BENARKAH MANDI BARENG SUAMI ISTRI SAMBIL BERCANDA REBUTAN GAYUNG ITU DISUNNAHKAN
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
======
===
بسم الله الرحمن
الرحيم
===***===
PENDAHULUAN
Ada seorang da'i dalam ceramahnya yang
di share di Youtube menyatakan: bahwa ada SUNNAH Nabi ﷺ yang ditinggalkan oleh kaum muslimin, yaitu:
" MANDI BARENG SUAMI ISTRI SAMBIL BERCANDA REBUTAN GAYUNG "
Da'i tersebut berdalil dengan hadits-hadits berikut ini:
HADITS PERTAMA:
Hadits Aisyah (RA), dia menceritakan:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ
أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي
وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ دَعْ لِي ، دَعْ لِي ،
قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ.
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah ﷺ dari satu bejana (yang terletak)
antara aku dan beliau. Kemudian beliau bergegas mendahuluiku (dalam mengambil
air dari bejana) hingga aku berkata: “Sisakan air buatku, sisakan air buatku”.
Ia berkata: “Mereka berdua kala itu
dalam keadaan junub.” (HR. Bukhari no. 261 dan Muslim no. 321).
HADITS KEDUA:
Hadits Ibnu Abbas (RA), dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ كَانَا يَغْتَسِلَانِ مِنْ إِنَاءٍ
وَاحِدٍ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ dan Maimunah keduanya pernah
mandi bersama dengan air dari satu wadah yang sama” (HR. Bukhari no. 250,
Muslim no. 322.)
Untuk memotivasi orang-orang agar tidak
meninggalkan amalan sunnah mandi bareng rebutan gayung ini, maka sang Da’i tersebut
menyebutkan sebuat hadits dan pepatah:
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa
“Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya :
"لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ
شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ".
‘Janganlah engkau meremehkan perbuatan baik meskipun kecil dan
sepele, kendati hanya berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri.’” [HR. Muslim no. 2626]
Pepatah mengatakan :
لَا
تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، فَإِنَّ الْجِبَالَ تُبْنَى مِنَ الْحَصَى
“Jangan meremehkan kebaikan sekecil apa pun, karena gunung terbentuk dari kerikil !!!”.
FIQIH HADITS:
Sepengetahuan penulis: penulis belum
menemukan seorang ulama pun yang mu'tabar pendapatnya yang mengatakan:
" Bahwa hadits ini menunjukkan
akan Sunnahnya mandi bareng suami istri sambil bercanda rebutan gayung ".
Yang penulis temukan dari para ulama,
mereka hanya beristinbath dari hadits-hadits tsb pada sekitar 3 hukum:
Pertama:
Bolehnya mandi bersama suami istri,
bukan sunnah.
Kedua:
Boleh nya lelaki dan perempuan mandi
dengan menggunakan air dari satu wadah yang sama. [Yang di maksud boleh di sini
adalah menggunakan air bareng dari satu wadah. Adapun hukum mandi bareng para
lelaki dan para wanita diwaktu yang sama; maka itu beda pembahasan].
Dan boleh kaum pria mandi dengan
menggunakan sisa air mandi kaum wanita dari satu wadah air. Dan juga
sebaliknya.
Ketiga:
Bolehnya suami istri melihat kemaluan
pasangannya.
===***===
PERTAMA & KEDUA:
HUKUM SUAMI ISTRI MANDI BERSAMA & HUKUM SISA AIR MASING-MASING.
Dalam الدُّرَرُ السَّنِيَّةُ
di sebutkan:
اغتسالُ الرَّجُلِ
وزوجَتِه من إناءٍ واحدٍ؛ جائزٌ، وهذا باتِّفاقِ المَذاهِبِ الفِقهيَّةِ الأربعة:
الحنفيَّة، والمالكيَّة، والشَّافعيَّة، والحنابلة، واختاره ابنُ حَزمٍ الظاهريُّ،
وحُكِيَ في ذلك الإجماعُ
Seorang pria dan istrinya mandi dari
satu bejana ; itu diperbolehkan, dan ini berdasarkan kesepakatan empat mazhab
fiqih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Dan ini adalah yang dipilih oleh Ibnu
Hazm adz-Dzoohiri.
Dan di riwayatkan adanya IJMA' dalam
hal ini ".
