Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

SIKAP CERDAS ULAMA SALAF, BIJAK, SALING HORMAT DAN RENDAH HATI DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT

SIKAP CERDAS ULAMA SALAF, BIJAK, SALING HORMAT DAN RENDAH HATI DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT

Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

-----


------

DAFTAR ISI :

  • UNGKAPAN UMUM TENTANG SIKAP BIJAK PARA SALAF DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT:
  • KUMPULAN PERNYATAAN CERDAS, BIJAK DAN PENUH TAWADHU’ PARA ULAMA DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT:
  • MEREKA MENGUTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN:
  • MEREKA MENERAPKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR MASYARAKAT SETEMPAT TIDAK BERPECAH BELAH!
  • MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
  • MENURUT MEREKA : PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT:
  • PARA SALAF SENANTIASA SALING MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN:
  • SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUSSUNNAH DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT QUNUT SUBUH
  • SIKAP TAWADHU’ IMAM MALIK DENGAN MENOLAK PERMINTAAN TIGA KHALIFAH
  • HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA :
  • MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN
  • HUKUM MUJTAHID KETIKA SALAH DALAM BERIJTIHAD :
  • TIDAK BOLEH BERIJTIHAD YANG MEMBAHAYAKAN UMAT ISLAM :
  • NABI  MELARANG AMALAN SAHABAT YANG MEMBERATKAN DAN SIKAP YANG BERPOTENSI MEMECAH BELAH UMAT
  • BOLEHKAH SEORANG MUJTAHID MENGKLAIM BAHWA HASIL IJTIHADNYA PASTI BENAR?
  • APAKAH PENDAPAT PARA MUJTAHID YANG BERBEDA-BEDA ITU BENAR SEMUA DI SISI ALLAH SWT ATAU HANYA SATU SAJA ?
  • AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR adalah FARDHU KIFAYAH . Sementara MENJAGA PERSATUAN adalah FARDHU ‘AIN .
  • PEMECAH BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM . DAN MEREKA ADALAH ANJING-ANJING NERAKA JAHANNAM
  • TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :
  • JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG , BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN :
  • PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN PERBEDAAN PENDAPAT DAN MENCELA-NYA :
  • KESIMPULAN DAN TARJIH :

 ========

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===*****===

UNGKAPAN UMUM TENTANG SIKAP BIJAK PARA SALAF DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT:

Pada umumnya para ulama salaf dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, mereka sangat cerdas, bijak, tawadhu’ dan penuh kesejukan dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah (cabang-cabang masalah agama) yang layak dan memungkinkan untuk diperselisihkan.

Tidak ada kesombongan pada diri mereka. Mereka tidak pernah memaksakan pendapatnya kepada orang lain, bahkan ada sebagian dari para imam salaf yang menolak ketika diminta oleh para khalifah agar kitabnya dan madzhabnya dijadikan sebagai madzhab resmi dan menjadi rujukan yang disahkan oleh negara . Seperti yang pernah di alami oleh Imam Malik ketika diminta oleh Khalifah Ma’mun, kemudian oleh Harun al-Rasyid dan yang terakhir oleh Khalifah Abu Ja’far.

Syeikh Muhammad Hassuunah dalam “تَمَامُ الْبَيَانِ فِي ضَابِطِ الْحُكْمِ عَلَى الْأَعْيَانِ” menuturkan :

كَانُوا – رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى – دُعَاةَ صِدْقٍ وَبِرٍّ، طَاهِرُوا الْجِنَانِ مَعَ الْبَنَانِ، عِفَّةُ اللِّسَانِ وَالسِّنَانِ، الْأَمْرُ الَّذِي حَجَبَهُمْ عَنْ إِطْلَاقِ الأَحْكَامِ – كُلِّ الأَحْكَامِ – عَلَى الأَنْامِ – كُلِّ الأَنْامِ – إِلَّا بَعْدَ بَيَانٍ تَلُوْ بَيَانٍ.

بَلْ وَعِنْدَ تَيَقُّنِ الْمُخَالَفَةِ كَانُوا صُبُرًا، فَسَتَرُوا وَتَضَرَّعُوا وَنَصَحُوا، كَرَّرُوا النَّصِيحَةَ تَكْرِيرًا، صَبَرُوا عَلَى الْمُخَالِفِ وَصَابَرُوا بَلْ رَابَطُوا بُغْيَةَ التَّجْمِيلِ.

Mereka ini ( para Ulama Salaf dahulu ) - rahimahumullah- adalah para da’i yang jujur dan baik, hati mereka bersama ujung jarinya suci bersih , selalu menjaga kehormatan gigi dan lisan, mereka selalu menjaga diri agar tidak mudah memvonis hukum terhadap manusia , bahkan seluruh umat manusia . 

Bahkan ketika mereka tahu persis bahwa orang yang menyelisihinya itu yakin salah , akan tetapi mereka bersabar menghadapinya, maka mereka merahasiakan kesalahan-nya, dengan cara merendahkan diri sambil menasihatinya, terus mengulang-ulang dalam menasihatinya .

Mereka begitu sangat sabar dalam menghadapi orang yang menyelisihinya , padahal orang tersebut sangat jelas salahnya , mereka akan terus men sabarkan diri , bahkan mereka mengikat orang yang menyelisihinya dengan ikatan yang sangat indah , puncaknya keindahan .

( Baca : تَمَامُ الْبَيَانِ فِي ضَابِطِ الْحُكْمِ عَلَى الْأَعْيَانِ )

Kemudian Syeikh Muhammad Hassuunah melanjutkan perkataannya tentang para salaf:

لَمْ يُعَجِّلُوا - فِي الْحُكْمِ بِالِابْتِدَاعِ تَعْيِينًا وَالسَّبِّ - عَجَلَةَ النَّسْنَسِ، لَمْ يَتَسَابِقُوا فِيهِ تَسَابُقَ الْفَرَاشِ إِلَى نَارٍ إِينَاسٍ، بَلْ كَانُوا سُدَاةَ النَّاسِ، وَبِمُقْتَضَى تِلْكَ السِّيَادَةِ سَادُوا.

Mereka para ulama salaf dahulu tidak terburu-buru - dalam menghukumi bid’ah tertentu dan tidak tergesa-gesa mencelanya – secepat kilat .

Mereka para ulama salaf tidak berlomba-lomba (mengejar popularitas dan berebut masa) di dalamnya, seperti berpacunya kupu-kupu malam menuju api Inas, tetapi mereka adalah manusia-manusia terhormat, dan dengan standar kehormatan, mereka benar-benar terhormat . ( Baca : تَمَامُ الْبَيَانِ فِي ضَابِطِ الْحُكْمِ عَلَى الْأَعْيَانِ )

Bahkan ada sebagian para salaf yang menjadi pakar dan sangat menguasai ilmu tentang masalah-masalah khilafiyah (yang diperselisihkan) oleh para ulama, misalnya seperti Imam Ahmad . 

Adz-Dzahabi berkata :

قَالَ عَبْدُ الْمُؤْمِنِ النَّسَفِيُّ: سَأَلْتُ أَبَا عَلِيٍّ صَالِحَ بْنَ مُحَمَّدٍ: مَنْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيثِ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ أَمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ؟ فَقَالَ: أَحْمَدُ أَعْلَمُ بِالْفِقْهِ، وَالِاخْتِلَافِ، وَأَمَّا يَحْيَى، فَأَعْلَمُ بِالرِّجَالِ وَالْكُنَى.

مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الْمَدِينِيِّ يَقُولُ: كُنْتُ إِذَا قَدِمْتُ إِلَى بَغْدَادَ مُنْذُ أَرْبَعِينَ سَنَةً، كَانَ الَّذِي يُذَاكِرُنِي أَحْمَدُ، فَرُبَّمَا اخْتَلَفْنَا فِي الشَّيْءِ، فَنَسْأَلُ أَبَا زُكَرِيَّا، فَيَقُومُ فَيُخْرِجُهُ، مَا كَانَ أَعْرَفَهُ بِمَوْضِعِ حَدِيثِهِ. .

Abdul Mu’min al-Nasafi berkata: Saya bertanya kepada Abu Ali Shalih bin Muhammad: "Siapa yang lebih berpengetahuan tentang hadits, Yahya bin Ma'in atau Ahmad bin Hanbal?"

Ia menjawab: "Ahmad lebih berpengetahuan tentang fiqih dan khilafiyat (perbedaan pendapat), sedangkan Yahya lebih berpengetahuan tentang ilmu rijal (perawi) dan kuniyah (nama-nama julukan)."

Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah berkata: Aku mendengar Ali bin al-Madini mengatakan: "Dahulu, ketika aku datang ke Baghdad empat puluh tahun yang lalu, orang yang sering berdiskusi dengan ku tentang hadits adalah Ahmad. Kadang-kadang kami berbeda pendapat dengannya mengenai suatu masalah, namun kami-pun tetap bertanya kepada Abu Zakariya (an-Nasa'i) tentang sebuah hadits, dan beliau mampu menjelaskan letak hadits tersebut. Tidak ada yang lebih mengetahui posisi hadits tersebut daripada beliau". (Lihat : Siyar al-A’laam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi 10/16).

====****====

KUMPULAN PERNYATAAN CERDAS, BIJAK DAN PENUH TAWADHU’ PARA ULAMA DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT:

*****

PERTAMA : PERKATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :

Khalifah Umar bin Abdul Aziz – rahimahullah- wafat pada tahun 101 H.

ATSAR KE 1 :

Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang memberitahu kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq berkata, Abu Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari Qatadah :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ يَكُنْ رُخصَةٌ.

Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata: "Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak pernah berbeda pendapat, karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan ada keringanan (rukhshoh)."

DERAJAT KESHAHIHAN ATSAR DIATAS:

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :

وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ الدَّقَّاقُ وَهُمَا صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

وَأَخْرَجَهُ الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ القَطَّانِ، عَنْ مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ مُخْتَصَرًا.

وَهَذِهِ الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَعْنَى ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.

Dan ini adalah isnad yang hasan, di dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah orang yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya (tsiqah).

Al-Khatib juga meriwayatkannya dalam Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq, dari Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.

Jalur-jalur ini saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul Aziz”. [ Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17 disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].

ATSAR KE 2 :

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:

Musaddad berkata: Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari 'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:

قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا يَسُرُّنِي بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا.

Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di antara para sahabat Rasulullah  ; karena jika kami mengambil pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita mengambil pendapat yang lainya ; maka kita benar juga” .

DERAJAT KESHAHIHAN ATSAR : 

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’* [Baca : Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:]

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :

رَوَاهُ الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.

الحُكمُ عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ بِهَذَا السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا يُعلَمُ قَولُ الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ وَلَعَلَّهُ كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.

“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.

Penilaian terhadapnya: Atsar ini dari Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin Abdul Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar: "Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah jalur-jalur lainnya”.

******

KEDUA : PERKATAAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :

Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin Sa’id Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka, mengatakan:

"مَا بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ أَنَّ الْمُحَرِّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"

“Tidak pernah berhenti para ulama ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang mengharamkannya tidak memvonis bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena berpendapat menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak memvonis bahwa orang yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.” [Baca : “Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2:80].

Dan di riwayatkan dari jalur yang lain oleh Adz-Dzahabi dengan lafal:

"أَهْلُ الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ، وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ، فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا هَذَا عَلَى هَذَا".

“Ahli ilmu adalah orang-orang yang luas pandangannya (berlapang dada), dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat, sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca : At-Radzkirah 1/139].

*****

KETIGA : PERKATAAN YAHYA BIN MA’IN :

Al-Imam Yahya bin Ma’iin rahimahullah ( wafat 158 H ) berkata :

"مَا رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ خَطَأً إِلَّا سَتَرْتُهُ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ أُزَيِّنَ أَمْرَهُ، وَمَا اسْتَقْبَلْتُ رَجُلًا فِي وَجْهِهِ بِأَمْرٍ يَكْرَهُهُ، وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَلِكَ، وَإِلَّا تَرَكْتُهُ."

“ Tidaklah aku lihat kesalahan seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya,  aku senang untuk memperindah urusan dirinya.

Tidaklah aku menjumpai seseorang dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya (secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia yang tahu.

Jika dia menerima penjelasanku (maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku membiarkannya

(Lihat : Siyar al-A’laam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi 10/16)

*****

KE-EMPAT : SIKAP IMAM SYAFI’I :

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dia adalah Muhammad bin Idris, wafat tahun 204 H /820 M.

Yunus bin Abdul ‘Ala berkata:

(مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْقَلَ مِن الشَّافِعِيِّ، لَوْ جُمِعَتْ أُمَّةٌ فُجُعِلَتْ فِي عَقْلِ الشَّافِعِيِّ لَوَسِعَهُمْ عَقْلُهُ؛ نَاظَرْتُهُ يَوْمًا فِي مَسْأَلَةٍ ثُمَّ افْتَرَقْنَا، وَلَقِيَنِي فَأَخَذَ بِيَدِي، ثُمَّ قَالَ لِي: يَا أَبَا مُوسَى، أَلَا يَسْتَقِيمُ أَنْ نَكُونَ إِخْوَانًا وَإِن لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ؟)

"Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dari pada al-Syafi'i. Seandainya suatu umat digabungkan dan diletakkan dalam kecerdasan al-Syafi'i, niscaya kecerdasannya akan mencakupi mereka. Aku pernah berdebat dengannya suatu hari mengenai sebuah masalah, kemudian kami berpisah. Ketika bertemu lagi, dia memegang tanganku dan berkata:

'Wahai Abu Musa, tidakkah sepantasnya kita tetap menjadi saudara (bersahabat) meskipun kita tidak sepakat dalam suatu masalah?'" [Baca : "Sejarah Damaskus" oleh Ibnu Asakir (51/302) dan “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” 10/16].

Dalam kitab “الْحِلْيَةُ” 9/122  karya Abu Nu’aim ( wafat 430 H ) di sebutkan :

عَنْ يُونُسَ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – تِلْمِيذِ الإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – ذَاتَ يَوْمٍ: يَا يُونُسُ، إِذَا بَلَّغْتَ عَنْ صَدِيقٍ لَكَ مَا تَكْرَهُهُ، فَإِيَّاكَ أَنْ تُبَادِرَ بِالْعَدَاوَةِ، وَقَطْعِ الْوِلَايَةِ، فَتَكُونَ مِمَّنْ أَزَالَ يَقِينَهُ بِشَكٍّ، وَلَكِنِ الْقِهِ، وَقُلْ لَهُ: بَلَغَنِي عَنْكَ كَذَا وَكَذَا، وَأَجْدَرُ أَنْ تُسَمِّيَ الْمُبَلِّغَ، فَإِنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ، فَقُلْ لَهُ: أَنتَ أَصْدَقُ وَأَبَرُّ، وَلَا تَزِيدَنَّ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، وَإِنِ اعْتَرَفَ بِذَلِكَ فَرَأَيْتَ لَهُ وِجْهًا، بِعُذْرٍ فَاقْبَلْ مِنْهُ" "الْحِلْيَةُ" (9/122).

Dari Yunus bin Abdul A’la , murid al-Imam asy-Syafi’i , bahwa pada suatu hari Imam Syafii berkata :

“ Wahai Yunus, ketika sampai kepada kamu sebuah informasi tentang seorang teman mu , yang isinya informasi yang kamu benci, maka waspadalah, kamu jangan tergesa-gesa terhadap permusuhan dan pemutusan persahabatan, sehingga kamu akan menjadi salah satu dari mereka yang suka menghilangkan sesuatu yang yakin dengan keraguan .

Langkah yang benar, temui lah dia, dan ceritkan kepadanya : telah sampai kepadaku informasi tentang dirimu bahwa kamu begitu dan begitu ??? dan sebaiknya kau sebutkan nama orang orang yang menyampaikannya . Maka ketika dia mengingkarinya , maka kamu katakan : Kamu lebih jujur dan lebih baik , dan jangan menambahkan apapun padanya . Dan jika dia mengakuinya , lalu kamu lihat di wajahnya nampak menyesal maka kamu terimalah “.

*****

KE-LIMA : AL-IMAM AL-AJURRIY

Al-Imam al-Ajurri rahimahullah (wafat pada tahun 360 H). Ketika beliau menyebutkan :

"ذِكْرُ الأَغْلَطَاتِ وَتَعْقِيدُ الْمَسَائِلِ"

“Kekacau balauan dan rumitnya hukum masalah-masalah “

 Beliau berkata tentang adab perbedaan pendapat yang benar :

وَلَيْسَ هَـٰذَا طَرِيقُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَا كَانَ يَطْلُبُ بَعْضُهُمْ غَلَطَ بَعْضٍ، وَلَا مُرَادُهُمْ أَنْ يُخْطِئَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، بَلْ كَانُوا عُلَمَاءَ عُقَلَاءَ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ مُنَاصَحَةً وَقَدْ نَفَعَهُمُ ٱللَّهُ بِالْعِلْمِ

Ini bukanlah cara yang dilakukan oleh para salafus saaleh, tidak ada sebagian dari mereka yang suka mencari-cari kesalahan satu sama lain, dan tujuan mereka bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain .

Sebaliknya, mereka adalah para ulama yang berakal sehat , mereka jika berbicara berdasarkan ilmu dengan tujuan untuk saling bernasihat dan dinasihati. Dan Allah swt telah menjadikan ilmu mereka bermanfaat “.

Baca : kitab “أَخْلَاقُ الْعُلَمَاءِ” hal. 87 dalam perbedaan pendapat .

*****

KE-ENAM : PERKATAAN SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH  

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H / 1328 M) berkata:

وَكَانَ السَّلَفُ يَتَنَاظَرُونَ فِي الْمَسْأَلَةِ مُنَاظَرَةَ مُشَاوَرَةٍ وَمُنَاصَحَةٍ، وَرُبَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُمْ فِي الْمَسْأَلَةِ الْعِلْمِيَّةِ وَالْعَمَلِيَّةِ مَعَ بَقَاءِ الأُلفَةِ وَالْعِصْمَةِ وَأُخُوَّةِ الدِّينِ

"Dan para salaf saling berdebat dalam suatu masalah dengan cara diskusi, bermusyawarah dan saling menasihati, dan kadang-kadang pendapat mereka berbeda dalam masalah ilmiah dan praktis, namun mereka tetap menjaga keharmonisan, keamanan, dan persaudaraan dalam agama." [Baca : **"Majmu' al-Fatawa"** (24/172)].

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata pula :

وَمَن جَالَسَنِي يَعْلَمْ ذَلِكَ مِنِّي: أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مَعَيَّنٌ إِلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إِلَّا إِذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرِّسَالِيَّةُ، الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً، وَفَاسِقًا أُخْرَى، وَعَاصِيًا أُخْرَى، وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا، وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ.

Dan siapa pun yang duduk dengan saya pasti tahu tentang saya : bahwa saya adalah salah satu dari orang-orang keras yang melarang pentakfiran , pentafsikan dan mengecap ahli maksiat yang ditujukan pada orang tertentu, kecuali setelah diketahui bahwa “al-hujjah ar-rosaaliyah” telah disampaikan padanya.

Siapapun yang menentangnya , maka terkadang dia kafir , terkadang fasiq , dan terkadang maksiat .

Dan saya menyatakan bahwa Allah telah mengampuni umat ini atas kesalahannya.

Ini meliputi semua kesalahan , dalam masalah kabar ucapan dan masalah-masalah amalan . (Majmu’ Fataawaa Ibnu Taymiyyah, 3/229).

Makna ““al-hujjah ar-rosaaliyah” adalah : dalil syar’i yang di bawa oleh Nabi  .

Dan Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:

"وَكَثِيرٌ مِنْ مُجْتَهِدِي السَّلَفِ وَالْخَلَفِ قَدْ قَالُوا وَفَعَلُوا مَا هُوَ بِدْعَةٌ، وَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ بِدْعَةٌ، إِمَّا لِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ ظَنُّوهَا صَحِيحَةً، وَإِمَّا لِآيَاتٍ فَهِمُوا مِنْهَا مَا لَمْ يُرَدْ مِنْهَا، وَإِمَّا لِرَأْيٍ رَأَوْهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ نُصُوصٌ لَمْ تَبْلُغْهُمْ، وَإِذَا اتَّقَى الرَّجُلُ رَبَّهُ مَا اسْتَطَاعَ" – يَعْنِي : مِنْ هَؤُلَاءِ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ أَخْطَؤُوا - "دَخَلَ فِي قَوْلِهِ : [رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا] [البقرة : 286 ] وَفِي الصَّحِيحِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ قَالَ : " قَدْ فَعَلْتُ "."

“Banyak mujtahid Salaf dan Kholaf telah berpendapat dan melakukan apa yang merupakan bid'ah, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah bid'ah , Entah karena dha’ifnya hadits yang mereka anggap shahih, atau karena ayat-ayat yang mereka pahami yang tidak ada keterangan yang sampai kepadanya tentang makna ayat-ayat tersebut , atau karena pendapat yang mereka lihat , padahal dalam hal itu ada nash yang belum sampai kepada mereka .

Dan jika ada seseorang yang berusaha semampunya agar bisa bertakwa kepada Rabbnya ; maka dia masuk dalam katagori firman Allah SWT :

{ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”

Dan dalam hadits Shahih, Allah telah berfirman : Aku telah melakukan . [Majmu’ al-Fataawaa: 19/191].

Penulis katakan : Beliau mengisyaratkan pada hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , dia berkata,

"لَمَّا نَزَلَتْ هذِه الآيَةُ: {وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ} [البقرة: 284]، قالَ : دَخَلَ قُلُوبَهُمْ مِنْها شيءٌ لَمْ يَدْخُلْ قُلُوبَهُمْ مِن شيءٍ، فقالَ النبيُّ ﷺ:
قُولوا: سَمِعْنا وأَطَعْنا وسَلَّمْنا
قالَ: فألْقَى اللَّهُ الإيمانَ في قُلُوبِهِمْ، فأنْزَلَ اللَّهُ تَعالَى: {لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا} . قالَ: قدْ فَعَلْتُ
{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا} . قالَ: قدْ فَعَلْتُ .
{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا} قالَ: قدْ فَعَلْتُ ".

"Ketika turun ayat :

{وَإنْ تُبْدُوا ما في أنْفُسِكُمْ أوْ تُخْفُوهُ يُحاسِبْكُمْ به اللَّهُ}

'(Dan jika kamu melahirkan sesuatu yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu) ' (Qs. Albaqarah: 284).

Ibnu Abbas berkata, "Maka masuklah suatu kesedihan darinya ke dalam hati mereka yang mana belum pernah masuk ke dalam hati mereka sedikit pun sebelumnya ."

Maka Nabi  bersabda: "Katakanlah, 'Saya mendengar dan saya menaati serta saya menyerahkan diri'."

Ibnu Abbas berkata, "Lalu Allah meletakkan iman pada hati mereka, yang kemudian menurunkan ayat:

{لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَها لها ما كَسَبَتْ وعليها ما اكْتَسَبَتْ رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إنْ نَسِينا، أوْ أخْطَأْنا}

'(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), 'Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah) ' (Qs. Al Baqarah: 286),

Allah berfirman: "Sungguh aku telah melakukannya."

{رَبَّنا ولا تَحْمِلْ عليْنا إصْرًا كما حَمَلْتَهُ علَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنا}

'(Wahai Rabb kami, dan janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami) ' (Qs. Al baqarah: 286),

Allah berfirman: "Aku telah melakukanya."

{واغْفِرْ لنا وارْحَمْنا أنْتَ مَوْلانا}

'(Wahai Rabb kami, Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami) '

Allah berfiraman: "Aku telah lakukan."

*****

KE-TUJUH : PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :

Ibnu Qayyim rahimahullah (wafat. 751 H) berkata:

"وُقُوعُ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ إِرَادَاتِهِمْ وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ بَغْيُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."

"Terjadinya perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena perbedaan keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun, yang tercela adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dan permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah 1/269].

*****

KE-DELAPAN : AL-IMAM ADZ-DZAHABI

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat 748 H / 1348 M), dia berkata:

" وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَنْ أَخْطَأَ فِي اجْتِهَادِهِ مَعَ صِحَّةِ إِيمَانِهِ، وَتَوَخِّيْهِ لِاتِّبَاعِ الْحَقِّ أَهْدَرْنَاهُ، وَبَدَّعْنَاهُ؛ لَقَلَّ مَنْ يَسْلَمُ مِنَ الْأَئِمَّةِ مَعَنَا، رَحِمَ اللهُ الْجَمِيعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ".

“Dan jika setiap orang yang salah dalam ijtihadnya dengan kebenaran imannya, dan  keinginannya yang kuat untuk mengikuti kebenaran, lalu kami menyia-nyiakannya, dan kami menganggapnya ahli bid’ah ; maka jika demikian , sangat sedikit orang yang selamat dari kalangan para imam yang bersama kami .

Semoga Allah merahmati semua orang dengan rahmat dan kemurahan-Nya”

[ Baca : “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” (14/376)].

Dan di halaman lain Al-Dzahabi rahimahullah juga berkata :

"وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَا أَخْطَأَ إِمَامٌ فِي اجْتِهَادِهِ فِي آحَادِ المَسَائِلِ خَطَأً مَغْفُورًا لَهُ قُمْنَا عَلَيْهِ وَبَدَّعْنَاهُ وَهَجَرْنَاهُ؛ لَمَا سَلِمَ مَعَنَا لَا ابْنُ نَصْرٍ، وَلَا ابْنُ مَنْدَه" -هَؤُلَاءِ مِنَ الكِبَارِ- "وَلَا مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُمَا، وَاللهُ هُوَ هَادِي الخَلْقِ إِلَى الحَقِّ، وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الهَوَى وَالفَظَاظَةِ".

