BOLEHKAH KIRIM DOA DAN HADIAH PAHALA UNTUK MAYIT?
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
===
DAFTAR ISI:
- PENDAHULUAN
- HAL-HAL YANG DISEPAKATI PARA ULAMA SECARA IJMA' DALAM MASALAH KIRIM DOA DAN PAHALA UNTUK MAYIT:
- HAL-HAL YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA DALAM MASALAH KIRIM DOA DAN PAHALA UNTUK MAYIT::
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA:
- PENDAPAT PERTAMA:
- PENDAPAT KEDUA:
- PENDAPAT KE TIGA:
- PERNYATAAN DAN FATWA PARA ULAMA
- PERTAMA: PERNYATAAN IMAM BUKHORI DALAM SHAHIH-NYA:
- KEDUA: PERNYATAAN AL-'AINI, PENSYARAH SHAHIH BUKHORI
- KETIGA: FATWA SYEIKH BIN BAAZ:
- KEEMPAT: FATWA SYEIKH IBNU AL-UTSAIMIN
- KUMPULAN DALIL BOLEHNYA KIRIM DOA DAN HADIAH PAHALA UNTUK MAYIT:
===*****====
"بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"
*****
PENDAHULUAN
Allah SWT berfirman:
{وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Hasyr: 10)
Ibnu Abil 'Izz, Penulis kitab Syarah Aqidah ath-Thahawiyah berkata:
الدَّلِيلُ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِغَيْرِ مَا تُسَبِّبَ فِيهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ وَالْقِيَاسُ الصَّحِيحُ.
[Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal bisa mengambil manfaat dari sesuatu yang bukan disebabkan oleh dirinya adalah Al-Quran, As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas yang shahih. [Syarah Aqidah ath-Thahawiyah 2/665].
Dan syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"وَقَدْ دَلَّ الْكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَالْإِجْمَاعُ، عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِدُعَاءِ غَيْرِ وَلَدِهِ لَهُ."
“Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma' menunjukkan bahwa orang yang meninggal akan mendapat manfaat dari doa orang lain selain anaknya.” [Kitab al-A'maal ash-Sholihat karya Ahmad al-Hijaaji – al-Maktabah asy-Syamilah hal. 143]
Dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya ar-Ruuh hal.142 berkata:
"فَهَذَا سَؤَالُهُ عَنِ الْحَجِّ عَنْ مَيِّتِهِ فَأَذِنَ لَهُ وَهَذَا سَؤَالُهُ عَنِ الصِّيَامِ عَنْ مَيِّتِهِ فَأَذِنَ لَهُ وَهَذَا سَؤَالُهُ عَنِ الصَّدَقَةِ عَنْ مَيِّتِهِ فَأَذِنَ لَهُ وَلم يَمْنَعُهُمْ ممَّا سِوَى ذَلك".
“Ada Sahabat bertanya tentang haji untuk keluarganya yang wafat, Nabi ﷺ mengizinkan. Sahabat berikut bertanya tentang puasa untuk keluarganya yang wafat, Nabi ﷺ mengizinkan. Sahabat lain bertanya tentang sedekah untuk keluarganya yang wafat, Nabi ﷺ mengizinkan. Dan beliau ﷺ juga tidak mencegah mereka dari selain amalan-amalan itu.”
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وَقَدْ صَحَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَمَرَ بِالصَّدَقَةِ عَلَى الْمَيِّتِ وَأَمَرَ أَنْ يُصَامَ عَنْهُ الصَّوْمَ، فَالصَّدَقَةُ عَنْ الْمَوْتَى مِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَكَذَلِكَ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ فِي الصَّوْمِ عَنْهُمْ، وَبِهَذَا وَغَيْرُهُ احْتَجَّ مَنْ قَالَ مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّهُ يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ إلَى مَوْتَى الْمُسْلِمِينَ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ. فَإِذَا أَهْدَى لِمَيِّتِ ثَوَابَ صِيَامٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ قِرَاءَةٍ جَازَ ذَلِكَ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ يَقُولُونَ: إنَّمَا يُشْرَعُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ.
"Telah ada riwayat yang sahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau memerintahkan untuk bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal dunia dan juga memerintahkan untuk berpuasa atas nama nya. Maka dengan demukian sedekah atas nama orang yang sudah meninggal adalah termasuk salah satu dari amal-amal shalih, begitu juga dengan apa yang disebutkan dalam sunnah tentang berpuasa atas nama mereka [yang telah wafat].
Dengan dasar ini dan berdasarkan pendapat sebagian ulama, adalah diperbolehkan menghadiahkan pahala ibadah - baik yang bersifat materi maupun fisik - kepada orang-orang yang sudah meninggal dalam Islam. Pendapat ini adalah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian dari para sahabat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i.
Jika seseorang menghadiahkan pahala puasa, shalat, atau membaca Al-Quran atas nama orang yang sudah meninggal, maka hal ini diperbolehkan. Namun, mayoritas pengikut Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa ini hanya berlaku untuk amal ibadah maaliah [yang bersifat materi atau harta]. [Majmu' al-Fataawaa 24/322-323]
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَمَّا دُفِنَ سَعْدٌ، وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَّحَ النَّاسُ مَعَهُ طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرَ النَّاسُ، ثُمَّ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ مِمَّ سَبَّحْتَ؟ قَالَ: " لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الرَّجُلِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللهُ عَنْهُ "
"Ketika Sa'ad dimakamkan, dan kami bersama Rasulullah ﷺ, beliau bertasbih, maka orang-orang pun ikut bertasbih dalam waktu yang lama. Kemudian, beliau bertakbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir. Lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih?' Beliau ﷺ menjawab, 'Sesungguhnya kubur ini terasa sempit bagi orang yang saleh ini hingga Allah melapangkannya baginya.'"
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (jilid 23, halaman 278, no. 14505, 14873, 15029), dan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (no. 5346), serta al-Kallabazi dalam Bahr al-Fawa'id (halaman 228).
Syaikh Syu'aib al-Arna'uth berkata:
حَدِيثٌ صَحِيحٌ، وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ
"Hadits ini sahih, dan sanadnya hasan."
===****===
HAL-HAL YANG DISEPAKATI PARA ULAMA SECARA IJMA' DALAM MASALAH KIRIM DOA DAN PAHALA UNTUK MAYIT:
IJMA' PARA ULAMA KE 1:
"Para ulama telah ber-IJMA' [bersuara bulat] bahwa doa dan sedekah dapat memberikan manfaat kepada orang yang sudah meninggal dan pahalanya sampai kepada mereka, berdasarkan Hadits:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ."
'Ketika anak Adam meninggal dunia, amalannya terputus kecuali dari tiga hal, salah satunya adalah anaknya yang shalih yang senantias mendoakan untuknya". [HR. Muslim no. 1631].
Al-Imam an-Nawawi berkata:
“ أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم، ويَصلُهم ثوابه. واحتجوا بقوله تعالى: (وَالَّذِينَ جاؤُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنا اغْفِرْ لَنا ولإِخْوَانِنا الَّذين سَبَقُونا بالإِيمَانِ) [الحشر: 10] وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها، وفي الأحاديث المشهورة كقوله صلى الله عليه وسلم: 475 - " اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأهْلِ بَقِيعِ الغَرْقَدِ "، وكقوله صلى الله عليه وسلم: " اللَّهُمَّ اغْفِرْ لحينا وميتنا " وغير ذلك".
Para ulama sepakat secara IJMA' bahwa doa untuk orang yang telah meninggal dunia dapat memberi manfaat bagi mereka dan pahalanya sampai kepadnya. Mereka berdalil dengan Al-Quran, seperti firman Allah dalam Surah Al-Hashr (59:10):
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata: 'Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.'"
Selain itu, juga terdapat banyak ayat lain yang memiliki makna serupa.
Selain itu, dalam Hadits-Hadits yang masyhur, Nabi Muhammad ﷺ juga meminta ampunan untuk orang yang telah meninggal. Contohnya, beliau ﷺ bersabda, "Ya Allah, ampunilah penduduk Baqi' Al-Gharqad." Dan beliau juga berdoa, "Ya Allah, ampunilah bagi orang hidup kami dan orang meninggal kami." Dan hadits lainnya. [Baca: al-Adzkar hal. 164-165 dan al-Majmu' 15/521].
Jadi, berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Hadits-Hadits yang masyhur, doa untuk orang yang telah meninggal adalah sesuatu yang dianjurkan dan memberi manfaat bagi mayit.
IJMA' KE 2:
Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal. 121 berkata:
وَأجْمع الْمُسلمُونَ على أَن قَضَاء الدّين يسْقطهُ من ذمَّته وَلَو كَانَ من أَجْنَبِي أَو من غير تركته وَقد دلّ عَلَيْهِ حَدِيث أَبى قَتَادَة حَيْثُ ضمن الدينارين عَن الْمَيِّت فَلَمَّا قضاهما قَالَ لَهُ النَّبِي الْآن بردت عَلَيْهِ جلدته
Kaum Muslimin ber-IJMA' [sepakat] bahwa melunasi utang (qadha) si mayit dapat melepaskan nya dari kewajiban agamanya, bahkan jika utang tersebut dilunasi oleh orang asing [bukan keluarganya] atau bukan dari harta warisannya. Hal ini diperkuat oleh Hadits dari Abu Qatadah, di mana dia menanggung dua dinar yang merupakan utang atas seseorang yang telah meninggal. Setelah dia melunasi utang tersebut, Nabi Muhammad bersabda kepadanya:
الْآن بَرِّدتَ عَلَيْهِ جِلْدَتُهُ
"Sekarang, kamu telah mendinginkan kulitnya."
IJMA' KE 3:
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/89-90 berkata:
مَنْ أَرَادَ بِرَّ وَالِدَيْهِ فَلْيَتَصَدَّقْ عَنْهُمَا فَإِنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِعُ بِهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ.
“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayit dan akan membawa manfaat atasnya, tanpa ada perbedaan pendapat diantara kaum muslimin, dan ini adalah yang benar.
IJMA' KE 4:
Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal. 121 berkata:
"وَأَجْمعُوا على أَن الْحَيّ إِذا كَانَ لَهُ فِي ذمَّة الْمَيِّت حق من الْحُقُوق فأحله مِنْهُ أَنه يَنْفَعهُ وَيبرأ مِنْهُ كَمَا يسْقط من ذمَّة الْحَيّ".
Selain itu, umat Islam juga ber- IJMA' [sepakat] bahwa jika seseorang yang masih hidup memiliki hak harta pada seseorang yang telah meninggal, lalu dia menghalalkannya ; maka dia [si mayit] berhak mendapatkan manfaat darinya dan terlepas dari tanggungan hutangnya, seperti yang juga terjadi pada seseorang yang masih hidup ketika dihalalkan hutangnya oleh si pemberi hutang.
Lalu Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal. 121-122 berkata:
فَإِذا سقط من ذمَّة الْحَيّ بِالنَّصِّ وَالْإِجْمَاع مَعَ إِمْكَان أَدَائِهِ لَهُ بِنَفسِهِ وَلَو لم يرض بِهِ بل رده فسقوطه من ذمَّة الْمَيِّت بالإبراء حَيْثُ لَا يتَمَكَّن من أَدَائِهِ أولى وَأَحْرَى وَإِذا انْتفع بِالْإِبْرَاءِ والإسقاط فَكَذَلِك ينْتَفع بِالْهبةِ والإهداء وَلَا فرق بَينهمَا فَإِن ثَوَاب الْعَمَل حق المهدى الْوَاهِب فَإِذا جعله للْمَيت انْتقل إِلَيْهِ كَمَا أَن مَا على الْمَيِّت من الْحُقُوق من الدّين وَغَيره هُوَ مَحْض حق الْحَيّ فَإِذا أَبرَأَهُ وصل الْإِبْرَاء إِلَيْهِ وَسقط من ذمَّته فكلاهما حق للحى فَأَي نَص أَو قِيَاس أَو قَاعِدَة من قَوَاعِد الشَّرْع يُوجب وُصُول أَحدهمَا وَيمْنَع وُصُول الآخر
"Ketika hutang telah gugur dari tanggung jawab orang yang hidup berdasarkan nash dan Ijma' meskipun ia mampu untuk membayarnya sendiri, dan meskipun ia tidak ridho dengannya, bahkan menolaknya ; maka gugurnya hutang dari tanggung jawab orang yang sudah meninggal dunia dengan pembebasan (Ibra) karena kondisi dia yang tidak memungkinkan untuk melunasinya, itu lebih utama dan lebi layak.
Dan jika bisa mengambil manfaat dengan cara pembebasan (Ibra) dan penghapusan utang, maka demikian pula dia bisa mengambil manfaat dengan hibah [pemberian] dan hadiah.
Dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Karena pahala dari amal kebaikan adalah hak pemberi hadiah dan hibah, maka ketika ia menjadikannya untuk orang yang sudah meninggal dunia, itu semua bisa berpindah kepada mereka.
Sama halnya hak-hak tanggungan atas orang yang sudah meninggal dunia dalam hal hutang piutang dan hak lainnya, itu adalah hak penuh bagi orang yang hidup, maka ketika dia membebaskannya ; maka pembebasan itu sampa pada si mayit dan beban tanggungannya mejadi gugur.
Sementara kedua-duanya adalah hak bagi yang hidup. Dengan demikian, tolong tunjukan [pada saya] nash yang mana? analogi yang mana? atau kaidah dari kaidah-kaidah syariah yang mana? yang mewajibkan salah satu dari kedua jenis manfaat tersebut bisa sampai, lalu mengharuskan jenis yang lainnya tidak sampai???."
Lalu Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal.122 berkata :
هَذِه النُّصُوص متظاهرة على وُصُول ثَوَاب الْأَعْمَال إِلَى الْمَيِّت إِذا فعلهَا الْحَيّ عَنهُ وَهَذَا مَحْض للْقِيَاس فَإِن الثَّوَاب حق لِلْعَامِلِ فَإِذا وهبه لِأَخِيهِ الْمُسلم لم يمْنَع من ذَلِك كَمَا لم يمْنَع من هبة مَاله فِي حَيَاته وإبرائه لَهُ من بعد مَوته
وَقد نبه النَّبِي بوصول ثَوَاب الصَّوْم الَّذِي هُوَ مُجَرّد ترك وَنِيَّة تقوم بِالْقَلْبِ لَا يطلع عَلَيْهِ إِلَّا الله وَلَيْسَ بِعَمَل الْجَوَارِح على وُصُول ثَوَاب الْقِرَاءَة الَّتِي هِيَ عمل بِاللِّسَانِ تسمعه الْأذن وتراه الْعين بطرِيق الأولى
ويوضحه أَن الصَّوْم نِيَّة مَحْضَة وكف النَّفس عَن المفطرات وَقد أوصل الله ثَوَابه إِلَى الْمَيِّت فَكيف بِالْقِرَاءَةِ الَّتِي هِيَ عمل وَنِيَّة بل لَا تفْتَقر إِلَى النِّيَّة فوصول ثَوَاب الصَّوْم إِلَى الْمَيِّت فِيهِ تَنْبِيه على وُصُول سَائِر الْأَعْمَال
"Nash-nash ini nampak melimpah, yang menunjukkan bahwa pahala amal bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia jika dilakukan oleh orang yang masih hidup untuknya. Ini adalah dasar murni dari analogi, karena pahala adalah hak bagi orang yang melakukan amal. Jika dia menghibahkannya kepada saudaranya yang Muslim, maka hal itu tidak dilarang, sama halnya seperti tidak dilarangnya menghibahkan harta semasa hidupnya dan membebaskan beban hutang seseorang setelah kematiannya.
Nabi ﷺ juga telah mengingatkan akan sampainya pahala puasa [untuk orang mati], padahal hanya sebatas meninggalkan makanan dan minuman dengan niat yang ada di hati, yang hanya diketahui oleh Allah, dan juga puasa itu bukan amalan anggota badan, sementara masalah sampainya pahala baca al-Qur'an yang mana itu adalah amalan yang dilakukan dengan lisan, terdengar oleh telinga dan terlihat oleh mata, maka sampainya itu lebih utama.
Ini menunjukkan: bahwa puasa meskipun ia adalah niat murni dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, namun Allah telah menyampaikan pahalanya kepada orang yang telah meninggal dunia. Lalu bagaimana dengan membaca Al-Quran, yang terdiri dari amalan dan niat, bahkan kadang tidak memerlukan niat? Maka dengan sampainya pahala puasa kepada yang telah meninggal, ini adalah pengingat bahwa pahala dari semua amal lainnya juga dapat sampai kepada mayit."
Dan Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal.142 berkata:
فَإِن قيل فَمَا الْأَفْضَل أنه يهدى إِلَى الْمَيِّت قيل الْأَفْضَل مَا كَانَ أَنْفَع فِي نَفسه فالعتق عَنهُ وَالصَّدَقَة أفضل من الصّيام عَنهُ وَأفضل الصَّدَقَة مَا صادفت حَاجَة من الْمُتَصَدّق عَلَيْهِ وَكَانَت دائمة مستمرة وَمِنْه قَول النَّبِي أفضل الصَّدَقَة سقى المَاء وَهَذَا فِي مَوضِع يقل فِيهِ المَاء وَيكثر فِيهِ الْعَطش وَإِلَّا فسقى المَاء على الْأَنْهَار والقنى لَا يكون أفضل من إطْعَام الطَّعَام عِنْد الْحَاجة وَكَذَلِكَ الدُّعَاء وَالِاسْتِغْفَار لَهُ إِذا كَانَ بِصدق من الدَّاعِي وإخلاص وتضرع فَهُوَ فِي مَوْضِعه أفْضَل من الصَّدَقَة عَنهُ كَالصَّلَاةِ على الْجَنَازَة وَالْوُقُوف للدُّعَاء على قَبره
"Jika ada seseorang yang bertanya: 'Amalan apa yang lebih afdhol untuk dihadiahkan kepada mayit?'
Maka dijawab: 'Yang lebih afdhal adalah amalan apa pun yang lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri.' Maka memerdekakan budak atas nama mayit adalah lebih baik daripada puasa atas nama mayit. Dan sedekah yang lebih baik adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh penerima sedekah darinya, dan sedekah yang terus menerus dan berkesinambungan.
Itu berdasarkan sabda Nabi ﷺ adalah:
أفضَلُ الصَّدَقَة سَقْيُ المَاء
'Sedekah yang lebih baik adalah memberi minum air.'
Hal ini berlaku pada situasi dan kondisi di mana air sangat langka dan kehausan mendalam. Jika tidak, maka memberi minum air dari sungai atau sumur tidak lebih baik daripada memberi makan saat ada kebutuhan.
Hal yang sama berlaku untuk doa dan istighfar (permohonan ampunan) untuk orang yang telah meninggal dunia. Jika doa tersebut disampaikan dengan tulus, ikhlas, dan penuh kerendahan hati, maka itu lebih baik daripada bersedekah atas nama mereka, seperti shalat jenazah dan berdiri untuk berdoa di dekat kuburnya."
Lalu Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal.142 berkata:
وَبِالْجُمْلَةِ فأفضل مَا يهدى إِلَى الْمَيِّت الْعتْق وَالصَّدَقَة وَالِاسْتِغْفَار لَهُ وَالدُّعَاء لَهُ وَالْحج عَنهُ. وَأما قِرَاءَة الْقُرْآن وإهداؤها لَهُ تَطَوّعا بِغَيْر أُجْرَة فَهَذَا يصل إِلَيْهِ كَمَا يصل ثَوَاب الصَّوْم وَالْحج
"Secara keseluruhan, pahala yang terbaik untuk dihadiahkan atas nama mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, memohonkan ampunan (istighfar), doa, dan menjalankan ibadah haji atas nama mayit.
