Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MEMINJAMKAN DANA WAQAF TUNAI ATAU UANG SODAQOH MASJID

 HUKUM MEMINJAMKAN DANA WAQAF TUNAI ATAU UANG SODAQOH MASJID :

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

---

DAFTAR ISI :

  • MAKNA ISTILAH NAMA-NAMA PENGELOLA HARTA WAQAF :
  • HUKUM MEMINJAMKAN UANG TUNAI WAQAF ATAU UANG SODAQOH MASJID
  • HUKUM WAKAF UANG TUNAI

===****===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

*****

PENDAHULUAN :

----

MAKNA ISTILAH NAMA-NAMA PENGELOLA HARTA WAQAF :

Yaitu ada Naadzir (نَاظِر) , Qoyyim (قَيِّم) , Mutawalli (مُتَوَلِّي) dan Washiyy (وَصِيّ) :

Pertama : Naadzir (نَاظِر) :

هُوَ الَّذِي يَلِي الوَقْفَ وَحِفْظَهُ وَحِفْظَ رَيْعِهِ، وَتَنْفِيذَ شَرْطِ وَاقِفِهِ

Dia adalah yang mengelola wakaf, memeliharanya, memelihara hasil-hasilnya, dan melaksanakan syarat-syarat yang ditentukan oleh Waaqif (orang yang mewakafkannya) .

Kedua : Qoyyim (قَيِّم)

Dialah yang ditunjuk oleh hakim untuk melaksanakan wasiat-wasiat seseorang yang berwasiat tapi tidak menentukan seseorang untuk melaksanakan wasiatnya.

Dan orang yang mengelola harta para mahjuur (orang-orang yang hartanya ditahan negara karena mereka belum pandai mengelolanya) termasuk anak-anak, orang gila, dan orang dungu.

Dan orang yang menjaga hartanya orang-orang yang hilang yang tidak memiliki wakil . Dalam istilah madzhab Maliki namanya “مقدم القاضي” / orang yang ditunjuk oleh hakim .

Kaitan di antara keduanya adalah masing-masing keduanya ditunjuk untuk menjaga dan memelihara harta dan kepentingan umat Islam, akan tetapi kalau Qoyyim itu ditetapkan oleh hakim . Adapun Naadzir , terkadang penguasa yang mengangkatnya, dan terkadang Waaqif (orang yang mewakafkannya) yang mengangkatnya

Ketiga : Mutawalli (مُتَوَلِّي)

هُوَ مَنْ فُوِّضَ إِلَيْهِ التَّصَرُّفُ فِي مَالِ الوَقْفِ وَالقِيَامُ بِتَدْبِيرِ شُؤُونِهِ

Dialah yang diberi amanah untuk mengatur harta wakaf dan mengurus urusannya

Dan hubungan di antara keduanya , kata Ibnu Abidin, mengutip dari al-Khayriyyah :

al-Qayyim, al-Mutawali, dan al-Nazir dalam pernyataan para ulama ahli fiqh, adalah satu arti/makna .

Kemudian dia berkata :

“Dan ini maknanya yang nampak ketika kedua istilah itu masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi jika waqif / orang yang berwakaf itu mensyaratkan dua orang , satu sebagai Mutawalli dan yang kedua sebagai Naadzir, seperti yang sering terjadi, maka yang dimaksud dengan Naadzir di sini adalah Pengawas (مُشْرِف).

Ke empat : Washiyy (وَصِيّ) / penerima wasiat :

هُوَ مَنْ جُعِلَ لَهُ التَّصَرُّفُ بَعْدَ مَوْتِ المُوصِي فِيمَا كَانَ لِلْمُوصِي التَّصَرُّفُ فِيهِ مِنْ قَضَاءِ دُيُونِهِ، وَاقْتِضَائِهَا، وَرَدِّ الوَدَائِعِ، وَاسْتِرْدَادِهَا، وَتَنْفِيذِ وَصِيَّتِهِ إِنْ كَانَتْ هُنَاكَ وَصِيَّةٌ، وَالوِلَايَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ الَّذِينَ لَهُ الوِلَايَةُ عَلَيْهِمْ مِنَ الصِّبْيَانِ وَالمَجَانِينِ وَمَنْ لَمْ يُؤْنَسْ رُشْدُهُمْ، وَالنَّظَرِ لَهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ بِحِفْظِهَا وَالتَّصَرُّفِ فِيهَا بِمَا لَهُمُ المَصْلَحَةُ فِيهِ.

