PERSELISIHAN PENDAPAT TENTANG MENGUSAP WAJAH
SETELAH BERDOA
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
---
******
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN:
Umar Bin al-Khaththab rodhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا
مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasulullah ﷺ senantiasa mengangkat kedua tangannya
dalam berdo’a. Beliau tidak mengembalikannya (menurunkannya) hingga terlebih
dahulu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Di Hasankan oleh
al-Hafidz Ibnu Hajar, Syeikh Bin Baaz dan lainnya.
Dari ‘Amr bin Qois radhiyallahu
‘anhu:
كانَ - رَسُولُ اللهِ ﷺ - إِذَا انْصَرَفَ
مِنْ صَلَاتِهِ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، وَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ الَّذِي
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ،
اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
Apabila Rasulullah ﷺ selesai dari shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan
kanannya dan mengucapkan:
“Dengan nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia,
Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Ya Allah, hilangkan dariku rasa gelisah dan kesedihan.”
Hadits ini dinilai dho’if oleh al-Albani dalam
as-Silsilah adh-Dho’ifah no. 3904.
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu:
كانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ
– وَفِي رِوَايَةِ فَارُوقٍ: إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ – مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى وَقَالَ: بِسْمِ اللهِ، وَفِي رِوَايَةِ فَارُوقٍ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ
الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي
الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
“Rasulullah ﷺ apabila telah selesai dari shalatnya – dan dalam riwayat Faruq
disebutkan: apabila beliau telah memberi salam dari shalatnya – beliau mengusap
keningnya dengan tangan kanannya dan mengucapkan: “Dengan nama Allah.”
Dalam riwayat Faruq disebutkan bahwa beliau berkata:
“Maha Suci Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Ya Allah, hilangkan dariku rasa cemas dan kesedihan.”
Hadits ini di nilai dho’if jiddan (lemah
sekali) oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Albani.
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MENGUSAP MUKA SETELAH BEROD'A.
Ada dua pendapat tentang mengusap wajah dengan kedua tangan
setelah berdo'a:
- Di syariatkan [DISUNNAHKAN]
- Tidak di syariatkan. [ TIDAK DISUNNAHKAN].
===***===
PENDAPAT PERTAMA: DI SUNNAHKAN
Di sunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan
setelah berdoa
Ini ada pendapat yang di sepakati oleh 4
madzhab.
Abdul Fattaah bin Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i
berkata:
اتَّفَقَتِ المَذَاهِبُ
أَرْبَعَةٌ عَلَى اسْتِحَبَابِ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الْفَرَاغِ
مِنَ الدُّعَاءِ بَلْ إِنَّ الْحَنَابِلَةَ وَغَيْرَهُمْ يَرَوْنَ مَشْرُوعِيَّةَ
الْمَسْحِ بَعْدَ الْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ، بِخِلَافِ الشَّافِعِيَّةِ.
Keempat mazhab sepakat bahwa dimustahab-kan untuk
mengusap wajah dengan kedua tangan setelah ber-doa.
Bahkan Madzhab Hanbali dan yang lainnya memandang
disyariatkannya mengusap wajah setelah doa qunut dalam shalat, berbeda dengan
madzhab Syafi'i yang tidak memustahabkannya setelah qunut dalam shalat.
[Baca Artikel: " مَسْحُ الْوَجْهِ
بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ (دِرَاسَةٌ فِقْهِيَّةٌ) " di tulis oleh Abdul Fattaah bin
Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i]
*****
Berikut ini beberapa perkataan para ulama dari
masing-masing madzhab tentang masalah ini:
----
DARI MADZHAB HANAFI:
Dalam al-Fataawa al-Hindiyyah 5/318 disebutkan:
(مَسَحَ الْوَجْهَ بِالْيَدَيْنِ إِذَا فَرَغَ
مِنَ الدُّعَاءِ قِيلَ: لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَكَثِيرٌ مِنْ مَشَايِخِنَا - رَحِمَهُمُ
اللَّهُ تَعَالَى - اعْتَبَرُوا ذَلِكَ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ وُرِدَ الْخَبَرُ،
كَذَا فِي الْغَيَّاثِيَّةِ.) اهـ
(Mengusap wajah dengan kedua tangan ketika dia
selesai berdoa, dikatakan: Tidak apa-apa, dan banyak dari para syekh kami -
semoga Allah merahmati mereka - menganggap bahwa itu mu'tabar dan itu adalah
Shahih, dan itu berdasarkan khabar [hadits], dan begitu lah yang terdapat dalam
kitab الغياثية ".
Dan dalam Syarh Al-Hashkafi 1/507:
وَأَمَّا (عِنْدَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ
وَعَرَفَاتٍ) فَ (يُرْفَعُهُمَا كَالدُّعَاءِ) وَالرَّفْعُ فِيهِ، وَفِي الِاسْتِسْقَاءِ
مُسْتَحَبٌّ (فَيَبْسُطُ يَدَيْهِ) حَذَاءَ صَدْرِهِ (نَحْوَ السَّمَاءِ) لِأَنَّهَا
قِبْلَةُ الدُّعَاءِ وَيَكُونُ بَيْنَهُمَا فُرْجَةٌ وَالإِشَارَةُ بِمِسْبَحَتِهِ
لِعُذْرٍ كَبَرْدٍ يَكْفِي وَالْمَسْحُ بَعْدَهُ عَلَى وَجْهِهِ سُنَّةٌ فِي الأَصْحِ
شَرَنْبِلَالِيَّةٍ. اهـ
“Dan adapun (di Shofaa, Marwah dan Arafah) maka (mengangkat
kedua tangan mereka seperti berdoa) dan mengangkatnya di dalamnya, dan di dalam
ber istisqoo itu adalah mustahab.
(Yaitu ia membentangkan kedua tangannya) sejajar dadanya (ke arah langit)
dikarenakan itu adalah arah kiblat doa dan ada renggang di antara keduanya
[antara dada dan kedua tangan].
Atau menunjuk dengan jari telunjuknya ketika ada
'udzur seperti karena dinginnya, maka itu cukup.
Dan setelah itu mengusapkannya ke wajahnya. Ini
semua adalah sunnah menurut yang lebih benar dan shahih (kitab شرنبلالية) ".
Al-Imam Hasan bin Ammar as-Syaranbalali Al-Hanafi
berkata:
“ثُمَّ يَخْتِمُ بِقَوْلِهِ
تَعَالىَ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} اْلآَيَةَ؛ لِقَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكْتَالَ بِالْمِكْيَالِ اْلأَوْفَى مِنَ الْأَجْرِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَلْيَكُنْ آَخِرُ كَلاَمِهِ إِذَا قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ {سُبْحَانَ
رَبِّكَ} الآية”، وَيَمْسَحُ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيْ آَخِرِهِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: {إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ
بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ} رَوَاهُ ابْنُ
مَاجَهْ كَمَا فِي الْبُرْهَانِ”).
“Kemudian orang yang berdoa menutup doanya dengan
firman Allah “Subhana rabbika” dan seterusnya.
Ini berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa yang menghendaki menerima takaran pahala dengan
takaran yang sempurna pada hari kiamat, maka hendaklah akhir ucapannya dalam
majlisnya adalah “subhana rabbika” dan seterusnya.
Dan ia MENGUSAPKAN KEDUA TANGAN-NYA KE
WAJAH-NYA di akhir doanya.
Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila kamu berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan perut
telapak tanganmu, dan janganlah berdoa dengan punggungnya. Apabila kamu selesai
berdoa, maka usaplah wajahmu dengan kedua tangannya.” HR. Ibnu Majah,
sebagaimana dalam kitab al-Burhan.”
(Hasyiyah as-Syaranbalali ‘ala Durar al-Hukkam 1/80).
----
DARI MADZHAB MALIKI:
Al-Imam an-Nafrawi Al-Maliki dalam Al-Fawaakih
Al-Dawaani 2/330 berkata:
(وَاخْتُلِفَ هَلْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ
الدُّعَاءِ أَوْ لَا؟ وَعَلَى الرَّفْعِ فَهَلْ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِهِمَا
عَقِبَهُ أَمْ لَا؟ وَاَلَّذِي فِي التِّرْمِذِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّهُ - ﷺ - كَانَ إذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي
الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ». فَيُفِيدُ
أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُهُمَا وَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ)
(Dan ada perbedaan pendapat tentang apakah
seseorang boleh mengangkat kedua tangannya ketika berdoa atau tidak ". Dan
jika boleh mengangkatnya, apakah dia diperbolehkan pula mengusap wajahnya
dengan kedua tangannya sesudahnya atau tidak diperbolehkan ?
Yang ada dalam At-Tirmidzi dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu:
Apabila Rasulullah ﷺ mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a, beliau tidak mengembalikannya (menurunkannya)
hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Maka memberikan faidah bahwa beliau ﷺ biasa mengangkat kedua tangannya dan mengusap
wajahnya dengan keduanya ".
