HUKUM MAKMUM MASBUK MENJADI IMAM. DAN HUKUM SESAMA MASBUK MENJADI IMAM DAN MAKMUM
Di Tulis Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI:
- PEMBAHASAN PERTAMA: HADITS-HADITS YANG TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN DALAM ARTIKEL INI:
- PEMBAHASAN KEDUA: HUKUM BEMAKMUM PADA MAKMUM MASBUK SETELAH SALAM IMAM
- PEMBAHASAN KETIGA: HUKUM JIKA IMAM DAN MAKMUM SAMA-SAMA BERASAL MAKMUM MASBUQ
بسم الله الرحمن الرحيم
*****
PEMBAHASAN PERTAMA:
HADITS-HADITS YANG TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN DALAM ARTIKEL INI:
=====
1. CARA SHALAT MAKMUM MASBUQ BERAWAL DARI IJTIHAD SAHABAT:
Taqrir Nabi ﷺ terhadap tata cara shalat makmum yang masbuk. Di ambil dari amalan salah seorang sahabat:
Dari Mu’az ibnu Jabal (r.a.):
وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ، وَقَدْ سَبَقَهُمْ بِبَعْضِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذَا جَاءَ كَمْ صَلَّى؟ فَيَقُولُ: وَاحِدَةً أَوْ اثْنَتَيْنِ فَيُصَلِّيهَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كُنْتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَضَيْتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا قَالَ: فَثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَامَ فَقَضَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا
Bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat shalat, mereka datang ketika Nabi ﷺ telah menyelesaikan sebagian dari shalatnya.
Maka ada seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang shalat melalui isyarat yang maksudnya ialah: “Berapa rakaat shalat yang telah dikerjakan?". Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat: “satu atau dua rakaat ". Lalu dia mengerjakan shalat yang tertinggal itu sendirian. Setelah itu ia baru masuk ke dalam sholat berjamaah, menggabungkan diri dengan bermakmum kepada Nabi ﷺ.
Perawi mengatakan: Lalu datanglah Mu’adz.
Muadzd berkata: "Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi ﷺ melainkan aku terlibat di dalamnya."
Pada suatu hari Muadz datang, sedangkan Nabi ﷺ telah mendahuluinya dengan sebagian shalatnya. Maka Mu’adz langsung ikut bermakmum kepada Nabi ﷺ.
Setelah Nabi ﷺ menyelesaikan salatnya, lalu bangkitlah Mu’az untuk melanjutkan shalatnya yang ketinggalan.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Mu’adz telah membuat suatu peraturan bagi kalian [yakni: tata cara sholat makmum masbuq. PEN]; maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu!"
(yakni: langsung masuk ke dalam sholat berjamaah. Dan apabila imam selesai dari salatnya, maka ia berdiri menyelesaikan rakaat yang tertinggal, dengan shalat sendirian).
[HR. Ahmad 36/438, Abu Daud 1/140 no. 507, al-Hakim 2/274 dan ath-Thohaawi dalam Syarah al-Musykil 1/417 no. 478]
Di Shahihkan oleh al-Hakim dengan mengatakan: “Shahih sesuai syarat Shahih bukhori dan Muslim ". Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Di shahihkan pula oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 478 dan dalam al-Irwaa 4/20.
Namun hadits ini diDha’ifkan oleh Syu'aib al-Arnauth dalam Takhriij Musnad Imam Ahmad..
=====
2. HADITS IJTIHAD SAHABAT BERJALAN MENUJU SHAFF.
Taqrir Nabi ﷺ terhadap sahabat yang ketika shalat, dia berjalan menuju shaff:
Dari Al-Hasan al-Bashri:
أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ وَرَسُولُ اللَّهِ رَاكِعٌ فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ أَيُّكُمْ الَّذِي رَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ أَنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
“Bahwasanya Abu Bakrah datang, sedangkan Rasulullah ﷺ dalam keadaan ruku', lalu dia ruku' di luar shaf, kemudian berjalan menuju shaf.
Tatkala Nabi ﷺ selesai shalat, beliau bersabda: "Siapakah di antara kalian yang ruku di luar shaf kemudian berjalan masuk ke shaf?"
Abu Bakrah menjawab: “Saya".
Maka Nabi ﷺ bersabda: "Semoga Allah menambahkan semangat untukmu melakukan kebaikan, dan tidak usah kamu mengulanginya."
(HR. Bukhori No. 741, Abu Daud no. 586, Nasaa’i no. 861 dan Imam Ahmad no. 19510).
====
3. HADITS SAAT MAU MAKMUM MENEMUKAN IMAM SEDANG RUKUK:
Dari Abu Hurairah (ra) dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ ".
"Jika kalian datang untuk menunaikan shalat, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka ikutlah bersujud, dan janganlah kalian menghitungnya satu raka'at, dan barangsiapa mendapatkan ruku', berarti dia telah mendapatkan shalat (satu raka'at -pent)."