“Dialah yang diberi hak untuk mengelola dan mengambil tindakan setelah meninggalnya pemberi wasiat dalam melaksanakan apa saja yang diwasiatkan oleh pemberi wasiat , umpamanya dalam hal berkaitan dengan melunasi hutangnya, menagihnya, mengembalikan titipan , mengambilnya , melaksanakan wasiatnya jika ada wasiat, dan perwalian terhadap anak-anaknya yang baginya mendapat perwalian atas anak-anak laki-laki , orang gila, dan orang-orang yang belum pandai mengelola hartanya  . Serta mempertimbangkan untuk mereka dalam harta mereka dengan cara menyimpannya atau memengelolanya pada sesuatu yang ada mashlahatnya bagi mereka “.

Keterkaitan antara Naadzir dan washiy adalah bahwa Naadzir adalah orang yang mengelola urusan wakaf, sedangkan Washiy adalah orang yang mengelola pelaksanaan wasiat dan sejenisnya. Maka makna washiy lebih umum.

===*****===

HUKUM MEMINJAMKAN UANG WAQAF TUNAI ATAU UANG SODAQOH MASJID

Tidak halal bagi seseorang, termasuk seorang imam masjid atau pengurusnya untuk meminjamkan uang yang disumbangkan ke masjid, atau diwakafkan atau uang untuk sedekah; Karena orang tersebut posisinya adalah sebagai Wakil bagi waaqif atau donatur, dan tindakan Wakil dibatasi dengan adanya izin Donatur atau Waaqif.

Ibnu Qudamah radhiyallahu 'anhu berkata :

"وَلَا يَمْلِكُ الوَكِيلُ مِنَ التَّصَرُّفِ إِلَّا مَا يَقْتَضِيهِ إِذْنُ مُوكِلِهِ، مِنْ جِهَةِ النُّطْقِ أَوْ مِنْ جِهَةِ العُرْفِ، لِأَنَّ تَصَرُّفَهُ بِالإِذْنِ، فَاخْتَصَّ بِمَا أُذِنَ فِيهِ، وَالإِذْنُ يُعْرَفُ بِالنُّطْقِ تَارَةً، وَبِالعُرْفِ أُخْرَى.

وَلَوْ وَكَّلَ رَجُلًا فِي التَّصَرُّفِ فِي زَمَنٍ مُقَيَّدٍ: لَمْ يَمْلِكِ التَّصَرُّفَ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَتَنَاوَلْهُ إِذْنُهُ، مُطْلَقًا، وَلَا عُرْفًا."

"Tidaklah seorang wakil berhak untuk bertindak kecuali sesuai dengan tujuan orang yang mewakilkannya , baik dalam hal ucapan atau dalam hal kebiasaan (tradisi), karena tindakan wakil harus sesuai dengan idzinnya , maka dia dikhususkan untuk melakukan apa yang telah di idzinkan.

Dan idzin itu kadang-kadang diketahui dengan kata-kata atau ucapan, dan kadnag-kadang dengan kebiasaan di waktu lain.

Dan jika seseorang menugaskan orang lain untuk melakukan sesuatu pada waktu yang tertentu dan terbatas , maka dia tidak berhak untuk melakukannya sebelum waktu tersebut atau sesudahnya, karena dia tidak mendapatkan idzinnya, baik secara mutlak atau secara adat kebiasaan . “ ( Selesai).

Kecuali jika para donatur atau waqif itu telah mengizinkan dia untuk meminjamkannya , dengan demikian jika para donatur tersebut tidak mengizinkan nya , maka baginya itu tidak boleh.

Jika uang itu disumbangkan ke masjid, maka itu hukumnya adalah wakaf, dan para ulama ahli fiqih telah menetapkan larangan meminjamkan uang dari harta wakaf.

Syeikh Manshuur Al-Bahuutii , ​​semoga Allah merahmatinya, berkata:

شُرِطَ كَوْنُ مُقْرِضٍ يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ؛ فَلَا يُقْرِضُ نَحْوُ: وَلِيِّ يَتِيمٍ مِنْ مَالِهِ [يَعْنِي: مِنْ مَالِ اليَتِيمِ]، وَنَاظِرِ وَقْفٍ مِنْهُ.

Syarat seorang pemberi pinjaman itu dianggap sah tabarru’nya (dengan meminjamkannya) adalah orang yang meminjamkannya itu bukan seorang wali anak yatim dari hartanya [artinya: dari uang anak yatim] , dan juga bukan seorang Naadzir dari harta wakaf . (Baca شَرْحُ مُنْتَهَى الإرَادَاتِ” 2/100).

