Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM DAGING HEWAN YANG SEBELUM DISEMBELIH, DIPUKUL DULU KEPALANYA ATAU DIBIUS ATAU DISETRUM ATAU DIGELONGGONG

 

HUKUM MEMAKAN DAGING HEWAN YANG DIPUKUL KEPALA-NYA SEBELUM DISEMBELIH ATAU DIBIUS ATAU DISETRUM ATAU DIGELONGGONG

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

----  

DAFTAR ISI :

  • HUKUM MEMAKAN HEWAN SEMBELIHAN YANG DIPUKUL KEPALANYA SEBELUM DISEMBELIH.
  • HUKUM MEMAKAN HEWAN SEMBELIHAN YANG DIBIUS ATAU DISETRUM SEBELUM DISEMBELIH:
  • HEWAN SEMBELIHAN YANG TIDAK BERGERAK TETAPI MASIH HIDUP SEBELUM DISEMBELIH.
  • HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN GELONGGONGAN

 ****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

HUKUM MEMAKAN HEWAN SEMBELIHAN YANG DIPUKUL KEPALA-NYA SEBELUM DISEMBELIH.

===

Pembahasan Pertama:

Imam Ahmad (5690) dan Ibnu Majah (3314) meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah bersabda:

(أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ )

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.”

Hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah.

Hadits ini menunjukkan bolehnya memakan hati dan limpa meskipun keduanya termasuk “darah”. 

Namun demikian, tidak dipahami darinya bahwa hati atau limpa yang berasal dari bangkai, hewan yang dipukul, jatuh, atau ditanduk boleh dimakan.

Maksud hadits ini adalah bahwa darah haram dimakan, tetapi dikecualikan dari hal itu hati dan limpa, sehingga keduanya boleh dimakan, namun dengan syarat berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Jika tidak demikian, maka keduanya haram karena termasuk bangkai.

Hati adalah bagian dari hewan ternak, tidak halal kecuali jika hewan tersebut halal.

Bangkai diharamkan berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ﴾

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan hewan yang disembelih untuk berhala, dan diharamkan mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah kefasikan.” (Al-Maidah: 3)

Dan setiap hewan yang tidak disembelih secara syar’i, tetapi mati dengan sendirinya, atau karena disetrum, dipukul, atau ditenggelamkan dalam air, maka itu adalah bangkai yang tidak halal dimakan.

===

Pembahasan Kedua:

Disyaratkan agar sembelihan yang dilakukan oleh seorang Muslim atau ahli kitab agar halal dimakan adalah bahwa penyembelihan dilakukan pada tempatnya, yaitu memotong dua urat leher (الوَدَجَيْن). Jika ditambah dengan memotong saluran pernapasan (الحَلْقُوم) dan saluran makanan dan minuman (المَرِيء), maka penyembelihan itu lebih sempurna.

Adapun memukul hewan di kepalanya sebelum disembelih, maka perinciannya sebagai berikut:

Pertama : Jika penyembelihan dilakukan ketika hewan masih hidup, maka boleh dimakan, seperti apabila pukulannya ringan dan penyembelihan dilakukan segera.

Kedua : Jika penyembelihan dilakukan setelah hewan mati, maka tidak boleh dimakan, dan termasuk dalam kategori mauqudzah (الْمَوْقُوذَةُ).

Mauqudzah (الْمَوْقُوذَةُ) adalah hewan yang dilempar atau dipukul dengan batu atau tongkat hingga mati tanpa disembelih, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dhahhak, dan As-Suddi. Lihat: Tafsir Al-Qurthubi (6/46).

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ﴾

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (Al-Maidah: 3)

Firman Allah : (kecuali yang sempat kamu sembelih) adalah pengecualian yang menunjukkan bolehnya hewan yang tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas jika didapati masih hidup lalu disembelih.

