Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BOLEHKAH BER-AMAL IBADAH BERTUJUAN AGAR MENDAPATKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI ?

BOLEHKAH BERAMAL IBADAH BERTUJUAN AGAR MENDAPATKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI ?

Disusun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

===

DAFTAR ISI:

  • KAIDAH UMUM DALAM MASALAH IBADAH:
  • PEMBAGIAN KATAGORI IBADAH KARENA MENGHARAPKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI
  • KATAGORI IBADAH PERTAMA: TUJUANNYA DEMI KEUNTUNGAN DUNIAWI SEMATA .
  • PERNYATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG IBADAH KARENA DUNIA:
  • KATAGORI IBADAH KEDUA: TUJUANNYA KARENA ALLAH, DAN JUGA MENGHARAPKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

==***===

KAIDAH UMUM DALAM MASALAH IBADAH:

" الأَصْلُ فِي أَعْمَالِ الْقُرْبِ كَتَعْلِيمِ الْعِلْمِ وَنَحْوِهِ أَنْ يَقُومَ بِهَا الْإِنْسَانُ مُحْتَسِبًا مُخْلِصًا لِوَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ عُرْضًا مِنَ الدُّنْيَا، وَهَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ بِلَا شَكٍّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ".

Pada asalnya hukum semua amalan yang diperuntukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti mengajarkan ilmu agama dan sejenisnya, adalah seseorang melakukannya harus betul-betul ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dari-Nya. Tidak bertujuan untuk memperoleh dunia, dan Ini adalah yang paling afdlol tidak diragukan lagi, dan itulah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Taabi'in

Prinsip dasarnya adalah bahwa seorang Muslim harus berniat dalam ibadahnya dan amal salehnya untuk mencari ridha Allah, dan niatnya harus murni untuk tujuan itu.

===****===

PEMBAGIAN KATAGORI IBADAH KARENA MENGHARAPKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI

Siapa pun yang melakukan amal kebajikan atau ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka baginya dalam hal itu terdapat dua kategori:

*****

KATAGORI IBADAH PERTAMA:
“TUJUAN-NYA DEMI KEUNTUNGAN DUNIAWI SEMATA”.

Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman:

(مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ).

“ Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. [QS. Hud: 15-16].

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasululullah () bersabda,

بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ، وَالرِّفْعَةِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمِ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ.

“Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, ketinggian, kemenangan dan kekokohan di muka bumi. Barang siapa di antara mereka melakukan amalan ukhrawi untuk meraih dunia; pada hari akhirat kelak ia tidak akan memperoleh bagian (pahala)”.

(HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Haakim. Dan dinilai sahih oleh al-Hakim, adz-Dzahaby, adh-Dhiya’ al-Maqdisy juga Syeikh al-Albany dalam (“صحيح الترغيب والترهيب”)  hal.116/ no.1876)

Misalnya sbb : 

  • Membaca al-Qur'an demi untuk mendapatkan upah duniawi.
  • Atau berdakwah dengan tujuan sebagai sumber mata pencaharian.
  • Atau Menjadi Muadzin hanya demi untuk mendapatkan tunjangan.
  • Atau menjadi Imam Masjid hanya demi untuk mendapatkan gaji.
  • Atau dia menunaikan ibadah haji atas nama orang lain [badal haji] hanya untuk uang. 
  • Atau dia pergi berperang dalam jihad hanya demi untuk berburu harta rampasan perang. 
  • Atau dia bersedekah demi untuk mendapatkan pujian orang, dan seterusnya. 
Maka Orang yang beramal ibadah dengan tujuan seperti dalam misal-misal ini tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.

Belajar dan mengajar ilmu agama serta berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الْأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا۔ ا.هـ.

Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin, dan ulama lainnya yang masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal tentang upah dalam berdakwah sama sekali. (Baca: مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204).

Namun Para Fuqohaa telah sepekat akan bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal (Kas Negara) atas pengajaran ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya.

====

BEBERAPA CONTOH KATAGORI PERTAMA BESERTA DALILNYA:

[YAKNI ; TUJUAN IBADAHNYA DEMI KEUNTUNGAN DUNIAWI SEMATA].

----

Contoh ke 1: Adzan Shalat Lima Waktu Bertujuan Karena Upah Semata:

Dari Utsman bin Abi Al-'Aas Ats-Tsaqafi -raiyallāhu 'anhu-, ia berkata, 

يَا رَسْوْلَ اللَّهِ اجْعَلنِي إمامَ قَوْمِي ؟ فقالَ: أنتَ إمامُهُم واقتدِ بأضعفِهِم واتَّخذ مؤذِّنًا لا يأخذُ علَى أذانِهِ أجرًا

"Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai imam salat kaumku".

Beliau bersabda: "Kamulah yang menjadi imam mereka. Perhatikanlah (saat salat) kondisi orang-orang yang paling lemah diantara mereka, dan angkatlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya."

[HR. Nasaa'i no. 671. Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 671]

----

Contoh ke 2: Orang durhaka adalah orang yang makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".

قال بَشِيْر: قُلْتُ للوَلِيْد: مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ: المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ

Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran, tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.

Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin, orang, dan orang durhaka.

Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut: "Siapa sajakah mereka itu?"

Maka Al-Walid menjawab: "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran, orang Munafiq adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran, sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran."

[HR. Ahmad no. 11340].

Derajat Hadits:

Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية 6/233 berkata:

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ

"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".

Dan Syeikh al-Albaani dalam السلسلة الصحيحة 1/520 berkata:

"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".

"Para perawinya tsiqoot [dipercaya] selain al-Wallid, maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan, dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid ".