Maka jika demikian : Seorang Imam dianggap telah melakukan kesalahan dengan meminjamkannya, baik itu harta wakaf, atau seseorang mendermakannya sebagai shodaqoh.

Dengan perilaku meminjamkan harta tersebut , maka dia dianggap sebagai perampas (غَاصِب), dan dia harus bertanggung jawab terhadap uang tersebut. Meskipun uang tersebut banyak dan melimpah .

Jika ada dana shodaqoh ( bukan dana waqaf ) disumbangkan ke masjid ; maka sebaiknya dan yang sesuai dengan amanah adalah bahwa seorang imam atau pengurus masjid agar tidak menerima dana shodaqoh melebihi kebutuhan masjid, jika uang itu adalah uang shodakoh bukan waqaf . 

Kenapa ? karena mengingat betapa banyaknya orang-orang fakir miskin yang lebih membutuhkan dana shodaqoh tersebut !

Sesorang yang telah melakukan kesalahan meminjam dana wakaf dan dia mengetahui bahwa orang yang memberi pinjaman itu bukan pemiliknya, dan tahu bahwa dia tidak berhak untuk meminjamkannya , maka jika orang itu telah mengembalikan uang tersebut; maka dia hanya berkewajiban untuk bertobat atas apa yang telah diperbuat sebelumnya.

Syekh Zakaria Al-Ansari berkata dalam “أَسْنَى المَطَالِبِ” 2/472 :

فَرْعٌ: لَيْسَ لِلنَّاظِرِ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْ مَالِ الوَقْفِ عَلَى وَجْهِ الضَّمَانِ، فَإِنْ فَعَلَ ضَمِنَهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ إِدْخَالُ مَا ضَمِنَهُ فِيهِ، أَيْ فِي مَالِ الوَقْفِ، إِذْ لَيْسَ لَهُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْ نَفْسِهِ لِغَيْرِهِ (وَإِقْرَاضُهُ إِيَّاهُ) أَيْ مَالَ الوَقْفِ، (كإِقْرَاضِ مَالِ الصَّبِيِّ). انتهى

Cabang : Bagi seorang Naadzir Waqaf tidak berhak mengambil apa pun dari harta wakaf meski dengan jaminan. Jika dia melakukannya, maka dia harus bertanggung jawab , dan tidak diperbolehkan baginya untuk memasukkan ke dalamnya apa yang menjadi tanggung jawab dia , yaitu ke dalam harta wakaf : karena baginya tidak berhak dengnnya untuk menunaikan kewajiban dirinya pada orang lain .

( Dan meminjamkannya kepadanya) yaitu harta waqaf , (seperti halnya hukum meminjamkan harta milik bayi laki-laki ). ( Lihat pula “رَوْضَةُ الطَّالِبِينَ” 5/349 )

Dia berkata dalam Syarh Al-Bahjah: 

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ الوَقْفِ شَيْئًا عَلَى أَنْ يَضْمَنَهُ، فَإِنْ فَعَلَ ضَمِنَهُ، وَإِقْرَاضُ مَالِ الوَقْفِ كَإِقْرَاضِ مَالِ الصَّبِيِّ. انتهى.

Tidak boleh baginya mengambil sesuatu dari Harta wakaf meskipun dia memberikan jaminan.

Dan jika dia melakukannya, maka dia harus siap menangung resiko . Dan hukum meminjamkan harta wakaf sama hukumnya seperti meminjamkan harta milik bayi laki-laki. . ( sudah selesai.)

Dalam kitab “نِهَايَةُ المُحْتَاجِ” 8/239 disebutkan :

(وَوَظِيفَتُهُ) عِنْدَ الإِطْلَاقِ حِفْظُ الأُصُولِ وَالغَلَّاتِ عَلَى وَجْهِ الاحتِيَاطِ كَوَلِيِّ اليَتِيمِ

“ (Dan tugasnya) secara mutlak / global , adalah untuk menjaga harta dan penghasilannya dengan cara mengambil tindakan yang lebih hati-hati, seperti seorang wali anak yatim”.

MADZHAB HANAFI :

Sebagian ulama madzhab hanafi yg membolehkan menghutangkan uang masjid dengan asas pertimbangan keamanan lebih terjamin dan tentu mendapat persetujuan dari nadzir sebagai pemangku kebijakan.

