Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

FIQIH DARI KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT

 FIQIH DARI KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT

===

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

 ---

===

 Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

فَإِذَا شَارِفَايَ قَدِ اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا

“Maka tiba-tiba kedua untaku telah dipotong punuknya, perutnya dibelah, dan hati keduanya diambil”.

 ====

DAFTAR ISI :

  • HADITS KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT
  • FAIDAH DARI HADITS KISAH UNTA ALI
  • FAIDAH PERTAMA : PENTINGNYA TAHAPAN DALAM BERDAKWAH DAN MEMAHAMI KONDISI MEDAN DAKWAH
  • TAHUN PENGHARAMAN KHOMR (MINUMAN KERAS):
  • MENGAPA DALAM PENGHARAMAN KHAMR JUGA DILAKUKAN SECARA BERTAHAP? MENGAPA SYARIAT TIDAK MENGHARAMKANNYA SEKALIGUS?
  • PENGHARAMAN KHAMAR BERLANGSUNG MELALUI EMPAT TAHAP:
  • KECEPATAN PARA SAHABAT RADHIYALLAHU 'ANHUM DALAM MEMATUHI PERINTAH RASULULLAH :
  • HUKUM BEROBAT DENGAN KHOMR (MINUMAN KERAS)
  • HARAMNYA KHAMR DAN ADZAB BAGI PECANDU-NYA
  • FAIDAH KE DUA : TAHAPAN PENGHARAMAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS.
  • HADITS-HADITS YANG MENGHARAMKAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS :
  • KUMPULAN HADITS YANG MOMBOLEHKAN MUSIK REBANA DAN NYANYIAN TANPA MIRAS DAN BIDUANITA:
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN KEGEMBIRAAN

 ****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

HADITS KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT

KISAH ini terjadi sebelum diharamkannya MUNUMAN KERAS

Imam Bukhori no. 3091 dan Muslim no. 1979 meriwayatkan dengan sanadnya dari Husain bin Ali mengabarkan kepadanya, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata :

 كَانَتْ لِي شَارِفٌ مِنْ نَصِيبِي مِنَ الْمَغْنَمِ، يَوْمَ بَدْرٍ، وَكَانَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ أَعْطَانِي شَارِفاً مِنَ الْخُمُسِ يَوْمَئِذٍ. فَلَمّا أَرَدْتُ أَنْ أَبْتَنِيَ بِفَاطِمَةَ، بِنْتِ رَسُولِ اللّهِ ﷺ، وَاعَدْتُ رَجُلاً صَوّاغاً مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ يَرْتَحِلُ مَعِيَ. فَنَأْتِي بَإِذْخِرٍ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَهُ مِنَ الصّوّاغِينَ. فَأَسْتَعِينَ بِهِ فِي وَلِيمَةِ عُرْسِي.

فَبَيْنَا أَنَا أَجْمَعُ لِشَارِفَيّ مَتَاعاً مِنَ الأَقْتَابِ وَالْغَرَائِرِ وَالْحِبَالِ. وَشَارِفَايَ مُنَاخَانِ. إِلَىَ جَنْبِ حُجْرَةِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ. وَجَمَعْتُ حِينَ جَمَعْتُ مَا جَمَعْتُ. فَإِذَا شَارِفَايَ قَدِ اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا. فَلَمْ أَمْلِكْ عيْنَيّ حِينَ رَأَيْتُ ذَلِكَ الْمَنْظَرَ مِنْهُمَا.

قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟

قَالُوا: فَعَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ. غَنّتْهُ قَيْنَةٌ وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: أَلاَ يَا حَمْزَ لِلشّرُفِ النّوَاءِ. فَقَامَ حَمْزَةُ بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا، وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. فَأَخَذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا.

قَالَ عَلِيّ: فَانْطَلَقْتُ حَتّىَ أَدْخُلَ عَلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ وَعِنْدَهُ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ. قَالَ فَعَرَفَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ فِي وَجْهِيَ الّذِي لَقِيتُ.

فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ "مَا لَكَ؟" قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ وَاللّهِ مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ قَطّ. عَدَا حَمْزَةُ عَلَىَ نَاقَتَيّ فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. وَهَا هُوَ ذَا فِي بَيْتٍ مَعَهُ شَرْبٌ. قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللّهِ ﷺ بِرِدَائِهِ فَارْتَدَاهُ. ثُمّ انْطَلَقَ يَمْشِي. وَاتّبَعْتُهُ أَنَا وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَة. حَتّىَ جَاءَ الْبَابَ الّذِي فِيهِ حَمْزَةُ. فَاسْتَأْذَنَ، فَأَذِنُوا لَهُ. فَإِذَا هُمْ شَرْبٌ. فَطَفِقَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ يَلُومُ حَمْزَةَ فِيمَا فَعَلَ. فَإِذَا حَمْزَةُ مُحْمَرّةٌ عَيْنَاهُ. فَنَظَرَ حَمْزَةُ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ إِلَىَ رُكْبَتَيْهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ سُرّتِهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ وَجْهِهِ.

فَقَالَ حَمْزَةُ: وَهَلْ أَنْتُمْ إِلاّ عَبِيدٌ لأَبِي؟ فَعَرَفَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ أَنّهُ ثَمِلٌ. فَنَكَصَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ عَلَىَ عَقِبَيْهِ الْقَهْقَرىَ. وَخَرَجَ وَخَرَجْنَا مَعَهُ.

"Dahulu saya pernah memiliki seekor unta dari hasil pembagian harta rampasan perang Badr, pada hari itu pula Rasulullah memberikan seekor unta dari bagian seperlima.

Maka Ketika saya hendak membina rumah tangga dengan Fatimah -puteri Rasulullah - saya telah mengadakan perjanjian dengan seorang tukang emas dari Bani Qainuqa' untuk pergi bersamaku sambil membawa idzkhir (semacam tumbuh-tumbuhan) yang akan saya jual, dan uang hasil penjualan itu dapat saya pergunakan untuk penyelenggaraan pernikahan saya.

Pada saat mempersiapkan barang-barang bagi keperluan kedua unta tersebut, seperti pelana, karung dan tali. Yang mana Saat itu kedua unta saya terikat di samping rumah seorang Anshar, dan tiba-tiba saya mendapati kedua untaku -setelah mempersiapkan barang-barang yang perlu dipersiapkan- sudah terpotong-potong punuknya, terbelah perutnya dan telah terambil hatinya. Kedua mataku tidak kuasa menahan tetesan air mata melihat pemandangan itu, lalu aku bertanya,

"Siapakah yang melakukan semua ini?"

Orang-orang menjawab,

"Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan dia sekarang berada di rumah ini bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang suka meminum minuman keras.

[Penyebab Hamzah memotong-motong dua unta tsb] Dia dan teman-temannya sedang dihibur oleh seorang penyanyi perempuan yang dalam salah satu nyanyiannya terselip kata-kata :

'Wahai Hamzah, ingatlah pada unta-unta yang montok.'

Maka Hamzah pun berdiri dengan membawa pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk kedua unta tersebut dan ia belah perut keduanya kemudian hati keduanya di ambil."

Ali berkata, "Kemudian saya langsung pergi menemui Rasulullah yang pada saat itu beliau sedang duduk bersama Zaid bin Haritsah."

Ali berkata, "Melihat raut mukaku, ternyata Rasulullah tahu akan peristiwa yang terjadi."

Maka Rasulullah bertanya: "Apa yang terjadi denganmu?"

saya menjawab, "Wahai Rasulullah, demi Allah belum pernah seumur hidupku melihat kejadian seperti hari ini. Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia telah memotong punuknya dan membelah isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah bersama teman-temannya yang suka meminum minuman keras."

Ali berkata, "Kemudian Rasulullah mengambil jubahnya. Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang disebutkannya itu dengan berjalan kaki, sementara saya dan Zaid mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di depan pintu rumah yang di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah meminta izin masuk. Para penghuni rumah pun memberikan izin masuk. Ternyata mereka adalah para peminum minuman keras.

Lalu Rasulullah mulai mencela Hamzah terhadap apa yang telah diperbuatnya. Pada saat itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai mengamati Rasulullah dari kedua lutut naik ke pusar dan akhirnya ke wajah beliau.

Kemudian Hamzah berkata :

"Kalian ini tidak lain hanyalah para budak bapakku."

Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk berat.

Lalu beliau mundur ke belakang dan keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar mengikuti beliau ." [Selesai]

Makna Qoynah (القَيْنَةُ):

القَيْنَةُ (جَمْعُها: القِيانُ) تَعني في اللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ الأَمَةَ (الجَارِيَةَ) أَوِ المُغَنِّيَةَ، وَغَالِبًا ما تُطْلَقُ عَلَى الجَارِيَةِ المُغَنِّيَةِ أَوِ المُطْرِبَةِ. كَمَا تُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى الماشِطَةِ الَّتِي تُتْقِنُ المَشْطَ وَتُزَيِّنُ العَرُوسَ. وَيُسْتَخْدَمُ المُصْطَلَحُ لِوَصْفِ طَبَقَةٍ اجْتِمَاعِيَّةٍ مِنَ النِّسَاءِ فِي العَالَمِ الإِسْلَامِيِّ قَبْلَ العَصْرِ الحَدِيثِ، كُنَّ مُدَرَّبَاتٍ عَلَى الفُنُونِ وَالتَّرْفِيهِ.

“Qainah (jamaknya: Qiyan) berarti dalam bahasa Arab budak perempuan (jariyah) atau penyanyi wanita. Namun kata ini lebih sering digunakan untuk menyebut penyanyi wanita atau biduanita (wanita yang berprofesi sebagai penyanyi).

Istilah ini juga digunakan untuk penyebutan tukang rias yang mahir menyisir rambut dan menghias pengantin.

Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan suatu kelas sosial dari kalangan perempuan di dunia Islam sebelum zaman modern, yang terlatih dalam dunia seni dan hiburan”.

----

Hadis Ali diatas ini memiliki beberapa penguat, diantaranya:

Diriwayatkan dari Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya Ali (alaihimus salam) ia berkata:

‌كانت ‌لِي ‌شارِفٌ ‌مِن ‌نَصِيبي ‌مِن ‌المَغْنَمِ وَدَفَعَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ نُثارَهُ مِن الخُمُسِ، وَاعَدْتُ رَجُلًا صَوّاغًا أَنْ يَرْتَحِلَ مَعِي فَنَأْتِيَ بِإِذْخِرٍ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَهُ مِنَ الصَّوّاغِينَ وَأَسْتَعِينُ بِثَمَنِهِ عَلَى الدُّخُولِ بِفاطِمَةَ وَعُرْسِها.

قال: فَحَمَلْتُ شارِفَيَّ عِنْدَ حائِطِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصارِ وَمَضَيْتُ لِأَجْمَعَ الحِبالَ وَالغَرائِرَ وَالأَقْتابَ وَجِئْتُ وَقَدْ بُقِرَ بَطْنُ شارِفَيَّ وَاجْتُبَّ أَسْنِمَتُهُما، قال: فَلَمْ أَمْلِكْ عَيْنَيَّ أَنْ بَكَيْتُ ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هذا بِشارِفَيَّ؟ قالوا: عَمُّكَ حَمْزَةُ فَعَلَهُ وَهذا هُوَ فِي البَيْتِ مَعَهُ شُرْبٌ، عِنْدَهُم قَيْنَةٌ وَحَلَفُوا فَقالَتْ:

أَلا يا حَمْزَ المشرِفَ النَّوّاءَ … وَهُنَّ مُعَقَّلاتٌ بِالفِناءِ

زُجَّ السِّكِّينَ فِي اللَّبّاتِ مِنها … فَضَرَّجَهُنَّ حَمْزَةُ بِالدِّماءِ

وَأَطعَمَ مِن شَرائِحِها كَبابًا … مُهَلْوَجَةً عَلَى رَهَجِ الصَّلاءِ

فَأَصْلَحَ مِن أَطايِبِها طَبِيخًا … لِشُرْبِكَ مِن قَدِيرٍ أَو سَواءِ

فَأَنْتَ أَبا عِمارَةَ المُرَجَّى … لِكَشْفِ الضُّرِّ عَنّا وَالبَلاءِ

فَقامَ إِلى شارِفَيْكَ فَقَتَلَهُما، قالَ عَلِيٌّ: فَجِئْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَهُوَ فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ مَعَهُ مَوْلاهُ زَيْدٌ قالَ: ما جاءَ بِكَ] فِداكَ أَبِي وَأُمِّي يا عَلِيُّ، قُلتُ ما فَعَلَ عَمُّكَ بِشارِفَيَّ وَخَبَّرْتُهُ الخَبَرَ، فَقامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَبِسَ نَعْلَيْهِ وَرِداءَهُ ثُمَّ انْطَلَقَ يَمْشِي وَاتَّبَعْتُهُ أَنا وَزَيْدٌ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ وَدَخَلَ البَيْتَ وَقالَ: يا حَمْزَةُ ما حَمَلَكَ عَلى ما فَعَلْتَ بِشارِفَيَّ ابْنِ أَخِيكَ؟ فَرَفَعَ رَأْسَهُ وَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلى يَدَي رَسُولِ اللهِ ﷺ وَإِلى ساقَيْهِ، فَصَوَّبَ النَّظَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ قالَ: أَلَسْتُمْ وَآباؤُكُم عَبِيدًا لِأَبِي، فَرَجَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ القَهْقَرى وَقالَ: إِنَّ غَنَمَكَ وَجِمالَكَ عَلَيَّ فَغَرِمَهُما لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ.

فَلَمّا أَصْبَحَ غَدا حَمْزَةُ عَلى رَسُولِ اللهِ يَعْتَذِرُ فَقالَ: مَهْ يا عَمُّ فَقَدْ سَأَلْتُ اللهَ فَعَفا عَنكَ.

Aku mempunyai seekor unta betina dari bagianku pada harta rampasan perang, dan Rasulullah memberikan kepadaku sisa bagian beliau dari seperlima.

Aku telah berjanji dengan seorang tukang emas bahwa ia akan berangkat bersamaku untuk mengambil rumput idzkhir yang aku ingin menjualnya kepada para tukang emas, lalu aku akan gunakan hasil penjualannya untuk pernikahanku dengan Fatimah dan acara pernikahannya.

Ia berkata: Maka aku menambatkan untaku di dekat kebun seorang laki-laki Anshar lalu aku pergi untuk mengumpulkan tali, karung, dan pelana. Ketika aku kembali, ternyata perut unta betinaku telah dibelah dan punuknya diambil. Aku tidak kuasa menahan air mataku hingga menangis lalu aku berkata:

Siapa yang melakukan hal ini terhadap untaku?

Mereka berkata: Pamanmu Hamzah yang melakukannya, ia sedang berada di rumah bersama orang-orang yang minum, mereka ditemani seorang penyanyi wanita. Mereka bersumpah lalu penyanyi itu berkata:

Wahai Hamzah yang mulia nan gagah… sementara unta-unta itu terikat di halaman

Tancapkanlah pisau ke leher-lehernya… lalu engkau penuhi dengan darah

Engkau potong dagingnya jadi panggangan… yang lezat di atas bara api

Engkau masak bagian terbaiknya menjadi hidangan… untuk teman-teman minummu dalam kuali

Maka engkaulah wahai Abu ‘Amarah yang diharap… untuk menyingkirkan kesulitan dan bencana dari kami

Maka Hamzah pun bangkit menuju kedua untaku lalu menyembelih keduanya.

Ali berkata: Aku pun mendatangi Rasulullah yang berada di rumah Ummu Salamah bersama Zaid, maulanya.

Beliau bertanya: Apa yang membuatmu datang, wahai Ali, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu?

Aku berkata: “Apa yang dilakukan pamanmu terhadap kedua untaku?”.

Lalu aku ceritakan peristiwanya. Maka Rasulullah berdiri, mengenakan sandal dan rida’ beliau, kemudian berjalan, aku dan Zaid mengikutinya. Beliau memberi salam, meminta izin lalu masuk ke rumah itu, dan bersabda:

Wahai Hamzah, apa yang membuatmu melakukan hal itu terhadap unta-unta anak saudaramu?

Maka ia mengangkat kepalanya dan memandang kepada tangan Rasulullah lalu ke betis beliau, kemudian menunduk memandang lagi, lalu berkata:

Bukankah kalian dan bapak-bapak kalian hanyalah budak ayahku?

Maka Rasulullah pun mundur ke belakang seraya bersabda: “Sesungguhnya kambing dan untamu itu menjadi tanggunganku”.

Maka Rasulullah menggantikan untukku keduanya.

Ketika pagi tiba, Hamzah datang kepada Rasulullah untuk meminta maaf. Maka beliau bersabda:

“Sudahlah wahai paman, aku telah memohon ampun kepada Allah untukmu dan Allah telah memaafkanmu”.

Mereka berkata :

قالوا: وَاتَّخَذَ عُتْبانُ بْنُ مالِكٍ طَعامًا فَدَعا رِجالًا مِنَ المُسْلِمِينَ فِيهِم سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقّاصٍ وَكانَ قَدْ شَوى لَهُم رَأْسَ بَعِيرٍ، فَأَكَلُوا وَشَرِبُوا الخَمْرَ حَتّى أَخَذَتْ مِنْهُم، ثُمَّ إِنَّهُمُ افْتَخَرُوا عِنْدَ عُتْبانَ وَانْتَسَبُوا وَتَناشَدُوا الأَشْعارَ، فَأَنْشَدَ سَعْدٌ قَصيدَةً فِيها هِجاءُ الأَنْصارِ وَفَخْرٌ لِقَوْمِهِ، فَقامَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصارِ وَأَخَذَ لَحْيَيِ البَعِيرِ فَضَرَبَ بِهِ رَأْسَ سَعْدٍ فَشَجَّهُ شَجَّةً، فَانْطَلَقَ سَعْدٌ إِلى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَشَكا إِلَيْهِ الأَنْصارِيَّ فَقالَ عُمَرُ (رَضِيَ اللهُ عَنْهُ): اللّهُمَّ بَيِّنْ لَنا رَأْيَكَ فِي الخَمْرِ بَيانًا وافِيًا، فَأَنْزَلَ اللهُ تَحْرِيمَ الخَمْرِ فِي سُورَةِ المائِدَةِ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ﴾ إلى قوله: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾، وَذلِكَ بَعْدَ غَزْوَةِ الأَحْزابِ بِأَيّامٍ، فَقالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنا يا رَبِّ.

Bahwa Itban bin Malik membuat makanan dan mengundang sekelompok kaum Muslimin, di antara mereka ada Sa’d bin Abi Waqqash. Ia telah memanggang kepala unta untuk mereka, lalu mereka makan dan minum khamar hingga mereka dipengaruhi olehnya. Kemudian mereka saling berbangga di sisi Itban, menyebutkan nasab dan saling melantunkan syair.

Sa’d membacakan sebuah qasidah yang berisi ejekan terhadap kaum Anshar dan kebanggaan untuk kaumnya. Maka seorang laki-laki Anshar berdiri lalu mengambil rahang unta dan memukulkannya ke kepala Sa’d hingga terluka.

Maka Sa’d mendatangi Rasulullah dan mengadukan perbuatan orang Anshar itu.

Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Ya Allah, jelaskanlah kepada kami hukum-Mu tentang khamar dengan penjelasan yang sempurna. Maka Allah menurunkan pengharaman khamar dalam surat Al-Maidah ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar dan judi… hingga firman-Nya: Maka apakah kalian akan berhenti?” (Q.S. Al-Maidah: 90–91).

Itu terjadi beberapa hari setelah perang Ahzab. Maka Umar berkata: Kami berhenti wahai Rabb.

Anas bin Malik berkata:

حُرِّمَتْ وَلَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ لِلْعَرَبِ عَيْشٌ أَعْجَبُ مِنها إِلَيْهِمْ يَوْمَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِم، وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَثْقَلَ عَلَيْهِمْ مِن تَحْرِيمِها

Khamar diharamkan, padahal saat itu tidak ada sesuatu pun dari kehidupan Arab yang lebih mereka sukai melebihi khamar ketika diharamkan. Dan tidak ada sesuatu yang lebih berat atas mereka dibandingkan pengharamannya.

Ia berkata:

فَأَخْرَجْنا الحِبابَ إِلى الطَّريقِ فَصَبَبْنا ما فِيهِ، فَمِنّا مَنْ كَسَرَ حَبَّهُ، وَمِنّا مَنْ غَسَلَهُ بِالماءِ وَالطِّينِ، وَلَقَدْ غَدَتْ أَزِقَّةُ المَدِينَةِ بَعْدَ ذاكَ الحِينِ كُلَّما مَطَرَتِ اسْتُبِينَ بِها لَوْنُ الخَمْرِ وَفاحَتْ رِيحُها.

Maka kami keluarkan bejana-bejana khamar ke jalan lalu kami tumpahkan isinya. Ada di antara kami yang memecahkan bejananya, ada pula yang membasuhnya dengan air dan tanah. Sungguh lorong-lorong Madinah setelah saat itu, setiap kali turun hujan, masih tampak warna khamar dan tercium baunya.

[Lihat : Tafsir ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul Bari 6/200]

===***===

FAIDAH DARI HADITS KISAH UNTA ALI

****

FAIDAH PERTAMA : 
PENTINGNYA TAHAPAN DALAM BERDAKWAH DAN MEMAHAMI KONDISI MEDAN DAKWAH

===

KASIH SAYANG ALLAH DENGAN BERTAHAP DALAM MENGHARAMKAN YANG DIHARAMKAN

Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Kehendak, memberikan pelajaran dan hikmah yang perlu oleh para da’i dalam menyampaikan syari’at-Nya.

Diantaranya dengan menerapkan konsep tahapan serta memperhatikan medan dakwah serta kondisi dan keadaan umat.

Dan diantara hikmah dari penerapan bertahap dalam syariat adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia. Agama Islam memperhatikan sunnatullah dalam hal bertahap ketika menetapkan hukum bagi manusia, baik dalam bentuk kewajiban maupun larangan. Maka ketika mewajibkan ibadah, syariat menetapkannya secara bertahap, begitu pula ketika mengharamkan hal-hal yang haram, dilakukan juga secara bertahap.

Allah ta'ala berkehendak agar menurunkan syariat-Nya secara bertahap menjadi suatu sunnah yang jelas dalam sirah Nabi dan syariatnya. Oleh sebab itu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Allah ta'ala berfirman:

﴿وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلًا﴾

"Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar engkau membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian" (Al-Isra: 106).

Ibnu Katsir berkata:

نَزَلَ ‌مُفرقًا ‌مُنَجَّمًا ‌عَلَى ‌الْوَقَائِعِ ‌إِلَى ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ ﷺ فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً. قَالَهُ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ

"Al-Qur’an diturunkan secara terpisah, berangsur-angsur sesuai kejadian kepada Rasulullah dalam dua puluh tiga tahun. Demikian dikatakan Ikrimah dari Ibnu Abbas." [Tafsir Ibnu Katsir 5/127 Tahqiq Sami as-Salamah - Cet. Dar Taibah]

Syekh Qaradhawi berkata tentang pentingnya memperhatikan sunnah bertahap:

(وَهٰذِهِ السُّنَّةُ الإِلٰهِيَّةُ فِي رِعَايَةِ التَّدَرُّجِ، يَنْبَغِي أَنْ تُتَّبَعَ فِي سِيَاسَةِ النَّاسِ، وَعِنْدَمَا يُرَادُ تَطْبِيقُ نِظَامِ الإِسْلَامِ فِي الْحَيَاةِ، وَاسْتِئْنَافُ حَيَاةٍ إِسْلَامِيَّةٍ مُتَكَامِلَةٍ، فَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُقِيمَ "مُجْتَمَعًا إِسْلَامِيًّا حَقِيقِيًّا"، فَلَا نَتَوَهَّمْ أَنَّ ذٰلِكَ يَتَحَقَّقُ بِجَرَّةِ قَلَمٍ، أَوْ بِقَرَارٍ يَصْدُرُ مِنْ مَلِكٍ أَوْ رَئِيسٍ، أَوْ مَجْلِسِ قِيَادَةٍ أَوْ بَرْلَمَانَ؛ إِنَّمَا يَتَحَقَّقُ ذٰلِكَ بِطَرِيقَةِ التَّدَرُّجِ؛ أَيْ بِالإِعْدَادِ وَالتَّهْيِئَةِ الْفِكْرِيَّةِ وَالنَّفْسِيَّةِ، وَالأَخْلَاقِيَّةِ وَالاِجْتِمَاعِيَّةِ، وَهُوَ نَفْسُ الْمَنْهَجِ الَّذِي سَلَكَهُ النَّبِيُّ ﷺ لِتَغْيِيرِ الْحَيَاةِ الْجَاهِلِيَّةِ إِلَى حَيَاةٍ إِسْلَامِيَّةٍ...)

