STUDI : “HADITS JOGET DAN TARIAN”. SERTA PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM-NYA.
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
Sufyan bin ‘Uyainah
berkata:
«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ هُوَ الْمِيزَانُ الْأَكْبَرُ،
فَعَلَيْهِ تُعْرَضُ الْأَشْيَاءُ، عَلَى خُلُقِهِ وَسِيرَتِهِ وَهَدْيِهِ،
فَمَا وَافَقَهَا فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ الْبَاطِلُ»
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ
adalah timbangan yang paling besar, maka segala sesuatu harus diukur (ditimbang)
dengan akhlak, perjalanan hidup, dan petunjuk beliau. Apa yang sesuai dengannya
maka itulah kebenaran, dan apa yang menyelisihinya maka itulah kebatilan”.
[Diriwayatkan
dengan sanadnya oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jami’ Lii Akhlaq ar-Rawi 1/79
no. 8]
===
DAFTAR ISI :
- JOGET DAN TARIAN SAHABAT PADA MASA NABI ﷺ :
- STUDI HADITS TARIAN “HAJAL” (LONCAT-LONCAT DIATAS SATU KAKI)
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KESHAHIHAH HADITS TARIAN AL-HAJAL.
- PENDAPAT PERTAMA : YANG MENG-HASAN-KAN HADITS :
- PENDAPAT KEDUA : YANG MEN-DHO’IF-KAN HADITS :
- RIWAYAT PENDUKUNG HADITS TARIAN AL-HAJAL DIATAS :
- PERTAMA : TARIAN KEGEMBIRAAN DENGAN GERAKAN BEBAS
- PENGUAT KEDUA : HADITS TARIAN PERMAINAN TOMBAK, PEDANG DAN PERISAI.
- PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM JOGET, TARIAN DAN PERMAINAN
- TUJUAN JOGET DAN MENARI YANG DIPERDEBATKAN HUKUM-NYA
- RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT:
- PENDAPAT PERTAMA : BOLEH (MUBAH)
- PENDAPAT KEDUA : MAKRUH
- PENDAPAT KE TIGA : HARAM
- DALIL PENDAPAT HARAM JOGET DAN TARIAN :
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيمِ
===***===
JOGET DAN TARIAN SAHABAT PADA MASA NABI ﷺ :
Sesungguhnya tarian yang penulis
maksud dalam artikel ini tidak ada hubungannya dengan joget dan tarian cabul
yang dilakukan oleh orang-orang fasik dan bejat, dan bukan pula tarian yang
membangkitkan syahwat dan perbuatan keji, atau yang menyerupai laki-laki dengan
perempuan dan perempuan dengan laki-laki, karena Rasulullah ﷺ
telah melaknat orang yang melakukan hal tersebut.
Di sini penulis hanya berbicara
tentang sesuatu yang dilakukan di hadapan Nabi ﷺ dan beliau meridhainya, baik
dari arah depan, belakang, kanan, maupun kiri beliau...
Kita berbicara tentang
sesuatu yang telah dibuatkan “Bab” oleh Imam al-Baihaqi (wafat 458 H) dalam kitabnya
As-Sunan al-Kubra 21/51 [Tahqiq at-Turkiy] dengan judul:
«بابُ مَن رَخَّصَ فى الرَّقصِ إذا لَم
يَكُنْ فيه تَكَسُّرٌ وتَخَنُّثٌ»
“Bab : tentang orang yang memberikan rukhshoh
(kebolehan) dalam tarian jika tidak ada padanya gerakan yang lemah gemulai dan
menyerupai perempuan.”
Maksudnya pembicaraan saya
di sini adalah : tentang sesuatu yang meskipun para fuqaha tidak bersepakat
menerimanya, namun ada sebagian para imam Ahlus Sunnah rahimahumullah telah membolehkannya...
Kemudian al-Baihaqi
mencantumkan di bawah Bab tersebut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Ishaq dari Hani’ bin Hani’ dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata:
أَتَينا رَسُولَ اللهِ ﷺ أَنا وَجَعفَرٌ وَزَيدٌ،
فَقالَ لِزَيدٍ: «أَنتَ أَخُونا وَمَولانا». فَحَجَلَ، وَقالَ لِجَعفَرٍ: «أَشبَهتَ
خَلْقِي وَخُلُقِي». فَحَجَلَ وَراءَ حَجْلِ زَيدٍ، ثُمَّ قالَ لِي: «أَنتَ مِنِّي
وَأَنا مِنْكَ». فَحَجَلْتُ وَراءَ حَجْلِ جَعفَرٍ
“Kami datang kepada
Rasulullah ﷺ,
aku, Ja’far, dan Zaid.
Beliau ﷺ berkata kepada Zaid: ‘Engkau adalah saudara
dan pemimpin kami’, maka Zaid pun (karena merasa senang dan gembira dengan ucapan Nabi ﷺ
tsb), berhajal (mengangkat satu kaki dan melompat-lompat dengan kaki
yang lain).
Lalu beliau ﷺ berkata kepada Ja’far: ‘Engkau menyerupai
bentukku dan akhlakku,’ maka Ja’far pun berhajal di belakang Zaid.
Kemudian beliau ﷺ berkata kepadaku (kepada Ali): ‘Engkau dariku
dan aku darimu,’ maka aku pun berhajal di belakang Ja’far.”
Al-Baihaqi berkata:
"هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ لَيْسَ بِالمَعْرُوفِ
جِدًّا، وَفِي هَذَا إِنْ صَحَّ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الحَجَلِ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ
رِجْلًا وَيَقْفِزَ عَلَى الأُخْرَى مِنَ الفَرَحِ، فَالرَّقْصُ الَّذِي يَكُونُ عَلَى
مِثَالِهِ يَكُونُ مِثْلَهُ فِي الجَوَازِ وَاللهُ أَعْلَمُ" اهـ.
“Hani’ bin Hani’ tidak
terlalu dikenal. Dalam hal ini, jika hadits tersebut sahih, terdapat dalil yang
menunjukkan bolehnya ‘hajl’, yaitu mengangkat satu kaki dan melompat dengan
kaki yang lain karena gembira. Maka tarian yang serupa dengannya hukumnya sama,
yaitu boleh, dan Allah lebih mengetahui.” Selesai.
Makna
al-Hajal (الحَجَلُ):
الحَجَلُ: أَي يَرْفَعُ رِجْلًا وَيَقْفِزُ عَلَى
الأُخْرَى مِنَ الفَرَحِ، وَقَدْ يَكُونُ بِالرِّجْلَيْنِ مَعًا، إِلَّا أَنَّهُ قَفْزٌ
وَلَيْسَ بِمَشْيٍ.
Al-Hajal: yaitu mengangkat
satu kaki dan melompat-lompat dengan kaki yang lain karena gembira. Bisa juga dengan
kedua kaki sekaligus, hanya saja berupa lompatan, bukan berjalan. [Lihat:
Gharib al-Hadits karya Abu Ubaid 3/182-183]
===***===
STUDI HADITS : TARIAN “HAJAL” (LONCAT-LONCAT DIATAS SATU KAKI)
Sebagaimana yang disebutkan
diatas, Imam al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra 21/51 [Tahqiq
at-Turkiy] meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَتَينا رَسُولَ اللهِ ﷺ أَنا وَجَعفَرٌ وَزَيدٌ،
فَقالَ لِزَيدٍ: «أَنتَ أَخُونا وَمَولانا». فَحَجَلَ، وَقالَ لِجَعفَرٍ: «أَشبَهتَ
خَلْقِي وَخُلُقِي». فَحَجَلَ وَراءَ حَجْلِ زَيدٍ، ثُمَّ قالَ لِي: «أَنتَ مِنِّي
وَأَنا مِنْكَ». فَحَجَلْتُ وَراءَ حَجْلِ جَعفَرٍ
“Kami datang kepada
Rasulullah ﷺ,
aku, Ja’far, dan Zaid.
Beliau ﷺ berkata kepada Zaid: ‘Engkau adalah saudara
dan pemimpin kami’, maka Zaid pun (karena merasa senang dengan ucapan Nabi ﷺ
tsb), berhajal (berjingkrak/ mengangkat satu kaki dan melompat-lompat
dengan kaki yang lain).
Lalu beliau ﷺ berkata kepada Ja’far: ‘Engkau menyerupai
bentukku dan akhlakku,’ maka Ja’far pun (karena merasa senang dengan ucapan
Nabi ﷺ
tsb) berhajal di belakang Zaid.
Kemudian beliau ﷺ berkata kepadaku (kepada Ali): ‘Engkau dariku
dan aku darimu,’ maka aku pun berhajal di belakang Ja’far”.
Lafadz
lain dari riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 16/96 no. 15866 :
Abu Ishaq berkata: Telah
menceritakan kepadaku Hani’ bin Hani’ dan Hubairah bin Yareem, dari Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قال أبو إسحاقَ: وحَدَّثَنِى هانِىُّ بنُ هانِئٍ
وهُبَيرَةُ بنُ يَريمَ، عن علىِّ بنِ أبى طالِبٍ - رضي الله عنه - قال:
فاتَّبَعَتهُ ابنَةُ حَمزَةَ تُنادِى: يا عَمِّ، يا عَمِّ. فتَناوَلَها علىٌّ - رضي الله
عنه - فأخَذَ بيَدِها، وقالَ لِفاطِمَةَ عَلَيها السَّلامُ: دونَكِ ابنَةَ عَمِّكِ.
فحَمَلَتها، فاختَصمَ فيها علىٌّ وزيدُ بنُ حارِثَةَ وجَعفَرُ بنُ أبى طالِبٍ رضي الله
عنهم.
فقالَ علىٌّ - رضي الله عنه -: أنا
أخَذتُها وبِنتُ عَمِّى. وقالَ جَعفَرٌ: بنتُ عَمِّى، وخالَتُها عِندِى. وقالَ زَيدٌ:
ابنَةُ أخِى. فقَضَى بها رسولُ اللهِ ﷺ لِخالَتِها .
وقالَ ﷺ : «الخالَةُ بمَنزِلَةِ
الأُمِّ».
وقالَ ﷺ لِزَيدٍ: «أنتَ أخونا ومَولانا». فحَجَلَ
،
وقالَ ﷺ لِجَعفَرٍ: «أنتَ أشبَهُهُم بى خَلْقًا
وخُلُقًا». فحَجَلَ وراءَ حَجْلِ زَيدٍ، .
ثُمَّ قال ﷺ لِى: «أنتَ مِنِّى وأنا مِنكَ». فحَجَلتُ
وراءَ حَجْلِ جَعفَرٍ.
Putri Hamzah mengikuti kami
sambil berseru: “Wahai paman, wahai paman.” Maka Ali radhiyallahu ‘anhu
menggendongnya dan memegang tangannya, lalu berkata kepada Fatimah ‘alaihas salam:
“Ini anak pamanmu.” Lalu Fatimah membawanya. Setelah itu, Ali, Zaid bin
Haritsah, dan Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum berselisih mengenai
siapa yang berhak mengasuhnya.
Ali radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku yang membawanya, dan ia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata:
“Ia putri pamanku, dan bibinya ada bersamaku.”
Zaid berkata: “Ia adalah
putri saudaraku.”
Maka Rasulullah ﷺ
memutuskan hak asuhnya kepada bibinya, dan beliau bersabda: “Bibi memiliki
kedudukan seperti ibu.”
Kemudian beliau ﷺ berkata kepada Zaid: “Engkau adalah
saudara dan pemimpin kami.” Maka
Zaid pun (karena merasa senang dengan ucapan Nabi ﷺ tsb) berhajal (berjingkrak/
meloncat-loncat dengan satu kaki).
Lalu Beliau ﷺ berkata kepada Ja’far: “Engkau adalah
orang yang paling mirip denganku dalam rupa dan akhlak.” Maka Ja’far pun berhajal
(meloncat-loncat dengan satu kaki) di belakang Zaid.
Kemudian beliau ﷺ berkata kepadaku: “Engkau dariku dan aku
darimu.” Maka aku pun ikut berhajal (meloncat-loncat dengan satu kaki) di
belakang Ja’far. [Selesai]
Lafadz
Lain dalam Musnad Imam Ahmad no. 860, bahwa Ali radhiyallahu 'anhu berkata:
زُرْتُ النَّبِيَّ ﷺ
مَعَ جَعْفَرٍ وَزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِزَيْدٍ: «أَنْتَ مَوْلايَ»، فَبَدَأَ زَيْدٌ يَحْجِلُ وَيَقْفِزُ عَلَى رِجْلٍ وَاحِدَةٍ حَوْلَ
النَّبِيِّ ﷺ، ثُمَّ قَالَ لِجَعْفَرٍ: «أَمَّا أَنْتَ فَتُشْبِهُنِي فِي خَلْقِي وَخُلُقِي»، فَحَجَلَ جَعْفَرٌ كَذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ لِي: «أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ»، فَحَجَلْتُ خَلْفَ جَعْفَرٍ.
“Aku
mengunjungi Nabi ﷺ bersama
Ja'far dan Zaid bin Haritsah. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada Zaid: "Engkau adalah mawlaku (orang yang
dekat denganku)." Lalu Zaid mulai berhajal dan melompat-lompat dengan
satu kaki di sekitar Nabi ﷺ.
Kemudian
beliau ﷺ berkata
kepada Ja'far: "Adapun engkau, maka engkau menyerupaiku dalam rupa dan
akhlak." Maka Ja'far juga melompat seperti itu.
Kemudian
beliau ﷺ berkata
kepadaku: "Engkau dariku dan aku darimu." Maka aku pun
melompat di belakang Ja'far”.
Lafadz
lain dalam Ihya Ulumuddin :
اِخْتَصَمَ عَلِيٌّ وَجَعْفَرٌ وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ
فِي ابْنَةِ حَمْزَةَ فَتَشَاحَنُوا فِي تَرْبِيَتِهَا، فَقَالَ ﷺ لِعَلِيٍّ: أَنْتَ
مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ فَحَجَلَ عَلِيٌّ، وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
فَحَجَلَ وَرَاءَ حَجْلِ عَلِيٍّ، وَقَالَ لِزَيْدٍ: أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلَانَا
فَحَجَلَ زَيْدٌ وَرَاءَ حَجْلِ جَعْفَرٍ، ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: هِيَ لِجَعْفَرٍ
لِأَنَّ خَالَتَهَا تَحْتَهُ، وَالْخَالَةُ وَالِدَةٌ.
Ali, Ja’far, dan Zaid bin
Haritsah berselisih tentang (siapa yang akan mengasuh) putri Hamzah, lalu
mereka bertengkar saling memperebutkan pengasuhannya.
Rasulullah ﷺ
bersabda kepada Ali: “Engkau dariku dan aku darimu.” Maka Ali ber-hajal (mengangkat
satu kaki dan melompat dengan kaki yang lain) karena kegirangan (setelah mendengar ucapan Nabi ﷺ tsb).
Lalu beliau ﷺ bersabda kepada
Ja’far: “Engkau menyerupai bentukku dan akhlakku.” Maka Ja’far berhajal di
belakang hajal Ali.
Kemudian beliau ﷺ bersabda kepada Zaid: “Engkau adalah saudara
kami dan mawla kami.” Maka Zaid berhajal di belakang hajal Ja’far.
Setelah itu beliau ﷺ
bersabda: “Dia (putri Hamzah) menjadi hak Ja’far, karena bibinya berada dalam
pernikahannya, dan bibi itu seperti adalah ibu.” [Lihat : Takhrij al-Ihya oleh al-Iraqi hal. 778].
Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la (405) dan ath-Thahawi dalam Syarh al-Musykil (3078) dari jalur Zakariya bin Abi Za’idah tanpa menyebut Hubairah.
Dan oleh Ahmad (770, 931) serta
an-Nasa’i dalam al-Kubra (8456) melalui jalur Abu Ishaq dengan sanad tersebut.
****====****
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KESHAHIHAH HADITS TARIAN AL-HAJAL.
===***===
PENDAPAT PERTAMA : YANG MENG-HASAN-KAN HADITS :
Diantara para ulama yang
menghukumi Hasan adalah Zainuddin al-Iraqi. Beliau dalam kitabnya “Takhrij
al-Ihya” hal. 778 berkata :
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ
بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ، وَهُوَ عِنْدَ الْبُخَارِيِّ دُونَ «فَحَجَلَ».