Lihat Referensi:
((Al-Mabshuut)) oleh Al-Sarakhsi
(1/60), ((Al-Fataawa Al-Hindiyah)) (1/16), ((Mawahib Al-Jaliil)) oleh Al-Hattab
(1/72), dan lihat: ((Al-Mudawwanah Al-Kubra)) (1/122), ((Bidayat Al-Mujtahid))
oleh Ibn Rusyd (1 /31), ((Al-Majmu') oleh Al-Nawawi (2/190, 191), dan lihat:
((Al-Haawi Al-Kabiar)) oleh Al-Mawardi (1/231), ((Al-'Iqnaa)) oleh Al-Hijawi
(1/7), ((Kashshaf Al-Qinaa)) oleh Al-Bahuuti (1/37), ((Al-Muhallaa)) oleh Ibn
Hazem (1/204)
Imam At-Tirmidzi berkata:
(وهو قولُ عامَّةِ الفُقَهاءِ:
أنْ لا بأسَ أن يغتسلَ الرَّجُلُ والمرأةُ من إناءٍ واحد)
(Ini adalah pendapat pada umumnya para
ulama ahli Fiqih: bahwa tidak mengapa bagi seorang suami dan istrinya mandi
dari satu bejana). ((Sunan Al-Tirmidzi)) (62).
Al-Haafidz Al-Iraqi berkata:
(... فيه حُجَّةٌ
للجمهورِ؛ أنَّه لا بأس أن يتوضَّأ الرَّجلُ بفَضْل وضوء المرأة كعكسِه، وأنَّه لا
بأس بوضوئِهما واغتسالِهما جميعًا)
(... di dalamnya ada argumentasi bagi
Jumhur ulama: bahwa tidak mengapa laki-laki berwudhu dengan air sisa wudhu
perempuan, sebagaimana sebaliknya. Dan tidak mengapa dengan sisa air wudhu
keduanya dan sisa air mandi keduanya). (( Baca: طرح التثريب))
(2/35).
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim [4/2] ketika mensyarahi hadits diatas beliau menjelaskan bahwa mandi
bareng suami-istri itu hanya boleh-boleh saja. Beliau berkata:
أما تطهير الرجل
والمرأة من إناء واحد، فهو جائز بإجماع المسلمين
“Adapun bersuci (mandi bersama) suami
dan istri dalam satu wadah, hukumnya boleh berdasarkan IJMA’ kaum muslimin.”
Dan An-Nawawi dalam kitab al-Majmu'
(2/190-191) berkata:
(اتَّفق العُلَماءُ
على جوازِ وُضوء الرَّجُل والمرأةِ، واغتسالِهما جميعًا من إناءٍ واحد؛ لهذه
الأحاديثِ السابقة)
“Para ulama telah sepakat bahwa
diperbolehkan bagi seorang pria dan seorang wanita bersama-sama untuk berwudhu,
dan mandi dengan air dari satu wadah, berdasarkan hadits-hadits yang lalu.”
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
(أمَّا اغتسالُ
الرِّجالِ والنِّساءِ جميعًا من إناءٍ واحدٍ، فلم يتنازَعِ العُلَماءُ في جوازِه،
وإذا جاز اغتسالُ الرِّجالِ والنساءِ جميعًا، فاغتسالُ الرِّجال دون النِّساء
جميعًا، أو النِّساءِ دون الرِّجال جميعًا؛ أَوْلى بالجواز، وهذا ممَّا لا نِزاع
فيه. فمَن كرِه أن يغتسلَ معه غيرُه، أو رأى أنَّ طُهرَه لا يتمُّ حتى يغتسلَ
وَحدَه، فقد خرَج عن إجماعِ المُسلمين، وفارَق جماعةَ المؤمنين).
(Adapun mandi para lelaki dan para
wanita [dengan air] bersama dari satu wadah, maka para ulama tidak
mempermasalahkan akan kebolehannya.
Jika diperbolehkan mandi para lelaki
dan para wanita bersama-sama [dengan air dari satu wadah], maka mandinya para
laki-laki bersama-sama tanpa para wanita [dengan air dari satu wadah], atau
para wanita tanpa para laki-laki ; maka itu lebih utama diperbolehkan. Dan ini
adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan [antar para ulama].
Barang siapa yang memakruhkan mandi
seseorang dengan orang lain, atau berpendapat bahwa tidak sempurna bersucinya
kecuali jika dia mandi sendiri, maka dia telah keluar dari ijma' kaum muslimin
dan memisahkan diri dari jemaah kaum mukminin. [Baca: Majmu' Fatawa Ibnu
Taimiyah 21/51].
