HUKUM JUAL BELI URBUN [DP HANGUS JIKA SI PEMBELI BATAL BELI]
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
****
DAFTAR ISI :
- KATA ‘URBUN DAN SINONIMNYA :
- MAKNA JUAL BELI ‘URBUN DALAM ISTILAH SYAR’I :
- HUKUM JUAL BELI ‘’URBUN (Deposit Hangus Jika Si Pembeli Tidak Jadi Beli Atau Penyewa Tidak Jadi Sewa))
- PENDAPAT PERTAMA : BOLEH ATAU MUBAH :
- PENDAPAT KEDUA : HARAM HUKUMNYA:
- PERHATIAN : ‘URBUN [UANG TANDA JADI] BERBEDA DENGAN UANG TANDA KESERIUSAN
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===
KATA ‘URBUN DAN SINONIMNYA :
‘Urbun atau ‘Arabun atau ‘Urbaan, sama saja. Dalam dialek arab sekarang adalah “Arbun”.
Sinonim ‘Urbun dalam bahasa Indonesia adalah : “Uang Muka”atau “Tanda Jadi” atau “Deposit” atau “DP” atau “Down Payment”.
Pada dasarnya, deposit atau Uang Muka adalah bentuk jaminan ketika ada pembelian produk atau jasa, terutama dalam jumlah yang besar. Tujuannya untuk menutup kerugian apabila calon pembeli melakukan pembatalan secara sepihak, begitu pula sebaliknya. Jadi, sering kali deposit ini tidak akan dikembalikan apabila transaksi dibatalkan atau ada perjanjian yang dilanggar oleh pihak pembeli.
*****
MAKNA JUAL BELI ‘URBUN DALAM ISTILAH SYAR’I :
Adapun Jual beli ‘Urbun dalam istilah syar’i adalah :
هو أنْ يَشترِيَ السِّلعةَ، فيَدفَعَ إلى البائعِ مَبلَغًا مِن المالِ على أنَّه إنْ أخَذَ السِّلعةَ احتُسِبَ به مِن الثَّمَنِ، وإنْ لم يَأخُذْها فذلك للبائعِ
Adalah membeli barang, lalu membayar sejumlah uang kepada penjual dengan ketentuan jika ia mengambil barang tersebut, maka jumlah tersebut dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika tidak jadi membelinya, maka uang tersebut menjadi milik penjual.
Lihat: "Al-Mughni" oleh Ibnu Qudamah (4/175), "Minhaj Ath-Thalibin" oleh An-Nawawi (hal. 98).
Dikatakan dalam Kamus Al-Mishbah hal. 401:
الْعَرَبُونُ بِفَتْحِ الْعَيْنِ وَالرَّاءِ، قَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ شَيْئًا، أَوْ يَسْتَأْجِرَهُ، وَيُعْطِيَ بَعْضَ الثَّمَنِ أَوِ الْأُجْرَةِ، ثُمَّ يَقُولَ: إِنْ تَمَّ الْعَقْدُ احْتَسَبْنَاهُ، وَإِلَّا فَهُوَ لَكَ، وَلَا آخُذُهُ مِنْكَ.
وَالْعُرْبُونُ: وَزْنُ عُصْفُورٍ، لُغَةٌ فِيهِ، وَالْعُرْبَانُ بِالضَّمِّ: لُغَةٌ ثَالِثَةٌ وَنُونُهُ أَصْلِيَّةٌ.
وَقَالَ الْأَصْمَعِيُّ: الْعُرْبُونُ أَعْجَمِيٌّ مُعَرَّبٌ. ا.ه.
Al-'Arabun dengan membaca fathah huruf 'ain dan raa’. Sebagian mereka berkata: Al-'Arabun adalah ketika seseorang membeli sesuatu, atau menyewanya, dan memberikan sebagian dari harga atau upahnya, kemudian dia berkata: Jika akadnya terlaksana, maka kita hitung sebagai bagian dari harga tersebut, jika tidak, maka itu menjadi milikmu, dan aku tidak mengambilnya darimu."
"Dan al-‘Urbun: dengan wazan seperti ‘Usfur, adalah sebuah dialek di dalamnya. Al-‘Urban dengan dhommah: adalah dialek ketiga dan nun-nya asli.
Al-Ashma’i berkata: Al-‘Urbun adalah kata ajam (asing) yang diarabkan. [Selesai].
Lihat juga Lisan al-‘Arab (1/592) dan An-Nihayah (3/202). Penting !.
*****
HUKUM JUAL BELI ‘’URBUN
(Deposit Hangus Jika Si Pembeli Tidak Jadi Beli Atau Penyewa Tidak Jadi Sewa)) :
"Para ulama rahimahullah berbeda pendapat mengenai hukum jual beli 'urbun menjadi dua pendapat:
====
PENDAPAT PERTAMA : BOLEH ATAU MUBAH :
Ini adalah amalan Umar bin Khattab dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma. Dan ini merupakan pendapat sebagian salaf , diantaranya : Ibnu Sirin, Said bin al-Musayyib, dan Mujahid.
Dan juga ini adalah pendapat madzhab Hanbali, , serta dipilih oleh Majma’ al-Fiqhi al-Islami, Syeikh Bin Baz, dan Ibnu Utsaimin, serta didukung oleh fatwa Komite Tetap (al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia ) dan Lajnah al-Iftaa (Komite Fatwa) Yordania.
Lihat: "Mushannaf Ibn Abi Syaibah" (5/7) nomor (23198) dan (23197), "Al-Mughni" oleh Ibnu Qudamah (4/175), "Al-Majmu'" oleh An-Nawawi (9/335).
Ibnu al-Musayyib mengatakan:
لا بَأْسَ إِذَا كَرِهَ السَّلَعَةَ أَنْ يَرُدَّهَا، وَيَرُدَّ مَعَهَا شَيْئًا.
"Tidak masalah jika seseorang tidak menyukai barangnya untuk mengembalikannya, dan dia mengembalikan sesuatu bersamanya."
Imam Ahmad mengomentarinya dengan mengatakan:
هَذَا فِي مَعْنَاهُ.
"Ini memiliki makna yang sama."
Baca : al-Mughni karya Ibnu Quddaamh 6/331, asy-Syarhul Kabiir 11/251 dan Matholin Ulin Nuha 3/77.
Hal ini karena dalam Jual Beli ‘Urbun terdapat maslahat dan manfaat bagi kedua belah pihak, dan tidak ada kerugian; penjual untung karena dia mengatakan: Jika jual beli selesai, maka itu milikmu, dan jika tidak selesai, maka saya telah mendapatkan keuntungan dari ‘Urbun.
Namun Mazhab Hanbali, Majma’ al-Fiqhi al-Islami, dan Komite Fatwa Yordania mensyaratkan agar masa tunggu dibatasi dalam jangka waktu tertentu.
Lihat: "Al-Inshaf" oleh Al-Mardawi (4/258), "Mathalib Uli an-Nuha" oleh Ar-Ruhaybani (3/78).
----
KEPUTUSAN MAJMA’ AL-FIQHI AL-ISLAMI
Keputusan Nomor: 76/3/D8 tentang Jual Beli 'Urbun sebagai berikut:
(الحمْدُ للهِ ربِّ العالَمين، والصَّلاةُ والسَّلامُ على سيِّدِنا محمَّدٍ خاتمِ النَّبيِّين، وعلى آلِه وصَحْبِه. قَرار رقم: 76/ 3/ د8 بشأنِ بَيْعِ العُرْبونِ.
إنَّ مَجلِسَ مَجْمَعِ الفِقهِ الإسلاميِّ المنعقِدَ في دَورةِ مُؤتَمرِه الثَّامنِ ببندر سيري باجوان، بروناي دار السَّلام من 1 إلى 7 محرَّم 1414هـ، الموافِق 21 - 27 يونيو 1993 م. بعْدَ اطِّلاعِه على البحوثِ الواردةِ إلى المَجْمَعِ بخُصوصِ مَوضوعِ: "بَيْع العُرْبونِ"، وبعْدَ استماعِه إلى المناقَشاتِ الَّتي دارتْ حوْلَه؛
قرَّر ما يَلي:
1- المرادُ ببَيعِ العُرْبونِ: بَيْعُ السِّلعةِ مع دفْعِ المشْتري مَبلغًا مِن المالِ إلى البائعِ، على أنَّه إنْ أخَذَ السِّلعةَ احتُسِبَ المبلَغُ مِن الثَّمنِ، وإنْ ترَكَها فالمبْلغُ للبائعِ. ويَجري مَجْرى البَيْعِ الإجارةُ؛ لأنَّها بَيْعُ المنافعِ.
