Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

APA BENAR, MAKAN SAMBIL BICARA ITU SUNNAH? JIKA TIDAK, MAKA ITU BID’AH DAN MENYERUPAI YAHUDI?

 APA BENAR, MAKAN SAMBIL BICARA ITU SUNNAH? JIKA TIDAK, MAKA ITU BID’AH DAN MENYERUPAI YAHUDI?

---

Di Tulis Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

===

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN :
  • APAKAH BENAR, MAKAN SAMBIL BICARA ITU SUNNAH? JIKA TIDAK, MAKA ITU BID’AH DAN MENYERUPAI YAHUDI?
  • JAWABAN :
  • KESIMPULAN :
  • DALIL-DALIL YANG MENUNJUKKAN BOLEH-NYA BERBICARA SAAT MAKAN:

***

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN :

Ada sebagian para da’i kontemporer yang mengatakan bahwa ngobrol saat sedang makan itu di sunnahkan sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi yang tidak berbicara ketika makan.

Dan hukumnya bid’ah jika tidak berbicara atau ngobrol saat sedang makan.

Makan tanpa ngobrol adalah menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang Yahudi, maka umat Islam harus menyelisihi perbuatan mereka.

Mereka juga berdalil dengan hadits :

"تَكَلَّمُوا عَلَى الطَّعَامِ وَلَوْ بِأَثْمَانِ أَسْلِحَتِكُمْ"

“Berbicaralah kalian saat makan meskipun dengan harga senjata kalian!!”

Diantara ulama yang mengatakan sunnah adalah sbb :

Ibnu Al-Hajj, dia berkata dalam *Al-Madkhal* 1/223:

وَيَنبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَتْرُكَ الحَدِيثَ عَلَى الطَّعَامِ، فَإِنَّ تَرْكَهُ عَلَى الطَّعَامِ بِدْعَةٌ، وَلَا يُكْثِرْ مِنْهُ، فَإِنَّ الإِكْثَارَ مِنْهُ بِدْعَةٌ أَيْضًا، وَلِأَنَّهُ ‌قَدْ ‌يَشْغَلُ ‌غَيْرَهُ ‌عَنِ ‌الأَكْلِ.

“Seyogianya seseorang tidak meninggalkan obrolan (pembicaraan) saat makan, karena meninggalkannya saat makan adalah bid’ah. Namun jangan pula terlalu banyak berbicara, karena terlalu banyak berbicara juga termasuk bid’ah, dan bisa jadi hal itu menyibukkan orang lain dari makan...”.

Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan :

اسْتِحْبَابُ الْكَلَامِ عَلَى الطَّعَامِ، مُخَالَفَةً لِلْعَجَمِ، فَإِنَّهَا مِنْ عَادَاتِهِمْ، وَالْمُشَابَهَةُ مَنْهِيٌّ عَنْهَا.

Dianjurkan berbicara saat makan, sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang non-Arab (‘ajam), karena itu merupakan kebiasaan mereka, sedangkan menyerupai mereka adalah sesuatu yang dilarang. (Ihya’ ‘Ulumiddin karya Al-Ghazali, 2/11, Dar Al-Hadits, cet. pertama, 1412 H).

Dalam sumber lain disebutkan darinya:

أَنَّ السُّكُوتَ عَلَى الطَّعَامِ مِنْ فِعْلِ الْأَعَاجِمِ

“Bahwa diam saat makan adalah perbuatan orang-orang non-Arab (ajam)”. (Lihat : Al-Maktabah Asy-Syamilah Al-Haditsah 1/415)

Sementara Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan :

اسْتِحْبَابُ الْحَدِيثِ عَلَى الطَّعَامِ؛ مُخَالَفَةً لِلْيَهُودِ، فَإِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَتَحَدَّثُونَ عَلَى الطَّعَامِ۔

“Dianjurkan berbicara saat makan, sebagai bentuk menyelisihi kebiasaan orang-orang Yahudi, karena mereka tidak biasa berbicara saat makan”. (Al-Maktabah Asy-Syamilah Al-Haditsah 1/415)

===***===

APAKAH BENAR, MAKAN SAMBIL BICARA ITU SUNNAH? 
JIKA TIDAK, MAKA ITU BID’AH DAN MENYERUPAI YAHUDI?

 *****

JAWABAN

Jawabannya adalah sbb :

Tidak ada hadits sahih yang memerintahkan untuk berbicara saat makan dengan alasan menyelisihi orang-orang Yahudi. Tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa berbicara saat makan itu berkaitan dengan menyelisihi orang Yahudi. Hal itu hanya merupakan ijtihad sebagian ulama saja .

Hadits yang menunjukkan hal itu tidak memiliki asal usul.

Berikut ini lafadz hadits Nabi tersebut:

"تَحَدَّثُوا عَلَى الطَّعَامِ وَخَالِفُوا سُنَّةَ الْيَهُودِ".

"Berbicaralah saat makan, dan selisihilah kebiasaan orang-orang Yahudi."

Hadits ini adalah palsu dan tidak ada asalnya sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al-Amin al-Kabir al-Maliki dalam (An-Nukhbah Al-Bahiyyah fi Al-Ahadits Al-Maudhu'ah 'ala Khair Al-Bariyyah, hlm. 94 no. 242. Lihat pula Dalil al-Waa’idz oleh Syahatah Muhammad Syaqor).

Adapun hadits:

"تَكَلَّمُوا عَلَى الطَّعَامِ وَلَوْ بِأَثْمَانِ أَسْلِحَتِكُمْ"

“Berbicaralah kalian saat makan meskipun dengan harga senjata kalian!!”

Maka hadits ini adalah palsu sebagaimana yang dikatakan Syeikh al-Albani, dan hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari kalangan ahli hadits yang bisa dijadikan pegangan.

Al-Munajjid juga berkata:

وَمَا يُرْوَى مِنْ أَحَادِيثَ فِيهَا الأَمْرُ بِالْحَدِيثِ عَلَى الطَّعَامِ أَوِ النَّهْيُ عَنْهُ فَلَا يَصِحُّ مِنْهَا شَيْءٌ.

“Adapun yang diriwayatkan dari hadits-hadits yang memerintahkan berbicara saat makan atau melarangnya, maka sama sekali tidak ada yang sahih dari semuanya”. [ISLAMQA Pertanyaan no. : 142516]

---

Berbicara saat makan hukumnya adalah boleh (mubah), bukan Sunnah.

Secara umum, berbicara saat makan hukumnya boleh dan tidak mengapa, bahkan bisa jadi dianjurkan untuk menciptakan suasana akrab dan sosial.

Ada anjuran berbicara dalam beberapa keadaan, diantaranya yaitu dianjurkan berbicara saat makan bersama para tamu untuk menghibur orang-orang yang hadir dan menyenangkan hati mereka, terutama jika pembicaraannya baik dan bermanfaat.

