Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MANA YANG LEBIH DAHSYAT ? PEMALAKAN terhadap "PEDAGANG (AL-MAKS)" atau "PENCARI ILMU AGAMA", berkemas INFAQ & SUMBANGAN WAJIB.

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NADI AL-ISLAM

====
﴿بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾

CUPLIKAN :

AHLI IBADAH, PARA DA’I DAN QORI YANG TIDAK BEKERJA MENCARI RIZKI YANG HALAL, MEREKA ADALAH PARASIT & BENALU HARTA MANUSIA.

Dan diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu :

أنَّ عُمَرَ مَرَّ بِقَومٍ مِنَ القُرَّاءِ فَرَآهُمْ جُلُوسًا قَدْ نَكَسُوا رُؤُوسَهُمْ، فَقَالَ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هُمُ المُتَوَكِّلُونَ، فَقَالَ: كَلاَّ، وَلَكِنَّهُمُ المُتَأكِّلُونَ، يَأكُلُونَ أموَالَ النَّاسِ. ألا أُنَبِّئكُمْ مَنِ المُتَوَكِّلُونَ؟ فَقِيلَ: نَعَمْ. فَقَالَ: هُوَ الَّذِي يُلقِي الحَبَّ فِي الأرْضِ، ثُمَّ يَتَوَكَّلُ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Bahwa Umar melewati beberapa Qori ( para guru ngaji dan qori al-Quran ) dan melihat mereka duduk dan menundukkan kepala, Lalu beliau bertanya : Siapa mereka ini?

Dijawab : Mereka adalah orang-orang yang ahli tawakkal .

Maka Umar berkata : Tidak, tetapi mereka pemakan harta para manusia . Mau kah aku memberi tahu kepada kalian tentang siapakah para ahli tawakkal itu ?

Dijawab : Ya. Beliau berkata : “ Dialah yang menaburkan benih di ladang, kemudian dia bertawakkal kepada Rabbnya, Azza wa Jalla “.

Dalam riwayat lain beliau mengatakan :

يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ ارْفَعُوا رُءُوسَكُمْ وَاكْتَسِبُوا لِأَنْفُسِكُمْ

“ Wahai para Qori , angkat kepala kalian dan cari lah mata pencaharian untuk diri kalian “.

[ Di sebutkan oleh As-Sarkhosy dalam “ٱلْمُبْسُوطُ” (30/248)].

===

SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG JUALAN AGAMA

Nasihat Al-Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah kepada Ibnu ‘Ulayyah rahimahullah:

يَا جَاعِلَ الْعِلْمِ لَهُ بَازِيًا *

يَصْطَادُ أَمْوَالَ الْمَسَاكِينِ احْتَلَّتْ لِلدُّنْيَا وَلَذَاتِهَا *

بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ فَصِرْتَ مَجْنُوْنًا بِهَا بَعْدَمَا *

كُنْتَ دَوَاءً لِلْمَجَانِيْنَ أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى *

عَنْ ابْنِ عَوُنَ وَابْنِ سِيْرِيْنَ وَدَرْسِكَ الْعِلْمِ بِآثَارِهِ *

فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السُّلاَطِيْنَ تَقُوْلُ: أُكْرِهْتُ، فَمَاذَا كَذَا *

زَلَّ حِمَارُ الْعِلْمِ فِي الطِّيْنِ لَا تَبْعَ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا كَمَا *

يَفْعَلُ ضَلَالُ الرُّهَابِيْنَ

“Wahai orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk menjaring harta orang-orang miskin,

diambil demi dunia dan kesenangannya.

Dengan tipu daya engkau menghilangkan agama,

lalu engkau menjadi orang yang gila setelah dulunya engkau adalah obat bagi orang-orang gila.

Di manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin.

Dan manakah ilmu yang kamu pelajari dengan atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk meninggalkan pintu-pintu penguasa? Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa?

Demikianlah keledai ilmu tergelincir di tanah liat yang basah.

Janganlah kamu jual agama dengan dunia sebagaimana perbuatan para rahib yang sesat.” (“Siyar A’lamin Nubala”/9/110).

(Cuplikan Selesai)

====

MANA YANG LEBIH DAHSYAT? PEMALAKAN terhadap "PEDAGANG (AL-MAKS)" atau "PENCARI ILMU AGAMA", berkemas INFAQ & SUMBANGAN WAJIB?.

===****===

DAFTAR ISI

  • PENDAHULUAN:

  • PEMBAHASAN PERTAMA: PUNGUTAN ATAU IURAN DARI PARA PEDAGANG
  • KATEGORI PERTAMA: PUNGUTAN LIAR DARI PARA PEDAGANG TANPA ADA JASA:
  • KATEGORI KEDUA: PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG KARENA ADA JASA:

  • APAKAH PAJAK NEGARA ITU TERMASUK AL-MAKS YANG DIHARAMKAN
  • DEFINISI PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)
  • HUKUM PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)
  • NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM NASRANI NAJRAN:
  • NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM MAJUSI BAHRAIN :
  • DIANTARA PENGECUALIAN DALAM MAKNA AL-MAKS:

  • PEMBAHASAN KEDUA: PEMALAKAN DAN PEMUNGUTAN DARI PARA PENUNTUT ILMU AGAMA:
  • KATEGORI PERTAMA: PUNGUTAN LIAR DARI PENUNTUT ILMU SYAR'I TANPA ADA JASA:
  • KAIDAH UMUM DALAM HAL MENYEBAR LUASKAN ILMU AGAMA:
  • BOLEH UPAH ILMU SYAR'I DARI PIHAK LAIN [INDEPENDEN]:

  • APAKAH HUKUM UPAH JASA MENGAJAR ILMU SYAR'I BISA DI SAMAKAN DENGAN PUNGUTAN PAJAK DAN UPETI KARENA JASA?
  •  
  • DI ANTARA DALIL-DALIL LARANGAN MENGAMBIL PUNGUTAN DARI PARA PENUNTUT ILMU AGAMA. Adalah sbb:
  • DALIL PERTAMA: ORANG DURHAKA MAKAN DAN MINUMNYA HASIL DARI AL-QUR'AN.
  • DALIL KEDUA: HADITS-HADITS YANG MELARANG MENERIMA UPAH MENGAJAR AL-QUR'AN:
  • DALIL KETIGA: HADITS JAMINAN NERAKA BAGI YANG MENCARI ILMU AGAMA BERNIAT UNTUK POPULARITAS, MATA PENCAHARIAN DAN KEDUDUKAN:
  • DALIL KEEMPAT: BELAJAR MENGAJAR ILMU AGAMA DAN BERDAKWAH ITU KEWAJIBAN, BUKAN UNTUK DI BISNISKAN DAN DIJADIKAN MATA PENCAHARIAN.

  • DALIL KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU AGAMA:
  • DALIL KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA:
  • DALIL KE LIMA: BERJIHAD, BERSAFARI UNTUK DAKWAH, MENGAJARKAN ILMU AGAMA DAN BER AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR ADALAH TRANSAKSI JUAL BELI DENGAN ALLAH DI BAYAR DENGAN SYURGA DAN AMPUNAN.

  • CERAMAH SYEIKH 'AIDH AL-QORNI TENTANG ISLAM MASUK INDONESIA:
  • DALIL KE ENAM: PARA NABI DAN RASUL TIDAK ADA YANG MENERIMA UPAH DALAM BERDAKWAH
  • DALIL KE TUJUH: AHLI MADINAH DAN PARA SALAF TIDAK MENGAMBIL UPAH DALAM BERDAKWAH

  • PENDAPAT STEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH: HANYA ORANG FAKIR YANG BOLEH MENERIMA UPAH MENGAJAR ILMU AGAMA.

  • AHLI IBADAH, PARA DA’I DAN QORI YANG TIDAK BEKERJA MENCARI RIZKI YANG HALAL, MEREKA ADALAH PARASIT & BENALU HARTA MANUSIA

  • PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN UPAH MENGAJAR ILMU AGAMA BESERTA DALILNYA
  •  
  • BERHATI-HATILAH DENGAN SUMBER HARTA ANDA!
  • JANGAN LAH ANDA MENGEMAS YANG HARAM DENGAN NAMA YANG HALAL!
  • PERNYATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG DANA SUMBANGAN:
  • OLOK-OLOKAN PARA MISSIONARIS DAN MURTADDIIN DI MEDSOS TENTANG SIAPA SEBENARNYA YANG SUKA MEMPERJUAL BELIKAN AYAT-AYAT ALLAH :

===*****===

HUKUM DANA HASIL PEMALAKAN DARI "PARA PEDAGANG" DAN "PARA PENCARI ILMU AGAMA" YANG DIKEMAS DENGAN NAMA INFAQ DAN SUMBANGAN WAJIB?

SERTA PERBANDINGAN ANTAR KEDUANYA : *MANA YANG LEBIH DAHSYAT?*

******

﴿بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾

PENDAHULUAN:

Sekarang-sekarang ini di tengah kaum muslimin banyak diketemukan berbagai macam ladang bisnis, usaha dan mata pencaharian yang mengandung unsur kemungkaran dan bertentangan dengan syariat Islam, lalu oleh sebagian mereka di kemas dan balut dengan hal-hal yang nampak syar'i, baik namanya maupun slogan-slogannya.

Di antaranya adalah:

Pertama: pemalakan dan pungutan dari para pedagang yang melintas atau para pedagang yang menempati fasiltas umum yang tidak ada larangan dari pemerintah untuk melakukan berbagai macam kegiatan bisnis di lokasi tersebut.

Kedua: pemalakan dan pungutan dari para penuntut ilmu syar'i, para santri dan para pelajar ilmu agama. Seperti dari orang yang belajar Al-Qur'an, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih dan ilmu agama lainnya. Sementara Ilmu Agama adalah milik Allah, yang mana umat Islam wajib menjaganya.

========

PEMBAHASAN PERTAMA: 
PEMALAKAN ATAU PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG


===

Berkenaan dengan masalah pemalakan dan pungutan dari para pedagang ini ada DUA KATEGORI pungutan:

*****

KATEGORI PERTAMA: PUNGUTAN LIAR DARI PARA PEDAGANG TANPA ADA JASA:

PUNGUTAN LIAR atau JAPREM yang di ambil dari para pedagang tanpa ada jasa yang diberikan pada mereka, dalam syariat Islam dikenal dengan istilah AL-MAKS [المَكْسُ].

Contohnya: seperti pemalakan dan pungutan dari para pedagang yang melintas atau para pedagang yang menempati fasiltas umum yang tidak ada larangan dari pemerintah untuk melakukan berbagai macam kegiatan transaksi usaha di di lokasi tersebut. Lalu para pemungut itu memaksa para pedagang untuk membayar upeti pada mereka, tanpa ada jasa yang selaras dengan upeti yang mereka ambil.

DEFINISI AL-MAKS :

Banyak definisi yang berkenaan dengan makna istilah al-Maks, di antaranya:

Al-Khoththoobi rahimahullah (W. 388 H) dalam مَعَالِمُ السُّنَنِ (3/235 cet. Daar al-Hazm) mendefinisikan:

صَاحِبُ الْمَكْسِ هُوَ الَّذِي يُعَشِّرُ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ، وَيَأْخُذُ مِنَ التُّجَّارِ وَالْمُخْتَلِفَةِ إِذَا مَرُّوا عَلَيْهِ مَكْسًا بِاسْمِ الْعُشْرِ.

“Pelaku al-Maks adalah: yang mengambil pungutan dari harta kaum muslimin, dan mengambil dari para pedagang dan yang lain jika mereka melewatinya sebagai maks [pungutan] dengan istilah al-'Usyr”.

Abu Hilal Al-Askari berkata:

وَيُطْلَقُ عَلَى الضَّرِيبَةِ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الأَسْوَاقِ: أَي عَلَى الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ.

“Ini disebut dhoriibah (cukai) yang diambil di pasar-pasar: yaitu, pada penjualan dan pembelian”.

[Baca: Al-Mishbaah 2/703, Ghariib Al-Hadith karya Al-Busti 1/219, dan Al-Ifshooh fi Fiqh Al-Lughoh 1235]

Definisi yang terbaik adalah apa yang dikatakan oleh Al-Aluusi, semoga Allah merahmatinya, [W. 1317 AH] dalam جالاء العينين hal. 283:

المَكُوسُ مَا يُؤْخَذُ مِنَ التُّجَّارِ بِغَيْرِ وَجْهٍ شَرْعِيٍّ.

"Al-Maks adalah apa yang diambil dari para pedagang secara tidak syar'i".

===***===

HUKUM AL-MAKS:

Al-Maks [uang pungutan/japrem dan yang semisalnya] termasuk “Dosa Besar”.

Di antara contohnya adalah pungutan dari para pedagang yang menyewa toko-toko pasar dari kotamadya atau dari pemiliknya yang sah, maka tidak boleh bagi pemungut al-maks ini mengambil tambahan berupa pungutan dari mereka secara zalim tanpa sebab yang dibenarkan. Inilah yang diharamkan dalam syariat Islam, bahkan termasuk “DOSA BESAR”.

Para ulama salaf dahulu telah sepakat akan haramnya pungutan-pungutan tersebut dari kaum muslimin.

****

DALIL-DALILNYA:

DALIL KE 1:

Dari hadits Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu; bawah Rasulullah pernah bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ.

“Sesungguhnya penarik pungutan itu masuk neraka”

[HR. Ahmad 4/109 Al-Arna’uth berkata: Hasan lighairihi].

DALIL KE 2:

Dari 'Uqbah bin 'Aamir, bahwa Rosulullah bersabda:

لا يَدْخُلُ الجنةَ صاحِبُ مَكْسٍ

“Tidak akan masuk surga penarik pungutan”

[HR. Ahmad 4/143 & 150, Abu Dawud no. 2937, Ad-Daarimiy 1/330, dan Al-Haakim 1/404 Al-Arna’uth berkata: Hasan lighairihi].

Namun di Dha'ifkan oleh syeikh al-Albaani dalam Dha'if Abi Daud no. 2937 dan Dho'if al-Jaami' no. 6341.

DALIL KE 3:

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:

“إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ لَا يُسْأَلُ عَنْ شَيْءٍ وَيُؤْخَذُ كَمَا هُوَ فَيُرْمَى بِهِ فِي النَّارِ”

“Sesungguhnya pengambil pungutan tidak akan ditanya tentang sesuatu sebagaimana mestinya, melainkan ia langsung dilemparkan dengannya ke dalam neraka”

[HR. Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal hal. 704. Dan Lihat: أحكام أهل الذمة في أموالهم 1/331]

DALIL KE 4:

Dalam Sahih Muslim, dari Buraidah, Rasulullah bersabda tentang wanita yang berzina kemudian bertaubat dengan di rajam hingga wafat. Beliau bersabda:

فوالذي نَفْسي بيَدِه لقد تابتْ تَوبةً لو تابَها صاحبُ مَكْسٍ لغفَرَ اللهُ له

“Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik al-maks bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya.” (HR. Muslim no. 1685)

Dalam sabda beliau tersebut memberikan satu pengertian dosa para penarik pungutan al-maks lebih besar daripada dosa pelaku zina, karena beliau membandingkan dosa zina dengan sesuatu yang besar/lebih besar agar Mu’adz tidak mencela orang yang telah bertaubat dari perbuatan zina.

Al -Nawawi berkata:

فِيهِ ‌أَنَّ ‌الْمَكْسَ ‌مِنْ ‌أَقْبَحِ ‌الْمَعَاصِي ‌وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وظلاماتهم عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا

“Di dalamnya, menunjukkan bahwa al-Maks adalah salah satu kemaksiatan yang paling buruk dan dosa-dosa yang membinasakan ; dikarenakan banyaknya manusia kelak yang akan menuntutnya…” [al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 11/203]".

Lihat pula: (ذخيرة القربى) 9/242 dan (إكمال المعلم) 5/522

Dan tidak ada bedanya, apakah dia itu mengambilnya dalam bentuk upeti atas nama dirinya atau atas nama badan resmi lain atau atas nama kelompok yang lain.

DALIL KE 5 :

Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ;

عَرَضَ ‌مَسْلَمَةُ ‌بْنُ ‌مُخَلَّدٍ - ‌وَكَانَ ‌أَمِيرًا ‌عَلَى ‌مِصْرَ - عَلَى رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ، أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ، فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ "

“Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”

[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Syuaib al-Arnauth berkata dalam takhrij al-Musnad 28/212 hadis nomor 17002: 

فِي إِسْنَادِهِ أَبُو الْخَيْرِ- وَهُوَ مَرْثَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اليَزَنِيُّ- وَإِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ السَّمَاعَ مِنْ رُوَيْفِعٍ- لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ بِصِيغَةٍ تَحْتَمِلُ الاِتِّصَالَ، ابْنُ لَهِيعَةَ- وَإِنْ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ- قَدْ صَحَّحُوا سَمَاعَ قُتَيْبَةَ بْنِ سَعِيدٍ مِنْهُ. 

 وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" (4493) مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ اللهِ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ، بِهَذَا الإِسْنَادِ، إِلَّا أَنَّهُ زَادَ: يَعْنِي العَاشِرَ. 

 وَأَوْرَدَهُ الهَيْثَمِيُّ فِي "المَجْمَعِ" 3/88 وَقَالَ: رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" بِنَحْوِهِ، إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: "صَاحِبُ الْمَكْسِ فِي النَّارِ" يَعْنِي العَاشِرَ، وَفِيهِ ابْنُ لَهِيعَةَ، وَفِيهِ كَلَامٌ. 

وَلَهُ شَاهِدٌ مِنْ حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، سَيَرِدُ (17294) بِلَفْظِ: "لَا يَدْخُلُ صَاحِبُ مَكْسٍ الْجَنَّةَ" وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ.

"Pada sanadnya terdapat Abu al-Khair – yaitu Marthad bin Abdullah al-Yazani – meskipun ia mungkin mendengar dari Ruwaifi’, ia tidak meriwayatkan hadis ini dengan lafaz yang menunjukkan bersambungnya sanad. Ibnu Lahi‘ah – meskipun mengalami ikhtilath (kacau balau hafalannya) – para ulama telah menshahihkan periwayatan Qutaibah bin Sa‘id darinya. 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam *al-Kabir* (4493) melalui jalur Abdullah bin Shalih, dari Ibnu Lahi‘ah, dengan sanad ini, hanya saja ia menambahkan: *'yaitu pemungut persepuluh (al-‘Asyir).'*

Al-Haitsami menyebutkan hadis ini dalam *al-Majma‘* 3/88 dan berkata:

*'Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabarani dalam *al-Kabir* dengan lafaz serupa, hanya saja ia mengatakan: "Shahibul maks di neraka" yaitu pemungut pajak, dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi‘ah, yang padanya terdapat kelemahan.'*

Hadis ini memiliki syahid dari hadis Uqbah bin Amir, yang akan disebutkan (17294) dengan lafaz: *"Pemungut pajak tidak akan masuk surga."* Namun, dalam sanadnya terdapat kelemahan." [Kutipan selesai]

Syeikh al-Albani pada awal-nya mendho’ifkannya, lalu beliau menshahihkannnya, sebagaiman yang beliau jelaskan dalam “adh-Dho’ifah” :

“(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [Lihat Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani, jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45  

====****====

KATEGORI KEDUA: PEMALAKAN ATAU PUNGUTAN DARI PARA PEDAGANG KARENA ADA JASA:

Pungutan yang diambil oleh individu atau kelompok tertentu atau negara dari para pedagang sebagai uang iuran wajib atau upeti atau pajak, dengan adanya imbalan berupa pemberian jasa fasilitas tertentu atau jasa keamanan atau kesejahteraan bagi para pedagang, dan pungutan itu sangat layak dan selaras dengan jasa yang diberikan, tidak terlalu membebani ; maka pungutan semacam ini adalah diperbolehkan.

****

APAKAH PAJAK NEGARA ITU TERMASUK AL-MAKS YANG DIHARAMKAN?

JAWABANNYA:

Penulis Kutip Fatwa SYEIKH ABDULLAH AL-MUTHLAQ, Anggota Hai'ah Kibaar al-Ulama, Mustasyaar Dewan Kerajaan Saudi Arabia:

قَالَ عُضْوُ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ المُسْتَشَارُ فِي الدِّيوَانِ الْمَلَكِيِّ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ الْمُطْلِقُ :

Seorang anggota Dewan Para Ulama Senior, Penasihat Dewan Kerajaan, Sheikh Abdullah Al-Mutlaq, mengatakan:

إِنَّ الضَّرَائِبَ الَّتِي تُفْرِضُهَا الدَّوْلَةُ لِلحُصُولِ عَلَى إِيرَادَاتٍ تُسَاهِمُ فِي تَنْظِيمِ أُمُورِ النَّاسِ لَيْسَتْ مُحَرَّمَةً وَتَخْتَلِفُ عَنِ الْمَكُوسِ الَّتِي تُؤْخَذُ غَصْبًا بِدُونِ وَجْهِ حَقٍّ.

“Pajak yang dikenakan oleh negara agar memperoleh pemasukan kas negara yang digunakan untuk mengatur negara dan mensejahterakan rakyat, itu tidak diharamkan. Dan itu berbeda dengan cukai [al-Maks] yang diambil dengan paksa tanpa hak”.

وَأَوْضَحَ الْمُطْلِقُ عَبْرَ إِذَاعَةِ نِدَاءِ الْإِسْلَامِ قَائِلًا: الْمَكُوسُ هُوَ الْأَخْذُ بِغَيْرِ حَقٍّ.. أَمَّا حُكُومَةٌ تُنَظِّمُ الْأَمْرَ وَتُوَظِّفُ رِجَالَ الْأَمْنِ وَالْقُضَاةِ وَتُنشِئُ الطُّرُقَاتِ وَتُنَظِّمُ الْبَلْدِيَّاتِ وَأُمُورَ التِّجَارَةِ وَتَفْتَحُ مُسْتَشْفَيَاتِ الصِّحَّةِ، وَتَعْمَلُ هَذِهِ الْأَعْمَالَ وَتَأْخُذُ مِنَ النَّاسِ مَا يُعِينُهَا عَلَى هَذِهِ الْخَدَمَاتِ لَيْسَتْ مُكُوسًا وَلَيْسَتْ أَشْيَاءً مُحَرَّمَةً مَتَى مَا اسْتُعْمِلَتْ فِي الْخَدَمَاتِ النَّافِعَةِ.

Al-Mutlaq menjelaskan di radio " NIDA AL-ISLAM”, mengatakan:

AL-MAKS adalah pungutan liar yang diambil secara tidak sah...

Adapun [pajak yang diambil] oleh pemerintah, itu bertujuan untuk mengatur urusan negara, mempekerjakan para petugas keamanan, para hakim, membangun jalan-jalan raya, mengatur urusan perdagangan, membangun rumah sakit – rumah sakit dan lainnya.

Dan pemerintah bertugas mengerjakan pekerjaan-pekerjan ini semua. Lalu pemerintah mengambil dana [pajak] dari masyarakat untuk membantu pemerintah agar bisa terlaksana dalam memberikan layanan-layanan tersebut.

Pajak seperti ini bukanlah AL-MAKS [pungutan liar] dan bukan pula sesuatu yang di haramkan jika digunakan untuk memberikan pelayanan-pelayanan yang bermanfaat.

وَأَضَافَ الْمُطْلِقُ، فِي هَذِهِ الْأُمُورِ يَتَحَدَّثُ بَعْضُ الْحَاقِدِينَ أَوِ الْجَاهِلِينَ، مُبَيِّنًا أَنَّ الْحَاقِدَ يُرِيدُ زَرْعَ الْبَغْضَاءِ بَيْنَ الدَّوْلَةِ وَالْمُواطِنِينَ، وَالْجَاهِلُونَ هُمْ الَّذِينَ لَا يُفَرِّقُونَ بَيْنَ الضَّرَائِبِ وَالْمَكُوسِ.