ويُسْتثنى مِن البيوعِ كُلُّ ما يُشترَطُ لصِحَّتِه قبْضُ أحدِ البَدَلينِ في مَجلِسِ العقْدِ (السَّلَمُ)، أو قبْضُ البَدَلينِ (مُبادَلةُ الأموالِ الرِّبويَّةِ والصَّرْفُ)، ولا يَجْري في المُرابَحةِ للآمِرِ بالشِّراءِ في مَرحلةِ المواعَدةِ، ولكنْ يَجري في مَرحلةِ البَيْعِ التَّاليةِ للمُواعَدةِ.
2- يَجوزُ بَيْعُ العُرْبونِ إذا قُيِّدت فتْرةُ الانتظارِ بزَمنٍ مَحدودٍ، ويُحتسَبُ العُرْبونُ جُزءًا مِن الثَّمنِ إذا تمَّ الشِّراءُ، ويكونُ مِن حقِّ البائعِ إذا عدَلَ المشْتري عن الشِّراءِ...)
(Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan shalawat serta salam atas junjungan kita, Muhammad, penutup para nabi, beserta keluarga dan sahabatnya.
Bahwa Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang bersidang dalam konferensi kedelapannya di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam dari 1 hingga 7 Muharram 1414 H, bertepatan dengan 21 - 27 Juni 1993 M.
Setelah menelaah makalah-makalah yang disampaikan kepada majelis mengenai topik: "Jual Beli 'Urbun", dan setelah mendengarkan diskusi-diskusi yang berlangsung seputarnya, maka diputuskan sebagai berikut:
1] Yang dimaksud dengan jual beli 'urbun: adalah menjual barang dengan pembeli membayar sejumlah uang kepada penjual, dengan ketentuan jika ia mengambil barang tersebut, jumlah itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika ia membatalkannya, maka jumlah tersebut menjadi milik penjual. Sewa menyewa (penyewaan) diperlakukan sama dengan jual beli (penjualan), karena penyewaan adalah penjualan manfaat.
Dikecualikan dari transaksi jual beli, yaitu semua yang disyaratkan keabsahannya serah terima salah satu dari dua barang yang ditransaksikan di majelis akad (salam), atau serah terima kedua barang yang transasikan (pertukaran barang ribawi dan penukaran uang).
Dan tidak berlaku murabahah (mengambil keuntungan) bagi pemesan pembelian pada saat masih dalam tahap saling menjanjikan, tetapi berlaku pada tahap transkasi jual beli, sebagai kelanjutan dari saling janji tersebut.
2] Diperbolehkan jual beli 'urbun jika masa tunggu dibatasi dalam jangka waktu tertentu, dan 'urbun dihitung sebagai bagian dari harga jika pembelian dilakukan, dan menjadi hak penjual jika pembeli membatalkan pembelian.
(Majalah Majma’ al-Fiqhi al-Islami Internasional - Sidang Kedelapan) (1/793).
----
FATWA SYEIKH BIN BAZ :
Syeikh Bin Baz rahimahullah berkata:
(لا حَرَجَ في أخْذِ العُرْبونِ في أصحِّ قَولَي العُلَماءِ، إذا اتَّفَقَ البائعُ والمشْتري على ذلك، ولم يَتِمَّ البيعُ)
"Tidak ada masalah dalam mengambil 'urbun menurut pendapat ulama yang paling sahih, jika penjual dan pembeli sepakat tentang hal itu, lalu jual beli tidak jadi dilaksanakan." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz) (19/63) dan Fatawa lit Tujaar wa Rijaalil A’maal hal. 49].
----
FATWA SYEIKH AL-‘UTSAIMIN :
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
(فالقولُ الرَّاجحُ في هذه المسألةِ -وعليه عمَلُ النَّاسِ اليومَ-: أنَّ بَيْعَ العُرْبونِ لا بأْسَ به؛ لأنَّه مَصلَحةٌ للطَّرَفينِ، وليْس مِن بابِ الميْسِرِ؛ لأنَّ الميْسِرَ يكونُ فيه أحدُ الطَّرَفينِ إمَّا غانمًا وإمَّا غارمًا، أمَّا هذا فليْس فيه غُرمٌ؛ البائعُ رابحٌ؛ لأنَّه يقولُ: إنْ تمَّ البَيْعُ فلكَ، وإنْ لم يَتِمَّ فأنا قدْ رَبِحْتُ العُرْبونَ)
"Pendapat yang kuat dalam masalah ini -dan ini yang diamalkan oleh orang-orang saat ini-: bahwa jual beli 'urbun tidak masalah; karena ini memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bukan termasuk dalam perjudian; karena dalam perjudian, salah satu pihak akan menang atau kalah, sedangkan dalam hal ini tidak ada kerugian; penjual untung karena dia mengatakan: Jika jual beli selesai, maka itu milikmu, dan jika tidak selesai, maka saya telah mendapatkan keuntungan dari 'urbun." (Fath Dhi al-Jalal wal-Ikram) (3/561).
Dan Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:
بَيْعُ الْعُرْبُونِ الصَّحِيحُ أَنَّهُ جَائِزٌ، وَأَنَّهُ يَمْلِكُهُ الْبَائِعُ، مِثْلَ أَنْ تَقُولَ: اشْتَرَيْتُ مِنْكَ هَذِهِ السَّيَّارَةَ بِخَمْسِينَ أَلْفًا، وَهَذَا عَرْبُونٌ خَمْسَةَ آلاف، إِنْ تَمَّ الْبَيْعُ فَهُوَ أَوَّلُ الثَّمَنِ، وَإِنْ لَمْ يَتَمَّ الْبَيْعُ فَهُوَ لِلْبَائِعِ، وَهَذَا وَإِنْ كَانَ فِيهِ تَعْلِيقٌ لِلْبَيْعِ، فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ؛ لِأَنَّهُ مَصْلَحَةُ الطَّرَفَيْنِ، وَلِهَذَا جَاءَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحِيحُ هَذَا الْبَيْعِ، وَفِيهِ مَصْلَحَةٌ لِلْجَمِيعِ، أَمَّا مَصْلَحَةُ الْبَائِعِ فَظَاهِرٌ؛ لِأَنَّهُ سَيَأْتِيهِ دَرَاهِمُ وَسِلْعَتُهُ عِنْدَهُ، وَإِنَّمَا أَبْحَنَا لَهُ ذَلِكَ مَعَ أَنَّهُ لَمْ يُدْفَعْ عَوْضًا عَنْهُ؛ لِأَنَّ السَّلْعَةَ سَوْفَ تَنْقُصُ قِيمَتَهَا إِذَا عُلِمَ أَنَّهَا اشْتَرِيتَ وَرَغِبَ عَنْهَا، وَأَمَّا الْمُشْتَرِي فَإِنَّ مَصْلَحَتَهُ أَنَّهُ سَلِمَ مِنْ دَفْعِ جَمِيعِ الثَّمَنِ
"Jual beli ‘Arbun adalah shah, bahwa penjual memiliki haknya, seperti ketika Anda berkata:
'Saya membeli mobil ini dari Anda dengan harga lima puluh ribu, dan ini adalah uang muka lima ribu. Jika penjualan itu jadi, maka itu adalah bagian dari harga pertama. Dan jika tidak, maka itu tetap menjadi milik penjual.
Meskipun ada penundaan dalam penjualan, maka itu tidak mengganggu; karena jual beli Arbun ini menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, keshahihan jual beli ‘Arbun ini telah diamalkan oleh Umar radhiyallahu 'anhu. Dan Jual beli Arbun ini memberikan maslahat pada semua pihak. Adapun maslahat penjual, mak itu jelas; karena dia akan menerima uang dan barangnya tetap bersamanya.
