ILMU KASYAF ATAU MUKASYAFAH (PENYINGKAPAN TABIR GHAIB) DALAM KONTEKS TASAWUF
----
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI :
- PENDAHLUAN :
- APAKAH "KASYAF ATAU MUKASYAFAH" ITU BENAR MENURUT PANDANGAN ISLAM?
- IBNU BAJAH DAN KRITIK RASIONAL TERHADAP FENOMENA KASYAF KAUM SUFI
- ADANYA ISTIDRAJ PADA SEBAGIAN KASYAF ATAU MUKASYAFAH
- ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DOA MUSA AS-SAAMIRY:
- ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DO'A BAL'AM BIN BA'URA
- PERBEDAAN ANTARA KASYAF PERTOLONGAN ALLAH DENGAN KASYAF BANTUAN JIN & SETAN.
- UNSUR KESYIRIKAN DALAM ILMU KASYAF PARANORMAL DAN PERDUKUNAN
- RITUAL MENGHADIRKAN ROH MURSYID SAAT BERIBADAH KEPADA ALLAH SWT
- ADA EMPAT SYARAT UTAMA AGAR IBADAH MEMUNGKINKAN UNTUK DITERIMA OLEH ALLAH SWT:
- NABI ﷺ TIDAK MENGETAHUI YANG GHAIB DAN TIDAK BOLEH MENYATAKAN BAHWA DIRINYA TAHU GHAIB.
- PENUTUP
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Istilah Kasyaf (كَشْفٌ) kadang disebut juga dengan “mukasyafah”
(مُكَاشَفَةٌ). Istilah ini sering digunakan dalam konteks spiritualitas,
mistisisme, dan sufisme dalam Islam
Makna kasyaf menurut faham sufi adalah:
"الِٱطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ ٱلْحِجَابِ،
مِنَ ٱلْمَعَانِي ٱلْغَيْبِيَّةِ، وَٱلْأُمُورِ ٱلْخَفِيَّةِ، وُجُودًا، أَوْ شُهُودًا"
إِنْتَهَى
*"Melihat sesuatu yang berada di balik tabir, berupa makna-makna
gaib dan perkara-perkara tersembunyi, baik dalam bentuk wujud nyata ataupun
penyaksian langsung."* (Selesai dikutip dari *Mausu‘ah
al-‘Aqadiyyah*, situs *ad-durar as-saniyyah*, 1/114)
Definisi lain :
هُوَ الِاطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ
الْحِجَابِ مِنَ الْمَعَانِي الْغَيْبِيَّةِ وَالْأُمُورِ الْحَقِيقِيَّةِ، وَهُوَ
نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ فَيَرَى الْحَقَائِقَ بِعَيْنِ الْبَصِيرَةِ.
“Yaitu penyingkapan terhadap apa yang berada di balik tabir, berupa
makna-makna gaib dan perkara-perkara hakiki, dan itu adalah cahaya yang Allah
lemparkan ke dalam hati seorang hamba, sehingga ia melihat hakikat dengan mata
hati”.
Dalam tasawuf, Kasyaf dijadikan sebagai tujuan utama dalam ibadah dan juga
dijadikan sebagai tolok ukur keabsahan dalil dan argument, sebagaimana yang dinyatakan
oleh sebagian para pakar tasawuf.
Disebutkan dalam *al-Mawsu‘ah al-Muyassarah lil Adyan wal Madzahib al-Mu‘ashirah*
(1/261-262):
"وَيَعْتَمِدُ الصُّوفِيَّةُ الْكَشْفَ مَصْدَرًا
وَثِيقًا لِلْعُلُومِ وَالْمَعَارِفِ، بَلْ تَحْقِيقَ غَايَةِ عِبَادَتِهِمْ".
“Kaum sufi menjadikan *kasyaf* sebagai sumber ilmu dan
pengetahuan yang terpercaya, bahkan sebagai tujuan utama ibadah mereka”.
Dan ada pula yang menyatakan :
"يُعَدُّ الْكَشْفُ وَسِيلَةً لِلْمَعْرِفَةِ
عِنْدَ الصُّوفِيَّةِ، حَيْثُ يَرَوْنَ أَنَّهُ حَاكِمٌ عَلَى النُّصُوصِ الشَّرْعِيَّةِ،
فَمَا وَافَقَ الْكَشْفَ مِنَ النُّصُوصِ أَخَذُوا بِهِ، وَمَا خَالَفَهُ أَوَّلُوهُ
أَوْ رَدُّوهُ".
“Kasyaf dianggap sebagai sarana untuk mencapai ma'rifat (pengetahuan) dalam pandangan kaum sufi, di mana mereka memandang bahwa kasyaf menjadi hakim penentu terhadap kebenaran nash-nash syariat (dalil-dalil syar'i). Maka, nash (dalil) yang sesuai dengan kasyaf mereka
terima, dan yang bertentangan dengannya mereka takwilkan atau mereka tolak”.
Ilmu kasyaf dalam ajaran Tasawuf merujuk pada terbukanya hijab atau
tabir gaib sehingga seseorang dapat melihat, merasakan, atau mengetahui hal-hal
gaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan akal biasa.
Kasyaf adalah terbukanya hijab atau tabir yang menghalangi seseorang
dari hakikat sesuatu, baik itu hakikat alam semesta, diri sendiri, maupun
hakikat Allah.
Kasyaf menjadi bagian penting dalam tasawuf karena menurut keyakinan tasawuf
membantu seorang sufi untuk lebih memahami hakikat diri dan Tuhannya, serta
dapat menjadi sarana untuk mencapai tingkatan makrifat.
Kasyaf dalam ajaran tasawuf merupakan salah satu tingkatan tertinggi
yang dicapai oleh seorang sufi setelah membersihkan diri dari hawa nafsu dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Ada beberapa jenis kasyaf, seperti kasyaf mata (melihat alam gaib),
kasyaf telinga (mendengar suara gaib), kasyaf hati (terbukanya hati untuk
memahami kebenaran), dan kasyaf akal (mendapatkan ilmu laduni).
Ilmu kasyaf dalam tasawuf dianggap sebagai karunia Allah yang diberikan
kepada hamba-Nya yang dikehendaki, terutama mereka yang memiliki kedekatan
spiritual dan hati yang bersih.
Ibnu Arabi misalnya dalam kitab “Fushush al-Hikam” menceritakan tentang
pertemuannya di alam kasyaf dengan nabi Muhammad ﷺ, lalu ia meminta
pertimbangan Nabi ﷺ terkait kitab yang
ditulisnya ini apakah layak disebarkan atau tidak. Nabi ﷺ mengizinkan Ibnu Arabi untuk menuliskan pengalaman-pengalaman
spiritualnya dalam kitab Fushush al-Hikam. Walhasil pengalaman kasyaf bertemu
dengan orang-orang saleh juga sering dijadikan basis legitimasi bagi sufi dalam
menyebarkan ajaran-ajarannya.
Kaum sufi meyakini bahwa pengalaman-pengalaman spiritual
mereka—khususnya dalam kondisi kasyaf—merupakan penyingkapan terhadap *asrār al-ḥaqq* (rahasia-rahasia kebenaran Ilahi).
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, pengalaman semacam ini diposisikan
sebagai tujuan utama dan tertinggi dalam perjalanan spiritual tasawuf,
sekaligus sebagai puncak kebahagiaan ruhani yang tidak ternilai. Menurut
mereka, *asrār al-ḥaqq* tidak dapat terungkap kecuali
melalui serangkaian disiplin spiritual seperti *mujāhadah*
(perjuangan jiwa), *riyāḍah* (latihan spiritual), dan amalan
sejenis lainnya.
Klaim penguasaan terhadap *asrār al-ḥaqq* inilah
yang kemudian mendorong sebagian sufi, terutama yang dianggap sebagai wali,
untuk menyebut diri mereka sebagai “ahli Allāh” (keluarga
atau kekasih Allah).
Dalam kerangka berpikir mereka, kebenaran tertinggi tidak dicapai
melalui aktivitas intelektual semata, tetapi melalui kontemplasi dan zikir yang
dilakukan secara terus-menerus.
===***===
APAKAH "KASYAF ATAU MUKASYAFAH" ITU BENAR MENURUT PANDANGAN ISLAM?
Kaum sufi sering mengklaim bahwa mereka mengetahui hal-hal gaib dan
mereka menyebutnya dengan istilah "Kasyaf atau Mukasyafah", sementara
sebagian orang membenarkannya dengan mengatakan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu
pernah saat berkhutbah menyampaikan bahwa ada pasukan di medan perang. Benarkah
itu ?
====
JAWABAN :
Ada beberapa
pembahasan untuk menjawab pertanyaan ini. Yaitu sebagai berikut :
----
PEMBAHASAN PERTAMA :
“Kasyaf” (penyingkapan tabir ghaib) yang dialami oleh seseorang
memiliki beberapa jenis. Di antaranya:
Ke 1. “Kasyaf nafsani” (berasal dari jiwa), yang bisa terjadi pada
orang Muslim maupun kafir.
Ke 2. “Kasyaf rahmani” (bersumber dari Allah), yaitu yang datang
melalui wahyu dan syariat.
Ke 3. “Kasyaf syaithani” (berasal dari setan), yaitu yang datang
melalui jin. [Islamqa Pertanyaan: no. 12778]
Ibnu Taimiyah berkata:
نَحْنُ لَا نُنْكِرُ أَنَّ النَّفْسَ
يَحْصُلُ لَهَا نَوْعٌ مِنَ الْكَشْفِ إِمَّا يَقَظَةً وَإِمَّا مَنَامًا بِسَبَبِ
قِلَّةِ عِلَاقَتِهَا مَعَ الْبَدَنِ إِمَّا بِرِيَاضَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا، وَهَذَا
هُوَ الْكَشْفُ النَّفْسَانِيُّ وَهُوَ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ مِنْ أَنْوَاعِ الْكَشْفِ.
لَكِنْ قَدْ ثَبَتَ أَيْضًا بِالدَّلَائِلِ
الْعَقْلِيَّةِ مَعَ الشَّرْعِيَّةِ وُجُودُ الْجِنِّ وَأَنَّهَا تُخْبِرُ النَّاسَ
بِأَخْبَارٍ غَائِبَةٍ عَنْهُمْ كَمَا لِلْكُهَّانِ الْمَصْرُوعِينَ وَغَيْرِهِمْ...
وَلَكِنِ الْمَقْصُودُ هُنَا أَنَّهُ
يُعْلَمُ وُجُودُ أُمُورٍ مُنْفَصِلَةٍ مُغَايِرَةٍ لِهَذِهِ الْقُوَى كَالْجِنِّ الْمُخْبِرِينَ
لِكَثِيرٍ مِنَ الْكُهَّانِ بِكَثِيرٍ مِنَ الْأَخْبَارِ، وَهَذَا أَمْرٌ يَعْلَمُهُ
بِالضَّرُورَةِ كُلُّ مَنْ بَاشَرَهُ أَوْ مَنْ أَخْبَرَهُ مَنْ يَحْصُلُ لَهُ الْعِلْمُ
بِخَبَرِهِ، وَنَحْنُ قَدْ عَلِمْنَا ذَلِكَ بِالِاضْطِرَارِ غَيْرَ مَرَّةٍ، فَهَذَا
نَوْعٌ مِنَ الْمُكَاشَفَاتِ وَالْإِخْبَارِ بِالْغَيْبِ غَيْرِ النَّفْسَانِيِّ، وَهُوَ
الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَنْوَاعِ الْكَشْفِ.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ
مَا تُخْبِرُ بِهِ الْمَلَائِكَةُ، فَهَذَا أَشْرَفُ الْأَقْسَامِ كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ
الدَّلَائِلُ الْكَثِيرَةُ السَّمْعِيَّةُ وَالْعَقْلِيَّةُ، فَالْإِخْبَارُ بِالْمَغْيِبَاتِ
يَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ نَفْسَانِيَّةٍ، وَيَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ خَبِيثَةٍ شَيْطَانِيَّةٍ
وَغَيْرِ شَيْطَانِيَّةٍ، وَيَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ مَلَكِيَّةٍ.
“Kami tidak mengingkari bahwa jiwa manusia dapat mengalami semacam
penyingkapan ghaib, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur, karena sedikitnya
keterkaitan jiwa dengan badan, baik karena latihan tertentu atau sebab lainnya.
Inilah yang disebut dengan *kasyaf nafsani*, dan ini adalah jenis pertama dari
macam-macam *kasyaf*.
Akan tetapi, telah ditetapkan pula melalui dalil akal dan syariat bahwa
jin itu ada, dan mereka bisa memberitahukan manusia tentang hal-hal gaib yang
tidak diketahui manusia, sebagaimana terjadi pada para dukun dan orang-orang
yang kesurupan, dan lainnya...
Yang dimaksud di sini adalah bahwa terdapat hal-hal yang eksistensinya
terpisah dan berbeda dari kekuatan jiwa, seperti jin yang memberikan informasi
kepada banyak dukun tentang berbagai macam hal gaib. Ini adalah perkara yang
diketahui secara pasti oleh siapa pun yang pernah mengalaminya langsung, atau
yang mendengar dari orang yang terpercaya.
Dan kami sendiri telah mengetahui hal ini secara pasti, bukan hanya
satu kali. Maka ini adalah salah satu bentuk *mukasyafah* dan penyampaian
berita gaib yang bukan berasal dari jiwa, dan ini adalah jenis kedua dari
macam-macam *kasyaf*.
Adapun jenis ketiga adalah *kasyaf* yang datang melalui para malaikat,
dan ini merupakan jenis yang paling mulia, sebagaimana dibuktikan oleh banyak
dalil, baik dari wahyu maupun akal. Maka penyampaian informasi tentang hal gaib
bisa bersumber dari sebab-sebab kejiwaan, bisa juga dari sebab-sebab yang
buruk, baik dari setan maupun selainnya, dan bisa juga dari sebab-sebab yang
bersumber dari malaikat.” [Selesai dari *Ash-Shafadiyyah* (halaman
187–189)].
Ibnu Qayyim berkata:
الْكَشْفَ الْجُزْئِيَّ الْمُشْتَرَكَ
بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكُفَّارِ، وَالْأَبْرَارِ وَالْفُجَّارِ، كَالْكَشْفِ عَمَّا
فِي دَارِ إِنْسَانٍ، أَوْ عَمَّا فِي يَدِهِ، أَوْ تَحْتَ ثِيَابِهِ، أَوْ مَا حَمَلَتْ
بِهِ امْرَأَتُهُ بَعْدَ انْعِقَادِهِ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، وَمَا غَابَ عَنِ الْعِيَانِ
مِنْ أَحْوَالِ الْبُعْدِ الشَّاسِعِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ مِنَ
الشَّيْطَانِ تَارَةً، وَمِنَ النَّفْسِ تَارَةً، وَلِذَلِكَ يَقَعُ مِنَ الْكُفَّارِ،
كَالنَّصَارَى، وَعَابِدِي النِّيرَانِ وَالصُّلْبَانِ، فَقَدْ كَاشَفَ ابْنُ صَيَّادٍ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا أَضْمَرَهُ لَهُ وَخَبَّأَهُ،
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنَّمَا أَنْتَ
مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ» فَأَخْبَرَ أَنَّ ذَلِكَ الْكَشْفَ مِنْ جِنْسِ كَشْفِ
الْكُهَّانِ، وَأَنَّ ذَلِكَ قَدْرُهُ، وَكَذَلِكَ مُسَيْلِمَةُ الْكَذَّابِ مَعَ فَرْطِ
كُفْرِهِ كَانَ يُكَاشِفُ أَصْحَابَهُ بِمَا فَعَلَهُ أَحَدُهُمْ فِي بَيْتِهِ وَمَا
قَالَهُ لِأَهْلِهِ، يُخْبِرُهُ بِهِ شَيْطَانُهُ، لِيَغْوِيَ النَّاسَ، وَكَذَلِكَ
الْأَسْوَدُ الْعَنْسِيُّ، وَالْحَارِثُ الْمُتَنَبِّي الدِّمَشْقِيُّ الَّذِي خَرَجَ
فِي دَوْلَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ، وَأَمْثَالُ هَؤُلَاءِ مِمَّنْ لَا
يُحْصِيهِمْ إِلَّا اللَّهُ، وَقَدْ رَأَيْنَا نَحْنُ وَغَيْرُنَا مِنْهُمْ جَمَاعَةً،
وَشَاهَدَ النَّاسُ مِنْ كَشْفِ الرُّهْبَانِ عُبَّادِ الصَّلِيبِ مَا هُوَ مَعْرُوفٌ.
وَالْكَشْفُ الرَّحْمَانِيُّ مِنْ هَذَا
النَّوْعِ: هُوَ مِثْلُ كَشْفِ أَبِي بَكْرٍ لَمَّا قَالَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا: إِنَّ امْرَأَتَهُ حَامِلٌ بِأُنْثَى، وَكَشْفِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
لَمَّا قَالَ: يَا سَارِيَةَ الْجَبَلِ، وَأَضْعَافُ هَذَا مِنْ كَشْفِ أَوْلِيَاءِ
الرَّحْمَنِ
*Kasyaf* (penyingkapan) parsial adalah hal yang dapat terjadi pada
orang-orang beriman maupun kafir, orang-orang baik maupun jahat. Seperti terbukanya
sesuatu yang berada di dalam rumah seseorang, atau apa yang ada di tangannya,
atau yang berada di balik pakaiannya, atau apa yang dikandung oleh istrinya
setelah terbentuk janin—apakah laki-laki atau perempuan—atau hal-hal yang
tersembunyi dari pandangan karena jarak yang sangat jauh dan semisalnya. Hal
ini kadang berasal dari setan, dan kadang berasal dari jiwa itu sendiri.
Oleh karena itu, hal seperti ini bisa juga terjadi pada orang-orang
kafir seperti kaum Nasrani, penyembah api dan salib. Ibnu Shayyad pun pernah
menyingkap apa yang disembunyikan oleh Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ berkata kepadanya: “Engkau hanyalah salah satu dari
saudara-saudara para dukun.” Maka Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa *kasyaf*
seperti itu termasuk jenis *kasyaf* para dukun, dan itu adalah tingkatannya.
Begitu pula Musailamah al-Kadzdzab, meskipun ia sangat kafir, dia bisa
menyingkap kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan salah satu dari
mereka di rumahnya atau apa yang ia katakan kepada istrinya—yang dibisikkan
oleh setan kepadanya untuk menyesatkan manusia. Demikian pula al-Aswad
al-‘Ansi, al-Harits si nabi palsu dari Damaskus yang muncul pada masa kekuasaan
Abdul Malik bin Marwan, dan orang-orang semisal mereka yang hanya Allah yang
mengetahui jumlahnya. Kami sendiri dan orang-orang lain telah menyaksikan
banyak dari mereka. Dan manusia juga telah menyaksikan sendiri berbagai bentuk
*kasyaf* para rahib penyembah salib yang sudah dikenal.
Adapun *kasyaf* yang berasal dari Allah (al-Kasyaf ar-Rahmani) dari
jenis ini, maka contohnya adalah *kasyaf* Abu Bakar ketika berkata kepada
Aisyah radhiyallahu ‘anhuma bahwa istrinya sedang mengandung anak perempuan.
Juga seperti *kasyaf* Umar radhiyallahu ‘anhu ketika berkata, “Wahai Sariyah,
ke gunung! Wahai Sariyah, ke gunung!”
Dan masih banyak lagi *kasyaf* dari para wali ar-Rahman (wali Allah)
yang serupa. (Selesai. Baca : *Madarij as-Salikin* 2/315)
----
PEMBAHASAN KEDUA :
Adapun kejadian yang dialami Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah
sahih dan tsabit darinya.
Nafi‘ berkata :
أَنَّ عُمَرَ بَعَثَ سَرِيَّةً فَاسْتَعْمَلَ
عَلَيْهِمْ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ "سَارِيَةُ"، فَبَيْنَمَا عُمَرُ يَخْطُبُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: "يَا سَارِيَةُ الْجَبَلَ، يَا سَارِيَةُ الْجَبَلَ"،
فَوَجَدُوا "سَارِيَةَ" قَدْ أَغَارَ إِلَى الْجَبَلِ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَبَيْنَهُمَا مَسِيرَةُ شَهْرٍ.
Bahwa Umar pernah mengutus pasukan kecil dan menunjuk seorang komandan
bernama Sariyyah. Saat Umar berkhutbah pada hari Jumat, ia tiba-tiba berkata:
‘Wahai Sariyyah, ke gunung! Wahai Sariyyah, ke
gunung!’
Maka didapati bahwa Sariyyah memang benar-benar mengarah ke gunung pada
waktu itu, di hari Jumat, sementara jarak antara keduanya adalah perjalanan
satu bulan”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Fadhail ash-Shahabah* (1/269), dan
dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam *As-Silsilah ash-Shahihah* (no.
1110).
Syeikh Taqiyuddin ibnu Taimiyah dalam (al-Majmuu’ al-Fataawaa 62/19) menyebutkan
atsar Umar :
أَنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ جَيْشًا
فَقَدِمَ شَخْصٌ إلَى الْمَدِينَةِ فَأَخْبَرَ أَنَّهُمْ انْتَصَرُوا عَلَى
عَدُوِّهِمْ وَشَاعَ الْخَبَرُ فَسَأَلَ عُمَرُ عَنْ ذَلِكَ فَذَكَرَ لَهُ فَقَالَ
: هَذَا أَبُو الْهَيْثَمِ بَرِيدُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْجِنِّ وَسَيَأْتِي
بَرِيدُ الْإِنْسِ بَعْدَ ذَلِكَ فَجَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ بِعِدَّةِ أَيَّامٍ
“Bahwa Umar mengirim pasukan perang , maka datanglah seseorang ke
Madinah membawa kabar bahwa mereka memenangkan peperangan atas musuhnya , dan
kabar ini menyebar luas , maka Umar pun menanyakan tentang hal kemenangan itu ,
maka orang itu menuturkannya padanya , lalu Umar berkata :
“ Ini Jin Abu al-Haitsam pengantar berita umat Islam dari bangsa
Jin . Dan akan datang pula pengantar berita dari manusia setelah itu “.
Dan benar setelah itu ia datang dalam beberapa hari “.
[Diriwayatkan oleh Badruddin asy-Syibli dalam kitab *Ākām al-Marjān fī Aḥkām al-Jān* (halaman
139) tanpa sanad. Lihat kitab *al-Muntakhab min Kutub Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah* (halaman 99) karya Syaikh Alawi as-Saqqaf, hafizhahullāh].
Kejadian ini adalah karamah (kemuliaan luar biasa) bagi Umar
radhiyallahu ‘anhu. Hal itu bisa terjadi karena ilham dan disampaikannya suara
beliau—dan ini adalah pendapat Ibnu Qayyim—atau karena *kasyaf nafsani* dan
disampaikannya suara beliau—sebagaimana pendapat Syaikh Al-Albani yang akan
datang.
Dalam kedua kondisi tersebut, hal itu merupakan karamah baginya dan itu
tidak diragukan.
KAPAN
MANUSIA DIPERBOLEHKAN MEMPERALAT JIN ?
Allah SWT berfirman tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dan jin :
{ قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي
مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (35)
فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ (36)
وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ (37) وَآَخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي
الْأَصْفَادِ }.
“ Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun
sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi’. Kemudian Kami tundukkan
kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang
dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan , semua
ahli bangunan dan penyelam, dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu “. [Q.S. al-Shad: 35-38]
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa jin dapat diperalat oleh manusia .
Karena dalam ayat-ayat tsb Allah SWT menundukkan para jin dan setan kepada
Sulaiman’alaihis salam sehingga mereka semua tunduk patuh kepada perintah-nya .
Namun apakah hanya Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja yang di
perbolehkan memperalat dan memanfaatkannya ?
Jawabannya terdapat dalam sebuah hadits yang di riwayatkan dari
AbuHurairah radhiyallahu ‘anhu : bahwa Nabi ﷺ bersabda :
" إنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ
تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ - أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا - لِيَقْطَعَ عَلَيَّ
الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى
سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ
كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: ﴿قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ
لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي﴾ "، قَالَ رَوْحٌ : " فَرَدَّهُ
خَاسِئًا".
“Sesungguhnya Ifrit dari bangsa jin semalam
mendatangiku dengan tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi
mengucapkan kalimat yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah
menjadikan aku dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu
tiang masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku
teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku, ampunilah aku
dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak pantas didapatkan
oleh seorang pun setelahku ”. Rauh (perawi hadits ini) berkata: “Nabi pun mengusirnya dengan hina. (
HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 )
Dalam riwayat lain Rosulullah ﷺ bersabda :
إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيْسَ،
جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي. فَقُلْتُ: أَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْكَ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ
التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ،
وَاللهِ! لَوْلاَ دَعْوَةُ أَخِيْنَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوْثَقًا يَلْعَبُ
بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
“Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang
dengan bola api yang hendak dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku
berlindung kepada Allah darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku
melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau
dapatkan”, tiga kali. Lalu aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan
karena doa saudara kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan
terikat hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.” (HR. Muslim no. 1211)
Dari dua hadits di atas, dapat kita pahami bahwa Nabi ﷺ mengurungkan maksud beliau untuk menangkap setan yang menganggu
dan ingin mencelakakan beliau ketika shalat, dengan alasan beliau teringat
dengan doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.
