DOA DAN SHALAT MINTA HUJAN (ISTISQA)
Di Tulis
Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
Istisqo’ berarti
meminta pada Allah Ta’ala agar diturunkannya hujan ketika kekeringan. Para
ulama sepakat bahwa shalat istisqo’ termasuk ajaran Rasulullah ﷺ. Dan
menurut mayoritas ulama shalat istisqo’ disunnahkan ketika terjadi kekeringan.
==***==
**TAHAPAN DOA ISTISQA (MINTA HUJAN) SECARA GARIS BESAR** **
****
TAHAPAN PERTAMA :
Yang
paling rendah adalah dengan berdoa di waktu kapan pun yang disukai.
****
TAHAPAN KEDUA :
Yang
pertengahan adalah doa saat sujud pada shalat lima waktu atau saat tasyahhud
akhir sebelum salam atau sesudah shalat.
Dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقْرَبُ مَا
يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Saat paling
dekat bagi seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia sujud, karena itu
perbanyaklah berdo'a ketika sujud." [HR. Muslim no. 482].
Dan Abu Umaamah
radhiyallaahu anhu, ia berkata:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ: أيُّ
الدُّعَاءِ أَسْمعُ ؟ قَالَ: ((جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلواتِ
الْمَكْتُوبَاتِ))
Dikatakan: ‘Wahai
Rasulullah, waktu berdoa yang manakanh yang paling mustajab ?’. Beliau
menjawab: ‘Pada sepertiga akhir malam dan pada dubur shalat-shalat yang
diwajibkan”.
Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 3499, An-Nasaa’iy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 108 dan
‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 2/424 no. 3948
Hadits ini
dihasankan oleh Tirmidzi dan Al-Albaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy
3/441-442. Bahkan Al-Albaniy dalam Shahiih At-Targhiib wat-Tarhiib no. 1648,
beliau berkata: “Shahiih lighairihi”.
*****
TAHAPAN KE TIGA :
[3] – Do’a Istisqa khatib
Jum’at saat sedang berkhutbah Jum’ah:
Istisqo’ (meminta
hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa dilakukan
ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan dalam
riwayat berikut.
Dari Anas bin
Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari
Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullah ﷺ berdiri
dan berkhutbah. Rasulullah ﷺ kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian
laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang
mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk
unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian
Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami.”
Anas mengatakan,
“Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan
awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah.
Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut.
Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi
Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian
ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul
Qodho’ dan ketika itu Rasulullah ﷺ sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut
berdiri dan menghadap beliau ﷺ, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami
malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada
Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat
kedua tangannya, lalu berdo’a:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ
عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ
وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“ Ya Allah,
turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah
hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat
tumbuhnya pepohonan ”
Setelah itu, hujan
pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka bahwa
beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya
sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak
tahu.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.]
Dari riwayat di
atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faedah berharga
:
“Hadits ini
menunjukkan bolehnya do’a istisqo’ dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini
dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap
kiblat. Hadits ini juga menunjukkan boleh mencukupkan shalat jum’at untuk
menggantikan shalat istisqo’.”[Fathul Baari ,
2/506-507.]
Hal ini menunjukkan
bahwa istisqo’ (meminta hujan) tidak mesti dengan mengerjakan shalat khusus.
*****
TAHAPAN KE EMPAT :
Yang paling
sempurna dengan shalat istisqa (shalat minta hujan). (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:
244)
====
TATA CARA SHALAT ISTISQA DAN LANGKAH SEBELUMNYA
-----
**Langkah Awal Sebelum Shalat Istisqa**
[1] - Bertaubat
nashuha (bertaubah dengan sungguh-sungguh).
[2] - Mengeluarkan
sedekah untuk orang miskin dan melepaskan diri dari kezaliman, juga memperbaiki
hubungan yang sedang retak.
[3] – Memperbanyak
puasa sunnah, seperti puasa Senin, Kamis, puasa Ayyaamul Biidh atau Puasa nabi
Daud .
