SEPUTAR RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH
SETELAH KEMATIAN
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
DAFTAR ISI:
- MAKNA KEMATIAN
- RUH KETIKA DICABUT, PANDANGAN MATA
MENGIKUTINYA
- APAKAH ORANG YANG SEDANG SAKARATUL MAUT
MELIHAT KERABATNYA YANG TELAH MENINGGAL?
- FITNAH KUBUR DAN AZAB KUBUR
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG
KEMBALINYA RUH KE MAYAT DI DALAM KUBUR
- BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA
DI KUBUR?
- BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA
DI KUBUR?
- KEHIDUPAN ORANG MATI DI ALAM BARZAKH
- APAKAH AZAB KUBUR BERLANJUT HINGGA KIAMAT?
- APAKAH MAYIT DI ALAM BARZAKH MERASAKAN
KUNJUNGAN KELUARGANYA
- APAKAH MAYIT MENGENALI ORANG HIDUP YANG
MENZIARAHI KUBURNYA?
- BENARKAH HANYA PENZIARAH DI HARI JUM’AT YANG
BISA DIKENALI MAYIT
- APAKAH NABI ﷺ MENDENGAR ORANG YANG
MEMANGGILNYA DI KUBURNYA?
- DI MANA RUH NABI ﷺ
SETELAH WAFAT:
- PENJAGAAN PARA SAHABAT DARI PENYALAH GUNAAN
KUBURAN NABI ﷺ:
- PENJAGAAN YANG DI LAKUKAN OLEH ISTRI NABI ﷺ DAN
ANAK CUCUNYA:
- HUKUM ZIARAH KUBUR DAN MENGUCAPKAN SALAM
KEPADA PENGHUNINYA
- AMALAN SALEH ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT UNTUK
MAYIT
- ORANG YANG TELAH MATI TIDAK BISA GENTAYANGAN
DI ALAM DUNIA:
- MEREKA DI ALAM BARZAKH:
- TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM
BARZAKH
- BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG
MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
- PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA
WALAU SESAAT:
- PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH MENGHADIRKAN
NABI ﷺ SETELAH WAFAT, WALAU SAAT DARURAT UNTUK UMAT
- AJARAN KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG
MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:
- KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU:
- SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN
GENTAYANGAN:
- KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH
MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA
- PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA
BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA
======
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN:
Allah SWT berfirman:
﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ
أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ
الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ﴾
Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Al Imran: 185]
Dan Allah SWT
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ
فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ
ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ
وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ
وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِن بَعْدِ
عِلْمٍ شَيْئًا ﴾
Hai manusia, jika
kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya
dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. [Hajj: 5]
Dan Allah SWT
berfirman:
﴿اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ
مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ﴾
Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. [Hadid: 20]
MAKNA KEMATIAN :
Dijelaskan bahwa
kematian bukan berarti lenyapnya manusia sepenuhnya, juga bukan penghapusan
keberadaannya yang telah Allah ciptakan. Kematian adalah salah satu keadaan
tersulit yang dialami manusia, di mana ruhnya keluar untuk hidup di alam lain.
Proses keluarnya ruh dari tubuh yang sebelumnya menjadi tempatnya adalah
sesuatu yang sulit. Kematian adalah perpisahan ruh dari tubuh secara hakiki.
Imam Al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin (4/493) mengatakan:
وَمَعْنَى مُفَارَقَتِهَا لِلْجَسَدِ: اِنْقِطَاعُ تَصَرُّفِهَا عَنِ
الْجَسَدِ بِخُرُوجِ الْجَسَدِ عَنْ طَاعَتِهَا
"Makna
perpisahan ruh dari tubuh adalah terputusnya kendali ruh atas tubuh akibat
keluarnya tubuh dari ketaatannya."
****
RUH KETIKA DICABUT, PANDANGAN MATA MENGIKUTINYA
Dari Ummu Salamah,
Ummul Mukminin, dia berkata:
دَخَلَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ علَى أَبِي سَلَمَةَ
وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ، فأغْمَضَهُ، ثُمَّ قالَ: إنَّ الرُّوحَ إذَا قُبِضَ
تَبِعَهُ البَصَرُ، فَضَجَّ نَاسٌ مِن أَهْلِهِ، فَقالَ: لا تَدْعُوا علَى
أَنْفُسِكُمْ إلَّا بخَيْرٍ؛ فإنَّ المَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ علَى ما تَقُولونَ،
ثُمَّ قالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ في
المَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ في عَقِبِهِ في الغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
يا رَبَّ العَالَمِينَ، وَافْسَحْ له في قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ له فِيهِ.
[وفي رواية]: نَحْوَهُ، غيرَ أنَّهُ قالَ: وَاخْلُفْهُ في
تَرِكَتِهِ، وَقالَ: اللَّهُمَّ أَوْسِعْ له في قَبْرِهِ، وَلَمْ يَقُلْ: افْسَحْ
له.
Rasulullah ﷺ masuk menemui Abu Salamah ketika penglihatannya sudah mulai
kabur. Beliau menutup matanya, kemudian berkata:
"Sesungguhnya,
ketika roh dicabut, penglihatan mengikuti roh tersebut."
Kemudian, beberapa
orang dari keluarganya mengeluh.
Beliau ﷺ berkata: "Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian
kecuali dengan kebaikan, karena malaikat mengamini apa yang kalian
ucapkan."
Kemudian beliau ﷺ berkata: "Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkat
derajatnya di kalangan orang-orang yang mendapat petunjuk, gantikanlah dia
dalam keluarganya dengan yang lebih baik, ampunilah kami dan dia, wahai Tuhan
semesta alam, lapangkanlah kuburnya, dan terangkanlah cahaya di dalamnya."
(Dalam riwayat lain)
hampir serupa, hanya saja beliau ﷺ
mengatakan:
"Gantilah dia
dalam hartanya." Dan beliau ﷺ
berkata: "Ya Allah, luaskanlah kuburnya, dan beliau tidak mengatakan
'lapangkanlah kuburnya'." HR. Muslim no. 920.
Dari Syaddad bin Aus,
dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا حَضَرْتُمْ مَوْتَاكُمْ، فَأَغْمِضُوا الْبَصَرَ،
فَإِنَّ الْبَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوحَ، وَقُولُوا خَيْرًا: فَإِنَّهُ يُؤَمَّنُ
عَلَى مَا قَالَ أَهْلُ الْمَيِّتِ".
"Jika kalian
menghadapi orang yang sekarat, tutuplah matanya, karena penglihatan mata
mengikuti roh, dan ucapkanlah kata-kata yang baik, karena apa yang diucapkan
oleh keluarga orang yang meninggal akan diamini oleh malaikat."
Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ahmad (17136), Ibnu Majah (1455), Ibnu Hibban dalam
"Al-Majruhin" 2/216, At-Thabrani dalam "Al-Kabir" (7168),
dalam "Al-Awsat" (1019) dan (5972), dalam "Ad-Du'aa"
(1153), Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" 2/687, dan Al-Hakim 1/352 dengan
berbagai sanad dari Qiz'ah, dan Al-Hakim mensahihkannya, disetujui oleh
Adh-Dhahabi.
Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan dalam Tahqiq al-Musnad 28/360:
حَدِيثٌ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، لِضَعْفِ
قَزَعَةٍ- وَهُوَ ابْنُ سُوَيْدٍ بْنِ حُجَيْرٍ البَاهِلِيِّ- وَقَدْ بَيَّنَا
حَالَهُ فِي الرِّوَايَةِ (11734)، وَبَاقِي رِجَالِهِ ثِقَاتٌ رِجَالُ
الشَّيْخَيْنِ، غَيْرَ مَحْمُودٍ بْنِ لَبِيدٍ، فَإِنَّهُ مِنْ رِجَالِ مُسْلِمٍ.
وَأَخْرَجَ لَهُ البُخَارِيُّ فِي "الأَدَبِ المُفْرَدِ". حَمِيدٌ
الأَعْرَجُ: هُوَ ابْنُ قَيْسٍ.
bahwa hadis ini sahih
lighairihi, namun sanad ini lemah karena kelemahan Qiz'ah—ia adalah putra dari
Suwaid bin Hujayr Al-Bahili—yang telah kami jelaskan keadaannya dalam riwayat
(11734). Adapun perawi lainnya adalah para perawi terpercaya dari kedua shahih,
kecuali Mahmud bin Labid, yang merupakan perawi Muslim. Bukhari juga
meriwayatkan darinya dalam "Al-Adab Al-Mufrad". Hamid Al-A'raj adalah
putra Qais.
Syeikh ‘Alawi
as-Saqqoof berkata dalam ad-Duror as-Sniyyah:
قال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم: «إنَّ الرُّوحَ إذا قُبِضَ
تَبِعَه البصرُ»، يَحتمِلُ أنْ يَكونَ علَّةً للإِغماضِ، كأنَّه قال: أَغمَضْتُه؛
لأنَّ الرُّوحَ إذا خرَجَ مِن الجسدِ تَبِعَه البصرُ في الذَّهابِ، فلم يَبْقَ
لانفتاحِ بَصرِه فائدةٌ، أو أنْ يَكونَ بَيانًا لسَببِ بقاءِ عَينَيه مَفتوحتينِ،
فلمَّا أغمَضَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عَينَي أَبي سَلَمةَ رَضِي
اللهُ عنه، وقال مَقالتَه؛ تَأكَّد الحاضِرونَ أنَّه قدْ ماتَ، «فضَجَّ ناسٌ مِن
أهلِه»، أي: رفَعُوا الصَّوتَ بالبُكاءِ وصاحَ ناسٌ مِن أهلِ أبي سَلَمةَ رَضِي
اللهُ عنه، فنَهاهمُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عن قَولِ الفُحشِ
وأَمَرَهم بقَولِ الخَيرِ والدُّعاءِ بالخيرِ، فقالَ: «لا تَدْعوا عَلى أَنفسِكم
إلَّا بخيرٍ»، وهذا إشارةٌ إلى نَهيهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إيَّاهم عن
الضَّجَّةِ؛ كأنَّهم قالوا: يا وَيْلاهُ علينا! ويا مُصِيبَتاه علينا! فنَهاهم عن
ذلك، فلا تَدْعوا بالويلِ والثُّبورِ وما أشبَهَ ذلك على عادةِ الجاهليَّةِ، ولكنْ
قُولوا خيرًا؛ مِثل أنْ يَدْعوا للميِّتِ بالمَغفرةِ والرَّحمةِ وغيرِ ذلك،
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya roh, ketika dicabut, penglihatan
mengikutinya." Ini bisa jadi alasan untuk menutup mata, seolah beliau ﷺ berkata: "Aku menutup matanya, " karena ketika roh
keluar dari tubuh, penglihatan mengikuti roh tersebut dalam perjalanannya, sehingga
tidak ada lagi manfaat bagi mata yang terbuka. Atau bisa juga untuk menjelaskan
alasan mengapa mata tetap terbuka, lalu ketika Nabi ﷺ
menutup mata Abu Salamah radhiyallahu 'anhu dan berkata demikian, para hadirin
semakin yakin bahwa dia telah meninggal. "Maka terjadilah ratapan dari
keluarganya, " yaitu mereka mengangkat suara dengan tangisan.
Beberapa orang dari
keluarga Abu Salamah radhiyallahu 'anhu berteriak, lalu Nabi ﷺ melarang mereka mengucapkan kata-kata kasar dan memerintahkan
mereka untuk mengatakan hal-hal baik dan berdoa dengan baik.
Beliau ﷺ bersabda: "Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian
kecuali dengan kebaikan." Ini menunjukkan larangan Nabi ﷺ agar mereka tidak mengeluarkan suara keras, seolah-olah mereka
mengatakan: "Aduh, celakalah kami!" dan "Betapa besarnya musibah
kami!"
Nabi ﷺ melarang hal itu, agar mereka tidak mengucapkan kata-kata
kecelakaan dan kebinasaan seperti yang biasa dilakukan pada masa jahiliyah.
Namun, beliau ﷺ mengarahkan mereka untuk
berdoa dengan baik, seperti berdoa untuk orang yang meninggal dengan ampunan
dan rahmat, atau doa-doa baik lainnya.
===***===
APAKAH ORANG YANG SEDANG SAKARATUL MAUT MELIHAT KERABATNYA YANG TELAH MENINGGAL?
Pertama:
Tidak ada keterangan
dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi yang mulia tentang apa yang dilihat
oleh orang yang sedang sakaratul maut, baik dari kerabatnya atau manusia
lainnya. Sebagai seorang muslim, kita hanya meyakini apa yang disebutkan dalam
Al-Qur'an dan sunnah, serta diam terhadap apa yang tidak dijelaskan oleh wahyu
yang ma'shum. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴾
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. [Al Isra: 36]
Paling jauh, ada
sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf
7/161 no. 34977: dari Abdurrahman bin Muhammad Al-Muharibi, dari Laits, dari
Mujahid, dari Yazid bin Syajarah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
«مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ حَتَّى يُمَثَّلَ لَهُ جُلَسَاؤُهُ
عِنْدَ مَوْتِهِ، إنْ كَانُوا أَهْلَ لَهْوٍ فَأَهْلُ لَهْوٍ، وَإِنْ كَانُوا
أَهْلَ ذِكْرٍ فَأَهْلُ ذِكْرٍ»
"Tidak ada
seorang pun yang meninggal dunia kecuali akan diperlihatkan kepadanya
orang-orang yang biasa duduk bersamanya di masa hidupnya. Jika mereka adalah
ahli lahwun (orang yang senantiasa lalai dari mengingat Allah), maka mereka
adalah ahli lahwun. Jika mereka adalah ahli zikir (orang yang senantiasa
mengingat Allah), maka mereka adalah ahli zikir."
[Lihat
pula: Takhij Ahadits Ihya Ulumuddin 2/2528 dan Syarah ash-Shuduur karya
as-Suyuthi hal. 86 no. 65].
Riwayat serupa juga
dinukil dari Mujahid, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Ushul I'tiqad
Ahlus Sunnah (6/1202). Yazid bin Syajarah sendiri diperselisihkan statusnya
sebagai sahabat. Ibnu Ma'in dan Bukhari menetapkannya, sementara Abu Zur'ah
menafi-kannya. Lihat Al-Ishabah (6/520).
Atsar ini secara
jelas tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang telah meninggal dunia itu
sendiri hadir, baik mereka adalah kerabat ataupun bukan. Riwayatnya secara
tegas menyatakan bahwa hal tersebut hanya berupa gambaran (tamtsil),
sebagaimana disebutkan dalam perkataannya:
"Diperlihatkan kepadanya orang-orang yang biasa duduk
bersamanya."
Kemudian, tidak ada
penjelasan yang membatasi bahwa mereka adalah orang-orang yang telah meninggal
dunia.
Jika ada sesuatu yang
terjadi pada sebagian orang yang sedang sakaratul maut, seperti ucapan mereka
kepada ibu, ayah, anak-anak, atau kerabat mereka, hal itu mungkin merupakan
khayalan yang muncul dalam pikiran mereka akibat penderitaan hebat yang sedang
mereka alami, dan bukan pertemuan nyata dengan ruh para kerabat tersebut.
Selain itu, khayalan
semacam ini tidak memiliki indikasi apapun terkait rasa takut maupun
kegembiraan. Saat-saat sakaratul maut adalah keadaan yang paling berat bagi
manusia, sehingga pada saat itu mereka hampir tidak dapat menguasai lidah atau
anggota tubuhnya. Maka, ucapan yang muncul dari khayalan mereka tentang
kerabatnya tidak menunjukkan adanya kebaikan atau keburukan yang akan datang.
Kedua:
Kabar gembira yang
benar sejati bagi orang yang sedang sakaratul maut didapatkan melalui kabar
yang disampaikan oleh malaikat kepada orang beriman dalam keadaan tersebut.
Para malaikat turun kepadanya, duduk di dekatnya, sehingga ia dapat melihat
mereka, bahkan terkadang berbicara tentang hal itu.
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ﴾
"Sesungguhnya
orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah, ' kemudian mereka tetap
istiqamah, akan turun kepada mereka para malaikat (dengan berkata), 'Janganlah
kamu takut dan janganlah kamu bersedih; dan bergembiralah dengan surga yang
telah dijanjikan kepadamu. Kami adalah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan di akhirat. Di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan, dan kamu memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai
hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'”
(Fushshilat: 30-32).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
أَوَّلُ ذٰلِكَ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ تَنْزِلُ عَلَى الْمُحْتَضَرِ،
وَتَجْلِسُ قَرِيبًا مِنْهُ، وَيُشَاهِدُهُمْ عِيَانًا، وَيَتَحَدَّثُونَ
عِنْدَهُ، وَمَعَهُمُ الْأَكْفَانُ وَالْحَنُوطُ، إِمَّا مِنَ الْجَنَّةِ،
وَإِمَّا مِنَ النَّارِ. وَيُؤَمِّنُونَ عَلَى دُعَاءِ الْحَاضِرِينَ بِالْخَيْرِ
وَالشَّرِّ، وَقَدْ يُسَلِّمُونَ عَلَى الْمُحْتَضَرِ، وَيَرُدُّ عَلَيْهِمْ،
تَارَةً بِلَفْظِهِ، وَتَارَةً بِإِشَارَتِهِ، وَتَارَةً بِقَلْبِهِ، حَيْثُ لَا
يَتَمَكَّنُ مِنْ نُطْقٍ وَلَا إِشَارَةٍ.
وَقَدْ سُمِعَ بَعْضُ الْمُحْتَضَرِينَ يَقُولُ: أَهْلًا وَسَهْلًا
وَمَرْحَبًا بِهٰذِهِ الْوُجُوهِ. وَأَخْبَرَنِي شَيْخُنَا عَنْ بَعْضِ
الْمُحْتَضَرِينَ - فَلَا أَدْرِي أَشَاهَدَهُ أَوْ أُخْبِرَ عَنْهُ - أَنَّهُ
سُمِعَ وَهُوَ يَقُولُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، هٰهُنَا فَاجْلِسْ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ،
هٰهُنَا فَاجْلِسْ.
وَذَكَرَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ
لَمَّا كَانَ فِي يَوْمِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ: أَجْلِسُونِي.
فَأَجْلَسُوهُ فَقَالَ: أَنَا الَّذِي أَمَرْتَنِي فَقَصَّرْتُ، وَنَهَيْتَنِي
فَعَصَيْتُ. ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. وَلَكِنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. ثُمَّ رَفَعَ
رَأْسَهُ فَأَحَدَّ النَّظَرَ. فَقَالُوا: إِنَّكَ لَتَنْظُرُ نَظَرًا شَدِيدًا
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ. فَقَالَ: إِنِّي لَأَرَى حَضْرَةً مَا هُمْ بِإِنْسٍ
وَلَا جِنٍّ، ثُمَّ قُبِضَ.
وَقَالَ فَضَالَةُ بْنُ دِينارٍ: حَضَرْتُ مُحَمَّدَ بْنَ وَاسِعٍ وَقَدْ
سُجِّيَ لِلْمَوْتِ، فَجَعَلَ يَقُولُ: مَرْحَبًا بِمَلَائِكَةِ رَبِّي، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، وَشَمَمْتُ رَائِحَةَ طِيبٍ لَمْ أَشُمَّ
قَطُّ أَطْيَبَ مِنْهَا. ثُمَّ شَخَصَ بِبَصَرِهِ فَمَاتَ.
وَالْآثَارُ فِي ذٰلِكَ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَرَ.
وَأَبْلَغُ وَأَكْفَى مِنْ ذٰلِكَ كُلِّهِ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ:
(فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ ۞ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ ۞
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ) أَي: أَقْرَبُ
إِلَيْهِ بِمَلَائِكَتِنَا وَرُسُلِنَا، وَلَكِنَّكُمْ لَا تَرَوْنَهُمْ."
انتهى.
“Pertama,
malaikat turun kepada orang yang sedang sakaratul maut, duduk dekat dengannya,
sehingga ia dapat melihat mereka secara langsung. Mereka berbicara di sisinya
dengan membawa kain kafan dan wewangian, baik dari surga maupun dari neraka.
Mereka mengamini doa orang-orang yang hadir, baik doa kebaikan maupun
keburukan. Terkadang mereka memberi salam kepada orang yang sedang sakaratul
maut, dan ia membalas salam mereka, baik dengan lisannya, isyarat, maupun
hatinya, ketika ia tidak mampu berbicara atau memberi isyarat.
Sebagian orang yang
sakaratul maut terdengar berkata, 'Selamat datang, selamat datang, dan selamat
datang untuk wajah-wajah ini.' Guruku pernah menceritakan kepadaku tentang
salah seorang yang sedang sakaratul maut – saya tidak tahu apakah ia
menyaksikannya sendiri atau diberitahu tentangnya – terdengar berkata, 'Semoga
keselamatan atasmu. Duduklah di sini. Semoga keselamatan atasmu. Duduklah di
sini.'
Ibnu Abi Dunya
menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz, pada hari wafatnya, berkata, 'Dudukkan
aku.' Maka mereka mendudukkannya, lalu ia berkata, 'Aku adalah orang yang
Engkau perintahkan, tetapi aku tidak melakukannya dengan sempurna. Engkau
melarangku, tetapi aku melanggarnya.' Ia mengulangi tiga kali, lalu berkata,
'Namun tidak ada Tuhan selain Allah.' Kemudian ia mengangkat kepalanya dan
memandang tajam. Mereka bertanya, 'Wahai Amirul Mukminin, engkau menatap dengan
pandangan yang tajam sekali.' Ia menjawab, 'Aku sedang melihat kehadiran yang
bukan manusia maupun jin.' Kemudian ia wafat.
Fudhailah bin Dinar berkata,
'Aku menghadiri Muhammad bin Wasi’ ketika ia terbaring menjelang kematian. Ia
berkata, 'Selamat datang, para malaikat Tuhanku. Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan Allah.' Aku mencium aroma wangi yang belum pernah aku cium
seharum itu. Kemudian ia memandang tajam dan wafat.'
Atsar-atsar tentang
hal ini lebih banyak daripada yang dapat dihitung.
Namun, yang paling
jelas dan mencukupi dari semua itu adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Maka
mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat,
padahal Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat.'
Maksudnya, Kami lebih dekat kepadanya melalui malaikat-malaikat dan
utusan-utusan Kami, tetapi kamu tidak melihat mereka.” (Selesai dari Ar-Ruh,
hlm. 64-65).
Ketiga:
Telah ditegaskan
dalam dalil-dalil syar'i bahwa setan dapat menggoda dalam beberapa keadaan
orang yang sedang menghadapi kematian dan sakaratul maut.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
وَذٰلِكَ كُلُّهُ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا الَّتِي أَمَرَنَا الرَّسُولُ
أَنْ نَسْتَعِيذَ فِي صَلَاتِنَا مِنْهَا، وَوَقْتَ الْمَوْتِ يَكُونُ
الشَّيْطَانُ أَحْرَصَ مَا يَكُونُ عَلَى إِغْوَاءِ بَنِي آدَمَ.
"انتهى".
"Semua itu
termasuk fitnah kehidupan yang Rasulullah ﷺ
memerintahkan kita untuk berlindung darinya dalam shalat kita. Saat kematian,
setan lebih berambisi untuk menyesatkan manusia." (Selesai dari
Al-Ikhtiyarat, hlm. 85).
Setan terus berupaya
menyesatkan manusia selama ruh masih berada dalam jasadnya. Ia mendatangi
manusia, membisikkan godaan, dan menghiasinya dengan kebatilan.
Dari Abu Sa'id
Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ
bersabda:
قَالَ إِبْلِيسُ: وَعِزَّتِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ
أَرْوَاحُهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ، فَقَالَ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَزَالُ
أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي.
"Iblis berkata,
'Demi keagungan-Mu, aku tidak akan berhenti menyesatkan hamba-hamba-Mu selama
ruh mereka masih berada dalam jasad mereka.' Maka Allah berfirman, 'Demi
keagungan dan keperkasaan-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama
mereka memohon ampun kepada-Ku.'"
(HR.
Ahmad, no. 10974. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no.
1617).
Nabi ﷺ juga senantiasa memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala dari
"fitnah kehidupan dan kematian" dan menganjurkan para shalat untuk
berlindung darinya sebelum salam.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ
bersabda:
(إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْآخَرِ
فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ
الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ
الدَّجَّالِ).
"Apabila salah
seorang di antara kalian selesai membaca tasyahud terakhir, hendaklah ia
memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal: dari azab neraka Jahannam,
dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan
Al-Masih Ad-Dajjal."
(HR.
Bukhari, no. 1311, dan Muslim, no. 588).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ: "وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ " مَعْطُوفَةٌ
عَلَى " مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ " ، وَالْمُرَادُ بِالْفِتْنَةِ:
اخْتِبَارُ الْمَرْءِ فِي دِينِهِ ؛ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ ،
وَفِتْنَةُ الْحَيَاةِ عَظِيمَةٌ وَشَدِيدَةٌ ، وَقَلَّ مَنْ يَتَخَلَّصُ مِنْهَا
إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ، وَهِيَ تَدُورُ عَلَى شَيْئَيْنِ:
١ – شُبُهَاتٌ.
٢ – شَهَوَاتٌ.
أَمَّا الشُّبُهَاتُ: فَتَعْرِضُ لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ ،
فَيَلْتَبِسُ عَلَيْهِ الْحَقُّ بِالْبَاطِلِ ، فَيَرَى الْبَاطِلَ حَقًّا ،
وَالْحَقَّ بَاطِلًا ، وَإِذَا رَأَى الْحَقَّ بَاطِلًا تَجَنَّبَهُ ، وَإِذَا
رَأَى الْبَاطِلَ حَقًّا فَعَلَهُ.
وَأَمَّا الشَّهَوَاتُ فَتَعْرِضُ لِلْإِنْسَانِ فِي إِرَادَتِهِ ،
فَيُرِيدُ بِشَهَوَاتِهِ مَا كَانَ مُحَرَّمًا عَلَيْهِ ، وَهَذِهِ فِتْنَةٌ
عَظِيمَةٌ ، فَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ الرِّبَا غَنِيمَةً فَيَنْتَهِكُونَهُ!
وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ غِشَّ النَّاسِ شَطَارَةً وَجَوْدَةً فِي
الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فَيَغُشُّونَ! وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ
النَّظَرَ إِلَى النِّسَاءِ تَلَذُّذًا وَتَمَتُّعًا وَحُرِّيَّةً ، فَيُطْلِقُ
لِنَفْسِهِ النَّظَرَ لِلنِّسَاءِ! بَلْ مَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ
الْخَمْرَ وَيَرَوْنَهَا لَذَّةً وَطَرَبًا! وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ
آلَاتِ اللَّهْوِ وَالْمَعَازِفَ فَنًّا يُدَرَّسُ وَيُعْطَى عَلَيْهِ شَهَادَاتٌ
وَمَرَاتِبُ!
وَأَمَّا فِتْنَةُ الْمَمَاتِ: فَاخْتَلَفَ فِيهَا الْعُلَمَاءُ عَلَى
قَوْلَيْنِ:
الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: إِنَّ " فِتْنَةَ الْمَمَاتِ ": سُؤَالُ
الْمَلَكَيْنِ لِلْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ عَنْ رَبِّهِ ، وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ ؛
لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّهُ أُوحِيَ إِلَيَّ
أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلَ أَوْ قَرِيبًا مِنْ فِتْنَةِ
الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ) ، فَأَمَّا مَنْ كَانَ إِيمَانُهُ خَالِصًا فَهَذَا
يَسْهُلُ عَلَيْهِ الْجَوَابُ.
فَإِذَا سُئِلَ: مَنْ رَبُّكَ ؟ قَالَ: رَبِّي اللَّهُ.
مَنْ نَبِيُّكَ ؟ قَالَ: نَبِيِّي مُحَمَّدٌ.
مَا دِينُكَ ؟ قَالَ: دِينِي الْإِسْلَامُ ، بِكُلِّ سُهُولَةٍ.
وَأَمَّا غَيْرُهُ - وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ - فَإِذَا سُئِلَ قَالَ:
هَاهْ... هَاهْ... لَا أَدْرِي ؛ سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ شَيْئًا
فَقُلْتُهُ.
وَتَأَمَّلْ قَوْلَهُ: "هَاهْ... هَاهْ... " كَأَنَّهُ كَانَ
يَعْلَمُ شَيْئًا فَنَسِيَهُ ، وَمَا أَشَدَّ الْحَسْرَةَ فِي شَيْءٍ عَلِمْتَهُ
ثُمَّ نَسِيتَهُ ؛ لِأَنَّ الْجَاهِلَ لَمْ يَكْسِبْ شَيْئًا ، لَكِنَّ النَّاسِي
كَسَبَ الشَّيْءَ فَخَسِرَهُ ، وَالنَّتِيجَةُ يَقُولُ: لَا أَدْرِي مَنْ رَبِّي ،
مَا دِينِي ، مَنْ نَبِيِّي ، فَهَذِهِ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ؛ أَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ
يُنَجِّيَنِي وَإِيَّاكُمْ مِنْهَا ، وَهِيَ فِي الْحَقِيقَةِ تَدُورُ عَلَى مَا
فِي الْقَلْبِ ، فَإِذَا كَانَ الْقَلْبُ مُؤْمِنًا حَقِيقَةً: يَرَى أُمُورَ
الْغَيْبِ كَرَأْيِ الْعَيْنِ ، فَهَذَا يُجِيبُ بِكُلِّ سُهُولَةٍ ، وَإِنْ كَانَ
الْأَمْرُ بِالْعَكْسِ: فَالْأَمْرُ بِالْعَكْسِ.
القَوْلُ الثَّانِي: المَرَادُ بِـ "فِتْنَةِ المَمَاتِ": مَا
يَكُونُ عِنْدَ المَوْتِ فِي آخِرِ الحَيَاةِ، وَنَصَّ عَلَيْهَا - وَإِنْ كَانَتْ
مِنْ فِتْنَةِ الحَيَاةِ - لِعَظَمِهَا وَأَهَمِّيَّتِهَا، كَمَا نَصَّ عَلَى
فِتْنَةِ الدَّجَّالِ مَعَ أَنَّهَا مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا، فَهِيَ فِتْنَةُ
مَمَاتٍ؛ لِأَنَّهَا قُرْبَ المَمَاتِ، وَخَصَّهَا بِالذِّكْرِ لِأَنَّهَا أَشَدُّ
مَا يَكُونُ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الإِنْسَانَ عِنْدَ مَوْتِهِ وَوَدَاعِ العَمَلِ
صَائِرٌ إِمَّا إِلَى سَعَادَةٍ، وَإِمَّا إِلَى شَقَاوَةٍ، قَالَ الرَّسُولُ ﷺ:
(إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ؛ فَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ). فَالفِتْنَةُ عَظِيمَةٌ.
وَأَشَدُّ مَا يَكُونُ الشَّيْطَانُ حِرْصًا عَلَى إِغْوَاءِ بَنِي آدَمَ
فِي تِلْكَ اللَّحْظَةِ، وَالمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ، يَأْتِي إِلَيْهِ
فِي هَذِهِ الحَالِ الحَرِجَةِ الَّتِي لَا يَتَصَوَّرُهَا إِلَّا مَنْ وَقَعَ
فِيهَا. قَالَ تَعَالَى:
(كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ
الْفِرَاقُ. وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ
الْمَسَاقُ) (القِيَامَةِ: 26-30).
حَالٌ حَرِجَةٌ عَظِيمَةٌ، الإِنْسَانُ فِيهَا ضَعِيفُ النَّفْسِ، ضَعِيفُ
الإِرَادَةِ، ضَعِيفُ القُوَّةِ، ضَيِّقُ الصَّدْرِ، فَيَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ
لِيُغْوِيَهُ؛ لِأَنَّ هَذَا وَقْتُ المَغْنَمِ لِلشَّيْطَانِ، حَتَّى إِنَّهُ
كَمَا قَالَ أَهْلُ العِلْمِ: قَدْ يَعْرِضُ لِلإِنْسَانِ الأَدْيَانَ
اليَهُودِيَّةَ، وَالنَّصْرَانِيَّةَ، وَالإِسْلَامِيَّةَ بِصُورَةِ أَبَوَيْهِ،
فَيَعْرِضَانِ عَلَيْهِ اليَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ وَالإِسْلَامِيَّةَ،
وَيُشِيرَانِ عَلَيْهِ بِاليَهُودِيَّةِ أَوْ بِالنَّصْرَانِيَّةِ، وَالشَّيْطَانُ
يَتَمَثَّلُ كُلَّ وَاحِدٍ إِلَّا النَّبِيَّ ﷺ. وَهَذِهِ أَعْظَمُ الفِتَنِ.
وَلَكِنْ هَذَا - وَالحَمْدُ لِلَّهِ - لَا يَكُونُ لِكُلِّ أَحَدٍ، كَمَا
قَالَهُ شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَحَتَّى لَوْ
كَانَ الإِنْسَانُ لَا يَتَمَكَّنُ الشَّيْطَانُ مِنْ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ
الدَّرَجَةِ مَعَهُ، لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يُخْشَى عَلَيْهِ مِنْهُ.
يُقَالُ: إِنَّ الإِمَامَ أَحْمَدَ وَهُوَ فِي سَكَرَاتِ المَوْتِ كَانَ
يُسْمَعُ وَهُوَ يَقُولُ: بَعْدُ، بَعْدُ. فَلَمَّا أَفَاقَ قِيلَ لَهُ فِي
ذَلِكَ؟ قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ يَعَضُّ أَنَامِلَهُ يَقُولُ: فُتَّنِي
يَا أَحْمَدُ. يَعَضُّ أَنَامِلَهُ نَدَمًا وَحَسْرَةً كَيْفَ لَمْ يُغْوِ
الإِمَامَ أَحْمَدَ! فَيَقُولُ لَهُ أَحْمَدُ: بَعْدُ، بَعْدُ. أَيْ: إِلَى الآنَ
مَا خَرَجَتِ الرُّوحُ، فَمَا دَامَتِ الرُّوحُ فِي البَدَنِ فَكُلُّ شَيْءٍ
وَارِدٌ وَمُحْتَمَلٌ.
(رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا) (آلُ عِمْرَانَ:
8).
فِي هَذِهِ الحَالِ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا، وَلِهَذَا نَصَّ النَّبِيُّ
ﷺ عَلَيْهَا قَالَ: "مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ".
فَالحَاصِلُ: أَنَّ فِتْنَةَ المَمَاتِ فِيهَا تَفْسِيرَانِ:
1. الفِتْنَةُ الَّتِي تَكُونُ عِنْدَ المَوْتِ.
2. الَّتِي تَكُونُ بَعْدَ المَوْتِ، وَهِيَ سُؤَالُ المَلَكَيْنِ
الإِنْسَانَ عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ.
وَلَا مَانِعَ بِأَنْ نَقُولَ: إِنَّهَا تَشْمَلُ الأَمْرَيْنِ جَمِيعًا،
وَيَكُونُ قَدْ نَصَّ عَلَى الفِتْنَةِ الَّتِي قَبْلَ المَوْتِ وَعِنْدَ
المَوْتِ؛ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ فِتْنَةٍ تَرِدُ عَلَى الإِنْسَانِ، وَذَكَرَ مَا
يُخْشَى مِنْهَا مِنْ سُوءِ الخَاتِمَةِ إِذَا لَمْ يُجِرِ اللَّهُ العَبْدَ مِنْ
هَذِهِ الفِتْنَةِ.
وَعَلَى هَذَا يَنْبَغِي لِلْمُتَعَوِّذِ مِنْ فِتْنَةِ المَمَاتِ أَنْ
يَسْتَحْضِرَ كِلْتَا الحَالَتَيْنِ.
"Sabda-nya:
'Dan dari fitnah kehidupan dan kematian' dihubungkan dengan 'dari azab neraka
Jahannam'.
Yang dimaksud dengan
fitnah adalah ujian bagi seseorang dalam agamanya, baik ketika hidup maupun
setelah matinya. Fitnah kehidupan sangat besar dan berat, dan sedikit sekali orang
yang selamat darinya kecuali yang dikehendaki Allah.
Fitnah ini berkisar
pada dua hal:
1. Syubhat.
2. Syahwat.
Adapun syubhat,
menimpa seseorang dalam ilmunya, sehingga kebenaran bercampur dengan kebatilan
baginya. Ia melihat kebatilan sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai
kebatilan. Jika ia melihat kebenaran sebagai kebatilan, ia menjauhinya. Dan
jika ia melihat kebatilan sebagai kebenaran, ia melakukannya.
Adapun syahwat,
menimpa seseorang dalam kehendaknya. Ia menginginkan dengan syahwatnya apa yang
diharamkan baginya. Ini adalah fitnah yang besar. Betapa banyak orang yang
melihat riba sebagai keuntungan, sehingga mereka melanggarnya! Betapa banyak
yang melihat penipuan terhadap manusia sebagai kecerdikan dan kelicikan dalam
jual beli, sehingga mereka menipu! Betapa banyak yang melihat memandang wanita
sebagai kenikmatan, kebebasan, sehingga mereka membebaskan dirinya untuk
memandang wanita! Bahkan, betapa banyak yang meminum khamr dan melihatnya
sebagai kenikmatan dan hiburan! Betapa banyak yang melihat alat musik dan
nyanyian sebagai seni yang diajarkan, bahkan diberikan sertifikat dan
penghargaan!
Adapun fitnah kematian, para ulama berbeda pendapat tentangnya dalam dua
pendapat:
Pendapat Pertama:
Fitnah kematian
adalah pertanyaan dua malaikat kepada mayit di kuburnya tentang Tuhannya,
agamanya, dan nabinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
"Telah
diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di kubur kalian seperti atau
mendekati fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Adapun orang yang
keimanannya tulus, ia akan dengan mudah menjawabnya. Jika ditanya: Siapa
Tuhanmu? Ia menjawab: Tuhanku adalah Allah.
Siapa nabimu? Ia
menjawab: Nabiku adalah Muhammad.
Apa agamamu? Ia
menjawab: Agamaku adalah Islam, dengan sangat mudah.
Namun, selain itu –
kita berlindung kepada Allah – jika ditanya, ia berkata: Hah... hah... aku
tidak tahu. Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku
mengatakannya.
Perhatikan ucapannya:
Hah... hah..., seakan-akan ia pernah tahu sesuatu, tetapi ia melupakannya.
Betapa besar penyesalan terhadap sesuatu yang pernah diketahui kemudian
dilupakan; karena orang yang bodoh tidak memperoleh apa-apa. Tetapi orang yang
lupa pernah mendapatkan sesuatu lalu kehilangannya. Akhirnya, ia berkata: Aku
tidak tahu siapa Tuhanku, apa agamaku, siapa nabiku. Ini adalah fitnah yang
besar. Saya memohon kepada Allah agar menyelamatkan saya dan kalian darinya.
Hakikatnya, semua ini
tergantung pada apa yang ada dalam hati. Jika hati benar-benar beriman, ia akan
melihat perkara-perkara gaib sejelas melihat dengan mata. Maka, ia akan
menjawab dengan mudah. Namun, jika sebaliknya, maka hasilnya juga sebaliknya."
Pendapat kedua:
Yang dimaksud dengan
"fitnah kematian" adalah apa yang terjadi saat menjelang kematian, di
akhir kehidupan. Hal ini disebutkan secara khusus, meskipun merupakan bagian
dari fitnah kehidupan, karena besarnya dan pentingnya hal tersebut. Sebagaimana
fitnah Dajjal disebutkan secara khusus, meskipun termasuk fitnah kehidupan,
karena ia mendekati masa kematian. Fitnah ini disebutkan secara spesifik karena
ia adalah fitnah yang paling berat. Sebab, ketika seseorang mendekati ajalnya
dan meninggalkan amal, ia akan berada di antara dua kemungkinan: kebahagiaan
atau kesengsaraan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya
salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga hingga
jarak antara dirinya dan surga tinggal satu hasta, lalu takdir mendahuluinya
sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia masuk ke neraka."
Maka fitnah ini
sungguh besar.