Adapun membaca Al-Quran dan menghadiahkannya kepada mereka secara sukarela tanpa upah, hal ini juga akan sampai kepada mereka, sama seperti pahala puasa dan ibadah haji."
Dan Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya ar-Ruuh hal.142 berkata:
فَإِن قيل فَهَذَا لم يكن مَعْرُوفا فِي السّلف وَلَا يُمكن نَقله عَن وَاحِد مِنْهُم مَعَ شدَّة حرصهم على الْخَيْر وَلَا أرشدهم النَّبِي وَقد أرشدهم إِلَى الدُّعَاء وَالِاسْتِغْفَار وَالصَّدَقَة وَالْحج وَالصِّيَام فَلَو كَانَ ثَوَاب الْقِرَاءَة يصل لأرشدهم إِلَيْهِ ولكانوا يَفْعَلُونَهُ
فَالْجَوَاب أَن مورد هَذَا السُّؤَال إِن كَانَ معترفا بوصول ثَوَاب الْحَج وَالصِّيَام وَالدُّعَاء وَالِاسْتِغْفَار
قيل لَهُ مَا هَذِه الخاصية الَّتِي منعت بوصول ثَوَاب الْقُرْآن واقتضت وُصُول ثَوَاب الْقُرْآن واقتضت وُصُول ثَوَاب هَذِه الْأَعْمَال وَهل هَذَا إِلَّا تَفْرِيق بَين المتماثلات وان لم يعْتَرف بوصول تِلْكَ الْأَشْيَاء إِلَى الْمَيِّت فَهُوَ محجوج بِالْكتاب وَالسّنة وَالْإِجْمَاع وقواعد الشَّرْع
Jika ada yang mengatakan:
Bahwa amalan membaca Al-Quran untuk orang yang telah meninggal tidak biasa dilakukan oleh Salaf (generasi awal Islam) dan tidak mungkin untuk merujuknya kepada salah satu dari mereka, padahal semangat mereka sangat tinggi terhadap amal kebajikan, dan Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan mereka untuk melakukannya, sementara beliau ﷺ hanya memerintahkan berdoa, beristighfar, bersedekah, beribadah haji, dan berpuasa, maka jika pahala membaca Al-Quran dapat sampai kepada mayit, maka tentunya beliau ﷺ akan memberikan penunjuk pada mereka untuk itu dan tentunya mereka pun akan melakukannya.
Jawabannya adalah:
Bahwa dalam kasus pertanyaan ini, sama saja dengan jika seseorang mengakui bahwa pahala haji, puasa, doa, dan memohonkan ampunan [al-istighfaar] itu bisa sampai kepada orang yang telah meninggal, maka ditanyakan pada nya:
"Pengecualian apa yang membuat pahala membaca Al-Quran tidak sampai, yang seharusnya pahala al-Qur'an juga bisa sampai kepada mayit?
Begipula pertanyaan tentang sampai-nya pahala amalan-amalan ini?"
Pertanyaan ini sebenarnya hanya membedakan antara amalan-amalan yang serupa. Jika seseorang tidak mengakui bahwa pahala dari semua amalan tersebut dapat sampai kepada orang yang telah meninggal, maka pendekatan tersebut bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, kesepakatan umat Islam, dan prinsip-prinsip (kaidah-kaidah) syariah".
===*****===
HAL-HAL YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA DALAM MASALAH KIRIM DOA DAN PAHALA UNTUK MAYIT:
Para ulama - semoga Allah merahmati mereka - berbeda pendapat mengenai apakah amal-amal shaleh selain doa dan sedekah, seperti dzikir, baca Al-Quran, dan shalat akan bermanfaat bagi mayit dan pahalanya bisa sampai kepadanya atau tidak???.
*****
PENDAPAT PERTAMA:
Ada yang mengatakan bahwa amalan-amalan tersebut tidak akan memberi manfaat kepada mayit dan pahalanya tidak akan sampai kepada-nya.
Az-Zaila'i Pakar Hadits dari madzhab al-Hanafi dalam Tabyiin al-Haqoo'iq 2/83 di bawah Bab Haji Atas Nama Orang Lain, dia berkata:
قَالَتْ الْمُعْتَزِلَةُ: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ، وَلَا يَصِلُ إلَيْهِ وَلَا يَنْفَعُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} [النجم: 39] {وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى} [النجم: 40] وَلِأَنَّ الثَّوَابَ هُوَ الْجَنَّةُ وَلَيْسَ فِي قُدْرَةِ الْعَبْدِ أَنْ يَجْعَلَهَا لِنَفْسِهِ فَضْلًا عَنْ غَيْرِهِ.
“Al-Mu'tazilah mengatakan bahwa seseorang tidak berhak untuk melakukan hal tersebut, dan pahala tidak akan sampai kepada mayit dan tidak akan memberikan manfaat baginya. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى. وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى}
"Dan bahwa tidak ada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya akan dilihat." (QS. An-Najm: 39-40).
Mereka berpendapat bahwa pahala tersebut adalah syurga, maka seorang hamba tidak memiliki kemampuan menetapkannya untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain".
Dan Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/89-90 berkata:
وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ البصرى الفقيه الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْحَاوِي عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلَامِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَلَا الْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَا تَعْرِيجَ عَلَيْهِ.
“Adapun mengenai apa yg diceritakan oleh Aqdho al-Qudhoot Abul Hasan Al-Mawardi Al-Bashri Al-Faqiih Asy-Syafii mengenai ucapan beberapa Ahli Kalam [ahli filsafat] bahwa mayit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka ini adalah pemahaman yang Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan".
Sebagian para fuqaha dari mazhab Syafi'i berpendapat bahwa pahala amal saleh tidak sampai kepada orang yang sudah meninggal. Ini tertulis dalam Fatwa al-'Izz bin Abdul Salam, no 47:
"مَنْ فَعَلَ طَاعَةً لِلَّهِ تَعَالَى ثُمَّ أَهْدَى ثَوَابَهَا إِلَى حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ لَمْ يَنْتَقِلْ ثَوَابُهَا إِلَيْهِ؛ إِذًا (لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى) النَّجْمِ/39. فَإِنْ شَرِعَ فِي الطَّاعَةِ نَاوِيًا أَنْ يُقَعَ عَنِ الْمَيِّتِ لَمْ يُقَعْ عَنْهُ إِلَّا فِيمَا اسْتُثْنِيَهُ الشَّرْعُ؛ كَالصَّدَقَةِ، وَالصَّوْمِ، وَالْحَجِّ".
"Barangsiapa yang melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala lalu menghadiahkan pahalanya kepada yang hidup atau yang sudah meninggal, maka pahalanya tidak akan sampai kepada mereka. Karena: (Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan) [An-Najm: 39].
Jika dia berniat dalam ketaatan itu untuk menghadiahkan kepada yang sudah meninggal, maka pahalanya tidak sampai kecuali dalam hal-hal yang dikecualikan oleh syariat, seperti sedekah, puasa, dan haji."
Namun, jika amal saleh dibarengi dengan doa untuk orang yang sudah meninggal, maka pahalanya akan sampai kepada mereka menurut kesepakatan ulama.
Doa bermanfaat baik untuk yang hidup maupun yang sudah meninggal menurut ijma' (kesepakatan ulama).
*****
BANTAHAN DARI IBNU TAIMIYAH TERHADAP ISTIDLAL AYAT 39-40 SURAT AN-NAJM:
Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah berkata:
“إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَقُلْ: إنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَنْتَفِعُ إلَّا بِسَعْيِ نَفْسِهِ وَإِنَّمَا قَالَ: {لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى} فَهُوَ لَا يَمْلِكُ إلَّا سَعْيَهُ وَلَا يَسْتَحِقُّ غَيْرَ ذَلِكَ. وَأَمَّا سَعْيُ غَيْرِهِ فَهُوَ لَهُ كَمَا أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَمْلِكُ إلَّا مَالَ نَفْسِهِ وَنَفْعَ نَفْسِهِ، فَمَالُ غَيْرِهِ وَنَفْعُ غَيْرِهِ هُوَ كَذَلِكَ لِلْغَيْرِ ".
Allah SWT tidak mengatakan: Manusia tidak akan mendapatkan manfaat kecuali dari apa yang telah diusahakan oleh dirinya sendiri, akan tetapi Allah hanya mengatakan:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya" (QS. An-Najm: 39)
Maka dia tidak memiliki apa-apa selain hasil usahanya, dan dia tidak berhak mendapatkan apa pun selain itu.
Adapun hasil usaha orang lain maka itu untuknya, sebagaimana seseorang tidak memiliki apa-apa selain harta miliknya sendiri dan manfaat yang ada pada dirinya sendiri. Begitu pula harta orang lain dan manfaat yang dimiliki orang lain, itu adalah milik orang lain.
Lalu Ibnu Taimiyah berkata:
لَكِنْ إذَا تَبَرَّعَ لَهُ الْغَيْرُ بِسَعْيِهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ كَمَا يَنْفَعُهُ بِدُعَائِهِ لَهُ وَالصَّدَقَةِ عَنْهُ.
وَهُوَ يَنْتَفِعُ بِكُلِّ مَا يَصِلُ إلَيْهِ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ أَقَارِبِهِ أَوْ غَيْرِهِمْ كَمَا يَنْتَفِعُ بِصَلَاةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَدُعَائِهِمْ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ
AKAN TETAPI: Jika orang lain [yang masih hidup] mendermakan amalannya untuknya [yakni mayit], maka Allah akan memberi manfaat bagi mayit dengan itu, sama halnya dia mendapat manfaat dari doa orang hidup untuknya dan juga dari sedekahnya atas namanya.
Dan dia [yakni mayit] akan mendapat manfaat dari segala sesuatu yang sampai padanya dari amalan setiap Muslim, apakah dia itu dari kerabatnya atau orang lain. Sama halnya dengan mayit yang mendapat manfaat dari shalatnya orang-orang yang menshalati jenazahnya dan dari doa-doa mereka untuknya di sisi kuburannya. [Majmu' Fataawaa 24/367.]
Selain ayat diatas, mereka juga berdalil dengan sabda Nabi ﷺ:
إِذَا مات بن آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya." (HR Muslim No. 1631). [Lihat: Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim1/89-90]
*****
BANTAHAN SYEIKH IBNU UTSAIMIN TERHADAP ISTIDLAL HADITS DIATAS:
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"وَهَذَا لَا يُعَارِضُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ" (رواه مسلم)، لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ عَمَلُ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ، لَا عَمَلُ غَيْرِهِ لَهُ؛ وَإِنَّمَا جَعَلَ دُعَاءَ الْوَلَدِ الصَّالِحِ مِنْ عَمَلِهِ؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ، حَيْثُ إِنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي إِيجَادِهِ، فَكَأَنَّ دُعَاءَهُ لِوَالِدِهِ دُعَاءً مِنَ الْوَالِدِ نَفْسِهِ، بِخْلَافِ دُعَاءِ غَيْرِ الْوَلَدِ لِأَخِيهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِ -وَإِنْ كَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ-، فَالِاسْتِثْنَاءُ الَّذِي فِي الْحَدِيثِ مِنْ انْقِطَاعِ عَمَلِ الْمَيِّتِ نَفْسِهِ لَا عَمَلِ غَيْرِهِ لَهُ، وَلِهَذَا لَمْ يَقُلْ: "انْقَطَعَ الْعَمَلُ لَهُ"، بَلْ قَالَ: "انْقَطَعَ عَمَلُهُ"، وَبَيْنَهُمَا فَرَقٌ بَيِّنٌ".
Ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
"Apabila anak Adam meninggal, amalannya terputus kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan baginya" (Hadits Sahih Muslim).
Karena yang dimaksud dalam hadits ini adalah amal dari diri seseorang, bukan amal dari orang lain untuknya. Dalam konteks ini, doa dari anak yang shaleh dianggap sebagai amal dari si mayit sendiri karena anak adalah hasil usahanya. Dengan demikian, doa anak yang shaleh untuk orangtuanya seperti doa yang diberikan dari orangtua untuk diri sendiri.
Ini berbeda dengan doa yang diberikan oleh orang lain untuk saudaranya, karena meskipun dapat memberikan manfaat, namun itu bukanlah amalannya sendiri. Oleh karena itu, pengecualian dalam Hadits tersebut adalah mengenai terputusnya amal dari si mayit itu sendiri, bukan amal dari orang lain untuknya, dan perbedaan inilah yang dijelaskan dalam Hadits tersebut.
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail ash-Shaikh Muhammad Salih al-'Uthaymin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
*****
PENDAPAT KE DUA:
Ada yang membedakan antara amalan-amalan tersebut, dengan mengatakan bahwa ada sebagian di antaranya sampai kepada mayit, sementara sebagian lainnya tidak sampai.
Az-Zaila'i al-Hanafi dalam Tabyiin al-Haqoo'iq 2/83 berkata:
وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ: يَجُوزُ ذَلِكَ فِي الصَّدَقَةِ وَالْعِبَادَةِ الْمَالِيَّةِ، وَفِي الْحَجِّ، وَلَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهِ مِنْ الطَّاعَاتِ كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ".
Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa itu diperbolehkan dalam hal sedekah dan ibadah badaniyyah [yang melibatkan harta], seperti zakat, dan dalam haji. Akan tetapi tidak diperbolehkan dalam ibadah-ibadah lainnya seperti shalat dan puasa".
Dan Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/89-90 berkata:
“وَأَمَّا الصَّلَاةَ وَالصَّوْمَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهُمَا إِلَى الْمَيِّتِ إِلَّا إِذَا كَانَ الصَّوْمُ وَاجِبًا عَلَى الْمَيِّتِ فَقَضَاهُ عَنْهُ وَلِيُّهُ أَوْ مَنْ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ فَإِنَّ فِيهِ قَوْلَيْنِ لِلشَّافِعِيِّ أَشْهَرُهُمَا عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ وَأَصَحُّهُمَا عِنْدَ مُحَقِّقِي مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِهِ أَنَّهُ يَصِحُّ.... وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ ".
Adapun pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan jumhur ulama mengatakan: tidak sampai pahalanya kepada mayit kecuali jika shalat dan puasa yg wajib atas mayit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diidzinkan oleh walinya. Maka dalam hal ini ada dua pendapat bagi al-Imam asy-Syafii:
1- Yang lebih masyhur: hal ini tidak bisa.
2. Pendapat yg lebih shahih mengatakan bahwa hal itu bisa.
Dan adapun mengenai pahala baca Al-Qur’an ; maka menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii adalah tidak sampai pada mayit.
Dan sebagian para sahabat Imam Syafii berkata: Pahalanya sampai kepada mayit ".
Ibnu Qudaamah al-Hanbali berkata:
وقال الشَّافِعِيُّ: "ما عَدَا الوَاجِبَ والصَّدَقَةَ والدُّعاءَ والاسْتِغْفارَ، لا يُفْعَلُ عن المَيِّتِ، ولا يَصِلُ ثَوَابُه إليه؛ لِقَوْلِ اللَّه تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}. وقولِ النَّبِيِّ -صلى اللَّه عليه وسلم-: "إذا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ بَعْدِه، أوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ". ولأنَّ نَفْعَهُ لا يَتَعَدَّى فَاعِلَه، فلا يَتَعَدَّاهُ ثَوَابُه ".
Al-Imam asy-Syaafi'i berkata: "Selain kewajiban, sedekah, doa, dan istighfar, tidak bisa diamalkan atas nama orang yang telah meninggal, dan pahalanya tidak sampai kepada mereka.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala: 'Dan bahwa manusia tiada memperoleh (pahala) kecuali apa yang telah diusahakannya' (QS. An-Najm: 39).
Dan sabda Nabi -shalallahu 'alaihi wa sallam-: 'Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali dari tiga hal: sedekah yang terus mengalir, ilmu yang memberi manfaat, atau anak yang shalih yang mendoakan untuknya.'
Dan karena manfaatnya tidak melampaui pelakunya, maka pahalanya juga tidak melampaui pelakunya." [Dikutip Ibnu Qudaamah dalam al-Mughni 3/521-522].
*****
PENDAPAT KE TIGA:
Ada yang mengatakan bahwa semua pahala amal shaleh orang hidup bisa bermanfaat bagi mayit dan pahalanya bisa sampai kepadanya.
Mayoritas fuqaha (ahli fikih) dari Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan sebagian dari Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menghadiahkan pahala dari amal shalih kepada orang yang telah meninggal adalah diperbolehkan, dan pahalanya dapat sampai kepadanya dengan izin Allah Ta'ala.
Al-Aini dalam 'Umdatul Qoori Syarah Shahih Bukhori 3/118 berkata:
"اخْتلف النَّاس فِي هَذَا الْمَسْأَلَة، فَذهب أَبُو حنيفَة وَأحمد، رَضِي الله تَعَالَى عَنْهُمَا، إِلَى وُصُول ثَوَاب قِرَاءَة الْقُرْآن إِلَى الْمَيِّت.. وَقَالَ النَّوَوِيّ: الْمَشْهُور من مَذْهَب الشَّافِعِي وَجَمَاعَة: أَن قِرَاءَة الْقُرْآن لَا تصل إِلَى الْمَيِّت".
"Manusia berbeda pendapat dalam masalah ini. Maka Abu Hanifah dan Ahmad - semoga Allah meridhai keduanya - berpendapat bahwa pahala dari membaca Al-Quran dapat sampai kepada orang yang telah meninggal dunia.
Sedangkan Imam An-Nawawi berkata: Yang masyhur dari mazhab Asy-Syafi'i dan sekelompok ulama, berpendapat bahwa pahala dari membaca Al-Quran tidak sampai kepada mayit."
Az-Zaila'i Pakar Hadits dari madzhab al-Hanafi dalam Tabyiin al-Haqoo'iq 2/83 di bawah Bab Haji Atas Nama Orang Lain, dia berkata:
الْأَصْلُ فِي هَذَا الْبَابِ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ.
"Prinsip dasar dalam masalah ini adalah bahwa bagi seseorang berhak mengalihkan pahala dari amal ibadahnya kepada orang lain menurut Ahlussunnah wal Jamaah, baik itu shalat, puasa, ibadah haji, membaca Al-Quran, dzikir, atau amal ibadah lainnya. Pahala dari semua jenis amal kebajikan ini dapat dikirimkan kepada orang yang telah meninggal dunia, dan pahala tersebut akan memberikan manfaat bagi nya ".
Dan Ibnu Abidin al-Hanafi dalam Al-Durr Al-Mukhtar dan Hasyiyah-nya 2/243 berkata:
"صَرَّحَ عُلَمَاؤُنَا فِي بَابِ الحَجِّ عَنِ الغَيْرِ بِأَنَّ لِلإِنسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلاَةً أَوْ صَوْمًا أَوْ صَدَقَةً أَوْ غَيْرَهَا".
"Para ulama kami [yakni madzhab Hanafi] menyatakan dalam bab haji atas nama orang lain bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala dari amalannya kepada orang lain, baik shalat, puasa, sedekah, atau pun yang lainnya."
