MENGOREKSI SYUBHAT AHLI
ZUHUD : "BAHWA DUNIA BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN MELALAIKAN
AKHIRAT".
Di susun oleh Abu Haitsam
Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
DAFTAR ISI:
- PENDAHULUAN
- HARTA DAN DUNIA TIDAK
BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT
- PENGARUH HARTA HALAL & HARAM
TERHADAP DITERIMANYA IBADAH
- NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK
PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH
- PANDANGAN AHLI ZUHUD YANG MENGATAKAN BAHWA ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT [AGAMA] SALING BERTENTANGAN
- DALIL-DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD
YANG LARI DARI DUNIA SERTA BANTAHANNYA:
- KONSEP MEMAHAMI DALIL YANG
BER-TEMAKAN TENTANG HARTA DAN NAFKAH
- DALIL-DALIL BAHWA DUNIA DAN MENCARI HARTA ITU TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT:
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
=====*****====
PENDAHULUAN
Allah SWT berfirman:
"وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ”
Dan Katakanlah:
“Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaan kalian itu". [QS. At Taubah: 105].
Dan Allah SWT berfirman:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا
تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِيْنَ
Dan
carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.
Dan berbuatbaiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang
yang berbuat kerusakan. [QS. Al-Qoshosh: 77].
Dari Abu Hurairah (ra)
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ
أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ
لِأَهْلِ مَكَّةَ.
“Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi pun melainkan pernah bekerja menggembala kambing.”
Para sahabat bertanya: “Dan engkau sendiri?”.
Beliau ﷺ menjawab: ”Ya,
aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan
upah beberapa qirath.” [HR Al Bukhari no. 2143.]
[Ukuran Qirath:
إِنَّ القِيرَاطَ الْوَاحِدَ مِنَ الذَّهَبِ يُسَاوِي 0.2 غ. أَمَّا
فِي حَالِ رَغِبْتَ فِي التَّحْوِيلِ عَكْسِيًّا مِنَ الْجِرَامِ إِلَى الْقِيرَاطِ،
فَإِنَّهُ مِنَ الْمَعْرُوفِ أَنَّ 1 غ = 5 قِرَاطِ.
"Satu Qirath emas sama
dengan 0,2 gram. Tetapi jika Anda ingin mengubahnya kembali dari gram ke
Qirath, maka yang sudah maklum adalah 1 gram = 5 Qirath".
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 7/240 no. 35683
meriwayatkan:
عَنْ أَبِي
خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا قِصَرُ الْأَمَلِ
، وَلَيْسَ بِلُبْسِ الصُّوفِ.
وَذُكِرَ
أَنَّ الْأَوْزَاعِيَّ كَانَ يَقُولُ: الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا تَرْكُ الْمَحْمَدَةِ
، يَقُولُ: تَعْمَلُ الْعَمَلَ لَا تُرِيدُ أَنْ يَحْمَدَكَ النَّاسُ عَلَيْهِ.
وَذُكِرَ
أَنَّ الزُّهْرِيَّ كَانَ يَقُولُ: الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا مَا لَمْ يَغْلِبِ الْحَرَامُ
صَبْرَكَ ، وَمَا لَمْ يَغْلِبِ الْحَلَالُ شُكْرَكَ
Dari Abu Kholid al-Ahmar, dari Sufyan, ia berkata: “Zuhud
terhadap dunia adalah pendek angan-angan (tidak banyak keinginan), bukan dengan
berpakaian dengan pakaian dari wol (yakni; pakaian yang lusuh)”.
Disebutkan bahwa Al-Auza’i berkata: “Zuhud terhadap dunia
adalah meninggalkan keinginan untuk dipuji. Maksudnya, engkau beramal tanpa
menginginkan pujian manusia atas amal itu”.
Dan disebutkan bahwa Az-Zuhri berkata: “Zuhud terhadap dunia adalah ketika perkara haram tidak mengalahkan kesabaranmu, dan perkara halal tidak mengalahkan rasa syukurmu”. (yakni ; tidak membuatnya lalai dari rasa syukur kepada Allah).
Ibnu Abi Ad-Dunya (w. 281
H) meriwayatkan pula dalam "Ishlaah Al-Maal" (84) dari Al-Muqaddam
bin Ma'di Karb radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
(يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَنْفَعُ فِيهِ إِلَّا
الدِّينَارُ وَالدِّرْهَمُ).
"Akan datang kepada
manusia suatu zaman di mana tidak ada yang bermanfaat kecuali hanya dinar dan dirham [yakni:
Uang]."
Dan Ibnu Abi Ad-Dunya
meriwayatkan pula dalam "Ishlaah Al-Maal" (79) dari Sufyan
Ats-Tsawri, bahwa beliau berkata:
"الْمَالُ فِي هَذَا الزَّمَانِ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ".
"Harta di zaman ini
adalah senjata bagi seorang mukmin."
Dan Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman
2/438 no. 1177 dengan sanadnya dari as-Sakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
" طَلَبُ الْحَلَالِ مِثْلُ مُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ فِي
سَبِيلِ اللهِ، وَمَنْ بَاتَ عَيِيًّا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ بَاتَ وَاللهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَنْهُ رَاضٍ "
“Mencari rezeki yang
halal itu seperti berperang di jalan Allah melawan al-Abthol (para musuh yang tangguh, kuat lagi gagah berani) .
Dan siapa pun yang
bermalam dalam keadaan letih karena mencari rezeki halal, maka demi Allah ‘azza
wa jalla, ia bermalam dalam keadaan Allah ridha kepadanya.”
Lalu al-Baihaqi berkata
(2/438):
قَالَ عَلِيُّ بْنُ عَثَّامٍ: وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ،
لِمَالِكِ بْنِ دِينَارٍ: " يَا مَالِك ألَا تُقَارِعُ
الْأَبْطَالَ؟ " قَالَ: وَمَا مُقَارَعَةُ الْأَبْطَالِ؟ قَالَ: "
الْكَسْبُ مِنَ الْحَلَالِ وَالْإِنْفَاقُ عَلَى الْعِيَالِ "
Ali bin ‘Atsam berkata:
Muhammad bin Wasi‘ berkata kepada Malik bin Dinar: “Wahai Malik, tidakkah
sebaiknya engkau berperang melawan al-Abthol (para musuh yang kuat lagi gagah
berani).”
Malik berkata: “Apakah
yang dimaksud berperang melawan al-Abthol (para musuh yang kuat lagi gagah
berani)?”
Ia menjawab: “Yaitu
engkau bekerja mencari rezeki yang halal dan menafkahkan-nya untuk keluarga.”
[Lihat pula : Hamisy
Jam’ul Jawami’ karya as-Suyuthi 5/531, Tahqiq Mukhtar Ibrahim al-Ha’ij. Cet.
Al-Azhar asy-Syarif - Kairo]
Makna
“Al-Abthal (الأبْطَالُ)”:
الشُّجْعَانُ وَالْمُقْدَامُونَ: جَمْعُ
"بَطَلٍ" الَّذِي يَدُلُّ عَلَى الشَّجَاعَةِ وَالْإِقْدَامِ، مِثْلُ
أَبْطَالِ الْمَعَارِكِ.
“Para
pemberani dan pejuang gagah berani. Jamak dari “bathol” yang menunjukkan
keberanian dan ketangguhan, seperti para pahlawan yang tangguh dalam
peperangan”.
Ash-Shan’ani dalam
at-Tanwir 7/136 berkata :
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ الْمُرَادَ الرِّزْقُ الْحَلَالُ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ يَمُونُهُ، وَفِيهِ وَفِيمَا قَبْلَهُ رَدٌّ
عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَا يُوجَدُ الْحَلَالُ فِي الْأَزْمِنَةِ الَّتِي
عَمَّتْ فِيهَا الشُّبُهَاتُ وَفَاضَ فِيهَا بِحَارُ الْجَوْرِ، لِأَنَّ
الْحَدِيثَ عَامٌّ لِلْأَزْمِنَةِ، وَلَوْ فُقِدَ الْحَلَالُ لَكَانَ تَكْلِيفًا
بِمَا لَا وُجُودَ لَهُ، كَمَا قِيلَ: وَشَيْئَانِ مَعْدُومَانِ فِي الْأَرْضِ
دِرْهَمٌ حَلَالٌ، وَخِلٌّ فِي الْحَقِيقَةِ نَاصِحٌ.
Kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa mencari rezeki halal itu wajib bagi setiap Muslim, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang menjadi tanggungannya.
Dalam pernyataan ini dan sebelumnya terdapat bantahan terhadap orang yang beranggapan bahwa rezeki halal tidak lagi ada di masa ketika syubhat merajalela dan kezaliman meluas, karena hadis ini bersifat umum untuk seluruh masa.
Seandainya rezeki
halal benar-benar tidak ada, maka itu berarti Allah membebani manusia dengan
sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi. Sebagaimana dikatakan: “Dua hal yang sulit
ditemukan di dunia ini: satu dirham yang benar-benar halal, dan seorang sahabat
yang tulus dalam arti sebenarnya.”
===****====
HARTA DAN DUNIA
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN
AKHIRAT
Imam As-Sarkhasi [wafat
490 H] berkata:
"بَيَّنَ مُحَمَّدٌ - رَحِمَهُ اللَّهُ - أَنَّ الْكَسْبَ
فِيهِ مَعْنَى الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْقُرَبِ وَالطَّاعَاتِ أَيَّ كَسْبٍ كَانَ
حَتَّى قَالَ: إنَّ كَسْبَ فَتَّالِ الْحِبَالِ وَمُتَّخِذِ الْكِيزَانِ
وَالْجِرَارِ وَكَسْبَ الْحَرَكَةِ فِيهِ مُعَاوَنَةٌ عَلَى الطَّاعَاتِ
وَالْقُرَبِ، فَإِنَّهُ لَا يَتَمَكَّنُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ إلَّا
بِالطَّهَارَةِ وَيَحْتَاجُ ذَلِكَ إلَى كُوزٍ يُسْتَقَى بِهِ الْمَاءُ وَإِلَى
دَلْوٍ وَرِشَاءٍ يُنْزَحُ بِهِ الْمَاءُ وَيَحْتَاجُ إلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ
لِأَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَإِنَّمَا يَتَمَكَّنُ مِنْ ذَلِكَ بِعَمَلِ الْحَرَكَةِ
فَعَرَفْنَا أَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ أَسْبَابِ التَّعَاوُنِ عَلَى إقَامَةِ
الطَّاعَةِ وَإِلَيْهِ أَشَارَ عَلِيٌّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - فِي قَوْلِهِ لَا
تَسُبُّوا الدُّنْيَا فَنِعْمَ مَطِيَّةُ الْمُؤْمِنِ الدُّنْيَا إلَى
الْآخِرَةِ، وَقَالَ أَبُو ذَرٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - حِينَ سَأَلَهُ رَجُلٌ
عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَعْدَ الْإِيمَانِ فَقَالَ: الصَّلَاةُ وَأَكْلُ
الْخُبْزِ فَنَظَرَ إلَيْهِ الرَّجُلُ كَالْمُتَعَجِّبِ فَقَالَ: لَوْلَا
الْخُبْزُ مَا عُبِدَ اللَّهُ تَعَالَى يَعْنِي بِأَكْلِ الْخُبْزِ يُقِيمُ
صُلْبَهُ فَيَتَمَكَّنُ مِنْ إقَامَةِ الطَّاعَةِ.
ثُمَّ الْمَذْهَبُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ - رَحِمَهُمُ
اللَّهُ - أَنَّ الْمَكَاسِبَ كُلَّهَا فِي الْإِبَاحَةِ سَوَاءٌ".
"Muhammad [Bin al-Hasan asy-Syaibaani] - semoga Allah merahmatinya - menjelaskan bahwa KASAB [usaha cari rizki] di dalamnya memiliki makna membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan. - artinya, kasab apa saja yang ada -.
Bahkan beliau mengatakan:
'Sesungguhnya
kasab [usaha cari rizki] yang dihasilkan dari alat tenun benang, alat
timbangan, dan alat-alat berat, serta penghasilan dari pergerakan fisik,
semuanya itu merupakan hal yang bisa membantu untuk ketaatan dan mendekatkan
diri kepada Allah. Karena seseorang tidak dapat menunaikan shalat kecuali
dengan bersuci terlebih dahulu, dan itu membutuhkan alat seperti tempat air dan
ember yang digunakan untuk mengambil air serta membutuhkan pakaian penutup
aurat untuk melaksanakan shalat.
Dan seseorang dapat
melaksanakan itu semua, harus melalui proses kerja yang membutuhkan gerakan
badan. Maka kita mengetahui bahwa semua itu merupakan sebab-sebab untuk
membantu dalam melaksakan ketaatan.'
Dan ini adalah yang di isyaratkan oleh Ali (ra) dalam ucapan beliau: 'Janganlah kalian mencaci dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tunggangan yang baik bagi seorang mukmin untuk mencapai akhirat.'
Abu Dzar (ra) ketika
ditanya tentang amal terbaik setelah iman, beliau menjawab, "Shalat
dan makan roti".'
Lalu orang itu
terheran-heran, lalu Abu Dzar berkata: 'Andaikata tidak ada roti, maka dia
tidak bisa beribadah kepada Allah Ta'ala'. Maksudnya, dengan makan roti, tubuhnya
menjadi kuat sehingga dia mampu menunaikan ketaatan.
Kemudian, pandangan
mayoritas para ahli fikih - semoga Allah merahmati mereka - adalah bahwa semua kasab
[usaha cari rizki] dalam hal yang halal adalah sama". [Baca: Al-Mabsuuth
30/258].
Dan Imam As-Sarkhasi juga
berkata:
وَفِي الْحَدِيثِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ صَافَحَ سَعْدَ بْنَ
مُعَاذٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، فَإِذَا يَدَاهُ قَدْ اكْتَبَتَا فَسَأَلَهُ
النَّبِيُّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَضْرِبُ بِالْمَرِّ وَالْمِسْحَاةِ لِأُنْفِقَ
عَلَى عِيَالِي فَقَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدَهُ وَقَالَ كَفَّانِ يُحِبُّهُمَا
اللَّهُ تَعَالَى»
Dan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ berjabat tangan dengan Saad bin Mu'adz -semoga Allah meridainya- pada suatu hari, dan kulit kedua telapak tangan nya terlihat terkelupas. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu Saad bin Mu'adz menjawab:
"Saya memetik kurma dan membersihkannya di kebunku untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya."
Rasulullah ﷺ mencium tangan Saad bin Mu'adz dan
bersabda: "Dua telapak tangan yang dicintai oleh oleh Allah Ta'ala."
[Baca: Al-Mabsuuth 30/245].
Para sahabat Rasulullah ﷺ berdagang di daratan dan menyeberangi
lautan, mereka juga bekerja di kebun kurma mereka. Mereka menjadi contoh yang
baik dalam hal ini. Para Anshar adalah orang-orang yang berkebun kurma dan
bercocok tanam, sedangkan para Muhajirin berdagang dan melakukan transaksi di
pasar. Bahkan para sahabat yang senior juga aktif dalam berdagang.
'Aisyah radliallahu
'anha berkata:
لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ
قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَئُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ
بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ
وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ
Ketika Abu Bakar
Sh-Shiddiq diangkat menjadi khalifah ia berkata: "Kaumku telah mengetahui
akan keahlianku dalam mencari nafkah, sehingga tidak membuatku lemah untuk
memenuhi kebutuhan keluargaku, sementara sekarang aku disibukkan dengan urusan
kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan menggunakan harta ini [Baitul Mal
yang telah ditentukan] dan mengabdikan diri kepada kepentingan umat
Islam." [HR. Bukhari, no. (2070).]
Umar bin al-Khththab (radhiyallahu 'anhu)
berkata:
ألْهانِي الصَّفْقُ بالأسْواقِ. يَعْنِي الخُرُوجَ إلى
تِجارَةٍ
"Dagang di pasar
benar-benar telah mengalihkan perhatianku" - artinya, sibuk keluar untuk
berdagang di pasar. [HR. Bukhari, no (2062), dan Muslim, no (2153).]
Ibnu Abi Dunya (w. 281 H)
dalam "Islah al-Maal" (98) meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:
"يَا حَبْذَا الْمَالُ، أَصِلُ مِنْهُ رَحِمِيُّ،
وَأَتَقَرَّبُ إِلَى رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ".
"Betapa indahnya
harta, aku bisa mempererat tali silaturrahim kerabatku dengan harta tersebut
dan aku bisa mendekatkan diri kepada Rabbku Yang Maha Mulia."
Dan Ibnu Abi Ad-Dunya
meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (55) dari Sayyid
Al-Tabi'in, Sa'id bin Al-Musayyib rahimahullah, bahwa beliau berkata:
"لَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يُرِيدُ جَمْعَ الْمَالِ مِنْ
حِلِّهِ، يَكْفُفُ بِهِ وَجْهَهُ عَنِ النَّاسِ، وَيَصِلُ بِهِ رَحِمَهُ،
وَيُعْطِي مِنْهُ حَقَّهُ".
"Tidak ada kebaikan
pada orang yang tidak berkeinginan untuk mengumpulkan harta secara halal, yang
dengannya dia menjaga dirinya dari minta-minta dari manusia dan dengannya bisa
menyambungkan silaturahim, serta memberikan hak-hak darinya."
Shalih putra Imam Ahmad -
semoga Allah merahmati keduanya - berkata:
"كانَ أبي ربما أخذَ القَدّومَ وخرجَ إلى دارِ السكنِ يعملُ
الشيءَّ بيدِه".
"Ayahku senantiasa
mengambil Qodduum [perkakas tukang kayu] dan pergi ke Dar as-Sakan untuk
melakukan pekerjaan dengan hasil tangannya sendiri."
[Lihat: al-Hits
'Ala at-Tijaarah karya al-Khollaal hal. 39 no.12 dan Siyar al-A'lam an-Nubalaa
11/209]
Ali bin Al-Fudhail
berkata: "Saya mendengar ayahku ketika ia berkata kepada Ibnu al-Mubarak:
"أَنْتَ تَأْمُرُنَا بِالزُّهْدِ، وَالتَّقَلُّلِ،
وَالْبَلَاغَةِ، وَنَرَاكَ تَأْتِي بِالْبَضَائِعِ مِنْ بِلَادِ خُرَاسَانَ إِلَى
الْبَلَدِ الْحَرَامِ، كَيْفَ ذَا؟"، فَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: "يَا
أَبَا عَلِيٍّ إِنَّمَا أَفْعَلُ ذَا، لِأُصَوِّنَ بِهِ وَجْهِي، وَأُكَرِّمُ بِهِ
عُرْضِيَّ، وَأَسْتَعِينُ بِهِ عَلَى طَاعَةِ رَبِّي"
'Engkau menyuruh
kami untuk zuhud, merendahkan diri, dan berbicara dengan baik, namun kami
melihat engkau berbisnis dengan membawa barang-barang dari Khurasan [Iran] ke
kota suci (Makkah). Bagaimana hal itu?'
Ibnul Mubarak menjawab:
'Wahai Abu Ali, aku melakukannya semata-mata untuk menjaga kehormatan wajahku,
memuliakan harga diriku, dan aku memanfaatkannya agar aku senantiasa taat
kepada Tuhanku.'" [Tarikh Baghdād (10/160)].
Abu Qulabah Al-Bashri
berkata kepada seseorang:
لَأَنْ أَرَاكَ تَطْلُبُ مَعَاشَكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ
أَرَاكَ فِي زَاوِيَةِ الْمَسْجِدِ.
"Lebih aku sukai
melihatmu mencari nafkahmu daripada melihatmu duduk di sudut masjid."
["Ihya Ulumuddin" 2/942-944]
Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata:
لَيْسَ الْعِبَادَةُ عِنْدَنَا أَنْ تُصَفِّ قَدَمَيْكَ، وَغَيْرُكَ
يُقَوِّتُ لَكَ، وَلَكِنْ ابْدَأْ بِرَغِيفَيكَ فَأَحْرِزْهُمَا ثُمَّ تَعْبُدْ.
“menurut kami Bukanlah
ibadah itu dengan meluruskan shaff kedua telapak kakimu, sedangkan orang lain
bekerja untuk memberi makan kamu. Akan Tetapi mulailah dengan menyiapkan dua
rotimu, lalu simpanlah keduanya, kemudian beribadahlah." ["Ihya
Ulumuddin" 2/942-944]
*****
NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ
جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَى رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ
أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى يَا رَبِّ وَلَكِنْ لَا
غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
"Ketika Ayyub sedang
mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba segerombolan belalang dari emas jatuh
di atasnya. Lalu, Ayyub mengumpulkannya ke dalam pakaiannya.
Kemudian, Tuhannya
memanggilnya : 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah memberimu kekayaan sehingga
kamu tidak memerlukan apa yang kamu lihat ini ?'
Ayyub menjawab,
'Benar wahai Rabbku, namun saya tidak pernah merasa cukup dari
barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 7493]
Dalam salah satu riwayat
Bukhori no. 279:
جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ
“Belalang-belalang dari emas”.
Syeikh
Alwi Abdul Qodir as-Saqqaaf berkata :
وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ عَلَى النِّعْمَةِ،
وَتَعْظِيمٌ لِشَأْنِهَا، وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُفْرٌ بِهَا. وَفِي
الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ. وَفِيهِ:
بَيَانُ فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ؛ لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً.
"Di
dalam hal itu terdapat rasa syukur atas nikmat, dan pengagungan terhadap
kedudukannya. Sementara berpaling darinya merupakan bentuk kekufuran terhadap
nikmat tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat ajaran tentang pentingnya
mencari harta yang halal. Selain itu, hadits ini menjelaskan keutamaan kekayaan
bagi orang yang bersyukur, karena kekayaan tersebut disebut sebagai berkah."
Al-Hafidz
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata :
وَفِي رِوَايَةِ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ فَقَالَ
وَمَنْ يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ أَوْ قَالَ مِنْ فَضْلِكَ وَفِي الْحَدِيثِ
جَوَازُ الْحِرْصِ عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنَ الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ
مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ عَلَيْهِ وَفِيهِ تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ
مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً وَفِيهِ فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ .
وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ الْخَطَّابِيُّ جَوَازَ
أَخْذِ النُّثَارِ فِي الاملاك وَتعقبه بن التِّينِ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ خَصَّ
اللَّهُ بِهِ نَبِيَّهُ أَيُّوبَ وَهُوَ بِخِلَافِ النُّثَارِ فَإِنَّهُ مِنْ
فِعْلِ الْآدَمِيِّ فَيُكْرَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ السَّرَفِ وَرُدَّ عَلَيْهِ
بِأَنَّهُ أُذِنَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ إِنْ ثَبَتَ الْخَبَرُ
وَيُسْتَأْنَسُ فِيهِ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
"Dan
dalam riwayat Basyir bin Nahik disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ
berkata: 'Siapa yang bisa merasa puas dengan rahmat-Mu' atau beliau
berkata, 'dengan karunia-Mu.'
Dalam
hadits ini terdapat kebolehan untuk bersemangat dalam memperbanyak harta yang
halal bagi orang yang yakin dirinya mampu bersyukur atasnya. Selain itu, bahwa
harta yang diperoleh dari cara tersebut, disebut sebagai berkah.
Hadits
ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur.
Al-Khattabi
mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang kebolehan mengambil harta yang
disebarkan (ditawurkan) dalam acara pernikahan.
Namun
Ibnu at-Tiin mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu
yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi-Nya, Ayyub, dan itu berbeda dengan harta
yang disebarkan oleh manusia, karena hal tersebut makruh disebabkan adanya
unsur pemborosan.
Akan
tetap kritikan Ibnu at-Tin ini ditanggapi dengan argumen bahwa hal itu telah
diizinkan oleh syariat jika haditsnya sahih, dan kisah ini bisa dijadikan
petunjuk. Wallahu a'lam." [Fathul Bari 6/421].
===****===
PENGARUH HARTA HALAL & HARAM
TERHADAP DITERIMANYA IBADAH
Harta yang diperoleh dengan usaha yang halal sangat berpengaruh terhadap diterimanya ibadah seorang muslim.
Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu),
Rosulullah ﷺ bersabda:
“أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ
طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ.
فقالَ تعالى: ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا
صَالِحاً ) [المؤمنون: 51] ، وقال تعالى: ( يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) [البقرة: 172]. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ
يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ
يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ،
وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟ ».
“Hai manusia,
sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah
memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan
kepada Para Rasul.
Allah berfirman: Hai
Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang
baik. (surat al-Mukminun: 51).
Dan Allah berfirman:
"Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan
kepada kalian." (al-Baqarah: 172).
Lalu Rasulullah bercerita
tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut
dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) 'Ya
Robb! Ya Robb'!, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?
". (HR. Muslim dalam "Shahih"nya no. 1015)
Ayat al-Qur'an dan hadits
di atas menunjukkan bahwa: jalan dunia dan akhirat adalah satu jalan. Dan jalan
seorang hamba di dunia ini, meskipun dia bekerja untuk dunia, maka pada
hakikatnya dia juga sedang bersinggungan dengan urusan akhirat.
Sebagian para ulama salaf
berkata:
لَوْ قُمْتَ فِي الْعِبَادَةِ قِيَامَ السَّارِيَةِ مَا نَفَعَكَ
حَتَّى تَنْظُرَ مَا يَدْخُلُ بَطْنَكَ حَلالٌ أم حَرامٌ.
"Jika kamu beribadah
dengan berdiri sepanjang hari, itu tidak akan bermanfaat bagimu hingga kamu
memperhatikan apa yang masuk ke dalam perutmu, halal atau haram". [Lihat:
Hilyatul Awliyaa 8/155 karya Abu Nua'im al-Ashbahaani].
Lalu bagaimana dengan
ibadah seseorang yang hidupnya tidak mau usaha cari rizki yang riil, sementara makan dan minumnya dari
hasil Upah Ceramah Dan dari hasil Mengajar Ilmu Agama atau hasil dari mengemis
dengan berkedok proposal infaq dan sedekah?
Karena Bisnis agama itu jelas-jelas dilarang, dan begitu juga bisnis minta-minta dan mengemis berkemas proposal infaq sodaqoh..
Adapun berkenaan dengan
larangan membisniskan agama dan ibadah, maka Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitab
tafsirnya “أَضْوَاءُ الْبَيَانِ“ ketika
menafsiri surat Hud: 29, berkata:
قَوْلُهُ تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا
إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ
الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي
مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ
ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي
مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ
الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ.
Firman Allah Ta’aalaa:
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian
(sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.
Allah Yang Maha Kuasa
menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh 'alaihis salam, bahwa dia
memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai
imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah.
Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma
tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak
ayat: bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul 'alaihimus salaam
".
Sebagaimana yang Allah
firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita ﷺ:
{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ
إِلَّا عَلَى اللَّهِ}
“Katakanlah (hai
Muhammad): "Aku tidak minta upah kepada kalian, maka itu untuk kalian.
Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).
Setelah menyebutkan
ayat-ayat diatas Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi berkata:
وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ
عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا
عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ،
وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأَجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ
تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ".
انتَهَى.
“Diambil dari ayat-ayat luhur ini: kewajiban para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah Azza wa Jalla, begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram“. (Selesai).
Orang durhaka adalah orang yang makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri , dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:.
"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".
قال بَشِيْر : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ
Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran , tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.
Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin , orang munafiq, dan orang durhaka.
Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"
Maka Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran , orang Munafiq adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran , sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran." [HR. Ahmad no. 11340].
Derajat Hadits :
Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية (6/233) berkata :
إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ
"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".
Dan Syeikh al-Albaani dalam السلسلة الصحيحة (1/520) berkata :
"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".
"Para perawinya tsiqoot [ dipercaya] selain al-Wallid , maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan , dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid "
Dan dari Ubay bin Ka’ab
(ra), dia berkata:
"عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: (إِنْ
أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ) فَرَدَدْتُهَا".
“Aku mengajar al-Qur’an
pada seseorang, lalu dia menghadiahkan Busur panah pada ku. Maka aku menceritakannya
pada Rosulullah ﷺ, maka beliau
bersabda: “Jika kamu mengambilnya, maka kamu telah mengambil busur dari api
neraka “. Lalu Aku mengembalikannya.
(HR. Ibnu Majah
No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Albaani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493).
Dan dari Abu ad-Dardaa’
(ra) bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
((مَنْ أَخَذَ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ قَوْساً قَلَّدَهُ
الله مَكَانَهَا قَوْساً مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
“Barang siapa menerima
[imbalan] Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an, maka Allah akan mengalungkan
sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari Kiamat “.
(HR.al-Baihaqi
6/126 dan lainnya. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam kitab “صحيح الجامع “ no. 5982 dan
dalam kitab “السلسلة
الصحيحة (1/113) no. 256)
Dan berikut ini kisah
Imran bin Hushain (ra):
" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُ: “مَنْ قَرَأَ
الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".
“Suatu ketika ia melewati
seorang qori sedang membaca Al-Qur'an, kemudian setelah membacanya meminta
(upah) kepada orang-orang, maka Imran ber istirja’ (Yakni berkata: Innaa
Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikan), dan
berkata: Aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa
membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu,
karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka
meminta (upah) kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu ".
(HR. Turmudzi no. 2917
dan beliau berkata: “Hadits Hasan ". Dan dishahihkan al-Albaani dalam
Shahih Targhib 2/80 no. 1433).
Syarah Hadits:
Al-Mubaarokfuury dalam
syarah Sunan Tirmidzi berkata:
وَقَوْلُهُ: (فَاسْتَرْجَعَ)... لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ
الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عِمْرَانَ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ
مِنْ أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.
Dan perkataannya: (Maka
dia memintanya untuk mengembalikannya).... Dia berkata demikian karena
perbuatan itu adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori. Atau karena Imran (ra)
merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana
perbuatan tsb merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [Baca:
Tuhfatul Ahwadzi 8/235].
Dan dari Sahal bin Sa’ad
as-Saa’idi (ra), dia berkata:
“خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – يَوْمًا وَنَحْنُ
نَقْرَءُ فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، كِتَابُ اللَّهِ وَاحِدٌ، وَفِيكُمُ
الْأَحْمَرُ وَفِيكُمُ الْأَبْيَضُ وَفِيكُمُ الْأَسْوَدُ اقْرَؤُوهُ قَبْلَ أنْ
يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ
أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".
“Pada suatu hari
Rosulullah ﷺ keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca
al-Qur’an, maka beliau ﷺ bersabda:
“Al-Hamdulillah,
Kitab Allah satu, sementara ditengah kalian ada yang berkulit merah, berkulit
putih dan berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab), bacalah kalian
al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an, mereka menetapkan
bacaannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka memperbagus
bacaannya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk
akhirat) ".
(HR. Abu Daud 1/220 No.
831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741,
beliau berkata: Hasan Shahih).
Muhammad Syamsul haq
al-Adziim Aabadi dalam Syarah Sunan Abu Daud berkata:
فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ مَجِيءِ
أُقَوَّامٍ بَعْدَهُ يُصَلِّحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ
وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ
الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعَمَّلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ -
وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ
الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ
وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ.. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ
قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي
الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ
وَيَتَأَكَّلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ
هِجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.
“Maka sungguh Nabi ﷺ telah mengkabarkan: bahwa sesudahnya akan munculnya
kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan
kalimat-kalimatnya, bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj
dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang
memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan
besi tajam diujungnya.
Maksudnya: Mereka sangat
berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan
tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia, popularitas, berbangga-banggaan
dan ketenaran.
Wahai para ikhwan yang
mulia, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah
bacaan al-Qurannya di dunia, mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan
pahala di akhirat.
Sesungguhnya perbuatan mereka ini adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la. Dan ini adalah jenis perbuatan meng hajer [MEMBOIKOT] al-Quran yang paling dahsyat, maka ini adalah sebusuk-busuknya yang mereka lakukan". (Baca: 'Aun al-Ma'bud (3/42)]
Dan adapun yang berkaitan
dengan larangan minta-minta dan mengemis, maka dalam hadits Abu Hurairah (ra) di
sebutkan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Lebih baik seseorang
bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar lalu mengangkatnya di atas
punggungnya daripada dia meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu orang
yang dimintainya itu memberinya atau dia menolak untuk memberinya (HR
al-Bukhari no. 2374 dan Muslim no. 1042).
Dan dari Abu Hurairah (ra),
bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
((مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا
يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِر)) ْ
“Barangsiapa yang
kebanyakan meminta-minta harta manusia, maka sesungguhnya dia meminta bara api
neraka Jahannam, maka (tinggal pilih) mau mempersedikit atau memperbanyak.”
(HR. Muslim no. 1041)
Dalam Musnad Imam Ahmad dan lainnya, disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«إِنِّيْ لَأُعِطِيْ الرَّجُلَ الْعَطِيَّةَ
فَيَنْطَلِقُ بِهَا تَحْتَ إِبْطِهِ وَمَا هِيَ إِلاَّ النَّارُ». فَقَالَ لَهُ
عُمَرُ: وَلِمَ تُعْطِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا هُوَ نَارٌ؟ فَقَالَ: «أَبىَ
اللهُ لِيْ الْبُخْلَ، وَأَبَوا إِلاَّ مَسْأَلَتِيْ»
“Sesungguhnya aku benar-benar akan memberi
seseorang suatu pemberian, lalu dia beranjak pergi dengan membawa pemberian itu
dibawah ketiaknya, padahal tidaklah pemberian itu melainkan api Neraka.”
Maka Umar berkata kepada beliau:
‘Lantas mengapa Anda memberinya wahai Rasulullah, padahal ia adalah api?’