Dan jika semua kesalahan yang dilakukan seorang imam dalam ijtihadnya pada masalah-masalah tertentu, kesalahan yang dimaafkan, lalu kami bangkit menyalahkannya, membid’ahkannya, dan mengucilkannya ( meng hajernya ) ; maka tidak akan ada yang selamat orang – orang yang bersama kami, tidak pula ulama sekelas Ibnu Nasher dan tidak pula sekelas Ibnu Mandah – mereka berdua adalah para ulama besar – bahkan tidak akan selamat pula para ulama yang lebih besar dari keduanya . 

Dan Allah adalah Pemberi petunjuk makhluk kepada kebenaran, dan Dia adalah Maha Penyayang dari semua penyayang , maka Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan bercerai berai / pecah belah “.

[ Baca : “سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ” 14/40].

*****

KE-SEMBILAN : PERKATAAN AL-MUNAWI

Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata:

"فَاخْتِلَافُ المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ، وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ الأُمَّةُ."

"Perbedaan mazhab adalah nikmat besar, dan keutamaan besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca : Faidhul Qodiir 1/271].

*****

KE-SEBELAS : PERKATAAN SYEIKH AL-ALBANI

Syekh Al-Albani berkata:

"مِثْلُ النَّوَوِيِّ، وَابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيِّ، وَأَمْثَالِهِمْ، مِنَ الظُّلْمِ أَنْ يُقَالَ عَنْهُمْ: إِنَّهُمْ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ، أَنَا أَعْرِفُ أَنَّهُمَا مِنْ "الأَشْعَرِيَّةِ"، لَكِنَّهُمَا مَا قَصَدَا مُخَالَفَةَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَإِنَّمَا وَهِمَا، وَظَنَّا أَنَّ مَا وَرِثَاهُ مِنَ الْعَقِيدَةِ الأَشْعَرِيَّةِ: ظَنَّا شَيْئَيْنِ اثْنَيْنِ".

“Misalnya Al-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan semisalnya, termasuk kedzaliman jika ada yang mengatakan bahwa mereka itu Ahli Bid’ah. Saya mengetahui bahwa mereka berdua termasuk dalam golongan "Asy'ariyyah," namun mereka tidak bermaksud menentang Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka hanya keliru dan mengira bahwa apa yang mereka warisi dari akidah Asy'ariyyah adalah benar. Mereka mengira ada dua hal .

Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).

Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.

(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)

*****

KE-DUA BELAS : PERKATAAN SYEIKH SHOLEH AL-FAUZAAN :

Syeikh Sholeh al-Fauzaan pernah di tanya :

لَقَدْ ظَهَرَ بَيْنَ طُلَّابِ العِلْمِ اخْتِلَافٌ فِي تَعْرِيفِ المُبْتَدِعِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ مَنْ قَالَ أَوْ فَعَلَ البِدْعَةَ وَلَمْ تَقَعْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا بُدَّ مِنْ إِقَامَةِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ العَالِمِ المُجْتَهِدِ وَغَيْرِهِ مِنَ الَّذِينَ أَصَّلُوا أُصُولَهُمُ المُخَالِفَةَ لِمَنْهَجِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَظَهَرَ مِنْ بَعْضِ هَذِهِ الأَقْوَالِ تَبْدِيعُ ابْنِ حَجَرٍ وَالنَّوَوِيِّ، وَعَدَمُ التَّرَحُّمِ عَلَيْهِمْ.

Di kalangan para penuntut Ilmu (طُلَّابِ العِلْمِ) telah muncul perbedaan pendapat dalam definisi ahli bid’ah.

Sebagian dari mereka berkata: Dialah yang mengatakan atau melakukan bid'ah meskipun belum sampai kepadanya hujjah .

Dan sebagian dari mereka berkata: Hujjahnya harus ditegakkan dulu terhadapnya.

Dan di antara mereka ada yang membedakan antara ulama yang mujtahid dengan orang lain yang membangun pondasi pemahaman agamanya bertentangan dengan Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.

Dan telah nampak dari sebagian perkataan mereka membid'ahkan Ibnu Hajar dan an-Nawawi, dan melarang untuk mendoakan rahmat untuk mereka “. 

Maka Syeikh Shaleh menjawab :

هٰذِهِ مُلَاحَظَةٌ مُهِمَّةٌ: 

"أَوَّلًا: لَا يَنْبَغِي لِلطَّلَبَةِ المُبْتَدِئِينَ، وَغَيْرِهِمْ مِنَ العَامَّةِ أَنْ يَشْتَغِلُوا بِالتَّبْدِيعِ وَالتَّفْسِيقِ"، صِغَارُ الشَّبَابِ هٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنْفُسَهُمْ مُحَامِينَ عَنْ مَنْهَجِ السَّلَفِ، وَعِنْدَهُمْ جَهْلٌ وَغُلُوٌّ وَإِفْرَاطٌ، وَيُرِيدُ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي ابْنِ حَجَرٍ وَالنَّوَوِيِّ، مَا هُوَ مُسْتَوَاكَ؟ مَنْ الَّذِي نَصَبَكَ فِي عُلَمَاءَ أَكْبَرَ مِنْكَ، وَأَغْيَرَ مِنْكَ عَلَى الدِّينِ، وَأَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى القِيَامِ بِأَمْرِ اللهِ؟ 

سُبْحَانَ اللهِ! مَجْمُوعَةُ غَوْغَاءَ لَا يَصْلُحُ أَنْ تَقُولَ: نِصْفَ طَالِبِ عِلْمٍ، وَمِنْ أَسْوَإِ صِفَاتِهِمْ قِلَّةُ الأَدَبِ، إِذَا كَانَ طُلَّابُ الإِمَامِ أَحْمَدَ -رَحِمَهُمُ اللهُ- يَجْلِسُونَ عِنْدَهُ لِيَتَعَلَّمُوا مِنْهُ الأَدَبَ قَبْلَ العِلْمِ، هٰؤُلَاءِ لَا عِلْمَ وَلَا أَدَبَ، وَلِذٰلِكَ التَّطَاوُلُ عِنْدَهُمْ سَهْلٌ، يَأْتِي لِشَيْخٍ فِي الحَرَمِ يَضْرِبُهُ بِالنِّعَالِ، يَقُولُ: سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ الوُجُوهُ، لَا يُوجَدُ أَدَبٌ وَلَا تَرْبِيَةٌ. 

مِثْلُ هٰؤُلَاءِ الغُلَاةِ فِي التَّكْفِيرِ، مَنْ الَّذِي يَتَوَلَّى التَّكْفِيرَ؟ 

صِغَارٌ، وَيَنْصِبُ نَفْسَهُ قَاضِيًا، وَيَحْكُمُ بِالرِّدَّةِ، وَيَسْتَبِيحُ الدَّمَ، وَيَسْتَحِلُّ المَالَ، المَسَائِلُ خَطِيرَةٌ كَبِيرَةٌ يَنْتَصِبُ لَهَا أَغْرَارٌ سُفَهَاءُ، لَا أَدَبَ وَلَا عِلْمَ، وَلَا فِقْهَ، وَلَا حِكْمَةَ، وَلَا يَعْرِفُ مُوَازَنَةَ المَصَالِحِ وَالمَفَاسِدِ أَسَاسًا، وَيُرِيدُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالتَّكْفِيرِ وَالتَّبْدِيعِ، وَالحُكْمِ بِاسْتِحْلَالِ الدَّمِ وَالمَالِ، وَهٰذِهِ مُصِيبَتُنَا، هٰذِهِ الآنَ مِنْ مَصَائِبِ الأُمَّةِ، الأُمَّةُ الآنَ مُتَخَلِّفَةٌ، وَتَسَلَّطَ عَلَيْهَا الأَعْدَاءُ، التَّشَبُّهُ بِالكُفَّارِ، وَالاشْتِغَالُ بِالدُّنْيَا، وَأَشْيَاءُ كَثِيرَةٌ مِنْ أَسْبَابِ تَخَلُّفِ الأُمَّةِ، وَهٰذَا وَاحِدٌ مِنْهَا، يَعْنِي: هٰذَا وَاحِدٌ مِنَ الابْتِلَاءَاتِ. 

Ini adalah catatan-catatan penting:

Pertama: Tidak pantas bagi para siswa pemula, dan lainnya dari masyarakat umum, untuk terlibat/menyibukkan diri dalam membid’ahkan seseorang dan memfasiq kan nya .”

Anak-anak muda yang masih ingusan , mereka mengira bahwa diri mereka adalah sebagai para pembela manhaj salaf , padahal mereka ini hanya memiliki kedunguan, ghuluw dan kebablasan , lalu tiba-tiba dia ingin berbicara tentang kesesatan Ibnu Hajar dan Al-Nawawi ?? Level mu Apa?

Siapakah yang mengangkat kamu di antara para ulama yang lebih besar darimu, lebih cemburu dari kamu dalam agama, dan lebih bersemangat dari kamu untuk menjalankan perintah Allah?

Subhanallah ! Sekelompok gerombolan gembel yang tidak pantas untuk dikatakan : Setengah penuntut ilmu, dan salah satu ciri terburuk mereka adalah sedikitnya adab .

Jika murid-murid Imam Ahmad saja - semoga Allah merahmati mereka - duduk bersamanya untuk belajar darinya adab sebelum ilmu , namun mereka kelompok para gembel ini tidak berilmu dan tidak punya adab,  oleh karena itu mulut mereka sangat mudah menjelek-jelek orang .

Salah seorang dari mereka ada yang datang kepada seorang Syeikh di mesjid al-Haram, lalu dia memukulnya dengan sandal, sambil mengatakan :

سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ الوُجُوهُ

“Semoga Allah menghitamkan wajahmu , di hari ketika wajah-wajah menjadi hitam “

[[NOTE :

Penulis katakan : si gembel yang memukul syekh tersebut disebabkan karena dia menganggap syeikh tersebut telah menyelisihi pendapat imamnya yang sangat dia kultuskan, dan menurut nya bahwa pendapat yang hak dan benar itu cuma satu, tidak boleh lebih, jika lebih, maka selebihnya adalah batil dan bid’ah . Dan yang hak dan benar adalah pendapat imam-nya atau syeikhya.

Adapun ucapan nya “سَوَّدَ اللهُ وَجْهَكَ” maka in mengisyaratkan pada Firman Allah SWT :

]يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ فَذُوقُوا۟ ٱلْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ[

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):

"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS: Ali-Imran :106 )

Dan apa yang dikatakan sigembel pemukul syeikh tersebut, ada kemiripan dengan perkataan Ibnu Muljam ketika menebas leher Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” lalu Ia membaca firman Allah SWT :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).

(Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 5/143-146, ath-Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad, 3/36-37, al-Muntazham, 5/172-173, al- Kamil, 3/388-389 dan Tarikh Islam juz Khulafaur Rasyidin halaman 607-608. PEN. ))

Perbuatan si gembel pemukul syeikh tersebut menandakan bahwa dia itu terpapar manhaj Khawarij, pemecah belah umat. 

Imam Ahmad (no. 22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000) meriwayatkan dari Abu Umamah :

رَأى أَبُو أُمَامَةَ رُؤُوسًا مَنصُوبَةً عَلَى دَرَجِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَن قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ (يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَو لَم أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَو مَرَّتَيْنِ أَو ثَلَاثًا أَو أَرْبَعًا - حَتَّى عَدَّ سَبْعًا - مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.

“Abu Umamah radhiyallahu anhu melihat kepala kepala [kaum khowarij yang terbunuh] diletakkan [dipancangkan] di tangga masjid Damaskus.

Beliau berkata, “Mereka itu adalah anjing anjing neraka. Mereka seburuk buruk orang yang terbunuh di kolong langit. Dan sebaik baik yang dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka.”

Kemudian dia membacakan ayat :

( يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ).

( Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah yang nampak putih berseri, dan ada pula wajah-wajah yang nampak hitam muram. Adapun orang-orang yang wajahnya hitam muram (maka kepada mereka dikatakan): "Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu"). [QS. Ali Imran : 106].

Abu Ghalib berkata kepada Abu Umamah, “Engkau mendengar itu dari Rasulullah ?”

Beliau berkata, “Jika aku mendengarnya hanya sekali , dua kali , tiga kali , empat kali hingga tujuh kali tentu aku tidak berani menyampaikan pada kalian. Tapi aku mendengarnya lebih dari tujuh kali.”

Abu Iisa at-Tirmidzi berkata :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزَوَّرٌ وَأَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ اسْمُهُ صُدَيُّ بْنُ عَجْلَانَ وَهُوَ سَيِّدُ بَاهِلَةَ

"Ini adalah hadits hasan , nama Abu Ghalib adalah Hazur, dan nama Abu Umamah al-Bahili adalah Suday Ibnu 'Ajlan, dan dia adalah tokoh Bahilah".

Dan al-Haitsami merujuknya kepada ath-Thabarani, beliau berkata: "Para perawinya adalah tsiqaat (terpercaya)" (Majma' al-Zawaid 6/234). Hal ini juga disebutkan oleh al-Hakim yang mensahihkannya dan disetujui oleh al-Dzahabi (al-Mustadrak 2/149-150). Ibnu Katsir juga meriwayatkannya dan berkata: "Hadits ini, bagian-bagian terkecilnya adalah mawquuf dari perkataan seorang sahabat" (Tafsir Ibnu Katsir 1/346).

Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482.]] (SELESAI SAMPAI DI SINI TAMBAHAN DARI PENULIS).

LANJUTAN PERKATAAN SYEIKH SHALEH AL-FAUZAAN :

“ Dia tidak punya adab dan tidak berpendidikan.

Mirip seperti itu para ekstremis ( Ghulaat ) dalam mengkafirkan orang lain , siapa sebenarnya yang berhak menentukan pengkafiran seseorang ?

Mereka anak-anak kecil, tapi mengangkat dirinya seolah-seolah sebagai hakim , dia menghukumi murtadnya seseorang, lalu menghalalkan darahnya, dan menghalalkan hartanya.

Masalah-masalahnya sangat berbahaya , tertipu dan terpdaya orang-orang dungu yang diangkat untuk membimbing mereka, tidak beradab , tidak faham ilmu fiqih , tidak tahu hikmah dan tidak mengerti tentang keseimbangan antara maslahat dan mafsadat .

Dan dia itu berkeinginan menyibukkan dirinya dengan mentakfirkan ( mengecap kafir seseorang  ) dan mentabdi’kan ( mengecap seseorang sebagai ahli bid’ah ) , juga menghukumi halalnya darahnya dan hartanya .

Ini adalah mushibah atas kami yang sekarang ini telah menimpa umat ini . Umat ini sekarang saling berselisih , dan musuh-musuh umat ini ikut terlibat dalam mengendalikannya, ber tasyabbuh dengan orang-orang kafir , sibuk dengan dunia , banyak sekali sebab-sebab yang membuat umat ini menjadi tertinggal , dan ini adalah salah satu dari ibtila’aat (الِابْتِلَاءَات)”.

===*****===

PARA SALAF MENGUTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:

وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا حَسَنًا

"Disunnahkan bagi seseorang untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi  meninggalkan perubahan bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar.

Juga seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman yang menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia shalat di belakangnya dengan sempurna 4 rakaat . Dia (Ibnu Mas’ud) berkata : 'Perselisihan adalah keburukan’.' Ini adalah pandangan yang baik”.

Abdurrahman bin Yazid berkata :

"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".

Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata: 

“Aku dulu shalat bersama Nabi , Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.

Kemudian terjadilah perbedaan pendapat diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” 

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau: 

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?” 

Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu adalah buruk .” 

["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."

Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].

Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:

وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ‌ابْنِ ‌مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ

Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:

'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi  shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'

Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perselisihan itu adalah buruk.'"

Perselisihan itu lebih dahsyat dampak buruknya dari pada amalan sunnah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar radhiyalahu ‘anhu . Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki, ia berkata:

كُنَّا قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ، فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، ‌فَقِيلَ ‌لَهُ: ‌عِبْتَ ‌عَلَى ‌أَمِيرِ ‌الْمُؤْمِنِينَ ‌شَيْئًا، ‌ثُمَّ ‌صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ فِيمَنْ يُعِزُّهُ "

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ

Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.

Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya: "Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.

Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah  dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar dan Umar."

Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi kemudian engkau sendiri melakukannya."

Dia menjawab: **Perselisihan itu lebih dahsyat (dampak buruknya)**. Sesungguhnya Rasulullah  pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda: 'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan mereka. Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi perpecahan dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi, kemudian dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa tersebut.'

Rasulullah  memerintahkan kami agar tidak mengalah dalam tiga hal: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang mungkar, dan mengajarkan sunnah kepada manusia.

(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460.)

Syu'aib Al-Arna'ut berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي الصِّدْقُ.

Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat", tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang jujur. [Baca : Musnad 35/364. No. 21460].

Begitu pula masalah yang berkenaan dengan mengeraskan baca **Bismillah** dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

فَمَقْصُودُ أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا ( البَسْمَلَة ) فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا جَهَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ: لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَكَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ الْجَهْرُ بِهَا مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ أَيْضًا

Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah sunnah.

Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali. Dan Nabi  kadang-kadang mengeraskan bacaan ayat dalam shalat Dzuhur dan Ashar.

Oleh karena itu, diriwayatkan dari kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan isti'adzah."

===*****===

PARA SALAF MENERAPKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR MASYARAKAT SETEMPAT TIDAK BERPECAH BELAH!

Utamakan Hukum Fiqih Yang Biasa Di terapkan Di Daerahmu, demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat .  

Berikut ini sebagian astar para salaf tentang hal ini :

*****

PERTAMA : ATSAR ALI BIN ABI THALIB :

Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Ali bin Abi Thalib -radhiallahu ‘Anhu- berkata :

«‌اقْضُوا ‌كَمَا ‌كُنْتُمْ ‌تَقْضُونَ، ‌فَإِنِّي ‌أَكْرَهُ ‌ٱلاخْـتِـلاَفُ، حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي» فَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ: «يَرَى أَنَّ عَامَّةَ مَا يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ الكَذِبُ»

“Putuskanlah dalam berhukum dengan keputusan hukum yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan, sampai aku mendapati manusia bersatu dalam satu jemaah, atau aku mati sebagaimana matinya para sahabatku”.

"Ibnu Sirin melihat bahwa sebagian besar yang diriwayatkan dari Ali adalah kebohongan."

[HR. Bukhori no. 3707].

"Al-Thahawi berkata:

وَنَرَى ‌الْجَمَاعَةَ ‌حَقًّا ‌وَصَوَابًا ‌وَالْفُرْقَةَ ‌زَيْغًا ‌وَعَذَابًا

'Kami memandang bahwa jamaah (bersatu) adalah benar dan tepat, sedangkan perpecahan adalah penyimpangan dan adzab (siksaan).'" . [ Baca Syarah al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 85 no. 102].

Dari 'Ubaidah bin 'Amr al-Salmani, dia berkata:

كَتَبَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيحٍ أَنْ اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ يَعْنِي فِي أُمِّ الوَلَدِ وَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي

"Ali menulis kepadaku dan kepada Shuraih, 'Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya, yaitu dalam perkara ummul walad, dan sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia bersatu dalam satu jemaah atau aku mati seperti sahabat-sahabatku telah mati.'"

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Fath 7/91 (Cet. As-Salafiyah) berkata :

وَقَدْ أَخْرَجَهُ ابْنُ المُنْذِرِ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عُبَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيْحٍ فَقَالَ: إِنِّي أَبْغَضُ ٱلاخْـتِـلاَفُ فَاقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.. الخَبَرُ.

"Dan telah meriwayatkannya Ibnu al-Mundhir melalui jalur Ali bin Abdul Aziz dari Abu Nuaim dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Ubaidah, yang berkata: Ali mengirim utusan kepadaku dan kepada Syuraih, dan berkata: 'Sesungguhnya aku membenci perselisihan, maka putuskanlah dalam hukum sebagaimana kalian biasa memutuskan.'"

Dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam *Muwafaqatu al-Khabar al-Khabar* 1/169 berkata : “Sanadnya sahih”.

Dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam al-Irwaa’ 6/190 .

SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB radhiyallahu ‘anhu:

KE 1 : Dalam **Jami' al-Sunnah wa Syarhuha** disebutkan :

قَوْلُهُ: (قَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ)، أَي: قَالَ عَلِيٌّ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ: اقْضُوا الْيَوْمَ كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ قَبْلَ هَذَا.

وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا قَدِمَ إِلَى الْعِرَاقِ قَالَ: كُنْتُ رَأَيْتُ مَعَ عُمَرَ أَنْ تُعْتَقَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ، وَقَدْ رَأَيْتُ الْآنَ أَنْ يُسْتَرَقَّقْنَ، فَقَالَ عُبَيْدَةُ: رَأْيُكَ يَوْمَئِذٍ فِي الْجَمَاعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَأْيِكَ الْيَوْمَ فِي الْفُرْقَةِ، فَقَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، وَخَشِيَ مَا وَقَعَ فِيهِ مِنْ تَأْوِيلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَيُرْوَى: اقْضُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.

قَوْلُهُ: (فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ) يَعْنِي: أَنْ يُخَالِفَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.

وَقَالَ الْكَرْمَانِيُّ: اخْتِلَافُ الْأُمَّةِ رَحْمَةٌ، فَلِمَ كَرِهَهُ؟ قُلْتُ: الْمَكْرُوهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذِي يُؤَدِّي إِلَى النِّزَاعِ وَالْفِتْنَةِ.

*Kalimat: (Dia berkata: Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan), artinya: Ali berkata kepada penduduk Irak: Putuskanlah hari ini sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya.*

*Dan sebabnya adalah ketika Ali tiba di Irak, dia berkata: Dahulu aku bersama Umar berpendapat bahwa ummahat al-awlad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) harus dibebaskan, tetapi sekarang aku berpendapat bahwa mereka harus tetap dijadikan budak.

Maka 'Ubaidah berkata: Pendapatmu saat itu yang membawa persatuan lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan menimbulkan perpecahan.

Maka Ali berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan”.

Dan dia khawatir dengan apa yang ditafsirkan oleh penduduk Irak.

Diriwayatkan juga bahwa dia berkata : Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan.*

*Kalimat: (Sesungguhnya aku membenci perselisihan), artinya: Ali tidak ingin berselisih dengan Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.*

*Dan al-Kirmani berkata: Perbedaan umat adalah rahmat, maka mengapa dia membencinya? Aku jawab : Perbedaan yang dibenci adalah yang mengarah pada perselisihan dan fitnah.*

KE 2 : Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam **Al-Durar Al-Saniyyah**:

أمَر الإسْلامُ بالاجتِماعِ، ونَهى عنِ التَّفرُّقِ وٱلاخْـتِـلاَفُ، وقدْ عمِل الصَّحابةُ رَضيَ اللهُ عنهم على تَطْبيقِ هذا المَنهَجِ القَويمِ، وهذا المَتنُ له سَببٌ؛ وذلك أنَّ عَلِيَّ بنَ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه لَمَّا قَدِم العِراقَ، وسَأَله أهْلُها عن رَأيِه في أمِّ الوَلدِ؛ هلْ تُباعُ أو لا؟

-وأُمَّهاتُ الأوْلادِ هنَّ الإماءُ المَملوكاتُ اللَّاتي وَطِئَهنَّ أسْيادُهنَّ ومالِكوهنَّ، فحمَلْنَ وولَدْنَ-

فأخبَرَهم أنَّ رَأيَه كرَأيِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في عَدمِ بَيعِ أمَّهاتِ الأوْلادِ، وأنَّهنَّ يُعتَقْنَ بعْدَ وَفاةِ السَّيِّدِ والمالِكِ؛ وذلك لأنَّ الابنَ المَوْلودَ يَكونُ سَببًا في عِتقِ أُمِّه، وأنَّه رجَعَ عنه، فرأَى أنْ يُرِقَّهنَّ، ويَبقَيْنَ ضِمنَ مالِ السَّيِّدِ بعْدَ مَوتِه ولا يُعتَقْنَ. وورَد عندَ البَيْهَقيِّ في الكُبْرى أنَّ التَّابِعيَّ عَبيدةَ السَّلْمانيَّ قال لعَليٍّ رَضيَ اللهُ عنه: «رأيُكَ ورَأيُ عُمَرَ في الجَماعةِ أحَبُّ إلَيَّ مِن رَأيِكَ وَحْدَكَ في الفُرْقةِ»، أي: إنِّي آخُذُ بفَتْواكَ الَّتي وافقَتْ فَتْوى عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في الجَماعةِ، وأترُكُ رَأيَكَ وَحْدَكَ إذا كُنتَ مُفتَرِقًا، فقال له عَلِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه: اقْضوا كما كُنْتم تَقْضونَ قَبلُ؛ فإنِّي أكرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، أي: ٱلاخْـتِـلاَفُ على الشَّيخَينِ، أو ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذي يُؤدِّي إلى التَّنازُعِ والفِتَنِ، وإنَّما فعَل علِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه ذلك لمَّا وجَد مَن يرُدُّ عليه قَولَه، فكَرِه الخِلاَفُ؛ لأنَّه لا يَأْتي إلَّا بالشَّرِّ والتَّفرُّقِ، وحتَّى يَجتَمِعَ النَّاسُ على قَولِ الجَماعةِ. وقَولُه: «أو أموتَ كما مات أصْحابي»، أي: إلى أنْ أموتَ كما مات أصْحابي على الحَقِّ والهِدايةِ، والمُرادُ مَن سبَقَه مِن الخُلَفاءِ الرَّاشِدينَ.