Adapun kenapa kami membolehkannya meskipun tidak menghalangi ganti rugi, maka itu karena barang yang tidak jadi dibeli akan kehilangan nilai jika diketahui bahwa itu telah dibeli dan si pembeli membatalkannya. Sedangkan bagi pembeli, keuntungannya adalah dia akan bebas dari kewajiban membayar seluruh harga. (Silsilah Liqa al-Bab al-Maftuh, 90/13).
-----
FATWA AL-LAJNAH AD-DAIMAH SAUDI ARABIA :
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia ditetapkan :
(بيْعُ العُرْبونِ جائزٌ؛ وهو أنْ يَدفَعَ المشْتري للبائعِ أو وكيلِه مَبلغًا مِن المالِ أقلَّ مِن ثمَنِ المَبيعِ بعْدَ تَمامِ عقْدِ البيعِ؛ لضَمانِ المَبيعِ؛ لئلَّا يَأخُذَه غيرُه، على أنَّه إنْ أخَذَ السِّلعةَ احتُسِبَ به مِن الثَّمنِ، وإنْ لم يَأخُذْها فللبائعِ أخْذُه وتَملُّكُه، وبَيعُ العُرْبونِ صَحيحٌ، سواءٌ حدَّدَ وَقتًا لدفْعِ باقي الثَّمنِ أو لم يُحدِّدْ وقْتًا، وللبائعِ مُطالَبةُ المشْتري شَرْعًا بتَسليمِ الثَّمنِ بعْدَ تَمامِ البَيْعِ وقبْضِ المَبيعِ .
وَيَدُلُّ لِجَوَازِ الْعُرْبُونِ فِعْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي بَيْعِ الْعُرْبُونِ: لَا بَأْسَ بِهِ، وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ أَجَازَهُ، وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، وَابْنُ سِيرِينَ: لَا بَأْسَ بِهِ إِذَا كَرِهَ السِّلْعَةَ أَنْ يُرَدَّهَا، وَيَرُدَّ مَعَهَا شَيْئًا، أَمَّا الْحَدِيثُ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ: (نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُونِ) فَهُوَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ، ضَعَّفَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ، فَلَا يُحْتَجُّ بِهِ.
"Jual beli 'urbun diperbolehkan; yaitu pembeli membayar kepada penjual atau wakilnya sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang setelah akad jual beli selesai, untuk menjamin barang tersebut agar tidak diambil oleh orang lain, dengan ketentuan jika ia mengambil barang tersebut, jumlah itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika ia tidak mengambilnya, maka penjual boleh mengambil dan memilikinya.
Jual beli 'urbun sah, baik menetapkan waktu untuk pembayaran sisa harga atau tidak, dan penjual berhak menuntut pembeli secara syar'i untuk menyerahkan pelunasan harga setelah jual beli selesai dan barang diserahkan."
"Dan yang menunjukkan kebolehan akad 'urbun adalah perbuatan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Imam Ahmad berkata tentang jual beli 'urbun: Tidak mengapa dengannya. Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia membolehkannya. Sa'id bin Al-Musayyib dan Ibnu Sirin berkata: Tidak mengapa dengannya jika tidak menyukai barangnya, maka dia bisa mengembalikannya dan mengembalikan sesuatu bersamanya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa: (Beliau melarang jual beli 'urbun) adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan yang lainnya mendhaifkannya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah."
(Fatawa Lajnah Daimah - Jilid Pertama) (13/133).
-----
FATWA LAJNAH AL-IFTAA – YORDANIA :
Dalam disebutkan:
(المختارُ عندنا جَوازُ بَيْعِ العُرْبونِ، وأنَّ العُرْبونَ الَّذي يَدفَعُه المشْتري يكونُ جُزءًا مِن الثَّمنِ إنْ أمْضى البيعَ، وإلَّا فهو للبائعِ إنْ عدَلَ المشْتري عن الشِّراءِ، شَريطةَ أنْ يُحدَّدَ بفَترةٍ زَمنيَّةٍ يَتَّفِقُ عليها الطَّرَفانِ، وهذا مِن بابِ خِيارِ الشَّرطِ. واللهُ أعلَمُ)
"Pilihan yang kami ambil adalah membolehkan jual beli 'urbun, dan bahwa 'urbun yang telah dibayar oleh pembeli menjadi bagian dari harga jika jual beli dilanjutkan, jika tidak, maka 'urbun menjadi milik penjual jika pembeli membatalkan pembelian, dengan syarat ditentukan periode waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ini termasuk dalam kategori khiyar syarat. Wallaahu a’lam."
(Situs Resmi “Lajnah al-Iftaa” - Yordania, fatwa no. 2788, 04/04/2013 M )
Lihat pula : "Fathu Dzi al-Jalali wal-Ikrami" oleh Ibnu Utsaimin (3/561).
----
DALIL PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN :
Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut ini:
DALIL PERTAMA :
Apa yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab "al-Mushannaf", dia berkata: Telah memberitakan kepada kami al-Aslami dari Zaid bin Aslam, dia berkata:
«سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عن الْعُرْبَانِ في الْبَيْعِ فَأَحَلَّهُ».
قُلتُ: لِزَيْدٍ: ما الْعُرْبَانُ؟ قال: هُوَ الرَّجُلُ يَشْتَرِي السِّلْعَةَ فَيَقُولُ إِنْ أَخَذْتُهَا وَإِلَّا رَدَدْتُهَا وَرَدَدْتُ مَعَهَا دِرْهَمًا،
"Rasulullah ﷺditanya tentang 'urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau membolehkannya."
Aku bertanya kepada Zaid: "Apa itu 'urban?" Dia menjawab: "Itu adalah ketika seseorang membeli barang lalu berkata: Jika saya mengambilnya, maka (barang itu) milik saya. Jika tidak, maka saya mengembalikannya dan mengembalikan bersama dengan satu dirham."
Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badrul Munir 6/526 :
فَفِي إِسْنَاده مَعَ الْأَسْلَمِيّ الْإِرْسَال
“Ini adalah hadis mursal dan dalam sanadnya ada as-Sulami”.
Ibnu Arafah at-Tuunisy berkata :
قُلتُ: هُوَ مَرْمِيٌّ بِالْكَذِبِ، وَبَيْعُ الْعُرْبَانِ فَسَّرَهُ فِي الْمُوَطَّأِ بِإِعْطَاءِ الْمُبْتَاعِ الْبَائِعَ أَوِ الْمُكْرِيَ دِرْهَمًا أَوْ دِينَارًا عَلَى إِنْ أَخَذَ الْمَبِيعَ فَهُوَ مِنَ الثَّمَنِ وَإِلَّا بَقِيَ لِلْبَائِعِ
Aku berkata: "Dia dituduh berdusta, dan jual beli 'urban dijelaskan dalam "al-Muwatta'" sebagai pembeli memberikan penjual atau penyewa satu dirham atau satu dinar. Jika dia mengambil barang yang dijual, maka itu termasuk dalam harga, jika tidak, tetap menjadi milik penjual." [ Lihat : al-Mukhtashar al-Fiqhi karya Ibnu Arafah 5/327].
Dan asy-Syawkani berkata :
وَهُوَ مُرْسَلٌ، وَفِي إسْنَادِهِ إبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي يَحْيَى وَهُوَ ضَعِيفٌ
Hadis mursal dan dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Abi Yahya yang lemah (Nailul Authar: 153/5).
DALIL KE DUA :
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam musannafnya (5/392), dan disebutkan oleh al-Bukhari (al-Fath 5/91) secara mu’allaq (tanpa sanad), dan diriwayatkan pula oleh al-Atsram dalam sunannya, melalui jalur Ibnu 'Uyainah dari 'Amr - yang merupakan Ibnu Dinar - dari 'Abdul Rahman bin Faruq :
أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ اشْتَرَى دَارًا لِلسِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ بِأَرْبَعَةِ آلافٍ دِرْهَمٍ، فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ فَالْبَيْعُ لَهُ، وَإِنْ عُمَرُ لَمْ يَرْضَ فَأَرْبَعُمَائَةٍ لِصَفْوَانَ.