Tetapi Ibnu Hajar berkomentar:
(نقَل الطحاويُّ،
ثمَّ القرطبيُّ والنوويُّ الاتِّفاقَ على جوازِ اغتسالِ الرَّجُل والمرأة من
الإناءِ الواحِدِ، وفيه نظر؛ لِما حكاه ابنُ المُنذِر عن أبي هُريرةَ أنَّه كان
ينهى عنه، وكذا حكاه ابنُ عبدِ البَرِّ عن قومٍ، وهذا الحديث حُجَّةٌ عليهم).
(Al-Thahawi, kemudian Al-Qurtubi dan
Al-Nawawi mengutip kesepakatan para ulama bahwa diperbolehkan bagi seorang pria
dan seorang wanita untuk mandi dengan air dari wadah air yang sama.
Dan dalam kesepakatan ini perlu
ditinjau ulang ; karena Ibnu al-Mundhir meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
dia melarangnya. Dan Ibnu Abdil Barr juga meriwayatkannya dari satu kaum, namun
hadits ini adalah dalil terhadap kekeliruan mereka). ((Fathul-Bari)) (1/300).
===***===
KETIGA:
HUKUM SUAMI ATAU ISTRI MELIHAT KEMALUAN PASANGANYA.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam
Fathul Baari (1/364):
" وَاسْتَدَلَّ بِهِ
الدَّاوُدِيّ عَلَى جَوَازِ نَظَرِ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ اِمْرَأَتِهِ
وَعَكْسه ، وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ اِبْنُ حِبَّانَ مِنْ طَرِيقِ سُلَيْمَان
بْن مُوسَى أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِ اِمْرَأَتِهِ ،
فَقَالَ: سَأَلْتُ عَطَاء ، فَقَالَ: سَأَلْت عَائِشَة ، فَذَكَرَتْ هَذَا
الْحَدِيث بِمَعْنَاهُ ، وَهُوَ نَصٌّ فِي الْمَسْأَلَةِ ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
". انتهى.
“Ad Dawudi menjadikan hadits tersebut
diatas sebagai dalil dibolehkannya seorang laki-laki melihat aurat istrinya dan
begitu juga sebaliknya, hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dari jalur
Sulaiman bin Musa bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang
melihat kemaluan istrinya, maka beliau menjawab:
“Saya sudah bertanya kepada ‘Atha’ ia
berkata: “Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah maka beliau menyebutkan hadits
ini dengan maknanya".
Dan ini menjadi penjelasan tekstual
dalam masalah ini, wallahu A’lam”.
Dan Syeikh Ibnu 'Utsaimiin dalam فتاوى المرأة hal. 121 menyatakan:
يجوز للمرأة أن
تنظر إلى جميع بدن زوجها ويجوز للزوج أن ينظر إلى جميع بدن زوجته دون تفصيل لقوله
تعالى: ( وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ)
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk
melihat kepada semua tubuh suaminya, dan dibolehkan bagi laki-laki untuk
melihat kepada semua tubuh istrinya tanpa dirinci, berdasarkan firman Allah:
“Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”.
(QS. Al Ma’arij: 29-31)
(Fatawa Al-Mar’ah karya Ibnu Utsaimin:
121)
HADITS LAIN:
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
dari Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari kakeknya [Mu'aawiyah bin Haidah
al-Qusyairy], ia berkata;
قُلْتُ يَا نَبِيَّ
اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ
إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا
يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِذَا كَانَ
أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ
النَّاسِ
Aku berkata; "Wahai Nabiyullah,
manakah aurat kami yang harus kami tutupi dan yang kami biarkan terbuka?"
Beliau menjawab: "Jagalah auratmu
kecuali dari istrimu atau budakmu."
Aku bertanya: "Wahai Rasulullah,
bila dengan sejenis?"
Beliau menjawab: "Bila kau mampu
agar tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka jangan sampai ia
melihatnya."
Aku berkata; "Wahai nabiyullah,
bila salah seorang dari kami sendirian?"
Beliau menjawab: "Hendaknya ia
lebih layak untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia."
[HR. Turmudzi no. 2718, Abu Daud no. 3501 dan Ibnu Majah. (Shahih Ibnu Majah
no. 1572)]
Abu Isa Tirmidzi berkata; " Hadits
ini hasan".