وفي الحَديثِ: فَضلٌ ومَنقَبةٌ لعَلِيِّ بنِ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه.

Islam memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan serta perselisihan. Para sahabat radhiyallahu 'anhum telah berusaha menerapkan metode yang lurus ini.

Kisah ini memiliki latar belakang; yaitu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tiba di Irak dan penduduknya bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai status "ummul walad" (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya), apakah "ummul walad" itu boleh dijual atau tidak?

"Ummul walad" adalah budak-budak wanita yang telah disetubuhi oleh tuannya dan kemudian melahirkan anak.

Pada awalnya Ali memberitahu mereka bahwa pendapatnya sama dengan pendapat Umar radhiyallahu 'anhu yang melarang penjualan para "ummul walad", dan bahwa mereka akan dimerdekakan setelah kematian tuan mereka ; karena anak yang lahir menyebabkan ibunya dimerdekakan.

Namun, dikemudian hari Ali berubah pendapat, ia berpandangan bahwa mereka harus tetap sebagai budak, mereka tetap dalam kepemilikan harta tuannya setelah kematiannya dan tidak dimerdekakan.

Disebutkan dalam kitab as-Sunan Al-Kubra oleh Al-Bayhaqi :

Bahwa seorang tabi'in 'Ubaidah Al-Salmani berkata kepada Ali radhiyallahu 'anhu: "Pendapatmu dulu yang sesuai dengan pendapat Umar yang membawa persatuan, itu lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan berdampak pada perpecahan." Artinya, "Aku mengikuti fatwamu yang sesuai dengan fatwa Umar dalam persatuan, dan meninggalkan pendapatmu sekarang yang menyebabkan perpecahan."

Ali radhiyallahu 'anhu kemudian berkata kepadanya: "Laksanakan sebagaimana yang dulu kalian putuskan sebelumnya; karena aku tidak suka perpecahan," yaitu perpecahan yang menyebabkan perselisihan dan fitnah.

Ali melakukan hal itu ketika ia menemukan ada yang menolak pendapatnya, sehingga ia membenci perselisihan; karena hal itu hanya membawa keburukan dan perpecahan, dan agar orang-orang berkumpul pada pendapat jamaah.

Dan perkataannya: "Atau aku mati seperti sahabat-sahabatku mati," artinya: hingga aku mati seperti sahabat-sahabatku yang telah wafat dalam kebenaran dan petunjuk, yang dimaksud adalah para khalifah rasyidin yang mendahuluinya”. [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAAF]

*****

KEDUA : ATSAR KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :

Khalifah Umar bin Abdul Aziz – rahimahullah- wafat pada tahun 101 H.

Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata:

قُلتُ لِعُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ لَو جَمَعتَ النَّاسَ عَلَى شَيءٍ فَقَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّهُم لَم يَختَلِفُوا قَالَ ثُمَّ كَتَبَ إِلَى الآفَاقِ أَوْ إِلَى الأَمصَارِ لِيَقضِيَ كُلُّ قَومٍ بِمَا اجتَمَعَ عَلَيهِ فُقَهَاؤُهُم

Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”

Beliau menjawab : “Tidak membuatku senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”

Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:

“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).”

(Sunan Ad Darimi 1/22 No. 634, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)

Di shahihkan oleh Sa’id Hawwaa dalam al-Asaas fis Sunnah 1/509 no. No. 509.

Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, rahimahullah, meriwayatkan dari Sulaiman bin Habib al-Muharibi, seorang tabi'in yang tepercaya dan seorang qadhi di Damaskus, bahwa dia berkata:

"أَرَادَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنْ يَجْعَلَ أَحْكَامَ النَّاسِ وَالأَجْنَادِ حُكْمًا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ وَجُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَكَانَتْ فِيهِمْ قُضَاةٌ قَضَوْا بِأَقْضِيَةٍ أَجَازَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَرَضُوا بِهَا، وَأَمْضَاهَا أَهْلُ الْمِصْرِ، كَالصُّلْحِ بَيْنَهُمْ، فَهُمْ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ". فَتَرَكَ عُمَرُ مَا كَانَ أَرَادَهُ، وَكَانَ حَرِيصًا جِدًّا عَلَى أَنْ لَا يُغَيِّرَ مِنْ وَاقِعِ الْأُمَّةِ شَيْئًا مَأْلُوفًا عِنْدَهُمْ، مَا دَامَ عَلَى وِجْهَةٍ شَرْعِيَّةٍ.

"Umar bin Abdul Aziz ingin menjadikan hukum-hukum masyarakat dan pasukan perang dalam satu hukum yang sama, kemudian dia berkata:

'Di setiap kota dari kota-kota kaum Muslimin dan pasukan dari pasukan-pasukannya ada orang-orang dari sahabat Rasulullah , dan di antara mereka ada qadhi-qadhi yang telah memutuskan dengan keputusan-keputusan yang telah disetujui oleh sahabat Rasulullah  dan mereka ridha dengannya, dan penduduk kota menerima keputusan itu -contohnya seperti rekonsiliasi di antara mereka- maka mereka tetap pada hukum yang mereka telah ada sebelumnya.'"

Maka Umar meninggalkan apa yang dia inginkan, dan dia sangat berhati-hati untuk tidak mengubah apapun dari realitas umat yang telah dikenal oleh mereka, selama hukum itu sesuai dengan pandangan syariat. [Tarikh Abu Zur’ah ad-Dimasyqi hal. 202].

Dalam kitab “Laits bin Sa'ad Ilaa Malik” , yang merupakan kitab yang terkenal, terdapat teks sebagai berikut:

"وَمِنْ ذَلِكَ: القَضَاءُ بِشَهَادَةِ شَاهِدٍ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، وَقَدْ عَرَفْتَ ـ الخِطَابُ لِمَالِكٍ ـ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يُقْضَى بِالمَدِينَةِ بِهِ، وَلَمْ يَقْضِ بِهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ بِالشَّامِ، وَلَا بِحِمْصَ، وَلَا بِمِصْرَ، وَلَا بِالعِرَاقِ، وَلَمْ يَكْتُبْ بِهِ إِلَيْهِمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ.

ثُمَّ وَلِيَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ ـ وَكَانَ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ فِي إِحْيَاءِ السُّنَنِ وَالجِدِّ فِي إِقَامَةِ الدِّينِ وَالإِصَابَةِ فِي الرَّأْيِ، وَالعِلْمِ بِمَا مَضَى مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ـ فَكَتَبَ إِلَيْهِ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيمٍ: إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدِ الوَاحِدِ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ: إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا أَهْلَ الشَّامِ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ".

"Di antaranya: vonis hukum pengadilan dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah dari pemilik hak, dan engkau sudah tahu - ditujukan kepada Malik - bahwa keputusan ini selalu dilakukan di Madinah, namun para sahabat Rasulullah  tidak memutuskannya di Syam, tidak pula di Homs, tidak di Mesir, dan tidak di Irak. Para Khulafaa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tidak menulis tentang hal ini kepada mereka.

Setelah itu kemudian Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin - dan engkau telah mengetahui bagaimana beliau senantiasa menghidupkan sunnah, berusaha keras menegakkan agama, tepat dalam berpendapat, serta mengetahui apa yang sedang terjadi dalam urusan umat - .

Maka Ruzaik bin Hukaim menulis kepadanya: 'Engkau dahulu memutuskan di Madinah dengan kesaksian satu saksi dan sumpah dari pemilik hak.'

Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab dengan menulis kepadanya: 'Kami dahulu memutuskan demikian di Madinah, namun kami mendapati penduduk Syam tidak melakukan hal itu, maka kami hanya memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi yang adil, atau seorang lelaki dan dua orang wanita.'"

[Lihat ini dalam kitab "I'lam al-Muwaqqi'in" 3/97 karya Ibnul Qayyim. Dan lihat pula perkataan Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 1/10 tentang alasan memilih riwayat Yahya al-Laitsi untuk menjelaskannya daripada riwayat-riwayat lainnya].

*****

KETIGA : PERKATAAN AL-IMAM AL-QARRAAFI

Imam Al-Qarraafi Rahimahullah, dia adalah Syihabuddin Abul ‘Abbaas Ahmad bin Abdul ‘Ulaa Idris, wafat tahun 684 H. Dia memiliki perkataan yang luar biasa dalam masalah ini, yaitu :

"‌فَمَهْمَا ‌تَجَدَّدَ ‌فِي ‌الْعُرْفِ ‌اعْتَبِرْهُ ‌وَمَهْمَا ‌سَقَطَ ‌أَسْقِطْهُ وَلَا تَجْمُدْ عَلَى الْمَسْطُورِ فِي الْكُتُبِ طُولَ عُمْرِك بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك لَا تَجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ دُونَ عُرْفِ بَلَدِك وَدُونَ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِك فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ.

وَالْجُمُودُ عَلَى الْمَنْقُولَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِي الدِّينِ وَجَهْلٌ بِمَقَاصِد عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِينَ".

Apapun yang terjadi pembaharuan dalam sebuah tradisi, anggaplah ia!, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah!. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu !. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu.

Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“ [ Al Furuq (Anwaarul Buruuq) 1/191. Penerbit : Aalamul Kutub]

******

MENURUT PARA SALAF : PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :

Ada ungkapan masyhur dikalangan para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :

إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.

"Sesungguhnya perbedaan di antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .

Dan :

إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.

"Ijma’ (kesepakatan) mereka adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca : "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2)]

Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):

Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan “Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid al-Hasanah hal. 27 no, 39) :

Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:

"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"

“Perbedaan di antara para sahabat Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”

Al-Qasim ini, beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Perkataan Imam Malik (w. 179 H) kepada Harun al-Rasyid.

Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:

أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ‌إنَّ ‌اخْتِلَافَ ‌الْعُلَمَاءِ ‌رَحْمَةٌ ‌مِنْ ‌اللَّهِ ‌تَعَالَى ‌عَلَى ‌هَذِهِ ‌الْأُمَّةِ، ‌كُلٌّ ‌يَتْبَعُ ‌مَا ‌صَحَّ ‌عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ الآخِرَة".

" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."

Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"

Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:

"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."

"Aku telah melakukan al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka. Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu adalah mengikuti sunnah semata-mata." [ Baca : Hilyatul Awliyaa Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].

Ibnu Qudamah (w. 620 H) berkata:

وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، ‌اتِّفاقُهم ‌حُجَّةٌ ‌قاطِعة، ‌واخْتلافُهم ‌رحمةٌ ‌واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم (10) ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام

"Allah telah menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.

Kesepakatan pendapat mereka adalah hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca : al-Mugni 1:4-5].

Imam As-Suyuti, rahimahullah:

Dia berkata di awal risalatnya "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :

«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»

"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata: Nabi Muhammad  datang dengan satu syariat, dari mana kemudian muncul empat madzhab?".

Lalu as-Suyuthi berkata :

«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...

Dan telah disebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau maknanya”.

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH : 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

PERHATIAN :

Ada hadits Nabi  yang menyatakan :

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً

" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".

Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" ini tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.

Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:

"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"

"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."

Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:

وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.

" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".

*****

MENURUT ULAMA SALAF : PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT

Perbedaan pendapat masalah-masalah furu’ agama adalah anugerah dan rahmat dari Allah SWT untuk umat ini. Lebih jauh dari itu, sebagian para tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.

Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif, rahimahullah, muridnya Musa Al-Juhani berkata:

"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".

“Thalhah biasa mengatakan ketika kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]

Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:

"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".

“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].

Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :

"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"

“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”

Perbedaan pendapat merupakan kata yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca : al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].

Ini adalah peringatan yang halus untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.

Mereka menyukai keluasan dalam syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.

Keluasan dan kemudahan terkait dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah (wafat 107 H) dalam beberapa riwayatnya yang mengekspresikan “rahmat”.

Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H) pernah ditanya oleh seseorang:

سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ.

“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi .’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar ].

Dan adanya pengakuan (gagasan kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada ucapan mereka.

Diantaranya adalah sikap Imam Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".

Riwayat-riwayat bervariasi tentang siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka, tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.

Lihat dan renungkanlah kenyataan yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!

Ingatlah tindakan mereka yang mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar Abu Hanifah rahimaullah (w. 150 H) dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu bab dari "Mushannaf Ibnu Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf, mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.

*****

PARA SALAF SENANTIASA SALING MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN:

Para ulama dan para imam dari kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara mereka. 

Berikut ini adalah perkataan sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka terhadap perbedaan pendapat. 

CONTOH -NYA :

[1] SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :

Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata:

«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».

"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."

Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].

[2] ABU HANIFAH (wafat 150 H) :

Pernyataan yang serupa juga datang dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :

«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».

"Pendapat kami ini adalah sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih berhak atas kebenaran daripada kami."

Bahkan dalam "al-Intiqa" (hal. 140) beliau berkata :

«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».

"Apa yang kami tetapkan ini adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan. Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia mengemukakannya."

[3] IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):

Betapa agungnya perkataan Ibnu al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:

«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».

"Aku mendengar hadis lalu menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīhal. 402, dan "Faḍā'il Abī anīfah" karya Ibnu Abī al-'Awāhal. 265].

Karena perkataan itu mengandung makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .

[4] YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah berkata:

مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.

“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.” [ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]

[5] Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :

Al-Awza'i adalah salah satu imam mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr berkata 

«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».

"al-Awza'i berkata tentang orang yang mencium istrinya:

Jika dia datang bertanya kepadaku, maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak mencelanya!"  " . [Lihat pula : "al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr. Qulaji].

[6] IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):

Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.

Namun demikian telah diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

[7] IMAM AHMAD (wafat 241 H):

Dan yang serupa disebutkan tentang perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab "Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):

«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».

"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah  mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]

Dan tentang qunut shubuh,  diceritakan sebagai berikut:

فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]

Abu Dawud berkata:

«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».

"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'

Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Amad al-Fiqhiyyah karya Abu DāwūHal. 72].

Dalam "al-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:

«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».

"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].

Dan para pengikut mereka juga mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.

Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

===****===

SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUSSUNNAH DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT QUNUT SUBUH

Persoalan qunut Subuh merupakan masalah perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan sampai memecahkan barisan dan persatuan kaum muslimin.

Para imam kita telah menegaskan kaidah,

الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ

“Suatu ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh ijtihad lainnya”.

PERTAMA : AL-IMAM ASY-SYAFI’IY

Beliau adalah salah satu dari imam empat madzhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam. Beliau termasuk yang membolehkan qunut Subuh. Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut shubuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ: فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

Asy-Syafi’i ra. meninggalkan qunut pada shalat Subuh ketika beliau shalat bersama jamaah kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata asy-Syafi’iyyah (pengikut asy-Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”

[Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

KEDUA : IMAM AHMAD BIN HANBAL

Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang menolak qunut Subuh, namun beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, yaitu:

وَانْظُرُوا إِلَى الأَئِمَّةِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ مِقْدَارَ الِاتِّفَاقِ، فَقَدْ كَانَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Lihatlah para imam yang mengetahui banyak kesepakatan, adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan do’anya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”

(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

KETIGA : IMAM SUFYAN ATS-TSAURY .

Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam at-Tirmidzi yaitu,

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ

Sufyan Ats Tsauri berkata; "Jika seseorang melakukan qunut dalam shalat subuh maka itu baik, jika tidak maka itu juga baik." Dan Sufyan Ats Tsauri memilih untuk tidak melakukan qunut.

Demikian juga Ibnu Al Mubarak, ia tidak melakukan qunut dalam shalat subuh . ( Lihat : Sunan at-Turmudzy di bawah hadits no. 368 ).

KEEMPAT : IMAM IBNU HAZM ulama madzhab adz-Dzoohiriyah .

Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam asy-Syaukani,

وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ حَزْمٍ: كُلٌّ مِنَ الفِعْلِ وَالتَّرْكِ حَسَنٌ.

“Berkata ats-Tsauri dan Ibnu Hazm: “Siapa saja yang melakukan qunut shubuh dan yang meninggalkan-nya, adalah baik.”

KELIMA : SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH .

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut shubuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perseleihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya.” [lihat : Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam]

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa berqunut atau tidak dalam shalat shubuh , maka sholatnya tetap shahih. Perbedaan terjadi pada yang mana yang lebih utama ?.

Beliau berkata :

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ.

وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ.

فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ.

Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang yang mana yang lebih utama / lebih afdhol ?.

Begitu juga perbedaan pendapat tentang masalah-masalah yang mana yang dilakukan oleh Nabi SAW ? seperti masalah qunut pada shubuh dan witir, mengeraskan bacaan bismillah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya , maka semua itu termasuk dalam pembahasan ini.

Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang tidak mengerasknannya juga sah shalatnya, yang berqunut shubuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir.

[Lihat : Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah]

KEENAM : IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH .

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah, beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut shubuh sebagaimana beliau uraikan dalam kitabnya “Zaadul Ma’ad”, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah SAW merutinkannya pada shalat shubuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut shubuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat shahabat yang membid’ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah , kadang melakukan qunut dalam shalat shubuh. Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا .

“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat shubuh dan kadang meringankannya, meringankan bacaan dalam shalat Maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam subuh dan kadang dia berqunut, beliau tidak mengeraskan bacaan dalam shalat Ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadang beliau mengeraskan.” [Zaadul Ma’ad, 1/247. Muassasah Ar Risalah]

Beliau tidaklah mengingkari qunut secara mutlak, yang beliau ingkari adalah anggapan bahwa qunut subuh dilakukan terus menerus. Berikut ini ucapannya:

وَقَنَتَ فِي الفَجْرِ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا، ثُمَّ تَرَكَ القُنُوتَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ هَدْيِهِ القُنُوتُ فِيهَا دَائِمًا، وَمِنَ المَحَالِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ فِي كُلِّ غَدَاةٍ بَعْدَ اعْتِدَالِهِ مِنَ الرُّكُوعِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ..." إلخ، وَيَرْفَعُ بِذَلِكَ صَوْتَهُ، وَيُؤَمِّنُ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ دَائِمًا إِلَى أَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا.

“(Beliau) Qunut dalam shubuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat shubuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah SAW setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan:

اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ…” الخ

Dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. [Ibid, 1/271]

Lalu beliau mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut subuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). [HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih]

Beliau juga mengutip dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” [HR. Ad Daruquthni No. 1723]

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). ( Lihat : Nashbur Rayyah, 3/183).

Imam Al Baihaqi mengatakan : tidak shahih. (baca : Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). ( Baca : Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits.

Beliau berkata :

فَأَهْلُ الحَدِيثِ مُتَوَسِّطُونَ بَيْنَ هَؤُلَاءِ وَبَيْنَ مَنْ اسْتَحَبَّهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَغَيْرِهَا، وَهُمْ أَسْعَدُ بِالحَدِيثِ مِنَ الطَّائِفَتَيْنِ، فَإِنَّهُمْ يَقْنُتُونَ حَيْثُ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَيَتْرُكُونَهُ حَيْثُ تَرَكَهُ، فَيَقْتَدُونَ بِهِ فِي فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ، وَيَقُولُونَ: فِعْلُهُ سُنَّةٌ، وَتَرْكُهُ لِسُنَّةٍ، وَمَعَ هَذَا فَلَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ دَاوَمَ عَلَيْهِ، وَلَا يَكْرَهُونَ فِعْلَهُ، وَلَا يَرَوْنَهُ بِدْعَةً، وَلَا فَاعِلَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، كَمَا لَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ، وَلَا يَرَوْنَ تَرْكَهُ بِدْعَةً، وَلَا تَارِكَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، بَلْ مَنْ قَنَتَ، فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ تَرَكَهُ، فَقَدْ أَحْسَنَ.

Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini.

Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah SAW melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya.

Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunnah, meninggalkannya juga sunnah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” [Ibid, 1/274-275]

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

FATWA AL-LAJNAH AD-DAIMAH - SAUDI ARABIA :

Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia, mereka saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan perilaku merutinkan qunut pada shubuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi- mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وَبِالجُمْلَةِ فَتَخْصِيصُ صَلَاةِ الصُّبْحِ بِالقُنُوتِ مِنَ المَسَائِلِ الخِلَافِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ، فَمَنْ صَلَّى وَرَاءَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ خَاصَّةً قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُتَابِعَهُ، وَإِنْ كَانَ الرَّاجِحُ الِاقْتِصَارَ فِي القُنُوتِ بِالفَرَائِضِ عَلَى النَّوَازِلِ فَقَطْ.

“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah rukuk, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’, No. 902]

SYEIKH AL-'UTSAIMIN : 

Syaikh Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah, beliau ditanya:

عِنْدَنَا إِمَامٌ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِصِفَةٍ دَائِمَةٍ، فَهَلْ نُتَابِعُهُ؟ وَهَلْ نُؤَمِّنُ عَلَى دُعَائِهِ؟

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat shubuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

مَن صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ فَلْيُتَابِعِ الإِمَامَ فِي القُنُوتِ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ، وَيُؤَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ بِالخَيْرِ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى.

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat shubuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada shalat shubuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. [Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177]

SYEIKH ABDURRAHMAN AL-JABRAIN :

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jabrain Rahimahullah, beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat mazhab Syafi’i maka itu jangan ingkari.

Beliau berkata :

وَبِكُلِّ حَالٍ فَمَن قَنَتَ تَبَعًا لِلشَّافِعِيَّةِ فَلا يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَلَكِنَّ الصَّحِيحَ أَنَّهُ لا يُشْرَعُ. وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْهُ ﷺ، الاِسْتِمْرَارُ عَلَيْهِ. فَالأَظْهَرُ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ بِلَا سَبَبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ. .

Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah SAW bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. [ lihat : Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid]

Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

====*****====

SIKAP TAWADHU’ IMAM MALIK DENGAN MENOLAK PERMINTAAN TIGA KHALIFAH

Imam Malik menolak permintaan dari tiga khalifah , Abu Ja'far , al-Ma'mun dan Harun al-Rasyiid agar kitab al-Muwaththa di jadikan rujukan bagi seluruh kaum muslimin, dan melarang mereka berpatokan pada selainya. Tujuan para khalifah tersebut adalah dalam rangka untuk menyatukan kaum muslimin .

PERTAMA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH ABU JA'FAR [WAFAT 158 H]:

Ibnu Abdil-Barr berkata:

وَذَكَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ قَالَ نَا يَحْيَى بْنُ مِسْكِينٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالا سَمِعْنَا مَالِكًا يَذْكُرُ دُخُولَهُ عَلَى أَبِي جَعْفَرٍ وَقَوْلَهُ فِي انْتِسَاخِ كُتُبِهِ فِي الْعِلْمِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‌قَدْ ‌رَسَخَ ‌فِي ‌قُلُوبِ ‌أَهْلِ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ ‌مَا ‌اعْتَقَدُوهُ ‌وَعَمِلُوا ‌بِهِ وَرَدُّ الْعَامَّةِ عَنْ مِثْلِ هَذَا عَسِيرٌ ".

Dan al-Zubayr bin Bakkaar menyebutkan, dia berkata: Yahya bin Miskiin dan Muhammad bin Maslamah memberi tahu kami, mereka berkata: Kami mendengar Malik menyebutkan kisah dirinya masuk ke Khalifah Abu Ja'far , dan perkataannya tentang pemyalinan kitab-kitabnya dalam ilmu [ hadits , atsar dan fiqih ] dan menyuruh orang-orang agar berpatokan hukum padanya :

Malik berkata: Aku berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, apa yang mereka yakini dan mereka amalkan telah tertanam kuat di hati para penduduk masing-masing daerah, dan sulit bagi masyarakat umum untuk berpaling dari hal seperti itu". [ al-Intiqoo Fi Fadholi ats-tsalatash al-Aimmah karya Ibnu Abdil Barr hal. 41].

Dan riwayat lain menunjuk ke arah yang sama.

Ibnu Asaakir meriwayatkan dari jalur “Khalid bin Nizaar Al-Aylii, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas, rahimahullah, berkata:

دَعَانِي أَبُو جَعْفَرٍ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ لِي ‌يَا ‌أَبَا ‌عَبْدِ ‌اللَّهِ ‌إِنِّي ‌أُرِيدُ ‌أَنْ ‌أَكْتُبَ ‌إِلَى ‌الْآفَاقِ ‌فَأَحْمِلُهُمْ ‌عَلَى ‌كِتَابِ ‌الْمُوَطَّإِ حَتَّى لَا يَبْقَى أَحَدٌ يُخَالِفُكَ فِيهِ قَالَ مَالِكٌ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ تَفَرَّقُوا فِي الْبُلْدَانِ وَاتَّبَعَهُمُ النَّاسُ فَرَأَى كُلُّ فَرِيقٍ أَنْ قَدِ اتَّبَعَ مَتْبَعًا".

Abu Jaafar Amirul Mukminin memanggil saya, lalu dia berkata kepada saya: Wahai Abu Abdullah [Imam Malik] , saya ingin memperbanyak salinan kitab al-Muwaththa dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri , dan menggiring orang-orang ke kitab Muwaththa, hingga tidak ada lagi satu pun orang yang berbeda pendapat dengan Anda di dalamnya.