“Dan sunnah ilahiah dalam memperhatikan tahapan ini harus diikuti dalam mengatur urusan manusia, juga ketika hendak menerapkan sistem Islam dalam kehidupan dan memulai kembali kehidupan Islam yang menyeluruh. Jika kita ingin mendirikan ‘masyarakat Islam yang sejati’, jangan kita berangan-angan bahwa hal itu dapat terwujud dengan sekali gores pena, atau dengan keputusan yang dikeluarkan oleh seorang raja atau presiden, atau dewan pimpinan atau parlemen. Hal itu hanya bisa terwujud dengan cara bertahap; yaitu dengan persiapan dan pembinaan pemikiran, jiwa, akhlak, serta masyarakat. Inilah metode yang ditempuh Rasulullah dalam mengubah kehidupan jahiliah menjadi kehidupan Islam...”

[Dari kitab *Al-Khashaish Al-‘Ammah lil Islam*, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Maktabah Wahbah, cetakan kelima 1999, halaman 167].

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa sifat bertahap adalah salah satu ciri terpenting dalam dakwah dan pensyariatan. Jika kita ingin membimbing manusia untuk mengenal Allah dan mentauhidkan-Nya, maka kita harus memulai dengan dalil-dalil akal untuk menetapkan tauhid, yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta dan pada diri manusia, kemudian dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, merenungi kemukjizatan, kebesaran, dan hikmahnya.

Setelah iman kepada Allah bersemayam di hati, barulah masuk tahap berikutnya, yaitu menyiapkan jiwa untuk menerima hukum. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan hukum, memberi tahu manusia, dan menyampaikannya sedikit demi sedikit. Kita menerima dari mereka hal yang sederhana terlebih dahulu, lalu membawa mereka naik bertahap sedikit demi sedikit menuju kesempurnaan, hingga mereka dapat mengamalkan seluruh ajaran Islam. Kita tidak boleh memilih sebagian yang sesuai dengan selera kita lalu meninggalkan yang lainnya. Islam itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, hanya saja ia melalui tahapan, langkah-langkah, dan prioritas.

Seorang da’i yang bijak pasti memperhatikan sunnah bertahap dalam dakwahnya, serta mampu menerapkannya dengan baik sesuai pemahamannya terhadap realitas, tabiat sesuatu, dan hakikat agama.

Dari kitab: *Khashishah at-Tadarruj fi ad-Da‘wah ila Allah (Fiqh at-Tadarruj)*.

===***===

TAHUN PENGHARAMAN KHOMR (MINUMAN KERAS):

Islam bertahap dalam pengharaman khamr, hingga akhirnya diharamkan secara total di Madinah pada tahun delapan hijriah saat penaklukan kota Makkah [Islamqa no. 239223].

Itban bin Malik – rdhiyallahu ‘anhu- berkata :

أَنْزَلَ اللهُ تَحْرِيمَ الخَمْرِ فِي سُورَةِ المائِدَةِ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ﴾ إلى قوله: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾، وَذلِكَ بَعْدَ غَزْوَةِ الأَحْزابِ بِأَيّامٍ، فَقالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنا يا رَبِّ.

Allah menurunkan pengharaman khamar dalam surat Al-Maidah ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar dan judi… hingga firman-Nya: Maka apakah kalian akan berhenti?” (Q.S. Al-Maidah: 90–91).

Itu terjadi beberapa hari setelah perang Ahzab. Maka Umar berkata: Kami berhenti wahai Rabb”.

[Lihat : Tafsir ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul Bari 6/200. Sementara Perang Ahzab terjadi pada bulan Syawwal tahun 5 Hijriah].

Namun Dalam riwayat Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah disebutkan bahwa khamar diharamkan pada saat Rasulullah mengepung Bani Nadhir . (lihat Sirah Ibnu Hisyam 3/211).

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

فَإِنَّ ‌الْخَمْرَ ‌حُرِّمَتْ ‌سَنَةَ ‌ثَلَاثٍ ‌بَعْدَ ‌أُحُدٍ بِاتِّفَاقِ النَّاسِ

"Sesungguhnya khamr diharamkan pada tahun ketiga setelah perang Uhud menurut kesepakatan ulama." [Majmu’ al-Fatawa 14/117]

Dan Al-Qurthubi berkata dalam kitab "Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an" 6/214:

وَكَانَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ سَنَةَ ثَلَاثٍ بَعْدَ وَقْعَةِ أُحُدٍ

"Pengharaman khamr terjadi pada tahun ketiga setelah perang Uhud."

Al-Hafizh berkata dalam Fath al-Bari:

ذَكَرَ ابنُ إِسْحَاقَ أَنَّ تَحْرِيمَ الخَمْرِ كَانَ فِي وَاقِعَةِ بَنِي النَّضِيرِ، وَهِيَ بَعْدَ وَقْعَةِ أُحُدٍ، وَذَلِكَ سَنَةَ أَرْبَعٍ عَلَى الرَّاجِحِ، وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ أَنَسَ بنَ مَالِكٍ -رضي اللَّه عنه- كَانَ السَّاقِيَ يَوْمَ حُرِّمَتْ، وَأَنَّهُ لَمَّا سَمِعَ المُنَاديَ بِتَحْرِيمِهَا بَادَرَ فَأَرَاقَهَا، فَلَوْ كَانَ ذَلِكَ سَنَةَ أَرْبَعٍ لَكَانَ أَنَسٌ يَصْغُرُ عَنْ ذَلِكَ، وَالذِي يَظْهَرُ أَنَّ تَحْرِيمَهَا كَانَ عَامَ الفَتْحِ سَنَةَ ثَمَانٍ.

لِمَا رَوَى الإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ وَالإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ -وَاللَّفْظُ لِأَحْمَدَ- مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ وَعْلة قَالَ: سَأَلْتُ ابنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ بَيْعِ الخَمْرِ، فَقَالَ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ صَدِيقٌ مِنْ ثَقِيفٍ، أَوْ مِنْ دَوْسٍ، فَلَقِيَهُ بِمَكَّةَ عَامَ الفَتْحِ بِرَاوِيَةِ خَمْرٍ يُهْدِيهَا إِلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَا أبَا فُلَانٍ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَهَا؟ "، فَأَقبُلَ الرَّجُلُ عَلَى غُلَامِهِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَبِعْهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَا أَبَا فُلَانٍ، بِمَاذَا أَمَرْتهُ؟ " قَالَ: أَمَرتُهُ أَنْ يَبِيعَهَا، فَقَالَ ﷺ: "إِنَّ الذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا"، فَأَمَرَ بِهَا فَأُفْرِغَتْ فِي البَطْحَاءِ.

وَرَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ وَأَبُو يَعْلَى بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ مِنْ حَدِيثِ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يُهْدِي لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ كُلَّ عَامٍ رَاوِيَةَ خَمْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عَامَ حُرِّمَتْ جَاءَ بِرَاوِيَةٍ فَقَالَ له رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "هَلْ شَعَرْتَ أَنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ بَعْدَكَ؟ "

فَقَالَ تَمِيمٌ: أَفَلَا أَبِيعُهَا وَأَنْتَفِعُ بِثَمَنِهَا؟ فنَهَاهُ.

فيسْتَفَادُ مِنْ حَدِيثِ تَمِيمٍ تَأْيِيدُ الوَقْتِ المَذْكُورِ -وَهُوَ العَامُ الثَّامِنُ الهِجْرِيُّ- فَإِنَّ إِسْلَامَ تَمِيمٍ كَانَ بَعْدَ الفَتْحِ.

Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa pengharaman khamar terjadi pada peristiwa Bani Nadhir, yaitu setelah Perang Uhud, dan itu pada tahun keempat menurut pendapat yang kuat. Namun hal itu masih perlu ditinjau, karena Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu adalah pelayan minum pada hari khamar diharamkan. Ketika ia mendengar penyeru mengumumkan pengharamannya, ia segera menumpahkannya. Jika hal itu terjadi pada tahun keempat, maka usia Anas saat itu terlalu kecil. Yang tampak jelas adalah bahwa pengharamannya terjadi pada tahun Fathu Makkah, yaitu tahun kedelapan.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (lafazhnya dari Ahmad), melalui jalur Abdurrahman bin Wa’lah, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang jual beli khamar. Ia berkata: Rasulullah mempunyai seorang sahabat dari kabilah Tsaqif atau dari kabilah Daus. Ia menemuinya di Makkah pada tahun Fathu Makkah dengan membawa sebuah wadah besar berisi khamar untuk dihadiahkan kepadanya. Maka Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Fulan, tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkannya?” Lalu orang itu menoleh kepada pembantunya dan berkata: “Pergilah, juallah ini.” Maka Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Fulan, apa yang engkau perintahkan kepadanya?” Ia menjawab: “Aku memerintahkannya untuk menjualnya.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan meminumnya juga mengharamkan menjualnya.” Maka beliau memerintahkan agar wadah itu ditumpahkan di tanah lapang.

(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Musaqat, Bab Pengharaman Jual Beli Khamar, hadis nomor 1579. Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 2041).

Al-Rawiyah: wadah air besar. Lihat Lisan al-Arab 5/380.

Imam Ahmad dan Abu Ya’la meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari hadis Tamim ad-Dari radhiyallahu 'anhu bahwa ia dahulu setiap tahun menghadiahkan kepada Rasulullah sebuah wadah besar berisi khamar. Ketika datang tahun saat khamar diharamkan, ia datang membawa sebuah wadah, lalu Rasulullah bersabda kepadanya: “Apakah engkau tahu bahwa setelahmu khamar telah diharamkan?” Maka Tamim berkata: “Apakah tidak boleh aku menjualnya dan mengambil manfaat dari harganya?” Beliau pun melarangnya.

(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 17995. Dan disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Fath al-Bari 9/162, dan beliau diam terhadapnya).

Dari hadis Tamim ini dapat dipahami adanya penguat bahwa waktu yang disebutkan —yaitu tahun kedelapan hijriah— adalah benar, karena keislaman Tamim terjadi setelah Fathu Makkah”. (Lihat : Fath al-Bari 9/161 dan 11/150).

===***===

MENGAPA DALAM PENGHARAMAN KHAMR JUGA DILAKUKAN SECARA BERTAHAP?
MENGAPA SYARIAT TIDAK MENGHARAMKANNYA SEKALIGUS?

Jawaban-nya :

Karena minum khamr pada masa jahiliah sudah menjadi kebiasaan yang mengakar pada bangsa Arab, dan sulit bagi mereka meninggalkannya, maka hukum-hukum tentang khamr diturunkan secara bertahap, mulai dari celaan terhadapnya, peringatan darinya, hingga akhirnya pengharaman yang tegas dan final.

Al-Qurthubi rahimahullah ta'ala berkata:

«تَحْرِيمُ الْخَمْرِ كَانَ بِتَدْرِيجٍ وَنَوَازِلَ كَثِيرَةٍ، ‌فَإِنَّهُمْ ‌كَانُوا ‌مُولَعِينَ ‌بِشُرْبِهَا، وَأَوَّلُ مَا نَزَلَ فِي شأنها ﴿يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِما إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنافِعُ لِلنَّاسِ﴾ [البقرة: 219] أَيْ فِي تِجَارَتِهِمْ، فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ تَرَكَهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا: لَا حَاجَةَ لَنَا فِيمَا فِيهِ إِثْمٌ كَبِيرٌ، وَلَمْ يَتْرُكْهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا: نَأْخُذُ مَنْفَعَتَهَا وَنَتْرُكُ إِثْمَهَا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ : ﴿لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى﴾ [النساء: 43] فَتَرَكَهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا: لَا حَاجَةَ لَنَا فِيمَا يَشْغَلُنَا عَنِ الصَّلَاةِ، وَشَرِبَهَا بَعْضُ النَّاسِ فِي غَيْرِ أَوْقَاتِ الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ﴾ الْآيَةَ - فَصَارَتْ حَرَامًا عَلَيْهِمْ حَتَّى صَارَ يَقُولُ بَعْضُهُمْ: مَا حَرَّمَ اللَّهُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ الْخَمْرِ».

“Pengharaman khamr ditetapkan secara bertahap dengan beberapa peristiwa, karena mereka begitu gemar meminumnya. Tahap pertama, yang turun terkait khamr adalah firman Allah Ta'ala:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219).

Yakni manfaat dari sisi perdagangan. Maka ketika ayat ini turun, sebagian orang meninggalkan khamr dan berkata: Kami tidak butuh sesuatu yang di dalamnya ada dosa besar. Namun sebagian yang lain tetap meminumnya seraya berkata: Kami ambil manfaatnya dan tinggalkan dosanya. Lalu turun ayat:

“Janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisā: 43).

Maka sebagian orang meninggalkan khamr seraya berkata: Kami tidak butuh sesuatu yang membuat kami lalai dari shalat. Namun sebagian yang lain tetap meminumnya di luar waktu shalat, hingga turun ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran khamr dan judi, serta menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat. Maka tidakkah kalian mau berhenti?” (Al-Māidah: 90–91).

Sejak saat itu khamr menjadi haram bagi mereka, sampai-sampai ada yang berkata: Tidak ada sesuatu yang Allah haramkan lebih berat daripada khamr.” (Tafsir al-Qurthubi, 6/286).

Dan dengan ini jelas bahwa kewajiban syariat tidak datang kecuali setelah hati dipenuhi oleh iman, dan kekuasaan iman menjadi lebih kuat daripada kekuasaan hawa nafsu. Hal itu melalui tahapan panjang. Tahap pertama adalah menanamkan iman kepada Allah di dalam hati, ini adalah awal jalan, kemudian meningkat sedikit demi sedikit dalam perjalanan para salik menuju tingkatan tertinggi orang-orang yang berjalan dan derajat orang-orang yang bertakwa.

Islam datang pada masa ketika manusia meminum khamr, dan khamr memiliki pengaruh kuat atas akal mereka. Mereka telah terbiasa dan kecanduan. Maka Islam tidak masuk dengan benturan langsung, melainkan dengan memperhatikan keadaan mereka dan kecintaan mereka terhadap khamr. Islam membawa mereka secara bertahap, dan menyiapkan jiwa mereka sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya.

Tentang hal ini, Imam Al-Jasshas berkata dalam tafsir ayat:

(وَلَم يَختَلِف أَهلُ النَّقلِ في أَنَّ الخَمرَ قَد كانَت مُباحَةً في أَوَّلِ الإِسلامِ، وَأَنَّ المُسلِمينَ قَد كانوا يَشرَبونَها بِالمَدينَةِ، وَيَتَبايَعونَ بِها، مَعَ عِلمِ النَّبِيِّ ﷺ بِذَلِكَ، وَإِقرَارِهِم عَلَيها، إِلى أَن حَرَّمَها اللهُ تَعالى: ﴿إِنَّمَا الخَمرُ وَالمَيسِرُ...﴾، وَقَد كانَت مُحَرَّمَةً قَبلَ ذَلِكَ في بَعضِ الأَحوَالِ، وَهِي أَوقاتُ الصَّلاةِ، بِقَولِهِ تَعالى: ﴿وَلَا تَقرَبوا﴾، وَأَنَّ بَعضَ مَنافِعِها قَد كانَ مُباحًا، وَبَعضَها مَحظورًا بِقَولِهِ تَعالى: ﴿قُل فيهِما إِثمٌ كَبيرٌ﴾ إِلى أَن تَمَّ تَحرِيمُها بِقَولِهِ تَعالى: ﴿فَاجتَنِبوهُ﴾)

(Tidak ada perbedaan di kalangan ahli riwayat bahwa khamr pada awal Islam adalah mubah, dan kaum Muslimin meminumnya di Madinah serta memperjualbelikannya, dengan sepengetahuan Rasulullah dan persetujuannya, hingga Allah mengharamkannya. Sebelumnya khamr telah diharamkan dalam keadaan tertentu, yaitu pada waktu shalat. Dan sebagian manfaatnya halal, sebagian lagi haram, hingga akhirnya diharamkan dengan firman-Nya: jauhilah). [Baca: Ahkamul Qur’an, karya Al-Jashshas, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cetakan 1/1994, Juz 1, Halaman 392]

Marilah kita renungkan perkataan Imam Al-Jasshas ketika menegaskan bahwa khamr mubah pada awal Islam, dan Islam datang sementara manusia sudah kecanduan khamr. Maka tampaklah hikmah agama ini dalam memilih prioritas, menentukan titik awal, dan menyusun rencana pengobatan.

Pengobatan dimulai dari dalam jiwa. Pada awalnya tidak berbicara tentang pengharaman khamr, dan tidak menjadikannya sebagai isu yang layak dibahas pada tahap awal dakwah. Perhatian diarahkan kepada pembenahan akidah, seruan untuk mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Ketika kecintaan kepada Allah menjadi perkara terbesar, maka persoalan khamr menjadi kecil dan melemah. Ketika Allah memerintahkan untuk mengharamkannya secara bertahap, maka mereka pun menyambut perintah itu, dan meninggalkan khamr. Bahkan mereka membencinya, membenci minumnya, peminumnya, penjualnya, pembuatnya, peraciknya, hasil keuntungannya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

====

BAHAYA KHAMR DAN PERLUNYA TAHAPAN REHABILTIASI PECANDUNYA :

Sesungguhnya syariat yang penuh hikmah itu lebih mengetahui tabiat dan karakter sesuatu. Di antara sifat khas khamr adalah pengaruhnya terhadap akal.

Dikatakan :

وَقَدْ سُمِّيَتْ خَمْرًا لِمُخَامَرَتِهَا الْعَقْلَ

“Khamr disebut demikian karena menutupi akal”.

(Mukhtār al-Shihāh, hlm. 166, Maktabah Lubnān, 1989).

Khamr memiliki kendali atas akal, sehingga sangat sulit bagi peminumnya—lebih-lebih pecandunya—untuk meninggalkannya sekaligus.

Karena itu, harus ada tahapan untuk mempersiapkan jiwa agar dapat menerima hukum. Oleh sebab itu, pengharaman khamr berlangsung melalui beberapa tahap sebagaimana disebutkan para mufassir.

Namun, saya memilih apa yang disebutkan oleh al-Qurthubi rahimahullah ta'ala sebagaimana yang telah disebutkan diatas dalam tafsir firman Allah Ta'ala:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung.” (QS. Al-Māidah: 90).

Proses Tahapan pengharaman khamar:

Pada tahun kedelapan hijriah khamar diharamkan secara final. Dalam riwayat Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah disebutkan bahwa khamar diharamkan pada saat Rasulullah mengepung Bani Nadhir (lihat Sirah Ibnu Hisyam 3/211).

===***===

PENGHARAMAN KHAMAR BERLANGSUNG MELALUI EMPAT TAHAP:

****

TAHAPAN PERTAMA:

Tahap memberi isyarat arah ketika Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nahl:

﴿وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا﴾

“Dan dari buah kurma dan anggur kamu membuat darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.” (Surah An-Nahl ayat 67).

Ayat ini menjadi yang pertama mengetuk kesadaran kaum muslimin dengan menempatkan minuman memabukkan (yaitu khamar) berlawanan dengan rezeki yang baik, seolah-olah ia adalah sesuatu, sedangkan rezeki yang baik adalah sesuatu yang lain.

TAHAPAN KEDUA:

Tahap menggugah kesadaran keagamaan melalui logika syariat dalam jiwa kaum muslimin, ketika turun ayat dalam Surah Al-Baqarah:

﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا﴾

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Surah Al-Baqarah ayat 219).

Di dalamnya terdapat isyarat bahwa meninggalkannya lebih utama, karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya.

====

TAHAPAN KETIGA:

Tahap memutus kebiasaan minum khamar dan menimbulkan pertentangan antara khamar dengan kewajiban salat, ketika turun ayat dalam Surah An-Nisa:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.” (Surah An-Nisa ayat 43).

Salat itu ada lima waktu yang sebagian besar berdekatan, sedangkan jarak antar waktu salat tidak cukup untuk mabuk kemudian sadar kembali.

Sebab turunnya ayat:

Sebab turunnya firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk,” adalah sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan At-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar dengan sanad sahih dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ia berkata:

صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ -رضي اللَّه عنه- طَعَامًا، فَدَعَانَا فَأَكَلْنَا، وَسَقَانَا مِنَ الخَمْرِ، فَأَخَذَتْ فِينَا، وَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ، فَقَدَّمُونِي [في رواية أخرى عند الطحاوي: فقدموا عليًا في صلاة المغرب]، فَقَرَأْتُ: (قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ)، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ. . .﴾

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu membuat makanan untuk kami, lalu ia mengundang kami. Kami pun makan dan diberi minum khamar hingga memengaruhi kami, kemudian waktu salat pun tiba. Mereka pun memajukanku (dalam riwayat lain dari At-Thahawi: mereka memajukan Ali untuk mengimami salat Maghrib), lalu aku membaca:

“Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah.”

Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan...”.

(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Jami’-nya, Kitab Tafsir, Bab Surah An-Nisa, hadis nomor 3275; Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab Asy-Syarb, Bab Pengharaman Khamar, hadis nomor 3275; dan At-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, hadis nomor 4776–4777).

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar dengan sanad sahih:

سَمِعْتُ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يُنَادِي: "إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانٌ"

Aku mendengar penyeru Rasulullah berseru: “Apabila salat telah didirikan, maka janganlah orang mabuk mendekati salat.” (Diriwayatkan oleh At-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, hadis nomor 1494).

====

TAHAPAN KEEMPAT DAN TERAKHIR:

Kemudian datanglah tahap keempat yang bersifat tegas dan terakhir, di mana jiwa kaum muslimin sudah benar-benar siap menerimanya. Maka yang tersisa hanyalah larangan, yang langsung diikuti oleh ketaatan dan kepatuhan tanpa ragu. Maka turunlah firman Allah Ta’ala:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian dengan anak panah adalah najis termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung.” (Surah Al-Maidah ayat 90, lihat juga Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthb rahimahullah ta’ala 2/974).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad hasan melalui penguat, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

حُرِّمَتِ الخَمْرُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ المَدِينَةَ وَهُمْ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، وَيَأْكُلُونَ المَيْسِرَ، فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ ﷺ: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ﴾

فَقَالَ النَّاسُ: مَا حُرِّمَ عَلَيْنَا، إِنَّمَا قَالَ: ﴿فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ﴾ وَكَانُوا يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمٌ مِنَ الأَيَّامِ، صَلَّى رَجُلٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ، أَمَّ أَصْحَابَهُ فِي المَغْرِبِ، خَلَطَ فِي قِرَاءَتِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهَا آيَةً أَغْلَظَ مِنْهَا: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴾ [سورة النساء آية (٤٣)]، فَكَانَ النَّاسُ يَشْرَبُونَ حَتَّى يَأْتِيَ أَحَدُهُمُ الصَّلَاةَ وَهُوَ مُفِيقٌ.

ثُمَّ نَزَلَتْ آيَةٌ أَغْلَظُ مِنْ ذَلِكَ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [سورة المائدة آية (٩٠)]، فَقَالُوا: انْتَهَيْنَا رَبَّنَا

Khamar diharamkan sebanyak tiga kali. Rasulullah tiba di Madinah, sementara mereka minum khamar dan makan dari hasil judi. Mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Allah menurunkan kepada Nabi-Nya firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.” (Surah Al-Baqarah ayat 219).