Yang terpenting adalah pembicaraan di meja makan harus baik, pantas, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang lain, sebagaimana disebutkan dalam fatwa Dar Al-Ifta Mesir.

Telah dinukil dari para fuqaha bahwa mereka menyebutkan di antara adab makan bersama tamu adalah berbicara saat makan dan menghibur tamu dengan pembicaraan yang baik serta memakruhkan pembicaraan yang buruk.

Namun demikian, Al-Hafidz As-Sakhawi (murid al-Hafidz Ibnu Hajar) berkata:

"لَا أَعْلَمُ فِيهِ شَيْئًا، نَفْيًا وَلَا إِثْبَاتًا". انْتَهَى

“Aku tidak mengetahui satu dalil pun tentang hal itu, baik penafian (larangan) maupun penetapan (anjuran).” [Selesai, *Al-Maqashid Al-Hasanah*, halaman 510].

Syaikh Al-Albani rahimahullah ta'ala berkata:

"الكَلَامُ عَلَى الطَّعَامِ كَالكَلَامِ عَلَى غَيْرِ الطَّعَامِ؛ حَسَنُهُ حَسَنٌ، وَقَبِيحُهُ قَبِيحٌ". انْتَهَى

“Berbicara saat makan sama seperti berbicara dalam keadaan lainnya; jika isi pembicaraan nya baik maka itu baik, dan jika buruk maka buruk”. [Selesai dari *Silsilah Al-Huda wa An-Nur*, rekaman nomor (15/1)].

Lalu Syeikh Al-Albani menceritakan: bahwa ada sebagian orang-orang mengira bahwa berbicara saat makan adalah sunnah, berlawanan dengan yang tersebar di kalangan masyarakat awam bahwa tidak boleh berbicara saat makan. Orang yang mengira itu sunnah berdalil dengan hadits palsu:

"تَكَلَّمُوا عَلَى الطَّعَامِ وَلَوْ بِأَثْمَانِ أَسْلِحَتِكُمْ"

“Berbicaralah kalian saat makan meskipun dengan harga senjata kalian!!”

Padahal hadits ini tidak sahih, tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari kalangan ahli hadits yang bisa dijadikan pegangan.

Dan Syeikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang hadits ini, lalu beliau menjawab sambil bercanda:

"هَذَا حَدِيثٌ أُرْدُنِيٌّ"

“Ini adalah hadits made in Yordania.”

Maksudnya, hadits itu hanya dikenal di Yordania dan tidak dikenal di Suriah ataupun di negeri lainnya.

[Sumber : الكلام على الطعام سنة أم بدعة؟ - فقه المسلم. https : // fiqh. Islamonline .net ›]

Dan dalam sumber lain Syaikh Al-Albani berkata:

لَيْسَ هُنَاكَ سُنَّةٌ مُعَيَّنَةٌ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالكَلَامِ عَلَى الطَّعَامِ سَلْبًا أَوْ إِيجَابًا، وَالكَلَامُ عَلَى الطَّعَامِ يَدْخُلُ فِي الحَدِيثِ العَامِّ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ)، فَإِنْ كَانَ يَتَكَلَّمُ فِي الطَّعَامِ بِمَا يَنْفَعُ الحَاضِرِينَ أَوْ بَعْضَهُمْ، فَهُنَا يُقَالُ سُنَّةٌ، أَمَّا تَعَمُّدُ الصَّمْتِ عَلَى الطَّعَامِ فَهُوَ بِدْعَةٌ، وَتَعَمُّدُ الكَلَامِ بِأَيِّ كَلَامٍ فَهُوَ كَذَلِكَ، وَإِنَّمَا كَمَا سَمِعْتَ فِي الحَدِيثِ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ).

وَهُنَاكَ حَدِيثٌ أَنَا أُسَمِّيهِ حَيْثُ أَسْكُنُ الآنَ الأُرْدُنْ، "حَدِيثٌ أُرْدُنِيٌّ"، أَنَا أَقُولُ: هَذَا حَدِيثٌ أُرْدُنِيٌّ، وَأَنَّهُ غَيْرُ مَعْرُوفٍ فِي سُورِيَا، وَلَا سَمِعْتُهُ فِي بِلَادٍ أُخْرَى، وَهُوَ مَشْهُورٌ بَيْنَهُمْ، وَيَكْثُرُ السُّؤَالُ مِنْ طَلَبَتِهِمْ عَنْهُ: "تَحَدَّثُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَلَوْ بِثَمَنِ أَسْلِحَتِكُمْ"، فَأَقُولُ: إِنَّهُ هَذَا حَدِيثٌ أُرْدُنِيٌّ مَوْضُوعٌ، لِأَنَّهُ مِنْهُ نَبَعَ، فَلَا أَصْلَ لَهُ، أَمَّا الحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فَهُوَ كَمَا سَمِعْتَ: (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ).

Tidak ada sunnah tertentu yang berkaitan dengan berbicara saat makan, baik dalam bentuk larangan maupun anjuran.

Berbicara saat makan termasuk dalam cakupan hadits umum:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”

Maka jika pembicaraan saat makan itu bermanfaat bagi orang-orang yang hadir atau sebagian dari mereka, maka itu dikatakan sunnah. Adapun menyengaja diam saat makan adalah bid’ah. Begitu juga menyengaja berbicara dengan sembarang ucapan juga tidak benar.

Yang berlaku adalah sebagaimana hadits yang telah engkau dengar:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”

Ada sebuah hadits yang saya namakan – karena saya sekarang tinggal di Yordania – sebagai “hadits Yordania”. Saya menyebutnya hadits Yordania karena hadits ini tidak dikenal di Suriah dan aku belum pernah mendengarnya di negeri lain.

Hadits ini masyhur di kalangan mereka dan banyak ditanyakan oleh para penuntut ilmu:

“Berbicaralah saat makan meskipun dengan harga senjata kalian.”

Maka saya katakan bahwa ini adalah hadits Yordania yang maudhu’ (palsu), karena memang berasal dari sana, dan tidak ada asal usulnya.

Adapun hukum syar’inya sebagaimana yang telah engkau dengar:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”

[Sumber: Bawwabat Turats Al-Imam Al-Albani/ Shoutiyyat wa Tafriighat Al-Imam Al-Albani/ Fatawa Jeddah/ Apa hukum berbicara saat makan, dan bagaimana derajat hadits yang melarang hal itu?].

----

Fatwa Syaikh Bin Baz:

لَا حَرَجَ فِي الكَلَامِ عَلَى الطَّعَامِ فِي مَجْلِسِ الطَّعَامِ، وَلَا يُوجَدُ دَلِيلٌ عَلَى كَرَاهَةِ ذَلِكَ، بَلْ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكَلَّمَ عَلَى الطَّعَامِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَتَحَدَّثَ مَعَهُمْ.

