Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM DEMONSTRASI DAN UNJUK RASA

حُكْمُ المُظَاهَرَةِ

Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

-----

---

DAFTAR ISI :

  • HADITS PUJIAN BAGI BANGSA ROMAWI KARENA TIDAK PERNAH DIAM MEMBIARKAN RAJANYA BERBUAT DZALIM.
  • SEKILAS TENTANG DEMONTRASI
  • ATURAN DAN UU DEMONTRASI DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA:
  • PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM DEMONTRASI
  • PENDAPAT PERTAMA: PARA ULAMA YANG MELARANG DEMONSTRASI
  • PENDAPAT KE DUA : YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI
  • PENDAPAT KE TIGA: YANG MERINCI HUKUM DEMONSTRASI.
  • LIMA DARURAT YANG HARUS DIJAGA (الضَّرُورِيَّاتُ الْخَمْسَةُ)
  • KEUTAMAAN MENYAMPAIKAN KEBENARAN DIHADAPAN PENGUASA
  • MATI SYAHID TERBAIK ADALAH YANG TERBUNUH OLEH PENGUASA DZALIM
  • ISLAM ADALAH PENEGAK KEADILAN DAN PENDOBRAK KEDZALIMAN. KETIDAK ADILAN PENGUASA ADALAH PEMICU UTAMA DEMONTRASI.
  • MEMBELA ORANG TERDZALIMI ADALAH KEWAJIBAN SYAR’I DAN KEMANUSIAAN.

***

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

HADITS PUJIAN BAGI BANGSA ROMAWI KARENA TIDAK PERNAH DIAM MEMBIARKAN RAJANYA BERBUAT DZALIM

Al-Mustawrid Al-Qurasyi -radhiyallahu 'anhu- berkata di hadapan Amr bin Al-'Ash -radhiyallahu 'anhu-: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:

«تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ النَّاسِ»

فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو: أَبْصِرْ مَا تَقُولُ، قَالَ: أَقُولُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:

لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ، إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالًا أَرْبَعًا: ‌إِنَّهُمْ ‌لَأَحْلَمُ ‌النَّاسِ ‌عِنْدَ ‌فِتْنَةٍ، وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ، وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ، وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ: وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ

‘Kiamat akan terjadi ketika bangsa Romawi menjadi manusia yang paling banyak jumlahnya.’”

Amr berkata kepadanya: “Perhatikan apa yang engkau katakan.”

Ia menjawab: “Aku mengatakan apa yang aku dengar dari Rasulullah .”

Amr berkata: “Jika engkau mengatakan demikian, sungguh pada mereka terdapat empat sifat:

(1) Sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling lembut (sabar) ketika terjadi fitnah,

(2) paling cepat sadar kembali, setelah musibah,

(3) paling cepat kembali menyerang setelah mundur (dalam pertempuran),

(4) dan yang terbaik di antara mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang lemah.

(5) Dan sifat kelima yang indah lagi baik: mereka 'paling keras dalam mencegah kedzaliman para raja'.”  [HR. Muslim no. 2898].

Agama Islam menegaskan : 

Bahwa umat yang tidak membela kaum lemah dan tidak mencegah kezaliman orang-orang zalim adalah umat yang tidak layak mendapatkan pertolongan Allah, kebersamaan-Nya, dan pengampunan dosa.

Rasulullah bersabda:

« كَيْفَ يُقَدِّسُ اللَّهُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ لِضَعِيفِهِمْ مِنْ شَدِيدِهِمْ؟»

Bagaimana Allah mensucikan suatu umat yang tidak mengembalikan hak orang lemah mereka dari orang kuat mereka?”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4010) dengan lafaz ini, Abu Ya‘la (2003), dan Ibnu Abi Hatim dalam (Tafsir) (18954). Dinilai Hasan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah dan dinilai Shahih Lighoirihi oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq Ibnu Majah].

Dalam riwayat lain lafadz akhirnya adalah :

‌كَيْفَ ‌يُقَدِّسُ ‌اللَّهُ ‌قَوْمًا ‌لَا ‌يُؤْخَذُ ‌لِضَعِيفِهِمْ ‌مِنْ ‌قَوِيِّهِمْ

 “Bagaimana Allah akan menyucikan suatu kaum yang tidak mengembalikan hak orang lemah dari orang kuat mereka?” [Lihat : al-‘Uluww oleh Ali al-Ghoffar 85/193 dan Mukhtashar a;-‘Uluww oleh al-Albani hal. 59].

As-Sindi berkata:

(يُقَدِّسُ اللَّهَ) أَيْ: ‌يُطَهِّرُهُمْ ‌مِنَ ‌الدَّنَسِ ‌وَالْآثَامِ

“(Allah mensucikan) artinya membersihkan mereka dari kotoran dan dosa.” [Hasyiah as-Sindi 2/486]

Al-Munawi berkata:

اِسْتِخْبَارٌ فِيهِ إِنْكَارٌ وَتَعَجُّبٌ، أَيۡ: أَخْبِرُونِي كَيْفَ يُطَهِّرُ ٱللَّهُ قَوْمًا لَا يَنْصُرُونَ ٱلۡعَاجِزَ ٱلضَّعِيفَ عَلَى ٱلظَّالِمِ ٱلْقَوِيِّ، مَعَ تَمَكُّنِهِمْ مِنْ ذَٰلِكَ؟ أَيۡ: لَا يُطَهِّرُهُمُ ٱللَّهُ أَبَدًا.

“Ini adalah bentuk pertanyaan yang mengandung pengingkaran dan keheranan, maksudnya: Bagaimana Allah mensuci-kan suatu kaum yang tidak menolong orang lemah yang tidak berdaya melawan orang zalim yang kuat, padahal mereka mampu melakukannya? Artinya: Allah tidak akan pernah menyucikan mereka.” [Baca : at-Taysiir Bi Syarh al-Jami’ ash-Shoghir 2/225].

Dan menurut syariat Islam ; barang siapa yang membantu dan membela kedzaliman, maka ia berada dalam murka Allah, sebagaimana dalam hadits:

«‌مَنْ ‌أَعَانَ ‌عَلَى ‌خُصُومَةٍ ‌بِظُلْمٍ، أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ، لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ»

“Siapa yang membantu dalam persengketaan dengan cara dzalim (licik) – atau membantu dalam kezaliman – maka ia akan senantiasa berada dalam murka Allah hingga ia berhenti.”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3597), Ahmad (5385) secara panjang dengan sedikit perbedaan, dan Ibnu Majah (2320) dengan sedikit perbedaan.

Di nilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1021] dan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq Ibnu Majah 3/415].

===***===

SEKILAS TENTANG DEMONTRASI

Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.

Demonstrasi adalah fenomena modern yang umumnya terjadi hanya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, oleh karena itu demonstrasi tidak diizinkan dan tidak terjadi pada negara-negara otoriter yang berada dibawah penguasa kerajaan, kekaisaran dan komunisme seperti Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi, dan Indonesia pada era pra-reformasi.

****

ATURAN DAN UU DEMONTRASI DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA:

Salah satu ketentuan yang mengatur demonstrasi adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Demonstrasi dapat dilakukan di tempat-tempat terbuka untuk umum. Namun, ada beberapa lokasi yang tidak boleh dijadikan tempat menyampaikan pendapat di muka umum, yaitu:

Lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

Aksi unjuk rasa pun tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional.

Selain itu, demonstrasi juga harus mendapat izin dari kepolisian.

Landasan hukum demonstrasi Sebagai bentuk dari penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak legal warga negara yang dijamin negara.

Demonstrasi menjadi perwujudan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Tak hanya itu, sebagai hak asasi manusia, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tentu juga tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” [Sumber: Kompas.com - 22/04/2022, 00:15 WIB]

===***===

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM DEMONTRASI

Perbedaan pendapat terjadi karena perbedaan sistem yang diterapkan pada tiap negara. ADA TIGA PENDAPAT para ulama’ mu’ashirin [kontemporer] terkait hukum demontrasi:

****

PENDAPAT PERTAMA: 
PARA ULAMA YANG MELARANG DEMONSTRASI

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh al-Albani, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh bin Baaz, dan seluruh ulama yang berada jajaran هيىة كبار العلماء atau dewan fatwa tertinggi yang berada di Saudi Arabia adalah yang paling keras dalam pelarangan demonstrasi bahkan mencela perbuatan ini.

