Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

CARA BERBAKTI PADA KEDUA ORANG TUA SETELAH MEREKA WAFAT

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

*****

Kedua orang tua adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan kita. Mereka telah berkorban banyak untuk kita sejak kita lahir hingga dewasa, memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengorbanan yang tak terhingga. Namun, takdir telah menentukan bahwa suatu saat kita harus menghadapi kenyataan bahwa mereka meninggalkan kita dan pergi ke alam lain. 

Walaupun fisik mereka sudah tiada, namun hubungan kita dengan kedua orang tua tidak berakhir di sana. Kita tetap memiliki kewajiban untuk berbakti pada mereka, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka wafat. 

Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang cara berbakti pada kedua orang tua setelah mereka wafat, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kita pada jasa-jasa mereka selama hidup.

DAFTAR ISI:

  • DALIL-DALIL PERINTAH BERBAKTI PADA KEDUA ORANG TUA SECARA UMUM:
  • BAKTI PADA KEDUA ORANG TUA ADALAH KARAKTER PARA NABI DAN RASUL:
  • KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
  • DOSA BESAR DAN KEHINAAN BAGI YANG DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA:
  • UTAMAKAN SERUAN ORANG TUA DARI PADA TERUS MENENRUS MENEKUNI IBADAH SUNNAH
  • CARA BERBAKTI PADA KEDUA ORANG TUA SETELAH MEREKA WAFAT:
  • PERTAMA: SENANTIASA BERDOA DAN BERISTIGHFAR UNTUK KEDUA ORANG TUANYA. MENUNAIKAN JANJI KEDUANYA. MENGHUBUNGKAN TALI SILATIRRAHIM KERABATNYA. DAN MEMULIAKAN SAHABAT-SAHABATNYA:
  • KEDUA: MELAKUKAN IBADAH SHOLAT, PUASA DAN SEDEKAH UNTUK KEDUA ORANG TUANYA:
  • KETIGA: BERHAJI UNTUK KEDUA ORANG TUA
  • KEEMPAT: MENGQODHO HUTANG PUASA KEDUA ORANG TUANYA:
  • KELIMA: MELUNASI HUTANG-HUTANG KEDUA ORANG TUANYA:
  • APAKAH ZIARAH KUBUR ORANG TUA TERMASUK AMALAN BERBAKTI KEPADANYA?
  • SHAHIHKAH HADITS ANJURAN ZIARAH KUBUR ORANG TUA SETIAP JUM'AT?
  • SHAHIHKAH HADITS ANJURAN BACA AL-QURAN DI KUBURAN, MESKI BUKAN KUBURAN ORANG TUA?

*****

بسم الله الرحمن الرحيم

Dar al-Ifta [dewan fatwa] Mesir menyatakan:

“برُّ الوالدين فرضُ عينٍ، وهو عبادةٌ لا تقبل النيابة؛ قال العلَّامة برهانُ الدين بنُ مازه البخاري الحنفي في المحيط البرهاني في الفقه النعماني (5/ 386، ط. دار الكتب العلمية): [وطاعةُ الوالدين وبِرُّهُما فرضٌ خاصٌّ لا يَنُوبُ البعضُ فيه عن البعض] اهـ.

Berbakti kepada kedua orang tua adalah Fardhu 'Ain [kewajiban individu], dan merupakan ibadah yang tidak bisa di wakilkan.

Al-'Allaamah Burhanud-Din ibn Maazih al-Bukhari al-Hanafi berkata dalam al-Muhiath al-Burhaani Fii al-Fiqh al-Nu'maani (5/ 386, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah):

"Patuh dan Taat pada kedua orang tua dan berbakti kepada mereka berdua adalah kewajiban khusus di mana masing-masing individu tidak bisa menggantikan yang lain”.

I. DALIL-DALIL PERINTAH BERBAKTI PADA KEDUA ORANG TUA SECARA UMUM:

Allah SWT berfirman:

{ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ}

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [QS. al-Isra: 23-24]

Dan Allah SWT berfirman:

﴿ وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ﴾

Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. [QS. Al-'Ankabuut: 8]

Imam Ibnu Katsir berkata:

"أمَرَ اللَّه تَعَالَى عِبَادُهُ بِالْإِحْسَانِ إِلَى ‌الْوَالِدَيْنِ ‌بَعْدَ ‌الْحَثِّ ‌عَلَى ‌التَّمَسُّكِ ‌بِتَوْحِيدِهِ، ‌فَإِنَّ ‌الْوَالِدَيْنِ ‌هَمَّا ‌سَبَبُ ‌وُجُودِ ‌الْإِنْسَانِ، وَلَهُمَا عَلَيْهِ غَايَةُ الْإِحْسَانِ، فَالْوَالِدُ بِالْإِنْفَاقِ وَالْوَالِدَةُ بِالْإِشْفَاقِ”.

"Allah Ta'aala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memperlakukan orang tua dengan baik setelah Allah memerintahkan mereka untuk berpegang pada tauhid-Nya. Karena orang tua adalah sebagai sebab keberadaan manusia, dan itu adalah puncak kebaikan mereka bedua pada anaknya. Sang ayah dengan menafakahinya, dan ibu dengan kasih sayangnya”. (Tafsir Ibnu Katsir – 6/264).

Dan Allah SWT berfirman:

﴿ وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةً ۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ﴾

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa:

“Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Dan Allah SWT berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu". [QS. Luqman: 14].

*****

II. BAKTI PADA KEDUA ORANG TUA ADALAH KARAKTER PARA NABI DAN RASUL:

Allah SWT berfirman tentang Yahya bin Zakariya 'alaihimaa as-slaam:

﴿ يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا * وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا * وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا * وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا ﴾

”Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak.

Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa,

Dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka.

Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. [QS. Maryam: 12 – 15].

Dan Allah SWT berfirman tentang Isa bin Maryam 'alaihi as-slaam:

﴿ قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا * وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا * وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا * وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا * ذَلِكَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ قَوْلَ الْحَقِّ الَّذِي فِيهِ يَمْتَرُونَ ﴾

“Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.

Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Itulah Isa putra Maryam, (yang mengatakan) perkataan yang benar, yang mereka ragukan kebenarannya. [QS. Maryam: 30 – 34].

*****

III. KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA

Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma berkata:

“جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ-صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَسْتَأْذِنُهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ”.

"Pernah datang seseorang kepada Nabi Muhammad SAW, meminta izin untuk ikut berjihad, lalu beliau bertanya: "Apakah orang tuamu masih hidup?".

Da menjawab: "Iya".

Beliau SAW bersabda: "Berjihadlah dalam mengurus mereka berdua". HR. Bukhori no. 3004 dan Muslim no. 2549].

['Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhu] berkata:

"سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي".

"Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, aku katakan: "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?"

Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya".

Kemudian aku tanyakan lagi: " Kemudian apa?"

Beliau menjawab: "Kemudian berbakti kepada kedua orang tua".

Lalu aku tanyakan lagi: "Kemudian apa lagi?"

Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah".

Maka aku berhenti menyakannya lagi kepada Rasulullah SAW. Seandainya aku tambah terus pertanyaan, Beliau pasti akan menambah jawabannya kepadaku". [HR. Bukhori no. 527 Muslim no. 85].

Dari Abdullah bin 'Amru -raḍiyallāhu 'anhuma- secara marfū':

أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَىٌّ. قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ فَتَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata: “Saya berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.”

Beliau bertanya: “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?”

Ia menjawab: “Ya, bahkan keduanya masih hidup.”

Rasulullah SAW bertanya lagi: “Maka apakah kamu masih akan mencari pahala dari Allah?”

Ia menjawab: “Ya.”

Maka beliau pun bersabda: “Pulanglah kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli mereka.” (HR. Muslim no. 6)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan – ketika mengomentari hadits ini -:

“يحرُمُ الجهادُ إذا منع الأبوان أو أحدهما، بشرط أن يكونا مسلمينِ؛ لأن برَّهما فرض عين عليه، والجهاد فرض كفاية، فإذا تعيَّن الجهادُ فلا إذنَ".

Haram berjihad jika kedua orang tua atau salah satu dari keduanya mencegahnya, dengan syarat mereka berdua adalah Muslim; Karena birrul walidain [patuh pada kedua orang tua] adalah fardhu 'Ain [kewajiban individu] atas dirinya, sementara jihad adalah Fardhu Kifayah [kewajiban komunal]. Maka ketika jihad telah ditentukan pada seseorang, maka tidak ada izin untuk meninggalkannya. (Fathul-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 6/163).

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah mengatakan bahwa seorang anak tidak akan bisa membalas budi orang tua kecuali seumpama orang tua tersebut jadi budak lalu si anak membelinya untuk dimerdekakan dari status budak.

لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا، إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ

Artinya: “Seorang anak tidak akan mampu membalas orang tua kecuali ia menemukan orang tuanya jadi budak lalu ia membelinya kemudian memerdekakan.” (HR Muslim: 25)

IV. DOSA BESAR DAN KEHINAAN BAGI ANAK YANG DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA:

Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: 

“أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ ثلاثا: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ. فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ: لَا يَسْكُتُ".

“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? 

Kami menjawab; “Tentu wahai Rasulullah.” 

Beliau mengulanginya tiga kali seraya bersabda: 

(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”. 

Ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: 

“Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu.” 

Beliau terus saja mengulangi kata-kata itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai, seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari no. 5976 dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW berlibur

« رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ».

“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” 

Ada yang bertanya: “Siapa, wahai Rasulullah?” 

Dia berisabda: ”(Sungguh hina) seorang yang menemukan kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka sudah tua, namun justru dia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 2551)

V. UTAMAKAN SERUAN ORANG TUA DARI PADA TERUS MENENRUS MENEKUNI IBADAH SUNNAH

KISAH JURAIJ AL-'AABID. Ahli Ibadah yang lebih suka meneruskan ibadah shalat sunnah dari pada memenuhi panggilan ibunya . 

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

« لم يتكلَّم في المهد إلا ثلاثة: عيسى ابن مريم، وصاحب جرَيج، وكان جُريج رجلًا عابِدا، فاتخذ صَوْمَعَة فكان فيها، فأتته أمه وهو يصلي، فقالت: يا جريج، فقال: يا رَبِّ أُمِّي وصلاتي فأقبل على صلاته فانْصَرفت. فلمَّا كان من الغَدِ أتَتْهُ وهو يصلي، فقالت: يا جُريج، فقال: أي رَبِّ أمِّي وصلاتي، فأقبل على صلاته، فلمَّا كان من الغَدِ أتَتْهُ وهو يصلي، فقالت: يا جُريج، فقال: أي رَبِّ أمِّي وصلاتي، فأقبل على صلاته، فقالت: اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُ حتى يَنظر إلى وجوه المُومِسَاتِ. فتذاكر بَنُو إسرائيل جُريجا وعبادته، وكانت امرأة بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بحُسنها، فقالت: إن شِئتم لأَفْتِنَنَّهُ، فتَعرَّضت له، فلم يَلتَفت إليها، فأتت راعِيا كان يَأوِي إلى صَوْمَعَتِهِ، فَأَمْكَنَتْه من نَفسِها فوقع عليها، فحملت، فلمَّا ولدت،

قالت: هو من جُريج، فَأتَوْهُ فَاسْتَنْزَلُوهُ وهدَمُوا صَومَعتَه، وجَعَلوا يَضربونه، فقال: ما شَأنُكم؟ قالوا: زَنَيْتَ بهذه البَغِيِّ فولَدَت منك. قال: أين الصَّبي؟ فجاؤَوا به فقال: دَعوني حتى أُصلَّي، فصلَّى فلمَّا انْصرف أتى الصَّبي فَطَعن في بَطنه، وقال: يا غُلام مَنْ أبوك؟ قال: فلانٌ الراعي، فأقبلوا على جُريج يقبلونه ويَتمسَّحون به، وقالوا: نَبْنِي لك صَوْمَعَتَكَ من ذهب. قال: لا، أعِيدُوها من طين كما كانت، ففعلوا.... ».