“Hadits ini dikeluarkan
oleh Abu Dawud dari hadits Ali dengan sanad hasan, dan hadits ini terdapat
dalam Shahih Bukhari tanpa lafaz «فَحَجَلَ»”.
Diantara mereka ada yang
berkata :
أَقُولُ الْحَدِيثُ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَهَانِئُ بْنُ
هَانِئٍ هُوَ السَّبِيعِيُّ الْهَمْدَانِيُّ الْكُوفِيُّ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ
مِنْ أَصْحَابِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، ثِقَةٌ مَعْرُوفٌ
مِنْ رَهْطِ أَبِي إِسْحَاقَ السَّبِيعِيِّ الرَّاوِي عَنْهُ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْهُ
الشَّافِعِيُّ.
وَقَدِ احْتَجَّ ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ – عَلَى
تَشَدُّدِهِ – بِحَدِيثِ هَانِئٍ مِنْ رِوَايَةِ شُعْبَةَ وَسُفْيَانَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ
قَالَ سَمِعْتُ هَانِئَ بْنَ هَانِئٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
فَذَكَرَ قِصَّةَ الْعَنِينِ.
وَشُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ كَانَ مَعْرُوفًا بِالتَّشَدُّدِ
فِي الْأَخْذِ عَنْ شُيُوخِهِ، لَا يَأْخُذُ عَنْهُمْ إِلَّا مَا ثَبَتَ سَمَاعُهُ
عَنْ شُيُوخِهِمْ.
Aku katakan hadits ini
hasan sahih, dan Hani’ bin Hani’ adalah as-Sabi’i al-Hamdani al-Kufi, termasuk
dari kalangan tabi’in senior, sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia
seorang yang tsiqah dan dikenal, termasuk dari kelompok Abu Ishaq as-Sabi’i
yang meriwayatkan darinya, meskipun asy-Syafi’i tidak mengenalnya.
Ibnu Hazm az-Zhahiri –
meskipun ia dikenal sangat ketat – menjadikan hujjah hadits Hani’ yang
diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sufyan dari Abu Ishaq, ia berkata: Aku mendengar
Hani’ bin Hani’ berkata: Aku berada di sisi Ali bin Abi Thalib, lalu ia
menyebutkan kisah tentang suami yang impoten.
Syu’bah bin al-Hajjaj
dikenal sangat ketat dalam menerima riwayat dari guru-gurunya, ia tidak
mengambil riwayat dari mereka kecuali yang benar-benar ia pastikan mendengar
langsung dari guru mereka.
[المِيْزَانُ
الأَكْبَرُ. http://almizanalakbar.blogspot.com
›]
Adapun kisah Ali, Zaid, dan
Ja’far, maka itu adalah bagian dari kisah masyhur yang asalnya terdapat dalam Shahih
al-Bukhari, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dalam
al-Mustadrak dari Abu Ishaq, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Hani’ bin
Hani’ dan Hubairah bin Yareem, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anh, ia
berkata:
لَمَّا خَرَجْنَا مِنْ مَكَّةَ
اتَّبَعَتْنَا ابْنَةُ حَمْزَةَ تُنَادِي: يَا عَمِّ، يَا عَمِّ. قَالَ: فَتَنَاوَلْتُهَا
بِيَدِهَا، فَدَفَعْتُهَا إِلَى فَاطِمَةَ، فَقُلْتُ: دُونَكِ ابْنَةَ عَمِّكِ. قَالَ:
فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ اخْتَصَمْنَا فِيهَا أَنَا وَجَعْفَرٌ وَزَيْدُ بْنُ
حَارِثَةَ .
فَقَالَ جَعْفَرٌ: ابْنَةُ
عَمِّي وَخَالَتُهَا عِنْدِي - يَعْنِي أَسْمَاءَ بِنْتَ عُمَيْسٍ - وَقَالَ زَيْدٌ:
ابْنَةُ أَخِي.
وَقُلْتُ: أَنَا أَخَذْتُهَا
وَهِيَ ابْنَةُ عَمِّي.
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
ﷺ: " أَمَّا أَنْتَ يَا جَعْفَرُ، فَأَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي، وَأَمَّا أَنْتَ
يَا عَلِيُّ، فَمِنِّي وَأَنَا مِنْكَ، وَأَمَّا أَنْتَ يَا زَيْدُ، فَأَخُونَا وَمَوْلَانَا،
وَالْجَارِيَةُ عِنْدَ خَالَتِهَا، فَإِنَّ الْخَالَةَ وَالِدَةٌ "
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَلَا تَزَوَّجُهَا؟ قَالَ: " إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ
"
Ketika kami keluar dari
Mekah, putri Hamzah mengikuti kami sambil memanggil: “Wahai paman, wahai
paman.” Aku pun meraih tangannya, lalu menyerahkannya kepada Fatimah seraya
berkata: “Ini anak pamanmu.”
Ketika kami sampai di
Madinah, kami berselisih tentang siapa yang berhak mengasuhnya, yaitu aku,
Ja’far, dan Zaid bin Haritsah.
Ja’far berkata: “Ia adalah
putri pamanku dan bibinya ada bersamaku” – yang dimaksud adalah Asma binti
Umais.
Zaid berkata: “Ia adalah
putri saudaraku.”
Aku berkata: “Aku yang
membawanya, dan ia adalah putri pamanku.”
Maka Rasulullah ﷺ
bersabda: “Adapun engkau, wahai Ja’far, engkau menyerupai bentukku dan
akhlakku. Adapun engkau, wahai Ali, engkau dariku dan aku darimu. Adapun
engkau, wahai Zaid, engkau adalah saudara kami dan pemimpin kami. Dan anak
perempuan itu berada di bawah asuhan bibinya, karena bibi itu kedudukannya
seperti ibu.”
Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, tidakkah engkau menikahinya?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia
adalah putri saudaraku sepersusuan.”
[Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad 2/160-161 no. 770 dan no. 931, Abu Ya’la (526) dan (554) dari Abdurrahman
bin Shalih, dari Yahya bin Adam dengan sanad ini, dan riwayat tersebut dalam
bentuk ringkas, hanya menyebutkan keutamaan Zaid bin Haritsah saja.
Diriwayatkan juga oleh
al-Hakim (3/120) melalui jalur Ubaidullah bin Musa, dari Isra’il dengan redaksi
lengkap. Al-Hakim mensahihkan sanadnya, dan adz-Dzahabi menyetujuinya.
Maka dengan demikian telah
ada kepastian bahwa Abu Ishaq mendengar hadits dari Hani’.
Al-Hakim berkata:
هٰذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ
بِهٰذِهِ الأَلْفَاظِ إِنَّمَا اتَّفَقَا عَلَى حَدِيثِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ
مُخْتَصَرًا.
“Hadits ini sahih sanadnya
dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya dengan lafaz ini.
Keduanya hanya sepakat meriwayatkan hadits Abu Ishaq dari al-Bara’ secara
ringkas.”
Adz-Dzahabi memberikan
komentar: “Sahih.”
Syu’aib al-Arna’uth dalam
Tahqiq al-Musnad 2/160-161 no. 770 berkata :
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ
الشَّيْخَيْنِ غَيْرُ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ وَهُبَيْرَةَ بْنِ يَرِيمٍ فَقَدْ رَوَى
لَهُمَا أَصْحَابُ السُّنَنِ، وَحَدِيثُهُمَا حَسَنٌ لِمُتَابَعَةِ أَحَدِهِمَا لِلْآخَرِ.
“Sanadnya hasan, para
perawinya adalah perawi-perawi yang digunakan oleh dua syaikh (Bukhari dan
Muslim) kecuali Hani’ bin Hani’ dan Hubairah bin Yarim, karena keduanya hanya
diriwayatkan oleh para penulis Sunan, dan hadits mereka dinilai hasan karena
saling menguatkan satu sama lain”.
Al-‘Ijli berkata dalam
kitab Ats-Tsiqat 2/234 no. 1883 (Tahqiq al-Bastawi):
هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ كُوفِيٌّ تَابِعِيٌّ ثِقَةٌ
“Hani’ bin Hani’, seorang
tabi’in Kufah yang tsiqah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar luput
menyebutkan perkataan al-‘Ajli ini dalam kitab at-Tahdzib, padahal itu sesuai
dengan kriteria beliau.
Ibnu Hibban memasukkan
Hani’ dalam kitab Ats-Tsiqat (kumpulan para perawi yang terpercaya) dan
meriwayatkan haditsnya dalam kitab Shahih-nya. [Lihat : Hadyu as-Saari hal.
416].
An-Nasa’i berkata
tentangnya:
لَا بَأْسَ بِهِ
“Tidak mengapa (haditsnya).”
At-Tirmidzi mensahihkan
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Ishaq dari Hani’ dari Ali. [Lihat : Hadyu
as-Saari hal. 416]
Al-Hafidz al-‘Iraqi
menilainya hasan.
Maka tidak ada yang tersisa
kecacatan yang layak padanya kecuali hanya perkataan Ibnu Sa’d dalam kitab
ath-Thabaqat 6/222-223 (Cet. Dar Shoodir):
"هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ رَوَى عَنْ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَكَانَ يَتَشَيَّعُ وَكَانَ مُنْكَرَ الحَدِيثِ".
“Hani’ bin Hani’
meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan ia adalah seorang yang memiliki
kecenderungan kepada Syiah, serta haditsnya munkar.”
Namun ini tidak ada
nilainya, karena Ibnu Sa’d juga melemahkan al-Mughafiri – padahal ia termasuk
perawi dua Shahih (Bukhori dan Muslim) – dengan alasan serupa. [Lihat : Hadyu
as-Saari hal. 416]
Bahkan justru hal ini
dibantah oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sendiri dengan perkataannya:
"لَمْ يَلْتَفِتْ أَحَدٌ إِلَى ابْنِ سَعْدٍ
فِي هَذَا فَإِنَّ مَادَّتَهُ مِنَ الْوَاقِدِيِّ فِي الْغَالِبِ، وَالْوَاقِدِيُّ
لَيْسَ بِمُعْتَمَدٍ".
“Tidak ada seorang pun yang
memperhatikan pendapat Ibnu Sa’d dalam hal ini, karena sumbernya kebanyakan
dari al-Waqidi, sedangkan al-Waqidi tidak dapat dijadikan sandaran.” [Baca :
Fathul Bari 1/417].
ADA PENGUAT LAIN :
Riwayat hadits yang
menyebutkan kata “hajal” (melompat-lompat dengan satu kaki) memiliki
pendukung yang kuat, diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d. Ia berkata:
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ قَالَ:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
إِنَّ ابْنَةَ حَمْزَةَ لَتَطُوفُ بَيْنَ الرِّجَالِ إِذْ أَخَذَ عَلِيٌّ بِيَدِهَا
فَأَلْقَاهَا إِلَى فَاطِمَةَ فِي هَوْدَجِهَا. قَالَ: فَاخْتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ
وَجَعْفَرٌ وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمْ فَأَيْقَظُوا
النَّبِيَّ ﷺ مِنْ نَوْمِهِ. قَالَ: هَلُمُّوا أَقْضِ بَيْنَكُمْ فِيهَا وَفِي غَيْرِهَا.
فَقَالَ عَلِيٌّ: ابْنَةُ عَمِّي وَأَنَا أَخْرَجْتُهَا وَأَنَا أَحَقُّ بِهَا. وَقَالَ
جَعْفَرٌ: ابْنَةُ عَمِّي وَخَالَتُهَا عِنْدِي. وَقَالَ زَيْدٌ: ابْنَةُ أَخِي. فَقَالَ
فِي كُلِّ وَاحِدٍ قَوْلًا رَضِيَهُ. فَقَضَى بِهَا لِجَعْفَرٍ وَقَالَ: الْخَالَةُ
وَالِدَةٌ. فَقَامَ جَعْفَرٌ فَحَجَلَ حَوْلَ النَّبِيِّ ﷺ دَارَ عَلَيْهِ. فَقَالَ
النَّبِيُّ: مَا هَذَا؟ قَالَ: شَيْءٌ رَأَيْتُ الْحَبَشَةَ يَصْنَعُونَهُ بِمُلُوكِهِمْ.
خَالَتُهَا أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ وَأُمُّهَا سَلْمَى بِنْتُ عُمَيْسٍ.
Al-Fadhl bin Dukain
mengabarkan kepada kami, ia berkata: Hafsh bin Ghiyats telah menceritakan
kepada kami, dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, ia berkata: “Sesungguhnya
putri Hamzah berjalan di antara para lelaki, lalu Ali memegang tangannya dan
menempatkannya di atas tandu Fatimah.”
Ia berkata: “Lalu Ali,
Ja’far, dan Zaid bin Haritsah berselisih tentangnya, hingga suara mereka
meninggi dan membangunkan Nabi ﷺ dari tidurnya. Maka Nabi ﷺ
bersabda: ‘Kemari, aku akan memutuskan perkara di antara kalian tentang dia dan
selainnya.’”
Ali berkata: “Dia adalah
putri pamanku, aku yang membawanya, maka aku lebih berhak terhadapnya.” Ja’far
berkata: “Dia adalah putri pamanku dan bibinya ada bersamaku.” Zaid berkata:
“Dia adalah putri saudaraku.”
Maka Nabi ﷺ
berkata kepada masing-masing dari mereka dengan perkataan yang membuatnya
ridha. Lalu beliau memutuskan bahwa anak itu menjadi hak Ja’far, dan bersabda:
“Bibi itu seperti ibu.”
Maka Ja’far berdiri lalu
melompat-lompat mengelilingi Nabi ﷺ. Nabi ﷺ bersabda: “Apa ini?” Ia
menjawab: “Sesuatu yang aku lihat orang-orang Habasyah lakukan kepada raja-raja
mereka.” Bibinya adalah Asma’ binti Umais dan ibunya adalah Salma binti Umais. [Lihat
: ath-Thabaqat al-Kubra 4/35 (Cet. Dar Shoodir)].
Sanad ini baik, para
perawinya adalah perawi Shahihain (Bukhori dan Muslim), namun hadits ini
mursal. Muhammad, perawi hadits ini, adalah seorang tabi’i yang tsiqah, yaitu
Imam Al-Baqir Muhammad bin Zainul Abidin Ali bin Al-Husain, cucu Nabi ﷺ,
dan seperti ini biasanya ia riwayatkan dari Ahlul Baitnya.
Ibnu Sa’d juga
meriwayatkannya dalam kitab *Ath-Thabaqat* dengan sanad yang kualitasnya lebih
rendah tetapi bersambung, dari Al-Waqidi, dari Ibnu Abi Habibah, dari Dawud bin
Al-Hushain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa, dan di dalamnya
disebutkan:
فَقَامَ جَعْفَرٌ فَحَجَلَ حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ،
فَقَالَ: النَّبِيُّ ﷺ: «مَا هَذَا يَا جَعْفَرُ» ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَانَ النَّجَاشِيُّ إِذَا أَرْضَى أَحَدًا قَامَ فَحَجَلَ حَوْلَهُ
“Maka Ja’far berdiri dan
melompat-lompat di sekitar Rasulullah. Lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Apa ini wahai
Ja’far?’ Ia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, dahulu Raja Najasyi jika senang kepada
seseorang, ia berdiri lalu melompat-lompat di sekitarnya.’”
[Lihat : ath-Thabaqat
al-Kubra 8/159 (Cet. Dar Shoodir). Diriwayatkan pula oleh al-Waqidi dalam
al-Maghazi 2/739, al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah 4/340 dan Ibnu Asakir
dalam Tarikh Damaskus 19/361 no. 4480]
Al-Hafidz Ibnu Hajar
menyebutkan riwayat-riwayat tersebut dalam syarah Shahih Bukhari dan beliau
diam terhadapnya.
Kesimpulannya
:
Penyebutan tentang “hajal”
dalam kisah ini memiliki asal dan sumber yang tidak dapat diingkari. Hal ini
tidak mengandung sesuatu yang munkar, bahkan memiliki pendukung yang akan disebutkan
nanti, insya Allah.