Maka orang-orang berkata: “Khamar belum diharamkan atas kita. Hanya disebutkan: ‘Pada keduanya terdapat dosa besar’.” Mereka pun tetap meminumnya. Hingga pada suatu hari, seorang dari kalangan Muhajirin mengimami salat Maghrib bersama sahabat-sahabatnya, lalu ia mencampuradukkan bacaannya. Maka Allah menurunkan ayat yang lebih keras dari sebelumnya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.” (Surah An-Nisa ayat 43). Maka orang-orang tetap minum, tetapi mereka pastikan bahwa ketika masuk waktu salat, mereka dalam keadaan sadar.

Kemudian turunlah ayat yang lebih keras lagi: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian dengan anak panah adalah najis termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung.” (Surah Al-Maidah ayat 90). Maka mereka pun berkata: “Kami berhenti, wahai Rabb kami.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 8620).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1/579):

أَمَّا إِثْمُهُمَا فَهُوَ فِي الدِّينِ، وَأَمَّا المَنَافِعُ فَدُنْيَوِيَّةٌ، مِنْ حَيْثُ إِنَّ فِيهَا نَفْعَ البَدَنِ، وَتَهْضِيمَ الطَّعَامِ، وَإِخْرَاجَ الفَضَلَاتِ، وَتَشْحِيذَ -أَيْ تَحْرِيكَ- بَعْضِ الأَذْهَانِ، وَلَذَّةَ الشِّدَّةِ المُطْرِبَةِ الَّتِي فِيهَا، وَكَذَا بَيْعُهَا وَالِانتِفَاعُ بِثَمَنِهَا، وَمَا كَانَ يُقَمِّشُهُ -أَيْ يَجْمَعُهُ- بَعْضُهُمْ مِنَ المَيْسِرِ فَيُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عِيَالِهِ، وَلَكِنْ هَذِهِ المَصَالِحُ لَا تُوَازِي مَضَرَّتَهُ وَمَفْسَدَتَهُ الرَّاجِحَةَ؛ لِتَعَلُّقِهَا بِالعَقْلِ وَالدِّينِ.

“Adapun dosa keduanya adalah dalam agama, sedangkan manfaatnya bersifat duniawi; berupa manfaat bagi tubuh, membantu pencernaan makanan, melancarkan pembuangan kotoran, menggerakkan sebagian akal, serta kenikmatan dari rasa mabuk yang memabukkan di dalamnya. Demikian pula hasil dari penjualannya dan pemanfaatan harganya, serta apa yang dikumpulkan sebagian orang dari hasil judi lalu dibelanjakan untuk dirinya atau keluarganya. Namun semua kemaslahatan itu tidak sebanding dengan kerusakan dan mudarat besar yang ditimbulkannya, karena berkaitan dengan akal dan agama”.

Sebab Turunnya Ayat:

Disebutkan dalam sebab turunnya ayat tentang pengharaman khamr secara total, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَالمُهَاجِرِينَ، فَقَالُوا: تَعَالَ نُطْعِمْكَ وَنَسْقِيكَ خَمْرًا، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تُحَرَّمَ الخَمْرُ، قَالَ: فَأَتَيْتُهُمْ فِي حَشٍّ (1) فَإِذَا رَأْسُ جَزُورٍ (2) مَشْوِيٌّ عِنْدَهُمْ، وَزِقٌّ (3) مِنْ خَمْرٍ، قَالَ: فَأَكَلْتُ وَشَرِبْتُ مَعَهُمْ، قَالَ: فَذُكِرَتِ الأَنْصَارُ وَالمُهَاجِرُونَ عِنْدَهُمْ، فَقُلْتُ: المَهُاجِرُونَ خَيْر مِنَ الأَنْصَارِ، قَالَ: فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَحَدَ لَحْيَيِ (4) الرَّأْسِ فَضَرَبَنِي بِهِ فَجَرَحَ بِأَنْفِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَخْبَرتُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيَّ -يَعْنِي نَفْسَهُ- شَأْنَ الخَمْرِ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ﴾

“… Aku mendatangi sekelompok orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Mereka berkata: ‘Mari, kami beri engkau makan dan kami beri minum khamr.’ Hal itu terjadi sebelum khamr diharamkan. Ia berkata: Aku pun mendatangi mereka di sebuah *hasy* (1). Ternyata ada kepala unta (2) yang sedang dipanggang di hadapan mereka, dan ada sebuah wadah (*ziqq*) (3) berisi khamr.

Ia berkata: Maka aku makan dan minum bersama mereka. Lalu disebutkanlah perihal Anshar dan Muhajirin di hadapan mereka, maka aku berkata: ‘Muhajirin lebih baik daripada Anshar.’ Lalu ada seorang dari mereka mengambil salah satu rahang (4) dari kepala itu, kemudian memukulku dengan rahang tersebut hingga melukai hidungku. Aku pun mendatangi Rasulullah lalu menceritakan hal itu kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat mengenai diriku – yakni tentang khamr – yaitu firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan”. [Surah Al-Ma’idah ayat (90)”.

Riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya – Kitab Keutamaan Para Sahabat – Bab Keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu – no. hadis (2412) (43)].

Mufradat:

(1) *al-Hasy*: dengan fathah pada huruf *ha*, artinya kebun. Lihat *An-Nihayah* (1/376).

(2) *al-Jazur*: artinya unta, baik jantan maupun betina. Lihat *An-Nihayah* (1/258).

(3) *az-Ziqq*: dengan kasrah pada huruf *za*, artinya setiap wadah yang dibuat untuk minuman dan sejenisnya. Lihat *Lisan al-‘Arab* (6/60).

(4) *al-Lihyan*: yaitu dua tulang rahang yang terdapat gigi dari dalam mulut. Lihat *Lisan al-‘Arab* (12/259).

Diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

نَزَلَ تَحْرِيمُ الخَمْرِ فِي قَبِيلَتَيْنِ مِنْ قَبَائِلِ الأَنْصَارِ، شَرِبُوا حَتَّى إِذَا ثَمِلُوا (١)، عَبَثَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ، فَلَمَّا صَحَوْا جَعَلَ الرَّجُلُ يَرَى الأَثَرَ بِوَجْهِهِ وَبِرَأْسِهِ وَلحْيَتِهِ، فَيَقُولُ: فَعَلَ بِي هَذَا أَخِي فُلَان، وَاللَّهِ لَوْ كَانَ بِي رَؤُوفًا رَحِيمًا مَا فَعَلَ هَذَا بِي، قَالَ: وَكَانُوا إِخْوَةً لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ضَغَائِنُ (٢)، فَوَقَعَتْ فِي قُلُوبِهِمُ الضَّغَائِنُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ. . .﴾ إِلَى قَوْلُه تَعَالَى: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾

“Turunnya pengharaman khamr terjadi pada dua kabilah dari kalangan Anshar. Mereka minum hingga ketika mabuk (1), sebagian mereka mulai mengganggu sebagian yang lain. Setelah sadar, seseorang melihat bekas (luka) pada wajah, kepala, dan jenggotnya, lalu ia berkata:

‘Saudaraku si Fulan yang melakukan ini kepadaku. Demi Allah, seandainya ia penyayang tentu ia tidak akan melakukan ini kepadaku.’

Padahal mereka adalah saudara-saudara yang sebelumnya tidak ada rasa dendam (2) di hati mereka. Namun setelah itu masuklah rasa dendam ke dalam hati mereka. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya khamr, judi…(hingga firman-Nya: Maka berhentilah kalian (darinya).”

Riwayat ini dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam *As-Sunan al-Kubra* – Kitab Tafsir – Bab firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya khamr dan judi…” no. hadis (11086).

Dikeluarkan pula oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* – Kitab Asyribah – Bab tentang hadis-hadis pengharaman khamr – no. hadis (7301), dan sanadnya disahihkan oleh Al-Hafizh dalam *Fathul Bari* (11/150).

(1) Makna *as-tsamil*: yaitu orang yang terpengaruh oleh minuman hingga mabuk. Lihat *An-Nihayah* (1/216).

(2) Makna *adh-dhaghain*: jamak dari *dhighn* (dengan kasrah pada *dhad*), artinya dendam, permusuhan, dan kebencian. Lihat *An-Nihayah* (3/84).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam *Musnad*-nya, dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الخَمْرِ، قَالَ عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا، فنَزَلَتْ: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ﴾، فَدُعِيَ عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا، فنَزَلَتْ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى﴾، فَدُعِيَ عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا، فنَزَلَتْ: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾، فَقَالَ عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-: انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا.

Ketika turun ayat pengharaman khamr, Umar radhiyallahu 'anhu berdoa: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi”.

Lalu Umar radhiyallahu 'anhu dipanggil, kemudian ayat itu dibacakan kepadanya. Ia berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk”.

Lalu Umar radhiyallahu 'anhu dipanggil, kemudian ayat itu dibacakan kepadanya. Ia berkata:

“Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah ayat: “Maka apakah kalian mau berhenti (darinya)?”.

Lalu Umar radhiyallahu 'anhu berkata: “Kami berhenti, kami berhenti.”

[Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam *Musnad*-nya – no. hadis (378); Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* – Kitab Tafsir – Bab Kisah Turunnya Ayat Pengharaman Khamr – no. hadis (3155); dan At-Tirmidzi dalam *Jami’*-nya – Kitab Tafsir – Bab dari Surah Al-Ma’idah – no. hadis (3301)].

Imam Muslim meriwayatkan dalam *Shahih*-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ بِالمَدِينَةِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ! (1) إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ (2) بِالخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللَّهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ مِنْهَا فَلْيَبِعْهُ، وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ"، قَالَ: فَمَا لَبِثْنَا إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّم الخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الآيَةُ (3) وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ مِنْهَا فَلَا يَشْرَبْ وَلَا يَبِعْ".

Aku mendengar Rasulullah berkhutbah di Madinah, beliau bersabda: “Wahai manusia! (1) Sesungguhnya Allah Ta’ala sedang memberi isyarat (2) tentang khamr, dan boleh jadi Allah akan menurunkan ketentuan mengenai hal itu. Maka barangsiapa yang memiliki sesuatu darinya, hendaklah ia menjualnya dan memanfaatkannya.” Ia berkata: Tidak lama setelah itu Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka barangsiapa yang mendapatkan ayat ini (3) sedang ia masih memiliki sesuatu darinya, maka janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.”

Ia berkata: Lalu orang-orang segera menuangkan apa yang ada pada mereka di jalan-jalan Madinah hingga tumpah ruahlah khamr itu.

[Diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya – Kitab Al-Musaqah – Bab Pengharaman Khamr – no. hadis (1578); dan diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* – Kitab Tafsir – Bab Kisah Turunnya Ayat Pengharaman Khamr – no. hadis (3156)].

(1) Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan Rasulullah bersabda: “Wahai penduduk Madinah.”

(2) *Yu‘ridu li bisy-syai’*: artinya belum menjelaskannya. Lihat *Lisan al-‘Arab* (9/149).

(3) Imam An-Nawawi berkata dalam *Syarh Shahih Muslim* (11/4):

هي قوله تَعَالَى في سورة المائدة آية (٩١): ﴿إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ. . . فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾

Yang dimaksud adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat (91):

“Sesungguhnya khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan… Maka apakah kalian mau berhenti (darinya)?

===

KECEPATAN PARA SAHABAT  DALAM MEMATUHI PERINTAH RASULULLAH :

Ketika turun ayat tentang pengharaman khamr, para sahabat radhiyallahu 'anhum segera menumpahkan khamr yang ada pada mereka tanpa menunda.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam *Shahih* mereka dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كُنْتُ سَاقِيَ القَوْمَ يَوْمَ حُرِّمَتِ الخَمْرُ، قَالَ: وَكَانَ أَبُو طَلْحَةَ قَدِ اجْتَمَعَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَلَا إِنَّ الخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ، قَالَ: فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ، قَالَ: فَخَرَجتُ فنَظَرْتُ، فَسَمِعْتُ مُنَادِيًا ينَادِي: أَلَا إِنَّ الخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَخْبَرتُهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأَهْرِقْهَا، قَالَ: فَجِئْتُ فَأَهْرَقْتُهَا

“Aku adalah seorang pelayan minuman kaum itu pada hari khamr diharamkan. Saat itu Abu Talhah bersama beberapa sahabatnya, lalu datang seorang laki-laki berkata:

‘Ketahuilah, khamr telah diharamkan.’

Maka Abu Talhah berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan lihatlah.’

Aku pun keluar dan melihat, ternyata aku mendengar seorang penyeru menyerukan:

‘Ketahuilah, khamr telah diharamkan.’

Aku pun memberitahu Abu Talhah. Lalu ia berkata: ‘Pergilah dan tumpahkanlah khamr itu.’ Maka aku pun pergi dan menumpahkannya.”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. (2464); Muslim no.(1980); dan Ahmad no. (13376)].

Dalam riwayat Al-Bukhari di *Al-Adab Al-Mufrad* dengan sanad sahih, Anas radhiyallahu 'anhu berkata:

فَمَا قَالُوا: مَتَى؟ أَوْ حَتَّى نَنْظُرَ، قَالُوا: يَا أَنَسُ! أَهْرِقْهَا

“Mereka tidak berkata: ‘Kapan?’ atau ‘Nanti kita pertimbangkan dulu,’ tetapi mereka berkata: ‘Wahai Anas, tumpahkanlah ia.’”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam *Al-Adab Al-Mufrad* – no. hadis (946)].

Dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَكَانَ خَمْرُهُمْ يَوْمَئِذٍ الْفَضِيخَ الْبُسْرَ وَالتَّمْرَ

Adapun khamar mereka pada hari itu adalah campuran perasan busr (kurma muda) dan kurma masak.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 13376, Ad-Darimi (2089), Al-Bukhari (2464, 4620), Muslim (1980/3), Abu Dawud (3673), Abu Ya’la (3361, 3362, 3462), Abu ‘Awanah 5/256–257, Al-Baihaqi 8/286, dan Al-Wahidi dalam *Asbabun Nuzul* hlm. 140 melalui jalur Hammad bin Zaid dengan sanad ini. Abu Dawud, Abu Ya’la pada riwayat pertama, dan Abu ‘Awanah dalam salah satu riwayatnya hanya meriwayatkan bagian pertama saja.

Syuaib Al-Arnauth dalam Tahqiq al-Musnad 21/78 berkata: Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim.

====

PARA SAHABAT KEBINGUNGAN TERKAIT KAWAN-KAWANNYA YANG MENINGGAL SEBELUM TURUNNYA WAHYU PENGHARAMAN KHAMR

Para sahabat radhiyallahu 'anhum merasa bingung mengenai keadaan saudara-saudara mereka yang telah wafat sementara ketika menjelang wafat mereka masih meminum khamr sebelum turunnya wahyu pengharamannya. Maka mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu.

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam *Shahih*-nya dengan sanad sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim dari Al-Bara’ radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

مَاتَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَهُمْ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، فَلَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُهَا، قَالَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: فكَيْفَ بِأَصْحَابِنَا الذِينَ مَاتُوا وَهُمْ يَشْرَبُونَهَا، فنَزَلَتْ: ﴿لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ﴾

“Beberapa orang dari sahabat Rasulullah telah wafat sedangkan mereka meminum khamr. Ketika turun ayat pengharamannya, sebagian sahabat Rasulullah berkata:

‘Bagaimana dengan saudara-saudara kami yang telah wafat sedangkan mereka telah meminumnya?’

Maka turunlah firman Allah Ta’ala:

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh terhadap apa yang mereka telah makan, apabila mereka bertakwa, beriman, dan beramal saleh”.  (Surah Al-Ma’idah ayat 93).”

[Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam *Shahih*-nya no. (5350), At-Tirmidzi dalam *Jami’*-nya no. (3303).

Dan hadis ini memiliki syahid dari Anas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari – no. hadis (4620) dan Muslim dalam *Shahih*-nya – no. hadis (1980)].

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَقَالَ بَعْضُهُمْ: قَدْ قُتِلَ سُهَيْلُ ابْنُ بَيْضَاءَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا﴾ [المائدة: 93] إِلَى آخِرِ الْآيَةَ. قَالَ: وَكَانَ خَمْرُهُمْ يَوْمَئِذٍ الْفَضِيخَ الْبُسْرَ وَالتَّمْرَ

Sebagian mereka berkata: “Sungguh Suhail bin Baidha’ telah terbunuh, sedangkan khamar itu masih ada dalam perutnya.”

Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih terhadap apa yang telah mereka makan (sebelum pengharaman)” (Al-Maidah: 93) hingga akhir ayat.

Adapun khamar mereka pada hari itu adalah campuran perasan busr (kurma muda) dan kurma masak.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 13376, Ad-Darimi (2089), Al-Bukhari (2464, 4620), Muslim (1980/3), Abu Dawud (3673), Abu Ya’la (3361, 3362, 3462), Abu ‘Awanah 5/256–257, Al-Baihaqi 8/286, dan Al-Wahidi dalam *Asbabun Nuzul* hlm. 140.

Syuaib Al-Arnauth dalam Tahqiq al-Musnad 21/78 berkata: Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim.

===

HUKUM BEROBAT DENGAN KHOMR (MINUMAN KERAS)

Adapun orang yang beranggapan bahwa khamar boleh digunakan untuk berobat, maka pendapat itu dibantah dengan hadis shahih dari Rasulullah .

أَنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ الْجُعْفِيَّ سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الْخَمْرِ فَنَهَاهُ أَوْ كَرِهَ أَنْ يَصْنَعَهَا، وَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ؛ فَقَالَ: «إِنَّهَا لَيْسَتْ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهَا دَاءٌ».

Bahwa Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya kepada Nabi tentang khamar, maka beliau melarangnya atau membencinya untuk dibuat. Ia berkata: Aku hanyalah membuatnya untuk obat. Maka Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya ia bukan obat, tetapi penyakit”. [HR. Muslim no. 1984].

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

قَدِمَ نَفَرٌ مِنْ جَيْشَانَ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، فَقَالَوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَمِعْنَا بِذِكْرِكَ، فَأَحْبَبْنَا أَنْ نَأْتِيَكَ، فَنَسْمَعَ مِنْكَ، فَقَالَ: النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلِمُوا تَسْلَمُوا» ، قَالَ: فَأَسْلَمُوا، وَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْنَا وَانْهَنَا، فَإِنَّا نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ نَهَانَا عَنْ أَشْيَاءَ كُنَّا نَأْتِيَهَا، وَأَمَرَنَا بِأَشْيَاءَ لَمْ نَكُنْ نَقْرَبُهَا، قَالَ: فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ، وَنَهَاهُمْ، ثُمَّ خَرَجُوا، حَتَّى جَاءُوا رِحَالِهِمْ، وَقَدْ خَلَّفُوا فِيهَا رَجُلًا، فَقَالَوا: اذْهَبْ، فَضَعْ مِنْ إِسْلَامِكَ عَلَى يَدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، مِثْلَ الَّذِي وَضَعْنَا، وَسَلْهُ عَنْ شَرَابِنَا، فَإِنَّا نَسِينَا أَنْ نَسْأَلَهُ، وَقَدْ كَانَ مِنْ أَهُمُ الْأَمْرِ عِنْدَنَا، فَجَاءَ ذَلِكَ الْفَتَى، فَأَسْلَمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ النَّفْرَ الَّذِينَ جَاءُوكَ، وَأَسْلَمُوا عَلَى يَدَيْكَ قَدْ أَمَرُونِي أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ شَرَابٍ يَشْرَبُونَهُ، بِأَرْضِهِمْ مِنَ الذُّرَةِ، يُقَالُ لَهُ: الْمِزْرُ، وَأَرْضُهُمْ أَرْضٌ بَارِدَةٌ، وَهُمْ يَعْمَلُونَ لِأَنْفُسِهِمْ، وَلَيْسَ لَهُمْ مَنْ يَمْتَهِنُ الْأَعْمَالَ دُونَهُمْ، وَإِذَا شَرِبُوهُ قَوَوا بِهِ عَلَى الْعَمَلِ، قَالَ: «أَوَمُسْكِرٌ هُوَ؟» ، قَالَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ، قَالَ: النَّبِيُّ ﷺ: «كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ» ، قَالَ: فَأَفْزَعَهُمْ ذَلِكَ، فَخَرَجُوا بِأَجْمَعِهِمْ، حَتَّى جَاءُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ أَرْضَنَا أَرْضٌ بَارِدَةٌ، وَإِنَّا نَعْمَلُ لِأَنْفُسِنَا، وَلَيْسَ لَنَا مِنْ يُمْتَهَنُ دُونَ أَنْفُسِنَا، وَإِنَّمَا شَرَابٌ نَشْرَبُهُ بِأَرْضِنَا مِنَ الذُّرَةِ، يُقَالُ لَهُ: الْمِزْرُ، وَإِذَا شَرِبْنَاهُ، فَأُعِنَّا عَلَى الْبَرْدِ، وَقَوِينَا عَلَى الْعَمَلِ، فَقَالَ: «أَمُسْكِرٌ هُوَ؟» ، قَالُوا: نَعَمْ، فَقَالَ: النَّبِيُّ ﷺ: «‌كُلُّ ‌مُسْكِرٍ ‌حَرَامٌ، ‌إِنَّ ‌عَلَى ‌اللَّهِ ‌عَهْدًا ‌لِمَنْ يَشْرَبُ مُسْكِرًا، أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟، قَالَ: «عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ» ، أَوْ «عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ»

Telah datang sekelompok orang dari Jaishan, dari penduduk Yaman. Mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami mendengar tentang engkau, maka kami ingin datang kepadamu dan mendengar langsung darimu.

Nabi bersabda: “Masuklah Islam, niscaya kalian akan selamat.”

Maka mereka pun masuk Islam. Mereka lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, perintahkanlah kami dan laranglah kami, sebab kami melihat bahwa Islam telah melarang kami dari hal-hal yang biasa kami lakukan, dan memerintahkan kami dengan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kami lakukan’.

Maka Nabi memerintahkan mereka dan melarang mereka. Kemudian mereka kembali hingga sampai di tempat tinggal mereka, sementara mereka menyuruh seorang laki-laki (pemuda) pergi kesana (di Madinah).

Mereka berkata kepada lelaki itu : Pergilah, letakkan keislamanmu di tangan Rasulullah sebagaimana kami telah melakukannya, dan tanyakan kepadanya tentang minuman kami, sebab kami lupa menanyakannya, padahal itu merupakan hal yang penting bagi kami.

Lalu lelaki itu datang dan masuk Islam. Ia berkata:

Wahai Rasulullah, sesungguhnya sekelompok orang yang datang kepadamu dan masuk Islam di tanganmu telah memerintahkan aku untuk menanyakan kepadamu tentang minuman yang mereka minum di negeri mereka dari biji gandum (jagung), disebut *mizru*. Negeri mereka sangat dingin, dan mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, tidak ada orang lain yang bekerja menggantikan mereka. Jika mereka meminumnya, mereka kuat untuk bekerja.

Nabi bersabda: “Apakah itu memabukkan?”

Ia menjawab: Ya.

Maka Nabi bersabda: “Setiap yang memabukkan itu haram.”

Hal itu membuat mereka terkejut setelah mendapat kabar dari lelaki itu, maka mereka semua kembali kepada Rasulullah . Mereka berkata:

Wahai Rasulullah, negeri kami adalah negeri yang dingin, dan kami bekerja untuk diri kami sendiri, tidak ada yang mengerjakan pekerjaan itu selain kami. Sesungguhnya minuman yang kami minum di negeri kami dari jagung disebut *mizru*. Jika kami meminumnya, ia membantu kami menghadapi dingin dan menguatkan kami untuk bekerja.

Maka Nabi bersabda: “Apakah ia memabukkan?” Mereka menjawab: Ya. Nabi bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram. Sesungguhnya atas Allah suatu janji bagi siapa saja yang meminum minuman memabukkan, bahwa Allah akan memberinya minum dari *thinatu al-khabal*.

Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah *thinatu al-khabal* itu?

Beliau bersabda: “Keringat penghuni neraka,” atau “Perasan penghuni neraka.”

[Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dalam al-Mustakhraj 5/102 no. 7953 dengan lafadz ini].

Dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2002 dengan lafadz lebih ringkas, yaitu :

أَنَّ رَجُلًا قَدِمَ مِنْ جَيْشَانَ، وَجَيْشَانُ مِنَ الْيَمَنِ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ شَرَابٍ يَشْرَبُونَهُ بِأَرْضِهِمْ مِنَ الذُّرَةِ، يُقَالُ لَهُ: الْمِزْرُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَوَ مُسْكِرٌ هُوَ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، إِنَّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، ‌وَمَا ‌طِينَةُ ‌الْخَبَالِ؟ ‌قَالَ: «‌عَرَقُ ‌أَهْلِ ‌النَّارِ» أَوْ «عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ»

Bahwa seorang laki-laki datang dari Jaishan, dan Jaishan adalah bagian dari Yaman. Ia bertanya kepada Nabi tentang minuman yang mereka minum di negeri mereka dari jagung, yang disebut *mizru*. Maka Nabi bersabda: “Apakah ia memabukkan?” Ia menjawab: Ya. Rasulullah bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah membuat janji bagi siapa saja yang meminum minuman memabukkan, bahwa Dia akan memberinya minum dari *thinatu al-khabal*.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah *thinatu al-khabal* itu? Beliau menjawab: “Keringat penghuni neraka” atau “Perasan penghuni neraka.”

===***===

HARAMNYA KHAMR DAN ADZAB BAGI PECANDU-NYA

Adapun apa yang datang tentang pengharamannya dalam Kitab Allah dan dijelaskan oleh sunnah, maka hadis-hadis tentang pengharamannya sangat banyak. Di antaranya sbb :

Ke 1 : Pecandu Khamr sama dengan penyembah berhala :

diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

«مَنْ ‌مَاتَ ‌وَهُوَ ‌مُدْمِنُ ‌خَمْرٍ ‌لَقِيَ ‌الله ‌وَهُوَ ‌كَعَابِدِ ‌وَثَنٍ»

“Barang siapa mati dalam keadaan sebagai pecandu khamar, maka ia akan berjumpa dengan Allah seperti penyembah berhala”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir* (12/45) no. 12428, Abu Nu’aim dalam *Al-Hilyah* (9/253), lihat juga perkataan Al-Haitsami dalam *Al-Majma’* (5/74), dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam *Shahih Al-Jami’* (6549).

Ke 2 : Pecandu Khamr tidak akan masuk surga.

Rasulullah juga bersabda:

«‌لَا ‌يَدْخُلُ ‌الْجَنَّةَ، ‌مُدْمِنُ ‌خَمْرٍ»

“Tidak akan masuk surga orang yang menjadi pecandu khamar”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3376, Ahmad dalam *Al-Musnad* (27484), Ibnu Abi ‘Ashim dalam *As-Sunnah* (321), Al-Bazzar (2182 – *Kasyfu Al-Astar*), Ath-Thabrani dalam *Musnad Asy-Syamiyyin* (2212), dan Al-Mizzi dalam biografi Sulaiman bin ‘Utbah dalam *At-Tahdzib* 12/40 melalui jalur Sulaiman bin ‘Utbah dengan sanad ini.

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam *Shahih Ibnu Majah* dan dinilai hasan sanadnya oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam *Takhrij Ibnu Majah* 4/465. Hadits ini juga dinilai hasan oleh Al-Bazzar dan Al-Bushairi. Abu Idris adalah ‘Aidzullah bin Abdullah Al-Khaulani.

Ke 3 : Pecandu Khamr, kelak di akhirat tidak akan mendapatkan minuman khamr.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah beliau bersabda:

«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا ‌فَمَاتَ ‌وَهُوَ ‌يُدْمِنُهَا ‌لَمْ ‌يَتُبْ، ‌لَمْ ‌يَشْرَبْهَا ‌فِي ‌الْآخِرَةِ»

Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa meminum khamar di dunia lalu mati dalam keadaan selalu meminumnya tanpa bertaubat, maka ia tidak akan meminumnya di akhirat. [HR. Muslim no. 2003]

Dalam riwayat lain:

«‌حُرِمَهَا ‌فِي ‌الْآخِرَةِ، ‌فَلَمْ ‌يُسْقَهَا»

Allah mengharamkannya di akhirat maka ia tidak akan diberi minum darinya. [HR. Muslim 77-(2003)]

Dalam riwayat lain:

«مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ، إِلَّا أَنْ يَتُوبَ»

“Barangsiapa meminum khamar di dunia, maka ia tidak akan meminumnya di akhirat, kecuali jika ia bertaubat.” [HR. Muslim 78-(2003)]

Ke 4 : Semua minuman yang memabukkan itu diharamkan :

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:

«‌حُرِّمَتِ ‌الْخَمْرُ ‌قَلِيلُهَا ‌وَكَثِيرُهَا، ‌وَمَا ‌أَسْكَرَ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ»

“Khamar diharamkan, baik sedikit maupun banyaknya, dan setiap minuman yang memabukkan adalah haram”.

[Diriwayatkan oleh An-Nasai (5684), Ibnu Abi Syaibah (24542), dan Ath-Thabrani (12/113) (12633). Dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 5701].

Ia juga berkata:

" ‌مَنْ ‌سَرَّهُ ‌أَنْ ‌يُحَرِّمَ ‌مَا ‌حَرَّمَ ‌اللهُ ‌وَرَسُولُهُ ‌فَلْيُحَرِّمِ ‌النَّبِيذَ "

“Barang siapa yang merasa senang mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, maka hendaklah ia mengharamkan nabidz”.

[Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 2028, Ath-Thayalisi (2743), An-Nasai 8/322, Ath-Thahawi 4/223, dan Ath-Thabrani (12738) melalui berbagai jalur dari Syu’bah dengan sanad yang sama.

Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la (2344) dari jalur Abu Nadrah, dari Ibnu Abbas, dengan lafaz: “Barangsiapa yang senang untuk mengharamkan …”. Hadits ini telah disebutkan sebelumnya dengan nomor (185), dan akan datang lagi dengan nomor (3157), lihat juga nomor (2476), (2771), dan (3257).

Syu’aib Al-Arna’uth berkata dalam *Tahqiq Al-Musnad* 3/470:

“Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim, para perawinya tsiqat (terpercaya) para perawi Al-Bukhari dan Muslim, kecuali Abu Al-Hakam – namanya Imran bin Al-Harits As-Sulami Al-Kufi – maka ia termasuk perawi Muslim”.]

Ke 5 : Seorang mukmin, saat minum khamr, maka dia bukan orang beriman:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌يَزْنِي ‌الزَّانِي ‌حِينَ ‌يَزْنِي ‌وَهُو ‌مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَعْيُنَهُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ»

Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman, dan tidaklah seorang peminum meminum ketika ia meminum sedang ia beriman, dan tidaklah seorang pencuri mencuri ketika ia mencuri sedang ia beriman. [HR. Bukhori no. 6782]

[Baca pula : Nihayatul Arb karya Syihabuddin an-Nuwairi 4/81-82]

****

FAIDAH KE DUA : 
TAHAPAN PENGHARAMAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS.

Pada awalnya musik yang diiringi biduanita serta bermabuk-mabukkan dengan minuman keras itu dihalalkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas di awal pembahasan. Yang ringkasan lafadznya adalah sbb : 

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata :

فَإِذَا شَارِفَايَ قَدِ اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا. فَلَمْ أَمْلِكْ عيْنَيّ حِينَ رَأَيْتُ ذَلِكَ الْمَنْظَرَ مِنْهُمَا. قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ قَالُوا: فَعَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ. غَنّتْهُ قَيْنَةٌ وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: ’أَلاَ يَا حَمْزَ لِلشّرُفِ النّوَاءِ. فَقَامَ حَمْزَةُ بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا، وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. فَأَخَذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا.

قَالَ عَلِيّ: فَانْطَلَقْتُ حَتّىَ أَدْخُلَ عَلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ ... قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ وَاللّهِ مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ قَطّ. عَدَا حَمْزَةُ عَلَىَ نَاقَتَيّ فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. وَهَا هُوَ ذَا فِي بَيْتٍ مَعَهُ شَرْبٌ.

قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللّهِ ﷺ بِرِدَائِهِ فَارْتَدَاهُ. ثُمّ انْطَلَقَ يَمْشِي. وَاتّبَعْتُهُ أَنَا وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَة. حَتّىَ جَاءَ الْبَابَ الّذِي فِيهِ حَمْزَةُ. فَاسْتَأْذَنَ، فَأَذِنُوا لَهُ. فَإِذَا هُمْ شَرْبٌ. فَطَفِقَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ يَلُومُ حَمْزَةَ فِيمَا فَعَلَ. فَإِذَا حَمْزَةُ مُحْمَرّةٌ عَيْنَاهُ. فَنَظَرَ حَمْزَةُ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ إِلَىَ رُكْبَتَيْهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ سُرّتِهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ وَجْهِهِ.

فَقَالَ حَمْزَةُ: وَهَلْ أَنْتُمْ إِلاّ عَبِيدٌ لأَبِي؟ فَعَرَفَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ أَنّهُ ثَمِلٌ. فَنَكَصَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ عَلَىَ عَقِبَيْهِ الْقَهْقَرىَ. وَخَرَجَ وَخَرَجْنَا مَعَهُ.

Tiba-tiba saya mendapati kedua untaku sudah terpotong-potong punuknya, terbelah perutnya dan telah terambil hatinya. Kedua mataku tidak kuasa menahan tetesan air mata melihat pemandangan itu, lalu aku bertanya : "Siapakah yang melakukan semua ini?"

Orang-orang menjawab : "Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan dia sekarang berada di rumah ini bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang suka meminum minuman keras.

Penyebab Hamzah memotong-motong dua unta adalah dia dan teman-temannya sedang dihibur oleh seorang biduanita (penyanyi wanita) yang dalam salah satu bait lagu-nya terselip kata-kata :

'Wahai Hamzah, ingatlah pada unta-unta yang montok.'

Maka Hamzah pun berdiri dengan membawa pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk kedua unta tersebut dan ia belah perut keduanya kemudian hati keduanya di ambil."

Ali berkata, "Kemudian saya langsung pergi menemui Rasulullah ..... Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, demi Allah belum pernah seumur hidupku melihat kejadian seperti hari ini. Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia telah memotong punuknya dan membelah isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah bersama teman-temannya yang suka meminum minuman keras."

Ali berkata, "Kemudian Rasulullah mengambil jubahnya. Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang aku sebutkan dengan berjalan kaki, sementara aku dan Zaid mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di depan pintu rumah yang di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah meminta izin masuk. Para penghuni rumah pun memberikan izin masuk. Ternyata mereka adalah para peminum minuman keras.

Lalu Rasulullah mulai mencela Hamzah terhadap apa yang telah diperbuatnya. Pada saat itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai mengamati Rasulullah dari kedua lutut naik ke pusar dan akhirnya ke wajah beliau.

Kemudian Hamzah berkata :

"Kalian ini tidak lain hanyalah para budak bapakku."

Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk berat.

Lalu beliau mundur ke belakang dan keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar mengikuti beliau ."

[HR. Bukhori no. 3091 dan Muslim no. 1979]

Dalam lafadz riwayat Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya Ali -radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

فَحَمَلْتُ شارِفَيَّ عِنْدَ حائِطِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصارِ وَمَضَيْتُ لِأَجْمَعَ الحِبالَ وَالغَرائِرَ وَالأَقْتابَ وَجِئْتُ وَقَدْ بُقِرَ بَطْنُ شارِفَيَّ وَاجْتُبَّ أَسْنِمَتُهُما، قال: فَلَمْ أَمْلِكْ عَيْنَيَّ أَنْ بَكَيْتُ ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هذا بِشارِفَيَّ؟ قالوا: عَمُّكَ حَمْزَةُ فَعَلَهُ وَهذا هُوَ فِي البَيْتِ مَعَهُ شُرْبٌ، عِنْدَهُم قَيْنَةٌ وَحَلَفُوا فَقالَتْ:

أَلا يا حَمْزَ المشرِفَ النَّوّاءَ … وَهُنَّ مُعَقَّلاتٌ بِالفِناءِ

زُجَّ السِّكِّينَ فِي اللَّبّاتِ مِنها … فَضَرَّجَهُنَّ حَمْزَةُ بِالدِّماءِ

وَأَطعَمَ مِن شَرائِحِها كَبابًا … مُهَلْوَجَةً عَلَى رَهَجِ الصَّلاءِ

فَأَصْلَحَ مِن أَطايِبِها طَبِيخًا … لِشُرْبِكَ مِن قَدِيرٍ أَو سَواءِ

فَأَنْتَ أَبا عِمارَةَ المُرَجَّى … لِكَشْفِ الضُّرِّ عَنّا وَالبَلاءِ

فَقامَ إِلى شارِفَيْكَ فَقَتَلَهُما،

قالَ عَلِيٌّ: فَجِئْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ ... وَخَبَّرْتُهُ الخَبَرَ. فَقامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَبِسَ نَعْلَيْهِ وَرِداءَهُ ثُمَّ انْطَلَقَ يَمْشِي وَاتَّبَعْتُهُ أَنا وَزَيْدٌ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ وَدَخَلَ البَيْتَ

وَقالَ: يا حَمْزَةُ ما حَمَلَكَ عَلى ما فَعَلْتَ بِشارِفَيَّ ابْنِ أَخِيكَ؟ فَرَفَعَ رَأْسَهُ وَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلى يَدَي رَسُولِ اللهِ ﷺ وَإِلى ساقَيْهِ، فَصَوَّبَ النَّظَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ قالَ: أَلَسْتُمْ وَآباؤُكُم عَبِيدًا لِأَبِي، فَرَجَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ القَهْقَرى وَقالَ: إِنَّ غَنَمَكَ وَجِمالَكَ عَلَيَّ فَغَرِمَهُما لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ.

فَلَمّا أَصْبَحَ غَدا حَمْزَةُ عَلى رَسُولِ اللهِ يَعْتَذِرُ فَقالَ: مَهْ يا عَمُّ فَقَدْ سَأَلْتُ اللهَ فَعَفا عَنكَ.

Aku menambatkan untaku di dekat kebun seorang laki-laki Anshar lalu aku pergi untuk mengumpulkan tali, karung, dan pelana.

Ketika aku kembali, ternyata perut unta betinaku telah dibelah dan punuknya diambil. Aku tidak kuasa menahan air mataku hingga menangis lalu aku berkata:

Siapa yang melakukan hal ini terhadap untaku?

Mereka berkata: Pamanmu Hamzah yang melakukannya, ia sedang berada di rumah bersama orang-orang yang minum, mereka ditemani seorang penyanyi wanita. Dan mereka bersumpah, lalu biduanita itu berdendang:

Wahai Hamzah yang mulia nan gagah… sementara unta-unta itu terikat di halaman

Tancapkanlah pisau ke leher-lehernya… lalu engkau penuhi dengan darah

Engkau potong dagingnya jadi panggangan… yang lezat di atas bara api

Engkau masak bagian terbaiknya menjadi hidangan… untuk teman-teman minummu dalam kuali

Maka engkaulah wahai Abu ‘Amarah yang diharap… untuk menyingkirkan kesulitan dan bencana dari kami

Maka Hamzah pun bangkit menuju kedua untaku lalu menyembelih keduanya.

Ali berkata: Aku pun mendatangi Rasulullah ..... Lalu aku ceritakan peristiwanya. Maka Rasulullah berdiri, mengenakan sandal dan rida’ beliau, kemudian berjalan, aku dan Zaid mengikutinya. Beliau memberi salam, meminta izin lalu masuk ke rumah itu, dan bersabda:

Wahai Hamzah, apa yang membuatmu melakukan hal itu terhadap unta-unta anak saudaramu?

Maka ia mengangkat kepalanya dan memandang kepada tangan Rasulullah lalu ke betis beliau, kemudian menunduk memandang lagi, lalu berkata:

Bukankah kalian dan bapak-bapak kalian hanyalah budak ayahku?

Maka Rasulullah pun mundur ke belakang seraya bersabda: “Sesungguhnya kambing dan untamu itu menjadi tanggunganku”.

[Lihat : Tafsir ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul Bari 6/200].

----

FIQIH HADITS :

Dua hadits diatas menunjukkan bahwa alunan musik di Makkah Madinah dan sekitarnya pada masa Jahiliyah dan awal Islam, pada umumnya senantiasa disertai dengan biduanita dan tidak bisa lepas dari mabuk-mabukkan minuman keras alias khamr.  

Setelah khamr (minuman keras) diharamkan, maka diharamkan pula musik dan biduanita yang disertai dengan minuman keras.

Ada yang mengatakan :

لَمْ يُحَرَّمِ الْمُوسِيقَى بِشَكْلٍ مُطْلَقٍ فِي الْإِسْلَامِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَتْ آرَاءُ الْفُقَهَاءِ حَوْلَهَا، فَالْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي السُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ تُشِيرُ إِلَى تَحْرِيمِ مَا ارْتَبَطَ بِمَفَاسِدَ مُعَيَّنَةٍ، مِثْلَ الْغِنَاءِ فِي مَجَالِسِ اللَّهْوِ وَالْخَمْرِ، بَيْنَمَا تُجِيزُ نُصُوصٌ أُخْرَى الْغِنَاءَ وَالْمُوسِيقَى فِي الْمُنَاسَبَاتِ الْفَرِحَةِ أَوْ كَنَوْعٍ مِنَ الْحُدَاءِ أَوْ تَحْفِيزٍ لِلْعَمَلِ.

“Musik tidak diharamkan secara mutlak dalam agama Islam, melainkan para fuqaha berbeda pendapat tentangnya. Dalil-dalil yang terdapat dalam sunnah Nabi menunjukkan adanya larangan terhadap apa yang terkait dengan kemafsadatan tertentu, seperti nyanyian dalam tempat-tempat maksiat dan khomr (tempat mabuk-mabukan). Sementara itu, terdapat nash lain yang membolehkan nyanyian dan musik pada kesempatan yang menggembirakan, atau sebagai bentuk *al-huda’* (nyanyian pengiring perjalanan) atau dorongan untuk semangat ber-amal”.

****

HADITS-HADITS YANG MENGHARAMKAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS :

HADITS KE SATU :

Dari Abu Malik Al-Asy’ariy, ia berkata : Rasulullah bersabda : 

"لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلاَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ اْلقِرَدَةَ وَ اْلخَنَازِيْرَ".

“Sungguh ada segolongan dari umatku yang minum khamr yang mereka menamakannya bukan nama (asli)nya, kepala mereka disibukkan dengan goyangan mengikuti irama musik dan nyanyian biduanita.

Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan merubah mereka menjadi kera dan babi”. 

(HR. Ahmad no. 22900, Abu Daud no. 3688 dan Ibnu Majah 2/1333, no. 4020) Di Shahihkan al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3263 dan ar-Ribaa’i dalam Fathul Ghoffaar 4/1967.

Dalam riwayat lain Abu Malik berkata : aku mendengar Rasulullah  bersabda: 

"يَكُونُ فِي أُمَّتِي الْخَسْفُ وَالْمَسْخُ وَالْقَذْفُ ” ، قُلْنَا : فِيمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” بِاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ ، وَشُرْبِهِمُ الْخُمُورَ".

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Beliau ditanya, “Karena apa hal itu terjadi wahai Rasulullah!” 

Beliau menjawab, “Karena mereka telah menjadikan para biduwanita sebagai hiburan mereka dan mereka suka minum minuman keras [khamr]”.

[HR. Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (3333)]

Di dalam sanadnya terdapat al-Ghaz . Al Ghaz tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Hisyam (perawi tsiqah) meriwayatkan darinya, sehingga statusnya majhul hal [Tidak dikenal kondisinya] . Sedangkan ayahnya, Abu Al Ghaz Rabi’ah bin ‘Amr, statusnya mukhtalif fii shahbatihi [diperdepatkan apakah dia seoarang sahabat ? ] namun Ad Daruquthni men-tsiqah-kannya. Sedangkan para perawi lainnya adalah tsiqah. Karena adanya perawi yang majhul sanad ini tidak bisa menjadi syahid.

HADITS KEDUA :

Dari ‘Imran bin Husain bahwa Rasulullah bersabda : 

" فِيْ هذِهِ اْلاُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: اِذَا ظَهَرَتِ اْلقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ".

“Pada ummat ini akan ada (siksaan berupa) ditenggelamkan ke bumi, diganti rupa dan dilempar batu dari langit”. Lalu ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin bertanya, “Ya Rasulullah, kapan peristiwa itu terjadi ?”.

Beliau menjawab, “Apabila telah merajalela penyanyi-penyanyi dan musik, dan khamr diminum (dimana-mana)”. 

(HR. Tirmidzi 3/336, no. 2212 & 2309. 

Hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abbaad bin Ya’quub Al-Kuufiy dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Qudduus, Ia orang syiah. Keduanya dla’if.

Namun dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam Neil al-Awthar 8/262 : bahwa hadits ini Hasan lighorihi

HADITS KETIGA :

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi  bersabda: 

سيكونُ في آخرِ الزمانِ خَسْفُ وقذفٌ ومَسْخٌ ، إذا ظَهَرَتِ المعازِفُ والقَيْناتُ ، واسْتُحِلَّتِ الخمْرُ

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya. Itu terjadi pada para penyanyi, para lelaki yang memakai sutra dan para peminum khamr”.

Muhammad bin Shadaqah Al Jublani statusnya shaduq, Ziyad bin Abi Ziyad Al Jashash dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia dhaif”. Sedangkan perawi lainnya tsiqah. Sehingga sanad ini lemah namun bisa menjadi syahid.

Namun di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 3665.

HADITS KE EMPAT :

Diriwayatkan dengan jalan lain, dicatat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (117) dari jalan Shalih bin Abdillah dengan sanadnya Dari  Ali bin Abi Thalib (ra) bahwa Rasulullah  bersabda: 

” إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خِصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاءُ فَذَكَرَ مِنْهَا إِذَا اتُّخِذَتِ الْقِيَانُ وَالْمَعَازِفُ

“Jika umatku melakukan 15 perbuatan, maka mereka layak mendapatkan bala bencana”.

Beliau menyebutkan diantaranya berprofesi menjadi penyanyi dan bermain alat musik.

Al Faraj bin Fadhalah statusnya dhaif. Adapun yang lainnya perawi tsiqah. Sehingga sanad ini juga lemah namun bisa menjadi syahid.

HADITS KE LIMA :

Diriwayatkan dengan jalan lain, dicatat oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi (4) dengan sanadnya dari ‘Aisyah (ra), Rasulullah  bersabda : 

«يَكُونُ فِي أُمَّتِي خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ» قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: «إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ، وَظَهَرَ الرِّبَا، وَشُرِبَتِ الْخَمْرُ، وَلُبِسَ الْحَرِيرُ، كَانَ ذَا عِنْدَ ذَا»

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu bersyahadat laailaaha illallah?“.

Beliau menjawab, “Ya, itu terjadi ketika banyak penyanyi, riba merajalela, khamr banyak diminum, sutra banyak dipakai lelaki, lalu begini dan begitu”.

Abu Ma’syar di sini adalah Nazif bin Abdirrahman As Sindi, statusnya dhaif. Al Husain bin Mahbub tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Ibnu Abid Dunya meriwayatkan darinya, sehingga ia statusnya majhul haal. Selainnya, tsiqah. Sehingga sanad ini sangat lemah dan tidak bisa menjadi syahid.

Dan masih ada beberapa jalur lagi yang tidak lepas dari kelemahan.

Hadits ini memiliki beberapa banyak jalur yang saling menguatkan dan mengangkat derajatnya minimal menjadi hasan li ghairihi. Akan terdapat masalah lain, yaitu terdapat jalur lain secara mursal, disebutkan dalam al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (36843) dengan sandanya dari Ibnu Saabith , ia berkata, Rasulullah  bersabda: 

” إِنَّ فِي أُمَّتِي خَسْفًا وَمَسْخًا وَقَذْفًا ” ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ فَقَالَ : ” نَعَمْ ، إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْخُمُورُ وَلُبِسَ الْحَرِيرُ".

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Beliau ditanya, “wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang yang bersyahadat laailaaha illallah?” 