"Tidak ada orang yang dapat berbicara saat masih dalam buaian kecuali tiga orang ;

(Pertama) Isa bin Maryam.

(Kedua) Seseorang pada kisah Juraij. Juraij asalnya adalah orang yang taat beribadah.

Lalu dia membuat tempat ibadah. Ibunya mendatanginya ketika dia sedang salat dan memanggilnya, "Wahai Juraij."

Dia (Juraij) berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Akhirnya dia teruskan salatnya. Lalu sang ibu pulang. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat.

Dia berkata, "Wahai Juraij”. Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku". Lalu dia memilih meneruskan salatnya. Keesokan harinya sang ibu datang lagi saat Juraij sedang salat. Dia berkata, "Wahai Juraij."

Juraij berkata (dalam hati), "Ya Tuhanku! Apakah aku penuhi panggilan ibuku atau aku teruskan salatku. Lalu dia memilih meneruskan salatnya.

Maka berkatalah sang ibu, "Ya Allah! Jangan matikan dia sebelum melihat wajah pelacur." Maka Bani Israel menyebut-nyebut Juraij dan ibadahnya.

Kemudian ada seorang wanita pelacur yang terkenal cantik, dia berkata, "Kalau kalian mau, saya akan menggodanya."

Lalu dia menggodanya, namun Juraij tak mempedulikannya. Maka wanita pelacur itu mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di bawah rumah ibadah itu. Lalu dia menggodanya untuk berbuat zina. Maka terjadilah perzinaan di antara mereka.

Kemudian wanita itu hamil.

Ketika telah melahirkan, dia berkata, 'Ini anak dari Juraij.'

Masyarakat pun mendatanginya dan memaksanya turun lalu rumah ibadahnya dirobohkan. Merekapun memukulinya.

Dia berkata, 'Ada apa kalian ini?'

Mereka berkata, 'Engkau telah berzina dengan wanita pelacur ini sehingga dia melahirkan anak darimu.'

Juraij berkata, 'Mana anaknya?'

Mereka membawakan bayi tersebut. Dia berkata, "Biarkan aku salat!" Lalu dia salat. Setelah selesai salat dia datangi anak bayi tersebut dan dia tekan perutnya seraya berkata, "Wahai anak kecil, siapa bapakmu?"

Anak itu menjawab, "Si penggembala"

Maka orang-orang mengerumuni Juraij, mencium dan mengusap-usapnya. Mereka berkata, "Kami akan bangunkan rumah ibadahmu dari emas."

Dia berkata, "Tidak, bangunlah kembali dari tanah liat seperti semula!" Lalu mereka kerjakan.

[Muttfaq Alaihi. HR. Al-Bukhari (3436), Muslim (2550), Ahmad (8071), dan Al-Baihaqi di ((Al-Adab)) (764)].

ANDA DAN HARTA ANDA ADALAH MILIK AYAH ANDA:

Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang berkata kepada Rasulullah:

“أَنَّ رَجُلاً، قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي مَالاً وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي فَقَالَ:‏ "‏ أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ ‏"‏ ‏.‏

“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak namun ayahku ingin mengambil habis hartaku.” Maka Beliau SAW bersabda: “ Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2291, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dari 'Amr bin Syu'aib dari Thawus dari Ibnu Abbas, Nabi SAW berlibur:

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ حَتَّى إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ

“Tidaklah halal bagi seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain untuk menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Permisalan orang yang memberi kemudian mempersembahkan menarik kembali mempersembahkannya bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.” (HR. Nasai, no. 3690 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadis di atas menunjukkan bahwa: “Pemberian yang haram untuk ditarik kembali adalah pemberian kepada selain anak.” (Bahjah an-Nadzirin, karya Salim al Hilali 3/23, terbitan Dar Ibnul Jauzi cet ke 8 Thn. 1425 H).

******

VI. CARA BERBAKTI PADA KEDUA ORANG TUA SETELAH WAFAT:

Berikut ini hadits-hadits yang berkenaan dengan topik ini:

PERTAMA : 
SENANTIASA BERDOA DAN BERISTIGHFAR UNTUK KEDUA ORANG TUANYA. 
MENUNAIKAN JANJI KEDUANYA. 
MENGHUBUNGKAN TALI SILATIRRAHIM KERABATNYA. 
DAN MEMULIAKAN SAHABAT-SAHABATNYA:

HADITS KE 1: Dari Abu Usaid Malik Bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا».

“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah SAW. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?”

Nabi SAW menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Caranya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak terjalin (terputus) dan memuliakan teman dekat keduanya.”

(HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Al-Hakim menshahihkannya, dan Al-Dhahabi setuju dengannya. Dan di Shahihkan pula oleh Ibnu Hibbaan.

Al-Hafiz Al-Iraqi berkata:

“أخرجه أبو داود وابن ماجة بإسناد حسن"

Abu Dawud dan Ibn Majah meriwayatkannya dengan sanad yang Hasan “

Begitu juga Al-Hafizh Abu Thahir, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

Namun hadits ini didhaifkan oleh yang lain, diantaranya: oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa dan al-Albani, seperti dalam Dhaif Sunan Abi Dawud dan dalam Dhaif Sunan Ibnu Majah.

HADITS KE 2: Dari Abu Usaid as-Saa’idi beliau berkata:

“بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَتَاهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ، فَقَالَ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ ‌هَلْ ‌بَقِيَ ‌مِنْ ‌بِرِّ ‌أَبَوَيَّ ‌شَيْءٌ ‌بَعْدَ ‌مَوْتِهِمَا ‌أَبَرُّهُمَا ‌بِهِ؟ قَالَ: " نَعَمْ ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ: الدُّعَاءُ لَهُمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ وَعْدِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا”.

“Ketika aku sedang duduk di sisi Nabi SAW, datang seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah lalu dia berkata:

Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagi ku berbuat baik kepada kedua ibu bapaku setelah kedua-duanya meninggal dunia?

Beliau SAW bersabda: “Ya, ada empat perkara, yaitu:

Mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji mereka berdua, serta menyambung tali silaturahim (mengeratkan hubungan kekeluargaan) dengan orang-orang yang tidak ada hubungan kekeluarga dengan kamu melainkan ada hubungan dengan mereka berdua.”

[HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Adab, al-Ruyani, al-Khotib dalam al-Mudhih, al-Wahidi, al-Sulami dalam Adab al-Shuhbah. Hadits ini di dhaifkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Silsilah al-Dha’iifah 2/62 no.597]

KEDUA : 
MELAKUKAN IBADAH SHOLAT, PUASA DAN SEDEKAH UNTUK KEDUA ORANG TUANYA:

HADITS KE 1 : Di dalam sunan Daruquthni dari Al-Hajjaj bin Dinar:

“أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ ‌إنَّ ‌لِي ‌أَبَوَيْنِ ‌وَكُنْت ‌أَبَرُّهُمَا ‌حَالَ ‌حَيَاتِهِمَا. ‌فَكَيْفَ ‌بِالْبِرِّ ‌بَعْدَ ‌مَوْتِهِمَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إنَّ مِنْ بَعْدِ الْبِرِّ أَنْ تُصَلِّيَ لَهُمَا مَعَ صَلَاتِك وَأَنْ تَصُومَ لَهُمَا مَعَ صِيَامِك وَأَنْ تَصَدَّقَ لَهُمَا مَعَ صَدَقَتِك}".

Sesungguhnya seorangg laki-laki bertanya kepada Rosulullah SAW dan berkata: ‘Ya Rosululloh, sesungguhnya aku memiliki kedua org tua yg aku berbuat baik kpd keduanya semasa hidupnya. Maka bagaimana cara berbuat baik kpd keduanya setelah keduanya meninggal?’

Maka Nabi SAW bersabda: (Sesungguhnya termasuk Birrul Walidain adalah kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu, kamu berpuasa untuk keduanya bersama puasamu, dan kamu bersedekah untuk keduanya bersama dengan sedekah kamu). 

Syeikh al-‘Utsaimin berkata ;

هذا الحديث ضعيف لا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم ولكن من بر الوالدين بعد مماتهما أن تستغفر لهما وتدعو الله لهما وتُكرم صديقهما وتصل الرحم التي هم الصلة بينك وبينها، هذا من بر الوالدين بعد موتهما وأما أن تصلي لهما مع صلاتك الصلاة الشرعية المعروفة أو أن تصوم لهما فهذا لا أصل له

“Hadits ini lemah dan tidak valid dari Nabi SAW, akan tetapi bagian dari birrul walidain setelah kematian mereka adalah anda memohonkan pengampunan bagi mereka dan berdoa kepada Allah untuk mereka dan memuliakan teman mereka berdua, memelihara tali silaturrahim yang menjadi penghubung antara kamu dengan mereka. Ini adalah bagian dari amalan Birrul walidain setelah mereka wafat.

Adapun “kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu yang syar’i yang kita ketaui bersama “ atau “kamu puasa untuk keduanya bersama puasamu, maka itu tidak ada dasarnya”. (Lihat: نور على الدرب – 152B)

Dalam syarah shahih Muslim 1/88-89, Imam Nawawi menyebutkan bahwa Abu Ishaq ath-Thooliqooni bertanya kepada Ibnu al-Mubaark tentang hadits ini? Maka Ibnu al-Mubaarak menjawab:

" يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ بَيْنَ الْحَجَّاجِ بْنِ دِينَارٍ وَبَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌مَفَاوِزَ ‌تَنْقَطِعُ ‌فِيهَا ‌أَعْنَاقُ ‌الْمَطِيِّ، ‌وَلَكِنْ ‌لَيْسَ ‌فِي ‌الصَّدَقَةِ ‌اخْتِلَافٌ”.

“Wahai Abu Ishaq, antara perawi Al-Hajjaj bin Dinar dan Nabi SAW, terdapat lahan-lahan padang pasir yang gersang yang memutuskan leher-leher tunggangan, akan tetapi tidak ada perbedaan dalam amal”.

Makna kisah ini adalah bahwa sebuah hadits tidak boleh diterima kecuali dengan sanad yang shahih.

Kemudian Imam Nawawi melanjutkan perkataannya:

“فَمَعْنَاهُ ‌أَنَّ ‌هَذَا ‌الْحَدِيثَ ‌لَا ‌يُحْتَجُّ ‌بِهِ ‌وَلَكِنْ ‌مَنْ ‌أَرَادَ ‌بِرَّ ‌وَالِدَيْهِ ‌فَلْيَتَصَدَّقْ ‌عَنْهُمَا فَإِنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِعُ بِهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ".