(Baca: Mudzaharah Sya’biyah, Dr. Hudzaifah Abud Mahdi As-Samirai, hal. 34. Tahdzir Asy-Syabaab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab Muhammad bin Nashir al-Uroini)

Jika ditelusuri, alasan penolakan amar makruf nahi munkar dengan cara unjuk rasa menurut pendapat pertama ini bermuara pada TIGA POINT:

  • Demonstrasi merupakan perkara yang baru (bid’ah). Bila demonstrasi dikategorikan sebagai sarana da’wah, maka harus jelas hujjahnya, karena tidak terjadi pada masa Nabi , juga pada masa khulafa’ rasyidun.
  • Demonstrasi merupakan bentuk tasyabuh terhadap orang (adat) kafir, sebab demonstrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dan tidak pernah ada pada masa awal islam (generasi salaf).
  • Demonstrasi merupakan sebuah bentuk keluar (pembelotan) atau ketidakpatuhan terhadap pemerintah yang sah, dan hal ini tidak boleh dilakukan kecuali bila telah nampak kekafiran yang diperbuat mereka secara terang-terangan.

Tidak diragukan lagi bahwa aksi demo adalah sebagai pemicu dari kerusuhan yang terjadi selama ini dan berakibat pada kerusakan yang akan meluas. (Baca: Tahdzir Asy-Syabaab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab, hal.36).

Kelompok ini berpendapat bahwa bentuk kegiatan meng-ishlah penguasa yang baik adalah dengan cara mendatanginya dan menasehatinya secara empat mata atau diam-diam agar wibawa pemimpin tidak jatuh dimata rakyatnya.

Juga untuk senantiasa mendoakan kebaikan kepadanya agar mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah Azza wa Jalla.

****

PENDAPAT KE DUA : 
YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI

Banyak ulama yang membolehkan, di antaranya Syaikh Dr. ‘Ali al-Qardaghi (Ulama ahli maqashid dari Maroko) dan Prof. Dr. Abdurrazaq Abdurrahman As-Sa’diy.

Salah satu ulama yang paling terkenal dalam membela pendapat dibolehkannya demonstrasi adalah Syaikh Yusuf Qardhawi, seperti dalam salah satu fatwanya:

"Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar. (www.qaradawi.net) “

===

Adapun dalil yang membolehkan aksi demo adalah:

----

DALIL DARI AL-QUR'AN :

﴿ لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا﴾

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya [terdzalimi]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 148)

Dalam tafsirnya, Imam asy-Syaukani berkomentar tentang ayat ini:

واخْتَلَفَ أهْلُ العِلْمِ في كَيْفِيَّةِ الجَهْرِ بِالسُّوءِ الَّذِي يَجُوزُ لِمَن ظُلِمَ، فَقِيلَ: هو أنْ يَدْعُوَ عَلى مَن ظَلَمَهُ، وقِيلَ: لا بَأْسَ أنْ يَجْهَرَ بِالسُّوءِ مِنَ القَوْلِ عَلى مَن ظَلَمَهُ بِأنْ يَقُولَ: فُلانٌ ظَلَمَنِي أوْ هو ظالِمٌ أوْ نَحْوَ ذَلِكَ، وقِيلَ: مَعْناهُ: إلّا مَن أُكْرِهَ عَلى أنْ يَجْهَرَ بِسُوءٍ مِنَ القَوْلِ مِن كُفْرٍ أوْ نَحْوَهُ فَهو مُباحٌ لَهُ، والآيَةُ عَلى هَذا في الإكْراهِ وكَذا قالَ قُطْرُبٌ، قالَ: ويَجُوزُ أنْ يَكُونَ عَلى البَدَلِ كَأنَّهُ قالَ: لا يُحِبُّ اللَّهُ إلّا مَن ظُلِمَ؛ أيْ: لا يُحِبُّ الظّالِمَ بَلْ يُحِبُّ المَظْلُومَ، والظّاهِرُ مِنَ الآيَةِ أنَّهُ يَجُوزُ لِمَن ظُلِمَ أنْ يَتَكَلَّمَ بِالكَلامِ الَّذِي هو مِنَ السُّوءِ في جانِبٍ مِن ظُلْمِهِ

“Para Ulama berbeda pendapat mengenai tatacara ‘al-jahru bi as-suu’ ” (mengungkapkan suatu keburukan seseorang dengan terang-terangan) yang diperbolehkan untuk yang terzholimi.

Ada yang menyatakan: hendaknya mendoakan keburukan atas orang yang mendzaliminya.

Ada juga yang berpendapat: tidak mengapa mengucapkan kepada khalayak bahwa “Fulan telah menzholimi saya.” atau “Si fulan telah berbuat zholim.”, atau ucapan semisalnya.

Dan ada yang mengatakan: Artinya: Kecuali orang yang dipaksa untuk berbicara keras tentang pernyataan yang buruk seperti kekafiran atau sejenisnya, maka dia diperbolehkan untuk melakukannya, dan ayat tentang ini adalah paksaan.

Allah lebih menyukai (berpihak) terhadap orang yang terzholimi dari pada yang pelaku kezholiman.

Demikian pula perkataan Quthrub, dia berkata:... seolah-olah dia berkata: Allah tidak mencintai kecuali orang-orang yang teraniaya [terdzalimi]; Yakni, dia tidak mencintai penindas [yang dzalim], tetapi dia mencintai yang tertindas [terdzalimi], dan makna yang tampak dari ayat tersebut adalah bahwa orang yang tertindas dibolehkan mengungkapkan kata-kata yang buruk dalam aspek penindasannya dan kedzalimannya. (Baca: Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani (Darul Ma’rifah, Beirut 1/677 - cet-3 tahun -1997)

----

DALIL DARI AS-SUNNAH:

Di antara dalil yang digunakan oleh kelompok yang membolehkan demonstrasi adalah:

Hadits dari Abu Hurairah:

" جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: «اذْهَبْ فَاصْبِرْ»، فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: «اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ» فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ: فَعَلَ اللَّهُ بِهِ، وَفَعَلَ، فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ فَقَالَ لَهُ: «ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ».

" Suatu hari seorang laki-laki pernah mendatangi Rasulullah untuk mengadukan tetangga yang sering mengganggunya.

Rasulullah kemudian berkata: “Pergilah dan bersabarlah!” 

Dia lakukan bolak balik mengadu ke Rosulullah dua kali atau tiga kali. 

Maka pada akhirnya Rasulullah bersabda: “Keluarkan barang-barangmu, lalu letakkan di jalan!” 

Laki-laki itu pulang ke rumahnya dan melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah . Ia mengeluarkan semua barang perbotannya dan meletakkannya di tengah jalan. Tentu saja banyak orang yang berkumpul ingin mengetahui apa yang terjadi.

Mereka pun bertanya padanya tentang apa yang terjadi pada nya. Maka dia mengkabarkan pada mereka bahwa dirinya punya tetangga yang selalu mengganggunya. 

Maka, orang-orang pun melaknati si tetangga usil itu dan mereka berkata: Allah akan menimpakan hukuman padanya dan menimpakan keburukan padanya ".

Ketika si tetangga yang usil itu mengetahui apa yang terjadi, dia segera menemui laki-laki yang sering dia sakiti dan berkata: “Kembalilah pulang! engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang engkau benci dari ku!”.

[[HR. Abu Dawud (5153), Abu Ya’la (6630), dan Ibnu Hibban (520) dengan sedikit perbedaan. Ibnu Muflih dalam al-Aadaab asy-Syar'iyyah 2/16 berkata: “Sanadnya Jayyid". Dan berkata muhaqqiq Shahih Ibnu Hibbaan, Syaikh Syu’aib al-Arnauth: “Sanadnya kuat.” Dan Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abu Daud (5153): Hasan Shahih]].

****

PENDAPAT KE TIGA: 
YANG MERINCI HUKUM DEMONSTRASI.

Ini adalah pendapat mufti Irak Syeikh Dr. Abdul Malik As-Sa’di. Telah banyak pertanyaan yang diajukan kepada beliau mengenai hukum berunjuk rasa, terutama dengan realita yang menimpa kaum muslimin.

Beliau berkata: “Fatwa bolehnya unjuk rasa secara mutlak adalah salah, juga fatwa yang melarangnya secara mutlak pun salah, yang benar adalah merincinya.”