Beliau menjawab, “Iya, itu terjadi ketika alat-alat musik merajalela, banyak muncul para penyanyi dan banyak orang minum khamr, serta banyak orang memakai sutra”.

Semua perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin ‘Amr bin Murrah, ia berstatus shaduq.

Para ulama hadits berbeda pendapat mengenai masalah تعليل الموصول بالإرسال [ilat sanad maushul dengan sanad mursal yaitu apakah hadits yang maushul menjadi cacat jika ternyata ada jalan lain yang mursal ?.

Syaikh Jamaluddin Al Qasimi menjelaskan:

فَقَدْ كَثُرَ إِعْلَالُ الْمَوْصُوْلِ بِالْإِرْسَالِ، وَالْمَرْفُوعِ بِالْوَقْفِ إِذَا قُوِّيَ الْإِرْسَالُ أَوْ الْوَقْفِ بِكُونِ رَاوِيهِمَا أَضْبَطَ أَوْ أَكْثَرَ عَدَدًا عَلَى الِاتِّصَالِ أَوْ الرَّفْعِ وَقَدْ يُعَلُّونَ الْحَدِيثِ.

“Banyak terjadi ta’lil (pencacatan) terhadap hadits maushul karena terdapat jalan lain yang mursal. Juga terhadap hadits mar’fu karena terdapat jalan lain yang mauquf. Jika jalan yang mursal atau mauquf itu perawinya lebih kuat dari sisi dhabt-nya atau lebih banyak jalan-jalannya dibanding dengan yang muttashil atau marfu, maka ketika itu haditsnya menjadi tercatati” (Qawa’id At Tahdits, 131)

Jika kita gabungkan jalan-jalan yang maushul, hadits ini tidak bisa tercacati oleh mursal-nya sebab jalan-jalannya lebih banyak dan kualitas perawinya lebih bagus karena saling menguatkan.

Kesimpulannya :

Karena banyaknya syahid mala status derajat hadits ini bisa menjadi hasan, seperti yang katakan Asy-Syaukani dalam kitabnya Neilul Author, 8/262), bahkan Syeikh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’no. 3665 menetapkan bahwa derajat hadits ini bisa menjadi shahih. Wallahu’alam.

****

KUMPULAN HADITS YANG MEMBOLEHKAN MUSIK REBANA DAN NYANYIAN TANPA MIRAS DAN BIDUANITA:

Definisi Alat Musik :

Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata:

المَعازِفُ هِيَ كُلُّ اسْمٍ لِآلَةِ لَهْوٍ أَوْ مَلاهِ يُسْتَعْمَلُ فِي الغِنَاءِ أَوِ الشِّعْرِ.

“Al Ma’azif adalah setiap nama dari alat musik atau permainan (al-malahi) yang digunakan untuk mengiringi nyanyian atau sya’ir.”

Alat Musik atau ma’aazif adalah semua alat yang menimbulkan bunyi-bunyian, baik dengan cara dipukul, digesek, dipetik, ditiup, ditekan dan lain sebagainya.

Definisi Nyanyian :

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:

الغِنَاءُ هو الأشعارُ التي تُتَغَنَّى بصوتٍ جَميلٍ ونَغْمٍ مُنْتَظَمٍ

“Al Ghina (nyanyian) adalah sya’ir-sya’ir yang disenandungkan dengan suara yang indah serta nada yang teratur.”

====

PERTAMA : KUMPULAN HADITS NYANYIAN DAN MUSIK DI HARI RAYA :

HADITS KE 1:

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ  ﷺ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا

“Abu Bakar masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan dari wanita Anshar sedang bernyanyi (sambil bermain musik) tentang apa yang dikatakan orang-orang Anshar pada masa Bu’ats (perang di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).”

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Keduanya bukanlah biduanita (wanita yang berprofesi sebagai penyanyi).”

Abu Bakar lalu berkata: “Apakah seruling-seruling setan di rumah Rasulullah !?”

Saat itu sedang hari raya, maka Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Bakar, biarkan mereka; karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”

(HR. Bukhari, no. 909 dan Muslim no. 1479 )

Dan dalam hadits riwayat Muslim no. 1479 terdapat tambahan :

جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ

“Dua budak perempuan yang bermain musik REBANA”.

Perbedaan antara GENDANG dan REBANA [DUFF] : adalah kalau gendang itu tertutup dari dua sisi, berbeda dengan rebana yang terbuka salah satu sisinya.

HADITS KE 2 :

Dalam hadits riwayat Bukhari no.944 disebutkan bahwa : “Dua anak perempuan tersebut memainkan musik REBANA di hari-hari Mina (hari Tasyrik /11 – 13 Dzul Hijjah).

Dari ['Aisyah radliallahu 'anha]

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنًى تُغَنِّيَانِ وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ

bahwa Abu Bakr radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu 'anha) saat di sisinya ada dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi, bermain REBANA dan menabuhnya pada hari-hari Mina.

Sementara Nabi menutup wajahnya dengan kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan menghardik kedua sahaya itu. Maka Nabi melepas kain yang menutupi wajahnya dan berkata: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya 'Ied".

Hari-hari saat itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq/ 11 – 13 Dzul Hijjah).

Dan berkata 'Aisyah radliallahu 'anha; "Aku melihat Nabi menutupi aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu bermain di dalam masjid.

Tiba-tiba dia ('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan mereka. Maka Nabi berkata:

"Biarkanlah mereka, dengan keamanan bagi Bani Arfidah, yaitu : rasa kemaanan. (yakni : Biarkan mereka, karena kami telah memberi mereka rasa aman)". [Selesai]

HADITS KE TIGA : NONTON BARENG

Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

دَخَلَ عَلَيَّ رَسولُ اللَّهِ ﷺ وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى الفِراشِ، وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ، يَلْعَبُ السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا قالَ: تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ: حَسْبُكِ؟ قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.

"Rasulullah masuk menemuiku saat ketika di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bersenandung dengan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar lalu memalingkan wajahnya (ke arah lain).

Kemudian masuklah Abu Bakar mencelaku, ia mengatakan, "Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di hadapan Nabi !"

Rasulullah lantas memandang kepada Abu Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."

Setelah beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi isyarat kepada kedua sahaya tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.

Saat Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi , atau beliau yang menawarkan kepadaku:

"Apakah kamu mau menonton-nya?"

Maka aku jawab, "Ya, mau."

Maka beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata: "Teruskan hai Bani Arfadah!"

Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: "Apakah kamu merasa sudah cukup?"

Aku jawab, "Ya, sudah."

Beliau lalu berkata: "Kalau begitu pergilah."

[HR. Bukhori no. 2906 dan Muslim no. 892].

===

KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM ACARA PERNIKAHAN :

HADITS KE 1 .

Nabi bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pembeda antara [pernikahan] yang halal dan yang haram adalah musik Rebana (tabuhan) dan lantunan (syair-syair) saat (pesta) pernikahan.”

(HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi . Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albany dalam kitab ‘Adabuz Zafaf, hal. 96 dan al-Arna’uuth ).

Maksudnya : adalah pernikahan yang sembunyi-sembunyi tanpa diumumkan kepada manusia itu dikhawatirkan sama dengan zina, kecuali ada saksi . Maka agar menjadi jelas dan tanpa ada keraguan bahwa itu halal, maka adakanlah acara nyanyi dan menabuh alas musik rebana supaya pernikahannya diketahui orang-orang disekitarnya dan tidak menimbulkan kesalah fahaman.

Al-Qori berkata dalam al-Mirqaat 5/2073 no. 3153 :

"أَي: فَرْقٌ بَيْنَهُمَا (الصَّوْتُ) أَي: الذِّكْرِ، وَالتَّشْهِيرِ بَيْنَ النَّاسِ (وَالدَّفُّ) أَي: ضَرْبُهُ (فِي النِّكَاحِ) فَإِنَّهُ يُتَمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ، قَالَ ابْنُ الْمَلِكِ: "لَيْسَ الْمُرَادُ أَن لَّا فَرَقَ بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ فِي النِّكَاحِ إِلَّا هَذَا الْأَمْرَ؛ فَإِنَّ الْفَرَقَ يَحْصُلُ بِحُضُورِ الشُّهُودِ عِندَ الضِّدِّ، بَلِ الْمُرَادُ التَّرْغِيبُ إِلَى إِعْلَانِ أَمْرِ النِّكَاحِ بِحَيْثُ لَا يَخْفَى عَلَى الْأَبَاعِدِ، فَالسُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِضَرْبِ الدُّفِّ، وَأَصْوَاتُ الْحَاضِرِينَ بِالتَّهْنِئَةِ، أَوِ النُّغُمَةِ فِي إِنشَادِ الشِّعْرِ الْمُبَاحِ".

Ada perbedaan antara keduanya (suara), yaitu menyebutkannya, dan memasyhurkan di antara manusia (dan menabuh alat musik Rebana ) yaitu memukulnya (dalam acara perkawinan) karena dengannya menjadi sempurnalah pernikahan itu diumumkan.

Ibnu al-Malik berkata: "Maksudnya bukanlah agar tidak ada perbedaan antara yang halal dan haram dalam perkawinan kecuali hal ini; karena perbedaannya terjadi dengan kehadiran para saksi dalam hal yang berlawanan dengannya, akan tetapi yang dimaksud adalah untuk memotivasi agar dalam pernikahan itu diadakan pengumuman perkawinan agar tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tinggal jauh, karena yang sunnah adalah mengumumkan perkawinan dengan memukul alat musik rebana, dan terdengarnya suara para hadirin dengan ucapan selamat atau melalui nyanyian syair-syair yang berisi penyampaian yang mubah dan diperbolehkan”. [Selesai]

Dalam kitab Syarah as-Sunnah [dikutip dari al-Mirqaat 5/2073 no. 3153] , Imam al-Baghawi berkata :

مَعْنَاهُ (يَعْنِي الصَّوْتَ) إِعْلَانُ النِّكَاحِ، وَاضْطِرَابُ الصَّوْتِ بِهِ، وَالذِّكْرُ فِي النَّاسِ كَمَا يُقَالُ فُلَانٌ قَدْ ذَهَبَ صَوْتُهُ فِي النَّاسِ. انتهى.

Maknanya (kata “suara” dalam hadits) adalah mengumumkan perkawinan, hiruk pikuk suara berkaitan dengannya, dan disebut-sebut di tengah-tengan manusia seperti yang dikatakan: "Seseorang telah kehilangan suaranya karena tenggelam di tengah hiruk pikuk manusia. [Selesai].

HADITS KE 2 :

Dari Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah bersabda:

" أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ "

"Umumkanlah pernikahan, adakanlah di masjid, dan pukullah alat musik rebana untuk mengumumkannya." [HR. Tirmidzy no. 1089 dan Baihaqi no. 15095 . Dan ini adalah lafadz Baihaqi].

Abu Isa berkata : "Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini. Isa bin Maimun Al Anshari dilemahkan dalam riwayat ini. Isa bin Maimun yang meriwayatkan dari Ibnu Abu Najih At Tafsir itu adalah tsiqah."

Di hasankan sanadnya oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam Hiayatur Ruwaah 3/266 .

HADITS KE 3 :

Dari 'Aisyah radhiallahu anha dari Nabi , beliau bersabda:

"أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ".

"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah alat musik ghirbal (rebana)".

[HR. Ibnu Majah no. 1895 dan Baihaqi no. 15094. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah ].

HADITS KE 4 : SARAN LANGSUNG DARI NABI :

Dari Aisyah radhiallahu anha :

أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ

Bahwasannya Aisyah radhiyallahu anha ikut menghadiri pernikahan seorang wanita dengan laki-laki  dari kalangan Anshar. Maka Nabiyullah bersabda:

" يَا عَائِشَة مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ ".

“Wahai Aisyah, apakah kalian tidak memiliki hiburan [menabuh rebana dan nyayi-nyayi] ? Sesungguhnya orang-orang Anshar menyenangi hiburan .” (HR. Bukhari, no. 4765).

Dalam al-Mausu'ah al-haditsiyah di jelaskan sebagai berikut :

والمرادُ باللَّهْوِ: ضَربُ الدُّفِّ والتَّغنِّي بشِعرٍ ليس فيه إثمٌ، وليس بالأغانِي المُهيِّجةِ للشُّرورِ المُشتملةِ على وَصْفِ الجَمالِ والفُجورِ، والمُصاحبةِ لأنواع المعازِفِ المُختلِفةِ؛ فإنَّ ذلك مَنْهيٌّ عنه في النِّكاحِ كما في غيرِه، وقوله: «فإنَّ الأنصارَ يُعجبُهمُ اللَّهوُ» أي: يُحبُّون مِثلَ هذا النَّوعَ مِن اللَّهْوِ؛ لِمَا فيهم مِن الرِّقَّةِ وحُبِّ الفَرَحِ.

وفي الحَديثِ: مُراعاةُ أعرافِ المُجتمَعِ بما لا يُخالِفُ شَرْعَ اللهِ عزَّ وجلَّ.

وفيه: مَشروعيَّةُ خُروجِ المرأةِ مِن بَيْتِها لأمرٍ مُباحٍ.

وفيه: مشاركةُ المرأةِ غَيْرَها من النِّساءِ في الأفراحِ والمناسَباتِ.

Yang dimaksud dengan al-Lahwu (hiburan) dalam hadits adalah :

Memukul alat musik rebana dan menyanyikan lagu-lagu dengan puisi yang tidak ada kata-kata mengandung dosa di dalamnya , dan bukan dengan lagu-lagu yang membangkitkan keburukan, seperti yang mengandung deskripsi tentang kecantikan dan kekejian serta diiringi dengan berbagai macam jenis alat musik , yang mana hal ini adalah diharamkan dalam pernikahan dan yang lainnya.

Dan perkataan beliau : “Orang Anshar menyukai hiburan” artinya: mereka menyukai hiburan semacam ini; Karena kelembutan dan cinta mereka akan kegembiraan .

Dan dalam hadits terdapat faidah-faidah sbb :

1. Melestarikan adat istiadat masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum Allah SWT.

2. Di syariatkannya seorang wanita meninggalkan rumahnya untuk hal yang diperbolehkan.

3. Partisipasi wanita dengan wanita lain dalam acara-acara bersuka ria dan acara-acara lainnya yang berhubungan dengan sesuatu ".

HADITS KE 5.

Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ﷺ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ

”Nabi datang menemuiku pada pagi hari ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku. Lalu gadis-gadis kecil kami memukul alat musik rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah seorang dari mereka melantunkan nyanyian :

’Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok’,

Maka beliau bersabda, ’Tinggalkan (Ucapan "Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok") itu, dan katakanlah apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya.’”

(HR. Bukhari no. 4001, Abu Dawud no. 4922, dan Tirmidzi no. 1090)

Ibnu Baththal dalam syarah Shahih al-Bukhori 7/263 berkata :

"قَالَ الْمُهَلَّبُ: السُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِالدُّفِّ وَالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ؛ لِيَكُونَ ذَلِكَ فَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّفَّاحِ الَّذِي يَسْتَسْرِ بِهِ. وَفِيهِ: إِقْبَالُ الْعَالِمِ وَالْإِمَامِ إِلَى الْعُرْسِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ لَعِبٌ وَلَهْوٌ مَا لَمْ يَخْرُجْ اللَّهْوُ عَنِ الْمُبَاحَاتِ فِيهِ. وَفِيهِ: جَوَازُ مَدْحِ الرَّجُلِ فِي وَجْهِهِ بِمَا فِيهِ، وَإِنَّمَا الْمَكْرُوهُ مِنْ ذَلِكَ مَدْحُهُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ".

Al-Muhallab berkata: "Yang Sunnah adalah mengumumkan pernikahan dengan Rebanaan dan nyanyian yang mubah ; agar ada perbedaan yang jelas antara nikah dan perbuatan cabul yang sembunyi-sembunyi [zina]. Dalam hal ini, seorang ulama dan imam dianjurkan untuk menghadiri acara pernikahan, meskipun di sana terdapat permainan dan hiburan, asalkan hiburan tersebut tidak melampaui batas yang diizinkan. Dalam hal ini, juga diizinkan untuk memuji seseorang dengan sifat yang ada pada dirinya, asalkan pujian tersebut sesuai dengan kenyataan. Namun, yang dimakrukan adalah memuji seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya."

Dan hadits ini menunjukkan bahwa nyanyian (sebagai perbuatan tersendiri) menjadi haram jika mengandung perkataan yang bertentangan dengan agama.

Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar berkata:

“Hadits tersebut mengandung dalil bolehnya ditabuh rebana dalam pesta pernikahan. Boleh juga didendangkan beberapa kalimat semisal (syair), seperti: kami datang kami datang dst. Asalkan bukan lagu yang membangkitkan kekejian dan kejahatan.”

HADITS KE 6 :

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :

أَنْكَحَتْ عَائِشَةُ ذَاتَ قَرَابَةٍ لَهَا مِنْ الْأَنْصَارِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ - فَقَالَ: "أَهْدَيْتُمْ الْفَتَاةَ؟ " قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: "أَرْسَلْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي؟ " قَالَتْ: لَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -: "إِنَّ الْأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ، فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ … فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"

Dahulu ‘Aisyah pernah menikahkan kerabatnya dari kaum Anshar, lalu Rasulullah datang dan bertanya : “Apakah kalian mengantarkan wanita (pengantin perempuan)?”. Mereka menjawab, “Ya”.

Beliau bertanya, “Apakah kalian mengantarkannya disertai dengan seseorang yang akan bernyanyi ?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidak”.

Maka Rasulullah berkata : “Sesungguhnya kaum Anshar itu adalah kaum yang suka hiburan. Alangkah baiknya kalau kalian mengantarnya dengan disertai seorang yang menyanyikan lagu: 

أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ *** فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"

“Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian *** penghormatan kepada kami dan penghormatan kepada kalian”.

[HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 612, no. 1898]

Syu'aib al-Arna'uth berkata:

"حَسَنٌ لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ الأَجْلَحِ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُجِيَّةَ الْكِنْدِيِّ -، وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ عَلَى الأَجْلَحِ كَمَا سَيَأْتِي. فَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ فِي "شَرْحِ مُشْكِلِ الآثَارِ" (3321) مِنْ طَرِيقِ جَعْفَرِ بْنِ عَوْنٍ، بِهَذَا الإِسْنَادِ.

وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (15209)، وَالْبَزَّارُ (1432 - كِشَفِ الأَسْتَارِ) وَالنَّسَائِيُّ فِي "الْكُبْرَى" (5540) مِنْ طَرِيقِ الأَجْلَحِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، بَدَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ."

"Derajat hadits Hasan Lighoirihi . Dan sanad ini lemah karena kelemahan al-Ajlah - yang mana dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah al-Kindi -, dan telah terjadi perbedaan pendapat tentang al-Ajlah seperti yang akan dijelaskan. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam "Syarh Mushkil al-Atsar" (3321) dari jalur Ja'far bin 'Aun dengan sanad ini.

Ahmad meriwayatkannya (15209), dan al-Bazzar (1432 - Kasyf al-Astar) dan al-Nasa'i dalam "Al-Kubra" (5540) dari jalur al-Ajlah, dari Abu al-Zubair, dari Jabir bin Abdullah, menggantikan Abdullah bin Abbas."

HADITS KE 7 (MUSIK PADA ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI  WAFAT):

Dari Abul Husain (nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :

كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ عِنْدِى جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا يَوْمَ بَدْرٍ، وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ. وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ اِلاَّ اللهُ.

Dahulu (pada zaman para sahabat setelah Nabi wafat) ketika kami di Madinah pada hari ‘Asyura’ (di bulan Muharram), pada waktu itu ada wanita-wanita sedang memukul alat musik rebana dan bernyanyi, lalu kami masuk pada Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu 'anha, lalu kami ceritakan kepadanya yang demikian itu.

Maka dia berkata : “Dahulu Rasulullah datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya) menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan diantara yang mereka nyanyikan adalah : 

“Dan diantara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi”.

Maka (Rasulullah ) menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.

[HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah].

Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922), at-Tirmidzi (1115), dan an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur Khalid bin Zakwan, dengan sanad ini.

Dan juga terdapat dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan "Sahih Ibn Hibban" (5878).

HADITS KE 8 (MUSIK PADA ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI  WAFAT): :

Al-Bayhaqi dalam kitabnya “السنن الكبرى” di no. (14469)  meriwayatkan dengan sanad yang bagus (Hasan) : Dari ‘Aamir bin Saad Al-Bajali mengatakan:

"شَهِدْتُ ثَابِتَ بْنَ وَدِيعَةَ وَقُرَظَةَ بْنُ كَعْبِ الْأَنْصَارِيُّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا غِنَاءٌ فَقُلْتُ لَهُمَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَا : " إِنَّهُ قَدْ رُخِّصَ فِي الْغِنَاءِ فِي الْعُرْسِ وَالْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي غَيْرِ نِياحَةٍ."

Saya menyaksikan Thabit bin Wadii’ah dan Qurodzoh bin Ka'b al-Anshaary di sebuah acara pernikahan, dan kebetulan ada nyanyi-nyanyi, maka saya bertanya tentang itu kepada mereka berdua , lalu mereka berdua mengjawab : Sesungguhnya menyanyi itu telah di bolehkan pada acara pernikahan dan begitu juga di bolehkan menangisi orang mati selain ratapan “. ( Sanadnya Hasan )

HADITS KE 9 (MUSIK PADA ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI  WAFAT) :

Dan al-Nasa'i (3383) meriwayatkan dengan sanad SHAHIH : Dari Amir bin Saad yang berkata:

‌دَخَلْتُ ‌عَلَى ‌قَرَظَةَ ‌بْنِ ‌كَعْبٍ، ‌وَأَبِي ‌مَسْعُودٍ ‌الْأَنْصَارِيِّ ‌فِي ‌عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يَتغَنَّيْنَ قُلْتُ: أَنْتُمَ أَصَحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَهْلُ بَدْرٍ يَفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ قَالَا: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ فَاذْهَبْ فَإِنَّهُ قَدْ «رُخِّصَ لَنَا فِي اللهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ»

Saya pergi ke Qaradzoh ibnu Ka'b dan Abu Mas’ud al-Anshari dalam sebuah acara pernikahan, dan ternyata di sana ada para budak perempuan sedang bernyanyi , Lalu saya berkata : Anda berdua adalah sahabat-sahabat Rasulullah , dan dari anggota pasukan perang Badar, Apakah yang demikian ini dilakukan dikalangan kalian ? .

Maka salah satu dari keduanya menjawab : “ Duduklah bersama kami jika anda mau , tapi jika anda ingin pergi,  silahkan ! Sesungguhnya telah di bolehkan bagi kami hiburan pada acara pernikahan “.

[ Di SHAHIHKAN al-Albaani dalam Takhrij Misykaat al-Mashaabih no. 3159 dan dihasankan sanadnya oleh abdul Qodir al-Arna’uth dalam Takhrij Jami’ al-Ushul Li Ibnil Atsiir 11/440 no. 8978].

Yang dimaksud dengan الغِنَاءُ (bernyanyi) dalam riwayat ini, adalah bernyanyi sambil menabuh alat musik Rebana berdasarkan dalil riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 12250 dan al-Bayhaqi dalam As-Sunan al-Kubra (7/472 no. 14693) :

وَجَوَارِي ‌يَضْرِبْنَ ‌بِالدُّفِّ ‌وَيُغَنِّينَ

“ Dan para budak perempuan menabuh Rebana dan sambil bernyanyi “.

====

KETIGA : KUMPULAN HADITS NYANYI DAN MUSIK DI SELAIN HARI RAYA DAN PESTA PERNIKAHAN :

HADITS KE 1.

Dari Abdullah bin Bardah dari bapaknya Buraidah::

أَنَّ أُمَّةَ سَوْدَاءَ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ - وَرَجَعَ مِنْ بَعْضِ مَغَازِيهِ - فَقَالَتْ إِنِّي كُنتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ صَالِحًا (وَفِي رِوَايَةٍ سَالِمًا) أَنْ أُضْرَبَ عِنْدَكَ بِالدِّفِّ [وَأَتَغَنَّى]؟

قَالَ: "إِنْ كُنْتِ فَعَلْتِ (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: نَذَرْتِ)، فَافْعَلِي، وَإِنْ كُنْتِ لَمْ تَفْعَلِي فَلَا تَفْعَلِي".