“Maka maknanya: hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi barang siapa yang ingin berbakti kepada kedua orang Engkauya, maka hendaklah dia bersedekah atas nama mereka, karena pahala sedekah itu sampai kepada orang mati dan dia dapat mengambil manfaat darinya tanpa adanya perbedaan penadapat di antara umat Islam, dan ini adalah pandangan yang benar”. (Syarah shahih Muslim 1/89)

Prof. DR. Hisaamud Din Bin Musa 'Affaanah berkata:

إذا تقرر هذا فإن الحديث لو صح لكان معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم (أن تصلي لهما مع صلاتك). وقوله صلى الله عليه وسلم في الرواية الأخرى (الصلاة عليهما) هو الدعاء لهما وليس المراد الصلاة المعروفة، فإن من المقرر عند جماهير أهل العلم أنه لا يصلي أحد عن أحد وإنما يصلي كل إنسان عن نفسه والنيابة لا تدخل الصلاة. ويؤيد ذلك ما ورد في رواية ابن أبي شيبة وفيها (قال: نعم أربع خصال الدعاء لهما والاستغفار لهما) حيث ذكر الدعاء لهما بدل الصلاة عليهما”.

“Jika hal ini telah ditetapkan, maka jika hadits itu shahih, makna sabda Nabi SAW: 'Kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu'. Dan Sabda beliau SAW dalam riwayat lain: 'Sholat untuk keduanya', maka itu yang dimaksud bukan sholat yang kita kenal ; Karena sudah menjadi ketetapan jumhur para ulama, bahwa tidak boleh sholat seseorang untuk orang lain, tetapi setiap orang yang sholat itu untuk dirinya sendiri, dan sholat itu tidak bisa di wakilkan.

Dan ini bisa diperkuat dengan hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah yang tersebut di atas, yaitu:

Ada empat perkara, yaitu: Mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji mereka berdua, serta menyambung tali silaturahim (mengeratkan hubungan kekeluargaan) dengan orang-orang yang tidak ada hubungan kekeluarga dengan kamu melainkan ada hubungan dengan mereka berdua.” [Lihat: فتاوى يسألونك 11/214-215].

Imam an-Nawawi berkata:

"أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصل ثوابه إليهم".

“Para ulama telah berijma’ bahwa doa untuk orang mati itu bermanfaat bagi mereka, dan pahalanya sampai kepada mereka”. (Baca: kitab al-Adzkaar hal. 140 karya Imam Nawawi).

Ini diperkuat dengan Firman Allah SWT:

{ وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ }.

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Hasyr: 10)

HADITS KE 2: Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma:

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radliallahu 'anhu ibunya meninggal dunia saat dia tidak ada disisinya.

Kemudian dia berkata: "Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia saat aku tidak ada. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menshadaqahkan sesuatu?"

Beliau bersabda: "Ya".

Dia berkata: "Aku bersaksi kepada Engkau bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku shadaqahkan atas (nama) nya". (HR. Bukhori no. 2551).

HADITS KE 3: Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ

“Bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi SAW: “Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bershadaqah untuknya (atas namanya)?”.

Beliau SAW menjawab: “Ya, benar”. (HR. Bukhori no. 1299)

HADITS KE 4: Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ

“Bahwa seseorang berkata kepada Nabi SAW, "Sesungguhnya ayahku wafat dengan meninggalkan harta dan belum berwasiat. Apakah dapat menghapus dosanya jika aku bersedekah untuknya?" Maka beliau bersabda: "Ya". (HR. Muslim no. 1630 dan Nasaai 3592).

HADITS KE 5: Dari Aisyah radliallahu ‘anha :

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا

“Bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba, jika tidak terjadi hal tersebut niscaya ia telah bersedekah dan memberi. Apakah sah saya bersedekah untuknya?

Kemudian Nabi SAW bersabda: “Ya, bersedekahlah untuknya.” (HR. Abu Daud no. 2495)

KETIGA : BERHAJI UNTUK KEDUA ORANG TUA

HADITS KE 1 : Dari Abdullah Bin Abbas dari Al Fadhel bin Abbas:

أنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ قَالَ فَحُجِّي عَنْهُ

“Bahwa seorang wanita dari Khats'am berkata;

"Wahai Rasulullah, ayahku telah terkena kewajiban Allah yang berupa haji, padahal dia telah lanjut usia yang sudah tidak sanggup lagi duduk di atas kendaraannya?"

Beliau bersabda: "Berhajilah untuknya!" (HR. Bukhori no. 1854, Muslim no. 1334 dan Ahmad no. 1725 lafadz miliknya,).

HADITS KE 2:Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya berkata ;

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا

“Seorang wanita menemui Nabi SAW lalu bertanya; ‘Ibuku meninggal dan belum melaksanakan haji, apakah saya dapat berhaji untuknya? ‘

Beliau menjawab: ‘Ya. Berhajilah untuknya.’

(HR. Turmudzi no. 851) (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; “Ini merupakan hadits shahih.”

HADITS KE 3: Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

“Bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi SAW lalu berkata:

"Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?".

Beliau SAW menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar". (HR. Bukhori no. 1720)

KEEMPAT: 
MENGQODHO HUTANG PUASA KEDUA ORANG TUANYA:

HADITS KE 1: Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ"

" Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang berpuasa atas nama nya [mayit]”. (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

HADITS KE 2: Dari Jabir bin Abdullah RA berkata :

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرُ صِيَامٍ فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَصُمْ عَنْهَا الْوَلِيُّ

“Seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ibuku meninggal, sementara ia pernah bernadzar untuk melaksanakan puasa namun ia meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya?”

Maka Rasulullah SAW menjawab: “Hendaklah walinya yang melakukannya.” (HR. Ibnu Majah no. 2124)

HADITS KE 3: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:

أن امرأةً قالت لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: إن أمي ماتت وعليها صومُ رمضانَ أفأصومُ عنها؟ قال: أرأيتِ لو كان على أمِّك دَينٌ أكنتِ قاضيَتَه؟ اقضُوا اللهَ فاللهُ أحقُّ بالوفاءِ

“Bahwa seorang datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan dia berkewajiban puasa sebulan, apakah aku perlu mengqadhanya?”

Beliau bersabda: “Jika ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarnya?” Kalian bayarlah hutang kepada Allah karen Allah lebih berhak untuk dibayarkan.”

[Di sebutkan syeikh Bin Baaz dlam Majmu' Fataawa Bin Baaz 15/372, dan dia mengatakan: Sanadnya Shahih. (HR. Bukhori no. 1953 Muslim no. 1948 dengan sedikit perbedaan).

Dan dalam suatu riwayat, Ibnu Abbas berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم فَقَالَ: «يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟» فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟»، قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»

Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa sebulan, apakah aku melakukan qadha untuknya?”

Maka, beliau menjawab: “Kalau ibumu mempunyai tanggungan hutang apakah engkau akan melunasinya?” Lelaki tersebut menjawab: “Ya”.

Beliau lalu bersabda: “Jika demikian sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”. (HR. al-Bukhari no. 1953, Muslim, no. 1148).

HADITS KE 4: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma: Ada seorang wanita datang kepada Rosullullah SAW, dia berkata:

يا رسولَ اللهِ ، إنَّ أختي ماتت وعليْها صيامُ شَهرينِ متتابعينِ ، قالَ: أرأيتِ لو كانَ على أختِكِ دينٌ ، أَكنتِ تقضينَهُ ؟ قالت: بلى ، قالَ: فحقُّ اللهِ أحقُّ.

Wahai Rasulullah, saudari-ku meninggal dan dia punya tanggungan puasa dua bulan berturut-turut [Kafaraat].

Beliau SAW bersabda: " Apa pendapat mu jika saudari-mu berutang, apakah kamu harus melunasinya?".

Dia berkata: Ya.

Lalu beliau bersabda: " Hak Allah lebih utama”.

[HR. Ibnu Majah (1758) dan lafadznya adalah miliknya, dan Muslim (1148) menyebutkannya dengan lafadz: ((إن أمي ماتت / Ibuku meninggal)) dengan sedikit perbedaan, dalam sebuah hadits yang panjang. Dan Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq [tanpa sanad] dengan shigah al-Jazm [bentuk afirmatif] setelah hadits no. (1953) disingkat].

KELIMA: MELUNASI HUTANG-HUTANG KEDUA ORANG TUANYA:

HADITS KE 1: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rosulullah SAW bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413,. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]

HADITS KE 2:Nabi SAW pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang. Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ. قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ. قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.

“Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi SAW seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”

Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau pun menyalatinya.

Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”,

Mereka menjawab, “Ya”.

Maka beliau SAW berkata, “Shalatilah teman kalian ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya”.

[Hadits Riwayat Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]

Syaikh Muhammad al-Mukhtaar ash-Shinqeeti berkata: 

“ومن هنا يأثم الورثة بتأخير سداد الديون ، فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين: فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون ، أو يقومون بما يكون حظاً لهم من الاستئجار أو الانتقال إلى مكان آخر ، أما أن يبقى الدين معلقاً بذمته وقد ترك المال والوفاء: فهذا من ظلم الأموات ، وإذا كان بالوالدين فالأمر أشد ؛ وقد ورد في الخبر عن النبي صلى الله عليه وسلم: (أن نفس المؤمن معلقة بدينه) قال بعض العلماء: إن الإنسان إذا كان عليه دين فإنه يمنع عن النعيم حتى يؤدى دينه ، ولذلك قال: (نفس المؤمن مرهونة بدينه) وفي رواية (معلقة بدينه) بمعنى: أنها معلقة عن النعيم حتى يقضى دينه

ويؤكد هذا حديث أبي قتادة رضي الله عنه في الصحيح ، فإنه لما جيء برجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال عليه الصلاة والسلام: (هل ترك ديناً؟) قالوا: دينارين.

فقال: (هل ترك وفاء ؟).

قالوا: لا.

قال: (صلوا على صاحبكم).

فقال أبو قتادة: هما علي يا رسول الله! فصلى عليه النبي صلى الله عليه وسلم ، قال أبو قتادة: فلم يزل يلقني ويقول: (هل أديت عنه ؟) ، فأقول: لا بعد. حتى لقيني يوماً ، فقال: (هل أديت عنه ؟).

قلت: نعم.

قال: (الآن بردت جلدته) فهذا يدل على عظم أمر الدين ، فينبغي المبادرة بقضاء الديون وسدادها ، خاصة ديون الوالدين فالأمر في حقهم آكد.

والله تعالى أعلم

Oleh karena itu ahli waris berdosa dengan menunda pembayaran hutang. Maka jika ayahnya atau kerabatnya wafat, dan meninggalkan harta atau meninggalkan rumah, dan dia memiliki hutang, maka ahli waris harus menjual rumah tersebut untuk melunasi hutangnya, dan mereka harus menyewa (tempat tinggal mereka) atau pindah ke tempat lain.

Adapun meninggalkan hutang tanpa melunasi kewajibannya, padahal ia telah meninggalkan sebagian harta yang dapat dilunasi hutangnya, ini adalah kezaliman terhadap almarhum, dan jika itu ada hubungannya dengan orang tua maka masalahnya lebih berat lagi. 

Diriwayatkan dalam sebuah riwayat dari Nabi SAW bahwa jiwa orang beriman tertahan oleh hutangnya. 

