Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM DALAM SHAF SHALAT BERJEMAAH TERDAPAT ANAK KECIL

 HUKUM DALAM SHAFF SHALAT BERJEMAAH TERDAPAT ANAK KECIL

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

APAKAH SHALAT BATAL KARENA BERDIRI DI SEBELAH ANAK KECIL YANG BELUM MUMAYYIZ?

Jika anak kecil itu sudah mumayyiz, maka berdirinya dalam shaf diperbolehkan menurut banyak ulama. 

Adapun jika anak kecil itu belum mumayyiz sebagaimana yang tampak, maka tidak disyariatkan untuk didirikan dalam shaf. Barang siapa yang shalat bersamanya sendirian, maka ia dianggap shalat sendiri di belakang shaf. 

Namun, berdirinya anak kecil dalam shaf tidak membatalkan shalat, dan kami tidak mengetahui adanya ulama yang membatalkan shalat hanya karena berdirinya anak kecil yang belum mumayyiz dalam shaff. 

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah pernah di tanya :

Apakah anak kecil yang sudah mumayyiz memutus shaff?

Beliau berkata:

فَلَا يُعْتَبَرُ وُقُوفُ هَذَا الطِّفْلِ قَاطِعًا لِلصَّفِّ، لِأَنَّ مَسَافَتَهُ قَصِيرَةٌ فَلَا يَكُونُ قَاطِعًا لِلصَّفِّ، لَكِنْ يَنْبَغِي لِأَوْلِيَاءِ الْأُمُورِ أَلَّا يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الطِّفْلِ الصَّغِيرِ لِأَنَّهُ يُشْغِلُ الْمُصَلِّينَ، فَإِمَّا أَنْ يَعْبَثَ حَالَ وُجُودِهِ فِي الصَّفِّ فَيُشْغِلَ مَنْ حَوْلَهُ، وَإِمَّا أَلَّا يَعْبَثَ وَلَكِنْ يُشْغِلَ وَلِيَّ أَمْرِهِ. 

نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ أَلَّا يَكُونَ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ مَعَ هَذَا الطِّفْلِ الصَّغِيرِ أَوْ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا أَطْفَالٌ لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى حِفْظِهِمْ لَهُ وَيَخْشَى وَلِيُّهُ أَنْ يَعْبَثَ هَذَا الطِّفْلُ بِنَارٍ أَوْ غَيْرِهَا فَهَذِهِ ضَرُورَةٌ لَا بَأْسَ أَنْ يُحْضِرَهُ وَلَكِنْ عَلَيْهِ أَنْ يَكُفَّ أَذَاهُ عَنِ الْمُصَلِّينَ. انْتَهَى.

"Berdirinya anak kecil ini tidak dianggap sebagai pemutus shaf, karena jaraknya pendek sehingga tidak memutus shaf.

Namun, sebaiknya para wali tidak membawa anak kecil semacam ini karena dapat mengganggu jamaah shalat. Bisa jadi ia bermain saat berada dalam shaf sehingga mengganggu orang-orang di sekitarnya, atau meskipun ia tidak bermain, tetap saja kehadirannya mengganggu perhatian walinya." 

Ya, jika ada kebutuhan mendesak seperti tidak ada seorang pun di rumah yang menemani anak kecil ini, atau hanya ada anak-anak lain yang tidak bisa dipercaya untuk menjaganya, serta dikhawatirkan anak itu akan bermain dengan api atau hal lainnya, maka dalam kondisi darurat ini tidak mengapa membawanya. Namun, walinya harus memastikan bahwa anak tersebut tidak mengganggu jamaah shalat. [[Fatawa nur ‘Alad Darb]] 

---

**Hukum Berdiri di Samping Anak Kecil yang Belum Mumayyiz dalam Shaf Shalat**

Anak kecil yang sudah mumayyiz, yaitu yang telah mencapai usia tujuh tahun, boleh berdiri di shaf orang dewasa saat shalat berjamaah. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (685) dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: 

" صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا " .

"Aku dan seorang anak yatim shalat di rumah kami di belakang Nabi , dan ibuku, Ummu Sulaim, berada di belakang kami."

Penulis kitab ‘Aun al-Ma‘bud Syarh Sunan Abi Dawud_ (2/264) mengatakan: 

" فَإِنْ كَانَ صَبِيٌّ وَاحِدٌ : دَخَلَ مَعَ الرِّجَالِ، وَلَا يَنْفَرِدُ خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَهُ السُّبْكِيُّ؛ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ حَدِيثُ أَنَسٍ، فَإِنَّ الْيَتِيمَ لَمْ يَقِفْ مُنْفَرِدًا بَلْ صَفَّ مَعَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ" انْتَهَى.

"Jika hanya ada satu anak kecil, maka ia bergabung dengan barisan orang dewasa dan tidak berdiri sendirian di belakang shaf", sebagaimana dikatakan oleh As-Subki. Hal ini didukung oleh hadis Anas, di mana anak yatim itu tidak berdiri sendirian, tetapi berdiri sejajar dengan Anas radhiyallahu ‘anhu.

Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah berkata: 

" ذَهَبَ الجُمْهُورُ إِلَى صِحَّةِ مُصَافَّةِ الصَّبِيِّ فِي صَلَاتَيِ الفَرْضِ وَالنَّافِلَةِ، مُسْتَدِلِّينَ بِهَذَا الحَدِيثِ الصَّحِيحِ؛ لِأَنَّ أَنَسًا وَصَفَ صَاحِبَهُ بِاليَتِيمِ. 

وَالمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الحَنَابِلَةِ، صِحَّةُ مُصَافَّتِهِ فِي النَّفْلِ، عَمَلًا بِهَذَا الحَدِيثِ، وَعَدَمُ صِحَّةِ مُصَافَّتِهِ فِي الفَرْضِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ الأَحْكَامَ الوَارِدَةَ لِإِحْدَى الصَّلَاتَيْنِ تَكُونُ لِلْأُخْرَى؛ لِأَنَّ أَحْكَامَهُمَا وَاحِدَةٌ، وَمَنْ خَصَّ إِحْدَاهُمَا بِالحُكْمِ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ، وَلَا مُخَصِّصَ!! 

لِذَا: فَالصَّحِيحُ مَا عَلَيْهِ الجُمْهُورُ، وَقَدِ اخْتَارَهُ ابْنُ عَقِيلٍ مِنَ الحَنَابِلَةِ، وَصَوَّبَهُ ابْنُ رَجَبٍ فِي القَوَاعِدِ. 

وَعَلَيْهِ: يُؤْخَذُ مِنَ الحَدِيثِ: صِحَّةُ مُصَافَّةِ الَّذِي لَمْ يَبْلُغْ فِي الصَّلَاةِ، لِأَنَّ اليَتِيمَ يُطْلَقُ عَلَى مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَلَمْ يَبْلُغْ" انْتَهَى.

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa sah hukumnya seorang anak kecil berdiri di shaf orang dewasa dalam shalat fardu maupun sunnah, berdasarkan hadis sahih ini. Sebab, Anas menggambarkan temannya sebagai seorang anak yatim. 

Pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali adalah bahwa sahnya berdiri sejajar dengan anak kecil hanya berlaku dalam shalat sunnah, sebagaimana yang dipahami dari hadis ini, tetapi tidak sah dalam shalat fardu. Namun, telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum yang berlaku dalam salah satu jenis shalat juga berlaku untuk yang lainnya, karena hukum keduanya sama. Maka, siapa pun yang mengkhususkan salah satunya dengan hukum tertentu, ia harus memiliki dalil yang jelas, dan tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini! 

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Hal ini juga merupakan pilihan Ibn Aqil dari kalangan Hanabilah dan dibenarkan oleh Ibn Rajab dalam kitab _Al-Qawa‘id._ 

Dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa sah hukumnya seorang anak kecil yang belum baligh berdiri di shaf shalat, karena istilah ‘anak yatim’ merujuk pada seseorang yang kehilangan ayahnya dan belum mencapai usia baligh."_ _(dengan sedikit penyesuaian dari kitab Taisir Al-‘Allam Syarh ‘Umdah Al-Ahkam (1/106) – numerasi Syamilah)._ 

Dalam _Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu‘ah Ats-Tsaniyah_ (6/337) disebutkan: 

" اِسْتِصْحَابُ الصِّبْيَانِ مَعَ آبَائِهِمْ أَوْ أُمَّهَاتِهِمْ إِلَى المَسَاجِدِ، إِذَا خِيفَ عَلَيْهِمْ لَا بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا كَانَ مَوْجُودًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَكِنْ يَجِبُ ضَبْطُهُمْ عَنِ العَبَثِ فِي المَسْجِدِ، وَإِيْذَاءِ المُصَلِّينَ، وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ يَبْلُغُ سِنَّ السَّابِعَةِ فَأَكْثَرَ، فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ بِالوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ لِيَعْتَادَ ذَلِكَ، وَيَكُونُ لَهُ وَلِوَالِدِهِ الأَجْرُ، وَلَا بَأْسَ فِي وُقُوفِهِمْ فِي الصُّفُوفِ وَلَا يُحْدِثُ وُقُوفُهُمْ فِي الصَّفِّ خَلَلًا فِيهِ كَمَا يَقُولُ السَّائِلُ؛ لِأَنَّ صَلَاتَهُمْ صَحِيحَةٌ، وَلِأَنَّ الصِّبْيَانَ كَانُوا يَصُفُّونَ مَعَ الكِبَارِ خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ" انْتَهَى.