Yang dimaksud dengan hidup di sini adalah hidup yang stabil, yang diketahui dengan gerakannya saat disembelih dan mengalirnya darah darinya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (13/314-315. Tahqiq at-Turky):

والمُنْخَنِقَةُ، والمَوْقُوذَةُ، والمُتَرَدِّيَةُ، والنَّطِيحَةُ، وأَكِيلَةُ السَّبُعِ، وما أَصَابَها مَرَضٌ فماتَتْ به، مُحَرَّمَةٌ، إِلَّا أَنْ تُدْرَكَ ذَكاتُها؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ﴾. وَفِي حَدِيثِ جَارِيَةِ كَعْبٍ، أَنَّهَا أُصِيبَتْ شَاةٌ مِنْ غَنَمِهَا، فَأَدْرَكَتْهَا، فَذَبَحَتْهَا بِحَجَرٍ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: كُلُوهَا. فَإِنْ كَانَتْ لَمْ يَبْقَ مِنْ حَيَاتِهَا إِلَّا مِثْلُ حَرَكَةِ الْمَذْبُوحِ، لَمْ تُبَحْ بِالذَّكَاةِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ ذَبَحَ مَا ذَبَحَهُ الْمَجُوسِيُّ، لَمْ يُبَحْ، وَإِنْ أَدْرَكَهَا وَفِيهَا حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ، بِحَيْثُ يُمْكِنُهُ ذَبْحُهَا، حَلَّتْ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَالْخَبَرِ. وَسَوَاءٌ كَانَتْ قَدِ انْتَهَتْ إِلَى حَالٍ يَعْلَمُ أَنَّهَا لَا تَعِيشُ مَعَهُ أَوْ تَعِيشُ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَالْخَبَرِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسْأَلْ، وَلَمْ يَسْتَفْصِلْ. وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، فِي ذِئْبٍ عَدَا عَلَى شَاةٍ، فَعَقَرَهَا، فَوَقَعَ قَصَبُهَا بِالْأَرْضِ، فَأَدْرَكَهَا، فَذَبَحَهَا بِحَجَرٍ، قَالَ: يُلْقِي مَا أَصَابَ الْأَرْضَ، وَيَأْكُلُ سَائِرَهَا. وَقَالَ أَحْمَدُ فِي بَهِيمَةٍ عَقَرَتْ بَهِيمَةً، حَتَّى تَبَيَّنَ فِيهَا آثَارُ الْمَوْتِ، إِلَّا أَنَّ فِيهَا الرُّوحَ. يَعْنِي فَذُبِحَتْ: فَقَالَ: إِذَا مَصَعَتْ بِذَنَبِهَا، وَطَرَفَتْ بِعَيْنِهَا، وَسَالَ الدَّمُ، فَأَرْجُو إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ لَا يَكُونَ بِأَكْلِهَا بَأْسٌ. وَرَوَى ذَلِكَ بِإِسْنَادِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَطَاوُسٍ. وَقَالَا: تَحَرَّكَتْ. وَلَمْ يَقُولَا: سَالَ الدَّمُ. وَهَذَا عَلَى مَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ. وَقَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ سَعِيدٍ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ عَنْ شَاةٍ مَرِيضَةٍ، خَافُوا عَلَيْهَا الْمَوْتَ، فَذَبَحُوهَا، فَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهَا أَكْثَرُ مِنْ أَنَّهَا طَرَفَتْ بِعَيْنِهَا، أَوْ حَرَّكَتْ يَدَهَا أَوْ رِجْلَهَا أَوْ ذَنَبَهَا بِضَعْفٍ، فَنَهَرَ الدَّمُ؟ قَالَ: فَلَا بَأْسَ بِهِ.

“Hewan yang tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas, atau mati karena sakit, semuanya haram kecuali jika sempat disembelih, berdasarkan firman Allah: (kecuali yang sempat kamu sembelih).

Dan dalam hadits Jariyah binti Ka’b disebutkan bahwa seekor kambingnya terkena sesuatu, lalu ia sempat menyembelihnya dengan batu. Ia bertanya kepada Nabi , lalu beliau bersabda: ‘Makanlah’.

Jika yang tersisa dari hidupnya hanya seperti gerakan hewan yang disembelih, maka tidak halal dengan penyembelihan.

Jika didapati dalam keadaan hidup stabil sehingga memungkinkan untuk disembelih, maka halal berdasarkan umum ayat dan hadits. Baik kondisinya memungkinkan hidup setelah itu atau tidak, karena keumuman ayat dan hadits, dan Nabi tidak bertanya atau memperinci.

Ibnu Abbas berkata tentang serigala yang menyerang seekor kambing hingga punggungnya patah, lalu ia sempat menyembelihnya dengan batu: ‘Buanglah bagian yang menyentuh tanah, dan makanlah sisanya.