Salah seorang ulama berkata: Jika seseorang berhutang, maka kenikmatannya akan ditahan darinya sampai hutangnya lunas. Karena itu beliau SAW berkata: “Jiwa seorang mukmin tergadaikan oleh hutangnya.” 

Menurut versi lain: "[Itu] tertahan oleh utangnya." Yang dimaksud adalah tertahan dari kenikmatan sampai utangnya lunas. 

Hal ini didukung oleh hadits Abu Qataadah (semoga Allah meridhoi dia) yang diriwayatkan dalam as-Shahih: Ketika seorang pria dibawa kepada Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam), dia (shalawat dan damai Allah besertanya) berkata: "Apakah dia meninggalkan hutang?"

Mereka berkata: Dua dinar:

Dia berkata: Apakah dia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?

Mereka berkata: Tidak.

Dia berkata: "Berdoalah untuk temanmu (yaitu, doa pemakaman)."

Abu Qatadah berkata: Saya akan bertanggung jawab atas (dua dinar), ya Rasulullah. Jadi Nabi SAW menawarkan doa pemakaman untuknya. 

Abu Qatadah berkata: Setiap kali dia bertemu saya, dia bertanya kepada saya: "Apakah Anda melunasinya atas namanya?". Dan saya akan mengatakan: Belum.

(Itu berlangsung) sampai dia bertemu saya suatu hari dan berkata: "Apakah Anda sudah melunasinya atas namanya?" Saya bilang iya.

Dia berkata: "Sekarang kulitnya menjadi dingin."

Hal ini menunjukkan keseriusan masalah hutang, dan harus segera melunasi hutang, terutama hutang orang tua, karena dalam hal itu masalahnya lebih serius".

[Baca : Syarh Zaad al-Mustaqni' 17/78 oleh asy-Syinqithy]]

Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25-26]

HADITS KE 3: Dari Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi SAW mengatakan kepadanya.

إِنَّ أَخَاكَ مَحْبُوسٌ بِدَيْنِهِ فَاقْضِ عَنْهُ ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ فَقَدْ أَدَّيْتُ عَنْهُ إِلاَّ دِينَارَيْنِ ادَّعَتْهُمَا امْرَأَةٌ وَلَيْسَ لَهَا بَيّنَةٌ ، قال: فَأَعْطِهَا فَإِنَّهَا مُحِقَّةٌ.

“Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya, maka lunasilah hutangnya”.

Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”.

Maka Nabi SAW berkata, “Berilah dia, karena dia berhak”.

[Hadits Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25-26]

*****

VII. APAKAH ZIARAH KUBUR ORANG TUA TERMASUK AMALAN BERBAKTI KEPADANYA?

Syeikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqiiti dalam kitabnya Syarah Zaad al-Mustaqni' 88/10 menyebutkan:

اعتبار زيارة قبر الوالدين من البر بهما

I'tibar ziarah ke makam kedua orang tua adalah sebagai bakti kepadanya.

PERTANYAAN:

هل زيارة قبر الوالدين من البر؟ وهل لها مدةٌ محدودة؟ ومن كان يكثر من الدعاء لوالديه ولكن لا يزور قبريهما، فهل هذا من العقوق؟

Apakah ziarah kubur kedua orang tua termasuk kebajikan [Birrul Walidain]?

Apakah boleh ditentukan waktunya?

Dan orang yang banyak berdoa untuk kedua orang tuanya namun dia tidak berziarah ke kuburan mereka berdua, apakah ini termasuk kedurhakaan pada keduanya?

JAWABAN Syeikh Asy-Syanqiiti:

زيارة القبور كقبور الوالدين والدعاء والاستغفار لهما، ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه استأذن ربه في زيارة قبر والدته فأذن له، فلا حرج أن يزور الإنسان قبر والده ويسلم عليه؛ لأنه إذا زار قبر والده كان أدعى أن يترحم عليه وأن يحسن إليه بالدعاء الصالح، ولا شك أن الدعاء له وهو غائب ليس كدعائه وهو واقفٌ على قبره يتذكر إحسانه وفضائله.

وهكذا إذا زار قبر الوالدة ووقف عليها، وتذكر ما لها من الحسنات والفضائل، وما كان لها عليه من الفضل، وترحم عليها واستغفر لها؛ فإن هذا له أثر كبير في النفس، ويكون الدعاء فيه بقلب أكثر خشوعاً وأكثر تأثراً.

فلا حرج أن يزور الإنسان قبر والده ووالدته ويسلم عليهما ويدعو ويستغفر لهما ويترحم عليهما وهو من البر؛ لما فيه من الاشتمال على الدعاء والاستغفار والترحم، وقد عدّ النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء للوالدين والاستغفار لهما من البر، 

وفي الحديث: (يا رسول الله! هل بقي من بري لوالدي شيء أبرهما به بعد موتهما؟ قال: نعم: الصلاة عليهما، والاستغفار لهما، وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما).

وقوله: (الصلاة عليهما) لا شك أن الدعاء عند وقوفه على القبر أبلغ تأثراً، وأبلغ حضوراً للقلب واستشعاراً لحاجة الميت للدعاء، بخلاف ما إذا ذكره وهو بعيدٌ عن قبره، فلا حرج إذا زار أو خص قبر الوالد والوالدة بالزيارة والسلام عليه والدعاء له، وهو إن شاء الله مأجورٌ على ذلك والله تعالى أعلم

Ziarah Kubur seperti kuburan kedua orang tua serta berdo'a dan memohon ampunan bagi keduanya, maka itu telah ada ketetapan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah meminta izin kepada Tuhan-nya untuk berziarah ke makam ibunya, dan Dia memberinya izin. Maka tidak mengapa seseorang berziarah ke makam ayahnya dan mengicapkan salam padanya; Karena jika dia berziarah langsung ke makam ayahnya, dia akan lebih serius dalam berdoa agar Allah merahmatinya, dan dia akan berusaha sebaik mungkin dalam mendoakan kabaikan untuknya. Dan tidak diragukan lagi bahwa doa dia untuknya saat dia tidak hadir di makamnya tidak sama dengan doa dia yang sambil berdiri di depan kuburannya, sambil mengingat-ingat kebaikan-kebaikan ayahnya dan keutamaan-keutamaannya.

Demikian pula, jika dia berziarah ke kuburan ibunya dan berdiri menghadapnya, dan mengingat-ingat perbuatan baik dan keutamaannya, dan kebajikan yang pernah dia berikan padanya, memohonkan rahmat untuknya dan memohon ampunan untuknya ; Maka ini berdampak besar pada jiwa, dan berdoa di sisinya dilakukan dengan hati yang lebih khusyu' dan lebih tersentuh.

Tidak mengapa seseorang ziarah ke kuburan ayah dan ibunya, mengucapkan salam pada keudanya, berdoa, memohon ampunan untuk keduanya, dan memohonkan rahmat untuk keduanya, dan ini termasuk bakti kepada orang tua. Karena di dalamnya terdapat amalan berdoa, memohonkan ampunan dan memohonkan rahmat. Dan Nabi SAW menganggap doa untuk kedua orang tua dan memohonkan ampunan untuk mereka berdua sebagai amalan bakti kepada orang tua [Birrul Walidain].

Dalam sebuah hadits di sebutkan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا».

“Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?”

Nabi SAW menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Caranya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak terjalin (terputus) dan memuliakan teman dekat keduanya.”

(HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Al-Hakim menshahihkannya, dan Al-Dhahabi setuju dengannya. Dan di Shahihkan pula oleh Ibnu Hibbaan.

Dan sabdanya: (Berdoa untuka mereka berdua) Tidak diragukan lagi bahwa doa sambil berdiri di depan kuburan itu lebih tersentuh, dan lebih kuat rasa kehadiran hati dan kesadaran akan kebutuhan orang mati pada doa anaknya, tidak seperti ketika dia mengingat-ingatnya saat dia jauh dari kuburnya, maka tidaklah mengapa jika dia berziarah atau mengkhususkan waktu ke makam ayah dan ibu untuk berziarah dan berdoa untuknya. Wallahu a'lam.

*****

VIII. SHAHIHKAH HADITS ANJURAN ZIARAH KUBUR ORANG TUA SETIAP JUM'AT?

Ada beberapa hadits Nabi SAW yang menganjurkan umat nya untuk berbakti kepada kedua orang tunya dengan cara melakukan ziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satu-nya yang sudah wafat, setiap hari jum'at sekali.

Namun apakah hadits-hadits itu shahih? Berikut ini pembahasannya:

HADITS PERTAMA:Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. seacara marfu’ dari Nabi SAW:

مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدِيهِ

‘Siapa saja yang menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada setiap Jumat sekali, niscaya Allah mengampuninya dan ia tercatat sebagai anak yang berbakti kepada keduanya,’”

(Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cet ke1. (2/573)).

Lafadz lain:

مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فيِ كُلَّ جُمُعَةٍ؛ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بِرًّا

“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”

DERAJAT HADITS: PALSU [مَوْضُوْع]

Syaikh al-Albani berkata: hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (2/228), dari jalur Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara Marfu’.

‘Illat hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali. Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata, “Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim), Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat yang ditinggalkan (Matruk).”

Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang Dha’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai pembohong.

Imam Ahmad berkata: “Ia seorang pembohong, suka memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibnu ‘Adiy

‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah Idhthiraab (labil dalam periwayatannya).

Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu keduanya meninggal dunia, lantas ia datang ke kuburannya setiap malam.

Abu Hatim berkata: “Sanad hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar, sepertinya ia hadits PALSU [مَوْضُوْع]’.”

HADITS KEDUA: Dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa Nabi SAW bersabda:

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ، فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ (يس)؛ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ

“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya setiap hari Jum’at, lalu membaca (surat Yaasiin) di sisi keduanya, niscaya diampuni baginya sebanyak bilangan setiap ayat atau huruf”.

[HR. Ibnu Adiy, dalam "Al-Kamil fi Al-Du’afa" 5/180. Dan Ibnu Al-Jawzi memasukkannya dalam "Al-Mawdhuu’at [kumpulan hadits Palsu] 3/239. Dan lihat pula: Al-Fath Al-Kabir oleh Al-Nabhani 3/195].

Dalam riwayat lain:

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ أَوْ أَحَدِهِمَا فَقَرَأَ عِنْدَهُ يَس وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ ذَلِكَ آيَةً وَحَرْفًا

‘Siapa saja yang menziarahi (makam) kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya setiap Jumat, lalu membaca di dekatnya "يَس وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ", maka diampuni baginya dosa sebanyak ayat dan huruf [yang dibaca].

[(Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan ke1, 2/573)].

DERAJAT HADITS: PALSU [مَوْضُوْع]’.

Syaikh al-Albani berkata: hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (1/286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (2/344-345), Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (2/91) dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’.

Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah Ibnu al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’, bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).”

‘Illat hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Ibnu ‘Adiy dan ad-Daruquthni.

Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid) sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan PALSU [مَوْضُوْع]’, tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan ‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam artikel ini) yang juga adalah hadits PALSU [مَوْضُوْع]’ sehingga tidak layak menjadi Syahid. Karena ada dua alasan:

Pertama: karena secara makna keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak.

Kedua: seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’ ash-Shaghir bahwa Ibnu al-Jawzi telah menilai hadits itu PALSU [مَوْضُوْع]’ namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya PALSU [مَوْضُوْع]’, bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun.