[HR. Abu Daud no. 893, Bukhori dalam al-Qira'ah Kholful Imam no. 148 dan al-Hakim dalam al-Mutadrak no. 1012]. Di Shahihkan adz-Dzahabi dalam Talkhish al-Mustadrak 1/407 dan Di Hasankan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud
Dari Abu Hurairah (ra) dia berkata Nabi ﷺ bersabda:
" مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ مَع الإمَامِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ ".
“Barangsiapa yang mendapat ruku' dari shalatnya bersama imam, maka dia telah berarti dia telah mendapatkan shalat (satu raka'at -pent)”. (HR. Bukhari: 580 dan Muslim: 607)
Syekh Ibnu Baaz berkata:
"إِذَا أَدْرَكَ الْمَأْمُومُ الْإِمَامَ رَاكِعًا أَجْزَأَتْهُ الرَّكْعَةُ وَلَوْ لَمْ يَسْبَحِ الْمَأْمُومُ إِلَّا بَعْدَ رَفْعِ الْإِمَامِ."انتهى.
" Barang siapa yang menjumpai imam ketika ia sedang rukuk, maka rakaat itu terhitung baginya, meskipun ia tidak mengucapkan tasbih hingga imam berdiri. [Akhiri kutipan. Majmu' Fataawa Ibnu Baaz, 11/245-246]
=====
4. HADITS IJTIHAD SAHABAT BERMAKMUM KEPADA ORANG SHALAT MUNFARID
Dari Ibnu Abbas (ra) ia berkata:
بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ خَالَتي مَيْمُونَةَ، فَقَامَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ، فأتَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ فأتَى القِرْبَةَ، فأطْلَقَ شِنَاقَهَا، ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بيْنَ الوُضُوءَيْنِ، وَلَمْ يُكْثِرْ، وَقَدْ أَبْلَغَ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى، فَقُمْتُ فَتَمَطَّيْتُ كَرَاهيةَ أَنْ يَرَى أَنِّي كُنْتُ أَنْتَبِهُ له، فَتَوَضَّأْتُ، فَقَامَ فَصَلَّى، فَقُمْتُ عن يَسَارِهِ، فأخَذَ بيَدِي فأدَارَنِي عن يَمِينِهِ، فَتَتَامَّتْ صَلَاةُ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، ثُمَّ اضْطَجَعَ فَنَامَ حتَّى نَفَخَ، وَكانَ إذَا نَامَ نَفَخَ،
Saya menginap semalam di tempat bibiku Maimunah. Kemudian Nabi ﷺ bangun malam dan buang hajat. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya, kedua tangannya lalu tidur kembali. Kemudian beliau bangun lagi dan langsung mendatangi qirbah (tempat air), lalu beliau membuka tutupnya. Beliau berwudlu dengan sempurna, tanpa menggunakan banyak air namun mencukupi.
Sesudah itu, beliau shalat. Lantas aku bangun dan membentangkan badanku [menggeliatkan badan], karena aku tidak ingin beliau tahu bahwa aku memperhatikannya. Kemudian aku mengambil air wudlu lalu berdiri di sebelah kiri beliau sambil mengikutinya shalat. Namun, beliau memegang tanganku dan memindahkanku ke sebelah kanannya.
Malam itu, Rasulullah ﷺ shalat tiga belas raka’at. Kemudian beliau berbaring, lalu tertidur sampai beliau mendengkur. Dan memang, bila beliau tidur, beliau mendengkur. [HR. Bukhori no. 6316 dan Muslim no. 763]
Lafadz Imam Muslim:
" بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَبَقَيْتُ كَيْفَ يُصَلِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَامَ فَبَالَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الْقِرْبَةِ فَأَطْلَقَ شِنَاقَهَا ثُمَّ صَبَّ فِي الْجَفْنَةِ أَوْ الْقَصْعَةِ فَأَكَبَّهُ بِيَدِهِ عَلَيْهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا حَسَنًا بَيْنَ الْوُضُوءَيْنِ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَجِئْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ قَالَ فَأَخَذَنِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَتَكَامَلَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ نَامَ حَتَّى نَفَخَ وَكُنَّا نَعْرِفُهُ إِذَا نَامَ بِنَفْخِهِ".
"Saya bermalan di rumah bibiku, Maimunah. Maka saya pun ingin melihat bagaimana Rasulullah ﷺ menunaikan shalat malam. (Maka pada malam itu) beliau bangun dan kencing. Kemudian beliau membasuh wajahnya, kedua tangannya dan tidur kembali. Kemudian beliau bangun dan langsung beranjak menuju qirbah (tempat air). Beliau membuka tutupnya dan menuangkannya ke dalam mangkuk kecil. Kemudian beliau menciduk dengan tangannya dan berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya.
Setelah itu beliau shalat, dan saya pun ikut shalat bersama beliau dengan berdiri di sebelah kirinya. Namun beliau memegang dan memindahkanku ke sebelah kanannya.
(Pada malam itu) shalat Rasulullah ﷺ sempurna tiga belas raka'at. Sesudah itu beliau tidur hingga mendengkur. Dan kami tahu jika tidur beliau mendengkur. [HR. Muslim no. 1279].