“Tidak mengapa berbicara saat makan di majelis makan, dan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu makruh. Bahkan Nabi pernah berbicara saat makan, memberi nasihat kepada orang-orang, dan berdialog dengan mereka”.

Secara umum menurut Syeikh Bin Baaz, diperbolehkan berbicara saat makan apabila ada kebutuhan, atau untuk memberi salam kepada orang-orang yang hadir, sebagaimana dalam sebuah fatwanya di TikTok. Dan untuk pembicaraan yang tidak ada keperluannya, maka lebih baik ditinggalkan dan digantikan dengan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, menurut fatwa beliau yang lain di TikTok.

----

Fatwa Syeikh Sholeh al-Fauzan :

Syaikh Sholeh Al-Fauzan ketika ditanya tentang hukum ngobrol saat sedang makan, beliau menjawab:

نَعَمْ، هَذَا صَحِيحٌ. الكَلَامُ الَّذِي لَا فَائِدَةَ مِنْهُ لَا يَنبَغِي أَنْ يَكُونَ جُزْءًا مِنْ حَدِيثِ المَائِدَةِ، وَالأَفْضَلُ تَرْكُهُ. مِنَ الأَفْضَلِ أَنْ يَكُونَ حَدِيثُ المَائِدَةِ مُفِيدًا وَمُمْتِعًا، وَيَتَنَاسَبُ مَعَ جَوِّ الأَكْلِ وَالِاجْتِمَاعِ.

“Ya, benar itu diperbolehkan. Pembicaraan yang tidak ada manfaatnya sebaiknya tidak menjadi bagian dari percakapan di meja makan, dan lebih baik ditinggalkan. Sebaiknya pembicaraan saat makan itu bermanfaat, menyenangkan, dan sesuai dengan suasana makan dan kebersamaan”. [Selesai]

Dan dalam kesempatan lain, Syeikh Sholeh menjawab pertanyaan yang sama dengan mengatakan :

لَا بَأْسَ بِذَٰلِكَ. وَكَوْنُهُمْ يَشْكُرُونَ اللهَ عَلَى الطَّعَامِ، يَذْكُرُونَ اللهَ أَحْسَنُ مِنْ كَثْرَةِ الْكَلَامِ فِي غَيْرِ ذَٰلِكَ. وَكَذَٰلِكَ الْكَلَامُ لِلْحَاجَةِ أَوْ لِلسَّلَامِ عَلَى الْحَاضِرِينَ أَوْ أَحَدِهِمْ لَا بَأْسَ بِذَٰلِكَ عَلَى الطَّعَامِ.

نَعَمْ، فَالْكَلَامُ لِلْحَاجَةِ لَا بَأْسَ، وَالْكَلَامُ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ حَاجَةٌ فَالْأَحْسَنُ تَرْكُهُ.

“Tidak masalah dengan berbicara saat makan. Dan jika mereka bersyukur kepada Allah atas makanan, menyebut nama Allah, maka itu lebih baik daripada banyak bicara tentang hal lain. Demikian pula berbicara karena adanya kebutuhan atau menjawab salam kepada orang-orang yang datang atau kepada salah satu dari mereka, maka itu tidak mengapa saat makan.

Ya, berbicara karena kebutuhan tidak masalah, namun berbicara yang tidak ada kebutuhannya, maka yang lebih baik adalah meninggalkannya (diam)”.

---

Adapun ucapan masyarakat umum:

"لَا كَلَامَ عَلَى الطَّعَامِ"

"Tidak boleh berbicara saat makan"

Maka itu tidak sahih, karena terdapat hadits-hadits sahih yang menunjukkan bolehnya berbicara saat makan. Namun hal ini disyaratkan dengan tidak adanya mudarat dari pembicaraan tersebut.

Sebagian dokter menyebutkan bahwa berbicara sementara makanan masih berada di mulut dapat menyebabkan bahaya tertentu seperti masuk angin dan lain-lain.

Maka dapat dikatakan bahwa hukum syar’i dari berbicara saat makan bukanlah wajib. Artinya, jika seseorang tidak berbicara saat makan, ia tidak berdosa. Ini merupakan bentuk penggabungan antara pendapat yang membolehkan dengan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh pembicaraan saat makan, yaitu bahwa seseorang tidak seharusnya berbicara sementara makanan masih ada di dalam mulutnya.

Namun ia boleh berbicara saat makan selama tidak dalam keadaan yang membahayakan tersebut.

----

IBNU WAHB :

Ibnu Wahb berkata :

كُلُّ هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ ثَمَّةَ ضَرَرٌ عَلَى الآكِلِ، وَإِلَّا حَرُمَ عَلَيْهِ الكَلَامُ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، وَإِذَا تَكَلَّمَ وَاللُّقْمَةُ فِي فِيهِ فَرُبَّمَا تَضَرَّرَ، بَلْ حَصَلَ وَقَدْ تَضَرَّرَ أُنَاسٌ بِذَلِكَ، فَيَنبَغِي التَّأَمُّلُ فِي هَذَا المَوْضِعِ، وَنَفْسُ الفِعْلِ لَا يَدُلُّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، بَلْ يَدُلُّ عَلَى الجَوَازِ، هَذَا عِندَ الجُمْهُورِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

وَإِنْ كَانَ كَثِيرٌ مِنَ العُلَمَاءِ نَصُّوا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، فَقَصْدُهُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ المُتَكَلِّمَ يَتَكَلَّمُ عَلَى مَائِدَةِ الطَّعَامِ، لَا أَنْ يَتَكَلَّمَ وَاللُّقْمَةُ فِي فِيهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

“Semua ini berlaku selama tidak ada mudarat bagi orang yang makan. Jika ada mudarat, maka haram baginya berbicara, karena tidak boleh membahayakan diri sendir maupun orang lain.

Jika seseorang berbicara sementara suapan masih berada di mulutnya, bisa jadi ia akan terkena bahaya, bahkan memang telah terjadi kasus orang-orang yang terkena bahaya karena hal itu. Maka hendaknya hal ini diperhatikan dengan seksama.

Adapun perbuatan itu sendiri tidak menunjukkan anjuran (bukan sunnah), tetapi hanya menunjukkan kebolehan menurut mayoritas ulama. wallahu a’lam.