Syaikh al-Albani berkata: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca al-Qur’an di sisi kuburan, tetapi kenyataannya di dalam sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu, bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan mengingat akhirat. Itu saja!

Dan seperti inilah amalan para ulama Salaf ash-Shalih".

HADITS KE TIGA: Dari Abu Muqatil Al-Samarqandi, Dari Abdullah Bin Umar, Dari Nafi', Dari Ibnu Umar, Dari Rasulullah SAW, bersabda:

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ كَحَجَّةٍ

“Siapa saja yang menziarahi (makam) kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada hari Jumat, maka itu bernilai ibadah haji”. [HR. Ibnu 'Adiy dalam al-Kaamil 2/393]

(Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cet ke1. (2/573)).

DERAJAT HADITS: PALSU [مَوْضُوْع].

هذا الحديث رواه الطبراني في معجميه الصغير والاوسط والحكيم في النوادر وابن ابي الدنيا في زيارة القبور بألفاظ مختلفة. ولا يصح منها شيء وقد حكم عليها الشيخ الالباني ــ رحمه الله ـ بالوضع

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tabarani dalam al-Mu'jam al-Saghir dan al-Mu'jam al-Awsat, al-Hakim dalam al-Nawaadir, dan Ibnu Abi al-Dunya dalam Ziayarot al-Qubuur dengan lafadz yang berbeda-beda. Namun tidak ada satu pun dari riwaya-riwayat tsb yang shahih dan valid, dan Syekh Al-Albani - rahimahullah - menilai nya PALSU. [Baca: أرشيف ملتقى أهل الحديث 64/218].

Ibnu al-Jauzi menyebutkannya dalam "al-Mawdhu'aat [kumpulan hadits palsu]" 3/239-240 dan dia mengatakan:

قال أبو حاتم بن حبان: ليس لهذا الحديث أصل يرجع إليه، وحفص يأتي بالأشياء المنكرة، وقال ابن مهدي: لا تحل الرواية عنه. قال المصنف قلت: حفص هو اسم أبى مقاتل.

Abu Hatim bin Hibban berkata: Hadits ini tidak memiliki dasar untuk dirujuk, dan Hafash biasa membawa hadits-hadits yang munkarah. Dan Ibnu Mahdi berkata: Tidak boleh meriwayatkan darinya. Penulis kitab berkata: Aku berkata: Hafash adalah nama Abu Muqootil.

*****

IX. SHAHIHKAH HADITS ANJURAN BACA AL-QURAN DI KUBURAN, MESKI BUKAN KUBURAN ORANG TUA?.

HADITS PERTAMA:

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: 

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ

"Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah ditahan-tahan, segeralah dimakamkan!. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya"

(HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449)

DERAJAT HADITS:

Al-Baihaqi mengatakan dalam Syu'ab al-Iman: " وإسناده حسنٌ " artinya: " Dan Sanadnya Hasan".

Al-Hafidz Ibnu Hajar Berkata:

فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ”.

"Maka janganlah ditahan-tahan, segeralah dimakamkan " di riwayatkan al-Thabrani dengan sanad yang hasan". (Fath al-Bari 3/184)

BANTAHAN:

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tabaraani dalam al-Mu'jam al-Kabiir (13613) dan al-Bayhaqi dalam asy-Syu'ab (8854):

من طريق يَحْيَى بْن عَبْدِ اللهِ الْبَابْلُتِّيّ، ثنا أَيُّوبُ بْنُ نَهِيكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:....

Melalui jalur Yahya ibn 'Abdillah al-Baabluttiyy: Ayyuub ibn Nahiik mengatakan kepada kami: Saya mendengar 'Athaa' ibn Abi Rabaah berkata: Saya mendengar Ibnu 'Umar berkata: Nabi SAW bersabda: …… dst.

Ini adalah isnad yang waahin (lemah lunglai). Ayyoob ibn Naheek digolongkan sebagai dha'iif (lemah) oleh Abu Haatim dan lainnya. Al-Azdi berkata: Dia matrook (ditolak). [Mizaan al-I'tidaal (1/294)].

Syeikh al-Albaani berkata dalam Ahkaam al-Janaaiz hal. 13:

وهذا سند ضعيف وله علتان:

الأول: البابلتي - ضعيف كما قال الحافظ في " التقريب”.

الثانية: شيخه أيوب بن نهيك، فإنه أشد ضعفا منه، ضعفه أبو حاتم وغيره، وقال الأزدي: متروك.

وقال أبو زرعة: منكر الحديث. وساق له الحافظ في " اللسان " حديثا آخر ظاهر النكاره من طريق يحيى بن عبد الله ثنا أيوب

عن مجاهد عن ابن عمر مرفوعا.

ثم قال: " ويحي ضعيف، لكنه لا يحتمل هذا " ثم قال: فإذا عرفت هذا فالعجب من الحافظ حيث قال في " الفتح " (3 / 143) في حديث الطبراني هذا: " إسناده حسن "! ونقله عنه الشوكاني في " نيل الأوطار " (3 / 309) وأقره!

Ini adalah sanad yang lemah dan baginya terdapat dua ilat:

Yang pertama: al-Baabluttiyy - lemah, seperti yang dikatakan al-Hafiz dalam “al-Taqriib.”

Kedua: Syekhnya, yaitu Ayoub bin Nahik, maka sesungguhnya dia lebih parah lemahnya darinya. Abu Hatim dan lainnya mengklasifikasikannya sebagai orang yang lemah, dan Al-Azdi berkata: Matruuk [ditolak riwayat haditsnya].

Abu Zur'ah berkata: Munkar hadits. Dan al-Hafiz menyebutkan riwayat hadits lain dalam kitab "al-Lisaan", yang dengan jelas menunjukkan ke-nakarahan-nya, melalui jalur Yahya bin Abdullah: memberi tahu kami Ayyub dari Mujahid dari Ibnu Umar dari Nabi SAW.

Kemudian dia berkata: “Yahya lemah, tapi dia tidak memungkinkan.” Kemudian dia berkata: Jika Anda mengetahui hal ini, maka yang mengejutkan adalah bahwa Hafiz mengatakan dalam “Al-Fath” (3/143) dalam hadits Al- Tabarani: “Sanad-nya HASAN”!. Al-Shawkani mengutip darinya dalam kitab “Nayl Al-Awthaar” (3/309) dan menyetujuinya bahwa itu hadits Hasan!

Mengenai al-Baabluttiyy:

"قال ابن أبي حاتم: يأتي عن الثقات بأشياء معضلة ، يهم فيها ، فهو ساقط الاحتجاج فيما انفرد به ، وقال ابن عدي: أثر الضعف على حديثه بيّن".

“Ibnu Abi Haatim berkata: Dia meriwayatkan riwayat-riwayat bermasalah dari perawi-perawi yang dapat dipercaya di mana dia tampak bingung, sehingga riwayat-riwayat yang dia adalah satu-satunya perawi tidak boleh dikutip sebagai bukti. Ibn 'Adiyy berkata: Dampak kelemahan pada hadisnya jelas". [Tahdziib at-Tahdziib (11/211).

Al-Haytsami mengatakan dalam al-Majma' 3/44:

"وفيه يحيى بن عبد الله البابلتي، وهو ضعيف"

"Di dalam sanadnya ada Yahya bin Abdullah Al-Baabluttiy, dan dia lemah "

Di dhaifkan oleh Syeikh Al-Albaani dalam al-Misykaat no. 25 dan dia mengatakan dalam adh-Dha'iifah (4140):

"حديث ضعيف جدا".

Sebuah hadits yang sangat lemah (da'eef jiddan).

Untuk informasi lebih luas, silakan lihat Ahkaam al-Janaa'iz (1/192).

HADITS KE 2:

Dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ dari bapaknya, bahwa:

"قَالَ لِي أَبِي يَا بَنِيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي فَقُلْ بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سِنًّا ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ ذَلِكَ".

“Bapakku berkata kepadaku: Wahai anak-anakku Jika aku mati, maka buatkan liang lahat untukku. Setelah engkau masukkan aku ke liang lahat, bacalah: Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah. Kemudian ratakanlah tanah kubur perlahan, lalu bacalah di dekat kepalaku permulaan dan penutup surat al-Baqarah. Sebab aku mendengar Rasulullah bersabda demikian” (HR al-Thabrani No. 491).

DERAJAT HADITS:

Al-Haytsami menyebutkannya dalam "Al-Majma'" (3/44) dan berkata:

"رجاله موثقون"

"Para perawinya dapat dipercaya."

Syekh Abdullah Al-Ghumari berkata dalam artikelnya: “إتقان الصنعة” (hal. 110), mengomentari ucapan Al-Haythami “موثقون” dan menjadikannya sandaran:

"قلت: فإسناده حسن!".

“Saya berkata: Sanadnya Hasan!”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam “Al-Talkhish” (2/130) namun dia diam tentangnya

BANTAHAN:

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabeer (491):

من طريق عَبْد الرَّحْمَنِ بْن الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ لِي أَبِي:...

Melalui Jalur 'Abd ar-Rahmaan ibn al-'Alaa' ibn al-Lajlaaj, dari ayahnya yang berkata: Ayahku berkata kepadaku:.....

Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi (7068), oleh al-Khallaal dalam al-Amr bi'l-Ma'ruuf wa'n-Nahyi 'an al-Munkar (hal. 87), dan oleh ad-Daynuuri dalam al- Mujaalasah (757) sebagai berikut:

“إِذَا أَنَا مُتُّ، فَضَعْنِي فِي اللَّحْدِ، وَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَسُنَّ عَلَيَّ التُّرَابَ سَنًّا، وَاقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَأَوَّلِ الْبَقَرَةِ، وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ هَذَا”.

Ketika aku meninggal, maka tempatkan aku di lahd (ceruk kubur) dan katakan: Dengan nama Allah dan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Kemudian ratakan aku dengan tanah, lalu bacakan di kepalaku Pembukaan Kitab (al-Fatihah), dan awal dan akhir al-Baqarah, karena aku mendengar 'Abdullah ibn 'Umar mengatakan itu.

Riwayat kedua ini dari 'Abdullah ibn 'Umar dengan sanad Mawquuf kepadanya, tidak Marfu' dari Nabi SAW.

Ini adalah Sanad yang dha'if (lemah). Karena 'Abdur-Rahmaan ibn al-'Alaa' ibn al-Lajlaaj adalah majhul (tidak diketahui, siapa dia). Adz-Dhahabi berkata dalam al-Mizaan (2/579):

“ما روى عنه سوى مبشر بن إسماعيل " انتهى

“Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Mubashshir ibn Ismail". [Kutipan Selesai].

Mereka yang menerima Atsar ini karena mereka mengandalkan TAUTSIQ Ibnu Hibbaan terhadap 'Abd ar-Rahmaan ini sebagai perawi yang tsiqah (dapat dipercaya), tetapi Ibnu Hibbaan ini masyhur dan terkenal terlalu lunak dalam menetapkan ketsiqohan perawi, sehingga dia kadang memasukkan dalam kitab ats-Tsiqqot [Kitab kumpulan para perawi Tsiqot] seorang perawi yang dia sendiri menyatakan dengan jelas bahwa dirinya tidak tahu siapa dia atau siapa ayahnya?. 