Dari Zaid bin Tsabit (ra) bahwa ia berkata;
احْتَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ حُجْرَةً فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ اللَّيْلِ فَيُصَلِّي فِيهَا قَالَ فَصَلَّوْا مَعَهُ لِصَلَاتِهِ يَعْنِي رِجَالًا وَكَانُوا يَأْتُونَهُ كُلَّ لَيْلَةٍ حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةٌ مِنْ اللَّيَالِي لَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنَحْنَحُوا وَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا بَابَهُ قَالَ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُغْضَبًا فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنْ سَتُكْتَبَ عَلَيْكُمْ فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
Rasulullah ﷺ membuat sebuah ruangan di masjid, beliau keluar pada malam hari dan melakukan shalat padanya.
Zaid berkata; kemudian orang-orang melakukan shalat bersama beliau dengan sholat beliau. Mereka datang setiap malam hingga ketika suatu malam Rasulullah ﷺ tidak keluar kepada mereka, kemudian mereka berdehem dan mengeraskan suara mereka, dan melempar pintu beliau menggunakan kerikil.
Zaid berkata; kemudian beliau keluar menemui mereka dalam keadaan marah seraya berkata: "Wahai manusia, masih saja apa yang kalian lakukan hingga aku mengira shalat tersebut diwajibkan atas kalian, hendaknya kalian melakukan shalat di rumah kalian, sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah dirumahnya kecuali shalat wajib." [HR. Abu Daud no. 1447 dan di shahihkan al-Albaani].
=====
5. HADITS TENTANG IMAM BERUBAH MENJADI MAKMUM:
Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi (ra) mengatakan:
كانَ قِتَالٌ بيْنَ بَنِي عَمْرٍو، فَبَلَغَ ذلكَ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أتَاهُمْ يُصْلِحُ بيْنَهُمْ، فَلَمَّا حَضَرَتْ صَلَاةُ العَصْرِ، فأذَّنَ بلَالٌ وأَقَامَ، وأَمَرَ أبَا بَكْرٍ فَتَقَدَّمَ، وجَاءَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَبُو بَكْرٍ في الصَّلَاةِ، فَشَقَّ النَّاسَ حتَّى قَامَ خَلْفَ أبِي بَكْرٍ، فَتَقَدَّمَ في الصَّفِّ الذي يَلِيهِ، قالَ: وصَفَّحَ القَوْمُ، وكانَ أبو بَكْرٍ إذَا دَخَلَ في الصَّلَاةِ لَمْ يَلْتَفِتْ حتَّى يَفْرُغَ، فَلَمَّا رَأَى التَّصْفِيحَ لا يُمْسَكُ عليه التَفَتَ، فَرَأَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَلْفَهُ، فأوْمَأَ إلَيْهِ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بيَدِهِ، أنِ امْضِهْ، وأَوْمَأَ بيَدِهِ هَكَذَا، ولَبِثَ أبو بَكْرٍ هُنَيَّةً يَحْمَدُ اللَّهَ علَى قَوْلِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ثُمَّ مَشَى القَهْقَرَى، فَلَمَّا رَأَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ذلكَ تَقَدَّمَ، فَصَلَّى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بالنَّاسِ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ، قالَ: يا أبَا بَكْرٍ ما مَنَعَكَ إذْ أوْمَأْتُ إلَيْكَ أنْ لا تَكُونَ مَضَيْتَ؟ قالَ: لَمْ يَكُنْ لِابْنِ أبِي قُحَافَةَ أنْ يَؤُمَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وقالَ لِلْقَوْمِ: إذَا رَابَكُمْ أمْرٌ، فَلْيُسَبِّحِ الرِّجَالُ، ولْيُصَفِّحِ النِّسَاءُ.
" Ketika terjadi peperangan antara bani 'Amru, berita ini sampai kepada Nabi ﷺ maka beliau shalat zhuhur kemudian mendatangi mereka untuk mendamaikan sesama mereka.
Tatkala tiba shalat ashar, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamat. Lantas beliau perintahkan Abu bakar untuk mengimami orang-orang. Ia pun maju mengimami. Selanjutnya Nabi ﷺ datang sedang Abu Bakar tengah mengimami.
Nabi menerobos barisan hingga berdiri di belakang Abu Bakar, dan terus maju hingga tepat di shaff (barisan) setelah Abu Bakar.
Sahal berkata: Saat itulah para sahabat menepukkan tangan kanannya diatas punggung lengan kiri (tashfiih) sebagai pertanda Rasulullah di belakangnya.
Adalah kebiasaan Abu bakar jika telah menunaikan shalat, ia tidak menoleh-noleh hingga selesai, maka tatkala Abu Bakar mendengar tashfih terus menerus dilakukan tanpa henti, dia menoleh dan melihat Nabi ﷺ berada di belakangnya. Nabi ﷺ memberi isyarat dengan tangannya kepadanya agar meneruskan shalatnya. Beliau ﷺ mengisyaratkan dengan tangannya: sperti ini!.
Abu Bakar meneruskan shalat beberapa saat, memuji Allah atas ucapan Nabi ﷺ, kemudian dia berjalan mundur, dikala Nabi ﷺ melihat yang demikian, maka Nabi maju dan mengimami orang-orang.