Lalu Syeikh Al-Mutlaq menambahkan:

Dalam perkara-perkara ini, ada sebagian para pendengki atau orang-orang bodoh berbicara seenaknya, yang menunjukkan bahwa si pendengki ini ingin menabur kebencian antara negara dan rakyat.

Dan orang-orang bodoh ini, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membedakan antara pajak dan al-Maks [pemalakan liar]

وَحَسَبَ البَيِّنَاتِ الْمُتَوَفِّرَةِ فِي "أَقْرَامٍ" بَدَأَتِ الْمَمْلَكَةُ الْعَرَبِيَّةُ السَّعُودِيَّةُ فِي تَطْبِيقِ ضَرِيبَةِ الْقِيمَةِ الْمُضَافَةِ بِنِسْبَةِ 5% اعْتِبَارًا مِنْ 1 يَنَايِر 2018.

Menurut data yang tersedia dalam "Arqoom", Kerajaan Arab Saudi telah mulai menerapkan pajak harga tambahan sebesar 5% per 1 Januari 2018.

===***===

DEFINISI PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)

Definisi pajak (الضَّرِيْبَةُ):

مِقْدَارٌ مُحَدَّدٌ مِنَ الْمَالِ تُفْرِضُهُ الدَّوْلَةُ فِي أَمْوَالِ الْمُواطِنِينَ، دُونَ أَنْ يُقَابِلَ ذَلِكَ نَفْعٌ ظَاهِرٌ يَعُودُ بِشَكْلٍ خَاصٍّ عَلَى دَافِعِ الْمَالِ، فَتُفْرَضُ عَلَى الْمِلْكِ وَالْعَمَلِ وَالدَّخْلِ نَظِيرَ خِدْمَاتٍ وَالْتِزَامَاتٍ تَقُومُ بِهَا الدَّوْلَةُ لِصَالِحِ الْمُجْتَمَعِ بِشَكْلٍ عَامٍّ، وَهِيَ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْقَوَانِينِ وَالْأَحْوَالِ.

Pajak adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh negara atas harta warga negara, tanpa adanya manfaat langsung yang kembali secara khusus kepada pembayar pajak. Pajak dikenakan atas kepemilikan, pekerjaan, dan penghasilan sebagai imbal balik atas layanan dan tanggung jawab yang dijalankan negara demi kepentingan masyarakat secara umum. Pajak ini berbeda-beda tergantung hukum dan kondisi. [Sumber : Darul Ifta al-Masriyyah, Tanggal Fatwa : 27 Oct 2014].

Definisi Bea Cukai (ٱلْجَمَارِكُ) :

هِيَ رُسُومٌ أَوْ ضَرَائِبُ جُمْرُكِيَّةٌ تَفْرِضُهَا ٱلْحُكُومَةُ عَبْرَ سُلُطَاتِ ٱلْجَمَارِكِ عَلَى ٱلسِّلَعِ ٱلْمُسْتَوْرَدَةِ مِنْ خَارِجِ ٱلْبِلَادِ، وَتَهْدِفُ إِلَى زِيَادَةِ تَكْلِفَةِ ٱلسِّلَعِ ٱلْأَجْنَبِيَّةِ، مِمَّا يَجْعَلُهَا أَقَلَّ تَنَافُسِيَّةً مُقَارَنَةً بِٱلْمُنْتَجَاتِ ٱلْمَحَلِّيَّةِ.

Bea  Cukai atau pajak bea masuk adalah pungutan atau pajak yang dikenakan oleh pemerintah melalui otoritas bea cukai terhadap barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan biaya barang-barang asing sehingga menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dalam negeri.

Tarif bea masuk merupakan bagian penting dari peraturan perdagangan internasional dan digunakan untuk mengatur serta mengendalikan arus barang antarnegara. Pungutan ini dihitung berdasarkan jenis barang, jumlahnya, dan negara asal barang tersebut.

Sepanjang sejarah, tarif bea masuk telah membantu mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat kemampuan ekonomi domestik dalam menghadapi tekanan ekonomi dari luar.

*****

HUKUM PAJAK (الضَّرِيْبَةُ) DAN BEA CUKAI (ٱلْجَمَارِكُ)

Waliul amri (Pemerintah) diperbolehkan menetapkan pajak yang adil dalam penetapannya dan pemungutannya sebagai tambahan dari apa yang dipungut dari harta zakat, guna menutupi pengeluaran umum dan kebutuhan penting umat. Hal ini karena waliul amri bertanggung jawab dalam menjaga kemaslahatan umum yang memerlukan pengeluaran besar, terutama di masa kini di mana tugas-tugas negara semakin banyak, fasilitasnya makin luas, dan krisis ekonomi global makin meningkat.

Negara memiliki apa yang disebut dengan anggaran umum, yang mencakup pendapatan umum dan pengeluaran umum. Jika pengeluaran negara melebihi pendapatan umum, maka hal itu berarti terjadi defisit dalam anggaran negara, dan negara harus menutupi kekurangan ini dengan berbagai cara, di antaranya melalui pemungutan pajak. Namun, dalam menetapkan pajak hendaknya diperhatikan agar tidak menambah beban orang-orang berpenghasilan rendah dan tidak memperparah kemiskinan mereka. Pajak sebaiknya diarahkan kepada kelompok yang tidak merasa berat seperti kalangan investor dan pengusaha yang wajib berkontribusi terhadap rakyat dan tanah air mereka.

Telah ditetapkan oleh banyak sahabat seperti Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Hasan bin Ali, dan Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anhum ajma'in, serta dari kalangan tabi'in seperti Asy-Sya'bi, Mujahid, Thawus, dan 'Atha', bahwa pada harta seorang muslim terdapat hak selain zakat [Lihat: *Al-Muhalla bil Atsar* karya Ibnu Hazm (6/158)].

Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala:

﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ﴾

"Bukanlah kebajikan itu dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan budak, serta menegakkan salat dan menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan saat peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 177]

Petunjuk dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta'ala menyebutkan perintah menunaikan zakat, dan juga menyebutkan perintah memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin.

Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "memberikan harta" dalam ayat tersebut berbeda dengan zakat, dan bahwa dalam harta ada hak selain zakat.

Ayat ini menggabungkan antara memberikan harta karena kecintaan (kepada Allah) dan menunaikan zakat dengan menggunakan lafaz ‘dan’ (و) yang menunjukkan adanya perbedaan. Ini merupakan dalil bahwa dalam harta terdapat hak selain zakat agar perbedaan itu sah. [Lihat: *Tafsir Fakhrur Razi* (6/43)].

Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, ia berkata:

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الزَّكَاةِ، فَقَالَ: «إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ»، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ: ﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ﴾ [البقرة: ١٧٧].

Rasulullah ditanya tentang zakat, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.” Lalu beliau membaca ayat dalam Surah Al-Baqarah:

"Bukanlah kebajikan itu dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat..." (Al-Baqarah: 177).

[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (660) dan lafaz ini miliknya, juga oleh ad-Darimi (1677), dan ath-Thabarani dalam *al-Mu'jam al-Kabir* (24/403) (979) dengan sedikit perbedaan. Sanadnya dinilai dho’if oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shoghir no. 2327].

Imam Al-Qurthubi berkata dalam *Tafsir*-nya setelah menyebutkan hadis tersebut (2/242):

"وَالْحَدِيثُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مَقَالٌ فَقَدْ دَلَّ عَلَى صِحَّتِهِ مَعْنًى مَا فِي الآيَةِ نَفْسِهَا مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ﴾ [البقرة: ١٧٧]، فَذَكَرَ الزَّكَاةَ مَعَ الصَّلَاةِ، وَذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ: ﴿وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ﴾ [البقرة: ١٧٧] لَيْسَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ تَكْرَارًا، وَاللهُ أَعْلَمُ" اهـ.

*"Meskipun hadis itu terdapat pembicaraan (kritik) pada sanadnya, namun makna ayat itu sendiri menunjukkan kebenarannya, yaitu firman Allah Ta'ala: **'Dan yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat'** (Al-Baqarah: 177). Allah menyebutkan zakat bersama shalat, dan itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: **'Dan memberikan harta karena cinta kepada-Nya'** (Al-Baqarah: 177) bukanlah zakat yang diwajibkan, karena jika demikian akan terjadi pengulangan. Dan Allah lebih mengetahui." [Selesai].

Lalu al-Qurthubi berkata :

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ حَاجَةٌ بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الْمَالِ إِلَيْهَا، وَقَالَ مَالِكٌ ـ رَحِمَهُ ٱللَّهُ ـ: يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فِدَاءُ أَسْرَاهُمْ، وَإِنِ ٱسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ، وَهَذَا إِجْمَاعٌ أَيْضًا، وَهُوَ يُقَوِّي مَا ٱخْتَرْنَاهُ، وَٱلْمُوَفَّقُ ٱللَّهُ.

“Para ulama sepakat bahwa apabila kaum muslimin tertimpa kebutuhan mendesak setelah mereka menunaikan zakat, maka wajib mengarahkan harta untuk kebutuhan tersebut. Imam Malik rahimahullah berkata: *“Wajib bagi manusia untuk menebus tawanan mereka, meskipun hal itu menghabiskan seluruh harta mereka.”* Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan para ulama), dan hal ini menguatkan pendapat yang kami pilih. Dan taufik berasal dari Allah”. [Selesai]

Dengan demikian, telah tetap bahwa pada harta seorang muslim yang kaya terdapat hak selain zakat, terlebih lagi ketika masyarakat sedang membutuhkan harta-harta tersebut. Dan inilah makna sejati dari solidaritas dan kerja sama sosial.

Solidaritas sosial adalah sebuah kewajiban, karena masyarakat memiliki hak atas individu untuk bekerja sama dalam mewujudkan seluruh kepentingan negara. Dan umat Islam memiliki hak atas harta seorang individu; karena dia tidak memperoleh hartanya kecuali melalui mereka. Merekalah yang berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak, dalam membentuk kekayaan orang kaya. Dan tanpanya, kehidupan seseorang sebagai manusia di dalam masyarakat tidak akan sempurna.

Maka jika di dalam negara Islam terdapat orang-orang yang membutuhkan dan zakat tidak mencukupi mereka, atau terdapat kebutuhan kelompok seperti perlindungan militer atau ekonomi yang menuntut pembiayaan, atau agama Allah dan dakwah serta penyampaian risalah membutuhkan dana untuk menegakkannya, maka kewajiban yang ditetapkan oleh Islam adalah bahwa harus dipungut dari harta orang-orang kaya sejumlah dana yang dapat mewujudkan hal-hal tersebut. Karena melaksanakan kebutuhan-kebutuhan ini adalah kewajiban para penguasa kaum muslimin, dan kewajiban tersebut tidak akan terlaksana kecuali dengan dana, dan dana tidak bisa ada kecuali dengan pemungutan pajak. Maka sesuatu yang kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengannya, hukumnya juga menjadi wajib.

Demikian pula, di antara kaidah-kaidah fikih yang bersifat universal dan disepakati oleh para ulama adalah:

"يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ".

 “Menanggung bahaya yang lebih ringan untuk mencegah bahaya yang lebih besar,”

Dan :

"يَجِبُ تَحَمُّلُ الضَّرَرِ الْأَدْنَى لِدَفْعِ ضَرَرٍ أَعْلَى وَأَشَدِّ".

 “Wajib menanggung kerugian kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan lebih berat.”

[Lihat: *Al-Asybah wa An-Nazhair* karya Ibnu Nujaym Al-Hanafi (hal. 87)].

Tidak diragukan lagi bahwa penerapan kaidah-kaidah fikih ini tidak hanya membolehkan pengambilan pajak, tetapi bahkan mewajibkannya dan memerintahkan pelaksanaannya demi mewujudkan kemaslahatan umat dan negara, serta untuk menolak kerusakan, kerugian, dan bahaya dari mereka.

Imam Ibnu Hazm berkata dalam "Al-Muhalla" (6/156):

وَفُرِضَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ، وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ إِنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَاوَاتُ بِهِمْ] اهـ.

“Dan diwajibkan atas orang-orang kaya dari setiap negeri untuk mengurus fakir miskin mereka, dan penguasa memaksa mereka jika zakat tidak mencukupi mereka”. (Selesai).

Di antara kaidah yang juga telah ditetapkan:

"الضَّرُورَةَ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا"

"Kebutuhan (darurat) harus diukur sesuai kadar yang diperlukan"

Maka tidak boleh kebutuhan melebihi kadar yang perlu, dan harus diperhatikan dalam menetapkan serta cara pengambilannya agar dampaknya ringan bagi individu.

Dasar dari pajak adalah membentuk dana negara yang digunakan untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya dan memenuhi kewajibannya. Dana yang dikumpulkan dari pajak digunakan untuk fasilitas umum yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat, seperti pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, kesehatan, transportasi, irigasi, drainase, dan berbagai kepentingan lain yang dinikmati oleh seluruh warga negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tidak diragukan bahwa pengambilan pajak dari individu adalah mengambil sebagian dari harta mereka dan membuat mereka tidak bisa menikmatinya sepenuhnya. Namun, pengambilan ini diperbolehkan karena darurat mengharuskannya, karena tidak mungkin menjalankan kepentingan umum tanpa hal itu, dan kepentingan umum lebih utama daripada kepentingan pribadi.

Jika negara-negara Islam di zaman kita ini dibiarkan tanpa pajak untuk membiayai kebutuhan, maka pasti negara-negara tersebut akan runtuh setelah waktu singkat berdirinya, dan kelemahan akan menggerogoti seluruh aspek negara tersebut, apalagi dengan adanya ancaman militer. Saat ini, pengadaan senjata dan biaya tentara membutuhkan sumber dana yang sangat besar.

Namun, kekuatan saat ini tidak hanya terbatas pada senjata dan tentara saja; kekuatan dan keunggulan juga harus ada dalam berbagai aspek kehidupan ilmiah, industri, dan ekonomi. Semua itu membutuhkan pasokan dana yang besar, dan satu-satunya cara adalah dengan mengenakan pajak sebagai bentuk jihad dengan harta; agar individu memperkuat bangsanya, melindungi negaranya, sehingga memperkuat dirinya sendiri, dan melindungi agamanya, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. [Lihat: "Al-Muhalla" (2/1077)].

Dan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya seperti pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, irigasi, drainase, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang penting dan tidak bisa dihilangkan atau diabaikan oleh negara Islam maupun negara manapun. Maka dari mana negara akan membiayai fasilitas-fasilitas tersebut dan menjalankan kepentingan-kepentingan tersebut?

Negara Islam pada masa lalu membiayai kepentingan-kepentingan tersebut dari sumber-sumber yang kini tidak ada lagi, seperti: khums (seperlima) dari rampasan perang yang didapatkan oleh kaum Muslimin dari musuh-musuh mereka yang berperang, atau dari harta  harta yang Allah berikan kepada mereka dari harta kaum musyrik tanpa peperangan (الفَيْءُ) maupun dengan pertempuran (الغَنِيْمَةُ). Maka ketika sudah tidak ada peperangan, maka tidak ada sumber lain untuk membiayai kepentingan umat kecuali dengan memungut pajak sebanyak yang mampu mewujudkan kepentingan yang wajib diwujudkan.

Sekelompok ulama fiqih dari mazhab yang diikuti telah membolehkan pajak, namun mereka tidak menyebutnya dengan nama (الضَّرَائِبُ /pajak), melainkan sebagian ulama Hanafi menyebutnya (النَّوَائِبُ /an-nawā’ib) jamak dari (nā'ib), yaitu sesuatu yang mewakili individu atas nama penguasa, baik secara benar maupun tidak benar.

Dalam catatan kaki “Radd al-Muhtar” karya Al-Allamah Ibn ‘Abidin, dijelaskan makna an-nawā’ib (4/282):

[مَا يَكُونُ بِحَقٍّ كَأُجْرَةِ الْحُرَّاسِ، وَكَرْيِ النَّهْرِ الْمُشْتَرَكِ، وَالْمَالِ الْمُوَظَّفِ لِتَجْهِيزِ الْجَيْشِ، وَفِدَاءِ الْأَسْرَى إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ شَيْءٌ وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ بِحَقٍّ، فَالْكَفَالَةُ بِهِ جَائِزَةٌ بِالِاتِّفَاقِ؛ لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مُوسِرٍ بِإِيجَابِ طَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ فِيمَا فِيهِ مَصْلَحَةُ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَلْزِمْ بَيْتَ الْمَالِ أَوْ لَزِمَهُ وَلَا شَيْءَ فِيهِ. وَإِنْ أُرِيدَ بِهَا مَا لَيْسَ بِحَقٍّ كَالْجِبَايَاتِ الْمُوَظَّفَةِ عَلَى النَّاسِ فِي زَمَانِنَا بِبِلَادِ فَارِسَ عَلَى الْخَيَّاطِ وَالصَّبَّاغِ وَغَيْرِهِمْ لِلْسُلْطَانِ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَوْ شَهْرٍ، فَإِنَّهَا ظُلْمٌ] اهـ.

[Yang berhak seperti upah para penjaga, sewa sungai bersama, dana yang diamanahkan untuk menyiapkan pasukan, tebusan tawanan jika tidak ada di baitul mal, dan yang lainnya yang memang berhak, maka tanggungan ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan; karena itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu untuk menaati penguasa dalam hal yang merupakan kemaslahatan umat Islam, tanpa membebani baitul mal, dan tidak pula baitul mal yang membebani. Namun jika yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak berhak, seperti pungutan yang dibebankan pada masyarakat pada zaman kita di Persia terhadap tukang jahit, tukang pewarna dan lainnya untuk penguasa setiap hari atau bulan, maka itu adalah zalim] selesai.

Al-Allamah Ibnu ‘Abidin juga meriwayatkan dari Al-Allamah Abu Ja’far Al-Balkhi (2/57):

[مَا يَضْرِبُهُ السُّلْطَانُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَصْلَحَةً لَهُمْ يَصِيرُ دَيْنًا وَاجِبًا وَحَقًّا مُسْتَحَقًّا كَالْخِرَاجِ، وَقَالَ مُشَايِخُنَا: وَكُلُّ مَا يَضْرِبُهُ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ لِمَصْلَحَةٍ لَهُمْ فَالْجَوَابُ هَكَذَا، حَتَّى أُجْرَةُ الْحَرَّاسِينَ لِحِفْظِ الطَّرِيقِ، وَاللُّصُوصِ، وَنَصْبِ الدُّرُوبِ، وَأَبْوَابِ السُّكُّكِ، وَهَذَا يُعْرَفُ، وَلَا يُعَرَّفُ خَوْفَ الْفِتْنَةِ، ثُمَّ قَالَ: فَعَلَى هَذَا مَا يُؤْخَذُ فِي خَوَارِزْمَ مِنَ الْعَامَّةِ لِإِصْلَاحِ مَسْنَاةِ الْجِيحُونِ أَوِ الرَّبْضِ وَنَحْوِهِ مِنْ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ دَيْنٌ وَاجِبٌ لَا يَجُوزُ الِامْتِنَاعُ عَنْهُ وَلَيْسَ بِظُلْمٍ، وَلَكِنْ يُعْلَمُ هَذَا الْجَوَابُ لِلْعَمَلِ بِهِ وَكَفِّ اللِّسَانِ عَنِ السُّلْطَانِ وَسَعَاتِهِ فِيهِ لَا لِلتَّشْهِيرِ؛ حَتَّى لَا يَتَجَاسَرُوا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْقَدْرِ الْمُسْتَحَقِّ] اهـ.

[Apapun yang dipungut oleh penguasa atas rakyat untuk kemaslahatan mereka, menjadi hutang wajib dan hak yang harus diterima seperti kharaj (pajak tanah). Dan para ulama kami berkata: apa pun yang dipungut oleh imam atas mereka untuk kemaslahatan mereka, maka jawabannya demikian, termasuk upah para penjaga jalan, para pencuri, pemasangan rambu-rambu dan pintu jalan, ini sudah diketahui dan tidak perlu dikhawatirkan fitnah. Kemudian beliau berkata: berdasarkan hal ini, apa yang diambil di Khwarezm dari rakyat untuk memperbaiki bendungan Jayhun atau Rabadh dan sejenisnya yang merupakan kemaslahatan umum adalah hutang wajib yang tidak boleh ditolak dan bukan zalim, tapi jawaban ini untuk diamalkan dan mencegah orang mengkritik penguasa, bukan untuk diumumkan agar mereka tidak berani melebihi batas hak yang seharusnya] (Selesai).

Dari kalangan Maliki, Imam Al-Shatibi berkata dalam “Al-I'tisam” (3/25 dan seterusnya):

[إِنَّا إِذَا قَدَرْنَا إِمَامًا مُطَاعًا مُفْتَقِرًا إِلَى تَكْثِيرِ الْجُنُودِ؛ لِسَدِّ الثُّغُورِ وَحِمَايةِ الْمُلْكِ الْمُتَّسِعِ الْأَقْطَارِ، وَخَلَا بَيْتُ الْمَالِ عَنِ الْمَالِ، وَارْتَفَعَتْ حَاجَاتُ الْجُنْدِ إِلَى مَا لَا يَكْفِيهِمْ، فَلِلْإِمَامِ -إِذَا كَانَ عَدْلًا- أَنْ يُوَظِّفَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مَا يَرَاهُ كَافِيًا لَهُمْ فِي الْحَالِ إِلَى أَنْ يَظْهَرَ مَالٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَإِنَّمَا لَمْ يُنْقَلْ مِثْلُ هَذَا عَنِ الْأَوَّلِينَ؛ لِاتِّسَاعِ مَالِ بَيْتِ الْمَالِ فِي زَمَانِهِمْ بِخِلَافِ زَمَانِنَا، فَإِنَّ الْقَضِيَّةَ فِيهِ أَحْرَى، وَوَجْهُ الْمَصْلَحَةِ هُنَا ظَاهِرٌ؛ فَإِنَّهُ لَوْ لَمْ يَفْعَلِ الْإِمَامُ ذَلِكَ لَانْحَلَّ النِّظَامُ، وَبَطَلَتْ شَوْكَةُ الْإِمَامِ، وَصَارَتْ دِيَارُنَا عَرْضَةً لِاسْتِيلَاءِ الْكَفَرِ] اهـ.

[Jika kami memiliki imam yang ditaati yang membutuhkan penambahan pasukan untuk menjaga benteng dan melindungi kerajaan yang luas, dan baitul mal kosong dari harta, serta kebutuhan tentara meningkat hingga tidak mencukupi, maka imam – jika ia adil – berhak memungut dari orang-orang kaya apa yang ia anggap cukup untuk saat itu sampai baitul mal kembali memiliki harta. Tidak ada riwayat seperti ini dari para salaf karena pada masa mereka baitul mal sangat kaya, berbeda dengan zaman kita. Hal ini adalah masalah yang lebih serius dan maslahatnya jelas; sebab jika imam tidak melakukan itu, maka sistem akan runtuh, kekuatan imam akan hilang, dan wilayah kita akan mudah dikuasai oleh orang kafir] (Selesai).

Dan dari kalangan Syafi’iyah, Imam Al-Ghazali berkata dalam "Al-Mustashfa" (1/303-304):

إِذَا خَلَتِ الْأَيْدِيُ مِنَ الْأَمْوَالِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ مَا يُفِي بِخَرَاجَاتِ الْعَسْكَرِ، وَلَوْ تَفَرَّقَ الْعَسْكَرُ، وَاشْتَغَلُوا بِالْكَسْبِ لَخِيفَ دُخُولُ الْعَدُوِّ دِيَارَ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ خِيفَ ثَوْرَانُ الْفِتْنَةِ مِنْ أَهْلِ الْغَرَامَةِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ، جَازَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُوَظِّفَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مِقْدَارَ كِفَايَةِ الْجُنْدِ.اهـ.

"Apabila tangan-tangan (pemerintah) kosong dari harta, dan tidak ada dari harta kepentingan yang cukup untuk membayar pengeluaran tentara, walaupun tentara terpisah-pisah dan sibuk dengan mencari penghasilan, dikhawatirkan musuh memasuki wilayah kaum Muslimin, atau dikhawatirkan timbulnya fitnah dari kalangan yang berutang di negeri Islam, maka boleh bagi imam (pemimpin) untuk memungut dari orang-orang kaya sejumlah yang cukup untuk kebutuhan tentara." (Selesai).