Perinciannnya sebagai berikut:

Di bawah ini adalah alasan-alasan yang menjadikan DEMONSTRASI HARAM:

  • Jika tujuan demonstrasi untuk mengokohkan atau membela kezholiman seseorang, dan membelanya agar tidak diturunkan dari jabatannya.
  • Jika hanya membela kepentingan suatu golongan tertentu saja dengan menjatuhkan golongan yang lain.
  • Jika tidak ada sebab yang mendesak atau tanpa alasan yang dibenarkan.
  • Jika demo dimaksudkan untuk menyerang penguasa hingga menyebabkan kacaunya stabilitas ekonomi bahkan tertumpahnya darah dari para demonstran.

(Baca: مظاهرة شعبية hal.43)

Kemudian beliau menjelaskan alasan tentang syarat DIBOLEHKANNYA melakukan demonstrasi atau unjuk rasa bisa menjadi suatu hal yang wajib dilakukan, di antaranya:

[1]- Apabila orang-orang kafir memerangi atau menggugat syariat Allah, maka hukumnya menjadi wajib.

[2]- Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut LIMA DARURAT (الضَّرُورِيَّاتُ الْخَمْسَةُ).

[3]- Apabila seorang hakim lebih mengutamakan dan lebih mementingkan kaumnya, madzhabnya, atau bahkan partainya dalam perkara hak dan kewajiban.

[4]- Apabila pemerintah lemah dalam kepemimpinannya, terkhusus dalam urusan darah (jiwa) seseorang.

[5]- Menelurkan kebijakan guna melanggengkan kursi kekuasaannya.

[6]- Memimpin untuk mengenyangkan perut semata.

[7]- Penguasa membiarkan, bahkan menyuruh perangkat pemerintahan untuk mengaganggu atau meneror rakyat.

[8]- Menghendaki negara lain (Negara Islam) agar tunduk pada hegemoni penjajah atau barat. (Baca: مظاهرة شعبية, hal.43)

===***===

LIMA DARURAT YANG HARUS DIJAGA (الضَّرُورِيَّاتُ الْخَمْسَةُ)

COBA KITA PERHATIKAN POINT KE 2 DI ATAS!

Yaitu: “Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut LIMA DARURAT (الضَّرُورِيَّاتُ الْخَمْسَةُ).

APA ITU 5 DARURAT? 

BERIKUT INI URUTAN DAN TINGKATANNYA:

Yaitu meliputi penjagaan terhadap:

  1. dîn (agama),
  2. jiwa,
  3. keturunan,
  4. akal,
  5. harta.

**** 

ADA DUA KEUTAMAAN BAGI ORANG YANG MEMPERTAHANKAN 5 DARURAT DI ATAS:

Keutamaan pertama: Mati syahid jika terbunuh dalam mempertahankannya:

Rosulullah bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ.

Artinya: “Barang siapa yang gugur / terbunuh karena mempertahankan hartanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan darahnya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan agamanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena membela keluarganya, ia syahid.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi).

Keutamaan kedua: Yang Haram menjadi Halal.

Ada sebuah Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syairnya,

وَلاَ مُحَرَّمٌ مَعَ اِضْطِرَارٍ

Tidak ada yang diharamkan di saat darurat.

Para fuqoha lainnya mengungkapkan kaidah di atas dengan perkataan,

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

" Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang".

===***===

DALIL-DALIL QAIDAH 
"Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang"
. 

Adalah sbb:

Allah Ta’ala berfirman,

﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 173).

﴿وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ﴾

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al An’am: 119).

Ayat pertama, berkaitan dengan makanan. Ayat kedua, sifatnya lebih umum.

SYARAT QAIDAH:

Sebagian orang mencari keringanan dalam hukum syar’i dengan mengakal-akali kaidah ini. Padahal ada syarat-syarat yang mesti diperhatikan.

Syarat-syarat tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'adiy dalam syarah Mandzumah al-Qowaa'id al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama:

أَنْ تَكُونَ الضَّرُورَةُ تَنْدَفِعُ بِفِعْلِ الْمَحْظُورِ. فَإِنْ لَمْ تَنْدَفِعْ، لَمْ يَجُزْ فِعْلُ الْمَحْظُورِ. وَمَثَّلُوا لَهُ بِالظَّمْآنِ الَّذِي لَا يَجِدُ إِلَّا مَاءَ خَمْرٍ، الَّذِي لَا يَجِدُ إِلَّا الْخَمْرَ، فَهَذَا لَا يَجُوزُ لَهُ تَنَاوُلُ الْخَمْرِ؛ لِأَنَّ الْخَمْرَ لَا يُبْعِدُ الظَّمَأَ، وَإِنَّمَا يَزِيدُ الْإِنْسَانَ ظَمَأً إِلَى ظَمَئِهِ. فَالْمَحْظُورُ هُنَا زَادَ الضَّرُورَةَ، وَلَمْ يَدْفَعْهَا.

Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram.

Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr.

Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).

Syarat kedua:

أَلَا يُوجَدُ طَرِيقٌ آخَرُ تَنْدَفِعُ بِهِ الضَّرُورَةُ. إِنْ وُجِدَ، لَمْ يَجُزْ -حِينَئِذٍ- فِعْلُ الْمَحْظُورِ. مِثَالُ ذَلِكَ: طَبِيبَةٌ مُسْلِمَةٌ، وَطَبِيبٌ رَجُلٌ، وَعِنْدَنَا امْرَأَةٌ مَرِيضَةٌ، يُمْكِنُ دَفْعُ الضَّرُورَةِ بِكَشْفِ الْمَرْأَةِ الطَّبِيبَةِ.

Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror.

Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.

Syarat ke tiga:

أَنْ يَكُونَ الْمَحْظُورُ أَقَلَّ مِنَ الضَّرُورَةِ. فَإِنْ كَانَتِ الضَّرُورَةُ أَعْظَمَ، لَمْ يَجُزْ. مِثَالُ ذَلِكَ: إِذَا اضْطُرَّ إِلَى قَتْلِ غَيْرِهِ لِبَقَاءِ نَفْسِهِ، كَمَا فِي مَسْأَلَةِ الْإِكْرَاهِ السَّابِقَةِ، فَهُنَا الضَّرُورَةُ أَقَلُّ مِنَ الْمَحْظُورِ. الْمَحْظُورُ هُوَ قَتْلُ الْغَيْرِ، وَالضَّرُورَةُ هُوَ أَنَّهُ سَيُقْتَلُ الْإِنْسَانُ، بَعْدَ تَهْدِيدِهِ بِالْقَتْلِ. قِيلَ لَهُ: اقْتُلْ غَيْرَكَ، وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ.

Hendaknya hal yang haram tersebut lebih sedikit dari dhorurah (bahaya) maka jika dhorurotnya (bahayanya) lebih besar maka tidak boleh.

Misalnya: jika bahayanya adalah menghilangkan nyawa orang lain agar dirinya selamat sebagaimana dalam misal paksaan (dalam qaidah) disini dhorurah lebih sedikit dibanding hal yang diharamkan yaitu membunuh orang lain sedang dhorurotnya (bahayanya) ancaman manusia kepada dirinya akan dibunuh, dengan ucapan mereka: bunuh orang lain jika tidak maka kami akan membunuhmu, maka ini tidak boleh dituruti.

[Baca: شَرْحُ مَنْظُومَةِ الْقَوَاعِدِ الْفِقْهِيَّةِ oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/55-56]

RINGKASNYA:

  1. Haram hukumnya: Jika yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
  2. Haram hukumnya: Jika yakin akan adanya dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau perkiraan yang nantinya terjadi.

Perlu di perhatikan perkataan syeikh as-Sa'diy:

أَنَّهُ إِذَا زَالَتِ الضَّرُورَةُ، زَالَ حُكْمُ اسْتِبَاحَةِ الْمَحْظُورِ. وَلَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَوَسَّعَ فِي الْمَحْظُورِ، بِمِقْدَارٍ لَا تَنْدَفِعُ بِهِ الضَّرُورَةُ.