Selesai beliau menunaikan shalatnya, beliau mengatakan: "Hai Abu bakar, apa yang menghalangimu ketika aku memberi isyarat kepadamu, namun engkau malah tidak melanjutkannya?"
Abu bakar menjawab: "Tidak pantas bagi Ibnu Abu Quhafah mengimami Nabi ﷺ." Kemudian Nabi bersabda kepada para sahabat: "Jika kalian ragu ketika shalat, hendaklah yang laki-laki mengucapkan tasbih, sedang jika perempuan menepukkan tangan (tashfiih)."
[HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421]
====
6. SELESAI MENJADI MAKMUM SHALAT FARDHU, LALU MENJADI IMAM
Dalam riwayat Imam al-Syafi’ie disebutkan:
كَانَ مُعَاذٌ يُصلِّي مَعَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الْعِشَاءَ ، ثُمَّ يَنطَلِقُ إِلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ، هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ، وَلَهُم مَكْتُوبَةٌ
Muadz biasa shalat Isyak bersama dengan Nabi ﷺ. Kemudian beliau kembali kepada kaumnya dan dia shalat menjadi imam bagi mereka, itu baginya shalat sunat dan bagi kaumnya adalah shalat fardhu.
[Diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi'i dalam al-Umm (2/347), Al-Bukhari (701), Muslim (465), Abu Dawud (790), Al-Nasa'i (835), Ibnu Majah (986), Ahmad (14307) secara panjang lebar. Dan ini adalah lafadz Imam Syafi'i]
Imam Al-Nawawi berkata: "Hadits ini menunjukkan bahawa dibolehkan bagi orang yang melaksanakan solat fardhu untuk solat di belakang orang yang solat nafilah (solat sunat), Hal ini karena Muaz pernah solat fardhu bersama Rasulullah ﷺ, maka selesailah kewajipannya, kemudian dia solat kali kedua bersama kaumnya, maka shalat yang kedua itu adalah sunatnya dan wajib bagi kaumnya. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam riwayat lain selain Sahih Muslim, dan ini diperbolehkan menurut Imam al-Syafi'ie dan lain-lain". (Lihat Syarh al-Nawawi 'ala Sahih Muslim, 4/181)
*****
PEMBAHASAN KEDUA:
HUKUM BEMAKMUM PADA MAKMUM MASBUK SETELAH SALAM IMAM
Shalat di belakang makmum masbuq dianggap sah jika ia telah berdiri untuk melanjutkan shalatnya. Ini adalah pendapat yang rajih [lebih kuat], karena tidak disyaratkan niat menjadi imam sejak awal shalat. Dan karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa seseorang dapat beralih dari status shalat sendirian ke menjadi imam, atau dari menjadi imam ke menjadi makmum, dan sebaliknya.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat merujuk ke kitab "Al-Sharh Al-Mumti' " (2/307-318).
Makmum Masbuq setelah imam salam lalu dia berdiri untuk melanjutkan shalatnya, maka dia menjadi munfarid [shalat sendirian]. Ketika dia berniat untuk menjadi imam, karena ada yang bermakmum padanya, maka itu sah.
FATWA SYEKH IBNU UTSAIMIN
Sheikh Ibn Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, pernah ditanya:
"هَلْ يُشْتَرَطُ فِي الْإِمَامَةِ نِيَّةُ الْإِمَامَةِ فِي الصَّلَاةِ؟ وَإِذَا دَخَلَ رَجُلٌ فَوَجَدَ رَجُلًا يُصَلِّي فَهَلْ يَأْتَمَّ بِهِ؟ وَهَلْ يُشْرَعُ الْإِئْتِمَامُ بِالْمُسَبِّقِ؟
"Apakah niat menjadi imam disyaratkan dalam shalat? Dan jika seseorang masuk masjid dan menemukan seseorang yang sedang shalat, apakah dia boleh bermakmum shalat dengan orang tersebut? Apakah disyariatkan untuk bermakmum pada Masbuq ?"
Beliau menjawab:
هَذِهِ ثَلَاثُ مَسَائِلَ تَضْمَنَتْهَا هَذِهِ الْفَقَرَةِ:
الْمَسْأَلَةُ الْأُوْلَى: هَلْ يُشْتَرَطُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامَةَ؟
وَجَوَابُ ذَلِكَ: أَنَّ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ: أَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامَةَ، فَلَوْ صَلَّى شَخْصٌ مَعَ شَخْصٍ آخَرَ، وَنَوَى أَنَّهُ إِمَامٌ لَهُ، وَلَكِنَّ الْإِمَامَ لَمْ يَنُوَ الْإِمَامَةَ فَإِنَّ صَلَاةَ الْمَأْمُومِ لَا تَصْحُ فِي هَذِهِ الْحَالِ، لِأَنَّهُ يُشْتَرَطُ لِلْجَمَاعَةِ أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامُ الْإِمَامَةَ وَالْمَأْمُومُ الْإِئْتِمَامَ.
وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: إِنَّهُ يَصْحُ أَنْ يُؤَتَّمَ بِشَخْصٍ وَإِنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ، لِأَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ يَوْمٍ فِي رَمَضَانَ وَحَدَّهُ وَاحْتَجَرَ عَلَيْهِ حُجْرَةً، فَصَلَّى وَرَاءَهُ النَّاسُ وَلَمْ يُنْهِهِمْ عَلَيْهِ الصَّلَاةَ وَالسَّلَامُ.
لَكِنْ هَذَا لَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّ الرَّسُولَ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ لِأَنَّهُ رُبَّمَا نَوَى الْإِمَامَةَ حِينَ أَحْسَ بِهِمْ، وَالِاحْتِيَاطُ أَلَّا يُصَلِّيَ خَلْفَ شَخْصٍ إِلَّا وَقَدْ عَرَفَ أَنَّهُ نَوَى الْإِمَامَةَ، فَإِذَا دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَأَيْتُ شَخْصًا يُصَلِّي وَحَدَهُ، فَقِفْ إِلَى جَنِبِهِ وَقُلْ: أَنْتَ إِمَامِي، وَإِذَا لَمْ تَقُلْ ذَلِكَ وَكَبَرْتَ فَإِنَّهُ هُوَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنْوِيَ أَنْ يَكُونَ إِمَامًا لَكَ لِتَحْصُلَ الْجَمَاعَةَ.
**الفقرة الثانية من هذا السؤال**: وَهِيَ أَنَّهُ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَوَجَدَ إِنْسَانًا يُصَلِّي فَهَلْ يَدْخُلُ مَعَهُ؟ وَالْجَوَابُ: أَنَّهُ يَدْخُلُ مَعَهُ، وَتَصْحُ الصَّلَاةُ جَمَاعَةً عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ، وَدَلِيلُ هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّي وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا نَائِمًا عِنْدَهُ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَحْدَهُ، فَقَامَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَصَلَّى إِلَى جَانِبِهِ، لَكِنَّهُ صَلَّى عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ مِنْ وَرَائِهِ فَجَعَلَهُ عَنْ يَمِينِهِ.
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ نِيَّةِ الْإِمَامَةِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ، وَمَا ثَبَتَ فِي النَّفْلِ ثَبَتَ فِي الْفَرْضِ إِلَّا بِدَلِيلٍ.
**أمَّا الفقرة الثالثة في السؤال فَهِيَ**: هَلْ يُؤَتَّمُ بِشَخْصٍ يَقْضِي مَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلَاةِ؟
وَالْجَوَابُ عَلَى هَذَا أَنْ نَقُولَ: لَا بَأْسَ أَنْ يَأْتَمَّ بِشَخْصٍ يَقْضِي مَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلَاةِ، كَمَا لَوْ دَخَلْتَ وَوَجَدْتَ الْإِمَامَ قَدْ سَلَّمَ وَوَجَدْتَ رَجُلًا يَقْضِي مَا فَاتَهُ مَعَ الْإِمَامِهِ، فَدَخَلْتَ مَعَهُ عَلَى أَنْ يَكُونَ إِمَامًا لَكَ؛ فَإِنَّ هَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، لَكِنَّ الْأُوْلَى تَرْكَهُ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يَكُنُوا يَفْعَلُونَ هَـٰذَا إِذَا فَاتَهُمْ شَيْءٌ مِّنَ الصَّلَاةِ" انتَهَى مِنْ "فَتَاوَى نُورٍ عَلَى الدَّرْبِ" (8/2).
"Ini adalah tiga masalah yang termasuk dalam paragraf ini:
Masalah pertama: Apakah disyaratkan bagi imam untuk niat menjadi imam?
Jawaban yang paling populer dalam mazhab Imam Ahmad, semoga Allah merahmatinya, adalah bahwa imam harus niat menjadi imam. Maka jika ada orang shalat bersama orang lain dan dia berniat menjadikan imam bagi nya, tetapi sang imam yang sebenarnya tidak berniat menjadi imam, maka shalat jamaah dalam kondisi tersebut tidak sah. Karena yang disyaratkan dalam shalat berjamaah adalah seorang imam harus berniat menjadi imam dan makmum harus berniat menjadi makmum."
Ada sebagian para ulama berpendapat bahwa seseorang dapat menjadi imam meskipun tanpa niat menjadi imam, karena pada suatu hari, Nabi ﷺ shalat sendirian di dalam ruangan dan menutup dirinya. Kemudian, orang-orang shalat di belakangnya tanpa Nabi melarang mereka melakukannya.
Namun, ini tidak menunjukkan bahwa Rasulullah tidak berniat menjadi imam, karena mungkin saja dia berniat menjadi imam ketika menyadari kehadiran mereka.
Dan yang lebih hati-hati adalah bahwa seseorang tidak boleh bergabung dengan seseorang yang sedang shalat kecuali jika dia yakin bahwa orang itu telah berniat menjadi imam. Ketika Anda memasuki masjid dan melihat seseorang yang sedang shalat sendirian, Anda dapat berdiri di sisinya dan mengatakan, "Kamu adalah Imamku."
Jika Anda tidak mengatakannya dan kemudian bertakbir, maka seharusnya dia berniat menjadi imam untuk Anda agar bisa menadatkan shalat berjamaah.