Maka beliau bersabda: ‘Allah tidak
menyukai kebakhilan untukku, namun mereka tetap membangkang kecuali meminta
kepadaku.”
[HR. Ahmad (11139, 11017), Ibnu Hibban (3414), Abu Ya’la (1328)]. Di Shahihkan Ibnu Hibbaan dan al-Albaani dalam Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (815, 844), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, 6/179]
Minta-minta berkedok
ustadz atau kyai atau proposal atas nama agama dan umat ; maka dosanya
berlipat-lipat ; karena telah berdusta mengatas namakan Allah, agama-Nya dan
umat Islam. Dan dampaknya sangat buruk terhadap kehormatan agama dan nama baik
umat Islam di mata non muslim di seluruh dunia.
Orang yang paling dzalim
di sisi Allah SWT adalah orang yang berdutsa mengatas namakan Allah, seperti
halnya mengemas kemungkaran dengan kemasan syar'i.
Banyak sekali ayat
al-Quran yang mencela dan melaknat perbuatan ini, diantara ayat berikut ini:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ۚ
أُو۟لَٰٓئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ ٱلْأَشْهَٰدُ هَٰٓؤُلَآءِ
ٱلَّذِينَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى
ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan siapakah yang lebih
zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan
dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: "Orang-orang
inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah
(ditimpakan) atas orang-orang yang zalim [QS. Hud: 18].
===***===
PANDANGAN AHLI ZUHUD YANG MENGATAKAN
:
BAHWA ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT [AGAMA] SALING BERTENTANGAN
Keyakinan adanya
pertentangan antara dunia dan akhirat, serta pemisahan di antara keduanya,
telah menjadi problem bagi banyak orang.
Ketika mereka
memperhatikan dan memperbandingkan antara tuntunan agama dengan urusan dunia
mereka, pekerjaan mereka, jabatan-jabatan mereka, perdagangan mereka, dan
pendidikan mereka ; maka sebagian dari mereka merasakan dalam jiwa mereka
seperti adanya kontradiksi lalu mereka merasa berdosa karena mereka merasakan
adanya pertentangan tersebut.
Kelompok ini dikenal
dengan sebutan:
MUTAZAHHIDAH (مُتَزَهِّدَة) dan
MUTAQOSYIFAH (مُتَقَشَّفَة)
[yakni: kelompok ahli
zuhud yang berkeyakinan bahwa antara dunia dan agama (akhirat) saling
bertentangan, maka dengan demikian menurutnya wajib meninggalkan kesenangan
duniawi agar bisa fokus ibadah]
Sebagian dari mereka ada
yang bersikeras mengklaim bahwa ibadah itu bertentangan dengan mencari nafkah,
seperti bekerja di industri, di perdagangan, di pertanian, di pemerintahan, di
lembaga-lembaga dan bidang-bidang lainnya.
Mereka mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَلَا بُدَّ أَنْ يَطْلُقَ الدُّنْيَا
طَلَاقًا بَاتًا حَتَّى يُصَلِّحَ قَلْبَهُ.
“Bahwa siapa pun yang
menginginkan akhirat harus sepenuhnya meninggalkan dunia ini agar hatinya
menjadi shaleh dan baik ".
Jadi kelompok ini
berpandangan bahwa antara dunia dan akhirat tidak bisa saling bertemu karena
berlawanan arah. Ini dikarenakan adanya kesalah fahaman mereka dalam memahami
masalah tersebut, baik yang berkaitan dengan dunia maupun yang berkaitan dengan
agama.
Orang-orang yang berfaham
seperti ini sebaiknya meninjau kembali wawasannya dengan mendalami kembali
dalil-dalil Syar'i secara komprehensif serta memahaminya dengan pemahaman yang
benar agar kebingungan dan kesalahfahaman mereka segera hilang dari mereka
serta agar mereka tidak menderita lagi karenanya.
PENJELASAN IMAM AS-SARKHASHI AL-HANAFI:
Imam As-Sarkhasi [w. 490
H] berkata:
قَالَ بَعْضُ الْمُتَقَشِّفَةِ مَا يَرْجِعُ إلَى الدَّنَاءَةِ مِنْ
الْمَكَاسِبِ فِي عُرْفِ النَّاسِ لَا يَسَعُ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ إلَّا عِنْدَ
الضَّرُورَةِ لِقَوْلِهِ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ
يُذِلَّ نَفْسَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى
يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ سَفْسَافَهَا» وَالسَّفْسَافُ مَا
يُدْنِي الْمَرْءَ وَيَبْخَسُهُ
“Orang-orang
Mutaqosyyyifiin [yakni: orang-orang yang meninggalkan kesenangan duniawi]
mengatakan:
Bahwa kasab [usaha
mencari dunia] adalah tergolong dalam perbuatan hina menurut norma masyarakat,
maka seharusnya tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi ﷺ:
«لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ»
'Seorang mukmin tidak
boleh merendahkan dirinya sendiri.' [Al-Albaani berkata: Hasan Ghariib
Bighairihi. Haidayatur Ruwaah no. 2437].
Dan beliau juga bersabda:
«إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ
سَفْسَافَهَا»
'Sesungguhnya Allah
Ta'ala mencintai hal-hal yang mulia dan membenci hal-hal yang kotor.' [Di
shahihkan al-Albaani dalam Shahih al-Jami' no. 1890].
Dan yang dimaksud dengan
hal-hal kotor di sini adalah tindakan yang menurunkan martabat dan mengurangi
nilai seseorang".
Lalu Imam as-Sarkhasi
membantahnya dan meluruskannya dengan mengatakan:
ثُمَّ الْمَذْهَبُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ - رَحِمَهُمُ
اللَّهُ - أَنَّ الْمَكَاسِبَ كُلَّهَا فِي الْإِبَاحَةِ سَوَاءٌ......
وَحُجَّتُنَا فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «إنَّ
مِنْ الذُّنُوبِ ذُنُوبًا لَا يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا الصَّلَاةُ قِيلَ:
فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْهُمُومُ فِي طَلَبِ
الْمَعِيشَةِ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «طَلَبُ الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ
الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا
لَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الِاكْتِسَابُ
لِلْإِنْفَاقِ عَلَى الْعِيَالِ» مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ بَيْنَ أَنْوَاعِ
الْكَسْبِ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ سِوَى التَّعَفُّفِ وَالِاسْتِغْنَاءِ عَنْ
السُّؤَالِ لَكَانَ مَنْدُوبًا إلَيْهِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ «السُّؤَالُ
آخِرُ كَسْبِ الْعَبْدِ» أَيْ يَبْقَى فِي ذُلِّهِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
«وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
- أَوْ لِغَيْرِهِ: «مَكْسَبَةٌ فِيهَا نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ
تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك» ثُمَّ الْمَذَمَّةُ فِي عُرْفِ
النَّاسِ لَيْسَتْ لِلْكَسْبِ بَلْ لِلْخِيَانَةِ وَخُلْفِ الْوَعْدِ وَالْيَمِينِ
الْكَاذِبَةِ وَمَعْنَى الْبُخْلِ.
"Pandangan
mayoritas ahli fikih - semoga Allah merahmati mereka - adalah bahwa semua kasab
[usaha cari rizki] dalam hal yang halal adalah sama".
Argumen kami dalam hal
ini adalah sabda beliau - shallallahu 'alaihi wa sallam:
«إنَّ مِنْ الذُّنُوبِ ذُنُوبًا لَا يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا
الصَّلَاةُ قِيلَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْهُمُومُ فِي
طَلَبِ الْمَعِيشَةِ»
'Sesungguhnya di antara
dosa-dosa ada dosa yang tidak bisa dihapuskan dengan berpuasa atau shalat.'
Ketika ditanya: 'Apa yang bisa menghapus dosa tersebut, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab: 'Menghadapi kesuliatn-kesulitan dalam mencari nafkah.'
[HR. Ath-Thobroni
di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 1/38 no.102, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’
6/235, Al Haitsami dalam Majma’u Az-Zawa-id 4/75 no.6239, dan selainnya. Hadits
ini derajatnya PALSU (maudhu’)].
Dan beliau ﷺ juga bersabda:
«طَلَبُ الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ
وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ»
'Mencari nafkah yang
halal adalah seperti berperang di medan perang. Dan siapa yang terus berusaha
mencari nafkah yang halal, maka dia akan meninggal dalam keadaan diampuni
dosa-dosanya.' [Dho'if. Lihat Dho'if al-Jami' oleh al-Albaani no. 3621].
Dan beliau ﷺ bersabda:
«أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الِاكْتِسَابُ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى
الْعِيَالِ»
"Amal terbaik adalah
mencari nafkah untuk keluarga".
Tanpa perlu membedakan
jenis usaha cari penghasilan [selama itu halal]. Selama tidak ada tujuan lain
kecuali untuk menjaga kehormatan dan harga diri serta menghindari perbuatan
meminta-minta, maka itu sudah dianggap sunnah. Sebab Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«السُّؤَالُ آخِرُ كَسْبِ الْعَبْدِ»
"Meminta-minta
adalah akhir dari usaha penghasilan seorang hamba sahaya". yaitu dia akan tetap
merasa rendah diri hingga hari kiamat.
Beliau juga bersabda
kepada Hakim bin Hizam (ra) atau orang lain:
«مَكْسَبَةٌ فِيهَا نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ
تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك»
'Penghasilan halal yang
didapatkan dengan pekerjaan yang membuat martabatmu turun adalah lebih baik
bagimu daripada meminta pada manusia, baik mereka memberimu atau mereka menolak
untuk memberimu '.
Kemudian, yang dicela
dalam norma masyarakat bukanlah masalah jenis kasab cari penghasilan, tetapi
untuk pengkhianatan, melanggar janji, sumpah palsu, dan perbuatan yang terdapat
makna pelit." [Referensi: Al-Mabsuuth 30/258].
====****====
DALIL-DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD
YANG MEMBUAT MEREKA LARI DARI
DUNIA SERTA BANTAHANNYA:
****
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD PERTAMA:
Kelompok Mutazahhidan
& Mutaqosysyifah [anti dunia] mengatakan: Bahwa dunia itu TERLAKNAT dan
TERKUTUK, sebagaiamana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلا
ذكرُ الله وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ"
“Ketahuilah sesungguhnya
dunia itu terlaknat, terlaknat apa saja yang ada didalamnya kecuali dzikir
kepada Allah, amalan yang mendekatkan kepada Allah, orang yang berilmu atau
orang yang belajar ilmu” [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dihasankan oleh Al
Albani dalam Misykah al Mashabih 3/1431]
Berdasarkan hadits ini,
maka umat Islam harus lari meninggalkan harta benda dan kesenangan duniawi.
Jawabannya adalah sbb:
Pertama: penulis kutip penjelasan Syeikh
Faishal an-Najdi, dia berkata:
فِيهِ: ذَمُّ مَا أَشْغَلَ مِنَ الدُّنْيَا عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
وَطَاعَتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ
ذَلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ} [المنافقون (9)]، وَأَمَّا مَا أَعَانَ
عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ مِنَ الدُّنْيَا فَلَيْسَ بِمَذْمُومٍ، قَالَ تَعَالَى:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ
الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ} [النور (37)]، وَفِي حَدِيثٍ مَرْفُوعٍ: «لَا
تَسُبُّوا الدُّنْيَا فَنِعْمَ مَطِيَّةُ الْمُؤْمِنِ عَلَيْهَا يَبْلُغُ
الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ»
“Dalam hadis ini,
terdapat celaan terhadap dunia yang menyibukkan seseorang dari mengingat Allah
dan mentaatinya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka
itulah orang-orang yang rugi." (Surah Al-Munafiqun: 9).
Adapun jika dunia itu
membantu dalam ketaatan kepada Allah, maka itu tidak dicela, sebagaimana
firman-Nya:
"Orang-orang yang
perniagaannya dan jual belinya tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah,
serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat." (Surah An-Nur: 37).
Dalam hadis yang
diriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda:
“لَا تَسُبُّوا الدُّنْيَا، فَنِعْمَ مَطِيَّةُ الْمُؤْمِنِ عَلَيْهَا
يَبْلُغُ الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ".
"Janganlah kalian
mencela dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tunggangan yang baik bagi
seorang mukmin, dengan dunia itulah ia dapat mencapai kebaikan dan terhindar
dari kejahatan." [Lihat: Tathriiz Riyadhush Sholihin hal. 322 no. 477]
Kedua: penulis kutip beberapa hadits
nabawi:
Ke 1: Rasulullah ﷺ
bersabda:
لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى
خَيْرٌ مِنْ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنْ النَّعِيمِ
“Tidaklah mengapa dengan
kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan itu lebih baik daripada kekayaan
bagi orang yang bertaqwa. Dan jiwa yang baik-baik saja merupakan bagian dari
kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah
no. 2132, Ahmad no. 22076 dan al-Hakim dalam Mustadrak no. 2131. Di-shahih-kan
oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dan di-shahih-kan Al-Albani
dalam Ash-Shahihah no. 174).
Ke 2: Rasulullah ﷺ
bersabda:
((نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ)).
"Betapa indahnya
harta yang shaleh [baik] milik orang yang shaleh."
[HR. Ahmad
(17763) disahihkan oleh Al-Albani dalam Takhrij Misykatil Faqri (19).
Ke 3: Dari Amr bin Ash
(ra) bahwa Rosulullah ﷺ bersabda
padanya:
يا عَمرُو، إنِّي أُريدُ أن أَبعثَك على جَيشٍ فيُغنِمَك اللهُ،
وأَرغَبَ لك رغبةً منَ المالِ صالحةً، قُلتُ: إنِّي لم أُسلِمْ رغبةً في المالِ،
إنَّما أَسلَمْتُ رغبةً في الإسلامِ، فَأكونَ معَ رَسولِ اللهِ، فَقال: يا عمرُو،
نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّالحِ.
Ya Amr, sesungguhnya aku
ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan agar Allah memberikan harta ghanimah
[rampasan perang] kepadamu, dan aku mengharapkanmu memiliki keinginan yang
shaleh [baik] terhadap harta itu.
Aku berkata: "Aku
tidak masuk Islam karena berkeinginan terhadap harta, aku hanya masuk Islam
karena berkeinginan terhadap agama Islam, agar aku bisa bersama
Rasulullah."
Beliau lantas bersabda:
"Ya Amr, betapa indahnya harta yang shaleh [baik] bagi orang yang
shaleh."
HR. al-Bukhari dalam
Al-Adab al-Mufrad (299), Al-Hakim (2130), dan Al-Baihaqi dalam kitab
"Syu'ab al-Iman" (1248). Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam kitab
"Sahih Adab al-Mufrad" no. (229).
----
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KEDUA:
Mereka mengatakan bahwa
harta dunia itu lebih hina dari pada BANGKAI KAMBING yang cacat dan bau busuk.
Maka kaum muslimin harus menjauhinya, membuangnya dan meninggalkannya.
Mereka berdalil dengan
hadits Jabir bin Abdullah (ra):
“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ
الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ
فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا
لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ
بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا
كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ
فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا ".
Bahwa Rasulullah ﷺ melintas masuk ke pasar seusai pergi dari
tempat-tempat tinggi sementara orang-orang berada disisi beliau. Beliau
melintasi bangkai anak kambing dengan telinga melekat, beliau mengangkat
telinganya lalu bersabda:
"Siapa
diantara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?"
Mereka menjawab: Kami
tidak mau memilikinya, untuk apa?
Beliau bersabda:
"Apa kalian mau (bangkai) ini milik kalian?"
Mereka menjawab: Demi
Allah, andai masih hidup pun ada cacatnya karena telinganya menempel, lalu
bagaimana halnya dalam keadaan sudah mati?
Beliau bersabda:
"Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi (bangkai) ini bagi
kalian." [HR. Muslim no. 5257].
Jawabannya adalah sbb:
Pertama: penulis kutip penjelasan dari ad-Duror as-Saniyah tentang makna
hadits ini:
وفي هذا إشارة إلى التَّحذيرِ مِن أنْ يَستغرِقَ المسلِمُ في مَتاعِ
الدُّنيا وشَهواتِها؛ فقد خلَق اللهُ الدُّنيا ولَم يَجعَلْ لها وَزنًا، وكانتْ
عنده هَيِّنةً.
Dalam hadits ini terdapat
peringatan untuk menjaga diri agar seorang Muslim tidak terjebak dan tenggelam
dalam kesenangan duniawi dan syahwatnya. Allah menciptakan dunia ini tanpa
memberikan bobot atau berat timbangan yang berarti, dan dunia ini di sisi-Nya
adalah sesuatu yang mudah ".
Kedua: hadits tersebut hanya sebatas perumpamaan dan nasihat agar kita
tidak tenggelam dalam kelezatan dunia yang membuat kita lalai dan lupa terhadap
tuntutan agama dan persiapan kehidupan akhirat.
Dan pada realitanya ada
perbedaan antara harta benda dan bangkai kambing yang cacat dan busuk. Diantara
perbedaannya adalah sbb:
1]- Harta benda termasuk
salah satu 5 darurat yang wajib di jaga.
2]- Orang yang terbunuh
dalam membela hartanya maka dia mati syahid.
Dari Sa’id bin Zaid (ia meriwayatkan): Aku pernah mendegar
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ
قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Barangsiapa
yang terbunuh karena melindungi hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh
karena melindungi agamanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena
melindungi darahnya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi
keluarganya maka dia syahid
(HR.
An-Nasai no. 4105 dan al-Tirmidzi no. 1421. Di nilai Hasan Shahih oleh
At-Tirmidzi, dan dinilai Shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i).
3]- Pencuri harta dunia
terkena hukum hadd potong tangan.
4]- Bagi yang
menginfak-kan hartanya di jalan Allah maka dia akan mendapatkan pahala.
5]- Allah SWT melarang
kita tabdzir harta dan rizki, bahkan demi untuk menghindari tabdzir rizki dan
demi mensyukuri karunia Allah SWT, maka Nabi ﷺ menganjurkan umatnya untuk menjilati jari-jari tangan seusai
makan. Beliau ﷺ bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ، حَتَّى
يَلْعَقَهَا".
“Jika salah seorang dari
kalian makan makanan janganlah dia mengusapkan tangannya sampai dia menjilat
tangannya terlebih dahulu ". (Muttafaqun 'Alaihi).
Dan dari Anas (ra), dia
menceritakan:
“أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ
أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ قَالَ وَقَالَ إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ
فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ
وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ
طَعَامِكُمْ الْبَرَكَةُ".
Bahwa Nabi ﷺ apabila selesai makan, dia menjilati ke
tiga jari tangannya. Anas berkata; Beliau bersabda:
'Apabila suapan
makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah kembali lalu buang bagian
yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkannya dimakan
setan."
Dan beliau menyuruh kami
untuk menjilati piring. Beliau bersabda: 'Karena kalian tidak tahu makanan mana
yang membawa berkah." [HR. Muslim no. 3795].
Itu semua tidak berlaku
pada bangkai kambing yang cacat dan membusuk.
----
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE TIGA:
Mereka mengatakan: Jika
seseorang memiliki makanan pokok yang cukup untuk satu hari itu, maka janganlah
dia memikirkan rizki hari esok dan jangan pula dia bersusah payah menyibukkan
diri mencari rizki untuk hari esok dan sesudahnya!!! Karena rizkinya sudah
diatur oleh Allah SWT. Cukup dengan menikmati dan mensyukuri rizki yang ada untuk
hari itu! Yang penting pada hari itu dia sehat sejahtera dan aman sentosa.
Mereka berhujjah dengan
hadits ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ
عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara
kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan
masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari
itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.”
(HR. Tirmidzi no.
2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).
Jawabannya adalah sbb:
Pertama: Penulis kutip penjelasan Al-Munaawi dalam kitabnya “فَيَضُ الْقَدِيرِ (6/88) tentang maksud hadits tsb, dia berkata:
"يَعْنِي: مَنْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ بَيْنَ عَافِيَةِ
بَدَنِهِ، وَأَمَنَ قَلْبِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَ، وَكَفَافَ عَيْشِهِ بِقُوَّةِ
يَوْمِهِ، وَسَلَامَةَ أَهْلِهِ، فَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ جَمِيعَ النِّعَمِ
الَّتِي مِنْ مَلَكِ الدُّنْيَا لَمْ يَحْصُلْ عَلَى غَيْرِهَا، فَيَنْبَغِي أَنْ
لَا يَسْتَقْبِلُ يَوْمَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِشُكْرِهَا، بِأَنْ يُصَرِّفَهَا فِي
طَاعَةِ الْمُنْعِمِ، لَا فِي مَعْصِيَّةٍ، وَلَا يَفْتُرُ عَنْ ذِكْرِهِ."
قَالَ نَفْطُوَيْهِ:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصَحَّةٍ * وَلَمْ يَخْلُ مِنْ
قُوَّتِ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتَرَفِينَ فَإِنَّهُ * عَلَى حَسْبِ مَا
يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلِبُ
Artinya: Barangsiapa
orangnya yang Allah telah mengumpulkan untuknya: kesehatan tubuhnya, keamanan
hatinya kemanapun dia pergi, tercukupi pangannya untuk kelangsungan hidupnya
untuk hari itu, dan keselamatan keluarganya, maka sungguh Allah telah
mengumpulkan untuknya semua kenikmatan seolah-olah dia memiliki dunia semuanya.
Jika demikian, maka dia
seharusnya tidak menggunakan hari nya itu kecuali untuk mensyukurinya dan
memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat, BUKAN untuk
kemaksiatan, dan jangan bosan berdzikir dengan mengingatnya.
Seorang penyair
Nafthaweih berkata:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصَحَّةٍ * وَلَمْ يَخْلُ مِنْ
قُوَّتِ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتَرَفِينَ فَإِنَّهُ * عَلَى حَسْبِ مَا
يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلِبُ
Jika ad-Dahr (masa/waktu)
menyelemuti mu dengan baju sehat walafiat *** dan tidak pernah kosong dari
makanan, yang manis dan segar.
Maka janganlah kau merasa
cemburu terhadap orang-orang yang hidupnya serba mewah, karena sesungguhnya itu
semua *** di atas apa yang Ad-Dahr berikan kepada mereka, dan apa saja yang
ad-Dahr berikan pasti kelak ia akan mencabutnya kembali“. (SELESAI) [Baca: “فَيَضُ الْقَدِيرِ” 6/88].
Kedua: Penulis kutip pula perkataan Syeikh Sholeh Fauzan al-Fauzan dalam
memahami hadits tsb:
فَعَلَيْنَا أَنْ نَشْكُرَ اللَّهَ -عَزَّ وَجَلَّ- بِأَنْ
نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا نَبْطِرُ نِعْمَةَ
اللَّهِ أَوْ نَتَكَبَّرُ أَوْ نَسْتَعْمِلُ هَذِهِ النِّعَمَ فِي مَعْصِيَّةِ
اللَّهِ، وَفِي الْإِسْرَافِ وَالتَّبْذِيرِ وَالْبُذْخِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
Artinya: Kita harus
bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara menggunakan semua nikmatnya
ini dalam ketaatan kepada Allah, dan tidak menyalah gunakan nikmat Allah atau
tidak takabur atau tidak menggunakan nikmat-nikmat ini dalam kemaksiatan kepada
Allah. Dan tidak pula untuk pemborosan, tabdzir, gaya hidup glamour, dan lain
sebagainya. [فَتَاوَى
عَلَى الْهَوَاءِ 20 – 02 – 1437 H].
Ketiga: Penulis sebutkan pula beberapa dalil yang memerintahkan kita untuk
mempersiapkan ekonomi masa depan anak dan keluarga. Diantara sbb:
Allah dalam firmanNya:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً
ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا
Artinya: “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nisa: 9)
Ayat ini berkaitan erat
dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan tentang pembagian harta warisan.
Dan berikut ini ada
sebuah hadits yang sangat tegas menganjurkan para orang tua sebelum meninggal
untuk " MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK ".
Dari Sa'ad bin Abi Waqosh
(ra) berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ ﷺ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ وَهُوَ يَكْرَهُ
أَنْ يَمُوتَ بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ
عَفْرَاءَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ لَا قُلْتُ
فَالشَّطْرُ قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ
نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي
امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ
بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ
Nabi ﷺ datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di
Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah
berhijrah darinya.
Beliau bersabda:
"Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'".
Aku katakan: "Wahai
Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku". Beliau
bersabda: "Jangan".
Aku katakan:
"Setengahnya". Beliau bersabda: "Jangan". Aku katakan lagi:
"Sepertiganya".
Beliau bersabda:
"Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan
menengadahkan tangan mereka.
Sesungguhnya apa saja
yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun
satu suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.
Dan semoga Allah
mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau
memberikan madharat orang-orang yang lainnya".
Saat itu dia (Sa'ad)
tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. (HR. Bukhori No.
2537)
Dan Allah SWT melarang
para orang tua, penguasa dan lainnya menyerahkan harta kepada para safiih
(orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta tersebut
hak milik para safiih tadi.
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا
مَعْرُوفًا (5)
Artinya: “Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam
mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah
sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)
Dan dalam Rangka
memelihara harta anak Yatim, maka wali anak yatim di wajibkan berusaha
mengembangkan hartanya dan mendidik nya agar anak yatim tsb cerdas dalam
mengelola hartanya. Tidak boleh menyerahkan hartanya kecuali setelah anak yatim
itu lulus uci coba kemampuan.
Allah SWT berfirman:
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها
إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ
وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan kalian ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat
kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari
batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (memberikannya) sebelum
mereka dewasa.
Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka,
maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu). (QS. An-Nisaa: 6)
Dari ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
“مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى
تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“
Artinya “Ketahuilah,
barang siapa yang mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah
hartanya untuk berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh
zakat”. (HR. Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)
Akan tetapi makna hadits
di atas benar; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika
sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan
jika tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan menyebabkannya
berkurang.
Sebagaimana telah
diriwayatkan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا
الزَّكَاةُ.
“Kembangkanlah harta
anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan
Baihaqi, beliau berkata: “Sanadnya shahih”)
Dan berikut ini hadits
yang berisi ancaman bagi orang yang menyerahkan harta kepada pemiliknya yang
masih safiih [belum cerdas mengelolanya], meski harta itu hak miliknya:
Dari Abu Musa al-Asy’ry
(ra), bahwa Nabi ﷺ bersabda:
ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ
تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ
عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ،
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ ﴾".
"Ada tiga macam
orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak mengabulkannya untuk mereka.
yaitu:
Seorang lelaki yang
mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;
Dan seorang lelaki yang
mempunyai harta pada seorang lelaki lain (menghutangi) namun dia tidak
menghadirkan saksi terhadapnya
Dan seorang lelaki yang
memberikan kepada orang yang safiih / سفيه (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) hartanya,
sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾
Artinya: “'Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam
mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian' (An-Nisa: 5).
[HR. Al-Hakim dlm
al-Mustadrok No. 3181, ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thohawi dlm “شرح مشكل الآثار” No. 2530.
Dishahihkan oleh al-Hakim dan Syeikh al-Albaani dlam “صحيح الجامع” No. 3075].
Ibnu Katsir berkata dalam
Tafsir nya:
“Allah Swt. melarang
memperkenankan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya
melakukan tasarruf (mengendalikan dan mengelola) harta benda yang
dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah
yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui
dagang ataupun cara lainnya “. (Selesai)
****
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE EMPAT:
Mereka kelompok
Mutazahhidah [anti dunia] menyuruh kaum muslimin untuk fokus ibadah kepada
Allah SWT. Adapun yang berkaitan dengan rizki dan nafkah hidup ; maka cukup
dengan bertawakkal kepada Allah.
Mereka berkata: jika kita
benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT maka Allah akan melimpahkan rizki
kepada kita. Sebagaimana dalam hadits Umar Bin Al Khaththob bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوا خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً
"Sungguh
seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh dengan sebenar-benar tawakkal,
niscaya kalian akan diberi rizqi sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka
berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan
kenyang."
[HR. Al-Tirmidzi (2344) dan lafalnya adalah miliknya, Ibnu Majah
(4164), dan Ahmad (205)]. Di Shahihkan al-Albaani dalam Hidayaturruwaah no.
5229.
Penulis Jawab:
Justru sebaliknya, hadits
ini menyuruh kita di samping bertawakkal kepada Allah, juga kita harus berusaha
semaximal mungkin, seperti burung, ia tidak tinggal diam di sarangnya,
melainkan keluar.
Terus kenapa mesti dari
pagi sampai sore, bukankah untuk kebutuhan seekor burung agar kenyang itu cukup
beberapa saat saja?
Jawabnya: Ini adalah isyarat agar
kita berusaha semaximal mungkin meski melibihi kebutuhan dirinya; karena
kelebihannya bisa diinfaqkan dan digunakan untuk keperluan yang lain.
Dan kenapa burung itu
hanya hingga sore saja, tidak sampai pagi? Karena burung juga harus istirahat
dan lagi pula kalo sudah sore jadi gelap, maka sang burung tidak bisa melihat
sesuatu di kegelapan malam ; karena burung tiada ada yang punya lampu senter.
Ada penjelasan dari Imam
Ahmad tentang hadits ini, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Bakar ad-Dainuury
al-Qoodhi al-Maaliki (w. 333 H) dalam kitabnya al-Mujaalasah wa Jawaahir
al-Ilmi 3/123 no. 754, dia berkata:
“حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْحُبُلِيُّ؛ قَالَ: سَأَلْتُ
أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، فَقُلْتُ: مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ جَلَسَ فِي بَيْتِهِ
أَوْ فِي مَسْجِدِهِ وَقَالَ: لَا أَعْمَلُ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَنِي رِزْقِي؟
فَقَالَ أَحْمَدُ: هَذَا رَجُلٌ جَهِلَ الْعِلْمَ، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ
النَّبِيِّ ﷺ: «جَعَلَ اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي» (يَعْنِي:
الْغَنَائِمَ) ، وَحَدِيثَهُ الْآخَرَ حِينَ ذَكَرَ الطَّيْرَ، فَقَالَ: «تَغْدُوا
خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟»! فَذَكَرَ أَنَّهَا تغدو فِي طَلَبِ الرِّزْقِ.
وَقَالَ الله تبارك وتعالى: (وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ
مِن فَضْلِ اللهِ) [المزمل: 20]. وَقَالَ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربكم} [البقرة: 198]. وَكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ
يَتَّجِرُونَ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَيَعْمَلُونَ فِي نَخِيلِهِمْ،
وَالْقُدْوَةُ بِهِمْ ".
"Diceritakan kepada
kami oleh Abu Al-Qasim Al-Hubuliy, dia berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin
Hanbal, lalu saya berkata:
“Apa pendapatmu
tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjidnya, lalu dia berkata:
Saya tidak akan melakukan apa pun sampai rezeki saya datang kepada saya?".
Ahmad bin Hanbal
menjawab: “Orang ini tidak memiliki ilmu [bodoh]. Bukankah kamu pernah
mendengar sabda Nabi ﷺ:
“جَعَلَ اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي ".
"Allah telah
menjadikan rezekiku di bawah panjangnya tombak-ku [yakni Jihad]?".
Dan sabda beliau yang
lain ketika menyebutkan rizki BURUNG, beliau berkata:
تَغْدُوا خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟
'Ia [burung] berangkat di
pagi hari dan pulang sore dengan perut kenyang?'
Maka beliau ﷺ menyebutkan bahwa burung-burung itu
berangkat untuk berusaha mencari rezeki. Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
'Dan dari mereka ada yang
berusaha mencari karunia Allah di bumi'. [QS. Al-Muzammil: 20]
Dan Allah juga berfirman:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربِّكُمْ
'Tidak ada dosa bagi
kalian [dimusim haji] jika kalian mencari karunia dari Tuhan kalian'. [QS.
Al-Baqarah: 198].
Dan sahabat-sahabat
Rasulullah ﷺ berdagang di darat dan laut, dan mereka
bekerja di kebun kurma mereka, dan mereka adalah contoh teladan bagi kita semua
".
[Lihat Pula: Talbis Iblis
karya Ibnu al-Jauzi hal. 252].
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dalam "Shahih" nya no. 1523 dari Ibnu Abbas (ra), dia
berkata:
كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحْجُونَ، وَلَا يَتَزَوَّدُونَ،
وَيَقُولُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ، سَأَلُوا
النَّاسَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى}.
“Orang-orang Yaman dulu
pergi menunaikan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak membawa bekal, dan
mereka berkata: Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, lalu ketika mereka
tiba di Makkah, mereka minta-minta kepada manusia “. Maka Allah SWT menurunkan wahyu:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
"Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa". (Al-Baqarah: 197)
-----
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE LIMA:
Sebagian kelompok
Mutazahhidah berkata: Tidak usah bersusah payah dalam mencari rizki, karena
rizki sudah dintentukan, bahkan akan tertunaikan semuanya sebelum ajal tiba,
sebagimana dalam hadits Jabir (ra) bahwa Rasulullah ﷺ:
“أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ
فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ
عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا
مَا حَرُمَ".
“Wahai manusia bertakwalah
kepada Allah dan kalian pilihlah cara yang terindah dalam mencari rezeki,
karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat
rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kalian kepada Allah dan
kalian perindah-lah dalam cara mencari rezeki, kalian ambillah rezeki yang
halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram”.(HR. Ibnu Majah no. 1756,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Penulis jawab:
Justru hadits ini
memerintahkan kita agar berusaha seindah mungkin dalam cara dan strategi
mencari rizki. Bahkan dalam riwayat lain, kita diperintahkan mempercanggih
profesi dan skill dalam mencari rizki.