Al-Haththab ar-Ru'aini, ulama Madzhab Maliki, berkata dalam Mawahib al-Jalil 2/543:
"قَالَ فِي التَّوْضِيحِ وَإِنَّمَا كَانَتْ هَذِهِ الأَشْيَاءُ كَالصَّدَقَةِ وَالدُّعَاءِ وَالإِهْدَاءِ عَنْهُ، أَوْلَى لِوُصُولِهَا إِلَى الْمَيِّتِ مِنْ غَيْرِ خِلاَفٍ، بِخِلاَفِ الحَجِّ، انتهى. وَقَالَ الشَّارِحِ فِي الكَبِيرِ: وَالدُّعَاءُ جَارٍ مَجْرَى الصَّدَقَةِ".
"Dinyatakan dalam "at-Tawdhiih" bahwa hal-hal seperti sedekah, doa, dan hadiah atas nama mayit lebih cenderung untuk sampai kepada mayit tanpa perbedaan pendapat, berbeda dengan ibadah haji. Selesai. Dan pensyarah dalam al-Kabiir berkata: Dan Doa itu sejalan dengan sedekah".
Dan Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/89-90 berkata:
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ. وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. وَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ فِي بَابِ مَنْ مَاتَ وعَلَيْه نَذَرٌ: أن ابْنَ عُمَرَ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلَاةٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا. وَحَكَى صَاحِبُ الْحَاوِي عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ أَنَّهُمَا قَالَا بِجَوَازِ الصَّلَاةِ عَنِ الْمَيِّتِ.
وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو سَعْدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ هِبَةِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَصْرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ فِي كِتَابِهِ الِانْتِصَارُ إِلَى اخْتِيَارِ هَذَا.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ.
Ada sebagian para sahabat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa itu sampai. Dan kelompok-kelompok dari para ulama berpendapat bahwa pahala semua macam ibadah itu sampai pada mayit, seperti pahala shalat, puasa, bacaan Al-Qur’an dan ibadah yg lainnya.
Dan dalam shahih Bukhari pada Bab: “ Barangsiapa yg wafat dan punya kewajiban nadzar” di sebutkan: bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng-qadha) shalatnya.
Dan Penulis kitab Al-Haawi menghikayatkan dari 'Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat atas nama mayit.
Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan para sahabat kita yg muta’akhirin dalam kitabnya "Al Intishar ilaa Ikhtiyar" menyatakan pilihan yang ini.
Imam Abu Muhammad Al-Baghawi dari kalangan para sahabat kami dalam kitabnya At Tahdzib berkata: Tidak jauh hukumnya atas mereka bayar fidyah satu Mudd untuk satu shalat (shalat mayit yg tertinggal). Dan semua madzhab-madzhab ini adalah dha'if [lemah]. Dan dalil mereka adalah Qiyas terhadap Doa, Sedekah dan Haji ; karena semua ini pahalanya sampai kepada mayit berdasarkan Ijma'." [Lihat: Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim1/89-90]
Al-Khatib al-Syarbini, ulama Madzhab Syafi'i berkata:
"قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: وَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ: اللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَا لِفُلَانٍ فَجَعَلْهُ دُعَاءً، وَلَا يَخْتَلِفُ فِي ذَلِكَ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ، وَيَنْبَغِي الْجَزْمُ بِنَفْعِ هَذَا؛ لِأَنَّهُ إِذَا نَفَعَ الدُّعَاءَ وَجَازَ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلِأَنْ يَجُوزَ بِمَا لَهُ أَوْلَى، وَهَذَا لَا يُخْتَصُّ بِالْقِرَاءَةِ بَلْ يَجْرِي فِي سَائِرِ الْأَعْمَالِ"
"Ibnu ash-Shalah berkata: Semestinya dia mengucapkan, 'Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang kami baca untuk fulan.' Ini adalah bentuk doa, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kerabat dekat dan yang jauh.
Dan sebaiknya memastikan manfaat dari doa ini. Karena jika doa saja dapat memberikan manfaat dan diperbolehkan dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang yang berdoa, maka diperbolehkannya dengan sesuatu yang dimiliki itu lebih utama. Ini tidak hanya berlaku untuk membaca Quran tetapi juga untuk semua jenis amal." [Mughni al-Muhtaj, 4/111].
Burhanuddin Ibnu Muflih, Ulama Madzhab Hanbali, berkata dalam Al-Mubdi' fi Syarh Al-Muqni' 2/281]:
"قَالَ أَحْمَدُ: الْمَيِّتُ يَصْلُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الْخَيْرِ لِلنُّصُوصِ الوَارِدَةِ فِيهِ، وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مَصْرٍ، وَيَقْرَءُونَ، وَيَهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ، فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَكَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ".
"Ahmad berkata: Mayit dapat menerima semua kebaikan yang dihadiahkan kepadanya, sesuai dengan nash-nash yang menyebutkannya, dan juga karena umat Islam sering berkumpul di berbagai tempat, membaca al-Quran, dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit tanpa adanya penolakan. Ini merupakan ijma' (kesepakatan) umat Islam, seperti halnya doa dan istighfar."
Al-Bahuuti Ulama Madzhab Hanbali dalam Kitab "Kasyf al-Qina'" 2/147 berkata:
وَكُلَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الْمُسْلِمُ وَجَعَلَ ثَوَابَهَا أَو بَعْضَهَا كَالنِّصْفِ وَنَحْوِهِ كَالثُّلُثِ أَوِ الرُّبُعِ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ ذَلِكَ وَنَفَعَهُ لِحُصُولِ الثَّوَابِ لَهُ. انتهى
"Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim, lalu dia menetapkan pahalanya, atau sebagian daripadanya seperti setengah atau seperempat, untuk seorang Muslim yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, maka itu diperbolehkan dan memberikan manfaat dalam mendapatkan pahala baginya." Selesai. [Lihat Pula al-Iqna' 1/236 karya al-Hijawi al-Maqdisi].
===*****===
PERNYATAAN DAN FATWA PARA ULAMA
*****
PERTAMA: PERNYATAAN IMAM BUKHORI DALAM SHAHIH-NYA:
Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahih nya Bab (41):
بَابُ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ
“Bab: Orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa”
Dalam bab ini, imam Bukhari ingin menjelaskan tetang hukum orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa, apakah wajib bagi kerabatnya untuk menunaikanya atau tidak?
Dalam bab ini imam Bukhari menyebutkan satu atsar dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, dan dua hadits dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ الحَسَنُ: " إِنْ صَامَ عَنْهُ ثَلاَثُونَ رَجُلًا يَوْمًا وَاحِدًا جَازَ ".
Dan Al-Hasan berkata: “Jika tiga puluh orang berpuasa untuknya [mengqadha puasa mayit] dalam satu hari maka itu boleh”.
TAKHRIIJ atsar Al-Hasan Al-Bashri:
Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Taghliq At-Ta’liq” (3/189) melalui jalur imam Ad-Daraqutniy rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mudabbaj”, ia berkata:
ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثَنَا مُحَمَّد بن هَارُون الفلاس، أَنا سعيد بن يَعْقُوب الطَّالقَانِي، أَنا عبد الله بن الْمُبَارك، ثَنَا سعيد بن عَامر، عَن أَشْعَث،
Muhammad bin Makhlad menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Harun Al-Fallas menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin Ya’qub Ath-Thaliqaniy memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada kami, dari Asy’ats:
عَن الْحسن؛ فِيمَن عَلَيْهِ صَوْم ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَجمع لَهُ ثَلَاثِينَ رجلا فصاموا عَنهُ يَوْمًا وَاحِدًا، قَالَ: " أَجْزَأَ عَنهُ ".
Dari Al-Hasan ; Ia ditanya tentang seseorang yang memiliki hutang puasa tiga puluh hari, kemudian ia mengumpulkan tiga puluh orang kemudian masing-masing berpuasa untuknya sehari?
Al-Hasan menjawab: “Itu cukup baginya”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari bahwa hal tersebut benar jika puasanya tidak disyaratkan untuk dibayar secara berurutan, jika puasanya disyaratkan berurutan maka itu tidak mecukupi karena puasa tersebut tidak berurutan. [Fathul Bariy 4/224]
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan Hadits 'Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasannya Nabi ﷺ. bersabda:
“مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ ".
“Barang siapa mati padahal punya kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih. Bukhori no. 1952 dan Muslim no. 1147)
*****
KEDUA: PERNYATAAN AL-'AINI, PENSYARAH SHAHIH BUKHORI
Al-Aini dalam 'Umdatul Qoori Syarah Shahih Bukhori 3/118 & 119 berkata:
فان قُلْتَ: هَل يبلغ ثَوَاب الصَّوْم أَو الصَّدَقَة أَو الْعتْق؟
قلت: روى أَبُو بكر النجار فِي كتاب (السّنَن) من حَدِيث عَمْرو بن شُعَيْب عَن أَبِيه عَن جده: (أَنه سَأَلَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، فَقَالَ: يَا رَسُول الله، إِن الْعَاصِ بن وَائِل كَانَ نذر فِي الْجَاهِلِيَّة أَن ينْحَر مائَة بَدَنَة، وَإِن هِشَام بن الْعَاصِ نحر حِصَّته خمسين، أفيجزىء عَنهُ؟ فَقَالَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: إِن أَبَاك لَو كَانَ أقرّ بِالتَّوْحِيدِ فَصمت عَنهُ أَو تَصَدَّقت عَنهُ أَو أعتقت عَنهُ بلغه ذَلِك)
Jika kamu bertanya apakah pahala puasa, sedekah, atau memerdekakan budak bisa sampai kepada orang yang telah meninggal dunia?
Maka aku jawab: Abu Bakr An-Najjar meriwayatkan dalam kitab As-Sunan dari Hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dia bertanya kepada Nabi ﷺ: "Wahai Rasulullah, pada zaman jahiliyah, Al-'As bin Wa'il telah berjanji untuk menyembelih seratus unta sebagai nazar. Apakah aku boleh membebaskannya untuknya setengahnya?" Nabi ﷺ menjawab, "Jika ayahmu menerima Islam, maka puasalah atasnya, sedekahkan untuknya, atau bebaskan budak atasnya. Semua amal itu akan sampai kepadanya."
وروى الدَّارَقُطْنِيّ: (قَالَ رجل: يَا رَسُول الله كَيفَ أبر أَبَوي بعد مَوْتهمَا؟ فَقَالَ: إِن من الْبر بعد الْمَوْت أَن تصلي لَهما مَعَ صَلَاتك، وَأَن تَصُوم لَهما مَعَ صيامك، وَأَن تصدق عَنْهُمَا مَعَ صدقتك)
Ad-Daaruquthni juga meriwayatkan dari seseorang yang bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana aku bisa berbuat baik kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal?"
Nabi ﷺ menjawab: "Berbuat baik kepada mereka setelah kematian adalah dengan mendoakan mereka, berpuasa untuk mereka, dan bersedekah atas nama mereka."
وَفِي كتاب القَاضِي الإِمَام أبي الْحُسَيْن بن الْفراء، عَن أنس، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ: (أَنه سَأَلَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، فَقَالَ: يَا رَسُول الله إِذا نتصدق عَن مَوتَانا ونحج عَنْهُم وندعو لَهُم فَهَل يصل ذَلِك اليهم؟ قَالَ: نعم، ويفرحون بِهِ كَمَا يفرح أحدكُم بالطبق إِذا أهدي إِلَيْهِ)
Dalam kitab Al-Qadhi, Abu Al-Husain bin Al-Farraa' meriwayatkan dari Anas bahwa dia bertanya kepada Rasulullah ﷺ: "Wahai Rasulullah, jika kami bersedekah, menjalankan ibadah haji, dan berdoa untuk orang-orang yang telah meninggal, apakah semua itu akan sampai kepada mereka?"
Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya, dan mereka akan merasa gembira dengan itu, sebagaimana salah satu dari kalian merasa gembira ketika mendapatkan hadiah satu nampan."
وَعَن سعد: (أَنه قَالَ: يَا رَسُول الله إِن أبي مَاتَ، أفاعتق عَنهُ؟ قَالَ: نعم).
Dan dari Sa'ad: Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Ibu saya telah meninggal. Apakah dia akan mendapatkan manfaat jika saya bersedekah untuknya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya."
وَعَن ابي جَعْفَر مُحَمَّد بن عَليّ بن حُسَيْن: (أَن الْحسن وَالْحُسَيْن، رَضِي الله عَنْهُمَا، كَانَا يعتقان عَن عَليّ، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ)
Dan dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain, bahwa Al-Hasan dan Al-Husain – radhiyallahu 'anhuma - biasa memerdekakan budak atas nama Ali – radhiyallahu 'anhu-.
وَفِي (الصَّحِيح) (قَالَ رجل: يَا رَسُول الله إِن أُمِّي توفيت، أينفعها أَن أَتصدق عَنْهَا؟ قَالَ: نعم)
Dalam Hadits yang sahih, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ: "Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal. Apakah dia akan mendapatkan manfaat jika saya bersedekah atas namanya?"
Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya."
Lalu al-'Aini berkata:
فان قلت: قَالَ الله تَعَالَى {وَأَن لَيْسَ للْإنْسَان إلَاّ مَا سعى} (النَّجْم: 39) وَهُوَ يدل على عدم وُصُول ثَوَاب الْقُرْآن للْمَيت؟
قلت: اخْتلف الْعلمَاء فِي هَذِه الْآيَة على ثَمَانِيَة أَقْوَال: أَحدهمَا: إِنَّهَا مَنْسُوخَة بقوله تَعَالَى: {وَالَّذين آمنُوا وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ} (الطّور: 21) أَدخل الْآبَاء الْجنَّة بصلاح الأبناء، قَالَه ابْن عَبَّاس، رَضِي الله تَعَالَى عَنْهُمَا
Jika Anda mengatakan, "Allah Ta'ala berfirman, 'Dan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan.' (Surat An-Najm: 39). Dan ini menunjukkan bahwa pahala membaca Al-Quran tidak sampai kepada orang yang sudah meninggal. Bagaimana Anda menjelaskannya?"
SAYA KATAKAN : bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini dalam 8 pendapat:
Salah satunya :
Adalah bahwa ayat ini sudah mansukh (dihapus) dengan firman Allah Ta'ala:
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan...' (Surat At-Tur: 21).
Para orang tua masuk surga karena kebaikan anak-anaknya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas - semoga Allah meridhainya.
الثَّانِي: إِنَّهَا خَاصَّة بِقوم إِبْرَاهِيم ومُوسَى، عَلَيْهِمَا السَّلَام، وَأما هَذِه الْأمة فَلهم مَا سعوا، وَمَا سعى لَهُم غَيرهم، قَالَه عِكْرِمَة
Pendapat kedua :
Adalah bahwa ayat ini khusus untuk kaum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, alaihimaassalaam. Adapun umat ini, mereka akan mendapatkan pahala sesuai dengan usaha yang mereka lakukan sendiri, dan juga usaha orang lain yang ditujukan untuk mereka. Ini adalah pendapat yang disampaikan oleh Ikrimah.
الثَّالِث: المُرَاد بالإنسان هَهُنَا الْكَافِر، قَالَه الرّبيع بن أنس
Pendapat ketiga :
Adalah bahwa yang dimaksud dengan "manusia" di sini adalah orang kafir. Ini adalah pandangan yang diungkapkan oleh al-Rabi' bin Anas.
الرَّابِع: لَيْسَ للْإنْسَان إلَاّ مَا سعى من طَرِيق الْعدْل، فَأَما من بَاب الْفضل فَجَائِز أَن يزِيد الله تَعَالَى مَا شَاءَ، قَالَه الْحُسَيْن بن فضل
Pendapat keempat :
Adalah bahwa manusia hanya akan mendapatkan hasil usahanya dengan cara yang adil, sedangkan jika itu berasal dari kelebihan (fadhilah), maka itu boleh jadi Allah Ta'ala menambahkannya sebagaimana yang Dia kehendaki. Ini adalah pendapat Al-Husain bin Fadhil.
الْخَامِس: إِن معنى: مَا سعى: مَا نوى، قَالَه أَبُو بكر الْوراق
Pendapat kelima:
Arti dari "ma sa'a" adalah apa yang dimaksud atau yang dikehendaki. Ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh Abu Bakr al-Waraq.
السَّادِس: لَيْسَ للْكَافِرِ من الْخَيْر إِلَّا مَا عمله فِي الدُّنْيَا فيثاب عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا حَتَّى لَا يبْقى لَهُ فِي الْآخِرَة شَيْء، ذكره الثَّعْلَبِيّ
Pendapat keenam :
Adalah bahwa orang kafir hanya mendapatkan ganjaran atas perbuatan baik yang mereka lakukan di dunia, dan mereka akan mendapat balasannya di dunia saja, sehingga mereka tidak akan memiliki apapun di akhirat. Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Al-Tha'labi.
السَّابِع إِن: اللَّام، فِي: الْإِنْسَان، بِمَعْنى: على، تَقْدِيره: لَيْسَ على الْإِنْسَان إلَاّ مَا سعى
Pendapat ketujuh :
Adalah bahwa "إِن" dalam konteks ini memiliki makna "pada" atau "terhadap", sehingga artinya adalah "Tidak ada pada manusia kecuali apa yang telah ia usahakan." Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama.
الثَّامِن: إِنَّه لَيْسَ لَهُ إلَاّ سَعْيه، غير أَن الْأَسْبَاب مُخْتَلفَة فَتَارَة يكون سَعْيه فِي تَحْصِيل الشَّيْء بِنَفسِهِ، وَتارَة يكون سَعْيه فِي تَحْصِيل سَببه، مثل سَعْيه فِي تَحْصِيل قِرَاءَة ولد يترحم عَلَيْهِ، وصديق يسْتَغْفر لَهُ، وَتارَة يسْعَى فِي خدمَة الدّين وَالْعِبَادَة فيكتسب محبَّة أهل الدّين، فَيكون ذَلِك سَببا حصل بسعيه، حَكَاهُ أَبُو الْفرج عَن شَيْخه ابْن الزغواني. وغير ذلك من الأقوال في تلك الآية. انتهى
Pendapat kedelapan:
Adalah bahwa manusia hanya akan mendapatkan hasil dari usahanya sendiri, meskipun sebab-sebabnya berbeda.
Terkadang usahanya adalah untuk mencapai sesuatu secara langsung oleh dirinya sendiri.
Terkadang usahanya untuk mencapai sebabnya, seperti ketika seseorang berusaha untuk membaca Al-Quran agar anaknya memohonkan rahmat, dan teman dekatnya memohonkan ampunan baginya.
Terkadang, seseorang berusaha untuk beribadah dan khidmat terhadap agama, sehingga dia memperoleh kecintaan atau mahabbah dari orang-orang yang ahli ibadah.
Semua ini merupakan sebab yang diperoleh melalui usaha seseorang.
Ini adalah pendapat yang disampaikan oleh Abu Al-Faraj dari gurunya, Ibn Az-Zaghawani, dan ada banyak pendapat lainnya mengenai ayat tersebut".
[Selesai. Ini adalah kesimpulan dari "Ummdat Al-Qari].
*****
KETIGA: PERNYATAAN DALAM FATWA SYEIKH BIN BAAZ:
حُكْمُ وَكَيْفِيَّةِ إِهْدَاءِ الثَّوَابِ لِلْمَيِّتِ
Hukum dan Cara Menghadiahkan Pahala untuk Orang yang Meninggal
السؤال: بالنسبةِ لِإِهْدَاءِ ثَوَابِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، التَّطَوُّعِ، يَصِلُ لِلْمَيِّتِ؟
الجواب: لِلْمَيِّتِ وَالْهَرِمِ.
س: وَهُوَ تَطَوُّعٌ ثُبِتَ هَذَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟
الشيخ: الْحَدِيثُ عَامٌّ.