Dalam riwayat lain: Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda:

 (تَعَلَّموا القرآنَ، وَسَلُوا اللهَ بِهِ الجنَّةَ، قَبْلَ أنْ يَتعَلَّمَهُ قَوْمٌ، يَسْأَلُونَ به الدُّنْيا، فَإِنَّ القُرآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاثَةٌ: رَجُلٌ يُباهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ لله).

“Kalian Belajarlah Al-Quran dan mintalah kepada Allah surga dengannya, sebelum muncul satu kaum yang mempelajari Al-Quran untuk tujuan duniawi.

Sesungguhnya ada tiga kelompok yang mempelajari Al-Quran:

  • Seseorang yang mempelajarinya untuk berbangga diri.
  • Seseorang yang mencari makan dengannya.
  • dan seseorang yang membaca karena Allah Subhanahu Wata’ala.”

(HR. Baihaqi dan Abu ‘Ubeid dalam kitab “فضائل القرآن”, Bab: القارئ يستأكل بالقرآن hal. 206. Hadits di sebutkan oleh Syeikh al-Baani dalam “السلسلة الصحيحة “ 1/118-119 No. 258, dan beliau berkata:

وَلِلْحَدِيثِ شَوَاهِدُ أُخْرَى تُؤَيِّدُ صِحَّتَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ.

“ Hadits ini memiliki syahid-syahid lain yang memperkuat keshahinnya dari jemaah para sahabat “)

NOTE: Belajar mengajar ilmu agama serta berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الْأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا. ا.هـ.

Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin, dan ulama lainnya yang masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal tentang upah dalam berdakwah sama sekali. (Baca: مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204).

Namun Mayoritas Para Fuqohaa telah sepekat akan bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal (Kas Negara) atas pengajaran ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya.

----

Contoh ke 3: Larangan Menerima Imbalan Jasa Dari Orang Yang Diajari al-Qur'an Olehnya:

Dari Ubay bin Ka’ab (ra), berkata:

" عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ r فَقَالَ: (إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ) فَرَدَدْتُهَا ".

“ Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang, lalu dia menghadiahkan Busur panah pada ku. Maka aku menceritakannya pada Rosulullah SAW, maka beliau bersabda: “ Jika kamu mengambilnya, maka kamu telah mengambil busur dari api neraka “. Lalu Aku mengembalikannya.

(HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Baani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493).

Dari Abu ad-Dardaa’ (ra), Rosulullah ()  bersabda:

((‌مَنْ ‌أَخَذَ ‌عَلَى ‌تَعْلِيمِ ‌الْقُرْآنِ ‌قَوْساً ‌قَلَّدَهُ ‌الله ‌مَكَانَهَا ‌قَوْساً ‌مِنْ ‌نَارِ ‌جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

Barang siapa menerima [imbalan] Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an, maka Allah akan mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari Kiamat “.

(HR. Imam al-Baihaqi dlm “السنن الكبرى” 6/126 dan lainnya. Di shahihkan oleh Syeikh al-Baani dalam kitab “صحيح الجامع “ no. 5982 dan dalam kitab “السلسلة الصحيحة “ 1/113 no. 256)

Dari Ubadah bin ash-Shoomit radhiyallahu ‘anhu, berkata:

" عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ صلى الله عليه وسلم : (إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا)".

Artinya: Aku telah mengajarkan Al Qur’an pada seseorang dari Ahli ash-Shuffah kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku berkata:

“ Ini bukanlah harta, tetapi ini bisa digunakan untuk berjihad fii sabilillah, namun demikian aku harus menghadap dulu ke Rosulullah SAW, aku mau menanyakannya, lalu aku mendatangi beliau SAW, dan aku berkata pada nya:

“ Wahai Rosulullah, seseorang telah menghadiahi ku Busur panah, orang tsb salah seorang yang aku mengajarkan al-Kitab dan al-Qur’an padanya, dan ini bukan HARTA, dan aku bisa memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah “.

Rosulullah menjawab: “ Jika kau suka busur itu kelak akan dikalung kan pada dirimu dari api Neraka, maka silahkan ambil !!! “. Lalu aku pun mengembalikannya.”

Dalam lafadz riwayat Ibnu Majah:

(إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا)

"Jika engkau suka untuk dihimpit api neraka, maka terimalah."

Dalam lafadz lain:

 (جَمْرَةٌ بَيْنَ كَتِفَيْكَ تَقَلَّدْتَهَا أَوْ تَعَلَّقْتَهَا)

“ Itu Bara Api diantara dua pundakmu, kamu telah melingkarkannya atau kamu mengalungkannya “.

[HR. Imam Ahmad No. 21632, Abu Daud no. 2964 dan Ibnu Majah No. 2148].

Di Shahihkan oleh al-Haakim dan Syeikh al-Albaani dlm “(سلسلة الأحاديث الصحيحة) 1/115", Shahih Abu Daud no. 3416 dan dalam Shahih Turmudzi “.

----

Contoh ke 4: Hadits peringatan terhadap orang yang mendahulukan upah duniawi dalam membaca al-Qur'an dari pada pahala akhirat:

Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi, berkata:

" خرج علينا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوماً ونحن نقريء فقال: الحمدُ لله، كتابُ الله واحدٌ، وفيكم الأحْمَرُ وفيكم الأبْيَضُ وفيكم الأسْوَد اقْرَؤوهُ قَبْل أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".

“ Pada suatu hari Rosulullah keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda: “ Al-Hamdulillah, Kitab Allah satu, sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah, berkulit putih dan berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab), bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an, mereka menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus bacaannya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).