Dan dalam Al-Fawaakih Al-Dawaani 2/335:
(وَاخْتُلِفَ فِي بَسْطِ
الْيَدِ وَلَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ أَمَارَةُ الذُّلِّ وَالسَّكِينَةِ،
وَيُسْتَحَبُّ أن يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَهُ -أي: الدُّعَاءِ- كَمَا
كَانَ يَفْعَلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ) اه
(Dan mereka berselisih pendapat tentang mengulurkan
tangan, dan tidak ada yang salah dengan itu, karena itu adalah tanda rasa
kehinanaan dihadapan Allah dan ketenangan.
Dan mustahab-kan baginya untuk mengusap wajahnya dengan kedua tangannya
sesudahnya, sebagaimana Nabi ﷺ biasa
dilakukan.)
Dan dalam Al-Fawaakih Al-Dawaani 1/281:
(وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي حَالِ
الدُّعَاءِ وَبُطُونُهُمَا إلَى الْأَرْضِ وَقِيلَ إلَى السَّمَاءِ، وَوَرَدَ
أَنَّهُ بَعْدَ الدُّعَاءِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى وَجْهِهِ وَيَمْسَحُهُ بِهِمَا
لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَقْبِيلٍ) اه
(Dan dia mengangkat kedua tangannya saat berdoa dan
perut kedua tangannya ke arah tanah, dan ada yang mengakatakan ke langit.
Dan ada keterangan hadits bahwa setelah berdoa
beliau ﷺ meletakkan kedua tangannya di wajahnya lalu
mengusapnya dengan keduanya, namun tanpa menciumnya)
----
DARI MADZHAB SYAFI'I:
Imam An-Nawawi mengatakan dalam Al-Majmu 'Syarah
Al-Muhadzdzab 3/500-501 ketika berbicara masalah ini:
وَأَمَّا مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ
بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الدُّعَاءِ... فَوَجْهَانِ:
(أَشْهُرُهُمَا) أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ وَمِمَّنْ
قَطَعَ بِهِ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ
الْجُوَيْنِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَالْمُتَوَلِّي وَالشَّيْخُ نَصْرٌ فِي
كُتُبِهِ وَالْغَزَالِيُّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ
(وَالثَّانِي) لَا يَمْسَحُ
وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ صَحَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَالرَّافِعِيُّ وَآخَرُونَ
مِنْ الْمُحَقِّقِينَ
Adapun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selasai
berdoa... ada dua pendapat:
Pertama (yang paling masyhur dari keduanya): adalah
bahwa itu mustahab.
Di antara yang memutuskan dengannya adalah
al-Qoodhi Abu ath-Thoyyib, Syeikh Abu Muhammad Al-Juwayni, Ibnu Al-Shobbagh,
Al-Mutawalli, Syeikh Nasher dalamkitabnya, Al-Ghazali dan penulis kitab
al-Bayaan
(Dan yang kedua): tidak mustahab mengusap wajah.
Dan ini adalah pendapat yang Shahih. Al-Bayhaqi,
Al-Rafi'i dan para peneliti lainnya menilainya sebagai pendapat yang
shahih". [SELESAI]
Namun pada bagian yang lain dalam kitab yang sama
al-Imam an-Nawawi berkata:
وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ
كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ
وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ
وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ.
“Di antara adab-adab berdoa adalah, adanya doa
dalam waktu-waktu tertentu, tempat-tempat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu
yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, MENGUSAP WAJAH setelah
selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab 4/487).
Dan dalam Haasyiyah Al-Bujairomi 'Alaa Sharh
Al-Manhaj 1/208 di sebutkan:
قَوْلُهُ: (لَا مَسَحَ) أَيْ: فِي
الصَّلَاةِ أَيْ: لَا يُنْدَبُ فَالْأَوْلَى تَرْكُهُ ح ل وَيُسَنُّ خَارِجَهَا م ر
أَيْ: يُسَنُّ أَنْ يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ بَعْدَهُ لِمَا وَرَدَ: أَنَّ كُلَّ
شَعْرَةٍ مَسَحَهَا بِيَدِهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ تَشْهَدُ لَهُ وَيُغْفَرُ لَهُ بِعَدَدِهَا
ح ف وَمَا تَفْعَلُهُ الْعَامَّةُ مِنْ تَقْبِيلِ الْيَدِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَا أَصْلَ
لَهُ كَمَا فِي شَرْحِ م ر وَع ش. ) ا.هـ.
(Perkataannya: (tidak diusap) artinya: dalam SHALAT, yaitu:
tidak dianjurkan ; maka yang lebih utama di tinggalkan.
Namun di sunnahkan mengusap wajah di luar sholat,
yakni: di sunnahkan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah berdoa,
dikarenakan ada keterangan:
أَنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ مَسَحَهَا
بِيَدِهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ تَشْهَدُ لَهُ وَيُغْفَرُ لَهُ بِعَدَدِهَا
Setiap rambut yang dia usap dengan tangannya
setelah berdoa menjadi saksi baginya dan dia diampuni sesuai dengan jumlahnya.
Dan apa yang dilakukan orang biasa mencium tangan
setelah berdoa tidak ada dasarnya, seperti dalam Syarah م ر و ع ش ".
[SELESAI]
Dan Imam An-Nawawi mengatakan dalam Al-Adzkar
hal.137 No. 360:
اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي رَفْعِ
الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ وَمَسْحِ الْوَجْهِ بِهِمَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ،
أَصَحُّهَا: أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ رَفْعُهُمَا وَلَا يَمْسَحُ الْوَجْهَ. وَالثَّانِي:
يَرْفَعُ وَيَمْسَحُهُ. وَالثَّالِثُ، لَا يَمْسَحُ وَلَا يَرْفَعُ. وَاتَّفَقُوا عَلَى
أَنَّهُ لَا يَمْسَحُ غَيْرُ الْوَجْهِ مِنَ الصَّدْرِ وَنَحْوِهِ، بَلْ قَالُوا: ذَلِكَ
مَكْرُوهٌ.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang
mengangkat kedua tangan dalam DOA QUNUT dan mengusap wajah dengan keduanya, ada
tiga pendapat.
[Pertama] :
Yang paling shahih adalah di mustahabkan mengangkat kedua tangannya dan tidak
di mustahabkan mengusap wajah.
Yang kedua: mengangkat kedua tangannya dan mengusap
wajah.
Dan yang ketiga :
tidak mengusap atau tidak mengangkat.
Dan mereka sepakat bahwa tidak mustahab mengusap
selain wajah, seperti dada dan sejenisnya, bahkan, mereka mengatakan: bahwa itu
adalah Makruh.
----
DARI MADZHAB HANBALI:
Imam al-Bahuuti Al-Hanbali mengatakan:
(ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا)
أي: عَقِبَ الْقُنُوْتِ (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا
“Kemudian orang yang berdoa mengusapkan wajahnya
dengan kedua tangannya setelah membaca doa qunut dan di luar shalat ketika
selesai berdoa.”
(Baca: Syarh Muntaha al-Iradat 1/241, Kasysyaf al-Qina’ 1/420,
dan al-Inshaf karya al-Mardaway 2/173).
Al-Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah
mengatakan:
فَأَمَّا مَسْحُ الْوَجْهِ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَمَفْهُومُ مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
وَابْنِ عَبَّاسٍ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ. وَرَوَى الْمَيْمُونِيُّ،
عَنْ أَحْمَدَ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ مَسَحَ جَبِينَهُ.
“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah
shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud
dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh.
Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia
mengusap dahi jika selesai shalat.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab Al Hambali
7/360).
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni 1/449 Bab No.
Fasal 1080 dikatakan:
وَلَنَا ، قَوْلُ النَّبِيِّ ﷺ:
{إذَا دَعَوْت اللَّهَ فَادْعُ بِبُطُونِ كَفَّيْكَ ، وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا
، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ}. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَابْنُ مَاجَهْ.وَلِأَنَّهُ
فِعْلُ مَنْ سَمَّيْنَا مِنْ الصَّحَابَةِ.
Dan DALIL KAMI adalah sabda Nabi ﷺ mengatakan:
“Jika Anda berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan bagian
dalam kedua telapak tangan Anda, dan janganlah anda berdoa dengan kedua
punggung nya. Dan setelah anda selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengan
keduanya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Majah.
Dan karena itu adalah amalan orang-orang yamg kami
namakan para sahabat.
Lalu Ibnu Quddaamah berkata:
وَإِذَا فَرَغَ مِنْ الْقُنُوتِ
فَهَلْ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدِهِ ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ:
إحْدَاهُمَا ، لَا يَفْعَلُ ؛
لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ قَالَ: لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ بِشَيْءٍ.
وَلِأَنَّهُ دُعَاءٌ فِي الصَّلَاةِ ، فَلَمْ يُسْتَحَبَّ مَسْحُ وَجْهِهِ فِيهِ ،
كَسَائِرِ دُعَائِهَا.
“الثَّانِيَةُ: يُسْتَحَبُّ ؛
لِلْخَبَرِ الَّذِي رَوَيْنَاهُ. وَرَوَى السَّائِبُ بْنُ يَزِيدَ ، {أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إذَا دَعَا رَفَعَ يَدَيْهِ، وَمَسَحَ وَجْهَهُ
بِيَدَيْهِ}.وَلِأَنَّهُ دُعَاءٌ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيهِ ، فَيَمْسَحُ بِهِمَا
وَجْهَهُ ، كَمَا لَوْ كَانَ خَارِجًا عَنْ الصَّلَاةِ ".
