hartaku hendak diambil [disita] dari kedua tanganku? Kalau begitu Aku bernadzar untuk tidak bicara dengannya [dengan Abdullah]”.
Maka Adullah mencoba untuk meminta bantuan dari beberapa orang dari kalangan Quraisy terutama paman-paman (dari pihak ibu) Nabi ﷺ untuk membujuk 'Aisyah agar memaafkannya dan membatalkan nadzarnya . Namun 'Aisyah radliallahu 'anha tetap menolaknya.
Maka kaum bani Zuhrah, yaitu paman-paman Nabi ﷺ (dari pihak ibu), yang diantaranya adalah 'Abdur Rahman bin Al Aswad bin 'Abdu Yaghuts dan al-Miswar bin Makhramah mengatakan kepada Abdulah bin Zubair :
"Kalau begitu, kami berdua (Abdurrahman dan Miswar) akan minta idzin menemui Aisyah, lalu bukakanlah pintu nya !“.
Maka Abdullah pun melakukannya , lalu dia menyerahkan sepuluh budak kepada 'Aisyah radliallahu 'anha untuk dimerdekakan semuanya [sebagai bayar kafarat / penghapus kewajiban nadzarnya].
Dan Aisyah terus saja membebaskan para budak hingga jumlahnya mencapai empat puluh budak . Lalu 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Aku senang sekali bila telah mengucapkan sumpah (nadzar) untuk terus menerus mengerjakannya sehingga menyelesaikannya."[HR. Bukhori no. 3505 ]
Dalam riwayat Imam Bukhori yang lain : Dari 'Auf
bin Malik bin Ath Thufail -yaitu Ibnu Al Harits ia adalah anak saudara seibu
Aisyah, isteri Nabi ﷺ :
أنَّ عائشةَ
حُدِّثَتْ أنَّ عبدَ اللهِ بنَ الزُّبَيرِ قال في بَيْعٍ أوْ عَطَاءٍ أَعْطَتْهُ
عائشةُ واللهِ لَتَنْتَهيَنَّ عائشةُ أوْ لَأَحْجُرَنَّ عليْها فقالتْ
أَهُوَ قال هذا قالوا نَعَمْ قالتْ هو للهِ عليَّ نَذْرٌ أنْ لا أُكَلِّمَ ابنَ
الزُّبَيرِ أبدًا فَاسْتَشْفَعَ ابْنُ الزُّبَيرِ إليها حينَ طَالَتِ الهِجْرَةُ
فقالتْ واللهِ لا أُشَفِّعُ فيهِ أحدًا أبدًا ولا أَتَحَنَّثُ إلى نَذْرِي فلمَّا
طَالَ ذلكَ على ابنِ الزُّبَيرِ كَلَّمَ المِسْوَرَ بنَ مَخْرَمَةَ وعَبْدَ
الرحمنِ بنَ الأَسْوَدِ بنِ عَبْدِ يَغُوثَ وهُما من بَنِي زُهْرَةَ فقال
لهُماأنْشُدُكُما باللهِ لمَّا أَدْخَلْتُمانِي على عائشةَ فإنَّها لا يَحِلُّ لها
أنْ تَنْذِرَ قَطِيعَتِي فَأَقْبَلَ بهِ المِسْوَرُ وعَبْدُ الرحمنِ
مُشْتَمِلَيْنِ بِأَرْدِيَتِهما حتى اسْتَأْذَنا على عائشةَ فَقَالا السلامُ
عَلَيْكِ ورَحْمَةُ اللهِ وبَرَكَاتُهُ أَنَدْخُلُ قالتْ عائشةُ ادْخُلوا قالا
كلُّنا يا أُمَّ المؤمنينَ قالتْ نَعَمِ ادْخُلوا كلُّكُمْ ولا تعلمُ أن مَعَهُما
ابنَ الزُّبَيرِ فلمَّا دَخَلوا دخلَ ابْنُ الزُّبَيرِ الحِجَابَ فَاعْتَنَقَ
عائشةَ وطَفِقَ يُناشِدُها ويَبكي وطَفِقَ المِسْوَرُ وعَبْدُ الرحمنِ
يُناشِدْنَها إِلَّا ما كَلَّمَتْهُ وقَبِلَتْ مِنْهُ ويقولُان إنَّ النَّبي صلَّى
اللهُ عليهِ وسلَّمَ نهى عن ماعَلِمْتِ مِنَ الهِجْرَةِ فإنَّهُ لا يَحِلُّ
لِمسلمٍ أنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثلاثِ لَيالٍ فلمَّا أكثرُوا على عائشةَ مِنَ
التَّذْكِرَةِ والتَّحْرِيجِ طَفِقَتْ تُذَكِّرُهُما وتبكي وتَقُولَ إنِّي قد
نذرْتُ وتَبْكِي وتقولُ إنِّي نَذَرْتُ والنَّذْرُ شَدِيدٌ فلمْ يَزَالا بِها حتى
كَلَّمَتِ ابنَ الزُّبَيرِ وأعتقَتْ في نَذْرِها أربعينَ رَقَبَةً وكانَتْ
تَذْكُرُ نَذْرَها بعدَ ذلكَ فَتَبْكِي حتى تَبُلَّ دُمُوعُها خِمارَها
Bahwa ‘Aisyah mendapatkan kabar : Bahwa Abdullah bin Zubair berkata tentang
penjualan (rumah) atau pemberian yang di berikan Aisyah kepadanya, maka
Abdullah berkata ;
"Demi Allah, Aisyah segera membatalkan penjualan (rumah) atau aku akan
menyitanya [حَجْر]."