Setan pada saat itu
sangat berusaha keras untuk menyesatkan manusia. Namun, orang yang dilindungi
adalah orang yang dijaga oleh Allah. Dalam kondisi genting ini—yang tidak dapat
dipahami kecuali oleh mereka yang telah mengalaminya—setan datang untuk
menggoda. Allah berfirman:
"Sekali-kali
tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke tenggorokan, dan dikatakan, 'Siapa yang
dapat menyembuhkan?' Dan dia yakin bahwa itu adalah waktu perpisahan, dan
bertautlah betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmu pada hari itu kamu
dihalau." (QS. Al-Qiyamah: 26-30)
Kondisi ini sangat
genting: manusia dalam keadaan lemah jiwa, lemah kehendak, lemah kekuatan, dada
sempit, dan setan datang untuk menyesatkannya. Sebab, inilah waktu yang paling
menguntungkan bagi setan. Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh para ulama, setan
bisa menampilkan kepada manusia berbagai agama—Yahudi, Nasrani, dan Islam—dalam
bentuk kedua orang tuanya. Mereka menyarankan Yahudi atau Nasrani kepadanya.
Setan dapat meniru siapa saja kecuali Nabi ﷺ.
Dan inilah fitnah terbesar.
Namun, hal
ini—alhamdulillah—tidak terjadi pada setiap orang, sebagaimana yang dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Bahkan jika seseorang tidak
sampai ke tingkat ini dengan setan, tetap saja ia bisa berada dalam bahaya.
Dikisahkan bahwa Imam
Ahmad rahimahullah, ketika berada dalam sakaratul maut, terdengar mengatakan,
"Belum, belum." Ketika ia sadar, ditanyakan kepadanya mengapa berkata
demikian. Ia menjawab, "Setan menggigit jarinya seraya berkata, 'Ahmad,
aku telah mengalahkanmu.' Ia menggigit jarinya karena penyesalan dan kesedihan
karena tidak berhasil menyesatkan Imam Ahmad. Maka aku berkata kepadanya,
'Belum, belum.' Maksudnya, 'Sampai saat ini ruhku belum keluar.' Selama ruh
masih di dalam tubuh, segala sesuatu masih mungkin terjadi."
Allah berfirman:
_"Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau
beri petunjuk kepada kami."_ (QS. Ali Imran: 8). Dalam kondisi ini
terdapat fitnah yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menyebutkannya: _"Dari fitnah kehidupan dan
kematian."_
Kesimpulan:
Fitnah kematian
memiliki dua penafsiran:
- Fitnah yang terjadi saat kematian.
- Fitnah yang terjadi setelah kematian, yaitu
pertanyaan dua malaikat kepada manusia tentang Rabbnya, agamanya, dan
Nabinya.
Tidak ada halangan
untuk mengatakan bahwa ia mencakup kedua kondisi tersebut. Disebutkan fitnah
sebelum kematian dan saat kematian karena itu adalah fitnah terbesar yang akan
dihadapi manusia. Dalam hal ini, dikhawatirkan buruknya akhir kehidupan kecuali
Allah menyelamatkan hamba-Nya dari fitnah ini.
Dengan demikian, bagi
seseorang yang berlindung dari fitnah kematian, ia hendaknya mengingat kedua
kondisi ini.
[Baca: Syarh
Al-Mumti' (3/185-188)]. Wallahu a'lam.
===***===
FITNAH KUBUR DAN AZAB KUBUR
Yang ditunjukkan oleh
dzahir hadits-hadits adalah bahwa setiap orang yang meninggal akan ditanya di
kuburnya, baik dia seorang muslim maupun kafir, sebagaimana telah disebutkan
dalam fatwa nomor: 26181.
Tidak dikatakan
"fitnah azab kubur, " tetapi dikatakan "fitnah kubur dan azab
kubur."
Adapun fitnah kubur,
itu adalah pertanyaan dari dua malaikat kepadanya. Dalam Shahihain dari
Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ
وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ،
فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ
اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ،
قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الْجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا،
وَأَمَّا الْمُنَافِقُ وَالْكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا
الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي، كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ،
فَيُقَالُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ
ضَرْبَةً فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرُ الثَّقَلَيْنِ.
"Sesungguhnya
seorang hamba apabila diletakkan di kuburnya, lalu ditinggalkan oleh para
sahabatnya, dan sesungguhnya dia mendengar suara sandal mereka, maka datanglah
dua malaikat kepadanya, lalu mereka mendudukkannya dan bertanya kepadanya: 'Apa
yang dahulu engkau katakan tentang laki-laki ini (Muhammad ﷺ)?'
Maka seorang mukmin
akan berkata: 'Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.'
Maka dikatakan
kepadanya: 'Lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantinya dengan
tempat duduk di surga, ' maka dia melihat keduanya sekaligus.
Adapun orang munafik
dan kafir, dikatakan kepadanya: 'Apa yang dahulu engkau katakan tentang
laki-laki ini?'
Dia berkata: 'Aku
tidak tahu, aku dahulu mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang-orang.'
Maka dikatakan
kepadanya: 'Engkau tidak tahu dan tidak membaca.' Lalu dia dipukul dengan palu
dari besi, sehingga dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh makhluk di
sekitarnya, kecuali manusia dan jin." [HR. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(1338) dan (1374), Muslim (2870) (71) dan Ahmad dalam al-Musnad no. 1271].
Fitnah kubur tidak
ada yang selamat darinya kecuali syahid dan orang yang berjaga di perbatasan
Islam (murabith) jika dia meninggal dalam keadaan berjaga.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya:
يَا رَسُولَ اللهِ مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ
إِلَّا الشَّهِيدَ؟ قَالَ: «كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ
فِتْنَةً»
"Mengapa
orang-orang mukmin diuji di kubur mereka kecuali syahid?" Beliau menjawab:
"Cukup baginya kilatan pedang di atas kepalanya sebagai ujian." (HR.
An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra 2/474 no. 2191dan disahihkan oleh Al-Albani
dalam Ahkaam al-Jana’iz hal. 50 dan Shahih Sunan Nasa’i no. 1940).
Beliau ﷺ juga bersabda:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ
مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.
"Berjaga satu
hari dan satu malam lebih baik daripada puasa dan shalat sebulan. Jika dia
meninggal, amalnya yang biasa dia kerjakan tetap dicatat, rezekinya tetap
mengalir, dan dia aman dari fitnah kubur." (HR. Muslim).
Adapun azab kubur, ia
telah ditetapkan melalui Al-Qur’an dan sunnah bagi mereka yang berhak
menerimanya.
Dalil-Dalil tentang Azab Kubur dan Penjelasannya
Azab kubur, nikmat
kubur, dan pertanyaan dua malaikat merupakan hal-hal yang telah disepakati oleh
Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai kebenaran. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur'an dan sunnah yang shahih. Berikut ini adalah dalil-dalilnya:
Dalil dari al-Qur'an:
1. Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (45) النَّارُ
يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ
أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46)﴾
Artinya: "Dan
telah meliputi keluarga Fir’aun azab yang buruk, (yaitu) api neraka yang
ditampakkan kepada mereka pada pagi dan petang. Dan pada hari kiamat (dikatakan
kepada malaikat), 'Masukkanlah keluarga Fir’aun ke dalam azab yang lebih
berat.'” (Ghāfir: 45-46)
Ayat ini secara tegas
menetapkan adanya azab kubur sebelum hari kiamat.
2. Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ
وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ
تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ
الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ﴾
Artinya: "Dan
(alangkah mengerikannya) sekiranya engkau melihat orang-orang zalim berada
dalam sakaratul maut, sedang para malaikat mengulurkan tangan mereka (sambil
berkata), 'Keluarkan nyawamu! Pada hari ini kalian diberi balasan dengan azab
yang menghinakan karena dahulu kalian selalu mengatakan hal yang tidak benar
tentang Allah.'”
Ayat ini adalah ucapan yang ditujukan kepada mereka saat kematian, dengan
penegasan bahwa mereka akan merasakan azab yang menghinakan pada hari itu juga.
Jika azab itu ditunda hingga kiamat, maka tidak mungkin dikatakan kepada
mereka, "Hari ini kalian diberi balasan." Hal ini menunjukkan adanya
azab kubur.
3.
Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ وَلَٰكِنَّ
أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ﴾
Artinya: "Dan
sesungguhnya orang-orang zalim itu akan mendapat azab selain itu, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Ath-Thūr: 47)
Ayat ini menunjukkan
bahwa azab pertama adalah azab kubur. Hal ini tidak bisa diartikan sebagai azab
selama kehidupan dunia, karena banyak orang zalim yang tidak mendapatkan azab
selama hidupnya.
4. Firman Allah Ta'ala:
﴿سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ
عَظِيمٍ﴾
Artinya: "Kami
akan mengazab mereka dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab
yang besar."
Azab pertama dalam
ayat ini adalah azab dunia, dan azab kedua adalah azab kubur. Kemudian
disebutkan "dikembalikan kepada azab yang besar, " yaitu pada hari
kiamat. Para ulama menyatakan bahwa ayat ini secara jelas menetapkan adanya
azab kubur.
Dalil dari Sunnah:
1. Hadits dari Nabi ﷺ
yang diriwayatkan dalam Shahihain:
"إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ.
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَبْرِئُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ
فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ."
"Nabi ﷺ melewati dua kuburan, lalu bersabda: 'Sesungguhnya keduanya
sedang diazab, dan keduanya tidak diazab karena perkara besar. Adapun salah
satu dari mereka, dia tidak menjaga dirinya dari kencing, sedangkan yang
lainnya berjalan menyebarkan fitnah.'”
2.
Hadits dalam Shahih Muslim:
إِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا، فَلَوْلَا أَنْ لَا
تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي
أَسْمَعُ مِنْهُ."
"Sesungguhnya
umat ini akan diuji di kubur-kuburnya. Kalau bukan karena kekhawatiran kalian
tidak mau saling menguburkan, niscaya aku berdoa kepada Allah agar
memperdengarkan kepada kalian azab kubur yang aku dengar."
3.
Hadits dalam Shahih Muslim:
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ فَلْيَتَعَوَّذْ
بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ،
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ
الدَّجَّالِ."
"Apabila salah
seorang dari kalian selesai dari tasyahud akhir, hendaklah dia memohon
perlindungan kepada Allah dari empat hal: dari azab neraka, azab kubur, fitnah
kehidupan dan kematian, serta dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Kesimpulan:
Hadits-hadits tentang
azab kubur telah mencapai derajat mutawatir. Barang siapa yang mengingkarinya
berada dalam bahaya besar.
Ibnu Abil ‘Izz
al-Hanafi rahimahullah berkata:
"وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوتِ عَذَابِ الْقَبْرِ وَنَعِيمِهِ
لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا، وَسُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ. فَيَجِبُ اعْتِقَادُ
ذَلِكَ وَالْإِيمَانُ بِهِ، وَلَا نَتَكَلَّمُ عَنْ كَيْفِيَّتِهِ، إِذْ لَيْسَ
لِلْعَقْلِ وُقُوفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ، لِكَوْنِهِ لَا عَهْدَ لَهُ بِهِ فِي
هَذِهِ الدَّارِ، وَالشَّرْعُ لَا يَأْتِي بِمَا تُحِيلُهُ الْعُقُولُ وَلَكِنْ
قَدْ يَأْتِي بِمَا تَحَارُ فِيهِ الْعُقُولُ..."
"Telah mutawatir kabar dari Rasulullah ﷺ tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur bagi orang yang layak, serta pertanyaan dua malaikat. Wajib bagi kita untuk mempercayainya dan beriman kepadanya, tanpa membahas bagaimana caranya, karena akal manusia tidak bisa menjangkau hakikatnya. Syariat tidak mungkin bertentangan dengan akal, tetapi terkadang melampaui batas pemahaman akal manusia." [Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah 2/578. Tahqiq Syu’aib al-Arna’uth]
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG
KEMBALINYA RUH KE MAYAT DI DALAM KUBUR
Para ulama berbeda
pendapat mengenai masalah pertanyaan kedua malaikat kepada mayat di dalam kuburnya,
apakah pertanyaan mereka ditujukan kepada ruh, tubuh, atau keduanya sekaligus?.
Berikut penjelasan
mengenai pendapat mereka:
Mazhab Imam Abu
Hanifah dan Al-Ghazali -rahimahumallah- dalam masalah ini adalah berhenti
(tawaqquf), namun mereka mengakui bahwa mayat di dalam kuburnya merasakan
sebagian kehidupan. Ia akan merasakan kenikmatan jika ia orang yang bertakwa,
dan akan diazab jika ia bukan orang yang demikian. Ia merasakan kenikmatan
sebagai balasan dari amal saleh yang telah ia kerjakan.
Adapun masalah
kembalinya ruh ke tubuh saat pertanyaan malaikat dan setelahnya, menurut
mereka, hal ini tidak pasti. Ruh bisa kembali ke tubuhnya setelah masuk kubur,
atau Allah menunda hal itu sampai hari kiamat, dan hanya Allah yang Maha
Mengetahui tentang hal itu.
Sebagian besar ulama
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ruh dikembalikan ke tubuh mayat setelah
dimasukkan ke kubur, atau bahkan pada sebagian tubuh jika tubuh tersebut telah
mengalami pemotongan atau terbakar. Hal ini tidak menghalangi meskipun tubuh
mayat telah hancur berkeping-keping atau terbakar habis, karena Allah Maha
Kuasa untuk mengembalikan kehidupan ke tubuhnya, meskipun hanya sebagian kecil
dari tubuhnya. Pertanyaan kedua malaikat itu akan terjadi pada bagian tubuh
yang masih ada.
Ibnu Hubairah dan beberapa
ulama lainnya berpendapat bahwa pertanyaan kedua malaikat kepada mayat hanya
terjadi pada ruhnya saja, dan tidak terjadi pada tubuhnya. Hal ini mengharuskan
mereka untuk menolak bahwa ruh mayat kembali ke tubuhnya setelah dimakamkan dan
pada saat pertanyaan malaikat tersebut.
Ibnu Jarir At-Tabari
dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa pertanyaan kedua malaikat kepada
mayat di dalam kuburnya hanya terjadi pada tubuhnya saja, dan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala menciptakan di tubuh tersebut kemampuan untuk merasakan,
mendengar, dan mampu menjawab, serta membuatnya merasakan penderitaan jika ia
layak mendapat azab, meskipun hanya sebentar. Begitu juga, ia merasakan
kenikmatan dan menikmati jika ia termasuk orang yang bertakwa dan saleh.
[Baca: al-Mufhim Lima
Asykala Min Talkhish Kitab Muslim karya Abul ‘Abbas al-Qurthubi 2/586,
at-Tadzkirah Bi Ahwal al-Mawtaa hal. 410, asy-Syarah al-Mumti’ 3/186 dan Mawqi’
Islam Suaal wa Jawaab 1/1267 no. 60191.
*****
BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA DI KUBUR?
Kubur adalah tempat
pertama dari tahapan akhirat. Di dalamnya, manusia akan diberi kabar gembira
tentang tempatnya di surga atau tempatnya di neraka. Jika seorang hamba adalah
mukmin, ia akan merasakan kenyamanan, kelapangan, dan kebahagiaan di kuburnya.
Namun, jika ia seorang kafir, pelaku dosa besar, atau fasik, ia akan menerima
akibat dari jauhnya dirinya dari Allah di kuburnya, serta akibat dari
pendustaan terhadap apa yang Allah utus melalui para nabi.
Jika seorang muslim
yang memasuki kubur memiliki dosa-dosa kecil, maka ia akan mendapatkan
perlakuan yang berbeda.
Kehidupan kedua bagi
orang mati dimulai setelah ia masuk ke kubur.
Pada hakikatnya,
kehidupan tidak berakhir dengan kematian seseorang. Ia hanya berpindah dari
kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat melalui jalan kematian, dan kubur
menjadi jalan penghubung antara dunia dan akhirat. Ketika perintah Allah datang
dan kiamat tiba, maka para penghuni kubur akan berpindah ke tahap selanjutnya,
yaitu tahap pengadilan dan hisab, serta pembagian pahala dan tempat, baik di
surga maupun di neraka.
====****===
KEHIDUPAN ORANG MATI DI ALAM BARZAKH
Kehidupan barzakh
adalah kehidupan yang dialami manusia setelah kematiannya hingga hari
kebangkitan. Baik seseorang dimakamkan, tidak dimakamkan, dibakar, atau dimakan
binatang buas, semuanya tetap mengalami kehidupan barzakh ini. Hal ini
didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ
yang menyebutkan bahwa setelah seseorang dimakamkan, ia dapat mendengar suara
sandal keluarganya yang pulang dari kuburnya.
Kehidupan ini bisa
menjadi nikmat atau azab. Kubur seseorang bisa menjadi taman dari taman-taman
surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. Dalil tentang nikmat dan azab ini
terdapat dalam firman Allah mengenai kaum Fir’aun:
﴿ النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ
تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ﴾
"Api neraka
diperlihatkan kepada mereka pagi dan petang, dan pada hari Kiamat (dikatakan
kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang paling
keras." (QS. Ghafir: 46).
Ibnu Mas’ud berkata:
إِنَّ أَرْوَاحَ آلِ فِرْعَوْنَ وَمَنْ كَانَ مِثْلَهُمْ مِنَ الْكُفَّارِ
تُحْشَرُ عَنِ النَّارِ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ فَيُقَالُ هَذِهِ دَارُكُمْ
bahwa ruh kaum
Fir’aun dan orang-orang kafir seperti mereka dikumpulkan di dekat api neraka
pada pagi dan petang hari, lalu dikatakan kepada mereka: "Inilah tempat
tinggal kalian."
Ibnu Katsir
menyatakan:
وَهَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ كَبِيرٌ فِي اسْتِدْلَالِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَلَى
عَذَابِ الْبَرْزَخِ فِي الْقُبُورِ، وَهِيَ قَوْلُهُ: {النَّارُ يُعْرَضُونَ
عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا}
“Bahwa ayat berikut
merupakan dalil utama bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan adanya azab di alam
barzakh, yaitu firman Allah:
"Api
neraka diperlihatkan kepada mereka pada pagi dan petang hari, dan pada hari
kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah kaum Fir’aun ke dalam azab yang
paling keras.” (QS. Ghafir: 46). [Tafsir Ibnu Katsir 7/146].
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa ayat ini digunakan oleh para ulama sebagai landasan adanya
siksa kubur.
Al-Qurthubi juga
menjelaskan dalam tafsirnya:
وَاحْتَجَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي إِثْبَاتِ عَذَابِ الْقَبْرِ
بِقَوْلِهِ: (النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا) كَذَٰلِكَ
قَالَ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ وَمُقَاتِلٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ كُلُّهُمْ
قَالُوا: هَٰذِهِ الْآيَةُ تَدُلُّ عَلَىٰ عَذَابِ الْقَبْرِ، أَلَا تَرَاهُ
يَقُولُ عَنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ: (وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ
فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ)
bahwa sebagian ulama
menggunakan ayat ini untuk menetapkan adanya azab kubur. Beliau mengutip
pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, Maqatil, dan Muhammad bin Ka’ab, yang menyatakan
bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya azab kubur. Buktinya, Allah membedakan
antara azab di kubur dengan azab di akhirat, sebagaimana firman-Nya:
"Dan
pada hari kiamat (dikatakan): Masukkanlah kaum Fir’aun ke dalam azab yang
paling keras.” (QS. Ghafir: 46). (Tafsir Al-Qurthubi 15/319).
Dalil dari Hadits
Ke 1. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَإِنَّهُ يُعْرَضُ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ)
"Apabila salah
seorang dari kalian meninggal dunia, maka akan diperlihatkan kepadanya tempat
tinggalnya pada pagi dan petang hari. Jika ia termasuk penghuni surga, maka
diperlihatkan tempatnya di surga. Jika ia termasuk penghuni neraka, maka
diperlihatkan tempatnya di neraka." (HR. Bukhari no. 3001 dan Muslim no.
2866).
Ke 2. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata:
أَنَّ يَهُودِيَّةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ
فَقَالَتْ لَهَا: أَعَاذَكِ اللَّهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ. فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
فَقَالَ: نَعَمْ عَذَابُ الْقَبْرِ. قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا:
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى
صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ)
"Seorang wanita
Yahudi datang menemuiku dan menyebutkan tentang azab kubur, lalu ia berkata,
'Semoga Allah melindungimu dari azab kubur.' Maka aku bertanya kepada
Rasulullah ﷺ tentang azab kubur, dan beliau menjawab, 'Ya, ada azab kubur.'
Sejak itu, aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ
salat kecuali beliau memohon perlindungan dari azab kubur." (HR. Bukhari
no. 1283 dan Muslim no. 903).
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah menjelaskan:
أَمَّا إِنْ كَانَ الْإِنسَانُ كَافِرًا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ فَإِنَّهُ
لَا طَرِيقَ إِلَىٰ وُصُولِ النَّعِيمِ إِلَيْهِ أَبَدًا، وَيَكُونُ عَذَابُهُ
مُسْتَمِرًّا، وَأَمَّا إِنْ كَانَ عَاصِيًا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَإِنَّهُ إِذَا
عُذِّبَ فِي قَبْرِهِ يُعَذَّبُ بِقَدَرِ ذُنُوبِهِ، وَرُبَّمَا يَكُونُ عَذَابُ
ذُنُوبِهِ أَقَلَّ مِنَ الْبَرْزَخِ الَّذِي بَيْنَ مَوْتِهِ وَقِيَامِ
السَّاعَةِ، وَحِينَئِذٍ يَكُونُ مُنْقَطِعًا.
- Jika seseorang
adalah seorang kafir, maka tidak ada jalan baginya untuk meraih kenikmatan.
Azabnya akan terus berlanjut tanpa henti.
-
Jika ia seorang mukmin yang berdosa, ia mungkin akan diazab di kubur sesuai
kadar dosanya. Bisa jadi azab tersebut lebih ringan dibandingkan masa antara
kematiannya dan hari kiamat, sehingga azabnya akan terputus. (Asy-Syarh Al-Mumti’
3/253).
Kesimpulannya:
Dalil dari Al-Qur'an
dan hadis shahih menunjukkan adanya azab kubur yang terus-menerus bagi sebagian
orang, tergantung amal perbuatannya di dunia.
Terdapat banyak dalil
dari Al-Qur'an yang menjelaskan apa yang dialami seseorang setelah memasuki
kubur, mulai dari pertanyaan, hisab, hingga nikmat atau azab. Jika semasa
hidupnya ia dekat dengan Allah, kehidupannya di alam kubur akan berjalan lancar
dan ringan. Namun, jika ia lalai, durhaka, dan mengikuti hawa nafsunya, ia akan
menghadapi kesulitan, azab, dan pertanyaan yang berat dari malaikat.
Berikut ini adalah
penjelasan beberapa dalil mengenai hal tersebut:
Ke 1. Orang yang
beriman akan memasuki kuburnya dengan rasa aman dan tenang. Saat ditanya oleh
malaikat, ia akan menjawab dengan mantap dan tenang karena keimanan, ketakwaan,
dan amal saleh yang telah dipersiapkan semasa hidup. Allah berfirman:
﴿ يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ
فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّٰلِمِينَۚ
وَيَفۡعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ ﴾
"Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim,
dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Ibrahim: 27).
Ke 2. Malaikat akan
datang untuk menanyai si mati setelah keluarganya pergi meninggalkan pemakaman.
Dua malaikat yang
diutus Allah akan mendudukkan si mati di kuburnya dan bertanya tentang
Tuhannya, Nabinya, dan agamanya. Jika ia beriman, ia akan menjawab dengan
mantap: "Tuhanku adalah Allah, Nabiku adalah Muhammad, dan agamaku adalah
Islam." Setelah itu, ia akan diperlihatkan tempatnya di surga sebagai
balasan atas keimanan dan amal salehnya.
Ke 3. Bagi orang
kafir, pertanyaan tersebut akan menjadi azab tersendiri. Setiap kali ditanya,
ia hanya bisa menjawab: "Ah, ah, aku tidak tahu." Setelah itu, ia
akan diperlihatkan tempatnya di neraka sebagai balasan atas pengingkaran dan
kedurhakaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
===***===
APAKAH AZAB KUBUR BERLANJUT HINGGA KIAMAT?
Hal ini dibuktikan
dengan hadis yang terdapat dalam dua kitab sahih dari hadits Anas bin Malik
radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
" إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى
عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ
فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ
لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ:
أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ
مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ،
فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا - قَالَ قَتَادَةُ: وَذُكِرَ لَنَا: أَنَّهُ يُفْسَحُ لَهُ
فِي قَبْرِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى حَدِيثِ أَنَسٍ - قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ
وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ:
لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا
تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً
يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ "
"Sesungguhnya
seorang hamba, ketika ia diletakkan di dalam kuburnya dan sahabat-sahabatnya
telah pergi meninggalkannya, ia akan mendengar suara langkah kaki mereka.
Kemudian datanglah dua malaikat yang akan dudukkannya dan bertanya, 'Apa yang kamu
katakan tentang pria ini, yaitu Muhammad ﷺ?'
Adapun orang yang beriman, ia akan menjawab, 'Aku bersaksi bahwa ia adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya.' Maka dikatakan kepadanya, 'Lihatlah tempatmu dari
neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat dari surga.' Maka ia akan
melihat keduanya. Qatadah menyebutkan bahwa kuburnya akan dilapangkan. Kemudian
ia kembali pada hadits Anas dan melanjutkan, 'Adapun orang munafik dan kafir,
maka mereka akan ditanya, 'Apa yang kamu katakan tentang pria ini?' Mereka akan
menjawab, 'Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang dikatakan
orang-orang.' Maka dikatakan, 'Kamu tidak tahu dan kamu tidak membaca.'
Kemudian ia dipukul dengan palu-palu dari besi satu pukulan, dan ia akan
berteriak dengan suara yang sangat keras, yang didengar oleh yang ada di
sekitarnya selain dari makhluk-makhluk jin dan manusia." [HR. Bukhori no.
1374 dan Muslim no. 2870]
Setelah kedua
malaikat meninggalkan mayat setelah bertanya dan ia melihat tempatnya di surga
atau neraka, kehidupan kubur dimulai. Jika orang tersebut beriman, maka
kuburnya akan dilapangkan dan ia akan melihat kenikmatan dan kebahagiaan yang
membuatnya berharap agar kiamat segera datang untuk memasuki kenikmatan yang
lebih besar di surga. Adapun orang kafir dan fasik, setelah kedua malaikat
menanyakan dan menunjukkan tempatnya di neraka, ia akan berharap kiamat tidak
datang agar ia tidak masuk neraka. Kuburnya akan sempit dan ia merasakan azab
yang datang dari segala arah, salah satu azab yang paling berat adalah ia
melihat tempatnya di neraka pada pagi dan sore hari.
Allah Ta'ala
berfirman:
﴿النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ ﴾
“Kepada mereka
dinampakkan neraka pada pagi dan petang ". [QS. Ghafir: 46]
===***===
APAKAH MAYIT DI ALAM BARZAKH MERASAKAN KUNJUNGAN KELUARGANYA?
DR. Muhammad Syalabi,
Sekretaris Lajnah Fatwa di Darul Ifta', menjelaskan bahwa orang yang telah
meninggal merasakan siapa yang mengunjunginya. Beliau menyebutkan hadis dari
Buraidah radhiyallahu 'anhu yang berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ، فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ،
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ
الْعَافِيَةَ»
"Rasulullah ﷺ mengajarkan mereka apabila keluar menuju kuburan, salah seorang
dari mereka mengucapkan: 'Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni negeri
dari kalangan orang-orang beriman dan muslimin. Kami insyaAllah akan menyusul
kalian. Aku memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk
kalian.'" Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
DR. Syalabi juga
mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي
الدُّنْيَا، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ»
"Tidaklah
seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang ia kenal di dunia, lalu ia
memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut mengenalnya dan membalas
salamnya."
Beliau juga
menambahkan bahwa diriwayatkan secara sahih dari Nabi ﷺ:
إِنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلَى بَدْرٍ، فَأُلْقُوا فِي قَلِيبٍ، ثُمَّ جَاءَ
حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ وَنَادَاهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ: «يَا فُلَانُ بْنَ
فُلَانٍ، وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ، هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ
حَقًّا؟ فَإِنِّي وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا»، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُخَاطِبُ مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ
جِيفُوا؟ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي
بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ،
وَلَكِنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ جَوَابًا».
“Bahwa setelah perang
Badar, beliau memerintahkan agar para korban perang dari kaum musyrik
dilemparkan ke dalam sumur. Kemudian beliau datang hingga berdiri di hadapan
mereka dan memanggil mereka dengan nama mereka: "Wahai fulan bin fulan,
wahai fulan bin fulan, apakah kalian telah menemukan janji Rabb kalian benar?
Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Rabbku kepadaku benar."
Umar radhiyallahu 'anhu lalu berkata: "Wahai Rasulullah ﷺ, apakah Anda berbicara dengan orang-orang yang telah menjadi
bangkai?" Nabi ﷺ menjawab: "Demi Zat yang
mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka
terhadap apa yang aku katakan, tetapi mereka tidak dapat menjawab."
Hadis ini
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dengan redaksi yang
berbeda-beda.
TAKHRIJ HADITS ABU HURAIRAH radhiyallahu ‘anhu diatas:
Yaitu Dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي
الدُّنْيَا، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ»
"Tidaklah
seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang ia kenal di dunia, lalu ia
memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut mengenalnya dan membalas
salamnya."
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abul Qasim Tamam al-Bajaly dalam Fawaid 1/63 no. 139,
Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, Al-Khatib dalam At-Tarikh (6/137) - dan
melalui jalurnya oleh Ibnu Al-Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (1523)- serta
oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (3/q 210/a) melalui jalur Ar-Rabi’. Ibnu
Asakir juga meriwayatkannya melalui jalur lain dari Abdurrahman.
Hadits ini dinilai
Dhoif oleh al-Albaani (Lihat: Tahdzib Iqtidhoo ash-Shirothil Mustaqiim oleh
Syahanah Muhammad Saqr hal. 184].
Al-Mundziri berkata:
(قُلْتُ: عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ضَعِيفٌ)
(Aku berkata:
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi yang lemah) [Lihat: Ar-Raudh
Al-Bassam 2/122 nomor 515 oleh Abu Sulaiman Ad-Dausari].
Ibnu Al-Jauzi
berkata:
"لَا يَصِحُّ. وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى تَضْعِيفِ عَبْدِ
الرَّحْمٰنِ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: كَانَ يُقَلِّبُ الْأَخْبَارَ
وَهُوَ لَا يَعْلَمُ حَتَّى كَثُرَ ذٰلِكَ فِي رِوَايَتِهِ مِنْ رَفْعِ
الْمَرَاسِيلِ وَإِسْنَادِ الْمَوْقُوفِ فَاسْتَحَقَّ التَّرْكَ".
"Hadits ini
tidak sahih. Telah menjadi ijma' bahwa Abdurrahman bin Zaid adalah perawi
lemah." Ibnu Hibban berkata: "Ia sering membolak-balikkan riwayat
tanpa mengetahui sehingga banyak riwayatnya yang keliru, seperti meriwayatkan
mursal sebagai bersanad lengkap dan meriwayatkan yang mauquf sebagai marfu’,
sehingga ia layak ditinggalkan."
Ibnu Rajab dalam
Ahwal Al-Qubur (halaman 83) berkata:
"عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ زَيْدٍ فِيهِ ضَعْفٌ، وَقَدْ
خُولِفَ فِي إِسْنَادِهِ". أَهـ.
"Abdurrahman bin
Zaid adalah perawi yang lemah, dan sanadnya ada perbedaan." Selesai.
Pernyataan ini
merujuk pada riwayat Hisyam bin Sa’ad, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya
dalam Kitab Al-Qubur -sebagaimana disebutkan dalam Ar-Ruh karya Ibnu Qayyim
halaman 5 dan Al-Ahwal halaman 83- dari gurunya Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari
dari Ma’n bin Isa Al-Qazzaz dari Hisyam dari Zaid bin Aslam dari Abu Hurairah
secara mauquf.
Adapun Hisyam
dinyatakan lemah oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, dan An-Nasa’i. Sedangkan Al-‘Ijli
berkata: "Ia hasan dalam haditsnya." Abu Zur’ah dan As-Saji
menyebutnya sebagai perawi yang shaduq.
Gurunya Ibnu Abi
Dunya: Ibnu Ma’in berkata: "Ia tidak ada apa-apanya." Abu Dawud juga
melemahkannya.
Hadits ini juga
dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (1/234) dan At-Tamhid
-sebagaimana disebutkan dalam takhrij Ihya’ oleh Al-‘Iraqi (4/491)- dari jalur
Fatimah binti Ar-Riyan dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Bisyr bin Bakr -dalam
Al-Istidzkar tertulis Bakir, ini adalah kesalahan tulis- dari Al-Auza’i dari
‘Atha’ dari Ubaid bin Umair dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Sementara Abdul Haq
Al-Isybili dalam Al-Ahkam Al-Kubra (versi Turki, q 91/a) berkata:
"Sanadnya sahih." Selesai.
Ibnu Rajab dalam
Al-Ahwal (halaman 82) berkata:
"يُشِيرُ إِلَى أَنَّ رُوَاتَهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ، وَهُوَ
كَذٰلِكَ إِلَّا أَنَّهُ غَرِيبٌ، بَلْ مُنْكَرٌ". أَهـ.
"Ia
meng-isyarat-kan bahwa semua perawinya terpercaya, dan memang demikian, akan
tetapi hadits ini gharib (aneh dan asing), bahkan mungkar." Selesai.
Abu Sulaiman
ad-Dawsiri berkata: “Saya tidak menemukan biografi Fatimah”. [Baca: ar-Raudh
al-Basaam 2/123].
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Kitab Al-Qubur -sebagaimana dalam Ar-Ruh
halaman 5- dari hadits Aisyah secara marfu’.
Ibnu Rajab dalam
Al-Ahwal halaman 83 men-dho’if-kannya dengan menyebutkan Abdullah bin Sim’an,
ia berkata: "Ia adalah perawi yang ditinggalkan." Selesai.
Az-Zabidi dalam Syarh
Ihya’ (10/365) menyebutkan bahwa kemungkinan perawi tersebut adalah Abdullah
bin Muhammad bin Sim’an yang terpercaya atau Abdullah bin Ziyad bin Sulaiman
yang ditinggalkan. Ia berkata:
"وَهٰذَا هُوَ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ رَأْيُ
السُّيُوطِيِّ فِي (أَمَالِي الدُّرَّةِ) وَلَمْ يَذْكُرِ الَّذِي قَبْلَهُ".
أَهـ.
"Pendapat ini
adalah yang telah menjadi ketetapan pendapat As-Suyuthi dalam (Amali
Ad-Durrah), dan ia tidak menyebut pendapat yang pertama." Selesai.
[Disebutkan
oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami' Ash-Shaghir, dan ia berkata: Al-Khatib dalam
At-Tarikh dan Ibnu Asakir dari Abu Hurairah (2/518), hadits nomor 7062, dengan
lafaz: "Tidak ada seorang hamba pun..." (hingga akhir hadits).
Al-Munawi dalam Faidh
Al-Qadir berkata: "Ibnu Al-Jauzi menyatakan bahwa hadits ini tidak
sahih."
Kemudian ia
melanjutkan: "Dan Al-Hafizh Al-'Iraqi memberikan faidah bahwa Ibnu Abdil
Barr telah meriwayatkannya dalam At-Tamhid dan Al-Istidzkar dengan sanad yang
sahih dari hadits Ibnu Abbas.
Di antara yang
mensahihkannya adalah Abdul Haq." (Faidh Al-Qadir, 5/487). Hadits ini juga
dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (1/234)].
Untuk takhrij hadits
Ibnu Abbas, akan saya sebutkan dalam pembahasan berikut ini.
*****
APAKAH MAYIT MENGENALI ORANG HIDUP YANG MENZIARAHI KUBURNYA?
Ruh diberikan oleh
Allah kepada tubuh selama hidup di dunia, sehingga tubuh memiliki rasa, gerak,
pengetahuan, pemahaman, kenikmatan, dan penderitaan, yang membuatnya disebut
sebagai makhluk hidup. Ketika ruh meninggalkan tubuh sesuai waktu yang telah
ditentukan, hubungan tersebut terputus. Tubuh kehilangan efek-efek tersebut,
menjadi tidak bernyawa, dan disebut sebagai mayit, sedangkan ruh tetap berada
di alam barzakh.
Alam barzakh adalah
fase antara kehidupan dunia dan akhirat, dari kematian hingga hari kebangkitan.
Ruh tetap hidup dengan kesadaran, dapat mendengar, melihat, memuji Allah sesuai
kehendak dan takdir-Nya, serta terhubung dengan ruh lainnya, baik ruh orang
hidup maupun ruh orang mati. Ruh dapat merasakan kenikmatan, siksa,
kebahagiaan, atau penderitaan sesuai keadaannya, dan dapat kembali mendatangi kubur.
Lalu apakah orang yang sudah meninggal dapat mengenali siapa yang
mengunjunginya dari orang hidup, yang dia telah mengenalnya semasa hidupnya di
dunia?.
Terkait dengan
penglihatan orang yang sudah meninggal terhadap keluarga mereka dan apa yang
mereka lakukan: kami tidak mengetahui adanya dalil yang menetapkannya secara
pasti dan qoth’i. Sebab, orang yang telah meninggal telah berpindah ke alam
barzakh. Dunia barzakh ini tidak diketahui oleh penghuni dunia kecuali melalui
wahyu atau apa yang telah diberitakan oleh Nabi ﷺ.
Dunia barzakh adalah
alam gaib yang tidak dapat diketahui secara rinci kecuali melalui wahyu yang
shahih, yaitu Al-Qur'an dan hadits yang sahih. Dalam kedua sumber ini kita
merujuk kepada keduanya tentang apa yang dialami oleh seseorang setelah
kematiannya.
Ada sebuah riwayat
yang menyatakan bahwa orang yang telah meninggal mengetahui siapa yang
mengunjunginya jika ia mengenalnya semasa hidup dan dia akan merasa senang
ketika dikunjungi oleh orang-orang yang dicintainya.
Ia juga bisa mengetahui
kabar keluarganya melalui pertanyaan kepada orang yang baru meninggal dan
bergabung dengannya. Ia mungkin bertanya, "Apa yang dilakukan oleh si
fulan dan si fulanah?" atau hal serupa.
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ مَرَّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي
الدُّنْيَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ۔
"Tidaklah
seseorang melewati kubur saudaranya yang beriman, yang ia kenal di dunia, lalu
mengucapkan salam kepadanya, kecuali ia (si mayit) akan mengenalinya dan
membalas salamnya."
[[TAKHRIJ
HADITS IBNU ‘ABBAS radhiyallahu ‘anhu di-atas:
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar (1/185), di mana ia
berkata:
"Abu Abdillah
Ubaid bin Muhammad menyampaikan kepada kami, dan aku membacanya di hadapannya
pada tahun 390 Hijriah bulan Rabiul Awwal. Fathimah binti ar-Riyan al-Mustamli
menyampaikan kepada kami di rumahnya di Mesir pada bulan Syawal tahun 342
Hijriah. Ia berkata: 'Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzin, murid Imam Syafi’i,
meriwayatkan kepada kami, ia berkata: 'Basyar bin Bukair meriwayatkan kepada
kami dari al-Auza’i, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair, dari Ibnu Abbas.'"
Sanad hadits ini
berkemungkinan besar shahih, para perawinya terpercaya dan dikenal. Namun,
syeikh-nya Ibnu Abdil Barr, dan begitu pula Fathimah binti ar-Royan, tidak
ditemukan biografinya. Meskipun demikian, kepercayaan terhadapnya dapat
diketahui dari penshahihan Ibnu Abdil Barr terhadap hadits ini, sebab tidak
mungkin beliau menshahihkan suatu hadits tanpa mengetahui keabsahan orang yang
meriwayatkannya. Para ulama hadits juga sering kali mempercayai para perawi
berdasarkan penshahihan sanad yang melibatkan mereka.