Namun Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fataawaa
11/307 memperinci permasalahan ini, beliau berkata :
“Dan yang maksud di sini bahwa hubungan antara jin dan manusia terdapat
beberapa hal:
Pertama : Barang siapa orangnya telah menyuruh jin untuk melakukan
sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya , maka dia termasuk orang
yang paling utama dalam wali-wali Allah .
Kedua : Barang siapa yang memperalat Jin dalam
perkara-perkara mubaah baginya , maka dia seperti orang yang memperalat sesama manusia dalam perkara
itu .
Ketiga : Barang siapa yang menggunakan jin-jin itu untuk urusan yang di
larang oleh Allah dan Rasul-nya , seperti kesyirikan , membunuh orang yang
maksum ( tidak bersalah ) atau
menganiaya di bawah pembunuhan , maka jika dia minta pertolongan pada mereka
untuk perbuatan kekufuran , maka dia itu kafir . Dan jika untuk perbuatan
maksiat , maka dia adalah pelaku maksiat , bisa jadi dia itu seorang fasiq ,
atau pendosa tapi bukan fasiq. (Diringkas – pen)
Dan dalam kitab al-Majmu’ 62/19 Syeikh Taqiyuddin berkata :
“ Dan adapun bertanya kepada Jin atau bertanya kepada orang yang bertanya
pada mereka (para jin) : maka jika pertanyaan itu dalam bentuk kepercayaan
kepada mereka dalam semua informasinya , dan juga dalam bentuk pengagungan
terhadap jin yang di tanya , maka itu haram . Dan jika pertanyaan itu hanya
sebatas untuk menguji keadaannya , dan menjajaki perkara tsb , namun dia
sendiri punya kemampuan untuk membedakan antara kejujurannya dan kedustaanya ,
maka yang demikian itu boleh “ .
Lalu beliau menyebutkan dalil-dalilnya. Kemudian beliau berkata lagi :
“ Dan begitu juga jika seseorang itu mendengar apa-apa yang di katakan
dan dikabarkan oleh para jin, (maka sikapnya harus) sama seperti halnya umat
Islam mendengar apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dan tukang
maksiat , ( yaitu ) hanya sekedar untuk mengetahui apa yang ada di sisi mereka
, lalu mereka menjadikannya hanya sebagai ibroh / pelajaran . Dan (begitu juga
) sama halnya seperti mendengar informasi dari orang fasiq , maka harus
tabayyun (diperjelas dan tatsabbut / teliti), maka tidak boleh menetapkan kebenaran
dan kebohongannya kecuali harus ada bayyinah (bukti) “.
Pendapat syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ini dijadikan pegangan oleh
Syeikh Ibnu Utsaimin .
-----
PEMBAHASAN KETIGA :
Adapun yang terjadi pada kalangan sufi, maka itu bukan termasuk
penyingkapan yang berasal dari Allah (bukan al-Kasyaf ar-Rahmani), melainkan
bisa berasal dari jiwa manusia sendiri (al-Kasyaf an-Nafsani) - yang juga bisa
terjadi pada orang-orang kafir- atau berasal dari setan, dan inilah yang lebih
sering terjadi.
Penyingkapan dari Allah hanya terjadi pada wali-wali Allah yang
menegakkan dan mengagungkan syariat. Telah diketahui bahwa para sufi tidak
seperti itu. Apa yang terjadi pada Umar, jika boleh disebut sebagai
penyingkapan, maka itu termasuk penyingkapan dari Allah (al-Kasyaf ar-Rahmani).
[Baca : Islamqa Pertanyaan: no. 12778]
Syaikh Al-Albani berkata tentang peristiwa Umar bin Khattab:
وَمِمَّا لَا شَكَّ فِيهِ أَنَّ النِّدَاءَ
الْمَذْكُورَ إِنَّمَا كَانَ إِلْهَامًا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لِعُمَرَ، وَلَيْسَ
ذَلِكَ بِغَرِيبٍ عَنْهُ، فَإِنَّهُ "مُحَدَّثٌ" كَمَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِيهِ أَنَّ عُمَرَ كُشِفَ لَهُ
حَالُ الْجَيْشِ، وَأَنَّهُ رَآهُمْ رَأْيَ الْعَيْنِ، فَاسْتِدْلَالُ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَةِ
بِذَلِكَ عَلَى مَا يَزْعُمُونَهُ مِنَ الْكَشْفِ لِلْأَوْلِيَاءِ، وَعَلَى إِمْكَانِ
اطِّلَاعِهِمْ عَلَى مَا فِي الْقُلُوبِ: مِنْ أَبْطَلِ الْبَاطِلِ، كَيْفَ لَا وَذَلِكَ
مِنْ صِفَاتِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الْمُنْفَرِدِ بِعِلْمِ الْغَيْبِ وَالِاطِّلَاعِ
عَلَى مَا فِي الصُّدُورِ.
وَلَيْتَ شِعْرِي كَيْفَ يَزْعُمُ هَؤُلَاءِ
ذَلِكَ الزَّعْمَ الْبَاطِلَ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ؟
فَهَلْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ أُولَئِكَ الْأَوْلِيَاءَ رُسُلُ اللَّهِ حَتَّى يَصِحَّ
أَنْ يُقَالَ إِنَّهُمْ يَطَّلِعُونَ عَلَى الْغَيْبِ بِاطِّلَاعِ اللَّهِ إِيَّاهُمْ؟
سُبْحَانَكَ، هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ...
فَالْقِصَّةُ صَحِيحَةٌ ثَابِتَةٌ، وَهِيَ
كَرَامَةٌ أَكْرَمَ اللَّهُ بِهَا عُمَرَ، حَيْثُ أَنْقَذَ بِهِ جَيْشَ الْمُسْلِمِينَ
مِنَ الْأَسْرِ أَوِ الْفَتْكِ بِهِ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِيهَا مَا زَعَمَهُ الْمُتَصَوِّفَةُ
مِنَ الاطِّلَاعِ عَلَى الْغَيْبِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الإِلْهَامِ (فِي عُرْفِ
الشَّرْعِ) أَوِ (التَّخَاطُرِ) فِي عُرْفِ الْعَصْرِ الْحَاضِرِ، الَّذِي لَيْسَ مَعْصُومًا،
فَقَدْ يُصِيبُ كَمَا فِي هَذِهِ الْحَادِثَةِ، وَقَدْ يُخْطِئُ كَمَا هُوَ الْغَالِبُ
عَلَى الْبَشَرِ، وَلِذَلِكَ كَانَ لَا بُدَّ لِكُلِّ وَلِيٍّ مِنَ التَّقَيُّدِ بِالشَّرْعِ
فِي كُلِّ مَا يَصْدُرُ مِنْهُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ، خَشْيَةَ الْوُقُوعِ فِي الْمُخَالَفَةِ،
فَيَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنِ الْوِلَايَةِ الَّتِي وَصَفَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِوَصْفٍ
جَامِعٍ شَامِلٍ: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ، الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ.
وَلَقَدْ أَحْسَنَ مَنْ قَالَ:
إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيرُ
* وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيرُ
وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُودِ الشَّرْعِ
* فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ وَبِدْعِيٌّ.
“Tidak diragukan bahwa seruan yang disebutkan itu adalah ilham dari
Allah kepada Umar. Dan hal itu tidak aneh karena Umar adalah orang yang
mendapatkan ilham, sebagaimana telah ditetapkan dari Nabi. Tetapi, tidak ada
dalam peristiwa tersebut bahwa Umar melihat keadaan pasukan secara nyata dengan
matanya. Maka menjadikan kisah ini sebagai dalil oleh sebagian sufi untuk
mendukung klaim mereka tentang kemampuan wali melihat hal gaib dan isi hati
adalah kebatilan yang paling besar. Bagaimana tidak, karena hal itu merupakan
sifat Allah semata, yang Mahamengetahui perkara gaib dan apa yang tersembunyi
dalam dada.
Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa mengklaim hal seperti itu,
sementara Allah telah berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang diberi
pengetahuan tentang perkara gaib, kecuali rasul yang diridhai-Nya. Apakah
mereka meyakini bahwa para wali itu adalah para rasul Allah sehingga bisa
dikatakan bahwa mereka diberi pengetahuan tentang hal gaib oleh Allah? Mahasuci
Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang besar.
Kisah tersebut memang benar dan sahih, dan itu adalah karamah
(kemuliaan luar biasa) yang Allah berikan kepada Umar, di mana melalui
peristiwa itu Allah menyelamatkan pasukan kaum Muslimin dari ditawan atau
dihancurkan. Namun, di dalamnya tidak ada bukti seperti yang diklaim oleh para
sufi bahwa para wali dapat mengetahui hal gaib, melainkan peristiwa tersebut
adalah bentuk ilham (dalam istilah syariat) atau telepati (dalam istilah masa
kini). Ilham seperti ini tidaklah maksum (terjaga dari kesalahan). Bisa saja
benar sebagaimana dalam peristiwa ini, dan bisa saja salah, sebagaimana umumnya
manusia.
Oleh karena itu, setiap wali wajib untuk selalu terikat dengan syariat
dalam semua ucapan dan perbuatannya, agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan.
Jika tidak, maka ia akan keluar dari sifat kewalian yang dijelaskan oleh Allah
dalam Al-Qur’an, bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan
bertakwa.
Sungguh bagus ucapan berikut ini:
إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيرُ
* وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيرُ
“Jika kamu melihat seseorang bisa terbang ***
dan berjalan di atas air laut,
وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُودِ الشَّرْعِ
* فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ وَبِدْعِيٌّ.
namun dia tidak berpegang pada batasan
syariat, *** maka sesungguhnya dia
adalah orang yang tertipu dan pelaku bid’ah.”
(Selesai dari As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 3, halaman
102–104)
Wallahu a’lam
===***===
IBNU BAJAH DAN KRITIK RASIONAL TERHADAP FENOMENA KASYAF KAUM SUFI
Ibnu Bajah adalah salah satu filsuf awal yang secara serius dan sistematis mencoba
menelaah fenomena *kasyaf* dalam dunia tasawuf dari sudut pandang filsafat.
Tentu saja, yang dimaksud dengan "ilmiah" pada masa itu adalah sejauh
mana suatu pandangan selaras dengan kerangka pemikiran filsafat Aristoteles,
khususnya dalam cabang ilmu alam (ilmu thobi’i).
Dalam risalahnya *Ittisāl al-‘Aql bi al-Insān*, Ibnu Bajah menolak pandangan kaum sufi yang menganggap bahwa
kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui jalan spiritual seperti
*kasyaf* atau *musyahadah*. Ia menganalisis fenomena ini menggunakan pendekatan
psikologi Aristotelian yang dikenal pada zamannya.
Menurut Ibnu Bajah, pengalaman spiritual yang dialami para sufi
sebenarnya hanyalah hasil dari kerja tiga daya jiwa manusia: daya indrawi (*ḥiss musytarak*), daya imajinasi (*al-mukhayyilah*), dan daya memori
(*dhākirah*). Ketika ketiga daya ini bekerja secara bersamaan dan terfokus,
muncullah dalam benak seseorang gambaran kognitif (yakni bayangan atau kesan
tentang suatu objek) yang sangat kuat, sehingga tampak seolah-olah nyata.
Inilah yang oleh para sufi dianggap sebagai penyingkapan rahasia Ilahi (*asrār al-ḥaqq*), padahal sebenarnya hanyalah hasil
konstruksi mental belaka.
Ibnu Bajah menyebut bahwa sufi seperti al-Ghazali menganggap pengalaman
ini sebagai kebahagiaan tertinggi. Mereka percaya bahwa kebahagiaan semacam itu
tidak dapat diraih lewat akal dan pembelajaran rasional, tetapi hanya lewat
*riyāḍhah* dan penyucian jiwa melalui zikir dan kesadaran batin yang
mendalam. Namun, bagi Ibnu Bajah, ini hanyalah khayalan kuat yang dikira
sebagai kenyataan.
Dalam penjelasan yang lebih tegas, Ibnu Bajah menyatakan bahwa jika
klaim kaum sufi tentang kasyaf benar adanya dan merupakan satu-satunya jalan
mencapai kebenaran, maka peradaban dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah ada.
Sebab dalam konsep itu, akal dianggap tidak lagi berguna, bahkan tidak memiliki
fungsi sama sekali. Lebih jauh, pandangan semacam ini bisa meruntuhkan dasar-dasar
ilmu pengetahuan, baik ilmu logika, fisika, metafisika, maupun ilmu-ilmu lain
yang berbasis pada penalaran dan metode deduktif-induktif.
Ibnu Bajah dalam *Risālat al-Wadā‘* secara
terbuka mengkritik al-Ghazali yang mengaku mengalami *mukāsyafah*. Ia
menyebut bahwa pengalaman seperti yang ditulis al-Ghazali dalam *al-Munqidz min
al-Ḍalāl* hanyalah hasil imajinasi yang dianggap
sebagai realitas. Bagi Ibnu Bajah, ini adalah kekeliruan dalam memahami proses
berpikir dan kerja jiwa manusia.
Dengan demikian, Ibnu Bajah melihat tasawuf sebagai praktik yang
menyimpang dari sifat dasar manusia yang rasional dan sosial. Kritiknya
terhadap tasawuf tidak muncul karena permusuhan pribadi, melainkan sebagai
bentuk perbedaan cara pandang epistemologis—apa yang oleh Michel Foucault
disebut sebagai *epistemological rupture* (keterputusan cara memperoleh
pengetahuan). Tasawuf mengandalkan olah rasa, sementara filsafat menekankan
akal sebagai alat utama dalam mencapai kebenaran. Dalam kerangka tasawuf, akal
justru dianggap sebagai penghalang menuju Tuhan.
Namun, perlu diakui bahwa tidak semua hal dalam kehidupan manusia bisa
dijelaskan sepenuhnya oleh akal. Aspek-aspek spiritual yang mendalam memang
sering melampaui batas-batas logika. Meskipun begitu, usaha Ibnu Bajah dalam
menjelaskan fenomena *kasyaf* secara rasional dan sistematis patut diapresiasi
sebagai langkah ilmiah (dalam konteks zaman itu) untuk memahami pengalaman
spiritual manusia. Wallahu a‘lam.
===***===
ADANYA ISTIDRAJ PADA SEBAGIAN KASYAF ATAU MUKASYAFAH
****
MAKNA ISTDRAJ
Diantara sunnah Allah Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah: menguji
mereka dengan istidraj kenikmatan [الاسْتِدْرَاجُ], peringatan kepada mereka
dengan ancaman, kemudian menimpakan kepada mereka dengan adzab kepedihan.
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
مِنْ أَعْظَمِ الْعَلَامَاتِ الَّتِي
يَخَشَى عَلَى صَاحِبِهَا مِنْ اسْتِدْرَاجِ اللَّهِ لَهُ، وَمُكْرَهٌ بِهِ: أَنْ يُعْطِيَهُ
الرِّزْقَ، عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ بِهَا، وَإِعْرَاضِهِ عَنْهُ.
“Salah satu tanda terbesar seseorang dikhawatirkan bahwa Allah
menimpakan istidraj padanya dan orang tersebut tidak mampu lepas darinya adalah
bahwa Allah memberinya rezeki ketika orang tersebut tidak bermaksiat pada-Nya
dan berpaling dari-Nya”. [Islamqa : 198964].
Allah Ta'ala menunjukkan sunnah ilahi ini dalam firman-Nya:
﴿ وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ * وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ
كَيْدِيّ مَتِينٌ ﴾
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menimpakan kepada mereka istidraj [kenikmatan dan keberhasilan yang menarik
mereka dengan perlahan-lahan ke arah kebinasaan], dari arah yang tidak mereka
sadari. Dan Aku memberi tangguh [waktu panjang] kepada mereka, sesungguhnya
tipu daya-Ku amat teguh' (Surah Al-A'raf: 182-183).
Dan dalam ayat lain:
﴿ فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا
الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ * وَأُمْلِي لَهُمْ
إِنَّ كَيْدِيّ مَتِينٌ ﴾
Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan
perkataan ini (Al-Qur'an). Kelak akan Kami timpakan istidraj [kenikmatan yang
menarik mereka dengan perlahan-lahan ke arah kebinasaan], dari arah yang tidak
mereka sadari. Dan Aku memberi tangguh [waktu panjang] kepada mereka,
sesungguhnya tipu daya-Ku amat teguh'. (QS. Al-Qalam: 44)
Syeikh al-Munajjid berkata :
وَالْعَبْدُ يَنْبَغِي أَنْ يَغْلِبَ
جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ، عَلَى مَا أَعْطَاهُ مِنْ نِعَمٍ، لَكِنْ مَعَ
الِاعْتِنَاءِ بِشُكْرِهِ فِيهَا، وَالْجَمْعِ بَيْنَ ذَلِكَ وَالْخَوْفِ مِنْ مَكْرِ
اللَّهِ، فَيَجْمَعُ فِي سَيْرِهِ إِلَى اللَّهِ بَيْنَ الرُّهْبَةِ وَالرَّغْبَةِ،
وَالرَّجَاءِ وَالْخَوْفِ، وَالْمَحَبَّةِ وَالْخَشْيَةِ. .
Seorang hamba seharusnya senantiasa mendominasi prasangka baik kepada
Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Namun tetap berusaha untuk selalu
bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut.
Seorang hamba juga harus memadukan antara prasangka baik kepada Allah
dan rasa takut akan tipu daya Allah [istidraj], sehingga dalam perjalanan
hidupnya menuju Allah, ia menggabungkan antara rasa takut dari makar Allah,
antara harapan dan ketakutan, antara cinta dan kekhawatiran”. [Islamqa no.
198964].
Al-Marrudzi berkata:
"قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي
الإمامَ أَحْمَدَ -: مَا أَكْثَرَ الدَّاعِي لَكَ. قَالَ: 'أَخَافُ أَنْ يَكُونَ هَذَا
اسْتِدْرَاجًا، بِأَيِّ شَيْءٍ هَذَا؟'."
"Saya berkata kepada Abu Abdullah - yaitu Imam Ahmad -:
"Betapa banyaknya orang yang berdoa untukmu." Dia berkata: "Saya
khawatir ini adalah istidraj (tipu daya Allah), dengan apa ini?" [Selesai kutipan
dari "Tarikh al-Islam" (18/76)].
****
ISTIDRAJ DALAM KASYAF ATAU MUKASYAFAH
Terkadang Allah ﷻ mengizinkan sebagian manusia
untuk mengetahui sesuatu dari hal-hal yang tersembunyi bagi selainnya.
Sebab-sebab dari hal ini dapat diringkas menjadi dua jenis:
Pertama : Sebab-sebab yang syar'i dari Allah
Kedua : Sebab-sebab yang berasal dari setan
=====
PERTAMA : SEBAB-SEBAB SYAR’I :
Yaitu meliputi:
KE 1. Kitab-kitab yang diturunkan dan perkataan para nabi. Sebagian
besar dari kitab-kitab itu telah mengalami perubahan dan penggantian, dan tidak
ada yang tersisa dalam keadaan selamat dari hal itu kecuali Al-Qur'an yang
mulia dan sunnah Nabi yang sahih.
KE 2. Ilham dan hadits qalbi, yaitu suatu hal yang dilemparkan ke dalam
hati seseorang, atau suara yang didengarnya yang menyampaikan sesuatu
kepadanya.
KE 3. Mimpi yang berasal dari Allah.
====
KEDUA : SEBAB-SEBAB SYAITHAN.
Yaitu meliputi:
KE 1. Jiwa-jiwa jahat yang meminta bantuan kepada jin dan setan,
seperti para penyihir, dukun, dan peramal.
KE 2. Mimpi-mimpi dari setan.
KE 3. Bisikan dan pembicaraan setan saat seseorang dalam keadaan sadar.
KE 4 : Melakukan ibadah, dzikir dan ritual yang nampak syar’i , akan
tetapi dengan tujuan untuk mendapatkan mukasyafah ghaib.
Hal ini karena setan terkadang mencuri dengar sebagian dari apa yang
dibicarakan oleh para malaikat di langit mengenai sesuatu yang Allah ﷻ perintahkan untuk terjadi. Lalu setan menyampaikannya kepada
walinya dari kalangan manusia. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah ﷻ yang dikisahkan melalui lisan jin:
﴿وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ
لِلسَّمْعِ ۖ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا﴾
*"Dan sesungguhnya kami dahulu duduk di beberapa tempat di langit
untuk mendengarkan, tetapi sekarang siapa yang mencoba mendengarkan akan
mendapati panah api yang mengintai."* (QS. Al-Jin: 9).
Terkadang setan terkena lemparan bintang sebelum ia menyampaikannya,
dan terkadang ia berhasil menyampaikannya terlebih dahulu sebelum terkena.
Semua hal ini bisa disebut dengan istilah *"kasyaf"*
(penyingkapan tabir ghaib), karena makna kasyaf menurut sufi adalah:
"الِٱطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ ٱلْحِجَابِ،
مِنَ ٱلْمَعَانِي ٱلْغَيْبِيَّةِ، وَٱلْأُمُورِ ٱلْخَفِيَّةِ، وُجُودًا، أَوْ شُهُودًا"
إِنْتَهَى
*"Melihat sesuatu yang berada di balik tabir, berupa makna-makna
gaib dan perkara-perkara tersembunyi, baik dalam bentuk wujud nyata ataupun
penyaksian langsung."* (Selesai dikutip dari *Mausu‘ah
al-‘Aqadiyyah*, situs *ad-durar as-saniyyah*, 1/114)
Maka siapa pun yang mengetahui hal gaib melalui sebab-sebab yang
syar’i, maka tidak ada masalah atasnya, minimal ia tidak berdosa, bahkan bisa
jadi ia diberi pahala dan dimuliakan.
Adapun orang yang mengetahui hal gaib melalui jalan-jalan kesesatan dan
cara-cara setan, maka bisa jadi ia berada dalam bahaya, berdosa, atau bahkan
terjerumus dalam kekufuran.
Dan “kasyaf” sufi dalam nuskhoh (salinan) yang terakhir yang dianut
oleh banyak kalangan sufi belakangan ini:
"يَعْنِي عِنْدَهُمْ رَفْعَ الْحُجُبِ أَمَامَ
قَلْبِ الصُّوفِيِّ، وَبَصَرِهِ، لِيَعْلَمَ مَا فِي السَّمَاوَاتِ جَمِيعًا، وَمَا
فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا" إِنْتَهَى
“Yakni menurut mereka adalah tersingkapnya tabir di hadapan hati dan penglihatan
sufi, sehingga ia mengetahui apa yang ada di seluruh langit dan seluruh bumi.”
[Selesai dikutip dari *al-Fikr ash-Shufi fi Dhau’il Kitab
was-Sunnah* karya Abdurrahman Abdul Khaliq (1/146)].
Hal seperti ini tidak boleh diyakini oleh seorang muslim, karena
maknanya adalah bahwa seorang sufi dapat mengetahui hal gaib mutlak secara
sempurna, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi darinya, dan ini adalah
kekhususan milik Allah Ta’ala yang tidak dimiliki oleh siapa pun dari makhluk.
Disebutkan dalam *al-Mawsu‘ah al-Muyassarah lil Adyan wal Madzahib al-Mu‘ashirah*
(1/261-262):
"وَيَعْتَمِدُ الصُّوفِيَّةُ الْكَشْفَ مَصْدَرًا
وَثِيقًا لِلْعُلُومِ وَالْمَعَارِفِ، بَلْ تَحْقِيقَ غَايَةِ عِبَادَتِهِمْ، وَيَدْخُلُ
تَحْتَ الْكَشْفِ الصُّوفِيِّ جُمْلَةٌ مِنَ الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْكَوْنِيَّةِ،
مِنْهَا:
١ ـ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
وَيَقْصِدُونَ بِهِ الْأَخْذَ عَنْهُ يَقَظَةً أَوْ مَنَامًا.
٢ ـ الْخَضِرُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ:
قَدْ كَثُرَتْ حِكَايَاتُهُمْ عَنْ لِقَائِهِ، وَالْأَخْذِ عَنْهُ أَحْكَامًا شَرْعِيَّةً
وَعُلُومًا دِينِيَّةً، وَكَذَلِكَ الْأَوْرَادُ، وَالْأَذْكَارُ، وَالْمَنَاقِبُ.