===***===
PENDAPAT KEDUA : YANG MEN-DHO’IF-KAN HADITS :
Mereka berkata : Hadits tersebut
memiliki dua cacat:
Cacat Pertama: Ketidakjelasan salah satu perawinya, yaitu Hani’ bin
Hani’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
ذَكَرَهُ ابْنُ سَعْدٍ
فِي الطَّبَقَةِ الْأُولَى مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ ، قَالَ : وَكَانَ يَتَشَيَّعُ ،
وَقَالَ ابْنُ الْمَدِينِيِّ : مَجْهُولٌ ، وَقَالَ حَرْمَلَةُ عَنْ الشَّافِعِيِّ
: هَانِئُ ابْنُ هَانِئٍ لَا يُعْرَفُ وَأَهْلُ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ لَا يُثْبِتُونَ
حَدِيثَهُ لِجَهَالَةِ حَالِهِ .
"Ibnu
Sa'd menyebutnya dalam ath-Thabaqah al-Ula dari kalangan penduduk Kufah, dan ia
mengatakan bahwa Hani’ bin Hani’ berpemahaman Syi’ah. Ibnu al-Madini
mengatakan: 'Ia majhul (tidak dikenal).' Harmlah meriwayatkan dari asy-Syafi’i:
'Hani’ bin Hani’ tidak dikenal, dan ahli hadits tidak menetapkan keabsahan haditsnya
karena keadaan dirinya yang tidak diketahui.'" Tahdzib at-Tahdzib,
11/22.
Bantahan terhadap al-Hafidz Ibnu Hajar:
Al-Hafidz Ibnu Hajar luput
menyebutkan perkataan al-‘Ajli dan lain-nya dalam kitab at-Tahdzib, padahal itu
sesuai dengan kriteria beliau.
Al-‘Ijli berkata dalam
kitab Ats-Tsiqat 2/234 no. 1883 (Tahqiq al-Bastawi):
هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ كُوفِيٌّ تَابِعِيٌّ ثِقَةٌ
“Hani’ bin Hani’, seorang
tabi’in Kufah yang tsiqah.”
Ibnu Hibban memasukkan
Hani’ dalam kitab Ats-Tsiqat (kumpulan para perawi yang terpercaya) dan
meriwayatkan haditsnya dalam kitab Shahih-nya. [Lihat : Hadyu as-Saari hal.
416]
An-Nasa’i berkata
tentangnya:
لَا بَأْسَ بِهِ
“Tidak mengapa (haditsnya).”
At-Tirmidzi mensahihkan
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Ishaq dari Hani’ dari Ali. [Lihat : Hadyu
as-Saari hal. 416].
Al-Hafidz al-‘Iraqi
menilainya hasan.
Maka tidak ada yang tersisa
kecacatan (illat) yang layak padanya kecuali hanya perkataan Ibnu Sa’d dalam
kitab ath-Thabaqat 6/222-223 (Cet. Dar Shoodir):
"هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ رَوَى عَنْ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَكَانَ يَتَشَيَّعُ وَكَانَ مُنْكَرَ الحَدِيثِ".
“Hani’ bin Hani’
meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan ia adalah seorang yang memiliki
kecenderungan kepada Syiah, serta haditsnya munkar.”
Namun ini tidak ada
nilainya, karena Ibnu Sa’d juga melemahkan al-Mughafiri – padahal ia termasuk
perawi dua Shahih (Bukhori dan Muslim) – dengan alasan serupa. [Lihat : Hadyu
as-Saari hal. 416]
Bahkan justru hal ini
dibantah oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sendiri dengan perkataannya:
"لَمْ يَلْتَفِتْ أَحَدٌ إِلَى ابْنِ سَعْدٍ
فِي هَذَا فَإِنَّ مَادَّتَهُ مِنَ الْوَاقِدِيِّ فِي الْغَالِبِ، وَالْوَاقِدِيُّ
لَيْسَ بِمُعْتَمَدٍ".
“Tidak ada seorang pun yang
memperhatikan pendapat Ibnu Sa’d dalam hal ini, karena sumbernya kebanyakan
dari al-Waqidi, sedangkan al-Waqidi tidak dapat dijadikan sandaran.” [Baca :
Fathul Bari 1/417].
Cacat Kedua: Tadlis yang dilakukan oleh Abu Ishaq as-Sabi’i.
Abu
Sa’id al-‘Ala’i rahimahullah berkata:
عَمْرُو بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ السَّبِيعِيُّ أَبُو إِسْحَاقَ ، مَشْهُورٌ بِالْكُنْيَةِ ، تَقَدَّمَ أَنَّهُ
مُكْثِرٌ مِنَ التَّدْلِيسِ .
"Amr
bin Abdullah as-Sabi’i Abu Ishaq, dikenal dengan kunyahnya, dan telah
disebutkan sebelumnya bahwa ia termasuk perawi yang banyak melakukan
tadlis." Jami’ at-Tahsil fi Ahkam al-Marasil, hlm. 245.
Hadits
ini telah dinilai lemah oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad, 2/213-214.
Mereka mengatakan:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ
، هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ تَقَدَّمَ الْقَوْلُ فِيهِ ، وَمِثْلُهُ لَا يَحْتَمِلُ التَّفَرُّدَ
، وَلَفْظُ "الحَجْلِ" فِي الحَدِيثِ مُنْكَرٌ غَرِيبٌ . انْتَهَى
"Sanadnya
lemah. Hani’ bin Hani’ telah dijelaskan keadaannya, dan perawi semacam dia
tidak dapat diterima periwayatannya sendirian. Selain itu, lafaz al-hajl dalam hadits
ini dianggap mungkar dan asing." [Selesai].
Hadits
ini memiliki jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam *Ath-Thabaqat*
(4/35-36) dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya. Ia berkata:
إِنَّ ابْنَةَ حَمْزَةَ
لَتَطُوفُ بَيْنَ الرِّجَالِ ... فَقَامَ جَعْفَرٌ فَحَجَلَ حَوْلَ النَّبِيِّ ﷺ دَارَ
عَلَيْهِ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (مَا هَذَا ؟) قَالَ : شَيْءٌ رَأَيْتُ الحَبَشَةَ
يَصْنَعُونَهُ بِمُلُوكِهِمْ .
"Sesungguhnya
putri Hamzah berjalan di antara para laki-laki... lalu Ja'far berdiri dan
berjalan dengan satu kaki mengelilingi Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: *'Apa ini?'* Ja'far menjawab: *'Ini adalah sesuatu
yang aku lihat orang-orang Habasyah lakukan kepada raja-raja
mereka.'*"
Hadits
ini lemah dan terputus (mursal), karena Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat yang disebutkan dalam hadits
tersebut.
Hadits
ini telah dihukumi sebagai hadits mursal oleh Az-Zaila'i dalam kitabnya *Nashb
Ar-Rayah li Ahadits Al-Hidayah* (3/268) dan oleh Al-Albani dalam *As-Silsilah
Ash-Shahihah* (3/256).
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam *Shahih*-nya (no. 2552), tetapi
tidak terdapat lafaz yang menunjukkan adanya tarian mereka.
Teks
riwayat dalam *Shahih Al-Bukhari* adalah sebagai berikut:
" ... فَاخْتَصَمَ
فِيهَا عَلِيٌّ وَزَيْدٌ وَجَعْفَرٌ فَقَالَ عَلِيٌّ : أَنَا أَحَقُّ بِهَا وَهِيَ
ابْنَةُ عَمِّي ، وَقَالَ جَعْفَرٌ : ابْنَةُ عَمِّي وَخَالَتُهَا تَحْتِي ، وَقَالَ
زَيْدٌ : ابْنَةُ أَخِي ، فَقَضَى بِهَا النَّبِيُّ ﷺ لِخَالَتِهَا وَقَالَ : «الْخَالَةُ
بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ» وَقَالَ لِعَلِيٍّ : «أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ» وَقَالَ
لِجَعْفَرٍ : «أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي» وَقَالَ لِزَيْدٍ : «أَنْتَ أَخُونَا
وَمَوْلَانَا» . انتهى
*"Kemudian
Ali, Zaid, dan Ja'far berselisih mengenai pengasuhan putri Hamzah. Ali berkata:
'Aku lebih berhak mengasuhnya karena dia adalah putri pamanku.' Ja'far berkata:
'Dia adalah putri pamanku dan bibinya berada dalam asuhanku.' Zaid berkata: 'Dia
adalah putri saudaraku.' Maka Nabi ﷺ memutuskan agar anak tersebut diasuh oleh bibinya dan bersabda:
*(Bibi itu seperti ibu).*
Lalu
beliau ﷺ berkata
kepada Ali: *(Engkau dariku dan aku darimu).*
Dan
kepada Ja'far beliau bersabda: *(Engkau menyerupaiku dalam rupa dan akhlak).*
Dan
kepada Zaid beliau bersabda: *(Engkau adalah saudara kami dan maula kami).*" [Selesai].
Seandainya
hadits ini shahih, maka hadits tersebut hanya menyebutkan bahwa mereka
mengekspresikan kegembiraan mereka atas pujian Nabi ﷺ dengan melompat-lompat menggunakan satu kaki, bukan untuk berjoget
dan menari.
Hal
ini pada dasarnya adalah perbuatan yang mubah (boleh), dan hukumnya bergantung
pada sebab kegembiraan tersebut. Tidak mungkin bagi seseorang yang berakal
sehat menjadikannya sebagai dalil untuk menari ketika sedang berdzikir kepada
Allah Ta’ala.
Sebagian para Fuqaha Syafi’iyyah, termasuk Ibnu Hajar
Al-Haitami rahimahullah, menjelaskan bantahan terhadap klaim orang-orang yang
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan tarian:
"وَتَمَسَّكُوا
أَيْضًا بِأَنَّهُ قَالَ لِعَلِيٍّ: «أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ»، فَحَجَلَ. وَقَالَ
لِزَيْدٍ: «أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلَانَا» فَحَجَلَ ...".
*"Mereka juga berdalil dengan perkataan Nabi kepada Ali:
(Engkau dariku dan aku darimu), lalu ia **ḥajal**. Juga perkataan beliau kepada Zaid: (Engkau adalah
saudara dan maula kami), lalu ia **ḥajal
(melompat-lompat diatas satu kaki**…"*
Lalu Ibnu Hajar berkata:
" وَالْجَوَابُ:
أَنَّ هَذِهِ كُلَّهَا أَحَادِيثُ مُنْكَرَةٌ، وَأَلْفَاظٌ مَوْضُوعَةٌ مُزَوَّرَةٌ.
وَلَوْ سُلِّمَتْ صِحَّتُهَا لَمْ تَتَحَقَّقْ حُجَّتُهَا؛ أَيْ: لِأَنَّ الْمُحَرَّمَ
هُوَ الرَّقْصُ الَّذِي فِيهِ تَثَنٍّ وَتَكَسُّرٌ، وَهَذَا لَيْسَ كَذَلِكَ".
انتهى.
*"Jawabannya
adalah bahwa semua hadits ini adalah hadits-hadits munkar, lafaznya maudhu’
(palsu) dan muzawwarah (direkayasa).
Seandainya
pun hadits-hadits ini shahih, tetap tidak bisa menjadi hujjah (dalil), karena
yang diharamkan adalah tarian yang disertai dengan gerakan tubuh yang lentur
dan meliuk-liukkan badan. Sementara hal ini (ḥajal) tidak demikian." (Sumber: *Kaffur Ra’a ‘an
Muharramatil Lahwi was-Sama’, hlm. 75* (كَفُّ الرُّعَاعِ عَنْ مُحَرَّمَاتِ اللَّهْوِ وَالسَّمَاعِ).
***===****
RIWAYAT PENDUKUNG HADITS TARIAN AL-HAJAL DIATAS :
===***===
PERTAMA : TARIAN KEGEMBIRAAN DENGAN GAYA BEBAS
Berikut
ini kumpulan hadits Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu tentang tarian dan
permainan sebagai ungkapan kegembiraan :
----
Hadits Ke 1 :
Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam Musnad 20/17 no. 12540
: Abdurrahman Ash-Shamad memberitakan kepada kami, ia berkata: Hammad
memberitakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata:
كَانَتِ الْحَبَشَةُ
يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَيَرْقُصُونَ وَيَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ
عَبْدٌ صَالِحٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «مَا يَقُولُونَ؟» قَالُوا: يَقُولُونَ:
مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ
"Orang-orang
Habasyah menari di hadapan Rasulullah ﷺ sambil menari mereka berkata: 'Muhammad adalah seorang hamba
yang saleh.'
Rasulullah
ﷺ bertanya:
'Apa yang mereka katakan?' Mereka menjawab: 'Muhammad adalah seorang hamba yang
saleh.'"
Syu'aib
Al-Arna'uth dan para peneliti kitab *Musnad* mengatakan: "Sanadnya sahih
sesuai dengan syarat Muslim."
----
Hadits Ke 2 :
Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban no. 5870 dari jalur Hudbah bin Khalid, dari Hammad bin
Salamah, dengan sanad ini, dengan lafadz :
أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا
يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
- يَعْنِي يَرْقُصُونَ - وَيَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ لَا يَفْهَمْهُ ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَا يَقُولُونَ ؟» قَالُوا : مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ " .
*"Orang-orang
Habasyah menari di hadapan Rasulullah ﷺ — yakni mereka menari
(berjoget) - dan berbicara dengan bahasa yang tidak beliau pahami. Maka
Rasulullah ﷺ bertanya:
(Apa yang mereka katakan?) Mereka menjawab: 'Muhammad adalah hamba yang
saleh.'”*
Ibnu
Muflih rahimahullah dalam *Al-Adab Asy-Syar’iyyah* (1/381) mengatakan: "Sanadnya
baik."
Adapun
tentang makna kata "يَزْفِنُون",
As-Sindi berkata:
كَـيَضْرِبُ، أَيْ:
يَرْقُصُونَ بِالسِّلَاحِ.
"Seperti
memukul (rebana), yakni mereka menari sambil membawa senjata". [Lihat :
Hamisy Musnad Imam Ahmad 20/17 di bawah hadits no. 12540].
----
Hadits Ke 3 :
Diriwayatkan
pula oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra 4/247 no. 4236 , dia berkata :
Sulaiman
bin Salam memberitakan kepada kami, ia berkata: An-Nadhr memberitakan kepada
kami, ia berkata: Sulaiman memberitakan kepada kami dari Tsabit, dari Anas, ia
berkata:
«قَدِمَ رَسُولُ اللهِ
ﷺ» فَاسْتَقْبَلَهُ سُودَانُ الْمَدِينَةِ يَزْفِنُونَ وَيَقُولُونَ جَاءَ مُحَمَّدٌ
رَجُلٌ صَالِحٌ بِكَلَامِهِمْ، وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَسٌ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَاهُمْ
"Rasulullah
ﷺ datang,
lalu orang-orang dari Sudan di Madinah menyambutnya dengan menari dan berkata
dalam bahasa mereka: 'Telah datang Muhammad, seorang laki-laki yang saleh.'
Anas tidak menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang mereka."
---
Hadits Ke 4 :
Diriwayatkan
pula oleh Al-Bazzar dalam Musnad Al-Bahr Az-Zakhar 13/268 no. 6810 . Dengan
lafadz :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ مِنْ
بَعْضِ مَغَازِيهِ، أَوْ أَسْفَارِهِ، فَإِذَا سُودَانُ الْمَدِينَةِ يَزْفِنُونَ بَيْنَ
يَدَيْهِ: جَاءَ مُحَمَّدٌ رَجُلٌ صَالِحٌ بِكَلَامِهِمْ ذَلِكَ. وَلَمْ يَذْكُرْ
أَنَسٌ أَنَّهُ نَهَاهُمْ ﷺ
"Rasulullah
ﷺ tiba di
Madinah dari salah satu perangnya atau perjalanannya, lalu orang-orang dari
Sudan di Madinah menari di hadapannya dan berkata dalam bahasa mereka: 'Telah
datang Muhammad, seorang laki-laki yang saleh.' Anas tidak menyebutkan bahwa
Rasulullah ﷺ melarang
mereka."
PENGUAT KEDUA : HADITS TARIAN PERMAINAN TOMBAK, PEDANG DAN PERISAI.
Dalil
penguat kebolehan tarian adalah hadits-hadits tentang hiburan dengan tarian permainan
tombak, pedang dan perisai di hari raya dan hari kegembiraan lainnya.