Ibnu Taimiyah juga
mengutip pernyataan Abdullah bin al-Mubarak yang menyatakan kebenaran hadits
ini dengan mengatakan:
"قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: ثَبَتَ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" انْتَهَى
"Ibnu al-Mubarak
berkata: Hadits ini telah valid dari Nabi ﷺ."
(lihat Majmu' al-Fatawa 24/331).
Hadits ini juga
disahihkan oleh para ulama belakangan seperti al-Hafizh Abdul Haq al-Isybili,
al-Qurthubi dalam al-Mufhim (1/500), Ibn Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa
(24/173), al-Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin (4/491), az-Zabidi dalam Syarh
Ihya (10/365), as-Suyuthi dalam al-Hawi (2/302), al-Azhim Abadi dalam Aun
al-Ma’bud (3/261), asy-Syaukani dalam Nail al-Awthar (3/304), dan lainnya.
Selain itu, hadits
ini memiliki dua syahid (penguat) dari Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu
'anhuma. Namun, sanad keduanya memiliki kelemahan sehingga tidak cukup kuat
untuk dipertimbangkan. (lihat Silsilah ad-Dha'ifah karya Syaikh al-Albani, no.
4493).
Hadits ini juga
diperkuat oleh banyak atsar yang diriwayatkan dari para salaf. Ibnu Qayyim
rahimahullah berkata:
"وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتِ
الْآثَارُ عَنْهُمْ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ
وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ" انْتَهَى۔
"Para salaf
sepakat tentang hal ini, dan telah mutawatir atsar dari mereka bahwa orang yang
meninggal mengetahui kunjungan orang hidup kepadanya dan merasa gembira
karenanya." (lihat ar-Ruh, hlm. 5).
Hal serupa juga
dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Azhim (6/325).
Dan telah menghimpun
riwayat-riwayat ini al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab al-Qubur, di bawah
bab "Ma'rifatu al-Mauta bi Ziyaratil Ahya". Al-Qurthubi juga
menyebutkannya dalam at-Tadzkirah. Sebagaimana as-Suyuthi mengumpulkannya dalam
Syarh as-Shudur fi Ahwali al-Mawtaa wa Ziyarat al-Qubur.
Adapun para ulama
belakangan, mayoritas dari mereka menguatkan keterangan ini dalam kitab-kitab
atsar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"الرُّوحُ تُشْرِفُ عَلَى الْقَبْرِ، وَتُعَادُ إِلَى
اللَّحْدِ أَحْيَانًا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ الرَّجُلِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا
فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ حَتَّى يَرُدَّ
عَلَيْهِ السَّلَامَ، وَالْمَيِّتُ قَدْ يَعْرِفُ مَنْ يَزُورُهُ، وَلِهَذَا
كَانَتِ السُّنَّةُ أَنْ يُقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ دَارِ قَوْمٍ
مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِينَ" انْتَهَى۔
"Ruh dapat
mengawasi kubur dan terkadang dikembalikan ke liang lahad, sebagaimana sabda
Nabi ﷺ: ‘Tidaklah seseorang melewati kubur orang yang dikenalnya di
dunia, lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruhnya
sehingga ia membalas salam itu.’
Orang yang telah
meninggal dapat mengenali orang yang mengunjunginya. Oleh karena itu,
disyariatkan untuk mengucapkan, ‘Assalamu’alaikum ahladdiyar min al-mu'minin,
wa inna in sya' Allah bikum lahiqun, wa yarhamullahu al-mustaqdimina minna wa
minkum wal-musta’khirin.’" (selesai, Majmu' al-Fatawa, 24/303-304).
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata:
رَوَى أَصْحَابُ السُّنَنِ بِسَنَدٍ صَحَّحَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ
وَأَقَرَّهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي كِتَابِ الرُّوحِ، أَنَّهُ: مَا مِنْ رَجُلٍ
يُسَلِّمُ عَلَى مُسْلِمٍ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا إِلَّا رَدَّ اللَّهُ
عَلَيْهِ رُوحَهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ فِي أَيِّ وَقْتٍ" انْتَهَى
Para penyusun kitab
Sunan meriwayatkan dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Abdil Barr dan diakui
oleh Ibnu Qayyim dalam kitab ar-Ruh, bahwa Nabi ﷺ
bersabda: ‘Tidaklah seseorang memberi salam kepada seorang Muslim yang
dikenalnya di dunia, kecuali Allah mengembalikan ruhnya sehingga ia membalas
salam tersebut, kapan pun waktunya.’"
(Selesai,
Liqa' al-Bab al-Maftuh, pertemuan no. 9, pertanyaan no. 37).(TAKHRIJ
SELESAI)]]
Pembahasan di lanjut:
Jika benar hadits itu
shahih, maka dengan demikian mayit merasakan kunjungan keluarganya saat berada
di kubur. Mayit merasa terhibur, bahagia, dan membalas salam orang yang
mengunjunginya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ. Maka dianjurkan bagi seorang Muslim untuk mengunjungi kuburan
dan memberi salam kepada penghuninya. Dan mayit akan mengenali orang yang
memberi salam kepadanya dan membalas salam tersebut.
Selain itu, ruh orang
yang telah meninggal saling bertemu di alam barzakh, yaitu alam antara dunia
dan hari kiamat.
Al-Imam asy-Syawkani berkata:
وَقَدْ صَحَّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا: «مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ
عَلَى قَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِن وَفِي رِوَايَة: بِقَبْرِ الرَّجُلِ كَانَ
يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ»
وَلِابْنِ أَبِي الدُّنْيَا «إذَا مَرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرٍ يَعْرِفُهُ
فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ رَدَّ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - وَعَرَفَهُ، وَإِذَا مَرَّ
بِقَبْرٍ لَا يَعْرِفُهُ رَدَّ - عَلَيْهِ السَّلَامُ -» وَصَحَّ «أَنَّهُ كَانَ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَخْرُجُ إلَى الْبَقِيعِ لِزِيَارَةِ
الْمَوْتَى وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ»
وَوَرَدَ النَّصّ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي حَقّ الشُّهَدَاءِ أَنَّهُمْ
أَحْيَاء يُرْزَقُونَ وَأَنَّ الْحَيَاة فِيهِمْ مُتَعَلِّقَة بِالْجَسَدِ فَكَيْف
بِالْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ. وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ «أَنَّ
الْأَنْبِيَاءَ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ» رَوَاهُ الْمُنْذِرِيُّ وَصَحَّحَهُ
الْبَيْهَقِيُّ.
وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي بِمُوسَى عِنْدَ الْكَثِيبِ
الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ»
Telah sahih dari Ibnu
Abbas secara marfu’: "Tidaklah seseorang melewati kubur saudaranya yang
mukmin", dan dalam riwayat lain: "di kubur seseorang yang ia kenal di
dunia, lalu memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut akan mengenalnya
dan membalas salamnya."
Dalam riwayat Ibnu
Abi Dunya disebutkan: "Apabila seseorang melewati sebuah kubur yang ia
kenal, lalu memberi salam kepadanya, maka orang tersebut akan membalas salamnya
dan mengenalnya. Dan jika melewati kubur yang tidak ia kenal, tetap akan
membalas salamnya."
Telah sahih pula
bahwa Rasulullah ﷺ keluar menuju Baqi’ untuk
mengunjungi orang-orang yang telah meninggal dan memberikan salam kepada
mereka.
Dalam Al-Qur'an
terdapat penegasan bahwa para syuhada hidup dan diberi rezeki, dan kehidupan
mereka berkaitan dengan jasad mereka. Maka bagaimana dengan para nabi dan
rasul?
Telah disebutkan
dalam hadis bahwa "Para nabi hidup di kubur mereka"; hadis ini
diriwayatkan oleh Al-Mundziri dan disahihkan oleh Al-Baihaqi.
Dalam Shahih Muslim
disebutkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: "Aku
melewati Musa pada malam Isra di dekat bukit pasir merah, dia sedang berdiri
melaksanakan salat di kuburnya."
[Lihat: Neil
al-Awthaar 3/295. Lihat pula: ‘Awnul Ma’buud 3/261]
Adapun penentuan
khusus bahwa ziarah orang hidup pada hari Jumat yang bisa dikenali oleh mayit,
hal ini tidak memiliki dalil yang shahih.
Disebutkan dalam Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj (3/36):
"قَوْلُهُ: (فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ) أَيْ فِي جَمِيعِ أَيَّامِ
الْأُسْبُوعِ، وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِالْأَوْقَاتِ الَّتِي اعْتِيدَتِ
الزِّيَارَةُ فِيهَا.
وَقَوْلُهُ: (إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ): فِيهِ
إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى الْمُسَلِّمِ حَقَّهُ وَلَوْ بَعْدَ
الْمَوْتِ، وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِيهِ قُوَّةً بِحَيْثُ يَعْلَمُ
الْمُسَلِّمَ عَلَيْهِ وَيَرُدُّ عَلَيْهِ، وَمَعَ ذَلِكَ لَا ثَوَابَ فِيهِ
لِلْمَيِّتِ عَلَى الرَّدِّ؛ لِأَنَّ تَكْلِيفَهُ انْقَطَعَ بِالْمَوْتِ"
انْتَهَى۔
"Adapun
sabda-nya, ‘Maka ia memberi salam kepadanya, ’ maksudnya adalah pada seluruh
hari dalam sepekan, dan hal ini tidak terbatas pada waktu-waktu yang biasanya
dilakukan kunjungan.
Dan sabda-nya,
‘Kecuali ia mengenalinya dan membalas salamnya, ’ menunjukkan bahwa ia memenuhi
hak orang yang memberi salam, meskipun setelah kematian. Allah memberinya
kekuatan sehingga ia mengetahui orang yang memberi salam dan membalasnya.
Meskipun demikian, tidak ada pahala bagi mayit atas balasan salam tersebut,
karena taklif (kewajiban) telah terputus dengan kematian." (selesai).
Dalam Al-Fatawa Al-Kubra 3/42 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
disebutkan:
وَأَمَّا عِلْمُ الْمَيِّتِ بِالْحَيِّ إِذَا زَارَهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ..
فَفِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ
يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ، وَرَدَّ
عَلَيْهِ السَّلَامَ. قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: ثَبَتَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ صَاحِبُ
الْأَحْكَامِ. اِنْتَهَى.
"Adapun
pengetahuan orang yang telah meninggal tentang orang yang hidup jika mereka
mengunjunginya dan mengucapkan salam kepadanya... dalam hadis Ibnu Abbas
disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang
melewati kubur saudaranya sesama mukmin yang ia kenal di dunia lalu mengucapkan
salam kepadanya, kecuali ia akan mengenalnya dan menjawab salam tersebut.”
Ibnul Mubarak mengatakan, 'Hal ini telah tsabit dari Nabi ﷺ, ' dan hadis ini dinilai sahih oleh Abdul Haq, penulis kitab
Al-Ahkam.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa 24/331]
Masalah ini juga dibahas secara panjang lebar oleh Al-Allamah Ibnul
Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh.
Berikut ringkasan
dari poin-poin penting yang beliau sampaikan (hal. 5-9):
هَلْ تَعْرِفُ الْأَمْوَاتُ زِيَارَةَ الْأَحْيَاءِ وَسَلَامَهُمْ أَمْ
لَا؟ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُرُّ عَلَى قَبْرِ أَخِيهِ
كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ
عَلَيْهِ رُوحَهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ".
وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْهُ مِنْ وُجُوهٍ مُتَعَدِّدَةٍ أَنَّهُ أَمَرَ
بِقَتْلَى بَدْرٍ، فَأُلْقُوا فِي قَلِيبٍ، ثُمَّ جَاءَ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ
وَنَادَاهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ: "يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ، وَيَا فُلَانَ
بْنَ فُلَانٍ هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَكُمْ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّي وَجَدْتُ
مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا" فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
تُخَاطِبُ مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ جِيفُوا! فَقَالَ: "وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ
مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ لَا
يَسْتَطِيعُونَ جَوَابًا".
وَثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الْمَيِّتَ
يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِ الْمُشَيِّعِينَ لَهُ إِذَا انْصَرَفُوا عَنْهُ.
وَقَدْ شَرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ
إِذَا سَلَّمُوا عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ أَنْ يُسَلِّمُوا عَلَيْهِمْ سَلَامَ
مَنْ يُخَاطِبُونَهُ، فَيَقُولُونَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ
مُؤْمِنِينَ، وَهَذَا خِطَابٌ لِمَنْ يَسْمَعُ وَيَعْقِلُ، وَلَوْلَا ذَلِكَ
لَكَانَ هَذَا الْخِطَابُ مَنْزِلَةَ خِطَابِ الْمَعْدُومِ وَالْجَمَادِ،
وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتْ الْآثَارُ عَنْهُمْ
بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ.
Apakah orang yang
telah meninggal mengetahui kunjungan orang hidup dan salam mereka?
Ibnu Abdil Barr
berkata:
"Telah ada
ketetapan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Tidaklah seorang muslim melewati kubur saudaranya yang ia kenal di dunia lalu
mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga
ia dapat menjawab salam tersebut.”
Dalam Shahihain
(Bukhori dan Muslim) juga disebutkan dari berbagai jalur:
“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk menguburkan jenazah korban Perang Badar di
sebuah sumur, lalu beliau mendatangi mereka, berdiri di atas mereka, dan
memanggil mereka dengan nama-nama mereka: “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan
bin fulan, apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu
benar? Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar.” Umar
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau berbicara dengan jasad yang telah
membusuk?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Demi Dzat yang
mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar ucapanku dibandingkan
mereka. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya.”
Diriwayatkan pula
bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang telah meninggal mendengar suara langkah
sandal pengiringnya ketika mereka pergi meninggalkannya.”
Nabi ﷺ juga mensyariatkan bagi umatnya untuk mengucapkan salam kepada
penghuni kubur seperti seseorang yang sedang berbicara langsung kepada mereka.
Ucapan tersebut berbunyi: “Assalamu’alaikum, wahai penghuni tempat tinggal kaum
mukminin.” Salam ini adalah ucapan kepada mereka yang mendengar dan memahami,
karena jika tidak demikian, salam ini seakan-akan ditujukan kepada sesuatu yang
tidak ada atau benda mati.
Para ulama salaf
sepakat tentang hal ini, dan banyak riwayat yang mutawatir dari mereka bahwa
orang yang telah meninggal mengetahui kunjungan orang yang hidup dan merasa
gembira dengannya.
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنُ عُبَيْدٍ بْنِ
أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ القُبُورِ: بَابُ مَعْرِفَةِ المَوْتَىٰ بِزِيَارَةِ
الأَحْيَاءِ: حَدَّثَنَا يَحْيَىٰ بْنُ يَمَانٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
سَمْعَانَ عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُورُ قَبْرَ أَخِيهِ
وَيَجْلِسُ عِندَهُ إِلَّا استَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى
يَقُومَ".
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ قُدَامَةَ الجُوهَرِيُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ بْنُ
عِيسَى القَزَّازُ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا زَيْدٌ بْنُ
أَسْلَمَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: إِذَا مَرَّ
الرَّجُلُ بِقَبْرِ أَخِيهِ يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ
السَّلَامَ وَعَرَفَهُ، وَإِذَا مَرَّ بِقَبْرٍ لَا يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ
رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ الحُسَيْنِ حَدَّثَنِي يَحْيَىٰ بْنُ بَسْطَامِ
الأَصْغَرِ حَدَّثَنِي مِسْمَعٌ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ آلِ عَاصِمٍ الجَحْدَرِيِّ
قَالَ: رَأَيْتُ عَاصِمًا الجَحْدَرِيَّ فِي مَنَامِي بَعْدَ مَوْتِهِ بِسَنَتَيْنِ
فَقُلتُ: أَلَيْسَ قَدْ مِتْتَ؟ قَالَ: بَلَىٰ، قُلتُ: فَأَيْنَ أَنتَ؟ قَالَ:
أَنَا وَاللَّهِ فِي رَوْضَةٍ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، أَنَا وَنَفَرٌ مِنْ
أَصْحَابِي نَجْتَمِعُ كُلَّ لَيْلَةِ جُمُعَةٍ وَصَبَاحِهَا إِلَىٰ بَكْرٍ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ المِزْنِيِّ فَنتَلَقَّىٰ أَخْبَارَكُمْ، قُلتُ: أَجْسَادُكُمْ
أَمْ أَرْوَاحُكُمْ؟ قَالَ: هَيْهَاتَ بَلِيَتِ الأَجْسَامُ، وَإِنَّمَا
تَتَلَاقَىٰ الأَرْوَاحُ، قُلتُ: فَهَلْ تَعْلَمُونَ بِزِيَارَتِنَا إِيَّاكُمْ؟
قَالَ: نَعَمْ نَعْلَمُ بِهَا عَشِيَّةَ الجُمُعَةِ كُلَّهَا وَيَوْمَ السَّبْتِ
إِلَىٰ طُلُوعِ الشَّمْسِ، قُلتُ: فَكَيْفَ ذَاكَ دُونَ الأَيَّامِ كُلِّهَا؟
قَالَ: لِفَضْلِ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَعِظَمَتِهِ.
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ الحُسَيْنِ حَدَّثَنَا بَكْرٌ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا حَسَنٌ القَصَّابُ قَالَ: كُنتُ أَغْدُو مَعَ مُحَمَّدٍ بْنِ وَاسِعٍ
فِي كُلِّ غَدَاةِ سَبْتٍ حَتَّى نَأْتِيَ الجَبَّانَ، فَنَقِفُ عَلَىٰ القُبُورِ،
فَنُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ، وَنَدْعُو لَهُمْ ثُمَّ نَنْصَرِفُ، فَقُلتُ: ذَاتَ
يَوْمٍ لَوْ صَيَّرْتَ هَذَا اليَوْمَ يَوْمَ الإثْنَيْنِ، قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ
المَوْتَىٰ يَعْلَمُونَ بِزُوَّارِهِمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَيَوْمًا قَبْلَهَا
وَيَوْمًا بَعْدَهَا... (وَذَكَرَ آثَارًا كَثِيرَة)ً.
Abu Bakr Abdullah bin
Muhammad bin Ubaid bin Abi Dunia berkata dalam kitab Al-Qubur: Bab Pengetahuan
Orang Mati Tentang Kunjungan Orang Hidup: Telah mengabarkan kepada kami Yahya
bin Yaman dari Abdullah bin Sam'an dari Zaid bin Aslam dari Aisyah radhiyallahu
'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak ada
seorang pun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk di sana, melainkan ia
merasa nyaman dan mendapatkan balasan salam hingga ia berdiri."
Telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Qudamah Al-Juhari, telah mengabarkan kepada kami Ma'n
bin Isa Al-Qazzaz, telah memberitakan kepada kami Hisham bin Sa'd, telah
mengabarkan kepada kami Zaid bin Aslam dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: "Jika seorang laki-laki melewati kuburan saudaranya yang
dikenalnya, ia mengucapkan salam kepadanya, maka pemghuni kubur itu membalas
salamnya dan mengenalinya. Dan jika ia melewati kuburan yang tidak dikenalnya,
ia tetap mengucapkan salam dan kubur itu membalas salamnya."
Telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Al-Husain, telah mengabarkan kepada kami Yahya bin
Bustam Al-Asghar, telah memberitakan kepada kami Mismak, telah mengabarkan
kepada kami seorang laki-laki dari keluarga 'Asim Al-Juhdari, ia berkata:
"Saya melihat 'Asim Al-Juhdari dalam mimpi dua tahun setelah kematiannya.
Saya berkata: 'Bukankah kamu sudah meninggal?' Ia menjawab: 'Ya.' Saya berkata:
'Lalu, di mana kamu sekarang?' Ia berkata: 'Demi Allah, saya di taman surga.
Saya dan beberapa orang dari sahabat saya berkumpul setiap malam Jumat dan pagi
harinya menuju kepada Bakar bin Abdullah Al-Muzani untuk menerima kabar dari
kalian.' Saya berkata: 'Apakah itu tubuh kalian atau roh kalian?' Ia berkata:
'Sungguh tubuh sudah hancur, yang bertemu adalah roh-roh.' Saya berkata:
'Apakah kalian mengetahui jika kami mengunjungi kalian?' Ia menjawab: 'Ya, kami
mengetahuinya pada malam Jumat seluruhnya dan hari Sabtu hingga matahari
terbit.' Saya berkata: 'Mengapa hanya hari itu saja?' Ia berkata: 'Karena
keutamaan hari Jumat dan kemuliaannya.'"
Telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Al-Husain, telah mengabarkan kepada kami Bakr bin
Muhammad, telah mengabarkan kepada kami Hasan Al-Qassab, ia berkata: "Saya
biasa berangkat bersama Muhammad bin Wasi' setiap pagi Sabtu sampai kami tiba
di pemakaman, lalu kami berhenti di kuburan, memberi salam kepada mereka,
mendoakan mereka, dan kemudian pulang. Saya berkata suatu hari: 'Bagaimana jika
saya jadikan hari ini adalah hari Senin?' Ia berkata: 'Saya mendengar bahwa
orang mati mengetahui pengunjung (penziarah) mereka pada hari Jumat dan satu
hari sebelum dan sesudahnya.'"
Kemudian Ibnu al-Qoyyim berkata:
وَهَذَا بَابٌ فِي آثَارٍ كَثِيرَةٍ عَنْ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بَعْضُ
الأَنْصَارِ مِنْ أَقَارِبِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ يَقُولُ: اللّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَمَلٍ أُخْزَىٰ بِهِ عِندَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
رَوَاحَةَ كَانَ يَقُولُ ذَٰلِكَ بَعْدَ أَنْ اسْتُشْهِدَ عَبْدُ اللَّهِ.
وَيَكْفِي فِي هَذَا تَسْمِيَةُ المُسْلِمِ عَلَيْهِمْ زَائِرًا، وَلَوْلَا
أَنَّهُمْ يَشْعُرُونَ بِهِ لَمَا صَحَّ تَسْمِيَتُهُ زَائِرًا، فَإِنَّ
الْمَزُورَ إِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ لَمْ يَصِحَّ أَنْ
يُقَالَ زَارَهُ...
هَذَا هُوَ المَعْقُولُ مِنَ الزِّيَارَةِ عِندَ جَمِيعِ الأُمَمِ،
وَكَذَٰلِكَ السَّلَامُ عَلَيْهِمْ أَيْضًا، فَإِنَّ السَّلَامَ عَلَىٰ مَنْ لَا
يَشْعُرُ وَلَا يَعْلَمُ بِالْمُسْلِمِ مُحَالٌ، وَقَدْ عَلَّمَ النَّبِيُّ
أُمَّتَهُ إِذَا زَارُوا القُبُورَ أَنْ يَقُولُوا: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ دَارَ
قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ
لَاحِقُونَ، يَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ،
وَالمُسْتَأْخِرِينَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ.
وَهَذَا السَّلَامُ وَالخِطَابُ وَالنِّدَاءُ لِمَوْجُودٍ يَسْمَعُ
وَيُخَاطَبُ وَيَعْقِلُ وَيَرُدُّوا إِنْ لَمْ يَسْمَعِ المُسْلِمُ الرَّدَّ،
وَإِذَا صَلَّى الرَّجُلُ قَرِيبًا مِّنْهُمْ شَاهَدُوهُ، وَعَلِمُوا صَلَاتَهُ
وَغَبِطُوهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ.
قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ
أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ أَنَّ ابْنَ سَاسٍ خَرَجَ فِي جَنَازَةٍ فِي يَوْمٍ،
وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ خِفَّافٌ فَانْتَهَىٰ إِلَى قَبْرٍ، قَالَ: فَصَلَّيْتُ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ اتَّكَأْتُ عَلَيْهِ، فَوَاللَّهِ إِنَّ قَلْبِي لَيَقْظَانُ
إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنَ القَبْرِ: إِلَيْكَ عَنِّي لَا تُؤْذِنِي، فَإِنَّكُمْ
قَوْمٌ تَعْمَلُونَ وَلَا تَعْلَمُونَ، وَنَحْنُ قَوْمٌ نَعْلَمُ وَلَا نَعْمَلُ،
وَلَأَنْ يَكُونَ لِي مِثْلُ رَكْعَتَيْكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا،
فَهَذَا قَدْ عَلِمَ بِاتِّكَاءِ الرَّجُلِ عَلَى القَبْرِ وَبِصَلَاتِهِ.
"Ini
adalah bab tentang banyak riwayat dari para sahabat. Ada seorang dari golongan
Anshar yang merupakan keluarga Abdullah bin Rawahah berkata: 'Ya Allah, saya
berlindung kepada-Mu dari amal yang akan membuat saya malu di hadapan Abdullah
bin Rawahah, ' ia mengucapkannya setelah Abdullah syahid."
Cukup sebagai bukti
bahwa seseorang disebut sebagai pengunjung (penziarah) kubur. Kalau seandainya
orang mati tidak merasakan kehadiran pengunjung (penziarah), maka tidak sah
jika disebutkan bahwa ia dikunjungi. Inilah yang diterima secara logis tentang
kunjungan menurut semua bangsa. Begitu pula dengan salam, karena salam kepada
orang yang tidak mendengar dan tidak mengetahui adalah mustahil. Nabi ﷺ telah mengajarkan umatnya ketika mereka mengunjungi kuburan untuk
mengucapkan: "Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk rumah dari
orang-orang yang beriman dan Muslim. Sesungguhnya kami Insya Allah akan
menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dulu di antara
kami dan kalian, serta orang-orang yang datang setelahnya. Kami memohon
keselamatan bagi kami dan untuk kalian."
Salam dan ucapan ini
adalah untuk mereka yang mendengar, diajak bicara, dan memahami, serta mereka
akan membalas salam jika mendengarnya. Jika seorang pria salat dekat kuburan
mereka, mereka melihatnya, mengetahui salatnya, dan merasa gembira karenanya.
Yazid bin Harun
berkata: "Telah memberitakan kepada kami Sulaiman At-Taimi dari Abu Usman
Al-Nahdi bahwa Ibn Sasa' keluar dalam sebuah jenazah pada suatu hari, dan ia
mengenakan pakaian tipis. Ia tiba di sebuah kuburan, lalu ia shalat dua rakaat
dan bersandar pada kubur tersebut. Demi Allah, hatiku terjaga ketika aku
mendengar suara dari kubur itu: 'Menjauhlah dari saya, jangan menyakitiku,
karena kalian adalah orang yang beramal tetapi tidak tahu, sementara kami
adalah orang yang tahu tetapi tidak beramal. Dan lebih baik bagi saya memiliki
dua rakaat seperti rakaatmu daripada apa pun yang lainnya.' Ini menunjukkan
bahwa ia mengetahui saat seseorang bersandar pada kubur dan shalat."
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
وَهَذِهِ ٱلْمَرَائِي وَإِن لَمْ تَصِحَّ بِمُجَرَّدِهَا لِإِثْبَاتِ
مِثْلِ ذَٰلِكَ فَهِيَ عَلَىٰ كَثْرَتِهَا، وَأَنَّهَا لَا يُحْصِيهَا إِلَّا
ٱللَّهُ قَدْ تَوَاطَأَتْ عَلَىٰ هَٰذَا ٱلْمَعْنَىٰ. وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
"أَرَىٰ رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ عَلَىٰ أَنَّهَا فِي ٱلْعَشْرِ
ٱلْأَوَاخِرِ. يَعْنِي: لَيْلَةَ ٱلْقَدْرِ". فَإِذَا تَوَاطَأَتْ رُؤْيَا
ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ شَيْءٍ كَانَ كَتَوَاطُؤِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ وَكِتَوَاطُؤِ
رَأْيِهِمْ عَلَىٰ اِسْتِحْسَانِهِ وَٱسْتِقْبَاحِهِ، وَمَا رَآهُ ٱلْمُسْلِمُونَ
حَسَنًا فَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ قَبِيحًا فَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ
قَبِيحٌ عَلَىٰٓ أَنَّا لَمْ نُثْبِتْ هَٰذَا بِمُجَرَّدِ ٱلرُّؤْيَا، بَلْ بِمَا
ذَكَرْنَاهُ مِنَ ٱلْحُجَجِ وَغَيْرِهَا.
"Meskipun
penglihatan-penglihatan ini tidak dapat dipastikan kebenarannya hanya
berdasarkan pengakuan mereka, namun dengan banyaknya penglihatan tersebut, yang
hanya Allah yang dapat menghitungnya, semuanya sepakat pada makna yang sama.
Rasulullah ﷺ pernah berkata: 'Saya melihat mimpi-mimpi kalian yang sepakat
bahwa itu terjadi pada sepuluh malam terakhir, yaitu malam al-Qadar.'
Jika mimpi-mimpi
orang-orang beriman sepakat pada suatu hal, maka itu seperti kesepakatan mereka
dalam meriwayatkannya dan kesepakatan mereka dalam menilai sesuatu, baik itu
baik atau buruk. Apa yang mereka anggap baik, maka itu baik di sisi Allah, dan
apa yang mereka anggap buruk, maka itu buruk di sisi Allah. Tetapi, kita tidak
menguatkan hal ini hanya berdasarkan mimpi semata, melainkan dengan dalil-dalil
yang telah kami sebutkan dan lainnya.
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
وَقَدْ ثَبَتَ فِي ٱلصَّحِيحِ أَنَّ ٱلْمَيْتَ يَسْتَأْنِسُ
بِٱلْمُشَيِّعِينَ لِجَنَازَتِهِ بَعْدَ دَفْنِهِ فَرَوَىٰ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ ٱلرَّحْمَٰنِ بْنِ شَمَاسَةَ ٱلْمَهْرِيِّ قَالَ: حَضَرْنَا
عَمْرَو بْنَ ٱلْعَاصِ وَهُوَ فِي سِيَاقِ ٱلْمَوْتِ، فَبَكَىٰ طَوِيلًا وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ إِلَىٰ ٱلْجِدَارِ، فَجَعَلَ ٱبْنُهُ يَقُولُ: مَا يُبْكِيكَ يَآ
أَبَتَاهُ؟ أَمَا بَشَّرَكَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ بِكَذَا، فَأَقْبَلَ بِوَجْهِهِ،
قَالَ: إِنَّ أَفْضَلَ مَا نَعُدُّ شَهَادَةً أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ،
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّهِ، وَإِنِّي عَلَىٰ أَطْبَاقٍ ثَلاَثٍ... ثُمَّ
ذَكَرَ ٱلْحَدِيثَ،
"Telah ada
ketetapan dalam hadits sahih bahwa orang yang meninggal merasa tenang dengan
kehadiran orang-orang yang mengantarkan jenazah setelah pemakaman. Dalam Shahih
Muslim, dari hadits Abdul Rahman bin Syamasa al-Mahri, dia berkata: 'Kami hadir
di sisi Amr bin al-‘As ketika beliau dalam sakaratul maut. Beliau menangis lama
dan membalikkan wajahnya ke dinding, sehingga anaknya bertanya: 'Apa yang
membuatmu menangis, wahai ayah? Bukankah Rasulullah ﷺ
telah memberikan kabar gembira kepadamu dengan begitu dan begitu?' Maka beliau
pun menoleh dan berkata: 'Yang terbaik yang kami anggap sebagai syahadat adalah
bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dan aku dalam
tiga lapisan kehidupan...
Kemudian Ibnu Qoyyim menyebutkan hadits tersebut, yang di dalam terdapat
sabda:
فَإِذَآ أَنَاۤ مِتُّ فَلَا تُصَحِّبْنِي نَائِحَةً وَلَا نَارًا، فَإِذَا
دَفَنْتُمُونِي فَسِنُّواٰ عَلَىٰ ٱلْتُرَابِ سِنَّا، ثُمَّ أَقِيمُواٰ حَوْلَ
قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا حَتَّىٰ أَسْتَأْنِسَ
بِكُمْ، وَأَنْظُرُ مَآ أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي،
'Jika aku mati,
janganlah kalian mengikuti jenazahku dengan tangisan atau api, dan setelah
kalian menguburkanku, ratakanlah tanahnya, dan berdirilah di sekitar kuburku
selama waktu yang diperlukan untuk menyembelih unta dan membagikan dagingnya,
hingga aku merasa tenang dengan kalian dan dapat melihat apa yang akan aku
jawab terhadap utusan Rabbku.'
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
فَدَلَّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلْمَيْتَ يَسْتَأْنِسُ بِٱلْحَاضِرِينَ عِندَ
قَبْرِهِ، وَيَسُرُّ بِهِمْ. وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ ٱلسَّلَفِ
أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِندَ قُبُورِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ، قَالَ
عَبْدُ ٱلْحَقِّ يُرْوَىٰ أَنْ عَبْدَ ٱللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ
عِندَ قَبْرِهِ سُورَةَ ٱلْبَقَرَةِ، وَقَالَ: وَيَدُلُّ عَلَىٰ هَٰذَا أَيْضًا
مَا جَرَىٰ عَلَيْهِ عَمَلُ ٱلنَّاسِ قَدِيمًا، وَإِلَىٰ الْآنَ مِنْ تَلْقِينِ
ٱلْمَيْتِ فِي قَبْرِهِ وَلَوْلَا أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَٰلِكَ وَيَنْتَفِعُ بِهِ
لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَائِدَةٌ، وَكَانَ عَبَثًا. وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ ٱلْإِمَامُ
أَحْمَدُ رَحِمَهُ ٱللَّهُ فَٱسْتَحْسَنَهُ وَٱحْتَجَّ عَلَيْهِ
بِٱلْعَمَلِ."
'Ini menunjukkan
bahwa orang yang telah meninggal merasa tenang dengan kehadiran orang-orang di
kuburnya, dan mereka merasa gembira dengan mereka.'
Dan juga disebutkan
oleh sebagian besar para salaf bahwa mereka berwasiat agar dibacakan di kubur
mereka saat pemakaman. Abdullah bin Umar, misalnya, memerintahkan agar
dibacakan Surah al-Baqarah di kuburnya. Dan ini juga menunjukkan apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu hingga kini, yakni melatih orang yang
meninggal dengan bacaan di kuburnya. Seandainya mereka tidak mendengarnya dan
tidak mendapat manfaat darinya, tentu hal itu tidak ada gunanya, dan hanya akan
menjadi permainan belaka. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang hal
ini, dan beliau menyetujuinya serta mendalilkan dengan amal yang telah
dilakukan." [SELESAI KUTIPAN DARI KITAB AR-RUUH]
Dan al-Imam
As-Suyuti dalam kitabnya “Busyroo al-Katsiib Biliqoo' al-Habib” hal. 33 menyebutkan
beberapa riwayat dari sebagian salaf yang menunjukkan bahwa mayit disambut oleh
keluarga dan kerabatnya yang telah mendahuluinya, mereka bergembira
menyambutnya.
Mayit juga dapat
melihat apa yang terjadi di sekelilingnya dan mengetahui siapa yang
memandikannya.
As-Suyuthi berkata:
وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ اسْتَقْبَلَهُ
وَلَدُهُ كَمَا يَسْتَقْبِلُ الْغَائِبَ.
وَعَنْ ثَابِتٍ الْبَنَانِيِّ قَالَ: بَلَغَنَا أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا
مَاتَ احْتَوَشَتْهُ أَهْلُهُ وَأَقَارِبُهُ الَّذِينَ تَقَدَّمُوهُ مِنَ
الْمَوْتَى، فَلَهُمْ أَفْرَحُ بِهِ وَهُوَ أَفْرَحُ بِهِمْ مِنَ الْمُسَافِرِ
إِذَا قَدِمَ أَهْلُهُ.
وَعَنْ سُفْيَانَ قَالَ: إِنَّ الْمَيِّتَ لَيَعْرِفُ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى
إِنَّهُ لَيُنَاشِدُ غَاسِلَهُ بِاللَّهِ إِلَّا خَفَّفْتَ عَلَيَّ غَسْلِي،
قَالَ: وَيُقَالُ لَهُ وَهُوَ عَلَى سَرِيرِهِ: اسْمَعْ ثَنَاءَ النَّاسِ
عَلَيْكَ. اِنْتَهَى.
'Dari
Sa'id bin Jubair, ia mengatakan: Ketika seorang mayit meninggal, anak-anaknya
menyambutnya sebagaimana menyambut orang yang lama tidak pulang.'
Dan dari Tsabit
al-Bunani, ia berkata: 'Kami mendengar bahwa ketika seorang mayit meninggal,
keluarganya dan kerabatnya yang telah mendahuluinya dari kalangan orang mati
akan menyambutnya. Mereka sangat bergembira menyambutnya, dan ia lebih gembira
kepada mereka daripada seorang musafir yang bertemu dengan keluarganya setelah
lama berpisah.'
Dan dari Sufyan, ia
berkata: 'Sesungguhnya mayit mengenal segala sesuatu, bahkan dia memohon kepada
orang yang memandikannya dengan berkata: 'Demi Allah, ringankanlah proses
mandiku.'
Dan dikatakan
kepadanya ketika ia berada di atas pembaringannya: 'Dengarkan pujian
orang-orang kepadamu.' [SELESAI]."
[Lihat: “Busyroo
al-Katsiib Biliqoo' al-Habib” hal. 33]
Atsar Sa’id bin
Jubair tersebut diatas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat” hal.
18-19.
DR. Hamid Nu’aijaat
dalam al-Aaatsar al-Marwiyyah ‘An Aimmatus salaf 3/1354 no. 993 berkata:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ، يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ صَدُوقٌ عَابِدٌ يُخْطِئُ
كَثِيرًا وَقَدْ تَغَيَّرَ، التَّقْرِيبُ (7729)، المَنَامَاتِ (18 - 19) رَقْمَ
(15)، وَذَكَرَهُ ابْنُ القَيِّمِ فِي الرُّوحِ (1/ 19)، وَالسُّيُوطِيُّ فِي
شَرْحِ الصُّدُورِ (92).
Sanadnya lemah, Yahya
bin Yaman adalah seorang yang jujur, ahli ibadah, tetapi sering melakukan
kesalahan dan pernah berubah keadaannya. Disebutkan dalam kitab Taqrib (7729),
Al-Manamat (18-19), nomor (15). Hal ini juga disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam
kitab Ar-Ruh (1/19), dan As-Suyuthi dalam kitab Syarh As-Sudur (92).
Atsar Tsabit
al-Bannaani tersebut diatas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat”
(lihat: Mawasu’ah Ibnu Abi ad-Dunya 5/476. Disebutkan pula oleh Ibnu Rajab
al-Hanbali dalam kitabnya Ahwal al-Qubuur hal. 25-26 dan Ahmad ath-Thoyyar
dalam Hayatus Salaf hal. 713.
Atsar Sufyan tersebut
di atas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat” hal. 16 no. 11.
DR. Hamid Nu’aijaat
dalam al-Aaatsar al-Marwiyyah ‘An Aimmatus salaf 3/1137 no. 1000 berkata:
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ؛ فِيهِ يَحْيَى الحَمَّانِيُّ وَقَدْ سَبَقَ (718)،
المَنَامَاتِ (16) رَقْمَ (11)، وَذَكَرَهُ ابْنُ رَجَبٍ (299)، وَالسُّيُوطِيُّ
(95).
Sanadnya hasan; di
dalamnya terdapat Yahya Al-Hammani yang telah disebutkan sebelumnya (718),
dalam kitab "Al-Manamat" (16), nomor (11). Hadis ini juga disebutkan
oleh Ibn Rajab (299) dan As-Suyuthi (95).
****
BENARKAH HANYA PENZIARAH DI HARI JUM’AT YANG BISA DIKENALI MAYIT?
Khususnya kunjungan
yang dikenali mayit dari orang hidup pada hari Jumat
Adapun penentuan
khusus bahwa kunjungan orang hidup pada hari Jumat yang bisa dikenali oleh
mayit, hal ini tidak memiliki dalil yang shahih.