٣ ـ الْإِلْهَامُ: سَوَاءٌ كَانَ مِنَ اللهِ تَعَالَى
مُبَاشَرَةً...
٤ ـ الْفِرَاسَةُ: الَّتِي تَخْتَصُّ بِمَعْرِفَةِ
خَوَاطِرِ النُّفُوسِ وَأَحَادِيثِهَا.
٥ ـ الْهَوَاتِفُ: مِنْ سَمَاعِ الْخِطَابِ مِنَ
اللهِ تَعَالَى، أَوْ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، أَوِ الْجِنِّ الصَّالِحِ، أَوْ مِنْ أَحَدِ
الْأَوْلِيَاءِ، أَوِ الْخَضِرِ، أَوْ إِبْلِيسَ، سَوَاءٌ كَانَ مَنَامًا أَوْ يَقَظَةً
أَوْ فِي حَالَةٍ بَيْنَهُمَا بِوَاسِطَةِ الْأُذُنِ.
٦ ـ الْإِسْرَاءَاتُ وَالْمَعَارِيجُ: وَيَقْصِدُونَ
بِهَا عُرُوجَ رُوحِ الْوَلِيِّ إِلَى الْعَالَمِ الْعُلْوِيِّ، وَجَوْلَاتِهَا هُنَاكَ،
وَالْإِتْيَانِ مِنْهَا بِشَتَّى الْعُلُومِ وَالْأَسْرَارِ.
٧ ـ الْكَشْفُ الْحِسِّيُّ: بِالْكَشْفِ عَنْ
حَقَائِقِ الْوُجُودِ بِارْتِفَاعِ الْحُجُبِ الْحِسِّيَّةِ عَنْ عَيْنِ الْقَلْبِ
وَعَيْنِ الْبَصَرِ.
٨ ـ الرُّؤَى وَالْمَنَامَاتُ: وَتُعْتَبَرُ مِنْ
أَكْثَرِ الْمَصَادِرِ اعْتِمَادًا عَلَيْهَا، حَيْثُ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ يَتَلَقَّوْنَ
فِيهَا عَنْ اللهِ تَعَالَى، أَوْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
أَوْ عَنْ أَحَدِ شُيُوخِهِمْ لِمَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ." إِنْتَهَى.
“Kaum sufi menjadikan *kasyaf* sebagai sumber ilmu dan pengetahuan yang
terpercaya, bahkan sebagai tujuan utama ibadah mereka. Kasyaf sufi mencakup
sejumlah hal syar'i dan kosmis [Kauniyah], di antaranya:
Ke 1. Nabi ﷺ, yaitu mereka mengklaim
mengambil langsung darinya baik dalam keadaan sadar atau mimpi.
Ke 2. Nabi Al-Khidhir ‘alaihissalam, banyak kisah mereka tentang
pertemuan dengannya dan mengambil darinya hukum-hukum syar’i, ilmu-ilmu agama,
wirid, zikir, dan keutamaan-keutamaan.
Ke 3. Ilham, baik secara langsung dari Allah Ta’ala...
Ke 4. Firāsah, yakni kemampuan mengenali
bisikan dan lintasan jiwa.
Ke 5. Suara-suara gaib, berupa mendengar ucapan dari Allah Ta’ala, atau
dari malaikat, jin yang saleh, salah seorang wali, al-Khidhir, atau bahkan dari
Iblis, baik dalam keadaan tidur, sadar, atau di antara keduanya melalui
telinga.
Ke 6. Perjalanan malam dan naik ke langit, yang mereka maksudkan dengan
naiknya ruh wali ke alam atas, berkeliling di sana, lalu kembali dengan
berbagai ilmu dan rahasia.
Ke 7. Kasyaf indrawi, berupa tersingkapnya hakikat-hakikat wujud dengan
hilangnya tabir-tabir indrawi dari mata hati dan mata kepala.
Ke 8. Mimpi dan penglihatan dalam tidur, yang dianggap sebagai sumber
utama, karena mereka mengklaim bahwa di dalamnya mereka menerima langsung dari
Allah Ta’ala, atau dari Nabi ﷺ, atau dari salah satu guru
mereka, untuk mengetahui hukum-hukum syar’i.” [Selesai].
Dan *kasyaf* sufi ini, sebagaimana tampak jelas, mengandung unsur kebenaran
dan unsur kebatilan. Maka sesuatu yang bercampur antara kebenaran dan kebatilan
tidak bisa diterima sampai dapat dibedakan, sehingga yang benar diterima dan
yang batil ditolak.
Para sufi terdahulu tidak menerima dari *kasyaf* ilmiah atau rasa hati
dan pengalaman batiniah (spiritual), kecuali yang sesuai dengan Al-Qur’an dan
sunnah.
Abu Sulaiman ad-Darani berkata:
"رُبَّمَا يَقَعُ فِي قَلْبِي النُّكْتَةُ
مِنْ نُكَتِ الْقَوْمِ أَيَّامًا، فَلَا أَقْبَلُ مِنْهُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ:
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ" إِنْتَهَى.
“Terkadang suatu bisikan hati dari kalangan kaum (sufi) masuk ke dalam hatiku
selama beberapa hari, namun aku tidak menerimanya kecuali setelah ada dua saksi
yang adil: Al-Kitab dan As-Sunnah.” [Selesai dari *Thabaqat
ash-Shufiyyah* karya as-Sulami (1/76)].
Kebenaran dan kebatilan dari *kasyaf* dapat
dibedakan dengan dua hal:
Pertama: keadaan orang yang mengklaim “kasyaf”. Jika
ia adalah orang saleh – dan begitu juga wanita salehah – maka ia termasuk orang
yang layak mendapat *kasyaf* dari Allah. Sedangkan orang yang sesat, maka layak
untuk didatangi oleh setan.
Allah Ta'ala berfirman:
﴿هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ.
تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ﴾
*"Maukah Aku beritakan kepada kalian kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak berdosa. Mereka
menyampaikan apa yang mereka dengar, padahal kebanyakan mereka itu adalah
pendusta."* (QS. Asy-Syu‘ara: 221–223)
Kedua: isi *kasyaf* itu, apakah bertentangan
dengan Al-Qur’an dan sunnah?
Maka jika bertentangan, wajib ditolak. Jika sesuai, diterima. Dan jika
tidak bertentangan tapi juga tidak sesuai secara eksplisit, maka itu tergolong
kabar duniawi yang benar dan ilmu-ilmu nyata yang tidak menjadikan pelakunya
otomatis menjadi wali Allah atau musuh-Nya.
Contoh kasyaf yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah :
Contoh Pertama :
Seorang sufi berkata : “Allah telah memperlihatkan padaku, si fulan ini
ahli syurga tanpa hisab” atau sebaliknya “ahli neraka”, maka ini tidak dapat
diterima dan harus ditolak.
Ini termasuk jenis *kasyaf* yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
sunnah, maka wajib ditolak, tidak diterima, dan kami pastikan bahwa itu bukan
dari Allah Ta’ala.
Imam
at-Thahawi mengatakan,
وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ
جَنَّة وَلَا نَارًا
“ Kami tidak
boleh menetapakan seorangpun dari mereka ahli surga atau ahli neraka”.
Ibnu Abil Izz menjelaskan tentang perkataan
Imam at-Thahawi ini:
يُرِيدُ: أَنَّا لَا نَقُولُ عَنْ
أَحَدٍ مُعَيَّنٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَة إنه مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة أَوْ مِنْ
أَهْلِ النَّارِ، إِلَّا مَنْ أَخْبَرَ الصَّادِقُ صلى الله عليه وَسَلَّمَ أنه
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة، كَالْعَشَرَة رضي الله عَنْهُمْ
“ Yang beliau maksud, kita tidak boleh meenetapkan seseorang tertentu
dari kalangan ahli kiblat (kaum muslimin) bahwa dia ahli surga atau ahli
neraka. Kecuali orang yang dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwa mereka termasuk ahli surga,
seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga “. (Syarh Aqidah Thahawiyah,
hlm. 248).
Allah SWT melarang seseorang mengklaim orang lain "ahli
neraka" atau sebalik-nya, meskipun yang nampak darinya sangat
membenarkannya. Begitu pula sebaliknya, mengklaim ahli syurga berdasarkan yang
nampak di mata.
Diriwayatkan dari Dhamdham bin Jaus al-Yamami beliau berkata:
“ Aku masuk ke dalam masjid Rasulullah ﷺ, di sana ada seorang lelaki
itu tua yang diinai rambutnya, putih giginya. Bersama-samanya adalah seorang
anak muda yang tampan wajahnya, lalu lelaki tua itu berkata:
يَا يَمَامِيُّ تَعَالَ ، لاَ
تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ أَبَدًا: لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ ، وَاللَّهِ لاَ
يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا
Wahai Yamami, mari ke sini. Janganlah engkau berkata selama-lamanya
kepada seseorang: Allah tidak akan mengampuni engkau, Allah tidak akan
memasukkan engkau ke dalam syurga selamanya.
Aku bertanya: Siapakah engkau, semoga Allah merahmati engkau?
Lelaki tua itu menjawab: Aku adalah Abu Hurairah.
Aku pun berkata: Sesungguhnya perkataan seumpama ini biasa seseorang
sebutkan kepada sebahagian keluarganya atau pembantunya apabila dia marah.
Abu Hurairah pun berkata: Janganlah engkau menyebutkan perkataan
seperti itu. Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي
إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ
فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى
الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ
أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا فَقَالَ
وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ
فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا
الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا
وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ "
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
"Ada dua orang laki-laki dari bani Isra'il yang berbeda
arah; salah seorang dari mereka adalah orang yang tekun beribadah (Ahli Ibadah)
sementara yang lainnya orang yang hobbi berbuat dosa (pendosa). Orang yang ahli
ibadah itu selalu mengawasi pendosa itu berbuat dosa lalu ia berkata,
"Berhentilah."
Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati pendosa itu berbuat dosa, ia
berkata lagi, "Berhentilah."
Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama
Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!"
Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan
mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga."
Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di
sisi Rabb semesta alam.
Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih
tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam
kekuasaan-Ku?"
Allah SWT lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah
kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah:
"Pergilah kamu ke dalam neraka."
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
"Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah
mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya."
(HR. Abu Daud 4318 Ibnu Hibban 5804 Abdullah bin al-Mubaarok dlm al-Musnad No. 36. Di shahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syeikh Muqbil al-wadi’i)
Contoh Kedua :
Seorang sufi berkata : “Allah telah memperlihatkan padaku, si fulan ini
adalah wali kekasih Allah”.
Allah SWT
berfirman :
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka
janganlah kalian mengatakan bahwa diri kalian suci. Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa. ( QS. An-Najm : 32 )
Oleh karena
itu makruh hukumnnya memberi nama yang menunjukkan kesucian dirinya. Apalagi
memberi gelar-gelar yang mengandung mengklaiman dan memastikan sebagai ahli
syurga dan kekasih Allah SWT, seperti waliyullah, ahli makrifat, ahli hakikat
... dan seterusnya .
Dari
Muhammad bin ‘Amru bin ‘Atha dia berkata, “Aku menamai anak perempuanku
‘Barrah’ (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku,
‘Rasulullah ﷺ telah melarang memberi
nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
"لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ ".
“Janganlah
kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu siapa saja
sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.”
Para sahabat
bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau
menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)
Imam Ath
Thobari mengatakan :
"Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek
maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian
dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya
nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan
bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat.
Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama dengan nama yang
langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabi ﷺ pernah mengganti
beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau
melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk maksud
ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik)."
[ Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul
Marifah, 1379.]
Dalam hadits Abu Bakroh di ceritakan : ada seseorang memuji-muji
seseorang lainnya di sisi Rosulullah ﷺ , maka beliau berkata
padanya :
«وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قَطَعْتَ
عُنُقَ صَاحِبِكَ» مِرَارًا ، ثُمَّ قَالَ : «مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ
، لاَمَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلاَنًا وَاللهُ حَسِيبُهُ وَلاَ أُزَكِّي عَلَى
اللهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذلِكَ مِنْه».
“Celakalah kamu, kamu telah memotong leher sahabatmu , kamu telah
memotong leher sahabatmu !”. (beliau mengatakannya berulang-berulang)
Kemudian beliau berkata : " Jika ada di antara kalian mau memuji
saudaranya yang tidak boleh tidak , maka katakanlah : Aku kira si Fulan , dan
hanya Allah lah yang membuat perkiraan atau perhitungan terhadap segala sesuatu
, dan kepada Allah aku tidak berhak menyatakan bahwa seseorang itu bersih dan
terpuji , ( akan tetapi ) aku kira seseorang itu begitu dan begitu , meskipun
dia tahu persis orang itu seperti yang dia kira ". ( HR. Bukhory no. 2662,
6061 dan Muslim no. 3000 ).
Akan tetapi Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam hal ini memperincinya
dengan mengatakan:
"فَمَنْ ثَبَتَتْ وِلَايَتُهُ بِالنَّصِّ
، وَأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، كَالْعَشْرَةِ وَغَيْرِهِمْ : فَعَامَّةُ أَهْلِ
السُّنَّةِ يَشْهَدُونَ لَهُ بِمَا شَهِدَ لَهُ بِهِ النَّصُّ .
وَأَمَّا مَنْ شَاعَ لَهُ لِسَانُ صِدْقٍ
فِي الْأُمَّةِ ، بِحَيْثُ اتَّفَقَتْ الْأُمَّةُ عَلَى الثَّنَاءِ عَلَيْهِ : فَهَلْ
يَشْهَدُ لَهُ بِذَلِكَ ؟ هَذَا فِيهِ نِزَاعٌ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ ، وَالْأَشْبَهُ
أَنْ يَشْهَدَ لَهُ بِذَلِكَ . هَذَا فِي الْأَمْرِ الْعَامِّ .
وَأَمَّا " خَوَاصُّ النَّاسِ
" فَقَدْ يَعْلَمُونَ عَوَاقِبَ أَقْوَامٍ بِمَا كَشَفَ اللَّهُ لَهُمْ ، لَكِنَّ
هَذَا لَيْسَ مِمَّنْ يَجِبُ التَّصْدِيقُ الْعَامُّ بِهِ ، فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ
يَظُنُّ بِهِ أَنَّهُ حَصَلَ لَهُ هَذَا الْكَشْفُ يَكُونُ ظَانًّا فِي ذَلِكَ ظَنًّا
لَا يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئًا ، وَأَهْلُ الْمُكَاشَفَاتِ وَالْمُخَاطَبَاتِ يُصِيبُونَ
تَارَةً ؛ وَيُخْطِئُونَ أُخْرَى ؛ كَأَهْلِ النَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ فِي مَوَارِدِ
الِاجْتِهَادِ ؛ وَلِهَذَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ جَمِيعُهُمْ أَنْ يَعْتَصِمُوا بِكِتَابِ
اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَنْ يَزِنُوا
مَوَاجِيدَهُمْ وَمُشَاهَدَتَهُمْ وَآرَاءَهُمْ وَمَعْقُولَاتِهِمْ بِكِتَابِ اللَّهِ
وَسُنَّةِ رَسُولِهِ؛ وَلَا يَكْتَفُوا بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ ؛ فَإِنَّ سَيِّدَ الْمُحَدَّثِينَ
وَالْمُخَاطَبِينَ الْمُلْهَمِينَ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ هُوَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
؛ وَقَدْ كَانَتْ تَقَعُ لَهُ وَقَائِعُ فَيَرُدُّهَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَوْ صِدِّيقُهُ [يعني : أبا بكر الصديق رضي الله عنه]
التَّابِعُ لَهُ ، الْآخِذُ عَنْهُ ، الَّذِي هُوَ أَكْمَلُ مِنْ الْمُحَدَّثِ الَّذِي
يُحَدِّثُهُ قَلْبُهُ عَنْ رَبِّهِ . وَلِهَذَا وَجَبَ عَلَى جَمِيعِ الْخَلْقِ اتِّبَاعُ
الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" انتهى
"Barang siapa yang kewaliannya telah ditetapkan melalui nash
(al-Qur’an atau hadits shahih), dan bahwa ia termasuk ahli surga, seperti
sepuluh sahabat dan selain mereka, maka mayoritas Ahlus Sunnah memberikan
kesaksian untuknya sebagaimana yang disaksikan oleh nash (al-Qur’an atau hadits
shahih).
Adapun orang yang dikenal luas dengan reputasi yang baik di tengah
umat, hingga umat Islam sepakat memujinya, maka apakah boleh disaksikan bahwa
ia termasuk wali? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ahlus
Sunnah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ia boleh disaksikan sebagai wali.
Ini dalam perkara umum.
Adapun orang-orang khusus, maka bisa jadi mereka mengetahui akibat
(akhir) dari sebagian orang melalui apa yang Allah bukakan kepada mereka. Namun
hal ini bukanlah sesuatu yang wajib diimani secara umum, karena banyak orang
yang mengira dirinya mendapatkan *kasyaf* seperti ini padahal hanyalah
persangkaan belaka yang tidak berguna sedikit pun dalam kebenaran.
Orang-orang yang mengalami *mukasyafah* dan *mukhatabah* (komunikasi
batin), terkadang mereka benar dan terkadang mereka salah, sebagaimana halnya
para ahli istinbat dan ijtihad yang menggunakan logika dan penalaran. Oleh
karena itu, wajib atas semuanya untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya ﷺ, serta menimbang pengalaman
batin, penyaksian, pemikiran, dan pemahaman mereka dengan Kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya. Dan tidak cukup hanya mengandalkan perasaan-perasaan itu
saja.
Sesungguhnya pemimpin para *muhaddatsīn* (orang yang
diberi ilham dan ilhamnya benar) di umat ini adalah Umar bin Khattab. Meski
begitu, tetap saja terjadi padanya hal-hal yang dikoreksi oleh Rasulullah ﷺ atau oleh sahabatnya, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu
'anhu, yang merupakan pengikut beliau, orang yang mengambil dari beliau, dan
yang lebih sempurna daripada orang yang hanya mendapatkan ilham dari hatinya
dari Tuhannya.
Karena itulah, wajib bagi seluruh makhluk untuk mengikuti Rasul ﷺ." [Selesai dari *Majmū’ al-Fatāwā* (11/65)].
===***===
ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DOA MUSA AS-SAAMIRY:
Firman Allah SWT tentang Samiri yang
mengaku bahwa dirinya ahli ma'rifat alias bisa melihat ghaib :
﴿ قَالَ
فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ (95) قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ
فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ
لِي نَفْسِي (96) ﴾
Berkata Musa, “Apakah yang mendorongmu
(berbuat demikian) hai Samiri?” Samiri menjawab, 'Aku (bisa) melihat sesuatu
yang mereka tidak (bisa) melihatnya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul
(yakni : jejak kaki kuda malaikat Jibril), lalu aku melemparkannya dan
demikianlah nafsuku membujukku.” (QS. Toha: 95 & 96).
Dan Firman Allah SWT tentang Fir'aun yang
mengaku bahwa dirinya adalah ahli hakikat dan telah sampai pada tingkat
wihdatul wujud yakni menyatu dengan Tuhan Yang Maha Tinggi alias manunggaling
kawula ing gusti atau Lir Kadio Keris Melebu Ing Werongkone .
Sehingga Fir'aun mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Maha Tinggi,
sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah SWT :
﴿ فَقَالَ
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ﴾
"Maka dia [Fir'aun] berkata: "Akulah
tuhan kalian yang paling tinggi". [QS. An-Nazi'at : 24]
Samiri dan Fir'aun sama-sama dari Mesir.
Perkataan
Fira'un Ini mirip dengan perkataan Ibnu ‘Arabi Al-Hatimi Ath-Tha’i (wafat 638
H), Imam Besar faham aqidah Wihdatul Wujud , yang mengatakan :
“Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah
hamba".
Duhai
gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? jika kau
katakan: hamba, maka dia adalah tuhan . Atau kau katakan: tuhan, maka mana
mungkin tuhan diberi tugas?!”.
[
Baca : Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al
Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43)
Dan
Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia
ngelindur:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali
Allah.”
Bahkan
dia memuji-muji Fira’un Ramses II dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas
keimanan, lalu dia mencela Nabi Harun ’alaihis salam yang mengingkari
kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan
dengan nash Al-Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani
adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihi
salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya
maka mereka tidak dikafirkan. [Baca : Fushushul Hikam (hal.187-188
Siapa kah MUSA AS-SAMIRI itu ??? :
Dia bernama Musa bin Zafar , tapi lebih terkenal dengan sebutan
AS-SAAMIRI .
Ibnu Abbas berkata dlm hadits al-Futuun :
“As-Saamiri adalah seorang pria dari kaum yang menyembah sapi ,
tetangga bani Israail, dan dia bukan salah satu dari Bani Israel, lalu dia ikut
numpang pergi bersama rombongan Musa -alaihissalaam- dan Bani Israel ketika
mereka berangkat “.
Ia memiliki ilmu kebatinan dan sihir , sebuah ilmu yang ia dipelajari
sewaktu berada di Mesir. Dia pemeluk agama paganisme yang terdapat di Mesir
Kuno. Sebuah bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah Samiri pernah
membuat patung anak sapi betina terbuat dari emas dengan doa mustajabnya.
Samiri telah membuat berhala itu untuk bani Israel selama Musa pergi
untuk mendapatkan wahyu. Oleh Samiri dimasukkan segumpal tanah, diyakini tanah
itu bekas dilalui tapak kaki kuda malaikat Jibril ketika Musa dan pengikutnya
menyeberangi Laut Merah. Sehingga mulut sapi betina itu bisa mengeluarkan
suara.
Samiri membuat patung tersebut terpengaruh oleh agama paganisme Mesir
Kuno, ia meniru dewa Hathor dan Aphis, dewa-dewi Mesir kuno, disembah sebagai sapi dewata dari
akhir 2700 S.M. selama dinasti kedua.
Diantara ilmu kasyaf dan doa Mustajab Musa
as-Samiry . Dalam
hadits al-Futuun, Ibnu Abbaas berkata :
فلمَّا رأى قومُ مُوسى عليه
السَّلامُ أنَّه لم يرجِعْ إليهم للأجَلِ ساءَهم ذلك، وكان هارونُ عليه السَّلامُ
قد خطَبَهم، فقال لهم:
خرجْتُم مِن مِصْرَ
ولقومِ فرعونَ عندي عواري وودائعُ، ولكم فيهم مثلُ ذلك، وأنا أرى أنْ تحتَسِبوا ما
لكم عندهم، ولا أحلَّ لكم وديعةً اسْتُودِعْتُمُوها، ولا عاريَّةً، ولسنا برادِّين
إليهم شيئًا مِن ذلك،
ولا مُمْسِكيه لأنفُسِنا، فحفَرَ حفيرًا، وأمَرَ كلَّ قومٍ عليهم شَيءٌ مِن ذلك؛ مِن متاعٍ
أو حِليةٍ أنْ يَقْذِفوه في ذلك الحفيرِ، ثمَّ أوقَدَ عليه النَّارَ، فأحرَقَه، فقال: لا
يكونُ لنا، ولا لهم.
وكان السَّامريُّ رجلًا مِن قومٍ
يَعْبُدون البقرَ جيرانٍ لهم، ولم يكُنْ مِن بني
إسرائيلَ، فاحتملَ مع مُوسى عليه السَّلامُ وبني إسرائيلَ حين احْتملوا، فقُضِيَ
له أنْ رأى أثرًا، فأخَذَ منه بقبْضَتِه، فمَرَّ بهارونَ،
فقال له
هارونُ عليه السَّلامُ: يا سامريُّ، ألَا تُلْقي ما في يدَيْك؟ وهو قابضٌ عليه لا
يَراه أحدٌ طوالَ ذلك،
فقال: هذه
قبْضةٌ مِن أثرِ
الرَّسولِ الَّذي جاوَزَ بكم البحرَ، ولا أُلْقيها لشَيءٍ إلَّا أنْ تَدْعُوَ
اللهَ إذا ألقيْتُها أنْ تكونَ ما أُرِيدُ، فألْقاها، ودعا اللهَ هارونُ عليه
السَّلامُ، فقال: أريدُ
أنْ يكونَ عِجْلًا، واجتمَعَ ما كان في الحُفرةِ مِن متاعٍ
له، أو حِلْيةٍ، أو نحاسٍ، أو حديدٍ، فصار عِجْلًا أجوفَ ليس فيه رُوحٌ، له
خُوارٌ.
قال ابنُ عبَّاسٍ: لا واللهِ ما كان
له صوتٌ قطُّ، إنَّما كانت الرِّيحُ تدخُلُ مِن دُبُرِه
وتخرُجُ مِن فَمِه،
فكان ذلك الصَّوتُ مِن ذلك.