Ahmad ditanya tentang hewan yang diserang hewan lain hingga tampak tanda-tanda kematian padanya, tetapi masih ada ruh lalu disembelih. Ia menjawab: ‘Jika ekornya bergerak, matanya berkedip, dan darah mengalir, maka saya berharap tidak mengapa memakannya.’

Hal ini juga diriwayatkan dari Aqil bin Umair dan Thawus, mereka berkata: ‘Hewan itu bergerak,’ dan tidak menyebutkan syarat darah mengalir. Ini menurut pendapat Abu Hanifah.

Ismail bin Sa’id berkata: Aku bertanya kepada Ahmad tentang kambing yang sakit dan dikhawatirkan mati, lalu disembelih, dan tidak diketahui tanda-tanda hidup selain matanya berkedip atau tangannya atau kakinya atau ekornya bergerak dengan lemah, dan darah mengalir? Ia menjawab: ‘Tidak mengapa.’” [al-Mugni 13/314-315 Tahqiq at-Turky]

 ****

FATWA AL-LAJNAH AD-DA'IMAH – KSA :

Dan al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta – KSA - pernah ditanya:

Apa hukum memakan daging hewan sembelihan yang disembelih oleh negara Muslim dengan cara menggunakan alat setrum listrik? Padahal diketahui bahwa hewan tersebut dikenai alat setrum listrik hingga jatuh ke tanah, kemudian tukang jagal langsung menyembelihnya setelah jatuh ke tanah.

Mereka menjawab:

إِذَا كَانَ الأَمْرُ كَمَا ذُكِرَ مِنْ ذَبْحِ الجَزَّارِ بَهِيمَةَ الأَنْعَامِ فَوْرَ سُقُوطِهَا عَلَى الأَرْضِ مِنْ تَسْلِيطِ الآلَةِ الكَهْرُبَائِيَّةِ عَلَيْهَا، فَإِذَا قُدِّرَ ذَبْحُهُ إِيَّاهَا وَفِيهَا حَيَاةٌ جَازَ أَكْلُهَا، وَإِنْ كَانَ ذَبْحُهُ إِيَّاهَا بَعْدَ مَوْتِهَا لَمْ يَجُزْ أَكْلُهَا، وَذَلِكَ أَنَّهَا فِي حُكْمِ المَوْقُوذَةِ، وَقَدْ حَرَّمَهَا اللهُ إِلَّا إِذَا ذُكِّيَتْ، وَالذَّكَاةُ لَا أَثَرَ لَهَا إِلَّا فِيمَا ثَبَتَتْ حَيَاتُهُ بِتَحْرِيكِ رِجْلٍ أَوْ يَدٍ أَوْ تَدَفُّقِ الدَّمِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى اسْتِمْرَارِ الحَيَاةِ حَتَّى انْتِهَاءِ الذَّبْحِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ) المَائِدَةُ/3، فَأَبَاحَ مَا أُصِيبَ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ بِخَطَرٍ بِشَرْطِ تَذْكِيَتِهِ، وَإِلَّا فَلَا يَحِلُّ أَكْلُهَا.

“Jika keadaannya sebagaimana disebutkan, yaitu tukang jagal menyembelih hewan ternak segera setelah jatuh ke tanah karena terkena alat setrum listrik, maka jika penyembelihan dilakukan sementara hewan tersebut masih hidup, maka boleh memakannya. Tetapi jika penyembelihan dilakukan setelah hewan itu mati, maka tidak boleh memakannya, karena hewan itu termasuk dalam hukum “yang dipukul sampai mati (الْمَوْقُوذَةُ)”, dan Allah mengharamkannya kecuali jika disembelih.

Penyembelihan tidak berpengaruh kecuali pada hewan yang terbukti masih hidup, seperti dengan menggerakkan kaki atau tangan, atau darah memancar, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan kehidupan hingga proses penyembelihan selesai. Allah Ta‘ala berfirman:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ﴾

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih untuk selain Allah, yang mati tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum mati)” (QS. Al-Māidah: 3).

Maka Allah membolehkan hewan ternak yang terkena bahaya dengan syarat disembelih, jika tidak, maka tidak halal memakannya.”

(Selesai dari Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 22/455).