Dalam kitab “الفَوَائِدُ فِي كَشْفِ أَحْكَامِ القَرْضِ بِرَدِّ الزَّوَائِدِ” hal. 3 – 4 di katakan :

"فَإِذَا وُضِعَ الْمَالُ فِي البُنُوكِ عَلَى اسْتِصْلَاحٍ كَانَ مِثْلَ تَابُوغَان وَدِفُوسِيتُو وَغَيْرِ ذَلِكَ هُوَ بِمَعْنَى القَرْضِ لِأَنَّ الْمَالَ فِي الْوَاقِعِ أَذِنَ لِوَالِي البُنُوكِ فِي الإِنْتِفَاعِ عَلَى أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ. قَالَ حُجَّةُ الإِسْلَامِ الْغَزَالِيُّ: وَإِذَا عُرِفَ الْمَعْنَى فَلَا مُشَاحَةَ فِي الأَسَامِي، فِعَادَةُ الفُقَهَاءِ التَّسَامُحُ فِي الإِطْلَاقَاتِ."

(وَسُئِلَ) هَلْ لِلْنَّاظِرِ إِقْرَاضُ غَلَّةِ الوَقْفِ وَالِاقْتِرَاضُ لِعِمَارَتِهِ؟ 

(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ لَا يَجُوزُ لَهُ إِقْرَاضُ ذَلِكَ إِلَّا إِنْ غَابَ المُسْتَحِقُّونَ وَخَشِيَ تَلَفَ الغَلَّةِ أَوْ ضِيَاعَهَا فَيَقْرِضُهَا لِمَلْءِ ثِقَةٍ وَلَهُ الاِقْتِرَاضُ لِعِمَارَةِ الوَقْفِ بِإِذْنِ الحَاكِمِ.

* Jika uang itu ditaruh di bank menurut kesepakatan, seperti Tabungan, Deposito dan lain-lain, maka itu semakna dengan pinjaman karena uang itu sebenarnya memberi wewenang kepada pengelola bank untuk mendapatkan keuntungan dengan syarat dia mengembalikan penggantinya.

Hujjat al-Islam al-Ghazali berkata: Jika makna dan subtansinya diketahui, maka tidak berpengaruh dalam perbedaan nama-nama , karena para fukaha biasanya menoleransi dalam penggunaan kata-kata istilah “.

(Dan ditanyakan) Apakah diperbolehkan bagi Naadzir untuk meminjamkan penghasilan dari wakaf dan pinjaman untuk pembangunannya?

(Dia menjawab ) dengan mengatakan : bahwa tidak diperbolehkan baginya untuk meminjamkan kecuali orang-orang yang berhak menerima manfaat tersebut tidak ada didaerah (Safar) dan dia khawatir hasil dari waqaf itu akan rusak atau hilang, maka dia boleh meminjamkannya pada orang kaya mudah bayarnya lagi dipercaya , dan dia berhak meminjam untuk bangunan wakaf dengan izin hakim “.

Ibnu Najiim al-Mashry al-Hanafi berkata :

 وَأَشَارَ بِالْوُصُولِ إِلَى أَنَّ مُتَوَلِّي الوَقْفِ لَيْسَ لَهُ إِقْرَاضُ مَالِ المَسْجِدِ فَلَوْ أَقْرَضَهُ ضَمِنَ، وَكَذَا يَضْمَنُ المُسْتَقْرِضُ كَذَا فِي الخَزَانَةِ وَلَيْسَ لَهُ إِيدَاعُهُ إِلَّا مَمَّنْ هُوَ فِي عِيَالِهِ كَذَا فِي جَامِعِ الفُصُولَيْنِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَهُ: *القَيِّمُ لَوْ أَقْرَضَ مَالَ المَسْجِدِ لِيَأْخُذَهُ عِنْدَ الحَاجَةِ وَهُوَ أَحْرَزُ مِنْ إِمْسَاكِهِ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَفِي العُدَّةِ يَسَعُ لِلْمُتَوَلِّي إِقْرَاضُ مَا فَضَلَ مِنْ غَلَّةِ الوَقْفِ لَوْ أَحْرَزَ.* اِنْتَهَى.

Dia mengisyaratkan kepada Washiyy / وَصِيّ ( orang yang di serahi wasiat ) bahwa al-Mutawalli ( pengelola wakaf ) tidak berhak untuk meminjamkan harta masjid. Maka jika dia meminjamkannya maka dia harus bertanggung jawab . Begitu juga si peminjam harus bertanggung jawab . Begitu juga menyimpannya di lemari .