Hadits ke 1 :
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ لَعِبَتِ الْحَبَشَةُ لِقُدُومِهِ بِحِرَابِهِمْ فَرَحًا بِذَلِكَ
Ketika
Rasulullah ﷺ tiba di
Madinah, orang-orang Habasyah bermain-main dengan tombak-tombak mereka karena
gembira atas kedatangan beliau ﷺ.”
[HR.
Ahmad no. 12649, Abdurrazzaq (19723), dan melalui jalurnya hadits ini
diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid (1239), Abu Dawud (4923), Abu Ya’la (3459),
Al-Baghawi (3768), dan Adh-Dhiya’ (1780) serta (1782).
Hadits
ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 4923 dan Syu’aib
al-Arnauth dalam Tahqiq al-Musnad 20/91]
Hadits ke 2 :
Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
دَخَلَ عَلَيَّ
رَسولُ اللَّهِ ﷺ وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى
الفِراشِ، وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ
الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ
فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ، يَلْعَبُ
السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا قالَ:
تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى
خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ:
حَسْبُكِ؟ قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.
"Rasulullah
ﷺ masuk
menemuiku saat ketika di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bernyanyi-nyayi
dengan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar
lalu memalingkan wajahnya.
Kemudian
masuklah Abu Bakar mencelaku, ia berkata: "Seruling-seruling setan (kalian
perdengarkan) di hadapan Nabi ﷺ!"
Rasulullah
ﷺ lantas
memandang kepada Abu Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."
Setelah
beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi isyarat kepada kedua
sahaya tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.
Saat
Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan
kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri
yang meminta kepada Nabi ﷺ, atau
beliau yang menawarkan kepadaku: "Apakah kamu mau melihatnya?"
Maka
aku jawab, "Ya, mau."
Lalu
beliau ﷺ menempatkan
aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil
beliau berkata: "Teruskan hai Bani Arfadah!"
Demikianlah
seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: "Apakah kamu
merasa sudah cukup?" Aku jawab, "Ya, sudah." Beliau lalu
berkata: "Kalau begitu pergilah."
[HR.
Bukhori no. 2906 dan Muslim no. 892].
Dalam riwayat lain, dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata :
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ
مِنًى تُغَنِّيَانِ وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ
بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ
فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ
الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ
يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي
الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ
يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ
bahwa
Abu Bakr radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu 'anha) saat di
sisinya ada dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi, bermain rebana dan
menabuhnya pada hari-hari Mina.
Sementara
Nabi ﷺ menutup
wajahnya dengan kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan
menghardik kedua sahaya itu. Maka Nabi ﷺ melepas kain yang menutupi wajahnya dan berkata: "Biarkanlah
wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya 'Ied". Hari-hari saat itu
adalah hari-hari Mina (Tasyriq).
Dan
'Aisyah radliallahu 'anha berkata :
"Aku
melihat Nabi ﷺ menutupi
aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu
bermain di dalam masjid. Tiba-tiba dia ('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan
mereka. Maka Nabi ﷺ berkata: "Biarkanlah
mereka, dengan keamanan bagi Bani Arfidah, yaitu : rasa kemaanan. (yakni
: Biarkan mereka, karena kami telah memberi mereka rasa aman)"
----
Al-Bukhari rahimahullah memberi judul untuk hadits diatas
dalam kitab Shahih Al-Bukhari dengan :
"بَابُ الْحِرَابِ
وَالدَّرَقِ يَوْمَ الْعِيدِ" .
"Bab Permainan dengan
Tombak dan Perisai pada Hari Raya".
Badruddin Al-'Aini rahimahullah berkata:
وَالْحِرَابُ: جَمْعُ
حَرْبَةٍ. وَالدَّرَقُ: جَمْعُ دَرَقَةٍ، وَهِيَ التُّرْسُ الَّذِي يُتَّخَذُ مِنَ
الْجُلُودِ.
"Al-Hirab
adalah bentuk jamak dari harbah (tombak), sedangkan ad-daraq adalah bentuk
jamak dari dirqah, yaitu perisai yang terbuat dari kulit." (Umdatul Qari, 6/267)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
فِيهِ جَوَازُ اللَّعِبِ
بِالسِّلَاحِ، وَنَحْوِهِ مِنْ آلَاتِ الْحَرْبِ، فِي الْمَسْجِدِ، وَيَلْتَحِقُ بِهِ
مَا فِي مَعْنَاهُ مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ عَلَى الْجِهَادِ.
"Hadits
ini menunjukkan kebolehan bermain permainan dengan senjata dan sejenisnya dari alat-alat
perang di dalam masjid. Demikian pula segala sesuatu yang menjadi sarana
penunjang jihad, masuk dalam hukum ini."
(Syarh Muslim, 6/271)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى
جَوَازِ اللَّعِبِ بِالسِّلَاحِ عَلَى طَرِيقِ التَّوَاثُبِ، لِلتَّدْرِيبِ عَلَى الْحَرْبِ،
وَالتَّنْشِيطِ عَلَيْهِ.
"Hadits
ini dijadikan dalil akan kebolehan permainan dengan senjata dalam bentuk
melompat-lompat, untuk latihan perang dan penyemangat untuk berjihad." (Fathul Bari, 2/445)
***====****
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM JOGET, TARIAN DAN PERMAINAN
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum joget dan tarian :
Saya
membaca kitab (فَرَحُ
الأَسْمَاعِ بِرُخَصِ السَّمَاعِ) karya Abu al-Mawahib Ibnu Zughdan al-Maliki, di mana beliau
banyak mengutip pendapat para imam dan fuqaha.
Beliau
membuat satu bab tentang tarian (raqs) di halaman (67) dan sesudahnya dengan
berkata:
((فَصْلٌ فِي الرَّقْصِ:
وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ
الْفُقَهَاءُ: فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى الْكَرَاهَةِ، مِنْهُمْ: الْقَفَّالُ حَكَاهُ
الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ، وَقَالَ الأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ: تَكَلُّفُ الرَّقْصِ
عَلَى الإِيقَاعِ مَكْرُوهٌ.
وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ
إِلَى إِبَاحَتِهِ، قَالَ صَاحِبُ الْعُمْدَةِ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: الْغِنَاءُ مُبَاحٌ
أَصْلُهُ، وَكَذَلِكَ ضَرْبُ الْقَضِيبِ، وَالرَّقْصُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ)).
Bab tentang Tarian:
Para
fuqaha berbeda pendapat tentangnya. Sebagian ulama berpendapat makruh, di
antaranya Al-Qaffal sebagaimana disebutkan oleh Ar-Ruyani dalam Al-Bahr. Dan
Al-Ustadz Abu Mansur berkata: memaksakan diri untuk menari mengikuti irama
adalah makruh.
Sedangkan
sebagian ulama lain membolehkannya. Penulis Al-‘Umdah dari kalangan Syafi’iyah
berkata: nyanyian pada asalnya mubah, demikian pula memukul tongkat, menari,
dan semisalnya’. [Kutipan selesai]
Kesimpulannya
: ada tiga pendapat tentang hukum joget dan tarian :
Pendapat
Pertama : Boleh dengan syarat tidak ada padanya gerakan yang lemah gemulai dan menyerupai perempuan.
Pendapat
Kedua : Makruh, jika terbebas dari pelanggaran-pelanggaran syar’i.
Pendapat
ketiga : Haram.
====
TUJUAN JOGET DAN MENARI YANG DIPERDEBATKAN HUKUM-NYA
====
Tujuan pertama :
Salah
satu tujuan permainan dan tarian dalam pembahasan disini adalah bertujuan sebagai
ungkapan rasa kegembiraan atas kedatangan Rasulullah ﷺ ke Madinah.
Dan
terkadang mereka memperagakan jurus permainan tombak dan pedang di masjid Nabi ﷺ.
Di
antara riwayat yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (454) dan Muslim (892) dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia
berkata:
(لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ
، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ).
*"Aku
pernah melihat Rasulullah ﷺ suatu hari
di depan pintu kamarku sementara orang-orang Habasyah bermain-main di masjid.
Rasulullah ﷺ menutupi
aku dengan selendangnya, dan aku pun melihat mereka bermain."*
Muslim
No. (892) juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
" جَاءَ حَبَشٌ
يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ ﷺ، فَوَضَعْتُ
رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا
الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ ".
*"Orang-orang
Habasyah datang dan menari pada hari raya di dalam masjid. Maka Nabi ﷺ
memanggilku, lalu aku meletakkan kepalaku di pundaknya dan aku pun melihat
permainan mereka hingga akulah yang akhirnya beranjak pergi dari mereka."*
Al-Bukhari
(2901) dan Muslim (893) meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
" بَيْنَا الحَبَشَةُ
يَلْعَبُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ بِحِرَابِهِمْ ، دَخَلَ عُمَرُ فَأَهْوَى إِلَى الحَصَى
فَحَصَبَهُمْ بِهَا، فَقَالَ: (دَعْهُمْ يَا عُمَرُ) " .
*"Ketika
orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di hadapan Nabi ﷺ, Umar masuk
dan hendak mengambil kerikil untuk melempari mereka. Maka Nabi ﷺ bersabda:
(Biarkan mereka, wahai Umar)."*
Imam
Ahmad 20/91 no (12649) dan Abu Dawud (4923) meriwayatkan dari Anas radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
" لَمَّا قَدِمَ
رَسُولُ اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ لَعِبَتِ الْحَبَشَةُ لِقُدُومِهِ بِحِرَابِهِمْ فَرَحًا
بِذَلِكَ "
"Ketika
Rasulullah ﷺ tiba di
Madinah, orang-orang Habasyah menari dengan tombak mereka karena gembira
menyambut kedatangannya."
Dinyatakan
shahih oleh Syu'aib Al-Arna'uth sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan
juga oleh Adh-Dhiya' dalam Al-Mukhtarah 1781, dari jalur Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, dari ayahnya, dengan sanad ini. Juga terdapat dalam Musannaf
Abdurrazzaq no. 19723, serta diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid no. 1239, Abu
Dawud no. 4923, Abu Ya'la no. 3459, Al-Baghawi no. 3768, dan Adh-Dhiya' no.
1780 dan 178.
Namun
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
" وَحَمَلَهُ الْعُلَمَاءُ
عَلَى التَّوَثُّبِ بِسِلَاحِهِمْ وَلَعِبِهِمْ بِحِرَابِهِمْ عَلَى قَرِيبٍ مِنْ هَيْئَةِ
الرَّاقِصِ لِأَنَّ مُعْظَمَ الرِّوَايَاتِ إِنَّمَا فِيهَا لَعِبهِمْ بِحِرَابِهِمْ
فَيُتَأَوَّلُ هَذِهِ اللَّفْظَةُ عَلَى مُوَافَقَةِ سَائِرِ الرِّوَايَاتِ"
.
*"Para
ulama memahami hadits ini sebagai gerakan melompat dengan senjata mereka dan
permainan mereka dengan tombak dalam bentuk yang menyerupai gerakan penari.
Karena mayoritas riwayat hanya menyebutkan permainan mereka dengan tombak, maka
kata-kata ini harus ditafsirkan agar sesuai dengan riwayat-riwayat
lainnya."*
(Selesai
dari *Syarh Muslim* oleh An-Nawawi, 6/186).
====
Tujuan Kedua :
Agar
non muslim mengetahui bahwa dalam agama Islam terdapat kelapangan
Dan
Ahmad (25962) juga meriwayatkan dari Urwah bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ يَوْمَئِذٍ -يَعْنِي يَوْمَ لَعِبِ الْحَبَشَةِ فِي الْمَسْجِدِ، وَنَظَرَتْ عَائِشَةُ
إِلَيْهِمْ- ( لِتَعْلَمَ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ
بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ ).
*"Pada
hari itu - yakni hari ketika orang-orang Habasyah bermain di masjid dan Aisyah
melihat mereka - Rasulullah ﷺ bersabda:
(Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan (keleluasaan). Aku diutus
dengan agama yang lurus dan toleran)."*
Hadits
ini dinilai hasan oleh Al-Albani dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (1829).
Kesimpulan dari semua riwayat diatas : jelas bahwa
kejadian tersebut merupakan momen permainan, kegembiraan, dan hiburan. Itu bukanlah
momen dzikir, tasawuf, atau bergoyang dalam majelis dzikir. Oleh karena itu,
Rasulullah ﷺ
bersabda:
( لِتَعْلَمَ يَهُودُ
أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ )
*"Agar
orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat
kelapangan."*
Ungkapan
ini hanya diucapkan dalam konteks keringanan hukum, hiburan, dan permainan,
bukan dalam konteks dzikir dan kekhusyukan.
Dalam
karya-karya para imam ahli hadits dan periwayatannya, serta dalam cara mereka
mengklasifikasikan dan memberi judul pada hadits, semuanya mengategorikannya
dalam pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya, seperti permainan pada hari
raya, keluasan dalam agama, dan hal-hal serupa.
Imam Al-Bukhari memberi judul bagi hadits Aisyah:
" بَابُ أَصْحَابِ
الحِرَابِ فِي المَسْجِدِ " .
*"Bab Para Pemain
Tombak di Masjid."*
-
Untuk hadits Abu Hurairah, ia memberi judul:
" بَابُ اللَّهْوِ
بِالحِرَابِ وَنَحْوِهَا ".
*"Bab Hiburan dengan
Tombak dan Sejenisnya."*
Imam Abu Dawud memberi judul bagi hadits Anas:
" بَابٌ فِي النَّهْيِ
عَنِ الْغِنَاءِ".
*"Bab Larangan
Bernyanyi."*
Imam An-Nasa’i memberi judul bagi hadits Aisyah:
" اللَّعِبُ فِي
الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْعِيدِ وَنَظَرُ النِّسَاءِ إِلَى ذَلِكَ".
*"Permainan di Masjid
pada Hari Raya dan Para Wanita yang Menyaksikannya."*
Imam An-Nawawi dalam *Syarh Muslim* memberi judul:
" بَابُ الرُّخْصَةِ
فِي اللَّعِبِ الَّذِي لَا مَعْصِيَةَ فِيهِ فِي أَيَّامِ الْعِيدِ " .
*"Bab Keringanan dalam
Permainan yang Tidak Mengandung Kemaksiatan pada Hari Raya."*
RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :
===***===
PENDAPAT PERTAMA : BOLEH (MUBAH)
Boleh
dengan syarat tidak ada padanya gerakan
yang lemah gemulai dan menyerupai perempuan.
Ini
adalah pendapat mazhab Syafi’i . Mereka berkata : “Menari tidak haram dan tidak
makruh, bahkan mubah”.
Mereka
berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan diatas, diantaranya hadits
Aisyah yang berkata:
جَاءَ حَبَشَةٌ يَزْفِنُونَ
فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ فَدَعَانِي النَّبِيُّ ﷺ فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى
مَنْكِبِهِ فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ
عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“Orang-orang
Habasyah datang menari pada hari raya di masjid, maka Nabi ﷺ
memanggilku, lalu aku meletakkan kepalaku di pundaknya, dan aku terus melihat
permainan mereka hingga akulah yang berhenti dari melihat mereka.”
Ini
adalah dalil bahwa Nabi ﷺ membiarkan
perbuatan mereka, sehingga itu menunjukkan kebolehannya.
Dan
dalilnya secara logika adalah bahwa menari hanyalah gerakan yang lurus atau
bengkok.
Syafi’iyyah
membatasi kebolehan ini dengan syarat tidak ada unsur lemah gemulai seperti
perbuatan banci, jika ada maka haram bagi laki-laki maupun perempuan. Adapun
orang yang melakukannya secara alami tanpa dibuat-buat, maka ia tidak berdosa
karenanya.
Imam
An-Nawawi dalam Al-Minhaj berkata:
وَيُبَاحُ رَقْصٌ مَا
لَمْ يَكُنْ بِتَكَسُّرٍ وَتَثَنٍّ كَهَيْئَةِ مُخَنَّثٍ
menari
dibolehkan selama tidak dengan gerakan yang menyerupai orang banci
(mukhannats), yakni dengan gemulai dan lenggak lenggok. [Dikutip dari Farahu al-Asma‘i bi
Rukhashis-Sama‘i oleh Ibnu Zaghdan hal. 68. Lihat pula Raudhah ath-Tholibin
11/229 karya an-Nawawi].
