HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG CASH:
Di Tulis
Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
===
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam atas Rasulullah ﷺ. Amma ba’du:
===****===
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG ZAKAT FITRAH DENGAN UANG
Para ulama sejak dahulu hingga sekarang
berbeda pendapat mengenai hukum masalah ini menjadi tiga pendapat:
****
PENDAPAT PERTAMA:
Boleh Jika Terdapat Kebutuhan atau Kemaslahatan
Yang Lebih Besar
Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk nilai (uang) jika terdapat kebutuhan atau kemaslahatan yang lebih besar.
Ini adalah salah satu riwayat dalam mazhab Hanbali, dan pendapat ini juga
dipegang oleh Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, serta dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata:
(وَأَمَّا إِذَا أَعْطَاهُ الْقِيمَةَ فَفِيهِ
نِزَاعٌ: هَلْ يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ لَا يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ يَجُوزُ فِي بَعْضِ
الصُّوَرِ لِلْحَاجَةِ أَوِ الْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ
فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ
"يَعْنِي: الْأَخِيرَ")؛ ا هـ.
*"Adapun jika seseorang membayarkan zakat fitrah dengan nilai (uang), maka terdapat perbedaan pendapat: Apakah itu diperbolehkan secara mutlak? Ataukah tidak diperbolehkan secara mutlak? Ataukah diperbolehkan dalam beberapa kondisi tertentu karena adanya kebutuhan atau kemaslahatan yang lebih besar?
Dalam mazhab Ahmad (Hanbali) dan lainnya
terdapat tiga pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang paling adil adalah
yang terakhir (yaitu, diperbolehkan jika ada kebutuhan atau kemaslahatan yang
lebih besar).”* [Majmu' Al-Fatawa
(25/79)]
Beliau juga berkata rahimahullah:
وَالْأَظْهَرُ
فِي هَذَا أَنَّ إِخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ
مَمْنُوعٌ مِنْهُ؛ وَلِهَذَا قَدَّرَ النَّبِيُّ ﷺ الْجُبْرَانَ بِشَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ
دِرْهَمًا، وَلَمْ يَعْدِلْ إِلَى الْقِيمَةِ، وَلِأَنَّهُ مَتَى جَوَّزَ إِخْرَاجَ
الْقِيمَةِ مُطْلَقًا فَقَدْ يَعْدِلُ الْمَالِكُ إِلَى أَنْوَاعٍ رَدِيئَةٍ، وَقَدْ
يَقَعُ فِي التَّقْوِيمِ ضَرَرٌ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ مَبْنَاهَا عَلَى الْمُوَاسَاةِ،
وَهَذَا مُعْتَبَرٌ فِي مِقْدَارِ الْمَالِ وَجِنْسِهِ، وَأَمَّا إِخْرَاجُ الْقِيمَةِ
لِلْحَاجَةِ أَوِ الْمَصْلَحَةِ أَوِ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ بِهِ.
*"Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah bahwa mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk nilai (uang) tanpa adanya kebutuhan atau kemaslahatan yang lebih besar adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menetapkan tebusan dengan dua ekor kambing atau dua puluh dirham dan tidak menggantinya dengan nilai (uang).
Selain itu, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk nilai (uang) secara mutlak, maka ada kemungkinan pemilik harta akan memilih jenis yang kurang baik, dan bisa terjadi kesalahan dalam penilaian harga.
Selain itu, zakat pada dasarnya dibangun atas dasar solidaritas, yang mana hal ini diperhitungkan dalam kadar dan jenis harta yang dikeluarkan.
Namun, jika mengeluarkan zakat dalam bentuk
nilai (uang) dilakukan karena adanya kebutuhan, kemaslahatan, atau demi
keadilan, maka tidak mengapa."* [Majmu' Al-Fatawa (25/82).]
****
PENDAPAT KE DUA:
Boleh -Secara Mutlak- Bayar Zakat Fitrah Dalam
Bentuk Uang
Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk nilai (uang),
Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Dan ini merupakan
riwayat yang ditetapkan dari Imam Ahmad, sebagaimana dinyatakan oleh Imam
al-Mardawai dalam kitab *Al-Inshaf* (3/182, cet. Dar Ihya' al-Turath al-Arabi).
Dan ini telah menjadi amalan sekelompok
salaf dari kalangan sahabat senior, seperti Amirul Mukminin Umar bin Khattab,
putranya Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Mu'adz bin
Jabal, dan lainnya radhiyallahu 'anhum.
Abu Ishaq As-Sabi’i, yang termasuk dalam
tingkatan pertengahan dari kalangan tabi’in, berkata:
(أَدْرَكْتُهُمْ - يَعْنِي الصَّحَابَةَ - وَهُمْ
يُعْطُونَ فِي صَدَقَةِ رَمَضَانَ الدَّرَاهِمَ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ)
*“Aku mendapati mereka (para sahabat)
memberikan zakat Ramadhan dalam bentuk dirham senilai makanan.”* [Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah (2/398 no. 10371)].
Pendapat ini juga merupakan mazhab sejumlah
tabi'in, serta pendapat sekelompok ulama yang diakui keilmuannya.
Dan pendapat ini juga dipegang oleh Khalifah Umar
bin Abdul Aziz. Waki' meriwayatkan dari Qurrah, ia berkata:
جَاءَنَا كِتَابُ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ: "نِصْفُ صَاعٍ عَنْ كُلِّ
إِنْسَانٍ أَوْ قِيمَتُهُ نِصْفُ دِرْهَمٍ".
"Telah datang kepada kami surat dari
Umar bin Abdul Aziz tentang zakat fitrah: ‘Setengah sha’ untuk setiap orang
atau nilainya sebesar setengah dirham.’" [Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 2/398
no. 10369]
Dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari 'Aun,
ia berkata:
سَمِعْتُ كِتَابَ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ يُقْرَأُ إِلَى عَدِيٍّ بِالْبَصْرَةِ «يُؤْخَذُ
مِنْ أَهْلِ الدِّيوَانِ مِنْ أَعْطِيَّاتِهِمْ، عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ نِصْفُ دِرْهَمٍ»
*"Aku mendengar surat Umar bin Abdul
Aziz dibacakan kepada 'Adi di Bashrah - dan 'Adi adalah gubernur - yang isinya:
Diambil dari penduduk diwan dari gaji mereka, dari setiap orang sebesar
setengah dirham (untuk zakat fitrah)."* (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/398
no. 10368).
Di antara para tabi’in yang berpendapat
demikian adalah Hasan Al-Bashri, Atho bin Abi Robah, Sufyan Ats-Tsauri, dan
Thawus bin Kaisan.
Riwayat-riwayat ini disebutkan oleh Imam Abu
Bakar bin Abi Syaibah dalam kitabnya *Al-Mushannaf* (2/398, cetakan Maktabah
Ar-Rusyud).
Hasan Al-Bashri (wafat 110 H) rahimahullah
berkata:
(لَا بَأْسَ أَنْ تُعْطَى الدَّرَاهِمُ فِي صَدَقَةِ
الْفِطْرِ).
*“Tidak mengapa memberikan zakat fitrah dalam
bentuk dirham.”*[ Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/398)].
Dari 'Atha' bin Abi Rabah (Wafat 114 H) :
أَنَّهُ كَانَ يُعْطِي
فِي صَدَقَة الفِطْر وَرِقًا (دَرَاهِمَ فِضِّيَّةً)
ia biasa memberikan zakat fitrah dalam bentuk
*waraq* (dirham perak).
[Lafadz ini di kutip dari Nidaa ar-Rayyaan
2/345 karya Abu At-Turob al-Affaani. Dan dia mengutip dari Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah 4/37-38].
Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsauri,
serta dikatakan pula oleh Ishaq bin Rahuyah dan Abu Tsaur, meskipun keduanya
membatasi kebolehannya hanya dalam kondisi darurat, sebagaimana disebutkan oleh
Imam An-Nawawi dalam *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab* (6/112, cetakan Darul Fikr).