Malik berkata : Maka aku berkata: Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah  tersebar di penjuru negeri-negeri , dan orang-orang mengikuti mereka, dan masing-masing kelompok melihat bahwa dirinya telah mengikuti orang yang berhak untuk diikuti [yakni sahabat Nabi] . [ Kasyful Mughoththo karya Ibnu Asaakir hal. 27 dan al-Muwaththa , riwayat Yahya 1/80 . Tahqiiq al-A'dzomi ]

Dan dalam riwayat lain: Imam Malik berkata :

لَمَّا حَجَّ أَباُ جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ دَعَانِي فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَحَادَثْتُهُ وَسَأَلَنِي فَأَجَبْتُهُ فَقَالَ إِنِّي عَزَمْتُ أَنْ آمُرَ بِكُتُبِكَ هَذِهِ الَّتِي قَدْ وَضَعْتَ يَعْنِي الْمُوَطَّأَ فَتُنْسَخَ نُسَخًا ثُمَّ أَبْعَثُ إِلَى كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا نُسْخَةً وَآمُرُهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِمَا فِيهَا وَلا يَتَعَدَّوْهَا إِلَى غَيْرِهَا وَيَدَعُوا مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ هَذَا الْعِلْمِ الْمُحْدَثِ فَإِنِّي رَأَيْتُ أَصْلَ الْعِلْمِ رِوَايَةَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَعِلْمَهُمْ قَالَ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَفْعَلْ هَذَا فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ أَقَاوِيلُ وَسَمِعُوا أَحَادِيثَ وَرُوُّوا رِوَايَاتٍ وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سبق إِلَيْهِمْ وَعَمِلُوا بِهِ وَدَانُوا بِهِ مِنَ اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَغَيْرِهِمْ وَإِنَّ رَدَّهُمْ عَمَّا اعْتَقَدُوهُ شَدِيدٌ ‌فَدَعِ ‌النَّاسَ ‌وَمَا ‌هُمْ ‌عَلَيْهِ ‌وَمَا ‌اخْتَارَ ‌أَهْلُ ‌كُلِّ ‌بَلَدٍ ‌لأَنْفُسِهِمْ فَقَالَ لَعَمْرِي لَوْ طَاوَعْتَنِي عَلَى ذَلِكَ لأَمَرْتُ بِهِ

Ketika Abu Ja`far al-Mansur berangkat haji, dia mengundang ku . Maka aku masuk padnya , lalu aku berbincang-bincang dengannya . Dan dia bertanya padaku , maka aku jawab . Lalu dia berkata :

Saya berkeinginan untuk menulis kitab-kitab Anda ini yang telah anda susun , yakni al-Muwaththa - dalam bentuk salinan, dan kemudian saya mengirimkan salinannya ke semua daerah kaum Muslimin di Mesir, memerintahkan mereka untuk bertindak dan beramal sesuai dengan itu. Dan tidak boleh melampauinya dari selain ilmu yang diperbarui ini, karena saya melihat bahwa asal usul ilmu agama itu berasal dari riwayat penduduk Madinah dan amalan mereka."

Aku [Malik] berkata : " Wahai Amirul Mukminin! Jangan engkau lakukan itu, karena sebelum mereka lahir perbedaan pendapat itu telah ada . Mereka telah mendengar hadits-hadits dan riwayat-riwayat. Dan masing-masing orang telah mengambil apa yang telah ada dan mereka telah terbiasa mengamalkannya.

Dan perbedaan-perbedaan itu mereka ambil dari para sahabat Rasulullah  yang berdekatan dan juga dari yang lainnya.

Sesungguhnya mengalihkan mereka dari apa yang telah mereka yakini itu sesuatu yang berat. Maka biarkanlah orang-orang itu dengan keadaannya dan biarkanlah apa yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka sendiri."

Dia [Khalifah Abu Ja'far] berkata: " Dan sungguh usiaku sebagai tebusannya , Jika saja Anda menyutujui saya dalam hal itu, maka saya akan memerintahkannya".

[ al-Muwaththa, riwayat Yahya 1/80, Tahqiiq al-A'dzomi, al-Intiqoo ha. 41, Tarikh ath-Thobari 11/660 dan Al-Madaarik oleh al-'Iyaadh 1/191]

Kisah tersebut di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani rahimahullah , dan dia berkata :

وَأَقُولُ: إِنَّ هَذِهِ الْقِصَّةَ مَعْرُوفَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنْ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهُ

" Dan saya katakan: Kisah ini terkenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah". [Sifatusholatin Nabi SAW hal. 63].

Abu Suleiman Al-Jundi Al-Atsari berkata :

الرواية صحيحة و ثابتة عن الامام مالك رحمه الله ، حيث ورد فى - كشف المغطى فى فضل الموطأ ((ص 6)) لابن عساكر و كذلك فى - تذكرة الحفاظ - للامام الذهبى 1/195 . و كذلك - الانتقاء - لابن عبد البر (( ص 41))".

Riwayat ini shahih dan terbukti dari Imam Malik – rahimahullah - , di mana disebutkan dalam Kasyf al-Mughothaa fi Fadhel al-Muwaththa ((hal. 6)) oleh Ibnu Asaker . Demikian juga dalam Tadhkirat al-Hafiz karya Imam al-Dhahabi - 1/195. Begitu juga - Al-Intiqaa - oleh Ibnu Abd al-Barr (hal. 41)

[ Lihat : Multaqoo Ahlil hadits – al-Maktabah asy-Syaamilah al-Hadiitsah 71/342].

Al-Muhaddits Al-A'dzomi berkata :

خُلاَصَةُ البَحْثِ: نَرَى فِي رِوَايَةِ مَعْنِ بْنِ عِيسَى، وَالوَاقِدِيِّ، وَيَحْيَى بْنِ مَسْكِينٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ، وَخَالِدِ بْنِ نَزَّارٍ الأَيْلِيِّ، وَعُتْبَةَ بْنِ حَمَّادٍ القَارِئِ الدِّمَشْقِيِّ، كُلَّ هَؤُلاَءِ، يَرْوُونَ عَنْ مَالِكٍ مَا مَفَادُهُ: أَنَّ أَبَا جَعْفَرٍ المَنْصُورَ طَلَبَ مِنَ الإِمَامِ مَالِكٍ كِتَابَهُ، فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَثْنَى عَلَيْهِ، وَأَبْدَى رَغْبَتَهُ فِي نَشْرِهِ فِي العَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ حِينَذَاكَ، وَقَدْ عَارَضَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ - لِلَّهِ دَرُّهُ - هَذِهِ الرَّغْبَةَ مِنَ الخَلِيفَةِ، وَبَيَّنَ السَّبَبَ، وَطَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَدَعَ النَّاسَ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ، وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ لِأَنْفُسِهِمْ. 

فَلَيْتَنَا نَتَّعِظُ مِنْ كَلاَمِ الإِمَامِ مَالِكٍ وَسُلُوكِهِ، لاَ سِيَّمَا مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَصْبِغَ العَالَمَ كُلَّهُ بِفِقْهِهِ، مُسَبِّبًا الفِرْقَةَ وَالإِنْشِقَاقَ وَالفِتَنَ.

Ringkasan pembahasan :

Kita melihat dalam riwayat Ma'an bin Iisaa, Al-Waqidi, Yahya bin Miskin, Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Nizaar Al-Ayli, dan Utbah bin Hammad, qoori Damaskus, semuanya , mereka meriwayatkan dari Malik sebagai berikut:

Bahwa Abu Ja'far al-Mansur meminta kepada Imam Malik untuk memberikan kitabnya, lalu dia membacanya, kemudian memujinya, dan menyatakan keinginannya untuk menerbitkannya dan menyebarkannya pada dunia Islam pada waktu itu.

Imam Malik - rahimahullah- menolak keinginan khalifah ini , menjelaskan alasannya, dan memintanya agar membiarkan orang-orang dengan apa yang telah terbiasa mereka amalkan, dan dengan apa yang telah dipilih oleh masing-masing daerah untuk diri mereka sendiri.

Marilah kita belajar dari perkataan dan perilaku Imam Malik ini , khususnya bagi orang yang bernafsu ingin mengemas dan mewarnai seluruh dunia dengan karya fikihnya, sehingga menimbulkan banyak perpecahan, perselisihan dan fitnah .

[ al-Muwaththa , riwayat Yahya 1/80 . Tahqiiq al-A'dzomi]

KEDUA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH HARUN AR-RASYID [ W. 193 H] :

Dan dari Abdullah bin Abdul Hakim, dia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata:

شَاوَرَنِي هَارُونُ الرَّشِيدُ فِي ثَلَاثٍ فِي أَنْ يُعَلِّقَ الْمُوَطَّأَ فِي الْكَعْبَةِ وَيَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَا فِيهِ، وَفَى أَنْ يَنْقُضَ مِنْبَرَ النَّبِيِّ ﷺ وَيَجْعَلَهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ وَفَى أَنْ يُقَدِّمَ نَافِعَ بْنَ أَبِي نُعَيْمٍ إِمَامًا يُصَلِّي فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمَّا تَعْلِيقُ الْمُوَطَّأِ فِي الْكَعْبَةِ فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ اخْتَلَفُوا فِي الْفُرُوعِ وَتَفَرَّقُوا فِي الْآفَاقِ وَكُلٌّ عِنْدَ نَفْسِهِ مُصِيبٌ، وَأَمَّا نَقْضُ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَاتِّخَاذُكَ إِيَّاهُ مِنْ جَوْهَرٍ وَذَهَبٍ وَفِضَّةٍ فَلَا أَرَى أَنْ تَحْرِمَ النَّاسَ أَثَرَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَمَّا تَقْدِمَتُكَ نَافِعًا إِمَامًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَإِنَّ نَافِعًا إِمَامٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَلَا يُؤْمَنُ أَنْ تَنْدُرَ مِنْهُ نَادِرَةٌ فِي الْمِحْرَابِ فَتُحْفَظَ عَلَيْهِ، قَالَ: وَفَّقَكَ اللهُ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ ".

Harun Al-Rasyid mengajak bermusyawarah dengan saya tentang tiga hal;

1] Tentang kitab al-Muwaththa digantung di Ka'bah dan membawa orang-orang untuk mengikuti apa yang ada di dalamnya.

2] Tentang mimbar Nabi  untuk dihancurkan lalu dibuatkan untuknya dari permata, emas dan perak.

3] Dan tentang Naafi' bin Abi Nua'im agar ditunjuk sebagai imam shalat di masjid Rasulullah .

Aku berkata: Wahai Amirul Mukminin; Adapun untuk menggantungkan al-Muwaththa di Ka'bah, maka para sahabat Rasulullah  telah berbeda-beda dalam cabang-cabang agama dan mereka telah terpencar di segala penjuru negeri , dan masing-masing yang ada pada diri mereka adalah benar .

Adapun untuk menghancurkan mimbar Rasulullah  lalu membuatkan untuknya dari permata, emas dan perak, maka saya berpandangan tidak boleh mengharamkan manusia untuk menjaga peninggalan Nabi .

Adapun pengangkatan anda terhadap Nafi' sebagai imam shalat di masjid Rasulullah  , maka Nafi' adalah seorang imam dalam qira'ah , tidak perlu khawatir dia akan jarang di mihrab, maka dengan demikian akan terjaga dengan baik.

Lalu dia [Harun ar-Rasyid] berkata: " Semoga Allah memberimu taufiq , wahai Abu Abdullah".

[Lihat : Hilyatul Awliyaa 6/332 dan (Tahdzib nya ) 2/ 360 ].

KETIGA : PENOLAKAN TERHADAP KHALIFAH AL-MA'MUUN [ W. 198 H] :

Dari Abu Mushir , dia berkata:

سَأَلَ الْمَأْمُونُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ هَلْ لَكَ دَارٌ؟ فَقَالَ: لَا، فَأَعْطَاهُ ثَلَاثَةَ آلَافِ دِينَارٍ وَقَالَ: اشْتَرِ لَكَ بِهَا دَارًا قَالَ: ثُمَّ أَرَادَ الْمَأْمُونُ الشُّخُوصَ وَقَالَ لِمَالِكٍ: ‌تَعَالَ ‌مَعَنَا ‌فَإِنِّي ‌عَزَمْتُ ‌أَنْ ‌أَحْمِلَ ‌النَّاسَ ‌عَلَى ‌الْمُوَطَّأِ ‌كَمَا ‌حَمَلَ ‌عُثْمَانُ ‌النَّاسَ عَلَى الْقُرْآنِ فَقَالَ لَهُ: مَا لَكَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلٌ، وَذَلِكَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ افْتَرَقُوا بَعْدَهُ فِي الْأَمْصَارِ فَحَدَّثُوا فَعِنْدَ كُلِّ أَهْلِ مِصْرٍ عِلْمٌ وَلَا سَبِيلَ إِلَى الْخُرُوجِ مَعَكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ». وَقَالَ: «الْمَدِينَةُ تَنْفِي خَبَثَهَا كَمَا ينْفَى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ» وَهَذِهِ دَنَانِيرُكُمْ فَإِنْ شِئْتُمْ فَخُذُوهُ وَإِنْ شِئْتُمْ فَدَعُوهُ".

Al-Ma'mun bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah : Apakah kamu punya rumah? Dia berkata: Tidak". Lalu dia memberinya tiga ribu dinar dan berkata: Belikan rumah untukmu dengan itu.

Dia [Abu Mushir] berkata : Kemudian Al-Ma'mun mengajak para tokoh. Lalu Dia berkata kepada Malik, "Ikutlah dengan kami, karena aku bertekad membuat orang-orang mengikuti Muwaththa' sebagaimana Utsman membawa orang-orang ke Al-Qur'an [Mushaf Utsmani]."

Dia berkata kepadanya : Tidak ada jalan untuk itu, karena para sahabat Nabi – radhiyallahu 'anhum - terebar setelah dia ke kota-kota yang berbeda , lalu mereka menyampaikan hadits-hadits, maka penduduk masing-masing kita memiliki ilmu tertentu, dengan demikian maka tidak jalan untuk keluar bersama anda.

Nabi  bersabda :

(Dan Madinah lebih baik bagi mereka jika mereka hanya tahu)

Dan beliau juga bersabda :

(Madinah menghilangkan kotorannya seperti las pendai besi menghilangkan karat dari besi)

Dan ini adalah dinar Anda, jika Anda mau, ambillah, dan jika Anda mau, tinggalkan.

[Lihat : Hilyatul Awliyaa 6/331 dan (Tahdzib nya ) 2/ 359 ].

*****

===*****===

HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA

Ada riwayat dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah [wafat : 101 H] bahwa dia pernah mengatakan:

" مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ ﷺ لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ".

"Tidaklah membuat hatiku senang jika para sahabat Muhammad   tidak pernah berbeda pendapat [tapi mereka tidak berpecah belah]. Karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan pernah ada rukhshoh [kelonggaran dalam berijtihad. Namun demikian mereka tetap tidak berpecah belah]. " .

Riwayat ini juga diceritakan oleh beberapa salaf dengan makna yang sama.

Lihatlah kitab "Kashf al-Khafaa" (Thaha), serta lihat juga "Al-Maqasid al-Hasanah" dan "Al-Jami' al-Saghir" beserta penjelasannya, dan masih banyak lagi.

Juga perhatikan perkataan Imam al-Khatib – semoga Allah merahmatinya – dalam "A'lam al-Hadits" (1:219-221).

Hikmah perbedaan pendapat dalam cabang-cabang masalah agama:

Yang tampak bagi kami adalah bahwa perbedaan semacam ini, seperti yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, serupa dengan perbedaan dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, semuanya diperbolehkan. Meskipun ada sekelompok orang memilih sebagian , namun tidak memilih sebagian yang lain . Perbedaan tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.

Sebagaimana Rasulullah  memerintahkan setiap pembaca Al-Qur'an untuk membacanya sebagaimana yang mereka ketahui . Dan beliau  memperingatkan mereka semua agar tidak jatuh ke dalam jurang perselisihan yang akan menyebabkan mereka binasa seperti orang-orang terdahulu sebelum mereka.

Dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:

" سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، ‌فَجِئْتُ ‌بِهِ ‌النَّبِيَّ ‌ﷺ ‌فَأَخْبَرْتُهُ، ‌فَعَرَفْتُ ‌فِي ‌وَجْهِهِ ‌الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".

“Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺ  membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi ﷺ  dan memberitahukan kepadanya.

Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi ﷺ  dan beliau bersabda: “Kalian berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah kalian berselisih, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu berselisih sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]

Seperti itulah keadaan para sahabat di masa Nabi ﷺ  masih hidup, senantiasa menutup celah-celah yang bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.

Syeikh Thoha Mohammad as-Saakit dalam artikel **مَثَلٌ مِن اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ** berkata :

وَمِنَ الْحُمْقِ وَالْخِفَّةِ أَنْ تُفَرَّقَ الْكَلِمَةُ وَيَشْتَدَّ الْخِصَامُ فِي جُزْئِيَاتٍ يَسِيرَةٍ، جَعَلَ اللَّهُ التَّوْسِعَةَ فِيهَا يُسْرًا فِي الدِّينِ وَرَحْمَةً لِلْمُسْلِمِينَ.

وَلَوْ أَنْ هَذِهِ الْأُمَّةَ حُمِلَتْ عَلَى طَرِيقَةٍ وَاحِدَةٍ فِي فُرُوعِ الدِّينِ وَلُطَائِفِهِ، لَحَرِجَ صَدْرُهَا، وَضَاقَ ذَرْعُهَا، وَلَذَّاقَتْ عَذَابَ الْإِصْرِ الَّذِي حَمَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ الَّتِي قَبْلَهَا، وَلَوْ أَنَّهُمْ حُمِلُوا فِي أُصُولِ الدِّينِ وَقَوَاعِدِهِ عَلَى طَرَائِقَ شَتَّى، لَكَانَ الْبَلَاءُ أَعْظَمَ، وَالْمُصَابُ أَعْمَى، فَسُبْحَانَ مَنْ جَلَّتْ حِكْمَتُهُ، وَوَسَعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ!

Dan termasuk hal yang bodoh dan dungu adalah memecah belah umat dan memperuncing perselisihan dalam hal-hal yang kecil. Padahal Allah telah menjadikan keluasan dalam perbedaan pendapat tersebut sebagai kemudahan dalam agama dan sebagai rahmat bagi umat Islam .

Andai saja umat ini diwajibkan mengikuti satu cara dalam cabang-cabang agama dan detailnya, sungguh dada umat ini akan merasa sempit, dan lengannya akan menjadi pendek, dan mereka akan merasakan azab beban yang pernah Allah timpakan pada umat-umat terdahulu sebelum mereka.

Dan andai saja Ushuluddin [pokok-pokok agama] dan kaidah-kaidahnya diwajibkan atas mereka dalam berbagai macam hal apa saja , maka bencana akan semakin menjadi lebih besar dan dampaknya akan lebih luas".

Maha suci Allah yang hikmah-Nya nampak Agung dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu!

******

MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN

Perbedaan pendapat itu bisa terjadi dalam berbagai macam hal, jenis dan tingkatan masalah.

Meskipun kita tidak bisa mengingkari akan adanya perbedaan pendapat antar para ulama dalam banyak hal dalam masalah agama ini, namun kita juga harus melihat-lihat dan memilah-milah macam dan jenis masalah yang diperselisihkan. Tidak semua macam dan jenis yang perselisihkan bisa kita toleransi , melainkan kita harus memberikan batasan dan klasifikasi . Yaitu sbb :

PERTAMA : Perbedaan pendapat dalam masalah pokok dan pondasi agama :

Yaitu : Perbedaan dalam prinsip dasar dan pokok agama, seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka dalam hal ini tidak boleh dipersesihkan . Bagi yang mengingkarinya adalah sebuah kekufuran dan balasan nya adalah neraka.

KEDUA : Perbedaan pendapat yang bukan pokok dan pondasi agama :

Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang merupakan cabang-cabangnya, contohny sbb :

Tentang Nabi Muhammad  melihat Allah Azza wa Jalla pada malam Isra' dan Mi'raj, ini adalah perbedaan yang telah terjadi pada masa sahabat . Ibnu Abbas menetapkannya, sedangkan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anhu menolaknya.

Contoh lainnya adalah : tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya . Maka Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anhu menolak keyakinan bahwa orang yang meninggal disiksa dengan tangisan keluarganya atasnya. Hal ini ditegaskan oleh sahabat-sahabat lainnya. Lihatlah perkataan Syekh Imam Ibnu Taimiyah dalam "Majmu' al-Fatawa" 12:492 dan 20:33.

Perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya, yang memiliki dalil yang jelas dan bukti yang nyata, maka yang menyelisihinya itu adalah kesesatan dan kesalahan. Perbedaan dalam hal ini akan memecah belah kesatuan kaum mukminin, seperti perbedaan pendapat yang muncul dari sekte al-Qadariyah, al-Khawarij, dan ar-Rafidhah, serta sekte-sekte Islam lainnya yang dengan perbedaannya ini menyebabkan mereka keluar dan memisahkan diri dari manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah.

Adapun perbedaan pendapat dalam cabang-cabang yang dapat menampung lebih dari satu pendapat, maka itu pernah terjadi pula pada zaman Rasulullah  dan pada zaman para sahabat, serta pada masa generasi terbaik umat ini.

Perbedaan ini hampir tidak melebihi batas perbedaan pendapat tentang : “ini yang baik” dan “ini yang buruk” atau “ini dibolehkan” dan “ini dimakruhkan”. Yaitu perbedaan pendapat yang tidak menyebabkan pertengkaran atau konflik ketika ditinjau dengan cara yang arif dan bijak .

Syeikh Thoha Mohammad as-Sakit dalam artikel **مَثَلٌ مِن اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ** berkata :

وَقَدْ أَجْمَعَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَخَلَفُهَا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ مَنْ تَرَكَ الْمَنْدُوبَ إِلَى الْمُبَاحِ، كَمَا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ الْمُجْتَهِدُ إِذَا أَخْطَأَ فِي الِاجْتِهَادِ، فَكَيْفَ تُشَقُّ عَصَا الطَّاعَةِ، وَتُمَزَّقُ وَحْدَةُ الْجَمَاعَةِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الْهِينَاتِ؟!

Para Salaf [pendahulu umat ini] dan khalaf [yang hidup sesudahnya], sepakat dengan ijma' bahwa tidak ada celaan bagi seseorang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah beralih menuju yang mubah. Demikian pula, mereka sepakat dengan ijma' bahwa seorang mujtahid tidak dicela jika dia melakukan kesalahan dalam ijtihadnya.

Jadi, bagaimana mungkin tongkat ketaatan dipatahkan , dan persatuan kaum mukminin dirobek hanya karena masalah-masalah yang sepele ini?". [Selesai]

Dalam kesempatan ini penulis [Kang Fakhry] sengaja tidak memberikan contoh-contoh, karena contoh-contoh tersebut sudah banyak dan telah dikenal dalam kitab-kitab para ulama. Lihatlah di kitab-kitab berikut ini : "I'lam al-Muwaqqi'in" dan "Hujjatullah al-Balighah" dan "Risalah Ibnu Taimiyah fi Ijtihad Ash-Shahabah wal-Tabi'in".

Pemilik kitab "Al-Mizan" , Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī (w. 973 H) dalam penjelasan yang panjang menyimpulkan :

لا خِلافَ في الشريعةِ الغَراءِ ألبَتَّة؛ وَإِنَّما هِيَ مُرَاتَبٌ تَرْجِعُ في جُمْلَتِهَا إِلَى الرُخْصَةِ وَالْعَزِيمَةِ، وَالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيدِ، وَأَنَّ الْمُخَاطَبَ بِالْأُولَى هُمَ الضُّعَفَاءُ وَالْعَاجِزُونَ، وَالْمُخَاطَبَ بِالثَّانِيَةِ هُمَ الْأَقْوِيَاءُ وَالْقَادِرُونَ؛ وَلَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا بِمَنْزِلَةِ سَوَاءٍ.

Bahwa tidak ada sama sekali perbedaan dalam syariat yang lurus ini , kecuali hanya pada tingkatan-tingkatan tertentu yang secara global dikembalikan pada ruang lingkup rukhshoh [kelonggaran] dan 'Azimah [ketegasan] serta takhfiif [keringanan] dan Tasydiid [tekanan].

Dan bahwa khithob yang pertama [rukhshoh dan takhfiif] ditujukan pada orang yang lebih lemah dan tidak mampu, sedangkan khithob yang kedua ['azimah dan tasydiid] di tujukan pada yang lebih kuat dan mampu. Namun, manusia tidak berada pada posisi dan tingkatan yang sama."

Demikianlah penjelasan yang diberikan oleh Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī dalam bagian awal kitab "Al-Mizan al-Kubra", cetakan dari Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah tahun 1279 H.

===****===

HUKUM MUJTAHID KETIKA SALAH DALAM BERIJTIHAD :

Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ".

Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].

*****

KISAH PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA NABI DAUD DAN NABI SULAIMAN alaihimaa assalaam:

Dari Abu Hurairah dari Nabi , beliau bersabda:

بَيْنَمَا امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ هَذِهِ لِصَاحِبَتِهَا إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ أَنْتِ وَقَالَتْ الْأُخْرَى إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ فَتَحَاكَمَتَا إِلَى دَاوُدَ فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجَتَا عَلَى سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَام فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ بَيْنَكُمَا فَقَالَتْ الصُّغْرَى لَا يَرْحَمُكَ اللَّهُ هُوَ ابْنُهَا فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى".

