TABUNGLAH SEBAGIAN HARTA ANDA DAN JANGANLAH BOROS !. TIDAK MENGAPA MENIMBUN HARTA, JIKA ZAKATNYA DIPENUHI
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- KESEIMBANGAN BIAYA HIDUP DALAM ISLAM
- MANAJEMEN KEUANGAN & PLANNING PENGELUARAN YANG BIJAK :
- ANJURAN MENABUNG SEBAGIAN HARTA UNTUK KELUARGA DAN MASA DEPAN ANAK KETURUNAN:
- ANJURAN PERSIAPAN STOCK SEMBAKO BAGI KELUARGA UNTUK KEBUTUHAN SETAHUN KEDEPAN ATAU LEBIH .
- TIDAK MENGAPA MENIMBUN HARTA KEKAYAAN, SELAMA ZAKATNYA DITUNAIKAN
- NABI AYYUB (AS) MESKI SUDAH KAYA, NAMUN TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.
- MADZHAB ABU DZAR : HARAM MENYIMPAN HARTA MELIBIHI KEBUTUHAN POKOK:
- ADAKAH KEMIRIPAN PENDAPAT SYEIKH AL-ALBAANI DENGAN MADZHAB ABU DZAR ?
- PENULIS KATAKAN : REALITANYA BANYAK PARA SAHABAT SENIOR YANG MENINGGALKAN HARTA WARISAN YANG MELIMPAH
- PERINTAH UNTUK HIDUP HEMAT DAN EKONOMIS
- HADITS DAN ATSAR TENTANG ANJURAN HIDUP HEMAT dan EKONOMIS
- LARANGAN GAYA HIDUP BOROS & MURKA ALLAH SWT TERHADAP PEMBOROS HARTA:
- LARANGAN MENYERAHKAN HARTA PADA PEMILIKNYA YANG BELUM CERDAS MENGELOLA HARTANYA :
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
*****
PENDAHULUAN
====
KESEIMBANGAN BIAYA HIDUP DALAM ISLAM
Profesor Ekonomi Islam di Al-Azhar menunjukkan adanya serangkaian aturan syariah yang mengatur proses konsumsi dan menghadapi perilaku konsumtif dalam segala bentuknya. Di antara aturan tersebut adalah:
التَوازُنُ فِي تَوْزِيعِ الإِنْفَاقِ الاِسْتِهْلاكِيّ، فَلا يُنْفِقُ الْمُسْلِمُ كُلَّ دَخْلِهِ، بَلْ يُنْفِقُ بَعْضَ الدَّخْلِ، وَيُدَخِّرُ جُزْءًا مِنْ الدَّخْلِ لِلْاِسْتِثْمَارِ، وَيَظْهَرُ ذَلِكَ فِي كُلِّ آيَاتِ الإِنْفَاقِ الَّتِي تَنْصُ عَلَى أَنَّ الإِنْفَاقَ يَكُونُ مِنْ الرِّزْقِ وَلَيْسَ كُلَّ الرِّزْقِ، مَثَلَ قَوْلِهِ تَعَالَى: "الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ"، وَيَجْمَعُ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي كَلِمَاتٍ جَامِعَةٍ قَوْلِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً اكْتَسَبَ طَيِّبًا وَأَنْفَقَ قَصَّدًا وَقَدَّمَ فَضْلًا لِيَوْمِ حَاجَتِهِ" .
وَالْمُسْلِمُ مُطَالَبٌ شَرْعًا بِتَرْتِيبِ الْأُولُويَاتِ الشَّرْعِيَّةِ فِي مَجَالَاتِ الإِنْفَاقِ، بِحَيْثُ يَبْدَأُ بِالإِنْفَاقِ عَلَى الضُّرُورِيَّاتِ، وَهُوَ الْحَدُّ الَّذِي لَا تَقُومُ الْحَيَاةُ مِنْ دُونِهِ، ثُمَّ الْحَاجَاتِ وَهِيَ: الْمُسْتَوَى الَّذِي تَقُومُ بِهِ الْحَيَاةُ عَلَى وَجْهِ حَسَنٍ، ثُمَّ التَّحْسِينَاتِ الَّتِي تَقُومُ مَعَهَا الْحَيَاةُ عَلَى أَفْضَلِ وَجْهٍ مِنْ رَغْدِ الْعَيْشِ وَالرَّفَاهِيَةِ.
Keseimbangan dalam distribusi pengeluaran konsumtif, di mana seorang Muslim tidak menghabiskan seluruh pendapatannya, tetapi mengeluarkan sebagian pendapatannya, dan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung [investasi].
Hal ini tercermin dalam setiap ayat yang menekankan bahwa pengeluaran harus sebagian saja dari rezeki dan bukan seluruh rezeki, seperti firman Allah:
﴿الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ﴾
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. [QS. Al-Baqarah: 3]
Semua ini diungkapkan dalam kata-kata yang luas maknanya dari sabda Rasulullah ﷺ :
"رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً اكْتَسَبَ طَيِّبًا وَأَنْفَقَ قَصَّدًا وَقَدَّمَ فَضْلًا لِيَوْمِ حَاجَتِهِ"
"Semoga Allah merahmati seseorang yang mendapat rezeki yang baik dan mengeluarkannya dengan hemat ekonomis serta menyiapkan kelebihan untuk jaga-jaga di hari kebutuhannya."
[Hadis ini dengan lafadznya terdapat dalam Al-Jami' As-Saghir, 4/222, no. 4422, dari riwayat Ibnu An-Najjar dalam sejarah Baghdad dari Aisyah, dan diisyaratkan sebagai hadits yang lemah sanadnya . Dan di dhaifkan pula oleh al-Albaani dalam Dho’if al-Jaami’ no. 3104].
Seorang Muslim diwajibkan oleh syariah untuk mengatur prioritas keuangan syariah di bidang pengeluaran, dimulai dengan pengeluaran untuk kebutuhan kelas dhoruriyyat (pokok), yaitu batas minimum yang diperlukan untuk menjalani hidup.
Kemudian kebutuhan kelas haajiyaat (menengah & mapan), yaitu tingkat yang menjadikannya hidup yang layak.
Dan kemudian kebutuhan kelas Tahsiiniyyat (lebih mapan), yaitu kebutuhan untuk peningkatan kwalitas hidup yang lebih baik dari segi kesejahteraan dan kebahagiaan”.
Prof. DR. Umar menjelaskan :
"أَنَّ الاعتدَالَ وَالتَّوَسُّطَ هُوَ مِنْهَجِ الإِسْلاَمِ فِي الإِنْفَاقِ، بِمَعْنَى مُرَاعَاةِ الْجَوَانِبِ الْكَمِيَّةِ وَالْكَيْفِيَّةِ فِي الإِنْفَاقِ وَالاِسْتِهْلاَكِ، وَهَذَا مَا أَمَرَ بِهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي أَكْثَرَ مِنْ آيَةٍ، مِثْلَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ "وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا"، وَتَتْرَتَّبُ عَلَى مُخَالَفَةِ هَذَا التَّوْجِيهِ آثَارٌ مَادِيَّةٌ وَنَفْسِيَّةٌ سَيِّئَةٌ مِنْهَا مَا وَرَدَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: "وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا"
“Bahwa keseimbangan dan moderasi adalah prinsip Islam dalam pengeluaran, yang berarti memperhatikan aspek kuantitatif dan kualitatif dalam pengeluaran dan konsumsi. Ini adalah apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam banyak ayat, seperti firman-Nya dalam sifat-sifat hamba Allah ar-Rahman:
﴿وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا﴾
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan: 67)."
Melanggar arahan ini akan berdampak buruk secara material dan psikologis, termasuk yang disebutkan dalam firman-Nya:
﴿وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا﴾
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (pelit) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (berlebihan), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [Al Isra: 29]”.
Oleh karena itu, seorang Muslim diwajibkan secara syariat untuk menjauhi kemubadziran, yang sayangnya banyak dialami oleh umat Islam terutama dalam makanan, minuman, dan pakaian, seperti yang tercermin dari banyaknya makanan yang dibuang, yang merupakan pemborosan sumber daya dan pembiaran atas nikmat Allah.
Mereka juga diwajibkan untuk menjauhi tabdzir, yaitu "mengeluarkan sesuatu untuk hal yang tidak layak," yang secara ekonomi berkaitan dengan pengalokasian sumber daya yang buruk, yang mengakibatkan pemborosan tanpa manfaat.
Ini tidak berarti bahwa seorang Muslim harus pelit dan kikir pada dirinya sendiri dan keluarganya serta melarang diri dari yang baik-baik, namun demikian Islam juga melarang penyia-nyiaan rizki dan harta yang berlebihan, yaitu:
"صَرْفُ الشَّيْءِ فِي مَا يَنْبَغِي أَقَلَّ مِمَّا يَنْبَغِي"
"Pengeluaran untuk kebutuhan yang layak, dibawah dari kelayakan ".
Ini adalah kekikiran dan kepelitan yang secara ekonomis dan sosial mengarah pada penurunan permintaan, kurangnya produksi, dan dampaknya adalah resesi, pengangguran, kemiskinan, dan ketidaksetaraan sosial. Akibatnya, hal ini menyebabkan permusuhan dan iri hati, dan semuanya itu adalah sumber kehancuran, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ:
اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan. [HR. Muslim no. 4675].
====
MANAJEMEN KEUANGAN & PLANNING PENGELUARAN YANG BIJAK :
Islam mendorong untuk berpikir dan melakukan perencanaan dengan bijaksana dalam berbagai aspek dan jumlah pengeluaran serta konsumsi. Rasulullah ﷺ yang mulia mengarahkan kita untuk melakukan perencanaan dengan cermat, sebagaimana yang beliau sabdakan :
"التَّدْبِيرُ نِصْفُ المَعِيشَةِ"
"Perencanaan tata kelola [manajemen] adalah separuh dari kehidupan."
[HR. Al-Qudho’i dalam Musnad asy-Syihaab no. 32 dari hadits Ali bin Abi Thalib. Dan juga ad-Dailami dalam Musnad al-Fidaus , dari Anas bin Malik. Hadits ini bathil seperti yang dikatakan Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab Is’aaf al-Labiits (al-Maktabah asy-Syaamilah 1/364 no. 100]
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan kita tentang bahaya pemborosan dan keserakahan karena mengikuti hawa nafsu . Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyllaahu ‘anhu , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ مِنْ السَّرف أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشْتَهَيْتَ".
"Termasuk pemborosan [atau keserakahan] adalah kamu memakan semua makanan yang kamu inginkan."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Mājah no. (3352), oleh Abu Ya'la dalam Musnad (5/154) dan oleh Ibnu al-Qaisarānī dalam Athroof al-Gharā'ib wa al-Afrād (hal. 72) ].
Al-Busyairi berkata dalam Al-Zawā'id (3/95):
"هذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ" وَهُوَ مسلسَلٌ بِالْعِلَلِ"
'Sanad ini lemah' dan ia terdiri dari illat-illat yang beruntun."
Seorang Muslim diwajibkan untuk memperhatikan pengeluaran dan konsumsi sesuai dengan pendapatan dan kemampuan ekonominya.
Dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan-Nya, Allah telah memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai tingkatan, dan Dia memandu kita untuk menghabiskan rezeki sesuai dengan kadarnya dan kelayakannya, sebagaimana yang Dia firmankan :
﴿لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا﴾
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS. Ath-Thalaq: 7]
Pengaturan Pengeluaran dalam Islam ini sudah seharusnya ditanamkan secara kuat di hati semua umat Muslim, bersamaan dengan menjauhi konsumsi yang hanya mengikuti tren, di mana seseorang mengeluarkan uang bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi hanya untuk meniru orang lain, terutama orang-orang kaya.
Perilaku semacam ini dilarang secara syariat; karena Allah berfirman :
﴿وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ﴾
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. [QS. Nisa: 32]
Selain itu, menjauhi konsumsi yang bermewah-mewah, di mana seseorang menghabiskan uang tidak untuk memenuhi kebutuhan tetapi hanya untuk menunjukkan superioritasnya dibandingkan dengan orang lain, juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
Aturan-aturan Islam tentang pengeluaran dan konsumsi mengatur perilaku seorang Muslim dan melindunginya dari konsumsi yang berlebihan yang bisa mengarah pada utang dan membebani dirinya dengan hutang yang tidak mampu dibayar, membawa penderitaan dan kesedihan baik di siang maupun malam hari.
Hal ini juga dapat menghadapkannya pada resiko tuntutan hukum yang sebenarnya tidak perlu terjadi, terutama mengingat bahwa penjara di banyak negara Islam penuh dengan orang-orang yang terlilit hutang yang mereka tidak bisa bayar.
*****
ANJURAN MENABUNG SEBAGIAN HARTA UNTUK KELUARGA DAN MASA DEPAN ANAK KETURUNAN:
Islam melarang pemborosan dan mendorong untuk berhemat. Konsekuensi tragis jika hidup boros dan tidak hemat adalah menyebarnya budaya hutang alias pinjaman tanpa adanya kebutuhan di kalangan kaum muslimin.
Sejumlah ulama syariah Islam dan profesor ekonomi Islam memperingatkan akan bahayanya budaya utang yang terus berkembang di negara-negara Islam, dan mendorong para pemuda untuk mendapatkan pinjaman dari bank tanpa adanya kebutuhan yang sesungguhnya, yang menyebabkan mereka terbebani dengan utang yang terus bertambah dengan bunganya .
Dan realitanya banyak dari mereka yang tidak mampu membayarnya, yang mengakibatkan mereka harus berhadapan dengan hukuman yang mengubah kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka menjadi kesengsaraan dan duka yang terus berkelanjutan.
Profesor Sosiologi di Universitas Al-Azhar, DR. Muhammad Nabil al-Samaluthi, mengatakan:
انتشار ثَقَافَةِ الاِسْتِدَانَةِ بَيْنَ نِسَبٍ كَثِيْرَةٍ مِنْ شَبَابِنَا وَتَعَرُّضِ نَفْسِهِ لِمُشَاكِلَ يَرْجِعُ إِلَى نَمْطِ الاِسْتِهْلَاكِ السَّفَهِيِّ الشَّائِعِ فِي بِلَادِنَا العَرَبِيَّةِ، وَعَدَمِ تَرْبِيَةِ أَوْلَادِنَا عَلَى الاِعْتِدَالِ فِي الاِنْفَاقِ كَمَا حَثَّنَا دِيْنُنَا وَكَمَا تَحْتُمُ عَلَيْنَا مُشَاكِلُ الحَيَاةِ وَمَا فِيهَا مِنْ ضُغُوطِ اقْتِصَادِيَّةِ.
Menyebarnya budaya semangat utang di antara sebagian besar pemuda kita dan menghadapkan dirinya pada masalah adalah karena pola konsumerisme bodoh yang umum di negara-negara Arab kita, dan kurangnya pendidikan anak-anak kita tentang hemat dalam pengeluaran sebagaimana yang diarahkan oleh agama kita dan sebagaimana yang diharuskan oleh problematika kehidupan dan himpitan ekonomi yang ada.