"Bahwa Nafi' bin 'Abdul Harits membeli sebuah rumah untuk dijadikan penjara dari Safwan bin Umayyah dengan harga empat ribu dirham, (dengan perjanjian) : jika Umar merestuinya maka penjualan itu untuknya, jika Umar tidak merestui maka empat ratus dirham untuk Safwan."
Juga diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam musannafnya (5/147,148), al-Baihaqi dalam sunannya (6/34), al-Azraqi dalam akhbar Makkah (2/165), dan al-Faqihi dalam akhbar Makkah (3/254), semuanya dari jalur Sufyan bin 'Uyainah.
Dalam sanadnya terdapat 'Abdul Rahman bin Faruq al-'Adawi adalah mawla mereka.
Al-Hafizh dalam at-Taqrib mengatakan pada halaman 348:
مَقْبُولٌ، مِنَ الثَّالِثَةِ، وَلَمْ يُصَرِّحِ الْبُخَارِيُّ بِذِكْرِهِ. ا.هـ
"Maqbul, dari thobaqat tiga, tetapi al-Bukhari tidak secara eksplisit menyebutkannya."
Dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Tsiqot-nya (7/87).
Adz-Dzahabi dalam kiab Mizan-nya (2/582) tetapi tidak ada komentar tentang dirinya .
Imam Muslim menyebutkannya dalam kitab al-Wihdan pada hal. 117 dari mereka yang khususnya meriwayatkan dari 'Amr bin Dinar.
Dan al-Bukhari tidak menambahkan kata apapun dalam kitab Tarikh-nya (5/337) kecuali bahwa Abdul Rahman bin Faruq adalah mawla Umar bin Khattab dari ayahnya.
Al-Albani dalam Mukhtashar al-Bukhari (2/137) mengatakan:
إِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنَ هَذَا أَشَارَ الذَّهْبِيُّ إِلَى أَنَّهُ مَجْهُولٌ، لَمْ يَرْوِ عَنْهُ غَيْرُ عَمْرُو بْنُ دِيْنَارٍ.
"Sungguh, Abdul Rahman ini adalah yang diindikasikan oleh adz-Dzahabi sebagai perawi yang majhul [tidak dikenal], hanya diriwayatkan dari 'Amr bin Dinar."
Dan disebutkan oleh al-Hafiz dalam al-Fath (5/91,92) :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ شَبَّةَ رَوَاهُ فِي أَخْبَارِ مَكَّةَ مِنْ طَرِيقِ ابْنِ جُرَيْجٍ: "أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ..." فَذَكَرَهُ،
“bahwa Umar bin Syabah meriwayatkannya dalam akhbar Makkah melalui jalur Ibnu Juraij: Bahwa Nafi' bin 'Abdul Harits..." kemudian dia menyebutkannya”.
Dia tidak menyebutkan Abdul Rahman, dan yang benar adalah bahwa Ibnu Juraij juga meriwayatkannya dari Abdul Rahman, seperti yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam Musannafnya (5/147,148).
Meskipun begitu, tampaknya bagi penulis -wallaahu a’lam- adalah sbb :
“Bahwa riwayat ini termasuk yang dapat dijadikan dalil, terutama karena Amr bin Dinar yang sering memberi fatwa dan menggunakan riwayat ini sebagai dalil, begitu juga dengan Imam Ahmad yang menggunakannya sebagai dalil. Dia menyebutkannya dalam konteks menunjukkan kebolehan jual beli ‘Urbun seperti yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan asy-Syarah al-Kabir (4/59) yang mengatakan:
قَالَا: قَالَ الْأَثْرَمُ: قُلْتُ لِأَحْمَدَ: تَذْهَبُ إِلَيْهِ؟ قَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَقُولُ؟ هَذَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. وَذَكَرَ الْأَثْرَمُ هَذَا الْحَدِيثَ بِإِسْنَادِهِ.
"Athram berkata kepada Ahmad: Apakah kamu akan pergi kepadanya?" Ahmad menjawab: "Ada yang perlu kukatakan? Ini adalah Umar, semoga Allah meridhai dia." Dan Athram meriwayatkan hadis ini dengan sanadnya.
Ibnu al-Qayyim juga meriwayatkannya dalam Bada'i al-Fawa'id (4/84).
Yang memperkuat hadis ini juga adalah bahwa cerita tentang pembelian rumah penjara oleh Umar bin Khattab di Makkah dari Safwan bin Umayyah telah dikenal di kalangan ulama dan juga di antara para sejarawan Makkah, seperti az-Zurqani, al-Faqihi, dan Ibnu Syabah. Bahkan cerita ini ada di zaman al-Faqihi dan penjara Makkah masih ada. Silahkan dimuroja’ah kembali !!! Wallaahu a’lam.
----
KESIMPULAN PENDAPAT PERTAMA :
Atas dasar yang disebutkan diatas maka sah-sah saja si penjual mengambil deposit tanda jadi dalam keadaan berikut ini:
Pertama : Adanya syarat di antara keduanya, karena kaum muslimin bermuamalah atas dasar syarat-syarat yang sudah mereka sepakati bersama.
Kedua : Bahwa si pembeli, selama masa khiyar telah menghabiskan kesempatan si penjual untuk melakukan jual beli (dengan pihak lain), karena menunggu (keputusan si pembeli).
Ketiga : Jual beli seperti ini termasuk jual beli yang sudah lama dikenal manusia, di mana mereka biasa melakukan jual beli dengan cara menahan barang terlebih dahulu dan tidak langsung melakukan transaksi jual beli sampai si pembeli kembali dan memastikannya.
======
PENDAPAT KEDUA : HARAM HUKUMNYA :
Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama dari Madzhab Hanafi, Mdzhab Maliki dan Madzhab Syafi'i. Dan mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut:
DALIL PERTAMA :
Hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
Rasulullah ﷺ melarang jual beli 'urban.
Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwatha' (2/609), Abu Dawud (3502), Ibnu Majah (2192), Ahmad (11/12 tahqiq Syaakir) dan lainnya.
TANGGAPAN DARI PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN :
Para ulama dari pendapat pertama, yang berpendapat boleh dan mubah hukumnya transaksi jual beli Urbun ( Dp Hangus jika batal beli), mereka memberikan tanggapan dengan mengatakan :
Hadis diatas yang melarang jual beli ‘Urbun adalah hadits dho’if [lemah] ; karena ada perawi yang tidak diketahui akan ke-tsiqoh-an nya, yang meriwayatkannya dari Imam Malik, yang terkenal melalui jalur Ibnu Lahi'ah.
Imam Ahmad telah melemahkan hadis ini dengan berkata ketika ditanya tentangnya:
لَيْسَ بِشَيْءٍ.
"Tidak ada apa-apanya."
Ibnu al-Qoyyim meriwayatkannya dalam Bada'i al-Fawa'id (4/84).
Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan tentangnya:
"فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمَّ، وَسُمِّيَ فِي رِوَايَةٍ لِابْنِ مَاجَهْ ضَعِيفَةٍ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَامِرٍ الْأَسْلَمِيُّ، وَقِيلَ هُوَ ابْنُ لَهِيعَةَ، وَهُمَا ضَعِيفَانِ"
"Di dalamnya ada seorang perawi yang tidak disebutkan namanya, dan disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah yang lemah perawi yang bernama Abdullah bin 'Amir al-Aslami. Dan ada yang mengatakan pula bahwa dia adalah Ibnu Lahi'ah, dan keduanya lemah." ("At-Talkhis al-Khabir" 3/44).
Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini Munqa-thi’.” [ Yakni : hadits yang terputus karena hilangnya seorang perawi atau dua perawi dalam sebuah sanad selain dari Sahabat dan Tabi’in]
Al-Baihaqi telah menilainya dho’if dalam (al-Ma'rifah 4/380). Begitu juga an-Nawawi dalam al-Majmu' (9/335). Al-Mundziri dalam Mukhtashar al-Sunan (Aun 9/399). Ibnu Hajar dalam at-Talkhis (3/17). Dan al-Albani dalam Dha'if al-Jami' al-Saghir (6073), dan dalam al-Misykat (2864).