(HR. Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata: Hasan Shahih).

Penjelasan hadits ini:

قوله: "يقيمونه كما يُقَوَّمُ السَّهم" أي: يُحَسِّنون النُّطق به. وقوله: "يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يَتَأَجَّلُهُ" أي: يَطْلُبُ بِذَلِكَ أَجْرَ الدُّنْيَا مِنْ مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلا يَطْلُبُ بِهِ أَجْرَ الْآخِرَةِ.

Ucapan-Nya: "يقيمونه كما يُقَوَّمُ السَّهم" artinya: Mereka memperbaiki cara mengucapkannya. Dan ucapan-Nya: "يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلا يَتَأَجَّلُهُ" artinya: Mereka mencari dengan itu pahala dunia berupa harta, kedudukan, dan jabatan, dan mereka tidak mencari dengan itu pahala akhirat. [Referensi: Jami' al-Usul, oleh Ibnu Athir (2/450-451).]

Riwayat lain: Dari Jabir bin Abdullah, berkata:

دَخَلَ النَّبي صلى الله عليه وسلم المسجدَ، فإذا فيه قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: « اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ، يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه».

Nabi masuk masjid, dan ternyata di dalamya terdapat orang-orang yang sedang baca al-Qur’an.

Beliau bersabda: “ Bacalah kalian al-Qur’an, dan dengannya semata-mata karena mengharapkan Allah, sebelum datangnya kaum yang menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus bacaanya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).

(HR. Imam Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740.

Muhammad Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam kitabnya “(عون المعبود)” 3/42 berkata:

فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ مَجِيءِ أُقَوَّامٍ بَعْدَهُ يُصَلِّحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعَمَّلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ.. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَأَكَّلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ هِجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.

Maka sungguh Nabi telah mengkabarkan: bahwa sesudahnya akan munculnya kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya, bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya.

Maksudnya: Mereka sangat berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia, popularitas, berbangga-banggaan dan ketenaran.

Wahai para ikhwan yang mulia, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah bacaan al-Qurannya di dunia, mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat.

Sesungguhnya perbutan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la. Dan ini adalah jenis perbuatan meng hajer / MEMBOIKOT al-Quran yang paling dahsyat, maka ini adalah sebusuk-busuknya yang mereka lakukan. (Baca: “(عون المعبود شرح سنن أبي داود)” 3/42).

----

Contoh ke 5: Hadits larangan terima uang tips atau upah Jasa baca al-Qur'an:

Hadits Imran bin Hushain (ra): bahwa Rasulullah ()  bersabda:

« مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيْ أَقْوَامٌ يَقْرَءُوْنَ القرآنَ وَيَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ ».

Artinya: " Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan Al Quran itu".

(HR. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir).

Hadits ini di sahihkan oleh Al-Albaani dalam kitab-kitabnya: Islahus Saajid hal. 106, silsilah sahihan 1/461, sahih Targhib no. 1433, dan lainnya).

Dan masih dari Imran bin Hushain (ra):

‏ ‏" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ ‏ ‏يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ‏ ‏يَقُولُ: " ‏مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".

“Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an, kemudian setelah membacanya meminta (upah) kepada orang-orang, maka Imran ber istirja’ (Yakni berkata: Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikan), dan berkata: Aku mendengar Rosulullah bersabda:

" Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu ".

(HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata: " Hadits Hasan ". Dan Syeikh Al-Albaani dalam sahih Targhib 2/80 no. 1433 mengatakan: " Sahih karena ada yang lainnya ". Dan dalam Sahih wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi 6/417 no. 2917 beliau mengatakan: " Hasan ".

Syarah Hadits: 

Al-Mubaarokfuury dalam syarah Sunan Tirmidzi berkata:

قَوْلُهُ (يَقْرَأُ) أَيْ: يَقْرَأُ الْقُرْآنَ.

وَقَوْلُهُ: (ثُمَّ سَأَلَ) أَيْ: طَلَبَ الْقَارِئُ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا مِنَ الرِّزْقِ لِقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ.

وَقَوْلُهُ: (فَاسْتَرْجَعَ) أَيْ: قَالَ عِمْرَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ﴿ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البَقَرَةِ: 156]؛ لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عِمْرَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.

Sabda-nya: (membaca), yaitu dia membaca Al-Qur’an.

Dan sabdanya: (Kemudian dia meminta) artinya: Qoori itu meminta rizki dari orang-orang karena dia telah membaca Al-Qur'an.

Dan sabdanya: (Maka dia meminta untuk mengembalikannya) artinya: Imran radhiyallahu ‘anhu berkata: “ Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali” [Al-Baqarah: 156].

Dia berkata demikian karena perbuatan itu adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori.

Atau karena Imran – semoga Allah meridhoinya – merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana perbuatan tsb merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [Baca: تحفة الأحوذي بشرح جامع الترمذي 8/235].

Ibnu al-Malak al-Hanafi rahimahullah berkata: 

قَوْلُهُ: «مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللَّهَ بِهِ» أَيْ: فَلْيَطْلُبْ مِنَ اللَّهِ بِالْقُرْآنِ مَا شَاءَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، لَا مِنَ النَّاسِ.

“Sabda Nabi : *“Barang siapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya”*, maksudnya adalah hendaklah ia meminta kepada Allah dengan Al-Qur’an apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, bukan meminta kepada manusia”. [Lihat : Syarah al-Mashoobih karya Ibnu al-Malak 3/64].