Demikian
pula dikatakan oleh Al-Mahalli, Al-‘Imad As-Sahrowardi, dan Ar-Rafi’i.
Ar-Rafi’i berdalil dengan sesuatu yang menunjukkan kebolehannya.
Al-Ghazali
juga menegaskan kebolehannya.
Al-Hulaimi
(wafat 403 H) dalam Minhaj-nya berkata:
إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ
تَثَنٍّ وَتَكَسُّرٌ فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Jika
tidak ada gerakan lemah gemulai (lenggok sensual) dan tidak berlebihan, maka
tidak mengapa”.
[Dikutip
dari Farahu al-Asma‘i bi Rukhashis-Sama‘i oleh Ibnu Zaghdan hal. 68. Lihat pula
: Raudhah ath-Tholibin 11/229 karya al-Imam an-Nawawi].
Syeikh
Zakariya al-Anshari dalam Asnaa al-Mathalib 4/345-346 berkata :
"وَعَلَى الْإِبَاحَةِ
الَّتِي صَرَّحَ بِهَا الْمُصَنِّفُ الْفُورَانِيُّ وَالْغَزَالِيُّ فِي وَسِيطِهِ
وَهِيَ مُقْتَضَى كَلَامِ غَيْرِهِمَا.
Dan
berdasarkan pendapat kebolehan yang ditegaskan oleh penulis ar-Raudhah (Imam
Nawawi), Al-Fuurooni, dan Al-Ghazali dalam kitabnya *Al-Wasith*, yang merupakan
konsekuensi dari perkataan selain mereka berdua. [SELESAI]
Imam
Al-Haramain (wafat 478 H) dalam Nihatul Mathlab 19/26 no. 12138 berkata:
وَالرَّقْصُ لَيْسَ
مُحَرَّمَ العَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ حَرَكَاتٌ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ،
وَلَكِنْ كَثِيرُهُ يَخْرِمُ الْمُرُوءَةَ، كَسَائِرِ أَصْنَافِ اللَّعِبِ إِذَا كَانَ
عَلَى اخْتِيَارٍ.
Tarian
bukanlah sesuatu yang haram pada zatnya, melainkan hanyalah gerakan-gerakan
yang lurus atau bengkok. Namun terlalu banyak melakukannya dapat menghilangkan
muru’ah (kehormatan), sebagaimana berbagai jenis permainan jika dilakukan diatas
kemauannya.
Begitu
pula Al-Bulqini, sama seperti Imam al-Haramain, dia berpendapat bahwa jika
menari dilakukan terlalu banyak hingga merusak kewibawaan dan muru’ah, maka hukumnya
haram, tetapi pendapat yang lebih kuat dalam mazhab syafii adalah sebaliknya (mubah).
[Baca : al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 23/10]
Dalam kitab
“Fatawa Al-Khalili Fii Madzab Syafi’i” karya Muhammad Al-Khalili (Maktabah
Syamilah 2/255)
disebutkan :
Bahwa
Al-Allamah Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ فَقَدْ رُوِيَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي
طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَقَصَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ ﷺ لَمَّا قَالَ لَهُ:
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي، وَذَلِكَ مِنْ لَذَّةِ هَذَا الْخِطَابِ، وَلَمْ يُنْكِرْ
عَلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ. وَقَدْ صَحَّ التَّمَايُلُ وَالرَّقْصُ فِي مَجَالِسِ الذِّكْرِ
وَالسَّمَاعِ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنْ كِبَارِ الْأَئِمَّةِ؛ مِنْهُمْ شَيْخُ الْإِسْلَامِ
عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى. اِنْتَهَى.
Ya, hal itu memiliki dasar, karena
telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
menari di hadapan Nabi ﷺ ketika beliau bersabda
kepadanya: “Engkau menyerupai bentuk dan akhlakku”. Itu dilakukan karena kegembiraan mendengar ucapan tersebut, dan Nabi ﷺ tidak mengingkarinya.
Dan telah sahih bahwa bergoyang dan
menari dalam majelis zikir dan sama’ (mendengarkan bacaan atau lantunan)
terjadi pada sekelompok ulama besar; di antaranya adalah Syaikhul Islam
Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah. Selesai.
Maka hal itu dijadikan dasar bolehnya
tarian kaum sufi ketika mereka merasakan nikmatnya ekstase dalam majelis zikir
dan sama’.”
[Selesai]
Lalu
Muhammad Al-Khalili berkata :
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ
ﷺ أَنَّهُ قَالَ لَمَّا أَهْبَطَ اللهُ تَعَالَى آدَمَ إِلَى الْأَرْضِ بَكَى ثَلَاثَ
مِائَةِ عَامٍ، فَأَوْحَى اللهُ تَعَالَى إِلَيْهِ: مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ: يَا رَبِّ
لَسْتُ أَبْكِي شَوْقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَلَا خَوْفًا مِنَ النَّارِ، وَلَكِنْ أَبْكِي
عَلَى فِرَاقِ الْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ يَطُوفُونَ عَلَى الْعَرْشِ سَبْعُونَ أَلْفَ
صَفٍّ جُرْدٌ مُرْدٌ يَرْقُصُونَ وَيَتَوَاجَدُونَ، كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَدْ أَخَذَ
بِيَدِ صَاحِبِهِ يَقُولُونَ بِأَعْلَى صَوْتِهِمْ: مَنْ مِثْلُنَا وَأَنْتَ رَبُّنَا
مَنْ مِثْلُنَا وَأَنْتَ حَبِيبُنَا. وَذَلِكَ دَأْبُهُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
فَأَوْحَى اللهُ تَعَالَى إِلَيْهِ أَنِ ارْفَعْ رَأْسَكَ يَا آدَمُ فَانْظُرْ، فَرَفَعَ
رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَنَظَرَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ وَهُمْ يَطِيرُونَ حَوْلَ
الْعَرْشِ فَسَكَنَ رَوْعُهُ.
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa ketika Allah menurunkan Adam ke
bumi, ia menangis selama tiga ratus tahun.
Lalu Allah mewahyukan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Ia menjawab: Wahai Rabbku, aku tidak
menangis karena rindu surga dan tidak pula karena takut neraka, tetapi aku
menangis karena perpisahan dengan para malaikat yang mengelilingi ‘Arsy, tujuh
puluh ribu barisan malaikat yang polos dan tampan, mereka menari dan
mengalami ekstase (hilangnya kesadaran akan lingkungan), setiap satu memegang tangan temannya seraya berkata dengan suara
keras: Siapakah yang seperti kita, sedangkan Engkau adalah Rabb kita? Siapakah
yang seperti kita, sedangkan Engkau adalah kekasih kita? Itulah kebiasaan
mereka hingga hari kiamat.
Maka Allah mewahyukan kepadanya: “Angkatlah kepalamu, wahai Adam, dan lihatlah!”.
Lalu ia mengangkat kepalanya ke
langit dan melihat para malaikat terbang mengelilingi ‘Arsy, maka hilanglah rasa
takutnya.
[Selesai]
Dan
Ibnu Zaghdan berkata :
وَالْمَشْهُورُ عَنِ
الْإِمَامِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّهُ كَانَ يَرْقُصُ فِي السَّمَاعِ،
ذَكَرَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْهُ فِي طَبَقَاتِ الشَّافِعِيَّةِ كَالْأَسْنَوِيِّ وَالسُّبْكِيِّ،
وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْأَئِمَّةِ الثِّقَاتِ، وَذَكَرَ ذَلِكَ عَنْهُ الشَّيْخُ الْعَارِفُ
تَاجُ الدِّينِ بْنُ عَطَاءِ اللهِ فِي كِتَابِهِ: لَطَائِفِ الْمِنَنِ.
Yang
masyhur dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam adalah bahwa beliau menari dalam
majelis sama’ (mendengar lantunan dzikir), hal ini disebutkan oleh lebih dari
satu ulama dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah seperti Al-Asnawi, As-Subki,
dan selain keduanya dari para imam yang terpercaya. Hal itu juga disebutkan
oleh Syaikh arif Tajuddin bin Atha’illah dalam kitabnya *Lathaif al-Minan*.
[Lihat : Farahu al-Asma‘i bi Rukhashis-Sama‘i oleh Ibnu Zaghdan hal. 69-70]
PENDAPAT KEDUA : MAKRUH
Dalam
al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 23/10 disebutkan :
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَالْقَفَّال مِنَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى كَرَاهَةِ
الرَّقْصِ مُعَلِّلِينَ ذَلِكَ بِأَنَّ فِعْلَهُ دَنَاءَةٌ وَسَفَهٌ، وَأَنَّهُ مِنْ
مُسْقِطَاتِ الْمُرُوءَةِ، وَأَنَّهُ مِنَ اللَّهْوِ.
قَال الأَْبِيُّ: وَحَمَل
الْعُلَمَاءُ حَدِيثَ رَقْصِ الْحَبَشَةِ عَلَى الْوَثْبِ بِسِلَاحِهِمْ، وَلَعِبِهِمْ
بِحِرَابِهِمْ، لِيُوَافِقَ مَا جَاءَ فِي رِوَايَةٍ: يَلْعَبُونَ عِنْدَ رَسُول اللَّهِ
بِحِرَابِهِمْ .
وَهَذَا كُلُّهُ مَا
لَمْ يَصْحَبِ الرَّقْصَ أَمْرٌ مُحَرَّمٌ كَشُرْبِ الْخَمْرِ، أَوْ كَشْفِ الْعَوْرَةِ
وَنَحْوِهِمَا، فَيَحْرُمُ اتِّفَاقًا.
وَذَهَبَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ
إِلَى أَنَّ اتِّخَاذَ الرَّقْصِ ذِكْرًا أَوْ عِبَادَةً، بِدْعَةٌ وَمَعْصِيَةٌ، لَمْ
يَأْمُرِ اللَّهُ بِهِ، وَلَا رَسُولُهُ، وَلَا أَحَدٌ مِنَ الأَْئِمَّةِ، أَوِ السَّلَفِ
Maka
mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Al-Qaffal dari Syafi’iyah
berpendapat bahwa menari hukumnya makruh dengan alasan bahwa perbuatan itu
termasuk kehinaan dan kebodohan, dan termasuk hal-hal yang menjatuhkan
kehormatan, serta termasuk perbuatan main-main (melalaikan).
Al-Abiyy
berkata: Para ulama menafsirkan hadits tentang tarian orang-orang Habasyah sambil
lompat-lompat dengan membawa alat-alat senjata mereka dan bermain dengan tombak
mereka, agar sesuai dengan riwayat yang menyatakan: “Mereka bermain di sisi
Rasulullah dengan tombak-tombak mereka.”
Dan
semua ini berlaku selama tarian itu tidak disertai perkara yang diharamkan,
seperti meminum khamar (arak), membuka aurat, dan semisalnya, maka hukumnya
haram secara kesepakatan.
Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa menjadikan tarian sebagai dzikir atau ibadah adalah
bid’ah dan maksiat; Allah tidak memerintahkannya, Rasul-Nya juga tidak, dan
tidak pula seorang pun dari para imam dan salaf”. [Kutipan Selesai]
Zakariya
al-Anshari dalam Asnaa al-Mathalib 4/345-346 berkata :
"قَالَ الْقَفَّالُ
بِالْكَرَاهَةِ وَعِبَارَةُ الْأَصْلِ مُحْتَمِلَةٌ لَهَا حَيْثُ قَالَ وَالرَّقْصُ لَيْسَ بِحَرَامٍ
(وَبِالتَّكَسُّرِ حَرَامٌ وَلَوْ مِنْ النِّسَاءِ) لِأَنَّهُ يُشْبِهُ أَفْعَالَ الْمُخَنَّثِينَ".
“Al-Qaffal berpendapat makruh, dan lafaz asal (kitab) mengandung
kemungkinan itu ketika berkata: “Dan raks (tarian) bukanlah haram.” (Namun)
dengan gerakan yang lembut dan dibuat-buat (takkassur) hukumnya haram meskipun
dilakukan oleh perempuan, karena hal itu menyerupai perbuatan kaum mukhannats (Banci
/ laki-laki yang menyerupai perempuan). [SELESAI]
----
FATWA
ISLAM.WEB NO. 134103 :
Disebutkan
dalam Islam.web no. 134103:
فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ الرَّقْصِ عُمُومًا، وَالرَّاجِحُ
عِنْدَنَا كَرَاهَتُهُ إِذَا سَلِمَ مِنَ الْمُخَالَفَاتِ الشَّرْعِيَّةِ كَالْغِنَاءِ
الْمُحَرَّمِ وَآلَاتِ الْمُوسِيقَى وَكَشْفِ الْعَوْرَاتِ وَالتَّثَنِّي وَالتَّكَسُّرِ
الْمُثِيرِ لِلشَّهَوَاتِ، وَإِنَّمَا كَرِهْنَاهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَمْشِ
فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ
طُولًا﴾ [الإسراء: 37].
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ بِهَذِهِ الْآيَةِ
عَلَى ذَمِّ الرَّقْصِ وَتَعَاطِيهِ، قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْوَفَاءِ بْنُ عَقِيلٍ:
قَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرَّقْصِ فَقَالَ: وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ
مَرَحًا. وَذَمَّ الْمُخْتَالَ، وَالرَّقْصُ أَشَدُّ الْمَرَحِ وَالْبَطَرِ. اِنْتَهَى.
Para
ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum menari secara umum, dan pendapat
yang kuat menurut kami adalah makruh apabila selamat dari pelanggaran syariat,
seperti bersih dari nyanyian yang diharamkan, alat musik, membuka aurat, serta
gerakan meliuk-liuk dan berlenggak-lenggok yang membangkitkan syahwat.
Kami
memakruhkannya berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau
berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat
menembus bumi dan tidak akan dapat mencapai setinggi gunung”. (QS. Al-Isra:
37).
Al-Qurthubi
berkata dalam tafsirnya: Para ulama berdalil dengan ayat ini untuk mencela
tarian dan melakukannya.
Imam
Abu Al-Wafa’ bin Aqil berkata: Al-Qur’an telah menegaskan larangan terhadap
tarian dengan firman-Nya: “Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan
sombong.”
Dan
Dia mencela orang yang sombong, sedangkan tarian itu lebih besar kesombongan
dan sikap berlebihannya”. (Tafsir al-Qurthubi 10/263). [Selesai].
----
FATWA
SYEIKH AL-‘UTSAIMIN rahimahullah :
Telah ditanyakan
kepada Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam
al-Liqoo asy-Syahri (29/26):
Apakah boleh wanita menari dan
bernyanyi (bersenandung)?
Jawaban Syeikh al-‘Utsaimin :
الرَّقْصُ مَكْرُوهٌ، وَكُنْتُ فِي الأَوَّلِ أَتَسَاهَلُ فِيهِ، لَكِنْ سُئِلْتُ
عِدَّةَ أَسْئِلَةٍ عَنْ حَوَادِثَ تَقَعُ فِي حَالِ رَقْصِ الْمَرْأَةِ فَرَأَيْتُ
أَنْ أَمْنَعَ مِنْهُ، لِأَنَّ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ تَكُونُ رَشِيقَةً وَجَمِيلَةً
وَخَفِيفَةً وَرَقْصُهَا يُفْتِنُ فَتَفْتَتِنُ النِّسَاءُ بِذَلِكَ، حَتَّى إِنَّهُ
بَلَغَنِي أَنَّ بَعْضَ النِّسَاءِ إِذَا حَصَلَ مِثْلُ هَذَا تَقُومُ وَتُقَبِّلُ
الْمَرْأَةَ الَّتِي تَرْقُصُ وَرُبَّمَا تَضُمُّهَا إِلَى صَدْرِهَا وَيَحْصُلُ بِهَذَا
فِتْنَةٌ، وَلِهَذَا كُنْتُ أَخِيرًا أَقُولُ: إِنَّهُ مَمْنُوعٌ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ،
وَسُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، نَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ
وَنَتُوبُ إِلَيْكَ.