Paragraf kedua dalam masalah ini: adalah tentang jika seseorang masuk ke dalam masjid lalu dia melihat melihat seseorang sedang shalat.
Jawabannya adalah: Anda dapat masuk dan melaksanakan shalat berjamaah, dan ini adalah menurut pendapat yang rajih [lebih kuat].
Dalil untuk ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan hal yang sama. Pada suatu malam, beliau shalat sendirian dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhumaa tidur di dekatnya. Ketika Ibnu Abbas melihatnya, dia bergabung dengan shalat Nabi, namun dia shalat di sebelah kiri Nabi. Rasulullah ﷺ kemudian mengambil kepala Ibnu Abbas dari belakang dan meletakkannya di sebelah kanannya. Ini menunjukkan boleh berniat menjadi imam selama didalam shalat. Dan apa yang berlaku untuk shalat sunnah juga berlaku untuk shalat fardhu, kecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya [melarangnya].
Paragraf ketiga dari permasalahan ini: adalah apakah seseorang boleh menjadi makmum pada orang yang sedang mengqodho sholat yang terlewatkan ?
Jawabannya: adalah tidaklah mengapa bagi seseorang menjadi makmum pada orang yang sedang mengqodho sholat yang terlewatkan. Sama seperti halnya jika anada memasuki masjid lalu menemukan Imam telah mengucapkan salam, dan menemukan seseorang menyempurnakan rakaat yang tertinggal bersama imamnya. Lalu anda bermakmum padanya dan menjadikannya sebagai imam; maka ini tdaklah mengapa, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya; karena yang nampak dari para sahabat bahwa mereka tidak pernah melakukan ini ketika luput dari mereka sesuatu dari shalatnya. [Selesai dari Fatawa Nurun 'Ala Ad-Darb 2/8].
FATWA SYEIKH MUHAMMAD SHALEH AL-MUNAJJID
Penulis kutip dari fatwa islamqa no. 349008 dibawah bimbingan Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid, yaitu sbb:
هَلْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَأْمُومًا وَإِمَامًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ؟
لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ الْإِنْسَانُ مَأْمُومًا إِمَامًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، وَحَكَاهُ ابْنُ حَجَرِ الْهَيْتَمِيُّ إِجْمَاعًا.
قَالَ فِي "تَحْفَةِ الْمُحْتَاجِ" (2/282): “(وَلَا تَصْحُ قُدْوَةٌ بِمُقْتَدٍ) بِغَيْرِهِ إِجْمَاعًا... وَإِنْ بَانَ إِمَامًا؛ وَذَٰلِكَ لِاِسْتِحَالَةِ اجْتِمَاعِ كَوْنِهِ تَابِعًا مُتَبِوِّعًا" انتَهَى.
وَعَلَيْهِ فَمَنْ ائَتَمًّ بِكَ حَالَ ائْتِمَامِكَ بِالْمَسْبُوْقِ، أَيْ كَبَّرَ لِلْإِحْرَامِ مُقْتَدِيًا بِكَ وَأَنْتَ مَأْمُومًا، لَمْ تَصْحُ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ تَكُونَ مَأْمُومًا إِمَامًا، حَتَّى لَوْ بَانَ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَنَّ هَـٰذَا الْمُسَبَّوْقِ لَمْ يَنُو الْإِمَامَةَ.
وَإِنْ غَيَّرْتَ نِيَّتَكَ، وَنَوَيْتَ الْانِفْرَادَ، فَمَنْ اقْتَدَى بِكَ حِينَئِذٍ، وَنَوَيْتَ أَنْ تَكُونَ إِمَامًا لَهُ، فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ.
وَكَذَٰلِكَ كُلُّ مَنْ نَوَى الِاقْتِدَاءَ بِكَ بَعْدَ سَلَامِ الْمَسْبُوْقِ -حَتَّى لَوْ كَانَ إِمَامًا لَكَ- فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ، لِأَنَّهُ اقْتَدَى بِكَ فِي حَالٍ لَمْ تَكُنْ فِيهَا مَأْمُومًا لِأَحَدٍ.
وَالظَّاهِرُ مِنْ سُؤَالِكَ: أَنَّ مَنْ اقْتَدَى بِكَ أَثْنَاءَ رُكُوعِكَ لَا تَصْحُ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّهُ ائْتَمَّ بِكَ قَبْلَ أَنْ تُغَيِّرَ نِيَّتَكَ.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Apakah dibenarkan shalat sebagai makmum dan sekaligus sebagai imam dalam satu waktu.
Tidak sah bagi seseorang menjadi makmum dan sekaligus menjadi imam, dan Ibnu Hajar Al-Haytami menghikayatkan Ijma'.
Ibn Hajar al-Haitami menyatakan dalam "Tuhfat al-Muhtaj" (2/282): "Tidak sah qudwah (imam) merangkap menjadi muqtadi (makmum) kepada selainnya menurut Ijma' [kesepakatan ulama]... walaupun dia tampak sebagai seorang imam, karena mustahil bagi dua kondisi, yakni menjadi seorang pengikut dan pemimpin, dalam waktu bersamaan."