Si pengelola wakaf tidak berhak menitipkannya kecuali kepada orang-orang yang masih keluarganya .

Begitulah yang terdapat dlm kitab “جامِعُ الفُصُولَيْنِ”. Kemudian dia berkata setelah itu :

Al-Qoyyim ( pengelola waqaf ) , jika dia meminjamkan uang masjid untuk mengambilnya kembali ketika dibutuhkan, dan dia yakin bahwa itu lebih aman dan terjaga daripada dia sendiri yang memegangnya, maka itu tidak apa-apa.

Dalam kitab “اﻟﻌُﺪَّﺓ” : al-Mutawalli ( Pengelola wakaf ) punya kebebasan untuk meminjamkan sisa dari hasil wakaf jika itu lebih aman dan terjaga “. ( Baca “البَحْرُ الرَّائِقُ شَرْحُ كَنْزِ الدَّقَائِقِ” 7/24 ).

[ Note : Penulis kitab “جامِعُ الفُصُولَيْنِ لِقُدْوَةِ الأُمَّةِ وَعَمَلِ الأَئِمَّةِ” adalah Mahmud bin Israil yang masyhur dengan gelar Ibnu Qoodli Samaawanah / ابن قاضي سماونه  ].

Di Halaman lain 5/259 masih dalam “البَحْرُ الرَّائِقُ شَرْحُ كَنْزِ الدَّقَائِقِ” , Ibnu Najiim juga berkata :  

مَعَ أَنَّ القَيِّمَ لَيْسَ لَهُ إِقْرَاضُ مَالِ المَسْجِدِ، قَالَ فِي جَامِعِ الفُصُولَيْنِ: لَيْسَ لِلْمُتَوَلِّي إِيدَاعُ مَالِ الوَقْفِ وَالمَسْجِدِ إِلَّا مَمَّنْ هُوَ فِي عِيَالِهِ، وَلَا إِقْرَاضُهُ. فَلَوْ أَقْرَضَهُ ضَمِنَ، وَكَذَا المُسْتَقْرِضُ. وَذُكِرَ أَنَّ القَيِّمَ لَوْ أَقْرَضَ مَالَ المَسْجِدِ لِيَأْخُذَهُ عِنْدَ الحَاجَةِ وَهُوَ أَحْرَزُ مِنْ إِمْسَاكِهِ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَفِي العُدَّةِ يَسَعُ المُتَوَلِّي إِقْرَاضَ مَا فَضَلَ مِنْ غَلَّةِ الوَقْفِ لَوْ أَحْرَزَ. اِنْتَهَى.

Meski al-Qoyyim ( pengelola wakaf ) tidak berhak meminjamkan uang masjid, namun dalam kitab “جامِعُ الفُصُولَيْنِ” berkata : si penanggung jawab tidak berhak menitipkan uang wakaf dan mesjid kecuali kepada keluarganya dan tidak boleh meminjamkannya .

Jika dia meminjamkannya maka dia harus tanggung jawab , dan juga si peminjam .

Dan menyebutkan bahwa jika al-Qoyyim ( pengelola wakaf ) meminjamkan uang masjid untuk mengambilnya ketika diperlukan dan dia yakin bahwa itu lebih baik daripada dia sendiri yang memegangnya, maka itu tidak apa-apa.

Dalam kitab “اﻟﻌُﺪَّﺓ” : al-Mutawalli ( Pengelola wakaf ) punya kebebasan untuk meminjamkan sisa dari hasil wakaf jika itu lebih aman dan terjaga “. ( Selesai ) .

Ibnu ‘Aabidiin dalam “رَدُّ المُحْتَارِ شَرْحُ دُرِّ المُخْتَارِ” 5/417 berkata : 

(يَقْرِضُ القَاضِي مَالَ الوَقْفِ وَالْغَائِبَ) وَاللُّقَطَةَ (وَالْيَتِيمَ) مِنْ مَلِيءٍ مُؤْتَمَنٍ حَيْثُ لَا وَلِيَّ وَلَا مَنْ يَقْبَلُهُ مُضَارَبَةً.