فَضَرَبَتْ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، وَدَخَلَ غَيْرُهُ وَهِيَ تَضْرِبُ.

ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ، قَالَ: فَجَعَلَتْ دُفَّهَا خَلْفَهَا، (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: تَحْتَ اسْتِهَّا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ)، وَهِيَ مُقَنَّعَةٌ.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَفْرُقُ (وَفِي رِوَايَةٍ: لَيَخَافُ) مِنْكِ يَا عُمَرُ! أَنَا جَالِسٌ هَهُنَا [وَهِيَ تَضْرِبُ]، وَدَخَلَ هَؤُلَاءِ [وَهِيَ تَضْرِبُ]، فَلَمَّا أَنْ دَخَلْتَ [أَنْتَ يَا عُمَرُ] فَعَلَتْ مَا فَعَلَتْ، (وَفِي الرِّوَايَةِ: أَلْقَتْ الدَّفَّ) .

“Sesungguhnya budak perempuan hitam menghampiri Rasulullah sepulang beliau dari suatu peperangan, lalu ia berkata :

“ Sesungguhnya aku telah bernadzar jika Allah memulangkan engkau dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh alat musik rebana di sisi engkau dan bernyanyi”.

Rasulullah menjawab : “Jika kamu telah bernadzar, maka lakukan lah !. Tapi jika kamu tidak bernadzar, maka jangan kamu lakukan itu “!.

Lalu ia pun menabuh alat musik rebana. Tidak lama kemudian masuklah Abu Bakar, namun ia tetap berdendang menabuh rebana dan bernyanyi . Lalu yang lain juga masuk, dan ia pun tetap berdendang.

Kemudian Umar datang dan masuk , maka ketika ia melihat Umar , ia pun segera menaruh rebana itu di belakangnya

Sebagian riwayat menyebutkan : “Ditaruh di bawah bokongnya dan mendudukinya. Lalu ia pun diam”.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya syeithan benar-benar takut padamu wahai Umar. Karena ketika aku duduk di sini, dan orang-orang ini masuk , ia tetap berdendang. Akan tetapi begitu kamu masuk, wahai Umar, dia langsung berhenti , ia melakukan sebagaimana yang ia lakukan”.

Sebagian riwayat mengatakan : “Ia melempar rebananya”.

( HR. Turmudzi 2/293-294 , Ibnu Hibbaan no. 1193 dan 2186 , Baihaqi 10/77 dan Imam Ahmad 5/353 dan 356 ].

Lafadz Tirmidzi :

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ

Rasulullah berangkat menuju salah satu peperangan, ketika beliau telah pulang, seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata;

"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi didekat baginda."

Maka Rasulullah bersabda: "Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan."

Budak wanita itu pun menabuh rebana, kemudian Abu Bakar masuk dan budak itu masih menabuh rebana, Ali masuk, dia pun masih menabuh rebana, kemudian Utsman masuk dan dia tetap menabuh rebananya, dan ketika Umar masuk, budak itu menyembunyikan rebananya di balik pangkalnya dan duduk di atasnya."

Lalu Rasulullah bersabda; "sesungguhnya setan benar-benar takut darimu wahai Umar, karena ketika aku sedang duduk dia (budak wanita) menabuh rebananya lalu Abu Bakar masuk dan ia masih menabuh, lalu Ali masuk dan ia masih menabuh, lalu Utsman masuk dan ia masih menabuh, namun tatkala kamu yang masuk wahai Umar ia segera membuang rebananya."

Turmudzi berkata : Hadits Hasan Shahih Ghoriib “.

Hadits ini di shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu al-Qath-than sebagaimana yang disebutkan oleh al-Albaani dlm ash-Shahihah no. 1609 dan 2261 .

Dan Syeikh al-Albaani dalam (إِرْوَاءُ الْغَلِيلِ) (8/214) berkata : “Sanadnya SHAHIH sesuai syarat Muslim “.

Pernyataan Syeikh Al-Albani - semoga Allah merahmatinya - sebagai berikut:

" ويَجُوزُ لَه – أي للعَرِيْسِ – أن يَسْمَحَ للنِّسَاءِ بِإِعْلَانِ النِّكَاحِ بِالضِّرْبِ عَلَى الدُّفِّ فَقَطْ، وَبِالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ وَصْفُ الجَمَالِ وَذِكْرُ الْفُجُورِ."

"Dan diperbolehkan baginya - yaitu pengantin pria – untuk mempersilahkan para wanita meramaikan suasana pernikahan dengan memukul alat musik Rebana saja, dan dengan menyanyikan nyanyian yang dibolehkan yang tidak mengandung deskripsi kecantikan dan penyebutan kemaksiatan ...”.

Kemudian Syeikh menyebutkan dalil-dalilnya tentang hal tersebut." [ Dari Kitab "Aadab Al-Zafaaf" (halaman 93)].

HADITS KE 2 :

Diriwayatkan dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :

أنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ، قَالَ: أَوْفِي بِنَذْرِكِ، قَالَتْ: إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَذْبَحَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا، مَكَانٌ كَانَ يُذْبَحُ فِيهِ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، قَالَ: لِصَنَمٍ؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: لِوَثَنٍ؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: أَوْفِي بِنَذْرِكِ.

“Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menabuh alat musik rebana di hadapan anda “.

Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!"

Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .

Beliau bertanya : "Untuk patung?" Ia berkata ; tidak. Beliau bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia berkata; tidak. Beliau   berkata: "Penuhi nadzarmu!".

HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إِرْوَاءُ الْغَلِيلِ) (2/213-214 )

HADITS KE 3 (Musik dan Biduanita Di selain hari raya dan pernikahan) :

Diriwayatkan oleh Ahmad dlm Musnadnya (15720), dan al-Nasa'i di kitab as-Sunan al-Kubra (8960) dengan sanad yang shahih : Dari al-Sa'ib bin Yazid :

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: " يَا عَائِشَةُ أَتَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: لَا، يَا نَبِيَّ اللهِ، فَقَالَ: " ‌هَذِهِ ‌قَيْنَةُ ‌بَنِي ‌فُلَانٍ ‌تُحِبِّينَ ‌أَنْ ‌تُغَنِّيَكِ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَعْطَاهَا طَبَقًا فَغَنَّتْهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " قَدْ نَفَخَ الشَّيْطَانُ فِي مَنْخِرَيْهَا "

“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah , dan beliau bertanya :

“Wahai Aisyah, apakah kamu mengenal wanita ini?

Dia menjawab : “ Tidak, wahai Nabi Allah”. Beliau berkata : Dia ini qoynah (biduanita) dari bani Fulan , Apakah kamu ingin dia menyanyi untukmu ?”.

Aisyah menjawab : Iya .

Dia berkata : Lalu beliau memberikan kepadanya nampan (piring besar untuk ditabuh), maka dia menyanyikannya.

Lalu Rosulullah bersabda : “Sungguh Setan telah menghembuskan napas ke dalam dua lubang hidungnya”.

Dan al-Haitsami mencatatnya dalam "Al-Majma'" (8/130) dan berkata:

"روَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الكَبِيرِ" وَرِجَالُ أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ".

"Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-abarani dalam 'Al-Kabir,' dan perawi-perawi Ahmad termasuk dalam perawi yang shahih."

Syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 3281 berkata :

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ

“Sanadnya Shahih sesuai standar Shahih Bukhori dan Muslim”.

Dan di Shahihkan pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 24/497.

Makna Qoynah (القَيْنَةُ):

القَيْنَةُ (جَمْعُها: القِيانُ) تَعني في اللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ الأَمَةَ (الجَارِيَةَ) أَوِ المُغَنِّيَةَ، وَغَالِبًا ما تُطْلَقُ عَلَى الجَارِيَةِ المُغَنِّيَةِ أَوِ المُطْرِبَةِ. كَمَا تُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى الماشِطَةِ الَّتِي تُتْقِنُ المَشْطَ وَتُزَيِّنُ العَرُوسَ. وَيُسْتَخْدَمُ المُصْطَلَحُ لِوَصْفِ طَبَقَةٍ اجْتِمَاعِيَّةٍ مِنَ النِّسَاءِ فِي العَالَمِ الإِسْلَامِيِّ قَبْلَ العَصْرِ الحَدِيثِ، كُنَّ مُدَرَّبَاتٍ عَلَى الفُنُونِ وَالتَّرْفِيهِ.

“Qainah (jamaknya: Qiyan) berarti dalam bahasa Arab budak perempuan (jariyah) atau penyanyi perempuan, dan sering digunakan untuk menyebut penyanyi perempuan atau biduan.

Istilah ini juga digunakan untuk penyebutan tukang rias yang mahir menyisir rambut dan menghias pengantin.

Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan suatu kelas sosial dari kalangan perempuan di dunia Islam sebelum zaman modern, yang terlatih dalam seni dan hiburan”.

Namun dalam hadits ini tidak dijelaskan bahwa nyanyian budak perempuan ini dilakukan dengan iringan alat musik. Akan tetapi pada umumnya ungkapan kata “menyanyi” itu termasuk sambil menabuh Rebana , sebagaimana dalam Atsar sahabat riwayat Amir bin Saad yang tersebut diatas. 

As-Sindi mengatakan dalam kitabnya “الحَاشِيَةُ عَلَى المُسْنَدِ“ :

"أَن تُغَنِّيك" بالتشديد، وَفيهِ جَوَازُ ذَلِكَ عَلَى قَلَّةٍ مِنْ غَيْرِ عُرْسٍ وَعِيدٍ، كَمَا يَجُوزُ فِيهِمَا وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا كَانَتْ أَيَّامَ عِيدٍ.

"قَدْ نَفَخَ": أَيْ فَلِذَلِكَ اتَّخَذَتْ ذَلِكَ عَادَةً، وَأَمَّا التَّغْنِي أَحِيَانًا، فَجَائِزٌ، فَلَا مُنَافَاةَ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الْإِذْنِ السَّابِقِ الدَّالِ عَلَى الْجَوَازِ، وَفِيهِ حُسْنُ الْمُعَاشَرَةِ مَعَ الْأَهْلِ".

“ Kata : " أن تُغَنِّيك(Agar dia Menyanyi untukmu)" dibaca dengan tasydiid , dalam kata tsb menunjukkan bolehnya bernyanyi dalam jumlah yang sedikit di selain acara pernikahan dan hari raya , sama seperti halnya diperbolehkan pada keduanya , dan bisa jadi dlm hadits tsb terjadi di hari-hari raya Idul Fitri.

"Dia telah menghembuskan napas ": Artinya, dia telah menjadikannya sebagai kebiasaan. Adapun untuk menyanyi yang kadang-kadang maka itu diperbolehkan. Tidak ada kontradiksi antara ijin ini dan ijin sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ijin tersebut diperbolehkan, dan termasuk membanguan hubungan intim yang baik dengan keluarga. [Dikutip dari Hamisy al-Musnad 24/497 oleh Syu’aib al-Arna’uth].

HADITS KE 4 (Musik di Sekitar Kota Madinah di Hari-Hari Biasa) :

Dari Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَاِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفّهِنَّ وَ يَتَغَنَّيْنَ وَ يَقُلْنَ:

نَحْنُ ‌جَوَارٍ ‌مِنْ ‌بَنِي ‌النَّجَّارِ … ‌يَا ‌حَبَّذَا ‌مُحَمَّدٌ ‌مِنْ ‌جَارِ

فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ»

bahwasanya Nabi pernah melewati bagian dari kota Madinah, tiba-tiba beliau melewati para wanita yang memukul alat musik rebana dan bernyanyi, mereka mengucapkan : 

“Kami tetangga dari Bani Najjar *** Alangkah baiknya Muhammad sebagai tetanggaku”.

Maka Nabi bersabda “ “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian”.

[HR. Ibnu Majah 1/612, no. 1899, ath-Thabarani dalam ash-Shaghiir no. 78 , Ibnu as-Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 229 dan al-Khollaal dalam al-Jami’ hal. 60]

Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah, juga oleh al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah dan juga oleh Fuad Abdul Baaqi dalam Ta’liiq Ibnu Majah 1/612 no. 1899.

HADITS KE 5 : (Musik dan Nyanyian di Hari ‘Asyura pada zaman Sahabat)

Dari Abul Husain (nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :

كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ عِنْدِى جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا يَوْمَ بَدْرٍ، وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ. وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ اِلاَّ اللهُ.

Dahulu (pada zaman para sahabat setelah Nabi wafat) ketika kami di Madinah pada hari ‘Asyura’ (di bulan Muharram), pada waktu itu ada wanita-wanita sedang memukul alat musik rebana dan bernyanyi, lalu kami masuk pada Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu 'anha, lalu kami ceritakan kepadanya yang demikian itu.

Maka dia berkata : “Dahulu Rasulullah datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya) menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan diantara yang mereka nyanyikan adalah : 

“Dan diantara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi”.

Maka (Rasulullah ) menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.

[HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah].

Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922), at-Tirmidzi (1115), dan an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur Khalid bin Zakwan, dengan sanad ini.

Dan juga terdapat dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan "Sahih Ibn Hibban" (5878).

HADITS KE 6 ( Nyanyi diiringi Alat Musik Sejenis Kecapi di hari-hari biasa)

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (radhiyallahu ‘anhu) :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا:

هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ *** إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ.

فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ ، وَقَالَ : لَا حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah keluar ketika Hassan (radhiyallahu ‘anhu) telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat (radhiyallahu ‘anhum) duduk dua shaf.

Dan di tengah-tengah mereka terdapat budak perempuan milik Hassan (radhiyallahu ‘anhu) bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) lalu ia berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan:

“Celaka! Apakah ada dosa atas diriku jika aku berdendang?”

Maka Rasulullah tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atas dirimu).”

[HR. Ibnu Asaakir dalam Tarikh Damasqus 12/415 ]

Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asaakir menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas (radhiyallahu ‘anhu) di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyqi (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (radhiyallahu ‘anhu) .

Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah , bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu).

Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’aat (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian).

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil.

HADITS KE 7 : NYANYIAN DAN MUSIK HIJRAH

Al-Imam al-Baihaqi dalam Dalaa’il an-Nubuwwah 5/266 meriwayatkan dari Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah rahimahullah (228 H) beliau berkata :

"لَمَّا ‌قَدِمَ ‌رسول ‌الله ‌ﷺ ‌الْمَدِينَةَ ‌جَعَلَ ‌النِّسَاءُ ‌وَالصِّبْيَانُ ‌وَالْوَلَائِدُ ‌يَقُلْنَ:

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا = مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ

وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا = مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعْ"

“Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, maka para wanita, anak-anak kecil , dan bayi yang baru lahir mengucapkan:

“Bulan purnama telah terbit atas kita *** dari Tsaniyyatul Wadaa’ “

“Maka wajiblah kita mengucapkan syukur *** atas apa yang da’i serukan kepada Allah ”

Diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Khula'i dalam “Al-Fawa'id” (2/59), dan Al-Bayhaqi dalam “Dala'il Al-Nubuwwah” (No. 752, 2019), dan Al -Hafiz Ibnu Hajar mengaitkannya dalam “Fath Al-Bari” (7/261) dengan Abu Sa’id dalam “Syaraf Al-Mustafa”: Semuanya berasal dari ulama terpercaya Abu Khalifah Al-Fadhel bin Al-Habbab (w. 305 AH) - lihat biografinya dalam “Siyar Alam Al-Nubala'” (14/7) - dari Ibnu Aisyah ....

Sanad hadits ini lemah, karena adanya keterputusan yang besar. Ibnu Aisyah meninggal terlambat, dan dia adalah salah satu syekh Imam Ahmad dan Abu Dawud, lalu bagaimana dia bisa meriwayatkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi tanpa sanad?

Itulah sebabnya Al-Hafidz Al-Iraqi, rahimahullah, berkata: “Mu’dhol.” [Dari “Takhradj Al-Ihya” (1/571)].

Al-Hafiz Ibnu Hajar, rahimahullah, berkata: “Ini adalah sanad yang Mu’dhol.” [“Fath al-Bari” (7/262)].

Syekh Al-Albani, rahimahullah, berkata:

"وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، لَكِنَّهُ مُعْضَلٌ، سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ ثَلَاثَةُ رُوَاةٍ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِنَّ ابْنَ عَائِشَةَ هَذَا مِنْ شُيُوخِ أَحْمَدَ وَقَدْ أَرْسَلَهُ... فَالْقِصَّةُ بِرِمَّتِهَا غَيْرُ ثَابِتَةٍ."

"Ini adalah sanad yang lemah. Para perawinya dapat dipercaya, tetapi Mu’dhol. Tiga atau lebih perawi dihilangkan dari sanadnya. Ibnu Aisyah ini adalah salah satu dari Syeikh Ahmad dan beliau yang memursalkannya ... jadi kisah keseluruhannya tidak terbukti.” [Baca :“adh-Dha’iifah” (2/63)].

Al-‘Allaamah Ibnu al-Qayyim menjelaskan asal muasal cerita yang menceritakan kepada kita saat beliau tiba dari Mekkah menuju Madinah, dan dia berkata:

"هُوَ وَهْمٌ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ "ثَنِيَّاتِ الْوَادِعِ" إِنَّمَا هِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الشَّامِ، لَا يَرَاهَا الْقَادِمُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَلَا يَمُرُّ بِهَا إِلَّا إِذَا تَوَجَّهَ إِلَى الشَّامِ."

“Itu adalah khayalan belaka, karena “Tsaniyyat al-Wadaa' hanya dari arah Syaam , maka orang yang datang dari Mekkah ke Madinah tidak akan melihatnya, dan dia tidak akan melewatinya kecuali jika dia menuju arah ke Syam. [Akhir kutipan. “Zad al-Ma’ad” (3/551)].

Itulah sebabnya Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

"ولعَلَّ ذَلكَ كَان في قُدُوْمه مِنْ غَزْوَة تَبُوك".

“Mungkin ini terjadi pada saat kedatangannya dari Perang Tabuk.” [ “Fath al-Bari” (7/262)].

Namun, alasan ini tidak bisa diterima begitu saja, karena di antara para perawi kisah ini diketahui bahwa hal itu terjadi ketika Nabi Muhammad datang dari Mekah ke Madinah, sebagaimana yang Imam Al-Bayhaqi katakan :

"هَذَا يَذْكُرُهُ عُلَمَاؤُنَا عِنْدَ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةِ مِنْ مَكَّةَ، لَا أَنَّهُ لِمَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ عِنْدَ مَقْدَمِهِ مِنْ تَبُوكَ."

“Hal ini disebutkan oleh para ulama kami : Yaitu ketika beliau datang ke Madinah dari Mekah, bukan ketika Beliau datang ke Madinah dari arah Tsaniyat al-Wada’ saat beliau datang dari Tabuk. [“Dalaa’il an-Nubuwwah”].

Banyak sejarawan menyebutkan bahwa Tsaniyat al-Wada' adalah dari arah Mekah, dan mungkin ada Tsaniyat lain dari arah Syaam dengan nama yang sama.

Yang lain juga menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad memasuki Madinah, beliau melewati rumah-rumah kaum Ansar, hingga beliau melewati Bani Saa'idah, dan rumah mereka berada di sebelah utara Madinah dekat Tsaniyat al-Wada' . Beliau tidak memasuki pedalaman Madinah kecuali dari arah itu hingga beliau tiba di rumahnya di sana.

Lihat: “Mu'jam al-Buldan” oleh Yaqut al-Hamawi (2/86), “Thorh al-Tatsriib” oleh al-Iraqi (7/239-240), “Subul al-Hudaa wa al-Rasyaad” oleh ash-Shoolihi al-Shami (3/277), dan “ al-Atsar al-Muqtafaa li Qishotil Hijrotil Mushtofaa” karya Abu Turab Adz-Dzoohiri (hal. 155-162).

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :

"ضَعْفُ سَنَدِ هَذِهِ الأبياتِ لَا يَعْنِي عَدَمَ جَوَازِ ذِكْرِهَا أَوْ حِكَايَتِهَا أَوْ إِنشَادِهَا، فَمَعَانِيهَا صَحِيحَةٌ حَسِنَةٌ، وَشُهْرَتُهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ شُهْرَةٌ ذَائِعَةٌ وَاسِعَةٌ، وَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يُتَشَدَّدَ فِي إِسْنَادِهَا، إِنَّمَا هِيَ مِنْ كَلَامِ الصَّحَابَةِ رَضِوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.

وَقَدْ ذَهَبَ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى التَّسَاهُلِ وَالتَّخْفِيفِ فِي مَرْوِيَّاتِ السِّيرَةِ، وَالْقِصَصِ، وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ الَّتِي لَا يَنْبَنِي عَلَيْهَا عَقِيدَةٌ أَوْ شَرِيعَةٌ."

"Kelemahan sanad (rantai perawi) pada syair [طَلَعَ البَدْرُ] ini tidak berarti bahwa menyebutkan, menceritakan, atau menyanyikannya itu tidak dibolehkan. Maknanya sahih dan baik, dan popularitasnya di kalangan umat Islam sangat luas. Apalagi Syair tersebut bukan sabda Nabi Muhammad , maka tidak perlu memperkeras dalam sanadnya. Sebaliknya, syair ini berasal dari perkataan para Sahabat, semoga Allah meridhai mereka."

Lagi pula mayoritas para ulama berpendapat adanya kelonggaran dan keringanan dalam riwayat yang berkaitan dengan biografi, kisah, dan ucapan para sahabat dan para tabi’iin yang tidak berkaitan dengan pondasi aqidah atau syariat” . [Islamqa no. 119722]

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah dalam “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372) berkata :

"يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ رحمه الله : لَا تَأْخُذُوا هَذَا الْعِلْمَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ إلَّا مِنَ الرُّؤُسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ، وَلَا بَأْسَ بِمَا سَوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ".

“Sufyan al-Thawri rahimahullah berkata: Janganlah kamu mengambil ilmu tentang apa yang halal dan apa yang haram kecuali dari para pemimpin yang terkenal ilmunya dan mengetahui apa yang ditambahkan dan apa yang dikurangi. Dan adapun ilmu selain itu semua ; maka tidak mengapa mengambil dari para syeikh”.

Ibnu Abi Hatim berkata :

"ثَنَا أَبِي نَا عَبْدَة قَالَ: قِيلَ لِابْنِ الْمُبَارَكِ - وَرَوَى عَنْ رَجُلٍ حَدِيثًا - فَقِيلَ: هَذَا رَجُلٌ ضَعِيفٌ! فَقَالَ: يَحْتَمَلُ أَنْ يُرَوِّيَ عَنْهُ هَذَا الْقَدَرُ أَوْ مِثْلُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ. قُلْتُ لِعُبَيْدَةَ: مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ؟ قَالَ: فِي أَدَبٍ فِي مَوْعِظَةٍ فِي زُهْدٍ."

Telah bercerita pada kami ayahku : telah mengkabarkan pada ku Abdah :

Dikatakan kepada Ibnu al-Mubarak : Telah diriwayatkan sebuah hadits dari seorang laki-laki . Lalu ada yang mengatakan . Ini adalah lelaki yang lemah!

Dia berkata: Mungkin boleh saja sekadar ini atau hal serupa diriwayatkan darinya. Saya berkata kepada Abdah: Seperti apa itu ? Dia bersabda: Dalam hal yang berkaitan dengan adab nasihat tentang kezuhudan”. [“Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)]

Lalu Ibnu Rajab berkata :

"وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي مُوسَى بْنِ عَيِّينَةَ: يُكْتَبُ مِنْ حَدِيثِهِ الرَّقَاقِ.

وَقَالَ ابْنُ عَيِّينَةَ: لَا تَسْمَعُوا مِنْ بَقِيَّةِ – اسم واحد من الرُوَاةِ - مَا كَانَ فِي سُنَّةٍ، وَاسْمَعُوا مِنْهُ مَا كَانَ فِي ثَوَابٍ وَغَيْرِهِ.

وَقَالَ أَحْمَدُ فِي ابْنِ إِسْحَاقَ: يُكْتَبُ عَنْهُ الْمَغَازِي وَشُبَهِهَا.

وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي زِيَادِ الْبَكَائِيِّ: لَا بَأْسَ فِي الْمَغَازِي، وَأَمَّا فِي غَيْرِهَا فَلَا."

Dan Ibnu Ma'in berkata tentang Musa bin Uyaynah: “Hadits darinya tentang ar-Raqaaiq boleh ditulis”.

Dan Ibnu Uyaynah berkata: Jangan kalian dengar dari Baqiyyah - nama salah satu perawi - apa saja yang berkaitan dengan sunnah, akan tetapi silahkan dengar apa yang berkaitan dengan pahala dan hal-hal lain darinya”.

Ahmad berkata tentang Ibnu Ishaq : Silahkan ditulis darinya tentang peperangan dan sejenisnya.
Ibnu Ma'in berkata tentang Ziyad Al-Bakai: Tidak ada salahnya meriwayatkan darinya tentang peperangan, tapi dalam hal lain, tidak. [Akhiri kutipan dari Ibnu Rajab / “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)].

Tidak ada keraguan bahwa bait-bait Sya’ir “ Thola’al Badru ‘Alaina ....” ini adalah salah satu riwayat yang lebih layak ditoleransi dalam kisah dan narasinya.

Prof. DR. Akram Dhiya Al-‘Umari mengatakan:

"أمَّا اشتراطُ الصِّحَّةِ الحَدِيثِيَّةِ في قَبُولِ الأخْبَارِ التَّارِيخِيَّةِ التي لا تَمسُّ العَقِيدَةَ وَالشَّرِيعَةَ فَفِيهِ تَعْسُفٌ كَثِيرٌ، وَالخَطَرُ النَّاجِمُ عَنْهُ كَبِيرٌ؛ لأنَّ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ التي دُونَهَا أسْلافُنَا المُؤَرِّخُونَ لَمْ تُعَامَلْ مُعَامَلَةَ الأحَادِيثِ، بَلْ تَمَّ التَّسَاهُلُ فِيهَا، وَإِذَا رَفَضْنَا مِنْهُجَهُمْ فَإِنَّ الحَلَقَاتِ الفَارِغَةِ في تَارِيخِنَا سَتَمْثُلُ هَوَّةً سَحِيقَةً بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَاضِينَا مِمَّا يُولِدُ الحِيرَةَ وَالضِّيَاعَ وَالتَّمَزُّقَ وَالانْقِطَاعِ.. وَلَكِنْ ذَلِكَ لَا يَعْنِي التَّخْلِي عَنْ مِنْهَجِ المُحَدِّثِينَ فِي نَقْدِ أَسَانِيدِ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، فَهِي وَسِيلَتُنَا إلَى التَّرْجِيحِ بَيْنَ الرِّوَايَاتِ الَّتِي تَتَعَارَضُ، كَمَا أَنَّهَا خَيْرٌ مَعِينٌ فِي قَبُولِ أَوْ رَفْضِ بَعْضِ النَّصُوصِ الْمُضْطَرَبَةِ أَوِ الشَّاذَّةِ عَنِ الإِطَارِ الْعَامِّ لِتَارِيخِ أُمَّتِنَا، وَلَكِنَّ الإِفَادَةَ مِنْهَا يَنْبَغِي أَنْ تَتَمَّ بِمُرَوِّنَةٍ، آخِذِينَ بِعَيْنِ الِاعْتِبَارِ أَنَّ الأَحَادِيثَ غَيْرَ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، وَأَنَّ الأُولَى نَالَتْ مِنَ الْعِنَايَةِ مَا يُمْكِنُهَا مِنَ الصُّمُودِ أَمَامَ قَوَاعِدِ النَّقْدِ الصَّارِمَةِ."

“Adapun persyaratan keshahihan hadits dalam menerima berita sejarah yang tidak mempengaruhi aqidah dan syariah, terdapat banyak kesewenang-wenangan [mestinya jangan terlalu dipersulit], dan bahaya yang diakibatkannya sangat besar, karena riwayat-riwayat sejarah yang dicatat oleh sejarawan pendahulu kita tidak pernah diperlakukan seperti terhadap hadits-hadits Nabawi , melainkan diperlakukan dengan toleransi.

Dan jika kita menolak manhaj mereka [para sejarawan], maka episode-episode kosong dalam sejarah kita akan mewakili kesenjangan besar antara kita dan masa lalu pendahulu kita, yang akan menimbulkan kebingungan, kehilangan, perpecahan dan diskontinuitas.

Namun hal ini tidak berarti meninggalkan metode dan manhaj para ulama ahli hadits dalam mengkritisi sanad-sanad riwayat sejarah, karena ini adalah cara kita untuk mempertimbangkan riwayat-riwayat yang saling bertentangan. Dan juga merupakan alat yang bagus dan berguna dalam menerima atau menolak beberapa teks yang bermasalah atau menyimpang dari kerangka umum sejarah umat kita, namun pemanfaatannya harus dilakukan secara fleksibel, dengan mempertimbangkan bahwa hadits bukanlah riwayat sejarah. Dan hadits itu harus mendapat perhatian yang lebih cukup agar hadits tersebut dapat bertahan dalam menghadapi kaidah-kaidah kritik yang ketat”. [Akhiri kutipan dari kitab “Diraasat Taarikhiyyah hal. 27].

Syeikh al-Munajjid berkata :

"فَالْخُلَاصَةُ أَنَّهُ لَا حُرُجَ فِي إِنْشَادِ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ، وَالِاسْتِئْنَاسِ بِهَا، وَحِفْظِهَا، وَتَعْلِيمِهَا الْأَوْلَادِ الصَّغَارِ، وَإِنْ لَمْ تُثْبَتْ بِالْأَسَانِيدِ الصَّحِيحَةِ، فَإِنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْأَحْدَاثِ تَكْفِي رِوَايَتِهَا وَشَهْرَتِهَا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، ثُمَّ إِنَّ الْقِصَّةَ لَمْ تَتَضَمَّنْ نِسْبَةَ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ إِلَى مُعَيِّنٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا تَنْسِبُهَا لِلنِّسَاءِ وَالصُّبَيَّانِ وَالْوَلَائِدِ [يَعْنِي: الْجَوَارِي الصُّغَارِ]؛ فَهَذَا أَسْهَلُ لِشَأْنِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ"

Intinya, tidak ada salahnya melantunkan bait-bait sya’ir tersebut, menghibur diri dengannya, menghafalnya, dan mengajarkannya kepada anak kecil, meskipun sanadnya tidak shahih.

"Sebab peristiwa semacam ini sudah cukup diakui riwayatnya dan sudah terkenal di kalangan para ulama. Selain itu, kisah tersebut tidak mencakup penunjukan bahwa bait-bait ini berasal dari seseorang yang spesifik di antara para sahabat, melainkan disebutkan sebagai karya para wanita, anak-anak, dan para budak perempuan kecil. Ini adalah hal yang lebih mudah untuk dipahami. Wallaahu a’lam.

HADITS KE 8 : NYANYIAN PENYEMANGAT JIHAD :

Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata,

جَعَلَ المُهَاجِرُونَ والأنْصَارُ يَحْفِرُونَ الخَنْدَقَ حَوْلَ المَدِينَةِ، ويَنْقُلُونَ التُّرَابَ علَى مُتُونِهِمْ، وهُمْ يقولونَ:

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا ... علَى الإسْلَامِ ما بَقِينَا أبَدَا

قالَ: يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وهو يُجِيبُهُمْ:

اللَّهُمَّ إنَّه لا خَيْرَ إلَّا خَيْرُ الآخِرَهْ... فَبَارِكْ في الأنْصَارِ والمُهَاجِرَهْ .....

"Ketika kaum Muhajirin dan Anshar tengah menggali parit di sekeliling Madinah [saat perang Ahzaab], dan memikul tanah di atas pundak-pundak, mereka bersenandung :

"Kami adalah orang-orang yang telah berbai'at kepada Muhamamd atas Islam, dan kami masih tetap seperti itu selama-lamanya."

Anas melanjutkan, "Ketika Nabi mendengar itu, maka beliau membalasnya:

"Ya Allah, sesungguhnya tidak ada kebaikan (yang hakiki) kecuali kebaikan akhirat, maka berkahilah kaum Anshar dan Muhajirin."

[HR. Bukhori no. 4099 dan Muslim no. 1805].

Syarah Hadits :

وَفِي الحَدِيْثِ: إنْشَادُ الشِّعْرِ، والارْتِجَازُ في حَالِ العَمَلِ والجِهَادِ، والاسْتِعَانَةُ بِذَلِكَ لتَنْشِيْطِ النُّفُوْسِ، وتَسْهِيْلِ الأعْمَالِ.

"Di dalam hadits terdapat menyanyikan syair, merangkai kata-kata indah dalam keadaan beraktivitas dan berjihad, serta dengan hal tersebut bisa membantu untuk menghidupkan semangat dan memudahkan pekerjaan." [ad-Duror as-Saniyyah].

KE SEMBILAN : NYANYIAN AL-HUDAA DAN AN-NASHEB :

Nyanyian al-Hudaa dan an-Nasheb adalah nyanyian Arab Badui yang diperbolehkan untuk dinyanyikan dan didengarkan . Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan diperbolehkannya .

Makna Al-Hudaa’ atau Al-Hidaa’ [الْحِدَاءُ] dan makna An-Nasheb ( النَصْب ) :

AL-HUDAA :

Al-Jauhary dalam kitabnya As-Shihaah (7/159) berkata :

"الْحِدَاءُ: الْحِدْوُ سُوقُ الْإِبِلِ وَالْغِنَاءُ لَهَا."

Dan Hadaa’ ( الحداء ) : penggiringan unta disertai nyanyian untuknya.

Ada yang mengatakan :

"الْحِدَاءُ: حَيْثُ كَانَ يُنْشَدُهُ الْحَادِّي مُمْتَطِيًا نَاقَتَهُ، مُتَقَدِّمًا قَافِلَتَهُ لِيُحَثِّ إِبِلَهُ عَلَى الْمَسِيرِ وَفِي مُحَاوَلَةٍ لِتَخْفِيفِ عُنَاءِ السَّفَرِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ تِلْكَ الْإِبِلِ، وَيُعْرَفُ كَذَلِكَ كَغِنَاءِ إِنْشَادِيٍّ يُؤَدِّيهِ الْحَادِّي لِعِيسَهُ (جِمَالِهِ) إِذَا مَا تَفَرَّقَتْ أَوِ ابْتَعَدَتْ عَنْهُ."

Al-Hudaa’ : Di mana seseorang yang menyanyikan nyanyian al-hudaa’ , dia menyanyikannya sambil mengendarai untanya, serta ia berjalan paling depan kafilahnya , dengan nyanyian tsb agar bisa mengarahkan untanya berjalan diatas jalur , dan bisa juga digunakan dalam upaya untuk meringankan rasa lelah dan letih dalam perjalanan , baik pada dirinya sendiri dan pada unta itu.

Dan itu dikenal juga dengan nyanyian vokal ( غِنَاءٌ إِنْشَادِيٌّ ) yang dilakukan oleh penyanyi al-Hudaa’ kepada unta-untanya di saat unta-unta tsb terpencar atau menjauh darinya .

"AL-HUDAA : Nyanyian dan dendangan kegembiraan untuk gembala dan unta.

"al-Hidā'" atau "al-Hudā'" - dengan dibaca kasrah pada huruf ḥāʾ atau dhommah - atau "Hadwu" dikenal dalam kamus bahasa Arab sebagai penggiringan unta dan nyanyian untuknya. Dalam bentuk jamaknya: "Adīyah" atau "Adūah".

Dikatakan tentang seseorang:

رَجُلٌ حَادٌ وحِدَاءٌ وَهُو الذي يحْدُو الابلَ أي يُغَنَّي لها لتَتبُّعِه

"Rajulun ḥādun wa-hidā'", yang berarti seseorang yang menyanyi untuk unta-untanya agar mengikutinya.

Orang Arab mengatakan:

فُلَانٌ حِدَاءُ قَرَاقِرِيًّا، أَيْ جَهْوَرِيُّ الصَّوْتِ الشَّدِيدِ النَّبرَاتِ يُقَدِّمُ أَبْلَهُ وَيَحْدُوهَا.

"Fulan ḥādāʾ qarāqiryā", yang berarti seseorang dengan suara yang keras dan penuh nada, yang memimpin unta-untanya dan menyanyikan lagu untuknya.

Orang Arab menyebut "al-Hidā'" sebagai bagian dari jenis puisi yang disebut "Bahr Rajaz" atau "Bahr Rijāz", yang berarti penyairnya disebut "Rājiz" atau "Rājāz", yang berarti penyair yang menulis puisi dengan irama yang teratur.

Jenis puisi ini dinamai "Rajaz" karena sedikitnya bagian dan huruf serta kemudahan pembuatannya, sehingga bait puisinya berkisar antara satu hingga tiga bait, bisa lebih atau kurang sedikit.

Nama "al-Hidā'" digunakan oleh orang Arab di pasar unta dan dalam nyanyian untuknya. Unta-unta tersebut terpesona oleh suara penyanyinya, dan mereka dikelilingi oleh gelombang kegembiraan dan sukacita. Mereka menari dengan gerakan indah dan lincah, hanya dapat dipahami oleh mereka yang hidup bersama unta dan menggembalakannya dari padang rumput ke padang rumput atau ke mata air."

Abu al-Fadl Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan dalam kitabnya (Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari):

ِداءُ سُوقِ الْإِبِلِ يَكُونُ بِضَرْبٍ مُخَصَّصٍ مِنَ الشِّعْرِ وَالْغِنَاءِ، وَهُوَ مَا يُسَمِّيهِ الْأَعْرَابُ الْأَوَائِلُ (الرَّكْبَانِيّ) وَيُسَمِّيهِ الْعَرَبُ الْآخِرُونَ (الْهِجَيْنِيّ)، وَهُوَ قَصِيدُ أَصْحَابِ السَّفَرِ وَالْقَوَافِلِ."

Hudaa’ adalah menggiring unta yang diiringi dengan lantunan khusus dari Syair dan nyanyian, yang oleh orang-orang Arab awal namakan (Rukbaanii ) dan orang-orang Arab akhir menyebutnya (Al-Hujaini), dan itu adalah qosiidah orang-orang dalam safar dan kafilah-kafilah.

Para sejarawan dan para perawi Arab, termasuk Abu al-Hasan Ali bin al-Husayn al-Mas'udi (wafat 346 H/957 M) dalam karyanya "Muruj al-Dhahab wa Ma'adin al-Jawhar" menyebutkan:

"إنَّ "الحِدَاءَ" كَانَ عِندَ العَرَبِ قَبْلَ "الغِنَاءِ"، انحَدَرَ إِلَيْهِمْ وَتَوَارَثُوهُ مِنْ جَدِّهِمُ الْأَكْبَرِ مُضَرَ بْنِ نَزَارِ بْنِ مَعْدِ بْنِ عَدْنَانَ بْنِ أَدٍ، وَأَصْلُهُ كَمَا يَرَوْنُ أَنَّ مَضَرَ قَدْ سَقَطَ عَنْ بَعِيرِهِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَانْكَسَرَتْ يَدُهُ، فَجَعَلَ يَقُولُ: يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، وَكَانَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا فَتَجَمَّعَتْ حَوْلَهُ الْإِبِلُ وَطَابَتْ لَهَا السَّيْرُ مَعَهُ، فَاتَّخَذَهُ العَرَبُ حِدَاءً بِرَجْزِ الشِّعْرِ، وَجَعَلُوا كَلَامَهُ أَوَّلَ الْحِدَاءِ، فَقَالَ حَادِيهِمْ: يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ، يَا هَادِياً يَا هَادِياً، أَوْ قَالَ: وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، هَبِيْبًا هَبِيْبًا."

Sesungguhnya "al-Hida" (الحداء) telah ada di kalangan Arab sebelum "Nyanyian" (الغِنَاءُ). Tradisi ini turun temurun kepada mereka dan diwariskan dari kakek mereka yang paling tua, Mudhor bin Nizar bin Ma'd bin 'Adnan bin Ad. Menurut mereka, asal usulnya adalah ketika Mudhor jatuh dari unta-nya dalam salah satu perjalanannya sehingga tangannya patah. Dia mulai berdendang :

يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ

'Ya tangan, ya tangan,' atau 'Wa yadah, wa yadah.'

Karena dia memiliki suara yang bagus, maka unta-unta pun berkumpul di sekitarnya dan perjalanan mereka menjadi lancar bersamanya. Kemudian, orang Arab menjadikan Mudhor sebagai pencetus nyanyian (الحُدَاء) dengan syair yang terjalin. Mereka membuat perkataan Mudhor sebagai awal dari nyanyian al-Hida, dan seorang penyanyi di antara mereka berkata :

"يا يَدَاهُ يا يَدَاهُ، يا هادِياً يا هادِياً، أو قال: وايَدَاه وايَدَاه، هَبِيْيًا هَبِيْيًا"

'Wa yadah, wa yadah,' atau 'Ya hadi, ya hadi,' atau 'Wa yadah, wa yadah,''Habiban, habiban.'"

AN-NASHEB ( النَصْب ):

Al-Johary mengatakan dalam kitabnya Al-Shihaah (2/146) :

"وَالنَّصْبُ: غِنَاءٌ يُشَبِّهُ الْحِدَاءَ إِلَّا أَنَّهُ أَرَقُّ مِنْهُ."

“An-Nasheb ( النَصْب ) : nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih halus” . [Dan lihat pula Lisan Al-Arab (1/758)].

----

HUKUM NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA

Ibn Abd al-Barr berkata dalam kitabnya التمهيد (22/296):

"وَهَذَا الْبَابُ مِنَ الْغِنَاءِ قَدْ أَجَازَهُ الْعُلَمَاءُ وَوَرَدَتْ الْآثَارُ عَنْ السَّلَفِ بِإِجَازَتِهِ. وَهُوَ يُسَمَّى غِنَاءُ الرُّكْبَانِ وَغِنَاءُ النَّصْبِ وَالْحِدَاءِ. هَذِهِ الْأَوْجُهُ مِنَ الْغِنَاءِ لَا خِلَافَ فِي جَوَازِهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ."

“Dan dalam Bab ini , yakni nyanyian yang seperti ini telah dibolehkan oleh para ulama, dan terdapat atsar-atsar dari para ulama salaf yang membolehkannya , dan itu disebut nyanyian pengendara ( غِنَاءُ الرُّكْبَانِ ) , nyanyian النَّصْبِ, dan الحُداء. Tidak ada perbedaan pendapat antar para ulama tentang diperbolehkannya “. [Selesai] 

Kesimpulan :

1. Tidak ada khilaf antar ulama akan di bolehkannya nyanyian al-Huda dan an-Nasheb .

2. Al-Huda dan an-Nasheb sama-sama nyanyian budaya arab sejak zaman dahulu .

3. Antara Al-Huda dan an-Nasheb terdapat kesamaan . Sama-sama nyanyian pengendara dan penggembala Unta . Cuma bedanya kalo Nasheb itu lebih lembut رَقِيق dan terdapat  تَمْطِيط / suara yg tinggi dan panjang .

===***===

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN KEGEMBIRAAN

Yakni di maksud dengan musik kegembiraan dan yang semisalnya di sini adalah musik dan nyanyian yang bertujuan sebagai ungkapan kegembiraan dan hiburan semata, yang tidak dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk-mabukan, atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram,  atau untuk mengiringi  syair-syair cabul atau kemaksiatan lainnya.

Ada dua pendapat :

PENDAPAT PERTAMA : 
Yang membolehkan musik dan Nyanyian Yang Ber-etika dan Ber-adab.

Mereka berkesimpulan sebagai berikut :

Kesimpulan pertama :

Bahwa hadits-hadits tersebut dengan terang menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian dalam berbagai kondisi kegembiraan. Dengan merujuk kepada hadits yang sama , yaitu hadits Buraidah  tentang nadzarnya wanita hitam dengan menabuh rebana menjadi dalil kuat bahwa menabuh rebana (bermain alat musik) tidaklah haram; jika benar haram, bagaimana mungkin Rasulullah   membolehkan seseorang bernadzar dengan sesuatu yang haram ?.

Yang pasti Rosulullah melarang nadzar yang haram . Berikut ini contoh hadits yang melarang nadzar yang haram :

Contoh ke 1 : Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin Hushain (RA) , dia berkata :

وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ –

قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ ‏.‏ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ‏.‏ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا ‏.‏ فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ ‏.‏

فَقَالَ ‏"‏ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ الْعَبْدُ ‏"‏ ‏.

" Ada seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta Nabi yang biasa disebut dengan Adhba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu ia menghardiknya hingga berlari kencang.

Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.

Wanita itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta 'adhba' itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, Ini adalah Al Adhba', unta Rasulullah !.

 Wanita itu berkata (dengan redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.

Maka Rasulullah berkomentar: " Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba".  [ HR. Muslim no. 3099 ]

Contoh ke 2 : Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :

أنَّ امرأةً ، أتتِ النَّبيَّ ﷺ فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ، إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ بالدُّفِّ ، قالَ : أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا ، مَكانٌ كانَ يذبحُ فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ، قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ : لوثَنٍ ، قالت : لا ، قالَ : أوفي بنذرِكِ

“ Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.

Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!"

Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .

Beliau bertanya : "Untuk patung?" Ia menjawab : tidak. Beliau bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia menjawab : tidak. Beliau   berkata: "Penuhi nadzarmu!".

HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إِرْوَاءُ الْغَلِيلِ) (2/213-214 )

Kesimpulan kedua :

Menanggapi hadits-hadits yang mengisyaratkan keharaman musik dan nyayian di atas, maka pihak yang membolehkan memahami bahwa maksud hadits tersebut adalah pemberitahuan nabi akan terjadinya zaman kerusakan umat, dimana orang-orang sudah tidak mempedulikan lagi halal-haram, dan merajalelanya pergaulan bebas dan perzinaan, yang biasanya dibarengi dengan minuman keras, penyanyi atau penari dan musik.

Kesimpulan ketiga :

Al-Kalbaani dalam makalahnya mengatakan :

"وَمِنْ أَكْبَرِ دَلَائِلِ إِبَاحَتِهِ أَنَّهُ مِمَّا كَانَ يَفْعَلُ إِبَّانَ نُزُولِ الْقُرْآنِ، وَتَحْتَ سَمْعِ وَبَصَرِ الْحَبِيبِ ﷺ، فَأَقَرَّهُ، وَأَمَرَ بِهِ، وَسَمِعَهُ، وَحَثَّ عَلَيْهِ، فِي الْأَعْرَاسِ، وَفِي الْأَعْيَادِ."

“Salah satu dalil terbesar dari dibolehkannya adalah bahwa itu adalah apa yang dia lakukan selama turunnya wahyu Al-Qur'an, dan di bawah pendengaran dan penglihatan Nabi yang tercinta, jadi dia menyetujuinya, memerintahkannya, mendengarnya, dan menganjurkannya, di pesta pernikahan dan pada hari raya”.

BANTAHAN :

Perkataan al-Kalbaani di atas dibantah oleh syeikh Sa’ad as-Subai’iy dengan mengatakan :

الجواب: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَخَّصَ بِالْغِنَاءِ بِغَيْرِ الْمَعَازِفِ، بِضَرْبِ الدُّفِّ لِلنِّسَاءِ خَاصَّةً فِي الْعِيدِ، وَعِنْدَ قُدُومِ الْغَائِبِ، وَشَرَّعَهُ فِي الْأَعْرَاسِ كَمَا هُوَ مُبْسُوطٌ فِي مَظَانِّهِ مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ. فَهُوَ مُسْتَثْنَى مِنْ تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ. وَهَذَا لَيْسَ مَحَلاً لِلنِّزَاعِ!

Jawabannya: Nabi , memberikan rukhshoh nyanyian tanpa alat musik, dengan memukul rebana khusus untuk para wanita, terutama pada hari raya Idul Fitri, dan pada saat kedatangan seseorang yg lama tidak berjumpa , dan mensyariatkannya dalam pesta pernikahan, seperti yang dijelaskan dalam referensi-referensi dari kitab-kitab para ulama. Maka yang ini dikecualikan dari larangan bernyanyi dengan alat-alat musik dan seruling. Kalau yang ini bukan masalah yang diperselisihkan !