Ibnul Qayyim dalam
kitabnya Zadul Ma’ad 1/401 menjelaskan:
"إِنَّ الْمَوْتَى تَدْنُو أَرْوَاحُهُمْ مِنْ قُبُورِهِمْ،
وَتُوَافِيهَا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَيَعْرِفُونَ زُوَّارَهُمْ وَمَنْ
يَمُرُّ بِه8ِمْ، وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ، وَيَلْقَاهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ
أَكْثَرَ مِنْ مَعْرِفَتِهِمْ بِهِمْ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأَيَّامِ ، فَهُوَ
يَوْمٌ تَلْتَقِي فِيهِ الْأَحْيَاءُ وَالْأَمْوَاتُ".
"Sesungguhnya
ruh orang yang telah meninggal mendekati kubur mereka pada hari Jumat dan
menemui kubur tersebut. Mereka mengenali pengunjung yang datang dan melewati
kubur mereka, serta memberikan salam lebih banyak dibandingkan hari-hari
lainnya. Jumat adalah hari pertemuan antara orang hidup dan orang mati”.
Abu Bakar al-Khallaal meriwayatkan dari Imam Ahmad:
وَأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِزَائِرِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ
طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَذِّبُ
قَوْمًا فِي قُبُورِهِمْ
"Dan bahwa orang
yang telah meninggal mengetahui orang yang menziarahi-nya pada hari Jumat
setelah terbit fajar dan sebelum terbit matahari, dan bahwa Allah Ta'ala akan
mengadzab sebagian orang di dalam kuburan mereka."
[Baca:
al-‘Aqidah Lil Imam Ahmad, Riwayat Abu Bakar al-Khalal hal. 121].
Apa yang dikatakan
Ibnu Qoyim dan dikutip dari Imam Ahmad diatas tidak diperkuat dengan dalil yang
shahih. Syeikh DR. Sa’id al-Qohthoni berkata dalam “Sholat al-Jum’ah” hal. 92:
وَذَكَرَ فِي ذَلِكَ آثَارًا عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ. قُلْتُ: وَهَذَا
يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَنِ الْمَعْصُومِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -.
“Dan disebutkan dalam
hal itu beberapa atsar dari sebagian salaf. Saya berkata: Ini membutuhkan dalil
yang shahih dari Nabi Al-Ma'shum ﷺ”.
Dan Syeikh Adam bin
Ali bin Adam al-Itsyubi dalam Dzakhiratul ‘Uqba 16/49 berkata:
هَذِهِ الْخَاصِيَّةُ أَكْثَرُ مَا لَهَا مِنَ الْأَدِلَّةِ هِيَ
الْمَنَامَاتُ، فَتَحْتَاجُ لِثُبُوتِهَا إِلَى دَلِيلٍ مَرْفُوعٍ قَوِيٍّ،
فَلْيُتَأَمَّلْ.
Sifat kekhususan ini
sebagian besar buktinya berasal dari kitab “al-Manamat” (mimpi-mimpi), sehingga
untuk menetapkannya diperlukan dalil yang marfu' dan kuat, maka hendaklah
direnungkan!.
Namun Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata:
تَخْصِيصُ ذَلِكَ بِيَوْمِ الْجُمُعَةِ لَا وَجْهَ لَهُ؛ فَإِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: زُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ، وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ زَارَ الْبَقِيعَ
لَيْلًا كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ الطَّوِيلِ الْمَشْهُورِ، وَعَلَى هَذَا
فَتَخْصِيصُ مَعْرِفَتِهِ لِلزَّائِرِ بِيَوْمِ الْجُمُعَةِ لَا وَجْهَ لَهُ"
انْتَهَى
"Penentuan
khusus hari Jumat untuk hal ini (ziara kubur) tidak memiliki dasar; karena Nabi
ﷺ bersabda: ‘Ziarahilah kuburan, karena itu akan mengingatkan
kalian pada kematian.’
Dan telah
diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengunjungi pemakaman Baqi’
pada malam hari, sebagaimana dalam hadits panjang yang terkenal dari Aisyah.
Oleh karena itu, penentuan khusus bahwa mayit mengenali pengunjungnya pada hari
Jumat, maka itu tidak memiliki dasar". (Selesai, Liqa' al-Bab al-Maftuh,
pertemuan no. 9, pertanyaan no. 37).
Ibnu Abi Dunya
menyebutkan dalam kitab Al-Manamat dan lainnya:
"عَنْ بَعْضِ أَهْلِ عَاصِمِ الْجَحْدَرِيِّ فِي مَنَامِي
بَعْدَ مَوْتِهِ لِسَنَتَيْنِ، فَقُلْتُ: أَلَيْسَ قَدِمْتَ؟ قَالَ: بَلَى،
قُلْتُ: فَأَيْنَ أَنْتَ؟ قَالَ: أَنَا وَاللهِ فِي رَوْضَةٍ مِنْ رِيَاضِ
الْجَنَّةِ، أَنَا وَنَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِي نَجْتَمِعُ كُلَّ لَيْلَةِ جُمُعَةٍ،
وَصَبِيحَتَهَا إِلَى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْمُزَنِيِّ، فَنَتَلَاقَى
أَخْبَارَكُمْ. قُلْتُ: أَجْسَامُكُمْ أَمْ أَرْوَاحُكُمْ؟ قَالَ: هَيْهَاتَ
بَلِيَتِ الْأَجْسَامُ، وَإِنَّمَا تَتَلَاقَى الْأَرْوَاحُ. قَالَ: قُلْتُ:
فَهَلْ تَعْلَمُونَ بِزِيَارَتِنَا لَكُمْ؟ قَالَ: نَعْلَمُ بِهَا عَشِيَّةَ
الْجُمُعَةِ، وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ كُلَّهُ، وَلَيْلَةَ السَّبْتِ إِلَى طُلُوعِ
الشَّمْسِ. قَالَ: قُلْتُ: فَكَيْفَ ذَلِكَ دُونَ الْأَيَّامِ كُلِّهَا؟ قَالَ:
لِفَضْلِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَعَظَمَتِهِ".
Dari sebagian kerabat
'Ashim Al-Jahdari, dalam mimpiku setelah dua tahun wafatnya. Aku bertanya
kepadanya, “Bukankah engkau telah wafat?” Ia menjawab, “Ya, benar.” Aku
bertanya lagi, “Di mana engkau sekarang?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku berada
di taman dari taman-taman surga. Aku dan sekelompok sahabatku berkumpul setiap
malam Jumat dan paginya hingga ke Bakar bin Abdullah Al-Muzani. Kami saling
berbagi kabar tentang kalian.”
Aku bertanya, “Apakah
itu tubuh kalian atau ruh kalian?” Ia menjawab, “Jauh sekali, tubuh-tubuh telah
hancur, hanya ruh-ruhlah yang bertemu.”
Aku bertanya lagi,
“Apakah kalian mengetahui kunjungan kami kepada kalian?” Ia menjawab, “Kami
mengetahuinya pada sore hari Jumat, sepanjang hari Jumat, dan malam Sabtu
hingga matahari terbit.”
Aku bertanya,
“Mengapa hanya pada waktu-waktu itu dan bukan di hari-hari lainnya?” Ia
menjawab, “Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat.”
[Diriwayatkan pula
oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/474 no. 8861 dengan sanadnya].
Ibnu Abi Dunya juga
menyebutkan dari Muhammad bin Wasi’:
"أَنَّهُ كَانَ يَذْهَبُ كُلَّ غَدَاةِ سَبْتٍ حَتَّى
يَأْتِيَ الْجَبَّانَةَ، فَيَقِفُ عَلَى الْقُبُورِ، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ
وَيَدْعُو لَهُمْ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ. فَقِيلَ لَهُ: لَوْ صَيَّرْتَ هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ الْمَوْتَى يَعْلَمُونَ
بِزُوَّارِهِمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيَوْمًا قَبْلَهُ وَيَوْمًا بَعْدَهُ.
"
bahwa ia biasa pergi
setiap pagi hari Sabtu ke pemakaman, lalu berdiri di atas kuburan, memberi
salam kepada penghuni kubur, dan mendoakan mereka, kemudian ia pergi. Lalu ada
yang berkata kepadanya, “Mengapa tidak menjadikan hari itu hari Senin saja?” Ia
menjawab, “Telah sampai kepadaku bahwa para penghuni kubur mengetahui
orang-orang yang mengunjungi mereka pada hari Jumat, sehari sebelumnya, dan
sehari setelahnya.”
[Diriwayatkan
pula oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/475 no. 8862 dengan sanadnya].
Disebutkan juga dari
Sufyan Ats-Tsauri, ia berkata:
بَلَغَنِي عَنِ الضَّحَّاكِ أَنَّهُ قَالَ: "مِنْ زَارَ قَبْرًا
يَوْمَ السَّبْتِ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ عَلِمَ الْمَيِّتُ بِزِيَارَتِهِ.
قِيلَ لَهُ: وَكَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: لِمَكَانِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ "
“Telah sampai
kepadaku dari Adh-Dhahhak, bahwa ia berkata, ‘Siapa yang mengunjungi kubur pada
hari Sabtu sebelum matahari terbit, maka penghuni kubur mengetahui
kunjungannya.’”
Lalu ada yang
bertanya kepadanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Karena keistimewaan hari
Jumat.”
[Diriwayatkan pula
oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/476 no. 8863 dengan sanadnya].
[Lihat pula: Zaadul Ma’aad
1/402, Nur al-Lam’ah Fii Khoshoish al-Jum’ah oleh al-Imam as-Suyuthi hal- 152
****
APAKAH ORANG YANG TELAH MENINGGAL MENGETAHUI KABAR ORANG YANG MASIH HIDUP?
Bagaimana cara
orang-orang yang telah meninggal mengetahui kabar keluarga mereka yang masih
hidup?
Mereka mengetahui
segalanya tentang Anda dengan cara ini. Dalam sunnah Nabi yang shahih
disebutkan bahwa ruh-ruh orang beriman saling mengunjungi di kubur dan bertanya
kepada orang yang baru meninggal setelah mereka dimakamkan tentang kabar
keluarga mereka di dunia.
Orang yang baru
meninggal tersebut akan memberi tahu mereka, dan inilah cara yang ditegaskan
bahwa orang yang telah meninggal mengetahui kabar keluarga mereka yang masih
hidup.
Ruh terbagi menjadi dua: [1]- Ruh yang disiksa. [2] Ruh yang diberi kenikmatan.
Ruh yang disiksa
sibuk dengan siksaan yang mereka alami sehingga tidak bertanya kepada orang
yang baru meninggal tentang kabar keluarga mereka, juga tidak saling
mengunjungi atau bertemu. Sedangkan ruh yang diberi kenikmatan, yang bebas dan tidak
tertahan, saling bertemu, saling mengunjungi, dan saling mengenang apa yang
pernah terjadi di dunia serta apa yang terjadi pada keluarga mereka di dunia.
Ya, telah ditegaskan
dalam dalil bahwa ruh-ruh orang beriman dapat saling bertemu dan saling mengunjungi.
Berikut adalah beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut, disertai dengan
penjelasan dari para ulama mengenai masalah ini.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ
bersabda:
(إِذَا حُضِرَ الْمُؤْمِنُ أَتَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ
بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحِ
اللَّهِ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ
الْمِسْكِ حَتَّى أَنَّهُ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ
بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ
مِنْ الأَرْضِ فَيَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَشَدُّ
فَرَحًا بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ يَقْدَمُ عَلَيْهِ فَيَسْأَلُونَهُ
مَاذَا فَعَلَ فُلانٌ مَاذَا فَعَلَ فُلانٌ فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ فَإِنَّهُ كَانَ
فِي غَمِّ الدُّنْيَا. فَإِذَا قَالَ: أَمَا أَتَاكُمْ ؟ قَالُوا: ذُهِبَ بِهِ
إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ. وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ
مَلائِكَةُ الْعَذَابِ بِمِسْحٍ كساء من شعر فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي سَاخِطَةً
مَسْخُوطًا عَلَيْكِ إِلَى عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ
رِيحِ جِيفَةٍ حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ الأَرْضِ فَيَقُولُونَ مَا أَنْتَنَ
هَذِهِ الرِّيحَ حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ)
(“Apabila seorang
mukmin menjelang ajalnya, malaikat rahmat datang kepadanya dengan membawa kain
sutra putih. Mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan ridha dan diridhai menuju
kepada rahmat Allah, rezeki, dan Tuhan yang tidak murka.’ Maka ruh itu keluar
dengan aroma paling wangi seperti harum kesturi. Malaikat itu menyerahkannya
kepada malaikat lainnya hingga membawanya ke pintu langit. Mereka berkata,
‘Betapa harum aroma ini yang datang dari bumi.’ Kemudian ruh itu dibawa kepada
ruh-ruh orang beriman lainnya. Mereka lebih bahagia menyambutnya daripada salah
seorang dari kalian menyambut orang tercinta yang kembali dari perjalanan.
Mereka pun bertanya, ‘Apa yang dilakukan si fulan? Bagaimana keadaan si fulan?’
Lalu mereka berkata, ‘Biarkan dia karena dia sedang berada dalam kesusahan
dunia.’ Jika ruh itu menjawab, ‘Bukankah dia sudah datang kepada kalian?’
Mereka menjawab, ‘Dia telah dibawa ke tempat ibunya, yaitu neraka Hawiyah.’
Adapun orang kafir,
apabila menjelang ajalnya, malaikat azab datang kepadanya dengan membawa kain
kasar dari rambut. Mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan dimurkai dan menuju
kepada azab Allah yang Mahaperkasa dan Mahamulia.’ Maka ruhnya keluar dengan
aroma paling busuk seperti bangkai yang sangat menjijikkan hingga dibawa ke
pintu bumi. Mereka berkata, ‘Betapa busuk aroma ini.’ Lalu ruh itu dibawa
kepada ruh-ruh orang kafir.”)
(HR. An-Nasa’i, no.
1833; dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2758).
Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ " هَلْ تَجْتَمِعُ رُوحُهُ مَعَ أَرْوَاحِ أَهْلِهِ
وَأَقَارِبِهِ ؟ ": فَفِي الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
وَغَيْرِهِ مِنَ السَّلَفِ وَرَوَاهُ أَبُو حَاتِمٍ فِي الصَّحِيحِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا
عُرِجَ بِرُوحِهِ تَلَقَّتْهُ الْأَرْوَاحُ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْأَحْيَاءِ
فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ ، فَيَقُولُونَ لَهُ:
مَا فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ: عَمِلَ عَمَلَ صَلَاحٍ ، فَيَقُولُونَ: مَا
فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ: أَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْكُمْ ؟ فَيَقُولُونَ: لَا ،
فَيَقُولُونَ: ذُهِبَ بِهِ إِلَى الْهَاوِيَةِ ".
وَلَمَّا كَانَتْ أَعْمَالُ الْأَحْيَاءِ تُعْرَضُ عَلَى الْمَوْتَى: كَانَ
أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَعْمَلَ
عَمَلًا أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ " ، فَهَذَا
اجْتِمَاعُهُمْ عِنْدَ قُدُومِهِ يَسْأَلُونَهُ فَيُجِيبُهُمْ.
وَأَمَّا اسْتِقْرَارُهُمْ فَبِحَسَبِ مَنَازِلِهِمْ عِنْدَ اللَّهِ ،
فَمَنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ: كَانَتْ مَنْزِلَتُهُ أَعْلَى مِنْ مَنْزِلَةِ
مَنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ، لَكِنَّ الْأَعْلَى يَنْزِلُ إِلَى
الْأَسْفَلِ وَالْأَسْفَلُ لَا يَصْعَدُ إِلَى الْأَعْلَى ، فَيَجْتَمِعُونَ إِذَا
شَاءَ اللَّهُ كَمَا يَجْتَمِعُونَ فِي الدُّنْيَا ، مَعَ تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ
وَيَتَزَاوَرُونَ.
وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْمَدَافِنُ مُتَبَاعِدَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ
مُتَقَارِبَةً ، قَدْ تَجْتَمِعُ الْأَرْوَاحُ مَعَ تَبَاعُدِ الْمَدَافِنِ ،
وَقَدْ تَفْتَرِقُ مَعَ تَقَارُبِ الْمَدَافِنِ ، يُدْفَنُ الْمُؤْمِنُ عِنْدَ
الْكَافِرِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي الْجَنَّةِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي النَّارِ ،
وَالرَّجُلَانِ يَكُونَانِ جَالِسَيْنِ أَوْ نَائِمَيْنِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَقَلْبُ
هَذَا يُنَعَّمُ ، وَقَلْبُ هَذَا يُعَذَّبُ ، وَلَيْسَ بَيْنَ الرُّوحَيْنِ
اتِّصَالٌ ، فَالْأَرْوَاحُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ ،
وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ " رَوَاهُ مُسْلِمٌ (2638).
Adapun pertanyaan
"Apakah ruh seseorang akan berkumpul dengan ruh keluarga dan
kerabatnya?" Maka dalam sebuah hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari dan
selainnya dari kalangan salaf, yang diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam kitab
Ash-Shahih dari Nabi ﷺ, disebutkan:
"Apabila
ruh seorang yang meninggal diangkat, maka ruh-ruh lainnya akan menyambutnya,
lalu mereka menanyainya tentang keadaan orang-orang yang masih hidup. Sebagian
dari mereka berkata, ‘Biarkan dia beristirahat terlebih dahulu.’ Kemudian
mereka bertanya, ‘Apa yang dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab, ‘Ia melakukan amal
shalih.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab,
‘Bukankah dia sudah datang kepada kalian?’ Mereka berkata, ‘Belum.’ Maka mereka
berkata, ‘Ia telah dibawa ke tempat kehancuran (neraka Hawiyah).’”
Karena amal perbuatan
orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang-orang yang telah meninggal,
maka Abu Darda' radhiyallahu 'anhu pernah berdoa:
"Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari melakukan amal yang memalukan di hadapan Abdullah bin
Rawahah."
Hal ini menunjukkan
bahwa ketika ruh seseorang tiba, ruh-ruh lainnya menyambutnya dan menanyakan
keadaannya.
Adapun tempat mereka
menetap bergantung pada kedudukan mereka di sisi Allah. Barang siapa termasuk
golongan yang didekatkan kepada Allah, maka kedudukannya lebih tinggi
dibandingkan golongan kanan. Namun, yang berada di tempat yang lebih tinggi
dapat turun ke tempat yang lebih rendah, sedangkan yang berada di tempat rendah
tidak dapat naik ke tempat yang lebih tinggi. Mereka bisa berkumpul jika Allah
menghendaki, sebagaimana mereka bisa berkumpul di dunia, meskipun kedudukan
mereka berbeda-beda dan mereka saling mengunjungi.
Baik kuburan mereka
berjauhan di dunia maupun berdekatan, ruh-ruh itu dapat berkumpul meskipun
kuburan berjauhan, atau dapat terpisah meskipun kuburan berdekatan. Seorang
mukmin bisa dikuburkan di sebelah kafir, namun ruh mukmin berada di surga,
sedangkan ruh kafir berada di neraka. Dua orang yang duduk atau tidur di tempat
yang sama bisa saja salah satunya mendapatkan nikmat, sedangkan yang lain
mendapatkan azab, tanpa ada hubungan antara ruh keduanya.
Sebagaimana sabda
Nabi ﷺ:
"Ruh-ruh itu
seperti tentara yang berseragam. Apa yang saling mengenal di antara mereka akan
bersatu, dan apa yang saling tidak mengenal akan berselisih." (HR. Muslim,
no. 2638).
(Lihat: Majmu’
Al-Fatawa, 24/368).
Ibnul Qayyim berkata:
المَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ أَنَّ أَرْوَاحَ الْمَوْتَى هَلْ
تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ أَمْ لَا؟
وَهِيَ أَيْضًا مَسْأَلَةٌ شَرِيفَةٌ كَبِيرَةُ الْقَدْرِ وَجَوَابُهَا:
أَنَّ الْأَرْوَاحَ قِسْمَانِ: أَرْوَاحٌ مُعَذَّبَةٌ، وَأَرْوَاحٌ مُنَعَّمَةٌ؛
فَالْمُعَذَّبَةُ فِي شُغُلٍ بِمَا هِيَ فِيهِ مِنَ الْعَذَابِ عَنِ التَّزَاوُرِ
وَالتَّلَاقِي، وَالْأَرْوَاحُ الْمُنَعَّمَةُ الْمُرْسَلَةُ غَيْرُ
الْمَحْبُوسَةِ تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ مَا كَانَ مِنْهَا فِي
الدُّنْيَا وَمَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، فَتَكُونُ كُلُّ رُوحٍ مَعَ
رَفِيقِهَا الَّذِي هُوَ عَلَى مِثْلِ عَمَلِهَا، وَرُوحُ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
(وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا) [النِّسَاءِ: 69].
وَهَذِهِ الْمَعِيَّةُ ثَابِتَةٌ فِي الدُّنْيَا، وَفِي دَارِ الْبَرْزَخِ،
وَفِي دَارِ الْجَزَاءِ. وَ"الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ" فِي هَذِهِ
الدُّورِ الثَّلَاثَةِ.
وَقَالَ تَعَالَى:
(يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ
رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي) [الفَجْر:
27-30].
أَيْ: ادْخُلِي جُمْلَتَهُمْ وَكُونِي مَعَهُمْ، وَهَذَا يُقَالُ لِلرُّوحِ
عِنْدَ الْمَوْتِ.
وَقَدْ أَخْبَرَنَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنِ الشُّهَدَاءِ
بِأَنَّهُمْ (أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ) وَأَنَّهُمْ
(وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ)
وَأَنَّهُمْ (يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ).
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَلَاقِيهِمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
1. أَنَّهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ، وَإِذَا كَانُوا أَحْيَاءً
فَهُمْ يَتَلَاقَوْنَ.
2. أَنَّهُمْ إِنَّمَا اسْتَبْشَرُوا بِإِخْوَانِهِمْ لِقُدُومِهِمْ
وَلِقَائِهِمْ لَهُمْ.
3. أَنَّ لَفْظَ (يَسْتَبْشِرُونَ) يُفِيدُ فِي اللُّغَةِ أَنَّهُمْ
يُبَشِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا مِثْلَ (يَتَبَاشَرُونَ).
Masalah kedua adalah
apakah ruh orang-orang yang telah meninggal dapat saling bertemu, berziarah,
dan saling mengingat, atau tidak?
Ini juga merupakan
persoalan yang agung dan mulia.
Jawabannya adalah:
Ruh terbagi menjadi
dua golongan: ruh yang disiksa dan ruh yang diberi kenikmatan. Ruh yang disiksa
sibuk dengan azab yang menimpanya sehingga tidak dapat berziarah atau bertemu.
Sedangkan ruh yang diberi kenikmatan dan bebas, tidak tertahan, dapat saling
bertemu, berziarah, dan mengingat apa yang terjadi pada mereka di dunia, serta
apa yang terjadi pada keluarga mereka yang masih hidup di dunia. Setiap ruh
akan berada bersama teman-temannya yang memiliki amal perbuatan serupa.
Ruh Nabi kita
Muhammad ﷺ berada di derajat yang tertinggi, sebagaimana firman Allah
Ta'ala:
"Dan barang
siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama dengan orang-orang
yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An-Nisa:
69).
Kebersamaan ini
berlaku di dunia, di alam barzakh, dan di tempat pembalasan. Nabi ﷺ bersabda:
"Seseorang akan
bersama dengan orang yang dicintainya."
Hal ini berlaku di
ketiga tempat tersebut.
Allah Ta'ala juga
berfirman:
"Wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam
golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr:
27-30).
Ayat ini berarti:
"Masuklah ke dalam golongan mereka dan jadilah bagian dari mereka."
Hal ini dikatakan kepada ruh pada saat kematiannya.
Allah juga
mengabarkan kepada kita tentang para syuhada bahwa mereka:
"Hidup di sisi
Tuhan mereka, diberi rezeki."
Dan bahwa mereka:
"Bergembira
dengan mereka yang belum menyusul mereka dari belakang."
Dan bahwa mereka:
"Bergembira
dengan karunia dan keutamaan dari Allah."
Ini menunjukkan bahwa
mereka saling bertemu dengan tiga alasan:
- Mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan saling
bertemu.
- Mereka bergembira dengan kedatangan
saudara-saudara mereka dan bertemu dengan mereka.
- Kata _"bergembira"_ dalam bahasa
Arab menunjukkan bahwa mereka saling memberi kabar gembira, seperti halnya
mereka saling berbincang. ["Ar-Ruh" (hal. 17-18)].
Terdapat pula
hadis-hadis yang menunjukkan adanya ziarah di antara orang-orang yang telah
meninggal dan anjuran memperbaiki kain kafan untuk tujuan ini. Namun, tidak ada
hadis yang sahih dalam hal ini. Di antaranya adalah hadis dari Abu Qatadah,
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"مَنْ وَلِيَ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ فَإِنَّهُمْ
يَتَزَاوَرُونَ فِيهَا."
"Barang siapa
yang mengurus saudaranya (yang telah meninggal), maka perbaikilah kain
kafannya, karena mereka saling berziarah dengan kafan tersebut."
Hadis ini
diriwayatkan dalam ‘Syu’abul Iman’ (7/10). Namun, di dalam sanadnya terdapat
"Salam bin Ibrahim al-Warraq, " yang telah dianggap pendusta oleh
Yahya bin Ma’in dan Adz-Dzahabi, serta dilemahkan oleh para ulama lainnya.
Bagaimana mayit mengetahui kabar-kabar?
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata:
أَمَّا قَوْلُهُ: هَلْ تَجْتَمِعُ رُوحُهُ مَعَ أَرْوَاحِ أَهْلِهِ
وَأَقَارِبِهِ؟ فَفِي الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ وَغَيْرِهِ
مِنْ السَّلَفِ، وَرَوَاهُ أَبُو حَاتِمٍ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَنَّ الْمَيِّتَ إذَا عُرِجَ بِرُوحِهِ
تَلَقَّتْهُ الْأَرْوَاحُ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْأَحْيَاءِ، فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ، فَيَقُولُونَ لَهُ: مَا فَعَلَ
فُلَانٌ؟ فَيَقُولُ: عَمِلَ عَمَلَ صَلَاحٍ، فَيَقُولُونَ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟
فَيَقُولُ: أَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْكُمْ؟ ، فَيَقُولُونَ: لَا، فَيَقُولُونَ ذُهِبَ
بِهِ إلَى الْهَاوِيَةِ».
وَلَمَّا كَانَتْ أَعْمَالُ الْأَحْيَاءِ تُعْرَضُ عَلَى الْمَوْتَى، كَانَ
أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أَعْمَلَ
عَمَلًا أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ ". فَهَذَا
اجْتِمَاعُهُمْ عِنْدَ قُدُومِهِ يَسْأَلُونَهُ فَيُجِيبُهُمْ.
وَأَمَّا اسْتِقْرَارُهُمْ فَبِحَسَبِ مَنَازِلِهِمْ عِنْدَ اللَّهِ،
فَمَنْ كَانَ مِنْ الْمُقَرَّبِينَ كَانَتْ مَنْزِلَتُهُ أَعْلَى مِنْ مَنْزِلَةِ
مَنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ؛ لَكِنَّ الْأَعْلَى يَنْزِلُ إلَى
الْأَسْفَلِ، وَالْأَسْفَلُ لَا يَصْعَدُ إلَى الْأَعْلَى، فَيَجْتَمِعُونَ إذَا
شَاءَ اللَّهُ، كَمَا يَجْتَمِعُونَ فِي الدُّنْيَا مَعَ تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ،
وَيَتَزَاوَرُونَ.
وَسَوَاءٌ كَانَتْ الْمَدَافِنُ مُتَبَاعِدَةً فِي الدُّنْيَا، أَوْ
مُتَقَارِبَةً. قَدْ تَجْتَمِعُ الْأَرْوَاحُ مَعَ تَبَاعُدِ الْمَدَافِنِ، وَقَدْ
تَفْتَرِقُ مَعَ تَقَارُبِ الْمَدَافِنِ، يُدْفَنُ الْمُؤْمِنُ عِنْدَ الْكَافِرِ،
وَرُوحُ هَذَا فِي الْجَنَّةِ، وَرُوحُ هَذَا فِي النَّارِ، وَالرَّجُلَانِ
يَكُونَانِ جَالِسَيْنِ أَوْ نَائِمَيْنِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، وَقَلْبُ هَذَا
يُنَعَّمُ، وَقَلْبُ هَذَا يُعَذَّبُ. وَلَيْسَ بَيْنَ الرُّوحَيْنِ اتِّصَالٌ.
فَالْأَرْوَاحُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ: فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا
اخْتَلَفَ».
وَالْبَدَنُ لَا يُنْقَلُ إلَى مَوْضِعِ الْوِلَادَةِ، بَلْ قَدْ جَاءَ:
«إنَّ الْمَيِّتَ يُذَرُّ عَلَيْهِ مِنْ تُرَابِ حُفْرَتِهِ» وَمِثْلُ هَذَا لَا
يُجْزَمُ بِهِ، وَلَا يُحْتَجُّ بِهِ. بَلْ أَجْوَدُ مِنْهُ حَدِيثٌ آخَرُ فِيهِ:
«إنَّهُ مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فِي غَيْرِ بَلَدِهِ إلَّا قِيسَ لَهُ مِنْ
مَسْقَطِ رَأْسِهِ إلَى مُنْقَطِعِ أَثَرِهِ فِي الْجَنَّةِ».
وَالْإِنْسَانُ يُبْعَثُ مِنْ حَيْثُ مَاتَ، وَبَدَنُهُ فِي قَبْرِهِ
مُشَاهَدٌ، فَلَا تُدْفَعُ الْمُشَاهَدَةُ، بِظُنُونٍ لَا حَقِيقَةَ لَهَا، بَلْ
هِيَ مُخَالِفَةٌ فِي الْعَقْلِ، وَالنَّقْلِ
Apakah ruhnya akan berkumpul dengan ruh keluarganya dan kerabatnya?
Terkait pertanyaan
ini, disebutkan dalam hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari dan yang lainnya dari
kalangan salaf, serta diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam kitab Shahih dari Nabi ﷺ bahwa:
"Sesungguhnya
mayit ketika rohnya diangkat, ruh-ruh lainnya akan menyambutnya dan menanyakan
kabar tentang orang-orang yang masih hidup. Sebagian dari mereka berkata kepada
sebagian lainnya, 'Biarkan dia hingga beristirahat.' Kemudian mereka bertanya
kepadanya, 'Apa yang dilakukan si Fulan?' Ia menjawab, 'Ia melakukan perbuatan
baik.' Mereka bertanya lagi, 'Apa yang dilakukan si Fulan?' Ia menjawab,
'Bukankah ia telah datang kepada kalian?' Mereka menjawab, 'Tidak.' Maka mereka
berkata, 'Ia telah dibawa ke neraka Hawiyah.'"
Karena amal perbuatan
orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang yang telah meninggal, Abu
Darda sering berdoa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari melakukan
perbuatan yang membuatku malu di hadapan Abdullah bin Rawahah." Inilah
bentuk pertemuan mereka saat ruh baru datang, di mana mereka bertanya dan
dijawab.
Kedudukan ruh berdasarkan tempatnya di sisi Allah
Adapun keberadaan ruh
mereka sesuai dengan derajat masing-masing di sisi Allah. Barang siapa termasuk
orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), kedudukannya lebih tinggi daripada
mereka yang termasuk golongan kanan. Namun, ruh yang lebih tinggi dapat turun
ke tingkatan yang lebih rendah, sedangkan yang lebih rendah tidak dapat naik ke
tingkatan yang lebih tinggi. Mereka dapat berkumpul jika Allah menghendaki,
sebagaimana mereka berkumpul di dunia meskipun memiliki perbedaan derajat, dan
mereka juga saling mengunjungi.
Jarak kuburan di dunia tidak memengaruhi pertemuan ruh
Baik jarak
antar-kuburan di dunia berjauhan atau berdekatan, ruh-ruh dapat bertemu
meskipun kuburan berjauhan, dan dapat terpisah meskipun kuburan berdekatan.
Seorang mukmin bisa dikuburkan di dekat seorang kafir, tetapi ruh mukmin berada
di surga, sementara ruh kafir berada di neraka. Dua orang bisa duduk atau tidur
di tempat yang sama, namun hati salah satunya mendapat kenikmatan, sementara
hati lainnya mendapat siksa, tanpa adanya hubungan antara kedua ruh tersebut.
Sebagaimana sabda
Nabi ﷺ:
"Ruh-ruh itu
adalah tentara yang berkelompok; yang saling mengenal akan bersatu, dan yang
saling tidak mengenal akan berselisih."
Badan tetap di kubur
Tubuh mayit tidak
dipindahkan ke tempat kelahirannya. Dalam riwayat disebutkan: "Mayit akan
ditaburi tanah dari kuburannya, " meskipun ini bukan sesuatu yang pasti
atau dijadikan dalil. Namun, ada riwayat yang lebih kuat: "Tidaklah
seorang mayit meninggal di negeri lain kecuali akan diukur untuknya dari tempat
kelahirannya hingga tempat akhir jejaknya di surga."
Manusia dibangkitkan dari tempat ia meninggal
Manusia akan
dibangkitkan dari tempat ia meninggal, sedangkan tubuhnya tetap terlihat di
kuburannya. Hal-hal yang dapat dilihat tidak dapat disangkal dengan dugaan yang
tidak memiliki dasar kebenaran, bahkan bertentangan dengan akal dan dalil
naqli.
[Lihat: al-Fatawa
al-Kubra: 3/64-65].
APAKAH NABI ﷺ MENDENGAR ORANG YANG MEMANGGILNYA DI KUBURNYA?
Nabi ﷺ hidup di kuburnya dalam kehidupan barzakh yang dengannya beliau
menikmati kenikmatan yang telah Allah sediakan sebagai balasan atas amal-amal
mulia yang beliau lakukan selama hidupnya di dunia. Kehidupan ini bukan seperti
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, tetapi merupakan kehidupan barzakh,
yaitu perantara antara kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan demikian,
diketahui bahwa beliau telah wafat sebagaimana wafatnya orang-orang sebelumnya,
baik dari kalangan nabi maupun selain mereka.
Allah Ta’ala
berfirman:
(وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ
فَهُمُ الْخَالِدُونَ)
“Kami tidak
menjadikan seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad) hidup kekal, maka jika
kamu mati, apakah mereka akan kekal?”. (Al-Anbiya: 34).
Allah juga berfirman:
(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ.وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلالِ وَالإكْرَامِ)
“Semua yang ada di
bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan”. (Ar-Rahman: 26-27).
Allah berfirman:
(إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ)
“Sesungguhnya kamu
(Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati”_ (Az-Zumar: 30).
Dan Allah SWT
berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ
عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul (mereka telah wafat). Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Abu Bakar Ash-Shiddiq
radiallahu anhu berkata saat dia berdiri di hadapan orang untuk menyampaikan
khutbah pasca wafatnya Nabi ﷺ:
"أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّ مُحَمَّدًا
قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ.
وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ}، وَقَالَ: {وَمَا مُحَمَّدٌ
إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ
انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ
يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}". انتهى.
"Ketahuilah,
siapa yang menyembah Muhammad ﷺ, sungguh Muhammad telah mati,
dan siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak mati.
Lalu beliau mengutip
firman Allah, 'Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati
(pula)." (QS. Az-Zumar: 30).
Juga firman-Nya,
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)
(HR. Bukhari, no. 3667)
Ayat-ayat ini
menunjukkan bahwa Allah telah mewafatkan beliau. Para sahabat radhiyallahu
'anhum memandikan jenazah beliau, mengafaninya, menshalatinya, dan
menguburkannya. Seandainya beliau masih hidup seperti kehidupan dunia, tentu
mereka tidak akan memperlakukan beliau sebagaimana perlakuan kepada orang yang
telah wafat.
Fatimah radhiyallahu
'anha juga meminta warisan dari ayahnya ﷺ
kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu karena keyakinannya bahwa beliau telah
wafat. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang menyelisihi keyakinan ini.
Abu Bakar menjawab bahwa para nabi tidak mewariskan harta.
Selain itu, para
sahabat berkumpul untuk memilih khalifah pengganti beliau dan menyepakati Abu
Bakar radhiyallahu 'anhu. Seandainya beliau masih hidup seperti di dunia, tentu
mereka tidak akan melakukannya. Ini adalah ijma’ mereka atas wafatnya beliau.
Ketika fitnah dan
permasalahan banyak terjadi pada masa Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhuma,
sebelum dan sesudahnya, mereka tidak pergi ke kubur Nabi ﷺ untuk meminta petunjuk atau penyelesaian. Seandainya beliau
hidup seperti di dunia, tentu mereka akan melakukannya karena sangat
membutuhkan penyelesaian.
Kehidupan barzakh
adalah kehidupan khusus. Para nabi dan syuhada hidup di barzakh sebagaimana
sabda Nabi ﷺ:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
“Para nabi hidup di
kubur mereka dan mereka shalat.”
[HR.
Abu Nu'aim dalam Akhbar Asbahan 2/44, Al-Bazzar dalam Al-Musnad nomor 6888, Abu
Ya'la dalam Al-Musnad (hadits nomor 3425), dan Al-Baihaqi dalam Hayat Al-Anbiya
halaman 72 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.
Hadits ini shahih
menurut Al-Haytsami dalam Al-Majma' 8/211, Al-Munawi dalam Fayd al-Qadir, dan
Sheikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (hadits nomor 621).
Allah Ta’ala juga
berfirman:
﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا
آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا
بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾
“Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. [Al Imran: 169]
Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. [Al Imran: 170]
Kehidupan ini adalah
kehidupan khusus yang hanya diketahui oleh Allah, dan tidak seperti kehidupan
dunia di mana ruh terpisah dari jasad.
===****===
DI MANA RUH NABI ﷺ SETELAH WAFAT:
Adapun ruh Nabi ﷺ, maka ia berada di tempat tertinggi (I'liyyin) karena beliau
adalah makhluk terbaik. Allah memberinya Al-Wasilah, yaitu derajat tertinggi di
surga.
Diriwayatkan oleh
Bukhari (5674) – dengan lafaz ini – dan Muslim (2191), dari Aisyah radhiyallahu
'anha, ia berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ
bersandar kepadaku, beliau berkata:
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ
الأَعْلَى)
"Ya Allah,
ampunilah aku, rahmatilah aku, dan tempatkanlah aku bersama ar-Rofiiq al-A’laa
(teman yang tertinggi)."
Yang dimaksud dengan
" ar-Rofiiq al-A’laa (teman yang tertinggi)" adalah bersama mereka
yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang sangat jujur,
para syuhada, dan orang-orang saleh di surga yang paling tinggi. Jika seorang
hamba yang saleh bergabung dengan teman yang tertinggi, maka ia akan berada di
derajatnya, sehingga nabi bersama para nabi, orang yang sangat jujur bersama
yang sangat jujur, dan orang saleh bersama orang-orang saleh.
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, ia berkata:
" كُنْتُ أَسْمَعُ أَنَّهُ لَنْ يَمُوتَ نَبِيّ حَتَّى
يُخَيَّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، قَالَتْ: فَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ وَأَخَذَتْهُ بُحَّةٌ يَقُولُ:
(مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا) قَالَتْ:
فَظَنَنْتُهُ خُيِّرَ حِينَئِذٍ ".
"Aku pernah
mendengar bahwa tidak ada nabi yang wafat sebelum ia diberi pilihan antara
dunia dan akhirat." Ia berkata: "Aku mendengar Nabi ﷺ dalam penyakit yang menyebabkan wafatnya, beliau menjadi serak
dan berkata: 'Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi,
orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka
itulah teman yang terbaik.' Aku pun memahami bahwa beliau sedang diberi pilihan
pada saat itu." [HR. Bukhari (4435) dan Muslim (2444)].
Ibnu Abdil Barr
rahimahullah berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ: (وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الْأَعْلَى) فَمَأْخُوذٌ
عِنْدَهُمْ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: (مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا)" اِنْتَهَى
“Adapun ucapan beliau
ﷺ: ‘Dan tempatkanlah aku bersama teman yang tertinggi, ’ diambil
dari firman Allah Azza wa Jalla: ‘Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu
para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh,
dan mereka itulah teman yang terbaik.’” (Selesai dari Al-Istidzkar, 3/85).