Meskipun ada sebagian para ulama yang menyatakan bahwa hal itu dianjurkan, maksud mereka—wallahu a’lam—adalah bahwa seseorang boleh berbicara di meja makan, bukan berbicara sementara makanan masih ada di dalam mulutnya. wallahu a’lam”. [Lihat : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah 1/415]

----

ABDURRAHMAN AL-BARQUQI

Abdurrahman Al-Barquqi, seorang sastrawan Mesir, berkata dalam kitab Adz-Dzakha’ir wal-‘Abqariyyat (1/132):

مُحَادَثَةُ الضَّيْفِ

وَكَانُوا تُجَاهَ مُحَادَثَةِ الضَّيْفِ عَلَى الطَّعَامِ فَرِيقَيْنِ، فَفَرِيقٌ يَسْتَحِبُّهُ وَيَسْتَحْسِنُهُ، وَمِنْ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ أَحْسَنُ، وَقَالُوا فِي ذَلِكَ: مُحَادَثَةُ الْإِخْوَانِ تَزِيدُ فِي لَذَّةِ الطَّعَامِ. وَقَالَ شَاعِرُهُمْ:

"وَأَكْثَرُ مَا أَلَذُّ بِهِ وَأَلْهُو ... مُحَادَثَةُ الضُّيُوفِ عَلَى الطَّعَامِ"

وَأَمَّا الْفَرِيقُ الْآخَرُ فَيَكْرَهُ الْحَدِيثَ عَلَى الْمَائِدَةِ، وَقَالُوا فِي ذَلِكَ: مَنْ أَكْثَرَ الْكَلَامَ عَلَى طَعَامِهِ غَشَّ بَطْنَهُ وَثَقُلَ عَلَى إِخْوَانِهِ.

وَقَالَ الْجَاحِظُ فِي كِتَابِهِ *التَّاجِ*: وَلِشَيْءٍ مَا كَانَتْ مُلُوكُ آلِ سَاسَانَ – إِذَا قُدِّمَتْ مَوَائِدُهُمْ – زَمْزَمُوا عَلَيْهَا، فَلَمْ يَنْطِقْ نَاطِقٌ بِحَرْفٍ حَتَّى تُرْفَعَ، فَإِنِ اضْطُرُّوا إِلَى كَلَامٍ، كَانَ مَكَانَهُ إِشَارَةٌ أَوْ إِيمَاءٌ يَدُلُّ عَلَى الْغَرَضِ الَّذِي أَرَادُوا وَالْمَعْنَى الَّذِي قَصَدُوا.

وَكَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ هَذِهِ الْأَطْعِمَةَ بِهَا حَيَاةُ هَذَا الْعَالَمِ، فَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ذِهْنَهُ فِي مَطْعَمِهِ، وَيَشْغَلَ رُوحَهُ وَجَوَارِحَهُ فِيهِ، حَتَّى تَأْخُذَ كُلُّ جَارِحَةٍ بِقِسْطِهَا مِنَ الطَّعَامِ، فَيَغْتَذِيَ بِهَا الْبَدَنُ وَالرُّوحُ الْحَيَوَانِيَّةُ الَّتِي فِي الْقَلْبِ، وَالطَّبِيعَةُ الَّتِي فِي الْكَبِدِ، اغْتِذَاءً تَامًّا، وَتَقْبَلَهُ الطَّبِيعَةُ قَبُولًا جَامِعًا.

قَالَ الْجَاحِظُ: وَفِي تَرْكِ الْكَلَامِ عَلَى الطَّعَامِ فَضَائِلُ كَثِيرَةٌ هِيَ فِي آيِينِهِمْ.

وَقَالَ الْمَسْعُودِيُّ فِي "مُرُوجِ الذَّهَبِ": ذَكَرُوا أَنَّ كَيُومَرْثَ هُوَ أَوَّلُ مَنْ أَمَرَ بِالسُّكُوتِ عِنْدَ الطَّعَامِ، لِتَأْخُذَ الطَّبِيعَةُ بِقِسْطِهَا، فَيَصْلُحَ الْبَدَنُ بِمَا يَرِدُ إِلَيْهِ مِنَ الْغِذَاءِ، وَتَسْكُنَ النَّفْسُ عِنْدَ ذَلِكَ، فَتُدَبِّرَ لِكُلِّ عُضْوٍ مِنَ الْأَعْضَاءِ تَدْبِيرًا يُؤَدِّي إِلَى مَا فِيهِ صَلَاحُ الْجِسْمِ مِنْ أَخْذِ صَفْوِ الطَّعَامِ، فَيَكُونَ الَّذِي يَرِدُ إِلَى الْكَبِدِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَعْضَاءِ الْقَابِلَةِ لِلْغِذَاءِ مَا يُنَاسِبُهَا وَمَا فِيهِ صَلَاحُهَا، وَإِنَّ الْإِنْسَانَ مَتَى شُغِلَ عَنْ طَعَامِهِ بِضَرْبٍ مِنَ الضُّرُوبِ، انْصَرَفَ قِسْطٌ مِنَ التَّدْبِيرِ وَجُزْءٌ مِنَ التَّغَذِّي إِلَى حَيْثُ انْصِبَابِ الْهَمَّةِ وَوُقُوعِ الِاشْتِرَاكِ، فَأَضَرَّ ذَلِكَ بِالنَّفْسِ الْحَيَوَانِيَّةِ وَالْقُوَى الْإِنْسَانِيَّةِ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ دَائِمًا أَدَّى ذَلِكَ إِلَى مُفَارَقَةِ النَّفْسِ النَّاطِقَةِ الْمُمَيِّزَةِ الْفِكْرِيَّةِ لِهَذَا الْجَسَدِ الْمَرْئِيِّ، وَفِي ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْحِكْمَةِ وَخُرُوجٌ عَنِ الصَّوَابِ.

Terjemahannya :

BERBINCANG-BINCANG DENGAN TAMU

Mereka dalam hal berbicara dengan tamu saat makan terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyukainya dan menganggapnya baik, apalagi jika berasal dari tuan rumah yang mengundang jamuan makan.

Mereka berkata:

“Berbicara dengan saudara-saudara (sahabat) menambah kenikmatan makanan.”

Seorang penyair mereka berkata:

وَأَكْثَرُ مَا أَلَذُّ بِهِ وَأَلْهُو ... مُحَادَثَةُ الضُّيُوفِ عَلَى الطَّعَامِ

“Hal yang paling aku nikmati dan membuatku terhibur adalah berbicara dengan para tamu saat makan.”

Adapun kelompok lain yang membenci berbicara di meja makan. Mereka berkata:

“Siapa yang terlalu banyak berbicara saat makan, maka ia telah menipu perutnya dan menjadi beban bagi teman-temannya.”

Al-Jahidz berkata dalam kitabnya At-Tāj:

“Ada suatu sebab mengapa raja-raja dari Dinasti Sasaniyah—ketika hidangan makanan mereka dihidangkan—mereka bergumam pelan di atasnya (semacam bacaan zikir atau doa), lalu tidak ada satu pun yang berbicara sepatah kata pun hingga makanan itu diangkat. Jika mereka terpaksa berbicara, maka mereka menggunakan isyarat atau gerakan tangan yang menunjukkan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan.”