"Dahulu ada dua orang wanita yang sedang bermain bersama anak mereka masing-masing. Tiba-tiba datang seekor serigala yang menerkam dan membawa anak salah seorang dari mereka berdua.

[Lalu dua wanita itu berebutan anak yang selamat]

Seorang dari mereka berkata kepada yang lain : 'Sebenarnya yang dimangsa serigala tadi adalah anakmu".

Rupanya wanita yang satunya menyangkal seraya berkata : 'Tidak, yang dimangsa oleh serigala tersebut adalah anakmu'.

Akhirnya kedua wanita meminta keputusan hukum dari Daud . Namun Daud menetapkan bahwa anak yang masih hidup itu milik wanita yang usianya lebih tua.

Kemudian keduanya pergi menemui Sulaiman bin Daud 'alaihima salam, lantas kedua wanita tersebut menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah mendengar ceritanya, Sulaiman berkata : 'Baiklah, sekarang tolong ambilkan aku pisau, aku akan membelah dan membagi dua anak ini untuk kalian berdua'.

Tiba-tiba wanita yang lebih muda berkata : 'Jangan kau lakukan itu ! , semoga Allah merahmati anda, berikanlah anak tersebut untuknya ".

Maka Sulaiman pun menetapkan anak itu untuk wanita yang lebih muda umurnya." [HR. Bukhori no. 6271  dan Muslim no. 3245].

*****

PERBEDAAN PENDAPAT PARA SAHABAT SAAT PENGEPUNGAN BANI QURAIDZAH

Dari Ibnu 'Umar berkata :

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ ﷺ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ".

"Nabi  bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah."

Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan.

Sebagian dari mereka berkata : 'Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai tujuan'.

Dan sebagian lain berkata : 'Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian'.

Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi , dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." [ HR. Bukhori no. 4119 dan Muslim no. 1770].

*****

PERBEDAAN ANTAR SAHABAT DALAM BACAAN AYAT AL-QUR’AN:

Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:

سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، ‌فَجِئْتُ ‌بِهِ ‌النَّبِيَّ ‌ﷺ ‌فَأَخْبَرْتُهُ، ‌فَعَرَفْتُ ‌فِي ‌وَجْهِهِ ‌الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا".

Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi   membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi  dan memberitahukan kepadanya.

Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi  dan beliau bersabda: “Kamu berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah berselisih, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu selalu berselisih sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476 ]

Seperti itulah keadaan para sahabat di masa Nabi  masih hidup, celah-celah yang bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segara diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.

*****

NABI  KADANG SALAH DALAM BERIJTIHAD, NAMUN SEGERA DILURUSKAN:

Salah satu contoh kesalahan Nabi  dalam berpendapat adalah sbb:

Hadits Rafi' bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;

قَدِمَ نَبِيُّ اللهِ ﷺ المَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يقولونَ: يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقالَ: ما تَصْنَعُونَ؟ قالوا: كُنَّا نَصْنَعُهُ، قالَ: لَعَلَّكُمْ لو لَمْ تَفْعَلُوا كانَ خَيْرًا، فَتَرَكُوهُ، فَنَفَضَتْ -أَوْ فَنَقَصَتْ- قالَ: فَذَكَرُوا ذلكَ له، فَقالَ: إنَّما أَنَا بَشَرٌ، إذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن دِينِكُمْ، فَخُذُوا به، وإذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن رَأْيِي، فإنَّما أَنَا بَشَرٌ.

Ketika Nabi  datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa mereka sebut dengan 'mengawinkan'.

Maka beliaupun bertanya: apa yang sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu melakukan hal ini.

Beliau berkata: 'Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik.' Maka merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan berguguran.

Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun berkata:

'Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama) kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa”. [HR. Muslim no. 2326]

Dalam hadits Thalhah radhiyallahu anhu , dia berkata;

مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِي الْأُنْثَى فَيَلْقَحُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا أَظُنُّ يُغْنِي ذَلِكَ شَيْئًا قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِذَلِكَ فَقَالَ إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ".

"Saya pernah bersama Rasulullah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma. Tak lama kemudian beliau bertanya: 'Apa yang dilakukan orang-orang itu? '"

Para sahabat menjawab : 'Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah.'

Maka Rasulullah pun bersabda : 'Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya.'

Thalhah berkata : 'Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Rasulullah itu. Lalu mereka tidak mengawinkan pohon kurma.' Selang beberapa hari kemudian, Rasulullah diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu tidak dikawinkan itu tidak berbuah lagi.

Lalu Rasulullah  bersabda: 'Jika okulasi (perkawinan) pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi. Oleh karena itu, janganlah menyalahkanku karena adanya pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya. Karena, aku tidak pernah berdusta atas nama Allah.'[HR. Muslim no. 4356].

*****

TIDAK BOLEH BERIJTIHAD YANG MEMBAHAYAKAN UMAT ISLAM :

Berikut ini contoh-contoh nya :

Contoh pertama : Teguran Allah terhadap kesalahan ijtihad Nabi  membebaskan tawanan gembong penjahat perang Badar ; karena dikhawatirkan akan menyusun kekuatan kembali untuk memerangi umat Islam, Dan realitanya benar-benar terjadi , yaitu terjadinya perang Uhud dan lainnya .

Abu Zumail berkata : telah menceritakan padaku Ibnu Abbaas – radhiyallahu 'anhuma - : dia berkata; telah menceritakan kepadaku [Umar bin Khattab] dia berkata :

فَقَتَلُوا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ وَأَسَرُوا سَبْعِينَ قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فلمَّا أسَرُوا الأُسارى، قال رسولُ الله ﷺ لأبي بكرٍ وعُمَرَ: ما تَرَونَ في هؤلاءِ الأُسارى؟ فقال أبو بكرٍ: يا نبيَّ الله، هم بنو العَمِّ والعشيرةِ، أرى أن تأخُذَ منهم فِديةً، فتكونَ لنا قُوَّةً على الكُفَّارِ، فعسى اللهُ أن يَهدِيَهم للإسلامِ، فقال رسولُ اللهِ ﷺ: ما ترى يا ابنَ الخطَّابِ؟ قلتُ: لا واللهِ يا رسولَ اللهِ، ما أرى الذي رأى أبو بكرٍ، ولكنِّي أرى أن تُمكِّنَّا فنضرِبَ أعناقَهم، فتُمَكِّنَ عليًّا مِن عَقيلٍ، فيضرِبَ عُنُقَه، وتمكِّنِّي من فلانٍ- نَسيبًا لِعُمَرَ- فأضرِبَ عُنقَه؛ فإنَّ هؤلاءِ أئمَّةُ الكُفرِ وصناديدُها، فهَوِيَ رسولُ الله ﷺ ما قال أبو بكرٍ، ولم يَهْوَ ما قُلتُ، فلمَّا كان من الغَدِ جِئتُ، فإذا رسولُ الله ﷺ وأبو بكرٍ قاعِدَينِ يَبكيانِ، قُلتُ: يا رسولَ اللهِ، أخبِرْني من أيِّ شَيءٍ تبكي أنت وصاحِبُك؟! فإن وَجَدْتُ بكاءً بكيتُ، وإن لم أجِدْ بُكاءً تباكَيتُ لِبُكائِكما، فقال رسولُ الله ﷺ: أبكي للَّذي عَرَضَ عليَّ أصحابُك مِن أخْذِهم الفِداءَ، لقد عُرِضَ علي عذابُهم أدنى مِن هذه الشَّجرةِ- شَجرةٍ قريبةٍ مِن نبيِّ اللهِ ﷺ- وأنزل اللهُ عزَّ وجلَّ:  مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ إلى قَولِه: فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا فأحلَّ اللهُ الغنيمةَ لهم".

" Pada hari itu [PERANG BADAR], tentara kaum Muslimin dapat membunuh tujuh puluh tentara kaum Musyrikin, dan berhasil menawan tujuh puluh orang tawanan."

Abu Zumail melanjutkan, "Ibnu Abbas berkata :

"Tatkala tawanan telah mereka tahan, Rasulullah  bertanya kepada Abu Bakar dan Umar: "Bagaimana pendapat kalian mengenai tawanan ini?"

Abu Bakar menjawab : "Wahai Nabi Allah, mereka itu adalah anak-anak paman dan masih famili kita, aku berpendapat, sebaiknya kita pungut tebusan dari mereka. Dengan begitu, kita akan menjadi kuat terhadap orang-orang kafir, semoga Allah menunjuki mereka supaya masuk Islam."

Kemudian Rasulullah  berkata: "Bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?"

Aku menjawab : "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar. Menurutku, berilah aku kesempatan untuk memenggal leher mereka, berilah kesempatan kepada Ali supaya memenggal leher 'Uqail, dan berilah kesempatan kepadaku supaya memenggal leher si fulan -maksudnya saudaranya sendiri-, karena mereka adalah para pemimpin kaum kafir dan pembesar-pembesar mereka."

Akan tetapi Rasulullah  menyetujui pendapat Abu Bakar dan tidak menyutujui pendapatku.

Di keesokan harinya, aku menemui Rasulullah , aku dapati beliau sedang duduk menangis berdua dengan Abu Bakar, lalu aku berkata : "Ceritakanlah kepadaku, apa sebabnya anda berdua menangis? Jika bisa menangis maka aku akan menangis, jika tidak bisa maka aku akan pura-pura menangis untuk kalian."

Rasulullah  bersabda: "Aku menangis karena tebusan yang dipungut sahabatmu terhadap para tawanan itu, lebih murah daripada harga kayu ini." -yaitu kayu yang berada didekat Nabi Allah - Lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat :

{ مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ . لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ . فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}

"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.

Maka makanlah oleh kalian sebagian harta rampasan" .(Qs. Al Nafaal: 67-69).

Karena itulah Allah menghalalkan harta rampasan buat mereka."

[HR. Muslim no. 3309].

Contoh kedua : Kemarahan Nabi  Karena “Ijtihad Fatwa” yang Membahayakan Nyawa.

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu dia berkata;

خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ شَكَّ مُوسَى عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ".

Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja?

Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan setelah itu meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi , beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda:

"Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sebenarnya cukup baginya untuk memberi perban di kepalanya lalu diusap (Tayammum) dan organ tubuh lainnya disiram”.

[HR. Abu Dawud (336) dan susunan katanya adalah miliknya, Al-Daaraqutni (1/189), dan Al-Baihaqi (1115)]. Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 336].

====

NABI  MELARANG AMALAN SAHABAT YANG MEMBERATKAN DAN SIKAP YANG BERPOTENSI MEMECAH BELAH UMAT

Allah SWT berfirman :

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى إِلا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى تَنْزِيلا مِمَّنْ خَلَقَ الأرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلا

“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” [Thaahaa: 2-4]

Dari ‘Aisyah ra , bahwa Rosulullah  bersabda :

إنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا، وَلَا مُتَعَنِّتًا، وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا.

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim no. 1498 )

CONTOH : NABI  MELARANG AMALAN SAHABAT YANG MEMBERATKAN :

Hadits ke 1 : dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إلى بُيُوتِ أزْوَاجِ النَّبيِّ ﷺ، يَسْأَلُونَ عن عِبَادَةِ النَّبيِّ ﷺ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقالوا: وأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبيِّ ﷺ؟! قدْ غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ وما تَأَخَّرَ، قالَ أحَدُهُمْ: أمَّا أنَا فإنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أبَدًا، وقالَ آخَرُ: أنَا أصُومُ الدَّهْرَ ولَا أُفْطِرُ، وقالَ آخَرُ: أنَا أعْتَزِلُ النِّسَاءَ فلا أتَزَوَّجُ أبَدًا، فَجَاءَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ إليهِم، فَقالَ: أنْتُمُ الَّذِينَ قُلتُمْ كَذَا وكَذَا؟! أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.

Ada tiga orang mendatangi rumah para istri Nabi  bertanya tentang ibadahnya Nabi . Ketika mereka telah dikabari, seolah-olah mereka menggangap sedikit ibadahnya Nabi .

Mereka berkata: Dimanakah kita dari kedudukan Nabi ? Allah telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu maupun yang akan datang.

Salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku maka akan shalat malam terus.

Dan yang kedua berkata: Aku akan puasa sepanjang waktu tidak akan berbuka.

Dan yang ketiga berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.

Rasululullah  pun mendatangi mereka seraya bersabda:

أنْتُمُ الَّذِينَ قُلتُمْ كَذَا وكَذَا؟! أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.

Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Adapun aku maka demi Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa namun juga berbuka dan aku shalat malam namun juga tidur dan aku menikahi perempuan-perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari golonganku.

(HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401 )

Di riwayat Muslim terdapat tambahan lafaz:

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا آكُلُ اللَّحْمَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ

“Berkata sebahagian mereka, “Aku tidak akan makan daging…” sebahagian yang lain pula berkata, “Aku tidak akan tidur di atas tilam / tikar ”

Hadits ke 2 :

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu , ia berkata;

بَيْنَمَا النَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فِي الشَّمْسِ فَسَأَلَ عَنْهُ قَالُوا هَذَا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ قَالَ مُرُوهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

" Ketika Nabi  berkhutbah, tiba-tiba terdapat seorang laki-laki yang berdiri di bawah terik matahari.

Kemudian beliau  menanyakan tentang orang tersebut . Maka mereka menjawab :

"Orang ini adalah Abu Israil, ia bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk, serta tidak bernaung, tidak berbicara, dan berpuasa".

Lalu Beliau  berkata: "Perintahkan dia agar berbicara, bernaung, duduk dan menyempurnakan puasanya!"

[ HR. Al-Bukhari (6704), Abu Daud (3300), dan lafadz ini adalah miliknya, dan Ibnu Majah (2136)].

Hadits ke 3 : Dari Sa'ad bin Abi Waqqāṣ, ia berkata :

"رَدَّ رَسولُ اللهِ ﷺ علَى عُثْمَانَ بنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، ولو أَذِنَ له لَاخْتَصَيْنَا"

Rasulullah -allallāhu 'alaihi wa sallam- menolak permintaan Uman bin Ma'ūn untuk hidup tanpa istri [membujang], seandainya beliau mengizinkannya maka sungguh kami akan mengebiri diri kami. [ HR. Bukhori no. 5073 dan Muslim no. 1402]

Hadits ke 4 : Hadits Abu Hurairah radliallahu 'anhu mengatakan;

نَهَى رَسولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الوِصَالِ، فَقالَ له رِجَالٌ مِنَ المُسْلِمِينَ : فإنَّكَ -يا رَسولَ اللَّهِ- تُوَاصِلُ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ: أيُّكُمْ مِثْلِي؟! إنِّي أبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي ويَسْقِينِ. فَلَمَّا أبَوْا أنْ يَنْتَهُوا عَنِ الوِصَالِ واصَلَ بهِمْ يَوْمًا، ثُمَّ يَوْمًا، ثُمَّ رَأَوُا الهِلَالَ، فَقالَ: لو تَأَخَّرَ لَزِدْتُكُمْ. كَالْمُنَكِّلِ بهِمْ حِينَ أبَوْا.

Rasulullah  melarang puasa wishool.

Maka beberapa orang kaum muslimin bertanya; 'engkau sendiri ya Rasulullah melakukan puasa wishool.'

Rasulullah  menjawab : "Mana mungkin kalian sanggup melakukannya seperti aku, sebab kalau aku pada malamnya Rabb-ku memberiku makan dan minum."

Tatkala mereka masih enggan menghentikan puasa wishool, maka Nabi pun melakukan puasa wishool bersama mereka hari demi hari.

Kemudian ketika mereka melihat bulan sabit muncul ; maka Nabi bersabda: "Kalaulah bulan sabit itu terlambat, niscaya kutambah untuk kalian!"

Seolah-olah beliau hendak menghukum mereka tatkala mereka menolak nya .

[ HR. Bukhori no. 6851 dan Muslim no. 1103 ]

Definisi Puasa wishool adalah : menyambungkan puasa ke hari berikutnya tanpa berbuka di malam hari.

*****

BOLEHKAH SEORANG MUJTAHID MENGKLAIM BAHWA HASIL IJTIHADNYA PASTI BENAR?

Dalam masalah-masalah Ijtihadiyah, Nabi  sendiri tidak pernah mengklaim bahwa hasil ijtihadnya pasti benar, meski beliau telah berusaha melakukan tabayyun dalil dari semua sumber, kecuali jika diperkuat oleh wahyu . 

Contohnya : ketika Nabi  kedatangan dua orang yang berselisih dan mereka meminta agar beliau menjadi hakim diantara keduanya, maka yang pertama kali beliau lakukan adalah mendengar argumentasi dari kedua belah pihak , lalu setelah itu beliau jatuhkan vonis hukum. Namun demikian beliau  masih mengakui akan adanya kemungkinan salah dalam vonisnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : Bahwa Rasulullah  bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ.

Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar dan yang nampak.

Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya (karena dia tahu bahwa itu bukan haknya dan dia telah berargumentasi bohong dan palsu dihadapan Nabi ), maka janganlah ia mengambilnya ! Sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya. [HR. Bukhori no. 7165 dan Muslim no. 1713]

Dalam lafadz riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

سَمِعَ النَّبيُّ ﷺ جَلَبَةَ خِصَامٍ عِنْدَ بَابِهِ، فَخَرَجَ عليهم فَقالَ: إنَّما أنَا بَشَرٌ، وإنَّه يَأْتِينِي الخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضًا أنْ يَكونَ أبْلَغَ مِن بَعْضٍ، أقْضِي له بذلكَ وأَحْسِبُ أنَّه صَادِقٌ، فمَن قَضَيْتُ له بحَقِّ مُسْلِمٍ فإنَّما هي قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ، فَلْيَأْخُذْهَا أوْ لِيَدَعْهَا.

Pernah Nabi  mendengar suara gaduh percekcokan di pintunya, lantas beliau menemui mereka dengan mengatakan :

"Saya hanyalah manusia biasa seperti kalian, dan sengketa kalian diadukan kepadaku, dan bisa jadi diantara kalian ada yang lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain sehingga aku memenangkannya karena aku mengira dirinya yang benar, maka siapa yang kumenangkan dengan merampas hak muslim lainnya, maka sesungguhnya itu adalah potongan api nereka, maka silahkan ia mengambilnya atau meninggalkannya !" [HR. Bukhori no. 7185].

===*****====

APAKAH PENDAPAT PARA MUJTAHID YANG BERBEDA-BEDA ITU BENAR SEMUA DI SISI ALLAH SWT ATAU HANYA SATU SAJA ?

Asy-Syawkani berkata dalam kitabnya Irsyaad al-Fuhuul 2/231-236:

"وَقَدِ ‌اخْتَلَفُوا ‌فِي ‌ذَلِكَ ‌اخْتِلَافًا ‌طَوِيلًا، ‌وَاخْتَلَفَ ‌النَّقْلُ ‌عَنْهُمْ ‌فِي ‌ذَلِكَ ‌اخْتِلَافًا ‌كَثِيرًا، فَذَهَبَ جَمْعٌ جَمٌّ إِلَى أَنَّ كُلَّ قَوْلٍ مِنْ أَقْوَالِ الْمُجْتَهِدِينَ فِيهَا حَقٌّ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُصِيبٌ، وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَالرُّويَانِيُّ، عَنِ الْأَكْثَرِينَ.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْمُعْتَزِلَةِ.

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْحَقَّ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَلَمْ يَتَعَيَّنْ لَنَا، وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ مُتَعَيَّنٌ، لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ الْوَاحِدُ، فِي الزَّمَانِ الْوَاحِدِ، فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ حَلَالًا وَحَرَامًا، وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يُخطِّئ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَيَعْتَرِضُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَلَوْ كَانَ اجْتِهَادُ كُلِّ مُجْتَهِدٍ حَقًّا، لَمْ يَكُنْ لِلتَّخْطِئَةِ وَجْهٌ".

Dan mereka berselisih dalam hal ini [ tentang apakah yang benar itu satu atau berbilang] untuk waktu yang lama, dan perbedaan kutipan riwayat dari mereka pun terdapat perbedaan yang banyak, sehingga ada sekelompok besar yang berpendapat bahwa setiap pendapat para mujtahid adalah benar, dan bahwa setiap hasil ijtihad dari mereka adalah dibenarkan . Al-Mawardi dan Al-Ruyani meriwayatkan nya dari mayoritas. Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan Mu'tazilah.

Sementara Abu Hanifah, Malik , Asy-Syafi'i dan kebanyakan para Ahli Fikih berpendapat bahwa yang Hak atau yang benar dari semua pendapat adalah hanya satu . Akan tetapi tidak bisa kita tentukan yang mana yang hak, itu hanya ada di sisi Allah ketentuannya ; Karena tidak mungkin hal yang sama, pada saat yang sama, pada orang yang sama, terdapat dua hukum halal dan haram. Dan para sahabat – radhiyallahu 'anhum - sering menyalahkan salah satu sama lain, dan saling membantah, dan jika ijtihad setiap mujtahid itu benar, maka tidak akan saling menyalahkan".

Lalu Asy-Syawkani berkata dalam Irsyadul Fuhul :

ثُمَّ اخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، هَلْ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ أَمْ لَا؟

فَعِنْدَ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَغَيْرِهِمَا أَنَّ الْمُصِيبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَأَنَّ جَمِيعَهَمْ مُخْطِئٌ إِلَّا ذَلِكَ الْوَاحِدَ.

وَقَالَ جَمَاعَةٌ، مِنْهُمْ أَبُو يُوسُفَ: إِنَّ كُلَّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مَعَ وَاحِدٍ، وَقَدْ حَكَى بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَنِ الشَّافِعِيِّ مِثْلَهُ.

وأنكر ذلك أبو سحاق الْمَرْوَزِيِّ، وَقَالَ: إِنَّمَا نَسَبَهُ إِلَيْهِ قَوْمٌ مِنَ المتأخرين، ممن لا معرفة له بِمَذْهَبِهِ.

قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ الطَّبَرَيُّ: وَاخْتَلَفَ النَّقْلُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، فَنُقِلَ عَنْهُ أَنَّهُ قال في بعض المسائل كقولنا، وفي بعضها كَقَوْلِ أَبِي يُوسُفَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَأَصْحَابِ مَالِكٍ وَابْنِ سُرَيْجٍ، وَأَبِي حَامِدٍ، بِمِثْلِ قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ.

وَاسْتَدَلَّ ابْنُ كَجٍّ عَلَى هَذَا بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى تَصْوِيبِ بَعْضِهِمْ بعضا، فيما اختلفوا فيه وَلَا يَجُوزُ إِجْمَاعُهُمْ عَلَى خَطَأٍ.

قَالَ ابْنُ فورك: في المسألة ثلاثة أقوال:

أحدهما: أن الحق في وَاحِدٌ، وَهُوَ الْمَطْلُوبُ، وَعَلَيْهِ دَلِيلٌ مَنْصُوبٌ، فَمَنْ وَضَعَ النَّظَرَ مَوْضِعَهُ أَصَابَ، وَمَنْ قَصَّرَ عَنْهُ وَفَقَدَ الصَّوَابَ؛ فَهُوَ مُخْطِئٌ، وَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ إِنَّهُ مَعْذُورٌ؛ لِأَنَّ الْمَعْذُورَ مَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ التَّكْلِيفُ، لِعُذْرٍ فِي تَرْكِهِ، كَالْعَاجِزِ عَنِ الْقِيَامِ فِي الصَّلَاةِ، وَهُوَ عِنْدَنَا قَدْ كُلِّفَ إِصَابَةَ الْعَيْنِ، لَكِنَّهُ خُفٍّفَ أَمْرُ خِطَابِهِ، وَأُجِرَ عَلَى قَصْدِهِ الصَّوَابَ، وَحُكْمُهُ نَافِذٌ عَلَى الظَّاهِرِ، وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَأَكْثَرِ أَصْحَابِهِ، وَعَلَيْهِ نص في كتاب "الرسالة" و"أدب الْقَاضِي".

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، إِلَّا أَنَّ الْمُجْتَهِدِينَ لَمْ يَتَكَلَّفُوا إِصَابَتَهُ، وَكُلُّهُمْ مُصِيبُونَ لِمَا كُلِّفُوا مِنَ الِاجْتِهَادِ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مُخْطِئًا.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمْ كُلِّفُوا الرَّدَّ إِلَى الْأَشْبَهِ عَلَى طَرِيقِ الظَّنِّ. انْتَهَى.

**Kemudian mereka berbeda pendapat setelah sepakat bahwa kebenaran itu satu: apakah setiap mujtahid itu benar atau tidak?**

Menurut Malik, asy-Syafi'i, dan lainnya, bahwa yang benar dari mereka hanya satu, meskipun tidak dapat ditentukan siapa, dan semua selain yang satu itu salah.

Namun, ada kelompok, di antaranya Abu Yusufyang berpendapat bahwa setiap mujtahid itu benar, meskipun kebenaran hanya pada satu pihak. Beberapa ulama dari kalangan pengikut asy-Syafi'i juga meriwayatkan pendapat serupa dari asy-Syafi'i.

Abu Ishaq al-Marwazi menolak pendapat ini dan berkata bahwa pendapat tersebut hanya dinisbatkan kepadanya oleh kelompok dari generasi belakangan yang tidak paham benar akan mazhabnya.