-----

DAN DALAM FATWA AL-LAJNAH AD-DAIMAH JUGA DISEBUTKAN (22/456) SBB:

“Pertama:

Jika hewan disetrum dengan memukul kepalanya atau dengan mengalirkan arus listrik padanya misalnya, lalu mati karenanya sebelum disembelih, maka ia termasuk hewan yang dipukul (mauqudzah) yang tidak boleh dimakan, meskipun setelah itu dipotong lehernya atau disembelih pada bagian bawah lehernya, karena Allah telah mengharamkannya dalam firman-Nya:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ﴾

“Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan karena Allah, yang tercekik, yang dipukul...” (Al-Maidah: 3).

Dan para ulama Islam telah sepakat akan keharaman sembelihan semacam ini.

Jika hewan itu masih didapati hidup setelah disetrum seperti yang disebutkan atau yang semisalnya, kemudian disembelih atau disembelih di leher, maka boleh dimakan, berdasarkan firman Allah pada akhir ayat tersebut terkait hewan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan yang dimakan binatang buas: “kecuali yang sempat kalian sembelih.” Maka Allah mengecualikan dari hewan-hewan yang diharamkan tersebut yang masih didapati hidup lalu disembelih, sehingga sembelihan memberi pengaruh pada kehalalannya, berbeda dengan hewan yang mati karena setrum sebelum disembelih, maka penyembelihan tidak memberi pengaruh untuk menghalalkannya.

Dengan ini diketahui bahwa Al-Qur’an mengharamkan hewan yang disetrum apabila mati karena setrum sebelum disembelih, karena hewan yang disetrum itu termasuk mauqudzah, dan Allah telah menjelaskan dalam ayat Al-Maidah tentang pengharamannya kecuali jika masih didapati hidup dan disembelih dengan pemotongan leher atau penyembelihan.

Kedua:

Haram menyetrum hewan dengan pukulan atau aliran listrik atau semisalnya, karena hal itu termasuk menyiksanya, dan Nabi melarang menyakiti dan menyiksa, serta memerintahkan berbuat lemah lembut dan berbuat baik secara umum, dan khusus dalam penyembelihan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi bersabda:

"لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا".

“Janganlah kalian menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran.” [HR. Muslim no. 1957]

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma :

نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَنْ يُقْتَلَ شيءٌ مِنَ الدَّوَابِّ صَبْرًا.

“Bahwa Rasulullah melarang membunuh hewan dengan cara disiksa”. [HR. Muslim no. 1959]

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu dari Nabi bahwa beliau bersabda:

: إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإحْسَانَ علَى كُلِّ شيءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فأحْسِنُوا القِتْلَةَ، وإذَا ذَبَحْتُمْ فأحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

“Sesungguhnya Allah menetapkan berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” [HR. Muslim no. 1955]

Jika tidak memungkinkan untuk menyembelih atau memotong leher hewan kecuali setelah disetrum dengan setrum yang tidak mematikannya sebelum disembelih atau dipotong lehernya, maka boleh disetrum kemudian disembelih dalam keadaan masih hidup karena darurat. [Selesai Kutipan Dari Fatwa al-Lajnah ad-Daimah juga disebutkan (22/456)]

Ketiga:

Jika keadaannya seperti yang kamu sebutkan, yaitu mereka menyetrum hewan sebelum disembelih, maka ada tiga kemungkinan:

Pertama: Jika kita mengetahui bahwa hewan tersebut disetrum kemudian disembelih sebelum mati, maka halal memakannya.

Kedua: Jika kita mengetahui bahwa hewan tersebut mati karena setrum, maka tidak halal memakannya.

Ketiga: Jika keadaannya tidak diketahui, maka dilihat kepada yang paling dominan. Jika yang dominan di negeri tersebut adalah mereka menyembelih hewan setelah mati karena setrum, maka tidak halal memakan sembelihan yang keadaannya tidak diketahui. Jika yang dominan adalah mereka menyembelihnya ketika masih hidup dengan kehidupan yang stabil, maka boleh memakannya. Wallahu a’lam.

[Lihat : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah 116/ 344].

Berdasarkan hal tersebut, jika anda telah memastikan bahwa hewan itu disembelih setelah dipukul di kepalanya dan masih hidup, maka tidak mengapa memakannya. Kepastian ini diperoleh dengan melihat langsung atau bertanya kepada Muslim yang terpercaya.