س: وَصِيَامُ التَّطَوُّعِ؟
الشيخ: نَعَمْ، الصِّيَامُ... يُؤَدَّى فَرِيضَةً، صَوْمُ الْفَرِيضَةِ، يَقُولُ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ يَعْنِي قَرِيبُهُ.
س: وَأَحَادِيثُ الصَّوْمِ أَلَمْ تُرِدْ كُلَّهَا عَنِ السُّؤَالِ عَنِ الْفَرِيضَةِ؟
الشيخ: النَّافِلَةُ مِثْلُ... حَدِيثُ شَبْرَمَةَ مَا فِيهِ فَرِيضَةٌ، لَمَّا سَمِعَهُ يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شَبْرَمَةَ. قَالَ: مَنْ شَبْرَمَةَ؟ قَالَ: أَخٌ لِيٌّ أَوْ قَرِيبٌ لِيٌّ. قَالَ: حَجَّيْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: حَجِّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حَجِّ عَنْ شَبْرَمَةَ وَلَمْ يُسْأَلْهُ هَلْ هُوَ فَرِيضَةٌ أَوْ نَافِلَةٌ.
س: إهداء الثَّوَابِ لِلْمَيِّتِ عَنِ الصَّدَقَةِ وَغَيْرِهَا؟
الشيخ: نَفْسُ الصَّدَقَةِ، يَتَصَدَّقُ بِنِيَّةٍ عَنْهُ، يَنْوِيهَا لَهُ، أَوِ الْحَجُّ أَوِ الْعُمْرَةُ أَوِ الدُّعَاءُ.
س: بَعْضُ النَّاسِ يَقُولُ أَنَّ ثَوَابَهَا يَصِلُ أَوْ أَهْدَيْهَا إِلَى فُلَانٍ مَثَلًا؟
الشيخ:... النِّيَّةُ، اللَّهُ أَعْلَمُ مَا فِي قَلْبِهِ، إِذَا نَوَاهَا بِقَلْبِهِ؛ كَفَى، إِذَا نَوَى عَنْ فُلَانٍ يَكْفِي، فَهُوَ يَعْلَمُ الْمُغِيِّبَاتِ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْقُلُوبِ.
Pertanyaan: Apakah pahala dari haji, umrah, atau puasa sunnah bisa dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal?
Jawaban Syeikh: Pahala tersebut bisa dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dan juga kepada orang yang sudah tua renta (yang tidak mampu menjalankan ibadah haji atau umrah).
Pertanyaan: Apakah ada Hadits yang menyebutkan hal ini dari Rasulullah ﷺ?
Jawaban Syeikh: Hadits ini bersifat umum.
Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa sunnah?
Jawaban Syeikh: Ya, puasa... menunaikan puasa fardhu dan puasa sunnah. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
"Seseorang yang meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa fardhu, maka walinya berpuasa untuknya." Yakni kerabatnya.
Pertanyaan:
Tidak semua Hadits tentang puasa mengatakan hal yang sama. Bukankan semua hadits puasa semuanya adalah berisi pertanyaan tentang puasa fardhu?
Jawaban Syeikh: Puasa sunnah semisal.. Hadits Syubrumah, tidak ada kata puasa fardhu, ketika beliau ﷺ mendengarnya dia mengucapkan:
لَبَّيْكَ عَنْ شَبْرَمَةَ. قَالَ: مَنْ شَبْرَمَةَ؟ قَالَ: أَخٌ لِيٌّ أَوْ قَرِيبٌ لِيٌّ. قَالَ: حَجَّيْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: حَجِّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حَجِّ عَنْ شَبْرَمَةَ
Ya Allah, Aku berniat berhaji untuk Syubrumah. Beliau bertanya: Siapa Syubrumah? Dia menjawab: Saudara ku atau kerabat ku. Beliau bertanya: Apakah kamu telah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: Belum. Maka Beliau ﷺ bersabda: " Berhaji lah untuk dirimu, lalu berhaji untuk Syubrumah ". Beliau tidak bertanya apakah itu puasa wajib atau sunnah?.
Pertanyaan:
Bisakah pahala dari sedekah atau ibadah lainnya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal?
Jawaban Syeikh: Prinsipnya sama dengan sedekah. Seseorang dapat bersedekah dengan niat untuk orang yang telah meninggal. Ini juga berlaku untuk haji, umrah, atau doa.
Pertanyaan:
Beberapa orang berpendapat bahwa pahala tersebut akan sampai kepada orang yang meninggal. Atau: aku hadiahkan untuk si Fulan umapamanya. Apakah ini benar?
Jawaban Syeikh:... Niat adalah yang penting. Allah lebih mengetahui isi hati seseorang. Jika seseorang memiliki niat dalam hatinya, itu sudah cukup. Jika seseorang berniat untuk seseorang, itu sudah mencukupi. Allah mengetahui yang gaib dan mengetahui isi hati.
*****
KEEMPAT: FATWA SYEIKH IBNU AL-UTSAIMIN – KE 1:
حَكَمْ إِهْدَاءِ ثَوَابِ الذِّكْرِ لِلْمَيِّتِ
Hukum Menghadiahkan Pahala Dzikir kepada Orang yang Meninggal
Nama Seri: Fatwa Nurun 'Ala ad-Darb. Kaset Nomor [349]
السُّؤَالُ: حَفِظَكُمْ اللَّهُ. مِنْ أَسْئِلَتِهَا يَا فَضِيلَةَ الشَّيْخِ، تَقُولُ: هَلْ يَجُوزُ أَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ ذَلِكَ لِزَوْجِي الْمَتَّوَفِّى أَوْ فُلَانِ الْمَتَّوَفِّى؟
Pertanyaan: Semoga Allah menjaga Anda. Dari pertanyaannya: wahai Fadhilah Syaikh, dia bertanya: Apakah boleh saya mengucapkan: "Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar, "Ya Allah, jadikanlah pahala dari ini untuk suamiku yang telah meninggal atau untuk si fulan yang telah meninggal."?"
الْجَوَابُ: الشَّيْخُ: نَعَمْ. يَجُوزُ هَذَا، يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَذْكُرَ اللَّهَ وَيَجْعَلَ ثَوَابَهُ لأَحَدٍ مِنْ أَقَارِبِهِ لَكِنَّ الدُّعَاءَ أَفْضَلُ لَهُ، أَفْضَلُ يَعْنِي قَوْلَ الْمَرْأَةِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِزَوْجِي أَفْضَلُ مِنْ أَنْ تَقْرَأَ لَهُ قُرْآنًا أَوْ تَسْبِحَ تَسْبِيحًا وَتُدْعَ ثَوَابَهُ لَهُ؛ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»، وَلَمْ يَقُلْ: يُسَبِّحُ لَهُ أَوْ يَقْرَأُ لَهُ أَوْ يُصَلِّي لَهُ أَوْ يَصُومُ لَهُ أَوْ يَتَصَدَّقُ لَهُ، بَلْ قَالَ: أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ. فَالذِّي يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَسْتَرْشِدَ بِمَا أَرْشَدَنَا إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ؛ لِأَنَّهُ أَفْضَلُ وَأَكْمَلُ. عَلَى أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ: الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ لَا يَصِحُّ جَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ، وَإِن جَعَلَ فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ. نَعَم.
Jawaban Sheikh Ibnu Al-Utsaimin, dia berkata:
Ya, hal ini diperbolehkan. Seseorang boleh menyebut nama Allah dan menjadikan pahala amal tersebut untuk salah satu dari kerabatnya yang telah meninggal dunia. Namun, doa lebih utama untuknya. Lebih utama yakni perkataan seorang wanita:
"Allahummaghfir li zawji" (Ya Allah, ampunilah suamiku) lebih utama daripada membaca Al-Quran untuknya atau berzikir, dan menjadikan pahalanya untuknya. Dalil untuk hal ini adalah sabda Nabi ﷺ:
"Apabila seorang manusia meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya."
Nabi tidak mengatakan: dia membaca tasbih (dzikir) untuknya, atau dia membaca Al-Quran untuknya, atau dia shalat untuknya, atau dia berpuasa untuknya, atau dia bersedekah untuknya. Namun, Nabi mengatakan: atau anak shalih yang mendoakannya. Inilah yang lebih utama. Oleh karena itu, kita seharusnya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Nabi ﷺ karena itu adalah yang terbaik dan yang paling sempurna.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa amalan-amalan badaniyah tidak bisa pahalnay dijadikan untuk orang yang telah meninggal, dan jika dijadikan untuknya, maka pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang meninggal. Ya".
====
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIIN KE 2:
هَلْ يَصِلُ إِهْدَاءُ الثَّوَابِ إِلَى الْمَيِّتِ أَمْ لَا؟
Apakah pahala bisa sampai kepada orang yang telah meninggal atau tidak?
السُّؤَالُ: هَلْ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَأَنَّ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الثَّوَابَ لَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ إِذَا أُهِدِيَ لَهُ؟
الْإِجَابَةُ: قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَأَنَّ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}، الْمُرَادُ -وَاللَّهُ أَعْلَمُ- أَنَّ الْإِنسَانَ لَا يَسْتَحِقُّ مِنْ سَعْيِ غَيْرِهِ شَيْئًا، كَمَا لَا يَحْمِلُ مِنْ وِزْرِ غَيْرِهِ شَيْئًا؛ وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُ سَعْيِ غَيْرِهِ؛ لِكَثْرَةِ النُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِي وَصُولِ ثَوَابِ سَعْيِ الْغَيْرِ إِلَى غَيْرِهِ وَانْتِفَاعِهِ بِهِ إِذَا قَصَّدَهُ بِهِ.
Pertanyaan: Apakah firman Allah Ta'ala: "Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh (pahala) kecuali apa yang telah diusahakannya" (QS. An-Najm: 39), menunjukkan bahwa pahala tidak sampai kepada orang yang telah meninggal jika dihadiahkan kepada nya?
Jawaban Sheikh Ibnu Utsaymin: Firman Allah Ta'ala, "Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh (pahala) kecuali apa yang telah diusahakannya," yang dimaksud -wallaahu a'lam- adalah bahwa manusia tidak berhak untuk mendapatkan sesuatu dari usaha orang lain, begitu juga dia tidak akan memikul dosa orang lain.
Ini bukan berarti bahwa pahala dari usaha orang lain tidak akan sampai kepadanya, karena terdapat banyak nash (dalil) yang menunjukkan bahwa pahala dari usaha orang lain dapat sampai kepada orang lain dan dia akan mendapatkan manfaat darinya jika dia mengarahkannya kepadanya.
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
===*****===
KUMPULAN DALIL : BOLEHNYA KIRIM DOA DAN HADIAH PAHALA UNTUK MAYIT:
*****
DALIL ORANG MATI BISA MENDAPAT MANFAAT DARI DOA ORANG HIDUP
Berikut ini dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mendapat manfaat dari doa orang hidup:
DALIL PERTAMA: Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
[QS. Al-Hasyr: 10]
Allah SWT memuji mereka atas doa permohonan ampunan mereka bagi orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka mendapat manfaat dari doa permohonan ampunan orang hidup.
Dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mendapat manfaat dari doa orang hidup adalah Ijma kaum muslimin akan di syariatkannya berdoa untuk mayit saat sholat jenazah dan adanya doa-doa yang disebutkan dalam Sunnah ketika sholat jenazah yang cukup banyak. Begitu pula berdoa untuknya setelah penguburan
[Baca: المفصل في أحكام الأضحية hal. 168 karya Hisamudin Affaanah]
Lalu bagaimana menggabungkan ayat diatas dengan ayat berikut ini?:
﴿وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ﴾
"dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" [An-Najm: 39]
Syeikh Bin Baaz menjawabnya dengan mengatakan:
"أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: وَأَنَّ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم: 39]، فَلَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّ الإِنسَانَ مَا يَنْفَعُهُ عَمَلُ غَيْرِهِ، وَلاَ يَجْزِئُ عَنْهُ سَعْيُ غَيْرِهِ، وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التَّفْسِيرِ الْمُحَقِّقِينَ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ سَعْيٌ غَيْرُهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي لَهُ سَعْيُهُ وَعَمَلُهُ فَقَطْ، وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ فَإِنَّ نَوَاهُ عَنْهُ وَعَمَلُهُ بِالنِّيَابَةِ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُهُ وَيُثَابُ عَلَيْهِ، كَمَا يُثَابُ بِدُعَاءِ أَخِيهِ وَصَدَقَتِهِ عَنْهُ، فَهَكَذَا حَجَّهُ عَنْهُ وَصَوْمُهُ عَنْهُ إِذَا كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ."
Adapun firman Yang Maha Kuasa: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya"” [An-Najm: 39], maka tidak berarti bahwa hasil usaha orang lain tidak ada manfaatnya bagi manusia, dan usaha orang lain tidak mencukupi pula untuk nya.
Maka yang benar maknanya menurut para ulama tafsir yang shahih adalah: bahwa dia tidak mendapatkan usaha selain Dia, melainkan dia hanya mendapatkan hasil usahanya dan amalan sendiri yang merupakan hak baginya. Adapun amalan orang lain, jika dia menghendakinya atas namanya dan mengerjakannya atas namanya, maka hal itu akan memberi manfaat baginya dan dia akan mendapatkan pahala karenanya, sebagaimana dia mendapat pahala atas doa dan sedekah saudaranya atas namanya. Maka begitu pula hajinya atas namanya, puasanya atas namanya jika dia punya kewajiban puasa ". [Sumber: Majmu' Fatawa wa Maqolaat Bin Baaz 16/398]
DALIL KEDUA: Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 3221 dari hadits Utsman bin Affan radhiallahu anhu, dia berkata:
"كانَ النَّبيُّ إذا فَرغَ مِن دفنِ الميِّتِ وقفَ عليهِ ، فَقالَ: استَغفِروا لأَخيكُم ، واسأَلوا لَهُ بالتَّثبيتِ ، فإنَّهُ الآنَ يسألُ"
“Dahulu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika selesai menguburkan mayat, beliau berdiri dan mengatakan, “Mintakan ampunan untuk saudara anda semua, dan mohonkan kepadanya keteguhan. Karena dia sekarang sedang ditanya.”
[HR. Abu Daud (3221), Al-Bazzar (445), dan Ibnu As-Sunni dalam ((عمل اليوم والليلة)) (585), dengan sedikit perbedaan].
Dinyatakan shahih oleh Al-Albany di Ahkamu Al-Janaiz, hal. 198 dan Shahih Abu Daud no. 3221. Dan dinyatakan Hasan oleh al-Waadi'ii dalam الصحيح المسند no. 933]
DALIL KETIGA: Dari Buraidah (ra), dia berkata:
كَانَ النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ قَائِلُهُمْ: «السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أهلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنينَ وَالمُسلمينَ، وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ للاَحِقونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ«.
"Dulu Nabi s.a.w. pernah mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-:
"Keselamatan atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu'minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untuk kalian semua akan keselamatan [al'aafiyah]." (HR. Muslim [Riyadhus Sholihiin no. 582])
DALIL KEEMPAT: Dari Ummu Salamah (ra) ia berkata;
"دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ".
Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah ﷺ datang ke rumah kami untuk menjenguk jenazahnya. Saat itu, mata Abu Salamah tengah terbuka, maka beliau pun memejamkannya. Kemudian beliau bersabda: "Apabila ruh telah dicabut, maka penglihatan akan mengikutinya dan keluarganya pun meratap hiteris. Dan janganlah sekali-kali mendo'akan atas diri kalian kecuali kebaikan, sebab ketika itu malaikat akan mengaminkan apa yang kalian ucapkan." Setelah itu, beliau berdo'a:
(Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya)." [HR. Muslim no. 920].
DALIL KELIMA: Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu dishalatkan oleh lebih dari empat puluh orang, yang mana mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, niscaya Allah akan mengabulkan syafaat (doa) mereka untuknya.” (HR. Muslim no. 948)
Ibnu Qoyyim berkata dalam ar-Ruuh hal. 119:
“وَدُعَاء النَّبِي للأموات فعلا وتعليما وَدُعَاء الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ وَالْمُسْلِمين عصرا بعد عصر أَكثر من أَن يذكر وَأشهر من أَن يُنكر وَقد جَاءَ أن الله يرفع دَرَجَة العَبْد فِي الْجنَّة فَيَقُول أَنى لى هَذَا فَيُقَال بِدُعَاء ولدك لَك".
"Dan doa Nabi untuk orang-orang yang sudah meninggal adalah perbuatan yang nyata dan pendidikan yang diajarkan. Demikian pula, doa para sahabat, tabi'in, dan umat Islam pada umumnya, dari masa ke masa, lebih banyak daripada yang bisa dihitung dan lebih terkenal daripada yang bisa disangkal. Allah telah menjelaskan bahwa Dia akan meninggikan derajat seorang hamba di Surga, dan hamba tersebut akan bertanya: 'Bagaimana bisa aku mencapai derajat ini?' Maka akan dijawab: 'Dengan doa anakmu untukmu.'"
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"وَهَذَا لَا يُعَارِضُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ" (رواه مسلم)، لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ عَمَلُ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ، لَا عَمَلُ غَيْرِهِ لَهُ؛ وَإِنَّمَا جَعَلَ دُعَاءَ الْوَلَدِ الصَّالِحِ مِنْ عَمَلِهِ؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ، حَيْثُ إِنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي إِيجَادِهِ، فَكَأَنَّ دُعَاءَهُ لِوَالِدِهِ دُعَاءً مِنَ الْوَالِدِ نَفْسِهِ، بِخْلَافِ دُعَاءِ غَيْرِ الْوَلَدِ لِأَخِيهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِ -وَإِنْ كَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ-، فَالِاسْتِثْنَاءُ الَّذِي فِي الْحَدِيثِ مِنْ انْقِطَاعِ عَمَلِ الْمَيِّتِ نَفْسِهِ لَا عَمَلِ غَيْرِهِ لَهُ، وَلِهَذَا لَمْ يَقُلْ: "انْقَطَعَ الْعَمَلُ لَهُ"، بَلْ قَالَ: "انْقَطَعَ عَمَلُهُ"، وَبَيْنَهُمَا فَرَقٌ بَيِّنٌ".
Ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
"Apabila anak Adam meninggal, amalannya terputus kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan baginya" (Hadits Sahih Muslim).
Karena yang dimaksud dalam hadits ini adalah amal dari diri seseorang, bukan amal dari orang lain untuknya. Dalam konteks ini, doa dari anak yang shaleh dianggap sebagai amal dari si mayit sendiri karena anak adalah hasil usahanya. Dengan demikian, doa anak yang shaleh untuk orangtuanya seperti doa yang diberikan dari orangtua untuk diri sendiri.
Ini berbeda dengan doa yang diberikan oleh orang lain untuk saudaranya, karena meskipun dapat memberikan manfaat, namun itu bukanlah amalannya sendiri. Oleh karena itu, pengecualian dalam Hadits tersebut adalah mengenai terputusnya amal dari si mayit itu sendiri, bukan amal dari orang lain untuknya, dan perbedaan inilah yang dijelaskan dalam Hadits tersebut.