Dan hal ini telah dibahas oleh Syaikh Ibnu Taimiyah yang menunjukkan pengakuannya terhadap sebagian apa yang dipungut oleh penguasa sebagai bagian dari jihad dengan harta yang wajib atas orang kaya, dan dia menyebutnya dengan istilah :

"الْكُلُفُ السُّلْطَانِيَّةُ"

Yaitu beban keuangan yang wajib ditanggung oleh rakyat atau sebagian mereka atas perintah penguasa. [Lihat: "Majmu’ al-Fatawa" (30/182 dan seterusnya)].

Adapun bea cukai (الْجَمَارِكُ) adalah jenis pajak keuangan yang dikenakan atas barang-barang yang masuk ke negeri kaum Muslimin yang ditetapkan oleh negara, dan hasil pungutannya masuk ke kas negara untuk kepentingan umum. Dari kepentingan tersebut antara lain adalah mendorong barang dan produk lokal demi kepentingan warga dan konsumen, maka pemungutannya merupakan perlindungan pasar lokal. Karena itu, bea cukai termasuk jenis pajak yang mengikuti ketentuan-ketentuan pajak yang telah disebutkan sebelumnya.

Dari hal-hal tersebut dapat dipahami bahwa: tidak boleh menghindar atau lari dari pajak dan bea cukai, dan tidak boleh membayar suap untuk mengurangi jumlahnya.

Nasihat bagi para pengelola urusan pajak dan bea cukai agar mempertimbangkan pengenaan pajak dengan porsi lebih besar pada kelompok kaya tanpa membebani kelompok miskin yang tidak mampu menanggung beban kehidupan.

====

NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM NASRANI NAJRAN:

Nabi mengambil pajak dan upeti dari kaum Nasrani Najran dengan imbalan jasa keamanan dan perlindungan jiwa, harta dan wilayah mereka dari serangan musuh, dari para pemungut liar dan dari perampokan.

Kaum Nasrani Najran sangat membutuhkan perlindungan dan suaka politik dari Nabi  Karena khawatir terulang kembali di negeri Najran tragedi Ashabul Ukhduud, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran:

قُتِلَ أَصْحَٰبُ ٱلْأُخْدُودِ. ٱلنَّارِ ذَاتِ ٱلْوَقُودِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ. وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ. وَمَا نَقَمُوا۟ مِنْهُمْ إِلَّآ أَن يُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَمِيدِ

Artinya: " Binasalah orang-orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman), (4) Yaitu api yang dinyalakan dengan kayu bakar, (5) (Ketika mereka berada di sekitarnya) yaitu berada di sekitar tepi parit-parit itu seraya di atas kursi-kursi (mereka duduk.) (5) sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. (7) Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji" [QS. Al-Buruuj: 4-8].

Mereka dibakar dalam parit. Korban dalam tragedi ini adalah 20.000 orang kaum Nasrani yang meng-esakan Allah SWT.

Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqaat al-Kubraa 1/219-220 dan al-Imam al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah 5/389-391 dan al-Istii'aab Fii Bayaanil Asbaab 1/253 meriwayatkan dengan sanadnya:

Yunus ibnu Bukair, dari Salamah ibnu Abdu Yusu', dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Yunus — yang tadinya beragama Nasrani, kemudian masuk Islam— menceritakan:

Dalam Lafadz al-Baihaqi: " Nabi  menulis sepucuk surat buat mereka yang isinya sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

هَذَا مَا كَتَبَ مُحَمَّدٌ النَّبِيُّ رَسُولُ اللهِ ﷺ لِنَجْرَانَ إِذْ كَانَ عَلَيْهِمْ حُكْمُهُ فِي كُلِّ ثَمَرَةٍ وَكُلِّ صَفْرَاءَ وَبَيْضَاءَ وَسَوْدَاءَ وَرَقِيقٍ، وَأَفْضَلَ عَلَيْهِمْ، ‌وَتَرَكَ ‌ذَلِكَ ‌كُلَّهُ ‌عَلَى ‌أَلْفَيْ ‌حُلَّةٍ ‌مِنْ ‌حُلَلِ ‌الْأَوَاقِي ‌فِي ‌كُلِّ ‌رَجَبٍ ‌أَلْفُ ‌حُلَّةٍ، ‌وَفِي ‌كُلِّ ‌صَفَرٍ ‌أَلْفُ ‌حُلَّةٍ، ‌وَمَعَ ‌كُلِّ ‌حُلَّةٍ ‌أُوقِيَّةٌ ‌مِنَ ‌الْفِضَّةِ فَمَا زَادَتْ عَلَى الْخَرَاجِ أَوْ نَقَصَتْ عَنِ الْأَوَاقِي فَبِالْحِسَابِ، وَمَا قَضَوْا مِنْ دُرُوعٍ أَوْ خَيْلٍ أَوْ رِكَابٍ أَوْ عُرُوضٍ أُخِذَ مِنْهُمْ بِالْحِسَابِ، وَعَلَى نَجْرَانَ مُؤْنَةُ رُسُلِي، وَمُتْعَتُهُمْ مَا بَيْنَ عِشْرِينَ يَوْمًا فَدُونَهُ، وَلَا تُحْبَسُ رُسُلِي فَوْقَ شَهْرٍ، وَعَلَيْهِمْ عَارِيَةٌ ثَلَاثِينَ دِرْعًا وَثَلَاثِينَ فَرَسًا وَثَلَاثِينَ بَعِيرًا إِذَا كَانَ كَيَدٌ وَمَعَرَّةٌ، وَمَا هَلَكَ مِمَّا أَعَارُوا رُسُلِي مِنْ دُرُوعٍ أَوْ خَيْلٍ أَوْ رِكَابٍ فَهُوَ ضَمَانٌ عَلَى رُسُلِي حَتَّى يؤَدُّوهُ إِلَيْهِمْ.

وَلِنَجْرَانَ وَحَاشِيَتِهَا جِوَارُ اللهِ وَذِمَّةُ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَمِلَّتِهِمْ وَأَرْضِيهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَغَائِبِهِمْ وَشَاهِدِهِمْ وَعَشِيرَتِهِمْ وَبِيَعِهِمْ وَأَنْ لَا يُغَيَّرُوا مِمَّا كَانُوا عليه وَلَا يُغَيَّرُ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِهِمْ وَلَا مِلَّتِهِمْ، وَلَا يغيّروا أسقف من أسقفيته وَلَا رَاهِبٌ مِنْ رَهْبَانِيَّتِهِ، وَلَا وَاقِهًا مِنْ وُقَيْهَاهُ ، وكلما تَحْتَ أَيْدِيهِمْ مِنْ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ، وَلَيْسَ عَلَيْهِمْ دِنْيَةٌ وَلَا دَمُ جَاهِلِيَّةٍ وَلَا يُحْشَرُونَ وَلَا يُعْشَرُونَ وَلَا يَطَأُ أَرْضَهُمْ جَيْشٌ، وَمَنْ سَأَلَ فِيهِمْ حَقًّا فَبَيْنَهُمُ النِّصْفُ غَيْرَ ظَالِمِينَ وَلَا مَظْلُومِينَ بِنَجْرَانَ، وَمَنْ أَكَلَ رِبًا مِنْ ذِي قَبَلٍ فَذِمَّتِي مِنْهُ بَرِيئَةٌ، وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمْ رَجُلٌ بِظُلْمِ آخَرَ، وَعَلَى مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ جِوَارُ اللهِ عَزَّ وجل وذمة مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَبَدًا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ، مَا نَصَحُوا وَأَصْلَحُوا فِيمَا عَلَيْهِمْ غَيْرَ مُثْقَلِينَ بِظُلْمٍ.

شَهِدَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ، وَغَيْلَانُ بْنُ عَمْرٍو، وَمَالِكُ بْنُ عَوْفٍ مِنْ بَنِي نَصْرٍ، وَالْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ الْحَنْظَلِيُّ، وَالْمُغِيرَةُ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ini adalah yang ditulis oleh Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah untuk penduduk Najran:

- Jika mereka ingin berada di bawah keamanan pemerintahannya – maka pada semua hasil dari buah-buahan, semua yang kuning [Emas], yang putih [perak], yang hitam [besi], budak dan harta yang dianugerahkan pada mereka, Semuanya adalah milik mereka, tetapi diwajibkan atas mereka membayar dua ribu hullah-hullah uqiyah setiap tahunnya [Yakni: hullah yang nilainya 1 Uqiyah. arti hullah adalah pakaian atau senjata atau keranjang. Nilai 1 uqiyah adalah 40 dirham. PEN), yang dibayarkan pada tiap bulan Rajab seribu hullah, dan yang seribunya lagi dibayar pada tiap bulan Safar. Dan pada setiap masing-masing hullah terdapat satu uqiyah perak [40 dirham].

Dan setiap ada kelebihan bayar dari upeti [kharaj] atau kurang dari uqiyah-uqiyah dirham, maka akan ada hitung-hitungannya.

Dan apa yang mereka gunakan dari baju perang, kuda, pelana, atau barang-barang ; maka diambil darinya upeti sesuai perhitungan.

Dan wajib atas Najran biaya opersional perjalanan para utusanku, dan kebutuhan mereka dalam perjalanan selama kurang dari dua puluh hari atau kurang darinya, dan tidak ada seorang pun utusan yang tertahan lebih dari satu bulan.

Dan wajib atas mereka meminjamkan tiga puluh perisai, tiga puluh kuda perang, dan tiga puluh unta, [ketika negara dalam bahaya perang, yaitu] ketika terjadi adanya tipu daya musuh dan sesuatu yang membahayakan dari pihak musuh.

Dan apa saja yang dipinjamkan kepada utusan-utusanku berupa perisai, kuda, atau penunggang kuda [peralatan perang] ; maka itu menjadi tanggungan para utusan-Ku sampai mereka selesai menunaikan tugasnya dan mengembalikannya.

Bagi Najran dan kelompoknya yang berada di sekitarnya berada dalam perlindungan Allah dan jamninan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut jiwa mereka, harta benda mereka, mereka yang tidak hadir (di negerinya), mereka yang hadir (di negerinya), keluarga mereka, gereja-gereja mereka.

Dan mereka tidak dirubah dari apa yang telah ada sebelumnya, tidak dirubah hak-haknya dan agamanya, tidak dirubah para usquf nya, tidak dirubah para rahibnya dan tidak di rubah para putra mahkota nya [وَلِيُ العَهْدِ]

Dan bilamana ada orang-orang yang sedikit atau banyak harta yang ada di tangan [yakni: baik kaya atau miskin], maka mereka semua tetap harus dilindungi dari orang-orang yang merendahkan-nya, dari tuntutan darah Jahiliyyah, dari pengepungan musuh dan dari pungutan pajak persepuluh [oleh kelompok lain, karena mereka sudah bayar upeti tahunan kepada Rosulullah sebagai jaminan keamanan bagi mereka].

Dan tanah air mereka harus di lindungi dari tentara asing yang hendak menginjakkan kakinya.

Dan barang siapa yang menuntut hak kepada mereka, maka di antara mereka harus berlaku adil, tidak ada yang dzalim dan tidak ada yang terdzalimi.

Dan barang siapa yang memakan harta riba dari sebelumnya, maka aku bebas darinya, dan tidak boleh ada seorang pun yang mengambil sesuatu dari mereka untuk kezaliman orang lain.

Dan yang ada dalam lembaran ini adalah perlindugan dari Allah SWT dan jaminan pembelaan dari Nabi Muhammad, Rasulullah selama-lamanya, sampai Allah SWT mendatangkan keputusan yang lain.

Apa yang mereka sarankan untuk memperbaiki urusannya dengan apa yang telah diwajibkan atas mereka, itu tanpa ada paksaan dan tanpa terbebani oleh ketidakadilan

Disaksikan Abu Sufyan bin Harb, Ghailan bin Amr, Malik bin Auf dari Banu Nasr, dan Al-'Aqra' bin Habis al-Handzali dan al-Mughirah.

Dan setelah di tulis, dan mereka mengambil lembaran tuslian tersebut, maka mereka kembali pulang ke Najran........ (dst. Masih panjang).

Lafadz Ibnu Sa'ad mirip dengan lafadz al-Baihaqi. [Baca: At-Thobaqoot al-Kubro 1/219-220]

Lihat pula: Futuuh al-Buldan: 76, dalam Bab: 87, al-Bidayah wan Nihaah 5/55, Tarikh al-Madina oleh Ibnu Shabbah 2/584, al-Ya'qubi 2/67, Al-Amwaal oleh Abu Ubaid: 275-272, al-Kharaj oleh Abu Yusuf: 72, Hayaatuh Shahabaat 1/121, Zaad al-Ma'ad oleh Ibn al-Qayyim 2/40-41 dan al-Amwaal karya Zanjawaih 2/449.

====

NABI MEMUNGUT PAJAK DARI KAUM MAJUSI BAHRAIN :

Diriwayatkan dari 'Amru bin 'Auf seorang sekutu Bani 'Amir bin Lu'ay dan termasuk dari salah seorang sahabat yang ikut serta dalam perang Badr bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia berkata:

"أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتْ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَوَافَوْا صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ انْصَرَفَ فَتَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ حِينَ رَآهُمْ ثُمَّ قَالَ أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ قَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ".

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengutus Abu 'Ubaidah bin Jarrah ke negeri Bahrain untuk mengambil pajak [upeti] ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Al A'la bin Al Hadlrami sebagai penguasanya.

Lalu Abu 'Ubaidah pulang dengan membawa harta benda dari Bahrain. 

Ketika kaum Anshar mendengar kembalinya Abu 'Ubaidah mereka tengah mengerjakan shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika beliau selesai shalat, beliau beranjak pergi, mereka pun mencegatnya sehingga beliau tersenyum melihat tingkah laku mereka. 

Lalu beliau bersabda: "Aku kira kalian telah mendengar Abu 'Ubaidah telah kembali dengan membawa sesuatu dari Bahrain?" para sahabat menjawab, "Benar wahai Rasulullah." 

Beliau lalu bersabda: "Berilah kabar gembira dan carilah apa yang dapat membuat kalian gembira. Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadapa diri kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan terhadap diri kalian adalah dibentangkannya kemudahan dunia pada diri kalian sebagaimana dibentangkannya kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba untuk mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba, sehingga harta tersebut akan membinasakan kalian sebagaimana keluasan dunia membinasakan mereka". [HR. Bukhori no. 4015 dan Muslim no. 2961].

****

DIANTARA PENGECUALIAN DARI MAKNA AL-MAKS:

Pertama:

Adapun petugas yang mengambil zakat, dan Jizyah [pajak kepala di ambil dari orang laki-laki yang sehat akalnya, mukallaf (sudah balig) dan merdeka] dari penduduk non muslim ahlu dzimmah yang telah melakukan perdamaian dan kesepakatan suaka polotik, maka dia mendapat pahala selama dia tidak melampaui batas, dan dia berdosa jika melampaui batas dan berbuat kezaliman.

Kedua:

Bentuk pungutan yang ada sekarang, yaitu pungutan yang dikenakan oleh perwakilan kotamadya pada para pedagang ketika mereka memasuki pasar, dan uang sewa yang dikenakan kepada para pengguna toko-toko milik pemerintah ; maka yang demikian itu tidak termasuk dalam “KATEGORI AL-MAKS” ; Karena yang menjadi standar adalah fakta dan tujuan sesuatu, bukan nama dan kata-katanya, dan karena pasar dan toko yang berafiliasi dengannya adalah milik pemerintah.

Kemudian Jika para pedagang itu adalah orang-orang yang menyewa toko-toko pasar dari kotamadya atau dari pemiliknya yang sah, maka tidak boleh bagi pemungut al-maks ini mengambil tambahan berupa pungutan dari mereka secara zalim tanpa sebab yang dibenarkan. Inilah yang diharamkan dalam syariat Islam, bahkan termasuk DOSA BESAR

Ketiga:

Jika sebuah negara yang mengenakan pungutan biaya pada para pedagang dan orang-orang kaya dalam kondisi ketidakmampuan untuk memberikan pelayanan publik dan kepentingan umat Islam. seperti membangun sekolah, rumah sakit dan jalan raya ; maka dalam hal ini - jika kita tahu bahwa dana tersebut dipergunakan untuk hal-hal tersebut ; maka wajib bagi seorang Muslim menunaikan apa yang telah diwajibkan atasnya, kecuali jika pemungutan itu merupakan tindakan kedzaliman. Karena jika itu benar untuk kemashlahatan umat ; maka itu termasuk dalam kategori kerjasama dalam kebaikan dan takwa.

Maka dengan demikian tidak mengapa mengumpulkan pungutan bea atau pajak dalam kondisi negara seperti diatas.

KESIMPULAN:

Pungutan liar [al-Maks] tanpa hak yang diambil dari kaum muslimiin adalah dosa besar dan tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukannya, baik atas nama pribadinya atau atas nama kelompok tertentu, bahkan atas nama negara.

Dan pelaku al-maks adalah orang yang mengambil uang manusia secara Dzalim.

Akan tetapi apa yang diambil oleh negara untuk kemashlahatan umum umat Islam ; maka itu tidak dianggap al-maks jika kas negara tidak mampu untuk memenuhi kepentingan tersebut, dan juga dengan syarat tidak ada pengabaian atau penyalahgunaan uang rakyat.

Begitu pula apa yang diambil dari para pedagang karena ada imbalan jasa, seperti jasa keamanan, kebersihan lingkungan, perawatan jalan yang dilaluinya dengan pungutan yang sepadan dan layak ; maka itu jelas diperbolehkan.

===*****===

PEMBAHASAN KEDUA:
PEMALAKAN DAN PEMUNGUTAN TERHADAP PARA PENUNTUT ILMU AGAMA:

-----

Ada dua KATEGORI:

KATEGORI PERTAMA: PUNGUTAN LIAR DARI PENUNTUT ILMU SYAR'I TANPA ADA JASA:

Yang dimaksud pungutan liar di sini adalah pemalakan liar tanpa hak. Yaitu pungutan yang diambil dari para pelajar ilmu agama oleh pihak yang tidak terlibat dalam kegiatan belajar mengajar ilmu agama dan tidak punya andil sama sekali di dalamnya.

Pertanyaannya:

Hukum pungutan liar seperti ini yang diambil dari para penuntut ilmu agama yang bertujuan dengan ilmunya itu kelak untuk beribadah kepada Allah dan berdakwah, apakah itu sama hukumnya dengan hukum AL-MAKS [المَكْسُ = pemungutan liar tanpa hak dari para pedagang yang jelas-jelas tujuannya berbisnis mencari harta dunia]?

Jawabannya:

Masalah ini masuk dalam KATEGORI al-qiyas al-Awlaa [القِيَاسُ الأَوْلَى: analogi yang lebih tinggi]. Maka hukum haram nya lebih keras dan dosanya lebih besar. Sama halnya dengan larangan memukul kedua orang tua, hukum haramnya itu di analogikan kepada hukum larangan membentak kedua orang tua.

Allah SWT berfirman:

فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

"... Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. [QS. Al-Isra: 23].

Dalam hadits Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu; disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

إِنَّ صاحبَ المَكْسِ في النارِ

“Sesungguhnya penarik pungutan itu masuk neraka”

[HR. Ahmad 4/109 Al-Arna’uth berkata: Hasan lighairihi].

Para ulama terdahulu telah sepakat akan haramnya pungutan-pungutan tersebut dari kaum muslimin..

*****

KATEGORI KEDUA: PUNGUTAN DARI PENUNTUT ILMU SYAR'I KARENA ADA JASA:


----

Yang dimaksud "Pungutan Karena Ada Jasa " di sini adalah pungutan yang berkaitan dengan upah mengajar ilmu agama atau upah berdakwah atau upah konsultasi agama atau yang sejenisnya.

Dan tidak masuk dalam pembahasan ini permasalahan yang berkaitan dengan upah mengajar selain ilmu agama seperti Ilmu Ekonomi, kedokteran, arsitek, mekanik dan lainnya.

Dan tidak masuk pula di dalamnya sesuatu yang berkaitan dengan pungutan sewa asrama, iuran biaya perawatan sarana belajar, bayaran catering dan pungutan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan menyampaikan Ilmu agama.

Jika benar pungutan tersebut bukan pungutan dari jasa mengajar Ilmu agama, melainkan dari jasa mengajar ilmu lainnya atau sewa asrama atau biaya catering dan lainnya ; maka itu hukum nya diperbolehkan selama dalam batas harga yang wajar dan benar adanya tanpa ada rekayasa meninggikan harga, apalagi jika semua sarana dan fasilitasnya itu dihasilkan dari dana infaq dan shodaqoh.

Namun demikian tidak menutup kemungkinan akan adanya oknum Mafia pendidikan dari sebagian para pengurus madrasah atau pesantren yang melakukan kebohongan. Sebagaimana yang pernah terjadi di negara Mesir.

Mahmud Diyaab dalam artikelnya :

[[مَافِيَا تَبَرُّعَاتِ الْمَدَارِسِ MAFIA SUMBANGAN MADRASAH]

Dia berkata:

“مع بدء العام الدراسي، وقبيل دخول المدارس هناك مافيا تبرعات المدارس؛ وهم غالبية مديري المدارس الحكومية والخاصة، الذين يجبرون أولياء الأمور على التبرع إجباريًا؛ سواء ماديًا أو عينيًا للمدرسة؛ بحجة أن ميزانية المدرسة غير كافية للصرف على احتياجاتها؛ على الرغم من أن هناك تعليمات وتصريحات من وزير التربية والتعليم الدكتور طارق شوقي بمنع الحصول على تبرعات من أولياء أمور الطلبة؛ ولكن معظم المديرين يضربون بهذه التعليمات عرض الحائط، ويجبرون أولياء الأمور على دفع أموال نقدية أو أشياء عينية رغمًا عنهم.

ويقوم أولياء أمور الطلبة بدفع هذه المبالغ النقدية أو العينية مجبرين وصاغرين لهؤلاء المديرين...”.

Dengan dimulainya tahun ajaran baru, dan sebelum masuk sekolah, ada para mafia sumbangan sekolah; Mereka adalah sebagian besar kepala sekolah negeri dan swasta, yang mana mereka secara paksa memaksa orang tua untuk menyumbang; baik secara finansial atau dalam bentuk barang ke sekolah; Dengan alasan anggaran sekolah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya; Meskipun ada instruksi dan pernyataan dari Menteri Pendidikan, Dr. Thariq Syauky, untuk mencegah memungut sumbangan dari orang tua siswa; Tetapi sebagian besar para kepala sekolah mengabaikan instruksi ini, mereka tetap memaksa para orang tua murid untuk membayar uang tunai atau barang yang sesuai dengan keinginan mereka, dan itu tidak mau tidak.

Maka para orang tua siswa pun membayar jumlah ini dalam bentuk tunai atau barang, secara paksa dan tunduk lemah kepada para kepala sekolah ini.

[Sumber: mahmoud.diab@egyptpress.org]

Jadi yang dimaksud dengan " Pungutan Karena Ada Jasa" dalam pembahasan di sini adalah pungutan atau upah yang diambil dari hasil mengajar ilmu-ilmu agama Islam atau berdakwah atau ceramah agama atau bacaan Qori al-Quran atau jasa konsultasi hukum atau lainnya, lalu sebagai imbalan atas jasanya itu mereka mengambil upah dan pungutan.

Upah dan Pungutan seperti ini dikenal pula dengan istilah uang infaq, uang bangunan, sumbangan wajib, daftar ulang, uang semester, uang bulanan dan lain-lain.