Mulla Ali al-Qari rahimahullah berkata: 

«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللَّهَ بِهِ» أَيْ: فَلْيَطْلُبْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْقُرْآنِ مَا شَاءَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، لَا مِنَ النَّاسِ. 

أَوِ الْمُرَادُ: أَنَّهُ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ فَلْيَسْأَلْهَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، أَوْ بِآيَةِ عُقُوْبَةٍ فَيَتَعَوَّذْ إِلَيْهِ بِهَا مِنْهَا. 

وَإِمَّا بِأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَقِيبَ الْقِرَاءَةِ بِالْأَدْعِيَةِ الْمَأْثُوْرَةِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الدُّعَاءُ فِي أَمْرِ الْآخِرَةِ، وَإِصْلَاحِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي مَعَاشِهِمْ وَمَعَادِهِمْ.

Sabda Nabi : *“Barang siapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya”*, maksudnya adalah hendaklah ia meminta kepada Allah Ta’ala dengan Al-Qur’an apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, bukan meminta kepada manusia.  

Atau maksudnya: apabila ia melewati ayat rahmat, maka hendaklah ia memohonnya kepada Allah Ta’ala, atau jika melewati ayat siksaan, maka hendaklah ia berlindung kepada-Nya darinya. 

Atau bisa juga maksudnya adalah berdoa kepada Allah setelah membaca Al-Qur’an dengan doa-doa yang diajarkan dalam syariat. Hendaknya doa itu berkaitan dengan urusan akhirat serta kebaikan kaum muslimin dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. ( Baca : *Marqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Masabih*, 4/1513)

----

Contoh ke 6: Larangan Terima Upah Dakwah, Ceramah Agama Dan Mengajar Ilmu Agama:

Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitabnya “ أضواء البيان “ ketika menafsiri surat Hud: 29, berkata:

قَوْلُهُ تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ.

Firman Allah Ta’aalaa: Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.

Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh 'alaihis salam, bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah. Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat: bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul 'alaihimus salaam.

Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita () :

{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}

" Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak minta upah kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).

Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi menyebutkan ayat-ayat seperti yang di atas, lalu berkata:

وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأَجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ". انتَهَى.

" Diambil dari ayat-ayat luhur ini: Tugas para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah Azza wa Jalla, begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram “. (Selesai).

-----

Contoh ke 7: Larangan Niat Mencari Ilmu Agama Untuk Mata Pencaharian Kelak:

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ()  bersabada:

(مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا)

“ Barang siapa menuntut ilmu [agama] yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak.

(HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan imam Ahmad no. 8457) Hadits ini di Shahihkan oleh imam an-Nawawi, syeikh bin Baaz dan syeikh al-Baani. Lihat: “رياض الصالحين” [No. 139 & 1620] dan “صحيح الترغيب” no. 105).

-----

Contoh ke 8: Hadits Larangan Belajar Ilmu Agama Bertujuan Agar Menguasai Majlis-Majlis Ta'lim.

Dari Jabir bin ‘Abdillah (ra) ia berkata, Nabi ()  bersabda:

" لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ ".

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di majelis-majlis. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.”

(HR. Ibnu Majah no. 254. Al-Mundziri dalam kitabnya “الترغيب والترهيب” 1/92:

" إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا".

Artinya: “ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.

Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan [Shahih Ibnu Majah no. 210].

-----

Contoh ke 9: Larangan Belajar Ilmu Agama Bertujuan Agar Kelak Orang-Orang Menjadi Pengikutnya.

Dari Hudzaifah bin al-Yamaan, bahwa Nabi bersabda:

لا تَعلَّموا العِلمَ لتباهوا بهِ العلماءَ أو لتُماروا بهِ السُّفَهاءَ أو لتصرِفوا وجوهَ النَّاسِ إليكم فمَن فعلَ ذلِكَ فَهوَ في النَّارِ

“Janganlah kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, atau dengan ilmunya itu untuk mendebat orang-orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya.”

[HR. Ibnu Majah dan di hasankan oleh syeikh al-Baani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210]

------

Contoh ke 10: Larangan belajar ilmu agama dan baca al-Qur'an bertujuan Untuk Mendatangi Penguasa Dzalim Agar Mendapatkan Dana Tunjangan Darinya:

Dari Ibnu Abbaas RA bahwa Nabi ()  bersabda:

«إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أُمَّتِي سَيَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَقُولُونَ: نَأْتِي الْأُمَرَاءَ فَنُصِيبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ وَنَعْتَزِلُهُمْ بِدِينِنَا وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ كَمَا لَا يُجْتَنَى مِنْ الْقَتَادِ إِلَّا الشَّوْكُ كَذَلِكَ لَا يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ إِلَّا - قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ كَأَنَّهُ يَعْنِي - الْخَطَايَا»

“Sesungguhnya ada manusia-manusia dari kalangan umatku yang mereka mendalami ilmu agama dan membaca al-Quran, dan mereka berkata, “Kami akan mendatangi para pemimpin dari pemerintah, hingga kami mendapatkan sebagian dunia mereka, tapi kami membatasi diri kami dari mereka dengan agama kami (yakni: tidak ikut-ikutan melakukan dosa-dosa kedzaliman).

Yang demikian itu tidak mungkin terjadi (yakni: dapat uangnya penguasa sekaligus agamanya terselamatkan). Sebagaimana tidak ada orang yang memetik dari pohon al-Qataad (pohon yang hanya dipenuhi duri), kecuali hanya mendapatkan duri. Demikian pula, tidak ada seseorang yang memetik dari kedekatan dengan penguasa, kecuali dosa-dosa”. [HR. Imam Ibnu Majah No. 255]

Hadits ini di dhoifkan oleh syeikh al-Albaani dalam (تخريج مشكاة المصابيح) No. 253 & 262, (صحيح وضعيف سنن ابن ماجة) 1/327 dan (الضعيفة ) no. 1250 dan (“التعليق الرغيب”) 1/69. Lihat “الدرر السنية” hadits No. 103321.