Artinya ; jika hilang bahaya tersebut (setelah melakukan hal yang dilarang) maka hilang lah hukum halal untuk melakukan hal yang dilarang tersebut, (artinya tidak boleh menambah lebih banyak hal yang di haramkan) dan tidak boleh bagi manusia untuk menambah lebih banyak dalam melakukan hal yang dilarang tersebut, hanya sekedar hal yang bahaya tersebut bisa hilang. [Baca: شَرْحُ مَنْظُومَةِ الْقَوَاعِدِ الْفِقْهِيَّةِ oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/56]

Dan ini akan di jelaskan oleh As-Syeikh As-Sa’di dalam qaidah berikutnya, yaitu:

وَإِذَا زَالَتِ الضَّرُورَةُ لَمْ يَجُزْ فِعْلُ الْمَحْظُورِ.

“dan jika hilang bahaya (dhorurot) nya maka tidak boleh melakukan hal yang di larang, “

Untuk itu jika melihat air maka tayamumnya menjadi batal, dan dalam hak ini para ulama’ mengatakan:

مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ.

artinya: apa saja yang yang dibolehkan karena adanya udhur maka batallah dhorurah tersebut jika sdh hilang udzur tsb.

[Baca: شَرْحُ مَنْظُومَةِ الْقَوَاعِدِ الْفِقْهِيَّةِ oleh Syeikh Abdurrahman as-Sa'diy 1/56]

****

BEDAKAN ANTARA DARURAT DAN HAJAT!

Al-Muharram [yang diharamkan]: yang disebutkan dalam kaidah di atas adalah suatu yang dilarang oleh syari’at.

Sedangkan yang dimaksud dengan “dhorurot” atau darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah yang dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat.

Sedangkan ada pula istilah “hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.

CONTOH DHORUROT:

Jika seseorang terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti kala itu.

CONTOH HAJAT:

Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi pernah menambah bejana (wadah) dengan perak.

Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.

Jadi, kaidah yang berlaku adalah “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang”, sedangkan keadaan hajat tidak demikian kecuali jika ada dalil.

===***===

JIHAD TERBAIK ADALAH MENYAMPAIKAN KEBENARAN DIHADAPAN PENGUASA

Dari Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu ‘anhu - : bahwa Nabi bersabda :

«أَفْضَلَ ‌الْجِهَادِ ‌كَلِمَةُ ‌حَقٍّ ‌عِنْدَ ‌سُلْطَانٍ ‌جَائِرٍ»

“Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran (hak) yang di sampaikan di hadapan penguasa yang dzolim.”

Lafadz Abu Daud dan Tirmidzi :

«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ»

“Jihad yang paling utama adalah kalimat penegakkan keadilan di hadapan penguasa yang dzalim (tidak adil) atau pemerintah yang dzalim (tidak adil).”

[HR. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4344), at-Tirmidzi (2174), Ibnu Majah (4011) dan Al-Hakim dalam al-Mustdarak 4/551 no. 8543]

Hadits ini di nilai shahih oleh al-Albani dalam shahih Abu Daud no. 4344. Dan dinilai hasan oleh Badruddin al’Aini dalam Umdatul Qori 15/166]

Al-Hakim berkata :

هَذَا حَدِيثٌ تَفَرَّدَ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ الْقُرَشِيُّ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ. وَالشَّيْخَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَمْ يَحْتَجَّا بِعَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ "

“Hadis ini dengan susunan (lafaz) seperti ini diriwayatkan secara tunggal oleh Ali bin Zaid bin Jud‘ān al-Qurasyi dari Abu Nadrah. Dan kedua imam (al-Bukhari dan Muslim) rahimahumallah tidak menjadikan Ali bin Zaid sebagai hujjah (tidak meriwayatkan darinya dalam Shahih mereka sebagai perawi yang dijadikan sandaran)”.

Al-Dzahabi dalam at-Takhish 4/551 berkata :

اِبْنُ جُدْعَانَ صَالِحُ الحَدِيثِ

“ Ibnu Jud‘ān adalah perawi yang hadisnya ‘Sholih’ (baik, bisa diterima meskipun tidak sampai derajat kuat/tsiqah)”.

Dalam istilah ilmu hadis, “Sholih al-Hadits” berarti hadisnya dapat dijadikan hujjah jika didukung jalur lain (hasan li ghayrihi), tapi tidak sekuat perawi yang tsiqah.

****

MATI SYAHID TERBAIK ADALAH YANG TERBUNUH OLEH PENGUASA DZALIM

Dari Jabir bin Abdullah – radhiyallahu ‘anhu - : bahwa Rasulullah ﷺ - bersabda :

«سَيِّدُ ‌الشُّهَدَاءِ ‌حَمْزَةُ ‌بْنُ ‌عَبْدِ ‌الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»

“Pemimpin para syuhada adalah : (1) Hamzah bin Abdul Muththalib. (2) Dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan pemimpin yang zalim, lalu ia menyuruh-nya (kepada kebaikan) dan melarangnya (dari kejahatan), namun kemudian pemimpin itu membunuhnya.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam *Al-Majruhin* (1/186), Al-Hakim (4884), dan Ad-Dailami dalam *Al-Firdaus* (3472) dengan sedikit perbedaan lafaz].

Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 374 dan Shahih at-Targhib no. 2308.

-----

PENJELASAN IMAM IBNU JARIR ATH-THABARI : tentang “mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka dan terang-terangan”:

Imam Muhammad bin Jarir ath-Thobari menyebutkan permasalahan tentang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, apakah hal itu termasuk sunnah? Beliau juga menyebutkan hadis:

«‌أَفْضَلُ ‌الْجِهَادِ ‌كَلِمَةُ ‌حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”  [Hadits ini di nilai shahih oleh al-Albani dalam shahih Abu Daud no. 4344. Dan dinilai hasan oleh Badruddin al’Aini dalam Umdatul Qori 15/166]

Kemudian, Ibnu Jarir menukil adanya perbedaan pendapat di kalangan salaf dalam hal ini, dan menyebutkan tiga sikap:

Pendapat Pertama: disunnahkan mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan. 

Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Mas‘ud, Ibnu Abbas, Hudzaifah, dan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhum:

أَنَّ كَلِمَةَ الحَقِّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ تَكُونُ أَفْضَلَ الجِهَادِ إِذَا أَمِنَ المُنْكِرُ عَلَى نَفْسِهِ القَتْلَ أَوْ أَنْ يَلْحَقَهُ مِنَ البَلاَءِ مَا لاَ قِبَلَ لَهُ بِهِ.

Bahwa menyampaikan kalimat kebenaran kepada penguasa yang dzalim adalah merupakan jihad yang paling utama jika orang yang mengingkarinya merasa aman dari ancaman dibunuh atau aman dari musibah yang tidak sanggup ia hadapi.

Dan ini adalah madzhabnya Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.

Ath-Thobari juga menukil perkataan tabi‘in yang saleh dan ahli ibadah, Mutarrif bin Abdullah al-Syikhkhir, yang berkata:

وَاللهِ لَوْ لَمْ يَكُنْ لِي دِينٌ، حَتَّى أَقُومَ إِلَى رَجُلٍ مَعَهُ أَلْفُ سَيْفٍ، فَأَنْبِذَ إِلَيْهِ كَلِمَةً، فَيَقْتُلَنِي: إِنَّ دِينِي إِذًا لَضَيِّقٌ

“Demi Allah, seandainya agamaku bergantung pada hal ini, hingga aku harus mendatangi seseorang yang memiliki seribu pedang, lalu aku ucapkan satu kata kepadanya, kemudian ia membunuhku, sungguh agamaku ini sangat sempit!”

Ini adalah ungkapan yang sangat mendalam maknanya!

[Baca : Syarah Shahih Bukhory oleh Ibnu Baththol 10/51, ‘Umdatul Qori oleh Badruddin al’Aini 15/166 dan at-Tawdhiih Syarh al-Jami’ ash-Shahih oleh Ibnu al-Mulaqqin 32/368].

Pendapat Kedua: diwajibkan mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan.

Pendapat ini dinukil dari Umar bin Khaththab dan Ubay bin Ka‘b, bahwa siapa pun yang melihat kemungkaran, wajib mengingkarinya secara terang-terangan.

Namun, perlu dipahami bahwa keduanya berkata demikian pada masa mereka hidup, di mana salah satunya (Umar) adalah khalifah yang adil, dan yang lainnya (Ubay) wafat pada masa khalifah yang juga adil, yaitu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum ajma‘in.

Jadi, mereka tidak sedang berbicara tentang kalimat kebenaran di hadapan penguasa zalim, dan bukan pula tentang mengingkari para pemimpin yang zalim.