فتفرَّقَ بنو إسرائيلَ فِرَقًا؛
فقالت فِرقةٌ: يا سامريُّ، ما هذا فأنت
أعلَمُ به؟ قال: هذا ربُّكم
عَزَّ وجَلَّ، ولكنَّ مُوسى عليه السَّلامُ أضَلَّ الطَّريقَ.
وقالت فِرقةٌ: لا نُكذِّب بهذا حتَّى
يرجِعَ إلينا مُوسى، فإنْ كان ربَّنا لم نكُنْ ضيَّعْناه وعجَزْنا فيه حِينَ
رأيْناه، وإنْ لم يكُنْ ربَّنا، فإنَّا نتَّبِعُ قولَ مُوسى عليه السَّلامُ.
وقالت فِرقةٌ: هذا عمَلُ
الشَّيطانِ، وليس بربِّنا، ولا نُؤْمِنُ، ولا نُصدِّقُ.
وأُشْرِبَ فِرقةٌ في قُلوبِهم
التَّصديقَ بما قال السَّامريُّ في العجلِ، وأعْلَنوا التَّكذيبَ،
فقال لهم
هارونُ عليه السَّلامُ: {يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ} [طه: 90]، وإنَّ ربَّكم
ليس هكذا،
قالوا: فما بالُ مُوسى عليه
السَّلامُ؛ وعَدَنا ثلاثينَ يومًا ثمَّ أخلَفَنا، فهذه أربعونَ قد مَضَت؟!
فقال سُفهاؤُهم:
أخطَأَ ربَّه، فهو يطلُبُه ويتبَعُه. فلمَّا كلَّمَ اللهُ عَزَّ وجَلَّ مُوسى عليه
السَّلامُ وقال له ما قال، أخبَرَه بما لقِيَ قومُه بعده.
{فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ
غَضْبَانَ أَسِفًا} [طه: 86]، وقال لهم ما سمِعْتُم في القُرآنِ وأخَذَ برأْسِ أخِيه،
وألْقى الألواحَ مِن الغضَبِ،
ثمَّ عذَرَ أخاه بعُذْرِه، واستغفَرَ له، وانصرَفَ إلى السَّامريِّ،
فقال له:
ما حمَلَك على ما صنعْتَ؟
قال: قبَضْتُ قبضةً مِن أثرِ
الرَّسولِ وفطِنْتُ لها، وعُمِّيَت عليكم، فقَذفْتُها؛ وكذلك سوَّلَت لي نَفْسي.
قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي
الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ
وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ
ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا [طه: 97]، ولو كان إلهًا لم يُخْلَصْ إلى ذلك
منه.
فاستيقَنَ بنو إسرائيلَ بالفتنةِ،
واغْتَبَطَ الَّذين كان رأيُهم فيه مثلَ رأيِ هارونَ عليه السَّلامُ، فقالوا
بجماعتِهم لمُوسى عليه السَّلامُ: سَلْ لنا ربَّك عَزَّ وجَلَّ أنْ يفتَحَ لنا
بابَ توبةٍ نصنَعُها؛ فيُكَفِّرَ عنَّا ما عمِلْنا،
Ketika kaum Nabi Musa -alaihissalaam- melihat bahwa Musa -alaihissalaam-
belum juga datang kembali kepada mereka pada waktu yang telah ditentukan , ini
memperburuk pikiran mereka, dan Nabi Harun -alaihissalaam- pun berusaha
menenangkannya dengan mengkhutbahi mereka, Lalu dia berkata kepada mereka : “
Kalian ini keluar dari Mesir , sementara kaumnya Firaun memiliki barang-barang
simpanan (perhiasan dan lainnya) yang dititipkan kepada kalian dan juga barang-barang mereka yang kalian
pinjam dari mereka . Begitu juga mereka sebaliknya terhadap barang-barang
(perhiasan dan lainnya) milik kalian.
Dan saya lihat sebaiknya kalian memperhitungkan apa-apa yang kalian
miliki pada mereka, dan tidak diperbolehkan bagi kalian untuk memiliki simpanan
yang telah kalian titipkan pada mereka , begitu juga apa-apa yang kalian
pinjamkan kepada mereka , dan kami juga tidak akan mengembalikan kepada mereka
apapun dari semua itu, dan kami juga tidak menyimpannya untuk diri kami sendiri
“.
Lalu beliau menggali lubang , dan memerintahkan atas setiap orang untuk
melakukan sesuatu. Yaitu melempar barang-barang tsb ke dalam lubang itu, lalu
menyalakan api di atasnya, lalu membakarnya, dan dia berkata: “ Barang-barang
Itu bukan untuk kita, dan bukan untuk mereka “.
As-Saamiri adalah seorang pria dari kaum yang menyembah sapi , tetangga
bani Iraail , dan dia bukan salah satu dari Bani Israel, lalu dia ikut numpang
pergi bersama rombongan Musa -alaihissalaam- dan Bani Israel ketika mereka
berangkat .
Lalu dia mengklaim bahwa dirinya melihat jejak Rosul , dan dia
mengambil darinya dengan genggamannya. Maka dia lewat di depan Nabi Harun ,
lalu Harun berkata kepadanya : Wahai Samiri , tidak kah segera kau lemparkan
apa yang ada di kedua tangan mu !
Dan sebetulnya dia itu sudah lama menggenggam nya akan tetapi selama
itu pula tidak ada seorang pun yang melihatnya .
Dia berkata: Ini adalah genggaman dari jejak Rasul yang membantu kalian
melewati laut, dan aku tidak akan melemparkannya untuk apa pun kecuali jika
kamu berdoa kepada Allah bahwa jika aku melemparkannya , maka ia berubah
menjadi apa yang kuinginkan, jika engkau
bersedia maka aku siap melemparkannya.
Dan Nabi Harun pun berdoa kepada Allah SWT , dan as-Saamiri berkata : “
Aku ingin dari genggaman ini menjadi anak sapi “, dan semua yang ada di dalam lubang
dari berbagai jenis barang baik perhiasan, tembaga, atau pun besinya terhimpun
jadi satu, lalu itu semua berubah menjadi anak lembu yang berlubang yang tiada
ruhnya namun mengeluarkan KHOAR ( خُوَار = suara sapi ) .
Ibn Abbas berkata: Tidak, demi Tuhan, dia tidak pernah bersuara,
melainkan angin masuk dari duburnya dan keluar lewat mulutnya, dan suara itu
berasal dari sana.
Maka Bani Israel terpecah menjadi beberapa kelompok
Sekelompok orang berkata : Hai Samiri, apa ini , dan
kamu lebih alim dalam hal ini ? Dia berkata: Ini adalah Tuhanmu Yang Maha Mulia
dan Maha Agung , akan tetapi Musa itu tersesat.
Dan sekelompok yang lain berkata: Kami tidak akan mendustakannya sampai
Musa kembali kepada kami. Maka jika dia itu adalah Tuhan kami, kami tidak
menyia-nyiakannya dan kami merasa tidak mampu terhadap nya ketika kami
melihatnya . Dan jika dia bukan Tuhan kami, maka kami mengikuti perkataan Musa -alaihis
salam -.
Sebuah kelompok berkata: Ini adalah pekerjaan Setan, dan itu bukan
Tuhan kami, dan kami tidak mengimaninya dan tidak pula membenarkannya .
Dan ada sekelompok orang yang diresapkanlah ke dalam hati mereka itu
rasa percaya terhadap apa yang di katakan Saamiri tentang patung anak sapi ,
bahkan mereka terang-terangan mendustakan Musa -alaihissalaam- .
Harun -alaihissalaam- berkata kepada mereka:
{يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ}
“Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu hanya sekedar diberi cobaan (dengan
patung anak sapi) itu" [Taha: 90],
Dan Tuhanmu tidak seperti itu.
Mereka berkata: Lalu Apa yang telah menimpa Musa, dia telah menjajikan
kepada kami tiga puluh hari , kemudian dia menyelisihi kami, dan ini empat
puluh hari telah berlalu ?!
Orang-orang bodoh berkata: Dia itu salah memilih tuhan, tapi dia masih
terus mencarinya dan mengikutinya.
Maka ketika Allah Azza wa Jalla berbicara kepada Musa -alaihissalaam- ,
Dia mengatakan kepadanya apa yang di katakan oleh sebagian kaumnya , dan Dia
memberi tahu kepadanya apa yang terjadi dengan kaumnya setelah kepergiannya .
{فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ
أَسِفًا}
“ Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati”
(QS. Taha: 86)
Ibnu Abbas berkata : Dan dia memberi tahu mereka apa yang kamu dengar
dalam Al-Qur'an dan dia memegang kepala saudara laki-lakinya dan melemparkan
louh-louh itu karena marah, lalu dia memaafkan saudaranya setelah mendengar
alasannya, dan
Musa memohonkan ampunan untuknya , dan mendatangi Samiri, lalu Musa -alaihissalaam-
berkata kepadanya: Apa yang mendorongmu untuk melakukan ini ?
Samiri menjawab : aku ambil segenggam dari jejak rasul dan aku
benar-benar melihatnya, sementara kalian dibutakan , lalu aku melemparkannya.
Dan demikianlah nafsuku membujukku.”.
قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي
الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ
وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ
ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
Berkata Musa, "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam
kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan, "Janganlah menyentuh
(aku).' Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu
sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu
tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh
akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) ”. ( QS. Toha
: 97 )
Jika dia itu benar tuhan, maka dia tidak akan bisa dilenyapkan olehnya.
Maka Bani Israel semakin yakin akan godaan itu, dan mereka yang
sependapat dengan Nabi Harun merasa senang , lalu mereka dengan jemaahnya
berkata kepada Musa -alaihissalaam:
“ Mohonkanlah kepada Rabb mu Azza wa Jalla untuk kami agar Dia
membukakan untuk kami pintu taubat agar kami melakukannya , lalu Dia menghapus
dari kami dosa yang telah kami lakukan “.
[[Diriwayatkan oleh al-Imam al-Buushairy dalam kitab “إتحاف الخيرة المهرة” 6/234 dengan SANAD YANG
SHAHIH menurutnya . Dan di sebutkan pula oleh Ibnu katsir dlm kitab “البداية والنهاية” 16/225]].
****
ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DO'A BAL'AM BIN BA'URA
Dalam Surat Al-A'raf, ayat 175-177, Allah SWT berfirman :
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ
الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلا
الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ
(177) }
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia
tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan
kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. [QS. Al-A'raf : 175-177]
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya 3/507 :
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy
dan Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud -radhiyallahu
‘anhu- sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan bacakanlah kepada mereka berita
orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi
AlKitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. (Al-A’raf: 175),
hingga akhir ayat.
Dia adalah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil, dikenal dengan
nama panggilan :
“BAL'AM IBNU BA'URA”.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syu'bah dan lain-lainnya yang
bukan hanya seorang, dari Mansur, dengan sanad yang sama.
Sa'id ibnu Abu Arubah mengatakan dari Qatadah, dari Ibnu Abbas : Bahwa
telaki tersebut bernama “Saifi ibnur Rahib”.
Qatadah mengatakan, Ka'b pernah menceritakan : “Bahwa dia adalah
seorang telaki dari kalangan penduduk Al-Balqa, mengetahui tentang Ismul Akbar
[nama Allah yang Agung], dan tinggal di Baitul Maqdis dengan orang-orang yang
angkara murka”.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- : “
Bahwa dia adalah seorang lelaki dari kalangan penduduk negeri Yaman, dikenal
dengan nama Bal'am; ia dianugerahi pengetahuan tentang isi Al-Kitab, tetapi ia
meninggalkannya”.
Malik ibnu Dinar mengatakan :
“Bahwa orang itu adalah salah seorang ulama Bani Israil, terkenal
sebagai orang yang mustajab doanya; mereka datang kepadanya di saat-saat
kesulitan. Kemudian Nabi Musa -’alaihis salaam- mengutusnya ke raja negeri
Madyan untuk menyerukan agar menyembah Allah. Tetapi Raja Madyan memberinya
sebagian dari wilayah kekuasaannya dan memberinya banyak hadiah. Akhirnya ia
mengikuti agama raja dan meninggalkan agama Nabi Musa -’alaihis salaam-
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Husain, dari Imran ibnul
Haris, dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut adalah Bal'am ibnu Ba'ura. Hal
yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Ikrimah .....
Adapun asar yang termasyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat yang
mulia ini hanyalah menceritakan perihal seorang lelaki di masa dahulu, yaitu di
zaman kaum Bani Israil, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Mas'ud dan
lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia adalah
seorang lelaki dari kota orang-orang yang gagah perkasa, dikenal dengan nama
Bal'am. Dia mengetahui Asma Allah Yang Mahabesar....
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika
Nabi Musa dan orang-orang yang bersamanya turun istirahat di tempat mereka
(yakni negeri orang-orang yang gagah perkasa), maka Bal'am (yang bertempat
tinggal di negeri itu) kedatangan anak-anak pamannya dan kaumnya.
Lalu mereka berkata : "Sesungguhnya Musa adalah seorang lelaki
yang sangat perkasa dan mempunyai bala tentara yang banyak. Sesungguhnya dia
jika menang atas kita, niscaya dia akan membinasakan kita. Maka berdoalah
kepada Allah, semoga Dia mengusir Musa dan bala tentaranya dari kita”.
Bal'am menjawab, "Sesungguhnya jika aku berdoa kepada Allah
memohon agar Musa dan orang-orang yang bersamanya dikembalikan, niscaya akan
lenyaplah dunia dan akhiratku."
Mereka terus mendesaknya hingga akhirnya Bal'am mau berdoa. Maka Allah
melucuti apa yang ada pada dirinya. Yang demikian itu disebutkan oleh
firman-Nya:
{فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ
فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ }
kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh
setan (sampai ia tergoda). (Al-A'raf: 175), hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan bahwa setelah selesai masa empat puluh tahun,
seperti apa yang disebutkan di dalam firman Nya :
{فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ
سَنَةً}
“Maka sesungguhnya negeri ini diharamkan atas mereka [Bani Israil]
selama empat puluh tahun”. (Al-Maidah: 26) .
Maka Allah mengutus Yusya' ibnu Nun sebagai seorang nabi, lalu Yusya'
menyeru kaum Bani Israil (untuk menyembah Allah) dan memberitahukan kepada
mereka bahwa dirinya adalah seorang nabi, dan Allah telah memerintahkannya agar
memerangi orang-orang yang gagah perkasa. Lalu mereka berbaiat kepadanya dan
mempercayainya .
Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang dikenal
dengan nama Bal'am berangkat dan menemui orang-orang yang gagah perkasa. Dia
adalah orang yang mengetahui tentang Ismul A'zam yang rahasia (apabila dibaca,
maka semua permintaannya dikabulkan seketika). Tetapi ia kafir dan berkata
kepada orang-orang yang gagah perkasa :
"Janganlah kalian takut kepada Bani Israil. Karena sesungguhnya
jika kalian berangkat untuk memerangi mereka, maka saya akan mendoakan untuk
kehancuran mereka, dan akhirnya mereka pasti hancur."
Bal'am hidup di kalangan mereka dengan mendapatkan semua perkara
duniawi yang dikehendakinya, hanya saja dia tidak dapat berhubungan dengan
wanita karena wanita orang-orang yang gagah perkasa itu terlalu besar baginya.
Maka Bal'am hanya dapat menggauli keledainya. Kisah inilah yang disebutkan oleh
Allah Swt. dalam firman-Nya:
{فَانْسَلَخَ مِنْهَا}
“Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu” (Al-A'raf: I75)
Adapun Firman Allah Swt.:
{فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ}
“Lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda)”. (Al-A'raf:
175)
Maka artinya, setan telah menguasai dirinya dan urusannya; sehingga
apabila setan menganjurkan sesuatu kepadanya, ia langsung mengerjakan dan
menaatinya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan :
{فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ}
makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (Al-A'raf: 175)
Ia termasuk orang-orang yang binasa, bingung, dan sesat.
Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509 berkata :
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا
وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ}
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung
kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. (Al-A'raf: 176)
Sedangkan firman Allah Swt.:
{وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ
بِهَا}
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. (Al-A'raf: 176)
Maksudnya, niscaya Kami mengangkatnya dari pencemaran kekotoran duniawi
dengan ayat-ayat yang telah Kami berikan kepadanya.
{وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الأرْضِ}
tetapi dia cenderung kepada dunia. (Al-A'raf: 176)
Yakni cenderung kepada perhiasan kehidupan dunia dan kegemerlapannya.
Dia lebih menyukai kelezatan, kenikmatan, dan bujuk rayunya. Dia teperdaya oleh
kesenangan duniawi sebagaimana teperdaya orang-orang yang tidak mempunyai
pandangan hati dan akal.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan : bahwa, kisah yang menyangkut
lelaki ini antara lain ialah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad
ibnu Abdul A'la. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir,
dari ayahnya yang ditanya mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya:
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ
آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا }
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi AlKitab). (Al-A'raf:
175)
Maka ayahnya menceritakan kisah yang pernah ia terima dari Sayyar :
Bahwa dahulu kala ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Bal'am.
Bal'am adalah orang yang doanya mustajab [senantiasa dikabulkan]. Kemudian Nabi
Musa berangkat dengan pasukan kaum Bani Israil menuju negeri tempat Bal'am
berada, atau negeri Syam.
Lalu penduduk negeri tersebut merasa sangat takut dan gentar terhadap
Musa -’alaihis salaam- Maka mereka mendatangi Bal'am dan mengatakan kepadanya :
"Doakanlah kepada Allah untuk kehancuran lelaki ini (yakni Nabi
Musa -’alaihis salaam-) dan bala tentaranya."
Bal'am menjawab, "Tunggulah sampai aku meminta saran dari Tuhanku,
atau aku diberi izin oleh-Nya."
Bal'am meminta saran dari Tuhannya dalam doanya yang memohon untuk
kehancuran Musa dan pasukannya. Maka dijawab, "Janganlah kamu mendoakan
buat kehancuran mereka, karena sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Ku, dan
di antara mereka terdapat nabi mereka."
Maka Bal'am melapor kepada kaumnya, "Sesungguhnya aku telah
meminta saran kepada Tuhanku dalam doaku yang memohon untuk kehancuran mereka,
tetapi aku dilarang melakukannya”.
Maka mereka memberikan suatu hadiah kepada Bal'am dan Bal'am
menerimanya. Kemudian mereka kembali kepada Bal'am dan mengatakan kepadanya :
"Doakanlah untuk kehancuran mereka".
Bal'am menjawab : 'Tunggulah, aku akan meminta saran kepada
Tuhanku."
Lalu Bal’am meminta saran Kepada Nya, ternyata Dia tidak
memerintahkan sesuatu pun kepadanya. Maka Bal'am berkata (kepada kaumnya)
:
"Sesungguhnya aku telah meminta saran kepada Tuhanku, tetapi Dia
tidak memerintahkan sesuatu pun kepadaku."
Kaumnya berkata : "Sekiranya Tuhanmu tidak suka engkau mendoakan
untuk kehancuran mereka, niscaya Dia akan melarangmu pula sebagaimana Dia
melarangmu pada pertama kalinya.”
Bal'am terpaksa berdoa untuk kebinasaan mereka. Tetapi apabila ia
mendoakan untuk kehancuran mereka (Musa dan pasukannya), maka yang terucapkan
oleh lisannya justru mendoakan untuk kehancuran kaumnya. Dan apabila ia
mendoakan untuk kemenangan kaumnya, justru lisannya mendoakan untuk kemenangan
Musa dan pasukannya atau hal yang semacam itu, seperti apa yang dikehendaki
oleh Allah.
Maka kaumnya berkata, "Kami tidak melihatmu berdoa melainkan hanya
untuk kehancuran kami."
Bal'am menjawab : "Tiada yang terucapkan oleh lisanku melainkan
hanya itu. Sekiranya aku tetap mendoakan untuk kehancurannya, niscaya aku tidak
diperkenankan. Tetapi aku akan menunjukkan kepada kalian suatu perkara yang
mudah-mudahan dapat menghancurkan mereka. Sesungguhnya Allah murka terhadap
perbuatan zina, dan sesungguhnya jika mereka terjerumus ke dalam perbuatan
zina, niscaya mereka akan binasa; dan aku berharap semoga Allah membinasakan
mereka melalui jalan ini."
Bal'am melanjutkan ucapannya : "Karena itu, keluarkanlah kaum
wanita kalian untuk menyambut mereka. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang
sedang musafir, mudah-mudahan saja mereka mau berzina sehingga binasalah
mereka."
Kemudian mereka melakukan hal itu dan mengeluarkan kaum wanita mereka
menyambut pasukan Nabi Musa -’alaihis salaam- Tersebutlah bahwa raja mereka
mempunyai seorang anak perempuan - perawi menyebutkan perihal kebesaran
tubuhnya wallaahu a’lam -.
Lalu ayahnya atau Bal'am berpesan kepadanya : "Janganlah engkau
serahkan dirimu selain kepada Musa."
Akhirnya pasukan Bani Israil terjerumus ke dalam perbuatan zina.
Kemudian datanglah kepada wanita tadi seorang pemimpin dari salah satu kabilah
Bani Israil yang menginginkan dirinya. Maka wanita itu berkata, "Saya
tidak mau menyerahkan diri saya selain kepada Musa."
Pemimpin suatu Kabilah menjawab “Sesungguhnya kedudukanmu adalah anu
dan anu, dan keadaanku anu dan anu."
Akhirnya si wanita mengirim utusan kepada ayahnya meminta saran
darinya. Maka ayahnya berkata kepadanya : "Serahkanlah dirimu
kepadanya."
Lalu pemimpin kabilah itu menzinainya. Ketika mereka berdua sedang
berzina, datanglah seorang lelaki dari Bani Harun seraya membawa tombak, lalu
menusuk keduanya.
Allah memberinya kekuatan yang dahsyat sehingga keduanya menjadi satu
tersatekan oleh tombaknya, kemudian ia mengangkat keduanya dengan tombaknya
itu, sehingga semua orang melihatnya. Maka Allah menimpakan penyakit ta'un
kepada mereka, sehingga matilah tujuh puluh ribu orang dari kalangan pasukan
Bani Israil.
Abul Mu'tamir mengatakan, Sayyar telah menceritakan kepadanya bahwa
Bal'am mengendarai keledainya hingga sampai di suatu tempat yang dikenal dengan
nama Al-Ma'luli atau suatu jalan yang menuju Al-Ma'luli. Lalu Bal'am memukuli
keledainya, tetapi keledainya itu tidak mau maju, bahkan hanya berdiri saja di
tempat.
Lalu keledai itu berkata kepadanya, "Mengapa engkau terus
memukuliku? Tidakkah engkau melihat apa yang ada di hadapanmu ini?"
Tiba-tiba setan menampakkan diri di hadapan Bal'am. Lalu Bal'am turun
dan bersujud kepada setan itu. Inilah yang disebutkan oleh firman Allah Swt.:
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ
الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176)
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia
tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
[Surat Al-A'raf, ayat 175-176]
Al-Hafidz Ibnu Katsir lalu menyebutkan riwayat lainnya :
Muhammad ibnu lshaq ibnu Yasar telah meriwayatkan dari Salim Abun Nadr;
ia pernah menceritakan :
Bahwa Musa -’alaihis salaam- ketika turun di negeri Kan'an—bagian dari
wilayah Syam—maka kaum Bal'am datang menghadap kepada Bal'am dan mengatakan
kepadanya :
"Musa ibnu Imran telah datang bersama dengan pasukan Bani Israil.
Dia datang untuk mengusir kita dari negeri kita dan akan membunuh kita, lalu
membiarkan tanah ini dikuasai oleh Bani Israil. Dan sesungguhnya kami adalah
kaummu yang dalam waktu yang dekat tidak akan mempunyai tempat tinggal lagi,
sedangkan engkau adalah seorang lelaki yang doanya mustajab dan selalu
dikabulkan Tuhan. Maka keluarlah engkau dan berdoalah untuk kehancuran
mereka."
Bal'am menjawab : "Celakalah kalian! Nabi Allah ditemani oleh para
malaikat dan orang-orang mukmin, maka mana mungkin saya pergi mendoakan untuk
kehancuran mereka, sedangkan saya mengetahui Allah tidak akan menyukai hal
itu?"
Mereka mengatakan kepada Bal'am, "Kami tidak akan memiliki tempat
tinggal lagi."
Mereka terus-menerus meminta dengan memohon belas kasihan dan berendah
diri kepada Bal'am untuk membujuknya. Akhirnya Bal'am terbujuk. Lalu Bal'am
menaiki keledai kendaraannya menuju ke arah sebuah bukit sehingga ia dapat
melihat perkemahan pasukan kaum Bani Israil, yaitu Bukit Hasban.
Setelah berjalan tidak begitu jauh, keledainya mogok, tidak mau jalan.
Maka Bal'am turun dari keledainya dan memukulinya hingga keledainya mau bangkit
dan berjalan, lalu Bal'am menaikinya.