BUDAYA MENABUNG PERLU DIHIDUPKAN KEMBALI :
Mereka sejumlah ulama syariah menjelaskan bahwa sekarang-sekarang ini BUDAYA MENABUNG TELAH ABSEN dari kehidupan banyak anak-anak muda kita, meskipun sangat jelas pentingnya, akan tetapi itu belum mendapatkan bagian yang layak dari penyebaran dan kesadaran di masyarakat.
Islam menganjurkan menabung harta demi untuk masa depan anak keturun. Dan Islam juga menganjurkan menyiapkan stock sembako untuk kebutuhan pokok sehari-hari bagi sanak keluarga , minimal untuk kebutuhan dalam setahun.
Prof. DR. Washil menyatakan :
الَادْخَارُ فِي نَظَرِ الشَّرِيعَةِ الإِسْلَامِيَّةِ مَطْلَبٌ شَرْعِيٌّ، حَيْثُ يَقُومُ مَنْهَجُ الإِسْلَامِ عَلَى قَاعِدَةٍ: (لا إِسْرَافُ وَلا تَقْتِيرُ) بَلْ تَرْشِيدٌ وَاعْتِدَالٌ فِي الإِنْفَاقِ، وَهَذَا الْمَنْهَجُ الإِنْفَاقِيُّ يُحَقِّقُ هَدَفَيْنِ مُتَرَابِطَيْنِ وَمُتَلَازِمَيْنِ، هُمَا: تَرْشِيدُ الاِسْتِهْلاَكِ وَزِيَادَةُ الاَدْخَارِ فِي الْوَقْتِ نَفْسِهِ، فَالإِنْسَانُ وَفْقَ هَذَا الْمَنْهَجِ لَنْ يَنْفَقَ إِلاَّ عَلَى مَا هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَيْهِ وَسَيُؤْدِي ذَلِكَ إِلَى تَوْفِيرِ جُزْءٍ مِنْ مَالِهِ وَاَدْخَارِهِ لِوَقْتِ الْحَاجَةِ مَعَ اِسْتِثْمَارِهِ لِيَعُودَ عَلَيْهِ وَعَلَى الْمُجْتَمَعِ بِالْفَائِدَةِ، حَيْثُ حَثَّ الإِسْلامُ عَلَى إِدَارَةِ الأَمْوَالِ وَاِسْتِثْمَارِهَا، وَهُوَ بِذَلِكَ يَحْثُ عَلَى الاَدْخَارِ لِصَالِحِ الْفَرْدِ وَالأُسْرَةِ وَالْمُجْتَمَعِ.
Menabung dalam pandangan syariat Islam adalah tuntutan syariat, di mana pendekatan Islam didasarkan pada prinsip: " لا إِسْرَافُ وَلا تَقْتِيرُ / tidak boros dan tidak pelit", melainkan mengarahkan dan menjaga keseimbangan dalam pengeluaran.
Pendekatan pengeluaran ini mencapai dua tujuan yang saling terkait: mengarahkan konsumsi [pengeluaran untuk kebutuhan] dan meningkatkan tabungan pada saat yang sama.
Dengan pendekatan ini, seseorang hanya akan mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan yang diperlukan, yang akan menyebabkan penghematan sebagian dari uangnya dan menabungnya untuk masa depan sambil menginvestasikannya untuk mendapatkan manfaat.
Islam mendorong manajemen dan investasi harta benda, oleh sebab itu dianjurkan untuk menabung demi untuk kepentingan individu, keluarga, dan masyarakat.
Berikut ini argumentasi yang menguatkan penting nya menabung :
Pertama : takutlah meninggalkan anak keturunan dalam keadaan lemah dan tidak sejahtera.
Allah SWT berfirman tentang manfaat bagi waris :
{وَإِذا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُوا الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا}
" Dan apabila pada waktu pembagian warisan itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari [sebagian] harta itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang tepat [benar]” (Q.S An-Nisa: 8- 9)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/222 mengatakan:
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عباس: هَذَا فِي الرَّجُلِ يَحْضُره الْمَوْتُ، فَيَسْمَعُهُ الرَّجُلُ يُوصِي بِوَصِيَّةٍ تَضر بِوَرَثَتِهِ، فَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِي يَسْمَعُهُ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ، وَيُوَفِّقَهُ وَيُسَدِّدَهُ لِلصَّوَابِ، وَلْيُنْظَرْ لِوَرَثَتِهِ كَمَا كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصْنَعَ بِوَرَثَتِهِ إِذَا خَشِيَ عَلَيْهِمُ الضَّيْعَةَ.
وَهَكَذَا قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ
“Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang menjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya.
Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya.
Sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan hidup terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang”. [Selesai]
Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah At-Tafaasir menyebutkan:
نُزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي الْأَوْصِيَاءِ وَالْمَعْنَى: تَذَكَّرْ أَيُّهَا الْوَصِيُّ ذُرِّيَّتَكَ الضَّعَافَ مِنْ بَعْدِكَ؛ وَكَيْفَ يَكُونُ حَالُهُمْ بَعْدَ مَوْتِكَ؛ وَعَامِلِ الْيَتَامَى الَّذِينَ وُكِّلَ إِلَيْكَ أَمْرُهُمْ وَتَرَبَّوْا فِي حُجْرِكَ؛ بِمِثْلِ مَا تُرِيدُ أَنْ يُعَامَلَ أَبْنَاءُكَ بَعْدَ فَقْدِكَ.
“Ayat ini diturunkan kepada para pelaksana [pengemban] wasiat , dan artinya: Wahai pelaksana wasiat , ingatlah akan anak keturunanmu yang lemah. Dan bagaimana kelak keadaan mereka setelah kematianmu ?
Dan perlakukanlah pula para anak yatim yang dititipkan kepadamu. Didiklah mereka dalam asuhanmu. Samakan seperti halnya kamu berkeinginan dalam memperlakukan anak-anak mu setelah kehilanganmu."
Menurut sebagian para ahli tafsir: kata " ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا " pada ayat diatas mencakup makna yang luas. Kata “lemah” pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dalam sisi aqidah, agama , ekonomi, sosial , keilmuan dan lainnya.
Maka dengan demikian dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para orang tua untuk mempersiapkan generasi setelah mereka. Jangan sampai generasi–generasi di bawah mereka menjadi generasi yang lemah.
Lemah di sini seperti yang di sebutkan diatas , maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah makna yang mutlak dan umum. Baik berkaitan dengan kelemahan aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya.
Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh.
Dalil Kedua : hadits anjuran mempersiapkan masa depan ekonomi anak keturunan :
Dari Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata;
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ لَا قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ
Nabi ﷺ datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya.
Beliau bersabda; "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'".
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku".
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan: "Setengahnya"
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan lagi: "Sepertiganya".
Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka.
Sesungguhnya apa saja yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.
Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang lainnya".
Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. (HR. Bukhori No. 2537)
Coba perhatikan sabda Beliau ﷺ: " Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka."
Dan dari Ibnu Abbas -radhiyallaahu ‘anhu- dia berkata :
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضُّوا مِنْ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
"Alangkah baiknya jika orang-orang mengurangi sepertiga dari harta yang diwasiatkan menjadi seperempat, karena Rasulullah ﷺ bersabda: "Sepertiga itu kebanyakan." Dan dalam hadits Waki' disebutkan, "Cukup besar." Atau, "Cukup banyak." [HR. Muslim no. 1629]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :
قَالَ الْفُقَهَاءُ: إِنْ كَانَ وَرَثَةُ الْمَيِّتِ أَغْنِيَاءَ استُحب لِلْمَيِّتِ أَنْ يَسْتَوفي الثُّلُثَ فِي وَصِيَّتِهِ وَإِنْ كَانُوا فَقُرَاءَ استُحب أَنْ يَنْقُص الثُّلُثَ
Para fuqaha' berkata: "Jika para ahli waris mayit adalah orang-orang kaya, disunnahkan bagi mayit untuk menyisihkan sepertiga harta dalam wasiatnya. Namun, jika mereka miskin, disunnahkan untuk menyisihkan kurang dari sepertiganya." [Tafsir Ibnu katsir 2/222].
Dalil Ketiga : anjuran tidak menginfaqkan seluruh hartanya, meski sebagai bentuk keseriusan bertobat kepada Allah atas dosa-nya .
Berikut ini contoh dalilnya : Dan dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik :
"سَمِعْتُ كَعْبَ بنَ مَالِكٍ، في حَديثِهِ: {وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا} [التوبة: 118] فَقالَ في آخِرِ حَديثِهِ:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ فَإِنِّي أُمْسِكُ سَهْمِي الَّذِي بِخَيْبَرَ".
"Saya mendengar Ka'ab bin Malik radliallahu 'anhu, dalam haditsnya: { dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, [karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Pen]} [At-Tawbah: 118]. Lalu ia berkata dalam akhir haditsnya:
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk melaksanakan taubatu aku berkehendak mengeluarkan seluruh hartaku sebagai shadaqah di jalan Allah dan Rosul-Nya ﷺ".
Maka Beliau ﷺ berkata: "Simpanlah sebagian hartamu karena itu lebih baik bagimu".
Aku berkata lagi: "Sesungguhnya aku menyimpan harta bagianku yang ada di tanah perkebunan Khaibar". [HR. Bukhori no. 6690]
Ka'b ibnu Malik adalah salah seorang dari 3 sahabat yang di hajer selama 50 hari oleh seluruh kaum muslimin termasuk oleh Rasulullah ﷺ atas perintah Allah ; karena mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk melawan pasukan Romawi .
Tiga orang sahabat yang di hajer itu adalah :
1. Ka'b ibnu Malik ( كعب بن مالك )
2. 'Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri ( مرارة بن ربيع العامري )
3. Hilal ibnu Umayyah Al-Waaqifii ( هلال بن أمية الواقفي )
Mereka dihajer berhari-hari hingga pada hari ke 50 turunlah ayat 118-119 Surat At-Taubah , yang mana Allah SWT berfirman :
وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)
Artinya : “ dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar “.
Ka'b ibnu Malik , sebagai bentuk rasa syukur atas penerimaan taubatnya, maka beliau hendak menginfaqkan seluruh hartanya di jalan Allah , namun Rasulullah ﷺ menolaknya, lalu mengarahkannya agar dia menyisakan sebagain dari hartanya untuk menutupi hajat hidupnya.
*****
ANJURAN PERSIAPAN STOCK SEMBAKO BAGI KELUARGA UNTUK KEBUTUHAN SETAHUN KEDEPAN ATAU LEBIH .
Dari Ma'mar rahimahullah , dia berkata :
قَالَ لِي الثَّوْرِيُّ هَلْ سَمِعْتَ فِي الرَّجُلِ يَجْمَعُ لِأَهْلِهِ قُوتَ سَنَتِهِمْ أَوْ بَعْضِ السَّنَةِ قَالَ مَعْمَرٌ فَلَمْ يَحْضُرْنِي ثُمَّ ذَكَرْتُ حَدِيثًا حَدَّثَنَاهُ ابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبِيعُ نَخْلَ بَنِي النَّضِيرِ وَيَحْبِسُ لِأَهْلِهِ قُوتَ سَنَتِهِمْ
Telah berkata kepadaku Ats Tsauri;
"Apakah kamu pernah mendengar tentang seorang laki-laki yang mengumpulkan makanan untuk persediaan selama satu tahun atau sebagian dari setahun untuk keluarganya?"
Ma'mar (orang yang menceritakan hadits ini) berkata: "Tidak ada yang hadir dibenakku akan hal itu. Lalu aku pun teringat hadits; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Malik bin Aus dari Umar radliallahu 'anhu :
"Bahwa Nabi ﷺ menjual pohon kurma Bani Nadlir dan menyiapkan stock makanan untuk persediaan selama setahun bagi keluarganya". [HR. Bukhori no. 5357]
Dalam Shahih Muslim di riwayatkan bahwa ‘Umar ra berkata :
"كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِى النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِمَّا لَمْ يُوجِفْ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ بِخَيْلٍ وَلاَ رِكَابٍ فَكَانَتْ لِلنَّبِىِّ ﷺ خَاصَّةً فَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ وَمَا بَقِىَ يَجْعَلُهُ فِى الْكُرَاعِ وَالسِّلاَحِ عُدَّةً فِى سَبِيلِ اللَّهِ".
“Harta yang ditinggal suku Bani Nadlir (Yahudi Madinah) adalah termasuk dalam katagori harta fai (harta perang tanpa pertempuran) yang Allah berikan semuanya untuk Rasul-Nya ; karena harta tersebut diperoleh tanpa adanya pengerahan pasukan berkuda dan kendaraan perang lainya dari pihak kaum muslimin (untuk berperang). Maka harta tersebut khusus untuk Nabi ﷺ.
Lalu beliau ﷺ menjadikannya untuk nafkah satu tahun keluarganya. Sementara sisanya beliau jadikan kendaraan dan senjata untuk perlengkapan perang fi sabilillah.” (Shahih Muslim bab hukmil-fai` no. 4674).
Rasulullah ﷺ memiliki tiga sumber kekayaan utama: Kekayaan perkebunan dan pertanian Bani Nadhir, Khaybar, dan Fadak. Sebagaiamana disebutkan dari Malik bin Aus bin Al Hadatsan, ia berkata;
كَانَ فِيمَا احْتَجَّ بِهِ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كَانَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ ثَلَاثُ صَفَايَا بَنُو النَّضِيرِ وَخَيْبَرُ وَفَدَكُ فَأَمَّا بَنُو النَّضِيرِ فَكَانَتْ حُبُسًا لِنَوَائِبِهِ وَأَمَّا فَدَكُ فَكَانَتْ حُبُسًا لِأَبْنَاءِ السَّبِيلِ وَأَمَّا خَيْبَرُ فَجَزَّأَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ جُزْأَيْنِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَجُزْءًا نَفَقَةً لِأَهْلِهِ فَمَا فَضُلَ عَنْ نَفَقَةِ أَهْلِهِ جَعَلَهُ بَيْنَ فُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ
Diantara yang dijadikan hujjah Umar radliallahu 'anhu adalah bahwa ia mengatakan; Rasulullah ﷺ memiliki tiga ash-shofiyy [properti dan harta rampasan yang khusus untuknya] yaitu : Bani Nadhir, Khaibar, dan Fadak.
Adapun Kabilah Bani Nadhir, maka aset dan properti mereka dikhususkan untuk keperluan-keperluan beliau ﷺ.
Dan adapun daerah Fad’ak, maka aset dan properti mereka oleh Nabi ﷺ dikhususkan untuk para Ibnu Sabiil.
Dan adapun wilayah Khaibar maka Rasulullah ﷺ telah membagi aset dan properti mereka menjadi tiga bagian:
Dua bagian dibagikan diantara kaum muslimin.