Jika jelas bahwa mereka menyembelihnya setelah hewan itu mati, maka tidak halal memakannya.

===***===

HUKUM MEMAKAN HEWAN SEMBELIHAN YANG DIBIUS ATAU DISETRUM SEBELUM DISEMBELIH:

Jika pembiusan atau penyetruman tersebut tidak menghilangkan nyawa hewan sampai disembelih dengan cara yang sesuai syariat, maka dagingnya halal dan tidak ada larangan, insya Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam keputusan Majma’ Fiqh:

لَا يُحَرَّمُ مَا ذُكِّيَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ بَعْدَ تَدْوِيخِهِ بِاسْتِعْمَالِ مَزِيجِ ثَانِي أُكْسِيدِ الْكَرْبُونِ مَعَ الْهَوَاءِ أَوِ الْأُكْسِيجِينِ، أَوْ بِاسْتِعْمَالِ الْمِسْدَسِ ذِي الرَّأْسِ الْكُرَوِيِّ بِصُورَةٍ لَا تُؤَدِّي إِلَى مَوْتِهِ قَبْلَ تَذْكِيَتِهِ.

“Tidak haram hewan yang disembelih setelah dibius dengan menggunakan campuran gas karbon dioksida dengan udara atau oksigen, atau dengan menggunakan pistol berkepala bulat, dengan syarat tidak menyebabkan kematian sebelum proses penyembelihan dilakukan.” [Majallah Majma’ al-Fiqhi al-Islami 10/595 & 1421]

Namun, jika proses tersebut menyebabkan kematian sebelum dilakukan penyembelihan syar’i, maka hewan itu dianggap bangkai dan tidak boleh dimakan. Selain itu, cara ini bukanlah cara yang sesuai dengan tuntunan Nabi dalam penyembelihan. Yang lebih utama adalah meninggalkan cara ini bagi yang mampu, dan melakukan penyembelihan secara alami, yaitu dengan merebahkan hewan dengan lembut dan langsung menyembelihnya sebagaimana anjuran Nabi :

وإذَا ذَبَحْتُمْ فأحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

“Jika kalian menyembelih, maka lakukanlah penyembelihan dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat hewan yang disembelih merasa nyaman.” (HR. Muslim no. 1955).

Kesimpulannya : tidak ada larangan secara syar’i memakan daging hewan yang disembelih sesuai syariat setelah dibius atau disetrum, selama hal itu tidak menghilangkan nyawanya sebelum proses penyembelihan dilakukan.

****

FATWA SYEIKH BIN BAAZ :

----

حُكْمُ الحَيَوَانِ المَذْبُوحِ بِالصَّعْقِ الكَهْرُبَائِيِّ
HUKUM HEWAN YANG DISEMBELIH DENGAN SETRUM LISTRIK

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Saya telah membaca fatwa yang diterbitkan dalam surat kabar *Al-Muslimun* edisi (24) tanggal 21/8/1405 H oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, yang isinya menyatakan:

“Daging-daging yang diimpor dari Ahli Kitab seperti ayam dan daging sapi yang diawetkan, meskipun penyembelihannya dilakukan dengan setrum listrik dan sejenisnya, hukumnya halal bagi kita selama mereka menganggapnya sebagai sembelihan yang halal...” (selesai kutipan).

Saya (Syeikh Bin Baz) katakan:

Fatwa ini perlu dirinci lebih lanjut, dengan mengingat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan bolehnya memakan sembelihan Ahli Kitab, serta haramnya sembelihan selain mereka dari golongan kafir. Allah Ta’ala berfirman:

﴿الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ﴾

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka."** (QS. Al-Maidah: 5)

Ayat ini adalah dalil tegas tentang bolehnya memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Kata “makanan” di sini maksudnya adalah sembelihan mereka. Ayat ini juga menunjukkan dengan mafhumnya bahwa sembelihan selain Ahli Kitab adalah haram.

Namun, para ulama mengecualikan jika sembelihan tersebut dipersembahkan untuk selain Allah, karena hal itu secara tegas diharamkan oleh firman Allah:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ﴾

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..." (QS. Al-Maidah: 3).