===****===

KAIDAH UMUM DALAM HAL MENYEBAR LUASKAN ILMU AGAMA:

الْأَصْلُ فِي أَعْمَالِ الْقُرُبِ كَتَعْلِيمِ الْعِلْمِ وَنَحْوِهِ أَنْ يَقُومَ بِهَا الْإِنْسَانُ مُحْتَسِبًا مُخْلِصًا لِوَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُرِيدُ بِذَٰلِكَ عَرْضًا مِنَ الدُّنْيَا، وَهَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ بِلا شَكٍّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ.

Pada asalnya hukum semua amalan yang diperuntukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti mengajarkan ilmu agama dan sejenisnya, adalah seseorang melakukannya harus betul-betul ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dari-Nya. Tidak bertujuan untuk memperoleh dunia, dan Ini adalah yang paling afdlol tidak diragukan lagi, dan itulah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Taabi'in

Ringkasnya: Belajar dan mengajar ilmu agama serta berdakwah itu masuk dalam KATEGORI IBADAH.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

والصحابة والتابعون وتابعو التابعين وغيرهم من العلماء المشهورين عند الأمة بالقرآن والحديث والفقه إنما كانوا يعلِّمون بغير أجرة، ولم يكن فيهم من يعلم بأجرة أصلاً. ا.هـ.

Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin, dan ulama lainnya yang masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengajarkan ilmu agama dengan mengambil upah sama sekali.

(Baca: مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204).

****

BOLEH UPAH ILMU SYAR'I DARI PIHAK LAIN [INDEPENDEN]:

Para Fuqohaa telah sepakat akan bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal (Kas Negara) atas pengajaran ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya.

===****===

APAKAH HUKUM UPAH JASA PENGAJARAN ILMU SYAR'I BISA DI SAMAKAN DENGAN PAJAK DAN UPETI KARENA JASA?

Pertanyaan yang lebih rinci: 

Hukum Pungutan dari para penuntut ilmu agama sebagai imbalan atas jasa mengajar atau ceramah agama atau dakwah atau yang semisalnya, apakah bisa disamakan hukumnya [dianalogikan] dengan hal-hal berikut ini [sebagai contoh]:

  1. Pungutan PAJAK negara yang digunakan oleh pemerintah untuk mengelola negara, seperti untuk membiayai: keperluan sarana militer, kepolisian, aparatur negara, insfrastruktur, sarana pendidikan, sarana kesehatan dan lain-lain.
  2. Pungutan yang diambil oleh pihak pengelola Pasar dari para pedagang dipasar sebagai uang jasa keamanan, pelayanan kebersihan dan lainnya??.

JAWABANNYA:

Tidak bisa dianalogikan dengan dua hal diatas; karena larangan mengambil pungutan dari para penuntut ilmu-ilmu agama itu memiliki dalil-dalil khusus yang cukup banyak.

Imam az-Zuhri dan Madzhab al-Hanafi berpendapat: TIDAK BOLEH dan HARAM hukumnya SECARA MUTLAK mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar'i.

Dan itu adalah pendapat madzhab al-Hanbali dalam mengajar al-Qur’an. Begitu juga yang masyhur dalam madzhab al-Hanbali TIDAK BOLEH pula mengambil upah di dalam mengajar ilmu hadits, ilmu Fiqh dan ilmu syar'i lainnya.

Lihat referensi Madzhab al-Hanafi sbb:

المبسوط: (16/ 37)، بدائع الصنائع: (4/ 191-194)، تبيين الحقائق: (5/ 124)، الجوهرة النيرة: (1/ 269)، البحر الرائق: (8/ 22)، مجمع الأنهر: (2/ 384)، شرح العناية: (9/ 97-98)، درر الحكام: (2/ 233)، حاشية ابن عابدين: (6/ 58).

Lihat referensi Madzhab al-Hanbali sbb:

المحرر: (1/ 357)، رؤوس المسائل الخلافية للعكبري: (3/ 1003)، المذهب الأحمد لابن الجوزي: (108)، المغني: (8/ 138)، الشرح الكبير: (3/ 332)، الفروع: (4/ 435)، الآداب الشرعية: (1/ 74)، المبدع: (5/ 90)، تصحيح الفروع: (4/ 435)، الإنصاف: (6/ 46)، كشاف القناع: (4/ 12)، شرح المنتهى: (2/ 360)، الروض المربع: (5/ 321)، مطالب أولي النهى: (3/ 637)، مسائل الإمام أحمد الفقهية المنقولة عنه في طبقات الحنابلة لأبي يعلى في غير العبادات: (215).

*****

DI ANTARA DALIL-DALIL LARANGAN MENGAMBIL PUNGUTAN DARI PARA PENUNTUT ILMU AGAMA. Adalah sbb:

===

DALIL PERTAMA: ORANG DURHAKA MAKAN DAN MINUMNYA HASIL DARI AL-QUR'AN.

Allah SWT berfirman:

فَخَلَفَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ غَیًّا

“Kemudian datanglah setelah mereka para pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti syahwatnya, maka mereka kelak akan tersesat". [QS. Maryam: 59]

TAFSIR AYAT:

Ibnu Katsir tafsirnya ketika menafsiri ayat diatas, dia meriwayatkan melalui jalur Abu Hatim dengan sanadnya dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:

يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ

قال بَشِيْر : قُلْتُ للوَلِيْد: مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ: المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ

Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Kemudian akan muncul pula para pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran, tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.

Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin, orang Munafiq, dan orang durhaka.

Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut: "Siapa sajakah mereka itu?"

Maka Al-Walid menjawab: "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran, orang Munafiq adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran, sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran."

DERAJAT HADITS:

Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية 6/233 berkata:

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ.

"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".

Dan Syeikh al-Albaani dalam السلسلة الصحيحة 1/520 berkata:

رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الْوَلِيدِ فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ.

"Para perawinya tsiqoot [dipercaya] selain al-Wallid, maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan, dan hadist tersebut bagaimana pun juga layak dan baik untuk dijadikan sebagai syahid”.

****

DALIL KEDUA: HADITS-HADITS YANG MELARANG MENERIMA UPAH MENGAJAR AL-QUR'AN:

HADITS KE 1: Dari Abu ad-Dardaa’ RA, Rosulullah bersabda:

((‌مَنْ ‌أَخَذَ ‌عَلَى ‌تَعْلِيمِ ‌الْقُرْآنِ ‌قَوْساً ‌قَلَّدَهُ ‌الله ‌مَكَانَهَا ‌قَوْساً ‌مِنْ ‌نَارِ ‌جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

Barang siapa menerima Busur Panah atas imbalan mengajar al-Qur’an, maka Allah akan mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari Kiamat”.

(HR. Imam al-Baihaqi dalam “السنن الكبرى” 6/126 dan lainnya).

Di shahihkan oleh Syeikh al-Baani dalam kitab “صحيح الجامع “ no. 5982 dan dalam kitab “السلسلة الصحيحة “ 1/113 no. 256.

HADITS KE 2: Dari Ubadah bin ash-Shoomit RA, berkata:

“عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَلأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ ﷺ (إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا)

وعند ابن ماجه (إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا)

وعنه في رواية أخرى: فَقُلْتُ مَا تَرَى فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: (جَمْرَةٌ بَيْنَ كَتِفَيْكَ تَقَلَّدْتَهَا أَوْ تَعَلَّقْتَهَا).

Artinya: Aku telah mengajarkan Al Qur’an pada seseorang dari Ahli ash-Shuffah kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku berkata:

“Ini bukanlah harta, tetapi ini bisa digunakan untuk berjihad fii sabilillah, namun demikian aku harus menghadap dulu ke Rosulullah aku mau menanyakannya, lalu aku mendatangi beliau dan aku berkata pada nya :

“Wahai Rosulullah, seseorang telah menghadiahi ku Busur panah, orang tersebut salah seorang yang aku mengajarkan al-Kitab dan al-Qur’an padanya, dan ini bukan HARTA, dan aku bisa memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah”.

Rosulullah menjawab: “ Jika kau suka busur itu kelak akan dikalung kan pada dirimu dari api Neraka, maka silahkan ambil !!!”. Lalu aku pun mengembalikannya.”

Dalam riwayat Ibnu Majah, lafadznya adalah: " "Jika engkau suka untuk dihimpit api neraka, maka terimalah."

Dalam lafadz lain: “ Itu Bara Api di antara dua pundakmu, kamu melingkarkannya atau kamu mengalungkannya”.

(HR. Imam Ahmad No. 21632, Abu Daud no. 2964 dan Ibnu Majah No. 2148).

Di Shahihkan oleh al-Haakim dan Syeikh al-Baani dalam “سلسلة الأحاديث الصحيحة” 1/115, Shahih Abu Daud no. 3416 dan dalam Shahih Turmudzi”.

HADITS KE 3: Dari Ubay bin Ka’ab RA, berkata:

“عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ (إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ) فَرَدَدْتُهَا”.

“Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang, lalu dia menghadiahkan Busur panah pada ku. Maka aku menceritakannya pada Rosulullah maka beliau bersabda: “ Jika kamu mengambilnya, maka kamu telah mengambil busur dari api neraka”. Lalu Aku mengembalikannya.

(HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Baani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493).

HADITS KE 4: Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi, berkata:

“خرج علينا رسول الله – ﷺ – يوماً ونحن نقريء فقال: الحمدُ لله، كتابُ الله واحدٌ، وفيكم الأحْمَرُ وفيكم الأبْيَضُ وفيكم الأسْوَد اقْرَؤوهُ قَبْل أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ”.

“Pada suatu hari Rosulullah keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda: “ Al-Hamdulillah, Kitab Allah satu, sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah, berkulit putih dan berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab), bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an, mereka menegakkan bacaanya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus bacaannya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).

(HR. Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dalam Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata: Hasan Shahih).

Syarah Hadits:

قوله: « يقيمونه كما يُقَوَّمُ السَّهم » أي: يُحَسِّنون النُّطق به. وقوله: « يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ » أي: يطلب بذلك أجر الدنيا من مال وجاه ومنصب، ولا يطلب به أجر الآخرة. انظر: جامع الأصول، لابن الأثير (2/ 450-451)

Sabda beliau "Mereka menegakkan bacaannya seperti halnya anak panah diluruskan " Yakni: mereka memperbagus dalam pengucapannya.

Dan sabdanya: “dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat)”. Artinya: dia dengan bacaanya itu untuk mencari upah duniawi, berupa harta, kehormatan dan kedudukan. Dia tidak bertujuannya dengannya itu untuk mencarai pahala akhirat.

[Baca: جامع الأصول karya Ibnu al-Atsiir 2/450 – 451].

HADITS KE 5: Dari Jabir bin Abdullah RA, berkata:

دَخَلَ النَّبي ﷺ المسجدَ، فإذا فيه قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: « اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ، يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه”.

Nabi masuk masjid, dan ternyata di dalamya terdapat orang-orang yang sedang baca al-Qur’an.

Beliau bersabda: “ Bacalah kalian al-Qur’an, dan dengannya semata-mata karena mengharapkan Allah, sebelum datangnya kaum yang menegakkan bacaannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus bacaanya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).

(HR. Imam Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dalam Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740.

Muhammad Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam kitabnya “عون المعبود” 3/42 berkata:

فقد أخبر النَّبي ﷺ عن مجيء أقوام بعده يُصلحون ألفاظ القرآن وكلماته ويتكلَّفون في مراعاة مخارجه وصفاته، كما يُقام القِدْح - وهو السَّهْم قبل أنْ يُعمل له رِيشٌ ولا نَصْلٌ - والمعنى: أنَّهم يُبالغون في عمل القراءة كمالَ المبالغة؛ لأجل الرِّياء والسُّمعة والمباهاة والشُّهرة. أيها الإخوة الكرام.. هؤلاء تعجَّلوا ثواب قراءتهم في الدُّنيا ولم يتأجَّلوه بطلب الأجر في الآخرة، إنهم بفعلهم يؤثرون العاجلة على الآجلة ويتأكَّلون بكتاب الله تعالى ، وهذا من أعظم أنواع هجر القرآن الكريم، فبئس ما يصنعون. انظر: عون المعبود شرح سنن أبي داود (3/ 42)

Maka sungguh Nabi telah mengkabarkan: bahwa setelah kepergianya akan muncul kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya, bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan padanya bulu-bulu dan besi tajam diujungnya.

Maksudnya: Mereka sangat berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia, popularitas, berbangga-banggaan dan ketenaran.

Wahai para ikhwan yang mulia !!!, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan imbalan bacaan al-Qurannya di dunia, mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat.

Sesungguhnya perbutan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la. Dan ini adalah jenis perbuatan PEMBOIKOTAN al-Quran yang paling dahsyat, maka ini adalah SEBUSUK-BUSUKNYA yang mereka lakukan. (Baca: “عون المعبود شرح سنن أبي داود” 3/42)

HADITS KE 6: Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda:

(تَعَلَّموا القرآنَ، وَسَلُوا اللهَ بِهِ الجنَّةَ، قَبْلَ أنْ يَتعَلَّمَهُ قَوْمٌ، يَسْأَلُونَ به الدُّنْيا، فَإِنَّ القُرآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاثَةٌ: رَجُلٌ يُباهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ لله).

“Kalian Belajarlah Al-Quran dan mintalah kepada Allah surga dengannya, sebelum muncul satu kaum yang mempelajari Al-Quran untuk tujuan duniawi.

Sesungguhnya ada tiga kelompok yang mempelajari Al-Quran:

  • Seseorang yang mempelajarinya untuk membanggakan diri,
  • Seseorang yang mencari makan darinya,
  • dan seseorang yang membaca karena Allah Subhanahu Wata’ala.”

(HR. Baihaqi dan Abu ‘Ubeid dalam kitab “فضائل القرآن”, Bab: القارئ يستأكل بالقرآن hal. 206. Hadits di sebutkan oleh Syeikh al-Baani dalam “السلسلة الصحيحة “ 1/118-119 No. 258, dan beliau berkata:

وللحديث شواهد أخرى تؤيد صحَّته عن جماعة من الصحابة

“Hadits ini memiliki syahid-syahid lain yang memperkuat keshahinnya dari jemaah para sahabat “)

HADITS KE 7: Dari Imran bin Hushain رَضِيَ اللَّهُ عَنْه:

‏ ‏" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ ‏ ‏يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ‏ ‏يَقُولُ: " ‏مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ”.

“Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an, kemudian setelah membacanya meminta (upah) kepada orang-orang, maka Imran ber istirja’ (Yakni berkata: Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikan), lalu dia berkata: Aku mendengar Rosulullah bersabda:

“Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu”.

(HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata: " Hadits Hasan”. Dan Syeikh Al-Bany dalam sahih Targhib 2/80 no. 1433 mengatakan: " Sahih karena ada yang lainnya”. Dan dalam Sahih wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi 6/417 no. 2917 beliau mengatakan: " Hasan”.

Syarah Hadits:

Al-Mubaarokfuury dalam syarah Sunan Tirmidzi berkata:

قَوْلُهُ (يَقْرَأُ) أَي: يَقْرَأُ الْقُرْآنَ. 

وَقَوْلُهُ: (ثُمَّ سَأَلَ) أَي: طَلَبَ الْقَارِئُ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا مِنَ الرِّزْقِ لِقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ. 

وَقَوْلُهُ: (فَاسْتَرْجَعَ) أَي: قَالَ عُمَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ﴿ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البَقَرَةِ: 156]؛ لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عُمَرٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.

Sabda-nya: (membaca), yaitu dia membaca Al-Qur’an.

Dan sabdanya: (Kemudian dia meminta) artinya: Qoori itu meminta rizki dari orang-orang karena dia telah membaca Al-Qur'an.

Dan sabdanya: (Maka dia meminta untuk mengembalikannya) artinya: Imran radhiyallahu ‘anhu berkata: “ Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali” [Al-Baqarah: 156].

Dia berkata demikian karena perbuatan itu adalah bala [mushibah] yang menimpa Qoori.

Atau karena Imran – semoga Allah meridhoinya – merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana perbuatan tersebut merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat.

[Baca: تحفة الأحوذي بشرح جامع الترمذي 8/235].

*****

DALIL KETIGA: HADITS JAMINAN NERAKA BAGI YANG MENCARI ILMU AGAMA BERNIAT UNTUK POPULARITAS, MATA PENCAHARIAN DAN KEDUDUKAN:

HADITS KE 1:

Dari Ka’ab bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda,

“مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ”

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya bertujuan untuk menunjukkan kepada para ulama bahwa dirinya lah yang paling berilmu atau bertujuan untuk mendebat orang-orang bodoh (yakni: sehingga membuat bingung orang awam pen.) atau agar dengan ilmunya tersebut wajah-wajah para manusia tertuju pada dirinya (yakni: supaya semua orang jadi pengikutnya, pen.), maka Allah akan memasukannya ke dalam api neraka.”

(HR. Tirmidzi no. 2654, AL-‘Uaqaily dalam “الضعفاء الكبير” 1/103 dan Ibnu Hibban dalam “المجروحين”. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih at-Turmudzi no. 2654 bahwa hadits ini hasan. Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

HADITS KE 2:

Dari Jabir bin ‘Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, ia berkata, Nabi bersabda,

“لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ”.

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di majelis-majlis. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah no. 254. Al-Mundziri dalam kitabnya “الترغيب والترهيب” 1/92:

“إسناده صحيح أو حسن أو ما قاربهما”

Artinya: “ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya”.

Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

HADITS KE 3: Dari Hudzaifah bin al-Yamaan, bahwa Nabi bersabda:

لا تَعلَّموا العِلمَ لتباهوا بهِ العلماءَ أو لتُماروا بهِ السُّفَهاءَ أو لتصرِفوا وجوهَ النَّاسِ إليكم فمَن فعلَ ذلِكَ فَهوَ في النَّارِ

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian [menjadi kondang. Pen]. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah dan di hasankan oleh syeikh al-Baani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210)

HADITS KE 4: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada:

(مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا).

“Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak.

(HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan imam Ahmad no. 8457)

Hadits ini di Shahihkan oleh imam an-Nawawi, syeikh bin Baaz dan syeikh al-Baani. Lihat: “رياض الصالحين” [No. 139 & 1620] dan “صحيح الترغيب” no. 105).

Kalau dalam hadits disebutkan masalah ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Itulah maksud dari pujian dan sanjungan ditujukan pada ilmu syar’i. Sebagaimana pujian ini ditujukan pada ahli ilmu sebagai pewaris para nabi,

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.”

(HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Pewaris nabi tentu saja adalah pewaris ilmu diin atau ilmu agama.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

“Ilmu itu dimaksudkan untuk banyak hal. Namun kalau menurut ulama Islam, yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Itulah yang dimaksudkan dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah Ketika disebut ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 302)

HADITS KE 5: Turmudzy meriwayatkan dari Ibnu Umar Nabi bersabda:

"مَن تعلَّمَ عِلمًا لغَيرِ اللهِ، أو أرادَ به غَيرَ اللهِ، فلْيَتبوَّأْ مَقعَدَه من النَّارِ

“Barang siapa yang menuntut Ilmu karena selain Allah, maka dia telah menyiapkan tempat duduk untuk dirinya dari api Neraka”.

(HR. At-Tumudzi no. 2655 dan an-Nasaa’i dalam “السنن الكبرى” no. 5910 dalam hadits yang panjang.

Al-Mizzy berkata dlam kitabnya “تهذيب الكمال”: “ Di dalam sanadnya terdapat Muhammad din ‘Abbaad al-Hannaa’i, telah berkata Abu Hatim: dia itu shoduuq”. Al-Mubaarokfuuri dlam kitabnya “تحفة الأحوذي” 7/68: Sanadnya terputus”.

Hadits ini di dhoifkan oleh Syeikh al-Baani dalam “ضعيف الترمذي” no. 2655, “السلسلة الضعيفة” no. 5017, “ضعيف الترغيب” no. 85 dan “ضعيف الجامع” no. 1768 dan 5530.

HADITS KE 6: Dari Ibnu Abbaas RA dari Nabi bersabda:

»إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أُمَّتِي سَيَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَقُولُونَ: نَأْتِي الْأُمَرَاءَ فَنُصِيبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ وَنَعْتَزِلُهُمْ بِدِينِنَا وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ كَمَا لَا يُجْتَنَى مِنْ الْقَتَادِ إِلَّا الشَّوْكُ كَذَلِكَ لَا يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ إِلَّا قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ كَأَنَّهُ يَعْنِي الْخَطَايَا«

“Sesungguhnya ada manusia-manusia dari kalangan umatku yang mereka mendalami ilmu agama dan membaca al-Quran, dan mereka berkata:

“Kami akan mendatangi para pemimpin dari pemerintah, hingga kami mendapatkan sebagian dunia mereka, tapi kami membatasi diri kami dari mereka dengan agama kami (yakni: tidak ikut-ikutan melakukan dosa-dosa kedzaliman)".

Yang demikian itu tidak mungkin terjadi (yakni: dapat uangnya penguasa sekaligus agamanya terselamatkan). Sebagaimana tidak ada orang yang memetik dari pohon al-Qataad (pohon yang hanya dipenuhi duri), kecuali hanya mendapatkan duri.

Demikian pula, tidak ada seseorang yang memetik dari kedekatan dengan penguasa, kecuali dosa-dosa”.

[HR. Imam Ibnu Majah No. 255]

Hadits ini di dhoifkan oleh syeikh al-Baani dalam “تخريج مشكاة المصابيح” No. 253 & 262, “صحيح وضعيف سنن ابن ماجة” 1/327, “الضعيفة” no. 1250 dan “التعليق الرغيب” 1/69. Lihat “الدرر السنية” hadits No. 103321.

HADITS KE 7: Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda:

“تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحَزَنِ. قالوا: يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ ؟ قال: وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ أربعَمائةِ مرَّةٍ. قيل: يا رسولَ اللهِ من يدخلُه ؟ قال: أُعِدَّ للقُرَّاءِ المُرائين بأعمالِهم ، وإنَّ من أبغضِ القُرَّاءِ إلى اللهِ الَّذين يُزورُون الأمراءَ الجَوَرةَ”

“Berlindunglah kalian kepada Allah SWT dari jubb al-hazan.

Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan?

Nabi menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 400 kali setiap hari”.

Para shahabat bertanya, “Siapa yang memasukinya?

Nabi menjawab: “ [Jub al-hazan] Disediakan bagi para pembaca al-Quran yang riya` (ingin dipuji manusia) sesuai dengan amal perbuatan mereka. Sesungguhnya, para pembaca al-Quran yang paling dibenci Allah adalah mereka yang mengunjungi para penguasa yang lalim tidak adil”.

[HR. Al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب” 4/341, at-Turmudzy No. 2383 dan Ibnu Majah No. 256. Di dhoifkan oleh Syeikh al-Baani dalam “ضعيف ابن ماجه” no. 50. Dan al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب” 1/51berkata: “لا يتطرق إليه احتمال التحسين”].

HADITS KE 8: Dari Ali bin Abi Tholib, bahwa Nabi bersabda:

“تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ، قيل: يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ؟ قال: وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ سبعين مرَّةً أعدَّه اللهُ للقُرَّاءِ المُرائين”.

“Berlindunglah kalian kepada Allah SWT dari jubb al-hazan. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan? Nabi menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 70 kali setiap hari”. Allah SWT telah menyiapkannya untuk para qori al-Qura’an yang riya (ingin dipuji manusia)”.

(Lihat: “الترغيب والترهيب للمنذري” karya al-Mundziri 4/341. Sanad nya Hasan. Lihat “الدرر السنية” hadits no. 112)

HADITS KE 9: Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasululullah bersabda,

بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ، وَالرِّفْعَةِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمِ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ.

“Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, ketinggian, kemenangan dan kekokohan di muka bumi. Barang siapa di antara mereka melakukan amalan ukhrawi untuk meraih dunia; pada hari akhirat kelak ia tidak akan memperoleh bagian (pahala)”.

(HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Haakim. Dan dinilai sahih oleh al-Hakim, adz-Dzahaby, adh-Dhiya’ al-Maqdisy juga Syeikh al-Albany dalam “صحيح الترغيب والترهيب” 23-(2) hal.116/1876)

*****

DALIL KEEMPAT: BELAJAR MENGAJAR ILMU AGAMA DAN BERDAKWAH ITU KEWAJIBAN, BUKAN UNTUK DI BISNISKAN DAN DIJADIKAN MATA PENCAHARIAN.