Mereka berkata : bahwa makanan ini adalah kehidupan dunia ini, maka seharusnya seseorang memusatkan pikirannya pada makanannya, menyibukkan jiwanya dan anggota tubuhnya dengannya, agar setiap anggota tubuh mendapatkan bagiannya dari makanan tersebut. Dengan begitu, badan dan ruh hewani yang berada di dalam hati serta sifat alami yang ada di hati bisa mendapatkan asupan yang sempurna, dan tubuh bisa menerimanya dengan penerimaan yang utuh.

Al-Jahidz berkata:

“Meninggalkan pembicaraan saat makan memiliki banyak keutamaan dalam tradisi mereka.”

Al-Mas‘udi berkata dalam Muruj adz-Dzahab:

“Diriwayatkan bahwa Kayumarth adalah orang pertama yang memerintahkan diam saat makan, agar sifat alami tubuh bisa mengambil bagiannya. Dengan begitu tubuh menjadi baik melalui makanan yang masuk, jiwa menjadi tenang, lalu mengatur semua anggota tubuh dengan pengaturan yang membawa pada kebaikan jasmani, yakni dengan mengambil inti dari makanan.

Maka apa yang sampai ke hati dan anggota tubuh lainnya yang menerima makanan adalah sesuatu yang sesuai dan bermanfaat bagi anggota tubuh tersebut. Dan bila manusia sibuk dari makanannya dengan hal-hal lain, maka sebagian dari proses pengaturan tubuh dan asupan gizi akan beralih ke arah di mana pikirannya teralihkan dan perhatiannya terbagi, hal ini akan membahayakan jiwa hewani dan kekuatan insani.

Dan jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menyebabkan jiwa rasional yang memiliki kemampuan berpikir meninggalkan tubuh jasmani ini, dan hal itu adalah sebuah penyimpangan dari hikmah dan keluar dari kebenaran.” [Selesai].

===****===

KESIMPULAN :

Yang dapat dipahami dari hadits-hadits Nabi adalah bahwa berbicara saat makan hukumnya boleh; tidak haram dan juga tidak disunnahkan. Namun yang lebih utama adalah tidak berbicara saat makanan masih ada di dalam mulut, karena hal itu dapat menimbulkan bahaya kesehatan.

---

KUTIPAN PERKATAAN AR-ROGHIB AL-ASHABAHANI

Abul Qasim ar-Roghib al-Ashbahani (wafat 502 H) berkata dalam Muhadhorot al-Udabaa 1/751-752 :

مُحَادَثَةُ الْأَكِيلِ

كَرِهَ قَوْمٌ الْحَدِيثَ عَلَى الْمَائِدَةِ وَاسْتَحَبَّهُ قَوْمٌ، وَمِنْ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ أَحْسَنُ، وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّاعِرُ:

صَادَفَ أُنْسًا وَحَدِيثًا مَا اشْتَهَى … إِنَّ الْحَدِيثَ طَرَفٌ مِنَ الْقِرَى

وَقِيلَ: مُحَادَثَةُ الْإِخْوَانِ تَزِيدُ فِي لَذَّةِ الطَّعَامِ

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ أَبِي طَاهِرٍ:

وَأَكْثَرُ مَا أَلَذُّ بِهِ وَأَلْهُو … مُحَادَثَةُ الضُّيُوفِ عَلَى الطَّعَامِ

وَقِيلَ: مَنْ أَكْثَرَ الْكَلَامَ عَلَى طَعَامِهِ غَشَّ بَطْنَهُ، وَثَقُلَ عَلَى إِخْوَانِهِ

Terjemahannya :

PERCAKAPAN ORANG YANG HOBI MAKAN BANYAK

Sebagian orang membenci berbicara di meja makan, sementara sebagian yang lain menyukainya, dan jika itu dari pihak tuan rumah, hal itu lebih baik. Oleh karena itu, seorang penyair berkata:

Ia menjumpai keakraban dan percakapan yang ia sukai… Sesungguhnya percakapan adalah bagian dari jamuan.

Dan dikatakan pula: Percakapan dengan saudara-saudara menambah kenikmatan makanan.

Ahmad bin Abi Thahir berkata:

Yang paling aku nikmati dan membuatku terhibur… adalah percakapan dengan para tamu saat makan.

Ada pula yang mengatakan: Barang siapa terlalu banyak berbicara saat makan, ia akan menipu perutnya dan menjadi beban bagi saudara-saudaranya.

----

NASIHAT IMAM AHMAD :

Disebutkan dalam *Masāʾil Ibni Hāniʾ* (2/133):

(تَعَشَّيْتُ مَرَّةً أَنَا وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ (يَعْنِي الإِمَامَ أَحْمَدَ) وَقَرَابَةٌ لَهُ، فَجَعَلْنَا نَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَأْكُلُ، وَجَعَلَ يَمْسَحُ عِندَ كُلِّ لُقْمَةٍ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ، وَجَعَلَ يَقُولُ عِندَ كُلِّ لُقْمَةٍ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَبِسْمِ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ لِي: أَكْلٌ وَحَمْدٌ خَيْرٌ مِنْ أَكْلٍ وَصَمْتٍ) انتهى

“(Aku pernah makan malam bersama Abu Abdillah – yakni Imam Ahmad – dan kerabatnya. Kami mulai berbicara sementara beliau makan. Beliau mengusap tangannya dengan kain setiap kali selesai menyuap satu suapan, dan setiap kali makan satu suapan beliau mengucapkan: “Alhamdulillah” dan “Bismillah”.

Kemudian beliau berkata kepadaku: “Makan sambil memuji (Allah) lebih baik daripada makan sambil diam”. (Selesai).

Teks ini dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam *Badāʾiʿ al-Fawāʾid* (4/169) dan Ibnul Jauzi dalam *Manāqib*.

===***===

DALIL-DALIL YANG MENUNJUKKAN BOLEH-NYA BERBICARA SAAT MAKAN:

****

DALIL PERTAMA :

Dalam Shahih Muslim (2052) dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ، فَقَالُوا: مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ: نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ.

“Bahwa Nabi meminta kepada keluarganya lauk-pauk, lalu mereka berkata: “Kami tidak punya apa-apa selain cuka. Maka beliau meminta dihidangkan, lalu mulai makan dengannya sambil bersabda: “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”

Al-Munajjid juga berkata:

"فَفِي هذِهِ الأَحَادِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى إِبَاحَةِ الْكَلَامِ أَثْنَاءَ الطَّعَامِ".

“Maka dalam hadits-hadits ini terdapat dalil atas bolehnya berbicara saat makan”. [ISLAMQA Pertanyaan no. : 142516]

Syeikh al-Albani sebagaimana disebutkan diatas, beliau berkata :

لَيْسَ هُنَاكَ سُنَّةٌ مُعَيَّنَةٌ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالكَلَامِ عَلَى الطَّعَامِ سَلْبًا أَوْ إِيجَابًا،

“Tidak ada sunnah tertentu yang berkaitan dengan berbicara saat makan, baik dalam bentuk larangan maupun anjuran”.