Adapun hewan yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai syariat, seperti hewan yang diketahui mati karena setrum atau dicekik (bukan disembelih), maka hukumnya sama dengan “yang dipukul sampai mati (الْمَوْقُوذَةُ)” atau “yang dicekik sampai mati (الْمُنْخَنِقَةُ)”, sesuai dengan kenyataannya. Hal ini berlaku baik jika dilakukan oleh Ahli Kitab maupun oleh kaum Muslimin.

Sedangkan jika kita tidak mengetahui bagaimana cara penyembelihannya, maka hukum asalnya adalah halal jika berasal dari sembelihan Muslim atau Ahli Kitab. Namun, jika hewan tersebut disetrum atau dipukul dan masih sempat hidup kemudian disembelih sesuai syariat, maka hukumnya halal.

Allah Ta’ala berfirman:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ﴾

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan hewan yang disembelih untuk berhala, dan diharamkan mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah kefasikan.” (Al-Maidah: 3)

Ayat ini menunjukkan keharaman hewan “yang dipukul sampai mati (الْمَوْقُوذَةُ)” dan “yang dicekik sampai mati (الْمُنْخَنِقَةُ)”. Dalam hukum yang sama termasuk hewan yang mati karena setrum jika mati sebelum sempat disembelih. Demikian pula hewan yang dipukul di kepala atau bagian lain hingga mati sebelum sempat disembelih, maka haram dimakan berdasarkan ayat tersebut.

Dengan penjelasan yang kami sebutkan, tampaklah adanya ketidakjelasan dalam jawaban Syaikh Yusuf -semoga Allah memberinya taufik-. Adapun alasan bahwa orang-orang Yahudi atau Nasrani membolehkan hewan yang mati karena cekikan atau setrum, hal itu tidak membuat kita boleh memakannya, sebagaimana jika sebagian kaum Muslimin pun membolehkannya. Yang menjadi tolok ukur adalah apa yang dihalalkan atau diharamkan oleh syariat yang suci.

Adanya ayat Al-Qur’an yang secara global menyebutkan halal makanan mereka tidak boleh dipahami sebagai halal atas apa yang ayat itu sendiri nyatakan haram, seperti hewan yang mati karena dicekik atau dipukul dan sejenisnya. Akan tetapi, yang global harus dipahami sesuai yang telah dijelaskan, sebagaimana kaidah syariat yang ditetapkan dalam ilmu usul.

Adapun hadis Aisyah yang disebut oleh Syaikh Yusuf: hadis itu berkaitan dengan sekelompok orang Muslim yang baru masuk Islam dan bukan orang kafir. Maka tidak boleh menjadikannya dalil untuk membolehkan sembelihan orang kafir yang telah dinyatakan haram oleh syariat.

Berikut ini lafaz haditsnya: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِيِّ ﷺ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ فَقَالَ: سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ، قَالَتْ: وَكَانُوا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْكُفْرِ.

“Ada sekelompok orang yang berkata kepada Nabi , ‘Ada suatu kaum yang datang membawa daging kepada kami, kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak?’ Beliau bersabda: ‘Sebutlah nama Allah atasnya oleh kalian, lalu makanlah.’ Aisyah berkata: ‘Mereka itu baru saja lepas dari kekafiran.’” (HR. Bukhari no. 2057).

Demi kewajiban saling menasihati, menjelaskan kebenaran, dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, tulisan ini dibuat. Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kami, kepada Syaikh Yusuf, dan seluruh kaum Muslimin untuk memperoleh kebenaran dalam ucapan dan perbuatan. Sesungguhnya Dia sebaik-baik tempat memohon.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

[Sumber : Dimuat di Majalah Al-Islah edisi (90) bulan Dzulqa’dah tahun 1405 H. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz 8/428)].

===***===

HEWAN SEMBELIHAN YANG TIDAK BERGERAK TETAPI MASIH HIDUP SEBELUM DISEMBELIH.

Jika hewan tidak bergerak sebelum disembelih, tidak menggerakkan tangan atau kaki, tetapi diketahui hidupnya, atau diduga masih hidup, kemudian darah mengalir saat disembelih, atau bergerak setelah disembelih: hal ini diperselisihkan.