Rosulullah ﷺ bersabda:
إنّ رُوحَ القُدُسِ نَفَثَ في رُوعِي أنّ نَفْساً لنْ تَمُوتَ حَتّى
تَسْتَكْمِلَ أجَلَها وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَها، فاتّقُوا الله وأجْمِلُوا في
الطَّلبِ [وفي بعض الروايات بعد هذا زيادة: “وَاسْتَجْمِلُوْا مِهَنَكُمْ "]
ولا يَحْمِلنَّ أحَدَكُمُ اسْتِبْطاءُ الرِّزْقِ أنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ
الله، فإنّ الله تعالى لا يُنالُ ما عِنْدَهُ إلاّ بِطاعَتِهِ
“Sungguh malaikat Jibril
telah membisikkan pada hati saya bahwa sebuah jiwa tidak akan mati sampai
ajalnya tiba sehingga rezekinya telah sempurna, maka bertakwalah kalian kepada
Allah, kalian perindahlah cara mencari rizki itu
[Dalam sebagian
riwayat ada tambahan: “dan kalian per-INDAH-lah profesi-profesi (atau skill
-skill) kalian]
Dan janganlah salah
seorang dari kalian memperlambat datangnya rezeki dengan bermaksiat kepada
Allah, karena apa yang dimiliki oleh Allah tidaklah dapat diraih kecuali dengan
taat kepada-Nya”.
Hadits ini diriwayatkan
dari tiga Sahabat: 1. Dari Jabir bin Abdullah RA. 2. Abdullah bin Mas’ud (ra).
3. Abdullah bin Umar (ra).
Terjemahan ke bahasa
Indonesia dari teks Arab tersebut adalah sebagai berikut:
"HR. Al-Baihaqi
dalam "Shu'ab al-Iman" No. 9891, dan juga oleh Al-Baghawi "Sharh
as-Sunnah" – No: 4111."
Hadits ini di shahihkan
oleh Syeikh al-Baani dlm “Shahih al-Jaami'” No. 2085 “ Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah” No. 2866 dan “مشكلة
الفقر” No. 15
Dan dishahihkan pula oleh
Syu’eb al-Arna’uth dlm “تخريج
زاد المعاد” 1/77.
Perhatikan kata-kata
dalam hadits di atas:
“وأجْمِلُوا في الطَّلبِ وَاسْتَجْمِلُوْا مِهَنَكُمْ”
“kalian perindahlah cara
mencari rizki itu dan kalian per indah pula profesi-profesi kalian (مِهْنَة) “.
Berikut ini definisi dan makna
kata “ مِهْنَة ” jamaknya “ مِهَنٌ ”:
"الْمِهْنَةُ عَلَى أَنَّهَا أَيُّ نَوْعٍ مِنَ الْعَمَلِ
الَّذِي يَحْتَاجُ إِلَى تَدْرِيبٍ خَاصٍّ أَوْ مَهَارَةٍ مُعَيَّنَةٍ، وَبِشَكْلٍ
أَدْقَ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ مُمَارَسَةٍ تَتَطَلَّبُ مُجْمَوَعَةً مُعَقَّدَةً مِنَ
الْمَعْارِفِ وَالْمَهَارَاتِ الَّتِي يُتَمُّ اكْتِسَابُهَا مِنْ خِلَالِ
التَّعْلِيمِ الرَّسْمِيِّ وَالْخَبْرَةِ الْعَمَلِيَّةِ ".
Artinya: “Profesi (مِهْنَة) adalah segala
jenis pekerjaan yang membutuhkan pelatihan khusus atau keterampilan khusus. Lebih
tepatnya, مِهْنَة adalah praktik
yang membutuhkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan kompleks yang
diperoleh melalui pendidikan formal dan pengalaman kerja “.
Dan dalam hadits lain
dari Abu Humaid as-Saa’idy, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
“أَجْمِلُوا فِي طَلَبِ الدُّنْيَا فَإِنَّ كُلّاً مُيَسَّرٌ لِمَا
خُلِقَ لَهُ”
Kalian perindahlah dalam
mencari dunia!!!, karena sesungguhnya bagi masing-masing itu telah dimudahkan
sesuai dengan apa yang diciptakan untuknya “. (HR. Ibnu Majah No. 2151. Dan di
shahihkan oleh Syeikh al-Baany dlm Shahih Ibnu Maajah No. 1755).
Tidak ada keraguan bahwa
semuanya sudah diatur oleh Allah SWT, termasuk ajal kita, rizki kita, jodoh
kita dan lainnya. Namun itu hanya wajib diimani, akan tetapi kita tetap
berkewajiban untuk berusaha semaximal mungkin. Karena hakikat takdir Allah itu
sangat dalam dan luas, seperti menyelami samudera yang sangat dalam tanpa batas
dan sangat luas tanpa tepi.
Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«طَلَبُ الْحَلَالِ جِهَادٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُحْتَرِفَ»
“Mencari rezeki yang halal adalah jihad, dan sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla mencintai hamba yang ulet dan mahir dalam usaha (memiliki skill dan
keahlian yang betul-betul mahir untuk mencari rizki atau berprofesi).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Ishlah al-Maal
hal. 71 no. 204, Muhammad bin Makhlad dalam Fawa’id-nya hal. 26 no. 27,
asy-Syihab al-Qudho’i dalam Musnad-nya 1/83 no. 82 dan ad-Daylami dalam
al-Fidaus 2/442 no. 3919.
Hadis ini dinilai dho’if oleh Al-Albani dalam *As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (no. 1301).
Hadis ini juga disebutkan oleh As-Sakhawi dalam *Al-Maqashid
Al-Hasanah* (hal. 505 no. 801), dan ia berkata:
رَوَاهُ الْقُضَاعِيُّ مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ لَيْثِ بْنِ
أَبِي سُلَيْمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْهُ، وَهُوَ عِنْدَ أَبِي نُعَيْمٍ فِي "الْحِلْيَةِ"،
وَمِنْ طَرِيقِهِ الدَّيْلَمِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، وَبَعْضُهَا يُؤَكِّدُ بَعْضًا،
لَا سِيَّمَا وَشَوَاهِدُهَا كَثِيرَةٌ.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Qudha’i dari jalur Muhammad bin
Al-Fadhl, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, darinya (yakni dari Ibnu Abbas).
Hadis ini juga terdapat dalam *Hilyah* karya Abu Nu‘aim, dan dari
jalurnya diriwayatkan pula oleh Ad-Dailami dari Ibnu Umar. Sebagian riwayatnya
saling menguatkan satu sama lain, terutama karena memiliki banyak syawahid
(penguat)”.
Begitu pula al-Husain al-Laa’iy al-Maghriby dalam al-Badrut Tamam
10/245, dia berkata:
وَبَعْضُهَا يُقَوِّي
بَعْضًا، وَشَوَاهِدُهَا كَثِيرَةٌ
“Dan sebagian riwayat hadits ini saling menguatkan satu sama lain,
serta memiliki banyak syahid (pendukung)”.
Makna “المُحْتَرِفُ”
dalam hadits diatas :
المُحْتَرِفُ هُوَ
شَخْصٌ يَمْتَلِكُ الْمَهَارَةَ وَالْإِتْقَانَ فِي مِهْنَةٍ أَوْ نَشَاطٍ مُعَيَّنٍ،
سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِنْ خِلَالِ التَّدْرِيبِ الْمُتَخَصِّصِ أَوِ الْخِبْرَةِ الطَّوِيلَةِ.
تُسْتَخْدَمُ هَذِهِ الْكَلِمَةُ لِوَصْفِ شَخْصٍ يَتَّخِذُ مِنْ نَشَاطٍ مُعَيَّنٍ
مَصْدَرًا لِلرِّزْقِ، أَوْ شَخْصٍ يَتَمَتَّعُ بِكَفَاءَةٍ عَالِيَةٍ فِي مَجَالٍ
مُعَيَّنٍ، وَيَهْدِفُ إِلَى تَحْقِيقِ مَعَايِيرَ مِهْنِيَّةٍ عَالِيَةٍ.
“Seorang *muhtarif* adalah seseorang yang memiliki keterampilan dan
keahlian dalam suatu profesi atau aktivitas tertentu, baik melalui pelatihan
khusus maupun pengalaman yang panjang.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menjadikan suatu aktivitas sebagai sumber penghasilan, atau seseorang yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang tertentu dan berupaya mencapai standar profesional yang tinggi”.
Penyair Al-Mutanabbi
berkata:
وَإِذَا لَمْ يَكُنْ مِنَ المَوْتِ بُدٌّ *** فَمِنَ العَجْزِ أنْ
تَمُوتَ جَبَانَا
"Dan jika kematian itu hal yang pasti **** maka salah satu kelemahan adalah mati sebagai pengecut [lari dari perjuangan dan usaha maksimal]."
****
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE ENAM:
Mereka juga melarang kaum
muslimin berkebun dan bercocok tanam dikarenakan ada sebuah hadits yang
menyatakan bahwa Allah akan menimpakan kehinaan kepada kaum yang memasukkan
alat-alat pertanian ke dalam rumahnya. Sebagaimana yang terdapat dalam
hadits Abu Umamah Al Bahili (ra):
وَرَأَى سِكَّةً وَشَيْئًا مِنْ آلَةِ الحَرْثِ، فَقَالَ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ
قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ»
[Muhammad bin Ziyad Al
Alhani] berkata: ketika ia [Abu Umamah] melihat besi mata bajak dan alat-alat
pertanian berkata: “Aku pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “tidaklah alat-alat ini masuk ke dalam rumah
suatu kaum kecuali Allah akan masukkan kehinaan kepada mereka“. [HR. Al
Bukhari dalam Shahih-nya (2321)]
Jawabannya:
Pertama: Penulis kutip penjelasan
Syeikh bin Baaz tentang makna hadits ini:
"هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ٱلْمُرَادَ بِذَٰلِكَ إِذَا
قَصَّرَ فِي ٱلْوَاجِبِ، أَوْ تَوَسَّعَ فِيهِ، فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى شَيْئًا
مِنْ آلَةِ ٱلْحَرْثِ قَالَ: مَا دَخَلَ هَٰذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ
ٱللَّهُ ٱلذُّلَّ، يُحْمَلُ مِثْلَمَا قَالَ ٱلْمُؤَلِّفُ عَلَى مَا إِذَا كَانَ
تَعَاطِي ذَٰلِكَ عَلَى وَجْهٍ يَكُونُ فِيهِ ٱلْإِسْرَافُ وَٱلزِّيَادَةُ، أَوْ
ٱلتَّقْصِيرُ عَنِ ٱلْوَاجِبِ، أَوْ ٱلِٱمْتِنَاعُ عَنِ ٱلْوَاجِبِ، أَوْ
ٱلشُّغْلُ بِهِ عَمَّا أَوْجَبَ ٱللَّهُ، أَمَّا إِذَا كَانَتِ ٱلزِّرَاعَةُ
وَٱلْحَرْثُ لَمْ تَمْنَعْهُ مِمَّا أَوْجَبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ، وَلَمْ
تُقَعِّدْهُ عَنِ ٱلْجِهَادِ عِنْدَ ٱلدَّاعِي إِلَيْهِ، وَلَمْ يُسْرِفْ فِيهَا
وَيَتَوَسَّعْ حَتَّى تُشْغَلَهُ؛ فَهِيَ مَكْسَبٌ عَظِيمٌ؛ جَمْعًا بَيْنَ
ٱلْأَدِلَّةِ ".
Ini menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan itu adalah ketika seseorang kurang perhatian dalam
menjalankan kewajiban atau bermudah-mudahan dengan menyepelekannya.
Karena saat itu beliau ﷺ melihat sesuatu dari alat pertanian, lalu
beliau berkata: "Tidaklah sekali-kali alat ini masuk dalam rumah suatu
kaum kecuali Allah memasukkan kehinaan kepadanya."
Ini sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh penulis kitab tentang jika seseorang terlibat dalam hal itu
dengan cara berlebihan dan melampaui batas, atau mengabaikan kewajiban, atau
menolak kewajiban, atau terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak diwajibkan oleh
Allah.
Namun, jika pertanian dan
pekerjaan pertanian tidak menghalangi mereka dari apa yang diwajibkan oleh
Allah kepada mereka, dan tidak menghalangi mereka dari jihad ketika ada
panggilan, dan jika mereka tidak berlebihan dan terlalu sibuk dengan pertanian
hingga melupakan tugas-tugas lainnya, maka itu adalah keuntungan besar ;
berdasarkan penggabungan berbagai dalil".
Lalu syeikh Bin Baaz
berkata:
الضَّابِطُ: أَنَّهَا تُشْغِلُهُ، الضابِطُ: أَنَّهُ يَتَوَسَّعُ
تَوْسُّعًا يُشْغِلُهُ، فَالْأَنْصَارُ عِنْدَهُمْ حُقُولٌ كَثِيرَةٌ، وَهُمْ
يَخْتَلِفُونَ إِلَيْهَا، وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَلَيْهِمْ، وَنَفَعُوا
الْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا كَانَتِ الْمَزَارِعُ لَا تُشْغِلُ عَمَّا أَوْجَبَ
اللَّهُ، وَلَا تُوقِعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ، فَهِيَ مَكْسَبٌ طَيِّبٌ،
وَصَاحِبُهَا عَلَى خَيْرٍ، وَكُلَّمَا أَخْرَجَ مِنْهَا أَوْ نَقَصَ مِنْهَا
فَهُوَ صَدَقَةٌ. إِذَا احْتَسَبَ يَكُونُ الْأَجْرُ أَعْظَمَ، نَعَمْ.
Batasannya: Yaitu Jika
itu membuatnya sibuk [sehingga dia lalai dari kewajiban ibadah]. Batasannya:
bahwa ia memperluasnya secara luas yang membuatnya sibuk [lalu lupa ibadah].
Karena para sahabat Ansar memiliki ladang yang banyak, dan mereka terpencar
mendatangi masing-masing ladangnya. Dan sungguh Allah telah memuji mereka dan
mereka juga telah memberi manfaat bagi umat Muslim.
Jika pertanian tidak
menghalanginya dari kewajiban yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak
melibatkannya dalam yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah penghasilan
yang baik, dan pemiliknya dalam kebaikan. Setiap kali dia mengeluarkan atau
mengurangi darinya, maka itu menjadi sedekah. Jika dia berniat untuk
mendapatkan pahala, maka pahalanya akan menjadi lebih besar. Ya.
[Blog resmi Syeikh Bin
Baaz/ Syarah Shahih al-Bukhori/ باب فضل الزرع والغرس إذا أكل منه].
Kedua: Dalam hadits Jabir bin
Abdullah (ra) di sebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ
مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً
وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً
“Tidaklah
seorang muslim menanam suatu tanaman, maka apa yang dimakan dari tanaman itu
melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut
melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan binatang liar melainkan
menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan burung melainkan menjadi sedekah
baginya. Dan tidaklah seseotrang mengambil darinya, melainkah ia menjadi
sedekah baginya." (HR. Imam Muslim Hadits no.1552)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimaullah mengatakan:
وَفِي الْحَدِيثِ فَضْلُ الْغَرْسِ وَالزَّرْعِ وَالْحَضُّ عَلَى
عِمَارَةِ الْأَرْضِ وَيُسْتَنْبَطُ مِنْهُ اتِّخَاذُ الضَّيْعَةِ وَالْقِيَامُ
عَلَيْهَا وَفِيهِ فَسَادُ قَوْلِ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُتَزَهِّدَةِ
Dalam hadits ini terdapat
fadhilah keutamaan menanam dan menabur benih, dan motivasi untuk memakmurkan
lahan tanah. Disimpulkan darinya anjuran mengelola lahan yang terbengkalai dan
mengembangkannya.
Dan di dalam hadits ini
terdapat petunjuk betapa rusaknya perkataan orang yang mengingkarinya dari
MUTAZAHHIDAH [kelompok ahli zuhud yang lari dari harta dunia]". [Fathul
Bari 5/4].
****
DALIL SYUBHAT AHLI ZUHUD KE TUJUH:
Mereka mengatakan bahwa
rizki itu datangnya dari Allah SWT. Jika Allah SWT menghendakinya maka Allah
SWT mampu mendatangkan emas tanpa terduga. Sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ
مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِى فِى ثَوْبِهِ، فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا
أَيُّوبُ، أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى وَعِزَّتِكَ
وَلَكِنْ لاَ غِنَى بِى عَنْ بَرَكَتِكَ»
"Tatkala Ayyub mandi
dalam keadaan telanjang, tiba-tiba muncul belalang dari emas. Lalu Ayyub
mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam baju. Maka Raabnya memanggilnya: 'Wahai
Ayyub, bukankah aku sudah memberimu kecukupan sebagaimana kau lihat? ' Ayyub
menjawab, 'Benar, dan demi segala kemuliaan-Mu. Tetapi aku tidak pernah merasa
puas dari limpahan barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 279].
Penulis jawab:
Bahwa kisah Ayub ini
adalah mu'jizat beliau yang tidak diberikan kepada selainnya. Hanya sesekali
terjadi dan tidak berulang. Maka tidak bisa dijadikan standar dalil.
Sama halnya Allah SWT
menganugerahi mukjizat kepada Maryam Binti Imran (alaihas salam) berupa makanan
di Mihrab-nya. Allah SWT berfirman:
"كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَۙ وَجَدَ
عِنْدَهَا رِزْقًا ۚ قَالَ يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَا ۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ
عِنْدِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ".
“Setiap kali Zakaria
masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di
sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia
(Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada
siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan'. [QS. Ali Imran: 37].
Sementara Nabi Zakariya
(alaihis salam) sendiri yang mengasuh Maryam (alaihas salam) beliau bekerja
sebagai tukang kayu untuk menafkahi dirinya dan keluarganya. Seperti yang
diriwayatkan Imam Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا”
"Dulu Nabi Zakariya ﷺ bekerja sebagai tukang kayu."
Lalu apa pekerjaan Maryam
(alaihis salam) setelah punya anak, Isa (alaihis salam)???
DR. Muhammad Minbar
al-Janbar dalam artikelnya " قِصَّةُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمِ (2)" berkata:
وَرُوِيَ أَنْ مَرْيَمَ مَكَثَتْ فِي مِصْرِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ
سَنَةً حَتَّى شَابَّ وَلَدُهَا عِيسَى، وَكَانَتْ تَلْتَقِطُ السَّنَابِلَ مِنَ
الْأَرْضِ بَعْدَ الْحَصَادِ فَتَجْمَعُ مَا يَتْرُكُهُ النَّاسُ اسْتِقْلَالًا
لَهَا وَتُطْعِمُهُ وَلَدُهَا.....
وَلَمَّا ظَهَرَ أَمْرُهُ فِي مِصْرَ وَهُوَ فِي هَذِهِ السِّنَّ
خَافَتْ أُمُّهُ عَلَيْهِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى أُمِّهِ أَنْ عُودِيَ بِهِ
إِلَى الشَّامِ، وَفِي الشَّامِ مَرَّ بِعَدَدٍ مِنَ الْأَعْمَالِ، فَقَدْ رُوِيَ
أَنَّهُ عَمِلَ قَصَّارًا - صَبَّاغًا – لِلثِّيَابِ....
Dan diriwayatkan bahwa
Maryam tinggal di Mesir selama dua belas tahun hingga anaknya, Isa, tumbuh
dewasa. Mariam (alaihas salam) hidup mandiri, ia biasa mengumpulkan bulir-bulir
gandum yang tercecer ditanah setelah panen, mengumpulkan sisa-sisa yang
ditinggalkan oleh orang-orang, secara mandiri, dan memberinya makan kepada putranya...
Ketika masalah putranya
mulai tersebar di Mesir dan ia berada pada usia pemuda, maka ibunya khawatir
padanya. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada ibunya agar membawanya kembali ke
Syam. Di Syam, Isa (alaihis salam) melakukan beberapa pekerjaan, dan telah
diriwayatkan bahwa Isa (alaihis salam) bekerja sebagai tukang celup warna
pakaian".
===****===
KONSEP MEMAHAMI DALIL YANG BER-TEMAKAN TENTANG HARTA DAN NAFKAH
Setiap ayat al-Qur'an dan
hadits nabawi yang kandungannya berbicara tentang usaha mencari rizki, maka itu
semua adalah dalil bahwa bertawakkal kepada Allah SWT itu tidak menghalangi
seseorang untuk bekerja dan berusaha mencari harta dunia.
Adapun ayat al-Quran dan
hadist nabawi yang kandungannya mencela harta benda dan melaknat kesenangan
dunia maka itu dimaksudkan jika usahanya dan hartanya itu bisa menghalangi
mereka dari apa yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan menghalangi
mereka dari berjihad di jalan Allah ketika ada panggilan jihad.
Muhammad Rasyid Ridho
berkata dalam tafsir al-Manaar (4/174):
هَذَا وَإِنَّ كُلَّ مَا وَرَدَ فِي الْكَسْبِ حُجَّةٌ عَلَى كَوْنِ
التَّوَكُّلِ لَا يُنَافِي الْعَمَلَ وَالسَّعْيَ لِلدُّنْيَا، وَقَدْ تَقَدَّمَ
ذِكْرُ بَعْضِ الْآيَاتِ فِي ذَلِكَ وَمِنْهَا قَوْلُهُ - تَعَالَى -: هُوَ
أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا [11: 61] وَقَوْلُهُ:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ [15: 20]
وَقَوْلُهُ: وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا [78: 11]
وَمِنَ الْأَحَادِيثِ الشَّرِيفَةِ قَوْلُهُ ﷺ: خَيْرُ الْكَسْبِ
كَسْبُ الْعَامِلِ إِذَا نَصَحَ رَوَاهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ حَسَنٍ،
والْبَيْهَقِيُّ وَالدَّيْلَمِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ بِلَفْظِ: كَسْبُ يَدِ
الْعَامِلِ وَقَالَ الْهَيْثَمِيُّ: رِجَالُهُ ثِقَاتٌ. وَقَوْلُهُ ﷺ: التَّاجِرُ
الصَّدُوقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَحَسَّنَهُ.
وَلِابْنِ مَاجَهْ وَالْحَاكِمِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا: التَّاجِرُ
الْأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ قَالَ الْحَاكِمُ: حَدِيثٌ
صَحِيحٌ
"Ini, dan
sesungguhnya setiap [ayat dan hadits] yang menyebutkan tentang usaha mencari
nafkah adalah argumen [dalil] bahwa bertawakkal kepada Allah SWT tidak
menghalangi seseorang untuk bekerja dan berusaha dalam mencari harta dunia.
Telah disebutkan beberapa
ayat dalam hal ini, di antaranya adalah firman-Nya - yang artinya –: 'Dia
menciptakan kalian dari bumi [tanah] dan menjadikan kalian pemilik dan penguasa
di atasnya' (Q.S. Hud: 61).
Dan firman-Nya: "Dan
Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki
kepada-Nya. (Q.S. Al-Hijr: 20).
Dan firman-Nya: 'Dan Kami
menjadikan siang sebagai sarana mencari penghidupan' (Q.S. An-Naba: 11) ".
Adapun yang dari
hadis-hadits yang mulia, maka diantaranya adalah sbb:
Sabda beliau ﷺ: "Hasil usaha terbaik adalah hasil
usaha dari pekerja yang jujur."
Hadis ini diriwayatkan
oleh Ahmad dengan sanad yang hasan, dan juga oleh al-Baihaqi, ad-Dailami, dan
Ibn Khuzaimah dengan lafadz: "Hasil usaha yang diperoleh dengan tangan
sendiri." Al-Haitsami berkata: "Perawinya adalah orang-orang yang tsiqah
(terpercaya)."
Dan sabda beliau ﷺ: "Pedagang yang jujur akan
dikumpulkan di hari kiamat bersama para nabi, orang-orang shiddiq (yang sangat
jujur), dan para syuhada."
Hadis ini diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari hadis Abu Sa'id dan dihasankan olehnya.
Dan juga diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan al-Hakim dari hadis Ibnu Umar secara marfu': "Pedagang
yang amanah, jujur, dan muslim akan berada bersama para syuhada."
Al-Hakim berkata:
"Hadis ini sahih." [Kutipan Selesai]
Syeikh Muhammad
al-Munajjid berkata:
الكَسْبُ وَالْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكَفَارِ
مَسْأَلَةُ الْكَسْبِ مَسْأَلَةٌ شَرْعِيَّةٌ.. تَحْصِيلُ الْمَالِ
لِإِنْفَاقِهِ عَلَى النَّفْسِ، وَسَدُّ الْحَاجَةِ مَطْلَبٌ شَرْعِيٌّ،
وَلَيْسَتْ قَضِيَّةً دُنْيَوِيَّةً بَحْتَةً.. يَرْتَبِطُ بِتَحْصِيلِ الْكَسْبِ
لِلْإِنْفَاقِ عَلَى النَّفْسِ وَسَدِّ الْحَاجَةِ، أَجْرٌ وَثَوَابٌ فِي
الْآخِرَةِ، فَهِيَ لَيْسَتْ قَضِيَّةً دُنْيَوِيَّةً مُجَرَّدَةً، وَهَذَا مِنَ
الْفُرُوقِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْكَفَارِ؛ فَالْكَفَارُ لَا يُحْتَسَبُونَ
-فِي عَمَلِهِمْ لِلدُّنْيَا.. فِي وَظَائِفِهِمْ وَدِرَاسَاتِهِمْ
وَأَبْحَاثِهِمْ- أَجْرًا عِنْدَ اللَّهِ، وَإِنْ كَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ
ذَهَابَهُمْ إِلَى الْكَنِيسَةِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَجِدُوا فَائِدَةَ ذَلِكَ
بَعْدَ الْمَوْتِ، لَكِنَّهُمْ لَا يُحْتَسَبُونَ فِي أَعْمَالِهِمْ
الدُّنْيَوِيَّةِ أَيَّ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَجْرِ.
وَأَمَّا الْمُسْلِمُونَ: فَانْظُرْ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
الصَّحِيحِ: قَالَ ﷺ فِي الْخَارِجِ مِنْ بَيْتِهِ: (إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى
عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى
عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ
كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعْفُهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخِرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ
الشَّيْطَانِ).
Perbedaan antara
orang-orang mukmin dan orang-orang kafir dalam hal kasab [Usaha mencari rizki].
Masalah kasab [Usaha
mencari rizki] bagi umat Islam adalah masalah hukum syar'i. Usaha mencari rizki
untuk digunakan untuk menafkahi diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya adalah
sebuah tuntutan yang diperintahkan oleh syari'ah, dan itu bukan sekadar masalah
dunia semata.
Terkait dengan kasab
[Usaha mencari rizki] untuk menafkahi diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya,
maka itu akan mendapatkan pahala dan balasan di akhirat, sehingga bukanlah
masalah yang bersifat duniawi semata.
Ini adalah salah satu
perbedaan antara orang-orang Muslim dan orang-orang kafir.
Orang-orang kafir tidak
mengharapkan pahala di sisi Allah dalam pekerjaan mereka untuk dunia, dalam
jabatan mereka, studi mereka, dan penelitian mereka. Meskipun mereka
mengatakan: bahwa mereka pergi ke gereja dengan tujuan mendapatkan manfaat
setelah kematian, akan tetapi mereka tidak mengharapkan pahala dalam urusan duniawinya.
[yakni: jenis imbalan amalan yang berbeda].
Sedangkan bagi
orang-orang Muslim, maka perhatikan hadis yang sahih berikut ini:
Suatu hari ada seorang
lelaki lewat di depan rasulullah ﷺ, dan para shahabat radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki
tersebut dari kulit tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang
tangguh- pen), maka rasulullah ﷺ berkata:
«إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صَغَارًا فَهُوَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ
يَعُفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً
وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»
“Jika dia keluar
bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia itu FI SABILILLAH [Di Jalan
Allah].
Dan jika dia keluar
bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu FI SABILILLAH.
Dan jika dia keluar
bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri
untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu FI SABILILLAH.
Dan jika keluar dalam
rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.”
(HR. Ath-Thabrani
(13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya). Sanad hadis ini dianggap sahih
oleh al-Albani dalam Shahih al-Targhib no. 1959].
[Sumber: التَّوْفِيقُ بَيْنَ
عَمَلِ الدُّنْيَا وَعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلشَّيْخِ مُحَمَّدِ المُنْجِدِ]
Begitu pula Masalah rizki
yang dihasilkan oleh tanam-tanaman yang ditanam seseorang di tanah, meskipun
tampak sebagai masalah duniawi, namun dengan urusan akhirat memiliki kaitan
yang erat. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Anas bin Malik (ra) bahwa
Rasulullah ﷺ:
لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ
طَيْرٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ
(Tidaklah seorang Muslim
yang menanam pohon, atau menabur benih tanaman, kemudian burung, atau manusia,
atau binatang memakannya, melainkan itu akan menjadi sedekah baginya)
[Al-Bukhari no. 2320 dan Muslim no. 1553].
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimaullah mengatakan:
وَفِي الْحَدِيثِ فَضْلُ الْغَرْسِ وَالزَّرْعِ وَالْحَضُّ عَلَى
عِمَارَةِ الْأَرْضِ وَيُسْتَنْبَطُ مِنْهُ اتِّخَاذُ الضَّيْعَةِ وَالْقِيَامُ
عَلَيْهَا وَفِيهِ فَسَادُ قَوْلِ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُتَزَهِّدَةِ
Dalam hadits ini terdapat
fadhilah keutamaan menanam dan menabur benih, dan motivasi untuk memakmurkan
lahan tanah. Disimpulkan darinya anjuran mengelola lahan yang terbengkalai dan
mengembangkannya.
Dan di dalam hadits ini
terdapat petunjuk betapa rusaknya perkataan orang yang mengingkarinya dari
kelompok ahli ZUHUD [orang-orang yang lari dari harta dunia]". [Fathul
Bari 5/4].
Syeikh Muhammad
al-Munajjid berkesimpulan:
فَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنَ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ
عَلَى مَنِ اسْتَكْثَرَ بِهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ أَمْرِ الدِّينِ، وَقَوْلُهُ:
"إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"، مُقْتَضَاهُ
أَنَّ أَجْرَ ذَلِكَ الْغَرْسِ يَسْتَمِرُّ حَتَّى لَوْ مَاتَ الزَّارِعُ
وَالْغَارِسُ وَانْتَقَلَ مِلْكِيَّةُ الزَّرْعِ إِلَى غَيْرِهِ.
Adapun dalil-dalil yang
ber-isikan larangan tersebut, maka hal itu berlaku bagi orang yang terlalu
berlebihan dalam hal tersebut dan sibuk dengan urusan duniawi sehingga
mengabaikan urusan agama.
Dan sabda-nya:
"Melainkan itu akan menjadi menjadi pahala sodaqoh baginya hingga hari kiamat."
Konsekwensinya adalah bahwa pahala tanaman itu terus berlanjut meskipun petani
dan penggarapnya telah meninggal dunia dan kepemilikan tanaman itu berpindah
kepada orang lain".
[Sumber: التَّوْفِيقُ بَيْنَ
عَمَلِ الدُّنْيَا وَعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلشَّيْخِ مُحَمَّدِ المُنْجِدِ]
PROF. DR. KHALID AS-SABT
BERKATA:
قَدْ كَانَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رضي الله عنهُ يَقُولُ:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ تَفْرِقِ الْقَلْبِ، فُسِئِلَ عَنْ هَذَا
فَقَالَ: "أَنْ يَكُونَ لَهُ بِكُلِّ وَادٍ مَالٌ"، هُنَا مَصْنَعٌ،
وَهُنَا مَنْجَرَةٌ، وَهُنَا مَكَانٌ لِلْقُمَاشِ، وَهُنَا مَكَانٌ لِلْأَوْرَاقِ،
وَهُنَا مَكَانٌ لِلسِّيَارَاتِ، وَهَكَذَا؛ مِنْ أَجْلِ التَّكَثُّرِ مِنَ
الدُّنْيَا، فَمَثَلُ هَذَا لَا يُؤَجَّرُ الْإِنْسَانُ عَلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ
شَاغِلًا لَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَسَبَبًا لِانْصِرَافِ
قَلْبِهِ عَمَّا هُوَ بِصَدَدِهِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَالِاسْتِقْبَالِ
عَلَيْهِ، وَذِكْرِهِ وَحُسْنِ عِبَادَتِهِ، لَكِنْ إِذَا كَانَ الْإِنْسَانُ
يَطْلُبُ هَذِهِ الدُّنْيَا مِنْ أَجْلِ أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنِ الْفَقْرِ،
يَسْتَغْنِيَ عَنِ النَّاسِ، أَنْ يُغْنِيَ أَهْلَهُ عَنْ هَذَا فَهَذَا
يُؤَجَّرُ، وَعَمَلُهُ هَذَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، وَهَذَا هُوَ
الْمَفْهُومُ الْوَاسِعُ لِلْعِبَادَةِ.
"Hudhaifah bin
Al-Yaman (ra) berkata:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ تَفْرِقِ الْقَلْبِ، فُسِئِلَ
عَنْ هَذَا فَقَالَ: "أَنْ يَكُونَ لَهُ بِكُلِّ وَادٍ مَالٌ"
'Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari hati yang tercerai berai.' Ketika ditanya tentang hal ini,
beliau menjawab: 'Yaitu jika seseorang memiliki harta di setiap lembah".