Tetapi setelah berjalan tidak jauh, keledainya itu mogok lagi, dan
Bal'am memukulinya kembali, lalu menjewer telinganya. Maka secara aneh
keledainya dapat berbicara - memprotes tindakannya - seraya mengatakan :
"Celakalah kamu. hai Bal’am, ke manakah kamu akan pergi. Tidakkah
engkau melihat para malaikat berada di hadapanku menghalang-halangi jalanku?
Apakah engkau akan pergi untuk mendoakan buat kehancuran Nabi Allah dan kaum
mukminin?"
Bal'am tidak menggubris protesnya dan terus memukulinya, maka Allah
memberikan jalan kepada keledai itu setelah Bal'am memukulinya. Lalu keledai
itu berjalan membawa Bal'am hingga sampailah di atas puncak Bukit Hasban, di
atas perkemahan pasukan Nabi Musa dan kaum Bani Israil.
Setelah ia sampai di tempat itu, maka ia berdoa untuk kehancuran
mereka. Tidak sekali-kali Bal'am mendoakan keburukan untuk Musa dan pasukannya,
melainkan Allah memalingkan lisannya hingga berbalik mendoakan keburukan bagi
kaumnya. Dan tidak sekali-kali Bal'am mendoakan kebaikan buat kaumnya,
melainkan Allah memalingkan lisannya hingga mendoakan kebaikan buat Bani
Israil.
Maka kaumnya berkata kepadanya : "Tahukah engkau, hai Bal'am,
apakah yang telah kamu lakukan? Sesungguhnya yang kamu doakan hanyalah untuk
kemenangan mereka dan kekalahan kami."
Bal'am menjawab, "Ini adalah suatu hal yang tidak saya kuasai, hal
ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah."
Maka ketika itu lidah Bal'am menjulur keluar sampai sebatas dadanya,
lalu ia berkata kepada kaumnya : "Kini telah lenyaplah dariku dunia dan
akhiratku, dan sekarang tiada jalan lain bagiku kecuali harus melancarkan tipu
muslihat dan kilah yang jahat. Maka aku akan melancarkan tipu muslihat buat
kepentingan kalian. Sekarang percantiklah wanita-wanita kalian dan berikanlah
kepada mereka berbagai macam barang dagangan. Setelah itu lepaskanlah mereka
pergi menuju tempat perkemahan pasukan Bani Israil untuk melakukan jual beli di
tempat mereka, dan perintahkanlah kepada kaum wanita kalian agar jangan
sekali-kali ada seorang wanita yang menolak bila dirinya diajak berbuat mesum
dengan lelaki dari kalangan mereka. Karena sesungguhnya jika ada seseorang dari
mereka berbuat zina, maka kalian akan dapat mengalahkan mereka."
Lalu kaum Bal'am melakukan apa yang telah diperintahkan.
Ketika kaum wanita itu memasuki perkemahan pasukan Bani Israil seorang
wanita dari Kan'an (kaum Bal'am) yang dikenal dengan nama Kusbati, anak
perempuan pemimpin kaumnya bersua dengan seorang lelaki dari kalangan pembesar
kaum Bani Israil. Lelaki tersebut bernama Zumri ibnu Syalum, pemimpin kabilah
Syam'un ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim.
Ketika Zumri melihat Kusbati, ia terpesona oleh kecantikannya. Lalu ia
bangkit dan memegang tangan Kusbati, kemudian membawanya menghadap kepada Nabi
Musa.
Zumri berkata : "Sesungguhnya aku menduga engkau akan mengatakan bahwa
ini diharamkan atas dirimu, janganlah kamu mendekatinya."
Musa -’alaihis salaam- berkata : "Dia haram bagimu!"
Zumri menjawab : "Demi Allah, saya tidak mau tunduk kepada
perintahmu dalam hal ini."
Lalu Zumri membawa Kusbati masuk ke dalam kemahnya dan menyetubuhinya.
Maka Allah Swt. mengirimkan penyakit ta'un kepada kaum Bani Israil di
perkemahan mereka. Pada saat Zumri ibnu Syalum melakukan perbuatan mesum itu
Fanhas ibnul Aizar ibnu Harun —pengawal pribadi Musa— sedang tidak ada di
tempat.
Penyakit ta'un datang melanda mereka, dan tersiarlah berita itu. Lalu
Fanhas mengambil tombaknya yang seluruhnya terbuat dari besi, kemudian ia
memasuki kemah Zumri yang saat itu sedang berbuat zina, lalu Fanhas menyate
keduanya dengan tombaknya. Ia keluar seraya mengangkat keduanya
setinggi-tingginya dengan tombaknya. Tombaknya itu ia jepitkan ke lengannya
dengan bertumpu ke bagian pinggangnya, sedangkan batangnya ia sandarkan ke
janggutnya.
Dia (Fanhas) adalah anak pertama Al-Aizar. Kemudian ia berdoa :
"Ya Allah, demikianlah pembalasan yang kami lakukan terhadap orang yang
berbuat durhaka kepada Engkau."
Maka ketika itu juga penyakit ta'un lenyap. Lalu dihitunglah
orang-orang Bani Israil yang mati karena penyakit ta'un sejak Zumri berbuat
zina dengan wanita itu hingga Fanhas membunuhnya, ternyata seluruhnya berjumlah
tujuh puluh ribu orang.
Sedangkan menurut perhitungan orang yang meminimkan jumlahnya dari
kalangan mereka, dua puluh ribu jiwa telah melayang dalam jarak waktu satu jam
di siang hari.
Sejak saat itulah kaum Bani Israil memberikan kepada anak-anak Fanhas
dari setiap korban yang mereka sembelih, yaitu bagian leher, kaki depan, dan
janggut korbannya, serta anak yang pertama dari ternak mereka dan yang paling
disayangi, karena Fanhas adalah anak pertama dari ayahnya yang bernama
Al-Aizura.
Sehubungan dengan Bal'am ibnu Ba'ura ini, kisahnya disebutkan oleh
Allah Swt.:
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ
الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176)
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia
tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
[Surat Al-A'raf, ayat 175-176]
Dari Abu Sa'id Al Khudri dari Nabi ﷺ bersabda:
إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ،
وإنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كيفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا
الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ؛ فإنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ في النِّسَاءِ.
"Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah
menguasakannya kepada kalian sekalian. Kemudian Allah memperhatikan apa yang
kalian kerjakan (di dunia itu).
Oleh karena itu, maka kalian takutlah [waspadalah] terhadap dunia dan
takutlah [waspadalah] terhadap wanita, karena sesungguhnya awal fitnah
[bencana] menimpa pada Bani Isarail adalah karena wanita." [HR. Muslim no.
2742].
Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509
berkata :
Adapun firman Allah Swt.:
{فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ
تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ}
“Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga)“. (Al-A'raf: 176)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut teks Ibnu
Ishaq, dari Salim, dari Abun Nadr, lidah Bal'am terjulur sampai dadanya. Lalu
dia diserupakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua
keadaan tersebut, yakni jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan
tetap menjulurkan lidahnya.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah 'Bal'am menjadi
seperti anjing dalam hal kesesatannya dan keberlangsungannya di dalam kesesatan
serta tidak adanya kemauan memanfaatkan doanya untuk keimanan.
Perihalnya diumpamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya
dalam kedua keadaan tersebut, jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika
dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya tanpa ada perubahan. Demikian pula keadaan
Bal'am, dia tidak memanfaatkan pelajaran dan doanya buat keimanan; perihalnya
sama dengan orang yang tidak memilikinya”. [Tafsir Ibnu Katsir 3/509]
KISAH ORANG YANG DIANUGERAHI 3 DOA MUSTAJAB :
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509 berkata :
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Namir, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Abu Sa'id Al-A'war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya:
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ
الْغَاوِينَ (175)
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi AlKitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu (Al-A'raf: 175)”
Bahwa dia adalah seorang lelaki yang dianugerahi tiga doa mustajab, dan
ia mempunyai seorang istri yang memberinya seorang anak laki-laki. Lalu
istrinya berkata, "Berikanlah sebuah doa darinya untukku."
Ia menjawab, "Saya berikan satu doa kepadamu, apakah yang kamu
kehendaki?"
Si istri menjawab, "Berdoalah kepada Allah semoga Dia menjadikan
diriku wanita yang tercantik di kalangan Bani Israil."
Maka lelaki itu berdoa kepada Allah, lalu Allah menjadikan istrinya
seorang wanita yang tercantik di kalangan kaum Bani Israil. Setelah si istri
mengetahui bahwa dirinyalah yang paling cantik di kalangan mereka tanpa
tandingan, maka ia membenci suaminya dan menghendaki hal yang lain.
Akhirnya si lelaki berdoa kepada Allah agar menjadikan istrinya seekor
anjing betina, akhirnya jadilah istrinya seekor anjing betina.
Dua doanya telah hilang. Kemudian datanglah anak-anaknya, lalu mereka
mengatakan, "Kami tidak dapat hidup tenang lagi, karena ibu kami telah
menjadi anjing betina sehingga menjadi cercaan orang-orang. Maka doakanlah
kepada Allah semoga Dia mengembalikan ibu kami seperti sediakala."
Maka lelaki
itu berdoa kepada Allah, lalu kembalilah ujud istrinya seperti keadaan semula.
Dengan demikian, ketiga doa yang mustajab itu telah lenyap darinya, kemudian
wanita itu diberi nama Al Basus. [Atsar ini gharib].
===***===
PERBEDAAN ANTARA KASYAF PERTOLONGAN ALLAH DENGAN KASYAF BANTUAN JIN & SETAN.
Pertama: Kasyaf
pertolongan dari Allah adalah mu’jizat bagi nabi dan rasul, dan karomah atau ma’unah
bagi para hamba-Nya yang shaleh selain nabi dan rasul.
Adapun
kasyaf bantuan jin dan setan, maka itu adalah termasuk ilmu perdukunan, paranormal,
ilmu kebatinan, sihir dan istidraj.
Kedua: Kasyaf
dari pertolongan Allah (karomah), sama halnya dengan karomah lainnya. Yaitu ; tidak
bisa dipelajari, tidak bisa diperagakan dan dipraktekan berulang-ulang sekehendak
manusia. Dan juga tidak ada ritual dan tahapan-tahapan khusus untuk
menggapainya. Melainkan kasyaf pertolongan dari Allah itu terjadi atas kehendak
Allah untuk para hambanya yang ibadahnya betul-betul ikhlas dan murni untuk
Allah semata bukan untuk mendapatkan ilmu kasyaf dan yang semisalnya. Serta
amal ibadahnya betul-betul mengikuti petunjuk wahyu, yakni Al-Quran dan Sunnah
Nabi ﷺ.
Berbeda
dengan kasyaf dari jin dan setan (perdukunan dan paranormal), maka itu bisa
dipelajari dengan melakukan ritul-ritual khusus yang di syaratkan oleh Jin
tersebut yang dibisikkan kepada para abdinya dari kalangan manusia. Contohnya seperti
ritual puasa, tirakat, menyembelih kurban jenis binatang tertentu,
wiridan-wiridan tertentu, mantra-mantra tertentu dan lainnya. Semua itu harus dilakukan,
sebagai bentuk keseriusan ketaatan, kepatuhan, ketundukan dan penghambaan
kepada jin dan setan.
Ketiga: Kasyaf
dari pertolongan Allah (karomah dan mukjizat) tidak bisa di wariskan ke anak
cucu atau di ijazahkan kepada orang lain.
Contohnya:
kasyaf yang pernah dialami oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana
yang telah disebutkan diatas dalam riwayat shahih :
Bahwa Umar pernah mengutus pasukan kecil dan menunjuk seorang komandan
bernama Sariyyah. Saat Umar berkhutbah pada hari Jumat, ia tiba-tiba berkata:
‘Wahai Sariyyah, ke gunung! Wahai Sariyyah,
ke gunung!’
Maka didapati bahwa Sariyyah memang benar-benar mengarah ke gunung pada
waktu itu, di hari Jumat, sementara jarak antara keduanya adalah perjalanan
satu bulan”.
Karamah
kasyaf Umar ini hanya terjadi satu kali dan ini tidak bisa diturunkan kepada siapapun,
bahkan Umar sendiri tidak mampu untuk mengulanginya.
Begitu
pula dengan mukjizat Nabi Musa ‘alaihis salam, yang tongkatnya berubah menjadi
ular, tidak bisa di wariskan kepada Nabi Harun ‘alaihis salam atau di ijazahkan
kepadanya, meskipun dia adalah saudaranya dan sesama nabi dan rasul. Dan
terjadinya tongkat nabi Musa berubah menjadi ular saat di lempar, maka itu
terjadi hanya 3 kali, dan itu pun dia harus menunggu ada perintah dari Allah
SWT.
Berbeda
dengan kasyaf perdukunan dan paranormal yang berasal dari bantuan jin dan
setan. Maka bisa diulang-ulang. Karena telah terjadi kesepakatan kerjasama antara
manusia dan setan di bidang tersebut, yang telah diikat dengan ritual yang telah
dipersembahkan.
Ke empat: Kasyaf
pertolongan dari Allah adalah Karomah yang tidak bisa diulang-ulang sesuai kemauan
manusia meski saat sedang dibutuhkan. Dan tidak bisa di jadikan skill dan
keahlian. Melainkan datang secara tiba-tiba atas kehendak Allah pada hamba-Nya,
terjadi tanpa terduga sebelumnya, dan pada umumnya hanya terjadi sesekali saja
dan tidak berulang-ulang.
Berbeda
dengan kasyaf bantuan jin dan setan (perdukunan dan paranormal), maka ia bisa
di ulang-ulang kapan saja sesuai keinginan seorang hamba pemuja Jin dan setan
di bidang tersebut.
Ke lima: Kasyaf
karomah dari Allah, bersumber dari kehendak-Nya kepada hamba yang Ia inginkan. Tidak
dengan ritual khusus kepada-Nya untuk mendapatkan kasyaf tersebut, melainkan
Allah SWT anugerahkan kepada hambanya yang beribadah kepada-Nya murni
semata-mata untuk mendapatkan ridho-Nya. Bukan demi untuk mendapatkan ilmu
kasyaf atau mukasyafah.
Dan
kehendak Allah SWT dalam menolong para hambanya itu banyak cara dan tidak ada
batasnya. Allah SWT, Dia Maha Berkehendak untuk menentukan dengan cara apa Dia menolong
hamba-Nya.
Berbeda
dengan jin dan setan, maka dalam bangsa jin ini terdapat banyak jenis dan suku
tertentu. Dan masing suku hanya memiliki karakter atau skill tertentu.
*****
UNSUR KESYIRIKAN DALAM ILMU KASYAF PARANORMAL DAN PERDUKUNAN
Ilmu
Kasyaf dan Mukasyafah adalah kemampuan luar biasa yang tidak mungkin dilakukan
oleh kebanyakan manusia pada umumnya.
Ada
sebagian dari kita yang menganggapnya sebagai anugerah Allah bahkan sebagai
karomah. Namun karomah yang berasal dari Allah tidak mungkin diturunkan kepada
orang-orang yang seperti berikut ini:
Pertama :
Yang bukan ahli ibadah; karena ada unsur kefasikan .
Kedua :
Orang yang ibadahnya tidak murni ditujukan kepada Allah SWT ; karena pada nya
terdapat unsur syirik uluhiyyah, yaitu ibadah yang ditujukan pula kepada selain
Allah.
Ketiga :
Orang yang melakukan jenis ibadah yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya;
karena terdapat syirik rububiyyah, yaitu beribadah dengan syariat atau amalan
yang diinginkan oleh jin yang dimintai ilmu kasyaf. Cara ibadahnya tidak
bersumber dari Allah yang datang lewat Nabi-Nya.
Syirik
Rububiyyah adalah penetapan adanya Rabb selain Allah, yakni tuhan pencipta
syariat selain Allah yang berhak menciptakan syariat atau menciptakan tata cara
amal ibadah, meskipun ditujukan kepada Allah SWT .
Dan
mengamalkan syariat ciptaan seseorang, hukumnya sama saja dengan menjadikan
orang tersebut sebagai sekutu [syariik] bagi Allah SWT, apalagi disertai dengan
adanya syarat Ijazah. Sebagaimana firman Allah SWT:
﴿أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ
بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾.
Artinya:
" Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu [syariik-syariik] yang menciptakan
syariat untuk mereka mengatas namakan agama yang tidak diizinkan Allah?
Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu akan memperoleh azab
yang amat pedih. (QS. Asy-Syuro: 21).
Ayat
diatas dengan jelas dan gamblang bahwa orang-orang yang beragama dengan cara
mengamalkan syariat ciptaan manusia, berarti mereka telah menjadikan manusia
tersebut sebagai rabb (tuhan) selain Allah SWT . Yang demikian itu adalah
kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani dahulu dan sekarang, dalam firman-Nya
Allah SWT menjelaskan:
﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ﴾
Artinya:
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
RAB-RAB [tuhan tuhan] selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan ". (QS. At-Taubah: 31).
Sahabat
Adiy bin Hatim radhiyallahu ‘anhu saat mendengar ayat ini berkata: " Wahai
Rosulullah mereka tidak menyembahnya ? ", lalu Rosulullah ﷺ
menjawab:
« بَلَى، إنَّهُمْ أَحَلُّوا لَهُمُ الْحَرَامَ
وحَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلالَ، فَاتَّبَعُوهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ
إِيَّاهُمْ».
"
Benar, sesungguhnya mereka telah menghalalkan untuk mereka yang haram, dan
mengharamkan untuk mereka yang halal, kemudian mereka mengikutinya
(mengamalkannya), maka yang demikian itu adalah bentuk penyembahan mereka
kepada nya ". (HR. Ahmad dan Turmudzi no. 3095. Dihasankan oleh Syeikh
Al-Albani).
Beda niat dan beda tujuan maka beda pula hasilnya:
Ada
orang yang melakukan ibadah sholat, puasa, zakat, haji dan sedekah sembelihan
tapi tujuannya PUJIAN MANUSIA maka itu perbuatan SYIRIK KECIL alias RIYA, yang
tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam. Namun jika tujuannya adalah
untuk jin dan syeitan agar mendapatkan ilmu kedigjayaan atau perlindungan dari
jin maka hukum nya syirik besar yang bisa menyebabkan seseorang kekal dalam api
Neraka.
Dalam
hadits yang diriwaytakan Mahmud bin Labiid al-Anshari: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إنَّ أخْوَفَ ما أخافُ عليكم الشِّركُ الأصْغَرُ،
قالوا: وما الشِّركُ الأصْغَرُ يا رسولَ اللهِ؟ قال: الرِّياءُ ، يقولُ اللهُ عزَّ
وجلَّ لهم يومَ القِيامةِ إذا جُزِيَ الناسُ بأعمالِهم: اذْهَبوا إلى الذين كنتُم
تُراؤون في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدون عِندَهُم جزاءً؟!
"Sesungguhnya
yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil."
Mereka
bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah ﷺ?
Rasulullah
ﷺ menjawab: "Riya`, Allah 'azza wajalla
berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas
amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia
lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan disisi mereka?"
[HR.
Ahmad (23630) dan kata-katanya adalah miliknya, Al-Bayhaqi dalam "Shu`ab
Al-Iman" (6831), dan Al-Baghowi dalam "Syarh Al-Sunnah" (4135).
Hadits
ini Di shahihkan Al-Albani dalam "Sahih Al-Jami'" (1555) dan di
Hasankan oleh Syu'aib al-Arnauth dalam Takhrij al-Musnad no. 23630.
Dan
dalam hadits lain: dari Syaddad bin Aws radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ ، أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلَا
قَمَرًا وَلَا وَثَنًا ، وَلَكِنْ أَعْمَالًا لِغَيْرِ اللَّهِ، وَشَهْوَةً
خَفِيَّةً
"Sesungguhnya
sesuatu yang paling saya khawatirkan atas ummatku adalah syirik kepada Allah,
saya tidak mengatakan bahwa mereka menyembah matahari dan juga rembulan, tidak
pula menyembah berhala, akan tetapi mereka beramal untuk selain Allah dan
syahwat yang tersembunyi."
Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dalam “Al-Sunan” (No. 4205) melalui Al-Hasan bin Dzakwan, dari
Ubadah bin Nasii, dari Shaddad bin Aws dengannya.
Hadits
ini di dha’ifkan sanadnya oleh al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Atarhiib 1/55
dan al-Albaani dalam Dha’if Ibnu Majah.
Namun
makna-nya benar, dikuatkan oleh hadits yang di atas dan juga oleh Firman Allah
SWT:
﴿قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى
إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا﴾
Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya". [QS. Al-Kahfi: 110]
Berdasarkan
ayat al-Quran dan hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa Ibadah Tirakat Puasa
dan ritual ibadah lainnya jika di tujukan untuk mendapat kan ilmu kesaktian,
kanuragan, pengasihan, pesugihan dan lainnya adalah perbuatan syirik besar.
Orang
yang tujuan ibadah-ibadahnya itu untuk Jin Ilmu Kanuragan dan Kesaktian, maka
pada hakikatnya dia sedang beribadah kepada Jin, dan itu SYIRIK BESAR, meskipun
cara sholatnya, puasanya, menyembelih binatangnya nya dll sesuai dengan syarat
dan rukun dalam syariat Islam. Karena yang paling utama itu adalah niat dan
tujuan yang sebenarnya.
Allah
Ta’ala juga berfirman:
﴿إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنْصَارٍ﴾
“Sesungguhnya
orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).
Bahkan
meskipun orang tersebut ahli infaq, sedekah dan banyak membangun masjid-masjid
Allah, maka tetap saja amalannya akan saia-sia, bahkan kekal dalam api Neraka.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
﴿مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا
مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ ۚ أُولَٰئِكَ
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ﴾
"
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang
mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia
pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka". [QS. At-Taubah: 17].
Apalalagi
di sertai dengan ritual mempersembahkan sembelihan dan sesajian, meskipun hanya
seekor lalat.
Syariat Islam dalam memandang bentuk persembahan dan sesajian, tidak melihat dari sisi nilai materinya saja, melainkan melihat juga dari sisi makna yang tersirat dalam praktek memberi persembahan tersebut. Meski seekor lalat atau sebatang rokok cerutu yang dipersembahkan kepada berhala, jin, syeitan dan makhluk halus lainnya, maka tetap saja hukumnya adalah sebuah pengabdian dan penyembahan.
===***===
RITUAL MENGHADIRKAN ROH MURSYID SAAT BERIBADAH KEPADA ALLAH SWT
Sebagian sekte Tharekat Sufi mengajarkan bahwa orang-orang yang
ber-thariqah dapat menghadirkan gurunya secara ruhaniyah serta membayangkannya
seakan-akan terlihat didepannya di saat melaksanakan ibadah, dengan tujuan
untuk diajak bersama-sama menghadapkan wijhah atau ber-tawajjuh kepada Allah
ta’ala.
Mereka mengatakan : Mengadirkan roh mursyid dalam dzikir dan doa
bukanlah tentang memanggil roh secara harfiah, melainkan menghadirkan sosok
mursyid (guru spiritual) dalam hati sebagai motivasi dan pengingat untuk lebih
mendekat kepada Allah melalui amalan spiritual, seperti dalam praktik robithoh.
Ini adalah bentuk bimbingan spiritual yang membantu murid untuk terus berada di
jalan yang benar menuju Allah.
Hal tersebut menurut mereka dilakukan agar supaya tidak tersesat, ibadah
yang dilaksanakannya lebih terfasilitasi kekhusyu’annya dan terbukanya pintu
ijabah dari Allah Ta’ala.
Pernyataan ini Bertentangan dengan sabda Rasulullah ﷺ:
قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Jibril pun berkata,”Apakah ihsan?” Rasulullah ﷺ
bersabda,”Engkau
beribadah kepada Allah seaakan akan Engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” (Riwayat Al Bukhari no. 50 dan Muslim
no. 9)
Inilah martabat tertinggi, engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya. Ketika tidak seorang pun dapat melihat Allah SWT didunia, maka
Rasulullah bersabda, sembahlah Allah dengan keyakinan bahwa ia melihatmu, ini
merupakan salah satu martabat Ihsan; pengawasan Allah SWT.
Sementara para sufi dalam hal ini menjadikan para syeikh mereka pengawas
dan penuntun, sebagai ganti pengawasan Allah terhadap dirinya. Apa yang mereka
lakukan ini merupakan kesalah kaprahan.
Dan ini mirip dengan ritual meditasi dalam Yoga Hindu, agama Budha dan
ritual Ninja Jepang.