Imam Syams al-A'immah as-Sarakhsi dalam
*Al-Mabsuth* (3/107-108, cet. Dar al-Ma‘rifah) berkata:
فَإِنْ أَعْطَى
قِيمَةَ الحِنْطَةِ جَازَ عِنْدَنَا؛ لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ حُصُولُ الْغِنَى، وَذَلِكَ
يَحْصُلُ بِالْقِيمَةِ كَمَا يَحْصُلُ بِالْحِنْطَةِ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ
اللهُ تَعَالَى لَا يَجُوزُ، وَأَصْلُ الْخِلَافِ فِي الزَّكَاةِ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ
الْأَعْمَشُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ: أَدَاءُ الحِنْطَةِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ
الْقِيمَةِ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى امْتِثَالِ الْأَمْرِ وَأَبْعَدُ عَنْ اخْتِلَافِ
الْعُلَمَاءِ فَكَانَ الْاحْتِيَاطُ فِيهِ، وَكَانَ الْفَقِيهُ أَبُو جَعْفَرٍ رَحِمَهُ
اللهُ تَعَالَى يَقُولُ: أَدَاءُ الْقِيمَةِ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى مَنْفَعَةِ
الْفَقِيرِ فَإِنَّهُ يَشْتَرِي بِهِ لِلْحَالِ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَالتَّنْصِيصُ
عَلَى الحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ كَانَ لِأَنَّ الْبِيَاعَاتِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ بِالْمَدِينَةِ
يَكُونُ بِهَا، فَأَمَّا فِي دِيَارِنَا الْبِيَاعَاتُ تَجْرِي بِالنُّقُودِ، وَهِيَ
أَعَزُّ الْأَمْوَالِ، فَالْأَدَاءُ مِنْهَا أَفْضَلُ.
*"Jika seseorang membayar zakat fitrah
dalam bentuk nilai dari harga gandum, maka menurut kami hal itu sah, karena
yang menjadi pertimbangan adalah tercapainya kecukupan bagi kebutuhan fakir
miskin, dan hal itu dapat terwujud dengan nilai (uang) sebagaimana dapat
terwujud dengan gandum. Namun, menurut Imam asy-Syafi‘i rahimahullah, hal itu
tidak diperbolehkan.
Pokok perbedaan ini berasal dari perbedaan
dalam hukum zakat secara umum. Abu Bakar al-A‘mash rahimahullah pernah berkata:
‘Membayar zakat dengan gandum lebih utama
dibandingkan membayar dengan nilai (uang), karena lebih dekat kepada
pelaksanaan perintah secara langsung dan lebih jauh dari perbedaan pendapat
ulama, sehingga lebih berhati-hati.’
Sedangkan al-Faqih Abu Ja‘far rahimahullah
berkata:
‘Membayar zakat dengan nilai (uang) lebih
utama, karena lebih mendatangkan manfaat bagi orang miskin, sebab ia bisa
segera membeli sesuatu yang ia butuhkan. Penyebutan gandum dan jelai dalam
hadits terjadi karena transaksi jual beli pada masa itu di Madinah dilakukan
dengan kedua komoditas tersebut. Namun, di negeri kita, transaksi jual beli
dilakukan dengan uang, dan uang merupakan harta yang paling berharga, sehingga
membayar zakat dengannya lebih utama.’”* (Selesai).
Sementara itu, Al-‘Allamah al-Kasani dalam
*Bada’i‘ as-Sana’i‘ fi Tartib asy-Syara’i‘* (2/72, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
berkata:
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي
يُوسُفَ أَنَّهُ قَالَ: الدَّقِيقُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الْحِنْطَةِ، وَالدَّرَاهِمُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدَّقِيقِ وَالْحِنْطَةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى دَفْعِ
حَاجَةِ الْفَقِيرِ.
*"Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa ia
berkata: ‘Tepung lebih aku sukai daripada gandum, dan dirham lebih aku sukai
daripada tepung dan gandum, karena itu lebih dekat kepada pemenuhan kebutuhan
fakir miskin.’”* (Selesai).
Ibnu Quddaamah al-Hanbali berkata:
"قال أبو دَاوُدَ: سُئِلَ أحمدُ، عن رَجُلٍ
باعَ تَمْرَ نَخْلِه. قال: عُشْرُه على الذى بَاعَه. قِيلَ له فيُخْرِجُ تَمْرًا، أو ثَمَنَه؟ قال: إنْ شاءَ أخْرَجَ تَمْرًا،
وإن شَاءَ أخْرَجَ من الثَّمَنِ. وهذا دَلِيلٌ على جَوَازِ إخْرَاجِ القِيَمِ. ووَجْهُه
قَوْلُ مُعَاذٍ لأهْلِ اليَمَنِ: ائْتُونِى بخَمِيسٍ أو لَبِيسٍ آخُذُه منكم، فإنَّه
أَيْسَرُ عليكم، وأنْفَعُ لِلْمُهَاجِرِينَ بالمَدِينَةِ. وقال سَعِيدٌ: حَدَّثَنا
سفيانُ عن عمرو، وعن طَاوُسٍ، قال: لَمَّا قَدمَ مُعَاذٌ اليَمَنَ، قال: ائْتُونِى
بعَرْضِ ثِيَابٍ آخُذُه مِنْكُم مكانَ الذُّرَةِ والشَّعِيرِ، فإنَّه أهْوَنُ عليكم،
وخَيْرٌ لِلْمُهَاجِرِينَ بالمَدِينَةِ. قال: وحَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عن لَيْثٍ، عنْ
عَطاءٍ، قال: كان عمرُ بن الخَطَّابِ يَأْخُذُ العُرُوضَ فى الصَّدَقَةِ من الدَّرَاهِمِ.
ولأنَّ المَقْصُودَ دَفْعُ الحاجَةِ، ولا يَخْتَلِفُ ذلك بعدَ اتِّحَادِ قَدْرِ الماليَّة
باخْتِلَافِ صُوَرِ الأمْوالِ".
Abu Dawud berkata:
"Ahmad pernah ditanya tentang seorang
laki-laki yang menjual kurma dari pohonnya. Ia menjawab: 'Zakat 'usyurnya (10 %) tetap
menjadi tanggung jawab penjualnya.'
Lalu ditanyakan kepadanya: 'Apakah ia harus
mengeluarkan zakat dalam bentuk kurma atau dalam bentuk harga kurma
tersebut?'
Ia menjawab: 'Jika ia mau, maka ia boleh
mengeluarkannya dalam bentuk kurma, dan jika ia mau, ia boleh mengeluarkannya
dalam bentuk harga kurma tersebut.'
Ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya
mengeluarkan zakat dalam bentuk nilai (uang).
Dalilnya adalah perkataan Mu'adz –
radhiyallahu ‘anhu- kepada penduduk Yaman:
"Berikanlah kepadaku kain khamis atau
labis yang bisa aku ambil dari kalian sebagai pengganti gandum dan jewawut,
karena itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum Muhajirin di
Madinah."
Sa'id berkata: Sufyan meriwayatkan kepada
kami dari 'Amr dan dari Thawus, ia berkata:
"Ketika Mu'adz – radhiyallahu ‘anhu- tiba
di Yaman, ia berkata: 'Berikanlah kepadaku pakaian sebagai pengganti jewawut
dan gandum, karena itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi kaum
Muhajirin di Madinah.'"
Ia juga berkata: Jarir meriwayatkan kepada
kami dari Laits dari 'Atha', ia berkata:
"Umar bin Khattab biasa menerima zakat
dalam bentuk barang dagangan sebagai ganti dari dirham."
Karena tujuan utama zakat adalah memenuhi
kebutuhan orang miskin, dan hal itu tidak berubah meskipun bentuk harta yang
dikeluarkan berbeda, selama nilainya tetap sama. (Selesai).
[Lihat : al-Mughni karya Ibnu Qudamah 4/296.
Lihat Pula Mi’atul Mafatih karya al-Mubarakfury 6/203 no. 1832].
====
DALIL PENDAPAT KEDUA : PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN
Mereka berdalil dengan hal-hal berikut:
DALIL Ke 1. Keumuman hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma: Dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
(أَغْنُوهُمْ - يَعْنِي الْمَسَاكِينَ - فِي هَذَا
الْيَوْمِ).
*“Cukupilah mereka (orang-orang miskin) dari
meminta-minta pada hari ini.”*
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (7739) dan
Ad-Daraquthni (2133). Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’
Al-Ghalil (844)].
Kecukupan dapat tercapai dengan nilai uang
sebagaimana dapat tercapai dengan makanan, bahkan mungkin nilai uang lebih
baik, karena jika seorang fakir memiliki banyak makanan, ia akan terpaksa
menjualnya, sedangkan dengan nilai uang, ia dapat membeli makanan, pakaian, dan
berbagai kebutuhan lainnya yang diperlukan.