Oleh karena itu al-Hafidz mengatakan dalam biografinya tentang 'Abd ar-Rahmaan ini dalam at-Taqriib (hal. 348): " Maqbuul " yakni riwayat-riwayatnya boleh diterima jika ada riwayat-riwayat lain yang bisa menguatkannya, jika tidak ada ; maka riwayatnya dianggap sebagai layyin (semacam hadis dhaif), sebagaimana disebutkan dalam "al-Muqaddimah". [Baca: al-Jaami' al-Kaamil oleh adh-Dhiyaa' 4/270]

Adh-Dhiyaa berkata:

"ذكر عبد الرحمن بن العلاء في "الثقات" ولم يسبق له توثيق من أحد، ولم يذكر المزي من الرواة عنه سوى مبشر بن إسماعيل الحلبي، وأكَّد ذلك الذهبي في "الميزان" فهو مجهول."

“Ibnu Hibban menyebutkan Abd al-Rahman ibn al-Ala' dalam kitab ats-Tsiqat, dan dia sebelumnya tidak ada seorang pun yang mentautsiqnya, dan al-Mizzi tidak pernah menyebutkan dari kalangan para perawi yang meriwayatkan darinya kecuali Mubashir ibn Ismail al-Halabi. Dan adz-Dzahabi mengkonfirmasi dalam "al-Miazan": bahwa dia itu tidak dikenal [Majhul]. [Baca: al-Jaami' al-Kaamil oleh adh-Dhiyaa' 4/270]

Abu Mu'adz Al-Hadhrami al-Atsari dalam artikel "حكم قراءة القراءن في المقاب [منتديات كل السلفيين] berkata:

وقول الهيثمي في "المجمع" (3/ 44):"رواه الطبراني في "الكبير"، ورجاله موثقون". فهو مما لا ينافيه، بل هو يشير إلى جهالته؛ لأن "موثقون" غير "ثقات" عند من يفهم الهيثمي واصطلاحه، وهو يعني أن بعض رواته توثيقه لين، وهو يقول هذا في الغالب فيما تفرد بتوثيقه ابن حبان، ولا يكون روى عنه إلا راو واحد، وهذا هو الواقع في عبد الرحمن هذا كما هو مبين هناك، وقد جهل هذه الحقيقة بعض أهل الأهواء".

Dan perkataan Al-Haythami dalam "Al-Majma" (3/44):

"Itu diriwayatkan oleh Al-Tabarani di Al-Kabiir, dan orang-orangnya dapat dipercaya."

Ini adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengannya, bahkan itu menunjukkan ketidak tahuannya. Karena kata “موثقون” bukanlah “ ثقات [Orang-orang dipercaya]” menurut mereka yang memahami al-Haytsami dan terminologinya. Ini berarti bahwa sebagian para perawinya ada yang LAYYIN dalam pen-thautsiq-kannya, dan dia mengatakan ini pada sebagian besar yang Ibnu Hibban sendirian dalam men-tautsiq-nya, dan hanya satu perawi yang meriwayatkan darinya. Dan inilah realitas yang terjadi pada Abdur-Rahman ini seperti yang dijelaskan di sana. Dan sebagian orang-orang ahlul Ahwaa tidak mengetahui dan jahil pada fakta ini". [SELESAI]

Sementara riwayat yang shahih dari Ibnu 'Umar adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1046):

من طريق نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُدْخِلَ المَيِّتُ القَبْرَ، قَالَ: (بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ، وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ)

Melalui Jalur Naafi', dari Ibn 'Umar, yang menurutnya Nabi SAW biasa berkata: ketika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburan: "Bismillah wa billah wa 'ala millati Rasuilillah (Dengan nama Allah, dengan bantuan Allah, dan sesuai dengan agama Rasulullah)."

Setelah itu at-Tirmidzi berkata:

“هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الوَجْهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَوَاهُ أَبُو الصِّدِّيقِ النَّاجِيُّ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الصِّدِّيقِ النَّاجِيِّ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا أَيْضًا " انتهى.

Hadits ini hasan ghariib dengan isnad ini. Hadits ini diriwayatkan dengan isnad lain dari Ibnu 'Umar, dari Nabi SAW. Dan diriwayatkan oleh Abu's-Siddiiq an-Naaji, dari Ibnu 'Umar, dari Nabi SAW. Dan juga diriwayatkan dari Abu's-Siddeeq an-Naaji, dari Ibnu 'Umar, dalam sebuah riwayat yang mawquf sanadnya. [Akhiri kutipan].

Hadits yang ini digolongkan sebagai hadits shahih oleh al-Albaani di Shahih at-Tirmidzi.

HADITS KE TIGA:

Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

"‌مَنْ ‌دَخَلَ ‌المَقَابِرَ ‌فَقَرأَ ‌سُورَةَ ‌يَس ‌خُفِّفَ ‌عَنْهُمْ ‌يَوْمَئِذٍ، ‌وَكَانَ ‌لَهُ ‌بِعَدَدِ ‌مَنْ ‌فِيهَا ‌حَسَنَاتٌ"

“Barangsiapa yang masuk pekuburuan kemudian membaca surah Yasiin niscaya diringankan (siksanya) dari mereka seketika itu, dan bagi pembacanya ada kebaikan sebanyak penghuni qubur itu”.

[HR. Ats-Tsa'labi dalam Tafsirnya الكشف والبيان عن تفسير القرآن 8/119 dengan sanadnya:

أخبرني الحسين بن محمد الثقفي قال: حدّثنا الفضل بن الفضل الكندي قال: حدّثنا حمزة بن الحسين بن عمر البغدادي قال: حدّثنا محمد بن أحمد الرياحي قال: حدّثنا أبي قال: حدّثنا أيوب بن مدرك عن أبي عبيدة عن الحسن عن أنس بن مالك عن النبي صلّى الله عليه وسلم قال:......

DERAJAT HADITS: adalah PALSU:

Syeikh al-Albaani berkata:

قلت: وهذا إسناد مظلم هالك مسلسل بالعلل:

الأولى: أبو عبيدة. قال ابن معين: " مجهول”.

الثانية: أيوب بن مدرك متفق على ضعفه وتركه، بل قال ابن معين: " كذاب”. وفي رواية: " كان يكذب”. وقال ابن حبان

“روى عن مكحول نسخة موضوعة، ولم يره "!. قلت: فهو آفة هذا الحديث.

الثالثة: أحمد الرياحي، وهو أحمد بن يزيد بن دينار أبو العوام، قال البيهقي: " مجهول”. كما في " اللسان”. وأما ابنه محمد، فصدوق له ترجمة في " تاريخ بغداد " (1/372).

Saya katakan: Ini adalah sanad yang gelap gukita dan hancur lebur, di dalamnya terdapat ilat [penyakit] yang berantai:

Yang pertama: " Abu Ubaidah". Ibnu Ma'inn berkata tentang dia: "Majhul [Tidak diketahui]".

Yang kedua: "Ayub bin Mudrik", disepakati akan kelemahannya dan riwayatnya ditinggalkan, bahkan Ibnu Ma'in berkata: "Pendusta." Dan dalam riwayat lain: "Dia biasa berbohong."

Ibnu Hibban berkata: Dia meriwayatkan dari Makhuul, sebuah nuskhoh [salinan] palsu, dan dia tidak pernah melihatnya!

Saya [Al-Albaani[katakan: " Dia adalah sumber penyakit hadits ini". [Selesai]

[Lihat: Silsilat al-Ahaadiits al-Dha’iifah" oleh Al-Albani 3/ 397 (1246). Lihat pula: perkataan Al-Albani dalam "Al-Aayaat Al-Bayyinaat" (hal. 93)]

Al-Hafidz as-Sakhawi mengatakan dalam "al-Fatawa al-Haditsiyah" (Q 1/19):

“رواه أبو بكر عبد العزيز صاحب الخلال بإسناده عن أنس مرفوعا. كما في " جزء وصول القراءة إلى الميت " للشيخ محمد بن إبراهيم المقدسي، وقد ذكره القرطبي، وعزاه للطبراني عن أنس، إلا أنني لم أظفر به إلى الآن. وهو في " الشافي " لأبي بكر عبد العزيز صاحب الخلال الحنبلي كما عزاه إليه المقدسي، وأظنه لا يصح "

Diriwayatkan oleh Abu Bakr Abd al-Aziz, Sahabat al-Khalal, dengan sanadnya dari Anas secara marfu' dari Nabi SAW. Sebagaimana dalam " جزء وصول القراءة إلى الميت" karya Sheikh Muhammad ibn Ibrahim al-Maqdisi. Dan Al-Qurtubi menyebutkannya dan menukilnya dari al-Thabarani dari Anas, tetapi saya tidak menemukannya sampai sekarang. Dan itu ternyata ada di kitab asy-Syaafi' karya Abu Bakr Abdul Aziz, sahabat al-Khallal al- Hanbali, sebagaimana al-Maqdisi mengaitkannya dengannya, dan saya kira itu tidak Shahih”.

Lihat: Al-Mawdhuu'at oleh Ibnu Al-Jawzi (2/313), Al-Fawaid Al-Majmu'ah oleh Al-Shawkaani (942.979), Tafsir Majma' al-Bayaan 8/254.

HADITS KE EMPAT:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, berkata: Rosulullah SAW bersabda:

"مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ وَهْبَ أَجْرَهُ لِلْأَمْوَاتِ ، أُعْطِيَ مِنَ الْأَجْرِ بِعَدَدِ الْأَمْوَاتِ".

“Barangsiapa melewati pemakaman kemudian ia membaca surat Al-Ikhlas sebanyak sebelas kali yang pahalanya dihibahkan kepada semua orang yang sudah meninggal dunia di pemakaman tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak jumlah orang yang dimakamkan di pemakaman itu.”

  1. Al-Khollaal dalam " فضائل الإخلاص" dan lainya dengan sanad sbb:

عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ الطَّائِيِّ، حَدَّثَنِي أَبِي، حدثنا عَلِيُّ بْنُ مُوسَى، عَنْ أَبِيهِ مُوسَى، عَنْ أَبِيهِ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

Dari Abdullah bin Amir Al-Ta'i, ayah saya bercerita, Ali bin Musa memberi tahu kami, Dari ayahnya Musa, Dari ayahnya Ja'far, Dari ayahnya, Muhammad, Dari ayahnya, Ali, Dari ayahnya, al-Husein, Dari Ayahnya Ali bin Abi Thalib, berkata: Rosulullah SAW bersabda:....

DERAJAT HADITS: PALSU [مَوْضُوْع]:

Syeikh Al-Albani menilainya PALSU dalam “السلسة الضعيفة” (3/452). Begitu juga dalam Ahkaam al-Janaa'iz 1/193, dia berkata:

" فهو حديث باطل موضوع، رواه أبو محمد الحلال في (القراءة على القبور) (ق 201 / 2) والديلمي عن نسخة عبد الله بن أحمد بن عامر عن أبيه عن علي الرضا عن آبائه، وهي نسخة موضوعة باطلة لا تنفك عن وضع عبد الله هذا أو وضع أبيه، كما قال الذهبي في (الميزان) وتبعه الحافظ ابن حجر في (اللسان) ثم السيوطي في (ذيل الاحاديث الموضوعة)، وذكر له هذا الحديث وتبعه ابن عراق في (تنزيه الشريعة المرفوعة، عن الاحاديث الشيعة الموضوعة)".