DALIL KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU AGAMA:

Adapun kewajiban menuntut ilmu agama, maka berikut ini dalil-dalil nya:

PERTAMA: Rosulullah bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, no. 224. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan, tapi Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224))

KEDUA: Allah SWT menyatakannya dalam Al-Quran bahwa « طلب العلم » itu bagian dari pada Jihad Fi Sabilillah, Allah berfirman:

] وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلّ فِرْقَةٍ مّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لّيَتَفَقّهُواْ فِي الدّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوَاْ إِلَيْهِمْ لَعَلّهُمْ يَحْذَرُونَ [ [سورة: التوبة - الأية: 122]. قوله تعالى: ] ليتفقهوا [ يعني بذلك الطائفة القائمة.

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122)

KETIGA: Dan Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Dan janganlah kamu melakukan sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban." (QS. Al-Israa: 36).

KEEMPAT: Dan Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah: 159-160].

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:

أخبر الله تعالى أن الذي يكتم ما أنزل من البينات والهدى ملعون. واختلفوا من المراد بذلك، فقيل: أحبار اليهود ورهبان النصارى الذين كتموا أمر محمد صلى الله عليه وسلم، وقد كتم اليهود أمر الرجم. وقيل: المراد كل من كتم الحق، فهي عامة في كل من كتم علما من دين الله يحتاج إلى بثه،.......

“Allah ta’ala telah mengkhabarkan orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk yang diturunkan Allah termasuk orang yang terlaknat. Para ulama berselisih pendapat maksud orang yang terlaknat tersebut.

Dikatakan: Mereka adalah para rahib Yahudi dan pendeta Nashara yang menyembunyikan perkara Muhammad Orang-orang Yahudi juga telah menyembunyikan ayat rajam.

Dikatakan juga bahwa yang dimaksud orang yang terlaknat tersebut adalah orang yang menyembunyikan kebenaran. Dan hal itu berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu agama Allah yang seharusnya disebarluaskan…..

[Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 2/479-483 tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427 – dengan peringkasan].

Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata:

هَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِمَنْ كَتَمَ مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ مِنَ الدَّلَالَاتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْمَقَاصِدِ الصَّحِيحَةِ وَالْهُدَى النَّافِعِ لِلْقُلُوبِ، مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي كُتُبِهِ الَّتِي أَنْزَلَهَا عَلَى رُسُلِهِ.

“Ini merupakan peringatan yang keras bagi orang yang menyembunyikan apa saja yang diturunkan dengannya para Rasul, berupa ajaran dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah ta’ala terangkan kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya. [‘Umdatut-Tafsiir, 1/279-280].

Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه berkata:

إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا، ثُمَّ يَتْلُوا: {إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ - إِلَى قَوْلِهِ - الرَّحِيمِ}........

“Orang-orang berkata: ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan hadits”.

Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah:

‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Baqarah: 159-160)…..” [HR. Al-Bukhori no. 118].

Al-Haafidz Ibnu Hajar rahimahullah saat mengomentari hadits di atas berkata:

وَمَعْنَاهُ: لَوْلَا أَنْ اللَّهَ ذَمَّ الْكَاتِمِينَ لِلْعِلْمِ مَا حَدَّثَ أَصْلًا، لَكِنْ لَمَّا كَانَ الْكَتْمَانُ حَرَامًا وَجَبَ الإِظْهَارُ، فَلِهَذَا حَصَلَتِ الْكَثْرَةُ لِكَثْرَةِ مَا عِندَهُ.

“Dan makna dari perkataan ‘jika saja bukan karena dua ayat’ adalah: Jikalau bukan karena Allah mencela orang-orang yang menyembunyikan ilmu, aku tidak akan meriwayatkan hadits sama sekali.

Namun karena menyembunyikan ilmu itu adalah diharamkan dan harus disampaikan, maka ia pun banyak meriwayatkan karena banyak hadits yang ia miliki” [Fathul-Baariy, 1/214].

****

DALIL KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA:

Adapun dalil tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya adalah sbb:

PERTAMA: Dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (tidak berdosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".

  1. Bukhari (hadis nomor 3202), Abu Dawud, Hadis Nomor 3177; al-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Imam Ahmad, Hadis Nomor 6198.

KEDUA: Dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah bersabda:

مثل الذي يتعلم العلم ثم لا يحدث به كمثل الذي يكنز الكنز فلا ينفق منه

“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menyampaikannya adalah seperti orang yang menyimpan harta namun tidak menafkahkannya darinya (membayarkan zakatnya)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 689; shahih – lihat Ash-Shahiihah no. 3479].

KETIGA: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr: Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda:

من كتم علما ألجمه الله يوم القيامة بلجام من نار

“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 96, Al-Haakim 1/102, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 5/38-39; hasan].

KEEMPAT: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:

"من سئل عن علمٍ فكتمه ألجمه اللّه بلجام من نارٍ يوم القيامة".

“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu lalu menyembunyikannya, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3658, At-Tirmidziy no. 2649, Ath-Thayalisiy no. 2534, Ibnu Abi Syaibah 9/55, Ahmad 2/263 & 305 & 344 & 353 & 499 & 508, Ibnu Maajah no. 261, Ibnu Hibbaan no. 95, Al-Haakim 1/101, Al-Baghawiy no. 140, dan yang lainnya; shahih].

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, pernah di tanya tentang hukum mengambil upah mengajar ilmu agama, maka beliau menjawab, di antaranya sbb:

فَأَجَابَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ. أَمَّا تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهُوَ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ وَأَحَبُّهَا إلَى اللَّهِ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الإِسْلامِ لَيْسَ هَذَا مِمَّا يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ مِمَّنْ نَشَأَ بِدِيَارِ الإِسْلامِ. وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ. وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةِ أَصْلاً. فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّ وَافِرٍ. وَالأَنْبِيَاءُ رضوان الله تعالى عليهم أجمعين إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ. (مجموع الفتاوى 30/204).

Maka beliau menjawab:

“Alhamdulillah, Adapun mengajar al-Qur’an dan Ilmu agama tanpa upah, maka itu adalah amalan yang paling afdhol dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini adalah perkara yang sangat jelas dan dimaklumi secara darurat dalam agama Islam, ini bukan perkara yang samar dan tersembunyi bagi orang yang hidup dan tumbuh besar di negeri-negeri Islam (Yakni: semua orang pasti tahu banget. pen.).

Para sahabat, para tabi’iin, para tabi’it tabi’iin dan lainnya dari para ulama yang masyhur di kalangan para imam akan keilmuannya, baik ilmu al-Quran, Hadits dan Fiqih, sesungguhnya mereka semuanya tidak ada yang mengambil upah dalam mengajar.

Dan sama sekali tidak ada satu pun yang mengajar dengan upah. Karena sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar, maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan Ilmu, maka barang siapa yang mengambil ilmu tersebut, maka dia telah mengambil keberuntungan yang melimpah. Dan para nabi, merka ketika mengajarkan ilmu, tanpa mengambil upah”. (Baca: “مجموع الفتاوى” 30/204)

******

DALIL KE LIMA: BERJIHAD, BERSAFARI UNTUK DAKWAH, MENGAJARKAN ILMU AGAMA DAN BER AMAR MAKRUF NAHYI MUNKAR ADALAH TRANSAKSI JUAL BELI DENGAN ALLAH DI BAYAR DENGAN SYURGA DAN AMPUNAN.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ وَالْقُرْاٰنِۗ وَمَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ مِنَ اللّٰهِ فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهٖۗ وَذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

اَلتَّاۤىِٕبُوْنَ الْعٰبِدُوْنَ الْحٰمِدُوْنَ السَّاۤىِٕحُوْنَ الرّٰكِعُوْنَ السّٰجِدُوْنَ الْاٰمِرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّاهُوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحٰفِظُوْنَ لِحُدُوْدِ اللّٰهِ ۗوَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: " Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik jiwa raga mereka mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.

Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah?

Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.

Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi agama ini), rukuk, sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.

Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman !!!”. [QS. At-Taubah: 111-112]

Dan Allah SWT berfirman pula:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قٰتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ.

وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَاِسْرَافَنَا فِيْٓ اَمْرِنَا وَثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ.

فَاٰتٰىهُمُ اللّٰهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْاٰخِرَةِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ.

Artinya:

Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.”

Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. [QS. Ali Imran: 147-149]

Bagaimana Para sahabat, para tabi'in, tabi'iin dan orang-orang yang beriman yang datang sesudahnya dalam mengamalkan ayat-ayat tersebut diatas?

Banyak di antara mereka yang mengamalkannya dengan cara meninggalkan kampung halamannya bersama keluarganya untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah sambil berdagang, mereka tidak pernah pulang hingga akhir hayatnya.

Mereka telah menjual segalanya terutama jiwa raganya kepada Allah dengan harapan dibayar dengan syurga oleh Allah SWT kelak.

Namun demikian Rosulullah melarang umat nya melakukan semua itu jika harus menceraikan istrinya, meski tujuannya agar fokus dalam berdakwah dan berjihad.

Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya meriwayatkan dari Sa’ad ibnu Hisyam:

أنَّه طَلَّقَ امرأتَه، ثم ارتَحَلَ إلى المدينةِ لِيَبيعَ عَقارًا له بها، ويَجعَلَه في السِّلاحِ والكُراعِ، ثم يُجاهِدَ الرُّومَ حتى يموتَ.

فلَقِيَ رَهْطًا من قَومِه، فحَدَّثوه أنَّ رَهْطًا من قَومِه سِتَّةً أرادوا ذلك على عهدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: أليس لكم فيَّ أُسْوةٌ حَسَنةٌ؟ فنَهاهم عن ذلك، فأشهَدَهم على رَجْعَتِها. ثم رَجَعَ إلينا، فأخبَرَنا.....

“Bahwa ia (Sa’ad bin Hisyam. Pen) menceraikan istrinya (karena dia ingin fokus dan menghabiskan usianya untuk Ribaath di perbatasan Romawi dan berjihad Pen.), kemudian berangkat ke Madinah untuk menjual propertinya yang ada di Madinah, lalu ia akan menggunakannya untuk keperluan jihad dengan membeli perlengkapan dan senjata untuknya, kemudian ia hendak berjihad melawan orang-orang Romawi hingga akhir hayatnya.

Kemudian dalam perjalanan ia berjumpa dengan sekelompok orang-orang dari kaumnya yang menceritakan kepadanya: bahwa sebelum dia pernah ada pula enam orang dari kalangan kaumnya mempunyai keinginan yang sama untuk melakukan hal tersebut di masa Rosulullah  Maka Rosulullah bersabda (kepada enam orang tersebut):

“Bukankah pada diriku terdapat suri teladan yang baik bagi kalian?” Rosulullah melarang mereka melakukan perceraian itu.

Maka Sa’ad ibnu Hisyam menjadikan mereka (sekelompok dari kaumnya yang ia jumpai) sebagai saksi bahwa dirinya merujuk kembali kepada istrinya.

Setelah itu ia kembali kepada kami dan menceritakan kepada kami......

(HR. Muslim (746), Abu Dawud (1343), an-Nasa'i (1601), dan Ahmad (24269), dan lafadz di atas adalah lafadz Imam Ahmad. Syu’aib al-Arna’uth berkata dlam “تخريج المسند” no. 24269: Sanadnya shahih sesuai standar Bukhori dan Muslim.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara lengkap, dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah mengetengahkan hadits ini dengan lafaz yang semisal.

Di antara harapan dan doa mereka yang pergi meninggalkan kampung halaman nya untuk berdakwah dan berjihad adalah bisa meninggal di jalan Allah di medan dakwah atau di medan jihad, jauh dari kampung halamannya. Bahkan mereka tidak suka meninggal dunia dikampung halamannya. Karena khawatir transaksi jual beli nya dengan Allah SWT kurang sempurna.

Oleh sebab itu Nabi mendoakan para sahabatnya yang hijrah agar Allah SWT tidak mewafatkan mereka di kampung asalnya. Dan Nabi bersedih hati ketika sahabat Sa'ad bin Khaulah wafat di Makkah.

Begitu juag Sa'ad bin Abi Waqqoosh radhiyallahu 'anhu, dia sangat khawatir jika dirinya meninggal dunia di kampung halamannya.

Dalam hadits Sa'ad bin Abi Waqqoosh di sebutkan:

عَادَنِي النَّبيُّ ﷺ عَامَ حَجَّةِ الوَدَاعِ مِن مَرَضٍ أشْفَيْتُ منه علَى المَوْتِ، فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، بَلَغَ بي مِنَ الوَجَعِ ما تَرَى، وأَنَا ذُو مَالٍ، ولَا يَرِثُنِي إلَّا ابْنَةٌ لي واحِدَةٌ، أفَأَتَصَدَّقُ بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فأتَصَدَّقُ بشَطْرِهِ؟ قَالَ: الثُّلُثُ يا سَعْدُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ، إنَّكَ أنْ تَذَرَ ذُرِّيَّتَكَ أغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِن أنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، ولَسْتَ بنَافِقٍ نَفَقَةً تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ، إلَّا آجَرَكَ اللَّهُ بهَا، حتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا في فِي امْرَأَتِكَ. قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، أُخَلَّفُ بَعْدَ أصْحَابِي؟ قَالَ: إنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ، إلَّا ازْدَدْتَ به دَرَجَةً ورِفْعَةً، ولَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حتَّى يَنْتَفِعَ بكَ أقْوَامٌ، ويُضَرَّ بكَ آخَرُونَ، اللَّهُمَّ أمْضِ لأصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، ولَا تَرُدَّهُمْ علَى أعْقَابِهِمْ، لَكِنِ البَائِسُ سَعْدُ ابنُ خَوْلَةَ. يَرْثِي له رَسولُ اللَّهِ ﷺ أنْ تُوُفِّيَ بمَكَّةَ. [وفي رِوايةٍ]: أنْ تَذَرَ ورَثَتَكَ.

"Nabi menjengukku pada waktu hajji wada' ketika aku sakit yang tidak menyebabkan kematian.

Aku berkata; "Wahai Rasulullah, aku rasakan sakitku semakin parah. Begaimana pendapat anda, aku memiliki banyak harta namun aku tidak memiliki orang yang akan mewarisinya kecuali satu anak perempuanku. Apakah aku boleh mensedekahkan dua pertiga hartaku?".

Beliau menjawab: "Tidak".

Dia berkata; "Apakah boleh aku bersedekah seperduanya?".

Beliau menjawab: "Sepertiga, wahai Sa'ad. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, lalu mereka mengemis meminta-minta kepada manusia. Dan tidaklah kamu menafkahkan suatu nafaqah (harta) semata-mata mencari wajah (ridla) Allah melainkan Allah pasti akan memberimu balasannya, sekalipun satu suap makanan yang kamu berikan pada mulut istrimu."

Aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah shahabat-shahabatku?.

Beliau bersabda:

"Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madlorot bagi kaum yang lain.

Ya Allah sempurnakanlah pahala hijrah shahabat-shahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang [ke tempat asalnya sebelum hijrah]."

[Sa'ad bin Abi Waqqaash berkata]: Namun Sa'ad bin Khaulah membuat Rasulullah bersedih karena dia meningal di Makkah.

[HR. Bukhori no. 4409, 6373 dan 1295]

===

CERAMAH SYEIKH 'AIDH AL-QORNI TENTANG ISLAM MASUK INDONESIA:

Penulis pernah mendengar kaset yang berisi ceramah syeikh 'Aidh al-Qorni, yang sebagian isi ceramahnya beliau menceritakan tentang Islam masuk ke Indonesia, beliau berkata:

“Kenapa Islam masuk ke Indonesia tanpa peperangan?.

Jawabnya:

Pertama: karakter bangsa Indonesia yang santun dan ramah.

Yang kedua: karena para dai nya yang datang dari Yaman dan dari Gujarat adalah para pedagang yang berakhlak mulia, berakhlak al-Quran, seakan-akan al-Qur'an berjalan di pasar-pasar. Lembut, jujur, dermawan dan ahli infaq. …. Sehingga membuat orang-orang di sana terbius, terpikat dan terketuk hatinya. Lalu mereka berbondong-bondong masuk Islam”.

Artinya: dulu para dai itu berbisnis. Lalu sebagian dari hasil bisnisnya untuk mendanai dakwah mereka. Mereka tidak menjadikan dakwahnya sebagai sumber mata pencaharian dan mereka juga tidak pernah membisniskan ilmu agamanya.

****

DALIL KE ENAM: PARA NABI DAN RASUL TIDAK ADA YANG MENERIMA UPAH DALAM BERDAKWAH

Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur'an para nabi dan para rasul beserta para pengikutnya tidak ada satu pun dari mereka yang menerima upah duniawi dalam berdakwah dan menyampaikan wahyu atau ilmu agama. Upah mereka adalah pahala di sisi Allah SWT.

Berikut ini di antara ayat-ayat yang menyatakannya:

AYAT KE 1:

Firman Allah Ta’aalaa dalam surat Huud: 29:

وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ

“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah. (QS. Huud: 29).

AYAT KE 2:

Dan Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita, صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).

TAFSIR AL-MUYASSAR:

Yang dimaksud dengan perkataan ini ialah bahwa Rasulullah sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka. Tetapi yang diminta Rasulullah sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada Allah. Dan iman itu adalah buat kebaikan mereka sendiri.

TAFSIRNYA: Katakanlah (wahai Rasul) kepada orang-orang kafir: Aku tidak meminta atas kebaikan yang aku bawa kepada kalian sebuah upah, sebaliknya ia untuk kalian saja. Upahku yang aku nanti-nantikan telah ditanggung oleh Allah Yang Maha Mengetahui amalku dan amal kalian, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya. Dia membalas semua orang sesuai dengan apa yang menjadi haqnya.

AYAT KE 3:

Dan Allah SWT juga berfirman di akhir Surah Shaad.

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87) وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ (88)

“Katakanlah (hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.”

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:

Allah SWT. berfirman, "Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu, bahwa tidaklah kamu meminta imbalan kepada mereka atas risalah yang kami sampaikan kepada mereka dan nasihat yang kamu berikan kepada mereka suatu upah pun dari harta duniawi ini."

وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

“.... dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (Shad:86)

Aku tidak mempunyai kehendak sedikit pun, tidak pula kemauan untuk menambah-nambahi apa yang diamanatkan oleh Allah SWT. kepadaku untuk manyampaikannya. Tetapi apa yang aku diperintahkan untuk menyampai­kannya, maka hal itu kusampaikan dengan utuh tanpa ada penambahan atau pengurangan. Dan sesungguhnya kutunaikan tugasku ini hanyalah semata-mata menginginkan rida Allah dan kebahagiaan di hari kemudian.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy dan Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa kami mendatangi Abdullah ibnu Mas'ud r.a. Maka ia berkata,

"Hai manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu, hendaklah ia mengutarakannya; dan barang siapa yang tidak mengetahui, hendaklah ia mengatakan, 'Allah lebih mengetahui.' Karena sesungguhnya termasuk ilmu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu mengatakan, 'Allah lebih Mengetahui." Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman kepada nabi kalian:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah, "Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (Shad: 86)

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan asar ini melalui Al-A'masy dengan sanad yang sama.

AYAT KE 4:

Dan firmannya dalam surat ath-Thuur dan al-Qalam:

{أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ}

Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? (QS. Ath-Thuur: 40 dan Surat al-Qalam: 46)

TAFSIR AL-MUYASSAR: Bahkan apakah kamu, wahai Rasul, meminta kepada orang-orang musyrik upah atas penyampaian risalah, sehingga mereka berada dalam kesulitan akibat terbebani hutang yang kamu minta dari mereka?

AYAT KE 5:

Dan Allah berfirman dalam Surat Al-An'am:

{قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ}

{ Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quraan). Al-Quraan itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. } (QS. Al-Ana’aam: 90).

TAFSIR AL-MUYASSAR: Katakan kepada orang-orang musyrikin: Aku tidak mencari ganjaran dunia dari kalian sebagai imbalan penyampaian Islam kepada kalian, karena ganjaranku di tanggung oleh Allah. Islam hanyalah mengajak manusia ke jalan yang lurus dan peringatan bagi kalian dan orang-orang yang semisal dengan kalian dari orang-orang yang tetap memegang kebatilan, agar kalian mengingat apa yang bermanfaat bagi kalian dengannya.

AYAT KE 6:

Dan Allah berfirman tentang Nabi Hud dalam Surat Hud:

يَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Hai Kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku, maka tidak kah kamu memikirkannya?” (QS 11:51).

Tafsir Ibnu Katsir: Nuh As juga Memberitahukan kepada mereka bahwa dia (Huud as) tidak meminta dari mereka upah atas nasihat dan penyampaian dari Allah ini, akan tetapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala yang telah menciptakannya. Apakah kamu tidak berfikir; orang yang mengajakmu kepada perbaikan dunia dan akhirat tanpa mengharapkan upah,

AYAT KE 7:

Dan Allah berfirman dalam Surat Asy-Su’aroo tentang Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth, dan Shu’aib عليهم السلام:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (QS. Asy-Syu’aroo: 109, 127, 145, 164 dan 180).

Tafsir Jalalain:

(Dan aku sekali-kali tidak meminta kepada kalian atas ajakan-ajakan itu) imbalan dari menyampaikannya (suatu upah pun, tidak lain) (upahku) pahalaku (hanyalah dari Rabb semesta alam).

Dan Yang Mahakuasa berkata dalam utusan desa yang disebutkan di Yassin: {Wahai manusia, ikuti para utusan * Ikuti mereka yang tidak meminta hadiah kepadamu...},

AYAT KE 8:

Dan dalam Surat Yasin Allah SWT berfirman:

وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ ۝ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ

Artinya, Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegasgegas ia berkata,“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta upah/balasan kepad kalian ; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin, 20-21

Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitabnya “ أضواء البيان “ ketika menafsiri surat Hud: 29, berkata:

“قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ} ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلاةُ وَالسَّلاَمُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَٰلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مَجَّانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابِلِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَٰلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلاَمُهُ."

Firman Allah Ta’aalaa: Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”.

Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh u, bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah. Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat: bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul, عليهم السلام.

Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita :

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).

Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi menyebutkan ayat-ayat seperti yang di atas, lalu berkata:

وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِندَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مَجَّانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عِوَضٍ عَلَى ذَٰلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ". اِنْتَهَى.

Diambil dari ayat-ayat luhur ini:

Tugas para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah U, begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram”. (Selesai perkataan Asy-Syinqiti).

AYAT KE 9:

Terdapat banyak dalil yang melarang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.

Di antaranya, firman Allah,

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 41)

AYAT KE 10:

Allah juga berfirman, menceritakan karakter orang yang baik,

لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا

Mereka tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 199)

AYAT KE 11:

Allah juga berfirman di ayat lain,

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sdikit”. (QS. al-Maidah: 44)

Dan ayat yang semakna dengan ini ada banyak dalam al-Quran.

Yang dimaksud dengan “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit) atau harga yang murah adalah dunia seisinya.

Abdullah bin Mubarak mengatakan,

Dari Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang makna firman Allah, “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit). Lalu beliau mengatakan,

الثَمَنُ الْقَلِيلُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا.

“At-Tsaman al-Qalil (harga murah) adalah dunia berikut semua isinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/243).

Sementara makna, ‘Jangan kalian menjual’ adalah jangan menukar (I’tiyadh). Sehingga makna ayat, janganlah kalian menukar ayat Allah untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia.

Para ahli tafsir mengatakan, ayat ini berbicara tentang pelanggaran yang dilakukan orang yahudi. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui agar pengikutnya tetap loyal dan tidak diasingkan dari masyarakat mereka. Mereka mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, tapi mereka tidak mau menyampaikan ini agar tetap bisa ditokohkan di tengah Yahudi. Dengan ini, mereka bisa mendapatkan penghasilan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).