Dan jika seseorang menyelesaikan doa QUNUT, apakah
dia mengusap wajahnya dengan tangannya? Dalam hal ini ada dua riwayat:
Salah satunya: Dia tidak melakukannya; Karena
diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata: Saya tidak mendengar apa-apa tentang
itu.
Dan karena itu adalah doa di dalam sholat, maka
tidak disarankan untuk mengusap wajah di dalamnya, seperti semua doa lainnya.
Kedua: mustahab. Karena adanya hadits yang kami riwayatkan. Dan
al-Sa’ib ibn Yazid meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah ﷺ ketika beliau berdoa, beliau ﷺ mengangkat
kedua tangannya. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ".
Dan karena itu adalah doa yang dianjurkan untuk
mengangkat kedua tangannya didalamnya ; maka dianjurkan pula untuk mengusap
wajahnya dengan keduanya, sama halnya dengan seseorang yang [mengusap wajahnya]
setelah selesai berdoa di luar sholat".
Dan dalam kitab Ghidzaa al-Albaab 2/516:
(وأنْ يَسْألَ مَا يَصْلُحُ ،
ويَمْسَحَ وَجْهَه بيَدَيْه بَعْدَ فِرَاغِه) اهـ.
(Dan agar senantiasa berdoa dengan meminta sesuatu
yang baik, dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah dia selesai
berdoa)
----
FATWA SYEIKH BIN BAAZ
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah ditanya,
مَا حُكْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ
بَعْدَ الدُّعَاءِ وَخَاصَّةً بَعْدَ دُعَاءِ الْقُنُوتِ وَبَعْدَ النَّوَافِلِ ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah
berdo’a, khususnya setelah do’a qunut atau do’a setelah shalat sunnah?
Beliau rahimahullah menjawab,
حُكْمُهُ أَنَّهُ مُسْتَحَبٌ؛ لِمَا
ذَكَرَهُ الْحَافِظُ فِي الْبُلُوغِ فِي بَابِ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ، وَهُوَ آخِرُ
بَابٍ فِي الْبُلُوغِ أَنَّهُ وَرَدَ فِي ذَلِكَ عَدَّةَ أَحَادِيثَ مَجْمُوعَهَا يَقْضِي
بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَفِقَ اللَّهُ الْجَمِيعَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ.
Hukumnya adalah disunnahkan sebagaimana
hadits yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajr dalam kitab Bulughul Marom Bab
adz-Dzikr wa ad-Du’a. Bab tersebut adalah akhir bab dalam Bulughul Marom. Hal
ini dijelaskan dalam beberapa hadits yang semuanya jika dikumpulkan
mencapai derajat HASAN. Semoga Allah memberi taufik pada kalian seluruhnya,
was salaamu ‘alaikum.
[Baca: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Ammah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 26/148].
Dalam kesempatan lain Syaikh Bin Baz rahimahullah ditanya,
سَمِعْتُ أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى
الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ بِدْعَةٌ، وَأَنَّ تَقْبِيلَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ بِدْعَةٌ،
أَفِيدُونَا عَنْ ذَلِكَ؟ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا.
Aku pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa
mengusap wajah setelah berdo’a termasuk bid’ah. Berilah kami kejelasan dalam
hal ini. Jazakallah khoiron.
مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ
لَيْسَ بِدْعَةٍ، لَكِنَّ تَرْكَهُ أَفْضَلُ لِلْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَقَدْ ذَهَبَ
جَمَاعَةٌ إِلَى تَحْسِينِهَا؛ لِأَنَّهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ لِغَيْرِهِ، كَمَا
ذَلِكَ الْحَافِظُ بِنْ حَجَرٍ -رَحِمَهُ اللَّهُ- فِي آخِرِ بَلُوغِ الْمَرَامِ، وَذَكَرَ
ذَلِكَ آخَرُونَ، فَمَنْ رَأَاهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ اسْتَحَبَّ الْمَسْحَ، وَمَنْ
رَأَاهَا مِنْ قَبِيلِ الضَّعِيفِ لَمْ يَسْتَحِبَّ الْمَسْحَ، وَالْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ
لَيْسَ فِيهَا مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ، الْأَحَادِيثُ الْمَعْرُوفَةُ فِي
الصَّحِيحَيْنِ، أَوْ فِي أَحَدِهِمَا فِي أَحَدِ الصَّحِيحَيْنِ لَيْسَ فِيهَا مَسْحٌ،
إِنَّمَا فِيهَا الدُّعَاءُ، فَمَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ تَرَكَ فَهُوَ أَفْضَلُ؛
لِأَنَّ الْأَحَادِيثَ الَّتِي فِي الْمَسْحِ بَعْدَ الدُّعَاءِ مِثْلَمَا تَقَدَّمَ
ضَعِيفَةٌ، وَلَكِنْ مَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ، وَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَلَا يُقَالُ
بِدْعَةٌ.
Perlu diketahui bahwa mengusap wajah setelah
berdo'a bukanlah bid’ah. Akan tetapi meninggalkannya itu afdhol (lebih utama)
karena dho’ifnya hadits-hadits yang menerangkan hal ini.
Namun sebagian ulama telah menghasankan hadits
tersebut karena dilihat dari jalur lainnya yang menguatkan. Di antara ulama
yang menghasankannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam akhir
kitabnya Bulughul Marom. Demikian pula dikatakan ulama yang lainnya.
Barangsiapa yang berpendapat bahwasanya haditsnya
hasan, maka disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Sedangkan yang
mendho’ifkannya, maka tidak disunnahkan baginya untuk mengusap wajah.
Namun tidak ada hadits shahih yang menganjurkan
mengusap wajah sesudah do’a. Begitu pula hadits yang telah ma’ruf dalam Bukhari
Muslim atau salah satu dari keduanya tidak membicarakan masalah mengusap wajah
setelah do’a, yang dibicarakan hanyalah masalah do’a.
Siapa saja yang mengusap wajah setelah do’a,
tidaklah mengapa. Namun
meninggalkannya, itu lebih afdhol. Karena sebagaimana dikatakan tadi bahwa
hadits-hadits yang membicarakan hal itu dho’if.
Namun yang mengusapnya sekali lagi, tidaklah
mengapa. Hal ini pun tidak perlu diingkari dan juga tidak perlu dikatakan
bid’ah.
[Sumber website Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz,
>> http:// www. Binbaz. org.sa/ mat/11228]
------
IBNU AL-UTSAIMIN
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
rahimahullah ditanya:
مَا حُكْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ
بَعْدَ الدُّعَاءِ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan
setelah shalat?
Beliau rahimahullah menjawab,
يَرَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ
مِنَ السُّنَّةِ، وَيَرَى شَيْخُ الْإِسْلَامِ أَنَّهُ مِنَ الْبِدْعَةِ، وَهَذَا بِنَاءً
عَلَى صَحَّةِ الْحَدِيثِ الْوَارِدِ فِي هَذَا، وَالْحَدِيثِ الْوَارِدِ فِي هَذَا
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ: إِنَّهُ مَوْضُوعٌ. يَعْنِي: مَكْذُوبٌ عَلَى الرَّسُولِ
ﷺ. وَالَّذِي أَرَى فِي الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ مَنْ مَسَحَ لَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَمَنْ
لَمْ يَمْسَحْ لَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ.
Sebagian ulama memang mengatakan bahwa hal ini
termasuk sunnah (dianjurkan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri menganggap
perbuatan ini termasuk bid’ah (hal yang mengada-ada dalam agama).
Bisa terjadi perbedaan semacam ini karena adanya
perbedaan dalam menshahihkan hadits dalam masalah tersebut.
Syaikhul Islam sendiri mengatakan bahwa hadits yang
membicarakan hal ini mawdhu’ (palsu), yaitu diriwayatkan oleh perowi yang
berdusta atas nama Rasul SAW.
Sedangkan aku sendiri berpandangan bahwa orang yang
mengusap wajah (seusai do’a) tidak perlu diingkari. Begitu pula orang yang
tidak mengusap wajah, juga tidak perlu diingkari.
[Sumber: Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, kaset no. 196.
=====
DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA
DALIL KE 1 :
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا
أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا،
فَقَرَأَ فِيهِمَا:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ،
ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا
اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ، وَمَا
أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ. يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.
“Bahwa apabila Nabi ﷺ hendak
beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak
tangannya, lalu meniup di dalamnya dan membaca di dalamnya:
Qulhuwallahu Ahad, dan Qul’audzu birabbil falaq, serta Qul’audzu birabbinnaas.
Setelah itu, beliau mengusapkan (dengan kedua
tangannya) pada anggota tubuh yang beliau bisa jangkau.
Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada
anggota tubuh bagian depannya.