_"Membawa anak-anak kecil ke masjid bersama ayah atau ibu mereka jika dikhawatirkan ada bahaya bagi mereka adalah hal yang diperbolehkan. Sebab, hal ini memang terjadi pada zaman Nabi . Namun, mereka harus dikendalikan agar tidak membuat keributan di masjid atau mengganggu jamaah shalat. 

Anak yang telah mencapai usia tujuh tahun ke atas diperintahkan untuk berwudhu dan shalat agar terbiasa, serta mendapatkan pahala bagi dirinya dan orang tuanya. Tidak masalah jika mereka berdiri di shaf orang dewasa, karena keberadaan mereka tidak menyebabkan kekacauan dalam shaf, sebagaimana yang ditanyakan oleh sebagian orang. Sebab, shalat mereka sah, dan anak-anak juga dahulu berdiri sejajar dengan orang dewasa di belakang Nabi ."_

Dalam *Syarh Al-Mumti'* 3/18, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan : 

فَالْحَاصِلُ: أَنَّ هَذَا الْقَوْلَ ضَعِيفٌ، أَعْنِي: الْقَوْلَ بِتَأْخِيرِ الصِّبْيَانِ عَنْ أَمَاكِنِهِمْ، وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لِيَلِني مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى» فَمُرَادُهُ ـ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَامُهُ ـ حَثُّ الْبَالِغِينَ الْعُقَلَاءَ عَلَى التَّقَدُّمِ؛ لَا تَأْخِيرُ الصِّغَارِ عَنْ أَمَاكِنِهِمْ. اِنْتَهَى. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

*"Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan bahwa anak-anak harus dipindahkan dari tempat mereka dalam shaf adalah pendapat yang lemah. Adapun sabda Rasulullah : 'Hendaklah yang berdiri di dekatku adalah orang-orang yang berakal dan bijaksana,' maksudnya adalah untuk mendorong orang dewasa yang berakal agar maju ke depan, bukan untuk memundurkan anak-anak dari tempat mereka."* (Selesai)

===****===

MENGHADIRKAN ANAK KECIL KE MESJID

Salah satu cara mendorong anak untuk mengikuti shalat adalah dengan membiasakan mereka melaksanakannya secara berjamaah di masjid. Sebab, shalat berjamaah akan menghubungkan mereka dengan para jamaah lainnya. Rasulullah sendiri pernah datang ke masjid sambil menggendong Hasan atau Husain, dan terkadang beliau memperpanjang shalatnya karena keduanya naik ke punggung beliau yang mulia. 

Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menggambarkan susunan shaf di Masjid Rasulullah dengan mengatakan:

"وَيَجْعَلُ الرِّجَالَ قُدَّامَ الْغِلْمَانِ، وَالْغِلْمَانُ خَلْفَهُمْ، وَالنِّسَاءُ خَلْفَ الْغِلْمَانِ"

*"Beliau menempatkan laki-laki dewasa di depan para anak laki-laki, kemudian anak laki-laki di belakang mereka, dan perempuan di belakang anak-anak laki-laki."*

(HR. Ahmad 37/544 no. 22911.

Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad 37/544 berkata :

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ. أَبُو النَّضْرِ: هُوَ هَاشِمُ بْنُ القَاسِمِ، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ شَيْبَانُ: هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ النَّحْوِيُّ، وَلَيْثٌ: هُوَ ابْنُ أَبِي سُلَيْمٍ. 

وَأَخْرَجَهُ الحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ فِي "مُسْنَدِهِ" كَمَا فِي "إِتْحَافِ الخِيَرَةِ" (1776) عَنْ أَبِي النَّضْرِ، بِهٰذَا الإِسْنَادِ. وَانْظُرْ (22893) وَ(22896). 

Sanadnya lemah karena kelemahan Syahr bin Hausyab. Abu al-Nadhr adalah Hasyim bin al-Qasim, sedangkan Abu Mu’awiyah Syaiban adalah Ibnu Abdurrahman al-Nahwi, dan Laits adalah Ibnu Abi Sulaim. 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Harits bin Abi Usamah dalam *Musnad*-nya sebagaimana tercantum dalam *Itḥāf al-Khiyarah* (1776) dari Abu al-Nadhr dengan sanad yang sama.  Lihat juga (22893) dan (22896)].

Ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki tempat tersendiri di dalam masjid, yang dapat membantu mereka terbiasa dengan shalat berjamaah. 

Rasulullah juga memerintahkan agar orang-orang yang shalat berjamaah bersamanya, terutama mereka yang sudah baligh dan berakal, untuk berada tepat di belakang beliau dalam shaf pertama. Hal ini agar mereka dapat memahami shalat yang dilakukan Rasulullah , menggantikannya sebagai imam jika diperlukan, serta mengingatkannya jika beliau lupa dalam shalat. Rasulullah bersabda:

"لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ…."

*"Hendaknya yang berdiri paling dekat denganku adalah orang-orang yang dewasa dan berakal, kemudian mereka yang setelahnya, lalu yang setelahnya..."*

[Hadis ini diriwayatkan secara panjang oleh Muslim (432), Abu Dawud (675) dengan lafaznya, At-Tirmidzi (228), dan Ahmad (4373) dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu].

Berdasarkan hal ini, tindakan sebagian imam atau jamaah yang mengusir anak-anak dari shaf pertama atau dari sekitar imam secara mutlak bertentangan dengan hak mereka dalam shalat berjamaah. Hal tersebut bisa menyebabkan anak-anak menjadi kurang bersemangat dalam menunaikan shalat berjamaah. Selain itu, tindakan ini juga bertentangan dengan sunnah dalam mengatur posisi shaf shalat berjamaah.

Tidak ada larangan bagi anak-anak yang telah berusia tujuh tahun ke atas untuk berdiri di belakang imam seperti halnya orang dewasa, atau berdiri di sisi kanan imam jika hanya ada satu anak. 

Diriwayatkan :

أَنَّهُ صَلَّى فِي بَيْتِ أَبِي طَلْحَةَ وَجَعَلَ أَنَسًا وَالْيَتِيمَ خَلْفَهُ، وَأُمَّ سُلَيْمٍ خَلْفَهُمَا.

bahwa Nabi pernah shalat di rumah Abu Thalhah dan menempatkan Anas serta seorang anak yatim di belakangnya, sementara Ummu Sulaim berdiri di belakang mereka. [Al-Bukhari (685)]

Dalam riwayat lain, Nabi juga pernah shalat bersama Ibnu Abbas dan menempatkannya di sisi kanan beliau.

Oleh karena itu, jika dalam beberapa situasi anak-anak diminta untuk mundur dari shaf pertama, hal itu semata-mata sebagai penyempurnaan dan penyempurnaan shaf, bukan sebagai kewajiban. Maka, cara mengarahkan mereka sebaiknya dilakukan dengan penuh kelembutan agar tidak melukai perasaan mereka atau membuat mereka enggan untuk menghadiri shalat berjamaah.

===****===

RINCIAN PEMBAHASAN TENTANG ANAK KECIL DALAM SHAFF SHALAT DI MASJID

****

PERTAMA : ANAK KECIL YANG MUMAYYIZ:

Syeikh al-Munajjid berkata :

لَا حَرَجَ عَلَى الصَّبِيِّ الْمُمَيِّزِ أَنْ يَصِفَّ مَعَ الْجَمَاعَةِ، بَلْ يَنْبَغِي تَعْوِيدُهُ ذَلِكَ وَتَشْجِيعُهُ عَلَيْهِ، وَتَمْكِينُهُ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ وَغَيْرِهِ إِذَا سَبَقَ إِلَيْهِ. 

وَالتَّمْيِيزُ لَا يَخْتَصُّ بِسِنِّ السَّابِعَةِ، فَقَدْ يَكُونُ الطِّفْلُ ذَكِيًّا نَبِيهًا وَهُوَ فِي السَّادِسَةِ أَوِ الْخَامِسَةِ، فَيَعْقِلُ الصَّلَاةَ، وَيَلْتَزِمُ بِآدَابِ الْمَسْجِدِ.