Contohnya adalah
seseorang memiliki banyak usaha: Di sini ada tempat produksi, di sini ada
tempat pengepakan, di sini ada tempat untuk pabrik kain, di sini ada tempat
untuk pabrik kertas, di sini ada tempat untuk prabrik mobil, dan sebagainya.
Semua itu dia lakukan
bertujuan murni untuk memperabanyak kekayaan dunia. Maka hal yang seperti ini
tidak akan mendatangkan pahala bagi seseorang, malah akan membuatnya terhalang
dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan menjadi sebab teralihnya hatinya
dari ibadah kepada Allah, dari berdzikir kepada-Nya, dan dari meningkatkan
kualitas ibadahnya.
Adapun jika seseorang
mencari dunia dengan tujuan untuk menghilangkan kemiskinan, membebaskan
keluarganya dari kekurangan, dan mampu menyantuni orang lain, maka ini akan
mendatangkan pahala. Tindakan semacam ini termasuk dalam amal-amal terbaik, dan
inilah makna yang luas dari ibadah.'"
[Syarah Kitab Riyadhush
Sholihin (36) Bab: an-Nafaqoh 'alal Iyaal].
*****
DALIL-DALIL BAHWA DUNIA DAN MENCARI HARTA ITU TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AGAMA DAN AKHIRAT:
=====
DALIL KE SATU : MENCARI RIZKI HALAL ITU FARDHU (WAJIB) BAGI SETIAP MUSLIM
Berikut ini hadits yang mewajibkan mencari rizki halal bagi setiap muslim :
HADITS KE 1 :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«طَلَبُ الْحَلَالِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Berusaha Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban atas setiap Muslim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jam Al-Awsath 8/272 (8610), dan oleh Abu Ali Al-Bazzaz dalam Ajza’ Abu Ali bin Syadhan jilid kedelapan halaman 110 nomor 109.
Ath-Thabrani berkata:
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْخِرِّيتِ إِلَّا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، وَلَا عَنْ جَرِيرٍ إِلَّا بَقِيَّةُ، تَفَرَّدَ بِهِ: مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ "
“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Az-Zubair bin Al-Kharrīt kecuali Jarir bin Hazim, dan tidak pula dari Jarir kecuali Baqiyyah. Hadits ini hanya diriwayatkan secara tunggal oleh Muhammad bin Abi As-Sari”.
Al-Mundziri berkata dalam At-Targhib wat-Tarhib 2/345:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
“Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath, dan sanadnya hasan.”
Pernyataan ini diikuti oleh Al-Haitsami dalam Majma‘ Az-Zawaid 10/291 nomor 18099, di mana ia berkata:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
“Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath, dan sanadnya hasan.”
Begitu pula Al-Hafizh dalam Mukhtashar At-Targhib wat-Tarhib (161), dan Abu Al-‘Abbas Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair 1/384.
Namun, Al-Hafizh Al-‘Iraqi melemahkan sanad hadits ini dalam Takhrij Ihya’ ‘Ulum Ad-Din (1649).
Al-Albani juga mencantumkannya dalam As-Silsilah Adh-Dha‘ifah (3826) dan mengatakan bahwa hadits ini mungkar. Ia menjelaskan adanya tiga cacat dalam sanadnya serta mengkritik penilaian Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menganggapnya hasan.
HADITS KE 2 :
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
كَسْبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
“Mencari rezeki yang halal adalah fardhu (kewajiban) setelah ibadah-ibadah fardhu.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (12/149, no. 11805), dalam Syu’ab Al-Iman (no. 8741), oleh Al-Qadha‘i dalam Musnad-nya (no. 121), At-Thabrani (no. 9993), Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Awliya’ (7/126), dan Ibnu Jami‘ Ash-Shaidawi dalam Mu‘jam Asy-Syuyukh halaman 106.
Al-Baihaqi berkata:
تَفَرَّدَ به عَبّادُ بنُ كَثيرٍ الرَّملِى وهو ضَعيفٌ
“Diriwayatkan hanya oleh ‘Abbad bin Katsir Ar-Ramli sendirian, dan ia adalah perawi yang lemah.”
Ia adalah ‘Abbad bin Katsir bin Qais Ar-Ramli Al-Filastini.
قَالَ البُخَارِيُّ: فِيهِ نَظَرٌ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ: لَيْسَ بِثِقَةٍ، وَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ وَأَبُو حَاتِمٍ: ضَعِيفٌ، وَقَالَ الحَاكِمُ: رَوَى عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ أَحَادِيثَ مَوْضُوعَةً
Al-Bukhari berkata: “Padanya ada masalah.” An-Nasa’i berkata: “Ia bukan orang yang terpercaya.” Abu Zur‘ah dan Abu Hatim berkata: “Ia perawi yang lemah.” Al-Hakim berkata: “Ia meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri hadis-hadis yang palsu.”
(Lihat: catatan kaki *Siyar A‘lam An-Nubala’*, cetakan Mu’assasah Ar-Risalah, 15/422).
Ash-Shan’ani dalam at-Tanwir 7/136 berkata :
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ الْمُرَادَ الرِّزْقُ الْحَلَالُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ يَمُونُهُ، وَفِيهِ وَفِيمَا قَبْلَهُ رَدٌّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَا يُوجَدُ الْحَلَالُ فِي الْأَزْمِنَةِ الَّتِي عَمَّتْ فِيهَا الشُّبُهَاتُ وَفَاضَ فِيهَا بِحَارُ الْجَوْرِ، لِأَنَّ الْحَدِيثَ عَامٌّ لِلْأَزْمِنَةِ، وَلَوْ فُقِدَ الْحَلَالُ لَكَانَ تَكْلِيفًا بِمَا لَا وُجُودَ لَهُ، كَمَا قِيلَ: وَشَيْئَانِ مَعْدُومَانِ فِي الْأَرْضِ دِرْهَمٌ حَلَالٌ، وَخِلٌّ فِي الْحَقِيقَةِ نَاصِحٌ.
Kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa mencari rezeki halal itu wajib bagi setiap Muslim, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang menjadi tanggungannya. Dalam pernyataan ini dan sebelumnya terdapat bantahan terhadap orang yang beranggapan bahwa rezeki halal tidak lagi ada di masa ketika syubhat merajalela dan kezaliman meluas, karena hadis ini bersifat umum untuk seluruh masa. Seandainya rezeki halal benar-benar tidak ada, maka itu berarti Allah membebani manusia dengan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi. Sebagaimana dikatakan: “Dua hal yang sulit ditemukan di dunia ini: satu dirham yang benar-benar halal, dan seorang sahabat yang tulus dalam arti sebenarnya.”
=====
DALIL KEDUA : JAMINAN SYURGA BAGI YANG MANDIRI EKONOMINYA, TIDAK MENYUSAHKAN TETANGGA DAN BERJALAN DIATAS SUNNAH
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallhu ‘anhu, bahwa Rasulallah ﷺ bersabda,
«مَنْ أَكَلَ طَيِّبًا، وَعَمِلَ فِي سُنَّةٍ، وَأَمِنَ النَّاسُ بَوَائِقَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ» فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَذَا اليَوْمَ فِي النَّاسِ لَكَثِيرٌ، قَالَ: «وَسَيَكُونُ فِي قُرُونٍ بَعْدِي»
“Barangsiapa memakan makanan yang baik, beramal sesuai sunnah, dan orang lain aman dari keburukannya maka dia masuk Surga.”
Seorang sahabat berkata: Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ini banyak pada ummatmu sekarang. Rasulallah ﷺ bersabda, “Mereka akan ada sepeninggalku nanti.”
(HR. Tirmidzi No. 2520, Thabrani dalam “Al-Mu’jam Al-Awsath” (2/52), Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” (7/501), Al-Lalakai (1/59), Al-Hakim 4/117 dan Ibnu Abi Ad-Dunya 1/57).
At-Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih Gharib”. Al-Hakim berkata: “Shahihul Isnad”. Hadits ini juga dimasukkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah”.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ وَأَنْفَقَ مَالا كَسَبَهُ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ وَخَالَطَ أَهْلَ الْفِقْهِ وَالْحِكْمَةِ وَجَانَبَ أَهْلَ الذُّلِّ وَالْمَعْصِيَةِ طُوبَى لِمَنْ ذَلَّ فِي نَفْسِهِ وَحسَّنَ خَلِيقَتَهُ وَصَلُحَتْ سَرِيرَتُهُ وَعَزَلَ عَنِ النَّاسِ شَرَّهُ طُوبَى لِمَنْ عَمِلَ بِعِلْمٍ وَأَنْفَقَ الْفَضْلَ مِنْ مَالِهِ وَأَمْسَكَ الْفَضْلَ مِنْ قَوْلِهِ وَوَسِعَتْهُ السُّنَّةُ لَمْ يُعِدْهَا إِلَى بِدْعَةٍ»
"Beruntunglah orang yang kesibukannya memperbaiki aib dirinya sendiri hingga tidak sempat memikirkan aib orang lain.
Dan beruntunglah yang menafkahkan harta hasil usahanya pada hal yang bukan maksiat.
Beruntunglah orang yang bergaul dengan ahli fikih dan hikmah, serta menjauhi orang-orang yang hina dan ahli maksiat.
Beruntunglah orang yang rendah hati terhadap dirinya sendiri, baik akhlaknya, bersih batinnya, dan menahan keburukan dirinya dari manusia.
Beruntunglah orang yang mengamalkan ilmunya, menafkahkan kelebihan hartanya, menahan kelebihan ucapannya, dan merasa cukup dengan sunnah tanpa menambahkannya dengan bid’ah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afa (2/61).
Ibnu Al-Qaisarani berkata dalam Dzakhirotul Huffazh (5/2750) no. 6420:
رَوَاهُ أَبَانُ بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ عَنْ أَنَسٍ، وَأَبَانُ مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ
“Diriwayatkan oleh Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Anas, dan Aban adalah perawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Hadits ini dinilai dho’if oleh Zainuddin al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihhya 1/113, 3/142 dan 3/183.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَرْبَعٌ إذَا كُنَّ فِيك فَلَا عَلَيْك مَا فَاتَك مِنْ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خُلُقٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ» .
"Empat perkara, apabila ada padamu maka tidak mengapa apa pun yang terlewat darimu dari urusan dunia: menjaga amanah, berkata jujur, berakhlak baik, dan menjaga kehormatan (‘iffah) dalam mencari rezeki yang halal."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6652), Ibnu Wahb dalam *al-Jami‘* (546), dan Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Iman* nomor 4463 dengan sanad sbb :
“Telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi‘ah, dari Al-Harits bin Yazid Al-Hadhrami, dari Abdullah bin Amr ....”.
Al-Mundziri menyatakan sanad ini adalah hasan dalam *at-Targhib wa at-Tarhib* (3/316), dan Al-Albani mensahihkannya dalam *Sahih al-Jami‘* nomor 873.
Al-Haitsami berkata dalam kitab *Al-Majma’* (4/145):
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ"، وَفِيهِ ابْنُ لَهِيعَةَ، وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir*, di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi‘ah, dan hadisnya hasan, sedangkan perawi lainnya adalah perawi *Ash-Shahihain*.
====
DALIL KE TIGA : BEKERJA MENCARI NAFKAH HALAL ADALAH BAGIAN DARI JIHAD FI SABILILLAH:
Allah SWT berfirman dalam surat al-Muzammil :
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “ dan ( para sahabat ) yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [QS. Al-Muzzammil: 20]
Imam Qurthubi berkata :
سوىَ اللَّهِ تَعَالَى في هَذِهِ الآيَةِ بَيْنَ دَرَجَةِ المُجَاهِدِينَ وَالمُكْتَسِبِينَ الْمَالَ الْحَلَالَ لِلنَّفَقَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ وَالْإِحْسَانِ وَالْإِفْضَالِ فَكَانَ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ كَسْبَ الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ الْجِهَادِ، لِأَنَّهُ جَمَعَهُ مَعَ الْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Allah SWT dalam ayat ini telah mensejajarkan antara derajat mujahidin dan mereka yang berjuang mencari harta yang halal untuk menafkahi dirinya sendiri , keluarganya dan untuk beramal kebajikan. Itu menunjukkan bahwa mencari harta tersebut berkedudukan seperti jihad, karena Allah SWT menggabungkannya dengan jihad fii Sabiilillah “. ( Baca : “الجامع لأحكام القرآن ” (21/349) Tahqiq DR. Abdullah at-Turki ).
Muhmmad bin Hasan asy-Syaibani Wafat tahun 189 H. Beliau adalah sahabat Abu Hanifah. Beliau menyebutkan dalam "Kitab al-Kasab " hal. 33 :
وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْدِمُ دَرَجَةَ الْكَسْبِ عَلَى دَرَجَةِ الْجِهَادِ فَيَقُولُ لِأَنَّ أَمُوتَ بَيْنَ شُعْبَتَيْ رَحْلِيَّ أَضْرِبُ فِي الْأَرْضِ أَبْتَغِي مِنْ فَضْلِ اللَّهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقْتُلَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْمَ الَّذِينَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: "وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ".
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, dahulu lebih mendahulukan derajat kasab (mencari nafkah) di atas derajat jihad, dan beliau berkata :
Sungguh aku mati di antara dua kaki hewan tungganganku saat berjalan di muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah ( rizki ) ; lebih aku cintai daripada aku terbunuh sebagai seorang mujahid di jalan Allah ; karena Allah SWT dalam firmannya lebih mendahulukan orang-orang berjalan di muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah dari pada para mujaahid , berdasarkan firman-Nya :
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “ dan ( para sahabat ) yang lain berjalan di bumi mencari sebagian rizki / karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [Surat Al-Muzzammil: 20]
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- menyebutkan : bahwa Nabi ﷺ bersabda :
طَلَبُ الحَلالِ جِهادٌ
Mencari rizki yang halal itu adalah Jihad .
(HR. Ahmad dan Ibnu ‘Adiy dalam “الكامل في الضعفاء” (6/263) . Hadits ini dinilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 3619 dan as-Silsilah ad-Dho’ifah no. 1301].
Imam Ahmad berkata : “ Hadits ini Mungkar “. [Lihat “: تهذيب التهذيب” (9/437)]
Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«طَلَبُ الْحَلَالِ جِهَادٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُحْتَرِفَ»
“Mencari rezeki yang halal adalah jihad, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai hamba yang ulet dan mahir dalam usaha (memiliki skill dan keahlian yang betul-betul mahir untuk mencari rizki atau berprofesi).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Ishlah al-Maal hal. 71 no. 204, Muhammad bin Makhlad dalam Fawa’id-nya hal. 26 no. 27, asy-Syihab al-Qudho’i dalam Musnad-nya 1/83 no. 82 dan ad-Daylami dalam al-Fidaus 2/442 no. 3919.
Hadis ini dinilai dho’if oleh Al-Albani dalam *As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (no. 1301).
Muhammad bin Marwan menyelisihi Muhammad bin Al-Fadhl dalam riwayat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam *Al-Kamil* (7/213), di mana ia meriwayatkannya dari Laits, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, sehingga menjadikannya sebagai hadis musnad dari Ibnu Umar.
Al-Hafidz berkata dalam *Tahdzib* (3/692): “Hadis ini munkar.”
Hadis ini juga disebutkan oleh As-Sakhawi dalam *Al-Maqashid Al-Hasanah* (hal. 505 no. 801), dan ia berkata:
رَوَاهُ الْقُضَاعِيُّ مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْهُ، وَهُوَ عِنْدَ أَبِي نُعَيْمٍ فِي "الْحِلْيَةِ"، وَمِنْ طَرِيقِهِ الدَّيْلَمِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، وَبَعْضُهَا يُؤَكِّدُ بَعْضًا، لَا سِيَّمَا وَشَوَاهِدُهَا كَثِيرَةٌ.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Qudha’i dari jalur Muhammad bin Al-Fadhl, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, darinya (yakni dari Ibnu Abbas).
Hadis ini juga terdapat dalam *Hilyah* karya Abu Nu‘aim, dan dari jalurnya diriwayatkan pula oleh Ad-Dailami dari Ibnu Umar. Sebagian riwayatnya saling menguatkan satu sama lain, terutama karena memiliki banyak syawahid (penguat)”.
Begitu pula al-Husain al-Laa’iy al-Maghriby dalam al-Badrut Tamam 10/245, dia berkata:
وَبَعْضُهَا يُقَوِّي بَعْضًا، وَشَوَاهِدُهَا كَثِيرَةٌ
“Dan sebagian riwayat hadits ini saling menguatkan satu sama lain, serta memiliki banyak syahid (pendukung)”.
Makna “المُحْتَرِفُ” dalam hadits diatas :
المُحْتَرِفُ هُوَ شَخْصٌ يَمْتَلِكُ الْمَهَارَةَ وَالْإِتْقَانَ فِي مِهْنَةٍ أَوْ نَشَاطٍ مُعَيَّنٍ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِنْ خِلَالِ التَّدْرِيبِ الْمُتَخَصِّصِ أَوِ الْخِبْرَةِ الطَّوِيلَةِ. تُسْتَخْدَمُ هَذِهِ الْكَلِمَةُ لِوَصْفِ شَخْصٍ يَتَّخِذُ مِنْ نَشَاطٍ مُعَيَّنٍ مَصْدَرًا لِلرِّزْقِ، أَوْ شَخْصٍ يَتَمَتَّعُ بِكَفَاءَةٍ عَالِيَةٍ فِي مَجَالٍ مُعَيَّنٍ، وَيَهْدِفُ إِلَى تَحْقِيقِ مَعَايِيرَ مِهْنِيَّةٍ عَالِيَةٍ.
“Seorang *muhtarif* adalah seseorang yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam suatu profesi atau aktivitas tertentu, baik melalui pelatihan khusus maupun pengalaman yang panjang.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menjadikan suatu aktivitas sebagai sumber penghasilan, atau seseorang yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang tertentu dan berupaya mencapai standar profesional yang tinggi”.
Al-Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 2/438 no. 1177 meriwayatkan dengan sanadnya dari as-Sakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
" طَلَبُ الْحَلَالِ مِثْلُ مُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَمَنْ بَاتَ عَيِيًّا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ بَاتَ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ رَاضٍ "
“Mencari rezeki yang halal itu seperti berperang di jalan Allah melawan al-Abthol (para musuh yang kuat lagi gagah berani) .
Dan siapa pun yang bermalam dalam keadaan letih karena mencari rezeki halal, maka demi Allah ‘azza wa jalla, ia bermalam dalam keadaan Allah ridha kepadanya.”
Lalu al-Baihaqi berkata (2/438):
قَالَ عَلِيُّ بْنُ عَثَّامٍ: وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، لِمَالِكِ بْنِ دِينَارٍ: " يَا مَالِك ألَا تُقَارِعُ الْأَبْطَالَ؟ " قَالَ: وَمَا مُقَارَعَةُ الْأَبْطَالِ؟ قَالَ: " الْكَسْبُ مِنَ الْحَلَالِ وَالْإِنْفَاقُ عَلَى الْعِيَالِ"
Ali bin ‘Atsam berkata: Muhammad bin Wasi‘ berkata kepada Malik bin Dinar: “Wahai Malik, tidakkah sebaiknya engkau berperang melawan al-Abthol (para musuh yang kuat lagi gagah berani).”
Malik berkata: “Apakah yang dimaksud berperang melawan al-Abthol (para musuh yang kuat lagi gagah berani)?”
Ia menjawab: “Yaitu engkau bekerja mencari rezeki yang halal dan menafkahkan-nya untuk keluarga.”
[Lihat pula : Hamisy Jam’ul Jawami’ karya as-Suyuthi 5/531, Tahqiq Mukhtar Ibrahim al-Ha’ij. Cet. Al-Azhar asy-Syarif - Kairo]
Dari Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَرَأَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ جَلْدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا رَأَوْا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صَغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعُفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»
Suatu hari ada seorang lelaki lewat di depan rasulullah ﷺ, dan para shahabat radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka rasulullah ﷺ berkata:
“Jika dia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia itu DI JALAN ALLAH [ Fii Sabiilillah].
Dan jika dia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu DI JALAN ALLAH .
Dan jika dia keluar bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu DI JALAN ALLAH .
Dan jika keluar dalam rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.”
( HR. Ath-Thabrani (13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya ). Sanad hadis ini dianggap shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Targhib no. 1959.
Dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi ﷺ bersabda:
أَمَّا إِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Adapun jika dia bekerja cari rizki untuk kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, maka dia itu DI JALAN ALLAH (Fii Sabilillah) , dan jika dia bekerja untuk dirinya sendiri maka dia itu DI JALAN ALLAH".
( HR. Baihaqi 7/787 No. 13112 & 15754 ) . Lihat pula : al-Jami' ash-Shaghiir wal Jaami' al-Kabiir 2/165 No. 4603 .
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ مِنَ الثَّنِيَّةِ فَلَمَّا رَأَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا قُلْنَا : لَوْ أَنَّ هَذَا الشَّابَ جَعَلَ شَبَابَهُ وَنَشَاطَهُ وَقُوَّتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ :« وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلاَّ مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba muncul seorang pemuda dari arah jalan bukit . Ketika dia nampak di hadapan kami , maka kami berkata: Duhai seandainya pemuda ini memanfaatkan masa muda, semangat, dan kekuatannya di jalan Allah!
Rasulullah ﷺ mendengar perkataan kami. Lalu Beliau bersabda:
“ Apakah di jalan Allah itu hanya untuk orang yang terbunuh (dalam medan jihad) saja?
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk kedua orangtuanya, maka dia jihad fii sabilillah (di jalan Allah).
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk keluarganya, maka dia jihad fii sabilillah (di jalan Allah)..
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk dirinya ( dalam rangka menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta. pen), maka dia jihad fii sabilillah (di jalan Allah)..
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk berbanyak-banyakan harta (semata), mka dia berada di jalan syaithan".
Dalam lafadz lain :
وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلَّا مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ.
“ Apakah di jalan Allah itu hanya untuk yang terbunuh (di medan jihad) saja?
Siapa yang berusaha mencari nafkah untuk menghidupi orang tuanya maka dia jihad fii sabilillah (di jalan Allah).
Siapa yang berkerja untuk menghidupi keluarganya maka dia jihad fii sabilillah (di jalan Allah), tapi siapa yang bekerja untuk berbanyak-banyakan harta semata maka dia di jalan thaghut.”
(H.R al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, Ath-Thabrani “المعجم الأوسط” (5/119) dan Abu Nu’aim al-Ashfahaani “حلية الأولياء وطبقات الأصفياء” hal. 197 ) . Dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits as-Shahihah no 2232).
DALIL KE EMPAT : UJIAN DAN TANTANGAN SAAT KERJA MENCARI NAFKAH
ADALAH PENGHAPUSAN DOSA DAN IBADAH YANG DICINTAI ALLAH.
Dan Dari 'Aisyah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi ﷺ bersabda :
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ
وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى
الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
” Tidaklah sesuatu menimpa kepada seorang muslim dari kesusahan,
rasa sakit, rasa gelisah, rasa sedih, sesuatu yang menyakitkan, dan rasa
gundah, hingga duri yang mengenai dirinya kecuali Allah menjadikannya sebagai
penghapus atas kesalahan-kesalahannya”(HR . Bukhari no. 5642 dan Muslim
no. 2573 ).
Al-Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 2/438 no. 1177 meriwayatkan
dengan sanadnya dari as-Sakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
"مَنْ بَاتَ عَيِيًّا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ
بَاتَ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ رَاضٍ "
“Siapa pun yang bermalam dalam keadaan letih karena mencari rezeki
halal, maka demi Allah ‘azza wa jalla, ia bermalam dalam keadaan Allah ridha
kepadanya.”
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَنْ أَمْسَى كالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ
أَمْسَى مَغْفُورًا لَهُ»
“Barang siapa pada waktu sore merasa lelah karena bekerja mencari rizki
dengan tangannya sendiri, maka ia akan berada dalam keadaan diampuni
dosa-dosanya.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam *Al-Mushannaf* dan Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsath 7/289 no. 7520*.
Ath-Thabarani berkata :
لا يُرْوَى هَذَا الْحَديِثُ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ، تَفَرَّدَ بِهِ: إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَلْمٍ
"
“Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad
ini. Diriwayatkan secara tunggal oleh Ibrahim bin Salm”.
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 4/63 no. 6238 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ،
وَفِيهِ جَمَاعَةٌ لَمْ أَعْرِفْهُمْ
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab *Al-Awsath*, dan
di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang tidak aku kenal”.
Al-Manawi berkata dalam *Faidul Qadir* 6/88 no. 8532:
وَلِهَذَا كَانَ نَبِيُّ اللهِ دَاوُودُ
لَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَالْأَحَادِيثُ الدَّالَّةُ عَلَى طَلَبِ
الْكَسْبِ كَثِيرَةٌ
“Karena itu Nabi Allah Dawud tidak makan kecuali dari hasil kerja
tangannya sendiri. Hadits-hadits yang menunjukkan anjuran untuk bekerja dan
mencari penghasilan halal sangat banyak’.
Hadits ini di hukumi dho’if oleh al-Hafdz Zainuddin al-Iraqi dan oleh
al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 5485 dan as-Silsilah adh-Dho’ifah no.
2626.
Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ كَالًّا فِي طَلَبِ الْحَلَالِ
مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ
“Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan lelah karena mencari rezeki
yang halal, maka ia meninggal dalam keadaan diampuni dosanya”.
[HR. Ibnu Asakir, sebagaimana di kutip dalam Syarah Musnad Abu Hanifah
1/62 karya Ali al-Malaa’ al-Qori].
Imam As-Sarkhasi juga berkata :
وَفِي الْحَدِيثِ «أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَافَحَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، فَإِذَا يَدَاهُ قَدْ اكْتَبَتَا فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَضْرِبُ بِالْمَرِّ
وَالْمِسْحَاةِ لِأُنْفِقَ عَلَى عِيَالِي فَقَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَدَهُ وَقَالَ كَفَّانِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ
تَعَالَى»
Dan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ berjabat tangan dengan Saad
bin Mu'adz -semoga Allah meridainya- pada suatu hari, dan tangan mereka berdua
terlihat terkelupas. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya tentang
hal itu, lalu Saad bin Mu'adz menjawab:
"Saya memetik kurma dan membersihkannya di kebunku untuk mencukupi
kebutuhan keluarga saya."
Rasulullah ﷺ mencium tangan Saad bin
Mu'adz dan bersabda: "Dua telapak tangan yang dicintai oleh oleh Allah
Ta'ala." [Baca: Al-Mabsuuth 30/245].
Dan hadis ini juga diriwayatkan dengan lafaz lain, diriwayatkan oleh Al-Khathib
Al-Baghdadi dalam "Tarikh Baghdad" (8/317–318) dengan sanadnya dari
Abdullah bin Al-Mubarak, dari Mis’ar bin Kidam, dari ‘Aun, dari Al-Hasan, dari
Anas bin Malik, berkata:
" أقَبْلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ، فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ
مُعَاذٍ الأَنْصَارِيُّ، فَصَافَحَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا هَذَا
الَّذِي أَكْنَبَتْ يَدَاكَ؟
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ!
أَضِرْبُ بِالْمَرِّ وَالْمِسْحَاةِ فَأُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِي.
قَالَ: فَقَبَّلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، فَقَالَ:
هَذِهِ يَدٌ لا تَمَسُّهَا النَّارُ أَبَدًا .
“Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Tabuk,
lalu disambut oleh Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, maka Nabi ﷺ berjabat tangan dengannya kemudian berkata kepadanya: ‘Apa yang
membuat tanganmu kasar begini?’ Ia menjawab: ‘Wahai Rasulullah! Aku memukul
dengan kapak dan cangkul, lalu aku belanjakan untuk keluargaku.’ Maka Nabi ﷺ mencium tangannya, lalu bersabda: ‘Tangan ini tidak akan
disentuh oleh api (neraka) selamanya.’
Al-Khathib rahimahullah ta’ala berkata:
هٰذَا الْحَدِيثُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ
سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ لَمْ يَكُنْ حَيًّا فِي وَقْتِ غَزْوَةِ تَبُوكَ، وَكَانَ
مَوْتُهُ بَعْدَ غَزْوَةِ بَنِي قُرَيْظَةَ مِنَ السَّهْمِ الَّذِي رُمِيَ بِهِ،
وَمُحَمَّدُ بْنُ تَمِيمٍ الْفِرْيَابِيُّ كَذَّابٌ يَضَعُ الْحَدِيثَ "
انْتَهَى.
“Hadis ini batil; karena Sa’ad bin Mu’adz tidak hidup pada waktu Perang
Tabuk, ia wafat setelah Perang Bani Quraizhah karena anak panah yang mengenainya,
dan Muhammad bin Tamim Al-Firyabi adalah pendusta yang membuat-buat hadis.”
Selesai.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Sa’ad bin Mu’adz
lain, bukan Sa’ad yang masyhur, tetapi bagaimanapun juga sanad cerita ini
lemah.
Syaikh Al-Albani rahimahullah ta’ala berkata:
ضَعِيفٌ... . جَرَى الْخَطِيبُ عَلَى
أَنَّ سَعْدًا هٰذَا هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ سَيِّدُ الْأَوْسِ الصَّحَابِيُّ
الْمَشْهُورُ، وَخَالَفَهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فَجَزَمَ فِي
"الْإِصَابَةِ" بِأَنَّهُ آخَرُ، ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّ الْحَدِيثَ رَوَاهُ
الْخَطِيبُ فِي "الْمُتَّفَقِ" بِإِسْنَادٍ وَاهٍ، وَأَبُو مُوسَى فِي
"الذَّيْلِ" بِإِسْنَادٍ مَجْهُولٍ عَنِ الْحَسَنِ بِهِ.
“Lemah... Al-Khathib menganggap Sa’ad ini adalah bin Mu’adz pemimpin
Aus sahabat yang masyhur, sedangkan Al-Hafiz Ibnu Hajar berbeda pendapat
dengannya, ia memastikan dalam ‘Al-Ishabah’ bahwa ia orang lain, kemudian
disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam ‘Al-Mutafaq’
dengan sanad yang lemah, dan Abu Musa dalam ‘Adz-Dzail’ dengan sanad yang majhul
dari Al-Hasan dengannya.” Selesai dari “Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dha’ifah” (1/568).
Ibnu Al-Atsir rahimahullah ta’ala berkata:
عَلَى أَنَّ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْأَنْصَارِ،
وَغَيْرِهِمْ مَعْرُوفُونَ لَيْسَ فِيهِمْ سَعْدٌ، وَمَنْ تَخَلَّفَ كَانَ أَوْلَى
بِاللَّوْمِ وَالتَّثْرِيبِ، فَكَيْفَ يُقَبِّلُ يَدَهُ أَوْ يُصَافِحُهُ؟
“Padahal orang-orang Anshar dan selain mereka yang tertinggal dari
Rasulullah ﷺ sudah dikenal dan tidak ada di antara mereka Sa’ad, dan orang
yang tertinggal itu lebih berhak untuk dicela dan ditegur, maka bagaimana
mungkin tangannya dicium atau dijabat tangannya.” Selesai dari “Usud
Al-Ghabah” (2/420).
Maksud “Tangan (fisik) jika bekerja dengan niat yang baik” adalah dengan
niat pemiliknya menunaikan kewajiban harta yang ada padanya, dan agar bisa
bersedekah kepada orang lain, serta menjaga dirinya dari meminta-minta kepada
manusia atau mengharapkan pemeberian harta dari mereka (الطَّمْعُ).
Dari Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu, meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
" لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ
حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا،
فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ".
“Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil talinya, lalu membawa
seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian menjualnya, sehingga Allah
menjaga wajahnya dengan itu, maka itu lebih baik baginya daripada dia
meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberinya atau menolaknya.” (HR.
Bukhari no. 1471)
Hendaklah usaha dan jerih payah seorang lelaki dalam kehidupannya
bertujuan agar ia dan keluarganya makan dari penghasilan yang halal, dan
hendaklah ia menjadikannya sebagai bentuk ibadah dan taqorrub (pendekatan diri)
kepada Allah Rabb seluruh alam.
Dari Al-Miqdam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
" مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ،
خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ".
DALIL KELIMA: PERINTAH BERINFAK ITU BERKONSEKWENSI CARI HARTA
Allah SWT tidak
mengatakan: Carilah harta sebanyak-banyaknya, melainkan dengan menyebutkan
tujuan utamanya, yaitu: infakkan lah sebagian dari hartamu!
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا
الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّاۤ
اَخۡرَجۡنَا لَـكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۖ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. [QS.
al-Baqarah: 267]
Dan Allah SWT berfirman:
مَثَلُ
الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَهُمۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
اَنۡۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِىۡ كُلِّ سُنۡۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍؕ
وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنۡ يَّشَآءُ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
Perumpamaan
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui. [QS. al-Baqarah: 261]
Dan Allah SWT berfirman:
“وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ. الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ
فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ ".
Dan bersegeralah kalian
mencari ampunan dari Tuhan kalian dan mendapatkan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,
(yaitu)
orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit [QS. Ali Imran:
133 – 134]
===
DALIL KE ENAM: KEUTAMAAN HARTA UNTUK NAFKAH KELUARGA:
HADITS 1: Dari Abu Mas'ud dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda:
“إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ
لَهُ صَدَقَة ".
"Apabila seseorang
memberi nafkah untuk keluarganya dengan niat mengharap pahala maka baginya
Sedekah". [HR. Bukhori no. 55 dan Muslim no. 1002].
HADITS 2: Dari Abu Hurairah (ra)
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ
وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ
عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau
keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk
memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu
orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan
tadi)” (HR. Muslim, No. 995).
Lebih dari itu dalam
Islam, semua infak itu dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar walaupun
sekadar menyuapi istri.