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata:
وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْحَدِيثِ الْآخَرِ: (اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى) ثَلَاثًا"
اِنْتَهَى
“Ini adalah makna
dari sabda Nabi ﷺ dalam hadis lain: ‘Ya Allah,
tempatkanlah aku bersama teman yang tertinggi, ’ sebanyak tiga kali.” (Selesai
dari Tafsir Ibnu Katsir, 2/353).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
"وَقَدْ وَقَعَ لِي مِنْ طَرِيقِ أَحْمَدَ بْنِ حَرْبٍ عَنْ
مُسْلِمِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ فِيهِ بِزِيَادَةٍ بَعْدَ
قَوْلِهِ: (الَّذِي قُبِضَ فِيهِ أَصَابَتْهُ بُحَّةٌ): فَجَعَلْتُ أَسْمَعُهُ
يَقُولُ: (فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ النَّبِيِّينَ) الْآيَةَ". اِنْتَهَى
“Telah sampai
kepadaku dari jalur Ahmad bin Harb dari Muslim bin Ibrahim, salah seorang guru
Imam Bukhari, dengan tambahan setelah ucapannya: ‘Dalam keadaan beliau
terserang suara serak, ’ aku mendengar beliau berkata: ‘Di teman yang tertinggi
bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi.’” (Selesai dari Fathul
Bari, 8/137).
Berdasarkan hal ini,
secara asal tidak ada larangan bagi seorang hamba untuk memohon kepada Rabbnya
agar ditempatkan bersama teman yang tertinggi ketika ia wafat, dan agar ia
diberi tempat di kalangan orang-orang saleh. Hal ini bukanlah sesuatu yang
khusus bagi para nabi.
Dari Zaid bin Aslam,
ia berkata:
" أُغْمِيَ عَلَى الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، ثُمَّ أَفَاقَ
فَقَالَ: "أَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ، وَصْلُ اللَّهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا،
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى: (مَعَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا)النساء/ 69 ".
"Al-Miswar bin
Makhramah pingsan, lalu sadar kembali dan berkata: 'Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Berjumpa dengan
Allah lebih aku cintai daripada dunia dan segala isinya. Abdurrahman bin Auf
berada di teman yang tertinggi: (Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu
para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh,
dan mereka itulah teman yang terbaik).” (An-Nisa: 69)."
Diriwayatkan oleh Ibn
Abi Dunya dalam Kitab Al-Muhtadhorin (hal. 358) dengan sanad yang sahih.
Para ulama Komite
Tetap berkata:
"إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ
عَلَى الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَهَا، فَهِيَ بَاقِيَةٌ كَمَا هِيَ، وَهُمْ أَحْيَاءٌ
فِي قُبُورِهِمْ حَيَاةً بَرْزَخِيَّةً اللَّهُ أَعْلَمُ بِكَيْفِيَّتِهَا،
وَلَيْسَتْ كَحَيَاتِهِمْ فِي الدُّنْيَا، وَأَرْوَاحُهُمْ فِي الْجَنَّةِ،
وَهَكَذَا أَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ، وَرُوحُ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ فِي الرَّفِيقِ
الأَعْلَى فِي الْجَنَّةِ." انْتَهَى
"Sesungguhnya
Allah mengharamkan jasad para nabi dan rasul untuk dimakan oleh bumi. Jasad
mereka tetap utuh sebagaimana adanya, dan mereka hidup di dalam kubur mereka
dengan kehidupan barzakh yang hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Kehidupan
tersebut tidak seperti kehidupan mereka di dunia. Ruh mereka berada di surga,
dan demikian pula ruh orang-orang beriman. Ruh Nabi kita Muhammad ﷺ berada di teman yang tertinggi di surga." (Selesai dari
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2/443).
Syeikh Bin Baaz
rahimahullah berkata:
"قَدْ عَلِمَ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ وَبِالْأَدِلَّةِ
الشَّرْعِيَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَا يُوجَدُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، إِنَّمَا
يُوجَدُ جِسْمُهُ فِي قَبْرِهِ فَقَطٍ فِي الْمَدِينَةِ الْمَنْوَرَةِ، أَمَّا
رُوحُهُ فَفِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى فِي الْجَنَّةِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى ذَلِكَ
مَا ثَبَتَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ الْمَوْتِ: (اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ
الْأَعْلَى ثَلَاثًا ثُمَّ تُوُفِّيَ).
وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْإِسْلَامِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ
بَعْدَهُمْ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دُفِنَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا الْمُجَاوِرِ لِمَسْجِدِهِ الشَّرِيفِ، وَلَمْ يَزَلْ
جِسْمُهُ فِيهِ إِلَى حِينِ التَّارِيخِ.
أَمَّا رُوحُهُ وَأَرْوَاحُ بَقِيَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ
وَأَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ فَكُلُّهَا فِي الْجَنَّةِ، لَكِنَّهَا عَلَى
مَنَازِلَ فِي نَعِيمِهَا وَدَرَجَاتِهَا حَسَبَ مَا خَصَّ اللهُ بِهِ الْجَمِيعَ
مِنَ الْعِلْمِ وَالإِيمَانِ، وَالصَّبْرِ عَلَى حَمْلِ الشَّقَاقِ فِي سَبِيلِ
الدَّعْوَةِ إِلَى الْحَقِّ.
"Merupakan
perkara agama yang seharusnya sudah diketahui dan berdasarkan dalil-dalil
syari, bahwa Rasulullah ﷺ tidak berada di semua tempat,
akan tetapi jasadnya terdapat dalam kuburnya saja di Madinah Munawarah. Adapun
ruhnya berada di tempat yang tinggi di surga. Hal tersbut telah ditunjukkan berdasarkan
riwayat shahih dari beliau, bahwa menjelang wafatnya beliau berdoa, "Ya
Allah semoga aku ditempatkan di tempat yang tertinggi."
Juga para ulama Islam
dari kalangan shahabat dan orang sesudah mereka sepakat bahwa beliau dikuburkan
di kamar Aisyah radhiallahu anha di sisi Masjid beliau yang mulia, dan jasadnya
hingga kini berada di tempat tersebut.
Adapun ruhnya dan ruh
para nabi serta kaum muslimin, semuanya di surga, akan tetapi di tempat dan
derajat yang berbeda-beda sesuai ilmu dan keimanan yang Allah berikan kepadnya
serta kesabaran dalam menanggung penderitaan di jalan dakwah kepada kebenaran.
[Baca: Majmu Fatawa Ibnu Baz, 3/381-383].
Tidak ada dalil dari
Al-Qur'an dan sunnah shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mendengar setiap doa atau panggilan manusia. Yang ada hanyalah
bahwa beliau ﷺ mendapatkan berita dari
malaikat tentang shalawat dan salam yang disampaikan kepadanya, sebagaimana
dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
إنَّ للهِ مَلائِكةً سيَّاحين في الأرضِ يُبَلِّغوني من أمَّتي السَّلامَ
_“Tidaklah seorang
pun yang bershalawat kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku hingga aku
menjawab salamnya.”
[HR.
Abu Dawud (2041), An-Nasa'i (1282) dengan lafaznya, dan Ahmad (3666).
Dihasankan oleh Ibn Hibban dalam Shahih (914), Ibn Baz dalam Majmu' al-Fatawa
(9/311), Al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa'i (1282), dan Al-Wada'i dengan
syarat Muslim dalam As-Sahih al-Musnad (885).
Ali Al-Qari
mengatakan:
فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى حَيَاتِهِ الدَّائِمَةِ وَفَرَحِهِ بْلُوغِ سَلاَمِ
أُمَّتِهِ الكَامِلَةِ
"Ini menunjukkan
kehidupan beliau yang terus berkesinambungan dan kegembiraan beliau ketika
salam umatnya sampai kepadanya." Lihat: Mirqat al-Mafatih Sharh Mishkat
al-Masabih (2/743).
Namun, dalam hadits
diatas ini tidak secara eksplisit menyatakan bahwa beliau mendengar langsung
salam tersebut. Ini menunjukkan beliau membalasnya setelah disampaikan oleh
malaikat. Oleh sebab itu Nabi ﷺ melarang umatnya menjadikan
kuburannya sebagai sarana dan tempat bolak balik manusia [عَادَ – يَعُوْد - عِيْداً]. Beliau memebrikan solusi
terbaik baik bagi umat nya dengan mencukupkan shalawat dan salam dari kediaman
atau keberadaan masing-masing dari umatnya.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
((لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ
صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنتُمْ))
"Janganlah
menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan berdoalah untukku, karena doa
kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada."
[HR.
Abu Dawud (2042) dan Ahmad (8804)]
Hadis ini
dikategorikan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2042), dan
juga shahih menurut Syuaib Al-Arnauth dalam takhrij Sunan Abu Dawud (2042),
dihasankan oleh Ibn Taymiyyah dalam Al-Ikhniyyah (265), Muhammad bin Abdul Hadi
dalam Ash-Shorim al-Munki (207), dan Ibn Hajar dalam Al-Futuhat al-Rabbaniyah
(3/314).
Ada banyak hikmah
dari larangan bolak balik ke keburannya itu, diantara nya:
- Agar tidak memberatkan umatnya.
- Menutup celah (سَدُّ الذَّرِيْعَة) agar umat nya tidak terjerumus dalam pengkultusan pada
diri beliau, yang dikhawatirkan kelak berkelanjutan pada penuhanan,
sebagiamana yang pernah menimpa pada umat-umat terdahulu.
Dan inilah yang
sangat dikhawatirkan, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu 'anha bahwa
Rosulullah ﷺ bersabda di saat beliau sakit menjelang akhir hayatnya:
«لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»، قَالَتْ: "وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ
قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا".
" Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah menjadikan kuburan para nabinya
sebagai masjid-masjid (tempat-tempat ibadah).
Aisyah berkata:
"Kalau bukan karena itu sungguh akan aku perlihatkan kuburannya, akan
tetapi sungguh aku takut akan dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah dan
berdoa). (HR. Bukhori dan Muslim).
Seandainya beliau
mendengar salam tersebut, maka itu adalah pengecualian, sebagaimana
pengecualian dalam hal mendengar suara langkah kaki pengantar jenazah atau
mendengar panggilan Rasulullah ﷺ
kepada kaum kafir yang dikubur di sumur Badar.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ، إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي،
حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
"Tidak ada
seorang pun yang memberi salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku
kepadaku, hingga aku membalas salamnya."
Hadis ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud (2041), dan lafaznya milik beliau, Ahmad (10815).
Hadis ini dikategorikan shahih oleh Ibn Baz dalam Fatawa Nur Ala Darb (14/158),
dihasankan oleh Ibn Hajar dalam Al-Futuhat al-Rabbaniyah, dan Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud (2041) (5/31), serta sanadnya disahkan oleh An-Nawawi
dalam Al-Majmu' (8/272).
Al-Munawi berkata:
(هَذَا ظَاهِرٌ فِي اسْتِمْرَارِ حَيَاتِهِ؛ لِاسْتِحَالَةِ أَنْ
يَخْلُوَ الْوُجُودُ كُلُّهُ مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ عَادَةً، وَمَنْ
خَصَّ الرَّدَّ بِوَقْتِ الزِّيَارَةِ فَعَلَيْهِ الْبَيَانُ)
"Ini jelas
menunjukkan kehidupan beliau yang berkelanjutan, karena mustahil jika seluruh
dunia tidak ada yang memberi salam kepadanya sebagai kebiasaan, dan jika
pembalasan salam hanya khusus pada waktu ziarah, maka harus dijelaskan."
Lihat: Fayd al-Qadir (5/467).
(إِنَّ لِرُوحِهِ تَعَلُّقًا بِمَقَرِّ بَدَنِهِ الشَّرِيفِ، وَحَرَامٌ
عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ، فَحَالُهُ كَحَالِ
النَّائِمِ الَّذِي تَرْقِي رُوحُهُ بِحَسَبِ قُوَّاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ
لَهُ مِمَّا اخْتَصَّ بِهِ مِنْ بُلُوغِهِ غَايَةَ الْقُدْرَةِ لَهُ بِحَسَبِ
قَدْرِهِ عِندَ اللَّهِ فِي الْمَلَكُوتِ الْأَعْلَى، وَلَهَا بِالْبَدَنِ
تَعَلُّقٌ)
Ia juga mengatakan:
"Sesungguhnya ruh beliau terikat dengan tubuh mulia beliau, dan haram bagi
bumi untuk memakan jasad para nabi. Keadaan beliau seperti orang yang sedang
tidur, yang ruhnya naik sesuai dengan kekuatannya ke tempat yang dikehendaki
Allah, sesuai dengan kemampuan beliau yang khusus, tergantung pada kedudukan
beliau di sisi Allah di alam tertinggi, dan ruh tersebut terikat dengan
tubuhnya." Lihat: Fayd al-Qadir (6/170) dengan sedikit perubahan.
Syeikh Syinqiti
mengatakan:
(ما ثبت عنه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أنَّه لا يُسَلِّمُ عليه
أحدٌ إلَّا رَدَّ اللهُ عليه روحَه حتى يَرُدَّ عليه السَّلامَ، وأنَّ اللهَ وكَّل
مَلائِكةً يبَلِّغونه سلامَ أمَّتِه، فإنَّ تلك الحياةَ أيضًا لا يَعقِلُ
حقيقَتَها أهلُ الدُّنيا؛ لأنها ثابتةٌ له صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، مع أنَّ
رُوحهَ الكريمةَ في أعلى عِلِّيينَ مع الرَّفيقِ الأعلى فوقَ أرواحِ الشُّهَداءِ،
فتَعلُّقُ هذه الرُّوحِ الطَّاهرةِ التي هي في أعلى عِلِّيينَ بهذا البَدَنِ
الشَّريفِ الذي لا تأكُلُه الأرضُ، يَعْلَمُ اللهُ حقيقَتَه، ولا يَعْلَمُها
الخَلْقُ، كما قال في جِنسِ ذلك: وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ...
وإذا صَرَّح القُرآنُ بأنَّ الشُّهَداءَ أحياءٌ في قَولِه تعالى:
بَلْ أَحْيَاءٌ، وصرَّح بأن هذه الحياةَ لا يعرِفُ حقيقتَها أهلُ الدُّنيا
بقَولِه: وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ، وكان النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم أثبتَ حياتَه في القبرِ بحيث يَسمَعُ السَّلامَ ويرُدُّه، وأصحابُه الذين
دفنوه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لا تشعُرُ حواسُّهم بتلك الحياةِ، عرَفْنا أنها
حياةٌ لا يعقِلُها أهلُ الدُّنيا أيضًا، ومِمَّا يُقَرِّبُ هذا للذِّهْنِ حياةُ
النَّائِمِ، فإنَّه يخالِفُ الحَيَّ في جميعِ التصَرُّفاتِ مع أنَّه يُدرِكُ الرُّؤيا،
ويَعقِلُ المعانيَ. واللهُ تعالى أعلَمُ)
"Apa
yang tetap dari Nabi ﷺ bahwa tidak ada yang memberi
salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruhnya kepadanya untuk membalas
salam tersebut, dan bahwa Allah telah menugaskan malaikat-malaikat untuk menyampaikan
salam umatnya kepada beliau, maka kehidupan tersebut juga tidak dapat dipahami
oleh orang dunia; karena itu adalah kehidupan yang tetap bagi beliau, meskipun
ruhnya yang mulia berada di atas 'Illiyyin bersama dengan teman-teman yang
tinggi di atas roh para syuhada, sehingga hubungan ruh yang suci ini yang
berada di atas 'Illiyyin dengan tubuh mulia yang tidak dimakan bumi, hanya
Allah yang mengetahui hakikatnya, dan makhluk tidak mengetahuinya, sebagaimana
disebutkan dalam jenis itu: "Tetapi kalian tidak merasakannya...".
Dan ketika Al-Qur'an
dengan jelas menyatakan bahwa para syuhada hidup dalam firman-Nya:
"Sebenarnya mereka hidup, " dan menyatakan bahwa kehidupan ini tidak
dapat dipahami oleh orang dunia dalam firman-Nya: "Tetapi kalian tidak merasakannya,
" dan Nabi ﷺ telah meneguhkan kehidupan
beliau di dalam kubur sehingga beliau mendengar salam dan membalasnya,
sementara para sahabat yang menguburkannya tidak merasakan kehidupan itu dengan
indera mereka, maka kita tahu bahwa itu adalah kehidupan yang tidak bisa
dipahami oleh orang dunia juga. Sebagai perbandingan, kehidupan orang yang
sedang tidur, meskipun ia berbeda dengan orang hidup dalam segala perbuatan,
tetapi ia dapat merasakan mimpi dan memahami makna. Allah Maha
Mengetahui." Lihat: Dafa' Iham al-Izhtirab 'An Ayat al-Kitab (hlm: 24).
Syeikh Bin Baz
berkata:
(قد صرَّح الكثيرون من أهلِ السُّنَّةِ بأنَّ النَّبِيَّ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّم حيٌّ في قبرِه حياةً برزخيَّةً لا يَعْلَمُ كُنْهَها
وكيفيَّتَها إلَّا اللهُ سُبحانَه، وليست من جنسِ حياةِ أهلِ الدُّنيا، بل هي نوعٌ
آخَرُ يَحصُلُ بها له صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الإحساسُ بالنعيمِ، ويَسمَعُ بها
سلامَ المُسلِّمِ عليه عندما يرُدُّ اللهُ عليه رُوحَه ذلك الوَقتَ).
"Banyak ulama
Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ
hidup di dalam kuburnya dengan kehidupan barzakh yang hanya diketahui oleh
Allah, dan bukan dari jenis kehidupan duniawi. Kehidupan ini adalah jenis lain
yang dengannya beliau merasakan kenikmatan dan mendengar salam orang yang
memberi salam kepadanya ketika Allah mengembalikan ruh beliau pada saat
itu." Lihat: Dafa' Iham al-Izhtirab 'An Ayat al-Kitab (hlm: 24).
===***===
PENJAGAAN PARA SAHABAT DARI PENYALAH
GUNAAN KUBURAN NABI ﷺ:
Doa Rosulullah ﷺ agar kuburannya tidak di jadikan berhala yang di sembah
terkabulkan berkat usaha para sahabat dan generasi sesudahnya.
Ada dua langkah
penting yang mereka lakukan dalam mengemban wasiat Nabi ﷺ:
Pertama: menyampaikan
wasiatnya dengan lisan, tindakan dan peneladanan.
Kedua: penempatan
kuburannya yang tepat serta benteng penjagaannya yang kokoh dan berkesinambungan.
Proses musyawarah
pemakaman Nabi ﷺ:
Dari Umar, maula
Afroh berkata:
لَمَّا ائْتَمَرُوا فِي دَفْنِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، قَالَ قَائِلٌ: نَدْفِنُهُ
حَيْثُ كَانَ يُصَلِّي فِي مَقَامِهِ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَعَاذَ اللهِ أَنْ
نَجْعَلَهُ وَثَنًا يُعْبَدُ، وَقَالَ آخَرُونَ: نَدْفِنُهُ فِي الْبَقِيعِ حَيْثُ
دُفِنَ إِخْوَانُهُ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّا نَكْرَهُ
إِنْ خَرَجَ قَبْرُ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَعُوذَ بِهِ عَائِذٌ مِنَ
النَّاسِ، لِلَّهِ عَلَيْهِ حَقٌّ، وَحَقُّ اللهِ فَوْقَ حَقِّ رَسُولِ اللهِ ﷺ،
فَإِنْ أَخَذْنَا بِهِ ضَيَّعْنَا حَقَّ اللهِ، وَإِنْ أَخْفَرْنَاهُ أَخْفَرْنَا
قَبْرَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، قَالُوا: فَمَا تَرَى أَنْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ؟ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: مَا قَبَضَ اللهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا دُفِنَ
حَيْثُ قَبَضَ رُوحَهُ، قَالُوا: فَأَنْتَ وَاللهِ رَضِيٌّ مُقْنِعٌ، ثُمَّ
خَطُّوا حَوْلَ الْفِرَاشِ خَطًّا ثُمَّ احْتَمَلَهُ عَلِيٌّ وَالْعَبَّاسُ
وَالْفَضْلُ وَأَهْلُهُ، وَوَقَعَ الْقَوْمُ فِي الْحَفْرِ يَحْفِرُونَ حَيْثُ
كَانَ الْفِرَاشُ.
Ketika para sahabat
berembuk tukar pendapat mengenai penguburan (jasad) Rosulullah ﷺ, maka ada seseorang yang mengusulkan dengan mengatakan: Kami
menguburkannya di tempat beliau biasa shalat.
Dan Abu Bakar
menjawab: "Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan kami menjadikan
beliau berhala yang di sembah ".
Dan sahabat-sahabat
lainnya mengusulkan: Kami menguburkannya di (pemakaman) Baqi' bersama
kawan-kawannya dari kalangan muhajirin. Abu Bakar menjawab: Sungguh kami benci
jika kuburan beliau keluar ke pemakaman Baqi lalu ada seseorang dari manusia
memohon perlindungan kepadanya. Allah punya hak padanya, hak Allah diatas hak
Rosulullah ﷺ, jika kami mendahulukan hak beliau (dengan menguburkannya di
Baqi), maka kami telah menyia-nyiakan hak Allah, memang benar jika kita
menggalinya, kita menggalinya untuk kuburan Rosulullah ﷺ.
Mereka para sahabat
bertanya: "Kalau pendapat kamu apa, wahai Abu Bakar? ".
Abu Bakar menjawab:
"Aku mendengar Rosulullah ﷺ
bersabda: "Tidaklah sekali-kali Allah mencabut nyawa seorang Nabi, kecuali
di makamkan di tempat di cabut ruhnya ".
Mereka berkata: “
Kamu, demi Allah, orang yang di ridloi dan membuat kami menerima”.
Kemudian mereka
memberi garis di sekitar tempat tidur (Rosulullah ﷺ),
kemudian Ali, Abbas, Fadlel dan keluarganya mengangkatnya. Pada akhirnya para
sahabat menggali untuk kuburan beliau di lokasi tempat tidurnya.
(HR. Ibnu Zanjaweih
dan Muhammad bin Hatim dalam Fadloil ash-Shiddiiq. lihat Tahdzirus Saajid 1/11
dan Kanzul 'Ummal no. 1874. Ibnu Katsir berkata: Dari arah ini sanad nya
terputus, karena orang yang bernama Umar, maula Afroh di samping dia lemah, dia
juga tidak menjumpai masa-masa Abu Bakar Ash-Shiddiq).
====
PENJAGAAN YANG DI LAKUKAN OLEH ISTRI
NABI ﷺ DAN ANAK CUCUNYA:
Beliau ﷺ di makamkan di rumahnya di kamar istri tercintanya A'isyah, di
tempat tidurnya, beliau wafat di pangkuan nya. Dan Aisyah – radliyallahu 'anha
– benar-benar menjaga wasiat Nabi ﷺ.
Dari Aisyah
radliyallahu 'anha bahwasannya Rosulullah ﷺ
bersabda di saat beliau sakit menjelang akhir hayatnya:
«لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»، قَالَتْ: "وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ
قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا".
" Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah menjadikan kuburan para nabinya
sebagai masjid-masjid (tempat-tempat ibadah).
Aisyah berkata:
"Kalau bukan karena itu sungguh akan aku perlihatkan kuburannya, akan
tetapi sungguh aku takut akan dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah dan
berdoa). (HR. Bukhori dan Muslim).
Pada masa Aisyah
masih hidup tidak semua orang bisa masuk kamarnya untuk melihat kuburan Nabi ﷺ, kecuali keluarganya yang hanya sekedar ingin tahu bagaimana
bentuk penampilan dan posisi kuburannya yang syari'.
Dari Qosim bin
Muhammad bin Abu Bakar, keponakan Aisyah, suatu ketika dia masuk rumah A'isyah
dan minta izin kepadanya hanya untuk melihat bentuk kuburan Nabi ﷺ dan dua sahabatnya, dia berkata kepadanya:
يَا أُمَّاهُ اكْشِفِى لِى عَنْ قَبْرِ النَّبِىِّ ﷺ وَصَاحِبَيْهِ!
فَكَشَفَتْ لِى عَنْ ثَلاَثَةِ قُبُورٍ لاَ مُشْرِفَةٍ وَلاَ لاَطِئَةٍ
مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ. فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
مُقَدَّمًا وَأَبَا بَكْرٍ رضي الله عنه رَأْسُهُ بَيْنَ كَتِفَىِ النَّبِىِّ ﷺ
وَعُمَرَ رضي الله عنه رَأْسُهُ عِنْدَ رِجْلَىِ النَّبِىِّ ﷺ.
“ Wahai bunda,
perlihatkanlah untukku akan kuburan Nabi ﷺ
dan dua sahabatnya!”
Lalu beliau pun
memperlihatkan untuknya tiga kuburan yang nampak tidak nyumbul, dan tidak ada
plesteran, yang di hampari pasir halaman rumah berkerikil kemerah-merahan. Lalu
aku melihat (kuburan) Rosulullah ﷺ
paling depan, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kepalanya berada diantara dua
belikat Nabi ﷺ, dan Umar radhiyallahu ‘anhu
kepalanya di sisi kedua kaki Nabi ﷺ
".
(Atsar ini
diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3222, al-Hakim no. 1368, Baihaqi no. 7006 dan
Abu Ya'la no. 4571. Sanadnya di sahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Mulqin dalam
Al-Badrul Munir 5/315. Dan di dlaifkan oleh Al-Bany dalam Dloif Abu Daud
1/326).
Yang di lakukan CUCU
-CUCU Ali bin Abi Thalib dari istrinya Fathimah putri Nabi ﷺ dalam menjaga kuburan Nabi ﷺ.
Said bin Manshur
telah meriwayatkan dalam Sunannya dari Suhail bin Abi Suhail, dia berkata:
«رَآنِيَ الحَسَنُ بْنُ الحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
عِنْدَ القَبْرِ، فَنَادَانِي وَهُوَ فِي بَيْتِ فَاطِمَةَ يَتَعَشَّى، فَقَالَ:
هَلُمَّ إِلَى العَشَاءِ. فَقُلْتُ: لَا أُرِيدُهُ، فَقَالَ: مَا لِي رَأَيْتُكَ
عِنْدَ القَبْرِ؟ فَقُلْتُ: سَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ. فَقَالَ: إِذَا
دَخَلْتَ المَسْجِدَ فَسَلِّمْ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «لَا
تَتَّخِذُوا بَيْتِي عِيدًا وَلَا تَتَّخِذُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، لَعَنَ
اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ،
وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ». مَا
أَنْتُمْ وَمَنْ بِالأَنْدَلُسِ إِلَّا سَوَاءٌ». إهْ.
Hasan bin Hasan bin
Ali bin Abu Thalib suatu ketika melihatku di sisi kuburan Nabi ﷺ, maka dia memanggilku saat itu dia berada di rumah Fatimah
sedang makan malam, maka dia berkata: Mari kita makan malam!, lalu aku jawab:
Aku tidak ingin makan.
Maka dia bertanya:
Ada apa dengan kamu, aku lihat kamu di sisi kuburan? maka aku jawab: Aku
mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ, maka dia berkata: Jika kamu
masuk masjid, maka kamu ucapkanlah salam!
Kemudian dia
melanjutkan kata-katanya: Sesungguhnya Rosulullah ﷺ
telah bersabda:
" Janganlah
kalian jadikan kuburanku sebagai tempat Ied (rame-rame, perayaan atau mondar
mandir untuk beribadah), dan janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan,
Allah telah melaknat orang-orang Yahudi dan Kristen disebabkan mereka telah
menjadikan kuburan-kuburan para nabinya sebagai masjid-masjid. Dan
bersholawatlah padaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku
dimanapun kalian berada ". Tidak ada bedanya antara kalian yang di sini
dengan orang yang berada di Andalusia, semua sama saja.
(Hadits sahih,
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah no. 48, Ibnu Asaakir 4/217
dan Abdurrozaaq 3/577. Di sahihkan oleh Al-Bany).
Kemudian yang
dilakukan oleh ‘Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Tholib:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجِيءُ إلَى
فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ فَيَدْخُلُ فِيهَا فَيَدْعُو
فَدَعَاهُ ، فَقَالَ: أَلاَ أُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِي ، عَنْ
جَدِّي ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ ، قَالَ: « لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ
بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ وَتَسْلِيمَكُم
يَبْلُغُنِي حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ ».
Dari ‘Ali bin Husain
bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan
Nabi ﷺ kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain
berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari
kakekku dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda: ‘Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat perayaan dan mondar-mandir),
dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku
karena sholawat kalian dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian
berada’.
Diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dalam Tarikhnya 2/186, Abdurrozzaq dalam Mushannafnya 3/577 no.
6726 dan juga Ibnu Abi Syaibah Mushonnaf-nya(2/268):
Hadits tersebut
dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan
dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman
228.
PENJAGAAN FISIK
KUBURAN NABI ﷺ:
Setelah Rosulullah ﷺ di makamkan di kamar istrinya Aisyah – radliyallahu 'anha-,
maka 'Aisyah membangun dinding pemisah antara kuburan Nabi ﷺ dan kamar tidurnya. Dengan demikian kamar itu menjadi dua
bagian, kamar tidur Aisyah dan kuburan Nabi ﷺ.
Kondisi tersebut masih tetap seperti itu ketika Abu Bakar wafat dan di makamkan
di samping Rosulullah ﷺ sebelah utara. Dan itu semua
meskipun sudah ada tembok pemisah, tapi tetap saja masih termasuk bagian dari
kamar Aisyah.
Ketika Umar wafat dan
di makamkan di situ, maka Aisyah – radliyallahu 'anha - meninggalkan kamar itu
secara keseluruhan dan menutup kamar rapat-rapat, disana tidak ada pintu masuk
ke kamar tadi, kecuali sebuah jendela kecil.
Kamar tersebut bukan
bangunan yang terbuat dari batu, dan bukan bangunan yang di plester atau
dilepa, akan tetapi bangunan yang ada pada zaman Rosulullah ﷺ yang terbuat dari kayu dan sejenisnya.
Ketika bangunan
masjid Nabawi diperluas pada masa kholifah Walid bin Abdul Malik, dan pada saat
itu yang menjabat gubernur Madinah adalah Umar bin Abdul Aziz, maka mereka
mengambil sebagian dari kamar-kamar para istri Nabi ﷺ
untuk perluasan, namun kamar Nabi ﷺ
tetap seperti semula, maka mereka mengambil sebagian lokasi Raudlah dari mesjid
Nabawi untuk membangun dinding lainnya, bukan dinding yang pertama.
Mereka membangun
dinding dari tiga arah, dan menjadikan dinding arah utara mengkrucut lancip
segitiga.
Dengan demikan
kuburan Rosulullah ﷺ telah di kelilingi dua
dinding. Dinding pertama tertutup rapat, yaitu dinding kamar A'isyah. Dan
dinding kedua adalah dinding yang di bangun pada masa pemerintahan Walid bin
Abdul Malik,
dan mereka menjadikan
dinding dari arah utara – arah yang berlawanan dengan qiblat - berbentuk lancip
segitiga, karena dari arah sanalah adanya perluasan, mereka khawatir jika bentuk
tembok itu segi empat akan bertepatan lurus dengan orang yang menghadapnya,
karena jika demikian maka jika ada orang yang menghadap tembok tersebut, dia
menghadap kuburan, oleh karena itu mereka menjadikannya lancip mengkrucut
segitiga kearah yang berlawanan dengan kiblat, dan dinding kedua ini jauh dari
dinding yang pertama, yaitu dinding kamar A'isyah, mereka sengaja dibikin
demikian dengan tujuan agar tidak mungkin bagi seseorang untuk menghadap
kuburan (dalam shalatnya) karena jaraknya yang jauh dan karena bentuk temboknya
yang lancip.
Kemudian pada
masa-masa berikutnya datang dinding yang ketiga, bukan dua dinding yang
sebelumnya.
Dan tiga dinding
itulah yang di sebut-sebut Ibnul Qoyyim dalam An-Nuniyah, ketika beliau
mengupas masalah doa Nabi ﷺ:
" Ya Allah,
jangan lah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang di sembah".
Dalam syairnya Ibnul
Qoyyim berkata:
Maka Tuhan Semesta
Alam mengabulkan doanya
Dan Ia meliputinya
dengan tiga dinding.
Sehingga seluruh
penjurunya menjadi kenyataan doanya.
Dalam kemuliaan,
pemeliharaan dan penjagaan.
Dengan demikian
kuburan Nabi ﷺ di lindungi dengan tiga
dinding, dan masing-masing dinding tidak ada pintunya, maka tidak mungkin ada
seseorang yang bisa masuk dan berdiri di depan kuburannya, karena disana ada
dua dinding yang masing-masing tidak berpintu, kemudian setelah itu di tambah
diinding ketiga, yang tidak ada pintunya juga, dinding ketiga ini tinggi dan
besar, yaitu dinding yang di kemudian hari di letakkan kubah di atasnya.
Maka sekarang tidak
ada seorang pun yang bisa masuk ke kuburan atau mengusap-usapnya atau sekedar
melihatnya.
Kemudian setelah itu
di bangun pula pagar besi (teralis) yang mengelilingi dinding ketiga dengan
kelebaran antara pagar dan tembok ketiga seukuran satu meter setengah di
sebagian lokasi, di sebagian lokasi lain lebarnya satu meter dan ada juga yang
lebarnya satu meter delapan pulul centi meter, bahkan ada yang lebarnya dua
meter lebih sedikit.
Yang jelas umat Islam
telah melaksanakan wasiat Nabi ﷺ.
Ketika datang masa pemerintahan khilafah Turki Utsmani, para ahli khurafat
membuka pagar besi yang ada di perluasan Masjid Nabawi sebagai pintu masuk dari
arah timur, agar mereka bisa melakukan tawaf di kuburan atau shalat di arah
tersebut. Arah timur itu lokasi yang paling lebar, antara pagar dan tembok
sekitar dua meter atau lebih sedikit. Pada masa pemerintahan Arab Saudi,
pemerintah melarang shalat di lokasi tadi hingga sekarang.
Dengan demikian
jelaslah jika kuburan Nabi ﷺ selamat hingga sekarang untuk
di jadikan masjid.
Yang di lakukan oleh
para sahabat dan para tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya adalah
dalam rangka berpegang teguh dengan wasiat Nabi ﷺ
dan menutup semua celah yang menggiring dan mengantarkan kepada kemusyrikan
dengan Nabi ﷺ, dan agar tidak menjadikan kuburannya sebagai masjid.
Mereka telah
mengambil sebagian lahan Raudlah (bagian dari mesjid Nabawi) seukuran tiga
meter untuk membangun dinding kedua, dan kemudian mnegambil lagi lahan Raudlah
seukuran tiga meter lebih untuk mendirikan pagar besi (teralis).
Ini adalah
betul-betul praktek dan pengamalan yang sangat kongkrit dalam melaksanakan
wasiat Rosulullah ﷺ, karena mereka telah
mengambil sebagian lahan masjid Nabawi yaitu Raudlah yang di muliakan, demi
untuk melindungi kuburan Nabi ﷺ agar tidak di jadikan masjid,
bukannya mengambil sebagian lahan rumah kuburan Nabi ﷺ
untuk perluasan, malah sebaliknya sebagian lahan masjid di jadikan
dinding-dinding pemisah.
Yang demikian itu
tiada lain kecuali menunjukan akan kedalaman fikih orang-orang yang membangunnya.
Yang ada sekarang di
Masjid Nabawi, bisa jadi bagi orang yang tidak jeli mengamatinya, atau orang
yang tidak faham mengira bahwa kuburan Nabi ﷺ
di dalam masjid.
Yang benar hakikatnya
tidaklah demikian, karena adanya dua tembok pembatas yang berbeda bentuk yang
memisahkan antara masjid Nabawi dan Kuburan Nabi ﷺ,
dikarenakan arah timur itu bukanlah bagian dari masjid, oleh karena itu ketika
datang proyek perluasan terakhir, maka proyek tersebut memulainya dari arah
utara setelah kamar tadi dengan jarak yang sangat jauh, agar tidak ada kesan
bahwa kuburan itu berada di tengah Masjid Nabawi, karena jika posisinya berada
ditengahnya maka dengan demikian telah menjadikan kuburan beliau sebagai
masjid.
====***====
HUKUM ZIARAH KUBUR DAN MENGUCAPKAN SALAM KEPADA PENGHUNINYA
Dengan tegas sangat
dianjurkan bagi seorang muslim untuk menziarahi kubur dan mengucapkan salam
kepada penghuninya. Orang yang telah meninggal akan mengetahui siapa yang
mengucapkan salam kepadanya dan membalas salam tersebut, sebagaimana telah
disebutkan.
Imam Nawawi dalam
kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/310, Darul Fikr) mengatakan:
"قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ: ويُسْتَحَبُّ
لِلزَّائِرِ أَنْ يَدْنُوَ مِنْ قَبْرِ الْمَزُورِ بِقَدْرِ مَا كَانَ يَدْنُو
مِنْ صَاحِبِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا وَزَارَهُ".
“Para ulama kami
rahimahumullah berkata: Dianjurkan bagi orang yang berziarah untuk mendekat ke
kubur orang yang diziarahi sejauh jarak yang biasa dilakukan saat dia mendekati
temannya jika masih hidup dan dikunjunginya.”
Imam Ibnu Qayyim
dalam kitab Ar-Ruh (hal. 5) mengatakan:
"وَقَدْ شَرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ إِذَا سَلَّمُوا عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ أَنْ يُسَلِّمُوا
عَلَيْهِمْ سَلَامَ مَنْ يُخَاطِبُونَهُ، فَيَقُولُ: (السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ
قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ)، وَهَذَا خِطَابٌ لِمَنْ يَسْمَعُ وَيَعْقِلُ، وَلَوْلَا
ذَلِكَ لَكَانَ هَذَا الْخِطَابُ بِمَنْزِلَةِ خِطَابِ الْمَعْدُومِ وَالْجَمَادِ،
وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْآثَارُ عَنْهُمْ
بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ".
“Rasulullah ﷺ telah mensyariatkan kepada umatnya, jika mereka mengucapkan
salam kepada penghuni kubur, hendaknya mereka mengucapkan salam seperti orang
yang berbicara langsung kepada mereka, dengan mengatakan: ‘Salam sejahtera atas
kalian, wahai penghuni perkampungan orang-orang yang beriman.’ Ucapan ini
adalah bentuk komunikasi kepada mereka yang mendengar dan memahami. Jika tidak
demikian, maka ucapan ini hanya seperti berbicara kepada sesuatu yang tidak ada
atau benda mati. Para ulama salaf sepakat atas hal ini, dan riwayat-riwayat
yang mutawatir dari mereka menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal
mengetahui kunjungan orang yang masih hidup dan bergembira karenanya.”
Al-Munawi dalam kitab
Faidul Qadir (5/287) menyebutkan:
"وَقَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِيُّ: الْمَعْرِفَةُ وَرَدُّ
السَّلَامِ فَرْعُ الْحَيَاةِ وَرَدِّ الرُّوحِ، وَلَا مَانِعَ مِنْ خَلْقِ هَذَا
الْإِدْرَاكِ بِرَدِّ الرُّوحِ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ
فِي جَمِيعِهِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأَعَاظِمِ: تَعَلُّقُ النَّفْسِ بِالْبَدَنِ
تَعَلُّقٌ يُشْبِهُ الْعِشْقَ الشَّدِيدَ، وَالْحُبَّ اللَّازِمَ، فَإِذَا
فَارَقَتِ النَّفْسُ الْبَدَنَ فَذَلِكَ الْعِشْقُ لَا يَزُولُ إِلَّا بَعْدَ
حِينٍ، فَتَصِيرُ تِلْكَ النَّفْسُ شَدِيدَةَ الْمَيْلِ لِذَلِكَ الْبَدَنِ؛
وَلِهَذَا يُنْهَى عَنْ كَسْرِ عَظْمِهِ وَوَطْءِ قَبْرِهِ".