Aisyah berkata; "Apakah dia (Ibnu Zubair) mengatakan seperti
itu?". Mereka menjawab ; "Ya." [Aisyah] berkata;
"Demi Allah, saya bernadzar untuk tidak berbicara kepada Ibnu Zubair
selamanya."
Maka Ibnu Zubair pun meminta
ma'af kepada Aisyah ketika Aisyah lama mendiamkannya. Namun Aisyah tetap
berkata : "Tidak, demi
Allah, aku tidak akan mema'afkannya dan tidak pula menghentikan nadzarku."
Ketika hal itu dirasakan Ibnu Zubair cukup lama, maka Ibnu Zubair
berkata kepada Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Al Aswad bin Abd
Yaghuts, yang keduanya adalah dari Kabilah Zuhrah : "Aku bersumpah atas nama Allah,
ketika kalian berdua memasukkanku ke rumah Aisyah, maka aku akan berkata padanya : sesungguhnya tidak halal
baginya bernadzar untuk memutuskan tali silaturrahmi".
Lantas Al Miswar dan Abdurrahman bersedia melakukannya dan pergi menemui Aisyah dengan mengenakan mantelnya, kemudian keduanya meminta
izin kepada Aisyah, katanya; "Assalamu 'alaiki warahmatullahi wabarakutuh,
apakah aku boleh masuk?"
Aisyah menjawab; "Masuklah
kalian." Mereka berkata; "Kami semua." Aisyah menjawab;
"Ya, kalian semua."
Aisyah tidak tahu kalau Ibnu
Zubair juga ada bersama mereka berdua, ketika mereka masuk rumah, Ibnu Zubair
pun masuk ke dalam ruangan Aisyah, dan langsung memeluknya. Setelah itu Ibnu
Zubair pun menasihati Aisyah sambil menangis, kemudian Al-Miswar dan
Abdurrahman juga ikut menasihatinya.
Keduanya berkata,
"Sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang untuk mendiamkan orang lain sebagaimana
yang telah engkau ketahui, sesungguhnya tidak halal bagi seorang muslim
mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari."
Ketika nasehat itu mengalir terus kepada Aisyah, Aisyah segera ingat mengenai nadzarnya dan menangis, lalu beliau berkata ;
"Sesungguhnya aku telah bernadzar, dan nadzar tersebut sangatlah berat",
Dan keduanya masih saja seperti itu hingga Aisyah mau berbicara kepada Ibnu Zubair. Setelah itu Aisyah memerdekakan empat puluh budak karena nadzarnya.
Dan setelah itu Aisyah setiap kali ingat nadzarnya, iapun menangis sehingga air matanya membasahi jilbabnya." [HR. Bukhori no. 5611].
Alasan Abdullah bin Az-Zubair menghajer harta bibinya Aisyah (ra) adalah sbb :
Bukankan Allah SWT berfirman tentang ciri hamba ar-Rahman itu jika dia
menginfaqkan hartanya , tidaklah berlebihan ?
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih)
orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, [pertengahan] di
antara keduanya secara wajar [QS. Al-Furqoon
: 67]
وَلَا تَجْعَلْ
يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu [pelit] dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya [berlebihan] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [QS. Al-Isra
: 29]
Tafsirnya :
29-30. Allah memberi petunjuk
kepada orang-orang beriman untuk berinfak sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan: “Janganlah kamu menahan tanganmu untuk berinfak di jalan kebaikan
dan jangan pula berlebih-lebihan dalam berinfaq sehingga tidak tersisa
sedikitpun harta di tanganmu, karena itu akan membuatmu terhina di hadapan
Allah dan para makhluk, dan membuatmu menyesal karena telah menghabiskan harta
[Baca : Tafsir Al-Madinah
Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr.
Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah]
Tafsir lain :
Dan janganlah engkau menahan tanganmu dari berinfak di jalan kebaiakan,
sebagai tindakan menyempitkan dirimu, keluargamu dan orang-orang yang
membutuhkan, dan janganlah pula berlebihan dalam berinfak, hingga engkau
memberikan apa yang melebihi kemampuanmu, akibatnya engkau duduk dalam keadaan
tercela, orang-orang mencaci dan mencelamu, lagi menyesal atas sikap mubadzirmu
dan habisnya hartamu
[Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia]
Dan firman Allah Swt :
Artinya : “ 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta ) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian' (An-Nisa: 5).
*****
TAKUTLAH ANDA MENINGGALKAN ANAK ANDA DALAM KEADAAN LEMAH, MISKIN & MENJADI PENGEMIS !!!!