Al-Bahuti berkata dalam “Syarh al-Muntaha” (6/337):

"(فَذَكَّاهُ وَحَيَاتُهُ تَمْكُنُ زِيَادَتُهَا عَلَى حَرَكَةِ مَذْبُوحٍ: حَلَّ)؛ وَلَوِ انْتَهَى قَبْلَ الذَّبْحِ إِلَى حَالٍ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَعِيشُ مَعَهُ، وَلَوْ مَعَ عَدَمِ تَحَرُّكِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: (إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ)، مَعَ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ أَسْبَابُ الْمَوْتِ.

(وَالِاحْتِيَاطُ) أَنْ لَا يُؤْكَلَ مَا ذُبِحَ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا (مَعَ تَحَرُّكِهِ، وَلَوْ بِيَدٍ أَوْ رِجْلٍ، أَوْ طَرْفِ عَيْنٍ، أَوْ مَصْعِ ذَنَبٍ)، أَيْ: تَحَرُّكِهِ، وَضَرْبِ الْأَرْضِ بِهِ، (وَنَحْوِهِ) كَتَحْرِيكِ أُذُنِهِ، خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ صَاحِبِ الْإِقْنَاعِ وَغَيْرِهِ.

(وَمَا وُجِدَ مِنْهُ مَا يُقَارِبُ الْحَرَكَةَ الْمَعْهُودَةَ فِي الذَّبْحِ الْمُعْتَادِ، بَعْدَ ذَبْحِهِ، دَلَّ عَلَى إِمْكَانِ الزِّيَادَةِ قَبْلَهُ)، فَيَحِلُّ نَصًّا [أَيْ: نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ]، وَمَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ إِلَّا حَرَكَةُ الْمَذْبُوحِ: لَا يَحِلُّ" اِنْتَهَى.

“(Jika menyembelihnya dan kehidupannya memungkinkan untuk ditambah dari gerakan hewan yang disembelih: halal); meskipun sebelum disembelih sudah sampai pada keadaan yang diketahui tidak akan hidup bersamanya, meskipun tidak bergerak; karena firman Allah: (kecuali yang sempat kalian sembelih), padahal yang disebutkan sebelumnya adalah sebab-sebab kematian.

(Sebagai sikap hati-hati) jangan dimakan apa yang disembelih dari hewan tersebut kecuali (dengan bergerak, meskipun dengan tangan atau kaki, atau kedipan mata, atau kibasan ekor), maksudnya: pergerakannya, atau memukul tanah dengannya, (atau yang semisalnya) seperti menggerakkan telinga, untuk keluar dari pendapat pemilik kitab *al-Iqna’* dan lainnya.

(Apa yang ditemukan darinya yang mendekati gerakan lazim pada penyembelihan yang biasa, setelah disembelih, menunjukkan kemungkinan adanya tambahan kehidupan sebelumnya), maka halal secara tegas \[yakni: ditegaskan oleh Imam Ahmad], dan jika tidak tersisa kecuali gerakan hewan yang disembelih: tidak halal” (Selesai).

Dan dikatakan dalam “Hasyiyah ar-Raud” (7/449):

"وَاخْتَارَ الْمُوَفَّقُ: بِأَنْ تَعِيشَ زَمَنًا يَكُونُ مَوْتُهَا بِالذَّبْحِ أَسْرَعَ مِنْهُ، أَوْ إِنْ تَحَرَّكَ الْمَرِيضَةُ وَيَسِيلُ دَمُهَا، ا.ه وَمَفْهُومُهُ، إِنْ لَمْ تُمْكِنْ زِيَادَتُهَا عَلَى حَرَكَةِ مَذْبُوحٍ بِطُولِ الْمُدَّةِ، فَلَا.

وَقَالَ الشَّيْخُ [ابْنُ تَيْمِيَّةَ]، لَمَّا ذَكَرَ شُرُوطَهُمْ: الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَشْتَرِطُ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأَقْوَالِ، بَلْ مَتَى ذُبِحَ، فَخَرَجَ الدَّمُ الْأَحْمَرُ، الَّذِي يَخْرُجُ مِنَ الْمُذَكَّى فِي الْعَادَةِ، لَيْسَ هُوَ دَمَ الْمَيِّتِ، فَإِنَّهُ يَحِلُّ أَكْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ، فِي أَظْهَرِ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ" اِنْتَهَى.

“Dan al-Muwaffaq memilih: jika ia dapat hidup dalam waktu yang kematiannya karena sembelihan lebih cepat dari itu, atau jika hewan yang sakit itu bergerak dan darahnya mengalir. Dan pemahamannya, jika tidak memungkinkan tambahan kehidupan atas gerakan hewan yang disembelih karena lamanya waktu, maka tidak halal.