Kecuali al-Zurqani maka dia berusaha memperkuatnya dengan sejumlah jalur-jalur dalam Syarah al-Muwatta (3/250), dan begitu pula al-Syaukani dalam al-Nil (5/153).
Namun yang lebih mendekati kebenaran – wallahu ‘alam - adalah lemahnya hadits larang Arbun , dan bahwa hadis ini tidak layak digunakan sebagai dalil, terutama karena hadits ini beredar terhadap yang mubham (samar), dan setiap orang yang disebutkan oleh ahli ilmu bahwa isu ini samar, maka entah itu hadisnya lemah, atau jalurnya tidak shahih, maka perhatikanlah!.
**PERHATIAN:**
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Irsyad al-Faqih bahwa Abu Mus'ab al-Zuhri meriwayatkan hadis larangan jual beli ‘Urbun dari Imam Malik, yang diberitahu oleh Rabi' dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya. Kemudian dia menyebutkannya, dan berkata: Ini adalah sanad yang baik, maka silahkan di muroja’ah kembali !.
Kemudian penulis memeriksa Al-Muwatha' riwayat Abu Mush'ab al-Zuhri (2/305) dan menemukannya dari Malik dari orang yang tsiqot (terpercaya) menurutnya, sebagaimana dalam riwayat lainnya.
Namun Ibnu Abdul Barr tidak menyebutkan bahwa Abu Mus'ab meriwayatkannya dari Malik melalui gurunya Rabi'ah, begitu juga yang lain dari kalangan para pakar hadits dan para imam yang membahas sanad hadis ini, kecuali Ibnu Katsir, maka periksalah dengan cermat !.
Lihat kitab At-Tamhid (24/176), Bada'i al-Fawa'id (4/84), Al-Bidayah (7/293), Al-Ifshah (1/361), Ar-Raudhah an-Nadiyah (2/94), Al-Inshaf (4/357), Syarh az-Zarqani 'ala al-Muwatta' (3/250), Ar-Raudhah ma'al Hashiyah (4/407), Al-Furu' (4/61), Asy-Syarh al-Kabir (4/58), Al-Musawa (2/33), Tafsir al-Qurtubi (5/150), Al-Majmu' (9/334), Ad-Durar as-Saniyyah (6/40), Tawdhih al-Ahkam (3/455), Hujjatullah al-Balighah (2/197), Rahmat al-Ummah (141), Fiqh as-Sunnah (3/261), Nail al-Awtar (5/153), I'lam al-Muwaqqi'in (3/339)].
DALIL KEDUA :
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ
Tidak halal melakukan jual beli dengan cara menyatukan dua akad, pinjaman dan jual beli, dan tidak pula dua syarat dalam satu akad jual beli.
[HR. Imam Ahmad no. 6671, Abu Dawud (3504), At-Tirmidzi (1234) dengan lafazh yang sama, dan An-Nasa'i (4611, 4630) secara terpisah.
Abu Isa al-Tirmidzy berkata : “Hadits ini hasan shahih.
Di hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Hidayatur Ruwaah 3/166 dan di shahihkan al-Albaani dalam shahih an-Nasaa’i no. 4645].
Asy-Syaukani berkata:
فَاشْتَمَلَ الْعَرَبُوْنَ عَلَى شَرْطَيْنِ فَاسِدَيْنِ.
Jual beli 'urbun mencakup dua syarat yang merusak akad .
[Di Kutip dari Arsyif Multaqa Ahlul-Hadits / al-Maktabah asy-Syaamilah al-Haditsah 108/454].
Muhammad Shiddiq Khon al-Qinnuuji berkata :
فِي "الْمِنْهَاجِ" : وَلَا يَصْحُ بَيْعُ الْعُرْبُونِ؛ بِأَنْ يَشْتَرِيَ وَيُعْطِيَهُ دَرَاهِمَ لِتَكُونَ مِنَ الثَّمَنِ إِنْ رَضِيَ السَّلْعَةُ؛ وَإِلَّا فَهِيَ هِبَةٌ.
قَالَ فِي "الْمُحَلَّى": وَعَدَمُ صِحَّتِهِ لَاشِتِمَالِهِ عَلَى شَرْطِ الرَّدِّ، وَالْهِبَةِ إِنْ لَمْ يَرْضَ السَّلْعَةُ". انْتَهَى.
Dalam "Al-Minhaj": Tidak sah jual beli 'urbun dengan cara seseorang membeli barang dan memberikan uang kepada penjual dengan harapan bahwa uang itu akan menjadi bagian dari harga jika barang tersebut disetujui. Jika tidak disetujui, maka uang tersebut dianggap sebagai hibah.
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla berkata: Ketidak shahihannya karena mencakup syarat pengembalian dan hibah jika tidak puas dengan barangnya. [ Baca : ad-Duror al-Bahiyyah 2/360].
TANGGAPAN DARI PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN :
Yang benar bahwa makna kalimat hadits : “لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ / "Tidak halal menjual dan meminjamkan “ adalah sbb :
Abu Isa al-Tirmidzy berkata : Ishaq bin Manshur berkata ; Aku bertanya kepada Ahmad; Apa yang dimaksud beliau melarang salaf dan jual beli?
Beliau menjawab : Seseorang meminjamkan uang lalu menjual kepada si peminjam barang karena pinjaman dengan harga lebih (jika tidak ada penjaman maka tidak ada penjualan) .
Dan mungkin juga (maknanya) : Seorang pembeli meminjamkan uang pada si penjual untuk membeli barang darinya , maka si pembeli berkata ; Jika barang tersebut belum tersedia pada mu maka barang itu aku jual padamu (sehingga si peminjam membayar lebih mahal atas pinjaman uang untuk pembelian barang tsb ). ( Baca : Sunan Al-Tirmidzi syarah hadits no. (1234)).
Penyebab larangannya ( علة المنع ) adalah :
إنه ذريعة للربا، فيبيع الرجل متاعه بأقل من قيمته بشرط أن يقرضه المشتري، أو يبيعه بأكثر من قيمته ، بشرط أن يقرضه هو، فيكون ذلك حيلة على قرض جر نفعا
Itu karena dalih untuk riba ( pencegahan dari Riba ) . Agar tidak terjadi adanya seseorang menjual barangnya kurang dari harga yang sebenarnya , asalkan si pembeli mau meminjamkannya uang pada si penjual . Atau menjualnya lebih dari harganya, asalkan si penjual meminjamkan uang pada si pembeli . Maka ini adalah tipu muslihat pinjaman yang membawa manfaat keuntungan “قرض جر نفعا” .
Al-Khoththoobi berkata dalam “معالم السنن”(3/141):
" وذلك مثل أن يقول له: أبيعك هذا العبد بخمسين دينارا، على أن تسلفني ألف درهم، في متاع أبيعه منك إلى أجل، أو يقول: أبيعكه بكذا، على أن تقرضني ألف درهم، ويكون معنى السلف: القرض، وذلك فاسد؛ لأنه إنما يقرضه على أن يحابيه في الثمن فيدخل الثمن في حد الجهالة، ولأن كل قرض جَرَّ منفعة فهو ربا"
“Ini seperti ketika dia berkata kepada seseorang : Saya akan menjual hamba ini kepada Anda seharga lima puluh dinar, dengan syarat Anda meminjamkan saya seribu dirham, dalam bentuk barang yang akan saya beli dari Anda dibayar dalam jangka waktu tertentu.
Atau dia berkata: Saya akan menjualnya dengan harga ini, dengan syarat Anda meminjamkan saya seribu dirham.
Dan arti ( السلف ) di sini adalah : ( القرض / pinjaman ) , dan itu adalah transaksi yang faasid / tidak sah , karena dia itu hanya mau meminjamkan nya secara pilih kasih , yaitu dengan mensyaratkan agar dia meninggikan harga pembelian darinya , maka harga tsb termasuk dalam batas ketidak jelasan. Dan karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat, maka ia adalah riba.” ( Akhir kutipan dari Ma'alim al-Sunan (3/141)).