Pendapat Ketiga: cukup dengan hati mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan

Pendapat bahwa mengingkari kemungkaran penguasa dzalim cukup dengan hati, tidak harus dengan ucapan.

Pendukung pendapat ini berhujah dengan hadis-hadis sahih, seperti sabda Nabi :

«يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ بَعْدِي، تَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ»

“Akan diangkat atas kalian para pemimpin setelahku. Kalian akan melihat (perbuatan mereka) yang kalian kenal (baik) dan yang kalian ingkari (buruk). Maka siapa yang membencinya (dalam hatinya), ia telah terbebas. Siapa yang mengingkarinya (dengan hati), ia selamat. Tetapi yang ridha dan mengikuti, (itulah yang berdosa).

Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kami perangi mereka?’

Beliau menjawab :

«لاَ، مَا صَلَّوْا»

‘Tidak, selama mereka masih menegakkan salat.’ [HR. Muslim no. 1854]

TARJIH :

Kemudian Ibnu Jarir memilih dan mentarjih pendapat bahwa mengingkari kemungkaran itu wajib, kecuali jika ia khawatir terhadap dirinya akan mendapat hukuman yang tidak sanggup ia tanggung.

Jadi, beliau tidak mewajibkan secara mutlak, tetapi memberikan batasan.

Ibnu Jarir juga berhujah dengan sabda Nabi :

«لاَ يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ»

“Tidak pantas bagi seorang mukmin menghinakan dirinya.”

Para sahabat bertanya: “Bagaimana seseorang merendahkan dirinya?”

Beliau ﷺ menjawab:

«يَتَعَرَّضُ مِنَ البَلاَءِ مَا لاَ يُطِيقُ»

“Dengan menjerumuskan dirinya ke dalam cobaan yang tidak sanggup ia tanggung.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2404, Ibnu Majah no. 4016 dan Ahmad no. 2344. Di nilai hasan oleh Syu’aib al-Arna’uth dan al-Albani].

Pendapat Ibnu Jarir ini juga dinukil oleh banyak ulama, seperti Ibnu Baththal dalam Syarh Sahih al-Bukhari, dan diringkas oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari”.

[Baca : Syarah Shahih Bukhory oleh Ibnu Baththol 10/51, ‘Umdatul Qori oleh Badruddin al’Aini 15/166 dan at-Tawdhiih Syarh al-Jami’ ash-Shahih oleh Ibnu al-Mulaqqin 32/368.

Baca pula : Artikel (Mata takūnu kalimatu al-aqqi ‘inda sulṭānin jāʾirin jihādan Wa shahīduhā afalu al-shuhadāʾ) oleh Prof. DR. Asy-Syarif Hatim al-‘Auni ].

===***===

ISLAM ADALAH PENEGAK KEADILAN DAN PENDOBRAK KEDZALIMAN.
KETIDAK ADILAN PENGUASA ADALAH PEMICU UTAMA DEMONTRASI

Islam adalah agama keadilan, dan jika setiap agama memiliki ciri khas, maka ciri khas Islam adalah keadilan. Keadilan dalam syariatnya adalah kenyataan yang nyata dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Allah mewajibkannya kepada semua pihak tanpa pengecualian. Bahkan Allah mewajibkannya kepada Rasulullah dan memerintahkannya untuk berlaku adil. Allah berfirman:

﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لأعْدِلَ بَيْنَكُمُ﴾

“Maka tetaplah engkau pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: ‘Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu.’” (QS. Asy-Syūrā: 15).

Dan dalam menegakkan dan menerapkan keadilan itu wajib sama rata, tidak pilih kasih, meskipun terhadap keluarga, kerabat dan kedua orang tua sendiri, bahkan pada diri sendiri. Serta tidak boleh membeda-bedakan antara orang miskin dan orang kaya dalam keadilan . Allah SWT berfirman :

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian.

Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.

Dan jika kalian memutar balikkan (argumentasi) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. [QS. An-Nisa: 135]

Begitu pula terhadap orang yang dibenci atau lawan politik dan saingan bisnis. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [QS. Al-Maidah: 8]

Dan Allah juga memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam segala urusan:

﴿ وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ﴾

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahmān: 9).

Dan Allah berfirman:

﴿إِنَّ اللهَ يَأمُرُ بِالعَدلِ وَالإِحسَانِ﴾

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Nahl: 90).

Rasulullah bersabda:

«اتَّقُوا الظُّلْمَ، ‌فَإِنَّ ‌الظُّلْمَ ‌ظُلُمَاتٌ ‌يَوْمَ ‌الْقِيَامَةِ»

“Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2578).

Dari Ma‘qil bin Yasār, Rasulullah bersabda:

«‌مَا ‌مِنْ ‌عَبْدٍ ‌يَسْتَرْعِيهِ ‌اللَّهُ ‌رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ غَاشًّا لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

“Tidak ada seorang hamba yang Allah amanahkan untuk memimpin rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari no. 7151 dan Muslim no. 227).

Barang siapa menjadikan keadilan sebagai dasar kekuasaannya, maka kekuasaannya akan kuat dan negaranya akan besar, meskipun ia kafir. Sebaliknya, barang siapa menjadikan dasar pemerintahannya adalah kezaliman, pengkhianatan amanah, dan penghilangan hak-hak, maka pemerintahannya tidak akan bertahan, meskipun ia seorang Muslim.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah meriwayatkan:

" إِنَّ ‌اللَّهَ ‌يَنْصُرُ ‌الدَّوْلَةَ ‌الْعَادِلَةَ ‌وَإِنْ ‌كَانَتْ كَافِرَةً، وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَلَوْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً".

“Sesungguhnya Allah menolong negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menolong negara yang zalim meskipun beriman.” 

[Majmu’ al-Fatawa 28/63 . Baca pula : al-Hisbah – Jami’ah al-Madinah hal. 14, as-Siyasah asy-Syar’iyyah hal. 10 dan al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 45/147]

Ibnu Khaldun dalam *Muqaddimah*-nya menyebutkan sebuah bab dengan judul:

إِنَّ ‌الظُّلْمَ ‌مُؤْذِنٌ ‌بِخَرَابِ ‌الْعُمْرَانِ الْمُفْضِي لِفَسَادِ النَّوْعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سَائِرِ الْمَقَاصِدِ الشَّرْعِيَّةِ فِي الْأَحْكَامِ فَإِنَّهَا كُلُّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْعُمْرَانِ

Bahwa kezaliman merupakan pertanda keruntuhan peradaban yang mengarah kepada kerusakan jenis manusia dan hal-hal lain dari berbagai tujuan syariat dalam hukum, karena semuanya dibangun di atas prinsip menjaga kelangsungan peradaban. [Tarikh Ibnu Khaldun 1/45]

Bab ini menjelaskan bahwa jika kezaliman merajalela, maka negeri akan hancur dan keadaan rakyat menjadi kacau.

Pada masa Khalifah yang adil, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, ada salah seorang gubernurnya menulis surat kepadanya:

" أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ مَدِينَتَنَا قَدْ خَرِبَتْ، ‌فَإِنَّ ‌رَأَى ‌أَمِيرُ ‌الْمُؤْمِنِينَ ‌أَنْ ‌يَقْطَعَ ‌لَهَا ‌مَالًا يَرُمُّهَا بِهِ فَعَلَ!؟

“Amma ba'du, kota kami telah hancur. Jika Amirul Mukminin melihat perlu mengalokasikan harta untuk memperbaikinya, maka lakukanlah!”

‘Umar pun menjawab:

"أَمَّا بَعْدُ: "قَدْ فَهِمْتُ كِتَابَكَ، وَمَا ذَكَرْتَ أَنَّ مَدِينَتَكُمْ قَدْ خَرِّبَتْ، فَإِذَا قَرَأْتَ كِتَابِي هَذَا، فَحَصِّنْهَا بِالْعَدْلِ، وَنَقِّ طُرُقَهَا مِنَ الظُّلْمِ، فَإِنَّهُ مَرَمَّتُهَا. وَالسَّلامُ".

“Amma ba'du, aku telah memahami suratmu dan apa yang kamu sebutkan bahwa kotamu telah hancur. Jika kamu membaca suratku ini, maka perbaikilah kotamu dengan keadilan, dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman, karena hanya dengan itulah untuk memperbaiki-nya. Wassalam.