Beliau ulangi hal itu sebanyak tiga kali ". [HR. Bukhori no. 4630]
DALIL KE 2:
Dari Aisyah radhiyallaahu 'anha:
أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذَا اشْتَكَى نَفَثَ علَى نَفْسِهِ بالمُعَوِّذَاتِ،
ومَسَحَ عنْه بيَدِهِ، فَلَمَّا اشْتَكَى وجَعَهُ الذي تُوُفِّيَ فِيهِ، طَفِقْتُ
أنْفِثُ علَى نَفْسِهِ بالمُعَوِّذَاتِ الَّتي كانَ يَنْفِثُ، وأَمْسَحُ بيَدِ
النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عنْه.
“Bahwa Nabi ﷺ apabila
sakit, beliau meniupkan [dengan sedikit semburan air ludah] pada dirinya dengan
bacaan surat-surat al-mu’awwidzaat (Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas). Lalu
beliau MENGUSAP dirinya dengan tangannya.
Maka tatkala beliau sakit yang menyebabkan beliau
meninggal, maka aku tiupkan pula kepadanya dengan bacaan surat-surat
Mu'awwidzat yang biasa beliau bacakan untuk ditiupkan dan ku usapkan tangan
beliau ﷺ ke tubuhnya.
[HR. Bukhori no. 4439 dan Muslim no. 2192].
DALIL KE 3:
Dari Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا
مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Apabila Rasulullah ﷺ mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a, dia tidak mengembalikannya (menurunkannya)
hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi no. 3386).
Abu Isa Tirmidzi berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ،
لَا نَعْرِفُهُ إلَّا مِنْ حَدِيثِ حَمَّادِ بْنِ عِيسَى، وَقَدْ انْفَرَدَ بِهِ وَهُوَ
قَلِيلُ الْحَدِيثِ، وَحَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ ثِقَةٌ، وَثَقَّهُ يَحْيَى
بْنُ سَعِيدِ الْقَطَّانُ. اهـ.
Ini adalah hadits SHAHIH GHORIB,
kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Hammad bin Isa, dan dia sendirian
di dalamnya dan dia memiliki sedikit hadits, dan Handzala bin Abi Sufyan
tsiqoh, di tautsiq oleh Yahya bin Sa'iid al-Qaththaan ".
Al-Haafidz Ibnu Hajar rohimahullah dalam Bulughul
Maram berkata:
أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، لَهُ
شَوَاهِدُ مِنْهَا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ، وَغَيْرِهِ، وَمَجْمُوعُهَا
يَقْضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi
rohimahullah, dan ada beberapa hadist lainnya yang semakna dengan hadist ini.
Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas didalam Sunan Abi
Dawud dan lainnya, yang secara keseluruhan menyebabkan derajat hadist ini
menjadi HADITS HASAN. [Lihat: kitab Subulus Salam Syarah Bulughul
Marom 2/709]
Ash-Shan'ani setelah menyebutkan hadits Umar
radhiyallahu anhu, dia mengatakan dalam Subulus-Salaam 2/709:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ
مَسْحِ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الْفِرَاغِ مِنَ الدُّعَاءِ. قِيلَ: وَكَأَنَّ
الْمُنَاسَبَةَ أَنَّهُ تَعَالَى لَمْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا فَكَأَنَّ الرَّحْمَةَ
أَصَابَتْهُمَا فَنَاسَبَ إفَاضَةَ ذَلِكَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْأَعْضَاءِ
وَأَحَقُّهَا بِالتَّكْرِيمِ. اهـ
"Di dalamnya terdapat dalil di syariatkan-nya mengusap
wajah dengan kedua tangan setelah selesai doa.
Dikatakan: Seolah-olah ada munasabah bahwa Allah
SWT ketika Dia tidak akan mengembalikan uluran kedua tangan orang yang berdoa
dalam keadaaan NOL, maka seolah-olah rahmat-Nya dipastikan telah menyentuh
kedua tangannya. Dengan demikian sudah sepatutnya untuk mengusapkannya ke wajah
yang merupakan anggota yang paling terhormat dan paling layak mendapat
kehormatan ".
PENULIS KATAKAN:
Di dalam sanadnya ada Hammaad bin Isa, dan dia itu
lemah, dan dia hanya sendirian dalam meriwayatkannya sebagaimana yang
disebutkan oleh Al-Tirmidzi. [Lihat al-Jarh wat Ta'diil karya Ibnu Abi Haatim
ar-Raazi 3/145]
Namun Syeikh Bin Baaz berkata :
"وَرَدَ فِي ذَلِكَ عَدَّةُ أَحَادِيثَ مَجْمُوعَهَا
يَقْضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ".
Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang
semuanya jika dikumpulkan mencapai derajat HASAN.
[Baca: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al
‘Ilmiyyah wal Ifta’, 26/148].
DALIL KE 4:
Dari Ibnu Abbaas, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«سَلُوا اللهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلا
تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا، فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ»
Mintalah kepada Allah dengan perut telapak tangan
kalian, dan jangan meminta kepada-Nya dengan punggung telapak tangan kalian,
lalu ketika kalian selesai berdoa, maka usapkanlah ke wajah-wajah kalian dengan
nya.
[HR. Abu Daud dalam kitab "Sujud Al-Qur'an" dalam BAB
ad-Du'aa (1485) dan lafadz ini lafadz Abu Daud. Dan riwayatkan pula oleh Ibnu
Majah dalam kitab “ad-Du'a” dalam bab “Mengangkat Tangan dalam Doa” Hadis no.
(3866), Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dalam kitab “ad-Du'aa” (1/719) Hadis no.
(1968) dan Al-Bayhaqi dalam “Al-Sunan Al-Kubra” dalam kitab “Doa” dalam bab
“Mengangkat Tangan dalam Qunut” no. (3276)]
Lafadz Ibnu Majah:
«إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ
بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ، وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ
بِهِمَا وَجْهَكَ»
Jika kamu berdoa kepada Allah, berdoalah dengan
bagian dalam dua telapak tanganmu, dan jangan berdoa dengan punggung nya, dan
jika kamu telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan nya.
Imam As-Suyuthi mengutip pernyataan al-Haafidz Ibnu
Hajar dalam kitab "Amaalii" nya yang mengatakan bahwa hadits ini
adalah HADITS HASAN. [Baca: فَضُّ
الوِعَاءِ hal 74]
Akan tetapi Abu Daud sebagai perawi hadits ini
berkata:
رُوِيَ هذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ
وَجْهٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ كُلُّهَا وَاهِيَةٌ، وَهَذَا الطَّرِيقُ أَمْثَلُهَا،
وَهُوَ ضَعِيفٌ أَيْضًا.
Hadits ini diriwayatkan dari lebih dari satu sisi
dari Muhammad bin Ka'b, semuanya lemah, dan jalur ini adalah yang terbaik
darinya, dan ini juga lemah."
Dan Abu Hatim dalam العِلَلُ
(2/351)
berkata: هٰذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ [Ini hadits munkar].
Dan Abu Zur'ah berkata:
حَدِيثٌ مُنْكَرٌ أَخَافُ أَنْ لَا
يَكُونَ لَهُ أَصْلٌ.
Sebuah hadits yang munkar yang saya khawatirkan
tidak ada asalnya. [Lihat as-Silsilah ash-Shahihah karya al-Albaani 2/146]
Dan hadits ini di dhaifkan oleh al-Albaani dalam
Dhaif Ibnu Maajh no. 222
Sebab lemahnya: Karena kelemahan Saleh bin Hasan.
Dia didha'ifkan oleh Ahmad, Ibn Ma'in, Abu Hatim dan Al-Daraqutni.
Dan Al-Bukhari berkata: Haditsnya munkar, dan Abu
Na`im al-Asbahani berkata: Hadits munkar itu ditinggalkan.
Ibnu Hibban berkata: Dia adalah pemilik Qainat dan
Samaa', dan dia biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dengan mengatasakan
namakan dari orang-orang yang kokoh terpercaya.
Ibnu al-Jawzi mengatakan tentang hadits ini: Itu
tidak shahih; di dalamnya terdapat Shaleh bin Hasan
DALIL KE 5:
Dari Yazid bin Sa'id bin Tsumamah:
أنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا
دَعَا فَرَفَعَ يَدَيهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ
Bahwa Nabi ﷺ, ketika dia berdoa maka beliau mengangkat
tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (4/221) no. (17972),
dan Abu Daud dalam kitab “Sujud Al-Qur’an” dalam BAB “ad-Du'aa” 2/79 no.
(1492)].
Dalam sanadnya ada Abdullah Ibn Lahi'ah, dan dia
itu dha'if.
DALIL KE 6:
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي
أَنْ يَرْفَعَ الْعَبْدُ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا لَا خَيْرَ فِيهِمَا فَإِذَا
رَفَعَ أَحَدُكُمْ يَدَيْهِ فَلْيَقُلْ: يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ إِذَا رَدَّ يَدَيْهِ
فَلْيُفْرِغِ الْخَيْرَ عَلَى وَجْهِهِ."
“Sesungguhnya Rabb kalian Maha Pemalu dan Mulia. Ia
merasa malu dari hamba-Nya jika ia (berdo’a) mengangkat tangan kepada-Nya
dengan mengembalikannya dalam keadaan kosong, tidak ada kebaikan pada keduanya.