Hukum Syariah melarang itu ; karena untuk mencegah terjadinya riba ( سدا لذريعة الربا ). Karena jika pemberi pinjaman adalah penjual, maka ia dapat menaikkan harga, sebagai imbalan pinjamannya. Jika dia adalah pembeli, maka dia membeli barang tsb dengan harga murah , sebagai imbalan atas pinjaman untuknya.
Dan jika benar-benar terjadi adanya pilih kasih harga ( المحاباة ) yang disebabkan hutang piutang, maka itu adalah riba. Dan jika tidak terjadi adanya ( المحاباة ), maka itu tetap diharamkan melakukan transaksi tsb ; karena untuk mencegah terjadinya riba ( سدا لذريعة الربا ).
DALIL KETIGA :
Firman Allah Ta'ala:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
" Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. ..." (QS. An-Nisa: 29)
Al-Imam al-Qurtubi berkata dalam tafsirnya (5/150):
وَمِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ بَيْعُ الْعُرْبَانِ.. فَهَذَا لَا يُصَلِّحُ، وَلَا يَجُوزُ عِنْدَ جَمَاعَةِ فُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ، مِنَ الْحِجَازِيِّينَ، وَالْعِرَاقِيِّينَ، لِأَنَّهُ مِنْ بَابِ بَيْعِ الْقِمَارِ، وَالْغَرْرِ، وَالْمُخَاطَرَةِ، وَأَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ، بِغَيْرِ عَوْضٍ وَلَا هِبَةٍ، وَذَلِكَ بَاطِلٌ بِالْإِجْمَاعِ. ا.ه
Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil adalah jual beli 'urban... Ini tidak sah dan tidak boleh menurut mayoritas ahli fikih dari kalangan Hijaz dan Irak, karena termasuk dalam jual beli yang mengandung unsur perjudian, gharar, spekulasi, dan memakan harta dengan jalan yang batil, tanpa ada ganti rugi dan tanpa hibah. Hal ini batil berdasarkan ijma'."
DALIL KEEMPAT :
Bahwa dalam jual beli ‘Urbun memiliki makna al-Maysir [JUDI], seperti yang dikatakan oleh Dahlawi dalam kitabnya al-Hujjah. Mungkin hal itu bisa dikembalikan kepada apa yang disebutkan sebelumnya.
DALIL KELIMA :
Ibnu Quddaamah mengutip hujjah mereka :
أَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الْخِيَارِ الْمَجْهُولِ، فَإِنَّهُ اشْتَرَطَ أَنْ لَهُ رَدَّ الْمَبِيعِ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ مَدَّةٍ، كَمَا لَوْ قَالَ: "وَلِي الْخِيَارِ، مَتَى شِئْتَ رَدَدْتَ السِّلْعَةَ وَمَعَهَا دِرْهَمٌ".
وَقَالُوا: "وَلَا يَصْحُ أَنْ يَكُونَ الْعَرْبُونُ مُسْتَحِقًّا لِلْبَائِعِ كَعِوَضٍ عَنْ انْتِظَارِهِ، وَتَأْخِرِ بَيْعِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَوْضًا عَنْ ذَلِكَ لَمَا جَازَ جَعَلَهُ مِنَ الثَّمَنِ فِي حَالِ الشِّرَاءِ، وَلِأَنَّ الْانْتِظَارَ بِالْبَيْعِ لَا تَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَنْهُ، وَلَوْ جَازَتْ لَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا الْمُقَدَّارُ، كَمَا فِي الْإِجَارَةِ.
Bahwa uang ‘Urbun (Deposit) berada dalam kedudukan khiyar majhul ( memberikan tempo pilihan yang tidak jelas batas waktunya), karena dia mensyaratkan bahwa dia memiliki hak untuk mengembalikan barang tanpa menyebutkan waktu, seperti jika dia berkata:
"Pilihan keputusan ada padaku, kapan pun aku mau aku boleh mengembalikan barang dan bersamanya ada satu dirham."
Dan mereka berkata: "Tidak sah jika uang ‘Urbun (Deposit) dianggap sebagai hak bagi penjual sebagai pengganti rugi, dan penundaan penjualannya, karena jika itu adalah penggantinya, maka tidak akan diizinkan untuk menjadikannya sebagai bagian dari harga saat pembelian, dan karena menunggu dalam penjualan tidak memperbolehkan saling memberi ganti rugi atasnya, dan jika diperbolehkan, maka wajib untuk mengetahui jumlahnya, seperti dalam sewa." (al-Syarah al-Kabir 3/59).
TANGGAPAN DAN BANTAHAN TERHADAP DALIL-DALIL DIATAS :
Untuk menjawab tentang dalil-dalil larangan jual beli ‘Urbun menurut mereka yang mengharamkannya, yaitu memakan harta orang lain dengan cara yang batil. dan bahwa itu termasuk perjudian, dan bahwa di dalamnya terdapat unsur ketidakjelasan dan ketidakpastian, dan lain sebagainya, di sini penulis kutip perkataan beberapa fatwa para ulama kontemporer.
Pertama : fatwa Syeikh al-Utsiamin :
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, dalam Syarh Bulugh al-Maram hal. 100 mengatakan:
"الجَهَالَةُ في بَيْعِ العَرَبُونِ لَيْسَتْ جَهَالَةَ مَيْسِرٍ، لِأَنَّ جَهَالَةَ المَيْسِرِ يَكُونُ فِيهِ المُتَعَامِلَانِ بَيْنَ الغُنْمِ وَالغُرْمِ، أَمَّا هَذِهِ فَإِنَّ البَائِعَ لَيْسَ بِغَارِمٍ، بَلِ البَائِعُ غَانِمٌ، وَغَايَةُ مَا هُنَالِكَ أَنْ تُرَدَّ إِلَيْهِ سِلْعَتُهُ، وَمِنَ المَعْلُومِ أَنَّ المُشْتَرِيَ لَوْ شَرَطَ الخِيَارَ لِنَفْسِهِ مُدَّةَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا، وَبَيْعُ العَرَبُونِ يُشْبِهُ شَرْطَ الخِيَارِ، إِلَّا أَنَّهُ يُعْطَى لِلْبَائِعِ جُزْءًا مِنَ الثَّمَنِ إِذَا رُدَّ إِلَيْهِ السِّلْعَةُ، لِأَنَّ قِيمَتَهَا قَدْ تَنْقُصُ إِذَا عَلِمَ النَّاسُ بِهَذَا، وَلَوْ عَلَى سَبِيلِ التَّقْدِيمِ، فَفِيهِ مَصْلَحَةٌ.
وَفِيهِ أَيْضًا مَصْلَحَةٌ لِلْبَائِعِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، أَنَّ المُشْتَرِيَ إِذَا سَلَّمَ العَرَبُونَ فَإِنَّ فِي هَذَا دَافِعًا لِتَتْمِيمِ البَيْعَةِ.
وَفِيهِ كَذَلِكَ مَصْلَحَةٌ لِلْمُشْتَرِي، لِأَنَّهُ يَكُونُ بِالخِيَارِ فِي رَدِّ السِّلْعَةِ إِذَا دَفَعَ العَرَبُونَ، بَيْنَمَا لَوْ لَمْ يَدْفَعْهُ لَزِمَهُ البَيْعُ." ا.هـ مُخْتَصَرًا.
"Ketidakjelasan [الجَهَالَةُ] dalam jual beli ‘Urbun bukanlah ketidakjelasan perjudian, karena ketidakjelasan perjudian terdapat pada dua pihak yang terlibat yang berada antara untung dan rugi, sementara dalam kasus ini penjual tidak merugi, tetapi penjual diuntungkan. Pada akhirnya, barangnya akan dikembalikan kepadanya, dan diketahui bahwa jika pembeli mensyaratkan opsi [الخِيَارُ] untuk dirinya selama satu atau dua hari, maka hal itu diperbolehkan. Jual beli ‘Urbun mirip dengan syarat opsi [شَرْطُ الخِيَارِ], hanya saja penjual menerima sebagian dari harga jika barang dikembalikan kepadanya, karena nilainya bisa berkurang jika orang-orang mengetahui hal ini, meskipun sebagai bentuk pendahuluan, maka ada manfaat di dalamnya.