Ini adalah hadits BATHIL DAN PALSU. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Khollal dalam (القراءة على القبور) (q 201/2) dan al-Dailami nuskhoh [manuscrift] Abdullah bin Ahmad bin 'Aamir Dari ayahnya, Dari Ali al-Ridha, Dari bapak-bapaknya, dan itu adalah nuskhoh [salinan manuscrift] palsu yang dibuat-buat yang tidak bisa lepas dari pemalsuan yang dilakukan Abdullah ini atau pemalsuan ayahnya. Seperti yang dikatakan adz-Dzahabi dalam (Al-Miizaan), dan Al-Hafidz Ibnu Hajar mengikutinya dalam (Al-Lisaan), kemudian As-Suyuthi dalam (ذيل الاحاديث الموضوعة), dan hadits ini disebutkan baginya, dan Ibnu 'Iraaq mengikutinya dalam (تنزيه الشريعة المرفوعة، عن الاحاديث الشيعة الموضوعة)”.

Adz-Dzahabi berkata:

"عبد الله بن أحمد بن عامر، عن أبيه، عن علي الرضا، عن آبائه بتلك النسخة الموضوعة الباطلة، ما تنفك عن وضعه أو وضع أبيه. قال الحسن بن علي الزهري: كان أميا لم يكن بالمرضي”.

“Abdullah bin Ahmad bin Aamir, dari ayahnya, dari Ali al-Ridha, dari bapak-bapaknya, dengan nuskhoh [salinan manuscrift] palsu, yang tidak bisa terpisahkan dari pemalsuan dia atau pemalsuan ayahnya. Az-Zuhri berkata: Dia buta huruf dan dia bukan orang yang ridhoi riwayatnya..”. [Akhir kutipan dari Mizan al-I'tidal 2 / 390 no. 4200].

As-Sakhowi berkata:

“لكن عبد الله وأبوه كذابان، ولو أن لهذا الحديث أصلا ، لكان حجة في موضع النزاع ، ولارتفع الخلاف”.

Akan tetapi Abdullah dan bapaknya, dua duanya adalah pendusta, dan seandainya hadits ini ada asalnya, maka hal itu akan menjadi hujjah dalam masalah yang diperselisihkan ini, dan perselisihan itu akan menjadi hilang dengannya. [Akhir kutipan dari al-Ajwibah al-Murdhiyyah (1/170)].

HADITS KE LIMA:

Hadits Abu Hurairah mengatakan: Rasulullah, SAW, mengatakan: 

“من دخل الْمَقَابِر ثمَّ قَرَأَ فَاتِحَة الْكتاب، و (قل هُوَ الله أحد)، و (أَلْهَاكُم التَّكَاثُرُ)، ثمَّ: اللَّهُمَّ إِنِّي جعلت ثَوَاب مَا قَرَأت من كلامك لأهل الْمَقَابِر من الْمُؤمنِينَ وَالْمُؤْمِنَات ؛ كَانُوا شُفَعَاء لَهُ إِلَى الله تَعَالَى.

“Siapa pun yang masuk tempat pemakaman dan kemudian membaca surat al-Fatihah, dan surat (قل هُوَ الله أحد), dan (أَلْهَاكُم التَّكَاثُرُ), kemudian dia mengucapkan doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي جعلت ثَوَاب مَا قَرَأت من كلامك لأهل الْمَقَابِر من الْمُؤمنِينَ وَالْمُؤْمِنَات

Ya Allah, saya telah menjadikan pahala dari apa yang saya baca dari firman Engkau untuk para penghuni pemakaman ini dari kalangan orang-orang beriman baik pria maupun dan wanita.

Maka mereka menjadi syafaatnya kepada Allah Ta'aala".

TAKHRIJ HADITS:

Diriwayatkan oleh Abu Al-Qasim Al-Zanjani dalam “Al-Muntaqa min Fawa'id Al-Zanjaani” (58), dari Ahmad bin Sa'id Al-Akhmaimii, telah menceritakan pada kami dari hafalannya Abu Al-Tayyib Imran bin Musa Al-Asqalani, telah memberi tahu kami Al-Mu'ammal bin Ihab, telah memberi tahu kami Abd Al-Razzaq, telah memberi tahu saya Muammar, dari Al-Zuhri, dari Sa'id bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah.

Lihat pula: شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور oleh as-Suyuthi hal. 303]

DERAJAT HADITS: TIDAK SHAHIH

Penyataan al-Mubarakpuri tentang derajat hadits ini sangat bagus:

"الحديث المنكر والباطل لا يمكنن تصححيه بتعدد طرقه".

"Hadits yang munkar dan bathil tidak dapat diperbaiki dengan berbagai macam cara”.

Dan Ahmad bin Sa'iid Al-Ikhmaimi, tertuduh pembohong, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata tentang dia:

“أحمد بن سعيد بن فرضخ الإخميمي المصري. قال الدارقطني: روى عن القاسم بن عبد الله بن مهدي، عَن عَلِيّ بن أحمد بن سهل الأنصاري، عن عيسى بن يونس، عن مالك، عَن الزُّهْرِيّ، عن سعيد بن المُسَيَّب، عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه، عن النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أحاديث في ثواب المجاهدين والمرابطين والشهداء، موضوعة كلها ، وكذب لا تحل روايتها، والحمل فيها على ابن فرضخ فهو المتهم بها، فإنه كان يركب الأسانيد ويضع عليها أحاديث "

Ahmad bin Sa'iid bin Fardhokh Al-Ikhamimi Al-Masry.

Al-Daraqutni berkata: Dia meriwayatkan dari Al-Qasim Bin Abdullah Bin Mahdi, dari Ali Bin Ahmad Bin Sahl Al-Ansari, dari Issa Bin Yunus, dari Malik, dari Al-Zuhri, dari Sa'iid Bin Al-Musayyib, dari Umar Bin Al-Khattab, dari Nabi SAW hadits-hadits tentang pahala para mujahid, para murobith dan para syuhada yang semuanya adalah palsu dan dusta, tidak halal untuk meriwayatkannya dan menceritakannya.

Dan yang yang harus bertanggung jawab adalah Ibnu Fardhokh, karena dia adalah orang yang terduduh itu, karena dia biasa menyusun sanad-sanad riwayat lalu meletakkan hadits-hadits di atasnya". [Akhir kutipan dari Lisan al-Mizan (1/472)].

Sementara Imran bin Musa Al-Asqalani, kami tidak menemukan biografi nya.

HADITS KE ENAM:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah, SAW, bersabda:

أَلَا يَسْتَطِيعُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ أَلْفَ آيَةٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ؟ قَالُوا: وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَمَا يَسْتَطِيعُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ".

“Adakah salah seorang di antara kalian yang bisa membaca seribu ayat dalam setiap harinya?" 

Mereka berkata: Siapa yang bisa melakukan itu?

Beliau SAW bersabda: " Adapun salah seorang diantara kalian yang yang mampu adalah yang membaca { أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ }".

[Imam al-Hakim dalam al-Mustarak 1/566-567 meriwatkannya dengan sanad sbb:

أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَغْدَادِيُّ، حدثنا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْقَلَانِسِيُّ بِمِصْرَ، حدثنا دَاوُدُ بْنُ الرَّبِيعِ، حدثنا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

Abu Jaafar Muhammad bin Muhammad bin Abdullah al-Baghdadi telah memberi tahu kami, Jaafar bin Muhammad al-Qalasi telah memberi tahu kami di Mesir, Dawud bin Al-Rabi’ memberi tahu kami, Hafs bin Maysarah memberi tahu kami, dari Uqbah bin Muhammad bin Uqbah, dari Nafi’, Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah, SAW, bersabda:.....

DERAJAT HADITS:

Al-Hakim berkata: 

“رُوَاةُ هَذَا الْحَدِيثِ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ، وَعُقْبَةُ هَذَا غَيْرُ مَشْهُورٍ"

“Para perawi hadits ini semuanya dapat dipercaya, dan Uqbah ini tidak masyhur”. Al-Dhahabi setuju dengannya.

Al-Mundhiri berkata:

"ورجال إسناده ثقات؛ إلا أن عقبة لا أعرفه”.

“Dan para perawi sanadnya dapat dipercaya, kecuali Uqbah aku tidak mengenalnya.”

Hadits dinyatakan lemah oleh Syekh Al-Albani dalam “Dha'iif Al-Targhiib wa’l-Tarhiib” (1/446 no. 891).

*****

ATSAR SAHABAT:

Membaca al-Quran di kuburan di masa sahabat:

Abdur-Razzaaq meriwayatkan dalam al-Mushannaf no. 6043, dia berkata:

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: حُدِّثْتُ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ قَالَ: " احْضُرُوا مَوْتَاكُمْ، فَأَلْزِمُوهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَغْمِضُوا أَعْيُنَهُمْ، وَاقْرَءُوا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ”. اهـ 

Dari Ibnu Jureij, dia berkata: Telah diceritakan padaku, dari Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

Datangilah orang yang akan meninggal, bacakan mereka Lailaha illallah, pejamkan matanya jika mereka meninggal, dan bacakan al-Quran di dekatnya”

(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq 3/386 No. 6043 dan Ibnu Abi Syaibah 2/448 No. 10882)

PALSU. Sanadnya nampak sekali sangat lemah. Karena perawi antara Ibnu Juraij dan Umar tidak jelas karena tidak disebutkan namanya sama sekali. Ibnu Juraij hanya mengatakan: حُدِّثْتُ artinya: " aku telah diberi tahu ", yang memberi tahunya tidak disebutkan, siapa namanya?


ATSAR PARA SAHABAT AL-ANSHAR:

Al-Khollaal menyebutkan dari Syu’bi:

"كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ".

Bahwa sahabat Anshar jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka bergantian ke kuburnya membaca al-Quran” (Ibnu Qayyim, al-Ruh: 11)

Syeikh al-Albaani berkata dalam Ahkaam al-Janaaiz 1/193:

فنحن في شك من ثبوت ذلك عن الشعبي بهذا اللفظ خاصة، فقد رأيت السيوطي قد أورده في (شرح الصدور) (ص 15) بلفظ: (كانت الانصار يقرؤون عند الميت سورة البقرة).

قال: (رواه ابن أبي شيبة والمروزي) أورده في (باب ما يقول الانسان في مرض الموت، وما يقرأ عنده).

ثم رأيته في (المصنف) لابن أبى شيبة (4 / 74) وترجم له بقوله: (باب ما يقال عند المريض إذا حضر)”.

فتبين أن في سنده مجالدا وهو ابن سعيد قال الحافظ في (التقريب): (ليس بالقوي، وقد تغيير في آخر عمره).

فظهر بهذا أن الاثر ليس في القراءة عند القبر بل عند الاحتضار، ثم هو على ذلك ضعيف الإسناد.

Kami ragu apakah ini benar terbukti dari Asy-Sya’bi dengan lafadz ini secara khusus, seperti yang saya lihat Al-Suyuti menyebutkannya dalam (Syarh Ash-Shuduur) (hal. 15) dengan lafadz:

كَانَت ‌الْأَنْصَار ‌يقرؤون ‌عِنْد ‌الْمَيِّت ‌سُورَة ‌الْبَقَرَة

(Orang-orang Anshar biasa membaca Surat Al-Baqarah disisi mayit).