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail ash-Shaikh Muhammad Salih al-'Uthaymin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
*****
DALIL ORANG MATI BISA MENDAPAT MANFAAT DARI BACAAN DZIKIR ORANG HIDUP
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ حِينَ تُوُفِّيَ، قَالَ: فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَسُوِّيَ عَلَيْهِ، سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحْنَا طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرْنَا، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ سَبَّحْتَ؟ ثُمَّ كَبَّرْتَ؟ قَالَ: «لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللَّهُ عَنْهُ»
"Suatu hari, kami pergi bersama Rasulullah ﷺ menuju pemakaman Sa'ad bin Mu'adz ketika ia wafat. Ketika Rasulullah ﷺ selesai menshalatinya, dan jenazah Sa'ad sudah diletakkan di dalam kubur, serta kuburnya telah diratakan, Rasulullah ﷺ mulai bertasbih, maka kami pun ikut bertasbih dalam waktu yang lama. Kemudian, beliau bertakbir, dan kami pun ikut bertakbir.
Lalu seseorang bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih dan kemudian bertakbir?'
Rasulullah ﷺ menjawab, 'Sesungguhnya kubur ini terasa sempit bagi hamba yang saleh ini (Sa'ad bin Mu'adz) hingga Allah melapangkannya baginya.'" (HR. Ahmad no. 14873)
Syu’aib al-Arna’uth berkata :
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ مِنْ أَجْلِ ابْنِ إِسْحَاقَ، وَمَحْمُودٌ -وَيُقَالُ: مُحَمَّدٌ- بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ غَيْرُ مُعَاذِ بْنِ رِفَاعَةَ، وَوَثَّقَهُ أَبُو زُرْعَةَ كَمَا فِي "الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ" ٧/٣١٦، وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتُ" ٥/٣٧٣.
Hadits ini memiliki sanad yang HASAN karena keberadaan Ibnu Ishaq. Adapun perawi lainnya seperti Mahmud—atau disebut juga Muhammad—bin Abdul Rahman, tidak ada perawi lain yang meriwayatkan darinya kecuali Mu'adz bin Rifa'ah. Abu Zur'ah menilai dia tsiqah, seperti yang tercantum dalam kitab "al-Jarh wa at-Ta'dil". Dan Ibnu Hibban memasukkan nya dalam kitabnya at-Tsiqoot (kumpulan para perawi terpercaya)”.
Hadits ini disebutkan pula dalam "Sirah Ibnu Hisyam" dari Ibnu Ishaq, jilid 3, halaman 263.
Ath-Thabrani juga meriwayatkannya (no. 5346) melalui jalur Muhammad bin Salamah, dan al-Baihaqi dalam kitab "Itsbat Adzab al-Qabr" (no. 113) melalui jalur Yunus bin Bukair, keduanya dari Muhammad bin Ishaq dengan sanad ini.
Al-Bukhari mencantumkannya dalam "at-Tarikh al-Kabir" jilid 1, halaman 148, dalam bentuk ringkas: "Sa'ad bin Mu'adz dimakamkan sementara kami bersama Nabi ﷺ."
Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh ath-Thabrani dalam "al-Kabir" (no. 12975), dan oleh al-Baihaqi dalam "Itsbat Adzab al-Qabr" (no. 112).
Dan dari Ibnu Umar diriwayatkan oleh al-Baihaqi (no. 111).
Dalam jalur riwayat lain dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:
لَمَّا دُفِنَ سَعْدٌ، وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَّحَ النَّاسُ مَعَهُ طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرَ النَّاسُ، ثُمَّ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ مِمَّ سَبَّحْتَ؟ قَالَ: " لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الرَّجُلِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللهُ عَنْهُ "
"Ketika Sa'ad dimakamkan, dan kami bersama Rasulullah ﷺ, beliau bertasbih, maka orang-orang pun ikut bertasbih dalam waktu yang panjang. Kemudian, beliau bertakbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir. Lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih?' Beliau ﷺ menjawab, 'Sesungguhnya kubur ini terasa sempit bagi orang yang saleh ini hingga Allah melapangkannya baginya.'"
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (jilid 23, halaman 278, no. 14505, 14873, 15029), dan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (no. 5346), serta al-Kallabazi dalam Bahr al-Fawa'id (halaman 228).
Syaikh Syu'aib al-Arna'uth berkata:
حَدِيثٌ صَحِيحٌ، وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ
"Hadits ini sahih, dan sanadnya hasan."
Al-Haitsami dalam Majma' (jilid 3, halaman 46, no. 4254) berkata:
"رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَالطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ، وَفِيهِ مَحْمُودُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْجَمُوحِ قَالَ الْحُسَيْنِيُّ: فِيهِ نَظَرٌ. قُلْتُ: وَلَمْ أَجِدْ مَنْ ذَكَرَهُ غَيْرَهُ".
"Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Kabir. Di dalamnya terdapat perawi bernama Mahmud bin Muhammad bin Abdul Rahman bin Amr bin al-Jamuh. Al-Husaini berkata: 'Ada catatan mengenai dirinya.' Saya (Al-Haitsami) berkata: 'Saya tidak menemukan ada yang menyebutkannya selain dia (Al-Husaini).'"
Dalam riwayat Ibnu Hibban : Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَعْدٍ: "هَذَا الرَّجُلُ الصَّالِحُ الَّذِي فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ شُدِّدَ عَلَيْهِ، ثُمَّ فُرِّجَ عَنْهُ"
Rasulullah ﷺ bersabda kepada Sa'ad: "Orang saleh ini yang pintu-pintu langit terbuka untuknya, mendapatkan kesulitan, kemudian Allah melapangkannya."
(HR. Ibnu Hibban: 7033). Al-Albani berkata: "Hasan Sahih" – dalam kitab "As-Silsilah Ash-Shahihah" (no. 3348).
Dan dari Ibnu Umar, ia berkata:
دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَهُ - يَعْنِي سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ - فَاحْتَبَسَ، فَلَمَّا خَرَجَ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَبَسَكَ؟ قَالَ: "ضُمَّ سَعْدٌ فِي الْقَبْرِ ضَمَّةً، فَدَعَوْتُ اللَّهَ فَكَشَفَ عَنْهُ"
"Rasulullah ﷺ masuk ke dalam kuburnya—yakni kubur Sa'ad bin Mu'adz—kemudian beliau tertahan di dalamnya. Ketika beliau keluar, ditanyakan: 'Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertahan?' Beliau menjawab: 'Sa'ad dipeluk oleh kuburnya dengan pelukan yang keras, lalu aku berdoa kepada Allah dan Allah melapangkannya baginya.'"
(HR. Ibnu Hibban: 7034). Al-Albani berkata: "Sahih lighairih" – dalam kitab "As-Silsilah Ash-Shahihah" (4/270).
*****
HADITS KIRIM PAHALA DARI PAHALA MEMERDEKAKAN BUDAK:
HADITS: Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya:
أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ أَوْصَى أَنْ يُعْتِقَ عَنْهُ مِائَةُ رَقَبَةٍ فَأَعْتَقَ ابْنُهُ هِشَامٌ خَمْسِينَ رَقَبَةً فَأَرَادَ ابْنُهُ عَمْرٌو أَنْ يُعْتِقَ عَنْهُ الْخَمْسِينَ الْبَاقِيَةَ فَقَالَ حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي أَوْصَى بِعَتْقِ مِائَةِ رَقَبَةٍ وَإِنَّ هِشَامًا أَعْتَقَ عَنْهُ خَمْسِينَ وَبَقِيَتْ عَلَيْهِ خَمْسُونَ رَقَبَةً أَفَأُعْتِقُ عَنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُسْلِمًا فَأَعْتَقْتُمْ عَنْهُ أَوْ تَصَدَّقْتُمْ عَنْهُ أَوْ حَجَجْتُمْ عَنْهُ بَلَغَهُ ذَلِكَ
bahwa Al 'Ash bin Wail telah memberikan wasiat dibebaskan untuknya seratus unta. Kemudian anaknya yaitu Hisyam membebaskan lima puluh budak, dan anaknya yang bernama 'Amr hendak membebaskan lima puluh yang lainnya. Kemudian ia berkata; tunggulah hingga aku bertanya kepada Rasulullah, kemudian ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata;
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah berwasiat agar membebaskan seratus budak. Dan sesungguhnya Hisyam telah membebaskan lima puluh dan tersisa lima puluh budak, apakah saya boleh membebaskan untuknya?".
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya apabila ia adalah seorang muslim kemudian kalian memerdekakan budak untuknya atau bersedekah untuknya atau berhaji untuknya, maka hal tersebut sampai kepadanya."
[HR. Abu Dawud (2883) dan ini adalah lafadznya, dan Al-Bayhaqi (13013). Di hasankan oleh asy-Syaukani dal Neil al-Awthaar 6/155 dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 2883].
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"فإذا تَبَيَّنَ أَنَّ الرجُلَ يَنتَفِعُ بِغَيْرِهِ وَبِعَمَلِ غَيْرِهِ، فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ انتِفَاعِهِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ، وَهُوَ المُسْلِمُ؛ فَأَمَّا الكَافِرُ فَلا يَنتَفِعُ بِمَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ، وَلا يَجُوزُ أَنْ يُهْدَى إِلَيْهِ، كَمَا لا يَجُوزُ أَنْ يُدْعَى لَهُ وَيُسْتَغْفَرَ لَهُ."
"Jika telah terbukti shahihnya dalil bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari orang lain dan perbuatan orang lain, maka salah satu syarat manfaatnya adalah bahwa orang tersebut harus dari keluarganya, yaitu seorang Muslim. Seorang kafir tidak akan mendapatkan manfaat dari perbuatan baik yang diberikan kepadanya, dan tidak boleh memberikan perbuatan baik kepada mereka, begitu juga tidak boleh mendoakan mereka atau memohonkan ampun untuk mereka".
*****
HADITS KIRIM PAHALA SEDEKAH UNTUK MAYIT:
HADITS KE 1: Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan:
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَخَا بَنِي سَاعِدَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا فَهَلْ يَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radliallahu 'anhum, saudara dari Bani Sa'idah, bahwa ibunya telah meninggal dunia, saat itu Saad sedang pergi jauh, lalu dia datang menemui Nabi ﷺ seraya berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sedang saat itu aku tidak berada di sisinya. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menshadaqahkan sesuatu untuknya?"
Beliau menjawab: "Ya".
Dia berkata: "Aku mempersaksikan dihadapan engkau bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku shadaqahkan atas (nama) nya". [HR. Bukhori no. 2556, 2756]
Al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr berkata:
(أمَّا الصَّدقةُ عَنِ الميِّت؛ فمُجتَمَعٌ على جوازِها، لا خلاف بين العُلَماءِ فيها)
(Adapun bersedekah atas nama orang mati, telah ada kesepakatan secara Ijma tentang kebolehannya, dan tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal itu) ((At-Tamhiid)) (20/27).
Al-Nawawi berkata:
(أجمع المسلمونَ على أنَّ الصَّدقةَ عن الميِّتِ تَنفَعُه وتَصِلُه)
(Umat Islam sepakat secara Ijma' bahwa sedekah atas nama orang yang meninggal itu bermanfaat dan sampai kepadanya). ((Al-Majmu')) (5/323).
HADITS KE 2: Dari‘Aisyah (ra):
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi ﷺ: “Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bershadaqah untuknya (atas namanya)?”.
Beliau ﷺ menjawab: “Ya, benar”. ( HR. Bukhori no. 1299)
HADITS KE 3: Dari Abu Hurairah (ra):
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
“Bahwa seseorang berkata kepada Nabi ﷺ, "Sesungguhnya ayahku wafat dengan meninggalkan harta dan belum berwasiat. Apakah dapat menghapus dosanya jika aku bersedekah untuknya?" Maka beliau bersabda: "Ya."
( HR. Muslim no. 1630 dan Nasaai 3592).
HADITS KE 4: Dari Aisyah (ra):
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
“Bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba, jika tidak terjadi hal tersebut niscaya ia telah bersedekah dan memberi. Apakah sah saya bersedekah untuknya?
Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Ya, bersedekahlah untuknya.” ( HR. Bukhori no. 1388, Muslim no. 1004 dan Abu Daud no. 2495) Ini Lafadz Abu Daud.
****
KIRIM DOA, PAHALA SHALAT, PUASA DAN SILATURRAHIM
HADITS KE 1: Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا».
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah ﷺ. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?”
Nabi ﷺ menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Caranya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak terjalin ( terputus) dan memuliakan teman dekat keduanya.”
(HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Al-Hakim menshahihkannya, dan Al-Dhahabi setuju dengannya. Dan di Shahihkan pula oleh Ibnu Hibbaan.
Al-Hafiz Al-Iraqi berkata:
“أخرجه أبو داود وابن ماجة بإسناد حسن"
Abu Dawud dan Ibn Majah meriwayatkannya dengan sanad yang Hasan “
Begitu juga Al-Hafizh Abu Thahir, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Namun hadits ini didhaifkan oleh yang lain, diantaranya: oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa dan al-Albani, seperti dalam Dhaif Sunan Abi Dawud dan dalam Dhaif Sunan Ibnu Majah.
HADITS KE 2: Dari Abu Usaid as-Saa’idi beliau berkata:
“بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَتَاهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا بِهِ؟ قَالَ: " نَعَمْ ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ: الدُّعَاءُ لَهُمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ وَعْدِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا ".
“Ketika aku sedang duduk di sisi Nabi ﷺ, datang seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah lalu dia berkata:
Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagi ku berbuat baik kepada kedua ibu bapaku setelah kedua-duanya meninggal dunia?
Beliau ﷺ bersabda: “Ya, ada empat perkara, yaitu:
Mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji mereka berdua, serta menyambung tali silaturahim (mengeratkan hubungan kekeluargaan) dengan orang-orang yang tidak ada hubungan kekeluarga dengan kamu melainkan ada hubungan dengan mereka berdua.”
[HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Adab, al-Ruyani, al-Khotib dalam al-Mudhih, al-Wahidi, al-Sulami dalam Adab ash-Shuhbah. Hadits ini di dhaifkan oleh Syeikh al-Albaani dalam Silsilah al-Dha’iifah 2/62 no.597]
HADITS KE 3: Di dalam sunan Daruquthni dari Al-Hajjaj bin Dinar, disebutkan:
“أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ لِي أَبَوَيْنِ وَكُنْت أَبَرُّهُمَا حَالَ حَيَاتِهِمَا. فَكَيْفَ بِالْبِرِّ بَعْدَ مَوْتِهِمَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إنَّ مِنْ بَعْدِ الْبِرِّ أَنْ تُصَلِّيَ لَهُمَا مَعَ صَلَاتِك وَأَنْ تَصُومَ لَهُمَا مَعَ صِيَامِك وَأَنْ تَصَدَّقَ لَهُمَا مَعَ صَدَقَتِك}".
Sesungguhnya seorangg laki-laki bertanya kepada Rosulullah ﷺ dan berkata: ‘Ya Rosululloh, sesungguhnya aku memiliki kedua org tua yg aku berbuat baik kpd keduanya semasa hidupnya. Maka bagaimana cara berbuat baik kpd keduanya setelah keduanya meninggal?’
Maka Nabi ﷺ bersabda: (Sesungguhnya termasuk Birrul Walidain adalah kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu, kamu puasa untuk keduanya bersama puasamu, dan kamu bersedekah untuk keduanya bersama dengan sedekah kamu).
Syeikh al-Utsaimin berkata ;
هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَا يَصِحُّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَكِنَّ مِنْ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ بَعْدَ مَمَاتِهِمَا أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُمَا وَتَدْعُوَ اللَّهَ لَهُمَا وَتُكْرِمَ صَدِيقَهُمَا وَتُصِلَ الرَّحِمَ الَّتِي هِيَ الصِّلَةُ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا، هَذَا مِنْ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا وَأَمَّا أَنْ تُصَلِّيَ لَهُمَا مَعَ صَلَاتِكَ الصَّلاَةَ الشَّرْعِيَّةِ الْمَعْرُوفَةِ أَوْ أَنْ تَصُومَ لَهُمَا فَهَذَا لَا أَصْلَ لَهُ
“Hadits ini lemah dan tidak valid dari Nabi ﷺ, akan tetapi bagian dari birrul walidain setelah kematian mereka adalah anda memohonkan pengampunan bagi mereka dan berdoa kepada Allah untuk mereka dan memuliakan teman mereka berdua, memelihara tali silaturrahim yang menjadi penghubung antara kamu dengan mereka. Ini adalah bagian dari amalan Birrul walidain setelah mereka wafat.
Adapun " Kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu yang syar'i yang kita ketaui bersama" atau " kamu puasa untuk keduanya bersama puasamu", maka itu tidak ada dasarnya”. ( Lihat: نور على الدرب – 152 B)
Dalam syarah shahih Muslim 1/88-89, Imam Nawawi menyebutkan:
Bahwa Abu Ishaq ath-Thooliqooni bertanya kepada Ibnu al-Mubaark tentang hadits ini? Maka Ibnu al-Mubaarak menjawab:
“يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ بَيْنَ الْحَجَّاجِ بْنِ دِينَارٍ وَبَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَفَاوِزَ تَنْقَطِعُ فِيهَا أَعْنَاقُ الْمَطِيِّ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِي الصَّدَقَةِ اخْتِلَافٌ ".
“Wahai Abu Ishaq, antara perawi Al-Hajjaj bin Dinar dan Nabi ﷺ, terdapat lahan-lahan padang pasir yang gersang yang memutuskan leher-leher tunggangan, akan tetapi tidak ada perbedaan dalam sedekah “.
Imam an-Nawawi berkata:
“مَعْنَى هَذِهِ الْحِكَايَةِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ الْحَدِيثُ إلَّا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ".
“Makna kisah ini adalah bahwa sebuah hadits tidak boleh diterima kecuali dengan sanad yang shahih “. (Syarah shahih Muslim 1/88-89).
Kemudian Imam Nawawi melanjutkan perkataannya:
“فَمَعْنَاهُ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ لَا يُحْتَجُّ بِهِ وَلَكِنْ مَنْ أَرَادَ بِرَّ وَالِدَيْهِ فَلْيَتَصَدَّقْ عَنْهُمَا فَإِنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِعُ بِهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ".
“Maka maknanya: hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi barang siapa yang ingin berbakti kepada kedua orang Engkauya, maka hendaklah dia bersedekah atas nama mereka, karena pahala sedekah itu sampai kepada orang mati dan dia dapat mengambil manfaat darinya tanpa adanya perbedaan penadapat di antara umat Islam, dan ini adalah pandangan yang benar “.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka jika hadits itu shahih, makna sabda Nabi ﷺ: “kamu sholat untuk keduanya bersama sholat mu “ dan Sabda beliau ﷺ dalam riwayat lain: “Sholat untuk keduanya ” maka itu yang dimaksud bukan sholat yang kita kenal ; Karena sudah menjadi ketetapan jumhur para ulama, bahwa tidak boleh sholat seseorang untuk orang lain, tetapi setiap orang yang sholat itu untuk dirinya sendiri, dan sholat itu tidak bisa di wakilkan.
Dan ini bisa diperkuat dengan hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah yang tersebut di atas, yaitu:
“Ada empat perkara, yaitu: Mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji mereka berdua, serta menyambung tali silaturahim (mengeratkan hubungan kekeluargaan) dengan orang-orang yang tidak ada hubungan kekeluarga dengan kamu melainkan ada hubungan dengan mereka berdua.”
Imam an-Nawawi berkata:
" أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ لِلْأَمْوَاتِ يَنْفَعُهُمْ وَيَصِلُ ثَوَابُهُ إِلَيْهِمْ".
“Para ulama telah berijma’ bahwa doa untuk orang mati itu bermanfaat bagi mereka, dan pahalanya sampai kepada mereka”. ( Baca: kitab al-Adzkaar hal. 140 karya Imam Nawawi).