قَوْلُهُ: (مَالُ الوَقْفِ) ذُكِرَ فِي البَحْرُ عَنْ جَامِعِ الفُصُولَيْنِ، لَكِنْ فِيهِ أَيْضًا عَنْ العُدَّةِ يَسَعُ لِلْمُتَوَلِّي إِقْرَاضُ مَا فَضَلَ مِنْ غَلَّةِ الوَقْفِ لَوْ أَحْرَزَ. اِنْتَهَى، وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِالقَاضِي، *مَعَ أَنَّهُ صَرَّحَ فِي البَحْرُ عَنْ الخَزَانَةِ أَنَّ المُتَوَلِّي يَضْمَنُ إِلَّا أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ حَيْثُ لَمْ يَكُنِ الإِقْرَاضُ أَحْرَزَ.*

(Hakim boleh meminjamkan uang wakaf dan uang orang yang ghaib ) dan uang اللقطة / barang temuan ( dan –uang- anak yatim ) kepada orang yang mampu bayar lagi dipercaya ketika tidak ada wali atau orang yang menerima untuk mudharabah ( kerjasama bagi hasil).

Dia berkata: (Harta wakaf) Dia menyebutkannya dalam kitab “البَحْرُ”dari kitab “جامِعُ الفُصُولَيْنِ”, tetapi di dalamnya juga dari kitab “العُدَّة” : al-Mutawalli ( Pengelola wakaf ) punya kebebasan untuk meminjamkan sisa dari hasil wakaf jika itu lebih aman dan terjaga “.

Maka Implikasinya adalah bahwa diperbolehkan meminjamkan uang wakaf itu tidak menjadi kekhususan bagi hakim , meskipun ia menyatakan dalam kitab “Al-Bahar” tentang lemari bahwa al-Mutawalli ( pengelola wakaf ) harus bertanggung jawab , kecuali jika dikatakan : Susungguhnya jika tidak dipinjamkan , maka itu lebih aman dan lebih terjaga .

===***===

HUKUM WAKAF UANG TUNAI

Wakaf uang hukumnya boleh dan sah. Berikut ini Para Ulama yang berpendapat demikian :

[1] Ini merupakan madzhab Malikiyah.

Bentuk wakafnya adalah dengan cara meminjamkannya, dan pengembalian pinjaman dianggap sebagai pengganti keberlangsungan pokok harta. (At-Taj wal Iklil karya Al-Mawwaq 6/21), (Asy-Syarh Al-Kabir karya Ad-Dardir 4/77), (Manhul Jalil karya Al-‘Ulaisy 8/112), (Kasyaf Al-Qina’ karya Al-Buhuti 4/244).

[2] Ini adalah salah satu pendapat dari Hanafiyah.

Mereka membolehkan, berdasarkan kebolehan wakaf benda bergerak. Ini merupakan pendapat Muhammad bin Al-Hasan. Bentuk wakafnya adalah dengan cara meminjamkannya atau menyerahkannya dalam bentuk mudharabah kepada orang yang mengelolanya, lalu mewakafkan keuntungannya. (Al-Binayah karya Al-‘Aini 7/441), (Hasyiyah Ibnu Abidin 4/363). Lihat juga: (Durar Al-Hukkam karya Mulla Khusraw 2/137).

[3] Ini adalah salah satu pendapat dari kalangan Syafi’iyah. (Raudhat Ath-Thalibin karya An-Nawawi 5/315), (Mughni Al-Muhtaj karya Asy-Syarbini 2/377).

[4] Dan ini adalah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Al-Insaf karya Al-Mardawi 7/11, 10).

[5] Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah berkata:

(وَلَوْ قَالَ الْوَاقِفُ: وَقَفْتُ هٰذِهِ الدَّرَاهِمَ عَلَى قَرْضِ الْمُحْتَاجِينَ، لَمْ يَكُنْ جَوَازُ هٰذَا بَعِيدًا، وَإِذَا أَطْلَقَ وَقْفًا لِنَقْدَيْنِ وَنَحْوِهِمَا مِمَّا يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِبَدَلِهِ، فَإِنَّ مَنْعَ صِحَّةِ هٰذَا الْوَقْفِ فِيهِ نَظَرٌ، خُصُوصًا عَلَى أَصْلِنَا؛ فَإِنَّهُ يَجُوزُ عِنْدَنَا بَيْعُ الْوَقْفِ إِذَا تَعَطَّلَتْ مَنْفَعَتُهُ، وَقَدْ نَصَّ أَحْمَدُ فِي الَّذِي حَبَسَ فَرَسًا عَلَيْهَا حِلْيَةٌ مُحَرَّمَةٌ: أَنَّ الْحِلْيَةَ تُبَاعُ وَيُنْفَقُ عَلَيْهَا، وَهٰذَا تَصْرِيحٌ بِجَوَازِ وَقْفِ مِثْلِ هٰذَا).