DALIL Ke 2. Bahwa hukum asal dalam sedekah
adalah harta, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ﴾
*“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka.”* (At-Taubah: 103).
Harta pada asalnya adalah sesuatu yang
dimiliki dari emas dan perak, kemudian digunakan secara majazi untuk merujuk
kepada benda-benda yang dimiliki. Adapun penjelasan yang disampaikan oleh
Rasulullah ﷺ dalam bentuk makanan adalah untuk memberikan kemudahan dan
menghilangkan kesulitan, bukan untuk membatasi kewajiban atau membatasi tujuan
utama zakat fitrah.
DALIL Ke 3. Dari Qarah, ia berkata:
(جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ
فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ: نِصْفُ صَاعٍ عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ، أَوْ قِيمَتُهُ نِصْفُ
دِرْهَمٍ).
*“Datang kepada kami surat dari Umar bin
Abdul Aziz tentang zakat fitrah: setengah sha’ untuk setiap orang, atau senilai
setengah dirham.”* [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/398)].
DALIL Ke 4. Bahwa menerima zakat dalam bentuk nilai telah ada ketetapan riwayat dari Rasulullah ﷺ dan dari sekelompok sahabat.
Di antara riwayat tersebut adalah dari Thawus, dari Mu’adz radhiyallahu
‘anhu.
Imam Bukhari rahimahullah dalam *Shahih*-nya,
dalam kitab Sahihnya memberi judul :
(بَابُ الْعَرْضِ فِي الزَّكَاةِ)
*Bab Mengganti Zakat dengan Barang*.
Lalu beliau menyebutkan:
(وَقَالَ
طَاوُسٌ: قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ الْيَمَنِ: ائْتُونِي بِعَرْضِ
ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ، أَهْوَنُ
عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِالْمَدِينَةِ).
*“Thawus berkata: Mu’adz radhiyallahu ‘anhu
berkata kepada penduduk Yaman: ‘Berikanlah kepadaku pakaian dari kain *khamiṣ* atau *labīs* sebagai zakat, sebagai pengganti
dari syair dan jagung. Itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para
sahabat Rasulullah ﷺ di Madinah.’”* [Shahih
Al-Bukhari (2/116), Bab Al-'Ardh fi Az-Zakah.]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil
dari Ibnu Rusyd yang berkata:
(وَافَقَ الْبُخَارِيُّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ
الْحَنَفِيَّةَ مَعَ كَثْرَةِ مُخَالَفَتِهِ لَهُمْ، لَكِنْ قَادَهُ إِلَى ذَلِكَ الدَّلِيلُ).
*“Imam Bukhari dalam permasalahan ini
sependapat dengan mazhab Hanafi, meskipun beliau banyak menyelisihi mereka.
Namun, dalam hal ini, beliau mengikuti dalil.”* [Fathul-Bari (3/312)].
Tindakan Mu’adz yang diakui oleh Nabi ﷺ menunjukkan kebolehannya dan bahwa hal ini merupakan sesuatu
yang disyariatkan.
DALIL Ke 5. Bahwa Nabi ﷺ membedakan kadar wajib dari jenis-jenis yang disebutkan dalam
zakat fitrah, meskipun semuanya memiliki kadar kecukupan yang sama. Beliau
menentukan satu sha’ untuk kurma dan syair, tetapi hanya setengah sha’ untuk
gandum (*burr*), karena harganya lebih tinggi pada masa itu. Hal ini
menunjukkan bahwa beliau ﷺ mempertimbangkan nilai dalam
penentuan zakat fitrah.
Abdu Rabb Ash-Shalihin Abu Dhoif Al-Atmuni
dalam artikelnya yang berjudul “Hukm Ikhraj Al-Qimah fi Zakat Al-Fitr” berkata
:
وَرِوَايَةُ
(نِصْفُ الصَّاعِ مِنَ الْبُرِّ) ثَبَتَتْ عَنِ الرَّسُولِ ﷺ مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ،
وَلَا يَسْلَمُ ضَعْفُهَا؛ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ.
Artinya : Riwayat : *setengah sha’ dari
gandum*. Ini telah ada ketetapan riwayat melalui banyak jalur dari Rasulullah ﷺ, dan tidak semuanya lemah sebagaimana yang dikatakan oleh
sebagian ahli hadits.
DALIL Ke 6. Dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia
berkata:
«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الفِطْرِ إِذْ كَانَ
فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ، أَوْ صَاعًا
مِنْ أَقِطٍ»، فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ المَدِينَةَ، فَتَكَلَّمَ،
فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ إِنِّي لَأَرَى مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ
الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، قَالَ: فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ
أَبُو سَعِيدٍ: «فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ»
*"Kami dahulu mengeluarkan zakat fitrah
ketika Rasulullah ﷺ masih bersama kami sebanyak
satu sha' makanan, atau satu sha' jelai, atau satu sha' kurma, atau satu sha'
kismis, atau satu sha' aqith (keju kering). Kami terus mengeluarkannya seperti
itu hingga Mu'awiyah datang ke Madinah. Lalu ia berbicara, dan di antara
perkataannya kepada orang-orang adalah: 'Menurutku, dua mud gandum putih dari
Syam setara dengan satu sha' kurma.' Maka orang-orang pun mengambil pendapat
itu."*
Abu Sa'id berkata: *"Namun aku akan
tetap mengeluarkan zakat sebagaimana yang biasa aku keluarkan
dahulu."*
[HR. Tirmidzi no. 673. Abu Isa berkata : “Hadis
ini hasan sahih”. Dan dinilai Shahih oleh al-Albani].
Hadit ini menunjukkan kebolehan membayar zakat fitrah dengan nilai (harga), sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir sebelumnya, bahwa para sahabat membolehkan mengeluarkan setengah sha' gandum karena mereka menganggapnya setara dalam nilai dengan satu sha' kurma atau jelai.
Oleh karena itu, Mu'awiyah berkata:
"Menurutku, dua mud gandum putih dari Syam setara dengan satu sha' kurma."
DALIL Ke 7. Bahwa tujuan utama zakat fitrah
adalah mencukupi kebutuhan fakir miskin dan menutup kekurangan mereka.
Tujuan ini lebih mudah tercapai dengan uang
dibandingkan dengan benda makanan, karena manfaat uang bagi fakir miskin jauh
lebih besar daripada gandum atau beras. Dengan uang, mereka dapat memenuhi
kebutuhan pribadi, keluarga, dan anak-anak mereka, serta membeli makanan,
pakaian, dan kebutuhan lain yang lebih diperlukan.
Terkadang, fakir miskin terpaksa menjual
makanan (gandum, beras, dan lainnya) kepada pedagang dengan harga yang sangat
rendah karena mereka lebih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok
mereka.
Hal ini lebih mudah jika melihat kondisi
zaman kita sekarang, terutama di daerah industri yang penduduknya hanya
bertransaksi dengan uang. Selain itu, dalam kebanyakan negara dan pada umumnya,
cara ini lebih bermanfaat bagi orang-orang miskin.
DALIL Ke 8. Bahwa Nabi ﷺ ketika mewajibkan zakat fitrah berupa makanan yang umum
dikonsumsi di lingkungan dan masanya, sesungguhnya bertujuan untuk memberikan
kemudahan bagi masyarakat dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Sebab, mata
uang perak atau emas pada masa itu sangat langka di kalangan Arab, dan
kebanyakan orang hampir tidak memiliki kecuali sedikit darinya, atau bahkan
tidak memilikinya sama sekali. Sementara itu, fakir miskin sangat membutuhkan
makanan seperti gandum, kurma, kismis, atau aqith (yaitu : susu kering
yang telah dihilangkan lemaknya).
Oleh karena itu, mengeluarkan zakat dalam
bentuk makanan lebih mudah bagi pemberi dan lebih bermanfaat bagi penerima.
Demi kemudahan pula, Rasulullah ﷺ membolehkan para pemilik unta dan kambing untuk mengeluarkan
zakatnya dengan "aqith" (yaitu : susu kering yang telah dihilangkan
lemaknya), karena setiap orang mengeluarkan zakat dari apa yang mudah
baginya.