Tidak ada larangan bagi anak yang sudah mumayyiz untuk berdiri dalam shaf bersama jamaah. Bahkan, seharusnya ia dibiasakan dan didorong untuk melakukannya serta diberi kesempatan untuk berada di shaf pertama atau lainnya jika ia lebih dahulu datang. 

Kemampuan membedakan (*tamyiiz*) tidak terbatas pada usia tujuh tahun. Bisa jadi seorang anak memiliki kecerdasan dan pemahaman yang baik saat berusia enam atau bahkan lima tahun, sehingga ia dapat memahami shalat dan berkomitmen terhadap adab-adab di masjid.  [*Islam Sual wa Jawab, No.112973*]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: 

"التَّمْيِيزُ يَكُونُ غَالِبًا فِي سَبْعِ سِنِينَ، وَلَكِنْ قَدْ يُمَيِّزُ الصَّبِيُّ وَعُمْرُهُ خَمْسُ سِنِينَ، قَالَ مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: عَقَلْتُ مَجَّةً مَجَّهَا الرَّسُولُ ﷺ فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ. فَبَعْضُ الصِّغَارِ يَكُونُ ذَكِيًّا يُمَيِّزُ وَهُوَ صَغِيرٌ، وَبَعْضُهُمْ يَبْلُغُ ثَمَانِيَ سِنِينَ وَمَا يُمَيِّزُ" انْتَهَى 

*"Kemampuan membedakan umumnya muncul pada usia tujuh tahun. Namun, ada anak yang sudah bisa membedakan saat berusia lima tahun. Sebagaimana dikatakan oleh Mahmûd bin Ar-Rabi’ radhiyallahu 'anhu: ‘Aku masih ingat semburan air yang Rasulullah semprotkan ke wajahku saat aku berusia lima tahun.’ Sebagian anak kecil memiliki kecerdasan dan bisa membedakan sejak usia dini, sementara ada pula yang telah berusia delapan tahun tetapi belum bisa membedakan."* (Selesai, *Liqâ’ Al-Bâb Al-Maftûh* 13/37) 

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang membawa anak-anak ke masjid ?.

Beliau menjawab: 

"إِنْ كَانَ لَا يَعْبَثُ لِصِغَرِهِ، وَيُكَفُّ إِذَا نُهِيَ فَلَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، وَإِنْ كَانَ يَعْبَثُ لِصِغَرِهِ فَلَا أَرَى أَنْ يُؤْتَى بِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ" انْتَهَى.

*"Jika anak tersebut tidak bermain-main karena masih kecil dan bisa dikendalikan ketika dilarang, maka aku tidak melihat adanya masalah dalam membawanya. Namun, jika ia bermain-main karena masih kecil, maka aku tidak melihat perlunya membawanya ke masjid."* (Selesai, *Al-Mudawwanah* 1/195) 

Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyiiz sebaiknya tidak dibawa ke masjid kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan tertentu. Misalnya, jika ibunya tidak ada di rumah dan ayahnya tidak dapat meninggalkannya sendirian di rumah, serta kondisi lainnya yang serupa. 

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: 

"مَا حُكْمُ إِحْضَارِ الصِّبْيَانِ الَّذِينَ هُمْ دُونَ التَّمْيِيزِ مِمَّنْ يُلَبَّسُّونَ الحَفَائِظَ الَّتِي رُبَّمَا يَكُونُ أَوْ غَالِبُ مَا يَكُونُ فِيهَا النَّجَاسَةُ؟ وَإِذَا حَضَرُوا هَلْ يُطْرَدُونَ أَمْ لَا؟ 

*"Apa hukum membawa anak-anak yang belum mumayyiz ke masjid, terutama mereka yang memakai popok yang mungkin atau bahkan sering mengandung najis? Jika mereka hadir, apakah harus dikeluarkan?"* 

Beliau menjawab: 

"إِحْضَارُ الصِّبْيَانِ لِلْمَسَاجِدِ لَا بَأْسَ بِهِ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ أَذِيَّةٌ، فَإِنْ كَانَ مِنْهُمْ أَذِيَّةٌ فَإِنَّهُمْ يُمْنَعُونَ؛ وَلَكِنْ كَيْفِيَّةُ مَنْعِهِمْ أَنْ نَتَّصِلَ بِأَوْلِيَاءِ أُمُورِهِمْ، وَنَقُولَ: أَطْفَالُكُمْ يُشَوِّشُونَ عَلَيْنَا، يُؤْذُونَنَا وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، وَلَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَدْخُلُ فِي صَلَاتِهِ يُرِيدُ أَنْ يُطِيلَ فِيهَا، فَيَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَيَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِهِ مُخَافَةَ أَنْ تَفْتَتِنَ الْأُمُّ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الصِّبْيَانَ مَوْجُودُونَ فِي الْمَسَاجِدِ؛ لَكِنْ كَمَا قُلْنَا: إِذَا حَصَلَ مِنْهُمْ أَذِيَّةٌ فَإِنَّهُمْ يُمْنَعُونَ عَنْ طَرِيقِ أَوْلِيَاءِ أُمُورِهِمْ؛ لِئَلَّا يَحْصُلَ فِتْنَةٌ؛ لِأَنَّكَ لَوْ طَرَدْتَ صَبِيًّا لَهُ سَبْعُ سِنِينَ يُؤْذِي فِي الْمَسْجِدِ، وَضَرَبْتَهُ سَيَقُومُ عَلَيْكَ أَبُوهُ؛ لِأَنَّ النَّاسَ الْآنَ غَالِبُهُمْ لَيْسَ عِنْدَهُمْ عَدْلٌ وَلَا إِنْصَافٌ، وَيَتَكَلَّمُ مَعَكَ وَرُبَّمَا يَحْصُلُ عَدَاوَةٌ وَبَغْضَاءُ. فَعِلَاجُ الْمَسْأَلَةِ هُوَ: أَنْ نَمْنَعَهُمْ عَنْ طَرِيقِ آبَائِهِمْ حَتَّى لَا يَحْصُلَ فِي ذَلِكَ فِتْنَةٌ. 

أَمَّا مَسْأَلَةُ إِحْضَارِهِ فَلَيْسَ الْأَفْضَلُ إِحْضَارَهُ؛ لَكِنْ قَدْ تُضْطَرُّ الْأُمُّ إِلَى إِحْضَارِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ وَهِيَ تُحِبُّ أَنْ تَحْضُرَ الدَّرْسَ، وَتُحِبُّ أَنْ تَحْضُرَ قِيَامَ رَمَضَانَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. عَلَى كُلِّ حَالٍ: إِذَا كَانَ فِي إِحْضَارِهِ أَذِيَّةٌ أَوْ كَانَ أَبُوهُ -مَثَلًا- يَتَشَوَّشُ فِي صَلَاتِهِ بِنَاءً عَلَى مُحَافَظَتِهِ عَلَى الْوَلَدِ فَلَا يَأْتِي بِهِ، ثُمَّ إِذَا كَانَ صَغِيرًا عَلَيْهِ الْحَفَائِظُ فَلَنْ يَسْتَفِيدَ مِنَ الْحُضُورِ، أَمَّا مَنْ كَانَ عُمْرُهُ سَبْعَ سِنِينَ فَأَكْثَرَ مِمَّنْ أُمِرْنَا أَنْ نَأْمُرَهُمْ بِالصَّلَاةِ، فَهُمْ يَسْتَفِيدُونَ مِنْ حُضُورِ الْمَسَاجِدِ؛ لَكِنْ لَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَحْكُمَ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ، قَدْ تَكُونُ أُمُّ الْوَلَدِ لَيْسَتْ مَوْجُودَةً، مَيِّتَةً، أَوْ ذَهَبَتْ إِلَى شُغْلٍ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَيْسَ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ فَهُوَ الْآنَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَتْرُكَ صَلَاةَ الْجَمَاعَةِ وَيَقْعُدَ مَعَ صَبِيِّهِ، وَإِمَّا أَنْ يَأْتِيَ بِهِ، فَيُرَجِّحُ، يَنْظُرُ الْأَرْجَحَ" انْتَهَى

*"Membawa anak-anak ke masjid tidaklah mengapa selama mereka tidak mengganggu. Namun, jika mereka mengganggu, maka mereka harus dicegah. Cara mencegahnya adalah dengan menghubungi wali mereka dan mengatakan: ‘Anak-anak Anda mengganggu kami dan membuat keributan.’ Rasulullah pernah ingin memperpanjang shalatnya, tetapi ketika beliau mendengar tangisan seorang anak, beliau mempercepat shalatnya karena khawatir ibu si anak akan terganggu. Ini menunjukkan bahwa anak-anak memang ada di masjid. 