Maka dalam hal ini barang siapa yang bermakmum pada Anda saat Anda sedang bermakmum pada masbuq, yakni dia bertakbiratul ihram untuk bermakmum pada anda, sementara anda sendiri sedang bermakmum, maka shalat Anda tidak sah. Ini karena tidak sah bagi seseorang untuk menjadi makmum dan imam dalam satu waktu, bahkan jika kemudian ternyata bahwa makmum masbuq yang dimakmumi tersebut tidak berniat untuk mengimami shalat.
Namun, jika Anda mengubah niat Anda dan berniat untuk melakukan shalat sendiri (munfarid), dan kemudian seseorang mengikuti Anda dalam shalat tersebut dan Anda berniat menjadi imam bagi nya, maka shalat dia sah.
Demikian pula, setiap orang yang berniat untuk mengikuti Anda setelah salam dari masbuq, bahkan jika dia adalah imam bagi Anda, maka shalat dia sah, karena dia bermakmum pada Anda dalam kondisi di mana Anda tidak menjadi makmum pada siapa pun.
Dalam pertanyaan Anda, tampaknya jika seseorang bermakmum pada Anda ketika Anda sedang dalam posisi ruku', maka shalat dia tidak sah, karena dia bermakmum pada Anda sebelum Anda mengubah niat Anda.
Wallahu a'lam.
****
PEMBAHASAN KETIGA:
HUKUM JIKA IMAM DAN MAKMUM SAMA-SAMA USAI MASBUQ
Jika ada dua orang makmum masbuq, bolehkah salah satu dari kesduanya menjadi imam dan mengimami yang lain?
Ini adalah masalah:
"إِتْمَامُ الْمَسْبُوقِ بِمَسْبُوقٍ آخَرٍ أَثْنَاءَ الصَّلَاةِ"
Makmum masbuq menyempurnakan shalatnya dengan bermakmum kepada makmum masbuq lainnya ditengah-tengah shalat.
PERBEDAAN PENDAPAT:
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh atau tidaknya hal tersebut.
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN:
Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan. Berikut teks komentarnya:
"لَوْ دَخَلَ اثْنَانِ مَسْبُوقَانِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ: إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ فَأَنَا إِمَامُكَ ؛ فَقَالَ: لَا بَأْسَ ، فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ صَارَ أَحَدُ الْاثْنَيْنِ إِمَامًا لِلْآخَرِ ، فَقَدْ انْتَقَلَ هَذَا الشَّخْصُ مِنْ اِئْتِمَامٍ إِلَى إِمَامَةٍ ، وَانْتَقَلَ الثَّانِي مِنْ إِمَامَةٍ شَخْصٍ إِلَى إِمَامَةٍ شَخْصٍ آخَرٍ.
(فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ): بِأَنَّ هَذَا جَائِزٌ ؛ وَأَنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يَتَّفِقَ اثْنَانِ دَخَلا وَهُمَا مَسْبُوْقَانِ بِبَعْضِ الصَّلَاةِ عَلَى أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا إِمَامًا لِلْآخَرِ.
وَقَالُوا: إِنَّ الْانْتِقَالَ مِنْ إِمَامٍ إِلَى إِمَامٍ آخَرٍ قَدْ ثَبَتَت بِهِ السُّنَّةُ كَمَا فِي قَضِيَّةِ أَبِي بَكْرٍ مَعَ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ (حِينَ أَمَّ أَبُو بَكْرٍ بِالنَّاسِ فِي قِصَّةِ مَرَضِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْنَاءَ الصَّلَاةِ فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ تَأَخَّرَ لِيَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ 687 وَمُسْلِمُ 418 ، فَحَصُلَ فِي هَذِهِ الْقِصَّةِ انْتِقَالَانِ:
الأوَّل: انتقالُ أَبِي بَكْرٍ مِنَ الإمامَةِ إِلَى الإتمامِ.
الثَّانِي: انتقالُ الصَّحَابَةِ مِنَ الإِئْتِمَامِ بِأَبِي بَكْرٍ إِلَى الإِئْتِمَامِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
(وَقِيلَ): إِنَّ هَذَا لَا يَجُوزُ؛ لأَنَّ هَذَا تَضْمَنَ انتِقَالًا مِنْ إِمَامٍ إِلَى إِمَامٍ، وَانتِقَالًا مِنْ إِئْتِمَامٍ إِلَى إِمَامَةٍ بِلَا عُذْرٍ، وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَنْتَقِلَ مِنَ الْأَدْنَى إِلَى الْأَعْلَى، فَكَوْنُ الْإِنْسَانِ إِمَامًا أَعْلَى مِنْ كَوْنِهِ مَأْمُومًا.
قَالُوا: وَلِأَنَّ هَذَا لَمْ يَكُنْ مَعْرُوفًا فِي عَهْدِ السَّلَفِ، فَلَمْ يَكُنِ الصَّحَابَةُ إِذَا فَاتَهُمْ شَيْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ يَتَّفِقُونَ أَنْ يَتَقَدَّمَ بِهِمْ أَحَدُهُم؛ لِيَكُونَ إِمَامًا لَهُم، وَلَوْ كَانَ هَذَا مِنَ الْخَيْرِ لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ.