“Seandainya seseorang yang mewakafkan berkata: ‘Aku mewakafkan dirham-dirham ini untuk dipinjamkan kepada orang-orang yang membutuhkan,’ maka kebolehan hal ini tidaklah jauh.

Jika seseorang melakukan wakaf terhadap uang atau yang semisalnya —yang manfaatnya dapat diambil melalui pengganti nilainya— maka pelarangan keabsahan wakaf seperti ini perlu dipertimbangkan, khususnya berdasarkan pendapat kami, karena menurut kami boleh menjual harta wakaf jika manfaatnya telah terhenti.

Imam Ahmad telah menegaskan dalam kasus seseorang yang mewakafkan seekor kuda yang padanya terdapat perhiasan yang diharamkan: bahwa perhiasan itu boleh dijual, dan hasilnya digunakan untuk merawat kuda tersebut.

Ini menunjukkan dengan jelas bolehnya wakaf terhadap hal-hal semisal ini.” (Al-Fatawa Al-Kubra 5/425–426). Lihat juga: (Al-Insaf karya Al-Mardawi 7/11).

[6] Hal ini juga menjadi keputusan *Majma‘ Al-Fiqh Al-Islami*.

Dalam keputusan Majma‘ Al-Fiqh Al-Islami nomor 140 (6/15) tentang investasi dalam wakaf, hasil, dan pendapatannya disebutkan:

(وَقْفُ النُّقُودِ جَائِزٌ شَرْعًا؛ لِأَنَّ الْمَقْصَدَ الشَّرْعِيَّ مِنَ الْوَقْفِ -وَهُوَ حَبْسُ الْأَصْلِ وَتَسْبِيلُ الْمَنْفَعَةِ- مُتَحَقِّقٌ فِيهَا، وَلِأَنَّ النُّقُودَ لَا تَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِينِ، وَإِنَّمَا تَقُومُ أَبْدَالُهَا مَقَامَهَا. يَجُوزُ وَقْفُ النُّقُودِ لِلْقَرْضِ الْحَسَنِ، وَلِلِاسْتِثْمَارِ: إِمَّا بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ، أَوْ بِمُشَارَكَةِ عَدَدٍ مِنَ الْوَاقِفِينَ فِي صُنْدُوقٍ وَاحِدٍ، أَوْ عَنْ طَرِيقِ إِصْدَارِ أَسْهُمٍ نَقْدِيَّةٍ وَقْفِيَّةٍ؛ تَشْجِيعًا عَلَى الْوَقْفِ، وَتَحْقِيقًا لِلْمُشَارَكَةِ الْجَمَاعِيَّةِ فِيهِ. إِذَا اسْتُثْمِرَ الْمَالُ النَّقْدِيُّ الْمَوْقُوفُ فِي أَعْيَانٍ -كَأَنْ يَشْتَرِيَ النَّاظِرُ بِهِ عِقَارًا، أَوْ يَسْتَصْنِعَ بِهِ مَصْنُوعًا- فَإِنَّ تِلْكَ الْأُصُولَ وَالْأَعْيَانَ لَا تَكُونُ وَقْفًا بِعَيْنِهَا مَكَانَ النَّقْدِ، بَلْ يَجُوزُ بَيْعُهَا لِاسْتِمْرَارِ الِاسْتِثْمَارِ، وَيَكُونُ الْوَقْفُ هُوَ أَصْلَ الْمَبْلَغِ النَّقْدِيِّ).

“Wakaf uang diperbolehkan secara syar‘i, karena tujuan syar‘i dari wakaf —yaitu menahan pokok harta dan menyalurkan manfaatnya— dapat terwujud di dalamnya. Selain itu, uang tidak ditentukan dengan benda tertentu, melainkan nilai penggantinya dapat menggantikan fungsi pokok tersebut.

Boleh mewakafkan uang untuk pinjaman kebajikan (*qard hasan*), atau untuk investasi, baik secara langsung, melalui partisipasi beberapa wakif dalam satu dana bersama, maupun melalui penerbitan saham wakaf tunai, guna mendorong semangat berwakaf dan mewujudkan partisipasi kolektif di dalamnya.