Sementara dalam Islam Ahlus Sunnah : Melarang saat berdoa kepada Allah
dengan menghadirkan roh siapapun, bahkan tidak boleh meskipuan hanya sekadar
menyertakan penyebutan nama seseorang di dalamnya Allah ﷻ berfirman:
﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا
تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kalian berdo’a kepada Allah dengan menyertakan seseorang-pun di
dalam-nya”. [QS. Jinn: 18]
Dan Allah SWT menyebutkan pula salah satu ciri hamba Allah ar-Rahman
adalah :
﴿وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ
إِلَٰهًا آخَرَ ﴾
“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain beserta Allah (saat
berdo’a)”. [QS. Furqan: 68].
Dan tidak boleh pula, meskipun alasanya menjadikan roh mursyid sebagai
pembimbing atau penunjuk jalan (mursyid) agar bisa semakin dekat kepada Allah.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
﴿أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ﴾
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
Dan orang-orang yang menetapkan wali-wali selain Allah, (mereka berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang yang pendusta dan sangat ingkar”. [QS. Az-Zumar: 3]
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasululllah ﷺ bersabda:
(قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ)
*"Allah Ta‘ālā berfirman: Aku adalah Zat yang paling tidak butuh pada sekutu. Siapa yang mengerjakan suatu amal dan mengikut sertakan selain-Ku dengan Aku, maka Aku tinggalkan dia dengan sekutunya."*
(HR. Muslim no. 2985; lihat juga: HR. Ibn Mājah no. 4202. Al-Būṣīrī mengatakan sanadnya ṣaḥīḥ dan para perawinya terpercaya. Disetujui oleh al-Albānī dalam *Aḥkām al-Janā’iz*, hlm. 53)
Dalam lafadz Ibnu Majah :
(فَأَنَا بَرِيءٌ مِنْهُ، وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ)
“Maka Aku berlepas diri darinya, dan amal itu adalah untuk sekutu yang ia ikut sertakan di dalamnya.”
KAPAN DIPERBOLEHKAN MENYEBUT NAMA SESEORANG SAAT BERDOA ?
Boleh menyebutkan nama seseorang saat berdo’a, jika tujuannya untuk
mendoakannya, bukan untuk minta bantuan atau bimbingan.
Contoh-nya: Menyebutkan nama Nabi ﷺ dalam doa sholawat untuknya. Karena adanya perintah dari Allah SWT dan
Rasul-Nya sebagaimana yang telah maklum.
Allah SWT berfirman :
﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya”. [QS. Al-Ahzab: 56]
Dan dalam hadits Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu di sebutkan bahwa
Nabi ﷺ bersabda:
قُولُوا: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ
وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ،
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ، وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Kalian Ucapkanlah :
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan
shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia.
Ya Allah, limpahkanlah berkah kepada Muhammad
dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan berkah kepada
Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.” [HR. Bukhori
no. 3370 dan Muslim no. 406].
Contoh lain : Atau mendo’akan do’a kebaikan untuk orang
lain selain Nabi ﷺ. Karena adanya perintah dan
anjuran dari Allah SWT :
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ﴾
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [QS. Al-Hashr:
10]
Dan Rasulullah ﷺ bersabda :
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخِيهِ
بظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّما دَعَا لأَخِيهِ
بخَيْرٍ، قالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بهِ: آمِينَ وَلَكَ بمِثْلٍ.
“Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang tersebut adalah doa yang dikabulkan. Di dekat kepalanya ada malaikat yang ditugaskan, setiap kali ia berdoa kebaikan untuk saudaranya, malaikat yang ditugaskan itu berkata: “Aamiin, dan engkau pun mendapatkan seperti itu.” [HR. Muslim no. 2733]
===
URGENSINYA MURSYID DALAM SEBAGIAN TAREKAT SUFI:
Sebagian dari mereka mengatakan: "Tujuan tarekat adalah untuk mengenal
Allah, sedangkan mursyid bertujuan untuk membimbing atau mengarahkan orang
untuk mengenalkan ilmu hakikat dan ma'rifat".
Prof. Dr. H.S. S. Kadirun Yahya
mengatakan:
Sesungguhnya menghadirkan (menyertakan) Syekh Mursyid dalam berzikir dan
beribadat tidak hanya terdapat dalam Tarekatullah Qodiriyyah dan
Naqsyabandiyah, tetapi juga terdapat pada seluruh lembaga tarekat-tarekat
muktabarah.
Para pakar Tarekat Naqsyabandiah sepakat membolehkan dan membenarkan
untuk menghadirkan roh Syekh Mursyid karena fungsinya sebagai ulama pewaris
Nabi, sebagai Imam/pembimbing rohani, dengan tujuan agar orang yang berzikir
dan beribadat itu terhindar dari segala was-was, rupa-rupa/pandangan-pandangan
lain, bisikan-bisikan lain, perasaan-perasaan lain, yang diciptakan oleh iblis
dan setan yang selalu mengganggu orang-orang yang berzikir dan beribadat itu,
padahal yang bersangkutan belum tinggi kualitas iman dan takwanya.
WASILAH dan ROBITHOH
Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan robitoh dalam
suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi penting
dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid, berwasilah dan
merobitohkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah.
[Sumber: Prof. Dr. H.S. S. Kadirun Yahya dalam tausyiahnya pada
peringatan hari Guru dan Hari Silsilah tanggal 20 Juni 1996].
Mereka tidak saja menjelaskan pentingnya ilmu ini dengan pemisalan yang
tinggi, tapi sekaligus sebagai teladan. Sandaran dalam bertarikat harus berguru
atau belajar secara langsung kepada orang yang telah ma'rifat.
Lalu mereka berdalil dengan sbb:
Dalil Pertama: Allah SWT. Berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ
سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿المائدة: ۳۵﴾
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan
carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
(berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS. Al-Maidah: 35)
Penulis katakan:
Bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan menghadirkan mursyid dalam
Ibadah. Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir ketika menafsiri ayat ini, dia berkata:
“Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Talhah, dari Ata, dari Ibnu
Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-wasilah di sini ialah qurbah atau
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid. Abu Wail, Al-Hasan,
Qatadah, Abdullah ibnu Kasir. As-Saddi. dan Ibnu Zaid serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud ialah “dekatkanlah diri kalian
kepada-Nya dengan taat kepada-Nya dan mengerjakan hal-hal yang diridai-Nya”.
Lalu Ibnu Katsir berkata: " Al-wasilah ialah sesuatu yang
dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan".
Dalil kedua:
Hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab (RA), dia berkata:
اسْتأذَنْتُ النَّبيَّ ﷺ في العُمْرَةِ ،
فَأذِنَ ، وقال:« لاَ تَنْسَانَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ » ، فقالَ: كَلِمَةً
ما يَسُرُّنِي أنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا. وفي رواية قَالَ: « أشْرِكْنَا يَا
أُخَيَّ في دُعَائِكَ ».
“Aku pernah minta izin kepada Nabi ﷺ
untuk berumrah, maka
beliau mengizinkanku, dan beliau berkata: " Wahai saudara kecilku,
jangan lupakan kami dari doamu ".
Umar bercerita: Sebuah kalimat, kalau seandainya kalimat itu ditukar
dengan dunia maka tidak akan bisa menyenangkanku ".
Dalam satu riwayat Rosulullah ﷺ
berkata kepadanya:
“Wahai saudara kecilku, ikut
sertakanlah kami didalam doamu ".
(HR. Abu Daud no. 1500 dan Turmudzi no. 3562. Abu Isa At-Turmudzi
berkata: Hadits hasan Shahih ". Dan di dlaifkan oleh syeikh Al-Albani
dalam Dhaif al-Jaami' 6278 dan Tahqiiq Riyadhush Shoolihiin no. 718. Dan di
dhaifkan pula oleh Shaikh Ibnu 'Utsaimin dalam Syarah Riyadhush Shoolihiin
4/154).
Penulis katakan:
Bahwa hadits ini tidak ada kaitannya dengan menghadirkan mursyid dalam
Ibadah. Yang benar dalam hadits ini Nabi ﷺ
berpesan kepada Umar
agar jangan lupa mendoakan Rosulullah ﷺ
juga saat beribadah
Umrah. Berdasarkan hadits ini kita dianjurkan bertawssul dengan doa seseorang
yang masih hidup ,
Dalil ke tiga:
Hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ
اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Jadikanlah dirimu senantiasa bersama Allah, jika kamu belum bisa
bersama Allah, maka jadikanlah dirimu bersama orang yang senantiasa bersama
Allah, maka ia akan mengantarkanmu kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
[Perhatian: untuk hadits Ibnu Mas'ud ini penulis sudah berusaha
mencarinya, tapi belum menemukannya, baik dalam Sunan Abu Daud maupun dalam
kitab-kitab hadits lainnya].
Dalil keempat:
Hadits Nabi ﷺ:
مَنْ لاَ شَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ
فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ
Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya
ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.
[Perhatian: Hadits ini, penulis belum menemukan nya dalam
kitab-kitab hadits].
Mereka berkata: Berdasarkan keterangan Hadits-hadits di atas bahwa kita
harus menyertakan diri kepada orang yang beserta Allah, artinya kita harus
belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim
disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid
al-Busthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru,
maka syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadits Nabi ﷺ:
مَنْ لاَ شَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ
فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ
Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya
ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.
Seluruh syekh tarekat tasawuf sepakat bahwa tak seorang pun boleh
mengajarkan dan memberikan bimbingan tentang hakikat, kecuali telah menguasai
syariat secara benar dan mendalam. Langkah ini pulalah yang ditekankan oleh
sejumlah tokoh tarekat terkemuka lainnya. Seperti Syekh Abu al-Hasan
as-Syadzlili, pendiri tarekat as-Syadziliyah. Barangsiapa yang kehilangan akar
tak akan berhasil mencapai puncak, kata imam as-Sya’rani sebagaimana dinukil
Sayid Bakari. (As-Sayid, Takrifat, hal. 95).
=====
MENGHADIRKAN ROH MUSRYID MIRIP DENGAN MANTRA YOGA DALAM HINDU:
Penggunaan mantra yoga ini banyak dilakukan oleh banyak 'rumah
yoga/padepokan/ pertapa'. Penggunaan istilah "mantra syirik
[politeistik]" di kalangan yogi terkadang disamarkan sebagai CHANTING
[kidungan].
CHANTING adalah menyebutkan kalimat yang diulang seperti " OM YOGA
OM", adalah untuk meditasi dalam rangka memusatkan konsentrasi dengan
membuang pikiran yang ada di luar sebelum berlatih Yoga dengan tujuan “menghadirkan”
kekuatan ghaib “roh Dewa” pada dirinya.
Mantra " OM YOGA OM" yang sering dilafalkan sebelum latihan
yoga adalah sebuah mantra syirik. Dimana kita ketahui penyebutan suku kata om
sering dilakukan pemeluk agama hindu atau budha. Maka jika kita menyebutkan om
yoga om maka tanpa sadar kita akan terjerumus pada kesyirikan.
Sama seperti penyebutan simbol-simbol Reiki seperti simbol Raku (bentuk
petir) yang mempunyai fungsi mengusir kekuatan jahat. Namun simbol Raku ini
sebetulnya adalah lambang kekuatan Dewa Petir Tibet yang bernama Vajrapani atau
dalam bahasa Tibet disebut Dorju Raiten (kekuatan langit yang terang
benderang).
Simbol ini dianggap lambang kekuatan tertinggi di bumi yang bisa dikuasai
manusia dan hanya dapat digunakan secara sempurna oleh seorang Dewa.
Hakikatnya jika kita memanggil simbol Raku dan memanggil namanya
sesungguhnya kita memanggil kekuatan Dewa Petir Tibet dengan kata lain kita
disadari atau tidak disadari akan berbuat syirik pada Allah karena memanggil
dan meminta kekuatan Dewa-Dewanya masyarakat Tibet. Begitu pula halnya jika
menyebut om yoga om. Kalimat tersebut adalah bahasa weda yang berarti sebutan
bagi Tuhan / Dewa-dewanya agama Hindu.
Maha Suci Allah dari yang orang-orang kafir sifatkan. Tiada dewa atau
tuhan selain Allah.
Firman Allah Ta’ala:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ
اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”(QS.Anbiyaa’(21):22)
====****====
ADA EMPAT SYARAT UTAMA AGAR IBADAH MEMUNGKINKAN UNTUK DITERIMA OLEH ALLAH SWT:
Al-Quran dan Sunnah Nabi ﷺ telah gamblang menjelaskan bahwa sebuah amalan agar menjadi amal saleh lagi di terima serta dengannya bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, harus memenuhi EMPAT syarat yang sangat penting :
====
Syarat Pertama : Ikhlas Alias Murni Karena Allah Semata :
Pelakunya, melakukannya dengan ikhlas murni semata-mata
karena untuk mendapatkan ridlo Allah Azza wa Jalla.
Lawan dari ikhlash karena Allah adalah syirik uluhiyyah
(syirik penyembahan) atau syirik dalam arah dan tujuan ibadah. Syirik
jenis ini ada dua tingkatan :
[1] adalah syirik kecil alias riya, yakni
tujuan ibadahnya tidak murni karena Allah semata, melainkan ada tujuan karena
untuk mendapat perhatian dari manusia.
[2]- adalah syirik besar, yakni tujuan ibadahnya untuk syaitan
dan jin, contohnya seperti untuk mendapat perlindungan, pertolongan, ilmu
kesaktian, pelet dan pesugihan dari jenis jin khodam yang
diinginkan.
===
Syarat kedua : Sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah.
Amalannya sesuai dengan yang Allah syariatkan dalam kitab
Nya Al-Qur'an atau di jelaskan oleh Rosulullah ﷺ dalam sunnah-sunnahnya.
Lawannya adalah bid’ah dan syirik rububiyyah alias syirik
ketuhanan dalam hal penciptaan syariat dan tata cara ibadah kepada Allah.
Yakni ; seseorang beribadah kepada Allah, bukan dengan
syariat Allah, melainkan dengan syariat ciptaan manusia dan perintah-nya.
Dengan demikian pelakunya -tanpa ia sadari- telah mengakui bahwa ada selain
Allah yang berhak menciptakan syariat dalam agama Allah ini dan tata cara
ibadah kepada-Nya.
Orang yang beribadah kepada Allah dengan syariat ciptaan
manusia, maka pada hakikatnya orang tersebut menyembah manusia pencipta syariat
tersebut; karena dibangun diatas kepatuhan dan ketaatan kepada manusia
tersebut.
Iblis adalah makhuk Allah yang paling dahsyat ibadahnya
kepada Allah dan sujud kepada-Nya. Semangat ibadah Iblis kepada Allah
mengalahkan ibadah seluruh para malaikat, sehingga ia diangkat oleh mereka
menjadi penghulu para malaikat.
Namun ibadah Iblis kepada Allah, tidak
didasari karena perintah Allah dan bukan karena kepatuhan
kepada-Nya. Melainkan karena mengikuti hawa nafsunya, maka Allah SWT
pertunjukkan kepada para malaikat “siapakah Iblis yang sebenarnya?”,
dengan perintah sujud kepada Adam ‘alaihis salam. Iblis membangkang, tidak
patuh dan sombong. Berbeda dengan para malaikat, mereka segera sujud karena
patuh kepada Allah, apapun bentuk perintah-Nya.
Batasan
ini, berlaku terutama dengan ibadah muqayyad (terikat ketentuannya) yang
ditetapkan oleh dalil syar’i dengan batasan tertentu. Contohnya seperti shalat
fardhu 5 waktu, shalat Istisqo, puasa Ramadhan dan Ibadah Haji.
Lalu bagaimana dengan ibadah muthak ?
Ibadah mutlak adalah ibadah yang disyariatkan oleh Allah Azz
wa Jalla atau Rasul-Nya tanpa memberikan batasan tertentu terkait waktu,
tempat, jumlah, atau bentuk tertentu.
Contohnya : Baca Sholawat, dzikir mutlak, qiyamullail dan
yang samisalnya.
Artinya, ibadah ini tidak ditentukan waktunya secara
khusus, tidak ada tempat tertentu, dan tidak ada ukuran tertentu, sehingga
orang yang melakukannya memiliki kebebasan untuk mengerjakannya kapan saja, di
mana saja, dan dengan kadar yang dimampui selama masih dalam batasan syariat.
Maka jenis ibadah mutlak ini , tidak boleh mengamalkannya
secara muqoyyad dengan mengatas namakan dari Allah dan Rasul-Nya atau
menetapkan faidah atau pahala tertentu, kecuali jika mengtaqyid-nya atau
mendawamkan-nya itu hanya sebatas karena kecintaan atau kesempatan yang
dimilikinya.
Contohnya : sperti yang pernah dilakukan imam masjid Quba
pada masa Nabi ﷺ yang senantiasa
mendawamkan baca surat al-Ikhlash setelah baca surat lain dalam shalatnya. Dan
itu dipuji oleh Nabi ﷺ, dengan sabdanya
“Sesungguhnya engkau bersama dengan apa yang engkau cintai”.
====
Syarat Ketiga : Syariatnya Belum Di Mansukh (Belum Dihapus atau Belum Diganti).
Syariatnya masih sholeh , yakni masih berlaku dan belum
dihapus atau di mansukh .
Contoh nya syariat Qiblat alias
arah ibdah shalat :
Dulu ketika Nabi ﷺ masih berada di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, 13 tahun
lamanya Qiblat shalatnya menghadap ke Baitul Maqdis – Palestina . Kemudian
setelah Nabi ﷺ hijrah ke
Madinah dan setelah tinggal di Madinah 16 bulan atau 17 bulan , maka kiblatnya
dirubah ke arah Ka'bah di Makkah .
====
Syarat ke empat : Pelakunya Ahli Tauhid, Bukan Ahli Syirik.
Pelaku ibadahnya adalah seorang hamba Allah, ahli tauhid,
yang betul-betul murni mengesakan Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.
Dia senantiasa menjadikan Allah SWT sebagai ash-Shomad (tempat bergantung dan
bersandar), artinya : dia berdoa hanya kepada Allah, memohon perlindungan dan
pertolongan hanya kepad-Nya, bertawakkal hanya kepada-nya dan berharap hanya
kepada-Nya.
Dia tidak terikat dengan keyakinan syirik dan tidak
terlibat dalam ritual-ritual kesyirikan .
Lawan ahli tauhid adalah ahli syirik alias musyrik
menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya.
Contohnya adalah : menyekutukan Allah dengan cara memohon
perlindungan dan bertawakkal kepada selain Allah seperti kepada jimat-jimat
atau benda-benda pusaka yang diyakini bisa mendatangkan manfaat dan menolak
bala.
Atau menyekutukan Allah dengan cara meminta perlindungan
kepada jin khadam kejadugan, seperti kepada komunitas jin Tajimalela, jin
Betara karang, jin Panca sona dan lain-lain.
Atau minta pertolongan kepada jin khodam pesugihan, jin
khodam pelet, jin khodam Santet dan lainnya.
Atau melakukan ritual selamatan dan sedekah bumi dengan
mempersembahkan kurban dan sesaji kepada jin dedemit penguasa lembah atau
penguasa gunung. Begitu juga sedekah laut dengan mempersembahkan
kepala kerbau dan sesaji kepada penguasa laut.
Jika amalan ibadah seseorang tidak memenuhi 4 syarat
tersebut diatas maka amalannya bukanlah amal yang saleh dan bukan pula yang
memungkinkan untuk bisa diterima oleh Allah swt.
Beda niat beda hasil.
Contohnya : Jika niat para malaikat sujud kepada Adam itu
karena mentaati perintah Allah; maka mereka ahli tauhid. Namun jika niatnya
karena Adam; maka mereka musyrik.
Jika seorang muslim sujud ke arah Ka’bah karena mentaati perintah Allah; maka mereka ahli
tauhid. Tapi jika karena Adam; maka dia musyrik.
Begitu pula niat dalam mencium hajar Aswad. Imam Muslim dalam Sahihnya no. 1270
meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa ayahnya Umar bin Khoththob
radhiyallahu ‘anhu suatu ketika mencium Hajar Aswad , lalu berkata :
« أَمَ وَاللَّهِ
لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرٌ – وفي رواية عبد الرزاق (9034) : وأَنَّك لا تَضُرُّ وَلا تَنْفَع - وَلَوْلَا
أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ
مَا قَبَّلْتُكَ »
" Demi Allah , sungguh aku tahu bahwa
kamu adalah batu , dan sesungguhnya kamu tidak bisa menghilangkan madlorot dan
tidak bisa mendatangkan manfaat , kalau seandainya aku tidak melihat Rosulullah
ﷺ menciummu
maka akupun tidak sudi menciummu ".
Jelaslah jika Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu mau mencium Hajar Aswad bukan karena beliau ingin bertabarruk dengan fisik (dzat) Hajar Aswad, melainkan beliau bertabarruk dengan mengamalkan sunnah Rosulullah ﷺ. Dengan demikian mencium Hajar Aswad adalah termasuk ibadah jika menciumnya berniat mengikuti sunnah Nabi ﷺ dan sesuai dengan cara yang syar'i, tapi jika karena niat lain apalagi dengan cara yang tidak syar'i maka bisa menjadi perbuatan musyrik.
****
KISAH NYATA :
Kisah pertama :
Penulis punya teman kuliah di Islamic University Of Medina,
namanya Furqon dari Jawa Tengah. Setelah pulang ke Indonesia, dia punya murid
yang bernama Hasbi. Dia pakar ruqyah. Lalu dia merantau dakwah ke pedalaman
dayak di Kalimantan. Di sana dia sempat berjumpa dengan tokoh Dayak yang konon
sakti mandra guna.
Singkat cerita : tokoh dayak ini pernah diruqyah oleh
ustadz Hasbi, sehingga membuat ilmu kesaktian nya menjadi luntur. Berita ini
menyebar di media koran lokal, dan ramai. Cuma sayang narasi beritanya kurang
bagus, yaitu seperti ini :
“Ada seorang ustadz muda yang menguasai 1000 jin,
mampu melelehkan kesaktian tokoh dayak yang sakti mandra guna”.
Sampailah berita tersebut ke tangan seorang habib yang
memiliki perguruan ilmu keskatian dan tenaga dalam. Maka habib itu sambil
membawa koran tsb berangkat dengan 10 orang murid pilihannya menuju ke tempat
tinggal ust. Hasbi.
Lalu Habib bertanya ke Ust. Hasbi: “ Kamu kah yang memiliki
1000 jin ini! Yang dengannya kamu bisa mengalahkan tokoh Dayak yang sakti itu?
Ini adalah perbuataan Syirik, tidak boleh hukumnya minta bantuan kepada jin
.... dst”.
Ust Hasbi menjawab : “Tidak, saya tidak punya 1000 jin dan
tidak pernah minta bantuan jin, itu hanya kata-kata dari pihak media saja. Saya
hanya meruqyah saja dengan ruqyah syar’iyyah”.
Lalu Habib itu meminta kepada ust Hasbi untuk adu ilmu
kesaktian dan tenaga dalam dengn salah satu dari 10 muridnya. Ust Hasbi pun
langsung menolaknya, karena memang dirinya tidak punya ilmu tersebut. Namun
Habib tersebut terus menerus mendesaknya.
Karena terus didesak, maka pada akhirnya Ust Hasbi memegang
tangan Habib, lalu meruqyahnya, sebagaimana dia meruqyah tokoh sakti Dayak.
Lalu Apa yang terjadi ? Habib itu kesurupan dan jin
dalam tubuhnya teriak kepanasan dan mengigau. Maka terjadilah dialog antara
Ust. Hasbi dengan Jin tersebut.
Ust Hasbi bertanya : “Apa yang membuat mu berada dalam
tubuh Habib ini?”.
Jin itu menjawab : “Dia patuh terhadap semua perintahku,
dia hambaku. Dia taat dan patuh katika aku suruh baca surat Qulhu, Falak dan
Nas 4000 x. Baca shalawat sekian ribu kali .... dst”.
Kisah ke dua :
Penulis punya teman seorang ustadz, namanya Abdul Malik,
wafat tahun 2023 M. Salah satu kegiatan ustadz ini membawa jemaah ke
tempat-tempat yang diduga keramat dan mustajab.
Suatu ketika, dia datang berkunjung ke rumah saya. Saya
bertanya kepadanya : “Kemana saja, lama tak berjumpa?”.
Dia menjawab : “Seminggu yang lalu saya bawa 9 jemaah ke
Gunung Ciremai, ke Nyi Pelet”.
Saya pun kaget : “Ngapain?”. Dia jawab : “Cari syariat dan
sebab dari Nyi Pelet supaya usaha kita menjadi lancar dan rizki
melimpah”.
Saya tegur : “ Itu perbuatan syirik”.
Dia pun membantahnya dengan menjelaskan :
“Tidak ada kesyirikan di dalamnya, karena sejak awal naik
gunung Ciremai, para jemaah di haruskan memperbanyak baca shalawat untuk Nabi ﷺ dan shalat 5 waktu harus berjemaah”.