Maka jika salah seorang di antara kalian mengangkat kedua tangannya, hendaklah
ia mengucapkan:
“Wahai Dzat Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri,
Tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Yang Maha Penyayang di antara yang
penyayang". Baca tiga kali. Kemudian jika ia hendak mengembalikan kedua
tangannya, maka hendaklah ia mencurahkan kebaikan [hasil dari doa nya] pada
wajahnya.
[HR. Thabraani dalam al-Mu'jam al-Kabiir 12/423]
Al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaaid 10/169 berkata:
وَفِيهِ الْجَارُودُ بْنُ يَزِيدَ
وَهُوَ مَتْرُوكٌ.
"Dan di dalam sanad nya ada Al-Jaaruud bin
Yazid, dan dia itu perawi yang ditinggalkan"
DALIL KE 7:
Dari riwayat az-Zuhri:
Abdul Razzaq (w. 211 H) dalam al-Mushannaf 2/247
berkata: Ma`mar memberi tahu kami dari Az-Zuhri:
"كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ فِي الدُّعَاءِ ثُمَّ
يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ".
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: وَرُبَّمَا
رَأَيْتُ مَعْمَرًا يَفْعَلُهُ وَأَنَا أَفْعَلُهُ.
“Rasulullah ﷺ biasa
mengangkat kedua tangannya ke sisi dadanya saat berdoa, lalu mengusap wajahnya
dengan kedua tangannya".
Abdul Razzaq berkata: "Dan terkadang saya
melihat Ma`mar melakukannya, dan saya pun ikut melakukannya juga ". [Baca:
فَضُّ الوِعَاءِ no. 52].
Hadits ini mursal Shahih.
Abdul Fattaah bin Shaleh Quddaisy al-Yaafi'i
berkata:
وَهَذَا مَرْسَلٌ صَحِيحٌ وَالْمَرْسَلُ
حُجَّةٌ عِنْدَ الْجُمْهُورِ وَغَيْرُ حُجَّةٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَبَعْضِ أَهْلِ
الْحَدِيثِ إلَّا أَنْ يَعْتَضَدَ بِهِ مَا يُقُوِّيهِ وَهُوَ هُنَا كَذَلِكَ ثُمَّ
لَوْ فُرِضَ أَنَّ الْوَارِدَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ وَاحِدٌ فَقَطُّ وَهُوَ ضَعِيفٌ فَإِنَّ
الضَّعِيفَ يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ.
Ini adalah Mursal yang shahih, dan mursal itu
hujjah menurut jumhur ulama. Dan bukan hujjah menurut Imam asy-Syafi'i dan
sebagian ahli hadits, kecuali didukung oleh riwayat lain yang menguatkannya.
Dan hadits ini ada penguatnya juga.
Kemudian jika kita menganggap bahwa hanya ada satu
hadits yang disebutkan dalam masalah ini dan hadits tsb lemah, maka hadits yang
lemah juga boleh di amalkan dalam Fadho'il al-A'maal sebagaimana yang telah
ditetapkan.
DALIL KE 8:
Dari Anas bin Malik:
«ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﷺ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺻَﻠَّﻰ
ﻭَﻓَﺮَﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻣَﺴَﺢَ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: " ﺑِﺴْﻢِ
اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ اﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ اﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ، اﻟﻠَّﻬُﻢَّ
ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ ».
Bahwa Rasulullah ﷺ setelah
selesai dari sholat maka beliau mengusap kepala dengan tangan kanan dan berdoa:
"Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Allah, Maha-Rahman
dan Rahim. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku."
Dalam riwayat lain:
«ﻣَﺴَﺢَ ﺟَﺒْﻬَﺘَﻪُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ
اﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ » ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ: « اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ
»
Nabi mengusap kening/ dahi dan berdoa: "Ya
Allah hilangkan susah dan sedih dariku."
[HR. Al-Bazzaar (Kasyful Astaar 'An Zawaa'id al-Bazzaar 4/22 no.
3100)]
Al-Haitsami berkata dalam Majma' az-Zawaa'id
10/110:
ﺭَﻭَاﻩُ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲُّ ﻓِﻲ
اﻷْﻭْﺳَﻂِ، ﻭَاﻟْﺒَﺰَّاﺭُ ﺑِﻨَﺤْﻮِﻩِ ﺑِﺄَﺳَﺎﻧِﻴﺪَ، ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺯَﻳْﺪٌ اﻟْﻌَﻤِّﻲُّ،
ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺛَّﻘَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ اﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ، ﻭَﺑَﻘِﻴَّﺔُ ﺭِﺟَﺎﻝِ
ﺃَﺣَﺪِ ﺇِﺳْﻨَﺎﺩَﻱِ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﺛِﻘَﺎﺕٌ، ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺧِﻼَﻑٌ.
Diriwayatkan oleh Thabrani dan Bazzar dengan
beberapa sanad. Di dalamnya ada Zaid Al-Ammi, lebih dari satu ulama yang
mentautsiq nya [menilainya dipercaya] namun kebanyakan ulama menilainya dha'if.
Para perawi lainnya dari salah satu dua sanad Thabrani adalah tsiqoot [para
perawi yang dipercaya], dan dalam sebagiannya diperselisihkan.
DALIL KE 9 :
Dari ‘Amr bin Qois radhiyallahu
‘anhu:
كانَ – رَسُوْلُ اللهِ ﷺ - إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى، وَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، عَالِمِ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
Apabila Rasulullah ﷺ selesai dari shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan
kanannya dan mengucapkan:
“Dengan nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia,
Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Ya Allah, hilangkan dariku rasa gelisah dan kesedihan.”
Diriwayatkan oleh Aslam Al-Wasithi dalam kitab
*Tarikhnya* (halaman 161), dari Muhammad bin Yazid, dari ‘Anbasah bin ‘Abd
Al-Wasithi, dari ‘Amr bin Qais, ia berkata: … kemudian disebutkan hadis
tersebut secara marfu’.
Hadits ini dinilai dho’if oleh al-Albani dalam
as-Silsilah adh-Dho’ifah no. 3904. Beliau berkata :
وَهٰذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ مُرْسَلٌ،
وَعَمْرُو بْنُ قَيْسٍ جَمْعٌ مِنَ التَّابِعِينَ فَمَنْ دُونَهُمْ، وَلَمْ أَعْرِفْ
هٰذَا مِنْ بَيْنِهِمْ. وَعَنْبَسَةُ بْنُ عَبْدٍ الْوَاسِطِيِّ؛ لَمْ أَجِدْهُ.
“Sanad ini lemah dan mursal. ‘Amr bin Qais adalah nama
yang digunakan oleh beberapa orang dari kalangan tabi’in dan yang setelah
mereka, dan aku tidak mengetahui siapa yang dimaksud di antara mereka. Adapun
‘Anbasah bin ‘Abd Al-Wasithi, aku tidak menemukannya (dalam kitab-kitab rijal)”.
Al-Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah
mengatakan:
فَأَمَّا مَسْحُ الْوَجْهِ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَمَفْهُومُ مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
وَابْنِ عَبَّاسٍ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ. وَرَوَى الْمَيْمُونِيُّ،
عَنْ أَحْمَدَ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ مَسَحَ جَبِينَهُ.
“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah
shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud
dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh.
Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahi jika
selesai shalat.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab Al Hambali 7/360).
DALIL KE 10 :
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu:
كانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ
– وَفِي رِوَايَةِ فَارُوقٍ: إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ – مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى وَقَالَ: بِسْمِ اللهِ، وَفِي رِوَايَةِ فَارُوقٍ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ
الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي
الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
“Rasulullah ﷺ apabila telah selesai dari shalatnya – dan dalam riwayat Faruq
disebutkan: apabila beliau telah memberi salam dari shalatnya – beliau mengusap
keningnya dengan tangan kanannya dan mengucapkan: “Dengan nama Allah.”
Dalam riwayat Faruq disebutkan bahwa beliau berkata:
“Maha Suci Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Ya Allah, hilangkan dariku rasa cemas dan kesedihan.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam
Al-Awsath* (halaman 451 – tambahan dari naskah Haram Makki), dan oleh Al-Khatib
(12/480) dari Katsir bin Salim Abu Salamah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu
As-Sunni (no. 110) dan Abu Nu‘aim dalam *Hilyatul Auliya’* (2/301) melalui
jalur lain.
Hadits ini di nilai dho’if jiddan (lemah
sekali) oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fatuhat ar-Robbaniyah 3/57 dan dalam
Nata’ij al-Afkaar 2/301.
Dan
dinilai dho’if jiddan pula oleh al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 4429,
as-Silsilah adh-Dho’ifah no. 660 dan 1058.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari -nya:
وَلَهُ طُرُقٌ عَنْ أَنَسٍ، كُلُّهَا
وَاهِيَةٌ
“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin
Malik, semuanya lemah.” (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab 7/360).
Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari
Zaid Al 'Ami dari Mu'awiyah, dari Qurrah, dari Anas … (lalu disebutkan hadts di
atas)
Cacatnya hadits ini karena Salam Al Madaini dan
Zaid Al 'Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang disebut sebagai pendusta,
sedangkan Zaid Al 'Ami adalah perawi dhaif .
Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad
hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya
yang juga dhaif .
Secara global, hadits ini dhaif jiddan . ( Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu'ah , No. 1058.
Darul Ma'arif ).
Sementara Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar,
bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul
hadits (haditsnya lemah). (Al Haitsami,
Majma' az Zawaid , 10/47. Darul Kutub Al 'Ilmiyah).
Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al 'Ami
adalah dhaif (lemah).( Ibid, 1/230 ).
Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al 'Ami
adalah dhaif . ( Al 'Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar , 3/46. Darul Fikr ).
Begitu pula kata Imam Al 'Iraqi. ( Takhrijul Ihya'
, 6/290 ).
Al 'Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu
orang menilai bahwa Zaid Al 'Ami adalah
tsiqah (bisa dipercaya), namun
jumhur (mayoritas) menilainya dhaif . (
As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah ,
4/486 )
Ulama yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. ( Ibid, 2/400 ).
Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). ( Ibnu Al Mubarrad, Dam Bahr Ad ,
Hal. 58. Darul Kutub Al 'Ilmiyah ).
Sementara Imam An Nasa'i mengatakan Zaid Al 'Ami
sebagai laisa bil qawwi (bukan orang
kuat hafalannya). ( Al Hafizh Az Zaila'i, Nashbur Rayyah , 7/185. Lihat Abul
Fadhl As Sayyid Al Ma'athi An Nuri, Al Musnad Al Jami' , 14/132 ).
Begitu pula kata Imam Abu Zur'ah. ( Al Hafiz
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta'dil , 3/561. Dar Ihya At
Turats ).
DALIL KE 11 :
dari Anas bin Malik
Radhiallahu 'Anhu mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا قَضَى
صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ
حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ وَيَقُولُ: «بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ
أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ وَالْهَمَّ، اللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ
وَبِذَنْبِي اعْتَرَفْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ، وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْ جَهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَمِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ»
“Rasulullah ﷺ apabila
telah selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap dahinya dengan telapak
tangan kanannya, kemudian mengusapkannya ke wajahnya hingga sampai ke
janggutnya, lalu beliau berdoa:
“Dengan nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia,
Yang Mengetahui perkara gaib dan nyata, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ya Allah, hilangkan dariku kesedihan, kesusahan, dan kegelisahan. Ya Allah,
dengan pujian kepada-Mu aku berpaling (selesai dari shalat), dan dengan dosaku
aku mengakui. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah aku perbuat,
dan aku berlindung kepada-Mu dari beratnya cobaan dunia dan dari azab akhirat.”
( HR Abu Nu'aim, Akhbar Ashbahan 2/66 No. 1105. Mawqi' Jami' Al Hadits ).
Hadits ini
dhaif (lemah).
Karena di dalam sanadnya terdapat pengarang kitab
Daud Al-Muhabbar Al 'Aql . Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits . Imam Ahmad berkata: Dia
tidak mengetahui apa itu hadits.
( Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir , No. 837.
Mawqi' Ya'sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu'afa Ash Shaghir ,
Hal. 45. Darul Ma'rifah. Lihat juga Al Hafizh Al 'Uqaili, Dhu'afa , 2/35. Darul
Kutub Al 'Ilmiyah ).
Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama
menilainya dhaif . ( Khairuddin Az
Zarkili, Al A'lam , 2/334. Darul 'Ilmi wal Malayin ).
Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah
hilang.
Abu Zur'ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah).
Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya
ditinggalkan).
Abu Hatim mengatakan: haditsnya lenyap dan tidak
bisa dipercaya.
Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al-Muhabbar
dalam kitab Al 'Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia
mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya
Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja', dan
Sulaiman bin 'Isa Al Sajazi. ( Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I'tidal , 20/2. No.
2646. Darul Ma'rifah ).
Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits . (
Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta'dil , 3/424, No. 1931 ).
Bahkan Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan
sanad hadits ini adalah maudhu ' (palsu) karena perilaku Daud yang suka
memalsukan sanad ini.
Beliau mengatakan Daud adalah orang yang
dibanggakan sebagai pendusta.
Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami,
Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. ( Syaikh Al-Albani, As
Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu'ah , 3/172 No. 1059. Darul Ma'arif ).
-----
DALIL KE 12 : DARI ATSAAR PARA SAHABAT DAN TABI'IIN
Atsar Ibnu Umar dan atsar Abdullah bin al-Zubair –
radhiyallahu 'anhum -:
Al-Imam al-Bukhori dalam kitab al-Adab al-Mufrad - بَابُ: رَفْعُ الْأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ [Bab: Mengangkat tangan dalam berdo'a] -
hal. 214 meriwayatkan dengan sanadnya: Dari Abu Nu'aym, dan dia adalah Wahb,
yang mengatakan:
رَأَيتُ ابنَ عُمَرَ وابنَ
الزُّبَيرِ يَدْعُوانِ يُدِيرَانِ بِالرَّاحَتَينِ عَلَى الوَجْهِ
"Saya melihat Ibnu Umar dan Ibnu al-Zubair
berdoa sembil memutarkan kedua telapak tangannya ke wajah."[Al-Adab
al-Mufrad hal. 214]
Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Falih dan
ayahnya, yaitu Falih bin Suleiman diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Sahihnya
dan Bukhori berhujjah dengan kedua perawi tsb.
DALIL KE 13:
Abdurrozzaaq (w. 211 H) dalam kitab haditsnya
"al-Mushonnaf 2/252 menuliskan sebuah BAB yang berjudul:
(بَابُ مَسْحِ الرَّجُلِ وَجْهَهُ بِيَدِهِ إذَا
دَعَا).
"Bab: Seseorang mengusap wajahnya dengan
tangannya ketika selesai berdo'a"
Lalu Abdurrozzaaq menyebutkan Atsar (no. 3256) dari
Abdullah bin Umar. Abdurrozzaq berkata:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، «أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، كَانَ يَبْسُطُ يَدَيْهِ مَعَ الْعَاصِ»
وَذَكَرُوا أَنَّ مَنْ مَضَى كَانُوا يَدْعُونَ، ثُمَّ يَرُدُّونَ أَيْدِيَهُمْ
عَلَى وُجُوهِمْ لَيَرُدُّوا الدُّعَاءَ وَالْبَرَكَةَ "
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ:
«رَأَيْتُ أَنَا مَعْمَرًا يَدْعُو بِيَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ، ثُمَّ يَرُدُّ
يَدَيْهِ فَيَمْسَحُ وَجْهَهُ»
Dari Ibnu Juraij, dari Yahya bin Sa'id:
Ibnu Umar biasa mengulurkan kedua tangannya dengan
Al-'Aas, dan mereka menyebutkan bahwa orang-orang yang telah lalu, mereka biasa
berdoa, kemudian membalikkan tangan mereka di wajah mereka ; agar mendapatkan
balasan doa dan keberkahan ".
Abd al-Razzaq berkata: “Aku melihat Ma`mar berdoa
dengan kedua tangannya di sisi dada, kemudian mengembalikan tangannya lalu
mengusap wajahnya.”
DALIL KE 14:
Atsar al-Hasan al-Bashry:
Dan As-Suyuti meriwayatkan dalam “فَضُّ الوِعَاءِ” dari Al-Hasan Al-Bashri: Bahwa dia mengusap wajah dengan
tangan setelah berdoa
“Al-Firyabi berkata: Ishaq bin Raahwayh menceritakan kepada
kami: Al-Mu`tamar bin Suleiman mengkabarkan kepada kami, dia berkata:
“رَأَيْت أَبَا كَعْب صَاحب الْحَرِير يَدْعُو
رَافعا يَدَيْهِ فاذا فرَغ مسَح بهما وَجهَه فَقُلْت لَهُ من رَأَيْت
يفعل هَذَا قَالَ الْحسن بن أبي الْحسن"
Saya melihat Abu Ka'b – pemilik al-Hariir - berdoa
dengan mengangkat kedua tangannya, dan ketika dia selesai, maka dia mengusap
wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Saya bertanya kepadanya: " Siapa yang Anda
lihat orang yang melakukan ini?
Dia menjawab: Al-Hasan bin Abu Al-Hasan [Yasaar
al-Bashry]
As-Suyuthi berkata: " ISNADNYA HASAN
". [فَضُّ الوِعَاءِ hal.
101-102 no. 59]
Adapun apa yang diriwayatkan dari Imam al-Izz ibnu
Abdus-Salam: " bahwa hanya orang bodoh yang mengusap wajah setelah berdoa
"
Az-Zarkashi menjawab dalam kitabnya “الأزْهِيَةُ فِي الأَدْعِيَة” tentang itu dengan mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُ الْعِزِّ فِي فَتَاوَيهِ
الْمَوْصُولِيَّةِ: مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ فِي الدُّعَاءِ لَا يَفْعَلُهُ
إلَّا جَاهِلٌ، فَمُحْمَلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الْأَحَادِيثِ
وَهِيَ وَإنْ كَانَتْ أَسَانِيدُهَا لَيِّنَةٌ لَكِنَّهَا تَقُوَّى بِاجْتِمَاعِ طُرُقِهَا"
Adapun perkataan Al-Izz dalam Fatawaa
Al-Maushiliyyah-nya: bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan bid'ah dalam
berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh", maka perkataan
dia ini dianggap bahwa dia tidak membaca hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits tsb meskipun sanadnya layyin [lembut], namun bisa menjadi
kuat [shahih] dengan menggabungkan jalur-jalurnya ".