“Al-Hafizh Al-Iraqi
berkata: Pengetahuan mereka terhadap salam dan balasan terhadap salam adalah
cabang dari kehidupan dan kembalinya ruh. Tidak ada halangan untuk
diciptakannya kemampuan ini dengan kembalinya ruh pada sebagian tubuh, meskipun
tidak pada keseluruhannya. Sebagian ulama besar mengatakan bahwa keterikatan
ruh dengan tubuh menyerupai cinta yang sangat kuat dan kasih sayang yang
mendalam. Ketika ruh berpisah dari tubuh, cinta itu tidak segera hilang kecuali
setelah beberapa waktu. Oleh karena itu, ruh memiliki ketertarikan yang kuat
pada tubuh tersebut. Inilah alasan mengapa dilarang mematahkan tulang orang
yang telah meninggal atau menginjak kuburannya.”
===****===
AMAL SALEH ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT UNTUK MAYIT
Pertama: Berdoa dan memohon ampun untuknya
Hal ini telah menjadi
kesepakatan ulama berdasarkan firman Allah Ta'ala:
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ﴾
Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang". [Al Hashr: 10]
Juga sabda Rasulullah
ﷺ:
إذا صلَّيتم على الميِّتِ فأخلِصوا له الدُّعاءَ
"Apabila kalian
menshalati jenazah, maka ikhlaskanlah doa kalian untuknya."
Diriwayatkan oleh Abu
Dawud (3199), Ibnu Majah (1497) dan Abdul Haq al-Isybiily dalam al-Ahkam asy-Syar’iyyah
al-Kubra no. 338. Di shahihkan oleh al-Isybiily dan al-Albani dalam Shahih Abu
Daud.
Kedua: Bersedekah
Imam An-Nawawi
menyebutkan adanya ijma' bahwa sedekah untuk orang yang telah meninggal akan
sampai pahalanya kepadanya, baik dari anaknya maupun orang lain. Hal ini
berdasarkan hadits Muslim (1630) dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki
berkata kepada Nabi ﷺ:
«إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالا وَلَمْ يُوصِ، فَهَلْ يُكَفِّرُ
عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ: نَعَمْ ».
"Sesungguhnya
ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta, namun ia tidak berwasiat.
Apakah dengan bersedekah atas namanya dapat menjadi penebus dosa baginya?"
Nabi ﷺ menjawab, 'Iya.'"
Dalam riwayat Muslim
lainnya (1004) dari Aisyah radhiyallahu 'anha:
«أَنَّ رَجُلا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا (أي: ماتت فجأة)، وَإِنِّي
أَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَلِي أَجْرٌ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟
قَالَ: نَعَمْ».
“Ada seorang
laki-laki berkata kepada Nabi ﷺ: "Ibuku wafat secara
tiba-tiba, dan aku yakin bahwa jika ia sempat berbicara, ia pasti akan
bersedekah. Apakah aku mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas
namanya?" Nabi ﷺ menjawab, 'Iya.'"
Ketiga: Puasa
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ
صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ»
"Barang siapa
meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya yang
berpuasa untuknya."
Juga hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh keduanya, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ،
أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ
قَاضِيَهُ عَنْهَا؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ
يُقْضَى».
"Seorang
laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, 'Wahai
Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa selama
satu bulan. Apakah aku harus menggantinya untuknya?' Nabi ﷺ menjawab, 'Jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan
melunasinya?' Ia menjawab, 'Iya.' Nabi ﷺ
bersabda, 'Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.' " [HR.
Bikhori no. 1953 dan Muslim no. 1148]
Keempat: Haji
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أنَّ امْرَأَةً مِن جُهَيْنَةَ جاءَتْ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ، فقالَتْ: إنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ حتَّى
ماتَتْ؛ أفَأَحُجُّ عَنْها؟ قالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْها؛ أرَأَيْتِ لو كانَ علَى
أُمِّكِ دَيْنٌ أكُنْتِ قاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ؛ فاللَّهُ أحَقُّ بالوَفاءِ.
"Seorang wanita
dari Juhainah datang kepada Nabi ﷺ
dan berkata, 'Ibuku telah bernazar untuk berhaji, tetapi ia belum sempat
melaksanakannya hingga ia meninggal. Apakah aku harus menghajikan untuknya?'
Nabi ﷺ menjawab, 'Iya, hajikanlah untuknya. Bagaimana menurutmu jika
ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya? Lunasilah utang kepada
Allah, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi.' " [HR. Bukhori no. 1852]
Kelima: Membaca Al-Qur'an
Ini adalah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
pahala bacaan Al-Qur'an dapat sampai kepada mayit.
Imam Ahmad bin Hanbal
berkata:
المَيِّتُ يَصِلُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الْخَيْرِ، لِلنُّصُوصِ
الْوَارِدَةِ فِيهِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مِصْرٍ
وَيَقْرَءُونَ وَيُهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ فَكَانَ إِجْمَاعًا.
“Orang yang meninggal
dunia mendapatkan manfaat dari segala bentuk kebaikan, berdasarkan dalil-dalil
yang ada mengenai hal tersebut, serta karena kaum Muslimin di setiap wilayah
berkumpul, membaca (Al-Qur'an), dan menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang
yang telah meninggal tanpa ada yang mengingkari, sehingga ini menjadi ijma”.
[Lihat:
al-Mubdi’ karya Ibnu Muflih 2/281, Kasyaf al-Qinaa’ karya al-Bahuuti 2/147 dan
Syarah Muntaha al-Irodaat 1/385]
Tapi dalam Kasyaf
al-Qinaa’ karya al-Bahuuti 2/147 di sebutkan:
وَقَالَ الْأَكْثَرُ: لَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ
وَأَنَّ ذٰلِكَ لِفَاعِلِهِ، وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النَّجْم: 39].
Dan mayoritas ulama
berpendapat bahwa pahala bacaan (Al-Qur'an) tidak sampai kepada orang yang
meninggal, melainkan hanya untuk orang yang melakukannya. Mereka berdalil
dengan firman Allah Ta'ala: "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
telah diusahakannya." (An-Najm: 39).
========
ORANG YANG TELAH MATI TIDAK BISA GENTAYANGAN DI ALAM DUNIA:
Manusia, ketika
meninggal, akan keluar dari kehidupan dunia ini dan berpindah ke alam lain.
Ruhnya tidak kembali kepada keluarganya, dan mereka tidak merasakan atau
mengetahui apa pun tentangnya. Apa yang disebutkan mengenai kembalinya ruh
selama empat puluh hari adalah mitos yang tidak memiliki dasar. Orang yang
meninggal juga tidak mengetahui apa pun tentang keadaan keluarganya, karena ia
telah terpisah dari mereka, berada dalam nikmat atau azab. Namun, Allah mungkin
memperlihatkan kepada beberapa orang yang meninggal sebagian dari keadaan
keluarganya, tetapi hal ini tidak dapat dipastikan secara yakin.
Ada riwayat-riwayat
yang tidak bisa dijadikan sandaran bahwa orang-orang yang telah meninggal
mungkin mengetahui sebagian hal tentang keadaan keluarganya. Sedangkan mimpi
atau penglihatan, ada yang benar dan ada pula yang merupakan permainan setan.
Melalui mimpi yang benar, orang yang hidup mungkin mengetahui sebagian hal
tentang keadaan orang yang meninggal, namun hal ini tergantung pada kejujuran
orang yang bermimpi, kejujuran mimpinya, serta kemampuan penafsir mimpi
tersebut. Namun, tidak boleh memastikan kebenaran isinya kecuali jika ada bukti
yang mendukungnya.
Seseorang mungkin
melihat kerabatnya yang telah meninggal dalam mimpinya, yang kemudian memberikan
nasihat atau menyebutkan hal-hal yang bisa diuji kebenarannya jika sesuai
dengan kenyataan. Ada beberapa kejadian terkait hal ini; ada yang sesuai dengan
kenyataan, ada yang kebenarannya tidak diketahui, dan ada yang jelas-jelas
salah. Maka, ada tiga kategori, dan hal ini harus diperhatikan ketika
berinteraksi dengan berita, riwayat, dan kisah-kisah yang berkaitan dengan
keadaan orang yang telah meninggal.
MEREKA DI ALAM BARZAKH:
Al-Barzakh adalah
istilah untuk alam yang berada di antara dunia dan akhirat, yaitu sejak waktu
kematian hingga kebangkitan. Allah Ta'ala berfirman:
﴿.. وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾
"Dan di hadapan
mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan" (QS. Al-Mu’minun:
100).
Teks-teks Al-Qur'an
dan Hadis menetapkan adanya kehidupan di alam barzakh. Kehidupan ini berbeda
dengan kehidupan yang kita kenal di dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menciptakan tiga alam:
- Alam dunia.
- Alam barzakh.
- Alam akhirat (tempat yang kekal).
Setiap alam memiliki
aturan dan hukum yang khusus untuknya. Allah menciptakan manusia dari tubuh dan
jiwa, dan menetapkan bahwa hukum di alam dunia berlaku untuk tubuh, sementara
jiwa mengikutinya.
Di alam barzakh,
hukum berlaku untuk jiwa, sementara tubuh mengikuti jiwa. Pada hari kebangkitan,
ketika tubuh dikumpulkan kembali dari kuburnya, maka hukum, nikmat, dan azab
akan berlaku secara nyata dan abadi baik untuk jiwa maupun tubuh.
Perlu diketahui bahwa
istilah "azab kubur" dan "nikmat kubur" adalah istilah yang
merujuk pada azab dan nikmat di alam barzakh, yang merupakan alam di antara
dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman:
﴿حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ٱرْجِعُونِ
لَعَلِّيٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ
قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾
"Hingga apabila
datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku,
kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah
aku tinggalkan.’
Sekali-kali tidak
(akan bisa)! Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di
hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan” (QS. Al-Mu’minun:
99-100).
****
TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH
Ruh manusia di alam
barzakh berbeda-beda tempat tinggalnya. Berdasarkan kajian terhadap teks-teks
yang ada, berikut pembagiannya:
RUH PARA NABI:
Ruh mereka berada di
tempat terbaik, yaitu di tingkatan tertinggi di ‘Illiyyin, bersama Al-Rafiq
Al-A‘la (teman yang paling tinggi). Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar
Rasulullah ﷺ pada saat-saat terakhir hidupnya berdoa:
«اللَّهُمَّ ٱلرَّفِيقَ ٱلْأَعْلَى»
"Ya Allah,
Al-Rafiq Al-A‘la."
RUH PARA SYUHADA:
Allah Ta'ala
berfirman:
﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ
أَمْوَٰتًۭا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾
"Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka
itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki" (QS. Ali Imran:
169).
Ruh-ruh mereka berada
dalam perut burung-burung hijau, yang memiliki lentera-lentera yang tergantung
di Arsy. Mereka berkeliaran di surga sekehendak mereka, kemudian kembali ke
lentera-lentera tersebut.
Dari Abdullah bin Abbas,
bahwa Rasululullah ﷺ bersabda:
لمَّا أصيبَ إخوانُكُم بأحَدٍ جعلَ اللَّهُ أرواحَهُم في
جوفِ طيرٍ خُضرٍ، تردُ أنهارَ الجنَّةِ، تأكلُ من ثمارِها، وتأوي إلى قَناديلَ من
ذَهَبٍ معلَّقةٍ في ظلِّ العَرشِ، فلمَّا وجدوا طيبَ مأكلِهِم، ومشربِهِم،
ومقيلِهِم، قالوا: من يبلِّغُ إخوانَنا عنَّا، أنَّا أحياءٌ في الجنَّةِ نُرزقُ
لئلَّا يزهَدوا في الجِهادِ، ولا ينكُلوا عندَ الحربِ، فقالَ اللَّهُ سبحانَهُ:
أَنا أبلِّغُهُم عنكُم، قالَ: فأنزلَ اللَّهُ: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إلى آخرِ الآيةِ
Ketika
saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menempatkan ruh-ruh
mereka dalam perut burung-burung hijau yang berkelana di sungai-sungai surga,
memakan buah-buahannya, dan beristirahat di lentera-lentera dari emas yang
tergantung di bawah naungan Arsy.
Ketika mereka
merasakan kelezatan makanan, minuman, dan tempat istirahat mereka, mereka
berkata: "Siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara
kami bahwa kami hidup di surga dan diberi rezeki, agar mereka tidak berpaling
dari jihad dan tidak mundur dalam peperangan?"
Maka Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman: "Aku yang akan menyampaikan kabar ini kepada
mereka." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: "Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati" hingga akhir ayat.
[HR. Abu Dawud (2520)
dengan redaksi ini, dan oleh Ahmad (2388). Di hasankan oleh al-Albani dalam
Shahih Abu Daud]
Dalam riwayat Muslim
dari Abdullah bin Mas’ud:
أن مسروق بن الأجدع قال: سَأَلْنَا عَبْدَ اللهِ عن هذِه الآيَةِ: {وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ} [آل عمران: 169]، قالَ: أَمَا إنَّا قدْ سَأَلْنَا
عن ذلكَ، فَقالَ: أَرْوَاحُهُمْ في جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ
مُعَلَّقَةٌ بالعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي
إلى تِلكَ القَنَادِيلِ، فَاطَّلَعَ إليهِم رَبُّهُمُ اطِّلَاعَةً، فَقالَ: هلْ
تَشْتَهُونَ شيئًا؟ قالوا: أَيَّ شَيءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ
الجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا؟ فَفَعَلَ ذلكَ بهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا
رَأَوْا أنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِن أَنْ يُسْأَلُوا، قالوا: يا رَبِّ، نُرِيدُ
أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا في أَجْسَادِنَا حتَّى نُقْتَلَ في سَبيلِكَ مَرَّةً
أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ ليسَ لهمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا.
Masruq bin Al-Ajda'
berkata: Kami pernah bertanya kepada Abdullah (bin Mas'ud) tentang ayat ini:
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat
rezeki" (QS. Ali Imran: 169).
Dia menjawab:
"Kami pernah bertanya tentang hal itu, dan beliau (Nabi) berkata:
'Ruh-ruh mereka
berada dalam perut burung-burung hijau yang memiliki lentera-lentera yang
tergantung di Arsy. Mereka berkeliaran di surga ke mana pun mereka mau,
kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.'
Lalu Tuhan mereka
memandang mereka dengan penuh kasih sayang dan bertanya: 'Apakah kalian
menginginkan sesuatu?'
Mereka menjawab: 'Apa
lagi yang bisa kami inginkan, sedangkan kami sudah berkeliaran di surga ke mana
pun kami mau?' Hal itu diulang tiga kali.
Ketika mereka
menyadari bahwa mereka tidak akan berhenti ditanya, mereka berkata: 'Ya Tuhan,
kami ingin agar Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami bisa
terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.'
Ketika Tuhan mereka
melihat bahwa mereka tidak membutuhkan hal lain, mereka dibiarkan." [HR.
Muslim no. 1887].
RUH ORANG-ORANG BERIMAN YANG SALEH:
Ruh mereka akan
menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا نَسَمَةُ المُؤْمِنِ طَائِرٌ
تَعَلَّقَ فِي شَجَرِ الجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللهُ تَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ
يَوْمَ يَبْعَثُهُ
"Sesungguhnya
ruh seorang mukmin itu menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga,
hingga Allah Ta'ala mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia
membangkitkannya." [HR. Ibnu Majah no. 3465. Di shahihkan oleh as-Suyuthi
dalam Syarah ash-Shudur no. 306 dan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah]
Perbedaan antara ruh
orang-orang beriman dengan ruh para syuhada adalah bahwa para syuhada berada
dalam perut burung-burung hijau yang berkeliaran di taman-taman surga dan
kembali ke lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Sementara ruh orang-orang
beriman berada dalam perut burung yang bertengger di pepohonan surga dan tidak
berkeliaran di seluruh sudut surga.
RUH AHLI MAKSIAT [DURHAKA]:
Ada banyak nash yang
menjelaskan siksaan yang akan dialami oleh orang-orang yang durhaka. Di
antaranya adalah:
- Orang yang berbohong sehingga kebohongannya
menyebar ke segala penjuru, ia disiksa dengan kaitan besi yang dimasukkan
ke sudut mulutnya hingga menembus tengkuknya.
- Orang yang tidur hingga meninggalkan shalat
wajib, kepalanya dihancurkan dengan batu besar.
- Para pezina disiksa dalam lubang seperti tanur
(tempat pembakaran), yang bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas,
dengan api yang menyala di bawahnya.
- Sedangkan riba (pelaku riba) berenang di
lautan darah, sementara di tepiannya ada seseorang yang melemparkan batu
ke mulutnya.
- Siksa bagi orang yang tidak menjaga dirinya
dari percikan air kencing, orang yang suka mengadu domba di antara
manusia, serta orang yang mengambil harta rampasan secara curang, dan
sebagainya.
RUH ORANG KAFIR:
Dalam sebuah hadis,
setelah Rasulullah ﷺ menjelaskan keadaan seorang
mukmin hingga ia mencapai tempat tinggalnya di surga, beliau juga menyebutkan
keadaan seorang kafir dan apa yang dialaminya saat dicabut nyawanya. Ketika
ruhnya dicabut, ia keluar dengan bau paling busuk, hingga para malaikat
membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: "Betapa busuknya bau ini!"
hingga ruhnya sampai di kumpulan ruh orang-orang kafir.
Dari Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ
بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى
رَوْحٍ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانٍ فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ مِسْكٍ
حَتَّى إِنَّهُمْ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا يَشُمُّونَهُ حَتَّى يَأْتُوا
بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ: مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي
جَاءَتْكُمْ مِنَ الْأَرْضِ، وَكُلَّمَا أَتَوْا سَمَاءً قَالُوا ذَٰلِكَ، حَتَّى
يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَفْرَحُ بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ
بِغَائِبِهِ إِذَا قَدِمَ عَلَيْهِ، فَيَسْأَلُونَهُ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ قَالَ:
فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا،
فَإِذَا قَالَ لَهُمْ: مَا أَتَاكُمْ فَإِنَّهُ قَدْ مَاتَ، يَقُولُونَ: ذُهْبَ
بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَإِنَّ مَلَائِكَةَ
الْعَذَابِ تَأْتِيهِ فَتَقُولُ: اخْرُجِي سَاخِطَةً مَسْخُوطًا عَلَيْكِ إِلَى
عَذَابِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ، فَيَنْطَلِقُونَ
بِهِ إِلَى بَابِ الْأَرْضِ فَيَقُولُونَ: مَا أَنْتَنَ هَذِهِ الرِّيحَ، كُلَّمَا
أَتَوْا عَلَى أَرْضٍ قَالُوا ذَٰلِكَ حَتَّى يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ
Sesungguhnya, ketika
seorang mukmin sedang menghadapi sakaratul maut, datanglah malaikat-malaikat
rahmat dengan membawa kain sutra putih. Mereka berkata: "Keluarilah dengan
penuh keridaan dan diridhai oleh Allah, menuju rahmat dan kenikmatan dari Tuhan
yang tidak murka." Maka ruhnya pun keluar seperti bau yang paling harum,
hingga mereka saling menyerahkan dan mencium ruh tersebut sampai mereka
membawanya ke pintu langit. Mereka berkata: "Betapa wangi ruh ini yang
datang dari bumi!" Setiap kali mereka sampai di satu langit, mereka
mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah para
mukmin. Mereka merasakan kebahagiaan yang lebih besar terhadap ruh ini daripada
salah satu di antara mereka yang menantikan kedatangan orang yang jauh. Mereka
bertanya: "Apa kabar si fulan?" Lalu mereka menjawab: "Biarkan
dia beristirahat, karena dia telah mengalami kesedihan di dunia." Jika
mereka diberitahu bahwa si fulan telah wafat, mereka berkata: "Dia telah
dibawa kepada ibunya yang berada di neraka."
Adapun orang kafir,
malaikat-malaikat azab datang kepadanya dan berkata: "Keluarilah dengan
penuh kemurkaan, dalam keadaan Allah murka padamu, menuju azab dan
kemarahan-Nya." Maka ruhnya pun keluar seperti bau busuk yang paling tidak
sedap, dan mereka membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: "Betapa
busuknya bau ini!" Setiap kali mereka melewati suatu bumi, mereka
mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah
orang-orang kafir.
["Diriwayatkan
oleh Al-Hakim (1302) dan lafazhnya darinya, serta An-Nasa'i (1833) dengan
perbedaan yang sedikit. Asalnya terdapat dalam Shahih Muslim (2872)."
Dishahihkan oleh Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa 5/449 dan al-Albaani dalam Hidayatur Ruwaah no.
1572]
Dari Al-Barra' bin
'Azib radhiyallahu ‘anhu:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِّنَ الْأَنْصَارِ
فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ وَكَأَنَّ عَلَى رُؤُوسِنَا
الطَّيْرَ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يُنَكِّثُ بِهِ فِي الْأَرْضِ فَجَعَلَ يَنظُرُ
إِلَى السَّمَاءِ وَيَنظُرُ إِلَى الْأَرْضِ وَجَعَلَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ
وَيَخْفِضُهُ فَقَالَ: استَعِيذُوا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلاثًا ثُمَّ قَالَ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
ثَلاثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ
الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِّنَ
السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِّنْ
أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحُنُوطٌ مِّنْ حُنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا
مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ علَيْهِ السَّلام حَتَّى
يَجْلِسَ عِندَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ وَفِي
رِوَايَةٍ: الْمُطْمَئِنَّةُ، اُخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانٍ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ
فَيَأْخُذُهَا حَتَّى إِذَا خَرَجَتْ رُوحُهُ صَلَّى عَلَيْهِ كُلُّ مَلَكٍ بَيْنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَكُلُّ مَلَكٍ فِي السَّمَاءِ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَابٍ إِلَّا وَهُمْ يَدْعُونَ اللَّهَ أَنْ
يُعْرَجَ بِرُوحِهِ مِنْ قِبَلِهِمْ، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدْعُهَا فِي يَدِهِ
طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَٰلِكَ الْكَفَنِ وَفِي
ذَٰلِكَ الْحُنُوطِ فَذَٰلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَىٰ: تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا
وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ [الأنعام: 61]، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ
مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، قَالَ: فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلَا
يَمُرُّونَ - يَعْنِي بِهَا - عَلَى مَلَأٍ مِّنَ الْمَلَائِكَةِ - إِلَّا
قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ؟ فَيَقُولُونَ: فُلاَنٌ ابْنُ فُلاَنٍ
بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِي الدُّنْيَا حَتَّى
يَنْتَهُوا بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَتُفْتَحُ لَهُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ
فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرَّبُوهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي
تَلِيهَا حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَيَقُولُ
اللَّهُ U:
أَكْتُبُوا كِتَابَ عَبْدِي فِي عَلِيِّينَ إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي
عَلِيِّينَ وَمَا أَدْرَاكَ مَا عَلِيُّونَ كِتَابٌ مَّرْقُومٌ [المطففين: 18
- 20]، ثُمَّ يُقَالُ: أَعِيدُوهُ إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ أَنِّي
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً
أُخْرَى [طه: 55]، قَالَ: فَيُرَدُّ إِلَى الْأَرْضِ وَتُعَادُ رُوحُهُ فِي
جَسَدِهِ قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا
عَنْهُ مُدْبِرِينَ فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ
فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ رَبِّيَ
اللَّهُ.
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ.
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟
فَيَقُولُ: هُوَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَيَقُولَانِ لَهُ: وَمَا عِلْمُكَ؟
فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ.
وَفِي رِوَايَةٍ: فَيُنْتَهِرُهُ - يَعْنِي الْمَلَكَ - مَنْ رَبُّكَ؟ مَا
دِينُكَ؟ مَنْ نَبِيُّكَ؟ وَهِيَ آخِرُ فِتْنَةٍ تُعْرَضُ عَلَى الْمُؤْمِنِ
وَذَٰلِكَ حِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخ
“Kami
keluar bersama Nabi ﷺ untuk mengantarkan jenazah
seorang laki-laki dari kaum Anshar. Kami tiba di kuburan sebelum liang lahad
selesai digali. Lalu Rasulullah ﷺ
duduk menghadap kiblat, dan kami duduk di sekelilingnya seolah-olah ada burung
di atas kepala kami (karena kami duduk tenang dan khusyuk). Di tangan beliau
ada sebuah tongkat kecil yang beliau gunakan untuk mengetuk-ngetuk tanah.
Kemudian beliau mulai melihat ke langit, lalu melihat ke bumi, sambil
mengangkat dan menurunkan pandangannya.
Kemudian beliau
bersabda:
'Mintalah
perlindungan kepada Allah dari azab kubur, ' sebanyak dua atau tiga kali.
Kemudian beliau berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, '
sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau
bersabda:
'Sesungguhnya hamba
yang beriman, ketika berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati
akhirat, akan turun kepadanya malaikat dari langit yang wajah mereka putih,
seolah-olah wajah mereka adalah matahari, membawa kain kafan dari kain-kain
surga, dan minyak wangi dari wangi-wangian surga. Mereka duduk di dekatnya
sejauh mata memandang. Lalu Malaikat Maut datang dan duduk di dekat kepalanya,
seraya berkata, "Wahai jiwa yang baik, " dan dalam riwayat lain,
"Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari
Allah." Maka ruhnya keluar dengan lembut, seperti tetesan air dari mulut
kantong air. Kemudian malaikat itu mengambilnya, dan ketika ruhnya keluar,
setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit,
bershalawat (mendoakannya). Pintu-pintu langit dibuka, dan tidak ada satu pun
malaikat penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu diangkat
melewati mereka.
Ketika malaikat
mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun
hingga mereka meletakkannya di kain kafan dan minyak wangi surga tersebut. Maka
itulah firman Allah Ta'ala:
"Malaikat-malaikat
Kami mewafatkannya, dan mereka tidak menyia-nyiakan tugas mereka." (QS.
Al-An'am: 61).
Keluar dari ruh itu
bau harum seperti wangi minyak kesturi paling harum yang pernah ditemukan di
bumi. Mereka membawa ruh itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat,
kecuali mereka berkata, "Ruh siapakah yang harum ini?" Mereka
menjawab, "Ini adalah ruh Fulan bin Fulan, " dengan menyebut namanya
yang terbaik yang biasa disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit
dunia. Mereka meminta agar pintu langit dibuka untuknya, dan pintu langit
dibuka untuknya. Ruh itu diantarkan oleh malaikat yang dekat dengan setiap
langit, sampai tiba di langit ketujuh.
Allah SWT berfirman,
"Tulislah kitab hamba-Ku di 'Illiyyin, " yaitu firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya
kitab orang-orang yang berbakti (al-abrar) benar-benar (tersimpan) di
'Illiyyin." (QS. Al-Muthaffifin: 18-20).
Kemudian dikatakan,
"Kembalikanlah dia ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada mereka
bahwa dari tanah itulah Kami menciptakan mereka, dan ke dalamnya Kami akan
mengembalikan mereka, serta dari dalamnya Kami akan membangkitkan mereka sekali
lagi" (QS. Thaha: 55). Maka ruh itu dikembalikan ke bumi, dan ruhnya
dikembalikan ke dalam jasadnya.
Ia mendengar derap
langkah kaki para sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah
dua malaikat yang keras, mereka membentaknya dan mendudukkannya, lalu bertanya
kepadanya:
"Siapakah
Tuhanmu?" Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah."
Mereka bertanya lagi,
"Apa agamamu?" Ia menjawab, "Agamaku adalah Islam."
Mereka bertanya lagi,
"Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Ia menjawab, "Dia
adalah Rasulullah ﷺ."
Lalu mereka bertanya
lagi, "Apa ilmumu?" Ia menjawab, "Aku membaca Kitab Allah, lalu
aku beriman kepadanya dan membenarkannya."
Dalam riwayat lain,
malaikat itu membentaknya, "Siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa
nabimu?"
Dan itulah fitnah
terakhir yang dihadapkan kepada seorang mukmin. Ketika itu Allah Ta'ala
berfirman: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh di kehidupan dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim: 27).
Ia menjawab,
"Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan nabiku adalah Muhammad ﷺ." Maka terdengarlah seruan dari langit, "Hamba-Ku
telah berkata benar, maka hamparkanlah baginya dari surga, pakaikanlah baginya
dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu menuju surga."
Maka datanglah
padanya aroma dan keharuman dari surga, serta diluaskan baginya kubur sejauh
mata memandang. Lalu datanglah seorang pria dengan wajah tampan, pakaian yang
indah, dan aroma yang wangi, seraya berkata, "Berbahagialah dengan kabar
yang akan menyenangkanmu, bergembiralah dengan keridhaan dari Allah dan surga
yang penuh kenikmatan abadi. Inilah harimu yang telah dijanjikan
kepadamu."
Orang itu bertanya,
"Siapakah kamu? Semoga Allah memberimu kabar baik. Wajahmu adalah wajah yang
membawa kebaikan." Pria itu menjawab, "Aku adalah amal shalehmu. Demi
Allah, aku tidak mengenalmu kecuali engkau adalah orang yang cepat dalam
ketaatan kepada Allah dan lambat dalam kemaksiatan kepada Allah. Semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan."
Lalu dibukakan
baginya pintu dari surga dan pintu dari neraka. Dikatakan kepadanya, "Ini
adalah tempat tinggalmu jika kamu durhaka kepada Allah, maka Allah akan
menggantikanmu dengan yang ini (tempat tinggal di surga)." Ketika ia
melihat apa yang ada di surga, ia berkata, "Ya Tuhanku, segerakanlah
datangnya hari kiamat, ya Tuhanku, segerakanlah datangnya hari kiamat, agar aku
dapat kembali kepada keluargaku dan hartaku." Dikatakan kepadanya,
"Tinggallah dengan tenang."
Sedangkan hamba yang kafir, atau dalam riwayat lain, yang fajir (durhaka), ketika ia
berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati akhirat, turun kepadanya
malaikat dari langit yang kasar, keras, dan berwajah hitam, membawa pakaian
dari neraka. Mereka duduk di dekatnya sejauh mata memandang.
Lalu Malaikat Maut
datang dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, "Wahai jiwa yang
buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya." Maka ruhnya
bercerai-berai dalam jasadnya, dan Malaikat Maut mencabutnya seperti mencabut
besi berduri dari bulu domba yang basah, sehingga urat dan sarafnya terputus.
Setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit,
melaknatnya, dan pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada satu pun malaikat
penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu tidak diangkat
melewati mereka.
Ketika malaikat
mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun
hingga mereka meletakkannya di pakaian dari neraka tersebut. Keluar dari ruh
itu bau busuk seperti bangkai yang paling busuk yang pernah ditemukan di muka
bumi.
Mereka membawa ruh
itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat, kecuali mereka berkata,
"Ruh siapakah yang busuk ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah ruh
Fulan bin Fulan, " dengan menyebut namanya yang terburuk yang biasa
disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit dunia. Mereka meminta agar
pintu langit dibuka untuknya, namun pintu itu tidak dibuka.
Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman Allah: "Tidak dibukakan untuk mereka
pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke
dalam lubang jarum." (QS. Al-A'raf: 40). Maka Allah SWT berfirman,
"Tulislah kitabnya di Sijjin di bumi yang paling bawah."
-----
Dalam riwayat lain
disebutkan:
ثُمَّ يُقَالُ أَعِيدُوا عَبْدِي إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ
أَنِّي مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَفِيهَا أُعِيدُهُمْ وَمِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً
أُخْرَىٰ فَتُطْرَحُ رُوحُهُ مِنَ السَّمَاءِ طَرْحًا حَتَّى تَقَعَ فِي جَسَدِهِ
ثُمَّ قَرَأَ: وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ
الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ [الحج: 31]، فَتُعَادُ
رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ
إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ
فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ:
هَا هَا لَا أَدْرِي، فَيَقُولَانِ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي،
فَيَقُولَانِ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ فَلَا يَهْتَدِي
لِاسْمِهِ فَيُقَالُ مُحَمَّدٌ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، سَمِعْتُ النَّاسَ
يَقُولُونَ ذَٰلِكَ فَيُقَالُ لَهُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَوْتَ فَيُنَادِي
مُنَادٍ مِّنَ السَّمَاءِ أَنْ كَذَّبَ عَبْدِي، أَنْ كَذَّبَ فَافْرِشُوا لَهُ
مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا
وَسَمُومِهَا وَيَضِيقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلُعُهُ
وَيَأْتِيهِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَيُمَثَّلُ لَهُ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ
قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يُسُوِّئُكَ
هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنتَ تُوعَدُ فَيَقُولُ: وَأَنْتَ بَشَّرَكَ اللَّهُ
بِالشَّرِّ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ وَجْهُ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُولُ:
أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ فَوَ اللَّهِ مَا عَلِمْتُكَ إِلَّا كُنتَ بَطِيئًا
عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ سَرِيعًا إِلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَجَزَاكَ اللَّهُ شَرًّا
ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَصَمَّ مَعَهُ ثُمَّ يُقَيَّضُ أَعْمَى أَصَمُّ
أَبْكَمُ مَعَهُ مَرْزَبَّةً مِّنْ حَدِيدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ
تُرَابًا قَالَ: فَيَضْرِبُهُ بِهَا ضَرْبَةً فَيَصِيرُ تُرَابًا ثُمَّ يُعِيدُهُ
اللَّهُ كَمَا كَانَ فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أُخْرَى فَيَصِيحُ صَيْحَةً
يَسْمَعُهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِّنَ
النَّارِ وَيُمَهَّدُ لَهُ مِنْ فِرَاشِ النَّارِ فَيَقُولُ: رَبِّي لَا تَقُمْ
السَّاعَةَ.
Kemudian dikatakan,
"Kembalikanlah hamba-Ku ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada
mereka bahwa dari tanah itulah Aku menciptakan mereka, ke dalamnya Aku akan
mengembalikan mereka, dan dari dalamnya Aku akan membangkitkan mereka sekali
lagi."
Maka ruhnya dilemparkan
dari langit dengan keras hingga jatuh ke dalam jasadnya. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman Allah: "Barangsiapa mempersekutukan Allah,
maka seakan-akan dia jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau
diterbangkan angin ke tempat yang sangat jauh." (QS. Al-Hajj: 31).
Lalu ruhnya
dikembalikan ke dalam jasadnya. Dia mendengar suara langkah kaki para
sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah dua malaikat yang
keras dan membentaknya. Mereka mendudukannya dan berkata, "Siapakah Tuhanmu?"
Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."
Lalu mereka bertanya,
"Apa agamamu?" Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."
Mereka bertanya lagi,
"Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Dia tidak bisa mengenali
namanya, dan dikatakan kepadanya, "Muhammad." Lalu dia berkata,
"Ah... ah... aku tidak tahu, aku hanya mendengar orang-orang mengatakan hal
itu."
Maka dikatakan kepadanya,
"Kamu tidak tahu dan tidak mengikuti."
Kemudian terdengarlah
seruan dari langit, "Hamba-Ku telah berdusta, maka hamparkanlah baginya
hamparan dari neraka, dan bukakanlah untuknya pintu menuju neraka." Maka
datanglah kepadanya panas dan racun neraka, dan kuburnya menjadi sempit hingga
tulang-tulang rusuknya bersilang.
Kemudian datang
kepadanya — dalam riwayat lain: digambarkan untuknya - seorang pria dengan
wajah buruk, pakaian yang buruk, dan bau yang busuk.
Pria itu berkata,
"Bergembiralah dengan hal yang akan membuatmu menderita. Ini adalah hari
yang telah dijanjikan kepadamu."
Dia berkata,
"Semoga Allah memberimu keburukan, siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang
membawa keburukan."
Pria itu menjawab,
"Aku adalah amal burukmu. Demi Allah, aku mengenalmu sebagai orang yang
lambat dalam ketaatan kepada Allah dan cepat dalam bermaksiat kepada-Nya.
Semoga Allah membalasmu dengan keburukan."
Kemudian seorang
malaikat buta, tuli, dan bisu diutus kepadanya dengan membawa palu dari besi.
Jika palu itu dipukulkan ke gunung, maka gunung tersebut akan menjadi debu.
Malaikat itu memukulnya dengan satu pukulan, maka dia menjadi debu. Lalu Allah
mengembalikannya seperti semula, dan malaikat itu memukulnya lagi dengan satu
pukulan, maka dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh semua makhluk
kecuali jin dan manusia.
Kemudian dibukakan
baginya pintu dari neraka dan disediakan baginya hamparan dari neraka. Dia
berkata, "Ya Tuhanku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat."
(Diriwayatkan oleh
Ahmad [18534], dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami'
As-Shaghir [1676]).
Diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dengan ringkasan. Hadis ini dinyatakan shahih
oleh Al-Hakim berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi serta Al-Albani. Ibnu Qayyim juga menyatakan hadis ini shahih dalam
I'lamul Muwaqqi'in dan Tahdzib As-Sunan, serta menyebutkan bahwa hadis ini
disahkan oleh Abu Nu'aim dan lainnya.
Kehidupan
barzakh—baik dengan nikmatnya maupun dengan azabnya—adalah kenyataan yang akan
dialami oleh setiap orang. Hal ini termasuk dalam bukti-bukti yang jelas dan
tidak menerima keraguan atau penyelewengan.
Seorang mukmin yang
sejati adalah dia yang beriman kepada apa yang tercantum dalam Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya, serta meninggalkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu
mereka, yang menundukkan wahyu—baik Al-Qur'an maupun Sunnah—kepada hawa nafsu
mereka, dengan analogi yang rusak dan akal yang terbatas. Harus ditegaskan
bahwa tidak ada pertentangan antara nash yang sahih dan akal yang sehat,
sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar (semoga Allah merahmati
mereka). Akan tetapi, jika akal telah rusak dan hati telah sakit, para pengikut
hawa nafsu akan datang dengan berbagai keanehan. Hanya kepada Allah-lah kita memohon
pertolongan.
===***===
BUKAN DARI AJARAN ISLAM:
KEYAKINAN ROH
ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
========
Semua manusia jika
sudah mati, maka mereka berada di alam Barzakh, dalam nikmat kubur atau dalam
adzab kubur. Jangankan sekelas orang biasa, sekelas para syuhada Uhud pun tidak
mampu untuk datang hadir kembali ke dunia walau sesaat.
Allah SWT berfirman:
(حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا
وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. فَإِذَا نُفِخَ فِي
الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُون).
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang
telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.Sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (penghalang)
sampai hari mereka dibangkitkan. Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada
lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka
saling bertanya. (QS. Al-Mu'minun: 99 – 111).
Di dalam Al-Quran di
sebutkan bahwa orang-orang yang mati syahid meskipun diberi keistimewaan bisa
hidup di syurga dengan menggunakan jasad burung di syurga, namun mereka tidak
bisa datang ke dunia. Seperti dalam surat Al-Baqarah Allah SWT berfirman:
(وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ
بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya ". (QS. Al-Baqarah: 154).
Dan dalam firman-Nya:
(وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا
آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا
بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ
أَجْرَ الْمُؤْمِنِين).
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya
kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih
tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah,
dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 169 – 171).
Melalui ayat ini
Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya
dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah, namun Allah SWT tidak
mengabulkan permohonan mereka untuk datang ke dunia meski hanya sekedar menemui
keluarganya dan para sahabatnya yang masih hidup dengan tujuan untuk mendakwahinya
dan memberi tahu bahwa diri mereka dalam kenikmatan syurga:
****
PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAU SESAAT:
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rosulullah SAWbersabda:
"لَمَّا أُصِيبَ إخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللهُ أَرْوَاحَهُمْ
فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ خُضْرٍ، تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ، وتَأْكُلُ مِنْ
ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ، فَلَمَّا
وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ ، وَمَأْكَلِهِمْ، وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِم ، قَالُوا:
مَنْ يُبَلِّغُ إِخْوَانَنَا عَنَّا أَنَّا أَحْيَاءٌ فِى الْجَنَّةِ نُرْزَقُ ،
لِئَلا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ، وَلا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ" فَقَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أُبَلِّغُهُمْ عَنْكُمْ. فَأَنزلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ هَؤُلاءِ الآيَاتِ: { وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } وما
بعدها".