Dan hadits ini dihasankan pula oleh
al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1572
Hadits ini juga menjadi dasar Hukum
Islam bolehnya istri melihat kemaluan suami dan bolehnya budak wanita melihat
aurat sayyid-nya (majikan), demikian pula suami boleh melihat kemaluan istri
saat berhubungan badan
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"وَمَفْهُومُ
قَوْلِهِ ( إِلَّا مِنْ زَوْجَتك) يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لَهَا النَّظَرُ
إِلَى ذَلِكَ مِنْهُ، وَقِيَاسه أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ النَّظَرُ". انتهى
" Arti dari apa yang dia katakan
(kecuali dari istrimu) menunjukkan bahwa diperbolehkan bagi istrinya untuk
melihat itu dari suaminya. Dan sebalikanya bagi suaminya boleh melihat itu dari
istrinya ". Kutipan berakhir dari Fathul-Bari (1/386).
Penulis katakan:
Ini merupakan madzhab mayoritas para
fuqaha. [ Lihat al-Mawsuu'ah al-Fiqhiyyah (32/89)].
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata:
" وَيُبَاحُ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الزَّوْجَيْنِ النَّظَرُ إلَى جَمِيعِ بَدَنِ صَاحِبِهِ ،
وَلَمْسُهُ ، حَتَّى الْفَرْجِ... ؛ وَلِأَنَّ الْفَرْجَ يَحِلُّ لَهُ
الِاسْتِمْتَاعُ بِهِ ، فَجَازَ النَّظَرُ إلَيْهِ وَلَمْسُهُ ، كَبَقِيَّةِ
الْبَدَنِ ".
“Dibolehkan bagi masing-masing pasangan
suami istri untuk melihat seluruh tubuh pasangannya, dan menyentuhnya, bahkan
kemaluannya …; karena vagina tsb diperbolehkan untuk dinikmati, maka ia
diperbolehkan pula untuk dilihat dan disentuh, sama seperti bagian tubuh
lainnya. [ Baca: Al-Mughni 7/77].
Dan di dalam Haashiyat al-Dasuuqi 'Alaa
al-Sharh al-Kabiar (2/215) di sebutkan:
" وَحَلَّ
لَهُمَا ، أَيْ لِكُلٍّ مِنْ الزَّوْجَيْنِ... نَظَرُ كُلِّ جُزْءٍ مِنْ جَسَدِ
صَاحِبِهِ ، حَتَّى نَظَرُ الْفَرْجِ ، وَمَا وَرَدَ مِنْ أَنَّ نَظَرَ فَرْجِهَا
يُورِثُ الْعَمَى مُنْكَرٌ لا أَصْلَ لَهُ ". انتهى
“Dan dihalalkan bagi mereka, yaitu bagi
masing-masing pasangan suami istri … melihat setiap bagian tubuh pasangannya.
Bahkan melihat kemaluannya. Dan apa yang diberitakan adanya hadits bahwa
melihat kemaluannya akan menyebabkan kebutaan ; maka itu hadist munkar yang
tidak berdasar ".
Ibnu Hazem Adz-Dzoohiri berkata:
" وحَلالٌ
لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إلَى فَرْجِ امْرَأَتِهِ: زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ الَّتِي
يَحِلُّ لَهُ وَطْؤُهَا ، وَكَذَلِكَ لَهُمَا أَنْ يَنْظُرَا إلَى فَرْجِهِ ، لا
كَرَاهِيَةَ فِي ذَلِكَ أَصْلا.
بُرْهَانُ ذَلِكَ:
الأَخْبَارُ الْمَشْهُورَةُ مِنْ طَرِيقِ عَائِشَةَ ، وَأُمِّ سَلَمَةَ ،
وَمَيْمُونَةَ: أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُنَّ أَنَّهُنَّ
كُنَّ يَغْتَسِلْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ الْجَنَابَةِ
مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ.
وَمِنْ الْعَجَبِ
أَنْ يُبِيحَ بَعْضُ الْمُتَكَلِّفِينَ مِنْ أَهْلِ الْجَهْلِ وَطْءَ الْفَرْجِ
وَيَمْنَعَ مِنْ النَّظَرِ إلَيْهِ ، وَيَكْفِي مِنْ هَذَا قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ: ( وَاَلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ) ، فَأَمَرَ عَزَّ
وَجَلَّ بِحِفْظِ الْفَرْجِ إلا عَلَى الزَّوْجَةِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ ، فَلا
مَلامَةَ فِي ذَلِكَ ، وَهَذَا عُمُومٌ فِي رُؤْيَتِهِ ، وَلَمْسِهِ ،
وَمُخَالَطَتِهِ.