Lalu dia melanjutkan ceritanya :
“Di kaki gunung Ciremai ini ada juru kuncen yang membimbing
kita hingga ritual selesai. Pertama-tama dia memanggil burung gagak hitam. Lalu
para jemaah digiring mengikuti burung tersebut. Dan sebagai bentuk kepatuhan
dalam ritual, para jemaah tidak boleh menengok ke arah belakang.
Di puncak gunang ada dua kuburan manusia terkutuk, karena
mereka berdua berzina di tempat tersebut ...”.
Penulis katakan tentang kisah diatas:
Pertama : “Bacaan shalawat dan shalat berjemaahnya untuk
mencari ridho Nyi Pelet”.
Kedua : “Semua Ritual yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada Juru Kuncen Pencipta Syariat Ritual tersebut”.
===***===
NABI ﷺ TIDAK MENGETAHUI YANG GHAIB
DAN TIDAK BOLEH MENYATAKAN BAHWA DIRINYA TAHU GHAIB
****
HANYA ALLAH SWT YANG TAHU PERKARA GHAIB
Hanya Allah SWT saja
yang mengetahui perkara ghaib. Karena Dia adalah 'Allaamul Ghuyuub (Yang Maha
Mengetahui Perkara-Perkara Ghaib) dan Dia adalah pemilik dan penentu semua
syariat atas segala umat hingga Hari Kiamat.
Akal manusia tidak
akan mampu untuk menyingkap tabir ghaib, kecuali jika ada wahyu dari Allah.
Termasuk Nabi Muhammad ﷺ beliau juga tidak mengetahui perkara
ghaib, bahkan Nabi ﷺ dilarang mengatakan bahwa dirinya
mengakui hal-hal yang ghaib.
Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberitahukan kepada umat manusia bahwa tidak ada seorangpun di bumi maupun di
langit yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan sesungguhnya
orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib, maka ia telah mendustakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tentang khabar ini.
****
PERINTAH ALLAH KEPADA NABI ﷺ UNTUK MENYAMPAIKAN BAHWA : “HANYA ALLAH SAJA YANG TAHU GHAIB”:
Banyak sekali dalilnya dalam al-Qur’an dan s-Sunnah, diantaranya adalah
sbb :
PERTAMA : DALIL DARI AL-QUR’AN
DALIL KE 1:
Hanya milik Allah kunci-kunci semua perkara ghaib, Allah SWT berfirman:
﴿ وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ
الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ
الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ ﴾.
Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (QS. Al-An'am:
59).
DALIL KE 2:
Allah SWT berfirman:
﴿ قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَن فِي
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ
يُبْعَثُونَ ﴾
“Katakanlah, ‘Tidak
ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali
Allah,’ dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS.
An-Naml: 65)
DALIL KE 3:
Allah Azza wa Jallaa
berfirman:
﴿ قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ
عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي
مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ
أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ ﴾.
"Katakanlah
(wahai Muhammad): "Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan
tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak
memikirkan (nya)? ". (QS. Al-An'am: 50)
DALIL KE 4:
Bagaimana jika
seandainya Nabi Muhammad ﷺ mengetahui perkara ghaib ? Allah telah
menyatakan dalam firman Nya:
﴿ قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي
نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ
وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴾
Katakanlah (wahai
Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendapatkan kemanfaatan untuk diriku dan tidak
(pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang gaib, tentulah aku telah memperbanyak kebajikan dan aku tidak
akan pernah ditimpa keburukan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. Al-A'raf:
188).
DALIL KE 5:
Dan Allah SWT
berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ
غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوا
رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا
(Dia adalah
Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali kepada rasul
yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya.
Supaya Dia
mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan
risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada
pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. [QS. Al-Jin:
26-28]
DALIL KE 6:
Dan Allah SWT
berfirman:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ
وَمَآ اَدْرِيْ مَا يُفْعَلُ بِيْ وَلَا بِكُمْۗ اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا
يُوْحٰٓى اِلَيَّ وَمَآ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ
Katakanlah
(Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku
tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu. Aku hanyalah
mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah pemberi peringatan yang
menjelaskan.” [QS. Al-Ahqoof: 9].
DALIL KE 7:
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ
غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿26﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا ﴿27﴾
“(Dia adalah Tuhan)
Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun
tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhohi-Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya”
[QS. al-Jin: 26-27]
KEDUA : DALIL DARI AS-SUNNAH
DALIL KE 1 :
Termasuk kedustaan
adalah orang yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ
bisa melihat
Tuhan-nya saat beliau masih hidup [makrifat].
Dari 'Aisyah
radhiyallahu 'anha berkata:
مَن حَدَّثَكَ أنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى
اللهُ عليه وسلَّمَ رَأَى رَبَّهُ، فقَدْ كَذَبَ، وهو يقولُ: ﴿ لَا تُدْرِكُهُ
الأبْصَارُ﴾ [الأنعام: 103]، ومَن حَدَّثَكَ أنَّه يَعْلَمُ الغَيْبَ، فقَدْ
كَذَبَ، وهو يقولُ: لا يَعْلَمُ الغَيْبَ إلَّا اللَّهُ
Barangsiapa
mengatakan kepadamu bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat
Tuhannya, maka dia telah berdusta, karena Dia berfirman: {Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata}[Al-An'am: 103]
Dan barang siapa yang
mengatakan kepadamu bahwa dia mengetahui yang ghaib, maka dia telah berdusta,
karena Dia berfirman: Hanya Allah yang mengetahui yang ghaib.
[HR. Bukhori no. 7380]
Jika saja Rosulullah ﷺ tidak bisa melihat Tuhannya, apalagi manusia biasa. Bahkan Nabi Musa
alaihis salam juga tidak bisa melihat Tuhan-Nya saat di dunia, padahal Nabi
Musa telah memohon pada-Nya. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan:
﴿ وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي
وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ ﴾
Dan tatkala Musa
datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan
Tuhan-nya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku,
tampakkanlah (dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau".
Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah pada gunung
itu, jika ia [gunung itu tidak bergeser] dan tetap berada pada tempatnya
(seperti sediakala) ; maka kamu pasti dapat melihat-Ku".
Tatkala Tuhannya
menampakkan diri pada gunung itu, maka gunung itu dijadikannya hancur luluh dan
Musa pun jatuh tersungkur pingsan.
Maka setelah Musa
sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau
dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman". [QS. Al-A'raf: 143]
DALIL KE 2:
Dari Abdullah bin
Umar, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
مَفَاتِيحُ الغَيْبِ خَمْسٌ، لَا يَعْلَمُهَا
إِلَّا اللَّهُ: لَا يَعْلَمُ مَا تَغِيضُ الأَرْحَامُ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا
يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي
المَطَرُ أَحَدٌ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
إِلَّا اللَّهُ، وَلَا يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا اللَّهُ "
“Kunci-kunci yang
ghaib itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah:
[1] Tidak ada yang
mengetahui apa yang dikandung dalam rahim kecuali Allah.
[2] Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi besok hari kecuali Allah.
[3] Tidak seorangpun tahu kapan akan turun hujan kecuali Allah.
[4] Tidak satupun jiwa tahu di bumi mana ia akan meninggal kecuali Allah.
[5] Dan tidak seorangpun tahu kapan hari kiamat akan terjadi kecuali Allah.”
[HR. Bukhori no. 7379]
DALIL KE 3:
Dari Abu Hurairah
bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا
اللهُ، ثُمَّ تَلَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِنَّ اللهِ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي
الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ} [لقمان: 34]
“’Lima perkara yang
hanya Allah yang mengetahuinya.’ Kemudian beliau ﷺ
membaca firman Allah
Ta'aalaa:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ
السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari
Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
rahim.
Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Luqman (31): 34].
[HR. Bukhori no. 48 dan Muslim no. 9]
DALIL KE 4:
Rabi’ binti Mu’awwadz
bin ‘Afra’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وَجُوَيْرِيَاتٌ
يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ،
حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ
تَقُولِينَ
”Nabi ﷺ datang menemuiku pada pagi hari ketika aku menikah, lalu beliau duduk di
atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku. Lalu gadis-gadis kecil kami
memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang
Badar. Ketika salah seorang dari mereka mengatakan,
“Dan di tengah kita
ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok “
Maka beliau bersabda:
’Tinggalkan (perkataan) itu, dan katakanlah apa yang telah engkau ucapkan
sebelumnya.’”
(HR. Bukhari no.
4001, Abu Dawud no. 4922, dan Tirmidzi no. 1090)
DALIL KE 5 :
Rosulullah ﷺ ketika memvonis hukum diantara dua
orang yang berseteru, beliau memvonis berdasarkan apa yang beliau dengar dan
lihat langsung dengan panca inderanya, bukan berdasarkan yang ghaib.
Dari Ummu Salamah ra: Bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ
تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ
مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ
حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ
النَّارِ.
Saya hanyalah manusia
biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara
kalian lebih pandai berargumentasu daripada yang lainnya, maka aku akan
memutuskan perkara ini berdasarkan apa yang aku dengar.
Maka barang siapa
yang kuputuskan (menang) untuknya ternyata di atas hak saudaranya, maka
janganlah ia mengambilnya, sebab itu seakan-akan aku memberikan untuknya
potongan api neraka. [HR. Bukhori no. 6634]
DALIL KE 6 :
Larangan mengklaim
sesorang Ahli Surga, meski dia adalah sahabat Nabi ﷺ.
Dari Ya'qub dari Ibnu
Syihab dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit dari Ummul 'Ala' Al Anshariyah -dia
adalah salah seorang wanita dari mereka-.
Ya'qub berkata:
أَخْبَرْتُهُ أَنَّهَا بَايَعَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فِي
السُّكْنَى قَالَ يَعْقُوبُ طَارَ لَهُمْ فِي السُّكْنَى حِينَ اقْتَرَعَتْ
الْأَنْصَارُ عَلَى سُكْنَى الْمُهَاجِرِينَ قَالَتْ أُمُّ الْعَلَاءِ فَاشْتَكَى عُثْمَانُ
بْنُ مَظْعُونٍ عِنْدَنَا فَمَرَّضْنَاهُ حَتَّى إِذَا تُوُفِّيَ أَدْرَجْنَاهُ
فِي أَثْوَابِهِ فَدَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ يَا أَبَا السَّائِبِ شَهَادَتِي
عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمَهُ قَالَتْ فَقُلْتُ
لَا أَدْرِي بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ مِنْ رَبِّهِ وَإِنِّي
لَأَرْجُو الْخَيْرَ لَهُ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا
يُفْعَلُ بِي قَالَ يَعْقُوبُ بِهِ قَالَتْ وَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا
بَعْدَهُ أَبَدًا فَأَحْزَنَنِي ذَلِكَ فَنِمْتُ فَأُرِيتُ لِعُثْمَانَ عَيْنًا
تَجْرِي فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرْتُهُ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاكَ عَمَلُهُ ".
"Aku
menceritakan kepadanya, bahwa wanita itu adalah orang yang pernah berbaiat
kepada Rasulullah ﷺ." Sedangkan 'Utsman bin
Madz'un menyebutkan: (bahwa hal itu berkaitan dengan) Sukna (tempat
tinggal)."
Ya'qub berkata: "Panah undian itu mengarah kepada mereka ketika
orang-orang Anshar melakukan undian tentang tempat tinggal orang-orang Muhajirin."
Ummul 'Ala' berkata:
"Selanjutnya Utsman bin Madz'un mengeluhkan sakitnya di sisi kami kemudian
kami merawatnya sampai ketika dia meninggal kami menyelimutinya dengan bajunya,
kemudian datanglah Rasulullah ﷺ kepada kami.
Dan akupun berkata:
"Semoga Rahmat Allah senantiasa di curahkan kepadamu wahai Abu As Sa'ib.
Aku bersaksi atas kamu. Sungguh, Allah telah memuliakanmu."
Rasulullah ﷺ kemudian bersabda: "Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah
memuliakannya?"
Ummul 'Ala` berkata:
"Maka aku menjawab: "Bapak dan ibuku sebagai tebusanmu. Aku tidak
tahu."
Lantas Rasulullah ﷺ bersabda: "Kematian dari Rabbnya telah datang kepadanya, aku
berharap dia mendapatkan kebaikan. Demi Allah, mekipun aku seorang Nabi, aku
tidak tahu apa yang akan aku rasakan."
Ya'qub berkata:
"Karena ucapan itu, maka Ummu 'Ala` itu pun berkata: "Demi Allah, aku
tidak akan lagi memuji seseorang setelahnya, sehingga hal itu membuat aku
sedih. Kemudian aku bermimpi dan diperlihatkan kepadaku bahwa 'Utsman
mendapatkan mata air yang mengalir, maka aku mendatangi Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya.
Beliau ﷺ lalu bersabda: "Itu adalah amalan Utsman."
Telah menceritakan
kepada kami Abdurrazaq dia berkata telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az
Zuhri dari Kharijah bin Zaid dia berkata, Ummul 'Ala' Al Anshariyah pernah
berkata:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ
الْمَدِينَةَ اقْتَرَعَتْ الْأَنْصَارُ عَلَى سَكَنِهِمْ فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ
بْنُ مَظْعُونٍ فِي السُّكْنَى فَذَكَرَتْ الْحَدِيثَ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ مَا
أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ
"Ketika
orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, maka orang-orang Anshar melakukan Qur'ah
(undian) untuk menentukan tempat tinggal mereka, maka keluarlah pilihan untuk
kami 'Utsman bin Madz'un…kemudian dia menyebutkan lafadz hadits. Hanya saja dia
menyebutkan lafadz:
"Meskipun aku
adalah utusan Allh [Rasulullah], namun aku tidak tahu apa yang akan Allah
lakukan terhadap aku dan juga terhadap kalian."
[HR. Ahmad no. 26186
dan Bukhori no. 2687, 1243. Dan lafadz ini adalah milik Imam Ahmad]
DALIL KE 7 : KISAH " HADITS AL-IFK
[حَدِيْثُ الإِفْكِ].
Berikut ini kisah
tentang berita Hoax yang menimpa keluarga Nabi SAW, dimana A’isyah RA di fitnah
berzina dengan seorang Sahabat. Dalam kisah ini menunjukkan bahwa Rosulullah ﷺ tidak mengetahui perkara ghaib.
Dari ['Aisyah
radliallahu 'anha] isteri Nabi ﷺ
, ketika orang-orang
penuduh berkata kepadanya seperti apa yang sudah mereka katakan, lalu Allah SWT
membersihlan dirinya dari fitnah keji ini.
Az-Zuhriy Berkata:
Semua mereka
menceritakan kepadaku sekumpulan cerita 'Aisyah, sebagian mereka lebih cermat
daripada sebagian lain dan lebih kuat kisahnya, lalu aku cermati hadis dari
masing-masing mereka yang mereka ceritakan padaku dari 'Aisyah. Hadis-hadis
tersebut satu sama lainnya saling menguatkan, mereka menduga bahwa 'Aisyah
radliallahu 'anha berkata:
"Adalah
Rasulullah ﷺ bila berniat hendak mengadakan suatu perjalanan, Beliau mengundi
diantara isteri-isteri Beliau. Bila nama seorang dari mereka keluar berarti dia
ikut bepergian bersama Beliau. Pada suatu hari Beliau mengundi nama-nama kami
untuk suatu peperangan yang Beliau lakukan, maka keluar namaku hingga aku turut
serta bersama Beliau setelah turun ayat hijab, aku dibawa didalam sekedup dan
ditempatkan didalamnya.
Kami berangkat,
hingga ketika Rasulullah ﷺ telah selesai dari peperangan tersebut,
maka kami pun kembali pulang.
Ketika hampir dekat
dengan Madinah, Beliau mengumumkan untuk beristirahat malam. Maka aku keluar
dari sekedup saat Beliau dan rambongan berhenti. Lalu aku berjalan hingga aku
meninggalkan pasukan.
Setelah aku selesai
menunaikan keperluanku, aku kembali menuju rombongan namun aku meraba dadaku
ternyata kalungku yang terbuat dari batu akik telah jatuh. Maka aku kembali
untuk mencari kalungku.
Kemudian orang-orang
yang membawaku menuntun kembali unta tungganganku, sedang mereka menduga aku
sudah berada didalam sekedup. Memang masa itu para wanita berbadan
ringan-ringan, tidak berat, dan mereka tidak memakan daging, yang mereka makan
hanyalah sesuap makanan hingga orang-orang tidak dapat membedakan berat sekedup
ketika diangkat apakah ada wanita didalamnya atau tidak.
Saat itu aku adalah
wanita yang masih muda. Maka mereka menggiring unta-unta dan berjalan. Dan aku
baru mendapatkan kembali kalungku setelah pasukan sudah berlalu. Maka aku
datangi tempat yang semula rombongan berhenti namun tidak ada seorangpun
disana, lalu aku kembali ke tempatku saat tadi berhenti dengan harapan mereka
merasa kehilangan aku lalu kembali ke tempatku.
Ketika aku duduk, aku
merasa sangat ngantuk hingga akhirnya aku tertidur. Adalah Sofwan bin Al
Mu'aththol as-Sulamiy adz-Dzakwan datang dari belakang rombongan pasukan hingga
dia menghampiri tempatku dan dia melihat ada tanda orang sedang tidur. Maka dia
mendatangiku.
Dahulu sebelum turun
ayat hijab, dia pernah melihat aku. Aku terbangun dengan sangat kaget ketika
dia menghentikan hewan tunggangannya dan merundukkannya hingga aku menaiki
tunggangannya itu. Lalu dia menuntunnya hingga kami dapat menyusul rombongan
setelah mereka singgah untuk melepas lelah ketika siang berada di puncaknya.
Maka binasalah siapa
saja yang binasa [Yakni Gempar]. Dan orang yang berperan menyebarkan tuduhan
adalah 'Abdullah bin Ubay bin Salul.
Kami tiba di Madinah
dan aku menderita sakit selama satu bulan sementara orang-orang mulai
terpengaruh dengan berita bohong (tuduhan) ini dan mereka membiarkan aku dalam
kondisi sakit apalagi aku tidak melihat dari Nabi ﷺ
kelembutan yang biasa
aku dapatkan jika aku sakit.
Beliau ﷺ hanya menjenguk aku lalu memberi salam lalu bertanya tentang keadaanku
hanya dengan memberi isyarat sedang aku tidak menyadari sedikitpun apa yang
sedang terjadi.
Hingga ketika aku
berangsur pulih dari sakit aku keluar bersama Ummu Misthoh menuju tempat kami
biasa membuang hajat, kami tidak keluar kesana kecuali di malam hari, itu
terjadi sebelum kami mengambil tabir dekat dengan rumah kami, kebiasaan kami
saat itu yaitu kebiasaan orang-orang Arab dahulu (arab tradisional) bila berada
diluar rumah atau di lapangan terbuka.
Maka kami, aku dan
Ummu Misthoh binti Abi Ruhum berjalan. Lalu dia tergelincir karena kainnya,
seraya dia mengumpat: "Celakalah Misthoh".
Aku katakan:
"Sungguh buruk apa yang kamu ucapkan tadi. Apakah kamu mencela seorang
yang pernah ikut perang Badar?"
Dia berkata:
"Wahai baginda putri, apakah Baginda belum mendenar apa yang mereka
perbincangkan?"
Lalu dia mengabarkan
kepadaku tentang berita bohong (tuduhan keji). Kejadian ini semakin menambah
sakitku diatas sakit yang sudah aku rasakan. Ketika aku sudah kembali ke
rumahku, Rasulullah ﷺ masuk menemuiku, lalu memberi salam dan
berkata: "Bagaimana keadaanmu?"
Aku jawab:
"izinkan aku untuk pulang ke rumah kedua orangtuaku".
'Aisyah berkata:
"Saat itu aku ingin mencari kepastian berita dari pihak kedua orang
tuaku".
Maka Rasulullah ﷺ memberiku izin dan akhirnya aku menemui kedua orangtuaku lalu aku
tanyakan kepada ibuku: "Apa yang sedang dibicarakan oleh
orang-orang?"
Ibuku menjawab:
"Wahai ananda, anggaplah ringankan urusan yang sedang menimpa dirimu ini.
Sungguh demi Allah, sangat jarang seorang wanita yang tinggal bersama seorang
suami yang dia mencintainya padahal ia mempunyai isteri lain, melainkan
isteri-isteri lainnya akan menyebarluaskan aibnya".
Aku katakan:
"Subhanallah, sungguh orang-orang sudah memperbincangkan masalah
ini?"
Aisyah berkata:
"Maka aku
melewati malam itu hingga pagi dengan air mata tak bisa lagi menetes karena
habis dan aku tidak bisa tidur karenanya hingga ketika pagi hari, Rasulullah ﷺ memanggil 'Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu belum
juga turun untuk mengajak keduanya bermusyawarah perihal rencana menceraikan
isteri-isteri Beliau. Adapun Usamah, ia memberi isyarat kepadanya dengan apa
yang diketahuinya secara persis karena kecintaannya kepada rumah tangga
Rasulullah.
Usamah berkata:
"Keluarga Baginda wahai Rasulullah, demi Allah tidaklah kami mengenalnya
melainkan kebaikan semata".
Sedangkan 'Ali bin
Abi Thalib berkata: "Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyusahkan
Baginda sebab masih banyak wanita-wanita lain selain dia dan tanyakanlah kepada
sahaya wanitanya yang dia akan membenarkan baginda".
Maka Rasulullah ﷺ memanggil Barirah lalu berkata: "Wahai Barirah, apakah kamu melihat
pada diri Aisyah sesuatu yang meragukan kamu tentangnya?"
Barirah menjawab:
"Demi Dzat Yang mengutus Baginda dengan benar, sama sekali aku belum
pernah melihat aib pada diri Aisyah yang bisa kugunakan untuk membongkar
aibnya, kalaupun aku melihat sesuatu padanya tidak lebih dari sekedar perkara
kecil, yang ketika dia masih sangat muda dia pernah ketiduran saat menjaga
adonan rotinya, lantas ada hewan ternak datang dan memakan adonan
tersebut".
Maka pada suatu hari
Rasulullah ﷺ berdiri untuk kemudian meminta pertanggung jawaban 'Abdullah bin Ubay
bin Salul.
Rasulullah ﷺ berkata: "Siapakah yang bisa mengemukakan pertanggungjawaban
terhadapku terhadap seseorang yang telah kudengar telah menyakiti keluargaku?.
Demi Allah, aku tidak mengetahui keluargaku melainkan kebaikan semata. Sungguh
mereka telah menyebut-nyebut seseorang laki-laki (maksudnya Shofwan yang
diisukan selingkuh) yang aku tidak mengenalnya melainkan kebaikan semata, yang
dia tidak pernah mendatangi keluargaku melainkan selalu bersamaku".
Maka Sa'ad bin Mu'adz
berdiri lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku akan membalaskan penghinaan
ini buat anda. Seandainya orang itu dari kalangan suku Aus, kami akan penggal
batang lehernya dan seandainya dari saudara-saudara kami suku Khazraj,
perintahkanlah kami pasti akan kami laksanakan perintah Baginda tersebut".
Lalu beridirlah Sa'ad
bin 'Ubadah, pimpinan suku Khazraj, yang sebelumnya dia adalah orang yang
shalih namun hari itu terbawa oleh sikap fanatik kesukuan: "Dusta kamu,
kamu tidak akan pernah bisa membunuhnya dan tidak akan bisa
membalaskannya".
Kemudian Usaid bin Hudhoir
berdiri seraya berkata: "Justru kamu yang dusta, kami pasti akan
membunuhnya. Sungguh kamu sudah menjadi munafiq karena membela orang-orang
munafiq".
Maka terjadilah
perang mulut antara suku Aus dan Khazraj hingga sudah saling ingin melampiaskan
kekesalannya padahal Rasulullah ﷺ
masih berdiri di atas
mimbar hingga akhirnya Beliau turun lalu menenangkan mereka hingga akhirnya
mereka terdiam dan Beliau pun diam.
Maka aku menangis
sepanjang hariku hingga air mataku tak bisa lagi menetes karena kering dan aku
tidak bisa tidur karenanya hingga akhirnya kedua orangtuaku berada di sisiku
sedangkan aku sudah menangis selama dua malam satu hari hingga aku menyangka
hatiku jangan-jangan menjadi pecah".
Aisyah berkata:
"Ketika kedua orantuaku sedang duduk di dekatku sementara aku terus saja
menangis tiba-tiba ada seorang wanita Anshar yang meminta izin masuk lalu aku
ijinkan kemudian dia duduk sambil menangis bersamaku.
Ketika dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba Rasulullah ﷺ
datang lalu duduk,
namun tidak duduk di dekat aku sebagaimana saat Beliau menyampaikan apa yang
telah terjadi denganku sebelum ini, sedangkan peristiwa ini sudah berlalu
selama satu bulan dan wahyu belum juga turun untuk menjelaskan perkara yang
menimpaku ini".