Ada juga maslahat bagi penjual dari sudut pandang lain, bahwa jika pembeli menyerahkan ‘Urbun, maka ini menjadi dorongan untuk menyelesaikan penjualan.
Ada juga maslahat bagi pembeli, karena dia memiliki opsi untuk mengembalikan barang jika dia menyerahkan ‘Urbun, sementara jika tidak menyerahkannya, maka penjualan itu wajib atas dirinya." [Ringkasnya, demikian].
Dan penulis katakan pula :
Dan juga yang menunjukkan bahwa ada maslahat dan manfaat yang lebih besar dalam jual beli ‘Urbun ini adalah :
Jika tidak disyaratkannya ‘Urbun maka dapat menyebabkan perselisihan dan mafsadat yang besar, terutama dalam istishna' [الاسْتِصْنَاعُ = pesanan produksi barang], di mana pekerja membuatkan barang sesuai keinginan pembeli. Dengan adanya ‘Urbun', pekerja dijamin bahwa pembeli akan mengambil barangnya, dan pembeli dijamin bahwa pekerja tidak akan menipunya, dengan menjual barangnya kepada orang lain, atau melarikan diri darinya, atau mengulur waktu jika pembeli telah membayar penuh.
Dan dalam hal jika tidak membayar jumlah yang disepakati, maka ‘Urbun' menjadi pengaman dalam banyak transaksi perdagangan, meskipun bukan pada semua transaksi.
Diketahui bahwa syariat Islam yang bijaksana sangat memperhatikan hal-hal seperti ini yang mencegah terjadinya kebencian, permusuhan, dan penipuan dalam transaksi antara sesama Muslim. Dan praktik Arbun ini telah berlangsung lama di antara manusia.
Kedua : fatwa Majma’ al-Fiqhi al-Islami :
Al-Majma’ al-Fiqhi (Majelis Fiqh) yang diadakan dalam sesi kedelapan dari 1 hingga 7 Muharram 1414 H menyatakan hal-hal berikut:
1- المرادُ ببَيعِ العُرْبونِ: بَيْعُ السِّلعةِ مع دفْعِ المشْتري مَبلغًا مِن المالِ إلى البائعِ، على أنَّه إنْ أخَذَ السِّلعةَ احتُسِبَ المبلَغُ مِن الثَّمنِ، وإنْ ترَكَها فالمبْلغُ للبائعِ. ويَجري مَجْرى البَيْعِ الإجارةُ؛ لأنَّها بَيْعُ المنافعِ.
ويُسْتثنى مِن البيوعِ كُلُّ ما يُشترَطُ لصِحَّتِه قبْضُ أحدِ البَدَلينِ في مَجلِسِ العقْدِ (السَّلَمُ)، أو قبْضُ البَدَلينِ (مُبادَلةُ الأموالِ الرِّبويَّةِ والصَّرْفُ)، ولا يَجْري في المُرابَحةِ للآمِرِ بالشِّراءِ في مَرحلةِ المواعَدةِ، ولكنْ يَجري في مَرحلةِ البَيْعِ التَّاليةِ للمُواعَدةِ.
2- يَجوزُ بَيْعُ العُرْبونِ إذا قُيِّدت فتْرةُ الانتظارِ بزَمنٍ مَحدودٍ، ويُحتسَبُ العُرْبونُ جُزءًا مِن الثَّمنِ إذا تمَّ الشِّراءُ، ويكونُ مِن حقِّ البائعِ إذا عدَلَ المشْتري عن الشِّراءِ...)
1] Yang dimaksud dengan jual beli 'urbun: adalah menjual barang dengan pembeli membayar sejumlah uang kepada penjual, dengan ketentuan jika ia mengambil barang tersebut, jumlah itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika ia membatalkannya, maka jumlah tersebut menjadi milik penjual. Sewa menyewa (penyewaan) diperlakukan sama dengan jual beli (penjualan), karena penyewaan adalah penjualan manfaat.
Dikecualikan dari transaksi jual beli, yaitu semua yang disyaratkan keabsahannya serah terima salah satu dari dua barang yang ditransaksikan di majelis akad (salam), atau serah terima kedua barang yang transasikan (pertukaran barang ribawi dan penukaran uang).
Dan tidak berlaku murabahah (mengambil keuntungan) bagi pemesan pembelian pada saat masih dalam tahap saling menjanjikan, tetapi berlaku pada tahap transkasi jual beli, sebagai kelanjutan dari saling janji tersebut.
2] Diperbolehkan jual beli 'urbun jika masa tunggu dibatasi dalam jangka waktu tertentu, dan 'urbun dihitung sebagai bagian dari harga jika pembelian dilakukan, dan menjadi hak penjual jika pembeli membatalkan pembelian.
(Majalah Majma’ al-Fiqhi al-Islami Internasional - Sidang Kedelapan) (1/793).
Ketiga : Fatwa Syeikh as-Sanhuri :
Syaikh as-Sanhuri berkata dalam kitabnya "Mashadir al-Haqq":
إنَّ العَرْبونَ لَمْ يُشْتَرَطْ لِلْبائِعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ، إِذِ العِوَضُ هُوَ الاِنْتِظارُ بِالْمَبيعِ، وَتَوْقِيفُ السِّلْعَةِ حَتَّى يَخْتارَ المُشْتَري، وَتَفْوِيتُ فُرْصَةِ البَيْعِ مِنْ شَخْصٍ آخَرَ لِمُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، وَلَيْسَ بَيْعُ العَرْبونِ بِمَنْزِلَةِ الخِيارِ المَجْهُولِ، إِذِ المُشْتَري إِنَّما يَشْتَرِطُ خِيارَ الرُّجوعِ في البَيْعِ، فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ فِيها مَضَتِ الصَّفْقَةُ وَانْقَطَعَ الخِيارُ. ا.هـ
"Bahwa uang muka (‘Urbun) tidak disyaratkan bagi penjual tanpa ganti rugi (uang resiko), karena ganti rugi adalah resiko menunggu barang yang dijual, menahan barang sampai pembeli memutuskan, dan dia kehilangan kesempatan menjual kepada orang lain untuk jangka waktu tertentu. Penjualan dengan uang muka tidak sama dengan opsi yang tidak jelas [الخِيارِ المَجْهُولِ]; karena pembeli hanya mensyaratkan hak untuk menarik kembali transaksi jual beli. Jika dia tidak menariknya kembali, maka transaksi tersebut tetap berlaku dan hak pilih [الخِيارُ] tersebut hilang." Selesai. [ Lihat : al-Maktabah asy-Syaamilah al-Haditsah 15/395].
Penulis katakan : Yang lebih dekat pada yang benar -wallahu a’lam - adalah diperbolehkan, berdasarkan pandangan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dan karena lemahnya hadis yang melarangnya.
Namun, jika seorang muslim berhati-hati terhadap agamanya, dan mencari keselamatan untuk dirinya, dan menghindari berurusan dengan uang muka, maka itu lebih baik sebagai bentuk kehati-hatian dari hal-hal yang syubhat, wallahu a’lam.
Keempat : Pernyataan Imam an-Nawawi dan Ibnu Quddaamh :
Al-Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam Al-Majmu' (9/335), dan Syamsuddin bin Qudamah dalam Syarh al-Muqni' (4/59), satu bentuk yang diperbolehkan dari jenis transaski jual beli ‘Urbun (uang muka) — menurut mereka yang menganggap Jual Beli ‘Urbun itu haram — yaitu :
Jika dia memberikan satu dirham sebelum transaksi jual beli, dan berkata:
لا تَبِعْ هذِهِ السِّلْعَةَ لِغَيْري، وَإِنْ لَمْ أَشْتَرِها مِنْكَ فَهذَا الدِّرْهَمُ لَكَ، ثُمَّ اشْتَرى مِنْهُ بَعْدَ ذلِكَ بِعَقْدٍ مُبْتَدَأٍ، وَحَسَبَ الدِّرْهَمَ مِنَ الثَّمَنِ، قالوا: فَيَصِحُّ البَيْعُ؛ لأَنَّهُ خَلا مِنَ الشَّرْطِ المُفْسِدِ.