AYAT KE12:

Tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah: 159-160].

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:

أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الَّذِي يَكْتُمُ مَا أَنْزَلَ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى لَعْنٌ. وَاخْتَلَفُوا فِيمَا الْمُرَادُ بِذَٰلِكَ، فَقِيلَ: أَحْبَارُ الْيَهُودِ وَرُهْبَانُ النَّصَارَى الَّذِينَ كَتَمُوا أَمْرَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، وَقَدْ كَتَمَ الْيَهُودُ أَمْرَ الرَّجْمِ. وَقِيلَ: الْمُرَادُ كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يَحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ ........

“Allah ta’ala telah mengkhabarkan orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk yang diturunkan Allah termasuk orang yang terlaknat. Para ulama berselisih pendapat maksud orang yang terlaknat tersebut.

Dikatakan: Mereka adalah para rahib Yahudi dan pendeta Nashara yang menyembunyikan perkara Muhammad . Orang-orang Yahudi juga telah menyembunyikan ayat rajam.

Dikatakan juga bahwa yang dimaksud orang yang terlaknat tersebut adalah orang yang menyembunyikan kebenaran. Dan hal itu berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu agama Allah yang seharusnya disebarluaskan…..”.

[Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 2/479-483 tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427 – dengan peringkasan].

Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata:

هَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِمَنْ كَتَمَ مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ مِنَ الدَّلَالَاتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْمَقَاصِدِ الصَّحِيحَةِ وَالْهُدَى النَّافِعِ لِلْقُلُوبِ، مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي كُتُبِهِ الَّتِي أَنْزَلَهَا عَلَى رُسُلِهِ..

“Ini merupakan peringatan yang keras bagi orang yang menyembunyikan apa saja yang diturunkan dengannya para Rasul, berupa ajaran dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah ta’ala terangkan kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya. [‘Umdatut-Tafsiir, 1/279-280].

Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْه berkata:

إِنَّ النَّاسَ يقولونَ أكْثَرَ أبو هُرَيْرَةَ، ولَوْلَا آيَتَانِ في كِتَابِ اللَّهِ ما حَدَّثْتُ حَدِيثًا، ثُمَّ يَتْلُو {إنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ ما أنْزَلْنَا مِنَ البَيِّنَاتِ والهُدَى} [البقرة: 159] إلى قَوْلِهِ {الرَّحِيمُ} [البقرة: 160] إنَّ إخْوَانَنَا مِنَ المُهَاجِرِينَ كانَ يَشْغَلُهُمُ الصَّفْقُ بالأسْوَاقِ، وإنَّ إخْوَانَنَا مِنَ الأنْصَارِ كانَ يَشْغَلُهُمُ العَمَلُ في أمْوَالِهِمْ، وإنَّ أبَا هُرَيْرَةَ كانَ يَلْزَمُ رَسولَ اللَّهِ ﷺ بشِبَعِ بَطْنِهِ، ويَحْضُرُ ما لا يَحْضُرُونَ، ويَحْفَظُ ما لا يَحْفَظُونَ.

“Orang-orang berkata: ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan hadits”.

Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah:

‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Baqarah: 159-160”

Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin mereka disibukkan dengan perdagangan di pasar-pasar, dan saudara-saudara kami dari kalangan Anshar, mereka disibukkan dengan pekerjaan mereka dalam mengurus harta mereka.

Sementara Abu Hurairah selalu menyertai Rosulullah dalam keadaan lapar, ia selalu hadir saat orang-orang tidak bisa hadir, dan ia dapat menghafal saat orang-orang tidak bisa menghafalnya.” [HR. Al-Bukhori no. 118].

Al-Haafidz Ibnu Hajar rahimahullah saat mengomentari hadits di atas berkata:

وَمَعْنَاهُ: لَوْلَا أَنْ اللَّهَ ذَمَّ الْكَاتِمِينَ لِلْعِلْمِ مَا حَدَّثَ أَصْلًا، لَكِنْ لَمَّا كَانَ الْكَتْمَانُ حَرَامًا وَجَبَ الإِظْهَارُ، فَلِهَذَا حَصَلَتِ الْكَثْرَةُ لِكَثْرَةِ مَا عِندَهُ..

“Dan makna dari perkataan ‘jika saja bukan karena dua ayat’ adalah: Jikalau bukan karena Allah mencela orang-orang yang menyembunyikan ilmu, aku tidak akan meriwayatkan hadits sama sekali. Namun karena menyembunyikan ilmu itu adalah diharamkan dan harus disampaikan, maka ia pun banyak meriwayatkan karena banyak hadits yang ia miliki” [Fathul-Baariy, 1/214].

****

DALIL KE TUJUH: AHLI MADINAH DAN PARA SALAF TIDAK MENGAMBIL UPAH DALAM BERDAKWAH

===

PERTAMA: AMALAN AHLI MADINAH :

Pernyataan para ulama :

إِنَّ أَخْذَ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ لَيْسَ عَلَيْهِ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ.

Masyarakat Madinah al-Munawwarah tidak ada yang mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar’i.

Lihat : Al-Bayan wal-Tahsil: (8/ 452 - 454), Hasyiah al-Dusuqi: (4/ 18), Hasyiah al-‘Adawi ‘ala Sharh Kifayat al-Talib al-Rabbani: (2/ 197).

====

KEDUA: ATSAR SAHABAT DAN TABI’II:

Ada banyak atsar dari para Sahabat Nabi bahwa mereka menolak untuk menerima upah mengajar ilmu agama, mereka membencinya atau melarangnya, di antara nya:

ATSAR SAHABT KE 1: ABDULLAH BIN SYAQIIQ AL-ANSHORI

Dari Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori, berkata:

"يكره أرش المعلم، فإن أصحاب رسول الله ﷺ كانوا يكرهونه ويرونه شديداً"

“Upah mu'allim [pengajar ilmu agama] itu di benci, maka sesungguhnya para sahabat Rosulullah sangat membencinya, dan sangat keras melarangnya”.

(Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/223 no. 884 dari kitab “البيوع والأقضية”, bab “من كره أجر المعلم”. Lihat juga “المحلى” 7/20.

Dan di riwayatkan pula dari sahabat lainnya seperti Ubadah dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Hazem dalam kitabnya “المحلى” 7/20 no. 1307 telah menyebutkan atsar yang banyak dari para sahabat رضي الله عنهم.

ATSAR SAHABAT KE 2: ‘AMR BIN AN-NU’MAAN AL-ANSHORI radhiyallahu ‘anhu:

Dari Abi Iyyaas, berkata:

كُنْتُ نَازِلاً عَلَى عَمْرِو بْنِ النُّعْمَانِ فَأَتَاهُ رَسُولُ مُصْعَبِ ابْنِ الزُّبَيْرِ حِينَ حَضَرَهُ رَمَضَانُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ: إِنَّ الأَمِيرَ يُقْرِئُكَ السَّلامَ وَقَالَ إِنَّا لَمْ نَدَعْ قَارِئًا شَرِيفًا إِلا وَقَدْ وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَّا مَعْرُوفٌ فَاسْتَعِنْ بِهَذَيْنِ عَلَى نَفَقَةِ شَهْرِكَ هَذَا.فَقَالَ:

(أَقْرِئِ الأمِيرَ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَرَأْنَا الْقُرْآنَ نُرِيدُ بِهِ الدُّنْيَا وَدِرْهَمَهَا)

Dulu aku pernah singgah di rumah ‘Amr bin Nu’maan. Lalu datanglah kepadanya utusan Mush’ab bin Zubair ketika Bulan Ramadhan tiba sambil membawa uang 2000 dirham, maka dia berkata:

“Sesungguhnya gubernur berkirim salam pada anda, dan dia berkata: Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan seorang qoori’ yang terhormat kecuali aku mengirim untuknya bantuan kebaikan, maka dengan uang 2000 dirhan ini semoga bisa membantu mu untuk nafkah satu bulan ini”.

Maka beliau menjawab: Sampaikan salamku kepada Gubernur, dan tolong sampaikan pula padanya: Demi Allah sesungguhnya kami membaca al-Qur’an bukan karena dunia dan dirhamnya.

(HR, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, كتاب فضائل القرآن, من كره أن يتآكل بالقرآن 7/164).

ATSAR TABI’II: ABDURRAHMAN BIN MA’QIL AL-MUZANI :

Dari Ubeid bin al-Hasan, berkata:

قَسَمَ مُصْعَبُ بْنُ الزُّبَيْرِ مَالاً فِي قُرَّاءِ أَهْلِ الْكُوفَةِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَبَعَثَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْقِلٍ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ لَهُ اسْتَعِنْ بِهَا فِي شَهْرِكَ هَذَا ، فَرَدَّهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَعْقِلٍ وَقَالَ:{لَمْ نَقْرَأِ الْقُرْآنَ لِهَذَا}

Mush’ab bin az-Zubeir bagi-bagi uang untuk para Qoori’ Ahli Kuufah ketika masuk bulan Romadhan, lalu dia mengirim untuk Abdurrahman bin Mi’qool 2000 dirham, dan berkata kepadanya: “ Semoga dengan 2000 dirham ini bisa membantumu untuk satu bulan ini”.

Maka Abdurrahman bin Mi’qool menolaknya dan mengambalikannya, sambil berkata: “ Kami membaca al-Qur’an bukan untuk ini”.

(HR. Ad-Daarimii dalam Sunan nya, di Muqoddimah, bab Shiyanatul ilmi 1/152 no. 574)

===

PENDAPAT STEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH:

“HANYA ORANG FAKIR YANG BOLEH MENERIMA UPAH MENGAJAR ILMU AGAMA”.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Beliau memilih pendapat boleh mengambil upah mengajar al-Quran dan ilmu agama lainnya, jika karena adanya hajat kebutuhan hidup yang mendesak, dengan demikian beliau menyelisihi yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

انظر: مجموع الفتاوى: (23/ 367)، (24/ 316)، (30/ 204-208، 192-193، 202)، الفتاوى الكبرى: (3/ 33)، الفروع: (4/ 435)، المبدع: (5/ 90)، الاختيارات: (152)، المستدرك: (4/ 51).

===

DALIL-DALIL PENDAPAT SYIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :

Dalil Pertama:

Dalil Qiyas/analogi ;

Yaitu di qiyaskan kepada Hukum Wali Anak Yatim yang mengelola Harta Anak Yatim. Wali anak yatim yang berkecukupun tidak boleh mengambil upah dari pengelolaan harta anak yatim. Tapi bagi wali yang faqir, maka hukumnya boleh mengambil upahnya secara makruf alias upah standar yang diketahui.

Allah SWT berfirman:

(وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ)

Artinya: “Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut”.(QS. An-Nisa': 6)

LENGKAPNYA:

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ ۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.

Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.

Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas. (QS. An-Nisa': 6)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

كما أذن الله لولي اليتيم أن يأكل مع الفقر ويستغني مع الغنى ا.هـ.

Sebagaimana Allah telah memberi idzin kepada wali anak yatim untuk memakannya karena kondisi nya miskin, maka tidak di perboleh kan ketika dalam kondisi berkecukupan”.

[“مجموع الفتاوى” (24/316), (30/206)].

Dalil Kedua:

Mereka menyimpulkan dalil-dalil dari dua pihak yang membolehkan secara mutlak dan yang mengharamkan secara mutlak, serta menggabungkan keduanya, membatasi kebolehannya itu jika ada kebutuhan dan melarangnya ketika tidak ada kebutuhan.

Dalil Ketiga:

Mereka merdalil dengan qaidah:

"إِنَّ الحَاجَةَ العَامَةَ تَنْزِلُ مَنْزِلةَ الضَّرُوْرَةِ"

“Sesungguhnya kebutuhan umum itu sama statusnya dengan kebutuhan yang darurat”.

Dan kebutuhan pendidikan adalah kebutuhan umum untuk orang-orang dewasa dan anak-anak. Dan kebutuhan mereka terhadap para guru agama ini tidak akan bisa di peroleh kecuali jika mereka itu banyak jumlahnya dan mereka meluangkan waktunya seacara khushus untuk mengajar dan berdakwah serta benar-benar fokus padanya.

Kemudian, mengenai para guru agama yang merupakan kebutuhan umum, jika mereka itu tidak mendapatkan upah, kemudian mereka tidak bekerja cari nafkah ; maka akan sulit bagi dirinya dan anak-anaknya, dan kefaqir miskinan akan menimpa mereka.

[Lihat: “المنثور” (2/24), “الأشباه والنظائر” (88), “غمز عيون البصائر” (1/293) dan “درر الحكام” (1/42)].

Dalil Keempat:

Minimnya dana dari kas negara untuk gaji para guru agama itu membuat negara tidak mampu untuk menggaji mereka. Kalau seandainya kas negara mencukupi untuk semua gaji guru agama ; maka pungutan upah mengajar al-Qur’an dan ilmu agama tidak diperlukan dari para murid atau orang-orang yang diajarinya.

Para ulama Madzahab Hanafi generasi pertama telah mengharamkannya, namun di kemudian hari ketika generasi berikutnya melihat munculnya kelambanan dan sikap apatis dalam masalah agama, dan kemalasan para guru agama dalam mengajar ilmu dengan imbalan pahala ; maka ketika mereka melihat kondisi seperti ini, mereka segera mengubah pendapat madzhab para pendahulunya. Lalu mereka mengeluarkan fatwa baru tentang bolehnya upah berdasarkan dalil istihsan karena adanya kebutuhan umum untuk itu, dan mereka menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan yang menyeluruh/ما تعم به البلوى.

[Lihat: “شرح العناية” (9/98), “البناية” (9/342), “حاشية ابن عابدين” (6/58), “غمز عيون البصائر” (1/287) dan “عموم البلوى” (373, 415)].

Dalil Kelima:

Dengan menerima upah itu tidak menghalanginya keikhlasan dan memperoleh pahala, karena ia berniat karena Allah, dan mengambil upah demi untuk memenuhi kebutuhannya.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

فَإِذَا فَعَلَهَا الْفَقِيرُ لِلَّهِ ‌وَإِنَّمَا ‌أَخَذَ ‌الْأُجْرَةَ ‌لِحَاجَتِهِ ‌إلَى ‌ذَلِكَ وَلِيَسْتَعِينَ بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ فَاَللَّهُ يَأْجُرُهُ عَلَى نِيَّتِهِ ا.هـ.

Jika orang miskin melakukannya karena Allah, dan dia hanya mengambil upah karena dia membutuhkannya dan agar dengannya bisa membantu dirinya dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala atas niatnya. [“مجموع الفتاوى” (24/316), (30/206)].

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ الْإِنْفَاقَ عَلَى الْأَهْلِ وَاجِبٌ، فَمَنْ عَجِزَ عَنْ التَّكَسُّبِ فِي حَالِ تَعْلِيمِهِ فَيَجُوزُ لَهُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَقُلْ بِالْوُجُوبِ.

Menafkahi keluarga adalah wajib, maka barang siapa yang tidak mampu mencari nafkah karena sibuk dalam kegiatan mengajar, maka baginya boleh mengambil upah karena atas dirinya punya kewajiban nafkah, meski tidak dikatakan bahwa mengambil upah itu wajib. [“مجموع الفتاوى” (30/206)].

Ibnu Taimiyah berkata:

‌الْمُحْتَاجُ ‌إذَا ‌اكْتَسَبَ ‌بِهَا ‌أَمْكَنَهُ أَنْ يَنْوِيَ عَمَلَهَا لِلَّهِ وَيَأْخُذُ الْأُجْرَةَ لِيَسْتَعِينَ بِهَا عَلَى الْعِبَادَةِ؛ فَإِنَّ الْكَسْبَ عَلَى الْعِيَالِ وَاجِبٌ أَيْضًا فَيُؤَدِّي الْوَاجِبَاتِ بِهَذَا؛ بِخِلَافِ الْغَنِيِّ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إلَى الْكَسْبِ فَلَا حَاجَةَ تَدْعُوهُ أَنْ يَعْمَلَهَا لِغَيْرِ اللَّهِ؛ بَلْ إذَا كَانَ اللَّهُ قَدْ أَغْنَاهُ وَهَذَا فُرِضَ عَلَى الْكِفَايَةِ: كَانَ هُوَ مُخَاطَبًا بِهِ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ إلَّا بِهِ كَانَ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَيْهِ عَيْنًا ا.هـ.

Orang yang muhtaaj (faqir) jika dia kerja mencari rizki dengan cara mengajar ilmu agama ; maka itu memungkinkan dirinya berniat karena Allah dalam melakukannya dan dia pun mendapat pahala karena hasilnya digunakan untuk beribadah. Karena sesungguhnya mencari nafkah untuk keluarganya itu wajib juga. Maka dengan demikian dia telah menunaikan kewajibannya dengan ini.

Berbeda dengan orang berkecukupan, karena dia tidak perlu mencari nafkah (dengan mengajar ilmu agama), maka dia tidak perlu melakukannya untuk selain Allah, bahkan jika Allah telah memberikan kecukupan pada seseorang, maka hukumnya FARDHU KIFAYAH baginya, yakni berkewajiban untuk mengajar ilmu agama, dan jika tidak ada selainnya orang yang mengajarkan ilmu agama, maka hukumnya menjadi FARDHU ‘AIN atas dirinya. [Majmu' ak-Fataawa 30/207]

Dalil Keenam :

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وَأُصُولُ الشَّرِيعَةِ كُلُّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ أَنَّهُ يُفَرَّقُ فِي الْمَنْهِيَّاتِ بَيْنَ الْمُحْتَاجِ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْمَأْمُورَاتِ. وَلِهَذَا أُبِيحَتْ الْمُحَرَّمَاتُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ لَا سِيَّمَا إذَا قُدِّرَ أَنَّهُ يَعْدِلُ عَنْ ذَلِكَ إلَى سُؤَالِ النَّاسِ. فَالْمَسْأَلَةُ أَشَدُّ تَحْرِيمًا؛ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ: يَجِبُ أَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ وَإِنْ لَمْ تَحْصُلْ إلَّا بِالشُّبُهَاتِ. أ.هـ

Dan prinsip-prinsip dasar Syariah semuanya didasarkan pada prinsip dasar ini, yang membedakan dalam hal-hal dilarang antara yang membutuhkan dan yang lain, seperti dalam perintah-perintah. Itulah sebabnya segala yang di haramkan menjadi boleh jika dalam keadaan darurat. Apalagi jika diperkirakan dia akan berpaling dari itu kepada perbuatan minta-minta atau mengemis pada manusia, maka masalah minta-minta itu lebih dahsyat keharamannya”.

Lalu Ibnu Taimiyah berkata:

وَلِهَذَا اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُرْزَقُ الْحَاكِمُ وَأَمْثَالُهُ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَتَنَازَعُوا فِي الرِّزْقِ عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ وَأَصْلُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي قَوْلِهِ فِي وَلِيِّ الْيَتِيمِ: {وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ} فَهَكَذَا يُقَالُ فِي نَظَائِرِ هَذَا؛ إذْ الشَّرِيعَةُ مَبْنَاهَا عَلَى تَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا. وَالْوَرَعُ تَرْجِيحُ خَيْرِ الْخَيْرَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا ا.هـ.

Itulah sebab itu para ulama sepakat bahwa seorang hakim dan yang semisalnya diberi rizki/gaji ketika membutuhkan, dan mereka memperdebatkan tentang gaji mereka ketika tidak membutuhkan.

Itu berdasarkan firman Allah dalam dalam al-Qura’an tentang wali anak yatim:

﴿ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ﴾

Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. (QS. An-Nisaa: 83).

Maka demikian pula berlaku pada hal-hal yang sebanding dengannya. Syariah ini dibangun diatas dasarkan pada pencapaian mashlahat-mashalat dan penyempurnaannya, serta memandulkan mafsadah dan memperkecilnya.

Dan sifat Waro’ itu adalah mengutamakan yang terbaik dari dua kebaikan dengan melewatkan yang lebih kecil dari keduanya, dan menolak yang terburuk dari dua keburukan, meskipun dia mendapatkan yang paling rendah dari keduanya. [“مجموع الفتاوى” (30/193)]

===****===

AHLI IBADAH, PARA DA’I DAN QORI YANG TIDAK BEKERJA MENCARI RIZKI YANG HALAL, MEREKA ADALAH PARASIT & BENALU HARTA MANUSIA.

Dan diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu :

أنَّ عُمَرَ مَرَّ بِقَومٍ مِنَ القُرَّاءِ فَرَآهُمْ جُلُوسًا قَدْ نَكَسُوا رُؤُوسَهُمْ، فَقَالَ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هُمُ المُتَوَكِّلُونَ، فَقَالَ: كَلاَّ، وَلَكِنَّهُمُ المُتَأكِّلُونَ، يَأكُلُونَ أموَالَ النَّاسِ. ألا أُنَبِّئكُمْ مَنِ المُتَوَكِّلُونَ؟ فَقِيلَ: نَعَمْ. فَقَالَ: هُوَ الَّذِي يُلقِي الحَبَّ فِي الأرْضِ، ثُمَّ يَتَوَكَّلُ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Bahwa Umar melewati beberapa Qori ( para guru ngaji dan qori al-Quran ) dan melihat mereka duduk dan menundukkan kepala, Lalu beliau bertanya : Siapa mereka ini?

Dijawab : Mereka adalah orang-orang yang ahli tawakkal .

Maka Umar berkata : Tidak, tetapi mereka pemakan harta para manusia . Mau kah aku memberi tahu kepada kalian tentang siapakah para ahli tawakkal itu ?

Dijawab : Ya. Beliau berkata : “ Dialah yang menaburkan benih di ladang, kemudian dia bertawakkal kepada Rabbnya, Azza wa Jalla “.

Dalam riwayat lain beliau mengatakan :

يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ ارْفَعُوا رُءُوسَكُمْ وَاكْتَسِبُوا لِأَنْفُسِكُمْ

“ Wahai para Qori , angkat kepala kalian dan cari lah mata pencaharian untuk diri kalian “.

[ Di sebutkan oleh As-Sarkhosy dalam “ٱلْمُبْسُوطُ” (30/248)].

===

SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG JUALAN AGAMA

Nasihat Al-Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah kepada Ibnu ‘Ulayyah rahimahullah:

يَا جَاعِلَ الْعِلْمِ لَهُ بَازِيًا *

يَصْطَادُ أَمْوَالَ الْمَسَاكِينِ احْتَلَّتْ لِلدُّنْيَا وَلَذَاتِهَا *

بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ فَصِرْتَ مَجْنُوْنًا بِهَا بَعْدَمَا *

كُنْتَ دَوَاءً لِلْمَجَانِيْنَ أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى *

عَنْ ابْنِ عَوُنَ وَابْنِ سِيْرِيْنَ وَدَرْسِكَ الْعِلْمِ بِآثَارِهِ *

فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السُّلاَطِيْنَ تَقُوْلُ: أُكْرِهْتُ، فَمَاذَا كَذَا *

زَلَّ حِمَارُ الْعِلْمِ فِي الطِّيْنِ لَا تَبْعَ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا كَمَا *

يَفْعَلُ ضَلَالُ الرُّهَابِيْنَ

“Wahai orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk menjaring harta orang-orang miskin,

diambil demi dunia dan kesenangannya.

Dengan tipu daya engkau menghilangkan agama,

lalu engkau menjadi orang yang gila setelah dulunya engkau adalah obat bagi orang-orang gila.

Di manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin.

Dan manakah ilmu yang kamu pelajari dengan atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk meninggalkan pintu-pintu penguasa? Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa?

Demikianlah keledai ilmu tergelincir di tanah liat yang basah.

Janganlah kamu jual agama dengan dunia sebagaimana perbuatan para rahib yang sesat.” (“Siyar A’lamin Nubala”/9/110).

===*****===

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN UPAH MENGAJAR ILMU AGAMA BESERTA DALILNYA

Ini adalah pendapat Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiri dalam kitabnya “المحلى” 7/4 No. 1288.