Selain itu, daya beli mata uang berubah dari
satu masa ke masa lainnya, dari satu negara ke negara lain, dan dari satu
kondisi ke kondisi lainnya. Seandainya kewajiban zakat fitrah ditentukan dalam
bentuk uang, maka nilainya akan naik dan turun sesuai dengan fluktuasi mata
uang. Sementara itu, satu sha' makanan mencerminkan pemenuhan kebutuhan manusia
yang tetap dan tidak berubah. Oleh sebab itu, menjadikan satu sha' sebagai
dasar perhitungan lebih mendekati keadilan dan lebih jauh dari ketidakstabilan.
DALIL Ke 9. Para ulama muhaqqiq (peneliti
mendalam) telah menetapkan bahwa fatwa dapat berubah seiring dengan perubahan
zaman, tempat, dan keadaan.
Ini adalah kaidah besar yang telah mereka
teliti dalam risalah mereka :
"عَوامِلُ السَّعَةِ وَالمُرُونَةِ فِي الشَّرِيعَةِ
الإِسْلَامِيَّةِ"
*"Faktor-Faktor Keluwesan dan
Fleksibilitas dalam Syariat Islam"*.
Dan mereka tegakkan dalil-dalil yang
membuktikan kebenarannya dari Al-Qur'an, Sunnah, serta petunjuk para sahabat
radhiyallahu 'anhum, selain juga pendapat para ulama beserta penerapannya dalam
berbagai kasus.
Barang siapa yang memandang realitas masa
kini dengan penuh keadilan dan pertimbangan, ia akan memahami bahwa
mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan hanya sesuai untuk masyarakat
sederhana dan terbatas, di mana makanan mudah didapat bagi mereka yang ingin
menunaikan zakat, dan fakir miskin memang membutuhkan makanan untuk
dimanfaatkan langsung.
Adapun dalam masyarakat yang besar dan
kompleks, dengan populasi yang sangat padat, serta sulitnya mendapatkan bahan
makanan tertentu hingga menyusahkan muzakki untuk mencarinya, sementara fakir
miskin pun tidak membutuhkannya karena mereka tidak lagi menggiling, menguleni,
atau memanggang sendiri, maka tidak ada keraguan bagi orang yang adil bahwa
dalam kondisi seperti ini, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang lebih utama.
Imam Ibnu Taimiyah telah berbuat bijak ketika
dia membolehkan bagi seseorang yang menjual hasil kebunnya dalam bentuk uang
untuk mengeluarkan zakatnya dari uang tersebut tanpa harus membeli buah lagi,
karena dengan demikian ia telah mensejajarkan dirinya dengan fakir miskin.
Demikian pula, beliau membolehkan seseorang
yang tidak menemukan penjual kambing di kotanya untuk mengeluarkan zakatnya
dalam bentuk nilai (uang) tanpa harus bepergian ke kota lain untuk membelinya.
Inilah hakikat fiqh yang sebenarnya.
Zakat fitrah diwajibkan agar fakir miskin
tidak perlu berkeliling meminta-minta pada hari raya, sementara orang-orang
kaya menikmati kebahagiaan bersama keluarga mereka.
[Lihat *Hasyiyah Al-Muhalla* dan komentar
Al-Allamah Ahmad Syakir (6/131-132)].
Selain itu, para fuqaha dari mazhab-mazhab
yang dianut telah membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dari makanan pokok yang
umum dikonsumsi di suatu negeri, meskipun bukan dari jenis makanan yang secara
eksplisit disebutkan dalam dalil, demi menjaga tujuan utama zakat.
*****
PENDAPAT KETIGA:
Tidak boleh Dan Tidak Sah Bayar Zakat Fitrah Dengan
Nilai (Uang)
Tidak bolehnya mengeluarkan nilai (uang)
sebagai zakat fitrah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab
Malikiyah, Syafi’iyah, dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanabilah, serta
pendapat mazhab Zhahiriyah.
Di antara pernyataan mereka dalam hal
ini adalah sbb :
Malik rahimahullah berkata:
(وَلا يُجْزِئُ أَنْ يَجْعَلَ الرَّجُلُ مَكانَ
زَكَاةِ الفِطْرِ عَرَضًا مِنَ العُرُوضِ- أَي: قِيمَةً - وَلَيْسَ كَذَلِكَ أَمْرُ
النَّبِيِّ ﷺ)؛ ا هـ.
"Tidak sah seseorang mengganti zakat
fitrah dengan barang dagangan -yakni dengan nilai- karena Nabi ﷺ tidak memerintahkannya demikian." [Al-Mudawwanah Al-Kubra
(2/358).]
Syafi’i rahimahullah berkata:
(لا تُجْزِئُ القِيمَةُ-
أَي: فِي زَكَاةِ الفِطْرِ-)؛ ا هـ.
"Tidak sah mengeluarkan nilai dalam zakat fitrah." [Al-Umm
(2/72)]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
(قالَ أَبُو دَاوُدَ:
قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ: أُعْطِي دَرَاهِمَ- يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الفِطْرِ-
قالَ: أَخَافُ أَلَّا يُجْزِئَهُ، خِلافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ).
وَقالَ أَبُو طَالِبٍ
: (قالَ لِي أَحْمَدُ: لا يُعْطِي قِيمَتَهُ، قِيلَ لَهُ: قَوْمٌ يَقُولُونَ: عُمَرُ
بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالقِيمَةِ، قالَ: يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ، وَيَقُولُونَ: قالَ فُلانٌ؟!).
قالَ ابْنُ عُمَرَ
: (فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَقالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ﴾ [النِّسَاءِ: 59].
وَقالَ قَوْمٌ يَرُدُّونَ
السُّنَنَ: قالَ فُلانٌ، قالَ فُلانٌ. وَظَاهِرُ مَذْهَبِهِ أَنَّهُ لا يُجْزِئُهُ
إِخْرَاجُ القِيمَةِ فِي شَيْءٍ مِنَ الزَّكَوَاتِ)؛ ا هـ.
"Abu Dawud berkata: Ada yang bertanya kepada Ahmad, dan aku
mendengar, ‘Apakah boleh memberikan dirham dalam sedekah fitrah?’ Maka beliau
menjawab: ‘Aku khawatir itu tidak sah, karena bertentangan dengan sunnah
Rasulullah ﷺ.’"
Abu Thalib berkata: "Aku bertanya kepada
Ahmad, ‘Bolehkah memberikan nilai sebagai zakat fitrah?’ Beliau menjawab,
‘Tidak boleh memberikan harganya.’
Lalu dikatakan kepadanya, ‘Ada yang
mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membolehkan nilai.’
Maka beliau berkata: ‘Mereka meninggalkan
sabda Rasulullah ﷺ dan malah berkata, ‘Si Fulan
berkata demikian?!’"
Ibnu Umar berkata: "Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah, dan Allah Ta’ala berfirman:
*Taatilah Allah dan taatilah Rasul* [An-Nisa: 59].
Tetapi ada kaum yang menolak sunnah dan malah
berkata, ‘Si Fulan berkata demikian, si Fulan berkata demikian.’" Menurut
pendapat yang jelas dalam mazhabnya, tidak sah mengeluarkan nilai dalam zakat
apa pun." [Lihat : [Al-Mughni (4/259)].
Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah berkata:
(وَلا تُجْزِئُ
القِيمَةُ أَصْلًا؛ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ غَيْرُ مَا فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ)؛ ا
هـ.
"Tidak sah mengeluarkan nilai sama sekali, karena hal itu
bukanlah apa yang telah diwajibkan oleh Rasulullah ﷺ." [Al-Muhalla (6/137)]
====
DALIL PENDAPAT KETIGA : PENDAPAT YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
Dan mereka berdalil dengan hal-hal
berikut:
Ke 1- Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata:
(فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ
وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، مِنَ الْمُسْلِمِينَ،
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ)
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah satu
sha’ dari kurma atau satu sha’ dari syair atas budak dan orang merdeka,
laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin, dan
beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (1503) dan Muslim (986), dengan lafaz dari Al-Bukhari.]