Aisyah berkata:
"Maka Beliau bersaksi membaca dua kalimah syahadah kemudian berkata:
"Wahai 'Aisyah,
sungguh telah sampai kepadaku berita tentang dirimu begini begini. Jika kamu
bersih tidak bersalah pasti nanti Allah akan membersihkanmu. Namun jika kamu
jatuh pada perbuatan dosa maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah
kepada-Nya karena seorang hamba bila dia mengakui telah berbuat dosa lalu
bertobat maka Allah pasti akan menerima tobatnya".
Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan kalimat yang disampaikan, air mataku mengering hingga tak
kurasakan setetes pun. Lalu aku katakan kepada bapakku: "Jawablah kepada
Rasulullah ﷺ tentang aku".
Bapakku berkata:
"Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus aku katakan kepada
Rasulullah ﷺ".
Lalu aku katakan kepada ibuku: "Jawablah kepada Rasulullah ﷺ tentang aku dari apa yang barusan Beliau katakan".
Ibuku pun menjawab: "Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus aku
katakan kepada Rasulullah ﷺ".
'Aisyah berkata: "Aku hanyalah seorang anak perempuan yang masih muda yang
aku tidak banyak membaca Al Qur'an".
Aku katakan:
"Sesungguhnya aku, demi Allah, aku telah mengetahui bahwa kalian telah
mendengar apa yang diperbincangkan oleh orang banyak dan kalian pun telah
memasukkannya dalam hati kalian lalu membenarkan berita tersebut. Seandainya aku
katakan kepada kalian bahwa aku bersih dan demi Allah, Dia Maha Mengetahui
bahwa aku bersih, kalian pasti tidak akan membenarkan aku tentang ini. Dan
seandainya aku mengakui kepada kalian tentang urusan ini padahal Allah Maha
Mengetahui bahwa aku bersih, kalian pasti membenarkannya.
Demi Allah, aku tidak
menemukan antara aku dan kalian suatu perumpamaan melainkan seperti ayahnya
Nabi Yusuf ketika dia berkata:
("Bersabarlah
dengan sabar yang baik, dan Allah tempat meminta pertolongan dari segala yang kalian
gambarkan").(QS. Yusuf 18).
Kemudian setelah itu
aku pergi menuju tempat tidurku dengan berharap Allah akan membersihkan aku,
akan tetapi demi Allah, aku tidak menduga kalau Allah menurunkan suatu wahyu
tentang urusan yang menimpaku ini. Karena tidak pantas kalau Al Qur'an turun
untuk membicarakan masalahku ini. Tetapi aku hanya berharap Rasulullah ﷺ mendapatkan wahyu lewat mimpi yang Allah membersihkan diriku.
Dan demi Allah, belum
beliau menuju majelisnya dan belum pula dari Ahlu Bait yang keluarl, hingga
diturunkan wahyu kepada Beliau. Maka Beliau menerima wahyu tersebut sebagaimana
Beliau biasa menerimanya dalam keadaan demam sangat berat dengan bercucuran
keringat. Setelah selesai wahyu turun kepada Beliau, nampak Beliau tertawa dan
kalimat pertama yang Beliau ucapkan adalah saat Beliau berkata kepadaku:
"Wahai 'Aisyah,
pujilah Allah, sungguh Allah telah membersihkan kamu".
Lalu ibuku berkata,
kepadaku: "Bangkitlah untuk menemui Rasulullah".
Aku katakan kepada
ibuku: "Demi Allah, aku tidak akan berdiri menemuinya dan tidak akan aku
memuji siapapun selain Allah Ta'ala.
Maka Allah menurunkan
ayat:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ
عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ
كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyebarkan berita bohong itu adalah masih dari golongan
kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian
bahkan ia adalah merupakan kebaikan bagi kalian.
Tiap-tiap seseorang
dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar ". (QS. Annur 11).
Ketika turun ayat ini
yang menjelaskan terlepasnya diriku dari segala tuduhan, Abu Bakar ash-Shiddiq
radliallahu 'anhu yang selalu menanggung hidup Misthah bin Utsatsah karena
memang masih kerabatnya berkata: "Demi Allah, setelah ini aku tidak akan lagi
memberi nafkah kepada Misthah untuk selamanya karena dia sudah ikut menyebarkan
berita bohong tentang 'Aisyah".
Maka kemudian Allah
menurunkan ayat:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ
مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ
فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا ۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ
يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Dan janganlah
orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah
bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?
Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Annur 22)..
Maka Abu Bakar
berkata: "Ya, demi Allah, sungguh aku sangat berkeinginan bila Allah
mengampuniku".
Maka Abu Bakar
kembali memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana sebelumnya.
Dan Rasulullah ﷺ bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalah aku seraya berkata:
"Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui dan apa pendapatmu?"
Maka Zainab berkata:
"Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, demi Allah
aku tidak mengeahui tentang dia melainkan kebaikan".
Kata 'Aisyah:
“Padahal Zainab orangnya sebelumnya merasa lebih mulia daripadaku, yang
kemudian Allah menjaganya dengan kewara'an". (HR. Bukhori No. 2467)
****
NABI ﷺ MELARANG UMATNYA MENDATANGI DAN MEMPERCAYAI ORANG YANG MENGAKU TAHU GAIB,
MISALNYA DUKUN DAN PARANORMAL
Mendatangi
orang-orang yang mendakwakan dirinya mengetahui perkara ghaib, sperti dukun,
paranomal dan tukang ramal adalah haram, bahkan membuatnya kufur jika
mempercayainya.
Rosulullah ﷺ bersabda:
« مَنْ أَتَى كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ... فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى
مُحَمَّدٍ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ »
“Barang siapa yang
mendatangi kahin / para normal, kemudian mempercayai apa yang dia katakan, maka
dia telah lepas dari syariat yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ".
(HR. Ahmad dan Abu
Daud, sanadnya Shahih). Lihat Sunan Kubro karya Baihaqi 7/198 no. 14504 dan
Shahih alJami' no. 5942.
(Kahin atau
paranormal: adalah dukun yang mengaku-ngaku dirinya bisa mengatahui hal-hal
ghaib dan rahasia-rahasia kejadian yang akan datang)
Dalam sabda lain:
« مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ
شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً »
Artinya: “Barang
siapa yang mendatangi Arrof / dukun, kemudian menanyakan kepadanya tentang
sesuatu ; maka orang tsb sholatnya tidak di terima selama empat puluh malam
". (HR. Muslim).
(Arrof: adalah
dukun atau paranormal yang mengaku-ngaku bisa mengetahui hal-hal ghaib yang
sudah lewat, seperti mengetahui barang-barang yang hilang atau di curi).
Dulu sebelum Nabi
Muhammad ﷺ di utus, ada segolongan dari kalangan jin yang senantiasa naik ke langit
untuk mencuri informasi ghaib dengan pendengarannya dari pembicaraan para
malaikat. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan:
﴿ وَّاَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاۤءَ
فَوَجَدْنٰهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَّشُهُبًاۖ. وَّاَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ
مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِۗ فَمَنْ يَّسْتَمِعِ الْاٰنَ يَجِدْ لَهٗ شِهَابًا
رَّصَدًاۖ ﴾.
Dan sesungguhnya kami
(jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh
dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api,
Dan sesungguhnya kami
(jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar
(berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti
itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya).
[QS. Al-Jin: 8-9].
****
CARA PARA DUKUN DAN PARA NORMAL MENDAPATKAN INFORMASI GHAIB:
Rosulullah ﷺ telah menjelaskan cara-cara para dukun, tukang sihir dan paranormal
untuk mendapatkan informasi-informasi ghaib.
Dalam sebuah hadits
dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
« إِذَا قَضَى اللَّهُ
الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا
لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى صَفْوَانٍ )
فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ (
قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: ) الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ (
[سباء: 23] فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُو السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُو السَّمْعِ هَكَذَا
وَاحِدٌ فَوْقَ آخَرَ ». وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِيَدِهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِ
يَدِهِ الْيُمْنَى نَصَبَهَا بَعْضَهَا فَوْقَ بَعْضٍ ، « فَرُبَّمَا أَدْرَكَ
الشِّهَابُ الْمُسْتَمِعَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ بِهَا إِلَى صَاحِبِهِ
فَيُحْرِقَهُ وَرُبَّمَا لَمْ يُدْرِكْهُ حَتَّى يَرْمِيَ بِهَا إِلَى الَّذِي يَلِيهِ
إِلَى الَّذِي هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ حَتَّى يُلْقُوهَا إِلَى الْأَرْضِ وَرُبَّمَا
قَالَ سُفْيَانُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْأَرْضِ فَتُلْقَى عَلَى فَمْ
السَّاحِرِ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ فَيُصَدَّقُ فَيَقُولُونَ أَلَمْ
يُخْبِرْنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا فَوَجَدْنَاهُ حَقًّا
لِلْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَتْ مِنْ السَّمَاء ».
“Jika Allah telah
menentukan sebuah perkara di langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya
sebagai ujud kepatuhan dan ketundukan terhadap firman-Nya, mereka seperti
rantai yang melingkari batu besar yang halus, apabila telah dihilangkan rasa
ketakutan yang mencekam dalam hati mereka.
Lantas mereka saling
bertanya: “Apa yang telah Rabb (Tuhan) kalian firmankan ?.
Mereka menjawab
kepada yang bertanya: “'(Perkataan) yang benar ', dan Dia-lah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Besar ".
Para pencuri
informasi (jin dan syeitan yang mendengar dengan sembunyi-sembunyi)
mendengarkan pembicaraan para malaikat tsb, kemudian mendengarnya pula para
pencuri informasi berikut nya dan seterusnya, sebagian mereka diatas sebagian
yang lain ".
Sofyan perawi hadits
memperagakan telapak tangannya, dan memiringkannya kemudian mengembangkan
jari-jarinya, kemudian melanjutkan kata-kata Nabi ﷺ:
“Maka mendengarlah si
penguping itu sebuah informasi, kemudian menyampaikannya kepada yang lainya
yang berada di bawahnya dan yang lainnya pun menyampaikan kepada yang di
bawahnya lagi, sehingga sampai ke mulut tukang sihir atau dukun.
Maka kadang-kadang
sebelum menyampaikan informasi langit tsb kepada yang di bawahnya, dia keburu
terbakar kena sambaran meteor, dan kadang-kadang dia tersambar meteor setelah
menyampaikan informasi itu, maka tukang sihir atau dukun itu mencampur satu
informasi langit tadi dengan seratus kebohongan, meskipun demikian tetap saja
orang-orang mengatakan: bukan kah dia pernah mengatakan kepada kami begini,
begitu dan begitu (kemudian jadi kenyataan) ?. Maka si dukun tsb dipercaya
karena satu informasi yang di dengar dari langit ".
(HR. Bukhory dalam
Shahihnya no. 4701)
Dalam hadits yang di
riwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, Rosulullah ﷺ
menjelaskan pula:
أخبرني رِجَالٌ من أَصْحَابِ رسول
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم من الأَنْصَارِ: أَنَّهُمْ بَيْنَا هُمْ جُلُوسٌ
لَيْلَةً مع رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رُمِيَ بِنَجْمٍ فَاسْتَنَارَ ، فقال
لهم رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “ما كُنْتُمْ تَقُولُونَ في الْجَاهِلِيَّةِ
إذَا رُمِيَ بِمِثْلِ هذا ؟ » ، قالوا: اللَّهُ عز وجل وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، كنا
نَقُولُ وُلِدَ اللَّيْلَةَ رَجُلٌ عَظِيمٌ وَمَاتَ اللَّيْلَةَ رَجُلٌ عَظِيمٌ.
قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “فَإِنَّهَا لاَ يُرْمَى بها لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ حَيَاتِهِ وَلَكِنَّ رَبَّنَا تَبَارَكَ اسْمُهُ إذَا قَضَى أَمْرًا
سَبَّحَ حَمَلَةُ الْعَرْشِ ثُمَّ سَبَّحَ أَهْلُ السَّمَاءِ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ حتى يَبْلُغَ التَّسْبِيحُ أَهْلَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا قال
الَّذِينَ يَلُونَ حَمَلَةَ الْعَرْشِ لِحَمَلَةِ الْعَرْشِ مَاذَا قال رَبُّكُمْ
فَيُخْبِرُونَهُمْ فَيَسْتَخْبِرُ أَهْلُ السَّمَوَاتِ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حتى
يَبْلُغَ الْخَبَرُ هذه السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَتَخْطَفُ الْجِنُّ السَّمْعَ
فَيُلْقُونَهُ إلَى أَوْلِيَائِهِمْ وَيُرْمَوْنَ بِهِ فما جَاءُوا بِهِ على
وَجْهٍ فَهُوَ حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَرْقَوْنَ فيه وَيَزِيدُونَ فتُرمَى
الشَّياطينُ بالنُّجومِ ».
“Suatu ketika
Rosulullah ﷺ duduk-duduk dengan sekelompok dari sahabat-sahabatnya, maka tiba-tiba
sebuah meteor nampak terlemparkan maka bersinarlah, lalu beliau ﷺ bertanya: “
Apa yang kalian
katakan jika terjadi seperti ini saat kalian masih jahiliyah ? ".
Mereka menjawab: Kami
katakan: Telah lahir orang yang agung atau telah mati orang yang agung.
Maka Rosulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya meteor itu di lempar bukan karena ada kematian
seseorang atau kelahirannya, akan tetapi Rabb (tuhan) kami jika telah
menentukan sebuah perkara, bertasbihlah para malaikat pemikul Arasy, kemudian
bertasbih pula para malaikat penghuni langit berikutnya, sehingga suara tasbih
itu terdengar sampai kelangit dunia.
Kemudian penghuni
langit yang berada di bawah persis para pemikul Arasy meminta kabar, dan
bertanya kepada para pemikul Arasy: “Apa yang Rabb (tuhan) kalian firmankan ?
". Maka merekapun mengkabarkannya, dan setiap penghuni suatu langit
menginformasikan kepada penghuni langit lainnya, sehingga informasi itu
berakhir pada langit ini.
Dan para Jin
mendengarkan informasi itu dengan sembunyi-sembunyi, serta menyampaikannya
kepada wali-walinya, dan mereka jin-jin tsb di lempari. Maka jin-jin tsb jika
mereka datang dengan membawa kabar apa adanya, maka kabar itu adalah benar
(hak), akan tetapi mereka telah mencampur adukan (dengan kebohongan) dan
menambah-nambahinya. Lalu Syeitan-syetan itu dilempari dengan bintang-bintang
".
(HR. Muslim no. 2229,
Ahmad dan Turmudzi).
Dua hadits di atas
menunjukkan akan adanya dan terjadinya hubungan antara manusia dan jin.
Dan sesungguhnya para
Jin itu bisa memberikan informasi kepada para dukun dan para tukang ramal
dengan sebuah informasi yang terkadang benar adanya, kemudian dukun-dukun tsb
menambahinya dengan segudang informasi palsu yang mereka karang sendiri,
kemudian menceritakannya kepada manusia, maka mereka yang mendengarnya
menemukan di sebagian ceritanya sesuatu yang nyata dan benar-benar terbukti.
Meskipun demikian
tetap saja hukumnya haram berwasiilah atau bertawassul untuk sampai kepada
sebuah tujuan dengan cara mendatangi para dukun tadi apalagi mempercayainya.
****
MENONTON ACARA ATAU PENTAS DUNIA PERDUKUNAN DAN PARA NORMAL :
Barangsiapa yang
menonton program dan visual yang mengklaim mengetahui ilmu gaib tanpa
mengingkarinya, maka dikhawatirkan ia terkena ancaman tersebut, sehingga shalatnya
tidak diterima selama empat puluh malam.
Ibn Hajar al-Haytami asy-Syafi’i
rahimahullah berkata:
وَيَحْرُمُ تَعَلُّمُ وَتَعْلِيمُ كِهَانَةٍ
وَضَرْبٌ بِرَمْلٍ... وَشَعِيرٍ وَحَصًى وَشَعْبَذَةٍ.
وَالتَّفَرُّجُ عَلَى فَاعِلِ شَيْءٍ مِنْ
ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ. ثُمَّ رَأَيْتُ
فِي فَتَاوَى الْمُصَنِّفِ [يَعْنِي : النَّوَوِي] مَا يُصَرِّحُ بِذَلِكَ، وَالْخَبَرُ
الصَّحِيحُ: ( مَنْ أَتَى عَرَّافًا لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
) يَشْمَلُهُ" اِنْتَهَى
"Haram
mempelajari dan mengajarkan ramalan dan ramalan dengan pasir... dan jelai,
kerikil, dan sulap sihir.
Dan menonton orang
yang melakukan sesuatu dari itu sebagaimana yang tampak; karena itu adalah
membantu dalam kemaksiatan. Kemudian saya melihat dalam fatwa mushonnif [yakni:
Imam al-Nawawi] yang menyatakan hal tersebut, dan hadis yang sahih:
(Barangsiapa yang mendatangi peramal, maka tidak diterima shalatnya selama
empat puluh malam) itu mencakupnya" selesai dari "Tuhfah
al-Muhtaj" (9/ 62-63).
*****
HAKIKAT PERAMAL DAN PARANORMAL :
Hakikat ramalan
berbeda dengan hakikat sihir, tetapi keduanya sama-sama mengklaim mengetahui
ilmu gaib.
Al-Khaththabi
rahimahullah berkata:
"الكَاهِنُ هُوَ الَّذِي يَدَّعِي
مُطَالَعَةَ عِلْمِ الغَيْبِ، وَيُخْبِرُ النَّاسَ عَنِ الكَوَائِنِ، وَكَانَ فِي العَرَبِ
كُهَّانٌ يَدَّعُونَ أَنَّهُمْ يَعْرِفُونَ كَثِيرًا مِنَ الأُمُورِ، فَمِنْهُمْ مَنْ
كَانَ يَزْعُمُ أَنَّ لَهُ رِئْيًا مِنَ الجِنِّ، وَتَابِعَةٌ تُلْقِي إِلَيْهِ الأَخْبَارَ.
وَمِنْهُمْ مَنْ كَانَ يَدَّعِي أَنَّهُ يَسْتَدْرِكُ الأُمُورَ بِفَهْمٍ أُعْطِيَهُ،
وَكَانَ مِنْهُمْ مَنْ يُسَمَّى عَرَّافًا وَهُوَ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ يَعْرِفُ
الأُمُورَ بِمُقَدِّمَاتِ أَسْبَابٍ يَسْتَدِلُّ بِهَا عَلَى مَوَاقِعِهَا، كَالشَّيْءِ
يُسْرَقُ فَيَعْرِفُ المَظْنُونَ بِهِ السَّرِقَةَ ... وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ الأُمُورِ.
وَمِنْهُمْ مَنْ كَانَ يُسَمِّي المُنَجِّمَ
كَاهِنًا، فَالحَدِيثُ يَشْتَمِلُ عَلَى النَّهْيِ عَنْ إِتْيَانِ هَؤُلَاءِ كُلِّهِمْ
وَالرُّجُوعِ إِلَى قَوْلِهِمْ وَتَصْدِيقِهِمْ عَلَى مَا يَدَّعُونَهُ مِنْ هَذِهِ
الأُمُورِ" انتهى
"Peramal adalah
orang yang mengklaim mengetahui ilmu gaib, dan memberitahu orang-orang tentang
kejadian-kejadian. Dulu di antara orang Arab ada peramal yang mengklaim bahwa
mereka mengetahui banyak hal, di antara mereka ada yang mengklaim bahwa ia
memiliki jin yang memberi tahu berita.
Dan ada yang
mengklaim bahwa ia dapat mengetahui hal-hal dengan pemahaman yang diberikan
kepadanya.
Dan di antara mereka
ada yang disebut 'arraf, yaitu : yang mengklaim bahwa ia mengetahui
hal-hal dengan penyebab yang menunjukkan tempat-tempatnya, seperti barang yang
dicuri sehingga ia mengetahui siapa yang dicurigai mencurinya... dan hal-hal
semacam itu.
Di antara mereka ada
yang menyebut ahli nujum sebagai peramal, maka hadis tersebut mencakup larangan
mendatangi mereka semua dan kembali kepada ucapan mereka serta mempercayai
klaim mereka tentang hal-hal tersebut" selesai dari "Ma'alim
al-Sunan" (4/ 228-229).
Maka peramal adalah
pembohong yang mendustakan wahyu yang menunjukkan dengan pasti bahwa tidak ada
yang mengetahui gaib kecuali Allah.
Allah Ta'ala
berfirman:
(قُلْ
لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ)
(Katakanlah:
"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
gaib, kecuali Allah") [An-Naml: 65].
Adapun sihir , maka
Ibnu Quddaamah berkata :
"عَزَائِمُ وَرُقًى وَعُقَدٌ
تُؤَثِّرُ فِي الأَبْدَانِ وَالْقُلُوبِ، فَيَمْرَضُ، وَيَقْتُلُ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَ
الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ، وَيَأْخُذُ أَحَدَ الزَّوْجَيْنِ عَنْ صَاحِبِهِ، قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: (فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ)،
وَقَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) إِلَى قَوْلِهِ: (وَمِنْ
شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ)، يَعْنِي: السَّوَاحِرَ اللَّاتِي يَعْقِدْنَ
فِي سِحْرِهِنَّ، وَيَنْفُثْنَ فِي عُقَدِهِنَّ، وَلَوْلَا أَنَّ لِلسِّحْرِ حَقِيقَةً،
لَمْ يَأْمُرْ بِالِاسْتِعَاذَةِ مِنْهُ..." انتهى
"Jampi-jampi,
mantra-mantra, dan ikatan-ikatan yang mempengaruhi tubuh dan hati, sehingga
menyebabkan sakit, membunuh, memisahkan antara seseorang dengan istrinya, dan
menjauhkan salah satu pasangan dari yang lain.
Allah Ta'ala
berfirman: (Mereka mempelajari dari keduanya apa yang memisahkan antara seorang
suami dan istrinya).
Dan Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman: (Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang
menguasai waktu subuh) sampai firman-Nya: (dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul).
Yang dimaksud adalah
tukang-tukang sihir perempuan yang membuat ikatan (buhul) dalam sihir mereka,
dan menghembuskan dalam ikatan (buhul) mereka. Kalau sihir itu tidak nyata,
tidak akan diperintahkan untuk berlindung darinya..." selesai dari
"Al-Kafi" karya Ibnu Qudamah rahimahullah Ta'ala (5/331).
Maka ucapan Abdullah
bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la (5280):
(مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ سَاحِرًا
أَوْ كَاهِنًا فَسَأَلَهُ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
(Barangsiapa yang
mendatangi peramal, tukang sihir, atau dukun lalu bertanya kepadanya dan
mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam)
Maksud perkataan Ibnu
Mas’ud diatas adalah mempercayai tukang sihir dalam beritanya tentang perkara
gaib, sebagaimana yang telah disebutkan tentang peramal, atau mempercayai bahwa
dia mengetahui gaib, maka itu adalah kekafiran, dan bukan maksudnya mempercayai
bahwa sihir itu ada.
Syaikh Saleh
Al-Fawzan hafizhahullah berkata:
كُلٌّ مِنَ المُنَجِّمِ وَالسَّاحِرِ يَدَّعِي
عِلْمَ الغَيْبِ الَّذِي اخْتَصَّ اللهُ تَعَالَى بِعِلْمِهِ" انتهى
"Setiap tukang
ramal dan tukang sihir selalu mengklaim mengetahui gaib yang hanya diketahui
oleh Allah Ta'ala" selesai dari "I'anat Al-Mustafid" (1/336).
Kesimpulannya:
Bahwa ahli kasyaf :
jika memberitahu tentang suatu perkara gaib, atau mengklaim mengetahui gaib:
maka hal ini seperti halnya peramal sebelumnya, dan hukum mendatanginya, mempercayainya,
atau melihatnya, adalah sama dengan hukum mendatangi peramal dan dukun dalam
hal ini.
===****===
PENUTUP
Penting untuk diperhatikan !!!:
Pertama : Kasyaf tidak boleh dijadikan tujuan utama dalam beribadah, melainkan sebagai karunia yang menyertai kedekatan dengan Allah.
Kedua : Seseorang yang mendapatkan kasyaf harus tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan tidak boleh menyombongkan diri atau menganggap kasyaf sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari syariat.
Ketiga : Ada kemungkinan terjadinya istidraj dan juga adanya penipuan setan dalam bentuk kasyaf, oleh karena itu, seorang muslim harus selalu waspada dan berhati-hati dalam memahami dan menerima pengalaman kasyaf.
====
WASPADALAH DENGAN DUKUN YANG
NGAKU-NGAKU AHLI KASYAF, DAN PARA NORMAL YANG BERBALUT DENGAN PAKAIAN KYAI DAN
HABIB !!!!
SEMOGA BERMANFAAT
0 Komentar