Namun, seperti yang telah kami katakan, jika mereka menyebabkan gangguan, mereka harus dicegah melalui orang tua mereka agar tidak menimbulkan perselisihan. Sebab, jika seorang anak berusia tujuh tahun yang membuat keributan di masjid diusir atau dipukul, bisa jadi ayahnya akan marah dan bertindak tidak adil. Ia mungkin akan mempermasalahkan hal itu dan menimbulkan permusuhan serta kebencian. Maka, cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menghubungi orang tua mereka agar tidak terjadi perselisihan. 

Adapun mengenai membawa anak ke masjid, pada dasarnya tidak lebih utama. Namun, terkadang seorang ibu terpaksa membawanya karena tidak ada orang di rumah sementara ia ingin menghadiri kajian atau shalat Tarawih. Jika membawa anak ke masjid menimbulkan gangguan, atau ayahnya merasa terganggu dalam shalatnya karena harus menjaga anaknya, maka sebaiknya ia tidak membawanya. Jika anak tersebut masih kecil dan memakai popok, maka tidak ada manfaatnya diajak ke masjid. Sedangkan bagi anak yang berusia tujuh tahun ke atas—usia di mana kita diperintahkan untuk menyuruh mereka shalat—mereka akan mendapatkan manfaat dari kehadiran di masjid. 

Namun, kita tidak bisa menyamaratakan semua keadaan. Bisa jadi ibu anak tersebut sudah meninggal atau sedang pergi untuk urusan mendesak, dan tidak ada orang lain di rumah. Maka, dalam situasi seperti ini, ayahnya harus memilih antara meninggalkan shalat berjamaah untuk menjaga anaknya atau membawanya ke masjid. Ia harus mempertimbangkan mana yang lebih utama."* (Selesai, *Liqâ’ Al-Bâb Al-Maftûh* 125/8) 

****

KEDUA : ANAK KECIL YANG BELUM MUMAYYIZ

Syeikh al-Munajjid berkata :

قَدْ يَحْتَاجُ الْأَبُ أَنْ يَجْعَلَ ابْنَهُ الصَّغِيرَ غَيْرَ الْمُمَيِّزِ بِجَانِبِهِ فِي الصَّفِّ، حَتَّى لَا يَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، أَوْ يَعْبَثَ بِشَيْءٍ فِي الْمَسْجِدِ فَيُتْلِفَهُ أَوْ يَضُرَّ نَفْسَهُ، أَوْ يُشْغِلَ الْمُصَلِّينَ.

Terkadang seorang ayah perlu menempatkan anaknya yang belum mumayyiz di sampingnya dalam shaf, agar ia tidak keluar dari masjid, tidak bermain dengan sesuatu yang bisa merusaknya atau membahayakan dirinya, serta tidak mengganggu jamaah shalat.

Dan pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: 

ما حُكْمُ مُصَافَّةِ الطِّفْلِ غَيْرِ المُمَيِّزِ فِي الصَّفِّ وَعُمُرُهُ أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ سَنَوَاتٍ؟ 

وَإِذَا كَانَ لَا يَجُوزُ فَهَلْ يُعْتَبَرُ قَاطِعًا لِلصَّفِّ؟ وَإِذَا كَانَ قَاطِعًا لِلصَّفِّ هَلْ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إِلَى مُؤَخَّرَةِ الْمَسْجِدِ؟ أَفِيدُونَا حَفِظَكُمُ اللَّهُ حَيْثُ إِنَّ ذَلِكَ يَكْثُرُ عِنْدَنَا فِي الْمَسَاجِدِ؟  

Apa hukum berdiri sejajar dengan anak kecil yang belum mumayyiz di dalam shaf, sedangkan usianya kurang dari lima tahun? 

Jika hal itu tidak diperbolehkan, apakah keberadaannya dianggap memutus shaf? Dan jika memang memutus shaf, apakah imam harus memindahkannya ke bagian belakang masjid? Mohon penjelasan, semoga Allah menjaga Anda, karena hal ini sering terjadi di masjid kami. 

Beliau menjawab: 

"تَضَمَّنَ هَذَا السُّؤَالُ مَسْأَلَتَيْنِ: 

**المَسْأَلَةُ الْأُولَى:** مُصَافَّةُ هَذَا الصَّبِيِّ الَّذِي لَا يُمَيِّزُ، وَجَوَابُهَا أَنَّ مُصَافَّتَهُ لَا تَصِحُّ؛ لِأَنَّ صَلَاتَهُ لَا تَصِحُّ، وَمَنْ لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ لَا تَصِحُّ مُصَافَّتُهُ، وَعَلَى هَذَا فَلَوْ كَانَ رَجُلَانِ تَقَدَّمَ أَحَدُهُمَا لِيَكُونَ إِمَامًا وَتَأَخَّرَ الثَّانِي مَعَ هَذَا الطِّفْلِ الَّذِي لَمْ يُمَيِّزْ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ مُصَلِّيًا مُنْفَرِدًا لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَصُفَّ مَعَ الْإِمَامِ. 

**أَمَّا المَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ:** فَهُوَ قَطْعُ الصَّفِّ، فَلَا يُعْتَبَرُ وُقُوفُ هَذَا الطِّفْلِ قَاطِعًا لِلصَّفِّ؛ لِأَنَّ مَسَافَتَهُ قَصِيرَةٌ فَلَا يَكُونُ قَاطِعًا لِلصَّفِّ، لَكِنْ يَنْبَغِي لِأَوْلِيَاءِ الْأُمُورِ أَلَّا يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الطِّفْلِ الصَّغِيرِ لِأَنَّهُ يُشْغِلُ الْمُصَلِّينَ، فَإِمَّا أَنْ يَعْبَثَ حَالَ وُجُودِهِ فِي الصَّفِّ فَيُشْغِلَ مَنْ حَوْلَهُ، وَإِمَّا أَلَّا يَعْبَثَ وَلَكِنْ يُشْغِلَ وَلِيَّ أَمْرِهِ. 

نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ، مِثْلَ أَلَّا يَكُونَ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ مَعَ هَذَا الطِّفْلِ الصَّغِيرِ أَوْ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا أَطْفَالٌ لَا يَعْتَمِدُ الإِنْسَانُ عَلَى حِفْظِهِمْ لَهُ وَيَخْشَى وَلِيُّهُ أَنْ يَعْبَثَ هَذَا الطِّفْلُ بِنَارٍ أَوْ غَيْرِهَا، فَهَذِهِ ضَرُورَةٌ لَا بَأْسَ أَنْ يُحْضِرَهُ وَلَكِنْ عَلَيْهِ أَنْ يَكُفَّ أَذَاهُ عَنِ الْمُصَلِّينَ." انتهى

"Pertanyaan ini mencakup dua permasalahan: 

Permasalahan pertama: Berdiri sejajar dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Jawabannya adalah : bahwa berdiri sejajar dengannya tidak sah, karena shalatnya tidak sah (yakni : ketika makmumnya hanya dua orang saja). Dan siapa yang shalatnya tidak sah, maka shaf bersamanya juga tidak sah. Oleh karena itu, jika ada dua orang laki-laki, lalu salah satunya maju menjadi imam dan yang kedua mundur bersama anak kecil yang belum mumayyiz, maka orang kedua ini dianggap shalat sendirian, sehingga shalatnya tidak sah. Ia wajib berdiri sejajar dengan imam. 

Permasalahan kedua: Apakah keberadaan anak kecil tersebut memutus shaf? Keberadaannya tidak dianggap memutus shaf karena jaraknya pendek, sehingga tidak menyebabkan shaf terputus. Namun, sebaiknya para wali murid tidak membawa anak kecil seperti ini ke masjid karena dapat mengganggu para jamaah. Bisa jadi ia bermain saat berada di shaf sehingga mengganggu orang di sekitarnya, atau jika tidak bermain, ia tetap bisa mengganggu wali yang membawanya. 

Ya, jika ada kondisi darurat—misalnya, di rumah tidak ada seorang pun yang bisa menjaga anak tersebut, atau yang ada hanyalah anak-anak yang belum bisa diandalkan untuk menjaganya, serta dikhawatirkan anak tersebut akan bermain dengan api atau hal lainnya—maka dalam keadaan darurat seperti ini tidak mengapa membawanya ke masjid. Namun, wali yang membawanya harus memastikan anak tersebut tidak mengganggu para jamaah." 

(Selesai dari Fatawa Nur ‘ala ad-Darb).

====

FATWA SYAIKH BIN BAZ:

"حُكْمُ إِقَامَةِ الطِّفْلِ وَسَطَ الصُّفُوفِ".