HADITS 3: Dari Sa'ad bin Abi Waqqash
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ
إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau
menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah
(pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang
besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari No.
56).
HADITS 4: Dari Abu Qilabah dari Abu
Asma dari Tsauban ia berkata; Rasulullah ﷺ
bersabda:
"أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ
عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ
أَبُو قِلَابَةَ: وَبَدَأَ بِالْعِيَالِ. ثُمَّ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ: وَأَيُّ
رَجُلٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ رَجُلٍ يُنْفِقُ عَلَى عِيَالٍ صِغَارٍ يُعِفُّهُمْ
أَوْ يَنْفَعُهُمْ اللَّهُ بِهِ وَيُغْنِيهِمْ"
"Sebaik-baik dinar
(uang atau harta) yang dinafkahkan seseorang, ialah yang dinafkahkan untuk
keluarganya, untuk ternak yang depeliharanya, untuk kepentingan membela agama
Allah, dan nafkah untuk para sahabatnya yang berperang di jalan Allah."
Abu Qilabah berkata:
“Beliau memulainya dengan keluarga."
Kemudian Abu Qilabah
berkata: “Dan laki-laki manakah yang lebih besar pahalanya dari seorang
laki-laki yang berinfak kepada keluarga kecil, memuliakan mereka yang dengannya
Allah memberikan manfaat dan memberikan kecukupan bagi mereka?" [HR.
Muslim no. 994].
HADITS 5: Dari Ummu Salamah (ra) ia berkata:
“قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لِي أَجْرٌ فِي بَنِي أَبِي
سَلَمَةَ أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا
إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ فَقَالَ نَعَمْ لَكِ فِيهِمْ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ
عَلَيْهِمْ ".
Saya bertanya,
"Wahai Rasulullah, mungkinkah aku mendapatkan pahala atas nafkah yang
kuberikan untuk mengasuh anak-anak Abu Salamah (anak tiri bagi Ummu Salamah)
sehingga mereka tidak tersia-sia, dimana mereka kuanggap seperti anak-anakku
sendiri?" Rasulullah ﷺ menjawab:
"Ya, kamu dapat pahala atas nafkah yang kamu keluarkan untuk biaya
mengasuh mereka." [HR. Bukhori no. 1467 dan Muslim no. 1001].
ATSAR TABI'IN: Ibnu Mubarak رحمه الله berkata:
“لا يَقَعُ مَوْقِعُ الْكَسْبِ عَلَى الْعِيَالِ شَيْءٌ، يَعْنِي
يَقُولُ: هُوَ أَفْضَلُ شَيْءٍ، أَنْ تَكْتَسِبَ مِنْ أَجْلِ الْعِيَالِ، قَالَ:
وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ".
"Tidak ada yang bisa
menandingi keutamaan melakukan usaha (cari pendapatan) untuk keperluan
keluarga. - Artinya: Yang paling utama adalah mencari nafkah untuk keperluan
keluarga – dan tidak pula jihad fii sabilillaah ".(Baca: Siyar A'lam
al-Nubala, 2/626)
===
NAFKAH BISA MENGHAPUS DOSA:
Memberi nafkah bisa
menghapus dosa. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷺ:
مِنَ الذُّنُوبِ ذُنُوبٌ لَا يُكَفِّرُهَا إِلَّا الهَمُّ بِطَلَبِ
الْمَعِيشَةِ
"Dari sekian dosa
terdapat jenis dosa yang tidak dapat ditebus kecuali dengan kepedihan dalam
mencari penghidupan (nafkah)’.
[HR. Ath-Thabrani
dalam kitab Al-Ausath, dan Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah, dan Al-Khathib
dalam kitab At-Talkhis, yang merupakan hadis yang serupa dengan riwayat dari
Abu Hurairah dengan sanad yang lemah.
Lihat: al-Mughni 'An
Hamlil Asfaar karya al-Iraaqi hal. 468 dan al-Maktabah asy-Syaamilah
al-Haditsah 43/186).
TIDAK MEMBERI NAFKAH BISA BERDOSA:
Orang yang tidak memberikan
nafkah mendapatkan dosa yang besar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Khaitsamah, ia berkata:
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو إِذْ جَاءَهُ
قَهْرَمَانٌ لَهُ فَدَخَلَ فَقَالَ أَعْطَيْتَ الرَّقِيقَ قُوتَهُمْ قَالَ لَا
قَالَ فَانْطَلِقْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَفَى بِالْمَرْءِ
إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Ketika kami sedang duduk
(belajar) bersama [Abdullah bin Amr], tiba-tiba datang bendaharanya, lalu masuk
dan Abdullah pun bertanya padanya:
"Apakah kamu
telah memberikan makan para hamba sahaya?" Sang bendahara menjawab:
"Belum tuanku."
Abdullah bin 'Amr (ra)
berkata: "Pergilah, dan berilah mereka makan segera." Kemudian beliau
berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Cukuplah seseorang
itu dikatakan berdosa dengan menahan makanan orang yang menjadi
tanggungannya". (HR. Muslim No. 996).
Lafadz lain:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah seseorang itu
berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Ahmad, Abu
Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Namun didhaifkan
al-Albaani dalam Ghoyatul Maraam hal. 270]
====
DALIL KE TUJUH : ORANG SHOLEH KAYA LEBIH BAIK DARI PADA ORANG FASIQ KAYA
HADITS 1: Dari Yasar bin 'Ubaid (ra)
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى
خَيْرٌ مِنْ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنْ النَّعِيمِ
“Tidaklah mengapa dengan
kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan itu lebih baik daripada kekayaan
bagi orang yang bertaqwa. Dan jiwa yang baik merupakan kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah:
2132, Ahmad: 22076 dari Ubaid bin Mu’adz t, di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam
Mustadrak: 2131 (2/3) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Di-shahih-kan oleh
Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 174).
HADITS 2: Dari Amr bin
Ash radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
((نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ)).
"Betapa indahnya
harta yang shaleh [baik] milik orang yang shaleh."
[HR. Ahmad
(17763) disahihkan oleh Al-Albani dalam Takhrij Misykatil Faqri (19).
HADITS 3: Dari Amr bin Ash (ra) bahwa
Rosulullah ﷺ
bersabda padanya:
يا عَمرُو، إنِّي أُريدُ أن أَبعثَك على جَيشٍ فيُغنِمَك اللهُ،
وأَرغَبَ لك رغبةً منَ المالِ صالحةً، قُلتُ: إنِّي لم أُسلِمْ رغبةً في المالِ،
إنَّما أَسلَمْتُ رغبةً في الإسلامِ، فَأكونَ معَ رَسولِ اللهِ، فَقال: يا عمرُو،
نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّالحِ.
Ya Amr, sesungguhnya aku
ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan agar Allah memberikan harta ghanimah
[rampasan perang] kepadamu, dan aku mengharapkanmu memiliki keinginan yang
shaleh [baik] terhadap harta itu.
Aku berkata: "Aku
tidak masuk Islam karena berkeinginan terhadap harta, aku hanya masuk Islam
karena berkeinginan terhadap agama Islam, agar aku bisa bersama
Rasulullah."
Beliau lantas bersabda:
"Ya Amr, betapa indahnya harta yang shaleh [baik] bagi orang yang
shaleh."
HR. al-Bukhari dalam
Al-Adab al-Mufrad (299), Al-Hakim (2130), dan Al-Baihaqi dalam kitab
"Syu'ab al-Iman" (1248).
Dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam kitab "Sahih Adab al-Mufrad" no. (229).
===
DALIL KE DELAPAN: LARANGAN MENCACI DAN MENCELA DUNIA:
HADITS: Abdullah bin
Mas'ud (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“لَا تَسُبُّوا الدُّنْيَا، فَنِعْمَ مَطِيَّةُ الْمُؤْمِنِ عَلَيْهَا
يَبْلُغُ الْخَيْرَ، وَبِهَا يَنْجُو مِنَ الشَّرِّ".
Jangan mengutuki dunia,
karena itu adalah kendaraan yang baik bagi seorang mukmin. Dengan dunia,
seseorang dapat mencapai kebaikan dan terhindar dari kejahatan.
[HR. Al-Dailami
dalam kitab "Al-Firdaus" (5/10, nomor 7288), Ibnu 'Adiy dalam
al-Kaamil 1/502. Lihat pula Kanzul 'Ummaal (3/ 239 No. 6343) dan
al-Fahurrobbaani Min Fatwa asy-Syaukaani 4/1814]
Dalam sanadnya terdapat
Ismail bin Aban al-Ghanawi al-Kufi. Yahya bin Ma'in mengatakan tentangnya:
pendusta, dan Ibnu 'Adi mengatakan tentangnya: mayoritas riwayatnya tidak dapat
diikuti baik dari segi sanad maupun teks, maka hadis ini sangat lemah. Dan
Hadits ini dianggap Munkar oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal 1/211.
===
DALIL SEMBILAN: PERINTAH ALLAH AGAR TIDAK MELUPAKAN BAGIAN KITA DARI DUNIA.
Allah SWT berfirman:
{ وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا
تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِيْنَ }.
“Dan carilah (pahala)
negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi
janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.
Dan berbuatbaiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang
yang berbuat kerusakan. [QS. Al-Qoshosh: 77].
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 6/253 berkata:
“Maksudnya, gunakanlah
harta yang melimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah kepadamu
ini untuk bekal ketaatan kepada Tuhanmu dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan
melakukan berbagai amal pendekatan diri kepada-Nya, yang dengannya kamu akan
memperoleh pahala di dunia dan akhirat.
{وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا}
"Dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi". (Al-Qashash: 77)
Yakni yang dihalalkan
oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena
sesungguhnya engkau memiliki kewajiban terhadap Tuhanmu, dan engkau memiliki
kewajiban terhadap dirimu sendiri, dan engkau memiliki kewajiban terhadap
keluargamu, dan engkau memiliki kewajiban terhadap orang-orang yang bertamu
kepadamu, maka tunaikanlah kewajiban itu kepada haknya masing-masing ".
[Kutipan Selesai].
Abdullah bin Umar (ra) berkata:
“أَحْرِثْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ
لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا ".
“Bercocok tanamlah
(bekerjalah) seakan engkau hidup selamanya. Dan amalkanlah akhiratmu
(beribadahlah) seakan engkau esok mati”.
[Di riwayatkan
dengan sanadnya oleh Ibnu Abid Dunya dalam "Ishlah al-Maal" hal. 34
no. 49. Disebutkan pula oleh al-Qurthubi dalam Tafsirnya 13/314.
===
DALIL KE SEPULUH: KEUTAMAAN MANDIRI DALAM EKONOMI DAN USAHA
-----
JAMINAN SYURGA:
Jaminan syurga bagi
seoarang muslim yang betul-betul mendiri ekonominya dan tidak menjadi beban
bagi orang lain.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulallah ﷺ. bersabda,
«مَنْ أَكَلَ طَيِّبًا، وَعَمِلَ فِي سُنَّةٍ، وَأَمِنَ النَّاسُ
بَوَائِقَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ» فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَذَا
اليَوْمَ فِي النَّاسِ لَكَثِيرٌ، قَالَ: «وَسَيَكُونُ فِي قُرُونٍ بَعْدِي
“Barangsiapa memakan
makanan yang baik, bekerja sesuai sunnah, dan orang lain merasa aman dari
keburukannya ; maka dia masuk Surga.”
Seorang sahabat berkata:
Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ini banyak pada ummatmu sekarang.
Rasulallah bersabda: “Mereka akan ada sepeninggalku nanti.”
(HR. Turmudzy No. 2520,
Thabrani dlm “المعجم
الأوسط” 2/52, Baihaqi dlm “شعب
الإيمان” 7/501, al-Laalakaa’i (اللالكائي) 1/59, al-Haakim 4/117 dan Ibnu Abi ad-Dunya 1/57).
At-Turmudzi berkata: “حسن صحيح غريب”. al-Haakim
berkata: “صحيح الإسناد”. Hadits ini di
masukkan pula oleh Syeikh al-Baani dlm “Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah”
-----
RIZKI TERBAIK:
Rizki yang terbaik adalah
rizki hasil jerih payah sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah (ra), bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبُ يَدِ الْعَامِلِ إِذَا نَصَحَ
“Usaha cari rizki paling
baik adalah usaha yang dihasilkan oleh tangan pekerja (usaha dengan tangan
sendiri) apabila ia bersih.”
(HR.
Ahmad, 2/334, No. 8393, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan ad-Dailami.
al-haitsami berkata dlm “مجمع
الزوائد” 4/461 No. 6213: “رجاله
ثقات “. Di hasankan oleh al-Iraqy dlm Takhrij al-Ihya dan al-Baani
dlm “صحيح الجامع الصغير”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ لَا يَعْتَقِدَ أَنَّ الرِّزْق مِنْ الْكَسْبِ
بَلْ مِنْ اللَّه تَعَالَى بِهَذِهِ الْوَاسِطَةِ
“Di antara syaratnya
tidak berkeyakinan bahwa rizki itu bersumber dari kasab, tapi harus
berkeyakinan bersumber dari Allah dengan perantaraan kasab ini.” Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula:
وَمِنْ فَضْلِ الْعَمَلِ بِالْيَدِ الشَّغْلُ بِالْأَمْرِ الْمُبَاحِ
عَنْ الْبَطَالَةِ وَاللَّهْوِ وَكَسْرُ النَّفْسِ بِذَلِكَ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ
ذِلَّةِ السُّؤَالِ وَالْحَاجَة إِلَى الْغَيْر
“Di antara keutamaan
bekerja hasil jerih payah mandiri:
(1) menyibukan
diri dengan perkara yang mubah sehingga terhindar dari pengangguran dan
sendagurau, serta mengekang diri dengan itu;
(2) menjaga kehormatan
diri dari kehinaan meminta-minta dan bergantung kebutuhan hidupnya kepada orang
lain.” [Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304].
-----
KELAK DISYURGA BERSAMA PARA NABI, SHIDDIIQIN DAN SYUHADA:
Dari Abu Said Al-Khudri (ra) bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Seorang pedagang Muslim
yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi,
orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (di
Surga).” [HR. At-Tirmidzi no. (1251)]
Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Bahwa ini adalah Hadits hasan".
Saya katakan: bahwa para
perawi dalam sanadnya adalah thiqah (terpercaya), kecuali al-Hasan, dia tidak
pernah mendengarnya dari Abu Said Al-Khudri.
Namun hadits ini memiliki
beberapa syahid yang menguatkannya, diantaranya:
Syahid Pertama: Hadits ‘Abdullah bin
‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
« التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ”
“Seorang pedagang Muslim
yang jujur (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama orang-orang yang syahid pada
hari kiamat (di Surga).”
HR Ibnu Majah (no. 2139),
al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17). al-Hakim berkata: “Hadits
Shahih " [Dikutip dari Tafsir al-Manar 4/174].
"Sanadnya hasan
karena adanya beberapa shahid.
Kaltsum bin Jausyan
al-Qashiri memiliki perbedaan pendapat tentang dirinya. Bukhari dan Ibnu Ma'in
menganggapnya tsiqah (terpercaya), sementara Abu Hatim menganggapnya dhaif
(lemah). Abu Dawud mengatakan bahwa Haditsnya tidak dapat diterima.
Ibnu Hibban
mengangggapnya tsiqot dengan mencantumkannya dalam kitabnya
"Ats-Tsiqaat", akan tetapi dalam kitab "Al-Majruhin" beliau
menyebutkannya dengan ungkapan:
يَرْوِي الْمَوْضُوعَاتِ عَنِ الْأَثْبَاتِ، لَا يَحِلُّ
الِاسْتِدْلَالُ بِهِ!
"Bahwa ia
meriwayatkan Hadits-Hadits mawdu' (palsu) dari para tsiqah (terpercaya),
sehingga tidak boleh dijadikan dalil".
Penulis katakan:
Bahwa Haditsnya bisa
dianggap hasan dalam hal-hal yang masyhur. Adz-Dzahabi dalam kitab
"Al-Mizan" dalam penjelasan tentang Kaltsum dalam Hadits ini
mengatakan:
وَهُوَ حَدِيثٌ جَيِّدُ الْإِسْنَادِ، صَحِيحُ الْمَعْنَى، وَلَا
يَلْزَمُ مِنَ الْمَعِيَّةِ أَنْ يَكُونَ فِي دَرَجَةِ الْمُتَوَاتِرِينَ،
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا} [النساء: ٦٩].
Ini adalah Hadits yang
sanadnya bagus, maknanya sahih. Tidaklah menjadi keharusan ungkapan kebersamaan
berada pada tingkatan yang sama dengan mereka (para Nabi, orang-orang
shiddiqin, syuhada', dan orang-orang shalih), sebagaimana firman Allah:
'Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan berada
bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi,
orang-orang shiddiqin, syuhada', dan orang-orang shalih. Dan mereka adalah
teman yang sebaik-baiknya' (QS. An-Nisa: 69).
Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban dalam "Al-Majruhin" (2/230), Ad-Daraquthni (2812),
Al-Hakim (6/2), Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" (266/5), dan dalam
"Syu'ab Al-Iman" (1230) dan (4855), serta dalam "Al-Adab"
(959) melalui jalan Katsir bin Hisyam dengan sanad seperti ini.
Syahid Kedua: Hadits Abu Nadrah
Al-Mundzir bin Malik bin Qath'ah Al-'Indii yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (7/271) dan sanadnya adalah hasan, tetapi ia termasuk Hadits mursal
(berpangkal dari seorang tabi'in)."
====
DALIL KE SEBELAS: KEMANDIRIAN EKONOMI NABI DAUD PADAHAL DIA SEORANG RAJA:
Dari al-Miqdam
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ))
“Makanan terbaik yang
dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan oleh usaha tangannya
(sendiri). Dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha
tangannya (sendiri).” [HR.. al-Bukhari (no. 1966)]
Padahal Nabi Daud 'alaihis salam adalah seorang
raja.
Dari
Mu’awiyah bin Shalih, dari Abu Zahir, bahwa ia berkata:
«كَانَ دَاوُدُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
يَعْمَلُ الْقِفَافَ ، وَيَبِيعُهَا وَيَأْكُلُ ثَمَنَهَا»
“Nabi
Dawud ﷺ dahulu membuat keranjang, lalu
menjualnya dan memakan hasil dari penjualannya.”
[Diriwayatkaan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Ishlah al-Maal hal.
94 no. 311]
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي
مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ
وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan sesungguhnya telah
Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai
gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama
Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah
baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang
saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Saba: 10-11).
Imam Ibnu Katsir berkata
dalam Tafsirnya ketika menafsiri Firman Allah Swt diatas:
“Al-Hafiz Ibnu Asakir
mengatakan dalam biografi Daud a.s. melalui jalur Ishaq ibnu Bisyr yang di
dalamnya terdapat kisah dari Abul Yas, dari Wahb ibnu Munabbih, yang
kesimpulannya seperti berikut:
أَنَّ دَاوُودَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَانَ يَخْرُجُ مُتَنَكِّرًا،
فَيَسْأَلُ الرُّكْبَانَ عَنْهُ وَعَنْ سِيرَتِهِ، فَلَا يَسْأَلُ أَحَدًا إِلَّا
أَثْنَى عَلَيْهِ خَيْرًا فِي عِبَادَتِهِ وَسِيرَتِهِ وَمُعَدَّلَتِهِ، صَلَوَاتُ
اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ.
“Bahwa Daud a.s. keluar
dengan menyamar, lalu ia menanyakan tentang dirinya kepada kafilah-kafilah yang
datang. Maka tidaklah ia menanyai seseorang, melainkah orang tersebut memujinya
dalam hal ibadah dan sepak terjangnya ".
Wahb ibnu Munabbih
melanjutkan:
حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ مَلَكًا فِي صُورَةِ رَجُلٍ، فَلَقِيَهُ
دَاوُودُ فَسَأَلَهُ كَمَا كَانَ يَسْأَلُ غَيْرَهُ، فَقَالَ: هُوَ خَيْرُ
النَّاسِ لِنَفْسِهِ وَلأُمَّتِهِ، إِلَّا أَنَّ فِيهِ خِصْلَةً لَوْ لَمْ تَكُنْ
فِيهِ كَانَ كَامِلًا. قَالَ: مَا هِيَ؟ قَالَ: يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ عِيَالَهُ
مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِينَ، يَعْنِي بَيْتَ الْمَالِ.
فَعِنْدَ ذَلِكَ نَصَبَ دَاوُودُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، إِلَى
رَبِّهِ فِي الدُّعَاءِ أَنْ يُعَلِّمَهُ عَمَلًا بِيَدِهِ يَسْتَغْنِي بِهِ
وَيُغْنِي بِهِ عِيَالَهُ، فَأَلَّانَ لَهُ الْحَدِيدَ، وَعَلَّمَهُ صَنْعَةَ
الدُّرُوعِ، فَعَمِلَ الدُّرْعَ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ عَمِلَهَا، فَقَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: "أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ" يَعْنِي
مَسَامِيرَ الْحَلْقِ.
قَالَ: وَكَانَ يَعْمَلُ الدُّرْعَ، فَإِذَا ارْتَفَعَ مِنْ عَمَلِهِ
درْعٌ باعَهَا، فَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهَا، وَاشْتَرَى بِثُلُثِهَا مَا يَكْفِيهِ
وَعِيَالَهُ، وَأَمَسَكَ الثُّلُثَ يَتَصَدَّقُ بِهِ يَوْمًا بِيَوْمٍ إِلَى أَنْ
يَعْمَلَ غَيْرَهَا.
“Bahwa pada akhirnya
Allah mengutus malaikat dalam rupa seorang lelaki. Kemudian lelaki itu dijumpai
oleh Daud a.s., lalu Daud menanyakan kepadanya dengan pertanyaan yang biasa ia
kemukakan kepada orang lain.
Maka malaikat itu
menjawab:
"Dia adalah seorang
yang paling baik buat dirinya sendiri dan buat orang lain, hanya saja di dalam
dirinya terdapat suatu pekerti yang seandainya pekerti itu tidak ada pada
dirinya, tentulah dia adalah seorang yang kamil." Daud bertanya,
"Pekerti apakah itu?" Malaikat menjawab, "Dia makan dan
menafkahi anak-anaknya dari harta kaum muslim.' yakni baitul mal [Kas Negara].
Maka pada saat itu juga
Nabi Daud a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya seraya berdoa, semoga Dia
mengajarkan kepadanya suatu pekerjaan yang dilakukan tangannya sendiri sehingga
menjadi orang yang berkecukupan dan dapat membiayai anak-anak dan keluarganya.
Lalu Allah melunakkan besi baginya dan mengajarkan kepadanya cara membuat baju
besi.
Lalu Daud dikenal sebagai
pembuat baju besi; dia adalah orang yang mula-mula membuat baju besi.
Allah Swt. telah
berfirman:
{ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ }
“Buatlah baju besi yang
besar-besar dan ukurlah anyamannya" (Saba: 11)
Yang dimaksud
dengan sard ialah pakunya lingkaran besi yang dipakai sebagai anyaman baju
besi.
Wahb ibnu Munabbih
mengatakan:
Bahwa Daud bekerja
sebagai pembuat baju besi. Apabila telah selesai, maka ia jual; sepertiga dari
hasil penjualan itu dia sedekahkan, sepertiganya lagi ia belikan keperluan
hidup untuk mencukupi keluarga dan anak-anaknya, sedangkan yang sepertiganya
lagi ia pegang untuk ia sedekahkan setiap harinya, hingga selesai dari membuat
baju besi lainnya ".
Al-Imam al-Qurthubi dlam
tafsir nya berkata:
فِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى تَعَلُّمِ أَهْلِ الْفَضْلِ
الصَّنَائِعِ، وَأَنَّ التَّحْرِيفَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ مَنَاصِبِهِمْ، بَلْ
ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي فَضْلِهِمْ وَفَضَائِلِهِمْ؛ إِذْ يَحْصُلُ لَهُمُ
التَّوَاضُعُ فِي أَنْفُسِهِمْ وَالِاسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَكَسْبُ
الْحَلَالِ الْخَالِي عَنِ الْامْتِنَانِ.
Dalam ayat ini, terdapat
bukti bahwa orang-orang yang berbudi luhur telah mempelajari tehnik-tehnik
industri, dan bahwa bekerja mencari nafkah dengan keahliannya tidak mengurangi
kedudukan mereka, melainkan meningkatkan pahala dan keutamaan mereka.
Karena mereka mencapai
kerendahan hati dalam diri mereka sendiri dan tidak bergantung pada orang lain,
dan mendapatkan rizki yang halal yang bebas dari minta-minta belas kasihan
kepada manusia ".
Dan al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata tentang firman Allah SWT:
وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ
“dan kami telah
melunakkan besi untuknya. (Saba: 10)
Al-Hasan Al-Basri,
Qatadah, Al-A'masy, dan lain-lainnya mengatakan bahwa untuk melunakkan besi
bagi Nabi Daud tidak perlu memasukkannya ke dalam tungku api, dan tidak perlu
palu untuk membentuknya, tetapi Daud dapat memintalnya dengan tangannya seperti
halnya memintal kapas untuk menjadi benang. Karena itulah disebutkan dalam
firman selanjutnya:
أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ
“Buatlah baju besi yang
besar-besar. (Saba: 11)
Yaitu baju-baju besi yang
dianyam lagi besar-besar.
Qatadah mengatakan bahwa
Daud adalah orang yang mula-mula membuat baju besi dengan dianyam. Dan
sesungguhnya sebelum itu baju besi-hanya berupa lempengan-lempengan.
Ibnu Abu Hatim
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Sama'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Damrah, dari Ibnu
Syauzab yang mengatakan bahwa Daud a.s. setiap hari dapat membuat sebuah baju
besi, lalu ia menjualnya dengan harga enam ribu dirham; dua ribu untuk dirinya
dan keluarganya, sedangkan yang empat ribu dia belikan makanan pokok untuk
memberi makan kaum Bani Israil.
Dan firman Allah SWT:
وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ
“Dan ukurlah anyamannya.
(Saba: 11)
Ini merupakan petunjuk
dari Allah Swt. kepada Daud dalam mengajarinya cara membuat baju besi.
Mujahid telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan ukurlah anyamannya. (Saba: 11):
“Janganlah kamu menjadikan pakunya kecil karena akan membuatnya longgar pada
lingkaran. Jangan pula kamu menjadikannya besar karena mengalami keausan,
tetapi pakailah paku yang berukuran sedang.
Al-Hakam ibnu Uyaynah
mengatakan, bahwa janganlah engkau memakai paku yang besar karena akan aus,
jangan pula memakai paku kecil karena longgar. Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan as-sard ialah
lingkaran besi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa bila dikatakan baju besi
yang dianyam, istilah Arabnya ialah dar'un masrudah.
Sebagai dalilnya ialah
ucapan seorang penyair yang mengatakan:
وَعَليهما مَسْرُودَتَان قَضَاهُما... دَاودُ أَوْ صنعَ
السَّوابغ تُبّعُ...
“Keduanya memakai baju
besi yang dianyam, sebagaimana baju besi buatan Nabi Daud atau baju besi yang
biasa dipakai oleh Tubba' (buatan negeri Yaman) ".
[Lalu Allah Swt
mengingatkan kita agar jangan lupa dengan beramal shaleh dengan firman nya:]
وَاعْمَلُوا صَالِحًا
dan kerjakanlah amalan
yang saleh. (Saba: 11) Artinya, gunakanlah nikmat-nikmat yang telah diberikan
oleh Allah kepadamu untuk mengerjakan amal saleh.
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Aku melihat
apa yang kamu kerjakan. (Saba: 11)
Yakni mengawasi kalian
dan melihat semua amal perbuatan dan ucapan kalian, tiada sesuatu pun darinya
yang samar bagi Allah Swt. [SELESAI KUTIPAN DARI IBNU KATSIR].
PERTANYAAN: SEKARANG
SIAPAKAH ORANG YANG MELANJUTKAN USAHA NABI DAUD INI????
Apakah mereka itu adalah
orang-orang yang menguasai hizib-hizib atau orang-orang yang memproduksi
senjata militer dan jet tempur? Apakah mereka itu adalah orang-orang Yang
membisniskan agama atau orang-orang yang memproduksi kendaraan dan lain-lain?
====
DALIL KE DUA BELAS: BEKERJA CARI NAFKAH ITU BAGIAN DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH.
Allah Swt berfirman:
﴿اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ
الشَّكُورُ﴾
“Bekerjalah, hai keluarga
Daud, untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur ". (Saba: 13)
Al-Hafidz Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya berkata:
“Yakni dan Kami katakan
kepada mereka, "Bekerjalah sebagai ungkapan rasa syukur yang telah
dilimpahkan Allah kepada kalian untuk kepentingan agama dan dunia kalian."
Syukran adalah
bentuk masdar tanpa fi'il, atau
menjadi maf'ullah. Berdasarkan kedua hipotesis ini terkandung
pengertian yang menunjukkan bahwa syukur itu adakalanya dengan perbuatan,
adakalanya pula dengan lisan dan niat, sebagaimana yang dikatakan oleh salah
seorang penyair:
أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً:... يدِي، ولَسَاني،
وَالضَّمير المُحَجَّبَا...
Telah kulimpahkan tiga
macam nikmat dariku kepada kalian (sebagai rasa terima
kasihku), yaitu melalui tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak
kelihatan.
Abu Abdur Rahman
As-Sulami telah mengatakan bahwa shalat adalah ungkapan rasa syukur, puasa juga
ungkapan rasa syukur, serta semua amal kebaikan yang engkau kerjakan karena
Allah Swt. merupakan ungkapan rasa syukurmu (kepada-Nya).
Dan Ibnu Katsir berkata:
“Hal ini merupakan berita
tentang kenyataannya". [Kutipan Selesai].
Penulis katakan:
Bekerja mencari nafkah
itu sendiri adalah bentuk ungkapan rasa syukur. Tidak cukup hanya sekadar
menikmati anugerah dan mengucap syukur kepada Allah. Yang lebih besar dan lebih
mulia dari itu adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk kepentingan
manusia, dan itu adalah sabiilillah / jalan Allah.
Bahkan para nabi dan raja
pun tidak meninggalkan pekerjaan mencari nafkah, dan tidak bergantung pada
Baitul Maal [Kas Negara]. Mereka semua di jadikan sebagai contoh dan teladan
dalam hal itu bagi para penguasa dan pemimpin, bukan saja hanya untuk para
generasi bangsa mereka dan rakyat mereka, bahkan untuk para raja dan penguasa
sepanjang zaman.
Kemandirian ekonomi bagi
penguasa dengan tidak memakan uang negara atau tidak pilih kasih dan tidak
mementingkan dirinya ; itu adalah merupakan pelajaran terpenting yang bisa di
ambil dari amalan Nabi Daud 'alaihis salaam.
Dan bekerja itu sendiri
merupakan sebuah nilai prestasi. Rosulullah ﷺ bersabda:
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ
Barangsiapa yang lambat
dalam bekerja, sungguh nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. muslim
no. 2699)
Tidaklah cukup bagi
seorang anak untuk bergantung pada kekayaan seseorang atau kekayaan ayahnya
atau reputasi ayahnya atau kemuliaannya atau kehormatan garis keturunannya.
Sebaliknya, dia harus bangkit dengan pekerjaannya, karena dia sendiri yang
dianggap sebagai orang yang terhormat.
Ada pepatah yang di
nisbatkan kepada Ali, tersebar dalam kitab-kitab Syi'ah:
الشَّرَفُ عِندَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِحُسْنِ الْأَعْمَالِ لَا
بِحُسْنِ الْأَقْوَالِ.
“Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang baik, bukan hanya dengan kata-kata yang baik saja ".
KENAPA BEKERJA CARI NAFKAH ITU
DIKATAKAN SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR KEPADA ALLAH???
JAWABANNYA ADALAH SBB:
Pertama:
يَعْنِي – فِي مَا يَعْنِيهِ – أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَاهِبُ
(النِّعَم) وَ(الْأَدَوَات) الَّتِي بِهَا تُسْتَحْصَلُ (تُكْتَسَبُ) تِلْكَ
النِّعَم، فَالْمُتَفَضِّلُ فِي كَسْبِهَا وَاِسْتِحْصَالِهَا هُوَ وَاهِبُ
الْمُمَكِّنَاتِ مِنْ ذَلِكَ، وَشُكْرُ الْيَدِ عَمَلَهَا، كَمَا أَنَّ شُكْرَ
الرَّجُلِ السَّعْيَ فِي مَا يَرْضِي اللَّهَ تَعَالَى مِنْ أَعْمَالِ صَالِحَةٍ،
وَهَكَذَا فِي كُلِّ عَضُوٍّ وَجَارِحَةٍ، وَيَبْقَى شُكْرُ اللَّهِ مَعَ ذَلِكَ
يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ، فَكُلَّمَا قُلْنَا بِعَمَلِنَا شُكْرًا، وَجَبَ أَنْ
نَقُولَ لِلَّهِ عَلَى تَوْفِيقِنَا إِلَى ذَلِكَ شُكْرًا.
Yakni - dalam artian -
bahwa Allah Ta'aala adalah Pemberi (segala nikmat) dan (segala alat / anggota
tubuh) yang dengannya nikmat-nikmat itu bisa (diperoleh).
Jadi yang memberi
kemampuan anggota tubuh untuk bekerja dan memperoleh kenikmtan-kenikmatan tsb
adalah dia pula yang menganugerahi keeuksesan-kesuksean dari semua itu.
