Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI:
- ANJURAN SALING MEMANGGIL ANTAR SESAMA DENGAN PANGGILAN YANG DI CINTAI
- LARANGAN SALING MEMANGGIL DENGAN NAMA PANGGILAN YANG TIDAK DI SUKAI
- ISLAM MEMERINTAHKAN UMAT NYA MEMBAWA KESEJUKAN DAN MENEBAR KEDAMAIAN.
- LARANGAN MENCACI ORANG KAFIR, APALAGI SESAMA UMAT ISLAM YANG BEDA PENDAPAT.
- HUKUM SUAMI MEMANGGIL ISTRINYA DENGAN KATA UMMI [MAMAH], UKHTI ATAU LAINYA YANG MENUNJUKKAN HARAM UNTUK DINIKAHI
- MAKNA DZIHAR:
- ASAL USUL TURUNNYA AYAT DZIHAR:
- RESIKO DAN HUKUMAN BAGI SUAMI YANG MENDZIHAR ISTRINYA:
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
I. ANJURAN SALING MEMANGGIL ANTAR SESAMA DENGAN PANGGILAN YANG DI CINTAI.
Rosulullah SAW menganjurkan umatnya ketika memanggil seseorang agar memanggilnya dengan nama panggilan yang di sukainya dan di cintainya, selama tidak mengandung unsur ghuluww, yakni pengkultusan individu atau penuhanan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Handzolah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يُعْجِبُهُ أَنْ يَدْعُوَ الرَّجُلَ بِأَحَبِّ أَسْمَائِهِ إِلَيْهِ وَأَحَبِّ كُنَاهُ»
“Dulu Rosululllah SAW merasa sangat suka memanggil seseorang dengan nama yang paling dicintainya dan juga kunyah yang paling dicintainya ".
[HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabiir 4/13 no. 3499]. Al-Haitsami berkata dalam Majma' az-Zawaa'id 8/56 no. 12894:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Artinya: "Di riwayatkan ath-Thabraani, dan para perawinya tsiqoot / dipercaya.
Dan dari Syaibah bin Utsman al-Hijabi dari pamannya Utsman bin Thalhah bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“ثَلَاثُ يَصْفِينَ لَكَ وُدُّ أَخِيكَ: تُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقِيتَهُ ، وَتُوَسِّعُ لَهُ فِي الْمَجْلِسِ ، وَتَدْعُوهُ بِأَحَبِّ أَسْمَائِهِ إِلَيْهِ "
Ada tiga perkara yang menggambarkan kecintaanmu kepada saudaramu: kamu mengucapkan salam kepadanya ketika bertemu dengannya; meluaskan tempat untuknya dalam majelis; memanggilnya dengan nama yang paling disukainya.
(HR. Imam al-Bukhori dalam at-Taariikh al-Kabiir 7/352 no. 1420 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/485, No. 5815, ath-Thabraani dalam al-Awsaath no. 3496 dan 8369, Tamaam dalam al-Fawaaid no. 374, 375 dan al-Baihaqi dalam al-Adaab hal. 77 no. 191.
Abu Hatim berkata dalam “Al-ilal” (2/262): I
هذا حديث منكر، وموسى ضعيف الحديث
“Ini adalah hadits yang munkar, dan Musa adalah lemah haditsnya ".
Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iimaan 6/2931 melalui jalur Mujahid bin Jabr al-Makki secara mursal dari Umar bin al-Khaththob secara Mawquf dengan lafadz yang sama….. Dan hukum atsar ini Dha'iif.
Meskipun hadits dan atsar ini adalah dha'if, namun maknanya shahih, sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits shahih yang menganjurkan tiga hal yang terdapat dalam hadits dan atsar diatas.