Qadhi Abu Thayyib ath-Thabari berkata: Riwayat dari Abu Hanifah berbeda, ada yang meriwayatkan bahwa dia dalam beberapa masalah sependapat dengan kami dan dalam masalah lain sependapat dengan Abu Yusuf. Diriwayatkan dari ulama Irak, pengikut Malik, Ibnu Suraij, dan Abu Hamid, bahwa mereka berpendapat serupa dengan Abu Yusuf.

Ibnu Kajj menggunakan dalil dengan ijma' para sahabat yang saling membenarkan pendapat masing-masing dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan tidak mungkin mereka sepakat dalam kesalahan.

Ibnu Furak berkata:

“Dalam masalah ini ada tiga pendapat:

Pertama : Kebenaran hanya satu, itulah yang dicari, dan ada dalil yang menunjukkannya. Siapa yang menempatkan pendapatnya pada tempat yang benar, maka dia benar. Dan siapa yang tidak mencapainya dan gagal, maka dia melakukan kesalahan, namun, tidak ada dosa baginya, meskipun tidak bisa dikatakan bahwa dia diberi udzur (dimaafkan), karena yang dimaafkan (ma’dzur)) adalah mereka yang terbebas dari kewajiban karena adanya udzur, seperti orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat.

Menurut kami, dia diwajibkan (mukallaf) untuk mencapai kebenaran, tetapi taklifnya (kewajibannya) diper-ringan (dipermudah), dan dia diberi pahala karena berniat untuk mencapai kebenaran. Hukumnya sah secara lahiriah. Ini adalah mazhab asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikutnya. Hal ini dinyatakan dalam kitab "ar-Risalah" dan "Adab al-Qadhi".

Kedua : Kebenaran itu satu, tetapi para mujtahid tidak diwajibkan mencapainya. Mereka semua benar dalam hal yang diwajibkan, yaitu ijtihad, meskipun beberapa dari mereka salah.

Ketiga : Mereka diwajibkan untuk kembali kepada yang paling mirip dengan kebenaran melalui dugaan”. (Selesai)”

Lalu Asy-Syawkani melanjutkan perkataannya :

وَذَهَبَ قَوْمٌ: إِلَى أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ وَالْمُخَالِفَ لَهُ مُخْطِئٌ آثِمٌ، وَيَخْتَلِفُ خَطَؤُهُ عَلَى قَدْرِ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْحُكْمُ، فَقَدْ يَكُونُ كَبِيرَةً، وَقَدْ يَكُونُ صَغِيرَةً.

وَمِنَ الْقَائِلِينَ بِهَذَا الْقَوْلِ الْأَصَمُّ وَالْمَرِيسِيُّ وَابْنُ عُلَيَّةَ، وحُكي عَنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ، وَعَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ، وَطَائِفَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ.

وَقَدْ طَوَّلَ أَئِمَّةُ الْأُصُولِ الْكَلَامَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَأَوْرَدُوا مِنَ الْأَدِلَّةِ مَا لَا تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ، وَاسْتَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ الرَّازِيُّ فِي "الْمَحْصُولِ"، وَلَمْ يَأْتُوا بما يشفي طالب الحق.

وههنا دَلِيلٌ يَرْفَعُ النِّزَاعَ، وَيُوَضِّحُ الْحَقَّ إِيضَاحًا لَا يَبْقَى بَعْدَهُ رَيْبٌ لِمُرْتَابٍ، وَهُوَ الْحَدِيثُ الثَّابِتُ في الصحيح، ومن طُرُقٍ: "أَنَّ الْحَاكِمَ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ، فَلَهُ أجران، وإن اجتهد فأخطأ فله أجرا".

فَهَذَا الْحَدِيثُ يُفِيدُكَ أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، وَأَنَّ بَعْضَ الْمُجْتَهِدِينَ يُوَافِقُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: مُصِيبٌ، وَيَسْتَحِقُّ أَجْرَيْنِ، وَبَعْضُ الْمُجْتَهِدِينَ يُخَالِفُهُ، وَيُقَالُ لَهُ مُخْطِئٌ، واستحقاقه الأجر لا يستلزم كونه مصيبًا، و"إطلاق"* اسْمِ الْخَطَأِ عَلَيْهِ لَا يَسْتَلْزِمُ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَجْرٌ، فَمَنْ قَالَ: كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ، وَجَعَلَ الْحَقَّ مُتَعَدِّدًا بِتَعَدُّدِ الْمُجْتَهِدِينَ، فَقَدْ أَخْطَأَ خَطَأً بَيِّنًا، وَخَالَفَ الصَّوَابَ مُخَالَفَةً ظَاهِرَةً، فإن النبي ﷺ جَعَلَ الْمُجْتَهِدِينَ قِسْمَيْنِ، قِسْمًا مُصِيبًا، وَقِسْمًا مخطئا، ولو كان كل واحد مِنْهُمْ مُصِيبًا لَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّقْسِيمِ مَعْنًى.

وَهَكَذَا مَنْ قَالَ: إِنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، وَمُخَالِفَهُ آثم، فإن هذا الْحَدِيثَ يَرُدُّ عَلَيْهِ رَدًّا بَيِّنًا، وَيَدْفَعُهُ دَفْعًا ظاهرا؛ لأن النبي ﷺ سَمَّى مَنْ لَمْ يُوَافِقِ الْحَقَّ فِي اجْتِهَادِهِ مُخْطِئًا، وَرَتَّبَ عَلَى ذَلِكَ اسْتِحْقَاقَهُ لِلْأَجْرِ، فَالْحَقُّ الَّذِي لَا شَكَّ فِيهِ، وَلَا شُبْهَةَ أن الحق واحد، ومخالفه مخطئ مَأْجُورٌ، إِذَا كَانَ قَدْ وفَّى الِاجْتِهَادَ حَقَّهُ، وَلَمْ يُقَصِّرْ فِي الْبَحْثِ، بَعْدَ إِحْرَازِهِ لِمَا يَكُونُ بِهِ مُجْتَهِدًا.

وَمِمَّا يُحْتَجُّ بِهِ عَلَى هَذَا حَدِيثُ: "الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ" فَإِنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنِ الْحَقُّ وَاحِدًا، لَمْ يَكُنْ لِلتَّقْسِيمِ مَعْنًى، ومثله قوله ﷺ لِأَمِيرِ السَّرِيَّةِ: "وَإِنْ طَلَبَ مِنْكَ أَهْلُ حِصْنٍ النُّزُولَ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا".

Sebagian kelompok berpendapat : bahwa kebenaran itu satu, dan yang berbeda darinya adalah salah dan berdosa. Kesalahannya berbeda-beda sesuai dengan perkara yang berkaitan dengan hukum tersebut; bisa jadi merupakan dosa besar, dan bisa juga dosa kecil.

Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Asham, al-Marisi, dan Ibnu 'Ulayyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari kalangan Dzahiriyyah, sebagian pengikut asy-Syafi'i, dan sebagian kelompok Hanafi”.

"Para ulama ushul telah membahas masalah ini secara panjang lebar dan mengemukakan berbagai dalil yang tidak dapat dijadikan hujjah (argumen yang valid). Al-Razi dalam kitabnya 'Al-Mahshul' juga menyebutkan banyak hal terkait ini, namun mereka tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi pencari kebenaran.

Di sini, terdapat sebuah dalil yang dapat mengakhiri perdebatan dan menjelaskan kebenaran dengan jelas, sehingga tidak menyisakan keraguan bagi yang ragu. Dalil tersebut adalah hadits sahih yang diriwayatkan melalui beberapa jalur:

'Sesungguhnya seorang hakim (qadhi) apabila berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila ia berijtihad namun keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.'

[[Takhrij : "HR. al-Bukhari no. 7352 dan Muslim no. 1716]

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa kebenaran itu hanya satu, dan sebagian mujtahid ada yang sesuai dengan kebenaran tersebut, sehingga ia dikatakan benar dan berhak mendapatkan dua pahala. Sementara sebagian mujtahid lainnya tidak sesuai dengan kebenaran, sehingga dikatakan salah, namun kesalahannya tidak menghalangi ia dari mendapatkan pahala. Penggunaan istilah 'kesalahan' di sini tidak berarti ia tidak mendapatkan pahala.

Barang siapa yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar dan menjadikan kebenaran beragam sesuai dengan banyaknya mujtahid, maka ia telah melakukan kesalahan yang jelas dan menyelisihi kebenaran dengan terang-terangan. Sebab, Nabi Muhammad  membagi para mujtahid menjadi dua kelompok: kelompok yang benar dan kelompok yang salah. Seandainya semua mujtahid itu benar, pembagian ini tidak akan bermakna.

Demikian juga, barang siapa yang mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu dan siapa pun yang menyelisihinya adalah berdosa, maka hadits ini dengan jelas menolak pendapat tersebut dan menjelaskannya. Karena Nabi  menyebut orang yang tidak sesuai dengan kebenaran dalam ijtihadnya sebagai 'salah', namun beliau tetap memberikan pahala kepadanya.

Kebenaran yang tidak diragukan adalah bahwa kebenaran itu hanya satu, dan orang yang menyelisihi kebenaran adalah salah, namun tetap mendapatkan pahala jika ia telah berusaha maksimal dalam ijtihadnya, tanpa mengurangi usaha dalam pencarian kebenaran, setelah memenuhi syarat-syarat yang menjadikannya seorang mujtahid.

Dalil lain yang mendukung pandangan ini adalah hadits:

'Hakim itu ada tiga macam.'

[HR. Abu Daud no. 3573, Tirmidzy no. 1322, Ibnu Majah no. 2351, al-Hakim 4/9 dan al-Baihaqi 10/117 . Di shahihkan oleh al-Hakim sesuai syarat Muslim. Dan disetujui oleh adz-Dzahabi].

Seandainya kebenaran itu tidak satu, maka pembagian ini tidak akan bermakna.

Demikian pula sabda Nabi  kepada pemimpin pasukan:

'Jika penduduk sebuah benteng meminta dirimu untuk menghakimi mereka berdasarkan hukum Allah, janganlah kamu menuruti permintaan mereka, karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar akan menghukumi mereka dengan hukum Allah atau tidak.'" [HR. Muslim no. 1731].

Lalu Asy-Syawkani melanjutkan perkataannya :

وَمَا أَشْنَعَ مَا قَالَهُ هَؤُلَاءِ الْجَاعِلُونَ لِحُكْمِ اللَّهِ عَزَّ وجل متعددا بتعدد الْمُجْتَهِدِينَ، تَابِعًا لِمَا يَصْدُرُ عَنْهُمْ مِنَ الِاجْتِهَادَاتِ، فَإِنَّ هَذِهِ الْمَقَالَةَ مَعَ كَوْنِهَا مُخَالِفَةً لِلْأَدَبِ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَمَعَ شَرِيعَتِهِ الْمُطَهَّرَةِ، هِيَ أَيْضًا صَادِرَةٌ عَنْ مَحْضِ الرَّأْيِ، الَّذِي لَمْ يَشْهَدْ لَهُ دَلِيلٌ، وَلَا عَضَّدَتْهُ شُبْهَةٌ تَقْبَلُهَا الْعُقُولُ، وَهِيَ أَيْضًا مُخَالِفَةٌ لِإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ، سلفها خلفها، فَإِنَّ الصَّحَابَةَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي كُلِّ عَصْرٍ مِنَ الْعُصُورِ، مَا زَالُوا يُخَطِّئُونَ مَنْ خَالَفَ فِي اجْتِهَادِهِ مَا هُوَ أَنْهَضُ مِمَّا تَمَسَّكَ بِهِ، وَمَنْ شَكَّ فِي ذَلِكَ، وَأَنْكَرَهُ، فَهُوَ لَا يَدْرِي بِمَا فِي بُطُونِ الدَّفَاتِرِ الْإِسْلَامِيَّةِ بِأَسْرِهَا مِنَ التَّصْرِيحِ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَائِلِ بتخطئه بعضهم البعض واعتراض بعضهم على بعض وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ مِنَ الْقَائِلِينَ بِهَذِهِ الْمَقَالَةِ بِمِثْلِ قِصَّةِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ1 فَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا لَهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى صَرَّحَ فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ بِأَنَّ الْحَقَّ هُوَ مَا قَالَهُ سُلَيْمَانُ، فقال: {فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ} وَلَوْ كَانَ الْحَقُّ بِيَدِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ لما كان لتخصيص سليمان بذلك المعنى.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِمِثْلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ} فَهُوَ خَارِجٌ عَنْ مَحَلِّ النِّزَاعِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ قَدْ صَرَّحَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ بِأَنَّ مَا وَقَعَ مِنْهُمْ، مِنَ الْقَطْعِ وَالتَّرْكِ هُوَ بِإِذْنِهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَأَفَادَ ذَلِكَ أَنَّ حُكْمَهُ فِي هَذِهِ الْحَادِثَةِ بِخُصُوصِهَا، هُوَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ، وَلَيْسَ النِّزَاعُ إِلَّا فِيمَا لَمْ يَرِدِ النَّصُّ فِيهِ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ يُرِيدُ بِخُصُوصِهَا، هُوَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ، وَأَنَّ حُكْمَهُ عَلَى التَّخْيِيرِ بَيْنَ أُمُورٍ، يَخْتَارُ الْمُكَلَّفُ مَا شَاءَ مِنْهَا، كَالْوَاجِبِ الْمُخَيَّرِ، وَأَنَّ حُكْمَهُ يَجِبُ على الكل، حتى يفعله البعض، فيسقط عن الْبَاقِينَ، كَفُرُوضِ الْكِفَايَاتِ، فَتَدَبَّرْ هَذَا وَافْهَمْهُ حَقَّ فَهْمِهِ.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِتَصْوِيبِ كُلِّ طَائِفَةٍ مِمَّنْ صَلَّى قَبْلَ الْوُصُولِ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ، لِمَنْ خَشِيَ فَوْتَ الْوَقْتِ، وَمِمَّنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ حَتَّى وَصَلَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ، امْتِثَالًا لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"، فَالْجَوَابُ عَنْهُ كَالْجَوَابِ عَمَّا قَبْلَهُ، عَلَى أَنَّ تَرْكَ التَّثْرِيبِ لِمَنْ قَدْ عَمِلَ بِاجْتِهَادِهِ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ الْحَقَّ، بَلْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ أَجْزَأَهُ مَا عَمِلَهُ بِاجْتِهَادِهِ، وَصَحَّ صُدُورُهُ عَنْهُ، لِكَوْنِهِ قَدْ بَذَلَ وُسْعَهُ فِي تَحَرِّي الْحَقِّ، وَذَلِكَ لَا يَسْتَلْزِمُ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْحَقُّ الَّذِي طَلَبَهُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ، وَفَرْقٌ بَيْنَ الْإِصَابَةِ وَالصَّوَابِ، فَإِنَّ إِصَابَةَ الْحَقِّ هِيَ الْمُوَافَقَةُ، بِخِلَافِ الصَّوَابِ فَإِنَّهُ قَدْ يُطْلَقُ عَلَى مَنْ أَخْطَأَ الْحَقَّ وَلَمْ يُصِبْهُ، مِنْ حَيْثُ كَوْنِهِ قَدْ فَعَلَ مَا كُلِّفَ بِهِ، وَاسْتَحَقَّ الْأَجْرَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُصِيبًا لِلْحَقِّ وَمُوَافِقًا لَهُ.

"Betapa mengerikan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menjadikan hukum Allah -Azza wa Jallaa- beragam sesuai dengan banyaknya mujtahid, dan mengikuti hasil ijtihad mereka. Pandangan ini, selain bertentangan dengan adab kepada Allah -Azza wa Jallaa- dan syariat-Nya yang suci, juga muncul dari pendapat semata, yang tidak didukung oleh dalil, serta tidak memiliki syubhat yang bisa diterima oleh akal. Pendapat ini juga bertentangan dengan ijma' umat, baik generasi terdahulu maupun belakangan. Para sahabat dan generasi setelah mereka, dalam setiap masa, selalu menganggap salah siapa pun yang menyelisihi ijtihad yang lebih kuat dari apa yang mereka pegang. Barang siapa yang meragukan dan mengingkari hal ini, maka ia tidak mengetahui apa yang terkandung dalam literatur Islam secara keseluruhan, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa dalam banyak masalah, mereka saling mengoreksi dan mengkritik satu sama lain.

Adapun dalil yang digunakan oleh mereka yang berpendapat demikian, seperti kisah Dawud dan Sulaiman, justru berargumen melawan mereka, bukan mendukung. Sebab Allah -Azza wa Jallaa- telah menyatakan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa kebenaran ada pada apa yang dikatakan oleh Sulaiman, sebagaimana firman-Nya:

{فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ}

(maka Kami pahami masalah itu kepada Sulaiman).

Jika kebenaran ada pada kedua orang tersebut, maka tidak ada makna dari pembedaan khusus untuk Sulaiman.

Sedangkan penggunaan ayat :

{مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ}

(Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma atau kamu biarkan berdiri di atas pokoknya, maka itu dengan izin Allah).

Maka itu tidak relevan dengan permasalahan yang diperdebatkan. Karena Allah -Azza wa Jallaa- secara jelas menyebutkan dalam ayat ini bahwa apa yang terjadi, baik berupa penebangan atau pembiaran, adalah dengan izin-Nya -Azza wa Jallaa-.

Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya dalam kejadian khusus ini adalah bahwa kedua tindakan tersebut diperbolehkan, dan perdebatan hanya terjadi pada masalah yang tidak ada nash khusus yang menyatakan bahwa Allah -Azza wa Jallaa- menginginkan salah satu dari keduanya secara eksklusif, dan hukum-Nya memberikan pilihan di antara beberapa opsi yang boleh dipilih oleh mukallaf, seperti kewajiban yang bersifat alternatif (wajib mukhayyar), atau kewajiban yang berlaku umum, tetapi cukup dilakukan sebagian sehingga kewajiban itu gugur dari yang lain, seperti kewajiban kifayah. Renungkanlah hal ini dan pahami dengan baik.

Sedangkan argumen yang mereka gunakan dari kisah kelompok yang shalat sebelum sampai ke Bani Quraizah, antara mereka yang takut waktu shalat akan habis dan mereka yang menunda shalat hingga sampai di Bani Quraizah, berdasarkan perintah Nabi :

"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"

*'Janganlah seorang pun di antara kalian shalat kecuali di Bani Quraizah,'*

Jawabannya sama seperti sebelumnya.

Ketidakadilan dalam mengoreksi orang yang bertindak berdasarkan ijtihad tidak berarti bahwa ia telah mencapai kebenaran, melainkan menunjukkan bahwa apa yang dilakukan berdasarkan ijtihadnya sudah mencukupi, dan perbuatan itu sah karena ia telah berusaha sekuat tenaga dalam mencari kebenaran.

Namun, hal ini tidak menuntut bahwa apa yang ia capai adalah kebenaran yang Allah -Azza wa Jallaa- tuntut dari hamba-hamba-Nya.

Ada perbedaan antara 'mencapai kebenaran dengan tepat' (ishabah) dan 'benar' (showab), karena mencapai kebenaran adalah kesesuaian dengan kebenaran. Berbeda dengan 'benar', yang bisa digunakan untuk orang yang tidak mencapai kebenaran namun telah melakukan tugas yang dibebankan kepadanya dan berhak mendapat pahala, meskipun ia tidak mencapai kebenaran yang dimaksud."

Lalu Asy-Syawkani melanjutkan perkataannya :

وَإِذَا عرفت هذا الحق مَعْرِفَتِهِ، لَمْ تَحْتَجْ إِلَى زِيَادَةٍ عَلَيْهِ وَقَدْ حَرَّرَ الصَّفِيُّ الْهِنْدِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ، وَمَا فِيهَا مِنَ الْمَذَاهِبِ تَحْرِيرًا جَيِّدًا فَقَالَ: الْوَاقِعَةُ الَّتِي وَقَعَتْ إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا نَصٌّ أَوْ لَا، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ، فَإِمَّا أَنْ يَجْتَهِدَ الْمُجْتَهِدُ أَوْ لَا، الثَّانِي عَلَى قِسْمَيْنِ؛ لِأَنَّهُ إما أن يقصر في طَلَبِهِ أَوْ لَا يُقصر، فَإِنْ وَجَدَهُ وَحَكَمَ بِمُقْتَضَاهُ فَلَا كَلَامَ، وَإِنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمُقْتَضَاهُ، فَإِنْ كَانَ مَعَ الْعِلْمِ بِوَجْهِ دَلَالَتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، فَهُوَ مُخْطِئٌ وَآثِمٌ، وِفَاقًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَ الْعِلْمِ، وَلَكِنْ قَصَّرَ فِي الْبَحْثِ عَنْهُ، فَكَذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ، بَلْ بَالَغَ في الاستشكاف وَالْبَحْثِ، وَلَمْ يَعْثُرْ عَلَى وَجْهِ دَلَالَتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا إِذَا لَمْ يَجِدْهُ، مَعَ الطَّلَبِ الشَّدِيدِ وَسَيَأْتِي.

وَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ، فإن كان "للتقصير" فِي الطَّلَبِ فَهُوَ مُخْطِئٌ وَآثِمٌ، وَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ بَلْ بَالَغَ فِي التَّنْقِيبِ عَنْهُ، وَأَفْرَغَ الْوُسْعَ فِي طَلَبِهِ، وَمَعَ ذَلِكَ لَمْ يَجِدْهُ، فَإِنْ خَفِيَ عَلَيْهِ الرَّاوِي الَّذِي عِنْدَهُ النَّصُّ، أو عرفه و"لكن" مَاتَ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَيْهِ فَهُوَ غَيْرُ آثِمٍ قَطْعًا، وَهَلْ هُوَ مُخْطِئٌ أَوْ مُصِيبٌ، عَلَى الْخِلَافِ الْآتِي فِيمَا لَا نَصَّ فِيهِ، وَالْأَوْلَى بِأَنْ يَكُونَ مُخْطِئًا، وَأَمَّا الَّتِي لَا نَصَّ فِيهَا، فَإِمَّا أَنْ يُقَالَ: لِلَّهِ فِيهَا قَبْلَ اجتهاد المجتهد حكم معين أو لا، بَلْ "حُكْمُهُ" تَابِعٌ لِاجْتِهَادِ الْمُجْتَهِدِينَ، فَهَذَا الثَّانِي قَوْلِ مَنْ قَالَ: كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ، وَهُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْمُتَكَلِّمِينَ، كَالشَّيْخِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ، وَالْقَاضِي، وَالْغَزَالِيِّ، وَالْمُعْتَزِلَةِ، كَأَبِي الْهُذَيْلِ، وَأَبِي عَلِيٍّ، وأبي هاشم، وأتباعهم، وَنُقِلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَالْمَشْهُورُ عَنْهُمَا خِلَافُهُ.

فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِي الْوَاقِعَةِ حُكْمٌ مُعَيَّنٌ، فَهَلْ وُجِدَ فِيهَا مَا لَوْ حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا بِحُكْمٍ، لَمَا حُكِمَ إِلَّا بِهِ، أَوْ لَمْ يُوجَدْ ذَلِكَ، وَالْأَوَّلُ هُوَ الْقَوْلُ بِالْأَشْبَهِ، وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنَ الْمُصَوِّبِينَ، وَإِلَيْهِ صَارَ أَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، وابن سريج، فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ، قَالَ: وَأَمَّا الثَّانِي: فقول الخلص من المصوبة. انتهى

"Dan jika engkau mengetahui kebenaran ini sebagaimana mestinya, maka tidak diperlukan tambahan penjelasan.

Ash-hofiy al-Hindi telah menjelaskan masalah ini dengan sangat baik dan mendalam, serta menyebutkan berbagai mazhab yang terkait dengannya. Dia berkata:

'Kasus yang terjadi, bisa jadi ada nash yang mengatur atau tidak. Jika ada nash, maka mujtahid bisa melakukan ijtihad atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua keadaan: apakah mujtahid lalai dalam mencarinya atau tidak. Jika ia menemukannya dan menetapkan hukum sesuai nash tersebut, maka tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Namun, jika ia tidak menetapkan hukum sesuai nash, padahal ia mengetahui dalalah (petunjuk) nash tersebut, maka ia salah dan berdosa, berdasarkan kesepakatan (ijma'). Jika ia tidak mengetahuinya tetapi lalai dalam menelitinya, maka ia juga berdosa. Namun, jika ia tidak lalai, melainkan telah berusaha sebaik mungkin untuk mencari dalalah nash tersebut tetapi tidak menemukannya, maka hukumnya seperti orang yang tidak menemukan nash setelah berusaha keras mencarinya.'

Jika ia tidak menemukannya, dan itu karena kelalaian dalam pencarian, maka ia salah dan berdosa. Namun, jika ia tidak lalai, melainkan telah berusaha keras mencari nash dan berusaha sebaik mungkin, tetapi tetap tidak menemukannya, maka jika periwayat yang memiliki nash tersebut tidak diketahui olehnya, atau ia mengetahuinya tetapi periwayat tersebut meninggal dunia sebelum ia sampai kepadanya, maka ia tidak berdosa sama sekali.

Apakah ia dianggap salah atau benar dalam situasi di mana tidak ada nash, ada perbedaan pendapat yang akan dijelaskan nanti. Yang lebih utama adalah ia dianggap salah.

Adapun masalah yang tidak ada nash di dalamnya, maka ada dua pendapat: apakah Allah memiliki hukum tertentu di dalamnya sebelum ijtihad mujtahid atau tidak, tetapi hukumnya mengikuti ijtihad para mujtahid.