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ
الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang
do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang
adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan
penguatnya)
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan orang yang berpuasa untuk
memperbanyak do’a demi urusan akhirat dan dunianya, juga ia boleh berdo’a untuk
hajat yang ia inginkan, begitu pula jangan lupakan do’a kebaikan untuk kaum
muslimin secara umum.” (Al-Majmu’, 6: 273)
Namun sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,
“Puasa yang dianjurkan adalah suatu bentuk ketaatan yang butuh pada dalil jika
diperintahkan. Padahal shalat istisqa sudah ada di masa Nabi ﷺ namun
beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk melaksanakan puasa sebelum
shalat istisqa. ” (Fatwa IslamWeb 145101).
DALIL :
Di antara dalil
yang menunjukkan disyariatkannya shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin
Zaid. Beliau berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا
“ Rasulullah ﷺ pernah
keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan).
Beliau pun merubah posisi rida’nya 1 (yang semula di kanan dipindah
ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan),
“Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap
kiblat dan berdo’a”.
[HR. Ahmad (4/41).
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim].
----
**TATA CARA SHALAT ISTISQA** :
Panduan ringkas
shalat istisqo’ sebagai berikut.
**Pertama** :
Hendaklah jama’ah
bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul
mengharap pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa
(meninggalkan berhias diri).
Dari Ibnu ‘Abbas,
beliau berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى –
زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ
خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ
وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“ Rasulullah ﷺ keluar
dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap
pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa
kemudian Nabi ﷺ menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah
kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap
pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua
raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied .”[ HR. Abu Daud no.
1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.]
**Kedua** :
Imam berkhutbah di
mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika
itu tidak ada adzan dan iqomah.
Dalil yang
menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat
istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas,
“ Rasulullah ﷺ pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan
istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya ketika beliau
menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat
sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”. ”
[HR. Ahmad
(4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari-Muslim].
Sedangkan dalil
yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh
dilaksanakan sebelum shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad
bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata,
خَرَجَ النَّبِىُّ ﷺ يَسْتَسْقِى
فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“ Nabi ﷺ keluar
untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap kiblat dan
merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya).
Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan bacaannya .” [HR. Bukhari no. 1024.].
Syaikh Abu
Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas,
perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau
sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama
yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan
lainnya.” [Shahih Fiqh Sunnah, 1/441].
Ibnu Qudamah Al
Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat istisqo’.
Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).” [Al Mughni, 2/285]
**Ketiga** :
Hendaknya imam
memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh
mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam
mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga
dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi
rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya).
Namun di sini
jama’ah tidak perlu mengubah posisi rida’nya, cuma khusus imam. Sebagaimana hal
ini diterangkan oleh Syaikh Umar Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’.
Sebagaimana hal ini
telah diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari
Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
“Nabi ﷺ pernah
melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke
langit.” [HR. Muslim no. 896.]
Dalil yang
menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari
Anas bin Malik,
فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدَيْهِ
يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
“ Rasulullah ﷺ
mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Kemudian para jama’ah ketika itu
turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdo’a .”[ HR.
Bukhari no. 1029.]
Anas bin Malik juga
mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ ﷺ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى
الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“ Nabi ﷺ biasa
tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap do’a beliau
kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai
terlihat ketiaknya yang putih. ”[ HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895].
**Keempat** :
Membaca do’a
istisqo’.
Di antara do’a
istisqo’ yang dibaca adalah:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ
وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu,
dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.” [HR. Abu Daud no. 1176, derajat
hadits hasan.]
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.]
**Kelima** :
Mengerjakan shalat
istisqo’ sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan
shalat istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak
tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak lima
kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).
Dalilnya adalah
hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا
يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“Kemudian beliau
mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[ HR.
Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.]
Dari ‘Abdullah bin
Zaid, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ
فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Lalu beliau
melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaannya.” [HR. Bukhari no. 1024.]
0 Komentar