« Ketika
saudara-saudara kalian gugur dalam peperangan Uhud, Allah masukkan roh mereka
ke dalam burung-burng hijau yang bekeliaran disungai-sungai syurga, makan
buah-buahan syurga, kemudian mereka pulang ke lampu-lampu yang terbuat
dari emas dan tergantungdinaungan 'Arasy, di saat mereka merasakan enaknya
minuman, makanan dan tempat kembali mereka.
Lalu mereka berkata ;
" siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami
tentang kami bahwa kami hidup di syurga, kami di anugerahi rizki, agar mereka
tidak merasa berat dalam berjihad dan tidak lari dari peperangan ".
Maka Allah berfirman:
"Aku akan sampaikan berita tentang kamu kepada mereka, maka Allah turunkan
ayat –ayat ini:
(وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ)
“Dan jangan kamu
menyangka bahawa orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati malah mereka
hiidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rezeki daripada Nya (QS.Ali Imran 169)
dan ayat sesudahnya ».
Lafadz riwayat Imam
Ahmad:
“mereka berkata: sayang sekali, kalau seandainya saudara-saudara kami
tahu bagaimana Allah memperlakukan kami ".
(HR. Imam Ahmad 4/218,
Abu Daud dan Al-Hakim 2/88. Di Shahihkan sanadnya oleh Al-Hakim. Dan di
hasankan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Targhib 2/68 no. 1379).
Dan dalam hadis sahih
Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ
تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة
تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا
تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا
مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا،
فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا:
نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ،
حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ
-فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا
يَرْجِعُونَ"
Bahwa arwah para
syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam
surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di
lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.
Kemudian Tuhanmu
menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman: "Apakah yang
kalian inginkan?"
Mereka menjawab:
"Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah
memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun
di antara makhluk-Mu?"
Kemudian Allah
mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada
jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata:
"Kami
menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu
kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela
Engkau, " mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang
tak terperikan itu.
Maka Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi
ke dunia (sesudah mereka mati)." [HR. Muslim no. 3611].
Dalam sebuah hadits,
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata:
نَظَرَ إليَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: "يَا جَابِرُ،
مَا لِي أراك مُهْتَمًّا؟" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله، اسْتُشْهِدَ
أَبِيْ وَتَرَكَ دَيْناً وَعِيَالاً. قال: فقال: "ألا أُخْبِرُكَ؟ مَا
كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا قَطُّ إلا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، وَإنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ
كِفَاحًا -قال علي: الكفَاح: المواجهة -فَقَالَ: سَلْني أعْطكَ. قَالَ: أَسْأَلُكَ
أنْ أُرَدَّ إلَى الدُّنْيَا فَأُقْتَلَ فِيْكَ ثَانِيَةً فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ
وَجَلَّ: إنَّهُ سَبَقَ مِنِّي القَوْلُ أنَّهُمْ إلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ ».
Suatu hari Rosulullah
ﷺ memandangiku, lalu beliau bertanya: " Wahai
Jabir, ada apa dengan mu, aku lihat kamu nampak murung?
Aku jawab:
"Wahai Rosulullah, ayahku telah mati syahid, dan dia meninggalkan hutang
dan keluarga.
Beliau berkata:
Maukah kamu, jika aku mengkabarkannya pada mu? Allah SWT tidak pernah
bicara kepada siapun keculai di balik hijab (penghalang), akan tetapi sungguh
Dia telah bicara pada ayah mu berhadap-hadapan.
Allah SWT berkata padanya: "Mintalah padaku, aku mengasihmu!
".
Dia pun berkata: "Aku memohon pada mu supaya aku di kembalikan ke
dunia, agar aku bisa dibunuh lagi di jalan Mu untuk kedua kalinya! ".
Maka Rabb (Allah) Azza wa Jalla berkata: "(Itu tidak mungkin,
karena) sesungguhnya sudah menjadi ketetapan firman dari Ku, bahwa mereka tidak
akan kembali kepadanya (kehidupan dunia) ".
(HR. Turmudzi 5/230
no. 31010, Al-Hakim 2/120 dan Ibnu Hibban 15/490 no. 7022). Abu 'Isa
At-Turmudzi berkata: Ini hadits Hasan. Dan di Shahihkan sanadnya oleh al-Hakim.
Hadits lain riwayat Masruq,
dia berkata:
سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ ، عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: ) وَلاَ تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ
يُرْزَقُونَ (فَقَالَ: أَمَا إنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ: «
أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ
تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ
الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ
تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ
الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا
رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ
نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ
مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا ».
Aku bertanya kepada
Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu tentang ayat ini: Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup
di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Maka Ibnu Masud
menjawab: Sungguh kami telah menanyakannya tentang itu, dan beliau bersabda:
“Ruh-ruh mereka di
dalam perut burung hijau, baginya di sediakan lampu-lampu yang menggantung di
Arasy (sebagai sarang-sarangnya), mereka pergi bersenang-senang mencari makanan
dari syurga sesuka hati mereka, kemudian kembali ke lampu-lampu tadi. Maka
suatu ketika Allah SWT memandangi mereka dengan satu pandangan.
Lalu Dia berkata: "Apakah kalian menginginkan sesuatu? "
Mereka menjawab: "Apa lagi yang kami inginkan? kami sudah pergi
bersenang-senang mencari makan di syurga sesuka hati kami.
Lalu Allah SWT mengulangi penawaran tadi hingga tiga kali, dan mereka
menjawabnya sama seperti tadi.
Ketika mereka merasa terus-terusan di tawarin dan tidak di biarkan untuk
tidak meminta, akhirnya mereka berkata: Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau
berkenan mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur
sekali lagi di jalan Mu. Setelah Allah SWT melihat mereka tidak memerlukan hajat
lain, maka mereka di tinggalkan ".
(HR. Muslim 3/1502
no. 1887 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 5/308 no. 19731).
Di dalam hadits Jabir
dan Ibnu Masud ini Allah SWT mengkabarkan bahwa para suhada itu hidup setelah
mereka mati, akan tetapi kehidupannya ini adalah kehidupan barzakhiyah, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi, sebagai bukti adalah
kata-kata para syuhada:
“Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke
jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu ".
Artinya mereka
berkeinginan agar Allah SWT berkenan mengembalikan ruh mereka ke jasadnya
seperti semula ketika mereka belum mati, padahal ruh-ruh mereka tetap masih ada
ikatan dan berhubungan dengan jasad-jasad mereka yang di kuburan, yaitu ikatan
dan hubungan barzakhiyah. Begitu juga ruh-ruh selain para syuhada, oleh karena
itu jika ruh seorang mayit mendapat kenikmatan maka jasadnya pun ikut
merasakan, dan sebaliknya jika jasad seorang mayit mendapat azab kubur maka
ruhnya pun ikut merasakan kepedihannya.
Rosulullah ﷺ bersabda: " Meretakkan tulang mayit, sama seperti
meretakkannya ketika hidup ". (HR. Ahmad 6/58, Abu Daud 2/231, Ibnu
Majah 1/516 dan Abdurrozzaq 3/444 no. 6257. Hadits Shahih).
Ini semua menunjukkan
bahwa kehidupan mereka adalah barzakhiyah serta menunjukkan bahwa orang-orang
yang telah mati itu tidak akan pernah kembali ke alam dunia. Kenapa? Karena
Allah SWT telah menetapkan dan konsekwen dengan janjinya bahwa mereka tidak
akan dikembalikan ke dunia.
Mafhum dari hadits
Ibnu Masud tentang arwah para shuhada di perut burung hijau menunjukkan bahwa
selain ruh para suhada tidaklah demikian, akan tetapi Imam Syafii meriwayatkan
dari Ibnu Syihaab dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik dari bapaknya bahwa
Rosulullah ﷺ bersabda:
« إِنَّمَا نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ يَعْلُقُ فِي شَجَرِ
الْجَنَّةِ حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ
يَبْعَثُهُ »
“Sesungguhnya ruh seorang mukmin adalah burung yang makan di pepohonan
syurga, hingga Allah Tabaroka wa Taala mengembalikannya ke jasadnya pada hari
kebangkitannya ".
(HR.
Ahmad no. 15778, Ibnu Majah no. 4271, Nasai no. 2073 dan Ibnu Hibban no. 4657.
Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shuduur no. 306, al-Albani Shahih
Ibnu Majah no. 3465 dan Syu'eib al-Arna'uth).
Berkenaan dengan
hadits ini Al-Hukaim berkata:
“Dan yang demikian
itu sepengetahuan kami bukanlah untuk golongan yang kacau balau, melainkan
untuk orang mukmin dari golongan Ash-Shiddiqiin (yang benar-benar sempurna
keimanannya).
(Lihat: At-taysiir
Syarah Al-Jaamiush Shaghiir karya Al-Hafidz Al-Manawi 1/267).
Selain dari
keterangan Allah dan Rasulnya tentang perkara ghaib, kita tidak berhak untuk
mereka-reka apalagi mengklaimnya.
Mereka para syuhada
yang mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT dan keni'matan di alam
barzakhnya, ternyata keinginan mereka tidak di kabulkan untuk bisa hidup
kembali seperti semula, walaupun hanya sebentar saja sekedar untuk menyampaikan
kabar gembira kepada keluarganya.
Ternyata para syuhada
yang sudah pasti memiliki kedudukan di sisi Allah tidak bisa ke dunia walau
sekejap sekedar menyampaikan kabar gembira. Jangankan hidup lagi, menjelma saja
rohnya seperti kuntil anak mereka tidak mampu.
Permohonan mereka
yang di kabulkan oleh Allah SWT hanya permohonan yang berkaitan dengan
kenikmatan syurga sebagai imbalan atas usaha mereka di dunia. Allah SWT tidak
akan mengabulkan permohanan mereka yang berlawanan dengan ketetapan-ketetapan
Allah SWT, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang merusak pondasi syariah,
seperti hal-hal yang menunjukkan bahwa mereka ikut berperan dan terlibat dalam
uluhiyah dan rububiyah-Nya.
====***===
PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH
MENGHADIRKAN NABI ﷺ SETELAH WAFAT, WALAU
SAAT DARURAT UNTUK UMAT
Pada masa para
sahabat -radhiyallahu 'anhum – tidak ada seorang pun yang bisa menghadirkan ruh
Nabi ﷺ setelah wafat dan tidak pula menjumpainya dalam keadaan
juga. Berikut ini contoh-contohnya.
***
CONTOH PERTAMA: SAAT NABI ﷺ BARU
WAFAT
Pada saat Nabi ﷺ wafat, para sahabat berselisih apakah Nabi ﷺ bisa wafat seperti manusia lainnya?. Kemudian mereka juga
berselisih tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin bagi umat Islam
setelah kepergian beliau??
Namun tidak ada
satupun dari mereka yang mencoba atau memiliki gagasan untuk menghadirkan Roh
Nabi ﷺ untuk minta petunjuk tentang hal tersebut.
Imam Bukhori dalam
Shahih-nya hadis nomor 3394 meriwayatkan:
Telah bercerita
kepada kami Isma’il bin Abdullah telah bercerita kepada
kami Sulaiman bin Bilal dari Hisyam bin ‘Urwah berkata,
telah mengabarkan kepadaku ‘Urwan bin Az Zubair dari ‘Aisyah
radliallahu ‘anhu, istri Nabi ﷺ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ. - قَالَ
إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ - فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ: وَاللَّهِ مَا
مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَتْ: وَقَالَ عُمَرُ: "وَاللَّهِ مَا كَانَ
يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ
أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ".
فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَبَّلَهُ ،
قَالَ: "بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ".
ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ: "أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ! ".
فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: "أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ
فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ
حَيٌّ لَا يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ:
{ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ
مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ }
قَالَ: فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ.
قَالَ: وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي
سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا: "مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ
".
فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو
عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو
بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: "وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا
أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ
أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ ، فَقَالَ
فِي كَلَامِهِ: "نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ".
فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ: "لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ
مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: "لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ
الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا ،
فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ ".
فَقَالَ عُمَرُ: "بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا
وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ".
فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ
قَائِلٌ: قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ ".
فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ.
Artinya: "Bahwa
ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Abu
Bakr sedang berada di Sunuh”. Isma’il berkata: “Yakni sebuah perkampungan
‘Aliyah, Madinah”.
Maka ‘Umar tampil
berdiri sambil berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah ﷺ
tidaklah meninggal”.’
Aisyah radliallahu
‘anhu berkata:
Selanjutnya ‘Umar
berkata: “Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan
membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal
dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka”.
Lalu Abu Bakr datang
kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah ﷺ dan menutupnya kembali.
Abu Bakr berkata:
“Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan
baginda merasakan dua kematian selamanya”.
Kemudian dia keluar
dan berkata: “Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah”.
Ketika Abu Bakr
berbicara, ‘Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata:
“Barang siapa yang
menyembah Muhammad ﷺ, sesungguhnya Muhammad
sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah
Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati”.
Lalu dia membacakan
firman Allah Qs az-Zumar ayat 30 yang artinya:
(“Sesungguhnya kamu
akan mati dan mereka pun akan mati”)
Dan Quran
Surat Ali ‘Imran, ayat: 144 yang artinya:
(“Muhammad itu tidak
lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul
sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke
belakang (murtad). Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia
tidak akan dapat mendatangkan madlarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”).
Perawi (‘Amru) berkata:
“Maka orang-orang menangis tersedu-sedu.
Perawi berkata lagi:
“Kemudian kaum Anshar
berkumpul menemui Sa’ad bin ‘Ubadah di tenda Bani Sa’adah lalu mereka berkata:
“Dari pihak kami ada pemimpinnya begitu juga dari pihak kalian (Muhajirin) ada
pemimpinnya”.
Lalu Abu Bakr dan ‘Umar bin Al Khaththab serta Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah mendatangi mereka. ‘Umar memulai bicara namun Abu Bakr menenangkannya.
Sebelumnya ‘Umar berkata:
“Sungguh aku tidak bermaksud hal seperti itu. Hanya saja aku telah mempersiapkan
pembicaraan yang membuatku kagum namun aku khawatir jika tidak disampaikan oleh
Abu Bakr. Kemudian Abu Bakr mulai berbicara dengan perkataan-perkataan yang
menunjukkan pembicaraan manusia bijak".
Dia berkata dalam
bagian pembicaraannya itu: “Kami (Muhajirin) adalah pemimpin sedangkan kalian
adalah para menterinya”.
Spontan Hubab bin Al
Mundzir berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mau seperti itu. Tapi kami
mempunyai pemimpin dan kalianpun mempunyai pemimpin tersendiri”.
Abu Bakr menjawab:
“Tidak. Tapi kami adalah pemimpin sedangkan kalian para menterinya. Para
Muhajirin adalah orang Arab yang tempat tinggalnya paling tengah dan keturunan
Arab yang paling murni.
Untuk itu
berbai’atlah (berjanji setia) kepada ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah”.
Maka ‘Umar berkata:
“Tidak begitu. Sebaliknya kami yang berbai’at kepadamu. Karena, sungguh kamu
adalah penghulu kami, orang terbaik kami dan orang yang paling dicintai
Rasulullah ﷺ”.
Lalu ‘Umar memegang
tangan Abu Bakr lalu berbai’at kepadanya dan kemudian diikuti oleh orang
banyak.
Ada seseorang yang
berkata: “Kalian telah membinasakan Sa’ad bin ‘Ubadah”.”Umar segera membalas:
“Semoga Allah membinasakannya”.
Imam Bukhori berkata:
Abdullah bin Salam berkata, dari Az Zubaidiy telah berkata Abdurrahman bin Al
Qasim telah mengabarkan kepadaku Al Qasim bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anhu
berkata:
شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى
ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ
خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ
فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو
بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا
بِهِ يَتْلُونَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ } إِلَى { الشَّاكِرِينَ }
“Nabi ﷺ membuka matanya ke atas sambil berkata: “ Ilaa ar-Rafiiq
al-A'laa [Menuju Kekasih yang Maha Tinggi]”, sebanyak tiga kali.
Lalu dia menceritakan
hadis selengkapnya lalu berkata:
“Tidak ada satupun
dari khuthbah keduanya [Abu Bakr dan Umar] melainkan Allah telah memberikan
manfaat dengan khuthbah itu, ‘Umar telah membuat takut orang-orang dengan
kemungkinan timbulnya di tengah mereka sifat nifaq, lalu Allah mengembalikkan
mereka (untuk istiqamah menjaga persatuan) lewat khuthbahnya ‘Umar tersebut.
Sedangkan Abu Bakr
telah menunjukkan kematangan pandangannya untuk membawa manusia di atas
petunjuk dan dia sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran yang ada pada
mereka, dia keluar sambil membacakan ayat QS Ali ‘Imran [3]: 144 tadi:
(“Muhammad itu tidak
lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul
sebelum dia...). hingga akhir ayat (...orang-orang yang bersyukur”).
****
CONTOH KE DUA:
SAAT TERJADI PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH DAN ABU BAKAR
TENTANG HARTA WARISAN NABI ﷺ.
Setelah Nabi ﷺ wafat telah terjadi perselisihan dan kesalah fahaman antara
Fatimah binti Rosulullah ﷺ dengan Abu Bakar tentang
harta warisan dari Rosulullah ﷺ berupa tanah Fadak.
Fatimah menginginkan
warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi ﷺ,
maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang
pernah beliau dengar dari Nabi ﷺ,
dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar dan Aisyah radhiyallahu 'anhyma.
Dari 'Aisyah
radhiyallahu 'anha:
أنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ، والعَبَّاسَ، أتَيَا أبَا بَكْرٍ
يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا، أرْضَهُ مِن فَدَكٍ، وسَهْمَهُ مِن خَيْبَرَ، فَقالَ
أبو بَكْرٍ: سَمِعْتُ النبيَّ ﷺ، يقولُ: لا نُورَثُ ما تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إنَّما
يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ في هذا المَالِ واللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسولِ اللَّهِ ﷺ
أحَبُّ إلَيَّ أنْ أصِلَ مِن قَرَابَتِي
bahwa Fatimah
'alaihis salam dan 'Abbas menemui [Abu Bakr], keduanya menuntut bagian harta
warisan mereka, yaitu berupa tanah di Fadak dan saham dari perang Khaibar, maka
Abu Bakar berkata:
"Aku
mendengar Nabi ﷺ bersabda: "Kami tidak
diwarisi, harta yang kami tinggalkan menjadi sedekah, keluarga Muhammad hanya
makan dari harta ini." Maka demi Allah, kerabat Rasulullah ﷺ lebih aku cintai untuk aku jalin hubungan dengannya daripada
kerabatku sendiri." [HR. Bukhori no. 4035]
Maka Abu Bakar
ash-Shiddiiq Radhiyallahu anhu tidak memberikan kepada Fathimah Radhiyallahu
anhuma dan ahli waris Rasûlullâh yang lain karena berpegang kepada sabda
Rasûlullâh ﷺ:
لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
Kami tidak
mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah [HR. al-Bukhâri dan
Muslim]
Dalam Lafadz lain
yang lebih panjang dalam Bukhori dan Muslim di ceritakan bahwa Fatimah
menghajer Abu Bakar [tidak mau bicara dengannya] hingga wafat.
Aisyah radhiyallahu
'anha berkata:
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ
الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِمَّا أَفَاءَ
اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا
صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي
وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَنْ حَالِهَا
الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا
بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى
فَاطِمَةَ شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ قَالَ
فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ
بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى
عَلَيْهَا عَلِيٌّ وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وِجْهَةٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ
فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ
مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ بَايَعَ تِلْكَ
الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا مَعَكَ
أَحَدٌ كَرَاهِيَةَ مَحْضَرِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي
بَكْرٍ وَاللَّهِ لَا تَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا
عَسَاهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي إِنِّي وَاللَّهِ لَآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ
عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ثُمَّ قَالَ
إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَضِيلَتَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ
وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ
اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَحْنُ نَرَى لَنَا حَقًّا
لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يَزَلْ يُكَلِّمُ أَبَا بَكْرٍ
حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ
أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ
الْأَمْوَالِ فَإِنِّي لَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْحَقِّ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ
لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةُ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو
بَكْرٍ صَلَاةَ الظُّهْرِ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ
عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ
ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي
بَكْرٍ وَأَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي
بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا كُنَّا نَرَى
لَنَا فِي الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتُبِدَّ عَلَيْنَا بِهِ فَوَجَدْنَا فِي
أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ فَكَانَ
الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
bahwa Fatimah binti
Rasulullah ﷺ mengutus seseorang untuk menemui [Abu Bakar], dia meminta
supaya diberi bagian dari harta peninggalan Rasulullah ﷺ
di Kota Madinah dan Fadak dan seperlima hasil rampasan perang Khaibar yang
masih tersisa.
Maka Abu Bakar
menjawab: "Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"Sesungguhnya harta peninggalan kami tidak dapat diwarisi, yang kami
tinggalkan hanya berupa sedekah, dan keluarga Muhammad ﷺ
hanya boleh menikmati sedekah itu." Demi Allah, aku tidak berani merubah
sedikitpun sedekah yang telah Rasulullah ﷺ
tetapkan, aku akan tetap membiarkan seperti pada masa Rasulullah ﷺ, dan aku akan tetap melaksanakan apa yang telah dilakukan
Rasulullah ﷺ."
Ternyata Abu Bakar
tetap menolak permintaan Fatimah, oleh karena itu Fatimah sangat gusar dan
marah atas tindakan Abu Bakar mengenai hal itu."
Urwah melanjutkan
ceritanya:
"Sampai-sampai
Fatimah menghajernya -tidak mengajaknya berbicara- hingga ajal menjemputnya,
tepatnya enam bulan setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.
Ketika Fatimah
meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan oleh suaminya sendiri, Ali bin Abu
Thalib, pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Abu Bakar.
Setelah itu Ali pulalah yang menshalatkan jenazah Fatimah.
Ketika Fatimah masih
hidup, banyak orang menaruh hormat kepada Ali, tetapi hal itu mulai berubah
ketika Fatimah telah meninggal dunia. Lalu dia mulai berfikir untuk segera
berdamai dengan Abu Bakar sekaligus membai'atnya, karena beberapa bulan dia
tidak sempat menemuinya untuk membai'atnya.
Setelah itu, Ali
menulis surat kepada Abu Bakar yang isinya:
"Aku
mengharapkan kamu datang menemuiku, namun jangan sampai ada seorang pun yang
ikut menemuimu."
-Sepertinya Ali tidak
suka jika Abu Bakar ditemani Umar bin Khattab-
Umar lalu berkata
kepada Abu Bakar: "Demi Allah, janganlah kamu menemuinya seorang
diri."
Abu Bakar menjawab,
"Aku yakin, Ali tidak akan berbuat macam-macam kepadaku, demi Allah, aku
akan tetap menemuinya."
Dengan penuh
keyakinan, akhirnya Abu Bakar pergi menemui Ali, ketika bertemu, Ali bin Abu
Thalib langsung bersaksi kepadanya (maksudnya membai'atnya) seraya berkata:
"Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya aku telah mengetahui segala keutamaan dan kebaikan yang
Allah anugerahkan kepadamu, dan aku tidak merasa iri dan dengki pada anugerah
yang Allah limpahkan kepadamu. Akan tetapi menurutku, kamu telah berbuat
sewenang-wenang terhadapku, sebagai keluarga terdekat Rasulullah ﷺ, semestinya aku mempunyai hak untuk memperoleh harta
peninggalan beliau."
Ucapan-ucapan Ali
begitu derasnya kepada Abu Bakar hingga tak terasa Abu Bakar meneteskan air
matanya. Dengan perasaan haru, Abu Bakar menjelaskan kepadanya, katanya:
"Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sebenarnya keluarga dan kerabat Rasulullah ﷺ jauh lebih aku cintai daripada keluarga aku sendiri. Mengenai
harta peninggalan yang tengah kita perselisihkan ini, sebenarnya aku selalu
berusaha bersikap adil dan bijaksana serta berpijak kepada kebenaran. Dan aku
tidak akan meninggalkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, bahkan aku akan tetap mempertahankannya."
Maka Ali berkata
kepada Abu Bakar: "Walau bagaimanapun aku akan tetap membai'atmu nanti
sore."
Seusai melaksanakan
shalat dhuhur, Abu Bakar langsung naik ke atas mimbar, setelah membaca
syahadat, ia pun mencoba menjelaskan kepada kaum Muslimin yang hadir pada saat
itu, masalah keterlambatan Ali untuk berbai'at beserta alasannya, kemudian dia
membaca istighfar.
Setelah itu, tibalah
giliran Ali bersaksi dan menghormati sikap Abu Bakar, Ali menyatakan bahwa dia
tidak merasa iri dan dengki sama sekali terhadap keutamaan dan kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada Abu Bakar, akan tetapi -lanjut Ali-:
"Kami keluarga
terdekat Rasulullah ﷺ melihat bahwa beliau berlaku
tidak adil terhadap keluarga kami, terutama dalam hal harta rampasan perang
peninggalan Rasulullah ﷺ, jadi sudah menjadi hak kami
untuk menuntut hak tersebut."
Mayoritas kamu
Muslimin yang hadir saat itu merasa gembira mendengar pernyataan Ali, mereka
berkata, "Benar yang kamu ucapkan."
Akhirnya Ali menjadi
lebih dekat dengan kaum Muslimin setelah dia berani mengungkapkan perkara
itu." [HR. Bukhori no. 4240 dan Muslim no. 3304]
Rasûlullâh ﷺ ketika mendapatkan Fadak, beliau ﷺ
hanya mengambil hasilnya untuk nafkah keluarga beliau ﷺ
selama setahun, sisanya beliau ﷺ
shadaqahkan untuk orang faqir miskin.
Ali bin Abi Thâlib
ketika menjadi khalifah, beliau Radhiyallahu anhu tidak membagi-bagi Fadak
kepada ahli warisnya atau kepada Ummahâtul Mukminin, padahal kekuasaan ada di
tangan beliau Radhiyallahu anhu dan beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang
adil dan pemberani.
Ini menunjukkan bahwa
Fadak memang bukan harta warisan.
Pertanyaan penulis:
Jika seandainya benar
bahwa Nabi ﷺ stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu
dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka berdua Abu Bakr, Abbas paman Nabi ﷺ, Fatimah dan Ali radhiyallahu 'anhum tidak menghadirkan Ruh
Rosulullah ﷺ untuk memutuskan permsalahan tersebut?. Padahal mereka semua
adalah orang-orang pilihan dan istimewa di sisi Rosulullah ﷺ.
****
CONTOH KETIGA:
KETIKA TERJADI PERANG JAMAL ANTARA 'AISYAH DAN ALI
RADHIYALLAHU 'ANHUMA.
Perang Jamal adalah
pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib
melawan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallaahu
'anhum
Ali adalah sepupu
kesayangan dan menantu dari Nabi Muhammad ﷺ,
sedangkan Aisyah adalah istri tercinta Nabi Muhammad ﷺ.
Sedangkan Thalhah dan
Zubair, keduanya adalah sahabat Nabi ﷺ
yang terkemuka.
Mereka semuanya
adalah para sahabat yang dijamin masuk surga.
Jika seandainya benar
bahwa Nabi ﷺ stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu
dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka tidak menghadirkan Ruh Nabi ﷺ untuk menengahi dan memutuskan permasalahan yang mengantarkan
mereka berperang dan menyebabkan korban berjatuhan dari dua belah pihak???.
Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhuma keduanya mati terbunuh.
***
CONTOH KE EMPAT:
UMAR BIN KHATHAB SAAT MENGHADAPI MASALAH
Umar bin
al-Khoththob, dia senantiasa berkeingingan setiap ada masalah, dia bertanya
langsung kepada Rosulullah ﷺ, akan tetapi setelah
Rosulullah ﷺ wafat, Umartidak mampu lagi untuk melakukannya dan itu sangat
mustahil.
Syeikh Abdurrahman
Dimasyqiyyah menyebutkan dalam kitab Ath-Thariqah Arifa'iyya hal. 47 [cet.
Maktabah ar-Ridhwaan]:
وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ لَيْتَنِي
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْهُ
Dan sungguh telah ada
riwayat shahih dari Umar bahwa dia mengatakan ketika mengahdapi sebagian
perkara: "Seandainya saja saya bisa menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang masalah ini".
****
CONTOH KE LIMA:
ALI BIN THALIB SAAT ZIARAH KUBUR NABI ﷺ:
Sahabat Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu 'anha, dia benar-benar merasa kehilangan dengan wafatnya
Rosullulah ﷺ dan dia sangat merindukannya, namun dia tidak mampu
menghadirkan Rosulullah ﷺ atau menemuinya dalam keadaan
jaga.
Ash-Shoyaadi
menyebutkan:
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَقَفَ عِنْدَ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ،
وَبَكَى حَتَّى كَادَتْ تَزْهَقُ رُوحُهُ، وَأَنْشَدَ عِنْدَهُ أَبْيَاتًا مِنَ
الشِّعْرِ، فَقَالَ:
كُنتَ السَوادَ لِناظِري فَبَكى عَلَيكَ الناظِرُ
مَن شاءَ بَعدَكَ فَليَمُت فَعَلَيكَ كُنتُ أُحاذِرُ
Bahwa Ali bin Abi
Thalib berdiri di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
menangis tersedu-sedu hingga hampir saja meregang nyawanya, dan dia membacakan
puisi di sisinya, dia berkata:
“Engkau
adalah as-Sawaad[yang nampak gelap kehitaman] bagi yang melihatnya, maka orang
yang melihatnya menangisi Engkau.
Siapa pun yang ingin
mengejarmu, bersegeralah dia mati, maka untukmu aku waspada".
[Sumber: ضَوْءُ الشَّمْسِ (1/190-191),
قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ
hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ
الرِّفَاعِيَّةُ
hal. 47]
****
CONTOH KE ENAM:
KESEDIHAN FATHIMAH radhiyallahu ‘anha:
Kesedihan Fathimah
radhiyallahu 'anha putri tercinta Rosulullah ﷺ
ketika ayahnya wafat serta kedriduannya padanya, namun Fatimah tidak mampu
menghadirkan nya.
Dari Anas ra.
Berkata:
فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا
أَبَتَاهْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ، يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ
نَنْعَاهْ، فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ رضي الله عنها: أَطَابَتْ
أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ التُّرَابَ؟
Ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Fatimah radhiyallahu 'anha berkata:
"Wahai
ayah(ku) yang telah memenuhi panggilan Rabb-nya, ' wahai ayah(ku) yang surga
firdaus adalah tempat kembalinya, wahai ayah (ku) yang kepada Jibril as kami
sampaikan wafatnya"
Ketika Rasulullah ﷺ dimakamkan, Fatimah berkata: ‘Apakah kalian tidak merasa berat
hati menaburkan debu kepada Rasulullah ﷺ?’”
[HR. Bukhori no. 4462]
Kesedihan Fatimah
pada hari-hari berikutnya semakin bertambah dan kerinduan pada ayahnya semakin
berat, namun Fatimah tidak mampu untuk menghadirkan beliau ﷺ walau hanya sesaat untuk berjumpa. Sebagaimana disebutkan
Ash-Shoyaadi:
" وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ
قَبْرِ أَبِيهَا صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا
وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ:
مَاذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدٍ أَنْ لَا يَشُمَّ مَدَى
الزَّمَانِ غَوَالِيَا
صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ
لَيَالِيَا
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا
مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ".
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ قَبْرِ أَبِيهَا
صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ:
مَا ذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدَ أَنْ لَا يُشَمَّ مَدَى
الزَّمَانِ غَوَالِيَا
صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ
لَيَالِيَا
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا
مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ
Dan bahwa Fatimah
radhiyaallahu 'anha, menangis di kuburan ayahnya ﷺ
menangis dengan tangisan yang sangat menyayat, sambil melantunkan syair:
Apa yang kan terjadi
atas orang yang mencium debu Ahmad yang tidak menciumnya untuk waktu yang lama?
Kemalangan-kemalangan
telah menimpa aku, jika dituangkan pada hari-hari, maka hari-hari itu akan
berubah menjadi malam.
Dan Fatimah
radhiyallahu 'anha terus menerus menangis dan kesedihannya berlanjut sampai dia
menyusul ayahnya ﷺ enam bulan kemudian.
[Sumber: ضَوْءُ الشَّمْسِ (1/190-191),
قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ
hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ
الرِّفَاعِيَّةُ
hal. 47]
===***===
AJARAN KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:
Susanto Liau dalam
makalahnya “Pro dan Kontra mengenai Roh Nabi Samuel dalam 1 Samuel 28:
1-25”mengatakan:
“Belakangan ini,
banyak ajaran sesat atau bidat yang mengatasnamakan ajaran Kristen, namun pada
hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Salah
satu contohnya, sebut saja ajaran pemanggilan arwah orang mati dengan tujuan
untuk menginjil seperti cerita di atas.
Gerakan pemanggilan
dan penginjilan arwah orang mati di Indonesia dipopulerkan oleh Andereas
Samudera di Bandung sekitar tahun 1996 dan sudah berhasil menarik banyak
pengikut.
Dengan demikian,
banyak jiwa sedang disesatkan dari kebenaran dan berpaling kepada penyembahan
kepada Iblis. Itu sebabnya ajaran ini perlu direspons dengan segera melalui
pengajaran yang alkitabiah kepada jemaat, agar mereka dapat membedakan mana
ajaran yang benar dan yang salah, sehingga mereka tidak disesatkan lagi oleh
para guru palsu yang mengaku “diutus” oleh Allah padahal tidak demikian.
Ajaran dan praktik
pemanggilan roh orang mati berawal dari pemahaman bahwa antara orang hidup dan
roh-roh orang mati masih dapat saling berkomunikasi sehingga roh-roh orang mati
yang belum percaya Yesus layak untuk diinjili demi keadilan Allah karena mereka
belum sempat mendengarkan berita injil. Teks Alkitab yang dijadikan acuan dalam
mengembangkan ajaran di atas adalah 1 Samuel 28: 1-25 dan 1 Petrus 3: 19-20”.
Pdt. Edy Siswoko,
M.Pd.K. (Dosen STA Jember) dalam tulisnnya “Menangkal Ajaran Sesat Tentang “Roh”
Dalam 1 Samuel 28” mengatakan:
Dampak ajaran sesat
ini sudah banyak, contohnya ajaran pemanggilan arwah orang mati (ajaran
Andereas Samudra) yang muncul sekitar tahun 1996 di Bandung dan memperoleh
banyak pengikut, dimana Andereas Samudra ini mendasarkan ajarannya pada 1
Samuel 28 ini. Belum lagi bagaimana dampaknya pada jemaat kalau sampai hamba
Tuhan GPdI mengajarkan roh itu adalah roh Nabi Samuel? Karena itu artikel ini
merupakan bentuk pertahanan dari ajaran sesat dan pembelaan ajaran yang sehat
(Tit. 2: 1).
Pdt. Edy Siswoko juga
berkata:
Kedua, berdasarkan
apa yang telah Tuhan ajarkan dan firmankan secara langsung maka
roh itu bukan roh Samuel, karena praktik memanggil roh ini dilarang
langsung oleh Tuhan, Tuhan menyebutnya “najis” (Im. 19: 31) dan “zinah
rohani” (Im. 20: 6) bahkan harus dihukum mati (Im. 20: 27, lihat pula
Ul. 18: 11; 1Sam. 28: 3, 9; 2Raj. 21: 6; 23: 24; 2Taw. 33: 6; Yes. 8: 19; 19:
3).
Tuhan tak bisa
melanggar larangan-Nya sendiri, Firman-Nya tidak pernah berubah untuk selamanya
(Mzm. 89: 35). Jika Tuhan melanggar larangan-Nya sendiri, artinya
Tuhan mendorong manusia untuk juga melanggar larangan Tuhan. Menerima
bahwa itu roh Samuel sama saja menuduh Tuhan tidak konsisten, plin-plan.
Ketiga, berdasarkan
Firman-Nya sendiri tentang sifat-Nya yang Mahakudus (Yes. 40: 25), maka jelas
roh itu bukan roh Samuel sebab pemanggilan arwah itu dosa yang keji. Mengakui
bahwa itu roh nabi Samuel sama dengan mengakui bahwa Tuhan tidak kudus, Tuhan
bisa berdosa. Kalau Tuhan pernah berdosa, apa bedanya dengan iblis dan apa
bedanya dengan manusia (Kel. 15: 11)? Tidak ada yang menyamai Tuhan dalam
kekudusan-Nya!
Dan Pdt. Edy Siswoko
juga berkata:
Keenam,
berdasarkan apa yang telah Tuhan ajarkan sendiri mengenai iblis yang
adalah pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8: 44), maka roh itu adalah
setan yang menyamar menjadi roh Samuel. Karena sedang menyamar, tentu
ia bersikap dan berkata-kata seperti Samuel. Menyamar jadi malaikat dan
berkata-kata seperti malaikat saja dia juga bisa (2Kor. 11: 13-14), apalagi
cuma menyamar jadi nabi Samuel?
Jangan mengira setan
itu bodoh, polos, selalu bersikap dan berkata apa adanya. Ia cerdik namun
pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8: 44). Kalau tidak cerdik dan licik maka
iblis tak bisa menjatuhkan Adam & Hawa. Ia mengutip Firman Tuhan saat
mencobai Yesus, jadi tak usah heran kalau ia mengutip kata-kata Samuel. Setan
bisa mengutip kata-kata siapapun sebab ia punya memori ribuan tahun karena ia
sudah hidup sebelum manusia ada.
Sebagian orang
berpendapat roh itu adalah roh Samuel karena tidak ada untungnya bagi setan
menyamar jadi roh Samuel.
Nah, orang beriman
harus memiliki penglihatan rohani, sebuah sudut pandang Tuhan (bukan
kemahatahuan, tapi kepekaan), yang mampu menguji setiap roh. Memang
“kelihatannya” tidak ada untungnya bila setan menyamar jadi roh Samuel dan
menegur Saul. Tapi bahaya yang sesungguhnya ada di balik praktek pemanggilan
arwah itu sendiri dan iblis memperoleh keuntungan sangat besar bila jemaat
percaya roh tersebut adalah roh Samuel, karena akan memotivasi jemaat untuk
juga menggunakan cara sesat ini.
Jemaat akan menilai
bahwa, “Melalui pemanggilan arwah ini orang dapat mengetahui masa depan, dan
meski dilarang oleh Tuhan ternyata Tuhan sendiri melakukannya dan ternyata
Tuhan juga bisa berkompromi dengan dosa, karena itu tidak masalah kalau kita
sekali-kali juga berkompromi dengan dosa!”
Nah, sadarkah kita
betapa Hukum dan Ketetapan Tuhan akan jadi tidak berarti bahkan dihina serta
diinjak-injak bila Tuhan memunculkan Samuel dengan cara sesat ini?
Kalau kita sendiri
menyadari dan mengerti bahaya dari ajaran ini, apalagi Tuhan yang hikmat dan
pengertiannya tak terbatas?
Dan Pdt. Edy Siswoko
juga berkata:
Lalu mengapa Tuhan
mengizinkan nubuat nabi palsu dan nubuat iblis terpenuhi?
Yaitu untuk menguji umat-Nya
(Ul. 13: 1-5). Ini peringatan bagi orang benar zaman sekarang, jangan
mudah terjebak dengan iming-iming seseorang yang bisa bernubuat dan digenapi,
membuat mujizat, dsb, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa para antek
iblis yaitu para nabi palsu akan menyesatkan banyak orang dengan nubuat dan
mujizat yang dahsyat (Mat. 7: 21-23; 24: 24), sehingga kembali lagi kita harus
menguji mereka berdasarkan buah ajaran dan buah tingkah laku mereka, apakah
sesuai dengan Firman-Nya (Ul. 13: 1-5).