[Di kutip dari جُزْءٌ
فِي مَسْحِ الوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ karya Bakr Abu Zaid hal. 25]
Imam Al Khathabi Rahimahullah mengomentari
perkataan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam yang menyebut “bodoh” orang yang
mengusap wajah setelah berdoa, katanya:
وَقَوْل بَعْضِ الْفُقَهَاءِ
فِي فَتَاوِيهِ: وَلاَ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَ الدُّعَاءِ إِلاَّ
جَاهِلٌ ، مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الأْحَادِيثِ
Pendapat sebagian fuqaha dalam fatwa mereka adalah tidaklah mengusap wajah dengan kedua
tangannya setelah berdoa melainkan orang bodoh, bisa jadi bahwa dia belum
menelaah masalah ini dalam banyak hadits. (Al Futuhat Ar Rabbaniyah ‘Alal
Adzkar, 7/258)
*****
PENDAPAT KEDUA: TIDAK DI SYARI'ATKAN
Yakni : tidak di syari'atkan mengusap wajah setelah
berdoa
Sebagian para ulama berpendapat: bahwa mengusap
wajah setelah berdoa itu tidak disyariatkan.
Mereka beralasan: bahwa riwayat hadits yang mutawatir dalam sunah doa Nabi ﷺ kepada Rabb-nya. Tidak terdapat riwayat yang valid
bahwa beliau mengusap wajahnya setelah berdoa.
====
BERIKUT INI PERNYATAAN PARA ULAMA DARI KELOMPOK PENDAPAT INI:
----
IBNU AL-MUBAARAK
Al-Bayhaqi meriwayatkan dengan sanad-nya dari Ali
Al-Baasyaani yang berkata:
سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الْمُبَارَكِ
عَنِ الَّذِي إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ. قَالَ: “لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبُوتاً. أَيْ
مُسْتَنِّداً قَالَ عَلِيٌّ وَلَمْ أَرَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ".
Saya bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarak
tentang orang yang jika dia berdoa, mengusap wajahnya. Dia menjawab: “Saya
tidak menemukan ketetapan dalilnya, yakni yang bersanad. Ali berkata: saya
tidak melihatnya melakukan itu?".
[Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam al-Sunan
al-Kubra (2/212).]
Dan disebutkan dalam kitab Mukhtashar Kitab Al
Witr:
وَسُئِلَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنْ الرَّجُلِ يَبْسُطُ يَدَيْهِ فَيَدْعُو ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا
وَجْهَهُ فَقَالَ كَرِهَ ذَلِكَ سُفْيَانُ.
Abdullah -yakni Abdullah bin Al Mubarak- ditanya
tentang seorang laki-laki menengadahkan kedua tangannya dia berdoa, lalu
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, Beliau menjawab: “Sufyan memakruhkan
hal itu.” (Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 162)
-----
IMAM MALIK:
Imam Ahmad bin Ali Al Muqraizi menceritakan:
وَسُئِلَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْ الرَّجُلِ يَمْسَحُ بِكَفَّيْهِ وَجْهَهُ عِنْدَ الدُّعَاءِ فَأَنْكَرَ
ذَلِكَ وَقَالَ: "مَا عَلِمْتُ".
Imam Malik Rahimahullah ditanya tentang seorang
laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdoa, lalu dia
mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.” (Mukhtashar Kitab Al Witri, Hal.
152)
-----
IMAM AHMAD
Ahmad bin Hanbal berkata:
لَا يُعْرَفُ هَذَا، أَنَّهُ كَانَ
يَمْسَحُ وَجْهَهُ بَعْدَ الدُّعَاءِ إلَّا عَنِ الْحَسَنِ.
“Tidak dikenal bahwa beliau ﷺ mengusap wajahnya setelah berdoa kecuali
dari al-Hasan (al-Bashri].” (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 2/840, 841).
Abu Dawud berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنْ
الرَّجُلِ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ إذَا فَرَغَ فِي الْوَتْرِ فَقَالَ:
"لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ بِشَيْءٍ". وَرَأَيْتُ أَحْمَدَ لَا يَفْعَلُهُ.
أهـ
Saya mendengar Ahmad dan dia ditanya tentang
seorang pria yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika dia selesai
shalat witir ? Lalu dia menjawab: " saya tidak mendengar apa-apa tentang
itu". Dan saya melihat Imam Ahmad tidak melakukannya.
[Baca: Mukhtashar Kitab al-Witir karya Al-Muqraizi (1/152)].
------
IZZUDDIN BIN ABDUS SALAM
Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam dalam Fatawaa
Al-Maushiliyyah-nya menyatakan:
وَلَا يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
عَقِيبَ الدُّعَاءِ إلَّا جَاهِلٌ.
“Tidak ada yang mengusap wajahnya dengan kedua
tangannya setelah berdoa kecuali orang yang bodoh.” (Fatawa Al-Iz bin Abdus
Salam, hal. 47).
Dalam riwayat lain:
مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ
فِي الدُّعَاءِ لَا يَفْعَلُهُ إلَّا جَاهِلٌ.
“Bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan
bid'ah dalam berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh".
[Faidhul Qadir karya al-Munawi 1/473 dan Mughni Muhtaj, 2/360]
Az-Zarkashi menjawab dalam kitabnya “الأزْهِيَةُ فِي الأَدْعِيَة” tentang pernyataan al-Izz dengan mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُ الْعِزِّ فِي فَتَاوَيهِ
الْمَوْصُولِيَّةِ: "مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدِ بِدْعَةٌ فِي الدُّعَاءِ لَا
يَفْعَلُهُ إلَّا جَاهِلٌ، فَمُحْمَلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الْأَحَادِيثِ
وَهِيَ وَإِنْ كَانَتْ أَسَانِيدُهَا لَيِّنَةٌ لَكِنَّهَا تَقُوَّى بِاجْتِمَاعِ طُرُقِهَا".
Adapun perkataan Al-Izz dalam Fatawaa
Al-Maushiliyyah-nya: bahwa Mengusap wajah dengan tangan merupakan bid'ah dalam
berdoa yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bodoh", maka perkataan
dia ini dianggap bahwa dia tidak membaca hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits tsb meskipun sanadnya layyin [lembut], namun bisa menjadi kuat
[shahih] dengan menggabungkan jalur-jalurnya ".
[Di kutip dari جُزْءٌ
فِي مَسْحِ الوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ karya
Bakr Abu Zaid hal. 25]
-----
IBNU TAIMIYAH
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ ﷺ
يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ،
وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ، أَوْ
حَدِيثَانِ، لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Ada pun Nabi ﷺ mengangkat
kedua tangan ketika berdoa, hal itu telah diterangkan dalam banyak hadits
shahih, sedangkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, maka tidak ada yang
menunjukkan hal itu kecuali satu hadits atau dua hadits yang keduanya tidak
bisa dijadikan hujjah. Wallahu A’lam
(Al Fatawa Al Kubra, 2/219, Majmu’ Al Fatawa, 22/519, Iqamatud
Dalil ‘Ala Ibthalit Tahlil, 2/408)
-----
SHOLEH FAUZAN
Syaikh Sholeh Al Fauzan ditanya: “Apa hukum mengusap
wajah setelah berdo’a?”
Jawaban beliau: “Hadits yang membicarakan amalan tersebut tidak
shahih.
Namun siapa yang mengamalkan hal ini tidak perlu
diingkari. Akan tetapi, yang tidak mengusap wajah setelah berdo’a, itulah yang
ahsan (lebih baik).”
[Sumber: Sesi Tanya Jawab, Durus Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 25
Rabi’ul Awwal 1432 H, Riyadh-KSA]
-----
AL-ALBAANI
Dan syeikh al-Albaani rahimahullah berkata:
"وَمِمَّا يُؤَيِّدُ عَدَمَ مَشْرُوعِيَّتِهِ
[أَيْ مَسْحِ الْوَجْهِ] أَنَّ رَفْعَ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ قَدْ جَاءَ فِيهِ
أَحَادِيثَ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَلَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْهَا مَسْحُهُمَا بِالْوَجْهِ
فَذَلِكَ يَدُلُّ – إنْ شَاءَ اللَّهُ – عَلَى نَكَارَتِهِ وَعَدَمِ مَشْرُوعِيَّتِهِ.
ا.هـ".
Dan yang mendukung tidak disyariatkan-nya [yaitu
mengusap wajah] adalah bahwa mengangkat tangan dalam berdoa telah disebutkan
dalam banyak hadits shahih, akan tetapi tidak ada satupun dari hadits-hadits
tsb yang menyebutkan "mengusap wajah dengan kedua tangannya", maka
ini menunjukkan - insya Allah – akan kemungkarannya dan tidak di
syariatkan-nya. [Baca: Irwa al-Ghalil (2/182)]
Sebagian ulama lain memamakruhkannya, bahkan
mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat.