[Lihat : Hilyatul Awliya oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani 5/305 dan Nadhratun Na’im 7/2815].

Dan gubernurnya di Khurasan - al-Jarraah bin Abdullah- juga menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz:

«إِنَّ أَهْلَ خُرَاسَانَ قَوْمٌ سَاءَتْ رَعِيَّتُهُمْ، وَإِنَّهُ لَا يُصْلِحُهُمْ إِلَّا السَّيْفُ وَالسَّوْطُ، فَإِنْ رَأَى أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ يَأْذَنَ لِي فِي ذَلِكَ».

“Sesungguhnya penduduk Khurasan adalah kaum yang buruk akhlaknya, dan mereka tidak akan bisa diperbaiki kecuali dengan pedang dan cambuk. Jika Amirul Mukminin mengizinkan, aku akan melakukan itu.”

‘Umar bin Abdul Aziz menjawab:

«أَمَّا بَعْدُ: فَقَدْ بَلَغَنِي كِتَابُكَ تَذْكُرُ فِيهِ أَنَّ أَهْلَ خُرَاسَانَ قَدْ سَاءَتْ رَعِيَّتُهُمْ، وَأَنَّهُ لَا يُصْلِحُهُمْ إِلَّا السَّيْفُ وَالسَّوْطُ، فَقَدْ كَذَبْتَ، بَلْ يُصْلِحُهُمُ الْعَدْلُ وَالْحَقُّ، فَابْسُطْ ذَلِكَ فِيهِمْ وَالسَّلَامُ»

“Amma ba'du, aku telah menerima surat-mu yang menyebutkan bahwa penduduk Khurasan buruk akhlaknya dan tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pedang dan cambuk. Engkau dusta! Mereka bisa diperbaiki dengan keadilan dan kebenaran. Sebarkanlah hal itu di tengah mereka. Wassalam.” [Lihat : Taarikh al-Khulafaa karya as-Suyuthy hal. 181].

****

KEADILAN ADALAH NILAI YANG MUTLAK [TAK TERBATAS].

Keadilan merupakan nilai mutlak yang harus diwujudkan dalam setiap keadaan dan oleh setiap orang:

[*] Dituntut dari seorang pemimpin terhadap rakyatnya, sehingga ia menjadi yang pertama dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu “imam (pemimpin) yang adil”.

[*] Dituntut dari rakyat di antara mereka sendiri, sebagaimana firman Allah:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ﴾

  “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisā’: 135).

[*] Dituntut terhadap orang yang sejalan maupun yang berbeda pendapat, terhadap yang dicintai maupun yang dibenci, sebagaimana firman Allah:

﴿ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا﴾

  “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS. Al-Mā’idah: 8).

Makna ayat ini: “Janganlah kebencian kalian terhadap sebagian orang membuat kalian berlaku curang, tidak adil atau menzalimi mereka. Seorang Muslim wajib berlaku adil bahkan kepada pihak yang berbeda sekalipun.”

[*] Dituntut dari orang tua terhadap anak-anak mereka, dan dari suami terhadap istri-istrinya.

[*] Ia juga dituntut dari setiap pemimpin terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, dan dari setiap penguasa terhadap pihak yang Allah amanahkan kepadanya, baik kekuasaan itu besar maupun kecil.

****

PENGARUH KEADILAN TERHADAP MASYARAKAT

Menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah sebuah keharusan, karena ia adalah:

"ٱلْحَارِسُ لِلْعَقِيدَةِ وَٱلْمَالِ وَٱلنَّفْسِ وَٱلْعِرْضِ، وَٱلْعَدْلُ خِصْبُ ٱلْبِلَادِ وَأَمْنُ ٱلْعِبَادِ، بِهِ قَامَتِ ٱلسَّمَاوَاتُ وَٱلْأَرْضُ. فَإِلَى ٱلْعَدْلِ يَأْوِي ٱلضُّعَفَاءُ، وَيَلُوذُ إِلَيْهِ ٱلْفُقَرَاءُ، وَفِي ٱلْعَدْلِ إِنْصَافٌ لِلْمَظْلُومِ، وَرِزْقٌ لِلْمَحْرُومِ، بِهِ يَجْتَمِعُ ٱلشَّمْلُ، وَتَتَّحِدُ ٱلْكَلِمَةُ وَتَدُومُ ٱلرَّابِطَةُ، وَتَقْوَى ٱلْأَوَاصِرُ بَيْنَ ٱلنَّاسِ" اِنْتَهَى.

“penjaga akidah, harta, jiwa, dan kehormatan. Keadilan adalah kesuburan bagi negeri dan keamanan bagi rakyat; dengannya langit dan bumi tegak. Kepada keadilanlah orang-orang lemah berlindung, kepadanya pula orang-orang miskin bersandar. Dalam keadilan ada pembelaan bagi yang terzalimi dan rezeki bagi yang kekurangan. Dengan keadilan, persatuan terwujud, kata menjadi satu, ikatan tetap terjaga, dan hubungan antar manusia menjadi kuat.” (selesai dari kitab *al-Mujtama’ al-Islami*).

Keadilan adalah poros seluruh urusan, sumber kebaikan, dan puncak keutamaan. Dengannya kebahagiaan dan ketenteraman masyarakat bergantung. Dengan keadilan, manusia merasa aman atas jiwa, harta, dan kehormatannya. Jika masyarakat merasa aman dan bahagia karena keadilan, setiap individu akan bekerja dengan bebas dan penuh semangat, sehingga produksi meningkat, kondisi negeri stabil, dan rakyat pun hidup sejahtera.

Singkatnya, keadilan adalah syarat tegaknya dan bertahannya suatu negara, sedangkan kezaliman menjadi tanda kehancurannya.

Rasulullah menjelaskan hal ini dalam hadis yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ketika ia ingin memberi syafaat bagi seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri. Nabi bersabda:

«‌أَتَشْفَعُ ‌في ‌حَدٍّ ‌مِنْ ‌حُدُودِ ‌الله ‌تَعَالَى؟!» ثُمَّ قامَ فَاخْتَطَبَ، ثُمَّ قَالَ: «إنَّمَا أَهْلَك مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أقامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ الله، لَوْ أَنَّ فَاطمَةَ بِنْتَ مُحمّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعتُ يَدَهَا»

“Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam salah satu hudud Allah?” Lalu beliau berdiri dan berkhutbah, kemudian bersabda:

“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila ada orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya, dan apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.”

(Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhori no. 3475 dan Muslim no. 1688).

 ===***====

MEMBELA ORANG TERDZALIMI ADALAH KEWAJIBAN SYAR’I DAN KEMANUSIAAN.

Betapa banyak orang yang memiliki kebutuhan, memikul beban, menghadapi banyak masalah, menjadi korban kezaliman, dan terluka hatinya!

Mereka yang tidak menemukan seorang pun yang mengetuk pintu mereka, menanyakan keadaan mereka, atau berusaha menghilangkan kesedihan mereka karena dorongan akhlak menolong.

Kadang sudah terjatuh kebawah, tertimpa tangga pula, dijadikan mesin ATM oleh oknum pengacara dan oknum penegak hukum.

Yang dimaksud dengan menolong adalah semangat iman yang mendorong seorang muslim untuk menghilangkan kezaliman dari saudaranya yang lemah, atau memberikan bantuan kepadanya.

Rasulullah memerintahkan tujuh hal, di antaranya adalah menolong orang yang dizalimi. Dalam hadis disebutkan:

أَمَرَنَا رَسولُ اللَّهِ ﷺ بسَبْعٍ ونَهَانَا عن سَبْعٍ: أمَرَنَا بعِيَادَةِ المَرِيضِ، واتِّبَاعِ الجِنَازَةِ، وتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وإجَابَةِ الدَّاعِي، وإفْشَاءِ السَّلَامِ، ونَصْرِ المَظْلُومِ، وإبْرَارِ المُقْسِمِ ....

Rasulullah memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara: Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menyebarkan salam, *menolong orang yang dizalimi*, dan memenuhi sumpah orang yang bersumpah... (HR. Bukhari no. 5635 dan Muslim no. 2066).