لَكِنَّ الْقَائِلِينَ بِجَوَازِهِ لَا يَقُولُونَ إِنَّهُ مُطْلَوَبٌ مِنَ الْمُسْبِقَيْنِ أَنْ يَتَّفِقَا أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا إِمَامًا، بَلْ يَقُولُونَ: هَذَا إِذَا فُعِلَ فَهُوَ جَائِزٌ، وَفَرَّقُوا بَيْنَ أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ جَائِزٌ وَبَيْنَ أَنْ يُقَالَ بِأَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَمَشْرُوعٌ، فَلَا نَقُولُ بِمَشْرُوعِيَّتِهِ وَلَا نَنْدِبُ النَّاسَ إِذَا دَخَلُوا وَقَدْ فَاتَهُمْ شَيْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ؛ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُم: إِنِّي إِمَامُكُم، لَكِنْ لَوْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَا نَقُولُ: إِنَّ صَلَاتَكُمْ بَاطِلَةٌ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَصَحُّ، أَي: أَنَّهُ جَائِزٌ، وَلَكِنْ لَا يَنْبَغِي؛ لأَنَّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مَعْرُوفًا عَنْدَ السَّلَفِ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مَعْرُوفًا عَنْدَ السَّلَفِ فَإِنَّ الْأَفْضَلَ تَرْكُهُ؛ لِأَنَّنَا نَعْلَمُ أَنَّهُمْ أَسْبَقُ مِنَّا إِلَى الْخَيْرِ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ. [مصدر: الشرح الممتع (2/316، 317)]
“Jika dua orang yang masbuq, dan yang satu berkata kepada yang lain: 'Jika imam mengucapkan salam, saya akan menjadi imammu'. Dan yang lain berkata: 'Baiklah'. Maka ketika Imam mengucapkan salam, salah satu dari keduanya boleh menjadi imam bagi yang lain. Dia berpindah dari makmum pada seorang imam menjadi imam shalat. Dan yang lainnya berpindah dari bermakmum pada imam sebelumnya ke imam berikutnya dari makmum masbuq.
Ada sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini boleh. Dan tidak mengapa jika dua orang bersepakat untuk bermakmum masbuq sebagian shalatnya kemudian setelah imam pertama selesai maka salah satu dari keduanya akan menjadi imam bagi yang lain.
Mereka mengatakan bahwa berpindah dari satu imam ke imam yang lain adalah sesuatu yang terbukti dalam Sunnah, seperti halnya Abu Bakar dan Nabi ﷺ, ketika Abu Bakar mengimami orang-orang dalam shalat ketika Nabi ﷺ sakit, kemudian Nabi ﷺ keluar saat shalat. Ketika Abu Bakar melihatnya, maka dia mundur untuk membiarkan Nabi ﷺ maju ke depan, dan Nabi ﷺ menyelesaikan shalat.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 687; Muslim 418.
1 – Abu Bakar berpindah dari imam menjadi makmum pada imam lain
2 – Para Sahabat berpindah dari bermakmum pada Abu Bakar ke bermakmum pada Nabi ﷺ.
Dan ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena hal ini menyangkut perpindahan dari satu imam ke imam yang lain, dan berpindah dari bermakmum pada seorang imam ke mengimami shalat tanpa alasan, dan tidak mungkin berpindah dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi. karena orang yang mengimami shalat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang bermakmum pada imam.
Mereka berkata: Karena hal ini tidak dikenal pada zaman salaf. Para Sahabat, jika mereka ketinggalan sebagian shalatnya, mereka tidak pernah bersepakat untuk menjadikan salah satu dari mereka maju dan menjadi imam bagi yang lain. Jika ini adalah sesuatu yang baik, maka mereka pasti sudah melakukannya sebelum kita.
Namun orang-orang yang mengatakan boleh, mereka tidak mengatakan bahwa dua makmum masbuq tersebut dimintai persetujuan agar salah satu dari mereka berdua menjadi imam. Akan tetapi mereka hanya mengatakan bahwa jika hal ini dilakukan, maka hal itu diperbolehkan.
Ada perbedaan antara perkataan: "diperbolehkan" dan perkataan bahwa itu "mustahabb" dan "disyari'atkan".
Kami tidak mengatakan bahwa hal itu "disyariatkan" dan kami juga tidak mengatakan bahwa itu "mustahabb" jika seseorang datang terlambat untuk shalat, maka salah satu dari mereka harus mengatakan, “Saya akan menjadi imam Anda.” Namun jika mereka melakukan hal itu, maka kami tidak mengatakan, “Sholatmu tidak sah.”
Pendapat ini lebih shahih dan benar, yaitu boleh, namun sebaiknya kita tidak melakukannya, karena hal itu tidak diketahui di kalangan salaf, dan jika ada sesuatu yang tidak diketahui di kalangan salaf, lebih baik tidak dilakukan, karena kita mengatahui bahwa mereka lebih bersemangat daripada kita untuk melakukan apa yang baik. [Al-Sharh al-Mumti', 2/316, 317].
Wallahu a'lam
0 Komentar