II. LARANGAN SALING MEMANGGIL DENGAN NAMA PANGGILAN YANG TIDAK DI SUKAI
Allah SWT berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujurat: 11)
IBNU KATSIR dalam Tafsirnya berkata:
"وَقَوْلُهُ: {وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ} أَيْ: لَا تَتَدَاعَوْا بِالْأَلْقَابِ، وَهِيَ الَّتِي يَسُوءُ الشَّخْصَ سَمَاعُهَا.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو جَبِيرة بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ: فِينَا نَزَلَتْ فِي بَنِي سَلِمَةَ: {وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ} قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَيْسَ فِينَا رَجُلٌ إِلَّا وَلَهُ اسْمَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ، فَكَانَ إِذَا دُعِىَ أَحَدٌ مِنْهُمْ بِاسْمٍ مِنْ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ يَغْضَبُ مِنْ هَذَا. فَنَزَلَتْ: {وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ}
وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مُوسَى بْنِ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ وُهَيْب، عَنْ دَاوُدَ، بِهِ ".
“Firman Allah Swt:
{وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ}
“Dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk". (Al-Hujurat: 11)
Yakni janganlah kalian memanggil orang lain dengan gelar yang buruk yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan.
Imam Ahmad – meriwayatkan dengan sanadnya - dari Abu Jubairah ibnu Ad-Dahhak yang mengatakan:
Bahwa berkenaan dengan kami Bani Salamah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: "dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk". (Al-Hujurat: 11) Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, tiada seorang pun dari kami melainkan mempunyai dua nama atau tiga nama.
Tersebutlah pula apabila beliau memanggil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka mengatakan:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak menyukai nama panggilan itu."
Maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11)
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini dari Musa ibnu Ismail, dari Wahb, dari Daud dengan sanad yang sama". [Tafsir Ibnu Katsir 7/376]
[Takhrijnya: lihat Al-Musnad (4/260) dan Sunan Abi Dawud No. (4962) dan diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Sunan No. (3268) dari jalur Dawud bin Abi Hind dengannya..., dan Al-Tirmidzi berkata: “ Hadits Hassan Sahih”.
IMAM IBNU JARIR ATH-THOBARI dalam Tafsirnya mengatakan:
"اختلف أهلُ التأويل في الألقاب التي نهى اللهُ عن التنابز بها في هذه الآية، فقال بعضهم: عنى بها الألقاب التي يَكْرَه النبزَ بها المُلَقَّبُ، وقالوا: إنما نزلَت هذه الآية في قومٍ كانت لهم أسماء في الجاهلية، فلمَّا أسلموا نُهوا أن يَدعو بعضُهم بعضًا بما يكره من أسمائه التي كان يُدْعَى بها في الجاهلية".
والحديث رواه الإمام أحمد عن أبي جبيرة بن الضحاك قال: "فينا نزلَت - في بني سلمة -: ﴿ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ﴾ [الحجرات: 11]، قال: قدِم رسولُ الله صلى الله عليه وسلم المدينة، وليس فينا رجلٌ إلا وله اسمان أو ثلاثة، فكان إذا دعي أحدٌ منهم باسمٍ من تلك الأسماء، قالوا: يا رسول الله، إنه يغضب من هذا، فنزلت: ﴿ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ﴾ [الحجرات: 11].
وقال آخرون: "بل ذلك قول الرجل المسلم للرجل المسلم: يا فاسق، يا زاني".
وقال آخرون: "بل ذلك تسميةُ الرجلِ الرجلَ بالكفر بعد الإسلام، وبالفسوقِ والأعمال القبيحة بعد التوبة".
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai nama panggilan [gelar] yang dilarang Allah dalam ayat ini:
Sebagian mereka berkata: Yang dimaksud dengannya adalah nama-nama panggilan [gelar] yang tidak disukai oleh yang orang digelarinya. Dan mereka berkata: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang memiliki nama-nama di masa pra-Islam. Lalu ketika mereka masuk Islam, mereka dilarang memanggil satu sama lain dengan nama panggilan yang dibenci, yaitu nama panggilan yang biasa disebut di masa Jahiliyah.
Dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Jubayrah bin Ad-Dahhak, yang mengatakan:
Bahwa berkenaan dengan kami Bani Salamah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: "dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk". (Al-Hujurat: 11) Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, tiada seorang pun dari kami melainkan mempunyai dua nama atau tiga nama.