Ini diperkuat dengan Firman Allah SWT:
{وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Hasyr: 10)
*****
HADITS-HADITS BADAL HAJI UNTUK KEDUA ORANG TUA
Dalil yang menunjukkan sampainya pahala SEDEKAH, PUASA DAN IBADAH HAJI atas nama mayit:
HADITS KE 1: Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu anhu, dia berkata:
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ: وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ: صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ: إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ: حُجِّي عَنْهَا
Ketika kami duduk di sisi Rasulullah ﷺ, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya:
‘Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal.'
Beliau bersabda: ‘Anda telah mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada anda warisannya.'
Dia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungngan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?'
Beliau menjawab: ‘Berpuasa lah untuknya.'
Dia bertanya lagi: ‘Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?
Beliau ﷺ menjawab: ‘Hajikan lah untuknya.’ (HR. Muslim, 1149)
HADITS KE 2: Dari Abdullah bin Abbas dari Al Fadhl bin Abbas:
أنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ قَالَ فَحُجِّي عَنْهُ
“Bahwa seorang wanita dari Khats'am berkata;
"Wahai Rasulullah, ayahku telah terkena kewajiban Allah yang berupa haji, padahal dia telah lanjut usia yang sudah tidak sanggup lagi duduk di atas kendaraannya?"
Beliau bersabda: "Berhajilah untuknya!" ( HR. Bukhori no. 1854, Muslim no. 1334 dan Ahmad no. 1725 lafadz miliknya,).
HADITS KE 3: Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya berkata;
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا
“Seorang wanita menemui Nabi ﷺ lalu bertanya; ‘Ibuku meninggal dan belum melaksanakan haji, apakah saya dapat berhaji untuknya? ‘
Beliau menjawab: ‘Ya. Berhajilah untuknya.’
( HR. Turmudzi no. 851) (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; “Ini merupakan hadits shahih.”
HADITS KE 4: Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi ﷺ lalu berkata:
"Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?".
Beliau ﷺ menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar". ( HR. Bukhori no. 1720)
An-Nawawi rahimahullah berkata:
"وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْحَجِّ جَائِزَةٌ عَنِ الْمَيِّتِ وَالْعَاجِزِ الْمَيِّئُوسِ مِنْ بِرِّئِهِ، وَاعْتَذَرَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ مُخَالَفَةِ مَذْهَبِهِمْ - أَيْ: الْمَالِكِيَّةِ - لِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ فِي الصَّوْمِ عَنْ الْمَيِّتِ وَالْحَجِّ عَنْهُ بِأَنَّهُ مُضْطَرَبٌ، وَهَذَا عُذْرٌ بَاطِلٌ، وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ اضْطِرَابٌ، وَيَكْفِي فِي صِحَّتِهِ احْتِجَاجُ مُسْلِمٍ بِهِ فِي صَحِيحِهِ".
"Mayoritas (ulama) mengatakan bahwa mengghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.
Qadhi 'Iyadh berpendapat berbeda dengan mazhabnya –yakni Malikiyah- dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan) menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap).
Alasan ini batil, karena haditsnya tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam Kitab shahihnya.
(Syarh An-Nawawi Ala Muslim, 8/27)
*****
HADITS BADAL HAJI UNTUK SELAIN KEDUA ORANG TUA
HADITS KE 1: Dari Ibnu Abbas (ra):
"أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ شُبْرُمَةُ؟» ، قَالَ: أَخٌ لِي ، قَالَ: «هَلْ حَجَجْتَ؟» ، قَالَ: لَا ، قَالَ: «حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ»
“Bahwa Rosulullah ﷺ mendengar seorang laki-laki ( berniat untuk haji) mengatakan: " Aku sambut seruan-Mu -untuk berhaji- atas nama Syubrumah”,
Rasulullah ﷺ bertanya: " siapakah Syubrumah?". Laki-laki tersebut menjawab: "saudaraku atau kerabatku".
Rasulullah ﷺ bertanya: “ sudahkah engkau pernah berhaji atas nama dirimu?”. Laki-laki itupun menjawab: “ belum “.
Rasulullah ﷺ bersabda: “ Hajilah atas nama dirimu, kemudian –setelah itu – hajikanlah atas nama Syubrumah “.
[HR. Abu Dawud (1811), Ibn Majah (2903), Ibnu Hibban no. 3988, Ibnu Khizaimah no. 3039, Al-Bayhaqi (8936), ath-Thabraani no. 12419 dan Ad-Daruquthni 3/318 no. 2648. Ini lafadz Ad-Daruquthni dan al-Baihaqi.
Ad-Daruquthni berkata: هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( Ina adalah yang shahih dari Ibnu 'Abbaas).
Lafadz al-Baihaqi:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، فَقَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ فَذَكَرَ أَخًا لَهُ أَوْ قَرَابَةً، قَالَ: أَحَجَجْتَ قَطُّ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
“Bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki ( berniat untuk haji) mengatakan: " Aku sambut seruan-Mu -untuk berhaji- atas nama Syubrumah”,
Rasulullah ﷺ bertanya: " siapakah Syubrumah?". Maka Laki-laki tersebut menyebutkan: saudaranya atau kerabatnya.
Rasulullah ﷺ bertanya: “ sudahkah engkau pernah berhaji atas nama dirimu?”. Laki-laki itupun menjawab: “ belum “.
Rasulullah ﷺ bersabda: “ Jadikan lah yang ini atas nama dirimu, kemudian –setelah itu – hajikanlah atas nama Syubrumah “.
[HR. Abu Dawud (1811), Ibn Majah (2903), dan Al-Bayhaqi (8936) dan kata-katanya adalah miliknya.
Lafadz Abu Daud:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شِبْرِمَةَ، قَالَ: مَنْ شِبْرِمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شِبْرِمَةَ
“Bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki ( berniat untuk haji) mengatakan: " Aku sambut seruan-Mu -untuk berhaji- atas nama Syubrumah”,
Rasulullah ﷺ bertanya: " siapakah Syubrumah?". Maka Laki-laki tersebut menjawab: "saudaraku atau kerabatku".
Rasulullah ﷺ bertanya: “ sudahkah engkau pernah berhaji atas nama dirimu?”. Laki-laki itupun menjawab: “ belum “.
Rasulullah ﷺ bersabda: “ Hajilah atas nama dirimu, kemudian –setelah itu – hajikanlah atas nama Syubrumah “.
[HR. Abu Dawud (1811), Ibn Majah (2903), dan Al-Bayhaqi (8936) ".
DERAJAT HADITS:
Imam Baihaqi berkata dlam as-Sunan al-Kubro 4/336:
“إسْنَادُهُ صَحِيحٌ، لَيْسَ فِي هَذَا البَابِ أَصْحَ مِنْهُ ".
“Sanadnya Shahih, dalam BAB ini tidak yang lebih shahih dari nya “. (Slsai).
Dan Ibnu Hibbaan no. 3988 berkata:
وَإِسْنَاده صَحِيح عَلَى شَرط مُسلِم
Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Shahih Muslim
Begitu pula Al-Nawawi mengatakan dalam “Al-Majmu'” (7/117), dan Ibnu Al-Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 6/45-46, “Khulasah Al-Badr Al -Munir” (1/345) dan Tuhfatul Muhtaaj 2/135:
إِسْنَاده عَلَى شَرط مُسلم
Sanadnya sesuai dengan syarat Shahih Muslim.
Dan di nilai SHAHIH oleh Al-Daraqutni dalam ((Al-Sunan)) (2/517), Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaani dalam “Al-Ishoobah” (2/ 136) dan Al-Juurqani dalam ((Al-Abaathil wa Al-Manaakir)) (2/138),
Di Shahihkan pula oleh AL-ALBAANI dalam Shahih Ibnu Majah no. 2364, shahih Abi Daud no. 2364 dan Irwaa al-Ghalil 4/171].
Di shahihkan pula oleh Syu'aib al-Arnauth dalam Takhrij Sunan Abu Daud 3/318.
Namun Ibnu Katsir berkata dalam “Irsyad al-Faqih” (1/307):
الصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ كَمَا رَوَاهُ الْحَفَاظُ.
“Pandangan yang benar adalah bahwa hal itu mauquuf pada Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh para Hufaadz".
Syeikh Ibnu Utsaimiin berkata:
"وَقَالَ فِي الْفُرُوعِ: إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ احْتَجَّ بِهِ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ صَالِحٍ، لَكِنَّهُ رَجَحَ فِي كَلَامٍ آخَرَ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ؛ فَإِنْ صَحَّ الْمَرْفُوعُ فَذَاكَ؛ وَإِلَّا فَهُوَ قَوْلُ صَحَابِيٍّ لَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ؛ فَهُوَ حُجَّةٌ، وَدَلِيلٌ عَلَى أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ كَانَ مِنَ الْمَعْلُومِ جَوَازُهُ عِنْدَهُمْ؛ ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ حَدِيثُ عَائِشَةَ فِي الصِّيَامِ: "مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ"، وَالْوَلِيُّ هُوَ الْوَارِثُ سَوَاءٌ كَانَ وَلَدًا أَمْ غَيْرَ وَلَدٍ؛ وَإِذَا جَازَ ذَلِكَ فِي الصِّيَامِ مَعَ كَوْنِهِ عِبَادَةً مُحْضَةً فَجَوَازُهُ بِالْحَجِّ الْمَشْهُوِّ بِالْمَالِ أَوْلَى، وَأَحْرَى".
Dan dia berkata dalam al-Furuu': Sanadnya baik. Ahmad berargumentasi dengannya dalam riwayat Shaleh, tetapi dalam pernyataan lainnya, dia mentarjih bahwa Hadits ini mauquf [pernyataan sahabat]. Jika seandainya sanad yang diriwayatkan adalah yang sahih, maka itu menjadi dalil yang sah. Namun jika tidak, maka itu adalah pernyataan sahabat yang tidak ada seorangpun yang menyelisihi pernyataannya, dan itu merupakan argumen.
Ini menunjukkan bahwa amalan ini adalah hal yang maklumi bersama akan bolehnya untuk diamalkan menurut mereka. Selain itu, telah terbukti Hadits dari Aisyah dalam masalah puasa: "Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan berhutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya." Walinya adalah pewaris, baik itu anak atau bukan anak.
Maka jika hal itu diperbolehkan dalam puasa, yang merupakan ibadah murni, maka dibolehkannya dalam ibadah haji yang melibatkan harta jauh lebih tepat dan kuat".
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
Syu'aib al-Arnauth berkata:
إسنادهُ صَحِيحٌ، وقد اختلفَ في رُفُعِهِ ووُقُوفِهِ. وصَحَّحَ المَرفُوعَ ابنُ حبانَ والبيهقي، وقالَ البيهقي: "ولَيسَ في هذا البابِ أَصحُ مِنهُ" وقد روي موقوفًا والرفعُ زيادةٌ يَتَعينُ قَبُولُها إذا جاءتْ مِن طريقِ ثِقَةٍ، وهي هاهُنا كَذلِكَ، لأنَّ الذي رَفَعَهُ عبدةُ بنُ سُلَيمَانَ، قالَ الحافِظُ: وهُوَ ثِقَةٌ مُحتَجًا بهِ في "الصَّحيحَينِ" وَتَابَعَهُ على رفعِهِ محمدُ بنُ بَشرٍ، وَمحمدُ بنُ عبدِ اللهِ الأنصاري وَكَذَا رَجَحَ عبدُ الحقِ وَابنُ القَطانِ رفعَهُ. وقد رَجَحَ الطَّحَاوِي وقَفَهُ، وَقالَ أَحمدُ: رَفَعَهُ خَطَأً، وَقالَ ابنُ المُنذَرِ: لا يُثبِتُ رفعُهُ. ابنُ أَبي عَروبَةَ: هُوَ سَعِيدُ اليَشكُرِيِّ العَدَوِيِّ، وَقَتَادَةَ: هُوَ ابنُ دَعَامَةَ السَّدُوسِيِّ، وَعَزرَةَ: هُوَ ابنُ عَبدِ الرَّحمَنِ الخَزَّاعِيِّ.
Sanadnya sahih, dan ada perbedaan pendapat tentang status Hadits ini (marfu' atau mauquf). Yang meriwayatkan Hadits ini dalam bentuk marfu' diantaranya adalah Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa Hadits ini adalah yang paling sahih dalam masalah ini.
Hadits marfu' ini juga diriwayatkan melalui jalur yang dapat dipercayai, seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Bashr dan Muhammad bin Abdullah Al-Anshari.
Namun, ada juga yang meragukan status Hadits ini dan menganggapnya sebagai Hadits mauquf (berhenti di tingkat para sahabat). Yaitu para ulama seperti At-Tahawi dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka menganggapnya sebagai Hadits mauquf dan mengatakan bahwa penyebutan Ibnu Abi 'Arubah dalam sanadnya adalah salah.
Dalam kasus seperti ini, terkadang pendapat ulama tentang status Hadits bisa berbeda. Meskipun ada perbedaan pendapat, namun Hadits ini tetap dianggap sebagai sumber ajaran Islam dan dapat diterima sebagai hujjah (bukti) dalam hal-hal tertentu. [Lihat: Hamisy Sunan Abu Daud 3/318, Takhrij al-Arna'uth]
HADITS KE 2: Dari Ibnu Abbas - semoga Allah meridhainya - meriwayatkan:
“سَمِعَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلًا يُلَبِّى عن نُبَيشَةَ، فقالَ: "أيُّها المُلَبِّى عن نُبَيشَةَ، هذه عن نُبَيشَةَ، واحجُجْ عن نَفسِكَ".
Bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki bertalbiyah haji atas nama Nubaisyah. Maka Nabi ﷺ bersabda: "Hai yang bertalbiyah atas nama Nubayshah !, apakah ini atas nama Nubayshah. Berhajilah terlebih dahulu untuk dirimu sendiri." [HR. Ad-Daruquthni 2/268 dan al-Baihaqi 9/238 no. 8756].
Atas dasar hadits-hadits shahih tersebut diatas, maka mayoritas Ulama, Hanafiyyah, Syafiiyyah dan Hanabilah, memperkenankan haji atas nama orang lain dengan syarat sebagai berikut:
Pertama: Yang dihajikan/diwakili sudah meninggal atau tidak mampu melaksanakan haji karena lemah fisik ( sebagamana hadits yang pertama dan kedua)
Kedua: Yang menghajikan/mewakili, sudah pernah melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Ketiga: Boleh membadalkan haji untuk selain kedua orang tua, berdasarkan hadits Syubrumah.
*****
HADITS MENG-QODHO PUASA WAJIB DAN PUASA NADZAR ATAS NAMA MAYIT
HADITS KE 1: Dari ‘Aisyah bahwasannya Nabi ﷺ. bersabda:
“مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ ".
“Barang siapa mati padahal punya kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih. Bukhori no. 1952 dan Muslim no. 1147)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
وَالْوَلِيُّ هُوَ الْوَارِثُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأُوْلُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}، وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلْحَقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوَّلِى رَجُلٍ ذَكَر" (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)؛ وَالصِّيَامُ عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ مُحْضَةٌ.
Dan wali adalah ahli waris, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
{Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.}" (Quran Surat Al-Anfal, 75).
Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya)." (Muttafaqun 'alaih).
Dan puasa adalah ibadah badaniyah yang murni".
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
===
PERNYATAAN IMAM BUKHORI:
Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahih nya Bab (41):
بَابُ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ
“Bab: Orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa”
Dalam bab ini, imam Bukhari ingin menjelaskan tetang hukum orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa, apakah wajib bagi kerabatnya untuk menunaikanya atau tidak?
Dalam bab ini imam Bukhari menyebutkan satu atsar dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, dan dua hadits dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ الحَسَنُ: " إِنْ صَامَ عَنْهُ ثَلاَثُونَ رَجُلًا يَوْمًا وَاحِدًا جَازَ ".
Dan Al-Hasan berkata: “Jika tiga puluh orang berpuasa untuknya [mengqadha puasa mayit] dalam satu hari maka itu boleh”.
TAKHRIIJ atsar Al-Hasan Al-Bashri:
Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Tagliq At-Ta’liq” (3/189) melalui jalur imam Ad-Daraqutniy rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mudabbaj”, ia berkata:
ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثَنَا مُحَمَّد بن هَارُون الفلاس، أَنا سعيد بن يَعْقُوب الطَّالقَانِي، أَنا عبد الله بن الْمُبَارك، ثَنَا سعيد بن عَامر، عَن أَشْعَث،
Muhammad bin Makhlad menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Harun Al-Fallas menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin Ya’qub Ath-Thaliqaniy memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada kami, dari Asy’ats:
عَن الْحسن؛ فِيمَن عَلَيْهِ صَوْم ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَجمع لَهُ ثَلَاثِينَ رجلا فصاموا عَنهُ يَوْمًا وَاحِدًا، قَالَ: " أَجْزَأَ عَنهُ ".
Dari Al-Hasan ; Ia ditanya tentang seseorang yang memiliki hutang puasa tiga puluh hari, kemudian ia mengumpulkan tiga puluh orang kemudian masing-masing berpuasa untuknya sehari?
Al-Hasan menjawab: “Itu cukup baginya”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari bahwa hal tersebut benar jika puasanya tidak disyaratkan untuk dibayar secara berurutan, jika puasanya disyaratkan berurutan maka itu tidak mecukupi karena puasa tersebut tidak berurutan. [Fathul Bariy 4/224]
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan Hadits 'Aisyah radhiyallahu ‘anha diatas.
HADITS KE 2: Dari Jabir bin Abdullah (ra) berkata:
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرُ صِيَامٍ فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَصُمْ عَنْهَا الْوَلِيُّ
“Seorang perempuan datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Ibuku meninggal, sementara ia pernah bernadzar untuk melaksanakan puasa namun ia meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya?.
Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Hendaklah walinya yang berpuasa untuknya.” ( HR. Ibnu Majah no. 2124. Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah).
HADITS KE 3: Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إلى النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ فَقالَ: لو كانَ علَى أُمِّكَ دَيْنٌ، أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى.
“Seorang datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan dia berkewajiban puasa sebulan, apakah aku perlu mengqadhanya?”
Beliau bersabda: “Jika ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya.”
Beliau bersabda: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayarkan.” ( HR. Muslim no. 1148).
HADITS KE 4: Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas RA, berkata:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إلى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قالَ: أَرَأَيْتِ لو كانَ علَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ، أَكانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟ قالَتْ: نَعَمْ، قالَ: فَصُومِي عن أُمِّكِ.
“Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan ia memiliki hutang puasa nadzar, maka apakah aku perlu berpuasa untuknya?”
Beliau bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki hutang, lalu engkau membayarnya, bukankah hal itu berarti melunasi hutangnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau bersabda, “Berpuasalah untuk ibumu.” ( HR. Muslim no. 1148)
HADITS KE 5: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dia berkata:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُخْتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُخْتِكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَحَقُّ اللَّهِ أَحَقُّ
Seorang perempuan datang kepada Nabi ﷺ, seraya bertanya:
“Sesungguhnya SAUDARI-ku meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa dua bulan berturut-turut?".
Beliau ﷺ balik bertanya: " Bagaimana menurutmu, Jika saudarimu memiliki hutang lalu kamu melunasinya tidakkah menjadi lunas?". Dia menjawab: " Iya ".
Lalu beliau ﷺ melanjutkan: "Maka hak-hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi."