Dan cara mensyukuri
nikmat tangan adalah dengan menggunakannya untuk bekerja. Demikian juga, seseorang
mensyukuri nikmat Kaki dengan berjalan diatas apa yang diridhai Allah SWT dari
pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Hal yang sama berlaku
untuk setiap anggota badan dan panca indra kita.
Dan rasa syukur kita
kepada Allah atas nikmat yang ada dlam tubuh kita meskipun senantiasa harus
ada, namun perlu adanya tambahan rasa syukur. Yaitu setiap kali kita bersyukur
atas nikmat kemampuan anggota tubuh kita untuk bekerja, namun kita juga harus
besyukur kepada Allah atas keberhasilan kita dalam hal itu.
Kedua:
الْعَمَلُ شُكْرًا يَعْنِي تَوْظِيفَ النِّعْمَةِ فِي الْمَكَانِ
الصَّحِيحِ، فَلَيْسَ كُلُّ عَمَلِ الْيَدِ شُكْرًا، بَلْ إِنَّ الْأَعْمَالَ
الْمُنْكَرَةَ وَالْمُسْتَنْكَرَةَ وَالْمُسْتَقْبِحَةَ الَّتِي تَقُومُ بِهَا
الْيَدُ مِنْ قَتْلٍ وَبَطْشٍ وَسَرِقَةٍ وَتَزْوِيرٍ وَتَحْرِيفٍ وَصَنَاعَةِ
أَدَوَاتِ الْقَتْلِ وَالتَّدْمِيرِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُشِينُ النِّعْمَةَ
وَيُشَوِّهُهَا هُوَ كُفْرٌ بِالنِّعْمَةِ، وَلِذَلِكَ قَالَ مُوسَى فِي تَوْظِيفِ
نِعْمَةٍ وَقُوَّةِ الْفَتْوَةِ الَّتِي كَانَ يَتَمَتَّعُ بِهَا: "رَبِّ
بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ" (القصص:
17).
Pekerjaan sebagai
ungkapan rasa syukur, berarti menggunakan nikmat pada tempat yang shahih /
benar, karena tidak semua pekerjaan tangan sendiri [mandiri] adalah sebagai ungkpan
rasa syukur. Melainkan ada pekerjaan dan perbuatan tercela, munkar dan buruk
yang dilakukan dengan tangan, seperti pembunuhan, kekejaman, pencurian,
pemalsuan, penyelewengan, dan pembuatan alat untuk membunuh, menghancurkan dan
selain dari itu yang menodai nikmat dan mendistorsinya, itu adalah bentuk
kekufuran terhadap nikmat.
Itulah sebabnya Musa
mengatakan dalam hal menggunakan rahmat dan kekuatan masa muda yang dia
nikmati:
﴿قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا
لِلْمُجْرِمِينَ﴾
Musa berkata: Ya
Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali
tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (QS.
Al-Qoshosh 17).
===
DALIL KE TIGA BELAS : DOA MINTA KAYA & DILINDUNGI DARI KEMISKINAN:
HADITS 1: Dari Abdullah bin Mas’ud
(ra) bahwa Rasulullah ﷺ berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ
وَالْغِنَى
“Ya Allah, sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah (menjaga diri dari perkara
haram), dan kekayaan.”
(HR. Muslim:
4898, At-Tirmidzi: 3411 dan Ibnu Majah: 3822).
HADITS 2: Dari Ummul Mukminiin Ummu Salamah (ra):
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلمَ كان يقولُ إذا صلَّى الصبحَ حين
يُسَلِّمُ: اللهم إني أسألُكَ علمًا نافعًا ، ورزقًا واسعًا ، وعملًا مُتَقَبَّلًا
Bahwa Nabi ﷺ dulu jika selesai shalat Shubuh saat
salam, beliau mengucapkan doa: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada Engkau
ilmu yang bermanfaat, rizqi yang luas, dan amal perbuatan
yang diterima.
[HR. Ibnu Majah
no. 762. Di Hasankan oleh al-Albaani dalam Tamamul Minnah no. 233 dan
dishahihkan di Shahih Ibnu Majah no. 762].
HADITS 3: Dari Abu Hurairah (ra):
Bahwa Nabi ﷺ
senantiasa berdo’a::
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ
وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kefaqiran, sedikit harta benda, dan kehinaan, dan aku berlindung
kepada-Mu daripada menzhalimi orang lain atau dizhalimi.”
(HR. Abu Dawud:
1320, An-Nasa’i: 5365, Ahmad: 7708 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam
Shahihul Jami’: 1287).
Rasulullah berpesan
kepada umatnya, agar menghindari dari kefaqiran, dan untuk hal itu beliau
mengajarkan doa, sebagaimana bunyi hadits diatas.
HADIS KE 4: Doa Minta Kaya dan Agar
Bisa Membayar Hutang. Dari Ali -raḍiyallāhu 'anhu-:
أنَّ مُكاتبًا جاءَهُ فقالَ: إنِّي قد عَجزتُ عَن مكاتبتي فأعنِّي ،
قالَ: ألا أعلِّمُكَ كلِماتٍ علَّمَنيهنَّ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ
وسلَّمَ لو كانَ عَليكَ مثلُ جَبلِ صيرٍ دينًا أدَّاهُ اللَّهُ عَنكَ ، قالَ: قُل:
اللَّهمَّ اكفني بِحلالِكَ عن حرامِكَ ، وأغنِني بِفَضلِكَ عَمن سواكَ
Bahwa seorang budak mukātab datang kepadanya lalu
berkata: "Aku tidak sanggup melunasi cicilan (kemerdekaanku), maka bantulah aku!"
Ia
berkata: "Maukah kamu diajarkan beberapa kalimat yang telah diajarkan
Rasulullah ﷺ padaku yang seandainya engkau memiliki
utang sebesar gunung pasti Allah melunasinya? Ucapkan:
اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ
بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"Ya Allah,
cukupilah aku dengan rezeki-Mu yang halal hingga aku terhindar dari yang Engkau
haramkan. Ya Allah kayakanlah aku dengan karunia-Mu hingga aku tidak minta
kepada selain Engkau".
(HR. Turmudzi no.
3563. Di Hasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Futuuhat ar-Robaaniyyah 4/29 dan
al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi no. 3563]
ATSAR: Ibnu Abi Ad-Dunya
meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (60) dari Sayyid Atba'
Al-Tabi'in, Sufyan Ats-Tsawri rahimahullah, beliau berdoa:
(اللَّهُمَّ زَهِّدْنَا فِي الدُّنْيَا، وَوَسِّعْ عَلَيْنَا
مِنْهَا، وَلَا تَزْوِهَا عَنَّا فَتُرْغِبَنَّا فِيهَا).
"Dalam doa mereka
ada permohonan: 'Ya Allah, jadikanlah kami zuhud dalam dunia, luaskanlah rezeki
kami darinya, dan janganlah Engkau menjadikan dunia sebagai kerinduan bagi
kami.'"
====
DALIL KE EMPAT BELAS: RIZKI HEWAN DARI HASIL USAHA KITA BERPAHALA SHODAQOH.
Dari Jabir bin Abdullah (ra) dia bercerita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ
مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً
وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً
“Tidaklah
seorang muslim menanam suatu tanaman, maka apa yang dimakan dari tanaman itu
melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut
melainkan menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan binatang liar melainkan
menjadi sedekah baginya. Dan apa yang dimakan burung melainkan menjadi sedekah
baginya. Dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkah ia menjadi sedekah
baginya." (HR. Imam Muslim Hadits no.1552)
Dari Anas bin Malik (ra)
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا،
فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌإِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ
صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang muslim
menanam suatu pohon, tidak pula bercocok tanam tanaman kemudian dari tanaman
tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah
baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)
Dari Jabir bin Abdullah
(ra) dia berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ:
فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ
لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang muslim
menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung
melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam
Muslim hadits no.1552(10))
===
DALIL KE LIMA BELAS: ALLAH MEMUJI PEMBISNIS YANG TIDAK LALAI DARI MENGINGATNYA
Allah SWT berfirman:
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ
اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءِ الزَّكٰوةِ ۙيَخَافُوْنَ يَوْمًا
تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُ ۙ
Orang-orang yang
perniagaannya dan berjual belinya tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah,
melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati
dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat) [QS. an-Nuur: 37]
Hushaim berkata: Dari
Sayyar, ia berkata: Aku diberitahu dari Ibnu Mas'ud:
أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ السُّوقِ، حَيْثُ نُودِيَ
بِالصَّلَاةِ، تَرَكُوا بِيَاعَاتِهِمْ وَنَهَضُوا إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ
عَبْدُ اللَّهِ: هَؤُلَاءِ مِنَ الَّذِينَ ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ: {رِجَالٌ
لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
Bahwa ia melihat
sekelompok orang dari penduduk pasar, ketika adzan berkumandang untuk shalat,
mereka meninggalkan perdagangan mereka dan beranjak ke shalat.
Abdillah berkata: Mereka
termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah dalam kitab-Nya:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ}
"Orang-orang yang
tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah".
(Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya 18/113).
Dan demikian pula
diriwayatkan oleh Amr bin Dinar Al-Qahramani dari Salim, dari Abdullah bin
Umar, radhiallahu 'anhuma:
أَنَّهُ كَانَ فِي السُّوقِ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَأَغْلَقُوا
حَوَانِيتَهُمْ وَدَخَلُوا الْمَسْجِدَ، فَقَالَ ابْنُ عمر: فيهم نَزَلَتْ:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}.
Bahwa ia berada di pasar
ketika shalat diadakan. Mereka menutup toko-toko mereka dan masuk ke masjid.
Ibnu Umar berkata: Ayat ini diturunkan tentang mereka, "Orang-orang yang
tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah"
(Tafsir Ath-Thabari 18/113).
Dan Ibnu Abi Hatim
berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Bakr
As-Sanaani, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, budak Bani Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Bujair, telah menceritakan kepada kami
Abu Abdurrahman berkata: Abu Ad-Darda' radhiallahu 'anhu berkata,
إِنِّي قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْهِ، أَرْبَحُ
كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةِ دِينَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ يَوْمٍ فِي
الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ: "إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ
بِحَلَالٍ" وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ مِنَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
"Sesungguhnya aku
naik ke tangga ini untuk berjualan atasnya. Aku mendapatkan keuntungan tiga
ratus dinar setiap hari, namun aku selalu shalat berjemaah setiap hari di
masjid. Aku tidak mengatakan: 'Sungguh ini tidak halal', tetapi aku ingin
menjadi salah satu dari orang-orang yang disebut oleh Allah:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ}
'Orang-orang yang tidak
dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah'" (Tafsir
Ibnu Katsir 6/69).
Amru bin Dinar Al-A'war
berkata:
كُنْتُ مَعَ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَنَحْنُ نُرِيدُ الْمَسْجِدَ،
فَمَرَرْنَا بِسُوقِ الْمَدِينَةِ وَقَدْ قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ وخَمَّروُا
مَتَاعَهُمْ، فَنَظَرَ سَالِمٌ إِلَى أَمْتِعَتِهِمْ لَيْسَ مَعَهَا أَحَدٌ،
فَتَلَا سَالِمٌ هَذِهِ الْآيَةَ: {رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ
عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ} ثُمَّ قَالَ: هُمْ هَؤُلَاءِ.
Aku berada bersama Salim
bin Abdullah ketika kami hendak pergi ke masjid. Kami melewati pasar kota, dan
orang-orang telah bangkit untuk shalat, mereka menutup dagangan mereka dan
masuk ke masjid. Salim melihat barang dagangan mereka yang ditinggalkan tanpa
ada yang menjaganya. Kemudian Salim membaca ayat ini:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ}
"{Orang-orang yang
tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah}".
Lalu dia berkata,
"Mereka adalah orang-orang ini."
Said bin Abi Al-Hasan dan
Ad-Dahhak juga mengatakan:
لَا تُلْهِيهِمُ التِّجَارَةُ وَالْبَيْعُ أَنْ يَأْتُوا الصَّلَاةَ
فِي وَقْتِهَا.
Bahwa mereka tidak
dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli sehingga mereka datang untuk shalat
tepat waktu.
Mathar Al-Warraq
mengatakan:
كَانُوا يَبِيعُونَ وَيَشْتَرُونَ، وَلَكِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ إِذَا
سَمِعَ النِّدَاءَ وميزانُه فِي يَدِهِ خَفَضَهُ، وَأَقْبَلَ إِلَى الصلاة.
Bahwa mereka masih
berjualan dan membeli, tetapi ketika mereka mendengar panggilan adzan dan
timbangan dagangan mereka berada di tangan mereka, mereka menurunkannya dan
menuju ke shalat. (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas:
{لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
يَقُولُ: عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.
"Bahwa ayat ini
berbicara tentang shalat yang diwajibkan".
Al-Rabi' bin Anas dan
Muqatil bin Hayyan juga berpendapat seperti itu. (Tafsir Ibnu Katsir 6/69).
Al-Suddi mengatakan:
عَنِ الصَّلَاةِ فِي جَمَاعَةٍ.
Bahwa itu berarti mereka
tidak dilalaikan oleh perdagangan dari kehadiran shalat secara berjamaah.
Muqatil bin Hayyan
mengatakan:
لَا يُلْهِيهِمْ ذَلِكَ عَنْ حُضُورِ الصَّلَاةِ، وَأَنْ يُقِيمُوهَا
كَمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ، وَأَنْ يُحَافِظُوا عَلَى مَوَاقِيتِهَا، وَمَا
اسْتَحْفَظَهُمُ اللَّهُ فِيهَا.
“Bahwa mereka tidak
dilalaikan oleh perdagangan dari mendirikan shalat sebagaimana Allah
perintahkan dan menjaga waktunya sebagaimana yang Allah jaga di dalamnya".
(Tafsir Ibnu Katsir 6/69).
Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata:
وَقَوْلُهُ: {يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالأبْصَارُ} أَيْ: يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِي تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ، أَيْ: مِنْ شِدَّةِ الْفَزَعِ وَعَظَمَةِ الْأَهْوَالِ، كَمَا
قَالَ تَعَالَى {وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى
الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ} [غَافِرٍ: 18] ، وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّمَا
يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ}
Dalam ayat "{Mereka
takut pada hari ketika hati-hati dan penglihatan berbalik}" artinya adalah
hari kiamat ketika hati dan mata berbalik-balik, yaitu karena ketakutan yang
sangat hebat dan kengerian yang besar, sebagaimana yang Allah katakan
"{Dan beri peringatan kepada mereka tentang hari yang dekat ketika
hati-hati berada di tenggorokan mereka, tertekan}" (QS. Ghafir: 18), dan
Allah juga berfirman "{Sesungguhnya Dia hanya menunda mereka untuk hari
yang matanya terbelalak}"
(Tafsir Ibnu
Katsir 6/69).
JIKA SELESAI SHALAT, SEGERALAH MENYEBAR CARI RIZKI
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوۡا فِى الۡاَرۡضِ
وَابۡتَغُوۡا مِنۡ فَضۡلِ اللّٰهِ وَاذۡكُرُوا اللّٰهَ كَثِيۡرًا لَّعَلَّكُمۡ
تُفۡلِحُوۡنَ
Apabila shalat telah
dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. [QS. Al-Jumu'ah:10].
====
DALIL KE ENAM BELAS: PEKERJAAN HALAL NAMPAK HINA LEBIH MULIA DARI PADA MINTA-MINTA
Nabi ﷺ memerintahkan umatnya agar mandiri dalam berekonomi dan
menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri. Beliau ﷺ melarang umatnya mengemis, meminta-minta dan mengharapakan
pemberian dari manusia, apalagi sampai berjualan agama. Pendapatan dari
pekerjaan yang nampak hina tapi halal, itu lebih baik dari pada minta-minta.
Dalam hadits Abu Hurairah
di sebutkan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Lebih baik seseorang
bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya daripada dia
meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu orang itu memberinya atau dia
menolak untuk memberinya (HR al-Bukhari no. 2374 dan Muslim no. 1042).
Umar bin Al-Khattab,
semoga Allah meridainya, berkata:
“مَكْسَبَةٌ فِيهَا دُنَاءَةٌ خَيْرٌ مِنْ سُؤَالِ النَّاسِ،
وَإِنِّي لَأَرَى الرَّجُلَ يُعَجِّبُنِي شَكْلُهُ، فَإِذْ سَأَلْتُ عَنْهُ
فُقِيلَ لِي: لَا عَمَلَ لَهُ، سَقَطَ مِنْ عَيْنِي".
"Hasil Usaha yang
memalukan tetapi halal itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain.
Dan sungguh jika saya melihat seseorang yang penampilannya mengesankan saya,
tetapi ketika saya menanyakan tentangnya, lalu dikatakan kepadaku bahwa dia
tidak memiliki pekerjaan. Maka ia langsung kehilangan nilai di mata saya."
[Lihat: Fiqhul Islam karya az-Zuhaily 7/5011 dan at-Tafsir al-Wasith karya
Thonthowi 15/441].
Dari Sahl bin Sa'ad
Al-Saa'idi bahwa Nabi ﷺ bersabda:
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ،
وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ
فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ. ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ
اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ.
Jibril ('alaihis salam)
datang menemui Nabi ﷺ lalu berkata (kepada
beliau):
“Wahai Muhammad,
hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan
mati,
Cintailah siapa saja yang
engkau cintai (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan berpisah
dengannya,
Dan berbuatlah
sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya benar-benar engkau akan menerima
balasan dari apa yang engkau perbuat”,
Lalu dia berkata lagi:
“Wahai Muhammad,
kemuliaan seorang mu’min terletak pada shalat malam dan KEHORMATANNYA terletak
pada KETIDAK BUTUHANNYA kepada BANTUAN MANUSIA“
[HR. ath-Thabarani dalam
"al-Mu'jam al-Awsat" (4278), dan al-Hakim (7921) dengan sedikit
perbedaan. Lafadh ini berdasarkan periwayatan Al Hakim Di Hasankan oleh syeikh
al-Baani].
Dan dari Anas bin Malik
(ra):
أنَّ رجلًا منَ الأنصارِ أتى النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ
وسلَّمَ يسألُهُ فقال: أما في بيتِكَ شيءٌ. قال: بلى حِلسٌ نلبسُ بعضَهُ ونبسُطُ
بعضَهُ وقَعبٌ نشربُ فيهِ منَ الماءِ. قال: ائتني بِهِما. قال: فأتاهُ بِهِما
فأخذَهُما رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بيدِهِ وقال: من يشتري
هذَين؟ قالَ رجلٌ: أَنا آخذُهُما بدِرهمٍ. قال: من يزيدُ على درهمٍ؟ مرَّتينِ أو
ثلاثًا قالَ رجلٌ: أَنا آخذُهُما بدِرهَمين. فأعطاهما إيَّاهُ وأخذَ الدِّرهمينِ
وأعطاهما الأنصاريَّ وقال: اشترِ بأحدِهِما طعامًا فانبذهُ إلى أَهْلِكَ واشترِ
بالآخرِ قدومًا فأتني بِهِ. فأتاهُ بِهِ فشدَّ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ
وسلَّمَ عودًا بيدِهِ ثمَّ قالَ لَهُ: اذهب فاحتطِب وبع ولَا أرينَّكَ خمسةَ عشرَ
يومًا. فذَهَبَ الرَّجلُ يحتطِبُ ويبيعُ فجاءَ وقد أصابَ عشرةَ دراهمَ فاشترى
ببعضِها ثوبًا وببعضِها طعامًا. فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّه عليه وسلَّم:
هذا خيرٌ لَكَ من أن تجيءَ المسألةُ نُكْتةً في وجهِكَ يومَ
القيامةِ إنَّ المسألةَ لَا تصلحُ إلَّا لثلاثةٍ لذي فَقرٍ مدقعٍ أو لذي
غُرمٍ مُفظعٍ أو لذي دمٍ موجعٍ".
“Bahwa ada seorang lelaki
Anshar datang menemui Nabi ﷺ dan dia meminta
sesuatu kepada Nabi ﷺ. Nabi pun bertanya
kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?”
Lelaki itu menjawab,
”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk,
serta cangkir untuk minum air.”
Nabi ﷺ berkata: ”Kalau begitu, bawalah kedua
barang itu kepadaku”. Lelaki itu datang membawanya. Nabi pun bertanya, ”Siapa
yang mau membeli barang ini?”
Salah seorang sahabat
beliau menjawab: ”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.”
Nabi ﷺ bertanya lagi: ”Ada yang mau membelinya
dengan harga lebih?”
Nabi ﷺ menawarkannya hingga dua atau tiga kali.
Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata, ”Aku mau membelinya dengan
harga dua dirham.”
Maka Nabi ﷺ memberikan dua barang itu kepadanya dan
mengambil uang dua dirham itu serta memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut
seraya bersabda:
“Belilah makanan seharga
satu dirham dengan uang itu, dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya
belilah sebuah kapak dengan satu dirham, dan bawa kapak itu kepadaku!”
Dia pun melakukan
perintah Rasulullah ﷺ. Kemudian Rasulullah
memasang gagang pada kapak tersebut dengan tangannya kemudian bersabda:
“Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali kepadaku setelah
lima belas hari.”
Lelaki Anshar itu pun
melaksanakan perintah nabi kemudian datang lagi dengan membawa sepuluh dirham.
Sebagian hasilnya dia belikan baju dan sebagian lagi ia belikan makanan.
Rasulullah bersabda
kepadanya:
“Usaha itu lebih baik
bagimu daripada engkau datang dengan noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat
disebabkan meminta-minta. Meminta-minta hanya boleh bagi tiga macam orang
(yaitu): orang yang sangat fakir, orang yang tertimpa beban hutang yang sangat
berat, atau orang yang terbebani diyat (tebusan) yang menyulitkan.”
[HR. Abu Daud no. 1641,
Ibnu Majah no. 2198 dan Tirmidzi no. 1218.
Di hasankan oleh
Tirmidzi. Namun di dhaifkan oleh al-Albanni dalam Dhaif Abu Daud no. 1641
karena di dalam sanadnya terdapat Abu Bakar al-Hanafi. al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata tentangnya: Laa yu'rof haaluhu (tidak dikenal kondisinya).
Syeikh Abdul Karim
al-Khudhair berkata:
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْحَدِيْثُ مَعْنَاهُ صَحِيْحٌ، وَإِنْ كَانَ
فِيْ سَنَدِهِ ضَعِيْفٌ.
"Bagaimanapun juga,
makna hadits ini shahih, meskipun ada kelemahan dalam sanadnya." [Barnamij
Fatwa Nur 'Alaa ad-Darb no. Fatwa: 24802].
CONTOH BISNIS SAHABAT YANG NAMPAK
HINA, TAPI SUKSES.
Ada salah seorang sahabat
yang sukses berbisnis limbah sampah dan rongsokan, beliau meraup keuntungan
yang fantastis, sehingga membuat dirinya menjadi salah seorang yang terkaya di
Kuufah – Irak. Berikut ini riwayat kisahnya:
Dari Urwah bin Abul Ja'ad
Al Bariiqi (ra) ia berkata:
“دَفَعَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ دِينَارًا لِأَشْتَرِيَ لَهُ شَاةً
فَاشْتَرَيْتُ لَهُ شَاتَيْنِ فَبِعْتُ إحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجِئْتُ
بِالشَّاةِ وَالدِّينَارِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرَ لَهُ مَا كَانَ مِنْ
أَمْرِهِ فَقَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي صَفْقَةِ يَمِينِكَ فَكَانَ يَخْرُجُ بَعْدَ
ذَلِكَ إلَى كُنَاسَةِ الْكُوفَةِ فَيَرْبَحُ الرِّبْحَ الْعَظِيمَ فَكَانَ
مِنْ أَكْثَرِ أَهْلِ الْكُوفَةِ مَالًا ".
“Rasulullah ﷺ memberikan kepadaku satu dinar untuk
membeli seekor kambing untuknya, maka aku pun dengan satu dinar itu membelikan
dua ekor kambing. Lalu aku menjual salah satu dari keduanya seharga satu dinar.
Dan aku menemui Nabi ﷺ dengan membawa
satu ekor kambing dan satu dinar".
Lalu ia menceritakan
kepada beliau tentang apa yang ia perbuat, maka beliau ﷺ pun bersabda: "Semoga Allah memberkahi transaksi jual
belimu".
Setelah itu ia pergi
merantau ke Kufah singgah di suatu tempat pembuangan limbah, lalu ia
mendapatkan laba yang sangat banyak sehingga ia menjadi salah seorang dari
penduduk kufah yang paling kaya raya.
[HR. Abu Daud no. 3384,
Tirmidzi no. 1258 dan Ibnu Majah no. 2513. Di shahihkan oleh an-Nawawi dalam
al-Majmu' 9/262 dan oleh al-Albaani dalam al-Irwa 5/129.
MAKNA: al-Kunaasah [الكُنَاسَة]. Yaquut
al-Hamawi [w. 623 H] dalam Mu'jam al-Buldan 4/181 berkata:
“الكُنَاسَةُ: بِالضَّمِّ، وَالْكَنْسُ: كَسْحُ مَا عَلَى وَجْهِ
الْأَرْضِ مِنَ الْقُمَامَةِ، وَالْكُنَاسَةُ مَلْقَى ذَلِكَ: وَهِيَ مَحَلَّةٌ
بِالْكُوفَةِ ".
Al-Kunasah berasal dari
kata "al-kans" yang berarti menyapu atau menghilangkan limbah
[sampah] yang ada di permukaan bumi. Al-Kunaasah adalah tempat pembuangan
limbah dan sampah. Dan itu adalah tempat di Kufah ".
LAFADZ RIWAYAT LAIN:
Dari jalur lain yang
ma'ruf tentang Urwah, melalui jalur Said bin Zaid, dari Az-Zubair bin
Al-Khurayt, dari Abu Lubaid, dari Urwah bin Abi Al-Ja'd al-Baariqi (ra) dia
berkata:
"عُرِضَ لِلنَّبِيِّ ﷺ جَلْبٌ، فَأَعْطَانِي دِينَارًا،
وَقَالَ: أَيُّ عُرَوَةِ اِئْتِ الْجَلْبَ، فَاشْتَرِ لَنَا شَاةً! [كَأَنَّهَا
أُضْحِيَّةٌ]، فَأَتَيْتُ الْجَلْبَ، فَسَاوَمْتُ صَاحِبَهُ فَاشْتَرَيْتُ مِنْهُ
شَاتَيْنِ بِدِينَارٍ فَجِئْتُ أُسَوِّقُهُمَا، أَوْ قَالَ: أُقَدِّهُمَا،
فَلَقِيَنِي رَجُلٌ، فَسَاوَمَنِي فَأَبَيْعُهُ شَاةً بِدِينَارٍ، فَجِئْتُ
بِالدِّينَارِ، وَجِئْتُ بِالشَّاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا
دِينَارُكُمْ، وَهَذِهِ شَاتُّكُمْ، قَالَ: وَصَنَعْتَ كَيْفَ؟ قَالَ:
فَحَدَّثْتُهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَارَكَ لَهُ فِي صَفْقَةِ
يَمِينِهِ، فَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَقِفُّ بِكُنَاسَةِ الْكُوفَةِ، فَأَرْبَحُ
أَرْبَعِينَ أَلْفًا قَبْلَ أَنْ أَصِلَ إِلَى أَهْلِي، وَكَانَ يَشْتَرِي
الْجَوَارِي وَيَبِيعُ"
"Ada JALAB [pedagang
hewan dari luar (import)] yang menawarkan kepada Nabi (SAW, lalu beliau
memberikan satu dinar kepadaku, dan beliau berkata:
'Wahai Urwah,
pergilah ke al-Jalab itu dan belilkanlah untuk kami seekor kambing'.
[sepertinya untuk keperluan hewan kurban"]
Maka aku pergi mencari
al-jalab tersebut, kemudian aku bernegosiasi dengan pemiliknya dan membeli dua
ekor kambing dengan satu dinar. Setelah itu, aku kembali untuk
menjualnya", atau dikatakan: “aku membawa dua kambing itu.
Kemudian aku bertemu
dengan seseorang yang menawar harga kambing yang ada padaku, lalu dia membeli
dari ku kambing tersebut dengan harga satu dinar.
Maka Aku datang dengan
satu dinar tersebut dan membawa satu ekor kambing tersebut, lalu aku berkata:
'Wahai Rasulullah, ini dinar antum dan ini kambing antum'.
Beliau bertanya:
'Bagaimana cara kamu melakukannya?'
Aku menceritakan kejadian
tersebut kepadanya, maka beliau bersabda: 'Ya Allah, berkahilah transaksi
tangan kanannya.'
Sesungguhnya aku melihat
diriku merantau ke Kufah dan singgah cari rizki di tempat pembuangan limbah dan
aku sukses meraup keuntungan empat puluh ribu sebelum aku sampai kepada
keluargaku. Dan aku pun membeli budak-budak wanita dan menjualnya."
[HR. Ahmad (19367),
Tirmidzi (1/237), Ibnu Majah (2402), Ad-Daraqutni (2825), dan Al-Baihaqi
(6/112)]
Al-Mundziri dan An-Nawawi
mengatakan: "Sanadnya hasan shahih." [Lihat Irwa al-Gholil 5/120].
Di hasankan oleh Syeikh
Muqbil al-Waadi'i dalam Shahih Dalaail an-Nubuwwah (273) dan Syu'aib
al-Arn'auth dalam Takhrij al-Musnad 32/110]
MAKNA al-Jalab [الجَلَب]:
مَا يُؤْتَى بِهِ مِن بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ مِنْ عُرُوضِ التِّجَارَةِ
Artinya:
"Barang-barang dagangan yang dibawa dari satu negeri ke negeri lain
[komoditi import]".
LAFADZ RIWAYAT BUKHORI:
Dari Syabib bin Gharfadah
berkata, aku mendengar orang-orang dari qabilahku yang bercerita dari 'Urwah
al-Baariqi (ra):
أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أعْطَاهُ دِينَارًا
يَشْتَرِي له به شَاةً، فَاشْتَرَى له به شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إحْدَاهُما
بدِينَارٍ، وجَاءَهُ بدِينَارٍ وشَاةٍ، فَدَعَا له بالبَرَكَةِ في بَيْعِهِ، وكانَ
لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
“Bahwa Nabi ﷺ memberinya satu dinar untuk dibelikan
seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah
satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa
seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa'akan dia keberkahan
dalam jual belinya itu". Sungguh dia apabila BERDAGANG DEBU sekalipun,
pasti mendapatkan untung".
Dia Syabib berkata:
وَقَدْ رَأَيْتُ فِي دَارِهِ سَبْعِينَ فَرَسًا
"Sungguh aku telah
melihat di rumahnya ada tujuh puluh ekor kuda" [HR. Bukhori no. 3642].
====
DALIL KE TUJUH BELAS: PERINTAH CARI NAFKAH AGAR TIDAK MENGHARAPKAN PEMBERIAN MANUSIA.
Dalam hadits Sahl bin
Sa'ad Al-Saa'idi di sebutkan bahwa Malaikat Jibril (AS) berkata:
“يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ
اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ".
“Wahai Muhammad,
kemuliaan seorang mu’min terletak pada shalat malam dan KEHORMATANNYA terletak
pada KETIDAK BUTUHANNYA kepada BANTUAN MANUSIA“
[HR.
ath-Thabarani dalam "al-Mu'jam al-Awsat" (4278), dan al-Hakim (7921)
dengan sedikit perbedaan. Lafadh ini berdasarkan periwayatan Al Hakim Di
Hasankan oleh syeikh al-Baani.
Dan Rosulullah ﷺ bersabda Umar (ra):
“وَما جَاءَكَ مِن هذا المَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا
سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَما لَا، فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ ".
“Apabila kamu diberi
orang sesuatu pemberian tanpa kamu mengharap-harapkan pemberian
[mengidam-idamkannya] dan tanpa meminta-minta, terimalah pemberian itu. Tetapi
ingat, sekali-kali jangan mengharap-harap pemberian dan meminta-minta."
Lengkapnya hadits: Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma:
“أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يُعْطِي
عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عنْه العَطَاءَ، فيَقولُ له عُمَرُ:
أَعْطِهِ، يا رَسولَ اللهِ، أَفْقَرَ إلَيْهِ مِنِّي، فَقالَ له رَسولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ، أَوْ تَصَدَّقْ به، وَما
جَاءَكَ مِن هذا المَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَما
لَا، فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. قالَ سَالِمٌ: فَمِنْ أَجْلِ ذلكَ كانَ ابنُ عُمَرَ
لا يَسْأَلُ أَحَدًا شيئًا وَلَا يَرُدُّ شيئًا أُعْطِيَهُ ".
Bahwa Rasulullah ﷺ pernah memberikan suatu pemberian kepada Umar bin Al
Khaththab, maka Umar pun berkata: "Wahai Rasulullah, berikanlah kepada
orang yang lebih membutuhkan dariku."
Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda kepadanya: "Ambil dan pergunakanlah untuk
keperluanmu, atau sedekahkan! Apabila kamu diberi orang sesuatu pemberian tanpa
kamu mengharap-harapkan pemberian [mengidam-idamkannya] dan tanpa
meminta-minta, terimalah pemberian itu. Tetapi ingat, sekali-kali jangan
mengharap-harap pemberian dan meminta-minta".
Salim berkata: "Oleh
karena itu, Ibnu Umar tidak pernah meminta apa saja kepada seseorang, dan tidak
pula menolak apa yang diberikan orang kepadanya." [HR. Muslim no. 1045]
Dan Rosulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ
نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ
لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ
الْيَدِ السُّفْلَى
“Sesungguhnya harta ini
hijau lagi manis, barangsiapa yang mengambilnya dengan murah hati (penuh
qona’ah), maka baginya keberkahan di dalamnya.