Dalil yang diambil dari hadits ini adalah
bahwa Nabi ﷺ telah menentukan jenis-jenis yang dikeluarkan untuk zakat
fitrah, padahal pada saat itu transaksi dengan uang (dirham dan dinar) sudah
ada dan kebutuhan terhadapnya sangat nyata. Seandainya boleh mengeluarkan nilai
sebagai zakat fitrah, tentu Rasulullah ﷺ akan menyebutkannya, karena
ada kaidah mengatakan :
تَأْخِيرُ الْبَيَانِ
عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ
“Menunda penjelasan di saat dibutuhkan tidak
diperbolehkan.”
Seandainya hal itu diperbolehkan, tentu para
sahabatnya radhiyallahu ‘anhum akan melakukannya.
Ke 2- Bahwa hukum asal dalam ibadah adalah
mengikuti ketentuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak boleh seseorang
beribadah dengan cara tertentu kecuali jika cara tersebut berasal dari Allah
atau Rasul-Nya ﷺ yang bersabda:
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ))
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang
tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” [Diriwayatkan oleh
Muslim (1718)].
Allah SWT telah mewajibkan zakat fitrah
melalui lisan Nabi-Nya ﷺ kepada seluruh kaum muslimin
berupa satu sha’ dari makanan atau kurma, dan seterusnya. Maka tidak boleh
menyelisihi hal itu, sebagaimana firman-Nya:
﴿ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾
*“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”* (An-Nur:
63).
Ke 3- Bahwa mengeluarkannya dalam bentuk uang
juga bertentangan dengan sunnah Khulafaur Rasyidin. Mereka mengeluarkannya
dalam bentuk makanan, meskipun pada masa itu uang tersedia dan mereka sangat
membutuhkannya. Masyarakat mereka bahkan lebih miskin dan lebih membutuhkan
dibandingkan sekarang.
Ke 4- Allah SWT telah mensyariatkan berbagai
jenis zakat dan menetapkan setiap jenisnya dengan sesuatu yang sejenis. Ia
menetapkan zakat pertanian dengan hasil pertanian, zakat harta dengan harta,
zakat hewan ternak dengan ternak, dalam kaffarat dengan pakaian, makanan, atau
membebaskan budak, dan dalam zakat fitrah dengan makanan, tanpa menyebut
selainnya. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap ketentuan ini memiliki maksud
yang ditetapkan oleh Allah, masing-masing pada tempatnya.
Maka wajib berpegang pada teks yang jelas,
yang menunjukkan kewajiban dan telah menentukan jenisnya, sebagai bentuk
kehati-hatian dalam agama dan karena hukum asal dalam zakat fitrah adalah
ibadah murni. Zakat fitrah berlaku seperti sedekah badan, bukan harta, sehingga
tidak boleh berpaling dari teks yang jelas kepada bentuk nilai (uang),
sebagaimana hal itu juga tidak diperbolehkan dalam kurban, kaffarat, nadzar,
dan yang semisalnya.
Ke 5- Seorang muslim, jika ia telah
melaksanakan dan mengeluarkan zakatnya dalam bentuk makanan, maka ia telah
terbebas dari tanggung jawab. Dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata:
(حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ)
“Aku menghafal dari Rasulullah ﷺ: Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang
tidak meragukanmu.”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2518),
An-Nasa'i (5711), Ibnu Hibban (722), Ibnu Khuzaimah (2348), Al-Baihaqi (10819),
dan Ahmad (1723). Dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih
At-Targhib wa At-Tarhib (1737)].
Al-Munawi rahimahullah berkata:
("دَعْ مَا يُرِيبُكَ"؛ أَيْ: اِتْرُكْ
مَا تَشُكُّ فِي كَوْنِهِ حَسَنًا أَوْ قَبِيحًا أَوْ حَلَالًا أَوْ حَرَامًا
"إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ"؛ أَيْ: وَاعْدِلْ إِلَى مَا لَا شَكَّ فِيهِ،
يَعْنِي: مَا تَيَقَّنْتَ حُسْنَهُ وَحِلَّهُ) ؛ ا هـ.
*“Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu”*,
yaitu tinggalkan sesuatu yang engkau ragu apakah itu baik atau buruk, halal atau
haram. *“Menuju sesuatu yang tidak meragukanmu”*, yaitu beralihlah kepada
sesuatu yang tidak ada keraguan di dalamnya, yakni sesuatu yang telah engkau
yakini kebaikan dan kehalalannya.” [Faidl Al-Qadir (3/529).]
Ke 6- Mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk
makanan sesuai dengan setiap zaman, tempat, dan keadaan.
****
TARJIH ATAU PENDAPAT YANG LEBIH KUAT :
PERTAMA:
Pendapat yang paling hati-hati adalah
mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh
penduduk setempat. Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian, keluar dari
perselisihan, serta mengamalkan nash yang telah jelas dalam masalah ini.
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya:
لو أنَّ شَخْصًا
كان يُخْرِجُ زَكَاةَ الفِطْرِ نَقْدًا، آخِذًا بِقَوْلِ عُلَمَاءِ بَلَدِهِ، ثُمَّ
تَبَيَّنَ لَهُ القَوْلُ الرَّاجِحُ، فَمَا يَلْزَمُهُ مِنْ صَدَقَتِهِ؟
*"Jika seseorang terbiasa mengeluarkan
zakat fitrah dalam bentuk uang, mengikuti pendapat para ulama di negerinya,
lalu kemudian ia mengetahui pendapat yang lebih kuat, apa yang harus ia lakukan
terhadap sedekahnya yang telah dikeluarkan?"*
Beliau menjawab:
"لَا يَلْزَمُهُ، كُلُّ مَنْ فَعَلَ شَيْئًا
بِفَتْوَى عَالِمٍ أَوْ بِاتِّبَاعِ عُلَمَاءِ بَلَدِهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، مِثَالُ
ذَلِكَ: لَوْ أَنَّ امْرَأَةً لَا تُؤَدِّي زَكَاةَ الحُلِيِّ فَبَقِيَتْ سَنَوَاتٍ
لَا تَدْرِي أَنَّ الحُلِيَّ يَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، أَوْ بِنَاءً عَلَى أَنَّ عُلَمَاءَهَا
يُفْتُونَهَا بِأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ، ثُمَّ تَبَيَّنَ لَهَا، فَإِنَّهَا تُؤَدِّي
الزَّكَاةَ بَعْدَ أَنْ تَبَيَّنَ لَهَا، وَقَبْلَ ذَلِكَ لَا يَلْزَمُهَا" انتـهى.
*"Ia tidak perlu mengulangi. Siapa pun yang melakukan suatu amalan berdasarkan fatwa seorang alim atau mengikuti pendapat para ulama di negerinya, maka tidak ada kewajiban atasnya.
Contohnya,
jika seorang wanita tidak membayar zakat perhiasannya selama bertahun-tahun
karena ia tidak mengetahui bahwa perhiasan wajib dizakati, atau karena para
ulama di negerinya berfatwa bahwa tidak ada zakat atas perhiasan, lalu kemudian
ia mengetahui hukum yang sebenarnya, maka ia hanya perlu membayar zakat setelah
mengetahui hukum tersebut. Adapun sebelumnya, maka ia tidak berkewajiban
membayarnya."*
(Sumber: *Liqā'āt al-Bāb al-Maftūḥ*, pertemuan
ke-191, pertanyaan nomor 19).
====
KEDUA:
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa
mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan jika hal itu lebih
mendatangkan maslahat yang lebih besar dan menghindarkan kesulitan. Sebab,
tujuan utama dari zakat fitrah adalah untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin
dan memenuhi hajat mereka, baik dalam bentuk makanan, pakaian, maupun kebutuhan
lainnya.
Tujuan ini lebih mudah dicapai dengan uang
daripada dengan barang, karena manfaat uang bagi fakir miskin jauh lebih besar
dibandingkan manfaat gandum atau beras. Dengan uang, mereka dapat memenuhi
kebutuhan diri dan keluarganya sesuai dengan kebutuhannya. Di zaman sekarang,
kebutuhan fakir miskin terhadap uang semakin meningkat untuk membayar berbagai
keperluan pokok dan mendesak bagi mereka dan keluarganya.
Di sebagian negeri kaum muslimin, kita
menyaksikan bahwa fakir miskin sering kali menjual bahan makanan yang mereka
terima dari zakat, seperti gandum dan beras, kepada pedagang dengan harga yang
sangat murah karena mereka lebih membutuhkan uang.
Pendapat ini menggabungkan antara dalil-dalil
yang ada serta mencerminkan maslahat yang lebih besar dalam
pelaksanaannya.