Begitu pula yang dikatakan Al-Hafizh As-Sakhawi (murid al-Hafidz Ibnu Hjar):

"لَا أَعْلَمُ فِيهِ شَيْئًا، نَفْيًا وَلَا إِثْبَاتًا". انْتَهَى

“Aku tidak mengetahui satu dalil pun tentang hal itu, baik penafian (larangan) maupun penetapan (anjuran).” [Selesai, *Al-Maqashid Al-Hasanah*, halaman 510].

Ibnu Al-Qayyim berkata:

"وَكَانَ يَتَحَدَّثُ عَلَى طَعَامِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي حَدِيثِ الخَلِّ، وَكَمَا قَالَ لِرَبِيبِهِ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ وَهُوَ يُؤَاكِلُهُ: (سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ)".

“Nabi biasa berbicara saat makan sebagaimana telah disebutkan dalam hadits tentang cuka, dan sebagaimana sabdanya kepada anak tirinya Umar bin Abi Salamah ketika makan bersama beliau: (Sebut nama Allah dan makanlah dari yang dekat denganmu).” Selesai, *Zadul Ma'ad* (2/366).

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya berbicara saat makan. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan berisi perintah untuk berbicara saat makan atau larangan darinya, tidak ada satu pun yang sahih.

Namun, Imam Nawawi ketika mensyarahi hadits di atas, dia berkata:

"وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ".

“Di dalamnya terdapat anjuran berbicara saat makan untuk menghibur orang yang sedang makan.” Selesai dari Syarh Shahih Muslim (14/7).

Menghibur orang yang sedang makan, sebagaimana disebut oleh Imam Nawawi rahimahullah di sini, adalah perkara yang dikenal luas di kalangan Arab: bahwa termasuk bagian dari penghormatan dan kemurahan hati adalah berbicara kepada orang yang sedang makan, khususnya tamu.

Seorang penyair berkata:

وَرُبَّ ضَيفٍ طَرَقَ الحَيَّ سُرى

صادَفَ زاداً وَحَديثاً ما اِشتَهى

إِنَّ الحَديثَ طَرَفٌ مِنَ القِرى

Dan betapa banyak tamu yang datang ke perkampungan di malam hari,

menemukan makanan dan percakapan yang ia sukai.

Sesungguhnya percakapan adalah bagian dari jamuan.

[Syarh Shahih Muslim (14/7).]

*****

DALIL KE DUA :

Dalam Shahih Bukhari (3340) dan Muslim (194) dengan lafaz dari Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata:

كُنَّا مع النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في دَعْوَةٍ، فَرُفِعَ إلَيْهِ الذِّرَاعُ -وكَانَتْ تُعْجِبُهُ- فَنَهَسَ منها نَهْسَةً. وَقالَ: أَنَا سَيِّدُ القَوْمِ يَومَ القِيَامَةِ، هلْ تَدْرُونَ بمَ؟ يَجْمَعُ اللَّهُ الأوَّلِينَ والآخِرِينَ في صَعِيدٍ واحِدٍ، فيُبْصِرُهُمُ النَّاظِرُ ويُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي، وتَدْنُو منهمُ الشَّمْسُ، فيَقولُ بَعْضُ النَّاسِ: أَلَا تَرَوْنَ إلى ما أَنْتُمْ فِيهِ إلى ما بَلَغَكُمْ؟ أَلَا تَنْظُرُونَ إلى مَن يَشْفَعُ لَكُمْ إلى رَبِّكُمْ؟ فيَقولُ بَعْضُ النَّاسِ: أَبُوكُمْ آدَمُ، فَيَأْتُونَهُ فيَقولونَ: يا آدَمُ، أَنْتَ أَبُو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بيَدِهِ، ونَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وأَمَرَ المَلَائِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ، وأَسْكَنَكَ الجَنَّةَ، أَلَا تَشْفَعُ لَنَا إلى رَبِّكَ؟ أَلَا تَرَى ما نَحْنُ فيه وما بَلَغَنَا؟ فيَقولُ: رَبِّي غَضِبَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَا يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، ونَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إلى غيرِي، اذْهَبُوا إلى نُوحٍ، فَيَأْتُونَ نُوحًا، فيَقولونَ: يا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إلى أَهْلِ الأرْضِ، وسَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا، أَما تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ؟ أَلَا تَرَى إلى ما بَلَغَنَا؟ أَلَا تَشْفَعُ لَنَا إلى رَبِّكَ؟ فيَقولُ: رَبِّي غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَا يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، نَفْسِي نَفْسِي، ائْتُوا النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَيَأْتُونِي فأسْجُدُ تَحْتَ العَرْشِ، فيُقَالُ: يا مُحَمَّدُ، ارْفَعْ رَأْسَكَ، واشْفَعْ تُشَفَّعْ، وسَلْ تُعْطَهْ. قالَ مُحَمَّدُ بنُ عُبَيْدٍ: لا أَحْفَظُ سَائِرَهُ.

Kami pernah bersama Nabi dalam suatu undangan jamuan makan, lalu dihidangkan kepadanya bagian lengan kambing—dan beliau menyukainya—maka beliau menggigitnya satu gigitan. Lalu beliau bersabda:

Aku adalah pemimpin seluruh manusia pada hari kiamat. Tahukah kalian dengan apa itu terjadi? Allah mengumpulkan seluruh manusia terdahulu dan yang belakangan di suatu tanah lapang yang sama. Mereka bisa dilihat oleh orang yang memandang, dan bisa mendengar panggilan dari yang menyeru. Lalu matahari didekatkan kepada mereka. Maka sebagian orang berkata, ‘Tidakkah kalian melihat keadaan kalian sekarang dan apa yang telah menimpa kalian? Tidakkah kalian mencari seseorang yang dapat memberi syafaat kepada kalian di sisi Tuhan kalian?’

Lalu sebagian orang berkata, ‘(Datangilah) bapak kalian, Adam.’ Maka mereka mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Adam, engkau adalah bapaknya seluruh manusia. Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya, meniupkan ruh-Nya kepadamu, memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu, dan menempatkanmu di surga. Tidakkah engkau memberi syafaat kepada kami di sisi Tuhanmu? Tidakkah engkau melihat apa yang kami alami dan apa yang telah menimpa kami?’

Maka Adam berkata, ‘Sesungguhnya Tuhanku sedang murka hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah seperti itu sebelumnya dan tidak akan seperti itu lagi sesudahnya. Dia melarangku dari pohon itu, tetapi aku melanggarnya. Diriku... diriku! Pergilah kalian kepada selainku, pergilah kepada Nuh.’

Maka mereka mendatangi Nuh dan berkata, ‘Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi. Allah menamakanmu sebagai hamba yang banyak bersyukur. Tidakkah engkau melihat keadaan kami sekarang? Tidakkah engkau melihat apa yang telah menimpa kami? Tidakkah engkau memberi syafaat kepada kami di sisi Tuhanmu?’