الْأُوْلَى لِأَوْلِيَاءِ الْأَطْفَالِ أَنْ لَا يَأْتُوا بِهِمْ إِلَى الصَّلَاةِ إِذَا كَانُوا دُونَ السَّبْعِ، الْأُوْلَى أَنْ يَبْقَوْا فِي بُيُوتِهِمْ عِنْدَ أَهْلِيهِمْ، أَمَّا إِذَا كَانَ ابْنَ سَبْعَةٍ، عَشَرَةٍ فَإِنَّهُ لَا يَقْطَعُ الصَّفَّ، بَلْ يَصُفُّ مَعَ الرِّجَالِ وَيُعْتَبَرُ، لَكِنَّ ذَلِكَ دُونَ السَّبْعِ تَرْكُهُ مَعَ أَهْلِ الْبَيْتِ أَوْلَى وَأَفْضَلُ، حَتَّى لَا يَتَأَذَّى بِهِ النَّاسُ، فَلَوْ وُجِدَ مَعَ أَبِيهِ لَا يَقْطَعُ الصَّفَّ لَا حَرَجَ -إِنْ شَاءَ اللَّهُ- كَاللَّبِنَةِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ أَوِ الْعَمُودِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ لَا يَضُرُّ. 

الْمَقْصُودُ: أَنَّهُ إِذَا كَانَ وُجِدَ وَدَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَبَاهُ قَدْ يَأْتِي بِهِ؛ لِأَنَّهُ يَضُرُّ أَهْلَهُ لَوْ بَقِيَ عِنْدَ أَهْلِهِ، كَمَا يُرْوَى أَنَّ الْحَسَنَ قَدْ يَأْتِي وَالنَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فَيَرْتَحِلُهُ وَهُوَ سَاجِدٌ، وَكَمَا صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ بِأُمَامَةَ بِنْتِ زَيْنَبَ بِنْتِهِ لِلْحَاجَةِ وَالتَّعْلِيمِ يُعَلِّمُ النَّاسَ، مِثْلُ هَذَا لَا يَضُرُّ، فَإِذَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى مِثْلِ هَذَا، وَكَانَ أَبُوهُ لَا يَسْتَطِيعُ بَقَاءَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْبَيْتِ، أَوْ مَا عِنْدَهُ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ فَيَكُونُ مَعْذُورًا، وَيَكُونُ مِثْلَ حَجَرٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ أَوِ الْكُرْسِيِّ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ، أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، قَدْ تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَى هَذَا الشَّيْءِ فَلَا يَضُرُّ -إِنْ شَاءَ اللَّهُ-، نَعَمْ.

Hukum Menempatkan Anak di Tengah Shaf* 

Sebaiknya para wali anak-anak tidak membawa mereka ke salat jika mereka berusia di bawah tujuh tahun. Sebaiknya mereka tetap tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Namun, jika anak berusia tujuh atau sepuluh tahun, maka ia tidak memutus shaf, melainkan shalat bersama orang dewasa dan dianggap sebagai bagian dari shaf. Namun, jika usianya di bawah tujuh tahun, lebih baik dan lebih utama membiarkannya di rumah bersama keluarganya agar tidak mengganggu jamaah. 

Jika seorang anak berada bersama ayahnya, ia tidak memutus shaf dan tidak mengapa—insya Allah—seperti bata di antara dua shaf atau tiang di antara dua shaf yang tidak menimbulkan masalah. 

Maksudnya, jika memang anak tersebut berada di masjid karena ada kebutuhan, misalnya ayahnya membawanya karena ia bisa mengganggu keluarganya jika ditinggalkan di rumah, maka hal itu diperbolehkan. Seperti diriwayatkan bahwa Al-Hasan pernah datang sementara Nabi sedang shalat bersama para sahabat, lalu ia naik ke punggung beliau saat sujud. Demikian pula Nabi pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab, putrinya, untuk kebutuhan tertentu dan sebagai bentuk pengajaran kepada umat. 

Hal seperti ini tidak masalah jika memang ada keperluan, misalnya seorang ayah tidak bisa meninggalkan anaknya di rumah atau memang tidak ada siapa pun di rumah untuk menjaganya. Maka dalam kondisi seperti itu, ia bisa dimaklumi. Anak itu seperti batu di antara dua shaf atau seperti kursi di antara dua shaf, atau hal semacamnya. Terkadang ada kondisi yang mengharuskan hal ini, dan hal itu tidak masalah—insya Allah.

[Di kutip dari *Nur 'Ala Ad-Darb ].

===***===

APAKAH ANAK KECIL HARUS DITARIK DARI SHAF PERTAMA JIKA TELAH MENDAHULUINYA?

Rasulullah memerintahkan orang-orang yang berilmu dan memiliki kebijaksanaan untuk maju ke depan dalam shalat dan berada dekat dengannya . Beliau bersabda: 

(لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)

*"Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang berakal dan memiliki kebijaksanaan, lalu mereka yang setelahnya, kemudian mereka yang setelahnya."* (HR. Muslim, no. 432) 

Namun, hadits ini bukanlah larangan bagi selain mereka untuk maju, melainkan anjuran bagi orang-orang yang berakal dan bijaksana agar maju dalam shalat sehingga mereka berada di belakang imam dan di shaf pertama. Jika mereka malas dan tidak segera hadir dalam shalat, maka siapa pun yang lebih dahulu berada di shaf pertama atau di belakang imam lebih berhak menempatinya, meskipun ia seorang anak kecil. 

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam *Al-Fatawa* (1/229): 

" الصِّبْيَانَ مَتَى سَبَقُوا الْبَالِغِينَ إلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ لَمْ يَجُزْ لَهُمْ إخْرَاجُهُمْ " انتهى .

*"Jika anak-anak lebih dahulu mengisi shaf pertama sebelum orang dewasa, maka tidak boleh mereka dikeluarkan darinya."* 

Al-Mardawi dalam *Al-Insaf* (2/41) menyebutkan bahwa Al-Majd Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa anak kecil tidak boleh dipindahkan dari tempat yang telah ia duduki lebih dahulu. Ia berkata:

وَهُوَ الصَّوَابُ

*"Ini adalah pendapat yang benar."* 

Syaikh Bin Baz berkata: 

الأَصَحُّ أَنَّهُمْ - أَيِ الصِّبْيَانُ - إِذَا تَقَدَّمُوا لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُمْ، فَإِذَا سَبَقُوا إِلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ أَوْ إِلَى الصَّفِّ الثَّانِي فَلَا يُقِيمُهُمْ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ، لِأَنَّهُمْ سَبَقُوا إِلَى حَقٍّ لَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ غَيْرُهُمْ فَلَمْ يَجُزْ تَأْخِيرُهُمْ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ فِي ذَلِكَ، لِأَنَّ فِي تَأْخِيرِهِمْ تَنْفِيرًا لَهُمْ مِنَ الصَّلَاةِ، وَمِنَ الْمُسَابَقَةِ إِلَيْهَا فَلَا يَلِيقُ ذَلِكَ. 

لَكِنْ لَوِ اجْتَمَعَ النَّاسُ بِأَنْ جَاءُوا مُجْتَمِعِينَ فِي سَفَرٍ أَوْ لِسَبَبٍ، فَإِنَّهُ يَصُفُّ الرِّجَالَ أَوَّلًا، ثُمَّ الصِّبْيَانَ ثَانِيًا، ثُمَّ النِّسَاءَ بَعْدَهُمْ إِذَا صَادَفَ ذَلِكَ وَهُمْ مُجْتَمِعُونَ، أَمَّا أَنْ يُؤْخَذُوا مِنَ الصُّفُوفِ وَيُزَالُوا وَيَصُفَّ مَكَانَهُمُ الْكِبَارُ الَّذِينَ جَاءُوا بَعْدَهُمْ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ. 

وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى)، فَالْمُرَادُ بِهِ التَّحْرِيضُ عَلَى الْمُسَارَعَةِ إِلَى الصَّلَاةِ مِنْ ذَوِي الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى وَأَنْ يَكُونُوا فِي مُقَدَّمِ النَّاسِ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ تَأْخِيرُ مَنْ سَبَقَهُمْ مِنْ أَجْلِهِمْ" انتهى.

*"Pendapat yang lebih tepat adalah bahwa anak-anak, jika mereka telah mendahului (orang dewasa), maka tidak boleh dipindahkan. Jika mereka telah lebih dahulu berada di shaf pertama atau kedua, maka mereka yang datang belakangan tidak boleh menggeser mereka, karena mereka telah lebih dahulu mendapatkan hak yang belum didapatkan oleh selain mereka. Oleh karena itu, tidak boleh mereka disingkirkan karena ada dalil umum yang melarangnya. Selain itu, memindahkan mereka dapat menyebabkan mereka enggan untuk shalat dan berlomba menuju shaf pertama, sehingga hal itu tidak pantas dilakukan. 

Namun, jika para jamaah datang secara bersamaan, misalnya dalam perjalanan atau karena suatu sebab, maka yang berhak berada di shaf pertama adalah orang dewasa terlebih dahulu, kemudian anak-anak, lalu perempuan setelah mereka, jika memang mereka berkumpul dalam kondisi seperti itu. 

Adapun jika mereka telah menempati shaf dan kemudian dipindahkan agar orang dewasa yang datang belakangan bisa menggantikan mereka, maka hal itu tidak diperbolehkan. 