Dan satu bagian untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.
Dan yang tersisa dari pemberian nafkah keluarganya beliau bagikan diantara orang-orang muhajirin yang fakir.
[Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2967 dan Abdul Haq al-Isybiily dalam al-Ahkaam asy-Syar’iyyah As-Shugraa no. 578].
Ibnu Muflih dalam "Al-Adab Ash-Shar'iyyah wal Minah al-Mur'iyyah" setelah menyebutkan hadits tersebut , lalu mengutip perkataan Ibnu al-Jauzy dalam Kasyful Musykil :
" فِيهِ جَوَازُ ادِّخَارِ قُوتِ سَنَةٍ وَلَا يُقَالُ هَذَا مِنْ طُولِ الْأَمَلِ لِأَنَّ الْإِعْدَادَ لِلْحَاجَةِ مُسْتَحْسَنٌ شَرْعًا وَعَقْلًا، وَقَدْ اسْتَأْجَرَ شُعَيْبُ مُوسَى - عَلَيْهِمَا السَّلَامُ - وَفِي هَذَا رَدٌّ عَلَى جَهَلَةِ الْمُتَزَهِّدِينَ فِي إخْرَاجِهِمْ مَنْ يَفْعَلُ هَذَا عَنْ التَّوَكُّلِ، فَإِنْ احْتَجُّوا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَدَّخِرُ لَغَدٍ فَالْجَوَابُ أَنَّهُ كَانَ عِنْدَهُ خَلْقٌ مِنْ الْفُقَرَاءِ فَكَانَ يُؤْثِرُهُمْ انْتَهَى كَلَامُهُ".
"Dalam hadits ini terdapat hukum diperbolehkannya menyimpan stock makanan pokok untuk setahun, dan tidaklah dikatakan bahwa ini merupakan tindakan berlebihan dalam berangan-angan; karena persiapan untuk kebutuhan adalah dianjurkan baik menurut syariat maupun menurut logika. Dan dulu Nabi Syu'aib juga telah mempekerjakan Musa – ‘alaihimaa as-salaam - .
Dan ini merupakan bantahan terhadap kebodohan para ahli zuhud yang menganggap orang yang melakukannya itu telah keluar dari tawakkal . Maka jika mereka berdalil dengan riwayat hadits lain yang menyatakan “bahwa Rasulullah - ﷺ - tidak menyimpan stock makanan untuk hari esok”, maka jawabannya adalah bahwa di sekitar beliau ﷺ terdapat sejumlah orang-orang miskin yang selalu diberi prioritas”. Selesai perkataannya “. [ "Al-Adab Ash-Shar'iyyah wal Minah al-Mur'iyyah" 3/314 atau 3/319].
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ اِبْن دَقِيْقِ الْعِيْد : فِي الْحَدِيْثِ جَوَاز الِادِّخَار لِلْأَهْلِ قُوتُ سَنَة ... .
حَيْثُ اسْتَدَلَّ الطَّبَرِيِّ بِالْحَدِيثِ عَلَى جَوَاز الِادِّخَار مُطْلَقًا خِلَافًا لِمَنْ مَنَعَ ذَلِكَ، وَفِي الَّذِي نَقَلَهُ الشَّيْخ تَقْيِيد بِالسَّنَةِ اِتِّبَاعًا لِلْخَبَرِ الْوَارِد, لَكِنْ اِسْتِدْلَال الطَّبَرِيِّ قَوِيّ, بَلْ التَّقْيِيد بِالسَّنَةِ إِنَّمَا جَاءَ مِنْ ضَرُورَة الْوَاقِع لِأَنَّ الَّذِي كَانَ يُدَّخِر لَمْ يَكُنْ يَحْصُل إِلَّا مِنْ السَّنَة إِلَى السَّنَة؛ لِأَنَّهُ كَانَ إِمَّا تَمْرًا وَإِمَّا شَعِيرًا, فَلَوْ قُدِّرَ أَنَّ شَيْئًا مِمَّا يُدَّخَر كَانَ لَا يَحْصُل إِلَّا مِنْ سَنَتَيْنِ إِلَى سَنَتَيْنِ لَاقْتَضَى الْحَال جَوَاز الِادِّخَار لِأَجْلِ ذَلِكَ ...
وَاخْتُلِفَ فِي جَوَاز اِدِّخَار الْقُوت لِمَنْ يَشْتَرِيه مِنْ السُّوق, قَالَ عِيَاض: أَجَازَهُ قَوْم وَاحْتَجُّوا بِهَذَا الْحَدِيث, وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ مِنْ مُغَلٍّ الْأَرْض, وَمَنَعَهُ قَوْم إِلَّا إِنْ كَانَ لَا يَضُرّ بِالسِّعْر, وَهُوَ مُتَّجِه إِرْفَاقًا بِالنَّاسِ, ثُمَّ مَحِلّ هَذَا الِاخْتِلَاف إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي حَال الضِّيق, وَإِلَّا فَلَا يَجُوز الِادِّخَار فِي تِلْكَ الْحَالَة أَصْلًا. اهـ.
Ibnu Daqiq al-'Eid berkata: Dalam hadits tersebut, diperbolehkan menstock makanan pokok keluarga untuk setahun.
Di mana ath-Tahabari menggunakan hadits ini sebagai dalil atas diperbolehkannya menimbun logistik secara mutlak, berbeda dengan orang yang melarangnya. sementara yang disampaikan oleh syaikh adalah dibatasai setahun berdasarkan hadits yang warid.
Namun, pemahaman At-Tabari terhadap dalil itu sangat kuat, karena batasan setahun dalam hadits itu bergantung pada kondisi yang tidak mungkin lebih dari setahun, karena barang yang bisa disimpannya itu hanya bisa diperoleh pertahun dan bisa bertahan satu tahun, karena yang ada pada saat itu hanya berupa kurma atau gandum.
Jika seandainya ada sesuatu yang akan ditimbun itu bisa diperoleh perdua tahun dan bisa bertahan dua tahun, maka jika keadannnya seperti itu, diperbolehkan untuk penimbunan selama dua tahun ...
Ada perbedaan pendapat tentang diperbolehkan penimbunan barang dagangan berupa makanan pokok bagi orang yang memborongnya dari pasar.
'Iyadh berkata : Sebagian orang mengizinkannya dan menggunakan hadits ini sebagai argumennya. Namun, dalam hadits tersebut tidak ada dasar untuk ini karena hanya diambil langsung dari ladang hasil bumi, bukan dari pasar.
Dan ada satu kelompok yang melarangnya kecuali jika tidak membahayakan harga pasar, pendapat ini cocok untuk memberi kemudahan bagi manusia .
Kemudian, letak perbedaan pendapat ini adalah ketika tidak dalam kondisi kesulitan. Jika dalam kondisi kesulitan, maka menimbun makanan pokok dalam keadaan tersebut seharusnya tidak diperbolehkan sama sekali. [Lihat : Fathul Bari 9/503].
*****
TIDAK MENGAPA MENIMBUN HARTA KEKAYAAN, SELAMA ZAKATNYA DITUNAIKAN
Menimbun harta kekayaan yang diharamkan dan diancam dalam ayat surat At-Tawbah dan beberapa hadits adalah yang tidak dibayar zakatnya. Sedangkan yang sudah dibayar zakatnya, maka bukanlah penimbunan harta kekayaan tercela, baik jumlahnya banyak maupun sedikit, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Umar dan yang lainnya:
وَمَا أَدَّيت زَكَاتَهُ لَيْسَ بِكَنْزٍ وَإِنْ كَثُرَ، وَإِنْ كَانَتْ تَحْتَ سَبْعِ أَرْضِينِ
Bahwa harta kekayaan yang sudah dibayar zakatnya bukanlah timbunan hara kekayaan, meskipun jumlahnya banyak, bahkan jika ditimbun hingga di bawah tujuh lapis bumi. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
"Islam tidak mengharamkan penimbunan harta kekayaan secara mutlak, namun larangan dan ancaman yang keras diberlakukan terhadap pemilik timbunan harta kekayaan jika mereka tidak membayar zakatnya. Namun jika mereka membayar zakatnya, maka tidak ada celaan atas pemilik timbunan harta kekayaan tersebut.
Al-Imam Malik dalam Muwaththa riwayat Ibnu Wahb hal.
74 no. 201 berkata :
أَخْبَرَكَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: «كُلُّ مَالٍ يُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ، وَإِنْ
كَانَتْ تَحْتَ سَبْعِ أَرَضِينَ، وَكُلُّ مَالٍ لَا يُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَهُو
كَنْزٌ، وَإِنْ كَانَ ظَاهِرًا فَوْقَ الْأَرْضِ»
Abdullah bin
Umar memberitahumu, ia berkata: “Setiap harta yang ditunaikan zakatnya maka itu
bukanlah kanz (harta yang ditimbun), meskipun berada di bawah tujuh lapis bumi.
Dan setiap harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itulah kanz (harta yang
ditimbun), meskipun tampak di atas permukaan bumi.”
Al-Mundziri dalam at-Targhib 1/520 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
فِي الْأَوْسَطِ مَرْفُوعًا، وَرَوَاهُ غَيْرُهُ.
“Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Awsath*
secara marfu‘ (disandarkan kepada Rasulullah ﷺ), dan juga diriwayatkan oleh selainnya”.
Namun Al-Baihaqi berkata:
لَيْسَ بِمَحْفُوظٍ
وَالْمَشْهُورُ وَقْفُهُ.
*“Hadis ini seacar marfu’ tidak terpelihara (tidak shahih) dan yang masyhur adalah mauquf (berhenti pada sahabat).”*
AYAT LARANGAN MENIMBUN EMAS DAN PERAK DIGANTI DENGAN AYAT KEWAJIBAN ZAKAT .
Allah Ta'ala berfirman:
( وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ )
(Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
mereka akan menerima siksa yang pedih) [At-Tawbah: 34].
Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Aslam bahwa
ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : أَخْبِرْنِي
عَنْ قَوْلِ اللَّهِ : ( وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا
يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا : مَنْ كَنَزَهَا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا فَوَيْلٌ لَهُ ، إِنَّمَا
كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تُنْزَلَ الزَّكَاةُ، فَلَمَّا أُنْزِلَتْ جَعَلَهَا
اللَّهُ طُهْرًا لِلْأَمْوَالِ
"Kami pergi bersama Abdullah bin Umar radhiallahu
'anhuma. Lalu datanglah seorang Arab Badui dan bertanya tentang firman Allah:
'Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah.'
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma menjawab: 'Barangsiapa
menimbunnya dan tidak membayar zakatnya, maka celakalah dia. Ini adalah sebelum
zakat diturunkan. Namun setelah zakat diturunkan, Allah menjadikannya sebagai
penyucian bagi harta.' [HR. Bukhori no. 1404]
Dalam lafadz riwayat Ibnu Majah :
خرجتُ معَ عبدِ
اللَّهِ بنِ عمرَ فلَحقَهُ أعرابيٌّ فقالَ لَه قولُ اللَّهِ عزَّ وجلَّ وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ قالَ
لَه ابنُ عمرَ من كنَزَها فلم يؤدِّ زَكاتَها فويلٌ لَه إنَّما كانَ هذا قبلَ أن تَنزِلَ
الزَّكاةُ فلمَّا أُنْزِلَت جعلَها اللَّهُ طَهورًا للأموالِ ثمَّ التَفتَ فقالَ ما
أُبالي لَو كانَ لي أُحُدٌ ذَهَبًا أعلَمُ عددَهُ وأزَكِّيهِ وأعمَلُ فيهِ بطاعةِ اللَّهِ
عزَّ وجلَّ
Aku pergi bersama Abdullah bin Umar, kemudian seorang
Badui menyusulnya. Dia mengatakan kepadanya firman Allah, "Dan orang-orang
yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah."
Ibnu Umar berkata kepadanya, "Siapa yang
menimbunnya dan tidak membayar zakatnya, maka celakalah dia! Sesungguhnya ini hanya
berlaku sebelum ayat zakat diturunkan. Ketika ayat zakat diturunkan, maka Allah
menjadikannya sebagai pensucian bagi harta."
Kemudian beliau menoleh dan berkata, "Aku tidak
peduli jika seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud dan aku tahu
jumlahnya, maka aku akan menunaikan zakatnya dan menggunakannya untuk ketaatan
kepada Allah."
[HR. Ibnu Majah no. 1458. Di shahihkan oleh al-Albaani
dalam Shahih Ibnu Majah].
Dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ummu Salamah
radhiallahu 'anha bahwa Nabi ﷺ bersabda:
( مَا بَلَغَ
أَنْ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ
بِكَنْزٍ )
"Jika sudah sampai waktunya untuk membayar
zakatnya dan dia membayarnya, maka dia bukanlah termasuk golongan yang menimbun
harta [Kanz]."
[Hadits ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu
Dawud no. 1564].
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa' no. 595
dari Abdullah bin Dinar bahwa dia berkata:
سَمِعْتُ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يُسْأَلُ عَنْ الْكَنْزِ مَا هُوَ ؟ فَقَالَ :
هُوَ الْمَالُ الَّذِي لَا تُؤَدَّى مِنْهُ الزَّكَاةُ .
"Saya mendengar Abdullah bin Umar sedang ditanya
tentang harta kekayaan apa itu? Dia menjawab: 'Itu adalah harta yang tidak
diwajibkan zakatnya.'"
Dan Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata:
" لَمَّا
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ } قَالَ كَبُرَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا أُفَرِّجُ عَنْكُمْ
فَانْطَلَقَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّهُ كَبُرَ عَلَى أَصْحَابِكَ هَذِهِ
الْآيَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَفْرِضْ الزَّكَاةَ إِلَّا لِيُطَيِّبَ مَا بَقِيَ مِنْ
أَمْوَالِكُمْ وَإِنَّمَا فَرَضَ الْمَوَارِيثَ لِتَكُونَ لِمَنْ بَعْدَكُمْ
فَكَبَّرَ عُمَرُ".
Tatkala turun ayat: "Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak….." Maka hal tersebut terasa berat atas umat
Islam.
Kemudian Umar radliallahu 'anhu berkata; “aku akan
melapangkan hal itu dari kalian”.
Kemudian ia pergi dan berkata; “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ayat ini telah terasa berat atas orang-orang muslim”.
Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat
kecuali untuk mensucikan apa yang tersisa dari harta kalian, dan mewajibkan
warisan untuk orang-orang yang kalian tinggalkan."
Maka Umar pun bertakbir”.
[HR. Ahmad dalam Faho’il ash-Shohaabah no. 560, Abu
Daud no. 1664, al-Hakim no. 1/567 no. 1487, Abu Ya’la no. 2499 dan al-Baihaqi
4/83.
Al-Hakim berkata :
"هَذَا
حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ "
"Ini adalah hadits yang sahih sesuai syarat dua
syaikhoin (yaitu Al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak
meriwayatkannya." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi dalam Talkhish 1/567 atas
keshahihanya .