"Jangan kau jual barang ini kepada orang lain, dan jika saya tidak membelinya dari Anda, maka dirham ini menjadi milik Anda," kemudian dia membelinya setelah itu dengan akad baru, dan menghitung dirham tersebut sebagai bagian dari harga. Mereka berkata: Transaksi jual beli ini sah karena tidak mengandung syarat yang merusak”.
Maka mazhab Syafi'i mensyaratkan ucapan ini sebelum akad, dan tidak mengucapkannya saat akad. Jika tidak, maka akad tersebut batal.
FATWA Syeikh ABDULAH BIN JABRIN rahimahullah
Sementara Syaikh Abdulah bin Jabrin rahimahullah pernah di tanya :
Apa hukum mengembalikan uang muka jika penjualan belum terjadi?
Beliau menjawab:
إذَا كَانَ لَهُمَا الْخَيَارُ أَوْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَإِنَّهُ يَرُدُّ مَا قَبَضَهُ مِمَّا يُسَمَّى عَرْبُونًا أَوْ مُقَدَّمَةَ ثَمَنٍ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْبَيْعُ لَازِمًا لَيْسَ فِيهِ خِيَارٌ، فَإِنَّهُمَا يَصْطَلِحَانِ عَلَى أَنْ يَقُولَ: أَقِيلُكَ الْبَيْعَ، وَلَكِنَّ الثَّمَنَ الَّذِي أَتَانِي لَيَّ، أَوْ أَجْرَةَ الْعَقَارِ، فَيَتَّفِقَانِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْبَيْعَ قَدْ لَزِمَ، أَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا، بَلْ فِيهِ خِيَارٌ، فَإِنَّهُ يَرُدُّ الثَّمَنَ كُلَّهُ بِمَا فِيهِ الْعَرْبُونُ.
Jika keduanya atau salah satu dari keduanya memiliki hak al-Khiyaar [pilihan], maka dia harus mengembalikan apa yang diterimanya sebagai uang muka atau pembayaran awal.
Namun jika penjualan tersebut sudah laazim [paten] dan sudah tidak ada khiyar, maka keduanya harus melakukan shulh [perdamaian] dengan cara salah satunya mengatakan kepada yang lain:
'Saya membatalkan penjualan ini, namun uang muka yang saya terima atau biaya sewa properti, menjadi milikku’.
Maka mereka berdua harus sepakat dalam hal ini karena akad jual beli sudah lazim [paten].
Namun jika penjualan belum lazim alias masih bersifat opsional, maka ia harus mengembalikan uang muka seluruhnya termasuk uang muka. (Sharh Akhsar al-Mukhtasarat oleh Syaikh Abdullah bin Abdulrahman bin Abdullah bin Jabrin, 28/18).
Sebelum barang diterima si pembeli dan uang belum diterima oleh si penjual , Maka boleh melakukan transaksi الوعد بالشراء / janji mau beli . Tapi tidak mengikat.
Dan boleh pula mengambil uang dp tanda keseriusan mau beli (الجدية بالشراء) bukan dp tanda jadi jual beli .
Perbedaan nya antara dp tanda keseriusan mau beli dan dp tanda jadi jual beli adalah sbb :
Kalau dp tanda keseriusan itu harus dikembalikan jika si pembeli membatalkan nya. Berbeda dengan dp tanda jadi jual beli , maka bisa hangus dp nya .
*****
PERHATIAN :
‘URBUN [UANG TANDA JADI] BERBEDA DENGAN UANG TANDA KESERIUSAN
Uang tanda keseriusan terjadi pada tahap janji akan melakukan transaksi jual beli , yang disebabkan karena menunggu barang yang akan diperkual belikan dimiliki oleh pihak penjual atau tersedia padanya.
Sebagaimana yang dimaklumi dalam syariat Islam tidak diperboleh kan memperjual belikan barang yang belum di miliki oleh pihak penjual .
Dalam hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
قُلتُ يَا رَسُولَ اللهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي البَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي، أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ فَقَالَ: (لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ).
"Saya berkata, wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku dan menanyakan suatu barang yang tidak saya miliki, bolehkah saya menjualnya kemudian membelinya untuknya dari pasar?" Beliau menjawab: "(Jangan menjual apa yang tidak ada padamu)."
HR. Tirmidzi (1232), Abu Dawud (3503), Nasai (4613), dan Ibnu Majah (2187), dan disahihkan oleh Al-Albani dalam "Shahih Tirmidzi".
Jika penjual belum memiliki barang yang dijual, maka apa yang diambilnya dari calon pembeli tidak disebut sebagai ‘Urbun [uang muka] ; karena ‘Urbun [uang muka] adalah sesuatu yang diambil bersamaan dengan akad.
Dan Uang Muka saat belum akad bukan disebut “uang tanda jadi” , melainkan disebut sebagai uang tanda keseriusan atau margin keseriusan [هَامِشُ الجِدِّيَّةِ], yaitu untuk memastikan keseriusan pembeli dalam membeli.
Dan sebagian ulama membolehkan uang tanda keseriusan ini dengan dua syarat:
Pertama: Penjual tidak menggunakannya ketika masih dalam dalam tahap janji, akan tetapi uang tersebut hanya sebatas sebagai amanah di tangannya.
Kedua: Jika pembeli mengingkari janjinya, sehingga tidak membeli, maka tidak diambil darinya kecuali sebesar kerugian nyata yang terjadi pada penjual - jika ada kerugian.
Yang dimaksud dengan kerugian nyata adalah bahwa penjual mengalami kerugian dalam menjual barang tersebut karena pembeli membatalkan pembelian, sehingga jika penjual telah membeli barang tersebut seharga seribu misalnya, untuk orang yang berjanji, kemudian orang tersebut membatalkan dan tidak membelinya, maka seakan dikatakan kepada si penjual :
بِعِ السِّلْعَةَ لِغَيْرِهِ، أَوْ رُدَّهَا عَلَى بَائِعِهَا الأَوَّلِ، فَإِنْ حَصَلَ لَهُ أَقَلَّ مِنَ الأَلْفِ الَّتِي دَفَعَهَا، أَلْزَمَ الوَاعِدَ بِتَحَمُّلِ هَذَا النَّقْصِ.
"Jual barang tersebut kepada orang lain, atau kembalikan kepada penjual asalnya,"
jika penjual mendapatkannya kurang dari seribu yang dibayarkannya, maka orang yang berjanji harus menanggung kekurangan tersebut.
Namun ada sebagian ulama ada yang melarang mengambil margin keseriusan dalam tahap janji secara mutlak.
Dan jika berpendapat boleh hukumnya dengan syarat akad jual beli tidak akan terjadi kecuali pada waktu serah terima barang, maka penjual dan pembeli, pada saat itu, telah mengetahui harganya, dan masing-masing memiliki hak untuk melanjutkan akad atau membatalkannya.
Berdasarkan hal tersebut, tidak boleh bagi penjual untuk memiliki apa yang diambil sebelumnya sebagai uang muka tanda keseriusan , atau mengurangi sesuatu darinya.
Dan apa yang telah terjadi di antara mereka sebelumnya hanyalah sebuah janji untuk membeli, tetapi tidak mengikat salah satu pihak.
Jika penjual ingin menjual barang yang dijual sebelum waktu serah terima barang, dan ingin memastikan bahwa pembeli tidak akan membatalkannya, maka jalan keluarnya adalah dengan cara “jual beli salam”. Tapi ada syaratnya :
Syaratnya adalah: barang yang dijual tersebut harus dapat dideskripsikan dengan deskripsi yang jelas yang menghilangkan ketidakjelasan dan mencegah perselisihan saat serah terima barang.
Syarat lainnya adalah: mereka harus sepakat mengenai harga yang mereka perjualbelikan, dan pembayaran harga dilakukan secara penuh, bukan sebagian, pada saat akad jual beli, dengan kesepakatan untuk penyerahan pada waktu yang telah ditentukan.
Jika kedua pihak - penjual dan pembeli - setuju untuk bertransaksi dengan cara ini, maka jual beli tersebut sah.
0 Komentar