لَكِنَّنَا نَقُولُ: إِنْ فَعَلَهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ فِي بَعْضِ الْمُنَاسَبَاتِ
بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ هَذَا دَيْدَنًا لَهُمْ وَلَا عَادَةً مَعَ الْتِزَامِهِمْ بِالضَّوَابِطِ
الشَّرْعِيَّةِ مِنْ أَمْنِ الْفِتْنَةِ وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَتَرْكِ مَا يُثِيرُ
الشَّهَوَاتِ، فَنَرْجُو أَنْ يَكُونَ الأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعًا، فَفِي الصَّحِيحَيْنِ
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَقَفَ لِعَائِشَةَ يَسْتُرُهَا وَهِيَ تَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ
وَهُمْ يَلْعَبُونَ وَيَزْفِنُونَ. وَالزَّفْنُ: الرَّقْصُ. ا هـ.
Menari hukumnya makruh. Dahulu saya
pernah bersikap longgar terhadap hal ini, tetapi saya menerima banyak
pertanyaan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika wanita menari, maka
saya melihat bahwa sebaiknya saya melarangnya.
Sebab, sebagian wanita ada yang
bertubuh ramping, cantik, dan ringan gerakannya sehingga tarian mereka dapat
menimbulkan fitnah (godaan), lalu sebagian wanita lain terfitnah karenanya.
Bahkan telah sampai kepada saya kabar bahwa sebagian wanita, jika terjadi hal seperti
ini, mereka berdiri dan mencium wanita yang menari, bahkan mungkin memeluknya
ke dadanya, sehingga terjadilah fitnah. Karena itu, akhirnya saya mengatakan: hal
itu terlarang.
Wallahu
a’lam. Mahasuci Engkau, ya Allah, dengan segala pujian-Mu,
kami bersaksi tiada tuhan selain Engkau, kami memohon ampun kepada-Mu dan
bertaubat kepada-Mu.
Namun kami katakan: jika sebagian orang awam melakukannya dalam sebagian acara, dan itu
bukan kebiasaan mereka, serta mereka tetap berpegang kepada batasan-batasan
syar’i seperti aman dari fitnah, menutup aurat, dan meninggalkan hal-hal yang
membangkitkan syahwat, maka kami berharap perkara ini luas (diberi
kelonggaran).
Dalam Shahihain (Bukhori dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi ﷺ berdiri menutupi ‘Aisyah,
sementara ia melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain dan menari. Kata
“yazfunūn” artinya menari”. [Selesai].
Namun
dikesempatan lain, Syeikh al-Utsaimin berfatwa :
أَمَّا الرَّقْصُ لِلرِّجَالِ:
فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الرَّقْصَ مِنْ عَادَاتِ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ مِنْ
عَادَاتِ الرِّجَالِ.
وَأَمَّا اللَّعِبُ
بِالسِّلَاحِ بِالْبَنَادِقِ، وَالسُّيُوفِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ - إِذَا لَمْ يَكُنْ
فِيهِ طُبُولٌ -: فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَكَّنَ الْحَبَشَةَ
أَنْ يَلْعَبُوا فِي وَسَطِ مَسْجِدِهِ ﷺ بِرِمَاحِهِمْ، لَكِنْ بِدُونِ رَقْصٍ"
انْتَهَى.
“Adapun
menari bagi laki-laki tidak diperbolehkan, karena menari merupakan kebiasaan
wanita, bukan kebiasaan laki-laki.
Namun,
bermain senjata seperti menggunakan senapan atau pedang tanpa diiringi
genderang tidaklah mengapa. Sebab, Rasulullah ﷺ pernah membiarkan orang-orang Habasyah bermain tombak di tengah
masjidnya, tetapi tanpa tarian." [Liqoo al-Bāb al-Maftūḥ, 39/5]
PENDAPAT KE TIGA : HARAM
FATWA HARAM DARI SEBAGIAN
PARA ULAMA :
Ada
sebagian ulama fiqih dari berbagai mazhab yang mengharamkan joget dan tarian
secara mutlak .
Ulama
Kontemporer Saudi Arabia, Syeikh Hamuud at-Tuwaijiri dalam "ar-Rodd al-Qowiy ‘Alaa ar-Rifaa’i" hal. 132:
أَمَّا الرَّقْصُ فَإِنَّهُ
مِنْ خَوَارِمِ الْمُرُوءَةِ وَمِمَّا يُزْرِي بِالْعَقْلِ وَالْأَدَبِ، قَالَ الشَّيْخُ
عِزُّ الدِّينِ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ: الرَّقْصُ لَا يَتَعَاطَاهُ إِلَّا نَاقِصُ
الْعَقْلِ، وَقَالَ أَبُو الْفَرَجِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ: حَدَّثَنِي بَعْضُ الْمَشَايِخِ
عَنِ الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ قَالَ: الرَّقْصُ حَمَاقَةٌ بَيْنَ الْكِتْفَيْنِ لَا تَزُولُ
إِلَّا بِالتَّعَبِ، قَالَ: وَقَالَ أَبُو الْوَفَاءِ ابْنُ عَقِيلٍ: قَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ
عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرَّقْصِ فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ
مَرَحًا﴾ وَالرَّقْصُ أَشَدُّ الْمَرَحِ وَالْبَطَرِ.
Adapun
tarian menari termasuk dalam hal-hal yang merusak kehormatan dan merendahkan
akal serta adab. Syaikh Izzuddin Ibnu Abdissalam berkata menari tidak dilakukan
kecuali oleh orang yang kurang akal.
Abu
Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi berkata sebagian guru bercerita kepadaku bahwa
Al-Ghazali pernah berkata menari adalah kebodohan yang terjadi di antara kedua
bahu dan tidak akan hilang kecuali dengan kelelahan.
Ia
juga berkata Abu Al-Wafa’ Ibnu Aqil mengatakan Al-Qur’an telah menegaskan
larangan menari sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan sombong”.
Dan
menari itu lebih berat daripada sikap sombong dan lebih besar sifat angkuhnya”.
[Kutipan Selesai]
Imam Al-Qurthubi
al-Maliki (wafat 671 H) dalam Tafsirnya berkata :
"اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ
بِهَذِهِ الْآيَةِ ﴿وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا﴾ عَلَى ذَمِّ الرَّقْصِ وَتَعَاطِيهِ.
قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْوَفَاءِ ابْنُ عَقِيلٍ: قَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ عَلَى
النَّهْيِ عَنِ الرَّقْصِ فَقَالَ: ﴿وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا﴾ وَذَمَّ
الْمُخْتَالَ.
وَالرَّقْصُ أَشَدُّ
الْمَرَحِ وَالْبَطَرِ. أَوَلَسْنَا الَّذِينَ قَسْنَا النَّبِيذَ عَلَى الْخَمْرِ
لِاتِّفَاقِهَا فِي الْإِطْرَابِ وَالسُّكْرِ، فَمَا بَالُنَا لَا نَقِيسُ الْقَضِيبَ
وَتَلْحِينَ الشِّعْرِ مَعَهُ عَلَى الطُّنْبُورِ وَالْمِزْمَارِ وَالطَّبْلِ لاِجْتِمَاعِهَا؟
فَمَا أَقْبَحَ مِنْ ذِي لِحْيَةٍ، وَكَيْفَ إِذَا كَانَ شَبِيهًا، يَرْقُصُ وَيُصَفِّقُ
عَلَى إِيقَاعِ الْأَلْحَانِ وَالْقُضْبَانِ، وَخُصُوصًا إِنْ كَانَتْ أَصْوَاتٌ لِنِسْوَانٍ
وَمُرْدَانٍ! وَهَلْ يَحْسُنُ لِمَنْ بَيْنَ يَدَيْهِ الْمَوْتُ وَالسُّؤَالُ وَالْحَشْرُ
وَالصِّرَاطُ، وَهُوَ إِلَى إِحْدَى الدَّارَيْنِ، يَشْمُسُ بِالرَّقْصِ شَمْسَ الْبَهَائِمِ،
وَيُصَفِّقُ تَصْفِيقَ النِّسْوَانِ؟ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مَشَايِخَ فِي عُمْرِي
مَا بَانَ لَهُمْ سِنٌّ مِنَ التَّبَسُّمِ فَضْلًا عَنِ الضَّحِكِ مَعَ إِدْمَانِ مُخَاطَبَتِي
لَهُمْ.
وَقَالَ أَبُو الْفَرَجِ
ابْنُ الْجَوْزِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَلَقَدْ حَدَّثَنِي بَعْضُ الْمَشَايِخِ عَنِ
الْإِمَامِ الْغَزَالِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: الرَّقْصُ حَمَاقَةٌ
بَيْنَ الْكِتْفَيْنِ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالتَّعَبِ".
Para
ulama berdalil dengan ayat ini “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan sombong” untuk mencela tarian dan melakukannya.
Imam
Abu al-Wafa’ Ibn Aqil berkata: Al-Qur’an telah menegaskan larangan terhadap
tarian, maka Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan sombong” adalah celaan
terhadap orang yang sombong.
Tarian
itu lebih besar kesombongan dan keburukannya. Bukankah kita yang mengqiyaskan
nabidz dengan khamar karena kesamaannya dalam memabukkan dan membuat orang
lalai?
Lalu
mengapa kita tidak mengqiyaskan tongkat dan lantunan syair bersamanya dengan
alat musik seperti gambus, seruling, dan rebana karena kesamaannya?
Alangkah
buruknya jika hal ini dilakukan oleh orang yang berjanggut, apalagi jika ia
menyerupai wanita, menari dan bertepuk tangan mengikuti irama lagu dan ketukan
tongkat, terlebih lagi jika suaranya berasal dari para wanita atau anak muda
tampan. Apakah pantas bagi seseorang yang di hadapannya ada kematian, hisab,
kebangkitan, dan shirath, sementara ia menuju salah satu dari dua negeri (surga
atau neraka), justru meloncat-loncat dengan tarian seperti loncatan binatang
dan bertepuk tangan seperti tepukan para wanita?
Demi
Allah, aku telah melihat para ulama tua sepanjang hidupku yang tidak pernah
tampak giginya karena senyum, apalagi tertawa, meskipun aku sering bergaul
dengan mereka.
Dan
Abu al-Faraj Ibnu al-Jawzi rahimahullah (w. 597 H) berkata: Sungguh, telah menceritakan
kepadaku sebagian para syeikh dari Imam al-Ghazali radhiyallahu ‘anhu bahwa
beliau berkata: Tarian itu adalah kebodohan di antara dua pundak yang tidak
hilang kecuali dengan kelelahan. [Kutipan Selesai]
Muhammad
al-Khodimi al-Hanafi (wafat 1156 H) dalam "Barriiqoh Mahmudiyyah" 4/133 berkata :
أَرَادَ الْمُصَنِّفُ
بَيَانَ حُرْمَةِ الرَّقْصِ فِي الْمَذَاهِبِ فَقَالَ : (قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْوَفَاءِ
بْنُ عَقِيلٍ).
قِيلَ : هُوَ مِنْ أَصْحَابِ
مَالِكٍ دَلِيلٌ عَلَى حُرْمَتِهِ عِنْدَهُ.
وَقِيلَ مِنْ أَصْحَابِ
الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ : (قَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ عَلَى النَّهْيِ
عَنْ الرَّقْصِ فَقَالَ ﴿وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا﴾ [الإسراء: 37] أَيْ ذَا مَرَحٍ وَهُوَ الِاخْتِيَالُ
- ﴿إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأَرْضَ﴾ [الإسراء: 37]- لَنْ تَجْعَلَ فِيهَا خَرْقًا لِشِدَّةِ وَطْأَتِك - {وَلَنْ
تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا} [الإسراء: 37]- بِتَطَاوُلِك وَهُوَ تَهَكُّمٌ بِالْمُخْتَالِ
وَتَعْلِيلٌ لِلنَّهْيِ بِأَنَّ الِاخْتِيَالَ حَمَاقَةٌ مُجَرَّدَةٌ (وَذَمِّ الْمُخْتَالِ)
حَيْثُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ﴿إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
فَخُورٍ﴾ [لقمان: 18] (وَالرَّقْصُ أَشَدُّ الْمَرَحِ
وَالْبَطَرِ) كَأَنَّهُ يَقُولُ الرَّقْصُ مَرَحٌ وَالْمَرَحُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ أَوْ
يُقَالُ الرَّقْصُ بَطَرٌ وَالْبَطِرُ مُخْتَالٌ وَالْمُخْتَالُ لَا يُحِبُّهُ اللَّهُ
تَعَالَى لَكِنْ لَا يَخْفَى أَنَّ الْمُتَبَادِرَ مِنْ الْمَرَحِ هُوَ التَّكَبُّرُ
ابْتِدَاءً أَوْ التَّحَرُّكُ لِأَجْلِ الْكِبْرِ كَمَا يُشْعِرُ بِهِ قَوْلُهُ - ﴿إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأَرْضَ﴾ [الإسراء: 37]- الْآيَةَ، وَالْمُخْتَالُ
مُتَبَادِرٌ فِي التَّكَبُّرِ كَيْفَ وَلَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ الِاحْتِمَالِ فِي
غَيْرِ ذَلِكَ الْمَعْنَى وَلَا حُجَّةَ مَعَ الِاحْتِمَالِ لَا سِيَّمَا عِنْدَ كَوْنِ
الْمَطْلُوبِ حَرَامًا قَطْعِيًّا وَبِالْجُمْلَةِ إنْ كَانَ ذَلِكَ حَاصِلَ أَثَرٍ
فَلَا كَلَامَ فِيهِ وَإِلَّا فَلَا يَخْلُو عَنْ الْكَلَامِ).
Pengarang ingin menjelaskan keharaman
menari dalam mazhab-mazhab, maka ia berkata: “Imam Abu Al-Wafa Ibnu Aqil
berkata.”
Dikatakan: Ia (Ibnu
Aqil) termasuk dari pengikut Imam Malik, ini menjadi dalil bahwa hal itu
haram menurut Malik.
Dan dikatakan, ia termasuk dari
pengikut Imam Ahmad bin Hanbal: “Al-Qur’an telah menegaskan larangan terhadap
menari, sebagaimana firman Allah: {Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan sombong} (QS. Al-Isra: 37), maksudnya dengan kesombongan,
yaitu keangkuhan – .
Dan
firman-Nya : {Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat menembus bumi} (QS. Al-Isra: 37) – maksudnya kamu tidak akan membuat
lubang di dalamnya karena kerasnya pijakan kakimu –
Dan
firman-Nya : {dan kamu sekali-kali tidak akan
sampai setinggi gunung} (QS. Al-Isra: 37)– dengan menjulangmu. Ini
merupakan sindiran terhadap orang yang sombong, serta penjelasan bahwa larangan
tersebut karena keangkuhan itu hanyalah kebodohan belaka.
Dan celaan terhadap orang yang
sombong sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri} (QS. Luqman: 18).
Menari lebih parah daripada
kesombongan dan kebanggaan. Seakan-akan maksudnya adalah menari itu
kesombongan, sedangkan kesombongan dilarang, atau dikatakan menari adalah
kebanggaan, sedangkan orang yang berbangga diri itu sombong, dan orang sombong
tidak disukai Allah Ta’ala.
Akan tetapi tidak tersembunyi bahwa
pengertian yang segera terlintas dari kata “kesombongan” adalah sikap angkuh
sejak awal atau gerakan karena kesombongan, sebagaimana ditunjukkan oleh
firman-Nya: {Sesungguhnya kamu tidak akan dapat menembus bumi} (QS.
Al-Isra: 37).
Dan “orang sombong” juga dipahami
secara langsung berkaitan dengan sifat angkuh. Bagaimana pun, ia tidak akan
kurang dari adanya kemungkinan makna lain, dan tidak ada hujjah yang kuat bila
masih ada kemungkinan lain, terlebih lagi ketika yang dimaksud adalah keharaman
yang bersifat pasti.
Secara keseluruhan, jika memang
terdapat dalil yang jelas, maka tidak ada perdebatan di dalamnya, namun jika
tidak, maka hal ini tidak lepas dari perbincangan. [Kutipan Selesai]
Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah
pernah ditanya:
Apa
pendapat para ulama fiqih – semoga Allah memberikan mereka taufik – mengenai
seseorang yang mendengarkan rebana, seruling, dan nyanyian, lalu ia terbawa
suasana hingga menari?