Tersebutlah pula apabila beliau memanggil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka mengatakan:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak menyukai nama panggilan itu."
Maka turunlah firman-Nya: "Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk". (Al-Hujurat: 11)
Yang lain berkata: “Akan tetapi, itu adalah perkataan seorang Muslim kepada seorang Muslim yang lain: Wahai orang Fasiq [yang suka berbuat dosa], wahai pezina.”
Yang lain mengatakan: “Akan tetapi, itu adalah penyebutan seseorang terhadap orang lain dengan sebutan kafir setelah masuk Islam, atau sebutan fasiq atau perbuatan-perbuatan buruk setelah orang itu bertaubat.”
Kemudian Ibnu Jarir berkata:
"والذي هو أولى الأقوال في تأويل ذلك عندي بالصواب أن يقال: إن الله تعالى ذكرُه نهى المؤمنين أن يتنابزوا بالألقاب، والتنابز بالألقاب: هو دعاءُ المرء صاحبَه بما يكرهه من اسمٍ أو صفة، وعمَّ اللهُ بنهيه ذلك، ولم يخصص به بعضَ الألقاب دون بعض؛ فغير جائزٍ لأحدٍ من المسلمين أن ينبز أخاه باسمٍ يكرهه أو صفةٍ يكرهها".
“Dan yang paling utama dari pendapat-pendapat tersebut dalam penafsiran ayat ini; maka yang menurut saya benar untuk di katakan adalah: Sesungguhnya Allah Ta'ala menyebut larangan orang-orang beriman untuk memanggil satu sama lain dengan nama-nama panggilan yang buruk. Sementara arti saling memanggil dengan nama panggilan yang buruk adalah: Seseorang memanggil temannya dengan nama atau atribut yang dia benci. Dan larangan Allah Ta'ala ini bersifat umum dan menyeluruh, dan Dia tidak membatasi sebagain gelar-gelar untuk mengesampingkan yang lain. Maka tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memanggil saudaranya dengan nama yang dia benci atau atribut yang dia benci. ( Baca: Tafsir al-Tabari: 11/85).
*****
NAMA PANGGILAN YANG DI SUKAI ITU TIDAK MESTI NAMA YANG BAGUS
Ada sebagian para sahabat – radhiyallahu 'anhum – dan para tabi'i – rahimahumullah – yang memiliki nama panggilan yang kurang menarik, namun mereka menyukainya. Dan yang demikian itu tidak lah mengapa kita memanggilnya dengan nama tsb, jika orang yang dipanggilnya itu menyukainya.
Contoh:
- Abu Hurairah artinya bapaknya kucing. Itu adalah kunyah dari sahabat Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi radhiyallahu 'anhu.
- Abu Turoob artinya bapaknya debu. Itu adalah salah satu dari kunyah sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
- Dan berikut ini sebagian nama-nama panggilan para ulama tabi'in:
- Adh-Dhohhaak, artinya: tukang ketawa. Dia adalah Abu Muhammad Al-Dahhak bin Muzahim.
- Al-A'raaj, artinya: yang pincang. Dia adalah Abd al-Rahman ibn Hurmuz al-A'raaj (yang meninggal pada tahun 117 H)
- Abu Al-A'war as-Sulami, artinya: Bapaknya orang yang matanya buta sebelah. Dia adalah Amr bin Sufyan bin Qaif bin Al-Awqas.
*****
III. ISLAM MEMERINTAHKAN UMAT NYA MEMBAWA KESEJUKAN DAN MENEBAR KEDAMAIAN.
Allah SWT BERFIRMAN:
{ وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا}
Dan hamba-hamba Ar-Rohmaan [Tuhan yang Maha Penyayang] itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka [dengan kata-kata yang tidak baik], mereka menjawabnya dengan SALAAM ( kata yang mengandung kedamaian). [QS. Al Furqan: 63]
Dan dianjurkan pula mengucapkan salam saat hendak memasuki rumah seseorang. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
{ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً}
Apabila kalian memasuki rumah-rumah hendaklah kalian memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. (QS. An-Nur: 61)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:
{ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا، وَلاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ، أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ}
“Kamu tidak akan masuk Surga hingga kalian beriman, kalian tidak akan beriman secara sempurna hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian kutunjukkan sesuatu, apabila kalian lakukan akan saling mencintai? Biasakan mengucapkan salam di antara kalian.”