Dihasankan oleh Abdul Qodir al-Arna’uth dalam Takhrij
Jami’ al-Ushuul 2/163 . Namun sanad hadits ini di dhaifkan oleh Syu’aib
al-Arna’uth dalam Takhrij Abu Daud 3/97 dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud
no. 1663].
Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 2/449 no. 1197 meriwayatkan
dengan sanad-nya dari Khalid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
خَرَجْنَا مَعَ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ: يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ} [التوبة: 34]، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: " مَنْ
كَنَزَهُمَا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُمَا فَوَيْلٌ لَهُ إِنَّمَا كَانَ هَذَا قَبْلَ
أَنْ تَنْزَلَ الزَّكَاةُ فَلَمَّا نَزَلَتْ جَعَلَهَا اللهُ طُهْرًا لِلْأَمْوَالِ
"، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: " مَا أُبَالِي لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ
أُحُدٍ ذَهَبًا أَعْلَمُ عَدَدَهُ وَأُزَكِّيهِ وَأَعْمَلُ فِيهِ بِطَاعَةِ اللهِ
"
“Kami keluar bersama Abdullah bin Umar, lalu seorang
Arab Badui berkata: *“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Dan orang-orang yang
menimbun emas dan perak} [At-Taubah: 34].”* Ibnu Umar berkata: *“Barangsiapa
menimbunnya berdua (emas dan perak) lalu tidak menunaikan zakatnya maka
celakalah dia. Ayat ini hanyalah sebelum turunnya kewajiban zakat. Ketika zakat
telah diturunkan, maka Allah menjadikannya sebagai penyuci harta.”*
Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata: *“Aku
tidak peduli seandainya aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, aku mengetahui
hitungannya, aku menunaikan zakatnya, dan aku menggunakannya dalam ketaatan
kepada Allah.”
Lalu al-Baihaqi berkata :
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
فِي الصَّحِيحِ
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam *Ash-Shahih*.
[Lihat : [Ikhtishor Shahih Bukhori oleh al-Qurthubi 2/9 no. 705]
Muhammad al-Adziim al-Abaadi dalam "Aun
al-Ma'bud" 5/56 berkata :
وَحَاصِلُ الْجَوَابِ
أَنَّ الْمُرَادَ بِالْكَنْزِ مَنْعُ الزَّكَاةِ لَا الْجَمْعُ مُطْلَقًا
“Intinya, yang dimaksud dengan "kunuz" di
sini adalah menahan zakat, bukan mengumpulkan harta secara mutlak”.
Al-Imam asy-Syawkani dalam kitab
"Fathul-Qadir" 2/408 berkata :
"وَأَخْرَجَ
ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ لَا يُؤَدُّونَ الزَّكَاةَ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَكُلُّ مَالٍ لَا تُؤَدَّى زَكَاتُهُ، كَانَ عَلَى ظَهْرِ
الْأَرْضِ، أَوْ فِي بَطْنِهَا فَهُوَ كَنْزٌ، وَكُلُّ مَالٍ أُدِّيَتْ زَكَاتُهُ
فَلَيْسَ بِكَنْزٍ، كَانَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ، أَوْ فِي بَطْنِهَا. وَأَخْرَجَهُ
عَنْهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَأَبُو الشَّيْخِ مِنْ
وَجْهٍ آخَرَ: وَأَخْرَجَ مَالِكٌ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ الْمُنْذِرِ
وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَأَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ نَحْوَهُ. وَأَخْرَجَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْهُ نَحْوَهُ مَرْفُوعًا. وَأَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ
وَالْخَطِيبُ عَنْ جَابِرٍ نَحْوَهُ مَرْفُوعًا أَيْضًا ....".
“Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman
Allah: {Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak}, Ibnu Abbas berkata:
"Mereka adalah orang-orang yang tidak membayar zakat dari harta mereka.
Setiap harta yang zakatnya tidak dibayar, baik berada di permukaan bumi atau di
dalam perut bumi, itu disebut kanz (timbunan harta). Dan setiap harta yang
zakatnya telah dibayar, maka itu bukan lagi kanz, baik berada di permukaan bumi
atau di dalam perut bumi."
Hal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu
al-Mundzir, dan Abu Syaikh dari sudut pandang yang sama.
Malik, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi
Hatim, dan Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Umar dengan lafazh yang serupa.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkannya dari Ibnu Umar
dengan lafazh yang serupa, dalam bentuk hadits marfu'.
Ibnu Adi dan al-Khatib meriwayatkannya dari Jabir
dengan lafazh yang serupa, juga dalam bentuk hadits marfu'..... “. Selesai.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir nya :
"Adapun harta kekayaan, Malik telah mengatakan
dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar:
هُوَ الْمَالُ
الَّذِي لَا تُؤَدَّى مِنْهُ الزَّكَاةُ
Itu adalah harta yang tidak membayar zakatnya.
Dan diriwayatkan oleh Ats-Tsawri dan yang lainnya dari
Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar, dia berkata:
مَا أُدِّي
زكاتُه فَلَيْسَ بِكَنْزٍ وَإِنْ كَانَ تَحْتَ سَبْعِ أَرَضِينَ، وَمَا كَانَ
ظَاهِرًا لَا تُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَهُوَ كَنْزٌ
Barangsiapa yang membayar zakatnya, maka itu bukanlah
kekayaan, meskipun itu berada di bawah tujuh lapis bumi. Dan barangsiapa yang
secara nyata tidak membayar zakatnya, maka itu adalah kekayaan.
Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir, dan
Abu Hurairah dengan dua bentuk riwayat, dengan sanad mawquf dan juga marfu’,
dan juga Umar bin Khattab dengan mengatakan yang serupa:
"أَيُّمَا
مَالٍ أَدَّيْتَ زَكَاتَهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ وَإِنْ كَانَ مَدْفُونًا فِي
الْأَرْضِ، وَأَيُّمَا مَالٍ لَمْ تُؤَدِّ زَكَاتَهُ فَهُوَ كَنْزٌ يُكْوَى بِهِ
صَاحِبُهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ"
Apapun harta yang telah dibayarkan zakatnya, maka itu
bukanlah kekayaan, meskipun itu terkubur dalam tanah. Dan apapun harta yang
tidak membayar zakatnya, maka itu adalah kekayaan yang akan menyiksa
pemiliknya, meskipun itu berada di atas permukaan bumi."
Imam Bukhari meriwayatkan dari hadits Az-Zuhri, dari
Khalid bin Aslam, dia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: هَذَا قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الزَّكَاةُ،
فَلَمَّا نَزَلَتْ جَعَلَهَا اللَّهُ طُهرًا لِلْأَمْوَالِ
"Kami pergi bersama Abdullah bin Umar, lalu dia
berkata: Ini adalah sebelum turunnya zakat, dan ketika zakat diturunkan, Allah
menjadikannya sebagai penyucian bagi harta." [Ikhtishor Shahih Bukhori
oleh al-Qurthubi 2/9 no. 705].
Demikian pula Umar bin Abdul Aziz dan 'Irak bin Malik
mengatakan:
نَسَخَهَا
قَوْلُهُ تَعَالَى: { خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا } [التَّوْبَةِ: 103]
Allah memansukhnya [menghapusnya dan menggantinya] dengan firman-Nya: { Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka } [At-Tawbah:
103].
Sa’id bin Muhammad bin Ziyad juga mengatakan, dari Abu
Umamah, bahwa dia berkata:
حِلْيَةُ
السُّيُوفِ مِنَ الْكَنْزِ مَا أُحَدِّثُكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ
"Perhiasan pada pedang termasuk dalam harta
kekayaan, aku hanya bercerita kepada kalian apa yang aku dengar."
[Baca : Tafsir Ibnu Katsir 4/139].
Muhammad Syarful Haq al-‘Adzim al-Abaadi dalam ‘Aunul
Ma’bud 4/299 berkata :
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam "Al-Mustadrak" dari
Muhammad bin Al-Muhajir dari Tsabit dengannya, dan ia berkata: “Hadis ini
shahih menurut syarat Al-Bukhari dan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak
meriwayatkannya”. Dan lafazhnya:
"
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاتَهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ".
‘Apabila engkau menunaikan zakatnya maka itu bukanlah kanz
(harta yang ditimbun).’
Demikian pula diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni kemudian
Al-Baihaqi dalam kitab Sunan mereka.
Al-Baihaqi berkata: “Yang meriwayatkannya sendirian
adalah Tsabit bin ‘Ajlan.”
Disebutkan dalam At-Tanqih: “Dan ini tidak
berbahaya, karena Tsabit bin ‘Ajlan juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan An-Nasa’i. Adapun perkataan Abdul Haq
bahwa dia tidak bisa dijadikan hujjah, itu pendapat yang tidak diikuti oleh
selainnya.”
Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata:
“Dan perkataan Al-‘Uqaili tentang Tsabit bin ‘Ajlan
‘tidak diikuti dalam hadisnya’ adalah sikap berlebihan darinya.” Malik
meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dari Abdullah bin Dinar bahwa ia berkata:
سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يُسْأَلُ عَنِ الْكَنْزِ مَا هُوَ فَقَالَ هُوَ الْمَالُ
الَّذِي لَا تُؤَدَّى مِنْهُ الزَّكَاةُ
“Aku mendengar Abdullah bin Umar ketika ditanya
tentang kanz (harta yang ditimbun), apa itu? Maka ia berkata: ‘Ia adalah harta
yang tidak ditunaikan zakatnya.’” (Selesai)
Maka maksudnya: “Harta yang ditunaikan zakatnya maka
itu bukanlah kanz.” Dan penafsiran ini dipegang oleh jumhur ulama dan para
fuqaha di berbagai negeri”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu‘:
كُلُّ مَا أَدَّيْتَ
زَكَاتَهُ وَإِنْ كَانَتْ تَحْتَ سَبْعِ أَرْضِينَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ وَكُلُّ
مالا تُؤَدَّى زَكَاتَهُ فَهُوَ كَنْزٌ وَإِنْ كَانَ ظَاهِرًا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ
“Segala sesuatu yang ditunaikan zakatnya, meskipun
berada di bawah tujuh lapis bumi, maka itu bukanlah kanz. Dan setiap harta yang
tidak ditunaikan zakatnya maka itulah kanz, meskipun tampak di permukaan
bumi.”
Al-Baihaqi berkata: “Hadis dengan sanad marfu’ ini
tidak terpelihara (tidak shahih) dan yang masyhur adalah mauquf.”
Ibnu Abdil Barr berkata: “Hadis Abu Hurairah secara
marfu‘ mendukungnya:
إِذَا أَدَّيْتَ
زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ
‘Apabila engkau menunaikan zakat hartamu maka engkau
telah menunaikan kewajibanmu.’
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata: ‘Hasan
gharib,’ dan Al-Hakim menshahihkannya.”
Ibnu Abdil Barr juga berkata: “Dalam sanad hadis Ummu
Salamah terdapat pembicaraan.”
Az-Zain Al-‘Iraqi berkata: “Sanadnya baik.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Abbas:
مَا أُدِّيَ زَكَاتُهُ
فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
‘Apa yang ditunaikan zakatnya maka itu bukanlah
kanz.’
Dan Al-Hakim meriwayatkan dari Jabir secara marfu‘:
إِذَا أَدَّيْتَ
زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ أَذْهَبْتَ عَنْكَ شَرَّهُ
‘Apabila engkau menunaikan zakat hartamu maka engkau
telah menghilangkan keburukannya darimu.’
Abdur Razzaq meriwayatkannya secara mauquf dan pendapat ini dikuatkan oleh Abu Zur‘ah, Al-Baihaqi, dan yang lainnya. [Selesai Kutipan dari ‘Aunul Ma’bud 4/299]
Dengan ini, jelaslah bahwa penumpukkan hara kekayaan yang tercela adalah yang tidak membayar zakatnya, sedangkan jika jumlahnya tidak mencapai nisab atau telah mencapai nisab namun zakatnya telah dibayarkan, maka itu bukanlah penimbunan harta kekayaan tercela.
Dengan demikian, Islam tidak mengharamkan penumpukan harta kekayaan secara mutlak, tetapi melarang ketidakmemberian zakat.
====
NABI AYYUB (AS) MESKI SUDAH KAYA, NAMUN TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَى رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى يَا رَبِّ وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
"Ketika Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba segerombolan belalang dari emas jatuh di atasnya. Lalu, Ayyub mengumpulkannya ke dalam pakaiannya.
Kemudian, Tuhannya memanggilnya : 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah memberimu kekayaan sehingga kamu tidak memerlukan apa yang kamu lihat ini ?'
Ayyub menjawab, 'Benar wahai Rabbku, namun saya tidak pernah merasa cukup dari barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 7493]
Dalam salah satu riwayat Bukhori no. 279:
جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ
“Belalang-belalang dari emas”.
Syeikh Alwi Abdul Qodir as-Saqqaaf berkata :
وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ عَلَى النِّعْمَةِ، وَتَعْظِيمٌ لِشَأْنِهَا، وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُفْرٌ بِهَا. وَفِي الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ. وَفِيهِ: بَيَانُ فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ؛ لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً.
"Di dalam hal itu terdapat rasa syukur atas nikmat, dan pengagungan terhadap kedudukannya. Sementara berpaling darinya merupakan bentuk kekufuran terhadap nikmat tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat ajaran tentang pentingnya mencari harta yang halal. Selain itu, hadits ini menjelaskan keutamaan kekayaan bagi orang yang bersyukur, karena kekayaan tersebut disebut sebagai berkah."
Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata :
وَفِي رِوَايَةِ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ فَقَالَ وَمَنْ يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ أَوْ قَالَ مِنْ فَضْلِكَ وَفِي الْحَدِيثِ جَوَازُ الْحِرْصِ عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنَ الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ عَلَيْهِ وَفِيهِ تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً وَفِيهِ فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ .
وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ الْخَطَّابِيُّ جَوَازَ أَخْذِ النُّثَارِ فِي الاملاك وَتعقبه بن التِّينِ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ خَصَّ اللَّهُ بِهِ نَبِيَّهُ أَيُّوبَ وَهُوَ بِخِلَافِ النُّثَارِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّ فَيُكْرَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ السَّرَفِ وَرُدَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ أُذِنَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ إِنْ ثَبَتَ الْخَبَرُ وَيُسْتَأْنَسُ فِيهِ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
"Dan dalam riwayat Basyir bin Nahik disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ berkata: 'Siapa yang bisa merasa puas dengan rahmat-Mu' atau beliau berkata, 'dengan karunia-Mu.'
Dalam hadits ini terdapat kebolehan untuk bersemangat dalam memperbanyak harta yang halal bagi orang yang yakin dirinya mampu bersyukur atasnya. Selain itu, bahwa harta yang diperoleh dari cara tersebut, disebut sebagai berkah.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur.
Al-Khattabi mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang kebolehan mengambil harta yang disebarkan (ditawurkan atau di sawerkan) dalam acara pernikahan.