[HR. Bukhori didalam no. 1953 secara mu'allaq dengan shigot Jazm. Dan oleh Muslim no.1148 secara maushuul, juga oleh Tirmidzi no. 716 dan Ibnu Majah no. 1758. Dan ini lafadz Tirmidzi]
Abu Isa Tirmidzi berkata:
وَفِي الْبَاب عَنْ بُرَيْدَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Buraidah, Ibnu Umar, 'Aisyah.
Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] telah menceritakan kepada kami [Abu Khalid Al Ahmar] dari [Al A'masy] dengan sanad seperti ini.
Dan Abu 'Isa berkata:
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Hadits Ibnu Abbas adalah hadits hasan shahih".
*****
HADITS BERKURBAN ATAS NAMA MAYIT
HADITS KE 1:
Dari Hanasy dari Ali bin Abi Thaalib – rahiyallahu 'anhu -:
أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ. فَقِيلَ لَهُ. فَقَالَ: " أَمَرَنِي بِهِ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا أَدَعُهُ أَبَدًا ".
Bahwasanya ia [Ali bin Abi Thaalib] pernah berkurban dengan dua ekor kambing; seekor untuk Nabi ﷺ dan seekor lagi untuk dirinya sendiri, hingga ia pun ditanya tentang hal itu.
Ali menjawab: "Nabi ﷺ telah memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku tidak akan meninggalkannya untuk selamanya."
[HR. Turmudzi no. 1495, Abu Daud [Aunul Ma'bud 7/344, Ahmad [Fathur Robbaani 13/109-110, al-Haakim 4/255-256 dan al-Baihaqi 9/484 no. 19188.
Lafadz Abu Daud (2790) dan salah satu riwayat Imam Ahmad (1219): " Hanasy berkata:
“Saya melihat Ali telah berkurban dua ekor kambing, saya berkata kepadanya: “Apa ini?”, beliau berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ ".
“Sungguh Rasulullah –SAW- telah berwasiat kepadaku agar aku berkurban atas nama beliau, maka saya pun berkurban atas nama beliau”.
Abu Isa at-Tirmidzi berkata:
هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ شَرِيكٍ وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُضَحَّى عَنْ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحَّى عَنْهُ و قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلَا يُضَحَّى عَنْهُ وَإِنْ ضَحَّى فَلَا يَأْكُلُ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقُ بِهَا كُلِّهَا قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ قُلْتُ لَهُ أَبُو الْحَسْنَاءِ مَا اسْمُهُ فَلَمْ يَعْرِفْهُ قَالَ مُسْلِمٌ اسْمُهُ الْحَسَنُ
"Ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Syarik. Sebagian ulama` memberi keringanan untuk berkurban atas nama mayit, sementara sebagian lagi tidak memberikan keringanan tersebut."
Abdullah Ibnu al-Mubarak berkata; "Aku lebih cenderung seseorang bersedekah atas nama mayit, dan bukan berkurban, namun ia berkurban atas nama mayit maka hendaknya ia tidak memakan dagingnya sedikitpun, tetapi mensedekahkan semuanya."
Muhammad berkata: Ali Ibnu al-Madini berkata ; "Hadits ini tidak hanya diriwayatkan oleh Syarik."
Aku bertanya kepadanya (Ali bin Al Madini; "Siapa nama Abul Hasna`" maka ia tidak mengetahuinya. Sedangkan Muslim berkata; "namanya (Abu Al Hasna) adalah Al Hasan" [Selesai]
DERAJAT HADITS:
Abu Daud diam tentang keshahihan hadits tsb. Ini menunjukkan bahwa hadits ini shahih menurutnya, sebagaiamana yang dimaklumi dari manhajnya.
Al-Hakim berkata:
"هذا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ، وَأَبُو الْحَسَنَاءَ هَذَا هُوَ الْحَسَنُ بْنُ حُكَمِ النَّخْعِيِّ."
Hadits ini adalah hadits shahih, dan mereka berdua [Bukhori dan Muslim] tidak menyebutkannya. Dan Abu al-Hasnaa ini adalah al-Hasan bin Hakam an-Nakhoo'i ". [al-Mutadrak 4/255-256]
Adz-Dzahabi berkata: " Shahih ". [Talkhish al-Mutadrak 4/255-256]
Di shahihkan pula oleh Ibnu Jariir sebagaimana disebutkan dalam [جمع الجوامع 17/252]
Dan dishahihkan pula sanadnya oleh Syeikh Syaakir dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad [Musnad Ali bin Abi Thalib 2/152 no. 843].
Namun atsar ini di Dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dhaif Abu Daud 2/371 no. 483 dan Syu'aib al-Arna'uth
[Baca: Fatawaa asy-Syabakah al-Islaamiyyah 11/20463 no. 93307 dan 11/20500 no. 38995].
FIQIH HADITS:
Al-Imam al-Baihaqi berkata:
وَهُوَ إِنْ ثَبَتَ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَمَّنْ خَرَجَ مِنْ دَارِ الدُّنْيَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan hadits ini jika terbukti shahih, maka itu menunjukkan kebolehan berkurban atas nama kaum muslimin yang telah meninggal dunia". [as-Sunan al-Kubra 9/484]
HADITS KE 2:
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِكبش لِيُضَحِّيَ بِهِ، فأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: (بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ).
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ diberi hewan domba untuk dijadikan kurban, lalu beliau membaringkan domba tersebut dan menyembelihnya, kemudian beliau mengucapkan:
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad. Kemudian beliau berkurban dengannya. [HR. Muslim no. 1967]
Dalam riwayat lain: dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ “
Rasulullah ﷺ meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban.”
Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”.
Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”.
‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan:
“Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad”.
Kemudian beliau berkurban dengannya. [HR. Muslim no. 1967].
FIQIH HADITS:
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ mengikutsertakan umatnya dalam kurbannya, dan sudah maklum bahwa sebagian umatnya ada yang sudah meninggal. Karena itu, berdasarkan hadits ini, para ulama sepakat mengenai kebolehan mengikutsertakan orang yang sudah meninggal dalam kurban dan menghadiahkan pahala kurban untuknya.
HADITS KE 3:
Dari Jabir bin Abdullah – radhiyallahu anhu -, ia berkata:
ذَبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ فَلَمَّا وَجَّهَهُمَا قَالَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ وَعَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ بِاسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ
Nabi ﷺ pada hari Kurban menyembelih dua domba yang bertanduk dan berwarna abu-abu yang terkebiri. Kemudian tatkala beliau telah menghadapkan keduanya beliau mengucapkan:
(Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termsuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya shalatku, dan sembelihanku serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
Ya Allah, ini berasal dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan ummatnya. Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar).
Lalu beliau ﷺ menyembelihnya.
[HR. Abu Daud no. 2431, Ibnu Majah no. 3112. Di Hasankan oleh al-Albaani dalam Takhriij al-Misykaat no. 1406, namun beliau dhaifkan dalam Dha'if Abu Daud no. 2795 dan Dha'if Ibnu Majah no. 611].
FIQIH HADITS:
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menyembelih kurban atas nama orang mati; Karena dia berkorban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal
HADITS KE 4:
Dari Abi Rafi’, maula Rasulullah ﷺ:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ضَحَّى اشْتَرَى كَبْشَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَإِذَا صَلَّى وَخَطَبَ النَّاسَ أَتَى بِأَحَدِهِمَا وَهُوَ قَائِمٌ فِي مُصَلاَّهُ فَذَبَحَهُ بِنَفْسِهِ بِالْمُدْيَةِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا عَنْ أُمَّتِي جَمِيعًا مِمَّنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلَاغِ ثُمَّ يُؤْتَى بِالآخَرِ فَيَذْبَحُهُ بِنَفْسِهِ وَيَقُولُ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ فَيُطْعِمُهُمَا جَمِيعًا الْمَسَاكِينَ وَيَأْكُلُ هُوَ وَأَهْلُهُ مِنْهُمَا.
Bahwasannya Rasulullah ﷺ apabila hendak berqurban, beliau membeli dua kibasy (kambing) yang gemuk, yang bertanduk dan bagus rupanya. Maka ketika beliau telah selesai shalat (Idul Adha) dan ber khutbah di hadapan orang banyak, maka beliau datangkan salah seekor kibasy tersebut, sementara beliau ﷺ masih tetap berdiri di tempat solatnya, lalu me nyembelihnya sendiri dengan pisau, seraya beliau mengucapkan:
”Ya Allah, ini adalah qurban dari ummatku semua dari orang-orang yang mengaku bertauhid kepada-Mu dan mengaku bahwa aku telah menyampaikan risalah.”
Kemudian beliau datangkan kibasy yang seekor lagi, lalu disembelihnya sendiri sambil mengatakan: “Ini qurban Muhammad dan keluarga Muhammad".
Lalu beliau ﷺ membagikan keduanya kepada orang-orang miskin, dan beliau beserta keluarganya memakan sebagian dari dua kurban itu ".
[HR. Ahmad.No. 25937. 27190].
Al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaid 4/21 menyatakan: bahwa sanad hadits ini hasan.
Dan di hasankan pula oleh al-Albaani dalam تخريج أحاديث شرح العقيدة الطحاوية hal. 516.
Hadits ini memiliki banyak syahid yang disebutkan oleh Al-Haytsami dalam Majma' az-Zawaid 4/22-23.
FIQIH HADITS:
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menyembelih kurban atas nama orang mati; Karena dia berkorban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal
HADITS KE 5:
Dari Aisyah dan dari Abu Hurairah – radhiyallahu 'anhumaa -:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كانَ إذا أرادَ أن يضحِّيَ، اشتَرى كبشينِ عظيمينِ، سَمينينِ، أقرَنَيْنِ، أملَحينِ موجوءَينِ، فذبحَ أحدَهُما عن أمَّتِهِ، لمن شَهِدَ للَّهِ، بالتَّوحيدِ، وشَهِدَ لَهُ بالبلاغِ، وذبحَ الآخرَ عن محمَّدٍ، وعن آلِ محمَّدٍ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ
Bahwa apabila Rasulullah ﷺ hendak melaksanakan kurban, maka beliau membeli dua ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk dan berwarna belang (hitam dan putih).
Kemudian beliau menyembelih: salah satunya untuk UMAT-nya yang telah bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi atas risalah beliau.
Lalu menyembelih yang satunya untuk Muhammad dan keluarga Muhammad ﷺ."
[HR. Ibnu Majah no. 3113]
Dishahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2548
HADITS KE 6:
Dari Abu Sa'iid (ra):
“أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ضَحَّى بكَبشٍ أقرَنَ، ثُمَّ قال: اللَّهُمَّ هذا عَنِّي وعمَّن لم يُضَحِّ من أُمَّتي ".
“Bahwa Rasulullah ﷺ menyembelih seekor domba jantan bertanduk, lalu berkata: Ya Allah, ini atas namaku dan atas nama umatku yang tidak berqurban.”
[HR. Ad-Daaruquthni no. 4759] Di shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhriij Sunan ad-Daaruquthni.
FIQIH HADITS:
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati ; Karena beliau ﷺ berkurban atas nama keluarga Muhammad dan umat Muhammad, dan sebagian dari keluargnya dan umatnya ada yang sudah meninggal
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
ألأضْحِيَةُ عِبَادَةٌ بِدَنِيَّةٍ قَوَامُهَا الْمَالُ، وَقَدْ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَعَنْ أُمَّتِهِ جَمِيعًا؛ وَمَا مِنْ شَكٍّ فِي أَنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُ الْمُضَحِّي عَنْهُمْ، وَيَنَالُهُمْ مِنْ ثَوَابِهِ؛ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِلتَّضْحِيَّةِ عَنْهُمْ فَائِدَةٌ.
"Qurban adalah ibadah badaniyah yang bersumber dari harta. Rasulullah ﷺ menyembelih qurban atas nama keluarganya dan seluruh umatnya. Tidak ada keraguan bahwa ini, yakni orang yang berkurban memberikan manfaat untuk mereka, dan mereka akan mendapatkan pahala darinya. Jika tidak demikian, maka tentunya qurban yang beliau ﷺ sembelih untuk mereka itu sia-sia dan tidak ada faidahnya."
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
===*****===
PEMINDAHAN PAHALA DARI ORANG DZALIM KE ORANG TERDZALIMI
ATAU DOSA DARI ORANG TERDZALIMI KE ORANG DZALIM
"Iqthishash atau Qishah (mengambil hak pelaku kejahatan dari amal-amal baiknya) bagi yang didzalimi dari yang dzalim:
HADITS KE 1: Diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dari Abu Hurairah (ra) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
"Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya". [HR. Bukhori no. 6534].
HADITS KE 2: Dalam riwayat Sahih Muslim dari Abu Hurairah (ra):
“فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ ".
"Bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada para sahabat: "Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?"
Para sahabat menjawab; 'Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.'
Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.' [HR. Muslim no. 2581].
Dalam hal ini Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"فَإِذَا كَانَتِ الْحَسَنَاتُ قَابِلَةً لِلْمُقَاصَةِ بِأَخْذِ ثَوَابِهَا مِنْ عَامِلٍ إِلَى غَيْرِهِ كَانَ ذَٰلِكَ دَلِيلًا عَلَى أَنَّهَا قَابِلَةٌ لِنَقْلِهَا مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ بِالْإِهْدَاءِ."
"Jika amal-amal kebaikan dapat ditukar dengan mengambil pahalanya dari satu individu dan memberikannya kepada yang lain melalui kompensasi, maka itu menunjukkan bahwa amal baik tersebut juga dapat dipindahkan dari satu individu ke individu lainnya melalui pemberian sebagai hadiah (ihdaa)."
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
===*****===
MANFAAT-MANFAAT YANG BISA DIBERIKAN PADA ORANG LAIN
Manfaat-manfaat lain dari amalan orang lain: seperti meningkatkan derajat anak keturunan di surga untuk ayah dan ibu mereka, peningkatan pahala shalat berjemaah karena banyaknya jumlah mereka, keshahihan shalat individu yang dilakukan dengan berjajar dengan shaff orang lain, serta keamanan dan kemenangan dengan adanya orang-orang yang memiliki keutamaan, seperti para Nabi, para Syuhada dan orang-orang shaleh.
HADITS KE 1: Dari Abu Musa al-Asy'ari (ra), dia berkata:
صَلَّيْنَا الْـمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ: فَجَلَسْنَا، فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: (( مَازِلْتُمْ هَاهُنَا؟)) قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّـهِ ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْـمَغْرِبَ. ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: ((أَحْسَنْتُمْ ، أَوْ أَصَبْتُمْ)) ، قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّماءِ. وَكَانَ كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ. فَقَالَ: اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.
Kami shalat Maghrib bersama Rasûlullâh ﷺ lalu kami berkata, ‘Seandainya kita duduk-duduk sampai shalat ‘Isya bersama beliau ﷺ.’ Lalu kami duduk sampai Rasûlullâh ﷺ keluar menemui kami dan beliau bertanya, ‘Kalian masih disini?’
Kami menjawab, ‘Wahai Rasûlullâh, kami telah shalat bersamamu, kemudian kami berkata, kita akan tetap duduk sampai shalat ‘Isya bersamamu.’ Beliau ﷺ menjawab, ‘Kalian bagus atau kalian benar.’
Berkata (shahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu Abu Musa al-Asy’ari),
‘’Kemudian beliau ﷺ mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan. Lalu beliau ﷺ bersabda:
“Bintang adalah keamanan [penjaga] untuk langit. Apabila bintang telah pergi maka datanglah kepada langit yang dijanjikan (kiamat). Aku adalah keamanan [penjaga] untuk para shahabatku. Apabila aku telah pergi, akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan (berupa fitnah), dan para shahabatku adalah keamanan untuk ummatku. Apabila para shahabatku telah pergi, akan datang kepada ummatku apa yang dijanjikan (berupa bid’ah dan kesesatan). [HR. Muslim no. 2531].
HADITS KE 2: Abu Said Al Khudri (ra) berkata; "Rasulullah ﷺ telah bersabda:
“يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمْ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ".
'Akan datang suatu masa yang ketika itu seseorang sedang dicari-cari untuk memimpin ekspedisi pasukan.' Orang-orang akan berkata; 'Carilah apakah kalian dapatkan seorang sahabat Rasulullah ﷺ? ' Akhirnya ditemukanlah seorang sahabat Rasulullah, yang dengannya mereka memperoleh kemenangan.
Pada ekspedisi yang kedua orang-orang berkata; 'Apakah ada orang yang pernah bertemu dengan para sahabat Rasulullah? ' Maka mereka memperoleh kemenangan dengan dipimpin oleh orang tersebut.
Pada ekspedisi yang ketiga seseorang berkata; 'Carilah apakah ada orang yang pernah bertemu dengan orang yang pernah bertemu para sahabat Rasulullah? '
Pada ekspedisi yang keempat seseorang berkata; 'Carilah apakah kalian dapatkan orang yang pernah bertemu dengan orang yang pernah bertemu dengan yang pernah bertemu para sahabat Rasulullah? ' Akhirnya didapatkanlah orang tersebut, hingga dengan kepemimpinan orang tersebut mereka meraih kemenangan. [HR. Muslim no. 2532]
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
"فإذا تَبَيَّنَ أَنَّ الرجُلَ يَنتَفِعُ بِغَيْرِهِ وَبِعَمَلِ غَيْرِهِ، فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ انتِفَاعِهِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ، وَهُوَ المُسْلِمُ؛ فَأَمَّا الكَافِرُ فَلا يَنتَفِعُ بِمَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ، وَلا يَجُوزُ أَنْ يُهْدَى إِلَيْهِ، كَمَا لا يَجُوزُ أَنْ يُدْعَى لَهُ وَيُسْتَغْفَرَ لَهُ."
Jika terbukti bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari orang lain dan perbuatan orang lain, maka salah satu syarat manfaatnya adalah bahwa orang tersebut harus dari keluarganya, yaitu seorang Muslim. Seorang kafir tidak akan mendapatkan manfaat dari perbuatan baik yang diberikan kepadanya, dan tidak boleh memberikan perbuatan baik kepada mereka, begitu juga tidak boleh mendoakan mereka atau memohonkan ampun untuk mereka.
Lalu Syeikh Ibnu Utsaimin berkata pula:
فَإِن قِيلَ: هَلَا تَقْتَصِرُونَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنْ إِهْدَاءِ الْقُرَبَاءِ، وَهُوَ: الْحَجُّ، وَالصَّوْمُ، وَالصَّدَقَةُ، وَالْعِتْقُ؟
فَالْجَوَابُ: أَنَّ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ لَيْسَ عَلَى سَبِيلِ الْحُصْرِ، وَإِنَّمَا غَالِبُهُ قَضَايَا أَعْيَانِ سُئِلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجَابَ بِهَا، وَأَوْمَأَ إِلَى الْعُمُومِ بِذِكْرِ الْعِلَّةِ الصَّادِقَةِ بِمَا سُئِلَ عَنْهَا وَغَيْرِهَا، وَهِيَ قَوْلُهُ: "أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيًا لَهُ؟"، وَيَدُلُّ عَلَى الْعُمُومِ أَنَّهُ قَالَ: "مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ"، ثُمَّ لَمْ يَمْنَعِ الْحَجَّ، وَالصَّدَقَةَ، وَالْعِتْقَ، فَعَلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ شَأْنَ الْعِبَادَاتِ وَاحِدٌ، وَالْأَمْرُ فِيهَا وَاسِعٌ.
Pertanyaan: "Apakah dalam hadiah pahala itu kalian hanya membatasi pada apa yang disebutkan dalam Sunnah sebagai hadiah pahala kepada kerabat, yaitu hanya pahala ibadah haji, puasa, sedekah, dan memerdekakan budak?"