Dan barangsiapa yang
mengambilnya penuh dengan ketamakan [jiwanya selalu mengharapkannya], maka dia
tidak mendapat keberkahan di dalamnya, seperti orang makan yang tidak pernah
kenyang, dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhori
no. 1379 dan Muslim no. 1717)
Makna "إِشْرَافِ نَفْسٍ": “jiwanya
selalu menanti-nanti pemberian, menampakkannya kepadanya, dan berharap
kepadanya."
ATSAR: Al-Hakim
meriwayatkan dalam kitab "Al-Mustadrak" (6565) dari sahabat yang
mulia, Qais bin 'Ashim Al-Munqari radhiyallahu 'anhu, beliau berkata kepada
anak-anaknya:
"عَلَيْكُمْ بِإِصْلَاحِ الْمَالِ؛ فَإِنَّهُ مَنْبَهَةٌ
لِلْكَرِيمِ، وَيُسْتَغْنَى بِهِ عَنِ اللَّئِيمِ ".
"Hendaklah kalian
memperbaiki harta kekayaan, karena harta itu menjadi peringatan bagi orang
berjiwa mulia dan itu membuatnya merasa cukup dan tidak membutuhkan sesuatu
dari orang yang berjiwa rendah."
ATSAR: Ibnu Abi Ad-Dunya
meriwayatkan dalam kitabnya "Ishlaah Al-Maal" (55) dari Sayyid
Al-Tabi'in, Sa'id bin Al-Musayyib rahimahullah, beliau berkata:
"لَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يُرِيدُ جَمْعَ الْمَالِ مِنْ
حِلِّهِ، يَكْفُفُ بِهِ وَجْهَهُ عَنِ النَّاسِ، وَيَصِلُ بِهِ رَحِمَهُ،
وَيُعْطِي مِنْهُ حَقَّهُ".
"Tidak ada kebaikan
pada orang yang tidak berkeinginan untuk mengumpulkan harta secara halal, yang
dengannya dia menjaga dirinya dari minta-minta dari manusia dan dengannya bisa
menyambungkan silaturahim, serta memberikan hak-haknya."
===
DALIL KE 18: ANCAMAN NERAKA BAGI YANG SUKA NUMPANG DAN TIDAK MAU USAHA:
Dari Iyadl bin Khammar
al-Mujasyi'ii (ra) menyebutkan: Bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ bersabda di dalam khutbah beliau:
أَلَا إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ
مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا:........
قَالَ: وَأَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ
لَهُ الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبَعًا لَا يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا ،
وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ ،
وَرَجُلٌ لَا يُصْبِحُ وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ
وَمَالِكَ ، وَذَكَرَ الْبُخْلَ أَوْ الْكَذِبَ ، وَالشِّنْظِيرُ الْفَحَّاشُ
"Ingatlah!
Sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku untuk mengajarkan kalian semua tentang
sesuatu yang tidak kalian ketahui, yang diajarkan Allah kepadaku seperti pada
hari ini....................................
Allah berfirman: “Dan
penghuni neraka itu ada lima macam:
1]. Seorang lelaki
yang lemah yang tidak menggunakan akalnya [yang bisa dipergunakan untuk menahan
diri dari hal yang tidak pantas].
Mereka itu adalah orang
yang hanya menjadi pengikut di antara kalian [yakni: hidupnya bisanya hanya
numpang dan jadi beban kalian].
Mereka tidak berkeinginan
untuk membangun kehidupan keluarga dan tidak pula mencari harta [untuk
membangun ekinomi].
2]. Pengkhianat yang
memperlihatkan sifat rakusnya, sekalipun dalam hal yang samar.
3]. Seorang lelaki yang
pagi dan petang selalu memperdayamu (melakukan tipu muslihat) dari keluargamu
dan hartamu.
4]. Lalu Allah
menyebutkan sifat bakhil dan sifat dusta.
5]. Dan Orang yang
akhlaknya buruk." (HR. Muslim No. 5109)
Dalam Hadits Abu
Hurairah, disebutkan bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى
النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
" . قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ قَالَ: "الَّذِي لاَ يَجِدُ
غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلاَ يَقُومُ
فَيَسْأَلَ النَّاسَ "
“Bukanlah yang dimaksud
orang miskin itu yang keliling ke orang-orang untuk mendapatkan sesuap dan dua
suap, atau satu biji kurma atau dua biji kurma.”
Para sahabat bertanya:
Jadi apa yang dimaksud dengan orang miskin itu, wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: “Orang
yang tidak pernah merasa cukup, tidak cerdik atau tidak mau berfikir, maka dia
mengharapkan sedekah atau pemberian, dia tidak mau kerja dan berusaha, maka dia
meminta-minta kepada orang-orang.”
(HR. Bukhory No. 1479,
Muslim No. 1039 dan an-Nasaa'i no. 2572)
====
DALIL KE 19: JIKA INGIN PERGI HAJI, MAKA HARUS PUNYA BEKAL!
Jika seorang muslim dan
muslimah berkeinginan melaksanakan ibadah haji, maka ia harus mempersiapkan
biaya perjalanan dan bekal, agar ketika hajian tidak menjadi pengemis dan agar
tidak mengharapkan pemberian manusia dan belas kasihannya.
Allah Swt berfirman:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
“Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa “. (Al-Baqarah: 197)
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dalam "Shahih" nya no. 1523 dari Ibnu Abbas (ra), dia
berkata:
كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحْجُونَ، وَلَا يَتَزَوَّدُونَ،
وَيَقُولُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ، سَأَلُوا
النَّاسَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى}.
“Orang-orang Yaman dulu
pergi menunaikan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak membawa bekal, dan
mereka berkata: Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, lalu ketika mereka
tiba di Makkah, mereka minta-minta kepada manusia “. Maka Allah SWT menurunkan
wahyu:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Ini adalah riwayat yang
paling Shahih berkaitan dengan sebab Turunnya ayat tsb.
Dan Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Muqatil bin Hibban, yang berkata:
“لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: { وَتَزَوَّدُوا } قَامَ رَجُلٌ
مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نَجِدُ زَادًا
نَتَزَوَّدُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: تَزَوَّدُوا مَا تُكْفِيهِ وَجْهَكُمْ
عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ الْتَّقْوَى".
Ketika ayat ini
diturunkan: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”,
maka berdirilah seorang pria dari orang-orang muslim yang fakir, lalu berkata:
“Ya Rasulullah, kami tidak memilika sesuatu yang bisa kami jadikan bekal untuk
kami “.
Rasulullah ﷺ berkata:
"تَزَوَّدْ مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ،
وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ التَّقْوَى".
“Berbekal lah dengan
sesuatu yang bisa menjaga kehormatan wajah mu dari meminta-minta kepada
manusia, dan sebaik-baik bekal adalah takwa”. [HR. Abu Hatim (Tafsir Ibnu
Katsir 1/549) dan ad-Durr al-Mantsuur 1/532)].
Dalam hadits ini
Rosulullah ﷺ tetap mengaharuskan pria tsb bawa bekal.
Sebagian para ulama
berkata:
وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ جَاءَتْ مُطْلَقَةً حَتَّى مِنْ مُطْلَقِ
السَّفَرِ بِحَيْثُ تَشْمَلُ الْمُقِيمَ غَيْرَ الْمُسَافِرِ.
Riwayat ini mutlak
sehingga mencakup semua jenis safar, begitu juga termasuk orang yang tinggal di
rumahnya tidak melakukan safar.
Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya 1/547 berkata: “Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas:
كَانَ أُنَاسٌ يَخْرُجُونَ مِنْ أَهْلِيهِمْ لَيْسَتْ مَعَهُمْ
أزْودة، يَقُولُونَ: نَحُجُّ بَيْتَ اللَّهِ وَلَا يُطْعِمُنَا.. فَقَالَ اللَّهُ:
تَزَوَّدُوا مَا يَكُفُّ وُجُوهَكُمْ عَنِ النَّاسِ
ada orang-orang yang
berangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan:
"Kami akan
melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni
niscaya Allah memberi kami makan).
Maka turunlah ayat ini
yang maknanya " "Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari
meminta-minta kepada orang lain."
Ibnu Abu Hatim
mengatakan:.... dari Ikrimah:
“إِنَّ نَاسًا كَانُوا يَحُجُّونَ بِغَيْرِ زَادٍ، فَأَنْزَلَ
اللَّهُ: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} ".
Bahwa orang-orang ada
yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa. (Al-Baqarah: 197)
Hadis ini diriwayatkan
pula oleh Imam Nasai:.... dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas:
كَانَ نَاس يَحُجُّونَ بِغَيْرِ زَادٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Bahwa ada orang-orang
yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa. (Al-Baqarah: 197) [as-Sunan al-Kubro oleh an-Nasaa'i no. 11033]
Adapun hadis Warqa,
diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah. [SELESAI
PERKATAAN IBNU KATSIR]
Sebagian ulama
mengatakan:
وَظَاهِرُ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَمَا جَاءَ فِي سَبَبِ نَزُولِهَا
يُفِيدُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْآيَةِ، حَثُّ مَنْ عَزِمَ عَلَى سَفَرٍ وَحَجٍّ
أَنْ يَتَزَوَّدَ بِأَسْبَابِ الْحَيَاةِ الْمَادِيَّةِ مِنْ طَعَامٍ وَشَرَابٍ
وَكِسَاءٍ وَنَحْوِهَا مِنَ الضُّرُورَاتِ الَّتِي لَا تَسْتَقِيمُ حَيَاةُ
النَّاسِ إِلَّا بِهَا، وَهَذَا حَقٌّ لَا رَيْبَ فِيهِ، وَالْآيَةُ دَالَّةٌ
عَلَيْهِ بِظَاهِرِهَا.
Makna yang tampak dari
ayat yang mulia ini, dan apa yang disebutkan dalam Asbabun Nuzuul ayat tersebut
menunjukkan bahwa makna ayat tersebut adalah untuk menghimbau orang yang hendak
bepergian / safar dan berangkat haji agar menyiapkan bekal dengan segala macam
kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan sejenisnya dari
kebutuhan-kebutuhan darurat yang mereka akan tidak bisa bertahan hidup tanpa
itu semua.
Ini adalah sebuah
kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi, dan dzohir ayat tsb sangat jelas
menunjukkan hal itu.
SOLUSI LAIN bagi yang
tidak punya bekal haji, yaitu:Berhaji sambil usaha:
Allah SWT berfirman:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
فَإِذَا أَفَضْتُمْ م ِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإ ِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ
الضَّالِّينَ (198) }
Tidak ada dosa bagi
kalian mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian [di waktu
hajian]. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah
kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat ". [QS.
Al-Baqarah: 198]
Imam Bukhari meriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, berkata:
كَانَت عُكاظُ وَمِجَنَّةُ ، وَذو المجَازِ أَسْواقاً في
الجَاهِلِيَّةِ ، فَتَأَثَّمُوا أن يَتَّجرُوا في الموَاسِمِ ، فَنَزَلتْ: {
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أن تَبْتَغُوا فَضلاً مِن رَبِّكُم } [البقرة: 198]في
مَوَاسِم الحَجِّ.
‘”Ukadz, Mijannah dan
Zulmajaz adalah merupakan pasar-pasar di zaman Jahiliyah, namun orang-orang
[pada masa Jahiliyah] merasa berdosa jika berdagang pada musim-musim haji,
kemudian turunlah ayat - yang artinya-:
“Tidak ada
dosanya atas kalian jika kalian mencari anugerah rezeki dari Tuhan kalian,”
-yakni berdagang dalam musim-musim haji-. (HR. Imam Bukhari no. 2050)
===
DALIL KE 20: BAGI HENDAK PERGI BERJIHAD HARUS SIAP KENDARAAN PERENGAN DAN BEKAL
Seorang muslim yang
hendak ikut pergi berjihad di jalan Allah, maka ia harus menyiapkan untuk
dirinya bekal dan kendaraan perang. Jika dia tidak mampu menyiapkan semua itu,
maka dia tidak berhak untuk ikut serta dalam berjihad, meski dia merengek,
bahkan menangis bercucuran air mata. Kecuali jika ada pihak lain yang siap
memfasilitasinya dan mendanainya.
Allah SWT berfirman:
وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا
أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ
الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (92)
“Dan tiada
(pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu,
supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawa kalian, " niscaya mereka kembali,
sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah: 92)
Ayat ini menunjukkan
bahwa jihad itu bukan hanya dengan fisik saja, melainkan dengan harta, senjata
dan armada kendaraan perang.
Dan Islam melarang para
lelaki muslim untuk ikut serta dalam jihad fii sabiliilah meski mereka merengek
dan menangis, meski mereka memiliki fisik yang kuat selama mereka tidak
memiliki bekal, senjata dan kendaraan perang. Kecuali ada pihak lain yang
menyiapkan semua itu seperti penguasa atau lainnya.
Dan ini semua menunjukkan
bahwa dunia dan akhirat itu bisa sejalan.
Sementara harta dunia
yang halal tidak bisa didapatkan kecuali dengan kerja dan usaha.
TAFSIR IBNU KATSIR:
Al-Aufi telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini:
وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم أمرَ
النَّاسَ أَنْ يَنْبَعِثُوا غَازِينَ مَعَهُ، فَجَاءَتْهُ عِصَابَةٌ مِنْ
أَصْحَابِهِ، فِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُغَفَّل الْمُزَنِيُّ (3) فَقَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِلْنَا. فَقَالَ لَهُمْ: "وَاللَّهِ لَا أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ". فَتَوَلَّوْا وَلَهُمْ بُكَاءٌ، وعزَّ عَلَيْهِمْ
أَنْ يَجْلِسُوا عَنِ الْجِهَادِ، وَلَا يَجِدُونَ نَفَقَةً وَلَا مَحْمَلًا.
فَلَمَّا رَأَى اللَّهُ حرْصَهم عَلَى مَحَبَّتِهِ وَمَحَبَّةِ رَسُولِهِ أَنْزَلَ
عُذْرَهُمْ فِي كِتَابِهِ، فَقَالَ: {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى
وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} إِلَى قَوْلِهِ
تَعَالَى: {فَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ}
Bahwa demikian itu
terjadi ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada
orang-orang untuk berangkat berperang bersamanya. Lalu datanglah segolongan
orang dari kalangan sahabat, antara lain Abdullah ibnu Mugaffal ibnu Muqarrin
Al-Muzani.
Mereka berkata: ''Wahai
Rasulullah, bawalah kami serta."
Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: "Demi Allah, aku tidak
menemukan kendaraan untuk membawa kalian."
Maka mereka pulang seraya
MENANGIS. Mereka menyesal karena hanya bisa duduk, tidak dapat ikut berjihad
karena mereka tidak mempunyai biaya, tidak pula kendaraan untuk itu. Ketika
Allah melihat kesungguhan mereka dalam cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka Allah menurunkan ayat yang menerima uzur (alasan mereka), yaitu
firman-Nya:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى
الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ
وَرَسُوْلِهٖۗ
Tidak ada dosa (karena
tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (At-Taubah: 91)
Sampai pada
firman-Nya:
اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَسْتَأْذِنُوْنَكَ وَهُمْ
اَغْنِيَاۤءُۚ رَضُوْا بِاَنْ يَّكُوْنُوْا مَعَ الْخَوَالِفِۙ وَطَبَعَ اللّٰهُ
عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ ۔
“Sesungguhnya alasan
(untuk menyalahkan) itu, hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu
(untuk tidak ikut berperang), padahal mereka orang kaya. Mereka rela berada
bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci hati
mereka, sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka). “.
(At-Taubah: 93)
Muhammad ibnu Ka'b
mengatakan:
Bahwa jumlah mereka ialah
tujuh orang, dari Bani Amr ibnu Auf adalah Salim ibnu Auf, dari Bani Waqif
adalah Harami ibnu Amr, dari Bani Mazin ibnun Najjar adalah Abdur Rahman ibnu
Ka'b yang dijuluki Abu Laila, dari Banil Ma'la adalah Fadlullah, dan dari Bani
Salamah adalah Amr Ibnu Atabah dan Abdullah ibnu Amr Al Muzani.
Muhammad ibnu Ishaq dalam
konteks riwayat mengenai Perang Tabuk mengatakan:
Bahwa ada segolongan kaum
lelaki datang menghadap Rasulullah ﷺ. seraya MENANGIS, mereka ada tujuh orang yang terdiri atas
kalangan Ansar dan lain-lainnya. [Tafsir Ibnu Katsir 4/199].
====
DALIL KE 21: JIKA INGIN MENIKAH, MAKA HARUS SIAP MAHAR DAN NAFKAH
Seorang muslim jika dia
berkehendak menikahi seorang wanita, maka dia harus mampu mempersiapkan mahar
dan nafkah hidup berumah tangga. Jika dia belum mampu, maka hendaknya menikahi
budak wanita miliknya. Dan jika tidak punya budak wanita, maka berpuasa lah
terus menerus hingga bisa menetralkan syahwatnya.
Allah SWT berfirman:
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ
ٱلْمُؤْمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ
ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۚ
Dan barangsiapa di antara
kalian tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman,
maka (dianjurkan menikahi budak perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang
kalian milik [QS. An-Nisaa: 25].
Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya 2/260 berkata:
“يَقُولُ تَعَالَى وَمَنْ لَمْ يَجِدْ {طَوْلا} أَيْ: سَعَةً
وَقُدْرَةً {أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ} أَيِ الْحَرَائِرَ
".
"Allah berfirman,
'Dan barangsiapa yang tidak memiliki (thaul), maksudnya: kelapangan rizki dan
kemampuan finansial (untuk menikahi wanita mu'minah yang muhshonah), yakni
wanita merdeka."
SOLUSI LAIN:
Bagi seorang pria muslim
yang tidak memiliki finansial untuk menikah dan tidak memiliki budak wanita
miliknya ; maka solusinya adalah dengan berpuasa, dan terus berpuasa hingga
syahwatnya menjadi reda dan dingin.
Dari Abdullah bin Mas'ud
(ra) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
"Wahai para pemuda,
siapa di antara kalian yang telah mampu [secara finansial], maka hendaklah ia
menikah, dan siapa yang belum mampu finansial, maka hendaklah ia berpuasa,
karena sesungguhnya puasa itu menjadi benteng baginya.”
[HR. Bukhori no.
5065 dan Muslim (1400)]
MAHAR NIKAH YANG SESUAI SUNNAH NABI ﷺ:
Ada sebuah hadits: Dari
Abu Salamah Ibnu Abdurrahman (ra) berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَمْ
كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ: كَانَ صَدَاقُهُ
لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ: أَتَدْرِي مَا
اَلنَّشُّ? قَالَ: قُلْتُ: لَا قَالَتْ: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ
دِرْهَمٍ, فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِأَزْوَاجِهِ
Aku bertanya kepada
'Aisyah (r.a): Berapakah maskawin Rasulullah ﷺ?
Aisyah (r.a) berkata:
Maskawin beliau kepada istrinya ialah dua belas uqiyyah dan nasy [Rp.
158.737.500.]
A'isyah (r.a) bertanya:
Tahukah engkau apa itu nasy? Ia berkata: Aku menjawab: Tidak.
'Aisyah (r.a) berkata:
“Setengah uqiyyah, jadi semuanya lima ratus dirham. Inilah maskawin Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada para istrinya. [HR. Muslim no. 1426].
Penjelasan nya:
فيكون مجموع مهر نساء النبي صلى الله عليه وسلم البالغ (500)
درهم ما يعادل أربعين دينارا ونصف (41,6) تقريباً، وهو يساوي - من الجرامات
-: (176,375) جراماً.
Jadi total mahar
masing-masing istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berjumlah
(500) dirham sama dengan sekitar empat puluh satu setengah (41,6) dinar, yang
jika di gram kan setara dengan (176.375) gram emas.
Penulis katakan:
Maka jika sekarang harga
emas murni 24 karat Rp. 900.000, berarti mahar yang Nabi ﷺ berikan pada para istrinya adalah: 176,375 gram x Rp.
900.000 = Rp. 158.737.500.
----
MAHAR UMAR (R.A) KETIKA MENIKAHI UMMU KULTSUM:
Syaakir an-Naabulsi dalam
المال والهلال [الموانع
والدوافع الاقتصادية لظهور الإسلام] berkata:
عُمَرُ بْنُ الْخَطَابِ:... أَنَّهُ دَفَعَ مَهْرَ زَوْجَتِهِ أُمُّ
كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيٍّ بِنِ أَبِي طَالِ عَشَرَةِ آلافِ دِينَارٍ ذَهَبِيٍّ،
كَمَا يَقُولُ الْمُؤَرِّخُ الْيَعْقُوبِيُّ فِي تَارِيخِهِ.
وَمِنَ الْمُؤَرِّخِينَ - كَابِنُ قَدَّامَةَ - مَنْ يَقُولُ:
بِأَنَّ عُمَرَ قَدْ دَفَعَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ دِينَارٍ فِي هَذَا الْمَهْرِ.
كَذَلِكَ: فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ تَزَوَّجَ تِسْعَ نِسَاءٍ،
بَعْضُهُنَّ مِنْ فُروعٍ عَالِيَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، مَثَلَ فَكْهِيَّةَ مِنْ آلِ
الْمُغِيرَةِ.
كَمَا أَوَصَى عُمَرُ لِأُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ بِأَرْبَعَةِ آلافِ
دِينَارٍ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ".
Umar Ibn Al-Khattab:...
bahwa ia membayar mahar istrinya Umm Kultsum binti Ali bin Abi Talib sepuluh
ribu dinar emas, seperti yang dikatakan sejarawan Al-Ya'qubi dalam kitab
Taarikhnya 2/150.
[NOTE: 1000 Dinar
= Rp. 3.825.000.000. Ini jika harga pergram emas murni 24
karat 900 ribu rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].
Di antara para sejarawan
- seperti Ibn Qudamah - mengatakan bahwa Umar membayar empat puluh ribu dinar
dalam mas kawin ini.
Juga: Umar menikahi
sembilan wanita, beberapa di antaranya berasal dari keturunan bangsawan
petinggi Quraisy, seperti Fakhiah dari keluarga Al-Mughirah.
Umar RA juga menulis
wasiat untuk para ummul walad [para budak wanita yang beliau gauli lalu
melahirkan anak untuk beliau], 4000 dinar (15 milyar 300 juta rupiah) untuk
masing-masing dari mereka".
Referensi:
Ke 1: الخراج والنظم المالية
للدولة الإسلامية Karya DR. Muhammad Dhiyauddin ar-Rais hal. 360-361.
Ke 2: معيار عمر بن الخطاب في
سعر صرف الدينار بالدرهم karya DR. Nuri Abdussalam Baryuun.
Ke 3. شذور العقود Karya
al-Muqraizi hal. 19.
----
TIDAK ADA BATASAN MAKSIMAL MAHAR DALAM NIKAH
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ
إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً
وَإِثْماً مُبِيناً (20)
“Dan jika kalian ingin
mengganti isteri kalian dengan isteri yang lain, sedang kalian telah memberikan
kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka
janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang
itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?". [QS. An-Nisaa: 20]
Ibnu Katsir berkata:
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْإِصْدَاقِ
بِالْمَالِ الْجَزِيلِ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَهَى عَنْ كَثْرَةِ
الْإِصْدَاقِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ
Di dalam ayat ini
terkandung dalil yang menunjukkan bolehnya memberikan maskawin dalam jumlah
yang sangat banyak. Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang
mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut
kembali larangannya itu. [Tafsir Ibnu Katsir 2/243].
Dari Abul Ajfa As-Sulami
bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah berkata:
أَلَا لَا تُغْلُوا فِي صَداق النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَا نَتْ
مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أصْدَقَ رسولُ اللَّهِ صَلّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصدِقَت امْرَأَةٌ
مِنْ بَنَاتِه ِ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّة، وَإِنْ كَانَ
الرَّجُلُ ليُبْتَلَى بصَدُقَةِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَكُونَ لَهَا عَدَاوَةٌ فِي
نَفْسِهِ، وَحَتَّى يَقُولَ: كَلِفْتُ إِلَي ْكِ عَلَق القِرْبة
"Ingatlah, janganlah
kalian [wahai para lelaki] berlebihan dalam memberi mahar kepada para wanita,
seandainya hal itu adalah sebuah kemuliaan di dunia atau sebagai bentuk
ketakwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling dahulu melakukannya adalah
Nabi ﷺ, tidaklah Rasulullah ﷺ memberikan mahar kepada salah seorang dari
isteri-isteri beliau, dan tidak juga diberikan kepada puteri-puteri beliau
jumlah mahar yang melebihi dua belas uqiyah".
[Riwayat ini
disebutkan dalam Abu Dawud (2106) dengan redaksi yang sama, dan juga dalam
Tirmidzi (1114), An-Nasai (3349), Ibnu Majah (1887), dan Ahmad (340)].
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih Ibnu Majah.
Jalur yang lain dari Umar bin Khaththab (ra):
Al-Hafidz
Abu Ya'la meriwayatkan dengan sanadnya dari Masruq yang mengatakan bahwa
Khalifah Umar ibnu Khattab menaiki mimbar Rasulullah ﷺ, kemudian berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق النِّسَاءِ وَقَدْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه وإنما الصدقات
فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُون َ ذَلِكَ. وَلَوْ
كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهمْ
إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى
أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ
قُرَيْشٍ فَقَالَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ
يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَع ِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ:
نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي
الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ
يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا } [النساء: 20] قال: فقال:
اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ رَجَعَ
فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا
النِّساءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ
يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.
"Hai manusia,
mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita,
padahal dahulu Rasulullah ﷺ.dan para
sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus
dirham atau kurang dari itu.Seandainya memperbanyak maskawin merupakan
ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat
menyembunyikan mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan
mempermaklumatkan, perlombaan seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada
seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham."
Masruq melanjutkan
kisahnya:
“Bahwa setelah itu
Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan
Quraisy mencegatnya dan mengatakannya:
"Wahai Amirul
Mu'minin, kenapa melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam
maskawin mereka?"
Khalifah Umar menjawab:
"Ya."
Wanita itu berkata:
“Tidakkah Anda mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam
Al-Qur'an?"
Khalifah Umar bertanya,
"Ayat manakah yang Anda maksudkan?"
Wanita itu menjawab,
“Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman:
{ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ
شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)}
“Dan kalian telah
memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah,
maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang
itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?". [QS. An-Nisaa: 20]
Maka Khalifah Umar
berkata: "Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada
Umar."
Kemudian Khalifah Umar
kembali menaiki mimbar, dan berkata:
“إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّسَاءَ فِي
صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ
مَالِهِ مَا أَحَبَّ".
“Hai manusia
sekalian. sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus
dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin
memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, dia boleh
melakukannya."
Abu Ya'la mengatakan:
"Aku mengira, Umar (ra) mengatakan:
"فَمَنْ طَابَتْ نَفْسُهُ فَلْيَفْعَلْ".
'Barang siapa yang suka
rela (memberi mahar dalam jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), maka
silahkan melakukannya'."
Ibnu Katsir berkata:
إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ
"Sanad atsar ini
dinilai jayyid (baik) lagi kuat". [Tafsir Ibnu Katsir 2/244].
Atsar ini terdapat dalam
"Abi Ya'la Al-Kabir" seperti yang disebutkan oleh Al-Haitsami dalam
"Majma' Az-Zawaid" (4/284) dan Al-'Ajluuni dalam "Kashf
Al-Khafa" (2/154). Akan tetapi, hadis ini tidak terdapat dalam kitab
"Musnad" yang diterbitkan.
Namun atsar ini diriwayatkan pula oleh Sa'id bin Mansur
dalam kitab Sunan dengan nomor (598) "Al-Azhimiy", dan juga
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan Al-Kubra (7/233).
Lihat:
Irwa'ul Ghaliil (6/348) oleh Syaikh Nashir Al-Albani, dia telah menjelaskan
kelemahan riwayat ini dan perbedaannya dengan apa yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis.
Ibnul Mundzir
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Abdur Rahman As-Sulami bahwa Khalifah
Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan:
“لَا تُغَالُوا فِي مُهُورِ النِّسَاءِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ:
لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ يَا عُمَرُ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: "وَآَتيْتُم
ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ". قَالَ: وَكَذَلِكَ هِيَ فِي
قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: "فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا" فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ امْرَأَةً خَاصَمَتْ
عُمَرَ فَخَصَمَ تْهُ ".
"Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam membayar maskawin wanita."
Lalu ada seorang wanita
berkata: “Tidaklah demikian, hai Umar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah
berfirman:
"وَآَتيْتُم ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ".
'Sedangkan kalian telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka berupa harta yang melimpah dari
emas ' (An-Nisa: 20).”
Yang dimaksud
dengan qintaryaitu emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami
berkata: "Demikian pula menurut qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yakni
seqintar emas.
"فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا"
“Maka janganlah kalian
mengambil kembali barang sedikit pun darinya."
Kemudian Khalifah Umar
berkata: “Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata wanita itu
dapat mengalahkannya.”
[Diriwayatkan oleh Abdul
Razzaq dalam kitab "Al-Musannaf" dengan nomor (10420) melalui jalur
Qais bin Rabi'ah.
Sheikh Nasser Al-Albani
dalam "Irwa' Al-Ghalil" (1/348) menyatakan: "Sanadnya lemah
dengan dua kelemahan:
Pertama, ada putusnya
jalur sanad, karena Abu Abdul Rahman As-Sulami, yang nama aslinya adalah Abdullah
bin Habib bin Rabi'ah, tidak pernah mendengar dari Umar seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Ma'in.
Kedua, Qais bin Rabi'ah
memiliki kelemahan dalam menghafal hadis."
-----
MAHAR FANTASTIS BAGI UMMU KULTSUM MANTAN ISTRI UMAR (RA)
Adz-Dzahabi dlam Siyar
al-A'laam an-Nubalaa 3/446-447 menyebutkan:
ابن سعد: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن مُحَمَّدٍ، عَنْ يَزِيدَ بنِ
عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ أَبِي بَكْرٍ بنِ حَزَمٍ، قَالَ: خَطَبَ سَعِيدُ
بنُ الْعَاصِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عَلِيٍّ بَعْدَ عُمَرَ، وَبَعَثَ إِلَيْهَا
بِمِائَةِ أَلْفٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَخُوهَا الْحُسَيْنُ، وَقَالَ: لَا
تَزَوَّجِيهِ. فَقَالَ الْحَسَنُ: أَنَا أَزَوَّجُهُ. وَاتَّعَدُّوا لِذَلِكَ،
فَحَضَرُوا.
فَقَالَ سَعِيدٌ: وَأَيْنَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ:
سَأَكْفِيكَ. قَالَ: فَلَعَلَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ كَرِهَ هَذَا. قَالَ: نَعَمْ.
قَالَ: لَا أَدْخُلُ فِي شَيْءٍ يَكْرَهُهُ. وَرَجَعَ، وَلَمْ يَأْخُذْ مِنَ
الْمَالِ شَيْئًا.
قَالَ سَعِيدُ بنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الدِّمَشْقِيُّ: إِنَّ
عَرَبِيَّةَ الْقُرْآنِ أُقِيمَتْ عَلَى لِسَانِ سَعِيدِ بنِ الْعَاصِ، لِأَنَّهُ
كَانَ أَشْبَهَهُمْ لَهْجَةً بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.
Ibnu Sa'ad berkata: telah
menceritkan kepada kami Ali bin Muhammad, dari Yazid bin 'Iyaadh, dari Abdullah
bin Abi Bakr bin Hazm, yang berkata:
Sa'id bin Al-'Aash, melamar Umm Kultsum,
putri Ali, setelah Umar wafat. Dan dia mengirimnya uang seratus ribu [100 ribu
dirham = Rp. 31.875.000.000], hingga saudaranya al-Husain masuk padanya dan
berkata: “Jangan menikah dengannya".
Al-Hasan berkata: “Aku
yang akan menikahkan mu dengannya".
Dan mereka telah
bersiap-siap untuk itu, lalu mereka pun datang.
Sa'iid bertanya:
"Dimana Abu Abdullah? " [Yakni al-Husein].
Al-Hassan berkata: “Aku
akan mencukupimu ".
Dia berkata: “Mungkin Abu
Abdullah membenci pernikahan ini ".
Al-Hasan berkata: Ya.
Sa'id berkata: “Saya
tidak mau masuk dalam sesuatu yang dia benci".
Lalu Sa'iid pulang, dan
dia tinggalkan uang tsb tidak mengambil nya kembali sepeser pun ".
[Note: Pada masa Nabi ﷺ 12 Dirham setara dengan 1 dinar. Dan Satu dinar pada masa
itu setara dengan 4,25 gram emas murni.
Jadi uang 100 ribu dirham
Said diatas, setara dengan 8.334 dinar. Jika dirupiahkan: 8.334 dinar x 4,25
gram x Rp. 900.000 = Rp. 31.875.000.000. PEN]
SIAPA ITU SAID BIN AL-'AASH?
Said bin Abdul Aziz
Al-Dimashqi berkata:
Bahasa Arab Al-Qur'an
telah ditegakkan kembali pada lidah Sa'iid bin Al-Aash, karena dia
itu yang paling mirip dengan dialek Rasulullah ﷺ..