وَمَا نَعْلَمُ
لِلْمُخَالِفِ تَعَلُّقًا إلا بِأَثَرٍ سَخِيفٍ عَنْ امْرَأَةٍ مَجْهُولَةٍ عَنْ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ: مَا رَأَيْتُ فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَطُّ ". انتهى " المحلى" (10/33).
"Dan halal bagi seorang pria melihat kemaluan wanitanya:
istrinya dan budak wanitanya yang halal baginya menyetubuhinya. Demikian juga
bagi mereka berdua untuk melihat aurat pria tsb, tidaklah makruh hukumnya sama
sekali.
Dalil untuk itu: adalah hadits-hadits
masyhur dari jalur Aisyah, Ummu Salamah, Maimuunah dan para ummul mukminiin
radhiyallahu ‘anhun: bahwa mereka dulu biasa mandi dengan Rasulullah ﷺ, mandi junub dengan air dari satu bejana.
Sungguh mengherankan bahwa ada sebagian
orang yang berlebihan dari kalangan orang-orang bodoh yang menghalalkan Jima',
tapi melarang melihat kemaluan nya. Maka bantahan terhadap ini cukup dengan
firman Allah:
( وَاَلَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ)
Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS Al-Mukminun:
5-6)
Maka Allah Yang Maha Perkasa dan Maha
Agung memerintahkan agar kemaluan itu dijaga, kecuali kepada istri dan budak
perempuannya, maka tidak ada cela dalam hal itu. Dan ini berlaku umum, baik
dalam melihatnya, menyentuhnya dan berikhtilath dengannya.
Dan kami tidak mengetahui adanya dalil
yang bisa di jadikan pegangan bagi pendapat yang menyelisihinya kecuali atsar
yang lemah dari seorang wanita tak dikenal dari Ummul Mukminin:
مَا رَأَيْتُ
فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَطُّ ".
Aku sama sekali belum pernah melihat
kemaluan Rasulullah ﷺ.” [ Baca: al-Muhalla karya
Ibnu Hazem (10/3)].
Penulis katakan:
Hadits yang disebutkan Ibnu Hazem itu
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (662) dari Musa bin Abdullah, dari
Maula Aisyah [ mantan budaknya], dari Aisyah, dia mengatakan:
( مَا نَظَرْتُ
أَوْ مَا رَأَيْتُ فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَطُّ)
"Aku tidak pernah melihat kemaluan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sama sekali."
DERAJAT HADITS:
Hadits ini lemah dan tidak bisa
dijadikan dalil. Karena perawi dari Aisyah nya seorang perawi yang tidak
diketahui.
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata dalam
Fathul-Bari (1/336):
" في إسناده من لا يُعرف
"
“Dalam sanadnya ada perawi yang tidak
dikenal.” ( selesai).
Al-Busahiri berkata dalam Mishbaah
az-Zujaajah (2/95):
" هذا إسناد
ضعيف لجهالة تابعيه ".
" Ini adalah sanad yang lemah
karena ketidak tahuan para taabi'ii nya.
Syekh Al-Albani berkata dalam
mengomentari hadits palsu ini:
والنظر الصحيح يدل
على بطلان هذا الحديث ، فإن تحريم النظر بالنسبة للجماع من باب تحريم الوسائل ،
فإذا أباح الله تعالى للزوج أن يجامع زوجته ، فهل يعقل أن يمنعه من النظر إلى
فرجها ؟ ! اللهم لا.... وإذا تبين هذا ، فلا فرق حينئذ بين النظر عند الاغتسال أو
الجماع ، فثبت بطلان الحديث".
Dan pandangan yang shahih menunjukkan
akan kebathilan hadits ini, karena larangan melihat dalam hubungan intim adalah
bagian dari larangan sarana-sarana.
Jika Allah Ta'aala menghalalkan suami
untuk melakukan hubungan intim dengan istrinya, apakah masuk akal untuk
melarangnya melihat kemaluannya?