====
CATATAN PENTING:
Masalah ini, seperti halnya masalah-masalah
khilafiyah yang lainnya, adalah bagian dari perbedaan pendapat yang dibolehkan.
Ini bukan bagian dari akidah atau pokok agama, melainkan termasuk dalam masalah
cabang fiqhiyah. Oleh karena itu, perbedaan dalam masalah ini tidak boleh
menyebabkan kebencian, pemutusan hubungan, atau permusuhan di antara sesama
muslim, khususnya para penuntut ilmu. Perbedaan pendapat dalam masalah cabang
bukanlah tanda kesesatan atau kekufuran, bahkan terkadang sulit untuk
memastikan apakah suatu pendapat itu salah atau benar. Yang ada hanyalah
pendapat yang lebih kuat (rajih) dan yang kurang kuat (marjuh), serta pendapat
yang kuat dan lebih kuat.
Dalam menyikapi masalah-masalah seperti ini,
hendaknya kita mengikuti jejak para ulama umat ini, baik dari kalangan
terdahulu maupun yang datang kemudian. Inilah di antara penjelasan mereka yang
lebih jelas dan gamblang dalam masalah ini.
Dari uraian ini, kita dapat memahami sebab
perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hukum zakat fitrah. Perbedaan ini
sudah ada sejak dahulu, dan kedua pendapat tersebut telah dianut oleh sebagian
ulama Ahlus Sunnah. Namun, sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk mencari
kebenaran dalam hukum-hukum yang Allah ﷻ tetapkan. Seorang muslim
yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil tidak boleh hanya mengikuti
pendapat ulama secara membabi buta tanpa memahami dasar dalil yang mereka
gunakan. Ia harus berusaha memahami maksud dan hukum Allah ﷻ semampunya.
Setelah itu, ia harus berpegang pada prinsip
ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat. Diantaranya ungkapan kata Imam
Syafi'i :
رَأْيِي صَوَابٌ
يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
*"Pendapatku benar tetapi mungkin salah,
dan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar."* [Di kutip dari Majallah
Majma’ al-Fiqihi al-Islami 2/134].
Saudaraku yang kucintai, cukup sampai di sini
pembahasan ini. Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar penjelasan ini dapat memberikan kejelasan dan kecukupan dalam memahami
permasalahan ini. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita taufik dan
kebenaran dalam ucapan dan perbuatan.
Apa yang benar berasal dari Allah, dan apa
yang salah atau keliru berasal dariku dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya
berlepas diri darinya. Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Nabi kita, Muhammad ﷺ, beserta keluarga dan
seluruh sahabatnya.
===***===
ZAKAT FITRAH DENGAN UANG BUKAN BID’AH, TETAPI YANG BID’AH ITU ADALAH ORANG YANG TIDAK FAHAM BID’AH.
Mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tunai
bukanlah bid’ah, tetapi bid’ah itu adalah ketika seseorang tidak memahami makna
bid’ah.
Masalah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang
tunai diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat, sebagaimana perbedaan
dalam masalah-masalah fikih lainnya.
Perbedaan dalam masalah ini sudah ada sejak
abad pertama, sehingga tidak boleh ada yang mengira bahwa perbedaan ini bisa
dihilangkan hanya dengan fatwa atau sebuah tulisan.
Perbedaan ini akan tetap ada dan tetap dianggap
sebagai bagian dari perbedaan fikih yang diterima secara syar’i. Maka, tidak
perlu kaum muslimin terjebak dalam perdebatan yang tidak bermanfaat hingga
menimbulkan permusuhan dalam perkara cabang seperti ini.
Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa
masalah ini selalu diperdebatkan setiap tahun di bulan Ramadan dengan cara yang
aneh dan mencurigakan, seakan-akan ini adalah satu-satunya masalah fikih yang
diperselisihkan para ulama, atau seolah-olah ini adalah masalah besar dalam
Islam dan bahwa Islam serta kaum muslimin berada dalam bahaya hanya karena
zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang atau makanan.
Mengapa perselisihan ini hanya terjadi pada
masalah ini saja, dan tidak pada masalah lainnya?
Siapa yang berada di balik pertikaian, konflik,
dan kebencian ini pada bulan yang seharusnya menjadi waktu di mana hati bersih,
jiwa saling mendekat dengan saling memaafkan dan penuh kasih sayang, serta kaum
muslimin berkumpul dalam satu hati saat sahur, berbuka, shalat, ibadah, dan
saling berinteraksi dengan kebahagiaan dan rasa syukur atas nikmat serta
karunia Allah?
Apakah mungkin ada tangan-tangan tersembunyi
atau pihak-pihak mencurigakan yang memusuhi Islam dan ingin memecah belah kaum
muslimin serta menebarkan fitnah di antara mereka?
Sayangnya, fitnah ini telah menipu sebagian
orang sehingga mereka ikut menyebarkan perbedaan ini. Mungkin dengan niat baik,
mereka tanpa sadar menjadi alat bagi musuh-musuh Islam secara cuma-cuma. Jika
tidak, mengapa muncul tindakan saling menyesatkan, mencela, membid’ahkan,
membuat kelompok-kelompok, menebarkan perpecahan, fanatisme, serta menghina dan
mencerca orang lain?
Mengapa masalah ini digambarkan seolah-olah
merupakan prinsip syariat yang tidak bisa menerima pendapat lain?
Mereka bahkan mengeluarkan kata-kata kasar
kepada siapa saja yang berbeda pendapat dengan mereka, saling mengingkari satu
sama lain, dan berusaha menghapus pendapat pihak lain. Mereka menjadikan
masalah ini sebagai sarana perpecahan dan kebencian.
Bahkan, setiap orang yang tidak memiliki
pengetahuan—bahkan yang tidak bisa membaca dan menulis dengan baik—ikut-ikutan
mencela, menghina, dan melaknat para ulama yang membolehkan pembayaran zakat
fitrah dengan uang tunai. Mereka lebih memilih pendapat tertentu hanya
berdasarkan hawa nafsu mereka, seakan-akan mereka telah menjadi ulama besar dan
ahli fikih seluruh umat Islam.
Maka, tidak boleh bagimu menimbulkan
keresahan hanya karena masalah fikih cabang, lalu menggambarkan sesuatu yang
diperselisihkan seolah-olah telah disepakati, atau menjadikan perkara cabang
seperti perkara pokok, tata cara seperti rukun dan kewajiban.
Sudah saatnya kita fokus pada hal-hal yang
telah disepakati dan saling memaafkan dalam hal-hal yang diperselisihkan,
selama perbedaan tersebut dapat diterima dan berada dalam lingkup perbedaan
yang diperbolehkan secara syar’i, yaitu perbedaan yang bersumber dari ahlinya
dan berada pada tempatnya, sehingga termasuk dalam ranah fikih yang
diakui.
Masalah ini telah diperselisihkan oleh para
ulama sebagaimana telah disebutkan. Mereka yang berpendapat bahwa zakat fitrah
tidak sah jika dikeluarkan dalam bentuk uang tidaklah mengingkari orang-orang
yang membayarnya dengan uang. Bahkan, mereka secara jelas membolehkan mengikuti
pendapat yang membolehkan hal tersebut. Maka, masalah ini tidak ada hubungannya
dengan orang awam, dan tidak boleh diperdebatkan dengan cara seperti ini hingga
dikatakan sebagai bid’ah dan kesesatan, sebagaimana yang diklaim oleh
orang-orang yang sok tahu dalam agama. Ini bukanlah bid’ah, tetapi bid’ah itu
adalah ketika seseorang tidak memahami makna bid’ah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sulaim
Al-Halabi:
البِدْعَةُ أَنْ
تَتَكَلَّمَ فِي شَرْعِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ.
* البِدْعَةُ أَنْ تُحَرِّمَ شَيْئًا لَمْ يُحَرِّمْهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَتَجَرَّأَ عَلَى العُلَمَاءِ
وَأَنْتَ لَا تَزَالُ غِرًّا.
* البِدْعَةُ أَنْ تَجْعَلَ الفَرْعَ أَصْلًا،
وَالأَصْلَ فَرْعًا، وَالعَادَةَ عِبَادَةً.