Pendapat yang kedua adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa setiap mujtahid adalah benar, dan ini adalah mazhab mayoritas kalamiyyin (ahli ilmu kalam), seperti Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Qadhi, al-Ghazali, dan golongan Mu'tazilah seperti Abu al-Hudzail, Abu Ali, Abu Hashim, dan pengikut mereka. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi'i dan Abu Hanifah, namun yang terkenal dari keduanya adalah kebalikannya.

Jika dalam kasus tersebut tidak ada hukum yang tertentu, maka apakah terdapat sesuatu yang, jika Allah memutuskan suatu hukum, tidak akan diputuskan kecuali dengan hukum tersebut? Ataukah hal ini tidak ada?

Pendapat pertama adalah yang lebih mendekati kebenaran, dan ini adalah pendapat banyak di antara mereka yang mengatakan setiap mujtahid benar. Inilah yang dianut oleh Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Ibnu Surayj dalam salah satu riwayat darinya. Adapun pendapat kedua adalah pandangan mereka yang murni dari kalangan 'mushawwibah' (yang mengatakan setiap mujtahid benar).' Selesai."

Lalu Asy-Syawkani melanjutkan perkataannya :

المسألة الثامنة: لا يجوز أن يكون للمجتهد فِي مَسْأَلَةٍ قَوْلَانِ مُتَنَاقِضَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ

لا يجوز أن يكون للمجتهد فِي مَسْأَلَةٍ قَوْلَانِ مُتَنَاقِضَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ بِالنِّسْبَةِ إِلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّ دَلِيلَهُمَا إِنْ تَعَادَلَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، وَلَمْ يُمْكِنِ الْجَمْعُ وَلَا التَّرْجِيحُ، وَجَبَ عَلَيْهِ الْوَقْفُ، وَإِنْ أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْمَصِيرُ إِلَى الصُّورَةِ الْجَامِعَةِ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ تَرَجَّحَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ، تعين عليه الأخذ به، وبهذا تعلم امْتِنَاعُ أَنْ يَكُونَ لَهُ قَوْلَانِ مُتَنَاقِضَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ بِاعْتِبَارِ شَخْصٍ وَاحِدٍ وَأَمَّا فِي وَقْتَيْنِ فَجَائِزٌ، لِجَوَازِ تَغَيُّرِ الِاجْتِهَادِ الْأَوَّلِ، وَظُهُورِ مَا هُوَ أَوْلَى، بِأَنْ يَأْخُذَ بِهِ وَيَدَعَ مَا كَانَ قَدْ أَخَذَ بِهِ.

وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ إِلَى شَخْصَيْنِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ الْمَذْهَبَيْنِ الْمَعْرُوفَيْنِ، عِنْدَ تَعَادُلِ الْأَمَارَتَيْنِ، فَمَنْ قَالَ بِالتَّخْيِيرِ جَوَّزَ ذَلِكَ لَهُ. وَمَنْ قَالَ بالوقف لم يجوز.

فإن كان لمجتهد قولان واقعان في وقتين فالقول الآخر رجوع عن القول الأول بدلالته على تغيير اجتهاده الأول.

وإذا أَفْتَى الْمُجْتَهِدُ مَرَّةً بِمَا أَدَّى إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ، ثُمَّ سُئِلَ ثَانِيًا عَنْ تِلْكَ الْحَادِثَةِ، فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ ذَاكِرًا لِطَرِيقِ الِاجْتِهَادِ الْأَوَّلِ أَوْ لَا يَكُونُ ذَاكِرًا، فَإِنْ كَانَ ذَاكِرًا جَازَ لَهُ الْفَتْوَى بِهِ، وَإِنْ نَسِيَهُ لَزِمَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الِاجْتِهَادَ، فَإِنْ أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى خِلَافِ فَتْوَاهُ فِي الْأَوَّلِ أَفْتَى بِمَا أَدَّى إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ ثَانِيًا، وَإِنْ أَدَّاهُ إِلَى مُوَافَقَةِ مَا قد أفتى به أو لا أَفْتَى بِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْنِفِ الِاجْتِهَادَ، لَمْ يَجُزْ لَهُ الْفَتْوَى.

قَالَ الرَّازِيُّ فِي "الْمَحْصُولِ": وَلِقَائِلٍ أَنْ يَقُولَ: لَمَّا كَانَ الْغَالِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الطَّرِيقَ الَّذِي تَمَسَّكَ بِهِ كَانَ طَرِيقًا قَوِيًّا، حَصَلَ لَهُ الْآنَ ظَنٌّ أَنَّ ذَلِكَ الْقَوِيَّ حَقٌّ، جَازَ لَهُ الْفَتْوَى بِهِ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ بِالظَّنِّ وَاجِبٌ، وَأَمَّا إِذَا حَكَمَ الْمُجْتَهِدُ بِاجْتِهَادِهِ، فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْقُضَهُ إِذَا تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ، وَتَرَجَّحَ لَهُ مَا يُخَالِفُ الِاجْتِهَادَ الْأَوَّلَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُؤَدِّي إِلَى عَدَمِ اسْتِقْرَارِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ.

وَهَكَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْقُضَ باجتهاده مَا حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ آخَرُ بِاجْتِهَادِهِ؛ لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى ذَلِكَ، وَيَتَسَلْسَلُ، وَتَفُوتُ مَصْلَحَةُ نَصْبِ الْحُكَّامِ، وَهِيَ فَصْلُ الْخُصُومَاتِ، مَا لَمْ يَكُنْ مَا حَكَمَ بِهِ الْحَاكِمُ الْأَوَّلُ مُخَالِفًا لِدَلِيلٍ قَطْعِيٍّ، فَإِنْ كَانَ مُخَالِفًا لِلدَّلِيلِ الْقَاطِعِ نَقَضَهُ اتِّفَاقًا، وَإِذَا حَكَمَ الْمُجْتَهِدُ بِمَا يُخَالِفُ اجْتِهَادَهُ، فَحُكْمُهُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ مُتَعَبِّدٌ بِمَا أَدَّى إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقُولَ بِمَا يُخَالِفُهُ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُقَلِّدَ مُجْتَهِدًا آخَرَ، فِيمَا يُخَالِفُ اجْتِهَادَهُ، بَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّقْلِيدُ مُطْلَقًا، إِذَا كَانَ قَدِ اجْتَهَدَ فِي الْمَسْأَلَةِ، فَأَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى حُكْمٍ، وَلَا خِلَافَ فِي هَذَا.

وَأَمَّا قَبْلَ أَنْ يَجْتَهِدَ، فَالْحَقُّ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ مُجْتَهِدٍ آخَرَ مُطْلَقًا.

وَقِيلَ: يَجُوزُ لَهُ فِيمَا يَخُصُّهُ مِنَ الْأَحْكَامِ، لَا فِيمَا لَا يَخُصُّهُ، فَلَا يَجُوزُ.

وَقِيلَ: يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ مِنْهُ.

وَقِيلَ: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقَلِّدَ مُجْتَهِدًا مِنْ مُجْتَهِدِي الصَّحَابَةِ.

وَلِأَهْلِ الْأُصُولِ فِي هَذِهِ الْمَبَاحِثِ كلام طويل، وليست محتاجة إلى التطوير، فَإِنَّ الْقَوْلَ فِيهَا لَا مُسْتَنَدَ لَهُ إِلَّا محض الرأي

**Masalah kedelapan**: Tidak diperbolehkan bagi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang saling bertentangan dalam satu masalah pada waktu yang sama.

Tidak diperbolehkan bagi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang saling bertentangan dalam satu masalah pada waktu yang sama terhadap satu orang, karena jika dua dalil tersebut sama kuat dalam segala aspek, dan tidak memungkinkan untuk menggabungkan keduanya atau memberikan prioritas, maka ia wajib berhenti (dari memberikan fatwa). Jika memungkinkan untuk menggabungkan keduanya, maka ia wajib mengambil pendapat yang menggabungkan kedua dalil tersebut. Jika salah satu dalil lebih kuat dari yang lain, maka ia wajib mengambil dalil yang lebih kuat tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa tidak mungkin bagi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang saling bertentangan pada waktu yang sama terhadap satu orang. Namun, pada dua waktu yang berbeda, hal itu diperbolehkan karena adanya kemungkinan perubahan ijtihad pertama dan munculnya apa yang lebih kuat, sehingga ia mengambilnya dan meninggalkan pendapat yang telah diambil sebelumnya.

Adapun jika terhadap dua orang, hal tersebut tergantung pada perbedaan dua mazhab yang terkenal. Ketika dua tanda bukti (qarinah) seimbang, maka siapa yang membolehkan pilihan (takhyir), membolehkan adanya dua pendapat tersebut. Namun, siapa yang memilih berhenti (tawaqquf), tidak membolehkannya.

Jika seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang terjadi pada dua waktu, maka pendapat yang kedua adalah bentuk rujuk (perubahan pendapat) dari pendapat pertama, karena menunjukkan adanya perubahan dalam ijtihadnya yang pertama.

Jika seorang mujtahid memberikan fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya pada suatu waktu, lalu ia ditanya lagi tentang masalah yang sama pada kesempatan kedua, maka ada dua kemungkinan: ia ingat manhaj ijtihad yang pertama atau tidak ingat. Jika ia ingat, maka boleh baginya memberikan fatwa berdasarkan ijtihad tersebut. Namun, jika ia lupa, maka ia wajib memulai ijtihad baru. Jika hasil ijtihad yang baru berbeda dari fatwa pertama, maka ia wajib memberikan fatwa sesuai dengan hasil ijtihad terbarunya. Jika hasil ijtihad yang baru sama dengan fatwa yang telah ia berikan, atau tidak, maka ia tetap memberikan fatwa tersebut. Jika ia tidak melakukan ijtihad kembali, maka tidak boleh baginya memberikan fatwa.

Ar-Razi dalam kitab "Al-Mahshul" mengatakan: "Ada yang berkata bahwa jika pada awalnya ia memiliki dugaan kuat bahwa dalil yang ia gunakan adalah dalil yang kuat, kemudian sekarang ia yakin bahwa dalil tersebut adalah benar, maka boleh baginya memberikan fatwa berdasarkan dalil tersebut, karena beramal dengan dugaan (zhann) adalah wajib. Namun, jika mujtahid telah menetapkan hukum berdasarkan ijtihadnya, ia tidak boleh membatalkannya ketika ijtihadnya berubah dan dalil yang bertentangan dengan ijtihad pertama lebih kuat, karena hal itu akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam hukum-hukum syariah."

Demikian juga, seorang mujtahid tidak boleh membatalkan hasil ijtihad yang ditetapkan oleh hakim lain berdasarkan ijtihadnya sendiri, karena hal itu akan mengakibatkan rantai ketidakstabilan dan merusak tujuan dari penetapan para hakim, yaitu memutuskan perselisihan, kecuali jika hukum yang ditetapkan oleh hakim pertama bertentangan dengan dalil yang qath’i (pasti), maka dalam hal ini hukum tersebut harus dibatalkan berdasarkan kesepakatan. Jika seorang mujtahid menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijtihadnya, maka hukum tersebut batil, karena ia terikat untuk mengikuti hasil ijtihadnya, dan tidak boleh baginya mengikuti pendapat yang bertentangan dengan hasil ijtihadnya, serta tidak boleh baginya untuk mengikuti (taqlid) mujtahid lain yang berbeda dengan ijtihadnya. Bahkan, haram baginya untuk melakukan taqlid secara mutlak setelah ia melakukan ijtihad dalam suatu masalah dan ijtihadnya menghasilkan suatu hukum, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.

Adapun sebelum melakukan ijtihad, yang benar adalah bahwa tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.

Ada yang berpendapat bahwa ia diperbolehkan bertaqlid dalam hal yang khusus terkait dirinya dari hukum-hukum, namun tidak diperbolehkan dalam hal-hal yang tidak khusus baginya. Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkan baginya bertaqlid kepada mujtahid yang lebih alim darinya. Ada juga yang berpendapat bahwa ia diperbolehkan bertaqlid kepada mujtahid dari kalangan sahabat.

Para ahli ushul memiliki banyak pembahasan terkait masalah-masalah ini, namun tidak perlu dikembangkan lebih lanjut, karena pembahasan ini tidak memiliki dasar kecuali hanya berdasarkan pendapat pribadi." [SELESAI KUTIPAN PERKATAAN ASY-SYAWKANI DALAM KITAB-NYA IRSYADUL FUHUL (2/231-236)]

===*****===

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR adalah FARDHU KIFAYAH. 
Sementara MENJAGA PERSATUAN adalah FARDHU ‘AIN .

Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam.

Berdakwah dan beramar nahyi munkar adalah fardhu kifayah , sementara menjaga persatuan umat Islam adalah fardhu 'ain . Dan berpecah belah itu diancam dengan adzab yang pedih , Sebagaimana yang disebutkan dalam dua ayat dibawah ini. Ayat perintah berdakwah dan ayat larangan berpecah belah itu berurutan dan bergandengan , yaitu sbb :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat [ QS. Ali Imran : 104-105 ]

*****

PEMECAH BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM .
DAN MEREKA ADALAH ANJING-ANJING NERAKA JAHANNAM

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas , yaitu :

Pertama : dakwah dan amar ma’ruf Nahyi munkar adalah  fardhu kifayah .

Kedua : menjaga persatuan umat adalah fardhu ‘ain .

Ketiga : Bagi pemacah belah umat kelak akan mendapat adzab yang pedih dan wajahnya menghitam .

Dalilnya adalah 3 ayat yang ber-urutan dalam surat Ali Imran 104,105 & 106 , yaitu :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung [ QS. Ali Imran : 104 ].

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat [ QS. Ali Imran : 105 ]

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu"”. [ QS. Ali Imran : 106 ]

PERTANYAAN :

Siapakah yang dimaksud dengan pemecah belah umat yang mendapat adzab pedih dan wajahnya menghitam ? Yang tentunya penyebab utamanya adalah manhaj para da’inya.

JAWABAN :

Jawab-nya adalah orang yang terpapar manhaj Kahwarij , yaitu kelompok yang memiliki semangat beribadah yang luar biasa , sesuai sunnah , akan tetapi mereka sombong, merasa suci dan pemecah belah umat.

Semangat ibadah mereka sangat luar biasa, mengalahkan semangat ibadah para sahabat nabi  bahkan ibadah para sahabat tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadah mereka, namun mereka terfitnah dan merasa takjub dengan ibadahnya dan manhajnya , sehingga merasa dirinya sangat exclusive dalam kehidupannya, bernampilan syuhroh, berbeda dengan yang lain, terkesan memamerkan dirinya sebagai orang shaleh, merasa istimewa dan suci , sehingga mengharuskan dirinya memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin yang dianggap najis dan sesat , serta beranggapan berdosa mendekati kaum muslimin yang bukan golongannya .    

Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat-ayat diatas berkata :

وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ رَبِيع -وَهُوَ ابْنُ صَبِيح -وحَمَّاد بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ: رَأَى أَبُو أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَج دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ: {يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا -حَتَّى عَدّ سَبْعًا-مَا حَدّثتكموه.

ثُمَّ قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ: وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي غَالِبٍ، وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، بِنَحْوِهِ  .

Abu Isa At-Turmuzi ketika menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :

“Bahwa Abu Umamah melihat banyak kepala [kaum kahwarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga masuk masjid Dimasyq. Maka Abu Umamah mengatakan :

"Anjing-anjing neraka adalah seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."

Kemudian Abu Umamah membacakan firman-Nya: 

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram. (Ali Imran: 106), hingga akhir ayat”.

Kemudian aku bertanya kepada Abu Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ?"

Abu Umamah menjawab : "Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak akan menceritakannya kepada kalian."

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].

TAKHRIJ HADITS :

HR. Imam Ahmad (no. 22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)

Abu Iisa at-Tirmidzi berkata :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزَوَّرٌ وَأَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ اسْمُهُ صُدَيُّ بْنُ عَجْلَانَ وَهُوَ سَيِّدُ بَاهِلَةَ

"Ini adalah hadits hasan , nama Abu Ghalib adalah Hazur, dan nama Abu Umamah al-Bahili adalah Suday ibn 'Ajlan, dan dia adalah tokoh Bahilah".

Dan al-Haitsami merujuknya kepada ath-Thabarani, beliau berkata: "Para perawinya adalah tsiqaat (terpercaya)" (Majma' al-Zawaid 6/234). Hal ini juga disebutkan oleh al-Hakim yang mensahihkannya dan disetujui oleh al-Dzahabi (al-Mustadrak 2/149-150). Ibnu Katsir juga meriwayatkannya dan berkata: "Hadits ini, bagian-bagian terkecilnya adalah mawquuf dari perkataan seorang sahabat" (Tafsir Ibnu Katsir 1/346).

Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482.

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak (no. 2654), dengan sanadnya dari Syaddad bin Abdullah Abu Ammar, dia berkata:

شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَأْسِ الْحَرُورِيَّةِ عِنْدَ بَابِ دِمَشْقَ وَهُوَ يَقُولُ: «كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ - قَالَهَا ثَلَاثًا - خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ» ، وَدَمَعَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: ‌يَا ‌أَبَا ‌أُمَامَةَ، ‌أَرَأَيْتَ ‌قَوْلَكَ ‌هَؤُلَاءِ ‌كِلَابُ ‌النَّارِ ‌أَشَيْءٌ ‌سَمِعْتَهُ ‌مِنْ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ ﷺ، أَوْ مِنْ رَأْيِكَ؟ قَالَ: إِنِّي إِذًا لَجَرِيءٌ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا وَعَدَّ سَبْعَ مَرَّاتٍ مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ قَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنِّي رَأَيْتُكَ قَدْ دَمَعَتْ عَيْنَاكَ، قَالَ: إِنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا مُؤْمِنِينَ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ، ثُمَّ قَرَأَ: {وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} [آل عمران: 105] الْآيَةُ فَهِيَ لَهُمْ مَرَّتَيْنِ

"Saya menyaksikan Abu Umamah al-Bahili, dan dia berdiri di depan kepala al-Haruriyyah (Khawarij yang terbunuh) di pintu gerbang Damaskus. Dia berkata :

'Mereka adalah anjing-anjing neraka,' ia mengulanginya tiga kali. Mata Abu Umamah berlinang air mata ketika mengucapkannya.

Seorang pria bertanya kepadanya : 'Wahai Abu Umamah, apakah ucapanmu ini, ( bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka), didengar dari Rasulullah  atau berdasarkan pendapatmu sendiri?'

Abu Umamah menjawab : 'Jika benar demikian berarti aku ini telah bersikap sembarangan. Sungguh, sekiranya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah , kecuali hanya satu atau dua kali, bahkan hanya tujuh kali , maka sungguh aku tidak akan menyampaikannya kepada kalian [akan tetapi aku telah mendengarnya lebih dari tujuh kali].'"

Adz-Dzahabi berkata :  " Shahih sesuai syarat Shahih  Muslim " . [at-Talkhish 2/163. No. 2654].

Diriwayatkan oleh Ibn Majah (no. 173) dan Ahmad (no. 19130) dari Ibnu Abi Awfa. Beliau berkata, "Rasulullah  bersabda:

( الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ )

'Khawarij itu anjing-anjing neraka.' "

[ Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Mustadrak (2654) dan (2655), Imam Ahmad (22051), (22083) dan (22109) dan Al-Bushairi dalam “Al-Zawa'id” (3448/2) dan (3448/6)].

Hadits ini dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam "Sahih Ibnu Majah".

Awal dosa kaum berfaham khawarij dimulai dari rasa sombong, takabur dan merasa suci . Mereka merasa takjub terhadap dirinya, semangat ibadahnya dan manhajnya . Maka mereka mengklaim seluruh kaum muslimin yang bukan golongannya dan tidak berada diatas manhajnya adalah ahli neraka . Dan menurut keyakinan mereka bahwa duduk-duduk dan berkumpul dengan selain golongannya adalah perbuatan dosa dan haram, bahkan dosanya jauh lebih besar dari pada zina, meminum khamr , membunuh dan lainnya. Akan tetapi membolehkan duduk-duduk dengan orang kafir ; karena orang kafir itu sangat jelas akan kekufurannya dan tidak ada syubhat bahwa mereka bukan kaum muslimin .

Maka mereka pun mewajibkan hukum hajer dan dan tahdzir yang dikemas dengan dalil amar makruf nahyi munkar dan tashfiaytush shufuuf [memurnikan barisan].

Dan itulah sebenarnya yang memotivasi mereka untuk bersemangat ibadah . Dan dosa itulah yang meluluh lantakan pahala seluruh amal ibadah mereka .

Ketika mereka keluar dari jemaah kaum muslimin karena merendahkan yang lain, menghina, mencela dan lainnya yang berdampak pada perpecahan, permusuhan dan kebencian ; maka saat itu pula mereka telah terpapar virus Khawarij . 

Dosa berikutnya adalah memecah belah umat dikemas dengan dalil al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman mereka sendiri . Seakan-akan memecah belah umat ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya . Bahkan mereka ini senantiasa menggunakan dalil yang sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan musyrik, akan tetapi oleh mereka diarahkan kepada kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan golongannya . Ini adalah kedustaan yang amat dahsyat mengatas namakan al-Quran dan Sunnah .

===****===

TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah  bersabda :

"إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي - أَوْ قَالَ: أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ﷺ - عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ."

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku - atau Dia berkata: umat Muhammad  dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama dengan jama'ah. Barangsiapa yang menyimpang, maka dia menyimpang ke dalam neraka."

[HR. al-Tirmidzi (2167) dengan lafazh dari beliau, dan al-Hakim (397), serta Abu Nu'aim dalam 'Hilyat al-Awliya' (3/37) dengan sedikit perbedaan."

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi  bersabda :

"لا يَجْمَعُ اللَّهُ هذه الأمةَ على الضَّلالةِ أبدًا، وقال: يَدُ اللَّهِ على الجَمَاعَةِ، فاتَّبِعُوا السَّوَادَ الأعظمَ، فإنهُ مَن شَذَّ شَذَّ في النَّارِ."

"Allah tidak akan pernah mengumpulkan umat ini dalam kesesatan. Beliau bersabda : 'Tangan Allah bersama dengan jama'ah. Oleh karena itu, ikutilah As-Sawadul A’dzam [kelompok yang mayoritas], karena sesungguhnya barangsiapa yang menyimpang, maka dia menyimpang ke dalam neraka.'"

"Diriwayatkan oleh al-abarani (12/447) (13623), dan al-Ḥākim (391) dengan lafazh dari beliau, serta al-Baihaqi dalam 'Al-Asma' wa al-Sifat' (701)."

Di shahihkan al-Albaani dalam Bidayatus Saul no. 70 dan shahih Tirmidzi (2167) tanpa lafadz “مَن شذَّ”.

Mayoritas para ulama Ahli Hadits dan ulama lainnya sepakat bahwa hadits :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ

Derajatnya adalah HASAN , dikarenakan banyak nya jalur sanad dan juga banyaknya syahid penguat . Sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/384 , al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habiir 3/298-299 dan al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 3/319-320 no. 1331.

Dalam riwayat lain : dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

‌إِنَّ ‌أُمَّتِي ‌لا ‌تَجْتَمِعُ ‌عَلَى ‌ضَلالَةٍ، ‌فَإِذَا ‌رَأَيْتُمُ ‌الاخْتِلافَ ‌فَعَلَيْكُمْ ‌بِالسَّوَادِ ‌الأَعْظَمِ يعني الْحَقِّ وأَهْلِهِ

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” .

(HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)

Dari Anas bin Malik Rasulullah :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ أُمَّتِيْ مِنْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melindungi ummatku dari berkumpul (bersepakat) di atas kesesatan.

[HR. adh-Dhiyaa' dalam 'Al-Ahadits al-Mukhtarrah' (2559), dan oleh Ibnu Majah (3950), serta oleh Abd bin Humaid (1218) secara panjang lebar dengan redaksi yang serupa".

Di hasankan oleh al-Albaani dalam Takhriij Kitab as-Sunnah no. 83.

Dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah (1/41 no. 82), meriwayatkan dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ashim al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu.

Hadits ini dianyatakan hasan oleh syeikh al-Albaani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahihah no. 1331 setelah dikumpulkan dan digabungkan semua jalur sanadnya 

Dan diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnu Mas’ud secara mawquuf.

Makna As-Sawadul A’dzam :

Dari Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi  bersabda :

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut.

Lalu diperlihatkan kepadaku Sawaadun A’dzim [sekelompok hitam yang sangat besar], aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’.

Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar.

Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

As-sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al-A’dzam artinya besar, agung, banyak. Sehingga as-sawaadul a’dzom secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.

Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’dzom itu semakna dengan Al Jama’ah.

Sebagaimana penjelasan Ath-Thabari di atas :

“…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari 13/37)

IMAM NASA’I MENULIS BAB DALAM SUNAN-NYA :

٦ - بَابُ قَتۡلِ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ

6. Bab : hukum bunuh bagi siapa saja yang memecah belah jemaah kaum muslimin

Lalu Nasa’i menyebutkan hadits nomor 4020, 4021, dan 4022 dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i .