Allah SWT berfirman :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang tepat [ benar ]” (Q.S An-Nisa : 9)
Menurut sebagian para ahli tafsir : kata " ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا " pada ayat diatas mencakup makna yang luas. Kata “lemah” pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dalam sisi aqidah, agama , ekonomi , sosial , keilmuan dan lainnya .
Maka dengan demikian dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para orang tua untuk mempersiapkan generasi setelah mereka . Jangan sampai generasi–generasi di bawah mereka menjadi generasi yang lemah.
Lemah di sini seperti yang di sebutkan diatas , maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah makna yang mutlak dan umum. Baik berkaitan dengan kelemahan aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya
Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh.
Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah Al-tafasir menyebutkan :
نزلت
هذه الآية في الأوصياء والمعنى: تذكر أيها الوصي ذريتك الضعاف من بعدك؛ وكيف يكون حالهم
بعد موتك؛ وعامل اليتامى الذين وكل إليك أمرهم وتربوا في حجرك؛ بمثل ما تريد أن
يعامل أبناؤك بعد فقدك
“Ayat ini diturunkan kepada para pelaksana / pengemban wasiat , dan artinya: Wahai pelaksana wasiat , ingatlah akan anak keturunanmu yang lemah. Dan bagaimana kelak keadaan mereka setelah kematianmu ?
Dan perlakukanlah pula
para anak yatim yang dititipkan kepadamu. Didiklah mereka dalam asuhanmu . Samakan
seperti halnya kamu berkeinginan dalam memperlakukan anak-anak mu setelah kehilanganmu".
Berikut ini ada sebuah hadits yang sangat tegas menganjurkan para orang tua sebelum meninggal untuk "MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK" .
Dari seorang sahabat yang bernama Sa'ad bin Abi
Waqosh RA berkata;
Nabi SAW datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya.
Beliau bersabda; "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'".
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku".
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan: "Setengahnya"
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan lagi: "Sepertiganya".
Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka.
Sesungguhnya apa saja yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.
Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang lainnya".
Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. (HR. Bukhori No. 2537)
Coba perhatikan sabda Beliau SAW !!! : " Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka."
MELATIH ANAK AGAR TERBIASA HIDUP HEMAT
{وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا}
Dan [hamba ar-Rahman itu adalah] orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir. (Al-Furqan:
67)
Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat ini
berkata :
Yakni mereka tidak
menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan,
tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga
dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan hartanya
dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik
perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan
dan tidak pula kikir.
{وَكَانَ
بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 67)
Seperti pengertian yang terdapat di
dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَلا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا}
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. (Al-Isra:
29), hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Isham ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu
Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Tamim Al-Gassani, dari Damrah, dari Abu Darda,
dari Nabi Saw. yang telah mengatakan:
"مِنْ
فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".
“Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam
penghidupannya”.
[HR. Ahmad 5/194 no. 21695. Di dhaifkan oleh Syu’aib al-Arna’uth]
Akan tetapi, mereka (Para penulis kitab as-Sunan) tidak ada yang
mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Abu Ubaidah Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami
Miskin ibnu Abdul Aziz Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim
Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan : bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَا
عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"
“Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin”.
["Al-Musnad (1/447) dan al-Haitsami berkata dalam al-Majma' (10/252),
'Dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Muslim al-Hijri, dan dia adalah lemah”].
Mereka (Ahlus Sunan) tidak ada yang
mengetengahkan hadis ini.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami
Sa'd ibnu Hakim, dari Muslim ibnu Habib, dari Bilal Al-Absi, dari Huzaifah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا
أَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ، وَأَحْسَنَ
الْقَصْدَ فِي الْعِبَادَةِ"
Betapa baiknya sikap ekonomis dalam
keadaan berkecukupan, dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan fakir,
dan betapa baiknya sikap ekonomis (pertengahan) dalam (hal) ibadah.
["Musnad al-Bazzar dengan nomor (3604) dan al-Haitsami berkata dalam
al-Majma' (10/252): 'Al-Bazzar meriwayatkannya dari Sa'id bin Hakim dari Muslim
bin Habib, dan Muslim bin Habib ini saya tidak menemukan kecuali dalam catatan
Ibnu Hibban dalam deskripsi perawi Sa'id yang meriwayatkannya, dan sisa para
perawinya adalah orang-orang yang dipercayai”].
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa
ia tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis Hudzaifah r.a.
Iyas bin Mu’awiyah berkata :
" مَا جَاوَزْتَ بِهِ أَمْرَ اللَّهِ فَهُوَ سَرَفٌ ".
“ Apa saja yang melampaui apa yang diperintahkan Allah adalah pemborosan”.
Yang lainnya berkata :
" السَّرَفُ النَّفَقَةُ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ".
“Pemborosan itu nafkah untuk bermaksiat kapada Allah “
Al-Hasan Al-Basri mengatakan :
"لَيْسَ النَّفَقَةُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَرَفًا".
“Infaq harta dijalan Allah bukanlah pemborosan”.
[Baca : Tafsir Ibnu Katsir 6/124]
https://www.noonpost.com |
0 Komentar