Generasi akhir dari madzhab Hanafi juga membolehkannya.

Lihat: "Sharh al-‘Inayah" 9/97-98, "Sharh Fath al-Qadir" 9/97, "Hashiyat Ibn Abidin" 6/58 dan "Al-Binayah" 9/342.

Juga ada sebagian ulama madzhab Maliki yang membolehkannya.

Lihat "Al-Taj wa al-Ikliil" 7/537-539 dan "Hashiyat al-Dasuqi" 4/18.

Ada satu riwayat dari Imam Ahmad juga membolehkannya.

Lihat Referensi nya: Al-Muharrar: (1/ 357), Al-Mughni: 8/ 138), Al-Sharh al-Kabir: (3/ 332), Al-Adab al-Shar’iyah: (1/ 74), Al-Furu’: (4/ 435), Al-Insaf: (6/ 46), Tashih al-Furu’: (4/ 435), Al-Mubdi’: (5/ 90), Matālib Uli al-Nahā: (3/ 637).

Sementara pendapat Madzhab asy-Syafi’i adalah boleh mengambil upah dalam mengajar Al-Qur'an, akan tetapi tidak boleh dan haram dalam mengajar ilmu fiqih, ilmu hadits dan ilmu agama lainnya.

Lihat referensinya: Rawdhat al-Talibin: (5/ 188), Asna al-Mathalib: (2/ 41), Nihayat al-Muhtaj: (5/ 293), Sharh al-Ghurr al-Bahiyyah: (3/ 318-321), Hashiyat Qalyubi wa ‘Amirah: (3/ 76), Tuhfat al-Muhtaj: (6/ 157), Hasyiyat al-Jamal: (3/ 540), al-Tajrid li Nafi’ al-‘Abid: (3/ 171).

Dan pendapat Madzhab Maliki mengatakan: boleh mengambil upah dalam mengajar Al-Qur'an, akan tetapi makruh dalam mengajar ilmu fiqih, ilmu hadits dan ilmu agama lainnya.

Lihat referensinya: Al-Mudawwanah: (1/ 160), Al-Kafi: (2/ 755), Al-Dhakirah: (5/ 405), Al-Taj wa al-Ikleel: (7/ 534), Mawaheb al-Jalil: (5/ 418), Hashiyat al-Khurshi: (7/ 17), Al-Fawakih al-Dawani: (2/ 115), Hashiyat al-‘Adawi ‘ala Sharh Kifayat al-Talib al-Rabbani: (2/ 197), Hashiyat al-Dusuqi: (4/ 16), Minah al-Jalil: (7/ 476).

*****

DALIL PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN UPAH MENGAJAR ILMU AGAMA

PENULIS KATAKAN:

“Menurut penulis: dalil-dalil yang mereka jadikan dalil itu itu kurang tepat sasaran. Yang RINGKASNYA adalah sbb:

Pertama: Berdalil dengan hadits Ruqyah dengan baca al-Fatihah, yang tentunya jika yang diruqyah itu tidak sembuh, maka sang peruqyah tidak berhak untuk mendapatkan upah meski dia telah membaca al-Fatihah seribu kali. Artinya upah tersebut adalah upah kesembuhan, bukan bacaan al-Fatihah.

Kedua: Berdalil dengan hadits mahar dengan mengajarkan al-Quran kepada istrinya. Kejadian tersebut terjadi dalam keadaan mendesak, ketika sang calon suami tidak berhasil menyiapkan mahar meskipun berupa cincin besi.

Dan itu hanya terjadi sekali pada masa Rosululllah  Tentunya al-Quran jauh lebih mulia dari pada cincin besi, akan tetapi kenapa Nabi dan para sahabat lainnya tidak ada yang melakukannya?.

Sementara Kaidah Fikih mengatakan " النَّادِرُ لاَ حُكْمَ لَهُ/Sesuatu yang jarang terjadi tidak bisa dijadikan landasan hukum”.

Ketiga: Berdalil dengan sabda Nabi SAW:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

"Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah kitabullah." [HR. Bukhori, 5405]

Yang benar hadits ini potongan dari hadits Ruqyah yang cukup panjang. Maka yang dimaksud dalam hadits itu adalah: " Sesungguhnya upah RUQYAH yang paling berhak kalian ambil adalah yang bacaannya dari kitabullah”.

Jika ada yang bertanya: Bukankah ada kaidah ushul yang mengatakan:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”

Hadits diatas lafadznya umum, berarti dengan demikian berlaku pula mengambil upah baca al-Qur'an pada selain ruqyah.

Jawabnya adalah:

Bahwa keumuman lafazd hadits diatas sudah di takhshish [dibatasi] oleh banyak hadits yang melarang nya. Bahkan hadits-hadits yang melarang nya sangat jelas, gamlang, tegas dan jauh lebih banyak jumlahnya.

====

BERIKUT INI RINCIAN TIGA DALIL DIATAS BESERTA BANTAHANNYA:

DALIL PERTAMA: HADITS RUQYAH DENGAN AL-FATIHAH

KE 1: Hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ ﷺ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.

“Sebagian sahabat Nabi pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan dari perkampungan-perkampungan Arab, lalu mereka meminta dijamu oleh penduduk tersebut, tetapi mereka menolaknya,

lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan binatang berbisa, kemudian penduduknya berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu tetapi tetap tidak ada faidahnya.

Kemudian sebagian mereka berkata: “Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah itu (para sahabat). Mungkin saja mereka memiliki sesuatu (untuk menyembuhkan)?”.

Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata: “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan binatang berbisa dan kami telah berusaha mengobatinya dengan segala sesuatu, tetapi tidak ada manfaatnya. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?”

Lalu di antara sahabat ada yang berkata:

“Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak mau menjamu kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau menjajikan untuk kami JU’AL (جعلا = imbalan).”

Maka mereka pun berdamai dan sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.

Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka telah sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata: “Bagikanlah !.”

Tetapi sahabat yang meruqyah berkata: “Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita tunggu apa yang Beliau perintahkan kepada kita.”

Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah dan menyebutkan masalah itu.

Kemudian Beliau bersabda: “Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?”

Kemudian Beliau bersabda: “Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu.” (HR. Bukhari no. 2115, 2276 dan Muslim no. 2201)

NOTE: bahwa orang yang diruqyah dan dimintai JU’AL itu orang Kafir. Berarti tujuan JU’AL di sini murni sebagai upah kesembuhan, bukan dalam rangka belajar mengajar al-Quran.

KE 2: Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ ، فَقَالَ:

"هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا”.

فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا: " أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ؟”. فَقَالُوا: " يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا”.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ”.

“Bahwa beberapa sahabat Nabi melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata;

"Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa."

Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing.

Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya.

Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah."

Maka Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah kitabullah."

[HR. Bukhori, 5405]

KE 3: Dari Khorijah ibnush Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin Shuhar رضي الله عنه-:

"أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ فَأَتَوْهُ فَقَالُوا إِنَّكَ جِئْتَ مِنْ عِنْدِ هَذَا الرَّجُلِ بِخَيْرٍ فَارْقِ لَنَا هَذَا الرَّجُلَ ‏.‏ فَأَتَوْهُ بِرَجُلٍ مَعْتُوهٍ فِي الْقُيُودِ فَرَقَاهُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ غُدْوَةً وَعَشِيَّةً كُلَّمَا خَتَمَهَا جَمَعَ بُزَاقَهُ ثُمَّ تَفَلَ فَكَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ (أي حل من وثاق) فَأَعْطُوهُ شَيْئًا فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَهُ لَهُ.

فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ ‏: "‏ كُلْ فَلَعَمْرِي لَمَنْ أَكَلَ بِرُقْيَةٍ بَاطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتَ بِرُقْيَةٍ حَقٍّ"

“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata:

“Engkau datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi SAW), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,”

Lalu mereka mendatangkan orang yang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan.

Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi seraya menceritakan hal itu. Maka beliau bersabdalah:

“Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud (3420)/shohih)).

Di shahihkan oleh asy-Syaukani dalam نيل الأوطار 6/31 dan Syeikh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 3896.

SYARAH HADITS:

Mulla Ali Al Qoriy رحمه الله berkata:

“Dalam sabda beliau: “ada orang memakan (upah) dengan ruqyah yang batil” itu sebagai jawaban sumpah.

Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, seperti menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin.

dan sungguh engkau memakan (upah) dengan ruqyah yang haq (benar)

yaitu: dengan menyebut nama Allah SWT dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau karena Allah SWT bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:

﴿ لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ ﴾.

“Demi umurmu (wahai Muhammad), sungguh mereka itu terombang-ambing berada di dalam kemabukan yang sangat.”

DALIL YANG DIAMBIL DARI HADITS-HADITS DIATAS:

Ibnu Hazm رحمه الله berkata:

“Maka sudah sah-lah bahwasanya memakan dengan hasil dari Al Qur’an adalah termasuk dalam kebenaran. Dan dalam pengajarannya adalah kebenaran juga. Dan bahwasanya yang haram hanyalah jika dia memakan dengan hasil Al Qur’an tadi dalam rangka riya, atau karena selain Allah SWT.” (“Al Muhalla”/8/hal. 815).

----

BANTAHAN – BANTAHAN NYA:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bantahan beliau pada orang yang membolehkan mengambil upah dari sekedar bacaan Al Qur’an berkata:

“Iya, telah ada ketetapan bahwasanya Nabi bersabda:

« إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله«

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no. (5737)).

Akan tetapi beliau mengucapkan ini dalam hadits ruqyah, karena dulu orang-orang menjadikan IMBALAN [جُعْل] untuk para Shahabat tadi ; karena mereka membacakan ruqyah pada saudara mereka yang sakit, sehingga dia sembuh.

Maka IMBALAN tadi adalah karena KESEMBUHANNYA, bukan karena sekedar bacaan. Maka beliau bersabda:

« لَعَمْرِي لَمَنْ أَكَلَ بِرُقْيَةٍ بَاطِلٍ لَقَدْ أَكَلْتَ بِرُقْيَةٍ حَقٍّ”.

“Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh kalian memakan dengan ruqyah yang benar.”

» إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله«.

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al-Bukhori no. (5737)).

Dengan upah ruqyah ini para ulama menafsirkan hadits, bukan dengan mengambil upah karena semata-mata bacaan, karena semata-mata bacaan itu tidak boleh mengambil upah, dengan IJMA'. Adapun tentang upah pengajar, maka ada perselisihan.” (“Ahaditsul Qishosh” karya Ibnu Taimiyyah, hal. 114-115).

Al-Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata:

“Adapun mengambil upah dari ruqyah, maka sungguh Ahmad memilih bolehnya hal itu, dan beliau berkata: “Tidak apa-apa.”

Dan beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id. Dan perbedaan antara upah ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (upah ta’lim dsb) adalah: bahwasanya ruqyah itu sejenis pengobatan. Harta yang diambil karena ruqyah tadi merupakan “ju’l” (جُعْل = imbalan).

Dan memang diperbolehkan mengambil upah dari pengobatan.” (“Al-Mughni” karya Ibnu Quddaamah, 6/143).

JIKA ADA YANG BERKATA:

“Tiga puluh ekor kambing tadi bukanlah IMBALAN atas kesembuhannya dengan sebab ruqyah, akan tapi Upah bacaan al-Fatihah.”

MAKA JAWABAN KITA - dengan taufiq Alloh semata – ADALAH SBB:

Jawaban pertama:

Pensyaratan para Shahabat kepada penduduk kampung tadi adalah: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan mengobati sampai kalian menjanjikan untuk kami JU’AL (imbalan).”

Mungkin sebagai imbalan kesembuhan dengan ruqyah, dan mungkin pula sebagai hak tamu [[ضِيَافَة]]. Akan tetapi tidak mungkin karena upah bacaan al-Fatihah.

Namun kemungkinannya sebagai IMBALAN ruqyah itu lebih jelas dan lebih kuat karena mereka menyebutkan 30 ekor kambing tadi sebagai “جُعْل” (imbalan).

Andaikata itu sebagai pemuliaan tamu, niscaya mereka menamakannya dengan “نُزُوْل” (hidangan orang yang datang), atau “ضِيَافَة” (pemuliaan tamu), dan semisalnya.

Jawaban kedua:

Sesungguhnya 30 ekor kambing itu terlalu besar untuk menjadi nuzul atau dhiyafah, apalagi upah baca “al-Fatihah”, terutama bahwasanya penduduk kampung tadi telah menampakkan kepelitan dan kekikiran mereka terhadap para Shahabat Rosululloh

Maka posisinya sebagai upah kesembuhan dengan sebab ruqyah itu lebih jelas, dan jumlah kambing yang banyak tadi adalah sebagai bentuk kegembiraan mereka karena sembuhnya pemimpin mereka yang tersengat binatang berbisa, bukan karena mereka memuliakan para Shahabat Rosululloh dan juga mustahil dikarenakan bacaan al-Fatihah. Apalagi masyarakat perkampungan tersebut nampaknya mereka itu bukan kaum muslimin.

Jawaban ketiga:

Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pada kebiasaan Arab saat memuliakan tamu adalah: mereka itu memasak daging, menghidangkan makanan yang sudah siap, dan semisalnya, bukannya memberikan kambing hidup-hidup sehingga tetap saja para tamu mengalami kerepotan.

Maka tiga puluh ekor kambing tadi lebih jelas menjadi IMBALAN kesembuhan dengan sebab RUQYAH daripada menjadi jamuan tamu “ضيافة”, dan mustahil menjadi upah baca al-Fatihah.

====

DALIL KE DUA: HADITS MAHAR NIKAH DENGAN MENGAJAR AL-QURAN.

Mereka berdalil pula dengan Hadits Mahar seorang sahabat menikahi seorang wanita dengan mengajarkan kepadanya hafalan al-Quran.

“Dari Sahal bin Saad radhiallahu’anhu berkata:

أَتَتْ النَّبِيَّ ﷺ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ ﷺ فَقَالَ: مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ ، فَقَالَ رَجُلٌ: زَوِّجْنِيهَا قَالَ: أَعْطِهَا ثَوْبًا ، قَالَ: لَا أَجِدُ قَالَ: أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ ، فَاعْتَلَّ لَهُ ، فَقَالَ: مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ؟ قَالَ: كَذَا وَكَذَا قَالَ: فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ).

“Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata, “Sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untuk Allah dan RasulNya.

Maka Nabi ‘Saya tidak membutuhkan wanita.

Ada seseorang berkata: “(Tolong) nikahkan dia denganku!”.

Nabi berkata: ‘Berikan dia baju !”. (Orang tadi) berkata, ‘Saya tidak mempunyai.’

Nabi berkata: “ Berikan dia meskipun dengan cincin dari besi !“.

Maka dia bersedih (karena tidak mendapatkannya).

Nabi berkata: ‘Apakah anda mempunyai (hafalan) Al-Qur’an?

Dia berkata, ‘(Saya hafal) ini dan itu.’

Nabi berkata: ‘Sungguh saya telah menikahkan anda dengan dia dengan Al-Qur’an yang anda hafal.’ [HR. Bukhori, 4741. Muslim, 1425].

Makna kata “ فَاعْتَلَّ لَهُ/Fa’talla lahu “ adalah sedih dan menyesal atau sakit ; karena dia tidak mendapatkan untuk maharnya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

“Dalam haditst ini sebagai dalil diperbolehkan memberikan mahar dengan mengajarkan AL-Qur’an dan diperbolehkan menyewa untuk mengajarkan Al-Qur’an. Keduanya diperbolehkan menurut Syafi’i, dan ini juga pendapat Atha’, Hasan bin Sholeh, Malik, Ishaq dan selain dari mereka.

Sebagian kelompok para ulama melarangnya, di antaranya adalah Az-Zuhri dan Abu Hanifah.

Hadits ini dan hadits yang shohih: ‘Sesungguhnya yang layak untuk anda ambil upahnya adalah Kitab Allah’ sebagai bantahan bagi pendapat yang melarang akan hal itu.

Dinukilkan dari Al-Qoodhi ‘Iyaadh bahwa diperbolehkan menyewa untuk mengajarkan AL-Qur’an dari seluruh ulama’ selain Abu Hanifah. (‘Syarkh Muslim, 9/214, 215)

BANTAHAN-BANTAHANNYA:

Bantahan Pertama:

Dalam hadits ini Nabi mengizinkan mahar nikah dengan mengajarkan hafalan al-Quran itu terjadi ketika sahabat tersebut sudah tidak ada pilihan lain sebagai mahar, meski cincin besi sekalipun.

Nampak sekali dibolehkannya itu dalam kondisi yang sangat mendesak atau darurat. Oleh karena itu tidak ada sahabat selain dia yang menikah dengan mahar mengajar al-Qur'an, termasuk Nabi  Berikut ini mahar Nabi untuk masing-masing para istrinya:

Dari Abu Salamah Ibnu Abdurrahman Radliyallaahu 'anhu berkata:

سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ اَلنَّبِيِّ ﷺ كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ ﷺ قَالَتْ: كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ: أَتَدْرِي مَا اَلنَّشُّ? قَالَ: قُلْتُ: لَا قَالَتْ: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ, فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ ﷺ لِأَزْوَاجِهِ

Aku bertanya kepada 'Aisyah r.a: Berapakah maskawin Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

Ia berkata: Maskawin beliau kepada istrinya ialah 12 uqiyyah dan nasy.

Ia bertanya: Tahukah engkau apa itu nasy? Ia berkata: Aku menjawab: Tidak.

'Aisyah berkata: " [Nasy itu] Setengah uqiyyah, jadi semuanya 500 dirham. Inilah maskawin Rasulullah kepada para istrinya. [HR. Muslim no. 1426].

Penjelasan nya:

Standar harga dirham pada zaman Nabi adalah: 1 Dinar = 12 Dirham. Sementara 1 dinar = 4,25 gram emas murni 24 karat. Sekarang harga 1 gram emas 24 karat ± Rp. 900.000.

فَيَكُونُ مَجْمُوعُ مَهْرِ نِسَاءِ النَّبِيِّ ﷺ البَالِغِ (500) دِرْهَمٍ مَا يُعَادِلُ أَرْبَعِينَ دِينَارًا وَنِصْفًا (41,6) تَقْرِيبًا، وَهُوَ يُسَاوِي - مِنَ الجَرَامَاتِ -: (176,375) جَرَامًا.

Maka total mahar masing-masing istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berjumlah (500) dirham sama dengan sekitar empat puluh satu setengah (41,6) dinar, yang jika di gram kan setara dengan (176.375) gram emas.

Penulis katakan:

Maka jika sekarang harga emas murni 24 karat Rp. 900.000, berarti mahar yang Nabi berikan pada para istrinya adalah: 176,375 gram x Rp. 900.000 = Rp. 158.737.500.

Bantahan Kedua:

Al-Qur'an jauh lebih mulia dari cincin besi. Bahkan jauh lebih mulia dari dunia seisinya dan seluruh makhluk. Jika pada hukum asalnya diperbolehkan mahar dengan mengajar al-Qur'an, tentunya Rosulullah tidak repot-repot menyuruh sahabat tadi untuk mencari cincin besi. Dan tentunya banyak sahabat yang menikah dengan mahar mengajar al-Qur'an.

Justru sebaliknya setelah Islam datang, mahar wanita melambung tinggi, sehingga Umar bin Khaththab sempat mengeluh.

Dari Abu Al-'Ajfaa` As-Sulami [أبو العجفاء السلمي], ia berkata;

سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَطَبَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَلَا لَا تُغَالُوا فِي صُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا أَصْدَقَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ فَوْقَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً أَلَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُغَالِي بِصَدَاقِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَبْقَى لَهَا فِي نَفْسِهِ عَدَاوَةٌ حَتَّى يَقُولَ كَلِفْتُ إِلَيْكِ عَلَقَ الْقِرْبَةِ أَوْ عَرَقَ الْقِرْبَةِ

Aku mendengar Umar bin Al Khathab berkhutbah, ia memuji Allah, kemudian berkata;

"Ketahuilah, janganlah kalian berlebihan dalam mahar wanita, apabila berlebihan dalam mahar merupakan bentuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling pertama kali melakukannya adalah Rasulullah

Tidaklah beliau memberikan mahar kepada seorangpun dari para isterinya dan tidak seorangpun dari anak-anak wanitanya yang diberi mahar di atas 12 'uqiyah [± 158 juta rupiah].

Sungguh salah seorang di antara kalian berlebihan dalam mahar isterinya, hingga tinggallah dalam dirinya permusuhan kepada isterinya, sampai dirinya mengatakan;

"Aku telah menanggung segala sesuatu hingga tali geriba, atau hingga berkeringat seperti geriba berkeringat."

[HR. al-Tirmidzi (1114), an-Nasa'i (3349), Ibn Majah (1887), dan Ahmad (340), dan Ad-Daarimi no. 2103] Lafadz nya lafadz riwayat ad-Daarimi.

Di shahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam Takhrij al-Musnad no. 340 dan al-Albaani dalam Shahih Sunan an-Nasaa'i no. 3349.

Bahkan Umar bin al-Khaththaab membayar mahar istrinya Umm Kultsum binti Ali bin Abi Talib 10.000 dinar emas [± Rp. 38.250.000.000], seperti yang dikatakan sejarawan Al-Ya'qubi dalam kitab Taarikhnya 2/150.

Bantahan Ketiga:

Hadits kisah mahar dengan mengajar al-Quran ini adalah kejadian yang langka, karena setelah itu sepengetahuan penulis tidak ada sahabat lain yang menikah dengan mahar mengajarkan hafalan al-Quran pada istrinya.

Ada sebuah kaidah fiqih mengatakan:

“الحُكْمُ عَلَى الأَغْلَبِ و النَّادِرُ لاَ حُكْمَ لَه”

Artinya: Hukum itu berdasarkan pada yang umum atau kebanyakan, adapun yang jarang terjadi, maka itu tidak bisa dijadikan standar hukum”.

Abu Bakar al-Jashshoosh dalam kitabnya “أحكام القرآن” 1/78 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Abdus Salam Syahiin):

“أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ يَتَعَلَّقُ بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ”.اهـ

“Tidak kah kau lihat bahwa hukum berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar al-Islam dan Dar al-Harb bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas, bukan kepada yang lebih khusus yang minoritas”.

Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya “المبدع شرح المقنع” 3/254 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Muhammad Hasan ay-Syafi’i):

“الأكثر يقوم مقام الكل، بخلاف اليسير، فإنه في حكم المعدوم".اهـ

Artinya: Mayoritas itu menduduki kedudukan keseluruhan, berbeda dengan yang sedikit, maka yang sedikit itu di hukumi tidak ada”.

====

DALIL KE TIGA:

Dalam hadits Ruqyah riwayat Ibnu Abbas di atas, Rosululullah bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

"Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah kitabullah." [HR. Bukhori, 5405]

DALIL YANG BISA DIAMBIL OLEH MEREKA:

Dalam sabda Nabi kata-kata nya umum, maka secara umum boleh mengambil upah dari jasa membaca atau mengajar al-Qur'an. Meskipun sebab wurud dan kejadiannya itu khushus berkaitan dengan Ruqyah. Karena berdasarkan Qaidah yang menyatakan:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

"Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”

BANTAHAN-BANTAHANNYA:

Bantahan Pertama:

Bahwa keumuman yang dimaksud dalam lafadz hadits ini berkenaan dengan diperbolehkannya semua jenis bacaan ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan di dalamnya.

Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i berkata:

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

"Kami dahulu meruqyah pada zaman jahiliyah dan kami bertanya, Wahai Rasulullah bagaimana pendapat anda akan hal itu? Maka beliau bersabda:

“Perlihatkan kepadaku ruqyah kamu semua, tidak mengapa ruqyah selagi tidak berisi kesyirikan”. [HR. Imam Muslim no. (2200)]

Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya ruqyah secara umum selagi tidak mengandung unsur kesyirikan atau menuju kepada kesyirikan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (10/195) berkata:

“وقد أجمع العلماء على جواز الرقى عند اجتماع ثلاثة شروط: أن يكون بكلام الله تعالى أو بأسمائه وصفاته ، وباللسان العربي أو بما يعرف معناه من غيره ، وأن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها ، بل بذات الله تعالى ، واختلفوا في كونها شرطا ؟ والراجح أنه لا بد من اعتبار الشروط المذكورة" انتهى.