Sedangkan sabda Rasulullah : *'Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang berakal dan memiliki kebijaksanaan'*, maksudnya adalah anjuran agar mereka lebih bersegera dalam shalat dan berada di shaf pertama, bukan berarti menggeser mereka yang sudah lebih dahulu berada di tempat itu demi mereka."* 

(*Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz*, 12/400)

Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata dalam *Syarh al-Mumti'* (3/4): 

" إِنَّ الصِّبْيَانَ إِذَا تَقَدَّمُوا إِلَى مَكَانٍ ، فَهُمْ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ؛ لِعُمُومِ الْأَدِلَّةِ عَلَى أَنَّ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ أَحَدٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ ، وَالْمَسَاجِدُ بُيُوتُ اللَّهِ ، يَسْتَوِي فِيهَا عِبَادُ اللَّهِ ، فَإِذَا تَقَدَّمَ الصَّبِيُّ إِلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ ـ مَثَلًا ـ وَجَلَسَ فَلْيَكُنْ فِي مَكَانِهِ ، وَلِأَنَّنَا لَوْ قُلْنَا بِإِزَاحَةِ الصِّبْيَانِ عَنِ الْمَكَانِ الْفَاضِلِ ، وَجَعَلْنَاهُمْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ أَدَّى ذَلِكَ إِلَى لَعِبِهِمْ ؛ لِأَنَّهُمْ يَنْفَرِدُونَ بِالصَّفِّ " انْتَهَى . 

*"Sesungguhnya anak-anak jika telah mendahului ke suatu tempat, maka mereka lebih berhak atasnya daripada orang lain; karena dalil-dalil umum menyebutkan bahwa siapa yang lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang belum didahului oleh orang lain, maka dia lebih berhak atasnya. Masjid adalah rumah Allah, di mana para hamba Allah setara di dalamnya. Maka, jika seorang anak telah maju ke shaf pertama—misalnya—dan duduk di sana, biarkanlah dia tetap di tempatnya. Sebab, jika kita mengatakan bahwa anak-anak harus dipindahkan dari tempat yang utama dan dikumpulkan di satu tempat tertentu, maka hal itu akan menyebabkan mereka bermain-main karena mereka akan terpisah sendiri dalam satu shaf."* Selesai. 

Dan beliau juga berkata: 

" يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الصِّبْيَانُ فِي الصَّفِّ وَلَوْ قَطَعُوا الصَّفَّ ؛ لِأَنَّهُمْ بَشَرٌ لَيْسُوا حَجَرًا وَلَيْسُوا أَعْمِدَةً , فَهُمْ لَا يَقْطَعُونَ الصُّفُوفَ , وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُبْعِدَهُمْ مِنْ مَكَانِهِمْ - أَيْضًا - حَتَّى وَلَوْ كَانُوا خَلْفَ الْإِمَامِ مُبَاشَرَةً فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُبْعِدَهُمْ مِنْ مَكَانِهِمْ ". انْتَهَى .

*"Diperbolehkan bagi anak-anak untuk berada di dalam shaf meskipun mereka memutus shaf, karena mereka adalah manusia, bukan batu atau tiang. Oleh karena itu, mereka tidak memutus shaf, dan tidak boleh bagi siapa pun untuk menggeser mereka dari tempat mereka—termasuk jika mereka berada tepat di belakang imam di shaf pertama—maka tidak halal bagi siapa pun untuk memindahkan mereka dari tempat mereka."*  [Selesai]. (*Liqā' al-Bāb al-Maftūḥ* 106/24). 

Berdasarkan penjelasan di atas: Orang yang paling berhak berada di shaf pertama—meskipun langsung di belakang imam—adalah orang yang lebih dahulu datang ke sana, meskipun ia adalah anak kecil atau orang yang kurang utama. Oleh karena itu, tidak boleh menggesernya dari tempatnya.  [Lihat : Al-Islam Su'al wa Jawab nomor 127781].

====

HUKUM SESEORANG MENGIMAMI ANAK-ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH

FATWA AL-LAJNAH AD-DA'IMAH:

Pertanyaan kedua dari fatwa nomor (3987)

----

Pertanyaan 3:

أَمَّ رَجُلٌ صَبِيَّيْنِ أَوْ أَكْثَرَ لَمْ يَبْلُغُوا، أَيْنَ يَقِفُ الصِّبْيَانُ، خَلْفَهُ أَمْ عَنْ يَمِينِهِ؟ 

Seorang laki-laki mengimami dua anak atau lebih yang belum baligh. Di mana posisi anak-anak tersebut? Apakah mereka berdiri di belakangnya atau di sebelah kanannya? 

Jawaban 3:

السُّنَّةُ لِلصِّبْيَانِ إِذَا بَلَغُوا سَبْعًا فَأَكْثَرَ أَنْ يَقِفُوا خَلْفَ الْإِمَامِ، كَالْبَالِغِينَ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْمَوْجُودُ وَاحِدًا فَإِنَّهُ يَقِفُ عَنْ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّهُ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَّهُ صَلَّى فِي بَيْتِ أَبِي طَلْحَةَ وَجَعَلَ أَنَسًا وَالْيَتِيمَ خَلْفَهُ، وَأُمَّ سُلَيْمٍ خَلْفَهُمَا، وَثَبَتَ عَنْهُ ﷺ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى أَنَّهُ صَلَّى بِأَنَسٍ وَجَعَلَهُ عَنْ يَمِينِهِ، وَصَلَّى بِابْنِ عَبَّاسٍ وَجَعَلَهُ عَنْ يَمِينِهِ. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ، وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Sunnahnya, jika anak-anak tersebut telah berusia tujuh tahun atau lebih, mereka berdiri di belakang imam seperti halnya orang dewasa. Namun, jika hanya ada satu anak, maka ia berdiri di sebelah kanan imam.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Nabi bahwa beliau pernah shalat di rumah Abu Thalhah dan menempatkan Anas serta seorang anak yatim di belakangnya, sementara Ummu Sulaim berdiri di belakang mereka.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa beliau shalat bersama Anas dan menempatkannya di sebelah kanannya, serta shalat bersama Ibnu Abbas dan menempatkannya di sebelah kanannya. 

Dengan demikian, hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya. 

**Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’** 

**Anggota:** Abdullah bin Qa’ud. **Anggota:** Abdullah bin Ghadyan. **Wakil Ketua Komite:** Abdul Razzaq ‘Afifi . **Ketua:** Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

===****===

HUKUM SHALAT ANAK-ANAK DI SHAF PERTAMA

Fatwa Lajnah Al-Ifta'. No. (2656) .Tanggal: 23-08-2012

*****

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah .

إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ مُمَيِّزًا يُحْسِنُ الصَّلَاةَ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقِفَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ عَنْ يَمِينِ الصَّفِّ أَوْ يَسَارِهِ، وَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ، فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ تَنْحِيَتُهُ؛ إِذْ كُلُّ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ أَمَاكِنِ الْعِبَادَةِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: **(مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ)** رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Jika seorang anak sudah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) serta mampu melaksanakan shalat dengan baik, maka ia boleh berdiri di shaf pertama, baik di sisi kanan maupun kiri. Jika ia sudah berdiri di sana, maka tidak boleh ada yang memindahkannya, karena setiap orang yang lebih dahulu menduduki tempat ibadah lebih berhak atasnya. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi bersabda: 

(مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ)

"Barang siapa berdiri dari tempat duduknya, kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak terhadapnya." (HR. Muslim) 

Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj disebutkan:

 "لَوْ سَبَقَ الصِّبْيَانُ بِالْحُضُورِ لَمْ يُؤَخَّرُوا لِلرِّجَالِ اللَّاحِقِينَ كَمَا لَوْ سَبَقُوا إِلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ فَإِنَّهُمْ أَحَقُّ بِهِ عَلَى الصَّحِيحِ، وَإِنَّمَا تُؤَخَّرُ الصِّبْيَانُ عَلَى الرِّجَالِ - كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ - إِذَا لَمْ يَسَعْهُمْ صَفُّ الرِّجَالِ وَإِلَّا كُمِّلَ بِهِمْ" انتهى. 

"Jika anak-anak lebih dahulu hadir, mereka tidak boleh dipindahkan demi memberi tempat bagi orang dewasa yang datang belakangan, sebagaimana mereka lebih berhak atas shaf pertama jika lebih dulu datang. Namun, seperti yang dikatakan oleh Al-Adzra’i, anak-anak ditempatkan di belakang orang dewasa hanya jika shaf orang dewasa belum cukup terisi, jika masih ada ruang, maka mereka tetap di tempatnya." 