Namun Ibnu at-Tiin mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi-Nya, Ayyub, dan itu berbeda dengan harta yang disebarkan oleh manusia, karena hal tersebut makruh disebabkan adanya unsur pemborosan.
Akan tetap kritikan Ibnu at-Tin ini ditanggapi dengan argumen bahwa hal itu telah diizinkan oleh syariat jika haditsnya sahih, dan kisah ini bisa dijadikan petunjuk. Wallahu a'lam." [Fathul Bari 6/421].
====
MADZHAB ABU DZAR : HARAM MENYIMPAN HARTA MELEBIHI KEBUTUHAN POKOK:
Sahabat Abu Dzar – radhiyallhu ‘anhu – adalah satu-satunya sahabat yang berpendapat bahwa mensedekahkan semua harta yang melebihi kebutuhan pokok seorang Muslim, adalah wajib.
Beliau berfatwa tentang hal tersebut, dengan fatwa yang keras, beliau mendorong orang-orang untuk melakukannya, dan beliau ber-argumentasi dengan firman Allah Ta'ala:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih." (QS. At-Taubah: 34).
Dari Al Ahnaf bin Qais ia berkata:
"قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَبَيْنَا أَنَا فِي حَلْقَةٍ فِيهَا مَلَأٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ أَخْشَنُ الثِّيَابِ أَخْشَنُ الْجَسَدِ أَخْشَنُ الْوَجْهِ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَشِّرْ الْكَانِزِينَ بِرَضْفٍ يُحْمَى عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُوضَعُ عَلَى حَلَمَةِ ثَدْيِ أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ نُغْضِ كَتِفَيْهِ وَيُوضَعُ عَلَى نُغْضِ كَتِفَيْهِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ حَلَمَةِ ثَدْيَيْهِ يَتَزَلْزَلُ قَالَ فَوَضَعَ الْقَوْمُ رُءُوسَهُمْ فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ رَجَعَ إِلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَدْبَرَ وَاتَّبَعْتُهُ حَتَّى جَلَسَ إِلَى سَارِيَةٍ فَقُلْتُ مَا رَأَيْتُ هَؤُلَاءِ إِلَّا كَرِهُوا مَا قُلْتَ لَهُمْ قَالَ إِنَّ هَؤُلَاءِ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا إِنَّ خَلِيلِي أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَانِي فَأَجَبْتُهُ فَقَالَ أَتَرَى أُحُدًا فَنَظَرْتُ مَا عَلَيَّ مِنْ الشَّمْسِ وَأَنَا أَظُنُّ أَنَّهُ يَبْعَثُنِي فِي حَاجَةٍ لَهُ فَقُلْتُ أَرَاهُ فَقَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي مِثْلَهُ ذَهَبًا أُنْفِقُهُ كُلَّهُ إِلَّا ثَلَاثَةَ دَنَانِيرَ ثُمَّ هَؤُلَاءِ يَجْمَعُونَ الدُّنْيَا لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ مَا لَكَ وَلِإِخْوَتِكَ مِنْ قُرَيْشٍ لَا تَعْتَرِيهِمْ وَتُصِيبُ مِنْهُمْ قَالَ لَا وَرَبِّكَ لَا أَسْأَلُهُمْ عَنْ دُنْيَا وَلَا أَسْتَفْتِيهِمْ عَنْ دِينٍ حَتَّى أَلْحَقَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ".
Ketika aku berada di Madinah dan berada dalam sekelompok orang Quraisy, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang berpakaian dari bahan yang kasar, kulit serta wajahnya juga kasar.
Kemudian laki-laki itu berdiri seraya berkata: "Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang menumpuk harta, bahwa mereka akan disiksa dengan batu yang dipanaskan di dalam neraka jahannam. Lalu diletakkan di atas dada salah seorang dari mereka hingga batu itu keluar dari pundak mereka. Kemudian batu itu diletakkan di tengah-tengah kedua pundaknya hingga keluar dari dadanya dengan mendidih."
(Mendengar hal itu) orang-orang pun menundukkan kepala. Dan aku tidak melihat seorang pun dari mereka kembali memandangnya. Kemudian laki-laki itu berbalik, lalu kuikuti sampai ia duduk di rombongannya.
Maka kukatakan padanya : "Tidaklah aku melihat mereka, melainkan benci terhadap apa yang telah Anda katakan."
Ia berkata: "Sesungguhnya orang-orang itu tidak memahami sedikitpun. Sesungguhnya kekasihku Abu Al Qasim ﷺ pernah memanggilku, lalu aku pun menjawab panggilannya. Kemudian beliau ﷺ bertanya: 'Apakah kamu melihat bukit gunung Uhud? '
Lalu aku melihat matahari yang menyinariku, dan aku menyangka bahwa beliau akan mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku jawab, "Ya, aku lihat."
Maka beliau bersabda: 'Tidaklah membahagiakanku jika aku memiliki emas sebesar bukit itu, bahkan aku akan menginfakkannya seluruhnya, kecuali tiga Dinar.'
Namun mereka itu mengumpulkan harta benda dunia dan mereka tidak berakal sedikitpun."
Aku bertanya, "Kenapa Anda dan saudara perempuan Anda dari Quraisy tidak mendatangi dan meminta kepada mereka?"
Ia menjawab, "Tidak, dan demi Rabb-mu, aku tidak akan meminta dunia pada mereka dan tidak pula akan meminta fatwa pada mereka hingga aku berjumpa dengan Allah dan Rasul-Nya." [HR. Muslim no. 1656].
Pendapat Abu Dzar ini berbeda dengan pendapat seluruh para sahabat selain dirinya, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta kunuz [harta yang ditimbun] itu adalah harta yang tidak dikeluarkan zakatnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kebenaran ada pada pihak seluruh para sahabat selain Abu Dzar dalam apa yang mereka pegang.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ketika membahas ucapan Abu Dzar diatas, dia berkata :
أَمَّا قَوْلُهُ بَشِّرَ الْكَانِزِينَ فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ أَرَادَ الِاحْتِجَاجَ لِمَذْهَبِهِ فِي أَنَّ الْكَنْزَ كُلُّ مَا فَضَلَ عَنْ حَاجَةِ الْإِنْسَانِ هَذَا هُوَ الْمَعْرُوفُ مِنْ مذهب أبي ذر وورى عَنْهُ غَيْرُهُ وَالصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ أَنَّ الْكَنْزَ هُوَ الْمَالُ الَّذِي لَمْ تُؤَدَّ زَكَاتُهُ فَأَمَّا إِذَا أُدِّيَتْ زَكَاتُهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ سَوَاءٌ كَثُرَ أَمْ قَلَّ
"Adapun perkataannya 'بَشِّرَ الْكَانِزِينَ', maka tampaknya dia ingin berhujjah untuk madzhabnya bahwa harta yang ditimbun (kanz) adalah segala sesuatu yang melebihi kebutuhan pokok manusia. Ini adalah pandangan yang masyhur dari madzhab Abu Dzar dan juga diriwayatkan dari beliau oleh yang lain.
Namun pendapat yang shahih dan benar adalah pendapat mayoritas para sahabat, yaitu bahwa yang dimaksud dengan kanz [harta yang ditimbun] adalah harta yang belum dikeluarkan zakatnya. Jadi jika zakatnya telah dikeluarkan, maka tidak lagi disebut kanz, tidak peduli apakah jumlahnya banyak atau sedikit." [ Syarah Shahih Muslim 7/77].
Perbedaan pendapat antara Abu Dzar dangan para sahabat ini dijelaskan dalam al-Mawsuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 2/348 :
وَإِنْ كَانَتِ الأْمْوَال الْمُدَّخَرَةُ أَكْثَرَ مِنَ النِّصَابِ، وَصَاحِبُهَا يُؤَدِّي زَكَاتَهَا، وَهِيَ فَائِضَةٌ عَنْ حَاجَاتِهِ الأْصْلِيَّةِ، فَقَدْ وَقَعَ الْخِلاَفُ فِي حُكْمِ ادِّخَارِهَا: فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ إِلَى جَوَازِهِ، وَمِنْهُمْ عُمَرُ وَابْنُهُ، وَابْنُ عَبَّاسٍ وَجَابِرٌ. وَيُسْتَدَل لِمَا ذَهَبُوا إِلَيْهِ بِآيَاتِ الْمَوَارِيثِ؛ لأِنَّ اللَّهَ جَعَل فِي تَرِكَةِ الْمُتَوَفّى أَنْصِبَاءَ لِوَرَثَتِهِ، وَهَذَا لاَ يَكُونُ إِلاَّ إِذَا تَرَكَ الْمُتَوَفُّونَ أَمْوَالاً مُدَّخَرَةً، كَمَا يُسْتَدَل لَهُمْ بِحَدِيثِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ الْمَشْهُورِ: إِنَّكَ إِنْ تَدَعْ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ. وَهَذَا نَصٌّ فِي أَنَّ ادِّخَارَ شَيْءٍ لِلْوَرَثَةِ، بَعْدَ أَدَاءِ الْحُقُوقِ الْمَالِيَّةِ الْوَاجِبَةِ مِنْ زَكَاةٍ وَغَيْرِهَا، خَيْرٌ مِنْ عَدَمِ التَّرْكِ.
وَذَهَبَ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- إِلَى أَنَّ ادِّخَارَ الْمَال الزَّائِدِ عَنْ حَاجَةِ صَاحِبِهِ -مِنْ نَفَقَتِهِ وَنَفَقَةِ عِيَالِهِ- هُوَ ادِّخَارٌ حَرَامٌ، وَإِنْ كَانَ يُؤَدِّي زَكَاتَهُ. وَكَانَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- يُفْتِي بِذَلِكَ، وَيَحُثُّ النَّاسَ عَلَيْهِ، فَنَهَاهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى الشَّامِ- عَنْ ذَلِكَ؛ لأِنَّهُ خَافَ أَنْ يَضُرَّهُ النَّاسُ فِي هَذَا، فَلَمْ يَتْرُكْ دَعْوَةَ النَّاسِ إِلَى ذَلِكَ، فَشَكَاهُ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَاسْتَقْدَمَهُ عُثْمَانُ إِلَى الْمَدِينَةِ الْمُنَوَّرَةِ، وَأَنْزَلَهُ الرَّبَذَةَ، فَبَقِيَ فِيهَا إِلَى أَنْ تَوَفَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى. اهـ.
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: { وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ} . [التوبة:34]
قال: أَسْنَدَ الطَّبَرِيُّ إِلَى أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ، فَوُجِدَ فِي بُرْدَتِهِ دِينَارٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (كَيَّةٌ). ثُمَّ مَاتَ آخَرُ، فَوُجِدَ لَهُ دِينَارَانِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (كَيَّتَانِ). وَهَذَا إِمَّا لِأَنَّهُمَا كَانَا يَعِيشَانِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَعِنْدَهُمَا التِّبْرُ، وَإِمَّا لِأَنَّ هَذَا كَانَ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ قَرَّرَ الشَّرْعُ ضَبْطَ الْمَالِ وَأَدَاءَ حَقِّهِ. وَلَوْ كَانَ ضَبْطُ الْمَالِ مَمْنُوعًا، لَكَانَ حَقُّهُ أَنْ يُخْرَجَ كُلُّهُ، وَلَيْسَ فِي الْأُمَّةِ مَنْ يُلْزَمُ هَذَا. وَحَسْبُكَ حَالُ الصَّحَابَةِ وَأَمْوَالُهُمْ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.
وَأَمَّا مَا ذُكِرَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ، فَهُوَ مَذْهَبٌ لَهُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. وَقَدْ رَوَى مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي أَنَسٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ جَمَعَ دينارا أو درهما أَوْ تِبْرًا أَوْ فِضَّةً، وَلَا يَعُدُّهُ لِغَرِيمٍ وَلَا يُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَهُوَ كَنْزٌ يُكْوَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
قُلْتُ: هَذَا الَّذِي يَلِيقُ بِأَبِي ذَرٍّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- أَنْ يَقُولَ بِهِ، وَأَنَّ مَا فَضَلَ عَنِ الْحَاجَةِ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ إِذَا كَانَ مُعَدًّا لِسَبِيلِ اللَّهِ. وَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: مَنْ خَلَّفَ بِيضًا أَوْ صُفْرًا كُوِيَ بِهَا، مَغْفُورًا لَهُ أَوْ غَيْرَ مَغْفُورٍ لَهُ، أَلَا إِنَّ حِلْيَةَ السَّيْفِ مِنْ ذَلِكَ. وَرَوَى ثَوْبَانُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوتُ وَعِنْدَهُ أَحْمَرُ أَوْ أَبْيَضُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ قِيرَاطٍ صَفِيحَةً يُكْوَى بِهَا مِنْ فَرْقِهِ، إِلَى قَدَمِهِ، مَغْفُورًا لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ أَوْ مُعَذَّبًا.
قُلْتُ: وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى مَا لَمْ تُؤَدَّ زَكَاتُهُ، بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا فِي الْآيَةِ قَبْلَ هَذَا. فَيَكُونُ التَّقْدِيرُ: وَعِنْدَهُ أَحْمَرُ أَوْ أَبْيَضُ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ. وَكَذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-: مَنْ تَرَكَ عَشَرَةَ آلَافٍ، جُعِلَتْ صَفَائِحَ يُعَذَّبُ بِهَا صَاحِبُهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. أَيْ إِنْ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا، لِئَلَّا تَتَنَاقَضَ الْأَحَادِيثُ. اهـ.
“Jika harta yang disimpan melebihi nisab, dan pemiliknya membayar zakatnya, dan harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya, maka terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum menyimpannya :
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan yang lainnya berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan. Di antara mereka adalah Umar, putranya, Ibnu Abbas, dan Jabir.
Mereka menggunakan dalil untuk pendapat mereka dari ayat-ayat tentang warisan, karena Allah telah menetapkan wasiat bagi warisnya dalam harta peninggalan orang yang meninggal, dan hal ini hanya terjadi jika orang yang meninggal meninggalkan harta simpanan, seperti yang dinyatakan dalam hadits yang mashur dari Sa'd bin Abi Waqqas:
"Jika kamu meninggalkan warisan kepada keluargamu yang kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia." [HR. Bukhori]
Ini adalah dalil bahwa menyimpan sesuatu untuk waris, setelah membayar kewajiban finansial yang wajib seperti zakat dan yang lainnya, lebih baik daripada tidak meninggalkan apapun.
Berbeda dengan Abu Dzar al-Ghifari (ra), maka dia berpendapat bahwa menyimpan kelebihan harta dari kebutuhan pemiliknya - baik itu untuk kebutuhan pribadi maupun keluarganya - adalah haram, meskipun zakatnya telah dibayar. [ Baca :Thabaqot Ibnu Sa’ad 4/226]
Beliau (ra) memberi fatwa tentang hal ini dan mendorong orang-orang untuk melakukannya.