Dari Abu Hurairah (ra) bahwasanya Nabi ()  bersabda:

" تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحَزَنِ. قالوا: يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ ؟ قال: وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ أربعَمائةِ مرَّةٍ. قيل: يا رسولَ اللهِ من يدخلُه ؟ قال: أُعِدَّ للقُرَّاءِ المُرائين بأعمالِهم ، وإنَّ من أبغضِ القُرَّاءِ إلى اللهِ الَّذين يُزورُون الأمراءَ الجَوَرةَ "

“Berlindunglah kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan.

Para shahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan?

Nabi menjawab: “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 400 kali setiap hari”.

Para shahabat bertanya: “Siapa yang memasukinya?

Nabi menjawab: “ [Jub al-hazan] Disediakan bagi para pembaca al-Quran yang riya` (ingin dipuji manusia) sesuai dengan amal perbuatan mereka. Sesungguhnya, para pembaca al-Quran yang paling dibenci Allah adalah mereka yang mengunjungi para penguasa yang lalim tidak adil”.

[HR. Al-Mundziri dlm “الترغيب والترهيب” 4/341, at-Turmudzy No. 2383 dan Ibnu Majah No. 256. Di dhoifkan oleh Syeikh al-Baani dlm “ضعيف ابن ماجه” no. 50. Dan al-Mundziri dalam “الترغيب والترهيب” 1/51berkata: “لا يتطرق إليه احتمال التحسين”].

Dari Ali bin Abi Tholib (ra), bahwa Nabi ()  bersabda:

" تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ، قيل: يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ أو وادي الحزَنِ ؟ قال: وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ كلَّ يومٍ سبعين مرَّةً أعدَّه اللهُ للقُرَّاءِ المُرائين ".

“Berlindunglah kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, apa jubb al-hazan? Nabi menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 70 kali setiap hari”. Allah swt telah menyiapkannya untuk para qori al-Qura’an yang riya (ingin dipuji manusia) “.

(Lihat: “الترغيب والترهيب للمنذري” karya al-Mundziri 4/341. Sanad nya Hasan. Lihat “الدرر السنية” hadits no. 112)

====

PERNYATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG :
“IBADAH KARENA DUNIA SEMATA”:

Abu'l-'Abbaas al-Qurthubi (wafat 656 H) berkata:

"فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْبَاعِثُ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَعْرَاضِ الدُّنْيَا؛ فَلَا يَكُونُ عِبَادَةً، بَلْ يَكُونُ مَعْصِيَةً مَوْبِقَةً لِصَاحِبِهَا، فَإِمَّا كُفْرٌ، وَهُوَ: الشِّرْكُ الْأَكْبَرُ، وَإِمَّا رِيَاءٌ، وَهُوَ: الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ... هَذَا إِذَا كَانَ الْبَاعِثُ عَلَى تِلْكَ الْعِبَادَةِ الْغَرَضَ الدُّنْيَوِيُّ وَحْدَهُ، بِحَيْثُ لَوْ فُقِدَ ذَلِكَ الْغَرَضُ لَتُرِكَ الْعَمَلُ".

Jika motifnya [amal ibadah] lain, seperti hanya demi keuntungan duniawi, maka itu bukan lagi ibadah; bahkan itu maksiat yang dapat mengadzab pelakunya.

Bisa jadi itu adalah kekufuran yang merupakan syirik besar, atau bisa jadi itu adalah RIYA [pamer] yang merupakan syirik kecil…. 

Hal ini berlaku jika tujuan ibadahnya hanya sebatas untuk keuntungan duniawi semata, dalam artian jika tujuan itu tidak tercapai alias gagal, maka dia akan segera meninggalkan amalan tersebut [yakni: tidak akan melakukannya lagi]. [Baca: al-Mufhim Lima Asykala Min Talkhish Kitaab Muslim (12/50)]

Ibnu Jariir ath-Thabari (wafat 310 H) berkata:

" مَنْ عَمِلَ صَالِحًا الْتِمَاسَ الدُّنْيَا صَوْمًا أَوْ صَلَاةً أَوْ تَهَجُّدًا بِاللَّيْلِ لَا يَعْمَلُهُ إِلَّا لِالْتِمَاسِ الدُّنْيَا ؛ يَقُولُ اللَّهُ: أُوَفِّيهِ الَّذِي الْتَمَسَ فِي الدُّنْيَا مِنَ الْمَثَابَةِ ، وَحَبِطَ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُ الْتِمَاسَ الدُّنْيَا ، وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ "

Barangsiapa melakukan amal saleh hanya karena mencari keuntungan duniawi semata, baik itu puasa, shalat, atau tahajud di malam hari, melakukannya hanya untuk keuntungan duniawi, maka Allah SWT berfirman: Aku akan memberinya apa yang dia cari dari pahala dunia ini. Akan tetapi amal ibadahnya yang dia lakukan demi keuntungan duniawi, itu akan menjadi batal, dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi. [Lihat Jaami' al-Bayaan (12/347)].

*****

KATAGORI IBADAH KEDUA:
TUJUANNYA KARENA ALLAH, DAN JUGA MENGHARAPKAN KEUNTUNGAN DUNIAWI.