[HR. Muslim (54), Abu Dawud (5193), At-Tirmidzi (2688), Ibnu Majah (68) dan redaksinya adalah miliknya, dan Ahmad (9709)]
Dari Ammaar bin Yasiir radhiyallau 'anhuma, berkata:
" ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ اْلإِيْمَانَ: اْلإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ، وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ، وَاْلإِنْفَاقُ مِنَ اْلإِقْتَارِ".
“Ada tiga perkara, barang siapa yang bisa mengerjakannya, maka sungguh telah mengumpulkan keimanan:
1.Berlaku adil terhadap diri sendiri;
2.Menyebarkan kedamaian [salam] ke seluruh penduduk dunia;
3.Berinfak meski dalam keadaan kesempitan.”
[HR. Bukhari secara mu'allaq. Lihat Al-Bukhari dengan Al-Fath (1/82) [Sebelum Hadits No. (28)].
Dari Abdullah bin Umar radhiyallau 'anhu, dia berkata:
" أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ".
“Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, manakah ajaran Islam yang lebih baik?”
Rasulullah SAW menjawab: “Hendaklah engkau memberi makanan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” [HR. Bukhori no. 11]
LARANGAN MENCACI ORANG KAFIR, APALAGI SESAMA UMAT ISLAM YANG BEDA PENDAPAT.
Allah SWT berfirman:
{ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ}
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’aam (6): 108).
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
Allah SWT. berfirman, melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, padahal dalam makian itu mengandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu. Kerusakan yang dimaksud ialah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. (Al-Baqarah: 255)
Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata:
"Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu."
Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.
{فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ}
"Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". (Al-An'am: 108)
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah:
"كان المسلمون يسبون أصنام الكفار، فيسب الكفار الله عدوا بغير علم، فأنزل الله ( ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله)".
“bahwa dahulu orang-orang muslim sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang kafir balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh sebab itu, Allah SWT menurunkan:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah” (QS. Al An’aam: 108). [al-Mushonnaf no. 814].
Lalu Ibnu Katsir berkata:
"Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang diatur.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
“Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya".
Mereka (para sahabat) bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri?"
Rosululloh Saw menjawab: " Dia mencaci ayah seseorang, lalu orang yang mencacinya itu membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencela ibu seseorang, lalu orang yang dicelanya itu balas mencela ibunya".
[HR. Al-Bukhari (5973), Muslim (90) dan Ahmad 11/195].
*****
IV. HUKUM SUAMI MEMANGGIL ISTRINYA DENGAN KATA UMMI [MAMAH], UKHTI ATAU KATA LAINYA YANG MENUNJUKKAN HARAM UNTUK DINIKAHI
Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya: " Kamu adalah ummi atau Ukhti, atau wahai ummi atau wahai Ukhti; maka itu bisa jadi Dzihar dan bisa jadi bukan dzihar, tergantung pada niatnya; karena Nabi SAW bersabda:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ))
"Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan". [Muttafqun Alaihi]
Pada umumnya, seorang suami mengatakan kata-kata seperti itu bertujuan untuk mengungkapkan rasa sayang atau hormat, maka itu bukanlah dzihar, dan itu tidak menyebabkan istri menjadi haram bagi suaminya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط, أو يا أمي بقصد المحبة فقط
Apakah boleh seorang suami mengatakan kepada istrinya: Wahai Ukhti atau wahai Ummi, hanya bertujuan sebagai ungkapan kasih sayang ?
Syeikh menjawab:
نعم، يجوز له أن يقول لها يا أختي، أو يا أمي، وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة، وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات، ولكن لا وجه للكراهة، وذلك لأن الأعمال بالنيات، وهذا الرجل لم ينو بهذه الكلمات أنها أخته بالتحريم والمحرمية، وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها، وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين، سواء كان من الزوج أو الزوجة فإنه أمر مطلوب " انتهى
Ya, dibolehkan baginya untuk mengatakan kepadanya, wahai ukhti atau wahai ummi, dan kata-kata lain yang semacam itu yang menyiratkan rasa kasih sayang dan cinta.