*****
KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU:
Dijelaskan oleh Sri
Vishnu pada Garuda dalam Kitab Suci Veda Garuda Purana dan Purana
lainnya. Setiap orang yang akan meninggal didatangi oleh dua sosok yakni
Yamaduta Utusan Dewa Yama (Sejenis malaikat Munkar dan Nakir dalam Islam),
Mereka menjemput Sang Roh keluar dari badan kasarnya.
Sang Roh yang banyak
dosa kadang hidungnya diikat dengan Tali Sakti dan ditarik paksa. Sedangkan
yang lebih sedikit dosanya kadang Yamaduta menampakkan diri seperti keluarga
Sang Roh yang telah meninggal, sehingga Sang Roh rela keluar dari badannya
mengikuti Yamaduta yang menyamar itu. Setelah Roh keluar dari badan atau mati,
Sang Roh yang dibungkus badan halus dengan ukuran sebesar Ibu Jari dibiarkan
gentayangan dalam pengawasan Yamaduta selama 10 hari sebelum dibawa ke tempat
Pengadilan Dewa Yama, dalam perjalanan selama 348 hari itulah Yamadita kerap
menyiksa Sang Roh.
===***===
SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN GENTAYANGAN:
Animisme merupakan
aliran kepercayaan yang berpendapat bahwa roh mendiami semua benda (pohon,
batu, sungai, gunung, dan sebagainya).
Keberadaan roh dan
kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun
sebaliknya dapat mencelakakan.
Oleh karena itu, W.
Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat
pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk
mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena
mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Adapun bentuk
kepercayaan Animisme yang masih sangat menonjol di tengah masyarakat yaitu
mempunyai anggapan bahwa suatu benda memiliki kekuatan supranatural dalam
bentuk roh. Roh ini bisa dipanggil dan di ajak berdialog serta diminta
pertolongan pada saat diperlukan. Mereka percaya akan hal-hal yang gaib atau
kekuatan hebat.
Kepercayaan terhadap
bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati suatu tempat memunculkan
kegiatan menghormati atau memuja roh tersebut dengan cara memotong hewan kurban
sebagai tumbal dan memberi sesajen atau sersembahan setiap pergantian musim
barat dengan musim timur supaya tidak ada penyakit.
Kepercayaan animisme
dan dinamisme telah tumbuh dan berkembang pesat di seluruh belahan dunia. Dari
kepercayaan inilah, mereka membangun sebuah masyarakat. Mereka mengangkat
seorang kepala adat sebagai pemimpin. Baik pemimpin kemasyarakatan ataupun
pemimpin dalam proses-proses ritual. Kepercayaan animisme dan dinamisme itu
didapat dari pengaruh bangsa lain yang telah menjalin interaksi dengan mereka.
Ada yang mengatakan
bahwa sumber utama paham ini berasal dari ajaran Taonisme yang lahir di kawasan
Tiongkok. Ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir dari ajaran bangsa Aria.
Yang pasti, umat
manusia sudah lama mengenal istilah roh jahat dan roh baik yang bisa hadir dan
gentayangan, dan kesaktian atau kekuatan luar biasa.
Banyak bangsa-bangsa
di dunia yang sudah lama mengenal tentang bagaimana cara menghormati orang yang
sudah mati. Kepercayaan bahwa manusia yang hidup masih bisa menjalin komunikasi
dengan para leluhur mereka yang sudah mati. Untuk itulah, mereka melakukan
ritual-ritual tertentu dalam rangka menghormati arwah para leluhur dan
menjauhkan diri dari roh jahat.
Setiap benda yang
dianggap ajaib atau mengesankan, maka mereka akan menganggapnya sebagai benda
yang memiliki kesaktian. Matahari dipercaya sebagai dewa, bulan diyakini
sebagai dewi, langit dianggap sebagai kerajaan, bumi beserta segala isinya
disebut sebagai pelindung atau pengawal manusia.
Jika ditelusuri,
kepercayaan semacam ini sejak dulu telah berkembang di berbagai macam bangsa
dan negara, termasuk di Indonesia. Begitu pula di Jepang atau Cina misalnya. Di
sana masih banyak masyarakat setempat yang menganut paham animisme dan
dinamisme. Terutama di masyarakat India. Bahkan, sebagian masyarakat Eropa dan
Asia Barat pun masih percaya pada animisme dan dinamisme.
Warga Jepang masih
menganut paham Shinto. Mereka sangat menghormati matahari.
Masyarakat Cina
menganut Konghucu, mereka menyembah para dewa langit dan bumi. Yang dan Ying
disebut-sebut sebagai Tuhan.
Di India, setiap
binatang tertentu seperti sapi memiliki kekuatan. Sapi adalah binatang suci
bagi masyarakat India, bahkan pemerintah setempat melarang penyembelihan sapi.
[http:
//kangmas.blogspot.in/animisme-dan-dinamimse.html. Diakses pada 6 April 2015
pukul 17.14 3 ]
Di kawasan Jazirah
Arab, sebagian masyarakat masih percaya pada kekuatan roh Fir’aun Osiris dan
Isis istrinya, sang penguasa sungai Nil atau kesaktian padang Sahara. Fir’aun
masih diyakini sebagi sosok yang masih memiliki kekuatan walaupun jasadnya
telah rusa. Di yakini bisa hadir ke bumi kapan saja.
Bahkan di Eropa,
kepercayaan terhadap dewa-dewa Yunani atau roh-roh jahat seperti vampir dan
zhombie, masih ramai diyakini oleh mereka.
Dari semua
penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa lahirnya kepercayaan animisme dan
dinamisme di Indonesia adalah berasal dari pengaruh bangsa lain.
Perjalanan waktu yang
mengandaikan berbedanya tempat, latar belakang budaya serta sosial masyarakat
dan melahirkan perbedaan yang cukup beragam secara tidak langsung menyebabkan
keragaman agama yang sampai saat ini masih ada yang survive dan ada yang
tenggelam.
Tradisi merupakan
suatu kebiasaan dari nenek moyang terdahulu yang menjadi kepercayaan kemudian
diwariskan secara turun temurun. Tradisi bisa berubah sesuai perubahan pola
pikir masyarakat di zaman modern.
Pada zaman modern
ini, masih banyak masyarakat yang tidak bisa meninggalkan sebuah kebudayaan
yang terbawa dari nenek moyang. Kadang sebuah kebudayaan itu sangat erat
kaitannya dengan tingkat kepercayaan seseorang tentang suatu hal yang di
anggapnya keramat dan wajib untuk dilakukan.
Kepercayaan itu ada
ketika seseorang yakin akan suatu hal, entah itu hal yang disakralkan atau
tidak.
===***===
KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA
Kepercayaan dan
keyakinan bahwa orang suci atau orang shaleh jika sudah mati akan semakin
tinggi kedudukannya di sisi Allah, serta keyakinan bahwa berdoa lewatnya adalah
sangat mustajab, di sebabkan orang suci tersebut memiliki kemampuan melobi
kepada Allah SWT agar Dia mengabulkan doa orang tersebut.
Keyakinan ini di
bangun di atas filsafat dan logika. Diantaranya dalam fisalafat berikut ini:
- Dalam Filsafat Majusi.
- Dalam filsafat Babylonia.
- Dalam filsafat Yunani.
- Dalam filsafat Hindu dan Budha.
- Dalam Filsafat Sabiah.
- Dalam filsafat Mesir Kuno.
PANDANGAN MAJUSI [AGAMA PEMUJA API] TENTANG ORANG SUCI SETELAH MATI
Kepercayaan bahwa
orang saleh / orang suci jika sudah mati akan naik ke martabat yang sangat
tinggi atau mencapai tingkat kesempurnaan serta berkeyakinan bahwa berdoa
kepadanya atau dengan perantaraannya setelah kematiannya jauh lebih mustajab
dari pada semasa hidupnya adalah bagian dari kepercayaan agama Majusi agama
pemuja api, dupa dan kemenyan.
Mereka berkeyakinan
bahwa hakikat awal kehidupan di dunia itu adalah percampuran dua unsur terang
dan gelap, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk. Maka kematian itu pada
hakikatnya adalah berlepas dirinya sang cahaya dari kegelapan, berlepas dirinya
sanga kebaikan dari segala kejahatan dan keburukan. Sementara beramal kebajikan
di dunia merupakan salah satu cara membebaskan diri dari pengaruh unsur negatif
kegelapan.
Maka orang suci itu
adalah orang yang banyak beramal saleh sehingga dia itu dianggap sebagai
pribadi yang mampu mengusir pengaruh unsur negatif kegelapan, maka dengan
demikian orang suci itu doanya sangat mustajab karena dia semasa hidupnya mampu
memaksimalkan dalam menguasai cahaya dan mengusir kegelapan.
Jika orang suci itu
semasa hidupnya saja sudah dianggap mustajab doanya padahal masih bercampur
baur jiwanya dengan keburukan atau unsur negatif, apalagi jika sudah mati dan
telah lepas dari segala pengaruh keburukan, maka sudah dipastikan menurutnya:
berdoa dengan perantaranya jauh lebih mustajab, dikarenakan dia sudah mencapai
tingkat kesempurnaan. (Lihat kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani
1/251, 2/271-272).
Berangkat dari
pengagungan terhadap cahaya dan terang ; maka penggunaan segala sesuatu yang
mengandung unsur cahaya dan terang - seperti api, dupa, kemenyan dan sejenisnya
sebagai sarana ibadah - merupakan syarat mutlak dan utama dalam ritual ibadah
penganut agama Majusi dan sekte-sekte nya.
====***====
PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA
****
PERTAMA: NAMRUD ATAU NIMROE:
H.W.
Armstrong dalam bukunya The Plain Truth About Christmas, Worldwide
Church of God, California USA, 1994, menjelaskan:
“ Namrud cucu Ham Anak nabi Nuh adalah pendiri sistem kehidupan
masyarakat Babilonia kuno. Nama Nimrod dalam bahasa Hebrew (Ibrani) berasal
dari kata “Marad” yang artinya: “Dia membangkang atau Murtad” antara lain
dengan keberaniannya mengawini ibu kandungnya sendiri bernama “Semiramis”.
Namun usia Namrud
tidak sepanjang ibunya. Ketika Nimrod mati, tubuhnya dipotong-potong, kemudian
dibakar dan disebar ke berbagai daerah. Praktek serupa juga disebutkan
dalam Al-kitab (Hak. 19: 29; 1Sam. 11: 7). Kematiannya sangat
menyedihkan masyarakat Babilon. Semiramis lalu menegaskan bahwa Nimrod adalah
dewa matahari.
Ahmad Nizam
mengatakan: Setelah Namrud meninggal dunia, Semiramis ibu yang merangkap
sebagai isteri tersebut menyebarkan ajaran bahwa Roh Namrud tetap hidup
selamanya walaupun jasadnya telah mati. Dia membuktikan ajarannya dengan adanya
pohon Evergreen yang tumbuh dari sebatang kayu yang mati, yang ditafsirkan oleh
Semiramis sebagai bukti kehidupan baru bagi Nimrod yang sudah mati. Dan di
yakini bahwa Namrud selalu hadir di pohon Evergreen ini.
Untuk mengenang hari
kelahirannya, mereka merayakannya dengan mengadakan acara ulang tahun
kelahirannya serta meninggalkan bingkisan yang digantungkan di ranting-ranting
pohon Evergreen itu. Sedangkan kelahiran Namrud dinyatakan pada tanggal 25
Desember.
Dan inilah asal usul
pohon Natal / Christmas tree yang dijadikan oleh orang-orang Kristen sebagai
simbol Hari Raya Natal. Pertama kalinya ketika agama Nasrani tersebar di
kawasan Eropa Barat, perayaan Natal dilengkapi dengan “pohon Natal” (Christmas
tree) yang jelas-jelas dipuja oleh bangsa kafir Babylonia, kemudian diikuti
oleh bangsa-bangsa lainnya seperti Jerman dan Skandinavia.
Bangsa Inggris baru
mengenal pohon Natal ketika Ratu Victoria menikahi Pangeran Albert. Maka dialah
yang membawa tradisi itu ke Inggris dari daerah asalnya Jerman pada tahun 1840.
Adapun orang yang
pertama kali gemar membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak pada HARI NATAL
adalah Saint Nicholas yang kemudian dikenal dengan nama Santa Claus, uskup abad
ke-4 di Nicaea (sekarang Iznik, masuk wilayah Turki). Tradisi ini populer di
Negeri Belanda dengan sebutan San Nicolaas. Ketika orang-orang Belanda
berimigrasi ke Amerika - kota New York sekarang adalah bikinan Belanda, dulu
namanya New Amsterdam - mereka memperkenalkan tradisi bagi-bagi hadiah dari San
Nicolaas ini, yang oleh lidah anak-anak Amerika diucapkan Santa Claus. Akhirnya
pada tahun 1863, kartunis terkenal Thomas Nast menggubah lukisan Santa Claus
dengan berpakaian merah dan berjanggut putih, lengkap dengan ketawa
‘ho-ho-ho’nya, yang populer sampai hari ini.
Dan dari tradisi
perayaan kelahiran Namrud pula lahirnya konsep berbagai macam ritual hari
peringatan yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap suci dan di kultuskan,
seperti Raja, Pahlawan, tokoh dang yang sejenisnya dengan berbagai macam dalih
dan istilah.
Dan lebih lanjut lagi
Semiramis ibu dan istri Namrud dianggap sebagai “Ratu Langit” oleh rakyat
Babilonia, kemudian Namrud dipuja sebagai “anak suci dari surga”.
Pada akhirnya putaran
zaman menyatakan bahwa penyembah berhala versi Babilonia ini berubah menjadi
“Mesiah palsu”, berupa dewa “Ba-al” anak dewa matahari dengan
obyek penyembahan “Ibu dan Anak” (Semiramis dan Namrud) yang
diyakini lahir kembali.
Ajaran tersebut
menjalar ke negara lain: Di Mesir berupa “Isis dan Osiris”, di Asia
bernama “Cybele dan Deoius”, di Roma disebut“Fortuna dan
Yupiter”, bahkan di Yunani. “Kwan Im” di Cina, Jepang, dan
Tibet, India, Persia, Afrika, Eropa dan Meksiko, juga ditemukan adat pemujaan
terhadap dewa “Madonna”dan lain-lain.
Dewa-dewa berikut ini
dimitoskan lahir pada tanggal 25 Desember, dilahirkan oleh gadis
perawan (tanpa bapak), mengalami kematian (disalib)
dan dipercaya sebagai Juru Selamat (Penebus Dosa).
Dan diyakini bahwa
mereka bisa hadir ke dunia dan hari kelahiran mereka senantiasa dirayakan oleh
para pemuja-nya:
- Dewa Mithras (Mitra) di Iran, yang juga diyakini dilahirkan
dalam sebuah gua dan mempunyai 12 orang murid. Dia juga disebut sebagai
Sang Penyelamat, karena ia pun mengalami kematian, dan dikuburkan, tapi
bangkit kembali. Kepercayaan ini menjalar hingga Eropa. Kaisar Konstantin
termasuk salah seorang pengagum sekaligus penganut kepercayaan ini.
- Apollo, yang terkenal memiliki 12 jasa dan menguasai
12 bintang/planet.
- Hercules yang terkenal sebagai pahlawan perang
tak tertandingi.
- Ba-al yang disembah orang-orang Israel adalah
dewa penduduk asli tanah Kana’an yang terkenal juga sebagai dewa
kesuburan.
- Dewa Ra, sembahan orang-orang Mesir Kuno; kepercayaan
ini menyebar hingga ke Romawi dan diperingati hari kelahiran-nya secara
besar-besar dan dijadikan sebagai pesta rakyat.
Demikian juga Serapsis,
Attis, Isis, Horus, Adonis, Bacchus, Krisna, Osiris, Syamas, Kybele dan
lain-lain.
Selain itu ada lagi
tokoh/pahlawan pada suatu bangsa yang oleh mereka diyakini dilahirkan oleh
perawan, antara lain Zrates (Bangsa Persia) dan Fo Hi (Bangsa
Cina). Demikian pula pahlawan-pahlawan Helenisme: Agis, Celomenes,
Eunus, Solulus, Aristonicus, Tibarius, Grocesus, Yupiter, Minersa, Easter.
Jadi, konsep bahwa Tuhan itu dilahirkan seorang perawan pada tanggal 25
Desember, disalib/dibunuh kemudian dibangkitkan, sudah ada sejak zaman
purba sebelum Yesus lahir.
Dalam Matius pun mengenai kemungkinan terjadinya pendustaan itu telah disinyalir oleh
Yesus lewat pesannya:
Jawab Yesus kepada mereka : Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!
Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaku dan berkata Akulah Mesias,
dan mereka akan menyesatkan banyak orang?. (Matius 24: 4-5).
Tradisi ulang tahun
Raja Namrud Dewa Matahari ini menyebar dan ditiru oleh raja-raja lainnya,
termasuk raja-raja Mesir yang mengaku dirinya sebeagai Dewa Matahari pula.
Sebagaimana terdapat keterangan di dalam injil Kejadian 40: 20:
Dan terjadilah pada hari ketiga, hari kelahiran Firaun, maka
Firaun mengadakan perjamuan untuk semua pegawainya. Ia meninggikan kepala juru
minuman dan kepala juru roti itu di tengah-tengah para pegawainya . [Injil ; Kejadian 40: 20]
Pada masa Herodes
acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:
6;
Tetapi pada hari ulang tahun Herodes, menarilah anak
Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati
Herodes . (Matius14: 6)
Dalam Injil
Markus 6: 21 Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodiaz, ketika
Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk
pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea.
(Markus 6: 21)
Maka dengan demikian
telah menjadi maklum bahwa tradisi perayaan ulang tahun kelahiran seseorang itu
adalah tradisi para penyembah berhala.
Seiring dengan
berjalannya waktu, maka berkembang pula tradisi perayaan hari kelahiran Namrud
Dewa Matahari ini menjadi tradisi ulang tahun kelahiran bagi
setiap insan yang pernah lahir, dengan tujuan agar dipanjangkan umurnya, di
lapangkan rizkinya dsb. Oleh karena itu dalam acara ulang tahun tidak lepas
dari simbol-simbol Namrud yang di laknati oleh Allah SWT, yaitu menyalakan lilin,
nyanyi-nyanyi dan mentabdzirkan harta.
Ralph Woodrow dalam
BABYLON MYSTERY RELIGION hal. 4 menyatakan bahwa:
Api adalah lambang dari raja Namrud yang diyakini oleh pengikutnya
sebagai dewa matahari atau baal. Jadi , lilin dan lain-lain
kebiasaan yang berkenaan dengan api dimaksudkan sebenarnya sebagai penyembahan
kepada Nimrod . (Baca Roma 1: 21-26).
Orang Nasrani yang
pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa
batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah
kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun
ditiup. (Baca buku: Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal.
298)
Kisah perjalanan
dakwah nabi Ibrahim alaihis salam tidak bisa lepas dari kisah Namrud sang dewa
matahari, Raja Babilon (Baghdad - Irak), Sang Penghulu Para Dewa dan Biang Kaum
Pagan. Manusia pertama yang dirayakan hari kelahirannya oleh para pemuja Dewa
Matahari.
Kisah keduanya itu
sebagai simbol perseteruan antara dakwah tauhid dan dakwah kesyirikan, antara
konsep Tauhid dan konsep Dewa Dewi, antara konsep tauhid dan konsep Berhala
atau paganisme. Allah SWT telah mengisyaratkannya dalam Al-Quran:
{ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ
آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي
وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ
يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ
الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (258) }.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan
dan mematikan, " orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan
mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, " lalu heran terdiamlah
orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim. (QS.
Al-Baqarah: 258).
Dalam menafsiri ayat
ini Imam Sayuthi dalam tafsirnya Ad-Durorul Mantsur 3/260 menukil riwayat Ibnul
Mundzir dari jalur Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, beliau berkata: "Dia adalah
Namrud bin Kan'an, orang-orang menganggap dia adalah raja pertama di bumi,
bertindak sewenang-wenang dengan membunuh manusia sekehendaknya dan
membiarkannya hidup juga sekehendaknya, dan Namrud berkata: Akulah yang
menghidupkan dan yang mematikan.
Abd bin Humeid dan
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qotadah bahwa dia berkata: "Kami
mengatakannya, bahwa dia adalah seorang raja, yang di sebut Namrud bin Kan'an,
dan dia adalah raja pertama yang berkuasa dengan sewenang-wenang di muka bumi,
dan dialah orang yang membangun istana dan menara yang menjulang tinggi di
Babylon, maka dia memanggil dua orang, salah satunya dia bunuh, sementara yang
satunya lagi dibiarkan hidup, lalu dia berkata: Sesungguhnya akulah yang
menghidupkan atas kehendakku, dan aku pula yang mematikan atas kehendakku
pula". (Lihat Tafsir Ad-Durorul Mantsur 3/260 karya Imam Sayuthi).
Perkataan Nabi
Ibrahim as terhadap Namrud: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari
timur, maka terbitkanlah dia dari barat, " sebagai tantangan
terhadap Namrud untuk membuktikan jika benar Namrud itu merasa di dirinya
sebagai dewa matahari, maka coba rubahlah arah terbit matahari!
****
KEDUA: KEHADIRAN FIR’AUN KE DUNIA SETELAH MATI.
Masyarakat mesir kuno
meyakini bahwa para Fir’aun ketika ajalnya tiba, mereka tidak mati, melainkna
pindah ke syurga, dan mereka bisa hadir kembali ke alam dunia, sesuai dengan
yang mereka inginkan.
Kedudukan Para
Fir’aun di masyarakat Mesir, disamping sebagai raja, juga di yakini sebagai
Tuhan titisan Dewa Matahari.
Hari kelahiran para
Fir’aun ini semas hidupnya senantiasa dirayakan oleh masyarakat Mesir sebagai
bentuk pengagungan dan penyembahan kepada Fir’aun, Tuhan Dewa Matahari..
Oleh sebab itu salah
seorang tokoh gereja Nasrani abad ke-3, yang bernama Origenes, menyatakan bahwa
merupakan suatu perbuatan dosa jika mencari-cari tanggal kelahiran Jesus, sebab
hal itu berarti menyamakan Kristus dengan seorang Fir’aun.
Maka umat Nasrani
pada masa-masa awal tidak ada yang mau merayakan Natal (Ul-Tah), sebab mereka
memandang perayaan ulang tahun sebagai bentuk kebiasaan orang kafir.
Dikarenakan Fir’aun
telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan titisan dewa Matahari, maka pada masa
Nabi Musa ‘alaihis salam di utus, Allah SWT menurunkan kegelapan di siang hari,
sebagai peringatan dan tantangan.
Allah memerintahkan
Musa untuk mengulurkan tangannya ke seluruh Mesir, dan ini menyebabkan
kegelapan yang sangat pekat yang berlangsung selama tiga hari. Kegelapan ini
bukanlah kegelapan biasa yang dapat dihindari. Namun, orang-orang Israel tetap
bisa melihat dengan terang dan baik. Setelah tulah tersebut berakhir, Firaun
memanggil Musa dan mencoba bernegosiasi. Firaun menawarkan untuk membiarkan
semua orang Israel pergi, tetapi mereka harus meninggalkan ternak mereka di
Mesir. Musa menolak persyaratan ini, bahkan Firaun harus menyediakan korban
sementara orang Israel pergi. Ini membuat Firaun sangat marah, dan dia
mengancam Musa dengan kematian yang mengerikan, kematian yang tidak akan pernah
ada lagi seperti itu. [Sumber: Kegelapan (10: 21 - 10: 29)].
Dalam metology Mesir
kuno di sebutkan bahwa masyarakat Mesir meyakini akan adanya penguasa sungai
Nil, yaitu dewa Osiris salah satu Firaun Raja Mesir yang pernah berkuasa dan
istrinya dewi Isis.
Mereka meyakini bahwa
Osiris dan istrinya Isis meskipun telah wafat, kedua-duanya bisa hadir
gentayangan turun ke bumi kapan saja, terutama turun ke sungai Nil di saat
bertepatan dengan hari kelahiran-nya.
Osiris dalam bahasa
Yunani, berarti dewa di alam baka. Osiris tidak hanya menghakimi orang-orang yang
sudah mati di alam baka, tetapi dia juga membuat subur tumbuh-tumbuhan
dan menyebabkan sungai Nil banjir.
Osiris anak Dewa Geb
dari bumi dan Dewi Nut dari langit. Ia mempunyai saudara kembar laki-laki
bernama Seth, dan adik perempuan kembar juga bernama Isis dan Nephthys. Setelah
ayahnya pensiun dan tinggal di langit, Osiris meneruskan
mengelola Mesir di muka bumi, dan mengawini adik perempuannya. Isis, sebagai
permaisuri, dan Horus merupakan peranakannya.
Osiris terkenal
sebagai firaun yang rajin mengajari rakyat Mesir, bagaimana menanam gandum dan
anggur (tanaman) untuk menghasilkan roti dan anggur (minuman). Di bawah
pengelolaannya, Mesir kuno menjadi negeri yang subur makmur, tata-tenteram,
karta-raharja.
Tapi ia juga
dimitoskan dibunuh oleh saudara kembarnya, Seth, yang iri melihat
keberhasilannya sebagai firaun. Jenazahnya disemayamkan dalam piramida, dan
ditiupi napas kehidupan oleh Isis. Setelah merasa segar sejuk, Osiris hidup
kembali, dan bisa pulang ke langit, tempat ayahnya menikmati masa pensiun
sebagai dewa. Ia menetap di bintang Alnitak.
Kemudian dalam mitos
Mesir Kuno rakyat mesir percaya bahwa Sungai Nil banjir setiap
tahun karena kesedihan air matanya untuk kematian suaminya,
Osiris. Ini menunjukkan adanya keyakinan terjadinya kematian dan kelahiran
kembali.
Untuk mengenangnya
kembali maka setiap tahun diadakan ritual-ritual perayaan hari kematian dan
hari kelahiran kembali.
Penyembahan Isis
akhirnya menyebar ke seluruh dunia termasuk diantaranya di Yunani dan Romawi
dan berlanjut hingga penindasan paganisme di era Kristen. Dia dipuja sebagai
ibu dan istri yang ideal serta pelindung alam dan sihir. Isis adalah Dewi
keibuan, sihir dan kesuburan.
Kisah berakhirnya ritual Ruatan Sungai Nil di Mesir sebagai
persembahan kepada Dewa Osiris dan Dewi Isis.
Ibnu Lahi'ah berkata:
dari Qois bin Hajjaj dari orang yang bercerita padanya, dia berkata:
" Setelah Mesir
ditaklukkan (pada masa Khilafah Umar radhiyallahu ‘anhu), datanglah
masyarakatnya menghadap 'Amr bin 'Ash – saat itu dia sebagai amirnya – ketika
memasuki bulan Bauunah salah satu nama-nama bulan 'Ajam (non arab), lantas
mereka berkata: Wahai Amir, sesungguhnya sungai Nil kami punya tradisi (sunnah)
yang tidak akan mengalir airnya, kecuali jika kami melaksankan tradisi itu.
Beliau 'Amr bin 'Ash bertanya: "Tradisi apakah itu? ".
Mereka
menjawab: Yaitu setiap tanggal dua belas malam dari bulan ini lewat,
kami mengambil seoarang gadis yang masih perawan yang berada bersama kedua
orang tuanya, maka kami membujuk kedua orang tua gadis tersebut agar
merelakannya, kemudian kami dandani dengan perhiasan dan pakaian yang terbaik,
setelah itu kami melemparkannya ke sungai Nil ini.
Maka Amr bin 'Ash
berkata kepada mereka: Yang demikian itu tidak ada dalam Islam, dan
sesungguhnya Islam itu menghilangkan sesuatu yang telah ada sebelumnya".
Setelah mereka menunggu selama bulan Bauunah ternyata sungai Nil ini tetap
tidak mengalir, kemudian akhirnya mereka berniat hendak melaksanakan tradisi
tersebut, maka 'Amr buru-buru menulis surat kepada Umar bin Khoththob tentang
hal itu, maka Umar pun menulis surat balasan yang bunyinya:
" Sesungguhnya
apa yang telah kamu lakukan adalah benar, dan sungguh aku telah mengirimkan
kepada mu selembar kartu di dalam suratku ini, maka lemparkanlah kartu itu ke
sungai Nil ".
Setelah kitab itu
nyampai, 'Amr pun mengambil kartu tersebut dan membukannya, ternyata di
dalamnya terdapat tulisan yang kata-katanya:
" Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mu'minin kepada sungai Nil
penduduk Mesir. Amma Ba'du (adapun setelah itu): …. Maka sesungguhnya kamu,
jika kamulah yang mengalirkan air itu dari diri kamu maka kamu tidak akan bisa
mengalirkannya. Dan jika Allah yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa yang
mengalirkan kamu, maka kami akan memohon kepada Allah agar mengalirkan
kamu".
Maka Amr' pun
melemparkan kartu tadi ke sungai Niil, dan pada hari Sabtu di pagi harinya
mereka menemukan sungai Niil dengan izin Allah telah mengaliGENTr dengan
ketinggian enam belas hasta dalam satu malam. Dan Allah Ta'ala telah
menghilangkan tradisi tersebut dari masyarakat Mesir hingga hari ini ".
(Kisah ini di
riwayatkan oleh Abul Qosim Al-Lalakai Ath-Thobary dalam kitabnya As-Sunnah. Di
dalam sanadnya ada kelemahan. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/464 berkata: Di
sanadnya terdapat Ibnu Lahi'ah, dan dia itu kodisinya di perdebatkan ".
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Taqrib berkata: Dia Shoduq dari thobaqot
ke tujuh, dia hafalannya suka keliru setelah terbakar kitab-kitabnya).
****
KETIGA: KEHADIRAN YESUS KRISTUS DALAM RITUAL EKARISTI (HIDANGAN LANGIT)
Ekaristi Kudus
menurut umat Kristiani: merupakan Perjamuan Tuhan Yesus yang Ia lakukan bersama
dengan kedua belas rasul-Nya. Injil mencatat bahwa Tuhan Yesus menetapkan hal
ini ketika Dia makan pada perjamuan terakhir sebelum Dia ditangkap dan diadili.
Ekaristi atau
hidangan langit ini telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
﴿إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ
يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ
اتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. قَالُوا نُرِيدُ أَن نَّأْكُلَ مِنْهَا
وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَن قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا
مِنَ الشَّاهِدِينَ. قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ
عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا
وَآخِرِنَا وَآيَةً مِّنكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ﴾
(Ingatlah), ketika
pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu
menurunkan hidangan dari langit kepada kami?". Isa menjawab:
"Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".
Mereka berkata:
"Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya
kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi
orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
Isa putera Maryam
berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari
langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang
yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi
kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling
Utama". [Maidah: 112-114]
Menurut keyakinan umat kristiani:
Sesungguhnya, Yesus
menegaskan Diri-Nya sebagai korban dan kurban yang dipersembahkan bagi
pelunasan dosa dunia. Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Hidangan dan Santapan
iman yang kita terima melalui Ekaristi Kudus. Ekaristi sebagai perjamuan yang
menyediakan Hidangan dan Santapan iman akan membawa setiap orang yang percaya
untuk berjumpa dengan Kristus.
Kehadiran nyata
Kristus dalam ritual Ekaristi adalah istilah yang digunakan dalam teologi
Kristen untuk mengungkapkan ajaran bahwa Yesus adalah benar-benar atau secara
substansial hadir dalam Ekaristi atau Perjamuan Kudus, bukan hanya secara
simbolis atau metaforis.
Yesus hadir dalam
Ekaristi sebagai tanda kehadiran Allah di tengah umat yang
merayakannya.
Ekaristi merupakan
salah satu ritual terpenting dalam tradisi Kristen yang dilakukan dengan
memakan roti dan minum anggur atau sari buah anggur.
Mereka berkeyakinan
bahwa hidangan roti tersebut sebagai simbol dari daging Yesus, sementara
minuman anggur adalah darah Yesus. Dan barang siapa yang mengkonsumsinya maka
Yesus akan merasuk pada tubuhnya dan menyatu dengannya.
Karina Chrisyantia
dalam artikel “ Kehadiran Kristus dalam Ekaristi” mengatakan:
Dapat kita fahami
relasi Ekaristi dengan kehadiran Tuhan sebagai berikut:
Pertama, hakikat
Ekaristi sendirilah yang telah menunjukkan kehadiran Tuhan Yesus. Kedua, Tuhan
Yesus adalah roti hidup, roti yang memberi kesegaran kepada semua orang
sebagaimana Dia katakan:
“Akulah roti hidup;
barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya
kepada-Ku ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6: 35).
Maka, Gereja sejak
awal meyakini bahwa Ekaristi adalah kehadiran Kristus karena ketika memecah
roti setiap orang percaya dan selalu ingat akan apamyang dilakukan-Nya.
Santo Paulus dalam
Suratnya kepada jemaat Korintus mengatakan: “Sebab setiap kali kamu makan roti
ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Tuhan Ia
datang” (1 Kor. 11: 26). Selain itu, Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum
Concilium juga menyatakan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan
Gereja”.
Pernyataan ini secara
implisit memberikan petunjuk dan penegasan bahwa Kristuslah menjadi pelaku
utama Ekaristi.
Oleh sebab itu,
tidaklah heran jikalau kemudian Santo Ireneus mengatakan: “Cara pikir kita
sesuai dengan Ekaristi, dan sebaliknya Ekaristi memperkuat cara pikir kita”.
Dia adalah pusat dari kehidupan orang Kristiani sehingga ketika seorang imam
merayakan Ekaristi, ia merayakan atas nama Kristus. Inilah mengapa imam dalam
Gereja sering disebut sebagai in persona Christi atau alter
Christus.
Selain itu, kehadiran
Kristus dalam Ekaristi bagi iman Katolik bukan sekadar suatu kenangan seperti
seorang yang merayakan hari ulang tahunnya. Sebaliknya, iman Gereja mengakui
bahwa kehadiran Kristus itu nyata (praesentia realis) yang terwujud dalam
“Tubuh dan Darah Kristus”.
Memang, pemahaman
akan hal ini tidak bisa dimengerti begitu saja oleh akal budi manusia karena
“Bagaimana mungkin roti dan anggur bisa menjadi tubuh dan darah Kristus?”
Ini adalah
penghayatan iman sehingga Gereja meyakini bahwa Kristus hadir dan selalu hadir
dalam Ekaristi. Pemahaman ini ditegaskan kemudian oleh Katekismus Gereja
Katolik: “Kristus hadir di dalam Sakramen (Ekaristi) ini oleh perubahan roti
dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya” (KGK 1375).
Alhasil, kehadiran
Kristus bagi Gereja adalah nyata dalam Ekaristi. Kristus memang tidak tampak
rupanya seperti yang dilihat oleh para rasul, tetapi kehadiran-Nya tetap ada
dalam rupa “Tubuh dan Darah Kristus” secara nyata.
Maka, Perayaan
Ekaristi bukan berarti bahwa Kristus itu tidak hadir, tetapi Kristus belum
datang kembali seperti ketika Dia memulai Perayaan Ekaristi pertama bersama
dengan para rasul.
Inilah mengapa Tuhan
Yesus mengatakan: “Aku berkata kepadamu: ‘Sesungguhnya Aku tidak akan minum
lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam
Kerajaan Allah” (Mrk.14: 25).
====
ORANG BALI DIKENAL GEMAR DAN SUKA SEKALI MEMANGGIL ROH
Aryantha Soethama berkata:
“Berkesenian menjadi
kegemaran orang Bali yang paling menonjol. Ada pula kegemaran menonjol lain:
orang Bali dikenal suka sekali memanggil roh. Perhatikanlah jika menjelang hari
baik ngaben, tempat praktek para pemanggil roh, orang Bali memanggilnya sebagai
sedahan, sangat ramai dikunjungi. Mereka meminta roh yang akan diaben
diturunkan oleh dukun tenung itu.
Si sedahan akan
memanggil roh, dan menjadikan si dukun sebagai medium. Kegiatan ini disebut
sebagai meluasang. Jika roh datang, ia akan bicara melalui si dukun. Biasanya,
didahului oleh pertanyaan oleh sedahan benarkah roh yang datang ini sesuai
dengan permintaan? Jika dijawab ya oleh yang meluasang, maka mulailah sedahan
itu menjadi aktor, meniru perilaku sehari-hari roh ketika masih hidup.
Roh akan bertanya,
siapa saja yang datang? Biasanya disertai isak tangis menanyakan kabar keluarga
yang ditinggalkan. Jika roh yang turun itu meninggal karena peristiwa yang
mengenaskan, dibunuh ditikam belati atau diracun misalnya, suasana haru dan
mencekam akan menjadi ciri pertunjukan meluasang itu.
“Relakan saya pergi,
saya sedang mengumpulkan tenaga untuk membalas kejahatan yang ditimpakan
kepadaku", tutur roh yang diracun itu lewat dukun tenung. Kerabat yang
hadir pun, kendati sedih, manggut-manggut, karena dendam akan terbalaskan.
“Kami akan mengabenkan engkau, semoga engkau bersedia", ujar seorang sanak
saudara.
Si dukun tenung
kembali manggut-manggut. “Bersedia tentu, biar segera aku dapat tempat yang
nyaman untuk membalaskan dendam ini.”
Jika pemanggilan roh
berjalan lancar, keluarga sudah tenang untuk ngaben, lazimnya ada saja
adegan-adegan ikutan yang biasanya serba ringan. Misalnya, roh menanyakan kabar
beberapa anggota keluarga. “Putu, bagaimana sekolahnya?” Keluarga yang ditanya
saling pandang, karena di keluarga itu ada banyak yang bernama Putu. “Putu yang
mana?” “Ah, itu, si putu yang suka menabuh kendang.”
Keluarga kembali
saling pandang, karena tidak ada di keluarga itu yang senang menabuh kendang.
“Putu siapa? Kan nggak ada yang jadi penabuh kendang, keluarga kita biasanya
jadi pemukul cengceng dan pemukul terompong. Putu siapa ya?”
Anggota keluarga
saling pandang. “Ooo... mungkin yang dimaksud Putu yang ikut drum band di
kampus", sahut salah seorang. Maka seseorang segera melontarkan jawaban,
“Kalau Putu drum band baik-baik saja, sekarang sudah semester tujuh.”
Dukun tenung itu
kembali manggut-manggut. “Suruh dia rajin belajar, agar cepat jadi
sarjana", ujar si dukun. Kerabat kembali saling pandang. Ada yang
berbisik, “Kan nggak bisa cepat-cepat jadi sarjana, kuliah kan berbatas
waktunya?”
Memanggil roh tidak
hanya dilakukan ketika hendak ngaben, juga ketika seseorang mengalami
kecelakaan. Dulu, jika di tepi jalan ada sekelompok orang bersama pemangku
menghaturkan sesaji, pertanda ada orang mengalami kecelakaan di tempat itu.
Mungkin ada yang terkapar karena ulah sendiri, ngebut, tergelincir menggilas
pasir. Mungkin ada kecelakaan besar, seseorang menyeberang jalan dan ditabrak
mobil. Upacara kecil di tepi jalan itu disebut ngulapin, ritual memanggil roh.
Jika kecelakaan itu
menyebabkan seseorang meninggal, ngulapin diperlukan agar roh tidak bingung,
siapa tahu pergi ke tempat jauh, yang tidak dikenal. Ngulapin dilaksanakan agar
roh tidak nyasar. Roh diupacarai untuk diajak pulang. Jika yang celaka itu cuma
lecet-lecet, ngulapin tetap dilaksanakan, agar yang celaka tidak kaget,
mengalami guncangan jiwa. Kadang ngulapin dianggap tidak cukup, korban harus
diupacarai dengan mebayuh, agar si celaka, kendati cuma lecet-lecet, bisa
tenang.
Sekarang ngulapin
karena kecelakaan jarang dilakukan. Jika masih dilakoni seperti dulu, wah,
bakalan berderet-deret ritual ngulapin di tepi jalan, karena saban hari banyak
sekali orang celaka naik motor dan mobil. Bisa-bisa macet lalu lintas gara-gara
orang Bali memanggil-manggil roh di tepi jalan yang hiruk pikuk.
0 Komentar