Jawaban atas pertanyaan ini adalah: bahwa apa yang disebutkan dalam Sunnah (ajaran Nabi Muhammad ﷺ) tidak membatasi hanya pada hal-hal tertentu seperti haji, puasa, sedekah, dan pembebasan budak. Melainkan apa yang disebutkan dalam Sunnah itu adalah jawaban atas hal-hal yang pada umumnya terjadi pasa masa itu atau atas situasi tertentu yang diajukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dan Nabi memberikan jawaban berdasarkan konteks tersebut. Dan beliau ﷺ mengisyaratkan keumumanya dengan menyebutkan illat yang membenarkan dengan cara menanyakan tentang itu dan lainya. Contohnya adalah ketika Nabi menjawab pertanyaan dengan mengatakan:
"Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki utang? Apakah kamu akan menjadi hakim atas utangnya?"
Atau ketika Nabi bersabda, "Siapa yang meninggal dalam keadaan masih memiliki puasa wajib, maka wali (keluarga)nya dapat melaksanakan puasa tersebut untuknya."
[Sumber: "Majmu' Fatawa wa Rosaail asy-Syaikh Muhammad Shaleh al-'Utsaimin – Jilid ke 2 - Bab al-Bid'ah"].
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai amal ibadah, termasuk haji, puasa, sedekah, pembebasan budak dan lainnya, dapat dijadikan sebagai bentuk amal kebajikan yang bisa dihadiahkan kepada orang lain. Prinsip dasarnya adalah bahwa amal ibadah ini adalah amal kebajikan yang bisa bermanfaat bagi orang yang menerima hadiah tersebut, dan amal kebajikan tidak terbatas pada amal tertentu yang disebutkan dalam Sunnah.
Jadi, amal kebajikan dapat mencakup berbagai bentuk ibadah yang bermanfaat bagi orang lain, dan tidak terbatas hanya pada yang disebutkan dalam Sunnah.
===*****===
SEDEKAH MAKANAN 7 HARI ATAS NAMA MAYIT SETELAH DIKUBUR .
ATSAR-ATSAR UJIAN 7 HARI SETALAH DI KUBUR
Atsar-atsar yang berbicara tentang adanya ujian bagi orang mati di kuburnya selama tujuh hari, di sini penulis akan menyebutkan empat riwayat Atsar ;
Atsar Pertama:
Abu Nu’aim rahimahullah ( Wafat 430 H) dalam kitab “حلية الأولياء” (4/11) meriwayatkan dengan SANAD sbb:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik (w. 368 H):
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (w. 290 H):
Telah menceritakan kepada kami ayahku ( Imam Ahmad bin Hanbal w. 241):
Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim ( w. 205 H):
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan Al-Asyja’iy ( w. 182 H).
Dari Sufyaan Ats-Tsauriy (w. 161), ia berkata: Telah berkata Thaawus al-Yamani (w. 106 H):
“إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "
“Sesungguhnya orang mati diuji di kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka senantiasa memustahabkan ( mensunnahkan) agar memberi makanan atas nama orang-orang mati selama pada hari-hari tersebut.” [“(حلية الأولياء)” 4/11].
Sebagaimana dikutip pula oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam المَطَالِبُ العَالِيَةُ (5/330 no. 834) juga oleh As-Suyuthi dalam “(الحَاوِي لِلفَتَاوِي)” (2/216) dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “الزهد”.
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam bab “(صَنْعَةُ الطَّعَامِ لِأَهْلِ المَيِّتِ)” (5/328). Jadi jelas maksudnya: membuatkan makanan untuk keluarga mayit, bukan dari mereka.
DR. Baasim dalam "Inayah" [Pentahqiq Juz ini dari kitab (المَطَالِبُ العَالِيَةُ) (5/330/no. 834)] berkata:
" الإِسْنَادُ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ إِلَّا أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ بَيْنَ سُفْيَانَ وَطَاوُوسٍ، فَهُوَ ضَعِيفٌ".
“Sanadnya, para perawi semuanya dapat dipercaya / tsiqoot, akan tetapi sanadnya terputus antara Sufyan dan Thaawus, maka hadits ini lemah “..
[Pentahqiqkan kitab ini telah diselesaikan dalam beberapa desertasi ilmiah yang dipresentasikan kepada Universitas Imam Muhammad bin Saud].
Disamping sanadnya terputus, juga mursal, dan ini tidak digunakan sebagai argumen oleh Jumhur.
Memang benar semua perawainya tsiqoot, seperti Al-Asyja'i adalah Ubaidullah bin Ubaidurrahman, dikenal tsiqah dan terpercaya, sebagaimana tercantum dalam “(تَهْذِيبُ التَّهْذِيبِ)” (7/35), dan Sufyan Ats-Tsauri, seorang Imam Al-Hafiz yang terkenal.. dst, namun yang diperdebatkan adalah antara Sufyan ats-Tsauri dengan Thaawus, apakah mereka pernah bertemu dan apakah Sufyan pernah menimba ilmu dari Thaawus?
Imam as-Suyuthy rahimahullah berkata:
"رِجَالُ الْإِسْنَادِ رِجَالُ الصَّحِيحِ، وَطَاوُسُ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ، قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلِيَّةِ: هُوَ أَوَّلُ الطَّبَقَةِ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ خَمْسِينَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَسُفْيَانُ هُوَ الثَّوْرِيُّ، وَقَدْ أَدْرَكَ طَاوُسًا، فَإِنَّ وَفَاةَ طَاوُسٍ سَنَةَ بَضْعِ عَشْرِةٍ وَمِائَةٍ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَمَوْلِدُ سُفْيَانَ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ، إِلَّا أَنَّ أَكْثَرَ رِوَايَتِهِ عَنْهُ بِوَاسِطَةٍ."
“Para perawi dalam sanad ini adalah shahih, Thawus termasuk tokoh tabiin.
Abu Nu'aim berkata dalam kitab Al-Hilyah: Dia termasuk thobaqot (tingkatan) pertama dari penduduk Yaman “.
Abu Nu'aim meriwayatkan darinya bahwa dia berkata: 'Aku menemui limapuluh orang shahabat Rasulullah ﷺ.”
Sedang Sufyan adalah Ats-Tsaury, dia bertemu dengan Thawus, karena Thawus wafat pada seratus sebelasan menurut salah satu pendapat, sedang Sufyan lahir pada tahun 97, akan tetapi riwayat beliau darinya kebanyakan melalui perantara. (“الحَاوِي لِلفَتَاوِي” 2/216)
Atsar ke dua:
Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat tahun104 H) dia berkata:
“إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "
“Sesungguhnya orang yang wafat diuji di kuburnya selama tujuh hari. Mereka menganjurkan untuk memberi makan atas nama mayit-mayit selama pada hari-hari itu.”
Ibnu Rajab dalam kitabnya “أَهْوَالُ القُبُورِ” (hal. 16) mengaitkan riwayat ini kepada Mujahid tanpa menyebut sumbernya dan tidak saya temukan sanadnya.
Demikian pula As-Suyuthi rahimallah berkata demikian:
“لم أَقف على سَنَده "
“Tidak saya tidak menemukan sanadnya.” [Lihat: “الديباج شرح صحيح مسلم” 2/491)
Atsar ketiga:
‘Abdurrazzaaq meriwayatkan:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ " إِنَّمَا يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، أَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ: فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar:
“Dua orang yaitu orang mukmin dan munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari. Orang munafiq selama empat puluh hari. Adapun orang kafir, maka tidak ditanya tentang Muhammad, karena ia pasti tidak mengetahuinya”
[HR. ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].
Riwayat ini lemah karena munqathi’ [terputus].
Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar RA.
Ibnu Juraij adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal.
Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [تقريب التهذيب hal. 624 no. 4221].
Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [جامع التحصيل hal. 229-230 no. 472]
Kemudian ada kesalahan nama pada riwayat Abdurrozzaaq ini, dimana di sini nama Ubaid bin Umair menjadi Abdullah bin Umar. Dan telah disebutkan oleh kebanyakan para ulama (nama) yang benar, diantaranya Ibnu Abdul Bar Al-Maliki dalam ucapannya:
"وَكَانَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ فِيمَا ذُكِرَ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْهُ يَقُولُ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ يُفْتَنُ سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا."
“Dahulu Ubaid bin Umair sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Juraij dari Harits bin Abi Harits darinya mengatakan, “Dua orang, (dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah. Sementara orang mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh (hari).” (At-Tamjid Lima Fil Muwatto’ Min Ma’ani Wal Asanid, 22/252)
Tapi di dalamnya tidak ada (anjuran untuk memberi) makanan sebagai sadaqah atas nama mayat. Anjuran memberi shodaqah untuk mayat hanya bersumber dari perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika mengomentari atsar beliau, dia mengatakan:
"وَأَنَا أَقُولُ: قَدْ قِيلَ فِي ذَلِكَ، فَمَا رَأَيْنَا مِثْلَ إِنْسَانٍ أَغْفَلَ هَالِكَهُ سَبْعًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ."
“Saya katakan bahwa ada yang mengatakan, 'Kami tidak lihat orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama tujuh hari tanpa memberikan shadaqoh kepadanya.”
Penentuan waktu, masih perlu ditinjau ulang. Karena shadaqoh untuk mayat, mayoritas ulama membolehkannya.
Atsar keempat:
Dari Ubaid bin Umair bin Qatadah Al-Laitsy rahimahullah (wafat tahun 73 H) dia berkata,
“يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا".
“Dua orang akan diuji, mukmin dan munafik, adapun orang mukmin akan diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik akan diuji selama empat puluh hari.”
Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata:
“رَوَاهُ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي "الْمُصَنَّفِ" عَنْ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَارِثِ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ”.
“Diriwayakan oleh Ibnu Juraij dalam Al-Mushannaf dari Harits bin Abil Harits, dari Ubaid bin Umair “. [“الحَاوِي لِلفَتَاوِي” 2/2160].
Al-Harits bin Abil Harits tidak kami kenal siapakah dia dalam sanad ini???
Jika yang dimaksud adalah Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dziyab Ad-Dausy - seperti yang di katakan as-Sayuthi dalam [“الحَاوِي لِلفَتَاوِي” (2/216)] - ; Maka dengan demikian dalam hal ini patut dikritisi, karena Abu Hatim berkata tentang dia: ‘Dia tidak kuat’, tapi Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, sedangkan Abu Zur’ah berkata, ‘Tidak ada masalah dengannya (لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ).”
Adapun Ubaid bin Umair kebanyakan para ulama hadits menganggap bahwa beliau adalah tabi’in, bukan shahabat, karena tidak ada bukti bahwa dia melihat Rasulullah ﷺ.
[Lihat biografinya dalam “تَهْذِيبُ التَّهْذِيبِ” (7/71)].
Al-‘Ijly rahimahullah berkata: “Tokoh tabi’in.” [Baca : Kitab “الثِّقَاتُ” (321)]
Berbeda dengan Ibnu Abdul-Bar rahimahullah, maka dia berkata:
"ذَكَرَ البُخَارِيُّ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَكَرَهُ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ فِي مَنْ وُلِدَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُعَدَّدٌ فِي كِبَارِ التَّابِعِينَ."
Al-Bukhori menyebutkan bahwa dia (Ubaid) melihat Nabi ﷺ. Sedangakan Muslim bin Hajjaj menyebutkan bahwa dia terlahir pada masa Rasulullah ﷺ dan dia terhitung sebagai para senior kalangan tabi’in.”
[Lihat: “الِاسْتِيعَابُ” Al-Isti’ab, 3/1018 karya Ibnu Abdil Barr. Dan lihat pula “الإِصَابَةُ فِي تَمْيِيزِ الصَّحَابَةِ” (5/47) karya al-Hafidz Ibnu Hajar]
Kesimpulannya: Bahwa atsar ini termasuk marasil (kumpulan hadits mursal) Ubaid bin Umair ( wafat 73 H), dan dalam sanadnya ada masalah dan terdapat kritikan.
*****
HADITS PALSU:
At-Tabaraani dalam al-Mu'jam al-Awsat (6504) berkata: Muhammad ibn Dawood ibn Aslam as-Sadafi menceritakan kepada kita, 'Ubaydullah ibn 'Abdillah al-Munkadiri menceritakan kepada kita, Muhammad ibn Ismaa'eel ibn Abi Fudayk bersabda: Aku mendengar Abu Muhammad asy-Syami meriwayatkan bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
( مَا مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ يَمُوتُ مِنْهُمْ مَيِّتٌ فَيَتَصَدَّقُونَ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ، إِلَّا أَهْدَاهَا إِلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى طَبَقٍ مِنْ نُورٍ ، ثُمَّ يَقِفُ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَيَقُولُ: يَا صَاحِبَ الْقَبْرِ الْعَمِيقِ ، هَذِهِ هَدِيَّةٌ أَهْدَاهَا إِلَيْكَ أَهْلُكَ فَاقْبَلْهَا. فَيَدْخُلُ عَلَيْهِ ، فَيَفُرَحُ بِهَا وَيَسْتَبْشِرُ ، وَيَحْزَنُ جِيرَانُهُ الَّذِينَ لَا يُهْدَى إِلَيْهِمْ بِشَيْءٍ)
“Tidak ada rumah tangga yang satu rumahnya seseorang meninggal dunia dan mereka bersedekah atas nama orang tersebut setelah kematiannya, namun Jibril (alaihis salam) akan menyajikannya kepadanya di atas sepiring cahaya. Dia akan berdiri di tepi kubur dan berkata:
'Wahai penghuni kubur yang dalam, ini adalah pemberian yang diberikan oleh keluargamu, maka terimalah.' Kemudian dia akan masuk ke atasnya,
At-Tabaraani berkata setelah mengutipnya:
“لَا يُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَنَسٍ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ، تَفَرَّدَ بِهِ ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ".
Hadits ini tidak diriwayatkan dari Anas kecuali melalui isnaad ini, yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fudayk secara tunggal.
Al-Haytsami rahimahullah berkata:
“رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ ، وَفِيهِ أَبُو مُحَمَّدٍ الشَّامِيُّ قَالَ عَنْهُ الْأَزْدِيُّ: كَذَّابٌ".
“Diriwayatkan oleh at-Tabaraani dalam al-Awsat; sanadnya memuat Abu Muhammad asy-Syami, yang tentangnya al-Azdi berkata: Dia pembohong". [Kutipan akhir dari Majma' az-Zawaa'id, 3/139]
Syekh al-Albaani rahimahullah menyebutkannya dalam as-Silsilah ad-Da'iifah (486) dan berkata:
"مَوْضُوعٌ... آفَةُ الْحَدِيثِ مِنْ أَبِي مُحَمَّدِ الشَّامِيِّ، قَالَ الذَّهَبِيُّ: رَوَى حَدِيثًا عَنْ بَعْضِ التَّابِعِينَ مُنْكَرًا، قَالَ الْأَزْدِيُّ: كَذَّابٌ. وَكَذَا فِي "اللِّسَانِ"، وَكَأَنَّهُمَا أَرَادَا بِالْحَدِيثِ الْمُنْكَرِ هَذَا." انتهى.
Itu dibuat-buat [PALSU] … Hama hadits ini adalah diriwayatkan oleh Abu Muhammad ash-Shaami. Adz-Daahabi berkata: Dia meriwayatkan hadits-hadits munkar dari sebagian Taabi'in. Al-Azdi berkata: "Dia pendusta".
Dan seperti inilah dalam kitab al-Lisaan, seolah-olah yang mereka berdua maksud dengan hadits munkar itu adalah ini". [Akhiri kutipan].
HADITS LAIN DENGAN LAFADZ SEBAGAI BERIKUT :
"مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلَّا كَالْغَرِيقِ الْمُسْتَغِيثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبٍ أَوْ أُمٍّ أَوْ أَخٍ أَوْ صَدِيقٍ، فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُدْخِلُ عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ مِنْ دُعَاءِ أَهْلِ الدُّورِ أَمْثَالِ الْجِبَالِ، وَإِنَّ هَدِيَّةَ الْأَحْيَاءِ إِلَى الْأَمْوَاتِ الْاِسْتِغْفَارُ."
“Tidaklah mayit itu didalam kuburnya kecuali dia seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan, dengan mengharapkan doa dari ayah, ibu, saudara laki-laki, atau temannya, dan ketika doa itu sampai kepadanya, maka itu lebih disayanginya daripada dunia ini dan segala isinya. Allah akan memberikan kepada para penghuni kuburan anugerah-anugerah seperti gunung-gunung sebagai hasil doa penghuni rumah (yakni orang-orang yang masih hidup). Dan pemberian orang hidup kepada orang mati adalah doa ampunan.”
Hadits ini dikutip oleh Syekh al-Albaani dalam as-Silsilah ad-Da'iifah (799). Beliau berkata:
“(Itu) munkar jiddan (sangat munkar)”. [Akhiri kutipan].
Adapun Mengenai hadits yang berbunyi:
"إِذَا دُعِيتُمْ لِلْمَيِّتِ دَخَلَ عَلَيْهِ الْمَلَكُ وَمَعَهُ طَبَقٌ مِنْ نُورٍ، فَيَقُولُ: هَذِهِ هَدِيَّةٌ لَكُمْ مِنْ أَخِيكُمْ فُلَانٍ، مِنْ قَرِيبِكُمْ فُلَانٍ، فَيَفْرَحُ بِهَا."
“Apabila kamu mendoakan orang yang telah meninggal, maka malaikat masuk kepadanya dengan sepiring cahaya. Lalu di berkata: Ini adalah hadiah untuk kalian dari suadara lelaki kalian si Fulan, dari kerabat kalian si Fulan ; maka ia senang dan bergembira dengannya”,
Kami tidak dapat menemukan riwayat seperti itu dari Nabi Muhammad ﷺ baik dengan lafidz ini atau lafadz pertama.
Maka tidak boleh menisbatkan hadits ini kepada Nabi ﷺ sebagaimana halnya tidak boleh mengutipnya meskipun tidak dikaitkan dengan Nabi ﷺ., karena perkara al-barzakh termasuk perkara ghaib, dan tidak boleh sembarangan membicarakannya tanpa ilmu.
===*****===
PENUTUP:
Syeikul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وَمَعَ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ السَّلَفِ إذَا صَلَّوْا تَطَوُّعًا وَصَامُوا وَحَجُّوا أَوْ قَرَءُوا الْقُرْآنَ يَهْدُونَ ثَوَابَ ذَلِكَ لِمَوْتَاهُمْ الْمُسْلِمِينَ وَلَا لِخُصُوصِهِمْ بَلْ كَانَ عَادَتُهُمْ كَمَا تَقَدَّمَ فَلَا يَنْبَغِي لِلنَّاسِ أَنْ يَعْدِلُوا عَنْ طَرِيقِ السَّلَفِ فَإِنَّهُ أَفْضَلُ وَأَكْمَلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Meskipun demikian, bukanlah dari kebiasaan amalan para Salaf (generasi awal Islam) ketika mereka shalat Sunnah, puasa dan haji atau membaca al-Quran, lalu mereka menghadiahkan pahala itu semua kepada kaum muslimin yang sudah meninggal, dan tidak pula mengkhususkannya untuk sebagian dari mereka, melainkan kebiasaan mereka adalah sebagaimana yang telah disebutkan. Maka tidak selayaknya bagi kaum muslimin membelokkannya dari jalan para salaf, karena itu adalah yang terbaik dan paling sempurna. Wallahu A'lam." [Majmu' al-Fataawaa 24/322-323]
0 Komentar