Sebagian ulama menganggap makruh bagi seorang laki-laki untuk memanggil istrinya seperti itu, namun hal itu tidak ada dalilnya, karena perbuatan seperti itu hanyalah tergantung pada niat. Dan sang suami ini tidak bermaksud dengan memanggilnya ukhti itu dengan tujuan agar istrinya diharamkan baginya. Lebih tepatnya niatnya adalah untuk mengungkapkan cintanya padanya, dan segala sesuatu yang menjadi penyebab cinta di antara pasangan, di pihak suami atau istri, adalah sesuatu yang dicari. [Akhiri kutipan]. [Fataawa Barnamij Noor 'ala al-Darb]
Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah berkata:
إن قال لزوجته يا أمي أو يا خالتي أو يا عمتي، فلا شيء وذلك من كلام السفه. اهـ
Jika dia berkata kepada istrinya, “Wahai ibuku, atau 'Ammati [bibiku[, atau Kholati [bibiku],” maka tidak apa-apa, namun itu adalah kata-kata ketololan dan kebodohan. [Lihat: فتاوى الشبكة الإسلامية no. 32484].
Ada Sebagian ulama menganggap makruh bagi seorang laki-laki untuk mengatakan kepada istrinya: Wahai Ummi atau wahai Ukhti, karena riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2210):
أَنَّ رَجُلا قَالَ لامْرَأَتِهِ: يَا أُخَيَّةُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( أُخْتُكَ هِيَ ! فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ ).
Bahwa seorang laki-laki berkata kepada istrinya, Wahai Ukhti. Rasulullah SAW bertanya: "Apakah dia saudara perempuanmu?" Maka beliau SAW membenci ucapan itu dan melarangnya".
Namun Pendapat yang benar adalah tidak makruh, dan hadits diatas adalah tidak shahih. Hadits ini dianggap dha'iif [Lemah] oleh al-Albaani dalam Dha'iif Abi Dawud no. 2210.
FATWA PARA ULAMA AL-LAJNAH AD-DAAIMAH - SAUDI ARABIA:
Al-Lajnah ad-Daaimah ditanya:
قول بعض الناس لزوجته: أنا أخوك وأنت أختي ، فما الحكم ؟
Ada sebagian orang berkata kepada istri mereka: Saya saudara laki-laki Anda dan Anda adalah saudara perempuan saya. Apa hukumnya?
Mereka menjawab:
“إذا قال الزوج لزوجته: أنا أخوك أو أنت أختي ، أو أنت أمي أو كأمي ، أو أنت مني كأمي أو كأختي ، فإن أراد بذلك أنها مثل ما ذكر في الكرامة أو الصلة والبر أو الاحترام أو لم يكن له نية ولم يكن هناك قرائن تدل على إرادة الظهار ، فليس ما حصل منه ظهارا ، ولا يلزمه شيء.
وإن أراد بهذه الكلمات ونحوها الظهار أو قامت قرينة تدل على الظهار مثل صدور هذه الكلمات عن غضب عليها أو تهديد لها ، فهي ظهار ، وهو محرم ، وتلزمه التوبة وتجب عليه الكفارة قبل أن يمسها ، وهي عتق رقبة ، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين ، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا "
Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya: Saya adalah Akhuki [saudara laki-laki mu] dan Anda adalah ukhti [saudara perempuan ku], atau Anda adalah Ummi [ibu ku], atau seperti ummi [ibu ku], atau Anda bagi saya seperti ummi [ibu ku] atau anda bagi saya seperti Ukhti [saudara perempuan ku]; Jika dia bermaksud dengan demikian itu untuk memuliakan, mempererat ikatan dan menghormati. Atau dia tidak memiliki niat tertentu dan tidak disertai dengan sesuatu yang menunjukkan Dzihar, maka ini tidak dihitung sebagai dzihar dan dia tidak berkewajiban melakukan apapun.