Seorang muslim tidak pantas merelakan dirinya menzalimi saudaranya, atau membiarkannya menjadi mangsa orang zalim yang menghinanya. Rasulullah bersabda:

«‌المُسْلِمُ ‌أَخُو ‌المُسْلِمِ ‌لَا ‌يَظْلِمُهُ ‌وَلَا ‌يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh). Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, Allah akan menghilangkan satu kesusahannya pada hari kiamat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580).

Apakah setelah ini engkau masih melihat musibah menimpa saudaramu lalu menyerahkannya dan membiarkannya?

Ataukah darahmu mendidih dan engkau tidak bisa tenang hingga mengerahkan segala kemampuan untuk menghilangkan bahaya yang menimpa saudaramu?

****

BAGAIMANA ALLAH AKAN MENOLONG SUATU UMAT YANG TIDAK MENOLONG ORANG LEMAHNYA?

Sesungguhnya umat yang tidak membela kaum lemah dan tidak mencegah kezaliman orang-orang zalim adalah umat yang tidak layak mendapatkan pertolongan Allah, kebersamaan-Nya, dan pembersihan dari dosa.

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«‌أَلَا ‌تُحَدِّثُونِي ‌بِأَعَاجِيبِ ‌مَا ‌رَأَيْتُمْ ‌بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ؟» قَالَ فِتْيَةٌ مِنْهُمْ: بَلَى، يَا رَسُولَ اللَّهِ بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَرَّتْ بِنَا عَجُوزٌ مِنْ عَجَائِزِ رَهَابِينِهِمْ، تَحْمِلُ عَلَى رَأْسِهَا قُلَّةً مِنْ مَاءٍ، فَمَرَّتْ بِفَتًى مِنْهُمْ، فَجَعَلَ إِحْدَى يَدَيْهِ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ دَفَعَهَا فَخَرَّتْ عَلَى رُكْبَتَيْهَا، فَانْكَسَرَتْ قُلَّتُهَا، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الْتَفَتَتْ إِلَيْهِ، فَقَالَتْ: سَوْفَ تَعْلَمُ يَا غُدَرُ إِذَا وَضَعَ اللَّهُ الْكُرْسِيَّ، وَجَمَعَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ، وَتَكَلَّمَتِ الْأَيْدِي وَالْأَرْجُلُ، بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ، فَسَوْفَ تَعْلَمُ كَيْفَ أَمْرِي وَأَمْرُكَ عِنْدَهُ غَدًا، قَالَ: يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَتْ، صَدَقَتْ كَيْفَ يُقَدِّسُ اللَّهُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ لِضَعِيفِهِمْ مِنْ شَدِيدِهِمْ؟»

Ketika kaum Muhajirin dari Habasyah kembali kepada Rasulullah , beliau bersabda:

“Maukah kalian menceritakan kepadaku keajaiban-keajaiban yang kalian lihat di negeri Habasyah?”

Beberapa pemuda dari mereka berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Ketika kami sedang duduk, lewatlah seorang wanita tua dari kalangan rahib mereka, membawa kendi air di kepalanya. Tiba-tiba ada seorang pemuda dari mereka meletakkan salah satu tangannya di antara kedua bahunya, lalu mendorongnya, sehingga ia jatuh bertumpu pada lututnya dan kendi itu pecah. Ketika ia berdiri, ia menoleh kepadanya dan berkata:

‘Engkau akan tahu, wahai pengkhianat, ketika Allah meletakkan kursi-Nya, mengumpulkan orang-orang yang pertama dan terakhir, lalu tangan dan kaki berbicara tentang apa yang mereka lakukan. Saat itu engkau akan tahu bagaimana urusanku dan urusanmu di hadapan-Nya esok hari.’”

Rasulullah pun bersabda:

“Ia benar, ia benar. Bagaimana Allah menyucikan suatu umat yang tidak mengembalikan hak orang lemah mereka dari orang kuat mereka?”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4010) dengan lafaz ini, Abu Ya‘la (2003), dan Ibnu Abi Hatim dalam (Tafsir) (18954). Dinilai Hasan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah dan dinilai Shahih Lighoirihi oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq Ibnu Majah].

Dalam riwayat lain lafadz akhirnya adalah :

‌كَيْفَ ‌يُقَدِّسُ ‌اللَّهُ ‌قَوْمًا ‌لَا ‌يُؤْخَذُ ‌لِضَعِيفِهِمْ ‌مِنْ ‌قَوِيِّهِمْ

 “Bagaimana Allah akan menyucikan suatu kaum yang tidak mengembalikan hak orang lemah dari orang yang kuat?” [Lihat : al-‘Uluww oleh Ali al-Ghoffar 85/193 dan Mukhtashar a;-‘Uluww oleh al-Albani hal. 59].

As-Sindi berkata:

(يُقَدِّسُ اللَّهَ) أَيْ: ‌يُطَهِّرُهُمْ ‌مِنَ ‌الدَّنَسِ ‌وَالْآثَامِ

“(Menyucikan Allah) artinya membersihkan mereka dari kotoran dan dosa.” [Hasyiah as-Sindi 2/486]

Al-Munawi berkata:

اِسْتِخْبَارٌ فِيهِ إِنْكَارٌ وَتَعَجُّبٌ، أَيۡ: أَخْبِرُونِي كَيْفَ يُطَهِّرُ ٱللَّهُ قَوْمًا لَا يَنْصُرُونَ ٱلۡعَاجِزَ ٱلضَّعِيفَ عَلَى ٱلظَّالِمِ ٱلْقَوِيِّ، مَعَ تَمَكُّنِهِمْ مِنْ ذَٰلِكَ؟ أَيۡ: لَا يُطَهِّرُهُمُ ٱللَّهُ أَبَدًا.

“Ini adalah bentuk pertanyaan yang mengandung pengingkaran dan keheranan, maksudnya: Bagaimana Allah mensuci-kan suatu kaum yang tidak menolong orang lemah yang tidak berdaya melawan orang zalim yang kuat, padahal mereka mampu melakukannya? Artinya: Allah tidak akan pernah menyucikan mereka.” [Baca : at-Taysiir Bi Syarh al-Jami’ ash-Shoghir 2/225].

****

SIAPA YANG MENOLONG AKAN DITOLONG, DAN SIAPA YANG MENGKHIANATI AKAN DIKHIANATI.

Orang yang menegakkan kewajiban untuk menolong atau yang mengabaikannya, masing-masing akan mendapatkan balasan dari perbuatannya itu – di dunia dan di akhirat – sebagai balasan yang setimpal, sebagaimana sabda Rasulullah :

«‌مَا ‌مِنِ ‌امْرِئٍ ‌يَخْذُلُ ‌امْرَأً ‌مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ، وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ، إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ، وَمَا مِنِ امْرِئٍ يَنْصُرُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ، وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ»

“Tidaklah seorang Muslim mengkhianati seorang Muslim lainnya di tempat yang kehormatannya dilanggar dan harga dirinya direndahkan, melainkan Allah akan mengkhianatinya di tempat ia menginginkan pertolongan. Dan tidaklah seorang Muslim menolong seorang Muslim lainnya di tempat yang harga dirinya direndahkan dan kehormatannya dilanggar, melainkan Allah akan menolongnya di tempat ia menginginkan pertolongan.”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4884), dan Ahmad (16368) dengan sedikit perbedaan dari hadis Jabir dan Abu Thalhah Al-Anshari.

Dinilai hasan oleh al-Maqdisy dalam al-Maukhtar. Namun di nilai dhoif oleh al-Albani dalam Dhoif Abu Daud  dan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad 26/289].

****

MENOLONG ORANG ZALIM ITU DENGAN CARA MENCEGAHNYA DARI BERBUAT ZALIM:

Dahulu, orang-orang jahiliah saling tolong-menolong dalam kebaikan maupun keburukan. Islam menginginkan sifat ini tetap ada tetapi dengan makna yang benar. Rasulullah bersabda:

«انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا» فَقَالَ رَجُلٌ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ، ‌أَنْصُرُهُ ‌إِذَا ‌كَانَ ‌مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟ قَالَ: «تَحْجُزُهُ، أَوْ تَمْنَعُهُ، مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ»

“Tolonglah saudaramu baik ia berbuat zalim maupun dizalimi.”

Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah , aku menolongnya jika ia dizalimi, bagaimana jika ia yang berbuat zalim, bagaimana aku menolongnya?”

Beliau menjawab: “Engkau cegah atau halangi dia dari perbuatan zalim, itulah bentuk pertolonganmu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6952).