====
DALIL KE 22: AMPUNAN DARI ALLAH BAGI YANG SUKA MEMAAFKAN HUTANG ORANG LAIN
Dari Abu Hurairah dari
Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
“إِنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ وَكَانَ يُدَايِنُ
النَّاسَ، فَيَقُولُ لِرَسُولِهِ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ، وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ،
وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَلَمَّا هَلَكَ. قَالَ لَهُ
اللَّه - عز وجل -: هَلْ عَمِلْتَ خَيْرًا قَطُّ؟، قَالَ: لَا، إِلَّا أَنَّهُ
كَانَ لِي غُلَامٌ وَكُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا بَعَثْتُهُ لِيَتَقَاضَى،
قُلْتُ لَهُ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ
اللَّهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا. قَالَ اللَّه تَعَالَى: قَدْ تَجَاوَزْتُ عَنْكَ
".
"Sesungguhnya
terdapat seorang laki-laki yang belum pernah berbuat kebaikan sama sekali, dan
dia biasa memberikan hutang kepada orang-orang. Kemudian dia berkata kepada
utusannya (penagih hutang) ;
“Ambillah apa
yang mudah (orang yang mudah membayarnya) dan tinggalkan apa yang sulit dan
maafkan semoga Allah ta'ala mengampuni kita!!!."
Kemudian tatkala dia
meninggal, Allah 'azza wajalla berfirman kepadanya: "Apakah engkau pernah
mengerjakan kebaikan?"
Dia berkata; "Tidak,
hanya saja saya memiliki seorang pembantu dan saya biasa memberikan hutang
kepada orang-orang kemudian apabila saya mengutusnya untuk menagih hutang, saya
katakan kepadanya; 'Ambillah apa yang mudah dan tinggalkan apa yang sulit dan
maafkan, semoga Allah memaafkan kita."
Allah ta'ala berfirman:
sungguh Aku telah memaafkanmu."
(HR. Bukhori No. 2078,
Muslim No. 1562 dan Nasaa’i No. 4694
-----
DALIL KE 23: PARA SAHABAT NABI ﷺ
BERBISNIS DAN MEREKA BENCI PENGANGGURAN
Dan As-Sarkhosi berkata dalam al-Mabsuuth dan Syarah al-Kasab:
"ودعواهم أَن الْكِبَار من الصَّحَابَة رضوَان الله عَلَيْهِم
كَانُوا لَا يكتسبون دَعْوَى بَاطِل.
فقد رُوِيَ أَن أَبَا بكر الصّديق رَضِي الله عَنهُ كَانَ بزازا
وَعمر رَضِي الله عَنهُ كَانَ يعْمل الْأدم وَعُثْمَان رَضِي الله عَنهُ كَانَ
تَاجِرًا يجلب إِلَيْهِ الطَّعَام فيبيعه وَعلي رَضِي الله عَنهُ كَانَ يكْتَسب
على مَا رُوِيَ أَنه أجر نَفسه غير مرّة حَتَّى آجر نَفسه من يَهُودِيّ فِي حَدِيث
فِيهِ طول".
Dan dakwaan dan klaiman
mereka bahwa para sahabat senior (ra) tidak bekerja mencari nafkah adalah
dakwaan palsu dan bathil.
Telah diriwayatkan bahwa
Abu Bakar Ash-Shiddiq (ra) bekerja sebagai saudagar pakaian dan kain, Umar (ra)
memproduksi penyamakan kulit hewan, Utsman, (ra) menjadi seorang pengimport
sembako dan menjualnya, dan Ali, (ra) mendapatkan penghasilan dengan cara
menjadi buruh kuli pada seorang Yahudi sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis
yang panjang. [Baca: “المبسوط”
30/248 dan Syarah al-Kasab hal. 41]
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
“كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ…
".
Para Sahabat Rasulullah ﷺ adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri…. (HR. Imam
al-Bukhari No. 2071).
Para sahabat tidak
menyukai dan membenci para pengangguran yang hidupnya banyak dihabiskan untuk
duduk-duduk di rumah, menjadi beban orang lain.
Sebagaimana yang
dikatakan seorang sahabat Thalhah bin Ubaidillah (ra) berkata:
إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَجْلِسَ فِي دَارِهِ.
Aib [perbuatan tercela]
yang paling terendah bagi seseorang adalah dia hanya duduk-duduk di rumahnya.
[Di riwayatkan
oleh Muhammad bin Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra 3/166 cet. Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah dengan sanadnya: Telah memberi tahu kami Yazid bin Harun, dia
berkata: Telah memberi tahu kami Ismail dari Qais, dia berkata...]
-----
PERKATAAN UMAR BIN AL-KHOTHTHOB:
Tentang orang yang sibuk dengan ibadah tapi tidak mau berusaha mencari rizki
dengan alasan cukup bertwakkal:
Al-Imam As-Sarkhosi [w.
490 H] berkata dalam al-Mabsuuth dan Syarah al-Kasab:
وَرُوِيَ أنَّ عُمَرَ مَرَّ بِقَومٍ مِنَ القُرَّاءِ فَرَآهُمْ
جُلُوسًا قَدْ نَكَسُوا رُؤُوسَهُمْ، فَقَالَ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هُمُ
المُتَوَكِّلُونَ، فَقَالَ: كَلاَّ، وَلَكِنَّهُمُ المُتَأكِّلُونَ، يَأكُلُونَ
أموَالَ النَّاسِ. ألا أُنَبِّئكُمْ مَنِ المُتَوَكِّلُونَ؟ فَقِيلَ: نَعَمْ.
فَقَالَ: هُوَ الَّذِي يُلقِي الحَبَّ فِي الأرْضِ، ثُمَّ يَتَوَكَّلُ عَلَى
رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى عَنْهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ
ارْفَعُوا رُءُوسَكُمْ وَاكْتَسِبُوا لِأَنْفُسِكُمْ
Diriwayatkan bahwa Umar
melewati beberapa Qori (para guru dan pembaca al-Quran) dan melihat mereka
duduk dan menundukkan kepala, Lalu beliau berkata: Siapa mereka ini?
Dijawab: Mereka adalah
orang-orang yang ahli tawakkal.
Maka beliau berkata:
Tidak, tetapi mereka pemakan harta para manusia. Mau kah saya memberi tahu
kepada kalian tentang siapakah para ahli tawakkal itu?
Dijawab: Ya. Beliau
berkata: “Dialah yang menaburkan benih di ladang, kemudian dia bertawakkal
kepada Rabbnya, Azza wa Jalla “.
Dalam riwayat lain beliau
mengatakan: “Wahai para Qori, angkat kepala kalian dan cari lah mata
pencaharian untuk diri kalian “.
[Di sebutkan oleh
As-Sarkhosy dlm “المبسوط (30/248) dan Syarah al-Kasab hal. 41]
---
BAHKAN SEBAGIAN PARA ISTRI SAHABAT
ADA YANG IKUT KERJA BANTU SUAMI
Contohnya: Asma binti Abu
Bakar ash-Shiddiq, istri Az-Zubair bin al-'Awaam radhiyallahu 'anhum:
Dari Asma’ binti Abu
Bakr radliallahu ‘anhuma berkata:
تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ وَمَا لَهُ فِي الْأَرْضِ مِنْ مَالٍ وَلَا
مَمْلُوكٍ وَلَا شَيْءٍ غَيْرَ نَاضِحٍ وَغَيْرَ فَرَسِهِ فَكُنْتُ أَعْلِفُ
فَرَسَهُ وَأَسْتَقِي الْمَاءَ وَأَخْرِزُ غَرْبَهُ وَأَعْجِنُ وَلَمْ أَكُنْ
أُحْسِنُ أَخْبِزُ وَكَانَ يَخْبِزُ جَارَاتٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ وَكُنَّ
نِسْوَةَ صِدْقٍ.
وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي
أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ
فَرْسَخٍ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ
لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ
الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ فَعَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
أَنِّي قَدْ اسْتَحْيَيْتُ فَمَضَى.
فَجِئْتُ الزُّبَيْرَ فَقُلْتُ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَعَلَى
رَأْسِي النَّوَى وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَأَنَاخَ لِأَرْكَبَ
فَاسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ وَعَرَفْتُ غَيْرَتَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَحَمْلُكِ النَّوَى
كَانَ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ رُكُوبِكِ مَعَهُ قَالَتْ حَتَّى أَرْسَلَ إِلَيَّ
أَبُو بَكْرٍ بَعْدَ ذَلِكَ بِخَادِمٍ تَكْفِينِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ
فَكَأَنَّمَا أَعْتَقَنِي
Az Zubair bin Awwam
menikahiku. Saat itu, ia tidak memiliki harta dan tidak juga memiliki budak
serta tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka
akulah yang memberi makan dan minum kudanya, menjahit timbanya serta membuatkan
adonan roti. Padahal aku bukanlah seorang yang pandai membuat roti. Karena itu,
para tetanggaku dari kaum Anshar-lah yang membuatkan roti.
“Aku biasa
membawa benih biji kurma di atas kepalaku dari kebun milik Az-Zubair yang
diberi oleh Rasulullah ﷺ. Kebun itu
jaraknya dari (rumah) ku dua pertiga farsakh [3,219 KM]
”.
Suatu hari aku berjalan
sementara biji kurma ada di atas kepalaku. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah ﷺ yang sedang bersama beberapa orang dari
kaum Anshar.
Beliau kemudian
memanggilku dan berkata: ‘Ikh, ikh” (menderumkan ontanya) – agar aku naik
ke atas unta beliau dan memboncengkanku di belakangnya. Namun aku malu berjalan
bersama para lelaki dan aku ingat akan kecemburuan Az-Zubair, karena ia seorang
laki-laki yang paling pencemburu.
Maka Rasulullah ﷺ pun tahu bahwa aku malu, hingga beliau pun
berlalu.
Setelah itu, aku pun
menemui Az Zubair dan aku berkata: "Rasulullah ﷺ berjumpa denganku sementara di atas kepalaku ada biji kurma.
Sedangkan beliau sedang bersama beberapa orang dari kalangan Anshar, lalu
beliau mempersilahkan agar aku naik kendaraan, namun aku malu dan aku juga tahu
akan kecemburuanmu."
Maka Az Zubair pun
berkata: "Demi Allah, kamu membawa biji kurma itu adalah lebih memberatkan
hatiku daripada engkau naik kendaraan bersama beliau."
Akhirnya Abu Bakar pun
mengutuskan seorang khadim [pembantu pria] yang dapat mencukupi pekerjaanku
untuk mengurusi kuda. Dan seolah-olah ia telah membebaskanku.
[HR.
Bukhori no. 5224 dan Muslim no. 2182]
1 Farsakh = 4.828 Kilo
Meter.
Setelah itu Zubair bin
Awaam juga biasa berbisnis seperti Elaf Quraisy, di antaranya ke Syam
[perbatasan Eropa] sebagaimana yang diisyarakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
al-Fath 9/323, dia berkata:
“وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي حَدِيثِ الْهِجْرَةِ أَنَّ الزُّبَيْرَ لَاقَى
النَّبِيَّ ﷺ وَأَبَا بَكْرٍ رَاجِعًا مِنَ الشَّامِ بِتِجَارَةٍ وَأَنَّهُ
كَسَاهُمَا ثِيَابًا قَوْلُهُ وَلَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ فَكَانَ يَخْبِزُ
جَارَاتٌ لِي فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَكَانَ يَخْبِزُ لِي ".
“Dan sebelumnya
disebutkan dalam hadis al-Hijrah bahwa Zubair bertemu dengan Nabi ﷺ dan Abu Bakar ketika dia [Zubair] pulang
kembali dari Syam setelah melakukan perdagangan, dan dia memberi mereka berdua
oleh-oleh pakaian".
===
DALIL KE 24: HARTA TERMASUK 5 DARURAT YANG HARUS DI JAGA.
Dari Jabir (ra), ia
berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
"أُمِرتُ أن أقاتلَ النَّاسَ حتَّى يقولوا لا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ فإذا قالوها عصموا منِّي دماءَهم وأموالَهم إلَّا بحقِّها وحسابُهم على
اللَّهِ ثمَّ قرأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ".
"Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah, apabila
mereka mengucapkannya maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka
dariku, kecuali karena ada alas an yang dibenarkan, dan perhitungannya atas
Allah." Kemudian beliau membaca ayat: Berilah peringatan, karena
sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang
yang berkuasa atas mereka. (QS. Al-ghasyiyah 21-22). [HR. Tirmidzi no. 3341]
Abu Isa berkata: “Hadits
ini adalah hadits hasan". Sementara syeikh al-Albaani berkata:
"Shahih Mutawaatir".
Dan dalam Shahih Bukhori
no. 4406 dan Mulim no. 1679, Nabi ﷺ bersabda dalam khotbah Haji Wada':
((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ
حَرَامٌ))
"Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram (wajib dijaga kehormatannya)
atas kalian".
****
Untuk menjaga harta,
Syariat Islam telah menetapkan hal-hal sebagai berikut:
PERTAMA: GELAR SYAHID BAGI YANG TERBUNUH DALAM MELINDUNGI HARTANYA:
Dari Sa'id bin Zaid (ra)
bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ
دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَ مَنْ
قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ.
"Barang siapa yang
terbunuh karena mempertahankan hartanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur
karena mempertahankan darahnya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena
mempertahankan agamanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena membela
keluarganya, ia syahid.”
[HR.
Ath-Thoyalisy no. 230, At-Tirmidzi (1421), Abu Dawud (4772), Ahmad (1652),
At-Tirmidzi (1421), dan An-Nasai (4105, 4106). Abu Isa Tirmidzy berkata: “Hasan
Shahih".
Di shahihkan oleh Syu'aib
al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad 1/191 dan al-Albaani dlam Shahih Tirmidzi
no. 1421]
KEDUA: HUKUM POTONG TANGAN BAGI PENCURI:
Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Adapun orang laki-laki
maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas
perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana. [QS. al-Maidah: 38].
KETIGA: LARANGAN TABDZIR dan MURKA ALLAH SWT BAGI PENTABDZIR:
Islam telah memerintahkan
kepada umat-nya agar pandai mengatur keuangan dan agar tidak
menghambur-hamburkan harta. Termasuk dalam berinfaq: Dalam Q.S Al-Isra’ ayat
26:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Artinya: “Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan ; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros.”
Allah murka kepada
orang-orang yang sering membuang-buang hartanya. Karena sejatinya perilaku
tabzir merupakan salah satu saudaranya syaithan.
Sebagaimana Q.S Al-Isra’
ayat 27:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ
الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya.”
Dalam hadis dari
al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ
الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah
membenci 3 hal untuk kalian:
[1] menyebarkan
berita burung (katanya-katanya);
[2] menyia-nyiakan harta.
[3] banyak bertanya. (HR.
Bukhari 1477 & Muslim 4582).
----
KEEMPAT: PERINTAH DAN ANJURAN UNTUK HIDUP HEMAT & EKONOMIS:
Allah SWT menyebutkan
salah satu ciri dari ciri-ciri hamba Ar-Rahman adalah hemat dan tidak boros
dalam membelanjakan hartanya. Begitu pula ketika bersedakah dan berinfaq.
Dalam surat al-Furqon,
Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا
وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67).
Dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula)
kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
[QS. Al-Furqon: 67]
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya berkata:
“Yakni mereka tidak
menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan,
tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga
dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi.
Tetapi mereka
membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta
pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir ".
Dan dalam surat al-Isra,
Allah SWT berfirman:
{ وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}
“Dan janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [QS. Al-Isra: 29].
Ibnu Katsir berkata:
"Allah Swt.
memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) agar bersikap ekonomis dalam kehidupan,
dan mencela sifat kikir; serta dalam waktu yang sama melarang sifat
berlebihan"/ [Selesai].
Dan Allah SWT berfirman:
{ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
}
Wahai anak cucu Adam!
Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. [QS. Al-A'raf: 31].
-------
HADITS DAN ATSAR TENTANG PERINTAH
UNTUK HIDUP HEMAT & EKONOMIS:
Pertama: Dari Ibnu 'Abbas RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْهَدْيَ الصَالِحَ، وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ، وَالِاقْتِصَادَ
جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةِ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ.
Sesungguhnya jalan hidup
yang Shaleh, penampilan yang shaleh, dan hidup ekonomis adalah bagian dari dua
puluh lima bagian dari kenabian.
[HR. Ahmad no.
2698 dan Abu Daud no. 4776. Di Hasankan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no.
4776]
Kedua:Dari Abu Darda, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".
Seorang lelaki yang bijak
ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya. [HR. Ahmad no. 20706]
Ibnu Katsir berkata:
"Akan tetapi, mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang
mengetengahkannya".
Hadits Dho'if. Syeikh
al-Albaani berkata:
ثُمَّ هُوَ مُنْقَطِعٌ لِأَنَّ ضَمَّرَةً لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي
الدَّرْدَاءِ كَمَا أَفَادَهُ الذَّهَبِيُّ.
“Kemudian sanadnya
terputus karena Dhomroh tidak mendengar dari Abu al-Darda' sebagaimana yang
dinyatakan al-Dhahabi tentang dirinya". [Lihat Dha'if al-Jaami'
ash-Shaghiir 1/767 no. 5308].
Syeikh Muhammad Shaleh
al-Munajjid berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ رُوِيَ مَرْفُوعًا، لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَهُوَ
مَوْقُوفٌ مُحْتَمَلٌ لِلتَّحْسِينِ.
“Hadits ini diriwayatkan
secara marfu' dari Nabi ﷺ, akan tetapi
lemah. Dan itu mauquf yang mungkin pada derajat Hasan ".
Adapun riwayat mauquf,
yaitu:
Dari Salim bin Abi
Al-Ja'ad bahwa seorang pria naik ke Abu Al-Darda' - ketika dia berada di
kamarnya - dan dia memungut biji yang tercecer, maka Abu ad-Dardaa' berkata:
"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".
Seorang lelaki yang bijak
ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya.
Ketiga:Dari Abdullah ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"
Seseorang yang berlaku
ekonomis tidak akan miskin. [HR. Ahmad]
Diriwayatkan pula oleh
Ibnu Abi Syaibah no. 26081, ath-Thabrani dalam al-Awsath no. 5251 dan laiinya.
Ibnu Katsir berkata:
"Mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang mengetengahkan hadis
ini".
Dan diriwayatkan pula
dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ، وَلَا
عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ.
Tidak akan gagal orang
yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak
akan miskin orang yang hemat.
HR. Al-Tabarani dalam
Al-Mu'jam Al-Awsat (6627), Al-Qudha'i dalam "Musnad Al-Shihab" (774),
dan Al-Daylami dalam "Al-Firdaus" (6230). Riwayat ini dianyatakan
Palsu oleh syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dhai'iifah no. 611.
Keempat:Dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ. pernah bersabda:
"مَا أَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ
فِي الْفَقْرِ، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْعِبَادَةِ"
Betapa baiknya sikap
ekonomis dalam keadaan kaya, dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan
faqir. Dan betapa baiknya sikap ekonomis [pertengahan] dalam [hal] Ibadah
". [HR. Abu Bakr Al-Bazzaar dlam Musnadnya البحر الزخار no. 2584].
Di dalam sanadnya
terdapat Ibrahim bin Muhammad Al Kindi, dia itu Hadits nya Munkar.
Kemudian Al-Bazzar
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis
Huzaifah r.a.
Kelima:Dari Sahabat Anas dan lainnya: Bahwa Rosululloh ﷺ bersabda:
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ
مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
وثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي
الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
“Tiga perkara yang
membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang
membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang
diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.
Sedangkan tiga perkara
yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat
orang banyak, hemat dan hidup sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan
(berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.”
[HR. al-Bazzar
("Kasyf al-Astār 'an Zawā'id al-Bazzār"1/59 no. 80, al-'Uqaily dalam adh-Dhu'afaa al-Kabiir3/447,
Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliyaa 2/343 dan al-Qudho'i dalam Musnad asy-Syihaab
1/214] dan Abu Bakar ad-Dainury al-Maliki dalam al-Mujaalasah 3/256 no. 899.
Abu 'Ubaidah Aali Salman
pentahqiq al-Mujaalasah berkata: “Hadits Dhaif Sekali".
Keenam: Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:
"إِنَّ مِنْ أَحَبِّ الْأَمْرِ إِلَى اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ
- الْقَصْدَ فِي الْغِنَى وَالْعَفْوَ فِي الْمُقَدِّرَةِ."
"Sesungguhnya Orang
yang lebih dicintai oleh Allah - Yang Maha Kuasa - adalah hemat saat kaya dan
memaafkan meski dia punya kuasa." [مجموع رسائل ابن أبي الدنيا / إصلاح المال (2/99 no. 329) dan ميزان الحكمة / تأليف
محمد الريشهري 3/2557].
Ketujuh: Dari Hasan al-Bashri beliau berkata:
"إِنَّ مِنْ عَلَامَةِ الْمُؤْمِنِ: قُوَّةً فِي دِينٍ،
وَحِزْمًا فِي لِينٍ، وَإِمَامًا فِي يَقِينٍ، وَحِلْمًا فِي عِلْمٍ وَكِيسًا فِي
مَالٍ، وَإِعْطَاءً فِي حَقٍّ، وَقَصْدًا فِي غَنَى، وَتَجَمُّلاً فِي فَاقَةٍ،
وَإِحْسَانًا فِي قُدْرَةٍ."
“Di antara ciri-ciri orang
beriman adalah kuat dalam agamanya, teguh dalam kelembutan, imam dalam
keyakinan, sabar dalam ilmu, pandai dalam mengelola harta, menunaikan hak,
hemat ketika kaya, berprilaku indah dalam kemiskinan, berbuat baik meskipun
punya kuasa ". [مجموع
رسائل ابن أبي الدنيا / إصلاح المال (2/100 no. 335)]
====
DALIL KE 25: PERINTAH MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK KETURUNAN.
Allah SWT berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً
ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا
Artinya: “Dan
hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak
keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
tepat [benar]” (Q.S An-Nisa: 9)
Menurut sebagian para
ahli tafsir: kata " ذُرِّيَّةً
ضِعٰافًا " pada ayat diatas mencakup makna yang luas. Kata “lemah”
pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dalam sisi aqidah, agama, ekonomi,
sosial, keilmuan dan lainnya.
Maka dengan demikian
dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para orang tua untuk mempersiapkan
generasi setelah mereka. Jangan sampai generasi–generasi di bawah mereka
menjadi generasi yang lemah.
Lemah di sini seperti
yang di sebutkan diatas, maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki
Al-Quran dalam ayat tersebut adalah makna yang mutlak dan umum. Baik berkaitan
dengan kelemahan aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain
sebagainya
Kelemahan sebuah
generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan
penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah
kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah
dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh.
Abdul Lathif Al-Khatib
dalam Audhah Al-tafasir menyebutkan:
“نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي الْأَوْصِيَاءِ وَالْمَعْنَى:
تَذَكَّرْ أَيُّهَا الْوَصِيُّ ذُرِّيَّتَكَ الضَّعَافَ مِنْ بَعْدِكَ؛ وَكَيْفَ
يَكُونُ حَالُهُمْ بَعْدَ مَوْتِكَ؛ وَعَامِلِ الْيَتَامَى الَّذِينَ وَكَّلْتَ
إِلَيْكَ أَمْرَهُمْ وَتَرَبَّوْا فِي حَجْرِكَ؛ بِمَثَلِ مَا تُرِيدُ أَنْ
يُعَامَلَ أَبْنَاءُكَ بَعْدَ فَقْدِكَ".
“Ayat ini diturunkan
kepada para pelaksana / pengemban wasiat, dan artinya: Wahai pelaksana wasiat,
ingatlah akan anak keturunanmu yang lemah. Dan bagaimana kelak keadaan mereka
setelah kematianmu?
Dan perlakukanlah pula
para anak yatim yang dititipkan kepadamu. Didiklah mereka dalam asuhanmu.
Samakan seperti halnya kamu berkeinginan dalam memperlakukan anak-anak mu
setelah kehilanganmu."
Berikut ini ada sebuah
hadits yang sangat tegas menganjurkan para orang tua sebelum meninggal untuk
MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN EKONOMI ANAK.
Nasihat Nabi ﷺ kepada Sa'ad bin Abi Waqosh (ra):
“إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا
أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي
تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ
بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ ".
“Sesungguhnya jika kamu
meninggalkan AHLI WARISMU dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan
menengadahkan tangan mereka.
Sesungguhnya apa saja
yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun
SATU SUAPAN yang kamu masukkan ke dalam MULUT ISTRIMU.
Dan semoga Allah
mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau
memberikan madharat orang-orang yang lainnya". (HR. Bukhori No. 2537)
Coba perhatikan sabda
Beliau ﷺ: “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan
mereka".
====
DALIL KE 26: [حَجْرُ مَال السَّفِيْه] DILARANG MENYERAHKAN
HARTA KEPADA SAFIIH
(Penahanan harta milik
orang yang belum cerdas mengelola-nya)
"Hikmah di
syariatkannya حَجْرُ
المَال [Hajr /Karantina / pengamanan harta]:
Allah Ta'ala
memerintahkan untuk menjaga harta benda, dan menjadikan karantina harta Safiih
sebagai salah satu cara untuk melindungi mereka yang tidak mampu mengelola
kekayaannya dengan baik seperti orang gila, atau mereka yang berpotensi
menghamburkan hartanya seperti anak kecil, atau mereka yang cenderung
menghamburkan secara sembrono, atau mereka yang berpotensi merugikan hak orang
lain seperti orang yang terlilit hutang.
Allah telah memberlakukan
karantina [Hajr] sebagai bentuk perlindungan terhadap harta mereka, untuk
melindungi kepentingan orang yang dikarantina dengan menjaga harta dan
hak-haknya, serta untuk menghindari kerugian bagi orang lain dan melindungi
hak-hak mereka.
Ibnu Mundhir berkata:
أكْثَرُ عُلمَاءِ الأمْصارِ من أهْلِ الحِجَازِ، والعِرَاقِ، والشَّامِ،
ومِصْرَ، يَرَوْنَ الحَجْرَ على كل مُضَيِّعٍ لِمَالِه، صَغِيرًا كان أو
كَبِيرًا.
“Sebagian besar ulama
dari Hijaz, Irak, Syam, dan Mesir melihat bahwa karantina harta berlaku bagi
setiap orang yang ceroboh dalam mengelola hartanya, baik itu jumlahnya sedikit
atau banyak". [Lihat: al-Mughni karya Ibnu Quddaamah 6/595].
Jenis-jenis Hajr
[Karantina harta]:
Hajr [Karantina harta]
terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Karantina untuk
melindungi hak pribadi sesesorang, seperti karantina terhadap harta anak yang
masih kecil, orang yang ceroboh, orang yang boros, dan orang yang gila, demi
menjaga harta mereka.
Kedua: Karantina untuk
melindungi hak orang lain, seperti karantina harta terhadap orang yang terlilit
hutang demi melindungi kreditor, dan karantina terhadap orang yang sakit parah
yang berpotensi meninggal dunia demi melindungi ahli warisnya."
Allah SWT melarang para
orang tua, para wali anak yatim dan penguasa menyerahkan harta kepada para
safiih (orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta
tersebut hak milik para safiih tadi. Dan tidak boleh membiarkan orang yang
safiih mengelola hartanya, meski sudah berada ditangannya.
Ini menunjukkan betapa
besarnya perhatian syariat Islam dalam menjaga serta melindungi harta umatnya.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا
مَعْرُوفًا (5)
Artinya: “Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam
mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah
sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)
TERUTAMA PARA WALI ANAK YATIM
TERHADAP HARTA ANAK YATIM:
Dalam Rangka untuk
memelihara harta anak Yatim, maka wali anak yatim di wajibkan berusaha
mengembangkan hartanya dan mendidik nya agar anak yatim tsb cerdas dalam
mengelola hartanya. Tidak boleh menyerahkan hartanya kecuali setelah anak yatm
itu lulus uci coba kemampuan.
Dan Allah SWT melarang
atas wali anak yatim yang ekonominya berkecukupun mengambil upah dalam
mengembangkan hartanya, kecuali jika walinya itu seorang fakir miskin.
Allah SWT berfirman:
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها
إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ
وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan kalian ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat
kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari
batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum
mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
kesaksian itu). (QS. An-Nisaa: 6)
Dari ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
“مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى
تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“
Artinya “Ketahuilah,
barang siapa yang mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah
hartanya untuk berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh
zakat”. (HR. Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)
Akan tetapi makna hadits
di atas benar; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika
sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan
jika tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan
menyebabkannya berkurang.
Sebagaimana telah
diriwayatkan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا
الزَّكَاةُ.
“Kembangkanlah harta
anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan
Baihaqi, beliau berkata: “Sanadnya shahih”)
---
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENYERAHKAN
HARTA KEPADA SAFIIH, MESKIPUN HARTA ITU HAK MILIK SAFIH TSB
Dari Abu Musa al-Asy’ry,
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ
تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ
عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ،
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ ﴾".
"Ada tiga macam
orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak mengabulkannya untuk mereka.
yaitu:
Seorang lelaki yang
mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;
Dan seorang lelaki yang
mempunyai harta pada seorang lelaki lain (menghutangi) namun dia tidak
menghadirkan saksi terhadapnya
Dan seorang lelaki yang
memberikan kepada orang yang safiih / سفيه (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta) hartanya,
sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾
Artinya: “'Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam
mengelola harta) harta-harta (mereka yang ada pada) kalian' (An-Nisa: 5).
(HR. Al-Hakim dlm al-Mustadrok No. 3181, ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thoawi dlm “شرح مشكل الآثار” No. 2530. Dishahihkan oleh al-Hakim dan Syeikh al-Albaani dlam “صحيح الجامع” No. 3075. Tpi Menurut imam ad-Dahabi: “Hadits ini Munkar”)
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir nya:
“ Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya melakukan tasarruf (mengendalikan dan mengelola) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka
dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya “.
(Selesai)
====
DALIL KE 27: LARANGAN MENGEMIS DAN MEMINTA-MINTA TANPA DARURAT
Dalam hadits yang
diriwayatkan dari sahabat
Dari Abu
Hurairah (ra) bahwa Rasulullallah ﷺ bersabda:
"والذي نَفْسِي بيَدِهِ، لَأَنْ يَأْخُذَ أحَدُكُمْ حَبْلَه،
فيَحْتَطِبَ علَى ظَهْرِه؛ خَيْرٌ له مِن أنْ يَأْتيَ رَجُلًا، فيَسْأَلَه،
أعْطاهُ أوْ مَنَعَه".
“Demi Dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya, sungguh seseorang diantara kalian membawa talinya lalu
menggendong kayu bakar di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada
ia datang kepada seseorang, lalu meminta-minta pada nya, baik orang tersebut
memberinya atau menolaknya”. [HR. Bukhori no. 1470].
Dan dari Abu Kabsyah
Al-Anmary, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
ثلاثٌ أُقسِمُ عليهِنَّ: - فذكرها ، منها -: ولا فتَحَ رجلٌ على
نفسِهِ بابَ مَسألةٍ يَسألُ الناسَ إلا فتَحَ اللهُ عليه بابَ فقْرٍ
"Ada tiga hal yang
aku bersumpah atasnya": - Lalu beliau menyebutkannya, yang ketiga adalah
-:
“Tidak
sekali-kali seorang hamba membuka pintu meminta-minta, di mana ia meminta-minta
kepada manusia, kecuali Allah akan membuka baginya pintu kefakiran.”
[HR. Imam Ahmad no. 1674,
al-Bazzaar no. 1032 dan Abu Ya'laa no. 849] Di Shahihkan oleh al-Baani dlm
Shahih al-Jaami' no. 3025.
Diriwayatkan dari 'A'idh
bin 'Amr:
أنَّ رجلًا أتى النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فسألَهُ
فأعطاهُ فلمَّا وضعَ رجلَهُ على أسْكُفَّةِ البابِ قالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى
اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ لو تعلَمونَ ما في المسألَةِ ما مَشى أحدٌ إلى أحَدٍ
يسألُهُ شيئًا
bahwa: seorang pria
datang kepada nabi dan memintanya maka beliau ﷺ memberikannya.
Lalu ketika pria itu
meletakkan kakinya di ambang pintu, Rasulullah berkata:
«لَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِي الْمَسْأَلَةِ، مَا مَشَى أَحَدٌ إِلَى
أَحَدٍ يَسْأَلُهُ شَيْئًا»
“Seandainya kalian tahu
(dosa) yang ada pada (perbuatan) meminta-minta, maka tidak akan ada seorangpun
mau berjalan menuju orang yang lain untuk meminta sesuatu darinya.”
HR. An-Nasa'i (5/94) no.
(2586), dan kata-katanya miliknya, dan Ibnu Abi 'Aashim dalam ((Al-Aahad wa
Al-Matsaani)) (2/328) dengan sedikit perbedaan, dan al-Thabari dalam “Tahdziib
al-Atsaar” (1/31) dan kata-katanya juga miliknya.
Sanadnya dishahihkan oleh
Ibnu Jarii ath-Thobari dalam Musnad 'Umar 1/31.
Dan di hasankan oleh
al-Albaani dlm shahih an-Nasaa'i no. 2585. Namun didha’ifkan oleh Al-Albaniy
dalam ad-Dha’iifah (4355) dan Dha’iif al-Jaami’ (4818)
Dari Abu Hurairah RA,
bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
((مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا
يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِر)) ْ
“Barangsiapa yang
kebanyakan meminta-minta harta manusia, maka sesungguhnya dia meminta bara api
neraka Jahannam, maka (tinggal pilih) mau mempersedikit atau memperbanyak.”
(HR. Muslim no. 1041)
0 Komentar