“Para ulama mensyaratkan diperbolehkannya ruqyah dengan tiga syarat yang diambil dari nash-nash hadits Nabawi. Para ulama sepakat (Ijma’) diperbolehkannya ruqyah ketika terkumpul tiga syarat:

  1. Hendaknya dengan kalamullah ta’ala atau nama-nama dan sifat-Nya.
  2. Dengan memakai Bahasa Arab atau Bahasa lain yang difahami artinya.
  3. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berdampak dengan sendirinya akan tetapi dengan dzat Allah ta’ala.

Mereka berbeda pendapat apakah itu dijadikan sebagai syarat?. Dan yang kuat adalah harus dijadikan sebagai syarat yang disebutkan tadi. [Selesai kutipan dari Ibnu Hajar].

Bantahan Kedua:

Adapun upah baca al-Qur'an atau mengajarnya, telah banyak hadits shahih yang jelas-jelas melarangnya. Maka jika dibawakan kepada makna umum, akan terjadi kontradiksi.

Syeikh al-Utsaimin rahimahullah berkata:

إِنَّ القَاعِدَةَ إِنَّمَا يَكُونُ إِعْمَالُهَا صَحِيحًا إِذَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى ذَٰلِكَ تَعَارُضٌ مَعَ نُصُوصٍ أُخْرَى، فَإِنْ حَصَلَ التَّعَارُضُ عِندَ حَمْلِنَا لِلنَّصِّ عَلَى العُمُومِ مَعَ نُصُوصٍ أُخْرَى حُمِلَ النَّصُّ الشَّرْعِيُّ حِينَئِذٍ عَلَى خُصُوصِ السَّبَبِ الَّذِي نَزَلَ فِيهِ لَا عَلَى عُمُومِ اللَّفْظِ دَفْعًا لِلتَّعَارُضِ.

Qaidah tersebut hanya berlaku jika tidak menimbulkan kontradiksi dengan nash-nash lain.

Jika terjadi kontradiksi ketika kita menafsirkan nash tersebut secara umum dengan nash-nash lainnya, maka nash syar'i tersebut harus dibawa kepada sebab yang khusus mengapa nash itu diturunkan, jangan dibawa ke lafadz umum, yang demikian itu agar terhidar dari kontradiksi

[Di kutip dari لقاءات الباب المفتوح Syeikh al-Utsaimin 118/Soal 4].

Maka dengan demikan keumuman lafadz hadits tersebut di takhshish oleh hadits-hadits yang melarang upah dari selain ruqyah.

Lagi pula dalam meruqyah pun, si peruqyah tidak berhak mendapatkan imbalan [جُعْل] selama orang yang diruqyahnya itu belum mendapat kesembuhan, meskipun si peruqyah nya telah mengkhatamkan al-Quran dalam bacaan ruqyahnya atau telah membaca surat al-Fatihah 100 kali.

Karena Ruqyah itu masuk dalam KATEGORI akad Ji'alah atau Sayembara. Umpamanya seorang Jaa'il [orang yang menjajikan imbalan] berkata: " Barang siapa yang bisa menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka baginya akan mendapatkan 100 ekor kambing itu”.

Bantahan ke tiga:

Ada firman Allah yang lafadznya umum, tapi di fahami oleh para ulama bahwa maknanya khushus, yaitu firman Allah SWT:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka kalian dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. [QS. Al-A'raf: 402]

Imam Ahmad berkata:

أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ هَذَا فِي الصَّلاةِ، يَعْنِي: إِذَا كَانَ المَأْمُومُ خَلْفَ الإِمَامِ، أَمَّا الإِنسَانُ يَقْرَأُ إِلَى جَنْبِكَ وَأَنْتَ مَشْغُولٌ بِذِكْرِكَ الخَاصِّ، فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْكَ الإِنصَاتُ... اهـ

Mereka ber Ijma' (sepakat) bahwa ini dalam shalat, artinya: ketika seorang makmum di belakang imam. Adapun orang yang membaca al-Qur'an di samping Anda, dan Anda sibuk dengan dzikir pribadi Anda, maka Anda tidak wajib diam untuk mendengarkan nya...

[Di kutip dari لقاءات الباب المفتوح Syeikh al-Utsaimin 118/Soal 4].

Bantahan keempat:

Dalam hadits Ruqyah, sahabat yang meruqyah tersebut mendapat imbalan sekawan kambing yang jumlahnya 30 ekor. Dan ada riwayat lain lebih dari itu.

Maka 30 ekor kambing tadi lebih layak menjadi upah jasa kesembuhan dengan sebab ruqyahnya daripada upah sekedar membaca al-Fatihah satu kali. Karena jika tidak sembuh, maka dia tidak berhak mendapat upah tersebut meskipun membacanya 100 kali, apalagi orang yang diruqyahnya itu bukan seorang muslim.

===***===

BERHATI-HATILAH DENGAN SUMBER HARTA KEKAYAAN ANDA !!!:

Barang siapa merasa dirinya dalam menghadapi cobaan uang dan harta amanah, hendaklah dia menahan diri dari mengumpulkan uang sumbangan dan lainnya, untuk mencegah dalih [سَدُّ الذَّرِيْعَةِ] terjerumus ke dalam sesuatu yang terlarang. Uang dan harta adalah fitnah yang besar.

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari [Ka'ab bin 'Iyadl] berkata: Aku mendengar nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

"إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ"

"Sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah dan fitnah ummatku adalah harta." [HR. Tirmidzi no. 2336 dan Thabrani dalam al-Awsath no. 3/325]

Berkata Abu Isa: " Hadits ini hasan shahih gharib, kami hanya mengetahuinya dari hadits Mu'awiyah bin Shalih”.

Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Tirmidzi no. 2336.

Nabi pernah menasihati Abu Dzar untuk berhati-hati dalam mengemban tugas dan mengelola harta amanah, sebagaimana Imam Muslim dalam Shahih nya (1826) meriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah berkata pada nya:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).

Dan masih dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?”

Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).

Dalam hadits Abu Hurairah (RA), Rosulullah bersabda:

« يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ مَا يُبَالِي الرَّجُلُ مِنْ أَيْنَ أَصَابَ الْمَالَ مِنْ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ ».

Artinya: " Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang sudah tidak memperdulikan lagi dari mana dia mendapatkan harta, dari yang halal atau dari yang haram". (HR. Bukhori no. 2059, 2083 dan Nasaai 7/234).

Sementara dalam hadits yang di riwayatkan Kaab bin 'Ujroh (RA), Rosulullah bersabda:

« لَا يدْخُلُ الْجنَّة لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ وكلُّ لحَمْ نبَتَ مِنْ سُحْتٍ فالنَّارُ أوْلى بِه »

Artinya: " Tidak masuk surga daging yang tumbuh dari yang haram. Dan setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak dengannya”.

(HR. Tabrany 19/135, Darimi 2/318, Ibnu Hibban (no. 1569 dan 1570), Hakim 4/127, Baihaqi di Sya'bul Iman 2/172/2 dan Imam Ahmad 3/321 dan 399).

Di Shahihkan Al-Albaany dalam Shahih Tirmidzi no. 614. Dan beliau mengatakan di Silsilah Shahihah 6/108: Sanadnya Jayyid/bagus sesuai syarat Muslim.

===****===

JANGAN LAH ANDA MENGEMAS YANG HARAM DENGAN NAMA YANG HALAL !!!

Mengemas yang haram dengan nama yang menunjukkan kehalalan dan sejalan dengan syariat Islam, pada hakikatnya sama saja dengan berdusta dengan menagatas namakan Allah SWT. Dosa membuat kebohongan dengan mengatas namakan Allah, dosanya sama dengan dosa mendustakan ayat-ayat Allah dan mendustakan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad

Banyak sekali dalil -dalil yang menunjukkan bahwa berdusta dengan mengatas namakan itu sama dengan dengan mendustkan agama, bahkan lebih besar dari nya, di antaranya adalah sebagai berikut:

KE 1: Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ ٱلْأَشْهَٰدُ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim [QS. Hud: 18].

KE 2: Allah SWT berfirman:

﴿ فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰيٰتِهٖ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَنَالُهُمْ نَصِيْبُهُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ ۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ ۙ قَالُوْٓا اَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالُوْا ضَلُّوْا عَنَّا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْنَ ﴾

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya?

Mereka itu akan memperoleh bagian yang telah ditentukan dalam Kitab sampai datang para utusan (malaikat) Kami kepada mereka untuk mencabut nyawanya.

Mereka (para malaikat) berkata, “Manakah sembahan yang biasa kamu sembah selain Allah?”

Mereka (orang musyrik) menjawab, “Semuanya telah lenyap dari kami.”

Dan mereka memberikan kesaksian terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (QS. Al-A’raf: 37)

KE 3: Allah SWT berfirman:

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ قَالَ اُوْحِيَ اِلَيَّ وَلَمْ يُوْحَ اِلَيْهِ شَيْءٌ وَّمَنْ قَالَ سَاُنْزِلُ مِثْلَ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ تَرٰٓى اِذِ الظّٰلِمُوْنَ فِيْ غَمَرٰتِ الْمَوْتِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ بَاسِطُوْٓا اَيْدِيْهِمْۚ اَخْرِجُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اَلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ اٰيٰتِهٖ تَسْتَكْبِرُوْنَ

Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau yang berkata, “Telah diwahyukan kepadaku,” padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: “Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.”

(Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.”

Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. [QS. Al-'An'am: 93]

KE 4: Imam Bukhari telah menyebutkan dalam kitab Shahih-nya dalam Bab:

[بَابُ: مَا جَاءَ فِيمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ، وَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ]

Bab: Apa-Apa yang Datang Seputar Orang yang Menghalalkan Khamr dan MENGGANTINYA dengan NAMA LAIN.

Kemudian beliau membawakan hadits sebagai berikut dengan sanad nya:

Dari ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary: – demi Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa ia telah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"‏ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ ـ يَعْنِي الْفَقِيرَ ـ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا‏.‏ فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‏"‏‏

“Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif).

Dan sungguh akan ada beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi. Lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan.

Lantas mereka berkata: “Kembalilah besok !”.

Maka pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi kera dan babi hingga hari kiamat”

[HR. Al-Bukhari no. 5268].

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat.

KE 5: Dan Allah SWT berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ

“Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampuradukkan [membalut] iman mereka dengan kedzaliamn, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. [QS. al-'An'aam: 82]

===****===

PARA PENDUSTA PENGEMAS KEMUNGKRAN DENGAN AGAMA KELAK ANTAR MEREKA SALING MENGUTUK. DAN MEREKA MUSTAHIL MASUK SYURGA KECUALI JIKA ADA UNTA BISA MASUK LUBANG JARUM.

Dalam surat al-A'raaf di antaranya dalam ayat 37 hingga ayat 41, Allah SWT menjelaskan dengan cukup rinci ancaman bagi orang-orang yang berdusta berbalut agama dengan bawa-bawa nama Allah dan juga bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, dengan ancaman-ancaman sbb:

  1. Syahadat mereka adalah sahadat kekafiran.
  2. Kelak antara mereka dan para pengikutnya akan saling mengutuk, meskipun antar mereka adalah masih ada hubungan saudara.
  3. Mereka adalah para penghuni Neraka.
  4. PINTU-PINTU LANGIT tidak akan buka untuk mereka dan mereka mustahil akan masuk syurga kecuali jika ada seekor onta bisa masuk ke dalam lobang jarum, dan itu mustahil.
  5. Mereka kelak akan di balut dengan tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut api neraka pula.

Allah SWT berfirman:

فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰيٰتِهٖ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَنَالُهُمْ نَصِيْبُهُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ ۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ ۙ قَالُوْٓا اَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالُوْا ضَلُّوْا عَنَّا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْنَ ﴿الأعراف: ۳۷

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya? Mereka itu akan memperoleh bagian yang telah ditentukan dalam Kitab sampai datang para utusan (malaikat) Kami kepada mereka untuk mencabut nyawanya. Mereka (para malaikat) berkata, “Manakah sembahan yang biasa kamu sembah selain Allah?” Mereka (orang musyrik) menjawab, “Semuanya telah lenyap dari kami.” Dan mereka memberikan kesaksian terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (QS. Al-A’raf: 37)

قَالَ ادْخُلُوْا فِيْٓ اُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ فِى النَّارِ ۙ كُلَّمَا دَخَلَتْ اُمَّةٌ لَّعَنَتْ اُخْتَهَا ۗحَتّٰٓى اِذَا ادَّارَكُوْا فِيْهَا جَمِيْعًا ۙقَالَتْ اُخْرٰىهُمْ لِاُوْلٰىهُمْ رَبَّنَا هٰٓؤُلَاۤءِ اَضَلُّوْنَا فَاٰتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ ە ۗ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَعْلَمُوْنَ ﴿الأعراف: ۳۸

Allah berfirman, “Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama golongan jin dan manusia yang telah lebih dahulu dari kamu.

Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya, sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang yang (masuk) belakangan (kepada) orang yang (masuk) terlebih dahulu: “Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka”

Allah berfirman: “Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 38)

وَقَالَتْ اُوْلٰىهُمْ لِاُخْرٰىهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُوْنَ ࣖ ﴿الأعراف: ۳۹

"Dan orang yang (masuk) terlebih dahulu berkata kepada yang (masuk) belakangan, “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami. Maka rasakanlah azab itu karena perbuatan yang telah kamu lakukan.” (QS. Al-A’raf: 39)

اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ ﴿الأعراف: ۴۰

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat. (QS. Al-A’raf: 40)

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ ﴿الأعراف: ۴۱

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-A’raf: 41)

====****====

PERNYATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG DANA SUMBANGAN

Syeikh Mahmud Mazru'ah, kepala Front Cendekiawan Al-Azhar, dan mantan dekan Fakultas Ushuluddiin di Manufiah, mengatakan kepada media Mashr Al-Arabiya tentang Definisi SUMBANGAN [التَّبَرُّعُ]:

لَمْ يَضَعِ الفُقَهَاءُ تَعْرِيفًا خَاصًّا بِهِ، وَإِنَّمَا عَرَّفُوا بَعْضَ أَنْوَاعِهِ، مِثْلَ الوَصِيَّةِ وَالْوَقْفِ وَالْهِبَةِ وَغَيْرِهَا، وَبِوَجْهِ عَامٍ لَا يَخْرُجُ التَّبَرُّعُ عَنْ كُونِهِ بَذْلَ الْمُكَلَّفِ مَالًا أَوْ مَنْفَعَةً لِغَيْرِهِ فِي الحَالِ أَوِ الْمَآلِ بِلَا عَوَضٍ بِقَصْدِ البِرِّ وَالْمَعْرُوفِ غَالِبًا، وَيَكُونُ هَذَا تَطَوُّعًا وَلَا يَكُونُ وَاجِبًا أَوْ إِجْبَارًا، وَإِلَّا أَصْبَحَ مَالًا حَرَامًا لِأَنَّهُ أُخِذَ بِسَيْفِ الحَيَاءِ، فَأَصْبَحَ سُحْتًا.

Para fuqaha tidak menetapkan definisi khusus tentangnya [SUMBANGAN], melainkan mereka menetapkan definisi beberapa jenisnya, seperti wasiat, wakaf, hibah, hadiah, dan lain-lain.

Pada umumnya makna sumbangan tidak menyimpang dari makna: " Harta atau Manfaat yang diberikan oleh seorang mukallaf kepada orang lain pada saat itu juga atau diberikan nya nanti di masa yang akan datang, dengan kerelaan hati tanpa imbalan, dengan niat untuk amal kebaikan dan hal yang ma'ruf pada umumnya.

Dengan demikian sumbangan itu adalah pemberian dengan sukarela, tidak wajib dan tidak ada paksaan. Jika tidak ; maka itu menjadi uang haram karena mengambil dengan tekanan pedang rasa malu, maka menjadi hal yang haram.

Dan Syeikh Mahmud Mazru'ah berkata pula:

إِنَّ الإِسْلَامَ حَدَّدَ طُرُقَ جَمْعِ الْمَالِ وَطُرُقَ إِنْفَاقِهِ، كَمَا حَرَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِ الاِكْتِسَابَ مِنْ طُرُقٍ مُحَرَّمَةٍ فَإِنَّهُ حَرَّمَ الإِجْبَارَ عَلَى التَّبَرُّعِ أَوْ أَخْذِ الْمَالِ الْحَلَالِ مِنْ صَاحِبِهِ بِالْإِكْرَاهِ، وَلَوْ بِوَسَائِلِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لِأَنَّ مَا يَكْتَسِبُهُ الإِنسَانُ مِنْ عَمَلٍ حَلَالٍ فَهُوَ حَلَالٌ طَيِّبٌ يَأْكُلُ مِنْهُ الْمَرْءُ وَيُنْفِقُ بِرِضَاهُ، بَلْ يَتَصَدَّقُ بِاخْتِيَارِهِ، وَلَهُ الْأَجْرُ الْكَبِيرُ مِنَ اللَّهِ.

أَمَّا مَا يَكْتَسِبُهُ مِنْ عَمَلٍ حَرَامٍ فَهُوَ خَبِيثٌ وَيَجُوزُ التَّصَدُّقُ وَالتَّبَرُّعُ مِنْهُ لَكِنْ لَا أَجْرَ لَهُ إِلَّا أَجْرُ التَّخَلُّصِ مِنْ الْمَالِ الْحَرَامِ، بِشَرْطٍ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مِنَ التَّبَرُّعِ التَّخَلُّصَ مِنَ الْحَرَامِ، وَتَطْهِيرِ الْمَالِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ".

Islam telah menetapkan cara mengumpulkan harta dan cara menginfaqkannya, seperti halnya melarang seorang Muslim untuk memperoleh dari cara yang diharamkan, karena Islam juga menghramkan pemaksaan untuk menyumbangkan atau mengambil uang yang halal dari pemiliknya di bawah tekanan dan paksaan, Meskipun dengan cara AT-TARGHIIB [mengiming-imingi pahala dan syurga] dan AT-TARGHIIB [menakut-nakuti dengan dosa dan neraka], karena apa yang diperoleh seseorang dari pekerjaan yang halal adalah halal dan baik, dan baginya halal untuk memakannya dan dia berhak menginfaqkannya dengan keridhoan hatinya. Bahkan, dia berhak mensedekahkannya atas pilihannya sendiri, dan dia akan mendapat pahala yang besar dari Allah.

Adapun harta yang dia peroleh dari pekerjaan yang haram, maka itu harta yang buruk, namun diperbolehkan untuk bersedekah dan menyumbangkan darinya, akan tetapi tidak ada pahala baginya kecuali pahala menyingkirkan uang haram, asalkan niatnya adalah untuk menyingkirkan yang terlarang, dan untuk mensucikan hartanya. Ini berdasarkan sabda Nabi :

« أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ. فقالَ تعالى: ) يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً ( [المؤمنون: 51] ، وقال تعالى: ) يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ( [البقرة: 172]. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟”.

Artinya: " Hai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul.

Allah berfirman: Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun: 51).

Dan Allah berfirman: "Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian." (al-Baqarah: 172).

Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) 'Ya Robb ! Ya Robb' !, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan? "

(HR. Muslim dalam "Shahih"nya no. 1015).

Sementara DR. Muniir Jum'ah menyatakan:

"أَنْ أَصْلَ فِي التَّبَرُّعِ شَرْعًا أَنْ يَكُونَ اخْتِيَارِيًّا أَمَّا إِذَا كَانَ التَّبَرُّعُ إِجْبَارِيًّا وَقَصْرِيًّا فَإِنَّهُ يَتَحَوَّلُ لِابْتِزَازٍ وَإِتَاوَةٍ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ مَأْثُورٌ لِأَحَدِ السَّلَفِ الصَّالِحِ: "مَا أُخِذَ بِسَيْفِ الحَيَاءِ فَهُوَ بَاطِلٌ".

Prinsip dasar SUMBANGAN dalam hukum Islam adalah dengan sukarela, adapun jika sumbangan itu diambil dengan cara mewajibkannya dan memaksanya ; maka itu berubah menjadi bentuk pemerasan dan pemalakan. Ada pepatah dari salah satu dari para salafus sholih yang mengatakan:

"مَا أُخِذَ بِسَيْفِ الحَيَاءِ فَهُوَ بَاطِلٌ"

"Apa pun yang diambil dengan Saiful Hayaa' [pedang yang membuat seseorang merasa malu jika tidak memberi] adalah Haram."

Lalu Syeikh Muniir Jum'ah menambahkan perkataannya:

"إِنَّ مَا أُخِذَ بِسَيْفِ الْاِبْتِزَازِ وَالضَّغْطِ وَالتَّرْهِيبِ فَهُوَ حَرَامٌ وَسُحْتٌ بِكُلِّ الْمَعَانِي، وَلِهَذَا لَابُدَّ مِنَ التَّحْقِيقِ فِي هَذِهِ الْمَهْزَلَةِ الَّتِي تُرْتَكَبُ بِاسْمِ مِصْرِ وَتَزْلُفًا وَنِفَاقًا لِمَن يَحْكُمُهَا، خَاصَّةً أَنْ هَذَا التَّبَرُّعُ الْإِجْبَارِيُّ الْمُحَرَّمُ شَرْعًا مِنَ الْمُواطِنِ الْبَسِيطِ الْفَقِيرِ الْمَرِيضِ الَّذِي لَيْسَ لَدَيْهِ مَا يَكْفِيهِ، وَلِهَذَا فَلِسَانُ حَالِهِمْ يَقُولُ: "حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ".

“Sesungguhnya apa yang digunakan dengan pedang pemerasan, tekanan dan intimidasi adalah haram dan penghasilan yang tidak halal dalam segala bentuknya. Dan oleh karena itu tidak boleh tidak harus ada pengawasan terhadap tindakan pelecehan ini yang dilakukan atas nama Negara Mesir dengan cara menjilat dan penuh kemunafikan dari mereka yang menghukumi negeri ini.

Terutama SUMBANGAN WAJIB yang diharamkan secara Syar'i, yang diambil dari para warga yang keadaan ekonominya sederhana, miskin dan sakit-sakitan yang yang mana mereka tidak memiliki harta yang mencukupinya. Dan oleh karena itu mulut mereka hanya bisa berkata: " حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ".

[https://masralarabia.net › علماء: الإجبار على التبرع ل تحيا مصر حرام]

===****===

OLOK-OLOKAN PARA MISSIONARIS DAN MURTADDIIN DI MEDSOS TENTANG SIAPA SEBENARNYA YANG SUKA MEMPERJUAL BELIKAN AYAT-AYAT ALLAH :

Mereka berkata: “Sebenarnya umat manakah yang memperjual belikan ayat-ayat Tuhan?

Dalam Al-Qur'an kitab suci umat Islam menyebutkan bahwa Ahlul Kitab [Yahudi dan Kristen] adalah umat yang biasa memperjual belikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang rendah [yakni: dunia].

Namun realitanya sebaliknya, umat Islam lah yang melakukan itu semua. Coba kita lihat dan kita perhatikan: banyak sarana pendidikan agama Islam yang mematok harga mahal, seperti yang terjadi pada kebanyakan pesantren-pesantren yang ada di tanah air.

Sementara dalam umat Kristen, yang demikian itu tidak diketemukan. Justru sebaliknya, bagi umat kristen yang menempuh jenjang pendidikan ilmu Teologi Kristen akan mendapatkan bea siswa dan tunjangan hingga selesai.

Maka dalam hal ini umat Islam seperti jeruk makan jeruk. Dan al-Quran telah melempar tuduhan pada umat lain, padahal umat Islam sendiri pelakunya”. [SELESAI]

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

 


 

Posting Komentar

0 Komentar