* البِدْعَةُ أَنْ تَجْعَلَ فَهْمَكَ حَاكِمًا
عَلَى فَهْمِ غَيْرِكَ لَا نِدًّا لَهُ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَظُنَّ أَنَّ رَأْيَكَ هُوَ
الصَّوَابُ الَّذِي لَا يَحْتَمِلُ الخَطَأَ، وَرَأْيَ غَيْرِكَ هُوَ الخَطَأُ الَّذِي
لَا يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ.
* البِدْعَةُ أَنْ لَا تُقِيمَ لِلْخِلَافِ وَزْنًا،
وَتَجْعَلَ مِنْ رَأْيِكَ الحَقَّ المُطْلَقَ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَجْهَلَ قَوَاعِدَ النَّحْوِ
وَالإِمْلَاءِ ثُمَّ تَتَكَلَّمَ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَتَكْفِيرِ المُسْلِمِينَ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَتَقَمَّصَ دَوْرَ المُجْتَهِدِ
وَأَنْتَ لَا تَزَالُ نِصْفَ طَوِيلِبٍ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَتَخَرَّجَ مِنْ دَوْرَةٍ
شَرْعِيَّةٍ أُسْبُوعِيَّةٍ فَتَصِيرَ حِبْرَ الأُمَّةِ وَعَالِمَهَا.
* البِدْعَةُ أَنْ لَا تَعْرِفَ مَعْنَى البِدْعَةِ.
* البِدْعَةُ أَنْ تَسْتَهْزِئَ بِمَنْ يُدَافِعُ
عَنْ دِينِكَ مِنْ لَحْمِكَ وَدَمِكَ وَأَنْتَ لَا فِي العِيرِ وَلَا فِي النَّفِيرِ.
- Bid’ah adalah berbicara tentang syariat
Allah tanpa ilmu.
- Bid’ah adalah mengharamkan sesuatu yang
tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
- Bid’ah adalah berani mencela para ulama
padahal diri sendiri masih dangkal dalam ilmu.
- Bid’ah adalah menjadikan perkara cabang
sebagai perkara pokok, perkara pokok sebagai perkara cabang, dan menjadikan
kebiasaan sebagai ibadah.
- Bid’ah adalah menjadikan pemahamanmu
sebagai hakim atas pemahaman orang lain, bukan sebagai tandingannya.
- Bid’ah adalah menganggap pendapatmu sebagai
kebenaran mutlak yang tidak mungkin salah, sementara pendapat orang lain adalah
kesalahan mutlak yang tidak mungkin benar.
- Bid’ah adalah tidak memberi bobot pada
perbedaan pendapat dan menganggap pendapatmu sebagai satu-satunya kebenaran
absolut.
- Bid’ah adalah tidak memahami kaidah bahasa
dan ejaan, tetapi berbicara tentang ushuluddin dan mengkafirkan kaum
muslimin.
- Bid’ah adalah berpura-pura sebagai seorang
mujtahid padahal masih setengah murid.
- Bid’ah adalah lulus dari kursus syariah
selama seminggu lalu menganggap diri sebagai ulama besar umat.
- Bid’ah adalah tidak memahami makna
bid’ah.
- Bid’ah adalah mengejek orang yang membela agamamu, padahal dirimu sama sekali tidak memiliki kontribusi apa pun.
*****
ORANG YANG PALING DZALIM ADALAH YANG MUDAH MEMVONIS HARAM & SESAT
Dosa seseorang yang paling besar adalah mudah
menghukumi haram. Maka berhati-hati dan berwaspada lah bagi orang mudah
memfatwakan hukum haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Sa’d ibnu Abi
Waqaash: bahwa Nabi ﷺ berkata:
“ إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ
لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ".
Sesungguhnya (seseorang dari) kaum Muslim
yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak
diharamkan, lantas hal tersebut diharamkan karena pertanyaannya. (HR. Bukhory
no. 6745)
Dan Firman Allah SWT:
﴿ قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau
daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-An'am (6):145]
Dan Firman Allah SWT:
﴿ قُلْ مَنْ
حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً
يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui". [QS al-A'rāf: 32]
Dan Allah SWT menceritakan tentang asal usul
makanan haram Bani Israil, sebagaimana dalam firman-Nya :
﴿۞ كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا
لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ
أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَ﴾
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil
melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri
sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan
yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah
dia jika kamu orang-orang yang benar". [Al Imran: 93]
TAFSIR AYAT :
Dalam **Tafsir al-Mukhtashar** disebutkan :.
“Dahulu, semua makanan yang baik adalah halal
bagi Bani Israil.
Tidak ada makanan yang diharamkan kecuali
yang diharamkan oleh Ya’qūb ( Israil ) atas dirinya sendiri
sebelum kitab Taurat diturunkan, tidak seperti anggapan orang-orang Yahudi yang
mengklaim bahwa pengharaman itu terdapat di dalam Kitab Taurat.
Maka Allah SWT berfirman : “Katakanlah -wahai
Nabi- kepada mereka, “Datangkanlah kitab Taurat dan bacalah, jika kalian benar
terkait klaim kalian itu.”
Mereka semua bungkam dan tidak mau
mendatangkan Taurat.
Ini adalah contoh yang menunjukkan kebohongan
yang dibuat oleh orang-orang Yahudi atas nama Taurat dan bagaimana mereka
melakukan perubahan terhadap isi kandungan kitab Taurat.
Dan dalam **Tafsir al-Wajiz** dikatakan :
“Pada ayat ini Allah menjelaskan makanan yang
halal atau haram bagi Bani Israil.
Semua makanan itu pada dasarnya halal bagi
Bani Israil sebagaimana halal juga bagi selain mereka, kecuali makanan yang
diharamkan oleh Israil ( Yakub ) atas dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan
dalam rangka meraih kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Makanan tersebut adalah daging dan susu unta.
Ada satu riwayat menyebutkan bahwa Nabi Yakub
pernah sakit dan bernazar kalau Allah memberinya kesembuhan, maka dia tidak
akan makan daging unta dan tidak minum susunya, meskipun kedua makanan tersebut
halal dan sangat disukainya.
Pengharaman Nabi Yakub atas kedua jenis
makanan tersebut lalu diikuti oleh anak keturunannya.
Dan ada pula beberapa makanan yang mereka
haramkan atas diri mereka setelah turunnya Taurat, maka Allah SWT menetapkan
keharaman beberapa makanan tersebut bagi mereka sebagai hukuman atas
pelanggaran yang mereka lakukan ( Lihat: Surah an-Nisa’/4: 160 dan al-Anam/6:
146 ), akan tetapi kaum Yahudi membuat kebohongan dengan mengatakan bahwa ada
makanan yang diharamkan Allah untuk mereka sebelum Kitab Taurat diturunkan.
Oleh karena itu Allah menjawab, “Katakanlah,
wahai Nabi Muhammad, jika kamu berkata demikian, maka bawalah Taurat lalu
bacalah, dan tunjukkan kepada kami keterangan Taurat tentang pengharaman makanan
itu jika kamu orang-orang yang benar.”
Ternyata tidak seorang pun di antara mereka
mampu menunjukkkan ayat Taurat yang mendukung kebohongan mereka. [Tafsir
al-Wajiz].
*****
TEGURAN KERAS ALLAH SWT KEPADA NABI ﷺ KARENA MENGHARAMKAN YANG HALAL.
Rasulullah ﷺ pernah mengharamkan untuk dirinya meminum
madu halal, hanya karena demi membahagiakan sebagian para istrinya. Maka Allah
SWT menurunkan beberapa ayat, bahkan satu surat, yaitu surat Tahrim.
*Dari Ubaid bin Umair, dia berkata: Aku
mendengar Aisyah mengatakan :*
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحش وَيَشْرَبُ
عِنْدَهَا عَسَلا فتواصيتُ أَنَا وَحَفْصَةُ أَنَّ أيتُنا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ؛
أَكَلْتَ مَغَافِيرَ؟ فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ
زَيْنَبَ بِنْتِ جَحش، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ".
- وفي رواية :
"وَلَنْ أَعُودَ لَهُ، وَقَدْ حَلَفْتُ،
فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكَ أَحَدًا" -
فَنَزَلَتْ: ﴿يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ﴾
؟ إِلَى: ﴿إِنْ تَتُوبَا إِلَى
اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا} لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ، ﴿وَإِذْ
أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا﴾
لِقَوْلِهِ: "بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا".