Sebagaimana dikatakan penyair:

وَكَمْ ظَالِمٍ نَالَتْهُ مِنِّي غَضَاضَةٌ ... لِنُصْرَةِ مَظْلُومٍ ضَعِيفٍ وَجَنَانٍ

“Betapa banyak orang zalim yang aku beri pelajaran, demi menolong orang yang terzalimi yang lemah hatinya.”

[Baca : adh-Dhaw’u al-Laami’ oleh as-Sakhowi 1/108 dan al-Badru ath-Tholi’ oleh asy-Syawkani 1/22].

Jika engkau menolong kaum, keluarga, dan kelompokmu serta mencegah mereka dengan segala cara agar tidak berbuat zalim kepada seorang Muslim – baik dari kalangan mereka maupun bukan – maka itulah bentuk pertolongan yang benar.

Jika tidak, maka itu hanyalah fanatisme buta yang tercela, yang diperintahkan untuk kita tinggalkan. Rasulullah bersabda, menggambarkan orang yang fanatik seperti unta yang terperosok:

«‌مَنْ ‌نَصَرَ ‌قَوْمَهُ ‌عَلَى ‌غَيْرِ ‌الْحَقِّ، فَهُوَ كَالْبَعِيرِ الَّذِي رُدِّيَ، فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ»

“Siapa yang menolong (membela) kaumnya yang tidak benar, maka ia seperti unta yang jatuh terperosok lalu ditarik dengan ekornya.”

[HR. Abu Dawud no. 5117, Ahmad dalam *Musnad*-nya (3726), Ath-Thayalisi (344), dan Al-Baihaqi 10/234.

Di nilai shahih oleh al-Albani, baik mawquf maupun marfu’. Namun di nilai hasan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq Abu Daud].

Orang yang mampu menolong saudaranya sesama Muslim dengan perkataan, syafaat, atau isyarat kebaikan, namun ia tidak melakukannya padahal mampu, sementara ia melihat dengan matanya saudaranya dihina, maka Allah akan mengenakan kepadanya pakaian kehinaan di hadapan makhluk pada hari kiamat, karena kelalaiannya menolong saudaranya dan mengangkat kehinaannya.

Rasulullah bersabda:

«‌مَنْ ‌أُذِلَّ ‌عِنْدَهُ ‌مُؤْمِنٌ ‌فَلَمْ ‌يَنْصُرْهُ، وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ، إِلَّا أَذَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Barang siapa seorang mukmin dihina di hadapannya, lalu ia tidak menolongnya padahal mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakannya di hadapan makhluk pada hari kiamat.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad (15985), Ath-Thabrani (6/73) (5554), dan Ibnu As-Sunni dalam *‘Amal Al-Yaum wal Lailah* (428) dengan sedikit perbedaan.

Dinilai Dhoif oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad 25/361 dan al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 5380]

Al-Haitsami dalam al-Majma’ 7/267 no. 12136 berkata :

رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ ابْنُ لَهِيعَةَ وَهُوَ حَسَنُ الْحَدِيثِ وَفِيهِ ضَعْفٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ

“Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani. Di dalamnya terdapat Ibnu Lahi’ah, yang haditsnya hasan namun terdapat kelemahan, sedangkan perawi lainnya adalah tsiqah (terpercaya)”.

****

MENOLONG SESAMA MUSLIM DARI JAUH, TANPA SEPENGETAHUAN YANG DITOLONG:

Bersegera menolong saudara seiman di dunia – terutama ketika ia tidak hadir atau saat berjauhan, di mana hilang basa-basi, tampaklah ketulusan perasaan, dan bantuan itu murni karena Allah – di antara buahnya adalah Allah akan menyiapkan bagi penolong tersebut orang-orang yang mendukung dan menolongnya di dunia, serta Allah sendiri akan menolongnya di akhirat, sebagaimana dalam hadits:

«‌مَنْ ‌نَصَرَ ‌أَخَاهُ ‌بِظَهْرِ ‌الْغَيْبِ نَصَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ»

“Siapa yang menolong saudaranya dari jauh (saat ia tidak ada), maka Allah akan menolongnya di dunia dan akhirat.”

[Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Makarim Al-Akhlaq (136), Al-Hakim dalam *Al-Madkhal ‘ala As-Sahih (4/93), dan Al-Qadha’i dalam Musnad Asy-Syihab (473) dengan sedikit perbedaan.]

(Dinilai oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’/6574 dan as-Silsilah ash-Shahihah 1217).

Mencegah dan menghalangi kezaliman itu terpuji meskipun dilakukan oleh non-Muslim; maka Muslim lebih layak:

Jika mencegah kezaliman penguasa dengan menolong yang lemah merupakan akhlak yang dianggap baik oleh non-Muslim, maka kaum Muslimin lebih utama melakukannya.

Al-Mustawrid Al-Qurasyi berkata di hadapan Amr bin Al-Ash: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:

«تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ النَّاسِ»

فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو: أَبْصِرْ مَا تَقُولُ، قَالَ: أَقُولُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:

لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ، إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالًا أَرْبَعًا: ‌إِنَّهُمْ ‌لَأَحْلَمُ ‌النَّاسِ ‌عِنْدَ ‌فِتْنَةٍ، وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ، وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ، وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ: وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ

‘Kiamat akan terjadi ketika bangsa Romawi menjadi manusia yang paling banyak jumlahnya.’”

Amr berkata kepadanya: “Perhatikan apa yang engkau katakan.”

Ia menjawab: “Aku mengatakan apa yang aku dengar dari Rasulullah .”

Amr berkata: “Jika engkau mengatakan demikian, sungguh pada mereka terdapat empat sifat:

(1) Sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling sabar ketika terjadi fitnah,

(2) paling cepat sadar kembali setelah musibah,

(3) paling cepat kembali menyerang setelah mundur,

(4) dan yang terbaik di antara mereka terhadap orang miskin, yatim, dan orang lemah.

(5) Dan sifat kelima yang indah lagi baik: mereka paling tegas dalam mencegah kezaliman para raja.”  [HR. Muslim no. 2898].

***

MEMBANTU KEDZALIMAN ITU SAMA SAJA DENGAN MENDATANGKAN MURKA ALLAH:

Barang siapa menolong dan membela kedzaliamn, maka ia berada dalam murka Allah, sebagaimana dalam hadits:

«‌مَنْ ‌أَعَانَ ‌عَلَى ‌خُصُومَةٍ ‌بِظُلْمٍ، أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ، لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ»

“Siapa yang membantu dalam persengketaan dengan cara dzalim (licik dan tidak adil) – atau membantu dalam kezaliman – maka ia akan senantiasa berada dalam murka Allah hingga ia berhenti.”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3597), Ahmad (5385) secara panjang dengan sedikit perbedaan, dan Ibnu Majah (2320) dengan sedikit perbedaan.

Di nilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1021] dan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq Ibnu Majah 3/415].

Jika engkau melihat keadaan kebanyakan manusia hari ini, niscaya engkau dapati benar apa yang dikatakan oleh Qadhi Sa’ad bin Muhammad ad-Dayri (wafat 867 H):

ذَهَبَ الأُلَى كَانَ التَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالحِلْمِ وَالإِفْضَالِ وَالمَعْرُوفِ

يَتَجَشَّمُونَ مَتَاعِبًا لِإِعَانَةِ الْمَظْلُومِ أَوْ لِإِغَاثَةِ الْمَلْهُوفِ

وَأَتَى الَّذِينَ الْفَخْرُ فِيهِمْ مَنْعُهُمْ لِلسَّائِلِينَ وَظُلْمُ كُلِّ ضَعِيفٍ

فَتَرَاهُمْ يَتَرَدَّدُونَ مَعَ الْهَوَى قَدْ أَعْرَضُوا عَنْ أَكْثَرِ التَّكْلِيفِ

----

Telah berlalu generasi yang keutamaan mereka karena kesabaran, kemurahan, dan kebaikan

Mereka menanggung kesulitan demi menolong yang dizalimi atau memberi pertolongan kepada yang kesusahan

Lalu datanglah generasi yang kebanggaan mereka adalah menolak para peminta-minta dan kedzaliman pada setiap orang lemah

Engkau lihat mereka mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari kebanyakan kewajiban.

 

Posting Komentar

0 Komentar