Ya Allah, enggak lah.... Jika ini sudah
menjadi jelas, maka tidak ada perbedaan antara melihat saat mandi atau saat
melakukan hubungan intim, maka terbukti akan ketidakabsahan hadits tsb. [ Baca:
السلسة الضعيفة (1/197)].
Dan Penulis katakan pula:
Hadits-hadits lainnya yang disandarkan
oleh sebagian orang kepada Nabi –ﷺ
- bahwa seorang suami
dilarang melihat kemaluan istrinya, maka hadits-hadits itu tidak ada yang
Shahih.
Hadits-hadits tersebut di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah –ﷺ
- bersabda:
إذا جامَعَ أحدُكم
أهْلَه فلا يَنْظُرْ إلى الفَرْج؛ فإنَّه يُورِثُ العمى، وإذا جامَع أحدُكم فلا
يُكْثِرِ الكلامَ؛ فإنَّه يُورِثُ الخَرَس.
“Jika salah seorang dari kalian ber
jima', maka janganlah melihat pada kemaluan (istri anda); karena hal itu akan
menyebabkan kebutaan, dan janganlah banyak berbicara; karena akan menyebabkan
kebisuan”.
Ibnu Jauzi berkata: “Hadits ini maudhu’
(PALSU)”. (Al Maudhu’aat karya Ibnu Jauzi: 2/271-272)
Dengan demikian: Sama sekali tidak ada
hadits shahih yang menunjukkan bahwa dilarang hukumnya salah satu pasangan
suami istri melihat kemaluan pasangan nya. Maka masalah ini tetap sesuai dengan
hukum asalnya yaitu diperbolehkan. Bagaimana tidak ? bukankan telah terbukti
adanya dalil-dalil yang meyakinkan akan bolehnya hal itu.
KESIMPULANNYA:
Pertama: Penulis belum menemukan ulama
yang mengatakan:
"SUAMI ISTRI DI SUNNAHKAN MANDI
BARENG SAMBIL BERMAIN REBUTAN GAYUNG".
Kedua: Yang penulis ketemukan dari
perkataan para ulama adalah hanya boleh atau mubah hukumnya
suami istri mandi bareng, meskipun dengan menggunakan air dari satu wadah.
Ketiga : Ada sebagian kaum muslimin yang berkomentar
:
“Apakah di dalam fatwa “sunnah mandi bareng
suami istri sambil rebutan gayung” ini tidak ada unsur pelecehan dan olok-olok terhadap
agama? Karena seakan-akan sama hukumnya dengan shalat tahajjud, sedekah dan semisalnya?
Ibnu al-Mu’tazz, Seorang Penyair Di
Masa Daulah al-Abbasiyyah berkata:
خَلِّ الذُنوبَ صَغيرَها * وَكَبيرَها فَهوَ التُقى
كُن فَوقَ ماشٍ فَوقَ
أَر * ضِ الشَوكِ يَحذُرُ ما يَرى
لا تَحقِرَنَّ صَغيرَةً
* إِنَّ الجِبالَ مِنَ الحَصى
Tinggalkanlah dosa, baik yang kecil
maupun yang besar, karena itulah ketakwaan
Berjalanlah di atas bumi seperti orang
yang berjalan di atas duri, yang berhati-hati terhadap apa yang dilihatnya
Jangan meremehkan dosa kecil, karena
sesungguhnya gunung berasal dari kerikil
----
HINDARILAH HAL-HAL YANG MENGANDUNG UNSUR PELECEHAN AGAMA!
Istihzaa’ [mengolok-olok agama serta
melecehkan-nya] adalah sikap/perbuatan yang sangat berbahaya bagi seorang
muslim jika melakukannya. Para ulama telah sepakat
bahwa istihzaa’ merupakan dosa besar yang dapat menyebabkan kekafiran
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana sikap
kaum munafiqiin yang mengolok-olok Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam dan kaum muslimin yang dengan itu menyebabkan kekafiran
mereka,sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :
{ يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ
عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ
اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ
نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا
مُجْرِمِينَ }.
Orang-orang yang munafik itu takut akan
diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi
dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu
(terhadap Allah dan Rasul-Nya)".
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang
kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja".
Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu telah menjadi kafir sesudah beriman.
Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu
(lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS.
At-Taubah : 64-66].