“Bahwa Rasulullah ﷺ biasa tinggal di rumah
Zainab binti Jahsy dan meminum madu di sana. Maka aku dan Hafshah saling
bersepakat bahwa siapa pun dari kami yang didatangi Rasulullah ﷺ, hendaknya dia berkata, "Aku mencium bau maghafir (getah
berbau menyengat) darimu; apakah engkau memakan maghafir?"
Ketika Rasulullah ﷺ mendatangi salah seorang
dari mereka, dia mengatakan hal itu kepadanya. Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, tetapi aku telah meminum madu di rumah
Zainab binti Jahsy, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
- Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ berkata: "Aku tidak
akan mengulanginya lagi, dan aku telah bersumpah, maka jangan engkau ceritakan
hal ini kepada siapa pun."-
Kemudian turunlah firman Allah:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang
Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [QS. Tahrim: 1]
﴿قَدْ فَرَضَ اللَّهُ
لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ﴾
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu
sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. Tahrim: 2]
﴿وَإِذْ أَسَرَّ
النَّبِيُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ
اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَن بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ
قَالَتْ مَنْ أَنبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ﴾
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara
rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala
(Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan
hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan
sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah
yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah
diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal". [QS. Tahrim: 3]
﴿إِن تَتُوبَا إِلَى
اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِن تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ
مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ
ظَهِيرٌ﴾
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika
kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah
Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan
selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. [QS. Tahrim: 4]
Ayat-ayat ini ditujukan kepada Aisyah dan
Hafshah.
Dan firman Allah: "Dan ketika Nabi
membicarakan suatu rahasia kepada salah seorang istrinya," terkait dengan
perkataannya: "Aku telah meminum madu."
(Shahih Bukhari, no. 6691).
PELAJARAN PENTING YANG BISA DIAMBIL :
Jika Nabi ﷺ menndapat teguran yang luar biasa dari Allah
hanya karena mengharamkan minum madu bagi dirinya sendiri, bukan untuk umat-nya,
lalu bagaimana, dengan orang-orang yang gemar mengeluarkan fatwa dan statment
haram mengatas namakan agama untuk seluruh umat Islam, bahkan fatwa bid’ah
sesat, yang menurut mereka bahwa dosa
bid’ah jaul lebih besar dari pada membunuh dan berzina, dengan alasan bahwa dampak
dosa kemaksiatan hanya pada individu, sementara dampak bid’ah sangat luas, yaitu
pada agama dan umat.
Mereka dengan pede-nya tidak pernah mengira
bahwa dirinya berkemungkinan bisa salah dalam berijtihad, dan bisa jadi dirinya
sedang terjerumus melakukan perbuatan bid’ah dan kesalahan dengan fatwa haram baru-nya
itu.
****
KESOMBONGAN DAN MERASA SUCI ADALAH DOSA PERTAMA YANG IBLIS LAKUKAN:
Sebagian para ulama salaf menjelaskan bahwa
dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan. Allah Ta’ala
berfirman,
﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا
لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الكَافِرِينَ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali
Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Tentang ayat ini Qotaadah berkata :
“Iblis hasud terhadap Adam ‘alaihis salaam
atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada nya . Iblis berkata : “Saya
diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah
dosa yang pertama kali terjadi. Iblis merasa sombong dengan tidak mau bersujud
kepada Adam ‘alaihis salaam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/114)
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Dia
menyembah Allah selama 1000 tahun, lalu Allah swt mengangkatnya ke langit
pertama. Di langit pertama, Azazil beribadah menyembah Allah swt selama 1000
tahun. Kemudian dia diangkat ke langit kedua. Begitu seterusnya hingga akhirnya
dia diangkat menjadi imam dan ketua malaikat ataupun imam kepada para malaikat.
Ibadahnya kepada Allah paling banyak.
Ada riwayat yang menyatakan Azazil beribadah
kepada Allah selama 80,000 tahun dan tiada tempat di dunia ini yang tidak
dijadikan tempat sujudnya ke hadrat Allah.
Tidak ada yang mengetahui apa-apa yang
tersimpan dalam jiwa Azaaziil kecuali Allah swt . Adapun para malaikat maka
mereka tidak tahu sama sekali . Kemudian terjadi sesuatu yang di luar perkiraan
, yaitu Azazil menemukan dalam setiap tempat sujudnya tulisan :
**Iblis diusir, Iblis dikutuk , Iblis
dihinakan , dan dia melihat tulisan terpampang di atas lingkaran pintu surga :
“ Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba
dari kalangan al-Muqorrobiin , Aku telah menyuruhnya , tapi dia tidak mau
melaksanakan perintah-Ku , melainkan dia bermaksiat dan bermaksiat , maka aku
mengusirnya , mengutuknya dan menjadikan semua ketaatan dan amalnya bagaikan
debu yang beterbangan “.**
Azazil kaget dan bertanya-tanya, lalu berkata
:
Siapakah Iblis yang terusir ini ? Kami
berlindung kepada Allah dari hal itu ! . Kemudian dia menghadap kepada Allah
dan berkata : Wahai Rabb-ku Hamba-Mu yang manakah yang berani menentang
perintah-Mu, sungguh aku ikut mengutuknya , izinkanlah aku untuk mengutuknya !
Maka Allah SWT mengizinkannya.Lalu Azazil pun
mengutuknya seribu kali .
Azazil tidak sadar bahwa tulisan di pintu
syurga itu bisa menimpa kepada sesiapa saja, termasuk pada dirinya. Itu
disebabkan karena adanya kesombongan pada dirinya dan merasa suci.
Bukan hanya Azazil yang melihat perkara ini ,
ternyata dan bahkan para malaikat pun mengetahuinya dari malaikat Isrofil ,
yaitu ketika Israfil memperhatikan ke arah Lauh Mahfudz dia mendapati perkataan
yang sama, maka setelah melihat itu dia menangis tersedu-sedu, karena khawatir
dirinya lah yang dimaksud. Sehingga tangisannya itu membuat para malaikat
merasa kasihan dan iba terhadapnya , maka mereka berkumpullah dan menanyakannya
: “Apa yang membuat-mu menangis ???”.
Israfil menjawab : “Aku telah menemukan
sebuah rahasia dari rahasia-rahasia Rabb ku”
Lalu dia mengkisahkannya kepada mereka , maka
para malaikat pun semuanya menangis , dan mereka berteriak :
“Tidak ada pilihan bagi kita kecuali kita
harus pergi mendatangi Azazil , karena sesungguhnya dialah satu-satunya orang
yang mustajab doanya dan termasuk orang-orang yang dekat kedudukannya di sisi
Allah , mari kita minta bantuan kepadanya agar dia berkenan berdo’a kepada
Allah untuk kita !”.
Maka para malaikatpun bersegera mendatangi
Azaaziil dan menceritakan nya . Lalu Azaazil mengangkat kedua tangannya seraya
berdoa : Wahai Rabb , amankan lah mereka dari pemutusan rahmat mu ! .
Azaaziil hanya mendoakan mereka dan lupa
mendoakkan dirinya karena dia terkelabui oleh perasaan ujubnya sendiri karena
merasa dirinya berada pada derajat dan posisi yang menurutnya tidak mungkin,
mustahil bahkan tidak tergambarkan sedikitpun dalam benaknya bahwa dirinya itu
adalah iblis yang terusir dan terkutuk itu …. .
Allah swt mengabulkan doa Azazil untuk para
malaikat dan Allah menandai iblis dengan sebuah tanda celaka .
Dan ketika adanya ketakaburan atau
kesombongan dalam diri Azazil sementara para malaikat tidak ada yang mengetahuinya,
maka Allah yang maha bijak lagi maha adil berkehendak mengungkap niat dan
tujuan yang sebenarnya ibadah Azazil selama ini serta kesombangannya, yaitu
dengan cara Allah menciptakan Adam .
Dengan tujuan kelak nanti Azazil dan seluruh
malaikat diuji kepatuhan dan ketulusannya kepada Allah dengan perintah sujud
kepada Adam. Berkenaan dengan kisah ini Allah swt berfirman dalam al-Quran :
﴿ وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ
فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن ﴾
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata
kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah.
Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di
dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau
dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.( QS. Al-Baqarah : 30 )
0 Komentar