Maka Nuh berkata, ‘Sesungguhnya Tuhanku sedang murka hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah seperti itu sebelumnya dan tidak akan seperti itu lagi sesudahnya. Diriku... diriku! Datangilah Nabi .’

Lalu mereka mendatangiku (Nabi ), maka aku sujud di bawah Arsy, lalu dikatakan: ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafaat, niscaya kamu akan diberi syafaat. Mintalah, niscaya akan diberi.’

(Muhammad bin ‘Ubaid berkata: Aku tidak menghafal sisanya.)”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3340) dan lafaz ini miliknya, serta Muslim (194), dari hadits Abu Hurairah].

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata :

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أُتِيَ بلَحْمٍ فَرُفِعَ إلَيْهِ الذِّرَاعُ، وكَانَتْ تُعْجِبُهُ فَنَهَشَ منها نَهْشَةً، ثُمَّ قالَ: أنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَومَ القِيَامَةِ، وهلْ تَدْرُونَ مِمَّ ذلكَ؟ يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ الأوَّلِينَ والآخِرِينَ في صَعِيدٍ واحِدٍ، يُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ويَنْفُذُهُمُ البَصَرُ، وتَدْنُو الشَّمْسُ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الغَمِّ والكَرْبِ ما لا يُطِيقُونَ ولَا يَحْتَمِلُونَ، فيَقولُ النَّاسُ: ألَا تَرَوْنَ ما قدْ بَلَغَكُمْ، ألَا تَنْظُرُونَ مَن يَشْفَعُ لَكُمْ إلى رَبِّكُمْ؟ فيَقولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ: علَيْكُم بآدَمَ، فَيَأْتُونَ آدَمَ عليه السَّلَامُ فيَقولونَ له: أنْتَ أبو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بيَدِهِ، ونَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وأَمَرَ المَلَائِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ، ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ، ألَا تَرَى إلى ما قدْ بَلَغَنَا؟ فيَقولُ آدَمُ: إنَّ رَبِّي قدْ غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وإنَّه قدْ نَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إلى غيرِي، اذْهَبُوا إلى نُوحٍ، فَيَأْتُونَ نُوحًا فيَقولونَ: يا نُوحُ، إنَّكَ أنْتَ أوَّلُ الرُّسُلِ إلى أهْلِ الأرْضِ، وقدْ سَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ، ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ؟ فيَقولُ: إنَّ رَبِّي عزَّ وجلَّ قدْ غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وإنَّه قدْ كَانَتْ لي دَعْوَةٌ دَعَوْتُهَا علَى قَوْمِي، نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إلى غيرِي، اذْهَبُوا إلى إبْرَاهِيمَ، فَيَأْتُونَ إبْرَاهِيمَ فيَقولونَ: يا إبْرَاهِيمُ أنْتَ نَبِيُّ اللَّهِ وخَلِيلُهُ مِن أهْلِ الأرْضِ، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ، فيَقولُ لهمْ : إنَّ رَبِّي قدْ غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وإنِّي قدْ كُنْتُ كَذَبْتُ ثَلَاثَ كَذِبَاتٍ - فَذَكَرَهُنَّ أبو حَيَّانَ في الحَديثِ - نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إلى غيرِي، اذْهَبُوا إلى مُوسَى فَيَأْتُونَ، مُوسَى فيَقولونَ: يا مُوسَى أنْتَ رَسولُ اللَّهِ، فَضَّلَكَ اللَّهُ برِسَالَتِهِ وبِكَلَامِهِ علَى النَّاسِ، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ، ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ؟ فيَقولُ: إنَّ رَبِّي قدْ غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، ولَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وإنِّي قدْ قَتَلْتُ نَفْسًا لَمْ أُومَرْ بقَتْلِهَا، نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إلى غيرِي، اذْهَبُوا إلى عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، فَيَأْتُونَ عِيسَى، فيَقولونَ: يا عِيسَى أنْتَ رَسولُ اللَّهِ، وكَلِمَتُهُ ألْقَاهَا إلى مَرْيَمَ ورُوحٌ منه، وكَلَّمْتَ النَّاسَ في المَهْدِ صَبِيًّا، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ؟ فيَقولُ عِيسَى: إنَّ رَبِّي قدْ غَضِبَ اليومَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ قَطُّ، ولَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، ولَمْ يَذْكُرْ ذَنْبًا، نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي اذْهَبُوا إلى غيرِي اذْهَبُوا إلى مُحَمَّدٍ، فَيَأْتُونَ مُحَمَّدًا فيَقولونَ: يا مُحَمَّدُ أنْتَ رَسولُ اللَّهِ وخَاتِمُ الأنْبِيَاءِ، وقدْ غَفَرَ اللَّهُ لكَ ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِكَ وما تَأَخَّرَ، اشْفَعْ لَنَا إلى رَبِّكَ ألَا تَرَى إلى ما نَحْنُ فِيهِ، فأنْطَلِقُ فَآتي تَحْتَ العَرْشِ، فأقَعُ سَاجِدًا لِرَبِّي عزَّ وجلَّ، ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيَّ مِن مَحَامِدِهِ وحُسْنِ الثَّنَاءِ عليه شيئًا، لَمْ يَفْتَحْهُ علَى أحَدٍ قَبْلِي، ثُمَّ يُقَالُ: يا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ، واشْفَعْ تُشَفَّعْ فأرْفَعُ رَأْسِي، فأقُولُ: أُمَّتي يا رَبِّ، أُمَّتي يا رَبِّ، أُمَّتي يا رَبِّ، فيُقَالُ: يا مُحَمَّدُ أدْخِلْ مِن أُمَّتِكَ مَن لا حِسَابَ عليهم مِنَ البَابِ الأيْمَنِ مِن أبْوَابِ الجَنَّةِ، وهُمْ شُرَكَاءُ النَّاسِ فِيما سِوَى ذلكَ مِنَ الأبْوَابِ، ثُمَّ قالَ: والذي نَفْسِي بيَدِهِ، إنَّ ما بيْنَ المِصْرَاعَيْنِ مِن مَصَارِيعِ الجَنَّةِ، كما بيْنَ مَكَّةَ وحِمْيَرَ - أوْ كما بيْنَ مَكَّةَ وبُصْرَى

Rasulullah didatangkan kepada beliau daging, lalu bagian lengan diangkat kepadanya—dan beliau menyukainya—maka beliau menggigit darinya satu gigitan. Kemudian beliau bersabda:

“Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat. Tahukah kalian mengapa demikian?