Namun Mu'awiyah bin Abi Sufyan - semoga Allah meridhainya - yang saat itu menjadi gubernur di Syam, mencegahnya. Karena beliau khawatir bahwa tindakan Abu Dzar ini akan membahayakan perekonomian orang banyak, akan tetapi Abu dzar tetap bersikeras tidak mau meninggalkan seruan kepada orang untuk melakukan hal tersebut. Maka Mu'awiyah kemudian mengadukan hal ini kepada Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian memanggil Abu Dzar ke Madinah, dan menempatkannya di wialayah Rabadzah. Maka beliau tinggal di sana sampai wafat. [Thobaqot Ibnu Saad 2/348]Selesai.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya tentang firman Allah Ta'ala: {Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkan itu pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih} (QS. At-Taubah: 34).
Al-Qurtubi menyatakan dalam penafsiran ayat Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkan itu pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih." (Surah At-Taubah: 34).
Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili, beliau berkata:
"Ada seorang lelaki dari Ahli Shuffah [pendatang yang menginap dikamar di samping mesjid nabawi] meninggal dunia, lalu ditemukan di kantongnya sejumlah dinar. Rasulullah ﷺ bersabda: 'Celakalah.' Kemudian, seorang lainnya meninggal dan ditemukan dua dinar di kantongnya. Rasulullah ﷺ bersabda: 'Celakalah keduanya.' [HR. Ahmad 2/788. Sanadnya lemah].
Hal ini bisa jadi karena keduanya hidup dari sedekah dan masih ada sisa, atau karena situasi tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian syariat mengatur pengaturan harta dan pembayaran hak-haknya.
Jika pengaturan harta tidak diizinkan, maka haknya adalah untuk menyerahkan semua harta tersebut, namun tidak ada yang menuntut hal tersebut di umat ini.
Kondisi para sahabat beserta harta kekayaan mereka sudah cukup sebagai dalil bagi anda.
Adapun yang disebutkan dari Abu Dzar, maka itu adalah madzhabnya, semoga Allah meridhainya.
Musa bin Ubaidah meriwayatkan dari Imran ibn Abi Anas, dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan, dari Abu Dzar dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: 'Barangsiapa mengumpulkan dinar atau dirham atau emas sekeranjang atau perak, dan tidak disiapkan untuk menghadapi musuh atau tidak menginfakkannya pada jalan Allah, maka itu adalah kanz [harta timbunan] yang pemiliknya akan diseterika dengan besi panas pada hari kiamat.'" [Tafsir Ibnu Katsir 3/393]
Aku katakan : Hal ini berlaku bagi apa yang belum dikeluarkan zakatnya, berdasarkan dalil yang telah kita sebutkan dalam ayat sebelumnya. Maka penaksirannya adalah: Jika seseorang memiliki harta merah atau putih yang zakatnya belum dibayar, demikian pula seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-: "Barangsiapa meninggalkan sepuluh ribu, maka akan dibuatkan lempengan-lempengan dari besi yang akan disiksa dengannya pemiliknya di hari kiamat." Maksudnya, jika zakatnya tidak dibayarkan, agar antar hadits-hadits tersebut tidak terjadi pertentangan”.
=====
ADAKAH KEMIRIPAN PENDAPAT SYEIKH AL-ALBAANI DENGAN MADZHAB ABU DZAR ?
Syeikh Al-Albani dalam kitabunya "Duruus Li Al-Syeikh Al-Albani" (6/11) berkata:
لَيْسَ مِنَ الْوَاجِبِ أَنْ يُخْرِجَ الْمُسْلِمُ مَالَهُ كُلَّهُ وَأَلَّا يَبِيتَ وَعِنْدَهُ أَيُّ مَالٍ، لَكِنْ هَذَا مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، وَمِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ؛ أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا أَغْنَاهُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ أَنْ يُنْفِقَهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهُنَا شَيْءٌ آخَرُ يَجِبُ أَنْ يُذْكَرَ، لَا يَعْنِي أَنْ يَدَعَ عِيَالَهُ وَأَهْلَهُ وَأَطْفَالَهُ فُقَرَاءَ، جَاءَهُ هَذَا الْمَالُ فَأَنْفَقَهُ بِكُلِّيَّتِهِ، وَلَمْ يَعْبَثْ بِهِ وَإِنَّمَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَلَكِنْ أَحَقُّ الْمُسْلِمِينَ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ هُمَ الْأَقْرَبُونَ، وَلِذَلِكَ فَلَا يَتَنَاقَضُ هَذَا مَعَ حَدِيثٍ مَضَى مَعَنَا فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ، أَنَّ الرَّسُولَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ السَّلَامُ كَانَ يُدَخِّرُ لِأَهْلِهِ قُوتَ سَنَةٍ، فَهَذَا جَمَعَ بَيْنَ الْحُقُوقِ، فَهُوَ مِنْ نَاحِيَةٍ لَا يُنْسَى حَقُوقُ أَهْلِهِ، وَمِنْ نَاحِيَةٍ لَا يُدَخِّرُ الْمَالَ الَّذِي زَادَ عِنْدَهُ عَلَى حَقُوقِ أَهْلِهِ وَيُنْفِقُهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ.
أَبِي بَكْرِ الصِّدِّيقِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ سَمِعَ -بِمُنَاسَبَةِ مَا- حَضًّا عَلَى الْإِنْفَاقِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَجَاءَ بِكُلِّ مَالِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (مَاذَا تَرَكْتَ لِأَهْلِكَ؟ قَالَ: تَرَكْتُ لَهُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ) فَجَاءَ عُمَرُ وَقَدَّمَ نِصْفَ مَالِهِ، فَلَمَّا عَلِمَ مَا فَعَلَ صَاحِبُهُ، قَالَ: [مَا سَابَقْتُهُ إِلَّا سَبَقَنِي] وَلَمْ يَسَابِقْهُ، فَ أَبُو بَكْرٍ خَرَجَ عَنْ كُلِّ مَالِهِ، وَعُمَرُ خَرَجَ عَنْ نِصْفِ مَالِهِ، وَالنَّاسُ دَرَجَاتٍ، وَمَنْ النَّادِرِ جِدًّا أَنْ مُسْلِمًا عَاقِلًا يَخْرُجُ عَنْ جَمِيعِ مَالِهِ، وَلِذَلِكَ أَنَا أَكَادُ أَعْتَبِرُ خُرُوجَ أَبِي بَكْرٍ عَنْ كُلِّ مَالِهِ هَذِهِ مَزِيَّةً كَمَزِيَّةِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ السَّلَامِ هُنَا، حَيْثُ يَقُولُ: إِنَّهُ لَا يَسُرُّهُ أَنْ تَمْضِيَ عَلَيْهِ ثَلَاثَ لَيَالٍ وَعِنْدَهُ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا أَنْ يَبْقَى عَنْدَهُ.
"Tidak wajib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan seluruh hartanya dan jangan membiarkan dirinya tidur di malam dalam kondisi tidak memiliki harta . Namun, ini merupakan keutamaan amal perbuatan dan termasuk dalam akhlak terpuji bahwa jika Allah memberikan kekayaan kepada seorang Muslim, maka dia menginfakkannya.
Meskipun demikian, ada hal lain yang perlu ditekankan di sini, yaitu tidak berarti ia membiarkan keluarga, kerabat, dan anak-anaknya dalam keadaan faqir miskin, yaitu mendapatkan harta ini, lalu dia menghabiskannya sepenuhnya. Maka Jangan lah seseorang menyia-nyiakan dengan cara seperti itu, melainkan berbagai dengan sesama kaum Muslimin.
Namun, kaum muslimin yang paling berhak atas sebagian dari harta tersebut adalah kerabat terdekat. Oleh karena itu, ini tidak bertentangan dengan hadis yang telah kita sebutkan dalam kitab zakat, “ bahwa Rasulullah ﷺ biasanya menyimpan sebagian dari harta untuk keluarganya setiap tahun”.
Ini menggabungkan antara hak-hak, dimana dia tidak melupakan hak-hak keluarganya, dan pada saat yang sama, dia tidak menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan keluarganya dan menginfakkannya untuk kaum Muslimin.
Abu Bakar al-Shiddiq - semoga Allah meridhainya - mendengar -dalam konteks tertentu- anjuran untuk menginfakkan harta di jalan Allah, sehingga dia membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah ﷺ.
Rasulullah bertanya kepadanya, "Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?" . Abu Bakar menjawab, "Aku meninggalkan mereka Allah dan Rasul-Nya."
Kemudian Umar datang dan menyumbangkan separuh hartanya. Ketika mengetahui apa yang telah dilakukan oleh temannya, dia berkata, "Dia tidak memimpin saya kecuali dia telah melampaui saya."
Abu Bakar memberikan semua hartanya, sedangkan Umar menyumbangkan setengahnya. Orang-orang memiliki tingkat yang berbeda-beda. Sangat jarang bagi seorang Muslim yang bijak untuk mengeluarkan seluruh hartanya.
Oleh karena itu, hampir dapat dikatakan bahwa keputusan Abu Bakar untuk mengeluarkan semua hartanya adalah suatu keunggulan seperti keunggulan Rasulullah ﷺ dalam hal ini, ketika beliau berkata: "Tidaklah ia senang ketika tiga malam telah berlalu dan dia masih memiliki emas sebanyak gunung Uhud, kecuali jika dia meninggalkannya untuk orang lain." [Selesai]
Syeikh Al-Albani berdalil dinataranya dengan dua hadits berikut ini :
Pertama : Dari Zaid bin Wahb bahwa Abu Dzar -radhiyallahu anhu- berkata;
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرَّةِ الْمَدِينَةِ فَاسْتَقْبَلَنَا أُحُدٌ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ ثُمَّ مَشَى فَقَالَ إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمْ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ ثُمَّ قَالَ لِي مَكَانَكَ لَا تَبْرَحْ حَتَّى آتِيَكَ ثُمَّ انْطَلَقَ فِي سَوَادِ اللَّيْلِ حَتَّى تَوَارَى فَسَمِعْتُ صَوْتًا قَدْ ارْتَفَعَ فَتَخَوَّفْتُ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَرَضَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرَدْتُ أَنْ آتِيَهُ فَذَكَرْتُ قَوْلَهُ لِي لَا تَبْرَحْ حَتَّى آتِيَكَ فَلَمْ أَبْرَحْ حَتَّى أَتَانِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ صَوْتًا تَخَوَّفْتُ فَذَكَرْتُ لَهُ فَقَالَ وَهَلْ سَمِعْتَهُ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَانِي فَقَالَ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
"Aku pernah jalan-jalan bersama Nabi ﷺ di Harrah Madinah (tempat yang banyak bebatuan hitamnya), lalu kami menghadap ke arah gunung Uhud, beliau pun bersabda:
"Wahai Abu Dzar!." Jawabku; 'Baik, ya Rasulullah ﷺ.' Beliau melanjutkan; 'Aku tidak suka bila emas sebesar gunung Uhud ini menjadi milikku dan bermalam di rumahku hingga tiga malam, kemudian aku mempunyai satu dinar darinya, kecuali satu dinar tersebut akan gunakan untuk membayar hutangku. Atau akan memberikannya kepada hamba-hamba Allah begini, begini dan begini.'
-Beliau lantas mendemontrasikan (dengan genggaman tangannya) ke kanan, kiri dan ke belakangnya, lalu beliau berjalan dan bersabda:
'Wahai Abu Dzar, sungguh orang-orang yang berbanyak-banyak (mengumpulkan harta) akan menjadi sedikit (melarat) pada hari kiamat, kecuali orang yang berkata seperti ini, seperti ini dan seperti ini!"
Sambil mempraktekkan ke kanan, kiri dan belakangnya- kecuali hanya sedikit dari mereka yang seperti itu.'
Lalu beliau bersabda kepadaku: 'Wahai Abu Dzar, kamu tunggu di sini hingga aku datang.'
Setelah itu beliau pergi digelapnya malam hingga hilang dari pandanganku, lalu aku mendengar gemuruh suara, dan aku khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Nabi ﷺ, serentak aku hendak menuju sumber suara tersebut, namun aku segera teringat sabda Rasulullah ﷺ: 'Tunggulah kamu di sini.' Maka aku pun segera diam di tempat hingga beliau datang, lalu aku berkata;
'Wahai Rasulullah, tadi aku mendengar suara gemuruh, dan aku sangat takut, lalu aku segera teringat pesan anda, maka aku tetap diam di tempat.'
Maka Nabi bersabda: 'Apakah kamu mendengarnya? '
Jawabku; 'Ya.' Beliau bersabda: 'Itu adalah Jibril, ia datang kepadaku dan berkata; 'Siapa saja yang mati dari ummatmu dan tidak menpersekutukan Allah dengan sesuatu pun, maka ia akan masuk ke surga'."
Aku lalu bertanya; 'Walaupun ia berzina dan mencuri? ' Beliau menjawab: 'Walaupun ia berzina dan mencuri.'
[Bukhari no. 5963]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, sabdanya:
لَوْ كانَ لي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا ما يَسُرُّنِي أنْ لا يَمُرَّ عَلَيَّ ثَلاثٌ، وعِندِي منه شيءٌ إلَّا شيءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ.
“Andaikata saya memiliki emas sebanyak gunung Uhud, niscaya saya tidak senang jika berlalu sampai lebih dari tiga hari, sementara disisiku masih ada emas itu sekalipun sedikit, kecuali kalau yang sedikit tadi saya sediakan untuk memenuhi hutang -yang menjadi tanggunganku. (HR. Al-Bukhari (2389) dan Muslim (991).)
PENULIS KATAKAN : REALITANYA BANYAK PARA SAHABAT SENIOR YANG MENINGGALKAN HARTA WARISAN YANG MELIMPAH
Pada kenyataanya, banyak para sahabat -radhiyallahu 'anhum- saat mereka wafat, mereka meninggalkan harta warisan yang melimpah .
Diantaranya :
1)
Abu Bakar
ash-Shiddiq (ra).
2)
Umar bin
Khothob (ra),
3)
Utsman bin
Affan (ra),
4)
Zubair bin
al-Awaam (ra),
5)
Abdurrahman
bin Auf (ra)
6)
Thalhah bin
Ubaidillah (ra)
7)
Saad bin Abi
Waqqoosh (ra)
8)
Hakim bin
Hizaam (ra)
9)
Dihyah bin
Khalifah al-Kalbi (ra)
10) dan lainnya .....
Contohnya :
Contoh pertama : Harta Warisan Umar bin al-Khoththob radhiyallahu 'anhu:
Total harta kekayaan yang ditinggalkan oleh Umar melebihi nilai 120.000 Dinar. Jika
dirupiahkan; maka hitungannya adalah sbb : 120.000 dinar x 4.25 gram x Rp.
900.000 maka total warisan Umar RA adalah Rp. 459.000.000.000 ].
Dalam Kitab جامع بيان العلم وفضله karya Ibnu Abdil Barr, disebutkan :"Bahwa Umar ra. telah mewasiatkan 1/3 hartanya yang nilainya melebihi 40.000 Dinar".