Dan Syaikh [Ibnu Taimiyah] berkata, setelah menyebutkan syarat-syarat mereka: yang lebih benar bahwa tidak disyaratkan apa pun dari pendapat ini, bahkan kapan saja ia disembelih dan keluar darah merah yang biasanya keluar dari hewan yang disembelih, bukan darah bangkai, maka halal dimakan, meskipun tidak bergerak, menurut pendapat yang paling kuat dari para ulama”. (Selesai).

Dan engkau telah menyebutkan bahwa kambing itu bergerak setelah disembelih dan darahnya mengalir deras.

Dengan demikian; tidak mengapa memakannya, jika penyakitnya tidak menyebabkan bahaya bagi orang yang memakannya. Wallahu a’lam.

[Baca : Islamqa Fatwa no. 340138].

===***===

HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN GELONGGONGAN

Pengertian Daging Gelonggongan :

Daging gelonggongan adalah daging yang berasal dari hewan ternak, seperti sapi, yang sebelum disembelih dipaksa meminum air dalam jumlah sangat banyak dengan tujuan menambah bobot tubuh hewan tersebut. Praktik ini dilakukan untuk meningkatkan berat daging sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi dan memberikan keuntungan lebih besar bagi pelaku.

Salah satu metode yang digunakan adalah memasukkan selang melalui mulut sapi hingga mencapai lambung dengan kedalaman sekitar 1,5 meter, kemudian mengalirkan air melalui selang tersebut. Setelah lambung hewan terisi air, sapi dibiarkan beberapa saat agar air meresap ke jaringan tubuh.

Daging hasil gelonggongan memiliki ciri khas tertentu, antara lain warna daging tampak pucat, kandungan air sangat tinggi sehingga teksturnya lembek, serta umumnya dijual dengan harga yang lebih rendah dibanding daging normal.

===

HUKUM MENGKONSUMSI DAGING GELONGGONGAN

Daging gelonggongan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:

Pertama : Daging Gelonggongan Murni :

Yaitu daging yang berasal dari hewan seperti sapi yang dipaksa meminum air dalam jumlah banyak hingga mati sebelum disembelih. Daging jenis ini haram dikonsumsi karena statusnya adalah bangkai. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Kedua : Daging Semi Gelonggongan :

Yaitu daging dari hewan yang dipaksa minum air hingga hampir mati, namun masih sempat disembelih sebelum kehilangan nyawa. Daging ini secara hukum boleh dimakan karena tidak termasuk bangkai, tetapi sebaiknya dihindari karena kualitasnya rendah dan berisiko terhadap kesehatan.

===

DAMPAK NEGATIF DAGING GELONGGONGAN TERHADAP KESEHATAN

Mengonsumsi daging gelonggongan berpotensi membahayakan tubuh, antara lain:

1. Penurunan kualitas gizi: Daging gelonggongan mengandung kadar air tinggi sehingga kualitas proteinnya menurun. Kondisi ini dapat menyebabkan pembusukan lebih cepat, yang bila dikonsumsi dapat menimbulkan mual, muntah, diare, bahkan keracunan serius.

2. Sarang mikroorganisme berbahaya: Kandungan air yang tinggi menjadikan daging mudah terkontaminasi bakteri, virus, dan parasit seperti protozoa, sehingga meningkatkan risiko infeksi penyakit.

3. Resiko penyakit sapi gila (BSE): Daging yang berasal dari hewan dengan kondisi lemah rentan terpapar penyakit berbahaya, yang dalam kasus tertentu bisa menular ke manusia.

4. Penurunan daya tahan tubuh hewan: Pemaksaan pemberian air dalam jumlah berlebihan melemahkan sistem kekebalan hewan, sehingga kuman dan zat berbahaya dalam air (misalnya insektisida) dapat terserap ke jaringan daging.

5. Pengaruh fisiologis dan psikologis: Stres ekstrem pada hewan akibat proses gelonggongan dapat menyebabkan perubahan biokimia dalam daging yang berdampak buruk terhadap kesehatan manusia.

 SELESAI. ALHAMDULILLAH 

 

Posting Komentar

0 Komentar