Berikut ini penjelasan dari Imam Ibnu Rajab
Rahimahullah :
وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ؛ لِمَا فِيهِ
مِنْ إِزَالَةِ أَثَرِ الْعِبَادَةِ، كَمَا كَرِهُوا التَّنْشِيفَ مِنَ الْوُضُوءِ
وَالسِّوَاكَ لِلصَّائِمِ.
وَقَالَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ:
لَا تَزَالُ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى الْإِنْسَانِ مَا دَامَ أَثَرُ السُّجُودِ
فِي وَجْهِهِ.
خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ
صَحِيحٍ.
وَحَكَى الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى
رِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ، أَنَّهُ كَانَ فِي وَجْهِهِ شَيْءٌ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
فَمَسَحَهُ رَجُلٌ، فَغَضِبَ، وَقَالَ: قَطَعْتَ اسْتِغْفَارَ الْمَلَائِكَةِ عَنِّي.
وَذَكَرَ إِسْنَادَهَا عَنْهُ، وَفِيهِ
رَجُلٌ غَيْرُ مُسَمًّى.
وَبَوَّبَ النَّسَائِيُّ: (بَابُ
تَرْكِ مَسْحِ الْجَبْهَةِ بَعْدَ التَّسْلِيمِ)، ثُمَّ خَرَّجَ حَدِيثَ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ الَّذِي خَرَّجَهُ الْبُخَارِيُّ هَاهُنَا، وَفِي آخِرِهِ: قَالَ أَبُو
سَعِيدٍ: مَطَرْنَا لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ، فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِي مُصَلَّى
النَّبِيِّ ﷺ، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَقَدِ انْصَرَفَ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَوَجْهُهُ
مُبْتَلٌّ طِينًا وَمَاءً.
Sekelompok ulama memakruhkannya (mengusap dahi
setelah shalat), karena hal itu dianggap menghilangkan bekas ibadah,
sebagaimana mereka juga memakruhkan mengeringkan anggota wudhu dan bersiwak
bagi orang yang berpuasa.
Ubaid bin Umair berkata: “Para malaikat senantiasa
memohonkan ampun bagi seseorang selama bekas sujud masih tampak di wajahnya.”
Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan
sanad yang sahih.
Qadhi Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa
pada wajahnya terdapat bekas sujud, lalu seseorang mengusapnya, maka beliau
marah dan berkata: “Engkau telah memutuskan istighfar para malaikat untukku.”
Ia menyebutkan sanadnya dari Imam Ahmad, namun di dalam sanad itu terdapat
seorang perawi yang tidak disebutkan namanya.
An-Nasa’i membuat bab dengan judul: “Bab: Tidak
Mengusap Dahi Setelah Salam,” kemudian ia meriwayatkan hadis Abu Sa’id
Al-Khudri yang juga diriwayatkan Al-Bukhari di tempat ini. Pada akhir hadis itu
disebutkan: Abu Sa’id berkata, “Kami diguyur hujan pada malam tanggal dua puluh
satu (Ramadhan), lalu atap masjid menetes di tempat shalat Nabi ﷺ. Maka
aku melihat beliau setelah selesai shalat Subuh, wajahnya basah oleh tanah dan
air.” [Lihat : Fathul Bari karya Ibnu Rajab
7/360-361]
*****
HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHA'IF
Ada tiga pendapat:
PENDAPAT PERTAMA:
Hadits Dha’if Boleh Diamalkan secara mutlak, baik
hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’maupun Fadloilul a’maal [فَضَائِلُ الأعْمَالِ] akan tapi dengan Syarat –syarat tertentu:
Ada Sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak, Yakni tidak ada batasan pada
hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah,
hukum syari’, Fadloilul a’maal (فَضَائِلُ
الأعْمَالِ) dsb.
Semuanya diperbolehkan, tapi DENGAN SYARAT sbb :
1. Tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu
bab kecuali hadits dha’if tersebut
2. dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya / bertentangan.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Daud, Imam
Ahmad, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Rahman bin Mahdi, dan Sufyan Al-Thawri,
Ibnu Abdil Barr, semoga Allah merahmatinya.
[Baca: (الفتوحات
الربانية) (1/182) حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ
الأعْمَالِ karya
Abdul Khaliq hal 3]
===
PENDAPAT KEDUA:
Hadits Dha’if Hanya BOLEH Diamalkan dalam Fadhoil
A'maal [فَضَائِلُ
الأعْمَالِ] dengan
Syarat-Syarat Tertentu
Imam An-Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu
Hajar Al-Haitami menukil: kesepakatan JUMHUR ULAMA dan FUQOHA atas pendapat
yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil a'maal.
Pendapat ini dijadikan pedoman oleh banyak para
imam, diantaranya: Imam Ibnu Hajar Al
Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad, Abu Zakariya, dan Ibnu Mahdi. [Baca:
Abdul Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ
الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ, hlm 3]
Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi
berikut:
اِذَا رَاوَيْنَا فِى الحَلاَلِ
وَالحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِى الفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا
تَسَاهَلْنَا
Artinya: “Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam
masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan jika kami meriwayatkan
(hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah”. [Baca: Abdul
Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ
الأعْمَالِ, hlm 3].
Imam Al-Zarkashi Al-Syafi'i mengatakan dalam bukunya “النُّكَتُ
عَلَى مُقَدِّمَةِ ابْنِ الصَّلَاحِ.”:
: أجمع أهل
الحَدِيث وَغَيرهم على الْعَمَل فِي الْفَضَائِل وَنَحْوهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ
حكم وَلَا شَيْء من العقائد وصفات الله تَعَالَى بِالْحَدِيثِ الضَّعِيف فِي فَضَائِلُ
الأعْمَالِ، إِذا علمت هَذَا فقد نَازع بعض الْمُتَأَخِّرين وَقَالَ جَوَازه
مُشكل، فَإِنَّهُ لم يثبت عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، فإسناد الْعَمَل
إِلَيْهِ يُوهم ثُبُوته وَيُؤَدِّي إِلَى ظن من لَا معرفَة لَهُ بِالْحَدِيثِ
الصِّحَّة فينقلونه ويحتجون بِهِ، وَفِي ذَلِك تلبيس، قَالَ: وَقد نقل بعض
الْأَثْبَات عَن بعض تصانيف الْحَافِظ أبي بكر بن الْعَرَبِيّ الْمَالِكِي أَنه
قَالَ: إِن الحَدِيث الضَّعِيف لَا يُعْمل بِهِ مُطلقًا. اهـ
Para ulama ahli hadits dan yang lainnya dulu telah
ber Ijma’ [bersuara bulat] akan bolehnya mengamalkan hadits-hadits Dhoif dalam
Fadloilul a’maal (فَضَائِلُ الأعْمَالِ) dan yang semisalnya, selama mengamalkan
hadits dhoif tsb tidak berkaitan dengan hukum syar’i dan juga bukan hal-hal
yang berkaitan dengan Aqidah serta sifat-siafat Allah Ta’aala
Jika mengetahui hal ini, maka sungguh setelah masa itu ada sebagian ulama dari
generasi akhir yang memprotesnya dan mengatakan bahwa jika hal tsb diperbolehkan,
maka itu bermasalah, dengan alasan bahwa yang namanya hadits dhoif itu hadits
yang tidak valid datang dari Nabi SAW. Maka menyandarkan dalil sebuah amalan
kepadanya akan memberi kesan kevalidan hadits tsb. Dan dampaknya adalah
terhadap orang-orang yang tidak faham ilmu hadits, mereka mengira bahwa hadits
tsb Shahih, lalu mereka menyebarkannya dan berhujjah dengannya. Dan yang
demikian itu adalah bentuk pengelabuan.
Dia berkata: “Ada beberapa orang-orang yang kokoh lagi di percaya menukil dari sebagian
karya-karya Hafidz Abu Bakr bin Al-Arabi Al-Maliki bahwa dia mengatakan: Hadis
yang lemah itu tidak boleh diamalkan sama sekali”. SELESAI
===
PENDAPAT KE TIGA:
Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak
Yakni: pendapat ke tiga ini tidak membolehkan
pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum syari’,
aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati.
Ini adalah pendapat: Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnu
al-Arabi al-Maaliki, Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm –rahimahullahu- dan
lain-lain.
Baca: [Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113 dan
Abdul Khaliq, حُكْمُ قَبُولِ الحَدِيْثِ
الضَّعِيْفِ فِي فَضَائِلُ الأعْمَالِ, hlm 3]
IMAM BUKHORI: Benarkah beliau melarang pengamalan
hadits dho'if ?
Ada yang mengatakan:
“Bahwa dalam pembahasan ini, tidak satupun kitab yang
mencantumkan penjelasan Imam Bukhori dan Imam Muslim yang melarang pengamalan
hadits dha’if.
Para ulama hanya menyimpulkan kecenderungan Imam
Bukhori dan imam Muslim kepada pendapat ini setelah melihat kitab shahih mereka
berdua yang seluruh haditsnya shahih".
0 Komentar