Apakah
hal tersebut diperbolehkan atau tidak? Ia berkeyakinan bahwa ia mencintai Allah
dan bahwa mendengarkan, ikut larut, serta menarinya itu dilakukan karena Allah!
Berikanlah fatwa kepada kami, semoga Allah merahmati kalian.
Beliau menjawab:
إِنَّ فَاعِلَ هَذَا
مُخْطِئٌ، سَاقِطُ الْمُرُوءَةِ، وَالدَّائِمُ عَلَى هَذَا الْفِعْلِ: مَرْدُودُ الشَّهَادَةِ
فِي الشَّرْعِ، غَيْرُ مَقْبُولِ الْقَوْلِ، وَمُقْتَضَى هَذَا: أَنَّهُ لَا تُقْبَلُ
رِوَايَتُهُ لِحَدِيثِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَلَا شَهَادَتُهُ بِرُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ،
وَلَا أَخْبَارُهُ الدِّينِيَّةُ.
وَأَمَّا اعْتِقَادُهُ
مَحَبَّةَ اللهِ: فَإِنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مُحِبًّا لِلهِ سُبْحَانَهُ، مُطِيعًا
لَهُ، فِي غَيْرِ هَذَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لَهُ مُعَامَلَةٌ مَعَ اللهِ سُبْحَانَهُ،
وَأَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَقَامِ.
وَأَمَّا هَذَا: فَمَعْصِيَةٌ
وَلَعِبٌ، ذَمَّهُ اللهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ، وَكَرِهَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَسَمَّوْهُ
بِدْعَةً، وَنَهَوْا عَنْ فِعْلِهِ، وَلَا يُتَقَرَّبُ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ بِمَعَاصِيهِ،
وَلَا يُطَاعُ بِارْتِكَابِ مَنَاهِيهِ، وَمَنْ جَعَلَ وَسِيلَتَهُ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
مَعْصِيَتَهُ: كَانَ حَظُّهُ الطَّرْدَ وَالْإِبْعَادَ، وَمَنْ اتَّخَذَ اللَّهْوَ
وَاللَّعِبَ دِينًا: كَانَ كَمَنْ سَعَى فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ، وَمَنْ طَلَبَ الْوُصُولَ
إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ مِنْ غَيْرِ طَرِيقِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَسُنَّتِهِ: فَهُوَ
بَعِيدٌ مِنَ الْوُصُولِ إِلَى الْمُرَادِ.
Orang
yang melakukan ini telah melakukan kesalahan dan merupakan orang yang tidak
memiliki kewibawaan. Jika ia terus-menerus melakukan hal tersebut, maka
persaksiannya dalam hukum syariat tertolak, perkataannya tidak dapat diterima.
Akibatnya, ia tidak dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah ﷺ, tidak
diterima persaksiannya dalam melihat hilal Ramadan, dan tidak pula dalam
menyampaikan berita-berita agama.
Adapun
keyakinannya bahwa ia mencintai Allah, maka bisa jadi ia memang mencintai Allah
dan taat kepada-Nya dalam perkara lain. Bisa juga ia memiliki hubungan dengan
Allah dan amal saleh di luar urusan ini. Namun, perbuatan ini adalah maksiat
dan permainan yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.
Para
ulama juga membenci perbuatan ini dan menyebutnya sebagai bid'ah serta melarang
untuk melakukannya.
Tidaklah
seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan kemaksiatan-Nya, dan tidaklah
Allah ditaati dengan melanggar larangan-Nya.
Barang
siapa menjadikan kemaksiatan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, maka
ia hanya akan mendapatkan keterasingan dan dijauhkan dari-Nya.
Barang
siapa menjadikan hiburan dan permainan sebagai agama, maka ia seperti orang
yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Dan
barang siapa mencari jalan menuju Allah selain melalui Rasulullah ﷺ dan
sunnahnya, maka ia akan jauh dari mencapai tujuan yang diinginkannya."
(Sumber:
_Juz Fatawa fi Dzamm asy-Syabbabah wa ar-Raqsh wa as-Sama'_ karya Ibnu Qudamah,
manuskrip, lembar 2).
Imam Izzuddin bin Abdussalam, seorang faqih dan
ushuliyyun besar dari mazhab Syafi'i, rahimahullah, menjelaskan tentang klaim
para sufi yang menggunakan hadits ini sebagai dalil atas kebolehan menari:
وَأَمَّا الرَّقْصُ
وَالتَّصْفِيقُ: فَخِفَّةٌ وَرُعُونَةٌ مُشَبَّهَةٌ لِرُعُونَةِ الْإِنَاثِ، لَا يَفْعَلُهَا
إِلَّا رَاعِنٌ أَوْ مُتَصَنِّعٌ كَذَّابٌ؛ وَكَيْفَ يَتَأَتَّى الرَّقْصُ الْمُتَّزِنُ
بِأَوْزَانِ الْغِنَاءِ مِمَّنْ طَاشَ لُبُّهُ وَذَهَبَ قَلْبُهُ، وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ: (خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ)، وَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُقْتَدَى بِهِمْ يَفْعَلُ
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، وَإِنَّمَا اسْتَحْوَذَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَوْمٍ يَظُنُّونَ
أَنَّ طَرَبَهُمْ عِنْدَ السَّمَاعِ إِنَّمَا هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ،
وَلَقَدْ مَانُوا [أَيْ: كَذَبُوا] فِيمَا قَالُوا، وَكَذَبُوا فِيمَا ادَّعَوْا؛ مِنْ
جِهَةِ أَنَّهُمْ عِنْدَ سَمَاعِ الْمُطْرِبَاتِ وَجَدُوا لَذَّتَيْنِ اثْنَتَيْنِ:
إِحْدَاهُمَا لَذَّةُ الْمَعَارِفِ وَالْأَحْوَالِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذِي الْجَلَالِ،
وَالثَّانِيَةُ: لَذَّةُ الْأَصْوَاتِ وَالنَّغَمَاتِ وَالْكَلِمَاتِ الْمَوْزُونَاتِ
الْمُوجِبَاتِ لِلَّذَّاتِ النَّفْسِ الَّتِي لَيْسَتْ مِنَ الدِّينِ وَلَا مُتَعَلِّقَةً
بِأُمُورِ الدِّينِ؛ فَلَمَّا عَظُمَتْ عِنْدَهُمُ اللَّذَّتَانِ غَلِطُوا فَظَنُّوا
أَنَّ مَجْمُوعَ اللَّذَّةِ إِنَّمَا حَصَلَ بِالْمَعَارِفِ وَالْأَحْوَالِ، وَلَيْسَ
كَذَلِكَ بَلِ الْأَغْلَبُ عَلَيْهِمْ حُصُولُ لَذَّاتِ النُّفُوسِ الَّتِي لَيْسَتْ
مِنَ الدِّينِ بِشَيْءٍ.
وَقَدْ حَرَّمَ بَعْضُ
الْعُلَمَاءِ التَّصْفِيقَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (إِنَّمَا التَّصْفِيقُ
لِلنِّسَاءِ)، وَلَعَنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ،
وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ.
وَمَنْ هَابَ الْإِلَهَ
وَأَدْرَكَ شَيْئًا مِنْ تَعْظِيمِهِ لَمْ يَتَصَوَّرْ مِنْهُ رَقْصٌ وَلَا تَصْفِيقٌ،
وَلَا يَصْدُرُ التَّصْفِيقُ وَالرَّقْصُ إِلَّا مِنْ غَبِيٍّ جَاهِلٍ، وَلَا يَصْدُرَانِ
مِنْ عَاقِلٍ فَاضِلٍ.
وَيَدُلُّ عَلَى جَهَالَةِ
فَاعِلِهِمَا أَنَّ الشَّرِيعَةَ لَمْ تَرِدْ بِهِمَا فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ، وَلَمْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، وَلَا مُعْتَبَرٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَنْبِيَاءِ،
وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ الْجُهَّالُ السُّفَهَاءُ، الَّذِينَ الْتَبَسَتْ عَلَيْهِمُ
الْحَقَائِقُ بِالْأَهْوَاءِ.
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى:
{وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ}، وَقَدْ مَضَى السَّلَفُ،
وَأَفَاضِلُ الْخَلَفِ وَلَمْ يُلَابِسُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
أَوِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ غَرَضٌ مِنْ أَغْرَاضِ نَفْسِهِ، وَلَيْسَ بِقُرْبَةٍ إِلَى
رَبِّهِ: فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُقْتَدَى بِهِ، وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ مَا فَعَلَ ذَلِكَ
إِلَّا لِكَوْنِهِ قُرْبَةً: فَبِئْسَ مَا صَنَعَ، لِإِيهَامِهِ أَنَّ هَذَا مِنَ الطَّاعَاتِ،
وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ أَقْبَحِ الرَّعُونَاتِ." انتهى.
_"Adapun
menari dan bertepuk tangan, maka itu adalah perbuatan yang menunjukkan
kebodohan dan sifat lemah seperti sifat wanita. Tidak ada yang melakukannya
kecuali orang yang tidak berakal atau orang yang berpura-pura serta pendusta.
Bagaimana mungkin seseorang yang akalnya sudah hilang dan hatinya telah pergi
karena cinta kepada Allah dapat melakukan tarian yang selaras dengan irama
nyanyian?
Sungguh,
Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian
generasi setelahnya.’ Tidak ada seorang pun dari generasi yang layak dijadikan
panutan melakukan hal semacam ini. Akan tetapi, setan telah menguasai
orang-orang yang mengira bahwa kegembiraan mereka saat mendengar nyanyian
berhubungan dengan Allah.
Sungguh,
mereka telah berdusta dalam perkataan mereka dan keliru dalam klaim mereka.
Sebab, saat mereka mendengar nyanyian dan musik, mereka merasakan dua jenis
kenikmatan: pertama, kenikmatan terkait dengan makrifat dan kondisi spiritual
yang berhubungan dengan Allah, dan kedua, kenikmatan dari suara, melodi, dan
irama yang hanya menyenangkan jiwa dan tidak berkaitan dengan agama. Karena
besarnya kedua kenikmatan ini dalam diri mereka, mereka pun salah memahami dan
mengira bahwa keseluruhan kenikmatan yang mereka rasakan berasal dari makrifat
dan kondisi spiritual, padahal tidak demikian. Yang lebih dominan dalam diri
mereka justru adalah kenikmatan jiwa yang tidak ada kaitannya dengan agama sama
sekali.
Sebagian
ulama bahkan mengharamkan bertepuk tangan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Tepuk
tangan itu untuk wanita.’ Rasulullah ﷺ juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki.
Barang
siapa yang benar-benar takut kepada Allah dan memahami keagungan-Nya, maka ia
tidak akan mungkin menari dan bertepuk tangan. Tidak ada yang melakukan tarian
dan tepukan tangan kecuali orang yang bodoh dan dungu. Tidak ada orang yang
berakal dan mulia yang melakukannya.
Fakta
bahwa syariat tidak pernah menetapkan perbuatan ini dalam Al-Qur'an dan Sunnah,
serta tidak ada satu pun nabi atau pengikut nabi yang melakukannya, menunjukkan
bahwa perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang bodoh dan ceroboh.
Syariat telah menjelaskan segala sesuatu dalam Al-Qur'an:
‘Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu’ (An-Nahl:
89).
Sesungguhnya,
generasi salaf dan para ulama terbaik setelah mereka tidak pernah terlibat
dalam perbuatan semacam ini. Jika seseorang melakukannya karena keinginan
pribadinya, tanpa meyakininya sebagai ibadah, maka itu tetaplah tercela. Tetapi
jika ia seorang yang dijadikan panutan dan orang-orang mengira bahwa
perbuatannya ini adalah ibadah, maka alangkah buruknya apa yang ia lakukan,
karena ia telah menyesatkan orang lain dengan menganggap bahwa ini adalah
ketaatan. Padahal, ini hanyalah tindakan tercela yang sangat buruk." (Sumber:
_Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam_, 2/349-350, cet. Mu'assasah ar-Rayan).
DALIL PENDAPAT HARAM JOGET DAN TARIAN :
===
Dalil Pertama:
Dalil pertama Berdasarkan dalil sebagai berikut:
Firman Allah Ta’ala:
﴿وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ
مَرَحًا﴾
{Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong} [QS.
Al-Isra: 37].
Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya
(10/263):
“Para ulama berdalil dengan ayat ini tentang
tercelanya menari dan melakukannya. Imam Abu Al-Wafa Ibnu Aqil berkata:
Al-Qur’an telah menegaskan larangan terhadap menari, sebagaimana firman Allah:
‘Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong’ dan mencela orang
yang sombong. Menari itu lebih parah daripada sombong dan angkuh.”
Dan karena hal itu merupakan
perbuatan yang diada-adakan oleh pengikut Samiri, sebagaimana disebutkan dalam
kitab *Aunul Ma’bud* (13/187):
“Dalam kitab *Al-Mustathraf* pada
pembahasan tentang anak sapi, Al-Qurthubi menukil dari Sayyid Abu Bakar
Ath-Thurthusi rahimahullah bahwa beliau pernah ditanya tentang suatu kaum
yang berkumpul di suatu tempat, lalu mereka membaca Al-Qur’an kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan syair hingga mereka menari dan bergembira,
kemudian setelah itu mereka menabuh rebana dan memainkan seruling. Apakah
menghadiri majelis seperti ini halal atau haram?
Beliau menjawab:
مَذْهَبُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّ هَذِهِ بَطَالَةٌ وَجَهَالَةٌ وَضَلَالَةٌ، وَمَا
الْإِسْلَامُ إِلَّا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ، وَأَمَّا الرَّقْصُ وَالتَّوَاجُدُ
فَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَهُ أَصْحَابُ السَّامِرِيِّ لَمَّا اتَّخَذُوا الْعِجْلَ، فَهَذِهِ
الْحَالَةُ هِيَ عِبَادَةُ الْعِجْلِ.
Mazhab kaum sufi yang seperti ini
adalah kebatilan, kebodohan, dan kesesatan. Tidaklah Islam itu kecuali
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun menari dan extase (fana) hanyalah pertama kali diadakan oleh pengikut Samiri ketika mereka
membuat anak sapi, maka keadaan ini adalah ibadah kepada anak sapi.” [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (10/366)].
Maka melakukan tarian adalah bentuk
penyerupaan dengan ibadah mereka. Bahkan sampai hari ini orang-orang Yahudi pun
menjadikan tarian sebagai bagian dari ibadah mereka, maka wajib menyelisihi
mereka dan diharamkan menyerupai mereka.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلَّا أَرْبَعَ
خِصَالٍ: مَشْيُ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ - الْمَرْمَى - وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ
وَمُلَاعَبَتُهُ أَهْلَهُ وَتَعْلِيمُهُ السِّبَاحَةَ
“Segala sesuatu yang bukan termasuk zikir kepada Allah adalah kelalaian
atau kesia-siaan kecuali empat perkara: berjalan seorang lelaki antara dua
sasaran (untuk latihan memanah), melatih kudanya, bermain-main dengan
keluarganya, dan mengajarkan renang”.
[Diriwayatkan
oleh An-Nasa’i dalam *As-Sunan Al-Kubra* (8940), dan oleh Al-Bazzar sebagaimana
dalam *Majma’ Az-Zawaid* karya Al-Haitsami (5/272), serta oleh Ath-Thabarani
(2/193) (1785) dengan sedikit perbedaan. Dinilai shahih oleh al-Albaani dalam
Ghoyatul Maraam no. 389].
Lafadz riwayat lain :
(
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ الْمُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلَّا رَمْيَهُ بِقَوْسِهِ
وَتَأْدِيبَهُ فَرَسَهُ وَمُلَاعَبَتَهُ أَهْلَهُ فَإِنَّهُنَّ مِنْ الْحَقِّ)
“Setiap sesuatu yang dengannya seorang
Muslim bermain-main adalah batil, kecuali latihannya memanah, mendidik kudanya,
dan bercanda dengan istrinya, karena hal itu termasuk kebenaran.”
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 4/174 di bawah hadits
no. 1637 dan Ibnu Majah no. 2811. Dan Abu Isa at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan“.