Dia berkata: (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah dan Al-Marwazi) dan dia memasukkannya ke dalam:

(باب: ما يقول الانسان في مرض الموت، وما يقرأ عنده)

(BAB: tentang apa yang dikatakan seseorang selama sakit menjelang kematian, dan apa yang dia baca bersamanya).

Kemudian saya melihatnya di (Al-Musannaf) karya Ibnu Abi Shaybah (4/74) dan dia menuliskan BAB dengan judul:

(باب ما يقال عند المريض إذا حضر)

(Bab apa yang dikatakan di depan orang sakit ketika dia sedang sakaratul maut).

Maka menjadi jelas bahwa dalam sanadnya ada seorang yang bernama Mujaalid, dan dia adalah Ibnu Sa'iid.

Al-Hafidz berkata dalam (al-Taqriib): (Dia tidak kuat, dan dia berubah hafalannya di akhir hayatnya).

Maka dengan ini semua semakin nampak bahwa: Atsar ini bukan pada membaca al-Quran di kuburan, melainkan pada seseorang menjelang wafatnya. Dan ditambah lagi Sanad atsar ini lemah”.


ATSAR IBNU UMAR DAN ATSAR IMAM AHMAD BIN HANBAL:

Ibnu Quddamah dalam kitab al-Mughni 3/518-519 berkata:

وَرُوِيَ عنه أنَّه قال: القِرَاءَةُ عندَ القبرِ بِدْعَةٌ، ورُوِيَ ذلك عن هُشَيْمٍ، قال أبو بكرٍ: نَقَلَ ذلك عن أحمدَ جَمَاعَةٌ، ثم رَجَعَ رُجُوعًا أبانَ به عن نَفْسِه، فرَوَى جماعةٌ أنَّ أحمدَ نَهَى ضَرِيرًا أنْ يَقْرأَ عندَ القبرِ، وقال له: ‌إنَّ ‌القِرَاءَةَ ‌عندَ ‌القبرِ ‌بِدْعَةٌ. ‌فقال ‌له ‌محمدُ ‌بن ‌قُدامةَ ‌الجَوْهَرِيُّ: يا أبا عبدِ اللَّه: ما تقولُ في مُبَشِّرٍ الحَلبِيّ؟ قال: ثِقَةٌ. قال: فأخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ ، عن أبِيهِ، أنَّه أوْصَى إذا دُفِنَ يُقْرَأُ عندَه بِفَاتِحَةِ البَقَرَةِ وخَاتِمَتِها، وقال: سمعتُ ابنَ عمرَ يُوصِي بذلك. قال أحمدُ بنُ حَنْبَلٍ: فارْجِعْ فقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرأُ. وقال الخَلَّالُ: حدَّثنِي أبو علىٍّ الحسنُ بنُ الهَيْثَمِ البَزَّارُ ، شَيْخُنا الثِّقَةُ المَأْمُونُ، قال: رأيتُ أحمدَ بن حَنْبَلٍ يُصَلِّي خَلْفَ ضَرِيرٍ يَقْرأُ على القُبُورِ

“Diriwayatkan dari [Imam Ahmad] bahwa beliau juga berkata: “pembacaan al-Qur’an disisi quburan adalah bid’ah”, diriwayatkan juga dari Husyaim.

Abu Bakar kemudian berkata: jama’ah (hanbali) telah menukil itu [bid'ah baca al-Quran di kuburan] dari Imam Ahmad kemudian meralat [ruju’] dari dirinya sendiri.

Sejumlah jema’ah ulama meriwayatkan bahwa Ahmad melarang seorang buta untuk membaca al-Qur’an disisi qubur, kemudian ia berkata kepadanya:

sesungguhnya membaca al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah, kemudian Muhammad bin Qudamah al-Jauhariy berkata kepada Imam Ahmad: wahai Abu Abdillah (Ahmad), apa yang akan engkau katakan tentang Mubasyyir al-Halabi?

Ahmad berkata: tsiqah (terpercaya).

Ibnu Qudamah al-Jauhari berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Mubasysyir, dari ayahnya, sesungguhnya ia berwasiat apabila dimakamkan agar dibacakan disisi quburnya pembukaan surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata: aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat tentang hal itu. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: kembalilah maka katakanlah pada laki-laki itu: silahkan membacanya!.

Telah disebutkan dalam "Kitab Ar-Ruuh" karya Ibnu Al-Qayyim (hal. 13):

قال الحلال: وأخبرني الحسن بن أحمد الوارق: ثنا علي ابن موسى الحداد – وكان صدوقا – قال: كنت مع أحمد بن جنبل ومحمد بن قدامة الجوهري في جنازة، فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر، فقال له أحمد: يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة! فلما خرجت من المقابر، قال محمد بن قدامة لاحمد بن حنبل: يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي؟ قال: ثقة، قال: كتبت عنه شيئا؟ قال: نعم، قال: فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج، عن أبيه أنه أوصي إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها، وقال: سمعت ابن عمر يوصي بذلك. فقال له أحمد: فارجع وقل للرجل: يقراء).

Al-Halal mengatakan: Al-Hassan bin Ahmad Al-Warraq mengatakan kepada saya: Ali Ibnu Musa Al-Haddaad – dan dia seorang perawi yan shoduuq [jujur] – memberi tahu kami:

Saya bersama Imam Ahmad bin Janbal dan Muhammad bin Quddaamah Al-Jawhari di tempat prosesi pemakaman jenazah, dan ketika mayit selesai dikuburkan, seorang pria buta duduk membaca [al-Quran] di kuburan.

Ketika saya meninggalkan pekuburan, Muhammad bin Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Wahai Abu Abdullah, apa pendapatmu tentang Mubashir al-Halabi?

Beliau menjawab: Tsiqoh [dipercaya].

Dia berkata: Apakah Anda menulis sesuatu [hadits] dari dia?

Beliau menjawab: Ya.

Dia berkata: Jadi Mubasysyir pernah memberi tahu saya dari Abdur-Rahman bin Al-'Alaa' bin Al-Lajlaj, dari ayahnya: Bahwa dia berwasiat bahwa jika dirinya telah dimakamkan agar dibacakan pembukaan dan akhir surat Al-Baqarah di sisi kepalanya, dan dia berkata: Saya mendengar Ibnu Umar berwasiat pula seperti itu.

Imam Ahmad berkata kepadanya: " Kembalilah dan beri tahu pria itu: Silahkan membacanya!".

Syeikh al-Albaani berkata dalam Ahkaam al-Janaaiz 1/92:

فالجواب عنه من وجوه: الاول: إن في ثبوت هذه القصة عن أحمد نظر، لان شيخ الحلال الحسن بن أحمد الوراق لم أجد ترجمة فيما عندي الان من كتب الرجال، وكذلك شيخه علي بن موسى الحداد لم أعرفه، وإن قيل في هذا السند أنه كان صدوقا، فإن الظاهر أن القائل هو الوارق هذا، وقد عرفت حاله

الثاني، إنه إن ثبت ذلك عنه فإنه أخص مما رواه أبو داود عنه، وينتج من الجمع بين الروايتين عنه أن مذهبه كراهة القراءة عند القبر إلا عند الدفن.

الثالث: أن السند بهذا الاثر لا يصح عن ابن عمر، ولو فرض ثبوته عن أحمد، وذلك لان عبد الرحمن ابن العلاء بن اللجلاج معدود في المجهولين، كما يشعر بذلك قول الذهبي في ترجمته من (الميزان): (ما روي عنه سوى مبشر هذا)، ومن طريقة رواه ابن عساكر (13 / 399 / 2).

وأما توثيق ابن حيان إياه فمما لا يعتد به لما اشهر به من التساهل في التوثيق، ولذلك لم يعرج عليه الحافظ في (التقريب) حين قال في المترجم: (مقبول) يعني عند المتابعة وإلا فلين الحديث كما نص عليه في المقدمة، ومما يؤيد ما ذكرنا أن الترمذي مع تساهله في التحسين لما أخرج له حديثا آخر (2 / 128) وليس له عنده ، سكت عليه ولم يحسنه! سمعت أحمد سئل عن القراءة عند القبر؟ فقال: لا

الرابع: أنه لو ثبت سنده كل عن ابن عمر، فهو موقوف لم يرفعه إلى النبي صلى الله عليه وسلم فلا حجة فيه أصلا.

Jadi jawabannya adalah dari beberapa aspek:

PERTAMA: bahwa kevalidan cerita dari Imam Ahmad ini perlu ditinjau ulang, karena syekh al-Halal al-Hasan bin Ahmad al-Warraaq, saya tidak menemukan biografinya dalam kitab-kitab ar-Rijaal [para perawi] yang saya sekarang memiliki. Dan juga syekhnya yang bernama Ali bin Musa al-Haddad, saya tidak mengenalnya. Dan jika dikatakan: dalam sanad ini bahwa dia adalah shoduuq [jujur]. Sepertinya yang berkata ini dia adalah al-Warraaq, dan saya tahu kondisinya.

KEDUA: jika hal ini terbukti benar darinya, maka ini lebih spesifik dari apa yang diriwayatkan Abu Dawud darinya, dan dari penggabungan dua riwayat darinya bahwa madzhabnya adalah makruh membaca al-Quran di kuburan kecuali saat baru selesai proses penguburan.

KETIGA: Sanad dengan riwayat ini tidak shahih dari riwayat Ibnu Umar, sekalipun diasumsikan terbukti dari riwayat Ahmad, karena Abdur-Rahman Ibnu al-'Alaa' ibnu al-Lajlaj adalah termsuk di antara para perawi yang majhul [tidak diketahui], seperti yang tersirat dari ucapan al-Dzahabi dalam biografi-nya dalam kitab (Al-Miizaan): "Tidak ada yang meriwayatkan dari nya kecuali Mubsysyir ini" dan melalui jalur darinya, Ibnu 'Asaakir meriwayatkannya (13/399/2).

Adapun Ibnu Hibbaan yang mentautsiqnya, tidak dapat diandalkan karena fakta bahwa dia terkenal menggampangkan dalam mentautsiq, dan oleh sebab itulah mengapa Al-Hafiz tidak merujuknya di "Al-Taqriib" ketika dia berkata dalam biografi nya: “ Maqbuul [dapat diterima]” artinya ketika terdapat Mutaba'ah [Penguat], jika tidak ada maka hadits tersebut derajatnya adalah hadits yang layyin [lemah] seperti yang tertera pada pendahuluan [al-Muqoddimah].

Dan yang mendukung apa yang kami sebutkan adalah bahwa Al-Tirmidzi, meskipun dengan mengampangkan dalam meng-hasan-kan hadits, ketika dia mengeluarkan hadits lain untuknya (2/128) dan dia tidak memilikinya maka dia diam dan tidak meng-hasankannya! Saya mendengar Imam Ahmad pernah ditanya tentang membaca di kuburan? Dia menjawab: Tidak".

KEEMPAT: Jika seandainya sanadnya terbukti benar semuanya dari Ibnu Umar, maka itu adalah mawquf [dari Ibnu Umar bukan dari Nabi SAW], dan dia tidak memarfu'kannya kepada Nabi SAW, maka dengan demikian tidak ada dalil untuk itu sama sekali".



Posting Komentar

0 Komentar