Akan tetapi, jika dia berniat dzihar dengan kata-kata tersebut, atau disertai dengan sesuatu yang menunjukkan dzihar, seperti mengucapkan kata-kata tersebut ketika dia sedang marah atau mengancamnya, maka itu adalah dzihar, dan itu membuat istrinya menjadi haram. Dan dia wajib bertobat dan wajib membayar kafarat sebelum dia menyentuhnya.
Kafaratnya adalah: membebaskan seorang budak. Jika tidak menemukannya, maka dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika dia tidak mampu, maka dia wajib memberi makan enam puluh orang miskin.
[Akhir kutipan dari Fataawa al-Lajnah al-Daa'imah (20/274)].
PANGGILAN YANG MENGANDUNG MAKNA DZIHAR
[Yaitu : kata-kata yang mengandung makna mensejajarkan istrinya dengan ibunya dalam keharaman nikah dengannya]
MAKNA DZIHAR:
Dzihar menjadi salah satu budaya kaum jahiliyah yang dilarang dalam Islam. Secara bahasa, dzihar artinya punggung. Sedangkan secara istilah, dzihar adalah perbuatan suami menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya.
Allah SWT berfirman:
{الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4) }
Artinya:
Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.
Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. [QS. Al-Mujadilah, ayat 2-4]
ASAL USUL TURUNNYA AYAT DZIHAR:
Hukum zihar bermula ketika Aus bin Shamit menyamakan istrinya, Haulah, dengan ibu kandungnya. Melihat sikap itu, Haulah pun mengadu kepada Allah Swt.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya: Dari Khuwailah binti Sa'labah yang mengatakan:
"Demi Allah, berkenaan dengan diriku dan Aus ibnus Samitlah Allah menurunkan permulaan surat Al-Mujadilah."
Khuwailah melanjutkan kisahnya:
"Saat itu aku menjadi istrinya (Aus ibnus Samit), sedangkan dia seorang yang sudah lanjut usia dan perangainya menjadi buruk. Dan pada suatu hari ia masuk menemuiku, lalu aku mengajukan protes terhadapnya tentang sesuatu, maka dia marah.
Akhirnya ia mengatakan: 'Engkau bagiku seperti punggung ibuku.'
Setelah itu Aus ibnus Samit keluar dan duduk di tempat perkumpulan kaumnya selama sesaat, kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba berahinya memuncak, dia menginginkan diriku.
Maka aku berkata: 'Jangan, demi Tuhan yang jiwa Khuwailah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, jangan kamu bergaul denganku dulu setelah engkau mengucapkan kata-kata itu kepadaku sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang masalah kita ini sesuai dengan hukum-Nya.'
Cegahanku tiada artinya baginya, dia memelukku dengan paksa. Maka aku membela diri agar lepas dari pelukannya, dan aku dapat mengalahkannya karena tenaganya telah melemah mengingat usianya yang telah lanjut. Kusingkirkan dia dari tubuhku, kemudian aku keluar dari rumah menuju ke tempat salah seorang tetangga wanitaku. Lalu aku meminjam pakaian darinya dan langsung keluar menuju ke tempat Rasulullah Saw. Setelah sampai di hadapan beliau Saw., aku duduk dan menceritakan kepada beliau apa yang telah kualami dengan suamiku, dan aku mengadu kepada beliau tentang perangainya yang buruk."
Rasulullah Saw. hanya menjawab:
"Hai Khuwailah, anak pamanmu (suamimu) itu telah lanjut usia, maka bertakwalah kepada Allah terhadapnya."
Khuwailah melanjutkan kisahnya:
"Demi Allah, belum lagi aku beranjak, maka turunlah ayat Al-Qur'an mengenai diriku, dan Rasulullah Saw. kelihatan seperti orang yang tertutup (tak sadarkan diri) sebagaimana biasanya bila wahyu sedang turun kepadanya. Setelah wahyu selesai, keadaan beliau kembali seperti semula, lalu bersabda kepadaku:
'Hai Khuwailah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu-Nya berkenaan dengan masalahmu dan suamimu.'