Berarti total harta yang ditinggalkannya melebihi nilai 120.000 Dinar.
Contoh kedua : Harta Warisan yang ditinggalkan Ustman bin Affaan radhiyallahu 'anhu:
Al-Mas'udi mengatakan :
أَمَّا عُثْمَانُ نَفْسُهُ فَكَانَ لَهُ يَوْمَ قَتْلِهِ عِنْدَ خَازِنِهِ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ أَلْفَ دِينَارٍ، وَمِلْيُونُ دِرْهَمٍ، وَخَلَفَ خَيْلاً كَثِيرًا وَإِبْلًا.
"Adapun Utsman sendiri , pada saat terbunuhnya, dia memiliki harta sebesar 150 ribu dinar [Rp. 537.750.000.000] dan sejuta dirham [Rp. 318.750.000.000] . Ia juga meninggalkan banyak kuda dan unta. [ Baca : "Muruuj adz-Dzahab" oleh Al-Mas'udi, 2/341-343].
Para Ahli sejarah dan Ibnu Abdil Barr penulis "al-Isti'ab" di antara mereka berkata:
لَمَّا مَاتَ خَلَفَ
ثَلَاثَ زَوْجَاتٍ أُصِيْبَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثَةً وَثَمَانِيْنَ أَلْفَ
دِيْنَارٍ.
" Ketika dia meninggal, dia meninggalkan tiga istri. Setiap istri menerima warisan sebesar tiga puluh delapan ribu dinar". [ Baca : "Tarikh al-Islam al-Siyaasi" oleh Hasan Ibrahim Hasan 1/358].
[ Note : Pada masa Nabi SAW 12 Dirham setara dengan 1 dinar . Dan Satu dinar pada masa itu setara dengan 4,25 gram emas murni. Harga pergram -/+ Rp. 900.000 ]
Contoh Ketiga : Sebagian harta kekayaan Ali Bin Abi Thalib - radhiyallahu 'anhu - :
Dalam Minhaaj as-Sunnah (7/481-482), Ibnu Taimiyah berkata :
وَرَوَى الْأَسْوَدُ
بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا شَرِيكُ النَّخْعِيِّ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ كَعْبِ الْقَرَظِيِّ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ لَقَدْ رَأَيْتُنِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ أُرَبِّطُ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ شِدَّةِ الْجُوعِ وَأَنَّ صَدَقَةَ
مَالِي لِتَبْلُغَ الْيَوْمَ أَرْبَعِينَ أَلْفًا.
رَوَاهُ أَحْمَدُ عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ شَرِيكٍ وَرَوَاهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ وَفِيهِ لِتَبْلُغَ أَرْبَعَةَ آلافِ دِينَارٍ.
Al-Aswad bin 'Aamir meriwayatkan bahwa Syarik Al-Nakho'i mengatakan kepada kami dari 'Aashim bin Kulaib dari Muhammad bin Ka'b Al-Quradzi yang mengatakan :
Ali berkata : " Aku melihat diriku pada masa Rasulullah SAW mengikatkan batu ke perut ku karena kelaparan yang parah. Namun hari ini sedekah [zakat] harta ku telah mencapai 40.000 [ Jika itu Dinar maka zakatnya saja senilai 153 milyar rupiah ]" .
Diriwayatkan oleh Ahmad [ dalam al-Musnad 1/59 ] dari Hajjaaj dari Shariik .
Dan diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'iid
Al-Jawhari dan lafadz di dalamnya :
لِتَبْلُغَ أَرْبَعَةَ آلافِ دِينَارٍ
"Sungguh telah mencapai 4.000 Dinar [ Berarti 15.300.000.000 Pen. ]"".
[ Baca : Minhaaj as-Sunnah 7/481-482 ]
Dan Ibnu Taimiyah berkata pula :
وَأَمَّا عَلِيٌّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَوَسَّعَ فِي هَذَا الْمَالِ مِنْ حَلِّهِ وَمَاتَ عَنْ أَرْبَعِ
زَوْجَاتٍ وَتِسْعَ عَشَرَ أُمَّ وَلَدَ سَوَى الْخُدَّمِ وَالْعَبِيدِ وَتُوفِيَ عَنْ
أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ وَلَدًا مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَتَرَكَ لَهُمْ مِنَ الْعَقَارِ
وَالضَّيَاعِ مَا كَانُوا بِهِ مِنْ أَغْنِيَاءِ قَوْمِهِمْ وَمِيَاسِيرِهِمْ.
هَذَا أَمْرٌ مَشْهُورٌ
لَا يُقَدِّرُ عَلَى إِنْكَارِهِ مَنْ لَهُ أَقَلُّ عِلْمٍ بِالْأَخْبَارِ وَالْآثَارِ
وَمِنْ جَمْلَةِ عَقَارِهِ يَنْبَعُ الَّتِي تَصَدَّقَ بِهَا كَانَتْ تَغْلُ أَلْفَ
وَسِقٍ تَمْرٍ زَرَعَهَا.
Adapun Ali radhiyallahu 'anhu, maka dia mengembangkan hartanya ini dengan cara yang halal. Dan dia meninggal saat punya empat istri dan sembilan belas Ummu walad, selain para pembantu dan para budak. [ Ummu walad : adalah budak wanita yang digauli lalu melahirkan anak untuknya Pen.]
Dia meninggalkan dua puluh empat anak, laki-laki dan perempuan, dan meninggalkan untuk mereka real estate dan kebun yang membuat mereka menjadi orang-orang terkaya ditengah kaumnya serta kemudahan-kemudahan dalam hidupnya .
Ini adalah masalah yang masyhur dan terkenal yang tidak dapat disangkal meskipun oleh orang yang paling sedikit memiliki pengetahuan tentang hadits dan atsar .
Dan salah satu dari sekian jumlah properti miliknya adalah Desa Yanbu [ sekarang menjadi kabupaten pen.] , yang zakat penghasilan kebun kurmanya adalah seribu wisq kurma yang dia tanam [1 wisq = 130,6 kilogram . Bararti tolal zakatnya : 130.600 Kg].
Contoh Keempat : Harta warisan peninggalan Zubair bin Awaam - radhiyallahu 'anhu - :
'Urwah bin Az-Zubair berkata :
فَكَانَ لِلزُّبَيْرِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ، وَرَفَعَ الثُّلُثَ، فَأَصَابَ كُلَّ امْرَأَةٍ أَلْفُ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْفٍ، فَجَمِيعُ مَالِهِ خَمْسُونَ أَلْفَ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْفٍ
Az-Zubair meninggalkan empat orang istri, maka 'Abdullah [ bin az-Zubair ] menyisihkan sepertiga harta bapaknya sebagai wasiat bapaknya [ untuk 4 istrinya ] sehingga setiap istri Az-Zubair mendapatkan satu juta dua Ratus ribu [1 juta 200 ribu ]
Sedangkan harta keseluruhan milik Az-Zubair berjumlah lima puluh juta dua Ratus ribu [ 50 juta 200 ribu ] ". [ HR. Bukhori no. 3129 ]
Sementara Ibnu Asaakir meriwayatkan :
Abu al-Qasim Ali bin Ibrahim memberi tahu
kami, Abu al-Hasan Rasya' bin Nadziif memberi tahu kami, al-Hasan bin Ismail
memberi tahu kami, Ahmad bin Marwan memberi tahu kami , Abdullah bin Muslim bin
Qutaybah memberi tahu kami, Muhammad bin 'Ubaid memberi tahu kami, Abu Usamah
memberi tahu kami, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya :
أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ تَرَكَ مِنَ الْعَرُوضِ خَمْسِينَ أَلْفَ أَلْفِ درْهَمٍ، وَمِنْ أَلْفَيْنِ خَمْسِينَ أَلْفَ أَلْفِ درْهَمٍ.
Al-Zubair bin Al-Awwam meninggalkan lahan-lahan tanah senilai 50 juta dirham, dan uang cash 50 juta 2 ribu dirham. [ Tarikh Damaskus 18/428 ]
Berarti menurut riwayat Ibnu Asaakir ini , harta warisan Az-Zubair adalah : 100 juta 2 ribu dirham .
Jika di rupiahkan :
100.002.000 : 12 x 4,25 x Rp. 900.000 = Rp. 31.875.637.500.000,- .
Adapun dalam riwayat Bukhori tidak dijelaskan jenis mata uangnya , apakah Dinar atau Dirham ?.
Jika yang di maksud [ 50 juta 200 ribu ] adalah Dinar , maka total harta warisan Az-Zubair bun al-Awaam adalah sbb :
50.200.000 x 4,25 gram emas murni x Rp. 900.000 = 192,015 Trilyun .
jika yang di maksud adalah Dirham , maka totalnya sbb
50.200.000 : 12 x 4,25 x Rp. 900.000 = = 16.001.250.000.000 rupiah .
Contoh Kelima : Harta warisan peninggalan Tholhah Bin Ubaidillah -radhiyallahu 'anhu".
Ketika dia meninggal dunia , dia meninggalkan harta sbb :
A. 2 juta 200 ribu dirham [ 701 milyar 250 juta rupiah ] .
B. 200 ribu dinar emas [ 765 milyar rupiah ]
C. Emas batangan murni sebanyak 300 muatan [
yang diangkut 300 hewan ] .
D. Nilai Aset dan real estatenya 30 juta dirham [ Rp. 9.562.500.000.000 ]
[ Lihat : سير أعلام النبلاء karya Adz-Dzahabi dalam biografi Thalhah 1/40-41 ]
Muhammad bin Sa'ad dlam الطَّبَقَاتُ الكُبْرَى [ 3/166 ] meriwayatkan :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ أَنَّ مُعَاوِيَةَ سَأَلَهُ : كَمْ تَرَكَ أَبُو مُحَمَّدٍ - يَرْحَمُهُ اللَّهُ - مِنَ الْعَيْنِ؟ قَالَ: تَرَكَ أَلْفَيْ أَلْفِ دِرْهَمٍ وَمِائَتَيْ أَلْفِ دِرْهَمٍ وَمِائَتَيْ أَلْفِ دِينَارٍ. وَكَانَ مَالُهُ قَدِ اغْتِيلَ. كَانَ يُغِلُّ كُلَّ سَنَةٍ مِنَ الْعِرَاقِ مِائَةَ أَلْفٍ سِوَى غلاته من السراة وغيرهما.
وَلَقَدْ كَانَ
يُدْخِلُ قُوتَ أَهْلِهِ بِالْمَدِينَةِ سَنَتَهُمْ مِنْ مَزْرَعَةٍ بِقَنَاةٍ
كَانَ يَزْرَعُ عَلَى عِشْرِينَ نَاضِحًا. وَأَوَّلُ مَنْ زَرَعَ الْقَمْحَ
بِقَنَاةٍ هُوَ. فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: عَاشَ حَمِيدًا سَخِيًا شَرِيفًا وَقُتِلَ
فَقِيدًا. رَحِمَهُ اللَّهُ.
Muhammad bin Umar memberi tahu kami, dia berkata: Ishaq bin Yahya memberi tahu saya dari Musa putra Thalhah :
"Bahwa Muawiyah bertanya kepadanya: Berapa banyak Abu Muhammad [ yakni Thalhah ] meninggalkan harta dari Al-'Ain [ mata air ] ?
Dia berkata: Dia meninggalkan 2 juta 200 ribu dirham [ 701 milyar 250 juta rupiah ] dan 200 ribu dinar emas [ 765 milyar rupiah ] .
Dan hartanya senatiasa memberikan hasil . Dia biasa menerima 100 ribu penghasilan dari Irak setiap tahun, selain hasil panennya dari daerah As-Saraat [ lahan tanah di tengah kota] dan lainnya.
Dan dia biasa membawa sembako untuk keluarganya di Madinah untuk kebutuhan selama setahun, dari lahan pertanian miliknya di tepi kanal .
Dan dia telah bercocok tanam dengan menggunakan 20 NADLIH. [ الناضح : adalah unta, sapi , atau keledai yang digunakan untuk mengairi perkebunan atau pertanian . Pen ]
Dia adalah orang pertama yang bercocok tanam gandum di kanal.
Muawiyah berkata : Dia hidup sebagai seorang pria yang terpuji, murah hati dan terhormat, dan ketika dia terbunuh , orang-orang merasa kehilangan , semoga Allah merahmatinya ".
[ Lihat juga : سير الأعلام النبلاء 1/34-35 oleh Adz-Dzahabi ]
*****
PERINTAH UNTUK HIDUP HEMAT DAN EKONOMIS
Allah SWT menyebutkan salah satu ciri dari ciri-ciri hamba Ar-Rahman adalah hemat dan tidak boros dalam membelanjakan hartanya. Begitu pula ketika bersedakah dan berinfaq.
Dalam surat al-Furqon , Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67).
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan [boros], dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [QS. Al-Furqon: 67]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata:
"أَيْ: لَيْسُوا بِمُبَذِّرِينَ في إِنْفَاقِهِمْ فَيَصْرِفُونَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَلَا بُخَلَاءَ عَلَى أهْليهم فَيُقَصِّرُونَ فِي حَقِّهِمْ فَلَا يَكْفُونَهُمْ، بَلْ عَدْلا خِيَارًا، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، لَا هَذَا وَلَا هَذَا".
" Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi.
Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir ". [Tafsir Ibnu Katsir 6/123-124]
Dan dalam surat al-Isra , Allah SWT berfirman:
{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}
" Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [QS. Al-Isra: 29].
Ibnu Katsir berkata:
يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا بِالِاقْتِصَادِ فِي الْعَيْشِ ذَامًّا لِلْبُخْلِ نَاهِيًا عَنِ السَّرَف
"Allah Swt. memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) agar bersikap ekonomis dalam kehidupan, dan mencela sifat kikir; serta dalam waktu yang sama melarang sifat berlebihan" [Tafsir Ibnu Katsir 5/70].
Lalu Ibnu Katsir berkata :
“ Firman Allah Swt.:
{وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ}
‘dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya’. (Al-Isra: 29)
Artinya janganlah kamu berlebihan dalam meng-infaqkan hartamu dengan cara memberi di luar kemampuanmu dan mengeluarkan biaya lebih dari pemasukanmu.
فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Al-Isra: 29)
Ungkapan ini termasuk ke dalam “بَابِ اللَّفِّ وَالنَّشْرِ / melipat dan menggelar”, yakni gabungan dari beberapa penjelasan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa jika kamu kikir, maka kamu akan menjadi orang yang tercela; orang-orang akan mencela dan mencacimu serta tidak mau bergaul denganmu. Seperti yang dikatakan oleh Zuhair ibnu Abu Sulma dalam Mu'aliaqat-nya yang terkenal itu, yaitu:
وَمَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَيَبْخَلْ بِمَالِهِ *** عَلَى قَوْمِهِ يُسْتَغْنَ عَنْهُ وَيُذْمَمِ
Barang siapa yang berharta, lalu ia kikir dengan hartanya *** itu terhadap kaumnya, tentulah dia tidak digauli oleh mereka dan dicela.