Al-Imam Ibnu Jarir
Ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsir-nya dan Al-Imam Ibnu Abi
Hatim telah meriwayatkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat di atas
dengan sanad tidak mengapa (la ba’sa) dari Abdullah bin
’Umar radliyallaahu ’anhuma :
قَالَ رَجُلٌ فِي
غَزْوَةِ تَبُوكَ، فِي مَجْلِسٍ: "مَا رَأَيْنَا مِثْلَ قُرَائِنَا هَؤُلَاءِ؛
أَرْغَبُ بِطُونَا، وَلَا أَكْذَبُ أَلْسُنًا، وَلَا أَجْبَنُ عِنْدَ اللَّقَاءِ".
فَقَالَ رَجُلٌ
فِي الْمَجْلِسِ: "كَذِبْتَ، وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لَأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَنَزَلَ الْقُرْآنُ.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عُمَرَ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ مُتَعَلِّقًا بِحَقْبِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، تَنْكُبُهُ الْحِجَارَةُ، وَهُوَ يَقُولُ:
"يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ". وَرَسُولُ اللَّهِ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: "أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ
كُنْتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ".
Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki
pada perang Tabuk : “Kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini;
sangat mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam
pertempuran/peperangan”.
Maka berkatalah seseorang kepadanya : “Engkau
berdusta, engkau jelas munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau ucapkan
kepada Rasulullah ﷺ”.
Maka, sampailah ucapan tersebut kepada
Rasulullah ﷺ, kemudian turunlah ayat di
atas.
Ibnu Umar kemudian melanjutkan : “Maka
aku lihat laki-laki tersebut bergantung di belakang unta Nabi, tersandung
batu-batu, sambil berkata : ‘Ya Rasulullah, kami hanya main-main saja, tidak
sungguh-sungguh”.
Maka Rasulullah ﷺ menjawab
: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu
mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir
setelah beriman” [selesai]. [Lihat : Tafsir ath-Thabari 14/333].
Al-Imam Abu Bakr
Al-Jashshash rahimahullah berkata :
فِيهِ الدَّلَالَةُ
عَلَى أَنَّ اللاَّعِبَ وَالْجَادَّ سَوَاءٌ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ عَلَى
غَيْرِ وَجْهِ الْإِكْرَاهِ. لأَنَّ هَؤُلاَءِ الْمُنَافِقِينَ ذَكَرُوا أَنَّهُمْ
قَالُوا مَا قَالُوهُ لَعِبًا، فَأَخْبَرَ اللَّهُ عَنْ كُفْرِهِمْ بِاللَّعِبِ بِذَلِكَ.
وَرَوَى الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ: أَيُرْجُو
هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَفْتَحَ قُصُورَ الشَّامِ وَحُصُونَهَا!! هِيَهَاتْ هِيَهَاتْ.
فَأَطْلَعَ اللَّهُ نَبِيَّهُ عَلَى ذَلِكَ. فَأَخْبَرَ أَنَّ هَذَا الْقَوْلَ كُفْرٌ
مِنْهُمْ عَلَى أَيِّ وَجْهٍ قَالُوا مِنْ جِدٍّ أَوْ هُزْلٍ، فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ
حُكْمِ الْجَادِّ وَالْهَازِلِ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ. وَدَلَّ ـ أَيْضًا
ـ عَلَى أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ بِآيَاتِ اللَّهِ، أَوْ بِشَيْءٍ مِنْ شَرَائِعِ دِينِهِ:
كُفْرٌ مِنْ فَاعِلِهِ.
”Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa
seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam
hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang
munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya
main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu.
Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya
mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk :
”Apakah laki-laki ini (yaitu
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka
istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh
khayalan ini”.
Maka Allah menampakkan perkataan mereka
kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah
tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan
bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main
itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah
atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku”
[selesai. Ahkaamul-Qur’an juz 3 hal 142].
Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah
berkata :
وَقَوْلُهُ: {قَدْ
كَفَرْتُمْ } أَي: قَدْ ظَهَرَ كُفْرُكُمْ بَعْدَ إِظْهَارِكُمُ الإِيمَانَ؛ وَهَذَا
يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْجَدَّ وَاللَّعِبَ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ سَوَاءٌ.
”Dan firman-Nya : ”Sungguh karena kamu telah kafir”; yaitu tampaknya kekafiranmu setelah keimananmu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengeluarkan kalimat kekufuran adalah sama” [Zaadul-Masiir 3/465].
Wallaahu a'lam.
0 Komentar