Lalu Rasulullah Saw. membacakan kepadaku firman berikut:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۖ فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
“Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mujadilah: 1)
------ Sampai dengan firman-Nya ------:
" Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih". (Al-Mujadilah: 4)
Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: 'Perintahkanlah kepada suamimu untuk memerdekakan seorang budak.'
Aku menjawab: 'Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki harta untuk memerdekakan budak.'
Rasulullah Saw. bersabda: 'Maka hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.'
Aku berkata: 'Demi Allah, sesungguhnya dia benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya, dia tidak kuat mengerjakan puasa.'
Rasulullah Saw. bersabda: 'Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebanyak satu wasaq kurma.'
Aku berkata: 'Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak memiliki makanan sebanyak itu.'
Maka Rasulullah Saw. bersabda: 'Kami akan membantunya dengan satu faraq kurma.'
Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan satu faraq kurma lainnya.'
Rasulullah Saw. bersabda: 'Kamu benar dan berbuat baik. Sekarang pergilah, dan sedekahkanlah kurma ini sebagai kifarat suamimu, kemudian perintahkanlah kepada anak pamanmu itu (suamimu) agar berbuat baik'."
Khuwailah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw. itu.
Rasulullah pun menjawab, “Saya belum dapat memutuskan perkaramu”. Mendengar jawaban itu, Haulah pun berseru, “Ya Allah, aku mengadu kepadamu!”
Kemudian, turunlah ayat Alquran tentang perkara zihar ini. Dalam Surat Al-Mujadilah ayat 3, Allah Swt berfirman yang artinya:
“Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
[HR. Ibnu Hibban (4279), dan Ibnu Abd al-Barr dalam “Al-Isti’ab” 4/292 dari jalur Yaqoub bin Ibrahim bin Saad, dengan itu.
Itu diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (2214) dan (2215), Ibnu Al-Jaroud (746), Ath-Thabari dalam “Al-Tafsir” (Surah Al-Mujadala), Al-Tabarani dalam “Al-Kabiir” (616) dan 24/ (633), Al-Bayhaqi 7/389, 391-392 dan 392, Dan al-Mizzi dalam “Tahdziib” (dalam biografi Muammar Ibn Abdullah) dari beberapa jalur dari Ibnu Ishaq …
Al-Hafiz menggolongkannya sebagai HADITS HASAN dalam “Al-Fath” 9/433. Namun di Dhaifkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dan kawan-kawannya dalam Tahqiiq dan Takhriij Musnad Imam Ahmad 45/303 no. 27320].
RESIKO DAN HUKUMAN BAGI SUAMI YANG MENDZIHAR ISTRINYA:
Suami yang telah mendzihar istrinya secara sah bisa mendapatkan dua akibat.
1 Haram untuk bersetubuh
Ia dilarang melakukan persetubuhan dengan istrinya sebelum membayar kafarat. Kemudian, diharamkan pula perbuatan-perbuatan pendahuluannya seperti mencium, mengecup leher, dan lain-lain. Hal ini disampaikan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah dalam kitab beliau.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Imam Syafi’i mengatakan perbuatan zihar hanya menyebabkan keharaman pergaulan pada kelamin perempuan saja yang telah disepakati atasnya. Bukan terhadap anggota tubuh lainnya.
2 Wajib membayar kafarat untuk kembali lagi
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan maksud "kembali lagi" di sini. Ibnu Qatadah, Sai'id bin Zubair, Abu Hanifah, dan murid-muridnya mengatakan bahwa 'kembali lagi' artinya kembali bersetubuh dengan istri yang sebelumnya diharamkan karena perbuatan zihar.
Kondisi ini dapat tercipta apabila suami mau membayar kafarat yang dijatuhkan atasnya. Adapun kafarat zihar yaitu dengan memerdekakan seorang budak atau hamba sahaya.
Jika tidak mampu, maka diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu juga, diganti dengan memberi 2,5 kg beras kepada 60 orang miskin.
0 Komentar