Hadits no. 4020. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i. Beliau berkata:

رَأَيۡتُ النَّبِيَّ ﷺ عَلَى الۡمِنۡبَرِ، يَخۡطُبُ النَّاسَ، فَقَالَ: (إِنَّهُ سَيَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ، فَمَنۡ رَأَيۡتُمُوهُ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ – أَوۡ: يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ -؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ فَاقۡتُلُوهُ؛ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الۡجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ الشَّيۡطَانَ مَعَ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ يَرۡكُضُ)

Aku melihat Nabi  di mimbar berkhotbah kepada orang-orang. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku berbagai kerusakan, maka siapa saja yang kalian lihat dia memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin - atau dia ingin memecah belah urusan umat Muhammad  - siapa pun dia, maka bunuhlah dia ( yakni : di bawah komando pemerintah).

Sesungguhnya tangan Allah di atas al-jama’ah (kaum muslimin yang bersatu di atas kebenaran).

Dan sesungguhnya setan berlari bersama siapa saja yang memisahkan diri dari al-jama’ah.”

[Sahih sanadnya. Diriwayatkan pula oleh Muslim secara ringkas no. 1852 . Dishahihkan oleh as-Suyuuthi dalam al-Jaami’ ash-Shoghiir no. 4656 dan oleh syeikh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami’ no. 3621 dan dalam Ishlaahus Saajid no. 61]

Hadits no. 4021. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih. Beliau berkata: Nabi  bersabda:

(إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، - وَرَفَعَ يَدَيۡهِ -؛ فَمَنۡ رَأَيۡتُمُوهُ يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ - وَهُمۡ جَمِيعٌ – فَاقۡتُلُوهُ؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ مِنَ النَّاسِ). 

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi kerusakan, kerusakan, dan kerusakan—beliau mengangkat kedua tangannya—maka siapa saja yang kalian melihatnya ingin memecah belah urusan umat Muhammad  - padahal mereka dalam keadaan bersatu (di atas kebenaran) - maka bunuhlah dia (Yakni : di bawah komando pemerintah. Pen), siapa pun orang itu. 

[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa al-Gholiil no. 2542]

Hadits no. 4022. [Sahih] Dengan sanadnya dari ‘Arfajah. Beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah  bersabda :

(سَتَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ؛ فَمَنۡ أَرَادَ أَنۡ يُفَرِّقَ أَمۡرَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ وَهُمۡ جَمۡعٌ؛ فَاضۡرِبُوهُ بِالسَّيۡفِ).

“Sepeninggalku akan terjadi kerusakan dan kerusakan. Siapa saja yang ingin memecah belah urusan umat Muhammad  padahal mereka dalam keadaan bersatu (di atas kebenaran), maka tebaslah dia dengan pedang (di bawah komando penguasa).”

[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa al-Gholiil no. 2542]

*****

JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG , BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN :

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata;

Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu menyampaikan pidato kepada kami di Jabiyyah. [Umar] berkata, "Wahai sekalian manusia, aku berdiri di tengah-tengah kalian sebagaimana posisi Rasulullah  yang ketika itu juga berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda:

أُوصِيكُمْ بِأَصْحَابِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَحْلِفَ الرَّجُلُ وَلَا يُسْتَحْلَفُ وَيَشْهَدَ الشَّاهِدُ وَلَا يُسْتَشْهَدُ أَلَا لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ

'Aku berwasiat kepada kalian dengan (melalui) para sahabat-sahabatku kemudian orang-orang setelah mereka dan orang-orang yang datang lagi setelah mereka ..... Hendaklah kalian selalu bersama Al Jama'ah. Dan janganlah kalian berpecah belah, karena setan itu selalu bersama dengan orang yang sendirian, sedangkan terhadap dua orang, ia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan Buhbuhata Al Jannah [ditengah-tengah syurga], maka hendaklah ia komitmen untuk tetap bersama Al Jama'ah. "

[HR. Tirmidzi no. 2165 , Ahmad no. 114, al-Haakim 1/114 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah 1/42 no. 87. Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Tirmidzi’ dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim].

Abu Isa berkata;

“Ini adalah hadits hasan shahih gharib bila ditinjau dari jalur ini. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula oleh [Ibnul Mubarak] dari [Muhammad bin Suqah]. Dan telah diriwayatkan pula lebih dari satu jalur dari Umar dari Nabi ”.

Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu , dia menuturkan bahwa Rasulullah  bersabda,

ثَلاثةٌ لا تَسألْ عنهُم: رَجُلٌ فارَقَ الجَماعةَ، وعَصى إمامَه، وماتَ عاصيًا، وأمَةٌ أو عَبدٌ أبِقَ فماتَ، وامْرأةٌ غابَ عنها زَوجُها، قد كَفاها مُؤْنةَ الدُّنيا فتَبَرَّجَتْ بَعدَه، فلا تَسألْ عنهُم

وَثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ رِدَاءَهُ، فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ وَالْقَنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ".

“Ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :

** Orang yang meninggalkan jamaah [kaum muslimin] dan tidak taat pada pemimpinnya dan mati dalam keadaan masih tidak taat [pada pemimpinnya] .

** Budak wanita atau lelaki yang melarikan diri lalu mati.

** Dan wanita yang ditinggal pergi suaminya, dia telah dicukupi kebutuhan duniawinya lalu dia bersolek sepeninggal suaminya.

Maka janganlah kau tanyakan tentang mereka ini ! ."

Dan ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :

*** Orang yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah Al-Izzah (keperkasaan);

*** Orang yang meragukan perintah Allah.

*** Dan orang yang berputas asa dalam mengharapkan rahmat Allah”.

(HR. Ahmad no. 23943, Al-Bazzar dalam "Musnad"-nya (3749), Ibnu Hibban (4559), At-Tabarani dalam "Al-Kabir" (18/788-789), dan Al-Hakim (1/119, 206).

Hakim mengatakan, "Sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim), dan saya tidak mengetahui adanya cacat”, Adz Dzahabiy membenarkannya).

Di shahihkan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 39/368 no. 23943.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam "Al-Adab Al-Mufrad" (590), Ibnu Abi 'Asim dalam "As-Sunnah" (89), (900), dan (1060), serta At-Tabarani dalam "Al-Kabir" (18/790).

Di dalam Al-Adabul Mufrad disebutkan, "Lalu ia berhias dan pergi." Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, "Lalu ia mengkhianati suaminya (selingkuh)," sebagai ganti, "Lalu ia berhias." (Baca : Al-Arba'un An-Nisaiyyah, hadits ke-6)

Termasuk orang yang mudah berputus asa dalam mengharapkan rahmat Allah adalah seorang da’i yang dalam berdakwahnya terburu-buru menghajer orang yang didakwahinya ketika berkali-kali menemui kegagalan. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi , bahwa beliau bersabda:

" مَن فارَقَ الجمَاعَةَ وخرَجَ من الطاعَةِ فماتَ فميتُتُهُ جاهليةٌ ".

"Barangsiapa memisahkan diri dari Jama'ah [kaum muslimin] dan keluar dari ketaatan [pada pemerintah] , lalu ia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah”.

[HR. Muslim (1848), An-Nasa'i (4114), Ibnu Majah (3948), dan Ahmad (8061) sementara lafal ini adalah miliknya].

===*****===

PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN PERBEDAAN PENDAPAT DAN MENCELA-NYA :

Ada beberapa ulama yang dengan tegas mencela perbedaan pendapat dan mengharamkannya; di antaranya adalah sbb:

Pertama : Al-Muzani (w. 264 H) dalam kitabnya Dzamm at-Taqliid (sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 6/257] berkata:

وَلَوْ كَانَ ٱلِٱخْتِلَافُ رَحْمَةً، لَكَانَ ٱلِٱجْتِمَاعُ عَذَابًا؛ لِأَنَّ ٱلْعَذَابَ خِلَافُ ٱلرَّحْمَةِ

"Jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi azab; karena azab adalah kebalikan dari rahmat."

Akan tetapi al-Muzani sendiri setelah itu berkata :

قالَ الشافعيُّ - رَحِمَهُ اللهُ تعالى - ٱلاخْـتِـلاَفُ وَجْهانِ: فَما كانَ مَنْصُوصًا، لَمْ يَحِلَّ فيهِ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَما كانَ يَحْتَمِلُ التَأْوِيلَ أَوْ يُدْرَكُ قِياسًا، فَذَهَبَ المُتَأَوِّلُ أَوِ المُقايِسُ إِلى مَعْنًى يَحْتَمِلُ ذلِكَ، وَإِنْ خالَفَهُ غَيْرُهُ، لَمْ أَقُلْ إِنَّهُ يُضَيِّقُ عَلَيْهِ ضَيْقَ ٱلاخْـتِـلاَفُ في المَنْصُوصِ.

Al-Imam asy-Syafi’i – rahimahullah - berkata : "Perbedaan pendapat itu ada dua jenis:

Pertama, jika sesuatu itu telah jelas ditentukan (dalam nash), maka tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya.

Kedua, jika sesuatu itu mengandung penafsiran atau dapat dipahami melalui analogi, maka jika seseorang yang menafsirkan atau menganalogikan sampai pada suatu makna yang mungkin, meskipun orang lain tidak sependapat dengannya, maka aku tidak mengatakan bahwa ia harus dipersempit sebagaimana dipersempitnya dalam perbedaan yang terdapat nash." [Baca : al-Bahrul Muhith 6/257 karya az-Zarkasyi]

Kedua : Ibnu Hazm adz-Dzohiri (w. 456 H) berkata:

وَهٰذا مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ رَحْمَةً لَكانَ الاِتِّفاقُ سَخَطًا، وَهٰذا ما لا يَقولُهُ مُسْلِمٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ إِلّا اِتِّفاقٌ أَوِ اخْتِلافٌ، وَلَيْسَ إِلّا رَحْمَةٌ أَوْ سَخَطٌ، وَأَمّا الحَديثُ المَذْكورُ فَباطِلٌ مَكْذوبٌ، مِنْ تَوْلِيدِ أَهْلِ الفِسْقِ.

"Ini adalah perkataan yang paling fasiq (rusak); karena jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi murka. Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim; karena tidak ada selain kesepakatan atau perbedaan pendapat, dan tidak ada selain rahmat atau murka. Adapun hadits yang disebutkan adalah palsu dan dibuat-buat, oleh orang-orang fasik." [Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/64].

Kemudian Ibnu Hazm berkata :

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الصَّحَابَةَ قَدِ ٱخْتَلَفُوا وَهُمْ أَفَاضِلُ ٱلنَّاسِ ـ أَفَيَلْحَقُهُمُ ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ؟.

قِيلَ: كَلَّا، مَا يَلْحَقُ أُولَئِكَ شَيْءٌ مِنْ هٰذَا، لِأَنَّ كُلَّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُمْ تَحَرَّى سَبِيلَ ٱللَّهِ، وَوِجْهَتُهُ ٱلْحَقَّ، فَٱلْمُخْطِئُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرًا وَاحِدًا لِنِيَّتِهِ ٱلْجَمِيلَةِ فِي إِرَادَةِ ٱلْخَيْرِ، وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ ٱلإِثْمُ فِي خَطَئِهِمْ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَعَمَّدُوهُ، وَلَا قَصَدُوهُ، وَلَا ٱسْتَهَانُوا بِطَلَبِهِمْ، وَٱلْمُصِيبُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرَيْنِ، وَهَكَذَا كُلُّ مُسْلِمٍ إِلَى يَوْمِ ٱلْقِيَامَةِ فِيمَا خَفِيَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلدِّينِ وَلَمْ يَبْلُغْهُ، وَإِنَّمَا ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ، وَٱلْوَعِيدُ ٱلْمَنْصُوصُ لِمَنْ تَرَكَ ٱلتَّعَلُّقَ بِحَبْلِ ٱللَّهِ: وَهُوَ ٱلْقُرْآنُ، وَكَلَامُ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ بُلُوغِ ٱلنَّصِّ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ ٱلْحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَتَعَلَّقَ بِفُلَانٍ بِفُلَانٍ مُقَلِّدًا عَامِدًا لِلْٱخْتِلَافِ، دَاعِيًا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَحَمِيَّةِ ٱلْجَاهِلِيَّةِ، قَاصِدًا لِلْفُرْقَةِ، مُتَحَرِّيًا فِي دَعْوَاهُ بِرَدِّ ٱلْقُرْآنِ وَٱلسُّنَّةِ إِلَيْهَا، فَإِنْ وَافَقَهَا ٱلنَّصُّ أَخَذَ بِهِ، وَإِنْ خَالَفَهَا تَعَلَّقَ بِجَاهِلِيَّةٍ، وَتَرَكَ ٱلْقُرْآنَ وَكَلَامَ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَؤُلَاءِ هُمُ ٱلْمُخْتَلِفُونَ ٱلْمَذْمُومُونَ.

Maka jika ada yang bertanya : "Para sahabat telah berselisih pendapat padahal mereka adalah orang-orang yang paling mulia - apakah mereka termasuk dalam kecaman yang disebutkan?"

Dijawab : "Tidak, mereka tidak terkena sedikitpun dari hal ini, karena masing-masing dari mereka mencari jalan Allah dan tujuannya adalah kebenaran. Maka yang salah dari mereka mendapatkan satu pahala karena niatnya yang baik dalam menginginkan kebaikan, dan dosa diangkat dari mereka atas kesalahan mereka, karena mereka tidak sengaja melakukannya, tidak berniat melakukannya, dan tidak menggampangkan dalam penelitian mereka.

Sedangkan yang berijtihad dengan benar dari mereka maka akan mendapatkan dua pahala.

Demikian pula setiap Muslim hingga hari kiamat dalam hal yang tidak diketahuinya dari agama dan belum sampai kepadanya.

Kecaman dan ancaman yang disebutkan hanyalah bagi mereka yang sengaja meninggalkan berpegang pada tali Allah: yaitu Al-Qur'an dan sabda Nabi  setelah nash sampai kepadanya, hujjah ditegakkan atasnya, dan ia terikat pada si fulan dan si fulan dengan sengaja bertaklid demi untuk berselisih, mengajak pada fanatisme dan semangat jahiliah, bertujuan untuk perpecahan, sengaja dalam dakwaannya dengan menolak Al-Qur'an dan sunnah kepadanya.

Jika nash sesuai dengan pendapatnya maka ia mengambilnya, dan jika nash bertentangan dengan pendapatnya maka ia mengikuti kejahiliahan-nya, meninggalkan Al-Qur'an dan sabda Nabi . Maka mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang yang berselisih yang tercela."

[Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/67-68. Di kutip pula oleh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 1/143].

Ketiga : Dr. Abdul Karim Zaidan (w. 1435 H) berkata:

"ٱلِٱئْتِلَافُ وَٱلِٱتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ ٱلِٱخْتِلَافِ قَطْعًا، حَتَّى فِي ٱلْمَسَائِلِ ٱلِٱجْتِهَادِيَّةِ ٱلسَّائِغِ ٱلِٱخْتِلَافِ فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ ٱلْحِرْصُ عَلَى ٱلِٱخْتِلَافِ، وَٱلرَّغْبَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ سَائِغًا؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ، وَمَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى ٱلدَّلِيلِ ٱلشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى يَحْصُلَ ٱلْخِلَافُ، وَهٰذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَأَيْضًا فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ ٱلِٱخْتِلَافِ ٱلسَّائِغِ تَجْرِيدَ ٱلْقَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى ٱلْحَقِّ وَٱلصَّوَابِ، وَهٰذَا لَا يَتَّفِقُ مَعَ ٱلرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ".

"Kesatuan dan kesepakatan jelas lebih baik daripada perbedaan pendapat, bahkan dalam masalah ijtihad yang diperbolehkan adanya perbedaan pendapat di dalamnya, tidak diperbolehkan untuk bersemangat dalam mencari perbedaan pendapat dan menginginkannya, meskipun itu diperbolehkan; karena ini berarti memperbolehkan kesengajaan dan terjadinya perbedaan pendapat, yang berarti memperbolehkan melawan tuntutan bukti syar'i; agar terjadi perbedaan pendapat, dan ini jelas salah. Selain itu, salah satu syarat perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah murni berniat untuk mencapai kebenaran dan ketepatan, dan ini tidak sesuai dengan keinginan untuk terjadinya perbedaan pendapat." [(Al-Mawsu'ah Al-Hurrah Mawqi’ Fi Al-Internet)]

*****

KESIMPULAN DAN TARJIH :

Mengarahkan dan menggabungkan pendapat-pendapat dalam hal ini ke dua arah:

Arah Pertama:

Kelapangan, keluasan dan rahmat tidak merujuk pada sifat perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan pada tujuan dan maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yaitu bahwa diperbolehkan ijtihad dalam masalah-masalah cabang untuk mencapai maksud syariat adalah merupakan kelapangan dan rahmat; karena ketika diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan ijtihad dalam dalil-dalil yang bersifat dugaan, atau ketika tidak ada nash dalam masalah-masalah yang terjadi.

Dan ketika diperbolehkan bagi generasi awal untuk beramal dengan apa yang dicapai oleh ijtihad mereka; maka hal itu diperbolehkan pula bagi generasi setelah mereka; sehingga hal itu menjadi kelapangan bagi umat dan rahmat bagi mereka, jika tidak, maka akan menjadi sempit bagi para ulama dan mereka yang meminta fatwa dalam banyak hukum.

Adapun perbedaan pendapat itu sendiri yang terjadi di antara mereka, maka tidak ada kelapangan di dalamnya, melainkan ada kesalahan dan kebenaran, meskipun mereka dimaafkan dan tidak berdosa karenanya; karena mereka tidak bermaksud untuk itu dan tidak sengaja melakukannya.

Jadi, kelapangan adalah dari dibukanya pintu ijtihad, atau dalam beramal dengan apa yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, bukan dalam perbedaan itu sendiri di antara mereka. Oleh karena itu, kelapangan dan rahmat terletak pada dibukanya pintu ijtihad, dan beramalnya seorang mujtahid dengan apa yang dicapai oleh ijtihadnya, serta taklidnya orang-orang kepadanya dalam hal itu; dengan anggapan bahwa mereka mengambil yang lebih kuat, meskipun pada hakikatnya bisa jadi bahwa itu yang lebih lemah.

Jadi, tersembunyinya dan ketidak jelasnnya hukum syar'i dari mereka adalah rahmat bagi mereka, dan kelapangan bagi mereka; karena dalam kemunculannya terdapat kesulitan dan penyempitan bagi mereka.

Meskipun perbedaan itu sendiri adalah keburukan, hal itu selama para pihak yang berbeda itu berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Arah Kedua:

Perbedaan pendapat adalah rahmat, yaitu bahwa orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, bukan perbedaan itu sendiri yang dimaksud, atau bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat, akan tetapi orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, dalam arti:

“Bahwa siapa pun yang berusaha mencapai kebenaran, dan tidak ngasal, maka dia telah melaksanakan kewajibannya. Jika dia salah, maka dia mendapat satu pahala, dan jika dia benar, maka dia mendapat dua pahala.

Jadi, perbedaan pendapat itu sendiri bukanlah rahmat atau sesuatu yang diinginkan secara syar'i, bahkan jika kita bisa menghilangkan perbedaan pendapat ini dan mengakhirinya, maka itu adalah yang terbaik. Bahkan perbedaan yang dibenarkan, jika kita bisa menghilangkannya dengan berdiskusi dan berdialog dalam suasana persahabatan dan cinta kasih hingga mencapai satu pendapat - itu lebih baik dan lebih bagus; karena berkumpulnya orang-orang pada satu pendapat lebih baik bagi mereka daripada perbedaan pendapat.

Namun, maksudnya adalah bahwa orang-orang yang berbeda pendapat ini tidak diancam dengan adzab selama mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui kebenaran, masing-masing sesuai dengan ilmu dan kemampuannya, dan kebenaran itu hanya satu, tidak lebih.

Adanya perbedaan pendapat semacam ini memiliki hikmah kosmik, bukan hikmah syar'i, dan alasan perbedaan pendapat kembali pada perbedaan pemahaman, kemampuan, dan metode pendidikan pada awalnya.

Ini adalah hal-hal yang bersifat takdir, sehingga yang diinginkan secara syar'i adalah kesepakatan sejauh mungkin, dan pencarian kebenaran sesuai dengan kemampuan. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat semacam ini dirahmati.

Jadi, seorang mujtahid atau orang awam jika mengikuti pendapat orang yang lebih dipercaya di antara ulama menurut pandangannya, maka tidak perlu berprasangka bahwa dia dalam bahaya atau di tepi kehancuran jika ternyata pendapat tersebut salah, atau jika pendapat tersebut pada hakikatnya salah di sisi Allah. Akan tetapi selama pendapat tersebut telah diamalkan oleh beberapa imam yang dianggap keilmuannya, maka dia dirahmati dan mendapat pahala satu atau dua, sehingga dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat, bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat atau sesuatu yang diinginkan.

Dalam hadits riwayat dari Amr Ibnu al-'Ash, di sebutkan bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala. [HR. Bukhori no. 7352].

Dalam lafadz lain :

إذا اجتَهَد فأصاب فله أجرانِ، وإن اجتَهَد فأخطَأَ فله أجرٌ

Jika seseorang berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seseorang berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala.

[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), dan Ahmad (17809) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan oleh asy-Syawkani dalam al-Fathur Rabbaani 6/3090].

PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :

Imam Al-Syathibi rahimahullah berkata:

"وَمَعْنَى هَذَا ‌أَنَّهُمْ ‌فَتَحُوا ‌لِلنَّاسِ ‌بَابَ ‌الِاجْتِهَادِ ‌وَجَوَازَ ‌ٱلاخْـتِـلاَفُ ‌فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ ... فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ الخِلاَفُ الْفُرُوعِي فِيهِمْ، فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي هَذِهِ الرَّحْمَةِ".

"Makna dari ini adalah bahwa mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia, dan memperbolehkan perbedaan pendapat di dalamnya; karena jika mereka tidak boleh membukanya, maka para mujtahid akan berada dalam kesulitan; maka Allah melapangkan umat dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah furu’ di antara mereka, sehingga menjadi pembuka pintu bagi umat untuk masuk dalam rahmat ini." [ al-I’thishom 2/677].

Beliau juga berkata dalam al-Muwafaqoot 5/75 :

فَيُحْمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَةِ فَتْحِ بَابِ ٱلِاجْتِهَادِ، وَأَنَّ مَسَائِلَ ٱلِاجْتِهَادِ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ مِنْهَا سَعَةً بِتَوْسِعَةِ مَجَالِ ٱلِاجْتِهَادِ لَا غَيْرَ ذٰلِكَ.

"Ini dapat diartikan sebagai pembuka pintu ijtihad, dan bahwa masalah-masalah ijtihad telah Allah jadikan luas dengan memperluas ruang lingkup ijtihad saja, tidak lebih dari itu."

Lalu asy-Syathibi berkata :

قَالَ الْقَاضِي إِسْمَاعِيلُ : "إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلَافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ‌تَوْسِعَةٌ ‌فِي ‌اجْتِهَادِ ‌الرَّأْيِ، ‌فَأَمَّا ‌أَنْ ‌يَكُونَ ‌تَوْسِعَةً ‌أَنْ ‌يَقُولَ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلَا، وَلَكِنَّ اخْتِلَافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا، فَاخْتَلَفُوا". قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : "كَلَامُ إِسْمَاعِيلَ هَذَا حَسَنٌ جِدًّا".

Qadhi Ismail berkata: "Pelapangan dalam perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah  adalah pelapangan dalam ijtihad pendapat, tetapi jika dimaksudkan sebagai pelapangan bahwa seseorang bisa mengikuti salah satu pendapat mereka tanpa meyakini kebenarannya, maka itu tidak boleh. Namun, perbedaan pendapat mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad sehingga mereka berbeda pendapat."

Ibnu Abdul Barr berkata: "Ucapan Ismail ini sangat baik sekali." [Baca : al-Muwafaqoot 5/75]

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :

Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

Perbedaan pendapat, meskipun pada dasarnya adalah keburukan, namun kapanpun jika para pihak yang berselisih itu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta berniat mencari kebenaran, dan berusaha keras untuk mencapainya; maka mereka termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

﴿فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ﴾

*"Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya. Dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus"* (Al-Baqarah: 213).

Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad , yang membenarkannya dan apa yang dibawanya dari Allah, tentang apa yang diperselisihkan oleh orang-orang yang diberi kitab." [Tafsir ath-Thabari 4/283]

IBNU AL-QAYYIM :

Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:

 "فَمَنْ هَدَاهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ إِلَى ٱلْأَخْذِ بِٱلْحَقِّ حَيْثُ كَانَ، وَمَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يَبْغِضُهُ وَيَعَادِيهِ، وَرَدَ ٱلْبَاطِلَ مَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يُحِبُّهُ وَيُوَالِيهِ؛ فَهُوَ مِمَّنْ هُدِيَ لِمَا ٱخْتَلَفَ فِيهِ مِنَ ٱلْحَقِّ؛ فَهَذَا أَعْلَمُ ٱلنَّاسِ وَأَهْدَاهُمْ سَبِيلًا وَأَقَوَّمُهُمْ قِيلًا."

"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran di mana pun dan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia benci dan dia musuhi , dan menolak kebatilan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia cintai dan dia bela ; maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk atas apa yang diperselisihkan tentang kebenaran itu. Maka dia adalah orang yang paling berilmu di antara manusia dan paling banyak mendapat petunjuk dari pada mereka dan paling paling lurus ucapannya ." [ Baca : ash-Showaa’iq al-Mursalah 2/516].

 

Posting Komentar

0 Komentar