Yakni: Seseorang dengan melakukan perbuatan ini dia mencari keridhaan Allah, tetapi dia juga berharap untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat duniawi yang mungkin dihasilkan dari amalan ini ; maka dalam hal ini hukumnya berbeda-beda, tergantung pada motifnya dan niatnya yang lebih kuat dalam melakukan perbuatan tersebut, mencari keridhoan Allah yang lebih kuat atau keuntungan duniawi.

====

Pertama: Tujuan utamanya atau motif yang lebih kuat adalah mencari ridho Allah:

Jika tujuan utamanya atau motif yang lebih kuat adalah mencari keridhaan Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya ; maka hal itu tidak mengapa.

Contohnya seperti amal ibadah berikut ini:

1] Seseorang yang berpuasa karena Allah, tetapi selain itu dia berharap dengan puasanya itu bisa menjaga kesehatannya.

2] Atau dia berhaji demi mendapat ridho Allah, tetapi pada saat yang sama dia berniat untuk melakukan suatu bisnis. Contohnya bisnis travel haji.

3] Atau dia berjihad demi Allah, dan juga bertujuan untuk memperoleh sebagian harta rampasan. 

4] Atau dia menunaikan zakat atas hartanya karena Allah, tetapi juga mencari keberkahan dan agar hartanya tumbuh berkembang. 

5] Atau dia bersedekah karena Allah, dan pada saat yang sama berniat mencari kesembuhan dari penyakit. 

6] Atau dia menghubungkan tali silaturrahim [tali kekeluargaan] dengan tujuan mencari pahala, juga agar dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya.

Ath-Thaahir ibnu 'Asyur berkata:

" فَأَمَّا إِنْ كَانَ لِلنَّفْسِ حَظٌّ عَاجِلٌ ، وَكَانَ حَاصِلًا تَبَعًا لِلْعِبَادَةِ ، وَلَيْسَ هُوَ الْمَقْصُودُ ، فَهُوَ مُغْتَفَرٌ ، وَخَاصَّةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ لَا تَخْلُو عَنْهُ النُّفُوسُ، أَوْ كَانَ مِمَّا يُعِينُ عَلَى الِاسْتِزَادَةِ مِنَ الْعِبَادَةِ ".

"Adapun jika pada jiwanya itu terdapat harapan keberuntungan duniawi yang dihasilkan dari amal ibadahnya, namun keuntungan duniawi itu bukanlah tujuan utamanya, maka itu adalah hal yang dimaafkan, terutama jika hal itu adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh jiwa siapa pun; atau terutama jika itu adalah sesuatu yang dapat memotivasi seseorang untuk melakukan lebih banyak ibadah. [at-Tahriir wa't-Tanwiir (23/318)]

Syekh 'Abd ar-Rahmaan as-Sa'di berkata:

" قَصْدُ العَامِلِ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى عَمَلِهِ مِنْ ثَوَابِ الدُّنْيَا لَا يَضُرُّهُ إِذَا كَانَ الْقَصْدُ مِنَ الْعَمَلِ وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ. فَإِنَّ اللَّهَ بِحِكْمَتِهِ وَرَحْمَتِهِ رَتَّبَ الثَّوَابَ الْعَاجِلَ وَالْآجِلَ، وَوَعَدَ بِذَلِكَ الْعَامِلِينَ؛ لِأَنَّ الْأَمَلَ وَاِسْتِثْمَارَ ذَلِكَ يُنْشِطُ الْعَامِلِينَ، وَيُبَعِّثُ هُمَمَهُمْ عَلَى الْخَيْرِ، كَمَا أَنَّ الْوَعِيدَ عَلَى الْجَرَائِمِ، وَذِكْرَ عُقُوبَاتِهَا مِمَّا يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ وَيُبَعِّثُهُمْ عَلَى تَرْكِ الذُّنُوبِ وَالْجَرَائِمِ. فَالْمُؤْمِنُ الصَّادِقُ يَكُونُ فِي فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ مُخْلِصًا لِلَّهِ، مُسْتَعِينًا بِمَا فِي الْأَعْمَالِ مِنَ الْمُرْغِبَاتِ الْمُتَنَوِّعَةِ عَلَى هَذَا الْمَقْصَدِ الْأَعْلَى. انتهى".

" Adanya kesengajaan niat seseorang melakukan suatu ibadah yang jika dia mengamalkannya akan menyebabkan keuntungan duniawi ; maka itu tidak membahayakan dirinya, jika tujuan utamanya adalah untuk mencapai keridhaan Allah dan mencari akhirat.

Karena sesungguhnya Allah dengan hikmah dan rahmat-Nya telah menetapkan pahala yang segera di dunia dan yang akan datang di akhirat, dan Dia menjanjikan hal tersebut kepada para pelaku amal ibadah. Karena harapan dan buah yang hasilkan dalam hal tersebut akan membangkitkan semangat para pelaku amal dan mendorong mereka menuju pada kebaikan.

Sama halnya dengan ancaman adzab terhadap kejahatan dan penyebutan tentang hukumannya, itu adalah sesuatu yang bisa menakut-nakuti hamba-hamba Allah dan mendorong mereka untuk meninggalkan dosa dan kejahatan.