Al-Khaththabi berkata dalam
*Ma’alimus Sunan* (2/242):
قُلْتُ وَفِي هَذَا بَيَانٌ أَنَّ جَمِيعَ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ مَحْظُورَةٌ،
وَإِنَّمَا اسْتَثْنَى رَسُولُ اللهِ ﷺ هَذِهِ الْخِلَالَ مِنْ جُمْلَةِ مَا حَرَّمَ
مِنْهَا، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا إِذَا تَأَمَّلْتَهَا وَجَدْتَهَا مُعِينَةً
عَلَى حَقٍّ أَوْ ذَرِيعَةً إِلَيْهِ.
“Saya katakan, dalam hal ini terdapat
penjelasan bahwa semua bentuk permainan adalah terlarang, dan Rasulullah ﷺ hanya mengecualikan perkara-perkara ini
dari sesuatu yang diharamkan, karena masing-masingnya apabila diperhatikan
ternyata mendukung suatu kebenaran atau menjadi sarana menuju kebenaran.” [Selesai]
Pertanyaannya : Lalu bagaimana dengan permainan seperti sepak bola, bulu
tangkis dan yang semisalnya? Haramkah ?
====
Dalil Kedua:
Karena di dalamnya terdapat perusakan martabat dan kedudukan kejantanan.
Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata dalam *Qawa’idul Ahkam* (2/220):
وَأَمَّا الرَّقْصُ وَالتَّصْفِيقُ فَخِفَّةٌ وَرُعُونَةٌ مُشَبَّهَةٌ لِرُعُونَةِ
الْإِنَاثِ لَا يَفْعَلُهَا إِلَّا رَاعِنْ أَوْ مُتَصَنِّعٌ كَذَّابٌ وَكَيْفَ يَتَأَتَّى
الرَّقْصُ الْمُتَزِنُ بِأَوْزَانِ الْغِنَاءِ مِمَّنْ طَاشَ لُبُّهُ وَذَهَبَ قَلْبُهُ،
وَقَدْ قَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»، وَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ
يُقْتَدَى بِهِمْ يَفْعَلُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ.
“Adapun menari dan bertepuk tangan
adalah perbuatan ringan dan kebodohan yang menyerupai kebodohan kaum wanita.
Tidak ada
yang melakukannya kecuali orang bodoh atau orang yang
berpura-pura dan pendusta.
Bagaimana mungkin tarian yang diatur
dengan timbangan lagu dilakukan oleh orang yang akalnya hilang dan hatinya lenyap?
Padahal Nabi ﷺ bersabda: ‘Sebaik-baik kurun
adalah kurunku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.’ Dan tidak
seorang pun dari mereka yang dijadikan teladan pernah melakukan hal itu.” [Kutipan Selesai]
===
Dalil Ketiga:
Karena di dalamnya terdapat
penyerupaan
(tasyabbuh) dengan kaum wanita, dengan dalil bahwa para ulama
mazhab sepakat untuk menolak kesaksian orang yang melakukan perbuatan ini,
sebagaimana telah dijelaskan.
Syeikh
Ibnu Utsaimin berkata:
إِنْ كَانَ مِنَ الرِّجَالِ فَهُوَ أَقْبَحُ، وَهُوَ مِنْ تَشَبُّهِ الرِّجَالِ
بِالنِّسَاءِ، وَلَا يَخْفَى مَا فِيهِ.
“Jika yang melakukannya laki-laki maka lebih buruk lagi, dan itu termasuk perbuatan menyerupai laki-laki dengan wanita, dan tidak tersembunyi bahayanya.” (*Fatawa Islamiyyah* 3/187).
===
Dalil Keempat:
Tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehannya, bahkan ia adalah sesuatu yang
baru diada-adakan alias bid’ah.
Al-Lajnah ad-Daimah Saudi
Arabia berkata dalam fatwa nomor 4230:
الرَّقْصُ لِلرِّجَالِ - سَوَاءٌ كَانَ مَعَهُ ضَرْبُ دُفٍّ أَمْ لَا - لَا
نَعْلَمُ لَهُ دَلِيلًا يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهِ.
“Menari bagi laki-laki, baik disertai
tabuhan rebana ataupun tidak, kami tidak mengetahui adanya dalil yang
menunjukkan disyariatkannya hal itu.”
Ibnu Abidin Ulama Hanafiyah berkata dalam fatwanya
(2/323):
الحَقُّ الَّذِي هُوَ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ وَأَحْرَى أَنْ يُدَانَ بِهِ وَيُسْتَمَعَ
أَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ سَيِّئَاتِ الْبِدَعِ حَيْثُ لَمْ يُنْقَلْ فِعْلُهُ عَنِ
السَّلَفِ الصَّالِحِينَ وَلَمْ يَقُلْ بِحِلِّهِ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الدِّينِ الْمُجْتَهِدِينَ.
“Kebenaran yang paling pantas diikuti
dan yang paling layak dijadikan pegangan serta didengarkan adalah bahwa semua
itu termasuk keburukan bid’ah, karena tidak ada riwayat tentang perbuatan itu
dari para salafush shalih dan tidak ada seorang pun dari imam mujtahid yang
mengatakan halalnya.”
Adapun yang dibolehkan oleh mazhab
Syafi’i berbeda dengan apa yang kita lihat hari ini berupa gerakan membelok dan
melenggak-lenggok. Bahkan kemungkinan paling jauh yang mereka izinkan hanyalah
gerakan ringan dan condongan yang lembut.
Dan
Imam An-Nawawi dalam Raudhah ath-Tholibin 11/229 berkata:
وَالرَّقْصُ لَيْسَ
بِحَرَامٍ، قَالَ الْحَلِيمِيُّ: لَكِنَّ الرَّقْصَ الَّذِي فِيهِ تَثَنٍّ وَتَكَسُّرٌ
يُشْبِهُ أَفْعَالَ الْمُخَنَّثِينَ حَرَامٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
Tarian
bukan sesuatu yang diharamkan. Al-Hulaimi berkata: Namun tarian yang di dalamnya terdapat lenggak-lenggok dan
gerakan seperti perbuatan banci adalah haram bagi laki-laki maupun perempuan.”
===
Dalil Kelima:
Batalnya dalil-dalil pihak yang membolehkan tarian dan joget
:
Adapun orang yang membolehkan tarian
secara mutlak, maka mereka tidak memiliki dalil yang sahih. Berikut sebagian
dalil mereka dan bantahannya:
Bantahan Ke 1.
Sebagian mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an yang artinya:
﴿
ارْكُضْ بِرِجْلِكَ ۖ هَٰذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ﴾
“Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk
untuk mandi dan untuk diminum.” [QS. Shaad: 42]
Ibnu Al-Jauzi membatalkan istidlal
mereka, ia berkata ktabnya “Talbis Iblis hal. 230:
وَهَذَا الِاحْتِجَاجُ بَارِدٌ لِأَنَّهُ لَو كَان أَمَرَ بِضَرْبِ الرَّجُلِ
فَرَحًا كَانَ لَهُمْ فِيهِ شُبْهَةٌ وَإِنَّمَا أَمَرَ بِضَرْبِ الرَّجُلِ لِيَنْبُعَ
الْمَاءُ، قَالَ ابْنُ عَقِيلٍ: أَيْنَ الدَّلَالَةُ فِي مُبْتَلًى أُمِرَ عِنْدَ كَشْفِ
الْبَلَاءِ بِأَنْ يَضْرِبَ بِرِجْلِهِ الْأَرْضَ لِيَنْبُعَ الْمَاءُ إِعْجَازًا مِنَ
الرَّقْصِ، وَلَئِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ تَحْرِيكُ رِجْلٍ قَدْ أَنْحَلَهَا تَحَكُّمُ
الْهَوَامِّ دَلَالَةً عَلَى جَوَازِ الرَّقْصِ فِي الْإِسْلَامِ جَازَ أَنْ يَجْعَلَ
قَوْلُهُ تَعَالَى لِمُوسَى: اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ دَلَالَةً عَلَى ضَرْبِ الْجَمَادِ
بِالْقُضْبَانِ، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ التَّلَاعُبِ بِالشَّرْعِ.
“Ini adalah dalil yang sangat lemah, sebab kalau seandainya perintah
untuk menghentakkan kaki karena gembira, tentu mereka memiliki syubhat. Akan
tetapi, perintah itu adalah untuk memancarkan air sebagai bentuk mukjizat,
bukan tarian. Dan kalau boleh dikatakan bahwa gerakan kaki yang dilakukan
wanita itu sebagai dalil bolehnya menari dalam Islam, maka boleh juga dikatakan
bahwa firman Allah tentang memukul batu dengan tongkat sebagai dalil bolehnya
memukul orang-orang yang durhaka dengan tongkat. Kami berlindung kepada Allah
dari mempermainkan syariat”.
Bantahan Ke 2.
Mereka berdalil dengan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ أَنَا وَجَعْفَرٌ، وَزَيْدٌ، قَالَ: فَقَالَ لِزَيْدٍ:
" أَنْتَ مَوْلَايَ " فَحَجَلَ، قَالَ: وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: " أَنْتَ
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي "، قَالَ: فَحَجَلَ وَرَاءَ زَيْدٍ، قَالَ: وَقَالَ
لِي: " أَنْتَ مِنِّي، وَأَنَا مِنْكَ "، قَالَ: فَحَجَلْتُ وَرَاءَ جَعْفَرٍ.
Aku datang menemui Nabi bersama
Ja’far dan Zaid. Nabi ﷺ berkata kepada Zaid: “Engkau adalah maulaku (orang yang aku cintai)”,
maka Zaid pun menghentakkan kakinya.
Lalu Nabi ﷺ berkata
kepada Ja’far: “Engkau menyerupai akhlakku dan sifatku.” Maka Ja’far pun
menghentakkan kakinya di belakang Zaid.
Lalu Nabi ﷺ berkata
kepadaku: “Engkau dariku dan aku darimu.” Maka aku pun menghentakkan kakiku di
belakang Ja’far”. [al-Hadits].
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 857, namun hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah karena sanadnya lemah. Di
dalamnya ada perawi bernama Hani’ bin Hani’, dia majhul (tidak dikenal)
sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, dan ia sendirilah yang
meriwayatkan lafaz ini, sehingga hadits ini munkar dan lemah.
Kalaupun dianggap sahih, makna
“menghentakkan kaki” di sini diperselisihkan. Makna yang benar sebagaimana
dikatakan oleh Abu Ubaid adalah:
أَنْ يَرْفَعَ رِجْلًا وَيَقْفِزَ عَلَى الْأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ، وَقَدْ
يَكُونُ بِالرِّجْلَيْنِ جَمِيعًا إِلَّا أَنَّهُ قَفْزٌ وَلَيْسَ بِمَشْيٍ.
Makna
Hajal adalah mengangkat satu kaki
dan melompat dengan kaki yang lain karena gembira, dan bisa juga dilakukan
dengan kedua kaki, tetapi bentuknya adalah lompatan bukan tarian. (Lihat
Tahdzibul Lughah, 4/8).
Bantahan Ke 3.
Mereka berdalil dengan kisah permainan orang-orang Habasyah (Ethiopia) di
masjid yang diizinkan Nabi ﷺ. Dalam riwayat disebutkan mereka bermain dengan tombak atau
menari atau melompat-lompat. Maka jawabannya adalah sbb :
Pertama:
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa mereka menari, tetapi mereka masih
anak-anak, sebagaimana dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan ini sahih
darinya dalam Sunan At-Tirmidzi.
Kedua:
Tarian mereka adalah dengan senjata dan tombak, dengan maksud latihan perang.
Maka sangat berbeda antara keadaan mereka dengan orang yang menjadikan kisah
ini sebagai dalil untuk membolehkan tarian murni.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
Fathul Bari (6/553):
وَاسْتَدَلَّ قَوْمٌ مِنَ الصُّوفِيَّةِ بِحَدِيثِ الْبَابِ عَلَى جَوَازِ
الرَّقْصِ وَسَمَاعِ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَطَعَنَ فِيهِ الْجُمْهُورُ بِاخْتِلَافِ
الْمَقْصِدَيْنِ فَإِنَّ لَعِبَ الْحَبَشَةِ بِحِرَابِهِمْ كَانَ لِلتَّمْرِينِ عَلَى
الْحَرْبِ فَلَا يُحْتَجُّ بِهِ لِلرَّقْصِ فِي اللَّهْو. وَاللهُ أعْلَم
“Sebagian kaum sufi berdalil dengan hadits
ini untuk membolehkan tarian dan mendengarkan alat musik, namun mayoritas ulama
melemahkan pendalilan mereka karena perbedaan tujuan. Permainan orang Habasyah
dengan tombak mereka adalah untuk latihan perang, sehingga tidak bisa dijadikan
dalil untuk tarian yang dimaksudkan untuk hiburan. Wallahu a’lam”.
Ketiga:
Tujuan mereka dari permainan ini adalah tujuan syar’i yang dianjurkan, yaitu
berlatih untuk perang dan jihad, bukan tarian yang dikenal sekarang. Bahkan
salah satu makna kata tarian adalah gerakan naik-turun. Sebagaimana dijelaskan
oleh Az-Zubaidi dalam Syarh Al-Qamus:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ: اَلرَّقْصُ فِي اللُّغَةِ: الاِرْتِفَاعُ وَالاِنْخِفَاضُ.
وَقَدْ أَرْقَصَ الْقَوْمَ فِي سَيْرِهِمْ إِذَا كَانُوا يَرْتَفِعُونَ وَيَنْخَفِضُونَ.
“Tarian dalam bahasa adalah naik dan
turun. Dikatakan: ‘mereka menari dalam perjalanan’ jika mereka bergerak naik
dan turun”.
[Selesai]
Maka kata melompat-lompat dalam hadits
dipahami sebagai melompat sambil bermain senjata, bukan tarian hiburan, apalagi
mereka melakukannya di masjid di hadapan Nabi, sehingga tidak pantas dipahami
sebagai tarian murni.
Al-Imam
an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim 6/186:
(يَزْفِنُونَ)
وَمَعْنَاهُ يَرْقُصُونَ وَحَمَلَهُ الْعُلَمَاءُ عَلَى التَّوَثُّبِ بِسِلَاحِهِمْ
وَلَعِبِهِمْ بِحِرَابِهِمْ عَلَى قَرِيبٍ مِنْ هَيْئَةِ الرَّاقِصِ لِأَنَّ مُعْظَمَ
الرِّوَايَاتِ إِنَّمَا فِيهَا لَعِبهِمْ بِحِرَابِهِمْ فَيُتَأَوَّلُ هَذِهِ اللَّفْظَةُ
عَلَى مُوَافَقَةِ سَائِرِ الرِّوَايَاتِ
“Makna ‘melompat-lompat’ adalah menari, dan para ulama memaknainya
sebagai melompat dengan senjata mereka dan bermain dengan tombak dalam bentuk
yang mirip dengan tarian, karena kebanyakan riwayat hanya menyebut permainan
mereka dengan tombak, sehingga kata ini ditakwil sesuai riwayat yang lain”.
Dalam sebagian riwayat disebutkan
bahwa mereka adalah para pemilik darkalah (الدَّرْكَلَةُ), lihat as-Silsilah Ash-Shahihah (1829). Maka
ketahuilah bahwa itu hanyalah sejenis permainan anak-anak sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Al-Atsir.
Bantahan Ke 4.
Mereka juga berdalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, dan tarian
hanyalah gerakan tubuh dan lenggokan.
Jawabannya: ini sudah dibantah dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan tentang
keharamannya, yang sangat jelas dengan karunia Allah.
Bantahan ke 5 :
Tidak bolehnya penari dan tukang joget menjadi saksi di
pengadilan:
Para
ulama fikih sepakat untuk menolak kesaksian penari karena ia dianggap telah
kehilangan muru’ah, sedangkan muru’ah adalah salah satu syarat sahnya
kesaksian.
Silahkan
baca : [Al-Mubdi’ 10/226, 5/64, 83, 11/599, 604, 605, Bulghat As-Salik 2/138,
Hasyiyah Ibnu Abidin 3/307, 5/253, Nihayat Al-Muhtaj 8/282, Hawasyi Tuhfat
Al-Muhtaj 10/221, Raud Ath-Thalib dan syarahnya oleh Al-Ansari 4/346, Mughni
Al-Muhtaj 4/430, Kasyaf Al-Qina’ 5/184, dan Syarh Al-Aby atas Muslim 3/43].
0 Komentar