Dalam Asna Al-Mathalib disebutkan: 

"وَلَا يُحَوَّلُ صِبْيَانٌ حَضَرُوا أَوَّلًا لِرِجَالٍ حَضَرُوا ثَانِيًا؛ لِأَنَّهُمْ مِنْ جِنْسِهِمْ" انتهى.

"Anak-anak yang hadir lebih dahulu tidak boleh dipindahkan demi orang dewasa yang datang belakangan, karena mereka juga termasuk golongan yang sama." 

Namun, sebaiknya anak tidak berdiri tepat di belakang imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah : 

(لِيَلِني مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا)

"Hendaklah yang berdiri di belakangku adalah orang-orang yang berakal dan berilmu, lalu mereka yang setelahnya, lalu mereka yang setelahnya." (HR. Muslim) 

Hadits ini menunjukkan bahwa dianjurkan agar orang-orang yang memiliki ilmu dan hafalan Al-Qur’an berada di belakang imam secara langsung. Hal ini bertujuan agar jika terjadi sesuatu dalam shalat, seperti imam harus menghentikan shalatnya atau lupa dalam bacaan, maka ada yang bisa menggantikannya atau membenarkan bacaannya. Anak kecil umumnya belum dapat melakukan hal ini. Oleh karena itu, diperbolehkan untuk memindahkan anak yang berdiri tepat di belakang imam demi kemaslahatan shalat. 

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: 

"فِي هَذَا الْحَدِيثِ تَقْدِيمُ الْأَفْضَلِ فَالْأَفْضَلِ إِلَى الْأَمَامِ؛ لِأَنَّهُ أَوْلَى بِالْإِكْرَامِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا احْتَاجَ الْإِمَامُ إِلَى اسْتِخْلَافٍ فَيَكُونُ هُوَ أَوْلَى، وَلِأَنَّهُ يَتَفَطَّنُ لِتَنْبِيهِ الْإِمَامِ عَلَى السَّهْوِ لِمَا لَا يَتَفَطَّنُ لَهُ غَيْرُهُ، وَلِيَضْبِطُوا صِفَةَ الصَّلَاةِ وَيَحْفَظُوهَا وَيَنْقُلُوهَا وَيُعَلِّمُوهَا النَّاسَ، وَلِيَقْتَدِيَ بِأَفْعَالِهِمْ مَنْ وَرَاءَهُمْ، وَلَا يَخْتَصُّ هَذَا التَّقْدِيمُ بِالصَّلَاةِ، بَلِ السُّنَّةُ أَنْ يُقَدَّمَ أَهْلُ الْفَضْلِ فِي كُلِّ مَجْمَعٍ" انتهى.

"Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang paling utama harus ditempatkan di posisi paling depan, karena mereka lebih berhak untuk dihormati. Selain itu, jika imam membutuhkan pengganti, mereka yang lebih utama, serta mereka lebih peka untuk mengingatkan imam jika terjadi kesalahan dalam shalat. Mereka juga lebih baik dalam menjaga tata cara shalat, mengajarkannya kepada orang lain, serta menjadi teladan bagi jamaah di belakang mereka. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam shalat, tetapi juga dalam setiap majelis atau perkumpulan, di mana sebaiknya orang-orang yang memiliki keutamaan didahulukan." (Syarh Muslim)

Lajnah al-Ifta berfatwa dengan mengatakan :

أَمَّا إِنْ كَانَ الصَّبِيُّ غَيْرَ مُمَيِّزٍ؛ فَلَا يَحِقُّ لَهُ التَّقَدُّمُ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ بَلْ يُنْحَى عَنْهُ؛ وَالْأَصْلُ أَنْ لَا يَأْتِيَ الْآبَاءُ بِأَبْنَائِهِمْ غَيْرِ الْمُمَيِّزِينَ إِلَى الْمَسَاجِدِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ تَشْوِيشٍ عَلَى الْمُصَلِّينَ، وَقَدْ يُلَوِّثُونَ الْمَسْجِدَ أَوْ يَعْبَثُونَ بِالْمَصَاحِفِ وَمُمْتَلَكَاتِ الْمَسْجِدِ، لَكِنْ إِنِ اضْطُرَّ أَحَدُهُمْ لِأَنْ يُحْضِرَ وَلَدَهُ مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلَا يَنْبَغِي لَهُ تَرْكُهُ وَحْدَهُ، بَلْ يَكُونُ مَعَهُ وَبِجَانِبِهِ وَلَا يُصَلِّي فِي الصُّفُوفِ الْأُولَى. 

وَبِنَاءً عَلَيْهِ؛ فَلَا يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ إِرْجَاعُ جَمِيعِ الْأَطْفَالِ عَنِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ الصَّبِيُّ مُمَيِّزًا فَلَا يُرْجِعُهُ إِلَى الْوَرَاءِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُمَيِّزٍ فَلَهُ الْحَقُّ أَنْ يُرْجِعَهُ، وَنَنْصَحُ السَّائِلَ إِنْ رَأَى أَنَّ صَلَاةَ ابْنِهِ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ قَدْ تَكُونُ سَبَبًا فِي حُدُوثِ الْمَشَاكِلِ فِي الْمَسْجِدِ، أَنْ يُرْجِعَهُ إِلَى الصَّفِّ الثَّانِي خَلْفَهُ مُبَاشَرَةً، نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَكْتُبَ لَكَ الْأَجْرَ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika anak tersebut belum mumayyiz, maka ia tidak berhak berdiri di shaf pertama dan sebaiknya dipindahkan ke belakang. Pada dasarnya, orang tua tidak dianjurkan membawa anak-anak yang belum mumayyiz ke masjid karena dapat mengganggu jamaah, mencemari masjid, atau bermain-main dengan mushaf dan fasilitas masjid. Namun, jika seseorang terpaksa membawa anaknya ke masjid, maka sebaiknya anak tersebut tetap berada di sisinya dan tidak berdiri sendirian di shaf pertama. 

Berdasarkan hal ini, imam tidak boleh secara mutlak mengembalikan semua anak dari shaf pertama. Ia harus melihat kondisi mereka: jika anak sudah mumayyiz, maka tidak boleh dipindahkan. Jika belum mumayyiz, maka boleh dipindahkan ke belakang. Kami juga menyarankan kepada penanya, jika ia melihat bahwa keberadaan anaknya di shaf pertama dapat menimbulkan masalah di masjid, sebaiknya ia mengarahkannya ke shaf kedua yang berada tepat di belakangnya. Wallahu ‘alam”. 

Catatan: Fatwa ini telah diperbarui pada 3 April 2022, dengan perbedaan antara anak yang mumayyiz dan yang belum mumayyiz.

===***===

HUKUM ANAK KECIL YANG BELUM MUMAYYIZ BERDIRI DI SHAF PERTAMA:

حُكْمُ وُقُوفِ الصَّبِيِّ غَيْرِ المُمَيَّزِ فِي الصَّفِّ الأَوَّلِ

**Oleh: Muhammad Shabri Abdurrahim (Shada al-Balad)**

-----

**Hukum Anak-anak Salat di Shaf Pertama di Samping Orang Dewasa?**

Jika seorang anak berdiri di shaf pertama di sisi kanan atau kiri shaf, dan tidak berdiri langsung di belakang imam, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk menyingkirkannya. Sebab, siapa pun yang lebih dahulu mendapatkan tempat di tempat ibadah, maka ia lebih berhak atasnya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi bersabda: 

«مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ»

"Barang siapa berdiri dari tempat duduknya, lalu kembali kepadanya, maka dia lebih berhak atasnya." (HR. Muslim) 

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj disebutkan: 

«لَوْ سَبَقَ ٱلصِّبْيَانُ -ٱلْأَطْفَالُ- بِٱلْحُضُورِ لَمْ يُؤَخَّرُوا لِلرِّجَالِ ٱللَّاحِقِينَ كَمَا لَوْ سَبَقُوا إِلَى ٱلصَّفِّ ٱلْأَوَّلِ فَإِنَّهُمْ أَحَقُّ بِهِ عَلَى ٱلصَّحِيحِ، وَإِنَّمَا تُؤَخَّرُ ٱلصِّبْيَانُ عَلَى ٱلرِّجَالِ - كَمَا قَالَ ٱلْأَذْرَعِيُّ - إِذَا لَمْ يَسَعْهُمْ صَفُّ ٱلرِّجَالِ وَإِلَّا كُمِّلَ بِهِمْ»

"Jika anak-anak lebih dahulu hadir, mereka tidak boleh dipindahkan demi memberi tempat bagi orang dewasa yang datang belakangan, sebagaimana jika mereka lebih dahulu berdiri di shaf pertama, maka mereka lebih berhak atasnya menurut pendapat yang shahih. Anak-anak hanya boleh dipindahkan sebagaimana disebutkan oleh al-Adzra'i jika shaf orang dewasa tidak cukup untuk mereka, namun jika masih cukup, maka mereka melengkapinya." 