Apabila uang wakaf diinvestasikan dalam bentuk aset nyata —misalnya pengelola wakaf membeli properti atau memesan barang yang diproduksi— maka aset atau barang tersebut tidak menjadi wakaf secara zatnya sebagai pengganti uang, tetapi boleh dijual kembali agar kegiatan investasinya dapat terus berlanjut.

Dengan demikian, yang menjadi objek wakaf adalah nilai pokok uang tersebut.” (Sumber: situs resmi Majma‘ Al-Fiqh Al-Islami).

[7] Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Ia berkata:

(فَإِنْ وَقَفَ دَرَاهِمَ لِلْقَرْضِ، وَقَالَ: هَذِهِ وَقْفٌ لِإِقْرَاضِ الْمُحْتَاجِينَ، فَهَلْ يَصِحُّ أَوْ لَا يَصِحُّ؟ عَلَى الْمَذْهَبِ: لَا يَصِحُّ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُنْتَفَعَ بِالدَّرَاهِمِ إِلَّا بِتَلَفِهَا، يَأْخُذُهَا الْمُسْتَقْرِضُ وَيَشْتَرِي بِهَا حَاجَاتِهِ، فَتَتَلَفُ. وَالصَّحِيحُ: أَنَّ هَذَا جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَ وَقْفُ الْمُعَيَّنِ الَّذِي يَتَلَفُ بِالِانْتِفَاعِ بِهِ، فَوَقْفُ مِثْلِ هَذَا مِنْ بَابِ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ إِذَا اسْتَقْرَضَهُ سَيَرُدُّ بَدَلَهُ وَيَكُونُ دَائِمًا. إِذًا الصَّوَابُ جَوَازُ وَقْفِ الدَّرَاهِمِ لِإِقْرَاضِهَا الْمُحْتَاجِينَ، وَلَا حَرَجَ فِي هَذَا، وَلَا دَلِيلَ عَلَى الْمَنْعِ، وَالْمَقْصُودُ إِسْدَاءُ الْخَيْرِ إِلَى الْغَيْرِ).

“Jika seseorang mewakafkan uang untuk pinjaman, dan berkata: ‘Uang ini aku wakafkan untuk meminjamkannya kepada orang yang membutuhkan,’ apakah sah atau tidak?

Menurut pendapat mazhab (Hanbali): tidak sah, karena tidak mungkin mengambil manfaat dari uang kecuali dengan menggunakannya, sedangkan orang yang meminjam akan memakainya untuk kebutuhannya, sehingga uang itu habis.

Namun pendapat yang benar adalah hal ini boleh, karena jika wakaf terhadap benda tertentu yang habis dipakai saja diperbolehkan, maka wakaf terhadap uang semacam ini lebih layak untuk dibolehkan. Sebab, orang yang meminjam akan mengembalikannya dengan nilai yang sama, sehingga manfaatnya terus berlanjut.

Dengan demikian, pendapat yang benar adalah bolehnya wakaf uang untuk dipinjamkan kepada orang-orang yang membutuhkan, tidak ada larangan dalam hal ini, dan tidak ada dalil yang melarangnya.

Tujuannya adalah menyalurkan kebaikan kepada sesama.” (Syarh Al-Mumti‘ 11/18).

ARGUMENTASI :

Hal itu disebabkan oleh argumentasi berikut ini:

Pertama:

لأنَّ الدَّراهمَ لا تَتعيَّنُ بالتَّعيينِ، فهي وإنْ كانت لا يُنتفَعُ بها مع بقاءِ عَينِها، لكنَّ بدَلَها قائمٌ مقامَها؛ لعدَمِ تعيُّنِها، فكأنَّها باقيةٌ

Karena dirham tidak menjadi benda tertentu dengan penetapan tertentu. Meskipun tidak dapat dimanfaatkan tanpa lenyapnya wujud fisiknya, namun penggantinya dianggap mewakilinya, sebab dirham tidak memiliki penentuan khusus. Maka seolah-olah dirham tersebut tetap ada (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 4/364).

Kedua:

أنَّ المقصدَ الشرعيَّ مِن الوقْفِ هو حبْسُ الأصلِ وتَسبيلُ المنفعةِ، وهو مُتحقِّقٌ في وقْفِ النُّقود.

Karena tujuan syar‘i dari wakaf adalah menahan pokok harta dan mengalirkan manfaatnya, dan hal ini terwujud dalam wakaf uang (Situs Resmi Majma‘ al-Fiqh al-Islami).

Wallahu a’lam


Posting Komentar

0 Komentar