JAWABAN :

Justru, Suara wanita dan penampilan fisiknya jauh lebih menimbulkan fitnah dan jauh lebih menggoda dari pada suara dan fisik lelaki . Maka diperbolehkannya bagi lelaki itu masuk dalam katagori Qiyas Awlaa [ analogi yang lebih utama diperbolehkannya].

Kemudian dianalogikan kepada hukum haramnya minuman keras . Sedikit dan banyak nya sama saja haram hukumnya . Dan hukumnya berlaku bagi pria dan wanita . Dengan demikian jika musik dan nyanyian itu diharamkan , maka diharamkan pula dalam pernikahan dan yang semisalnya .

****

PENDAPAT KEDUA : 
Yang mengharamkan musik dan nyanyian .

Mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tersebut menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian hanya dalam momen-momen tertentu, yakni: menyambut tamu, pernikahan [walimahan], hari raya, dan kondisi tertentu [kejadian khusus (waqi’) yang terbatas ] dengan merujuk pada hadits Buraidah tentang pelaksanaan nadzar seorang wanita hitam dengan menabuh rebana .

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang tertutup dari dua sisi dinamakan gendang, itu yang tidak dibolehkan. Karena ia termasuk alat nyanyian. Sementara semua bentuk nyanyian musik itu haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya, yaitu rebana dalam acara resepsi pernikahan.” (Fatawa Islamiyah, 3/186).

Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Kalau gendang tidak dibolehkan memukulnya dalam pernikahan, cukup dengan rebana saja.” (Fatawa Islamiyah, 3/185).

Fatwa para mufti Lajnah Daimah di Arab Saudi , berkata, “Adapun gendang dan semisalnya dari peralatan musik yang dipukul, tidak dibolehkan mempergunakannya sebagai pengiring nasyid ini. Karena Nabi dan para shahabatnya (radhiyallahu ‘anhu) tidak pernah melakukan hal itu.” (Fatawa no. 3259. Tanggal 13/10/1400 H)

****

DALIL PENDAPAT KEDUA: YANG MENGHARAMKAN MUSIK SECARA MUTLAK

DALIL PERTAMA :

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Sahihnya, secara MUALLAQ [tanpa sanad] dengan SHIGAT JAZEM no.  (5286) :

Dari Abd al-Rahman bin Ghanam al-Ash'ari berkata: Abu Amer - atau Abu Malik - al-Ash'ari mengatakan: Demi Allah , dia tidak berdusta padaku , dia mendengar Nabi bersabda :

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Tiba-tiba ada Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat. [HR. Bukhari no.  (5286)]

Hadits ini di dhaifkan oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah ; karena terputus sanadnya , dan di dalam sanadnya terdapat Abu Malik Al-Ash'ari , yang mana dia itu MAJHUL

Penulis katakan : 

Hadits tersebut riwayatkan secara maushul oleh Ibn Hibban dalam Sahihnya (6574), al-Tabarani di al-Mujam al-Kabeer (3339), Musnad al-Shamiyyin (588), al-Bayhaqi di Sunan al-Sughra (4320), dan al-Sunan al-Kubra (6317) , dan hadits tersebut Shahih .

Ibnu Sholah berkata dalam kitabnya علوم الحديث hal. (67):

"وَلَا الْتِفَاتَ إِلَى أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِيِّ الْحَافِظِ فِي رَدِّهِ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ ، مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَامِرٍ ، أَوْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ : " لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ .

مِنْ جِهَةِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ أَوْرَدَهُ قَائِلًا فِيهِ : قَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَسَاقَهُ بِإِسْنَادِهِ ، فَزَعَمَ ابْنُ حَزْمٍ أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ فِيمَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَهِشَامٍ ، وَجَعَلَهُ جَوَابًا عَنِ الِاحْتِجَاجِ بِهِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ . وَأَخْطَأَ فِي ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ مَعْرُوفُ الِاتِّصَالِ بِشَرْطِ الصَّحِيحِ" .

"Tidak usah mengindahkan kritikan Abu Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiry dalam bantahannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu ‘Aamir, atau Abu Malik al-Ash'ari dari Rasulullah :

" لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ

"Akan ada di antara umatku , kaum-kaum yang menghalalkan sutra , anggur, dan alat-alat musik. ...." ( SA al-Hadits ) .

Di satu sisi, Al-Bukhari menyebutkannya dengan mengatakan : bahwa Hisham bin Ammar berkata : lalu beliau imam Bukhory menyebutkan sanadnya .... .  Di sini Ibnu Hazem mengira ada sanad yang terputus antara Bukhory dan Hisyam , lalu dia menjadikannya sebagai bantahan atas haramnya musik-musik. Dan ternyata dalam hal ini dia salah dari beberapa arah , dan yang benar hadits ini adalah shahih dan dikenal sanadnya nyambung sesuai standar syarat hadits shahih “.

Imam Ibnu al-Qayyim berkata dalam Rawdhat al-Muhibbiin (130):

وَأَمَّا أَبُو مُحَمَّدٍ فَإِنَّهُ عَلَى قَدْرِ يُبْسِهِ وَقَسُوتِهِ فِي التَّمَسُّكِ بِالظَّاهِرِ وَإِلْغَائِهِ لِلْمَعَانِي وَالْمُنَاسِبَاتِ وَالْحُكْمِ وَالْعِلَلِ الشَّرْعِيَّةِ انماع في بَابِ الْعِشْقِ وَالنَّظَرِ وَسَمَاعِ الْمَلَاهِي الْمُحَرَّمَةِ فَوُسِعَ هَذَا الْبَابُ جِدًّا وَضُيِقَ بَابُ الْمُنَاسِبَاتِ وَالْمَعَانِي وَالْحُكْمِ الشَّرْعِيَّةِ جِدًّا.

وَهُوَ مَعَ انْحِرَافِهِ فِي الطَّرَفَيْنِ حِينَ رَدَّ الْحَدِيثَ الَّذِي رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ فِي تَحْرِيمِ آلَاتِ اللَّهْوِ بِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ غَيْرُ مُسْنَدٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ لَقِيَ مَنْ عَلَّقَهُ عَنْهُ وَسَمِعَ مِنْهُ وَهُوَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْحَدِيثَ قَدْ أَسْنَدَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أُئِمَّةِ الْحَدِيثِ غَيْرَ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ فَأَبْطَلَ سُنَّةَ صَحِيحَةٍ ثَابِتَةً عَنْ رَسُولِ اللَّهِ لَا مَطْعَنَ فِيهَا بِوَجْهٍ".

“Adapun Abu Muhammad, maka sesungguhnya dia itu diatas kering dan kerasnya dalam berpegang teguh terhadap faham DZOHIRI ( yang tampak dari nash-nash  ) dan menghapus makna-makna , munasabah-munasabah , hikmah-hikmah dan illat-illat hukum syar’i , maka faham ini telah membuat Abu Muhammad menjadi leleh dalam bab tentang kerinduan , pandangan , penyimakan suara hiburan yang diharamkan , maka dia sangat memperluas dalam bermudah-maudahan dalam membolehkan bab tsb , dan sangat mempersempit bab munasabat-munasabat hukum yang menunjukkan keharamannya , begitu juga makna-mkananya dan illat-illat hukum syar’inya .    

Dan dia dengan penyimpangannya di kedua sisi ketika membantah hadits yang Al-Bukhari diriwayatkan dalam Sahihnya tentang pengharaman alat-alat hiburan dengan alasan MU’ALLAQ alias sanadnya tidak nyambung , rupanya ada yang tersembunyi darinya bahwa Al-Bukhari bertemu dengan seseorang yang di-TA’LIQ-nya dan dia mendengar langsung darinya, yaitu Hisham bin Ammar, dan juga ada yang tersembunyi dari Abu Muhammad Ibnu Hazem bahwa hadits tersebut sanadnya telah disambungkan oleh lebih dari satu imam hadits selain Hisham bin Ammar, oleh karena itu dia membatalkan hadits yang shahih nan kokoh dari Rosulullah , tidak ada sisi yang bisa menikam keshahihan nya dari arah manapun”. ( Baca pula : تَهْذِيبُ سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ (2/228).

Dalam kitab إغاثة اللهفان (1/259) , تغليق التعليق (5/22) dan فتح الباري (10/52) di katakan :

"وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ حَلَالًا لَمَا ذَمَّهُمْ عَلَى اسْتِحَالَتِهَا وَلَمَّا قُرِّنَ اسْتِحَالَتُهَا بِاسْتِحَالَةِ الزِّنَا وَالْخَمْرِ وَالْحَرِيرِ!".

“Indikasi dari hadits ini tentang pengharaman alat-alat musik adalah bahwa jika memang dibolehkan,  maka tentunya dia tidak akan mencela orang-orang yang menghalalkannya , dan kalo seandainya di bolehkan , maka tentunya  tidak akan sandingkan dengan penghalalan  perzinahan,  minuman keras, dan sutra!”.

DALIL KE DUA :

Dari Abu Umamah, dari Rasulullah , beliau bersabda : 

" لاَ تَبِيْعُوا اْلقَيْنَاتِ وَ لاَ تَشْتَرُوْهُنُّ وَ لاَ تُعَلّمُوْهُنَّ وَ لاَ خَيْرَ فِيْ تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ وَ فِيْ مِثْلِ هذَا اُنْزِلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ اْلحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ (اِلى آخِرِ اْلآيَةِ)".

“Janganlah kalian menjual para budak penyanyi wanita, jangan kalian membeli mereka dan jangan pula kalian ajari mereka itu, karena sama sekali tidak ada kebaikannya memperdagangkan mereka itu, dan hasilnya pun haram, dan seperti ini, diturunkan ayat (yang artinya) :

‘Diantara manusia ada yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (orang) lain dari jalan Allah, (QS Luqman : 6) sampai akhir ayat’”. 

(HR. Tirmidzi 5/25 no. 1282, 3247, Ibnu Majah no. 2168, Ahmad 22280 dan Thabrani no 7749  ] .

Hadits ini dha’if sekali karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilaal.

Syu’aib al-Arnauth berkata : Dho’if Jiddan [ lemah sekali] . (Lihat Takhrij al-Musnad no. 22280]. Begitu pula yang dinyatakan al-Albaani dalam Tahriim Aalaatit Tharb no. 68.

DALIL KE TIGA :

Dari Nafi' Maula Ibnu Umar ia berkata :

سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ: فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْتُ: لَا. قَالَ: فَرَفَعَ أُصْبُعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا.

" [Ibnu Umar] mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya seraya menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, "Wahai Nafi', apakah kamu mendengar sesuatu?" Aku menjawab, "Tidak." Nafi' melanjutkan; "Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari keduanya telinganya", lantas ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi , lalu beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga melakukan seperti ini."

[HR. Abu Daud no. 4924 ]

Abu Daud, perawi hadits, berkata : Abu Ali Al Lu`lu`I berkata : "Aku mendengar Abu Dawud berkata : "Hadits ini derajatnya munkar”.

Lalu Abu Daud menyebutkan jalur lain dari Muth'im Ibnul Miqdam dari Nafi’, ia berkata :

كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ زَامِرٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ

"Aku bersama [Ibnu Umar], lalu ia mendengar suara orang berseruling…lalu ia menyebutkan seperti hadits tersebut."

Abu Dawud berkata : "Dan inilah yang paling mungkar."

Namun hadits ini di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 4924.

LAFADZ LAIN :

Nafi’ , dia berkata :

سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -ﷺ- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain.
Beliau berkata : “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?”

Aku (Nafi’) berkata : “Iya, aku masih mendengarnya”

Kemudian beliau terus berjalan, sampai aku berkata : “Aku tidak mendengarnya lagi”

Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata :

“Beginilah aku melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi”

[HR Ahmad 4725] Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ibnu Umar (ra) saat mendengar suara seruling tersebut, beliau tidak menyuruh si penggembala untuk menghentikan tiupan serulingnya. Ibnu ‘Umar juga tidak menyuruh Nafi’ untuk ikut menutup telinganya.

Sehingga mendengarkan nyanyian dan musik tanpa kebutuhan (seperti yang disebutkan pada pembahasan mubah) adalah perbuatan yang makruh (makruh diambil dari kata karahah, artinya dibenci).

Dan dari Mujahid, ia berkata:

"كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ طَبْلٍ فَاَدْخَلَ اِصْبَعَيْهِ فِى اُذُنَيْهِ، ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى فَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ: هكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ".

Dahulu ketika saya bersama Ibnu ‘Umar, tiba-tiba mendengar suara tambur, lalu (Ibnu ‘Umar) memasukkan kedua jarinya ke kedua telinganya, kemudian ia mundur, sehingga berbuat demikian tiga kali. Kemudian ia berkata, “Demikianlah dahulu Rasulullah berbuat”. 

(HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1901. 

Hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Laits bin Abi Sulaim. Akan tetapi dishahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 1555 , namun dengan lafadz " زُمَّارَةُ رَاعٍ " [seruling penggembala] , adapun yang dengan lafadz طَبْلٌ [ gendang] maka itu riwayat munkar.

DALIL KEEMPAT : HADITS LARANGAN AL-KUUBAH :

Dari Qais bin Habtar yang berkata :

 سَألْتُ ابنَ عبَّاسٍ عن الجَرِّ الأبيضِ، والجرِّ الأخضرِ، والجرِّ الأحمرِ، فقال: إنَّ أوَّلَ مَن سأَلَ النَّبيَّ ﷺ وفْدُ عبدِ القيسِ، فقالوا: إنَّا نُصِيبُ مِنَ الثُّفْلِ، فأيُّ الأسقيةِ؟ فقال: لا تَشرَبوا في الدُّبَّاءِ، والمُزَفَّتِ، والنَّقِيرِ، والحَنْتَمِ، واشْرَبوا في الأسقيةِ، ثمَّ قال: إنَّ اللهَ حرَّمَ علَيَّ -أو حرَّمَ- الخمرَ، والمَيْسِرَ، والكُوبةَ، وكلُّ مُسكِرٍ حرامٌ. قال سفيانُ: قلْتُ لعلِيِّ بنِ بَذِيمَةَ: ما الكُوبةُ؟ قال: الطَّبْلُ.

Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang Al Jarr [wadah air minum dari tembikar] putih, Al Jarr hijau dan Al Jarr merah.

Maka Beliau berkata “sesungguhnya yang pertama kali bertanya kepada Nabi tentang hal itu adalah delegasi [utusan] ‘Abdul Qais, mereka berkata “sesungguhnya kami memperoleh peralatan, maka tempat-tempat air mana [yang boleh digunakan]?.

Beliau berkata “Janganlah kalian minum dari Ad-Dubaa’, Al-Muzaffat, An-Naqiir dan Al-Hantam, tetapi minumlah dari tempat-tempat air !”.

Kemudian Beliau berkata : “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasku atau telah mengharamkan khamr,  judi, Al-Kuubah dan setiap yang memabukkan adalah haram”. 

Sufyaan berkata : aku bertanya kepada Aliy bin Badziimah, apakah Al-Kuubah itu?. Ia berkata “gendang”.

[HR. Ahmad no 2476 dan Abu Dawud 3/331 no. 3696 Di shahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 4/158]

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkannya dalam kitabnya “Al-Asyribah” hal 79 no 193, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/356 no 3696, Abu Ya’la dalam Musnad-nya 5/114 no 2729, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 12/187 no 5365, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20780, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 41/273-274 semuanya dengan jalan sanad Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar : dari Ibnu ‘Abbas dengan matan yang menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.

Adapun Ath Thahawiy juga menyebutkan hadits ini dalam kitabnya Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/223 no 6487 dengan sanad yang sama tetapi tanpa menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.

RIWAYAT LAIN :

Abu Ahmad Az Zubairiy dalam periwayatan dari Sufyaan memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah, sebagaimana yang disebutkan Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam Al Arba’iin hal 99 no 39 dan Ibnu Muqriy dalam Mu’jam-nya hal 375 no 1257 :

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan Ats Tsawriy dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari ‘Ibnu ‘Abbaas dari Rasulullah yang berkata : 

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي الطَّبْلَ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al-Kuubah yaitu gendang dan semua yang memabukkan adalah haram”.

Perhatian :

Mengenai hadits Qabiishah di atas yaitu lafaz “ya’niy Ath Thabl” setelah lafaz Al-Kuubah bukanlah bagian dari lafaz hadits Rasulullah tetapi ia adalah perkataan Ali bin Badziimah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan. Jadi telah terjadi idraaj [penyusupan kata] dalam matan haditsnya.

----

PEMBAHASAN MAKNA AL-KUUBAH :

Terdapat perselisihan soal makna Al-Kuubah di sisi para ulama. Sebagian mengatakan bahwa Al-Kuubah adalah gendang dan dikatakan juga bahwa Al-Kuubah adalah dadu yang dipakai pada permainan judi.

Ibnu Atsir berkata :

   إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ هي النَّرْدُ وقيل الطَّبْل وقيل البَرْبَطُ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah” itu maksudnya adalah dadu, dikatakan itu gendang dan dikatakan itu gitar [Baca : An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar karya Ibnu Atsir hal 815]

Abu Ubaid Al Haraawiy berkata :

وأما الكُوبة فإنّ محمد بن كثير أخبرني أن الكُوبة النرد في كلام أهل اليمن وقال غيره الطبل

“Adapun Al-Kuubah maka sesungguhnya Muhammad bin Katsiir mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Kuubah adalah dadu dalam perkataan penduduk Yaman, dan berkata selainnya bahwa itu adalah gendang [Lihat : Ghariib Al Hadiits karya Abu Ubaid Al Haraawiy 5/304]

Dan Abu Ubaid berkata :

وفي الحديث إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ قَالَ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ  الْكُوبَةُ النَّرْدُ  وَيُقَالُ الطَّبْلُ  وَقِيلَ الْبَرْبَطُ

Dan dalam hadits “sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah”. Ibnu Arabiy berkata Al-Kuubah adalah dadu, dan ada yang mengatakan itu adalah gendang, dan dikatakan itu adalah gitar [Baca : Al Gharibain Fii Al Qur’an Wal Hadiits Abu Ubaid 5/1654]

Pendapat yang mengatakan Al-Kuubah adalah gendang memiliki hujjah dari perkataan para perawi hadits yang mengharamkan Al-Kuubah. [nampak dalam sebagian riwayat bahwa perawi-perawi tersebut menyisipkan penafsiran mereka ke dalam hadits]. Mereka adalah sbb :

1] Aliy bin Badziimah sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476

2] Yahya bin Yuusuf Az Zammiy sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779

3] Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul Hakam sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no 20783

4] Yahya bin Ishaaq sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Al Asyribah hal 40 no 27

Terdapat kaidah bahwa tafsir perawi hadits terhadap hadits yang ia riwayatkan lebih didahulukan dibanding tafsir selainnya. Sehingga dengan kaidah ini sebagian ulama merajihkan bahwa makna Al-Kuubah adalah gendang.

Kaidah ini benar hanya saja ia tidak bersifat mutlak. Apalagi terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa makna Al-Kuubah pada masa sahabat Nabi bukan gendang atau tambur, melainkan adalah nardu atau dadu. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Adabul Mufrad 1/433 no 1267 , dia berkata :  

Telah menceritakan kepada kami ‘Ishaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Hariiz dari Salman Al ‘Alhaaniy dari Fadhalah bin ‘Ubaid dan pada saat itu ia berkumpul pada suatu perkumpulan, maka telah sampai kepadanya kabar :

أَنَّ أَقْوَامًا يَلْعَبُونَ بِالْكُوبَةِ فَقَامَ غَضْبَانًا يَنْهَى عَنْهَا أَشَدَّ النَّهْيِ ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنَّ اللَّاعِبَ بِهَا لِيَأْكُلَ قَمَرَهَا كَآكِلِ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَمُتَوَضِّئٌ بِالدَّمِ يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ.

“Bahwa sekelompok orang bermain dengan Kuubah maka ia berdiri marah dan melarangnya dengan larangan yang keras kemudian berkata ketahuilah bahwa bermain dengan itu untuk memakan hasilnya maka seperti memakan daging babi dan berwudhu’ dengan darah. Yang dimaksud Kuubah adalah An-Nardu [dadu]”. (Selesai).

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Fadhalah bin ‘Ubaid (ra) dan ia adalah seorang sahabat Nabi . [Baca : Al Jarh Wat Ta’dil 7/77 no 433].

Berikut ini penjelasan jarh wa ta’diil para perawinya :

1] ‘Ishaam bin Khalid Al Hadhramiy termasuk salah satu guru Bukhariy dalam kitab Shahih-nya. Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 372]

2] Hariiz bin ‘Utsman Al Himshiy. Abu Dawud berkata “guru-guru Hariiz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Duhaim menyatakan ia baik sanadnya shahih haditsnya dan tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]

3] Salman bin Sumair Asy Syammiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia termasuk guru Hariiz dan Abu Dawud mengatakan bahwa semua guru Hariiz tsiqat. [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 230]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/374]. Pendapat yang rajih ia seorang yang tsiqat berdasarkan apa yang disebutkan Abu Dawud dan Al Ijliy berkata “tabiin syam yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 651].

Lafaz “يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ” [Kuubah yang dimaksud adalah dadu] bisa jadi berasal dari para perawi sanad tersebut termasuk Al Bukhariy. Hanya saja kami tidak menemukan qarinah kuat yang menunjukkan milik siapa lafaz tersebut. Tetapi riwayat tersebut sangat bersesuaian dengan hadits Nabi dalam Shahih Muslim berikut ini :

Dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwasanya Nabi bersabda

" مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ ".

 “Barang siapa yang bermain dadu maka ia seperti mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya” [Lihat : Shahih Muslim 4/1770 no 2260]

Maka nampak bahwa makna Al-Kuubah dalam riwayat Fadhalah bin ‘Ubaid tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Kuubah sebagai dadu sudah dikenal di masa sahabat Nabi .

Berdasarkan hal ini maka kami menilai pendapat yang lebih rajih adalah yang menyatakan bahwa makna Al-Kuubah adalah dadu [yang dipakai dalam perjudian]. Terbukti bahwa penafsiran tersebut sudah dikenal di masa sahabat sedangkan penafsiran Al-Kuubah adalah bermakna gendang , maka itu berasal dari para perawi hadits yang hidup jauh setelah masa sahabat Nabi .

Kesimpulan  : Hadits pengharaman Al-Kuubah adalah hadits yang shahih hanya saja tidak tepat jika hadits tersebut dijadikan hujjah untuk mengharamkan musik atau alat musik [yaitu gendang]. Pendapat yang rajih adalah makna Al-Kuubah tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu yang sering dipakai dalam perjudian.

===***===

YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :

Kesepakatan antara Pihak yang Membolehkan dan Mengharamkan Musik dan Nyanyian

Kedua belah pihak sepakat bahwa musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk, atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram,  atau untuk mengiringi  syair-syair cabul, adalah haram, dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.

PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :

Al-Hafidz al-Muhaddits, Ibnu Rajab -rahimaullah- berkata:

" وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ" خَرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، بِإِسْنَادٍ فِيهِ ضَعْفٌ".

"Tidak diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati, dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian mereka biasanya berdasarkan syair zaman Jahiliyah yang menyebutkan tentang peperangan dan meratapi mereka yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana [perkusi] mereka seperti tanah liat yang digunakan untuk menghaluskan tepung, tanpa ada jingling di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -:

"أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"

"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah."

Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):

"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا .

فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ فَارِسٍ وَالرُّومِ ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ، الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا، بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ، وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."

“Dulu pada zaman Nabi , beliau mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti hari raya , pernikahan dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak berjumpa , untuk  menabuh rebana oleh para budak perempuan , sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja yang semakna dengannya.

Namun setelah terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ nampak lah di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah terbiasa lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang diiringi oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan syair-syair yang menggambarkan minuman-minuman keras yang diharamkan dan lukisan-lukisan cantik yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya". [Selesai].

 

Posting Komentar

0 Komentar