Dalam kitab Asna al-Mathalib disebutkan: 

«وَلَا يُحَوَّلُ صِبْيَانٌ حَضَرُوا أَوَّلًا لِرِجَالٍ حَضَرُوا ثَانِيًا؛ لِأَنَّهُمْ مِنْ جِنْسِهِمْ».

"Anak-anak yang datang lebih dahulu tidak boleh dipindahkan untuk memberi tempat bagi orang dewasa yang datang kemudian, karena mereka juga termasuk bagian dari jamaah yang sama." 

Oleh karena itu, imam tidak seharusnya mengembalikan semua anak-anak dari shaf pertama, tetapi ia berhak mencegah mereka berdiri langsung di belakangnya. Sebab, sunnah yang mengatur posisi anak-anak di shaf berdasarkan hadits Nabi : 

«لِيَلِني مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا»

"Hendaklah yang berdiri di belakangku adalah orang-orang yang berakal dan bijaksana, kemudian yang berikutnya, lalu berikutnya (sebanyak tiga kali)." (HR. Muslim) 

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang-orang dewasa yang berakal. 

Hadits ini menunjukkan bahwa lebih utama bagi para ulama dan penghafal Al-Qur’an untuk berdiri langsung di belakang imam. Hal ini karena jika terjadi sesuatu dalam salat—seperti imam harus membatalkan salatnya atau lupa dalam bacaan—maka mereka yang berada di belakangnya dapat menggantikannya atau membetulkannya. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh anak kecil. Oleh karena itu, diperbolehkan menyingkirkan anak kecil jika ia berdiri langsung di belakang imam demi kemaslahatan salat. 

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: 

«فِي هَذَا ٱلْحَدِيثِ تَقْدِيمُ ٱلْأَفْضَلِ فَٱلْأَفْضَلِ إِلَى ٱلْأَمَامِ؛ لِأَنَّهُ أَوْلَى بِٱلْإِكْرَامِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا ٱحْتَاجَ ٱلْإِمَامُ إِلَى ٱسْتِخْلَافٍ فَيَكُونُ هُوَ أَوْلَى، وَلِأَنَّهُ يَتَفَطَّنُ لِتَنْبِيهِ ٱلْإِمَامِ عَلَى ٱلسَّهْوِ لِمَا لَا يَتَفَطَّنُ لَهُ غَيْرُهُ، وَلِيَضْبِطُوا صِفَةَ ٱلصَّلَاةِ وَيَحْفَظُوهَا وَيَنْقُلُوهَا وَيُعَلِّمُوهَا ٱلنَّاسَ، وَلِيَقْتَدِيَ بِأَفْعَالِهِمْ مَنْ وَرَاءَهُمْ، وَلَا يَخْتَصُّ هَذَا ٱلتَّقْدِيمُ بِٱلصَّلَاةِ، بَلِ ٱلسُّنَّةُ أَنْ يُقَدَّمَ أَهْلُ ٱلْفَضْلِ فِي كُلِّ مَجْمَعٍ»

"Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menempatkan orang yang lebih utama di bagian depan, karena mereka lebih berhak untuk dimuliakan. Selain itu, jika imam memerlukan pengganti, maka mereka lebih layak. Mereka juga lebih peka untuk mengingatkan imam jika ia lupa dalam salat, dibandingkan orang lain. Selain itu, mereka akan lebih menjaga tata cara salat, menyampaikannya, serta mengajarkannya kepada orang lain. Orang-orang di belakang mereka pun dapat mengikuti gerakan mereka. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam salat, tetapi juga dalam setiap majelis, di mana orang-orang yang lebih berilmu dan lebih utama sebaiknya ditempatkan di depan." (Syarh Muslim).

----

**Hukum Salat Anak-anak di Shaf Laki-laki**

Dr. Majdi Asyuur, penasihat ilmiah Mufti Republik, menegaskan bahwa urutan shaf dalam salat berjamaah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah merupakan urutan yang dianjurkan (mustahab), yang berarti bahwa menyelisihinya tidak membatalkan salat. 

Dalam jawabannya atas pertanyaan: *"Apa hukum salat anak-anak di shaf laki-laki?"*, Ashour menjelaskan bahwa ketika Rasulullah menetapkan urutan dalam salat, beliau meletakkan laki-laki di belakang imam, lalu anak-anak, dan terakhir perempuan, agar mereka lebih terjaga dengan menjauhkan mereka dari laki-laki. Ia menegaskan bahwa ini adalah aturan yang berasal dari Allah serta mencerminkan etika dan kesopanan. 

Ia menambahkan bahwa pengaturan ini bersifat anjuran (sunnah) dan bukan merupakan kewajiban yang menentukan sah atau tidaknya salat. Oleh karena itu, jika anak-anak maju dan salat di shaf laki-laki, salat tetap sah. Ia juga menekankan bahwa jika manusia mengatur kehidupan mereka sebagaimana mereka menjaga ketertiban dalam salat yang sah, maka kehidupan mereka akan menjadi lebih teratur.

----

**Keutamaan Menjaga Salat**

1. Cahaya bagi seorang Muslim pada hari kiamat, selain juga menjadi cahaya baginya dalam kehidupan dunia. 

2. Menghapus kesalahan, menyucikan jiwa dari dosa dan maksiat, serta menghapus keburukan. Dengan salat, Allah Ta'ala mengampuni dosa hamba-Nya di antara satu salat ke salat berikutnya, serta menghapus dosa-dosa sebelumnya. 

3. Amal terbaik setelah syahadat *Lā ilāha illallāh* dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. 

4. Allah Ta'ala mengangkat derajat hamba-Nya dengan salat. 

5. Salat memasukkan seorang Muslim ke dalam surga bersama Rasulullah . Rasulullah menyebut menunggu salat sebagai bentuk jihad di jalan Allah Ta'ala. 

6. Rasulullah menyamakan pahala orang yang keluar untuk salat dengan pahala seorang haji yang sedang berihram. 

7. Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat. 

8. Seorang Muslim dianggap tetap dalam keadaan salat selama ia bersuci dan pergi untuk melaksanakannya. 

9. Seorang yang sedang menunggu salat dianggap tetap dalam keadaan salat selama salat menahannya. 

10. Para malaikat terus mendoakan seseorang hingga ia selesai dari tempat salatnya.

----

**Keutamaan Duniawi yang Segera Diperoleh oleh Orang yang Shalat**

1. **Ibadah Terbaik Setelah Syahadatain** – Shalat adalah amalan terbaik dan paling dicintai oleh Allah setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. 

2. **Cahaya dan Keselamatan di Dunia** – Shalat menjadi cahaya serta penyelamat bagi orang yang menjaganya di dunia. 

3. **Mencegah Perkataan dan Perbuatan Buruk** – Shalat mencegah seseorang dari perkataan kotor serta perbuatan buruk dan keji. Allah berfirman:

«اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّـهِ أَكْبَرُ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ».

*"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."* (QS. Al-‘Ankabut: 45). 

4. **Menghapus Dosa** – Shalat membersihkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan hamba, sebagaimana seorang Muslim yang shalat lima kali sehari mencuci dosa-dosanya lima kali dalam sehari. 

5. **Penghapus Kesalahan dan Dosa** – Shalat menghapus dosa-dosa yang terjadi di antara satu shalat ke shalat berikutnya. 

6. **Menunggu Shalat Berikutnya** – Menunggu waktu shalat berikutnya dianggap sebagai bentuk ribath (berjuang di jalan Allah). 

7. **Meninggikan Derajat dan Menghapus Dosa** – Allah memuliakan orang yang menunaikan shalat dengan meninggikan derajatnya dan menghapus kesalahannya. 

8. **Dicatat Pahala bagi yang Berjalan Menuju Shalat** – Setiap langkah menuju shalat akan dicatat sebagai pahala. 

9. **Didoakan Malaikat** – Malaikat akan terus mendoakan orang yang tetap berada di tempat shalatnya. 

10. **Mendapat Pahala Seperti Menghadiri Shalat Berjamaah** – Jika seseorang telah bersiap dan berangkat untuk shalat tetapi mendapati shalat sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan pahala seakan-akan hadir. 

11. **Pahala Seperti Haji yang Ihram** – Orang yang keluar dari rumah dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat dicatat mendapatkan pahala seperti haji yang sedang berihram. 

---

**Keutamaan Shalat di Akhirat** 

1. **Sebab Besar Masuk Surga dan Mendampingi Rasulullah ** – Shalat adalah salah satu sebab utama masuk surga dan mendampingi Rasulullah di dalamnya. 

2. **Allah Menyediakan Jamuan di Surga** – Allah menyiapkan jamuan di surga bagi orang yang berangkat shalat di waktu pagi dan sore. 

3. **Cahaya di Hari Kiamat** – Shalat menjadi cahaya bagi pemiliknya di hari kiamat.

----


Posting Komentar

0 Komentar