Allah mengumpulkan seluruh manusia, dari yang pertama hingga yang terakhir, di satu tanah lapang. Mereka semua dapat mendengar suara yang memanggil dan dapat dilihat oleh pandangan mata. Lalu matahari didekatkan kepada mereka, sehingga mereka merasakan kesusahan dan kegelisahan yang sangat berat, yang tidak sanggup mereka tanggung.

Maka orang-orang berkata:

‘Tidakkah kalian melihat apa yang sedang menimpa kalian? Tidakkah kalian mencari seseorang yang bisa memberi syafaat kepada kalian di sisi Tuhan kalian?’

Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain:

‘Pergilah kepada Adam.’

Maka mereka mendatangi Adam ‘alaihis salam dan berkata kepadanya:

‘Engkau adalah bapak seluruh manusia. Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya, meniupkan ruh-Nya kepadamu, menyuruh para malaikat untuk bersujud kepadamu, dan menempatkanmu di surga. Mohonlah syafaat kepada Tuhanmu untuk kami. Tidakkah engkau melihat keadaan kami sekarang?’

Adam menjawab:

‘Sesungguhnya Tuhanku pada hari ini sedang murka dengan kemurkaan yang belum pernah seperti ini sebelumnya dan tidak akan seperti ini lagi setelahnya. Dia telah melarangku dari pohon itu, namun aku melanggarnya. Diriku... diriku... diriku! Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Nuh.’

Lalu mereka mendatangi Nuh dan berkata:

‘Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi, dan Allah telah menyebutmu sebagai "hamba yang banyak bersyukur". Mohonlah syafaat untuk kami kepada Tuhanmu.’

Nuh menjawab:

‘Sesungguhnya Tuhanku hari ini sedang murka dengan kemurkaan yang belum pernah seperti ini sebelumnya dan tidak akan seperti ini lagi setelahnya. Aku pernah memiliki satu doa yang aku gunakan untuk mendoakan kebinasaan kaumku. Diriku... diriku... diriku! Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Ibrahim.’

Lalu mereka mendatangi Ibrahim dan berkata:

‘Wahai Ibrahim, engkau adalah nabi Allah dan kekasih-Nya di bumi. Mohonkan syafaat untuk kami kepada Tuhanmu.’

Ibrahim menjawab:

‘Sesungguhnya Tuhanku hari ini sedang murka dengan kemurkaan yang belum pernah seperti ini sebelumnya dan tidak akan seperti ini lagi setelahnya. Aku telah melakukan tiga kali kebohongan (yang disebutkan dalam hadits oleh Abu Hayyan). Diriku... diriku... diriku! Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Musa.’

Mereka lalu mendatangi Musa dan berkata:

‘Wahai Musa, engkau adalah rasul Allah, Allah telah melebihkanmu dengan risalah-Nya dan dengan berbicara langsung kepadamu dari atas manusia. Mohonkanlah syafaat untuk kami kepada Tuhanmu.’

Musa menjawab:

‘Sesungguhnya Tuhanku hari ini sedang murka dengan kemurkaan yang belum pernah seperti ini sebelumnya dan tidak akan seperti ini lagi setelahnya. Aku pernah membunuh seseorang yang tidak diperintahkan untuk dibunuh. Diriku... diriku... diriku! Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Isa bin Maryam.’

Mereka mendatangi Isa dan berkata:

‘Wahai Isa, engkau adalah rasul Allah, dan firman-Nya yang disampaikan kepada Maryam, serta ruh dari-Nya. Engkau berbicara kepada manusia saat masih bayi. Mohonkanlah syafaat untuk kami kepada Tuhanmu.’

Isa menjawab:

‘Sesungguhnya Tuhanku hari ini sedang murka dengan kemurkaan yang belum pernah seperti ini sebelumnya dan tidak akan seperti ini lagi setelahnya.’

Dan beliau tidak menyebutkan satu dosa pun, lalu beliau berkata:

‘Diriku... diriku... diriku! Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Muhammad.’

Lalu mereka mendatangi Nabi Muhammad dan berkata:

‘Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Mohonkanlah syafaat untuk kami kepada Tuhanmu. Tidakkah engkau melihat keadaan kami sekarang?’

Maka aku (Nabi ) pun berangkat dan datang di bawah ‘Arsy, lalu aku sujud kepada Rabbku ‘azza wa jalla.

Kemudian Allah membukakan untukku berbagai pujian dan sanjungan yang indah kepada-Nya, yang belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya.

Lalu dikatakan:

‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah maka engkau akan diberi, berilah syafaat maka engkau akan diberi izin.’

Maka aku pun mengangkat kepalaku dan berkata:

‘Umatku, wahai Rabbku! Umatku, wahai Rabbku! Umatku, wahai Rabbku!’

Maka dikatakan:

‘Wahai Muhammad, masukkan dari umatmu siapa saja yang tidak dihisab melalui pintu kanan surga. Namun mereka juga berbagi dengan manusia lainnya pada pintu-pintu yang lain.’

Kemudian beliau bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh lebar dua daun pintu surga itu seperti antara Makkah dan Himyar, atau seperti antara Makkah dan Busra.”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4712) dan Muslim (194), dari hadits Abu Hurairah].

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam ISLAMQA No. berkata :

لَيْسَ فِي السُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ مَا يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ الْكَلَامِ أَثْنَاءَ الطَّعَامِ، وَمَا شَاعَ عَلَى بَعْضِ الْأَلْسِنَةِ مِنْ أَنَّهُ "لَا سَلَامَ وَلَا كَلَامَ عَلَى الطَّعَامِ" لَا أَصْلَ لَهُ شَرْعًا. بَلْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ تَكَلَّمَ أَثْنَاءَ الطَّعَامِ.

 

Tidak ada dalam sunnah Nabi yang menunjukkan larangan berbicara saat makan. Apa yang tersebar di sebagian lisan seperti ungkapan :

"لَا سَلَامَ وَلَا كَلَامَ عَلَى الطَّعَامِ"

“tidak ada salam dan tidak ada bicara saat makan”

tidak memiliki dasar dalam syariat. Bahkan telah tetap dari Nabi bahwa beliau berbicara saat makan.

Dan al-Munajjid juga berkata :

فَفِي هذِهِ الأَحَادِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى إِبَاحَةِ الْكَلَامِ أَثْنَاءَ الطَّعَامِ، وَمَا يُرْوَى مِنْ أَحَادِيثَ فِيهَا الأَمْرُ بِالْحَدِيثِ عَلَى الطَّعَامِ أَوِ النَّهْيُ عَنْهُ فَلَا يَصِحُّ مِنْهَا شَيْءٌ.

“Maka dalam hadits-hadits ini terdapat dalil atas bolehnya berbicara saat makan. Adapun yang diriwayatkan dari hadits-hadits yang memerintahkan berbicara saat makan atau melarangnya, maka tidak ada yang sahih dari semuanya”. [ISLAMQA Pertanyaan no. : 142516]

Posting Komentar

0 Komentar