Dan manakala kamu membuka tanganmu lebar-lebar dengan memberi di luar kemampuanmu, maka kamu akan menyesal karena tidak punya sesuatu lagi yang akan kamu belanjakan.
Perihalnya sama dengan hewan yang tidak kuat lagi melakukan perjalanan, maka ia berhenti karena lemah dan tidak mampu. Hewan yang berspesifikasi demikian dinamakan hasir, yakni hewan yang kelelahan. Pengertian ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ}
‘Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah’. (QS. Al-Mulk: 3-4)
Yang dimaksud dengan hasiir ialah lemah, tidak dapat melihat adanya cela.
Makna yang dimaksud oleh ayat ini ditafsirkan dengan pengertian kikir dan pemborosan, menurut ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. [Tafsir Ibnu Katsir 5/70]
Dan Allah SWT berfirman:
{يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ}
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan [alias boros]. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. [QS. Al-A'raf: 31].
=====
HADITS DAN ATSAR TENTANG ANJURAN HIDUP HEMAT dan EKONOMIS
Pertama:
Dari Ibnu 'Abbas RA , bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ، وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ، وَالاقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةِ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النَّبُوَّةِ.
Sesungguhnya jalan hidup yang Shaleh , penampilan yang shaleh, dan hidup hemat ekonomis adalah bagian dari dua puluh lima bagian dari kenabian.
[HR. Ahmad no. 2698 dan Abu Daud no. 4776. Di Hasankan oleh al-Albaani dlm Shahih Abi Daud no. 4776]
Kedua:
Dari Abu Darda, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".
Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya. [HR. Ahmad no. 20706]
Ibnu Katsir berkata: "Akan tetapi, mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang mengetengahkannya".
Hadits Dho'if. Syeikh al-Albaani berkata:
ثُمَّ هُوَ مُنْقَطِعٌ لِأَنَّ ضَمَّرَةً لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ كَمَا أَفَادَهُ الذَّهَبِيُّ..
" Kemudian sanadnya terputus karena Dhomroh tidak mendengar dari Abu al-Darda' sebagaimana yang dinyatakan al-Dhahabi tentang dirinya". [Lihat Dha'if al-Jaami' ash-Shaghiir 1/767 no. 5308].
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ رُوِيَ مَرْفُوعًا، لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَهُوَ مَوْقُوفٌ مُحْتَمَلٌ لِلتَّحْسِينِ.
" Hadits ini diriwayatkan secara marfu' dari Nabi ﷺ, akan tetapi lemah. Dan itu mauquf yang memungkinkan pada derajat Hasan ".
Adapun riwayat mauquf , yaitu:
Dari Salim bin Abi Al-Ja'ad bahwa seorang pria naik ke Abu Al-Darda' - ketika dia berada di kamarnya - dan dia memungut biji yang tercecer , maka Abu ad-Dardaa' berkata:
"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي مَعِيشَتِهِ".
Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya.
Ketiga:
Dari Abdullah ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"
“Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin”.
[HR. Ahmad no. 4269, asy-Syashi (714), Ibnu Abi Syaibah no. 26081 , ath-Thabrani dalam al-Awsath no. 5251 dan "al-Kabir" (10118).]
Ibnu Katsir berkata: "Mereka (para penulis kitab Sunan) tidak ada yang mengetengahkan hadits ini".
Hadits ini di dhoifkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’ 10/252, oleh As-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shogiir no. 7939, Ahmad Syakir dalam Tahqiq al-Musnad 4/198 dan Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 7/302]
Dan diriwayatkan pula dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ، وَلَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ.
Tidak akan gagal orang yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak akan miskin orang yang hemat ekonomis.
HR. Al-Tabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsat (6627), Al-Qudha'i dalam "Musnad Al-Shihab" (774), dan Al-Daylami dalam "Al-Firdaus" (6230). Riwayat ini dinyatakan Palsu oleh syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dhai'iifah no. 611.
Keempat:
Dari Hudzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"مَا أَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْعِبَادَةِ"
Betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan kaya , dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan faqir. Dan betapa baiknya sikap ekonomis [pertengahan] dalam [hal] Ibadah". [HR. Abu Bakr Al-Bazzaar dlam Musnadnya البحر الزخار no. 2584].
Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Muhammad Al Kindi , dia itu Hadits nya Munkar.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadits ini melainkan hanya melalui hadits Huzaifah r.a.
Kelima:
Dari Abdulah bin Umar radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah ﷺ berkata :
"الاقتصادُ في النَّفَقة نِصفُ العَيش"
“Hemat Ekonomis adalah separuh kehidupan”
[Diriwayatkan oleh "Tabarani dalam "Makarim al-Akhlaq" (140), dan al-Baihaqi dalam "Syu'ab al-Iman", dan al-'Askari dalam "Al-Amtsal", dan al-Qudho'i dalam "Musnad al-Syihab" (33) .
Hadis ini lemah, tidak dapat dipertimbangkan.
Abu Hatim al-Razi ditanya - seperti dalam "I'lal al-Hadits" (2/284) - tentang hadis Ibnu Umar ini , lalu dia berkata:
"هَذَا حَدِيْثٌ بَاطِلٌ؛ وَمُخَيْسٌ وَحَفْصٌ مَجْهُوْلَانِ"
'Hadis ini adalah bathil, dan dua perawinya tidak dikenal.'"
Keenam :
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:
"إِنَّ مِنْ أَحَبِّ الْأَمْرِ إِلَى اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - الْقَصْدُ فِي الْغِنَى وَالْعَفْوُ فِي الْمَقْدِرَةِ.".
"Sesungguhnya termasuk hal yang lebih dicintai oleh Allah - Yang Maha Kuasa - adalah hemat ekonomis saat kaya dan suka memaafkan meski dia punya kuasa ."
[(مجموع رسائل ابن أبي الدنيا/إصلاح المال) (2/99 no. 329) dan (ميزان الحكمة/تأليف محمد الريشهري) 3/2554].
Ketujuh:
Dari Hasan al-Bashri beliau berkata:
"إِنَّ مِنْ عَلَامَةِ الْمُؤْمِنِ: قُوَّةً فِي دِينٍ، وَحَزْمًا فِي لَيِّنٍ، وَإِمَامًا فِي يَقِينٍ، وَحِلْمًا فِي عِلْمٍ وَكِيسًا فِي مَالٍ، وَإِعْطَاءً فِي حَقٍّ، وَقَصْدًا فِي غَنًى، وَتَجَمُّلًا فِي فَاقَةٍ، وَإِحْسَانًا فِي قُدْرَةٍ."
“Di antara ciri-ciri orang beriman adalah : kuat dalam agamanya , teguh dalam kelembutan, imam dalam keyakinan, sabar dalam ilmu, pandai dalam mengelola harta , menunaikan hak, hemat dan ekonomis ketika kaya , berprilaku indah dalam kemiskinan, berbuat baik meskipun punya kuasa ".
[(مجموع رسائل ابن أبي الدنيا/إصلاح المال) 2/100 no. 335)
*****
LARANGAN GAYA HIDUP BOROS & MURKA ALLAH SWT TERHADAP PEMBOROS HARTA:
Islam telah memerintahkan kepada umat-nya agar pandai mengatur keuangan dan agar tidak menghambur-hamburkan harta. Termasuk dalam berinfaq kepada sanak kerabat, fakir miskin dan ibnu sabiil.
[التَّبْذِيرِ = Pemborosan ] dianggap lebih berbahaya daripada [الإِسْرَافِ = berlebihan] :
Israaf adalah
هُوَ: صَرْفُ الشَيْءِ فِيمَا يَنْبَغِي زَائِدًا عَلَى مَا يَنْبَغِي، أَمَّا التَّبْذِيرُ فَإِنَّهُ: صَرْفُ الشَيْءِ فِيمَا لَا يَنْبَغِي.
“Pengeluaran biaya untuk sesuatu keperluan yang layak melebihi dari yang layak”.
Sedangkan tabdziir [ pemborosan] adalah:
صَرْفُ الشَيْءِ فِيمَا لَا يَنْبَغِي.
Pengeluaran biaya untuk sesuatu yang tidak layak.
Dalam Q.S Al-Isra’ ayat 26 Allah SWT berfirman :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan ; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. Al-Isra’ : 26-27].
Dan Allah SWT berfirman :
﴿۞ يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ﴾
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan [boros]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan [boros]. [QS. Al-A’raf: 31]
Dan Allah SWT berfirman :
﴿كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي ۖ وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَىٰ﴾
Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. [QS. Thaha: 81]
Allah murka kepada orang-orang yang sering membuang-buang hartanya. Karena sejatinya perilaku tabzir merupakan salah satu saudaranya syaithan.
Sebagaimana yang disebutkan diatas dalam firman-Nya ,
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. Al-Isra’ : 27]
Dalam hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah membenci 3 hal untuk kalian:
[1] menyebarkan berita burung (katanya-katanya);
[2] menghambur-hamburkan harta;
[3] banyak bertanya.
(HR. Bukhari 1477 & Muslim 4582).
Dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ. yang telah bersabda:
"كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلة"
Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kamu sekalian tanpa pemborosan dan tanpa kesombongan.
[Hadits ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i (2559), Ibnu Majah (3605) dengan lafadznya, dan Ahmad (6695). Di hasankan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah ].
Dari [Anas bin Malik] dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ مِنْ السَّرف أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشْتَهَيْتَ".
"Termasuk pemborosan adalah kamu memakan semua makanan yang kamu inginkan."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Mājah no. (3352), oleh Abu Ya'la dalam Musnad (5/154) dan oleh Ibnu al-Qaisarānī dalam Athroof al-Gharā'ib wa al-Afrād (hal. 72) ].
Al-Busyairi berkata dalam Al-Zawā'id (3/95):
"هذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ" وَهُوَ مَسْلَسَلٌ بِالْعِلَلِ"
'Sanad ini lemah' dan ia terdiri dari illat-illat yang beruntun."
Ibnu Katsir berkata :
وَرَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي الْأَفْرَادِ، وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ تَفَرَّدَ بِهِ بَقِيَّةُ
Ad-Daruqutni meriwayatkannya di dalam himpunan hadits-hadis mufrad-nya, dan ia mengatakan bahwa hadits ini garib , diriwayatkan oleh Baqiyyah secara munfarid (menyendiri). [Tafsir Ibnu Katsir 3/407].
Sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
" كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ خَصْلَتَانِ سَرَفٌ وَمَخِيلَةٌ "
“Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu , tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya : boros dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias pamer )“.
[ HR. Bukhori secara mu'allq dalam Shahihnya, Kitab al-Libaas (77) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171 secara maushul ].
Allah SWT mengazab Qorun karena sombong, pongah, boros dan berlebihan dalam menggunakan harta kekayaannya :
﴿فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ ۖ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ . وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ. فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنتَصِرِينَ﴾
Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". [Qasas: 79]
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar". [Qasas: 80]
Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). [Qasas: 81]
*****
LARANGAN MENYERAHKAN HARTA PADA PEMILIKNYA YANG BELUM CERDAS MENGELOLA HARTANYA :
Allah SWT telah mengisyaratkan agar para orang tua mendidik anak-anaknya agar memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengembangkan harta nya . Dan Allah SWT melarang para orang tua maupun lainnya menyerahkan harta kepada para safiih ( orang-orang yang belum cerdas dalam mengelola harta ) , merkipun harta tersebut hak milik para safiih tadi .
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
Artinya : “ Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta ) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian yang dijadikan Allah sebagai sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik . ( QS. An-Nisaa : 5 )
TERUTAMA PARA WALI ANAK YATIM TERHADAP ANAK YATIM :
Dalam Rangka memelihara harta anak Yatim , maka wali anak yatim di wajibkan berusaha mengembangkan hartanya dan mendidik nya agar anak yatim tsb cerdas dalam mengelola hartanya . Tidak boleh menyerahkan hartanya kecuali setelah anak yatm itu lulus uci coba kemampuan .
Allah SWT melarang atas wali anak yatim yang ekonominya berkecukupun mengambil upah dalam mengembangkan hartanya , kecuali jika walinya itu seorang fakir miskin .
Allah SWT berfirman :
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan kalian ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu). ( QS. An-Nisaa : 6 )
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
” مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“
Artinya “Ketahuilah, barang siapa yang mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah hartanya untuk berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)
Imam Syafii meriwaytakn dengan sanad nya dari Yusuf bin Maahik bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
(ابتغوا في مال اليتيم أو أموال اليتامى لا تذهبها ولا تستهلكها الصدقة)
Kembangkanlah harta anak yatim atau harta-harta anak yatim sehingga tidak lenyap dan hancur di makan zakat “. ( HR. Imam Syafii dlm al-Umm dan Baihaqi dalam “السنن الكبرى”.
Imam al-Baihaqi berkata :
وهذا مرسل إلا أن الشافعي رحمه الله أكده بالاستدلال بالخبر الأول وبما روي عن الصحابة رضي الله عنهم
“Hadits ini mursal akan tetapi Imam Syafii memperkuat dalil ini dengan hadits pertama dan dengan atsar yang di riwayatkan dari para sahabat “. (Selesai)
Akan tetapi makna hadits di atas benar; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan jika tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan menyebabkannya berkurang.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.
“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi, beliau berkata: “Sanadnya shahih”)
====
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH [ORANG YANG BELUM CERDAS MENGELOLANYA], MESKIPUN HARTA ITU HAK MILIK SAFIH TSB
Dari Abu Musa al-Asy’ry , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ - عز وجل -: ﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾"[44].
"Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak mengabulkannya untuk mereka. yaitu:
Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;
Dan seorang lelaki yang mempunyai harta pada seorang lelaki lain ( menghutangi ) namun dia tidak menghadirkan saksi terhadapnya
Dan seorang lelaki yang memberikan kepada orang yang safiih / سفيه ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta ) hartanya , sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ ﴾
Artinya : “ 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta ) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian' (An-Nisa: 5).
( HR. Al-Hakim dlm al-Mustadrok No. 3181 , ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thoawi dlm “شرح مشكل الآثار” No. 2530 . Dishahihkan oleh al-Hakim dan Syeikh al-Baani dlam “صحيح الجامع” No. 3075 . Tpi Menurut imam ad-Dahabi : “ Hadits ini Munkar” )
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir nya :
“ Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya melakukan tasarruf ( mengendalikan dan mengelola ) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya “. ( Selesai )
=====
ORANG-ORANG YANG HARUS DI HAJER [DIAMANKAN] HARTANYA :
Ibnu Katsir berkata :
“ Bahwa orang-orang yang kurang cerdas akalnya dikenakan hijir ( di halangi dan tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya ). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam:
adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).
Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila.
Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat akalnya kurang cerdas atau agama nya kurang.
Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya di sita ).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum cerdas akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian. (An-Nisa: 5)
Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim.
0 Komentar