Maka seorang mukmin yang jujur ; dia akan memurnikan dalam ibadahnya semata-mata karena Allah, dengan memohon pertolongan kepada Allah melalui amalan-amalan yang mengandung targhiib untuk mencapai tujuan yang paling tinggi ini." Selesai. [Kutipan akhir dari Bahjat Quluub al-Abraar, hal. 273]

Syekh Ibnu Utsaimin berkata:

" إِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ عَلَيْهِ نِيَّةُ التَّعْبُدِ فَقَدْ فَاتَهُ كَمَالُ الْأَجْرِ، وَلَكِنْ لَا يَضُرُّهُ ذَلِكَ بِاقْتِرَافِ إِثْمٍ أَوْ وِزْرٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي الْحَجَّاجِ: "لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ". انتهى.

Jika motifnya utamanya kebanyakan berniat untuk ibadah kepada Allah, maka dia mendapatkan pahala yang kurang sempurna, namun itu tidak membahyakan ibadahnya, meski itu perbuatan dosa dan dosa ; karena Allah Ta'ala berfirman tentang para haji yang berbisnis:

(لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ)

“Tidak ada salahnya bagi kalian untuk mencari karunia [rizki] dari Tuhan kalian [selama haji]” (QS. al-Baqarah:198).

Akhiri kutipan. [* Kitab al-Fataawaa Fii al-'Aqiidah (hal. 179)]

KOMENTAR . Penulis katakan:

Ada sedikit koreksi tentang dalil ayat yang di gunakan Syeikh Utsaimin rahimahullah dalam masalah yang beliau sebutkan.

Pertama: ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan masalah yang beliau bahas yaitu mengharapkan keuntungan duniawi dari ibadahnya seperti upah membaca al-Quran atau upah ibadah haji melainkan yang dimaksud ayat tsb adalah berbisnis di musim haji, contohnya seperti berhaji sambil jualan kurma, makanan, minuman dan lainnya.

Kedua: Sepengetahuan penulis bahwa berbisnis di musim haji bukan lah perbuatan dosa. Namun memang benar dahulu pada masa jahiliah masyarakat arab berkeyakinan bahwa berbisinis di musim haji adalah perbuatan dosa, lalu setelah Islam datang maka keyakinan tersebut dihilangkan dengan turunnya ayat tersebut.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan:

" كَانَتْ عُكَاظٌ ومَجَنَّة، وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقَ الْجَاهِلِيَّةِ، فتأثَّموا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي الْمَوَاسِمِ فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ} فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ".

"Bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan; mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. Maka turunlah firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yaitu dalam musim haji". [HR. Bukhori no. 4519].

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/549 berkata:

وَهَكَذَا رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، بِهِ.

وَلِبَعْضِهِمْ: فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ تَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا، فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ

" Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id ibnu Mansur serta lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz yang sama.
Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka masih tetap merasa berdosa bila melakukan perniagaan (pada musim haji), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah (
)  mengenai hal tersebut, lalu Allah (Swt) menurunkan ayat ini".

Yakni firman-Nya:

{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ منْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198) }

" Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari hadiah (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat". [QS. al-Baqarah: 198].

====

Kedua: Tujuan utama ibadahnya atau motif yang lebih kuat adalah demi keuntungan duniawi:

Jika tujuan utama ibadahnya atau motif yang lebih kuat adalah keuntungan duniawi, maka tidak akan ada pahala baginya.

Syekh Ibnu 'Utsaimin berkata, melanjutkan dari kata-kata beliau yang dikutip di atas:

وَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ عَلَيْهِ نِيَّةُ غَيْرِ التَّعْبُدِ، فَلَيْسَ لَهُ ثَوَابٌ فِي الْآخِرَةِ، وَإِنَّمَا ثَوَابُهُ مَا حَصَلَهُ فِي الدُّنْيَا، وَأَخْشَى أَنْ يَأْثَمَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْعِبَادَةَ الَّتِي هِيَ أَعْلَى الْغَايَاتِ وَسِيلَةً لِلدُّنْيَا الْحَقِيرَةِ، فَهُوَ كَمَنْ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ: "وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ"...

وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: (مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ).

Jika motifnya sebagian besar selain menunjukkan pengabdian kepada Allah, maka dia tidak akan mendapat pahala di akhirat; melainkan pahalanya adalah apa yang dia peroleh di dunia ini.

Dan saya khawatir dia mungkin berdosa karenanya, karena dia telah melakukan ibadah, yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang paling luhur, dan telah mengubahnya menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan duniawi yang tidak berarti. Maka dia ini seperti orang-orang yang Allah berfirman (tafsir artinya):

(وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ)

" Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah". [at-Taubah 9:58].

Dalam ash-Shahihain, diriwayatkan dari 'Umar bin al-Khattaab (ra) bahwa Nabi ()  bersabda:

(مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)

"Barangsiapa berhijrah untuk keuntungan duniawi atau untuk menikah seorang wanita, maka hijrahnya adalah sesuai dengan peruntukan tujuan hijrahnya.”

Penulis katakan:

Adapun ayat yang disebutkan Syeikh al-'Utsaimin, maka Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyebutkan sebab turunnya ayat tsb:

Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnu Abu Asim yang mengatakan:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةٍ، فَقَسَمَهَا هَاهُنَا وَهَاهُنَا حَتَّى ذَهَبَتْ. قَالَ: وَوَرَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ: مَا هَذَا بِالْعَدْلِ؟ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ

"Bahwa Nabi ()  kedatangan harta zakat, maka beliau Saw. membagi-bagikannya ke sana dan kemari hingga habis. Tiba-tiba seorang lelaki dari kalangan Ansar yang ada di belakangnya berkata: "Ini pembagian yang tidak adil." Maka turunlah ayat tersebut. [Tafsir Ibnu Katsir 4/164]

Lalu Ibnu Katsir berkata:

Kemudian Allah Swt. berfirman mengingatkan mereka kepada apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam keadaan seperti itu:

{وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ}

" Jikalau mereka sungguh-sungguh ridho dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, " (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)". (QS. At-Taubah: 59)

Ayat yang mulia ini mengandung etika yang agung dan rahasia yang mulia, mengingat disebutkan bahwa ridho itu hanyalah kepada apa yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya; dan hanya kepada Allah sematalah bertawakal". [Tafsir Ibnu Katsir 4/164].

Dan adapun sebab wurudnya hadits Umar tentang hijrah tergantung niat adalah sbb:

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/48 menjelaskan:

وَقِصَّة مُهَاجِر أُمّ قَيْس رَوَاهَا سَعِيد مِنْ مَنْصُور قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَة عَنْ الْأَعْمَش عَنْ شَقِيق عَنْ عَبْد اللَّه - هُوَ اِبْن مَسْعُود - قَالَ: مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُل لِيَتَزَوَّج اِمْرَأَة يُقَال لَهَا أُمّ قَيْس فَكَانَ يُقَال لَهُ مُهَاجِر أُمّ قَيْس وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيّ مِنْ طَرِيق أُخْرَى عَنْ الْأَعْمَش بِلَفْظِ: كَانَ فِينَا رَجُل خَطَبَ اِمْرَأَة يُقَال لَهَا أُمّ قَيْس فَأَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجهُ حَتَّى يُهَاجِر فَهَاجَرَ فَتَزَوَّجَهَا, فَكُنَّا نُسَمِّيه مُهَاجِر أُمّ قَيْس.

وَهَذَا إِسْنَاد صَحِيح عَلَى شَرْط الشَّيْخَيْنِ, لَكِنْ لَيْسَ فِيهِ أَنَّ حَدِيث الْأَعْمَال سِيقَ بِسَبَبِ ذَلِكَ, وَلَمْ أَرَ فِي شَيْء مِنْ الطُّرُق مَا يَقْتَضِي التَّصْرِيح بِذَلِكَ.

Dan cerita tentang Muhajirah Ummu Qais diriwayatkan oleh Sa'id dari Mansur. Dia mengatakan: Telah memberitakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al-A'mash dari Syaqiq dari Abdullah bin Mas'ud. Dia berkata:

"Barangsiapa yang berhijrah mencari sesuatu, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang dia cari. Ada seorang laki-laki berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais, maka dia dijuluki sebagai Muhajir Ummu Qais."

Dan hadits ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarani dari jalur lain dari Al-A'mash dengan lafazh: "Dahulu di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita yang disebut Ummu Qais, namun dia menolak untuk menikahinya kecuali jika dia berhijrah. Maka dia pun berhijrah dan menikahinya, dan kami menyebutnya Muhajir Ummu Qais."

Sanad hadits ini sahih menurut syarat dua syaikh (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi tidak ada dalam riwayat-riwayat yang saya temukan yang menyebutkan hubungan hadits ini dengan hadits tentang al-a'maal ".

====

Ketiga: Tujuan dan Motif ibadahnya berimbang karena Allah dan karena keuntungan duniawi, sama rata :

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

وَإِنْ تَسَاوَى عِنْدَهُ الْأَمْرَانِ ، فَلَمْ تَغْلِبْ نِيَّةُ التَّعْبُدِ وَلَا نِيَّةُ غَيْرِ التَّعْبُدِ فَمَحَلُّ نَظَرٍ ، وَالْأَقْرَبُ: أَنَّهُ لَا ثَوَابَ لَهُ كَمَنْ عَمِلَ لِلَّهِ تَعَالَى وَلِغَيْرِهِ.

Jika kedua tujuan itu sama, dan tidak ada yang melebihi yang lain, maka masalah ini dapat didiskusikan lebih lanjut. 

Pandangan ulama yang lebih rajih adalah bahwa tidak ada pahala baginya; dia seperti orang yang melakukan ibadah mencari keridhaan Allah dan orang lain".[Majmu' Fataawa wa Rasaa'il Ibnu Utsaimiin (1/99)]

Salah satu hikmah dan kebijaksanaan Allah Ta'ala adalah Dia menetapkan pahala di dunia ini dalam amal-amal ibadah dan ketaatan, sebagai bagian dari keberkahan amal ibadah itu.

Dan Dia telah menyebutkan sebagian itu untuk hamba-hamba-Nya sebagai motivasi utuk mengamalkannya:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

" Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat ". (QS. An-Nisaa: 134)

Dia Menyebutkan manfaat dan keuntungan duniawi dari amal-amal saleh ini membuat seseorang rindu untuk melakukan amalan tersebut dan menginginkannya. Dengan kemurahan-Nya, Allah Ta'aala memberikan kepada mereka yang mengamalkannya - karena mencari keridhaan-Nya - pahala di kedua alam [Dunia dan Akhirat]:

فَاٰتٰىهُمُ اللّٰهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْاٰخِرَةِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

" Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan". [QS. Ali Imran: 148]

Tidak ada salahnya bagi orang yang melakukan amal ibadah karena Allah, dengan mengaharapkan pahala akhirat sebagai tujuan utamanya, dan apa pun pahala yang di dunianya adalah urusan sekunder baginya. 

Sebaliknya yang menjadi celaan adalah jika ada orang yang tidak mau beribadah dan beramal kebaikan, namun dia disibukkan dengan mencari keuntungan duniawi. Atau itulah tujuan dan niat utamanya sejak awal. 

Allah Ta'ala telah berfirman:

﴿ففَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴾

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” [QS. al-Baqarah: 200-201]

Alhamdulillah

 

Posting Komentar

0 Komentar