FIQIH DARI KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT
===
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
فَإِذَا شَارِفَايَ قَدِ اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ
خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا
“Maka tiba-tiba kedua untaku telah dipotong punuknya, perutnya
dibelah, dan hati keduanya diambil”.
DAFTAR ISI :
- HADITS KISAH UNTA ALI UNTUK MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK
PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT
- FAIDAH DARI HADITS KISAH UNTA ALI
- FAIDAH PERTAMA : PENTINGNYA TAHAPAN DALAM BERDAKWAH DAN MEMAHAMI KONDISI MEDAN DAKWAH
- TAHUN PENGHARAMAN KHOMR (MINUMAN KERAS):
- MENGAPA DALAM PENGHARAMAN KHAMR JUGA DILAKUKAN SECARA BERTAHAP? MENGAPA SYARIAT TIDAK MENGHARAMKANNYA SEKALIGUS?
- PENGHARAMAN KHAMAR BERLANGSUNG MELALUI EMPAT TAHAP:
- KECEPATAN PARA SAHABAT RADHIYALLAHU 'ANHUM
DALAM MEMATUHI PERINTAH RASULULLAH ﷺ:
- HUKUM BEROBAT DENGAN KHOMR (MINUMAN KERAS)
- HARAMNYA KHAMR DAN ADZAB BAGI PECANDU-NYA
- FAIDAH KE DUA : TAHAPAN PENGHARAMAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS.
- HADITS-HADITS YANG MENGHARAMKAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS :
- KUMPULAN HADITS YANG MOMBOLEHKAN MUSIK REBANA DAN NYANYIAN TANPA MIRAS DAN BIDUANITA:
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN KEGEMBIRAAN
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
HADITS KISAH UNTA ALI UNTUK
MAHAR FATIMAH YANG DIROBEK PERUTNYA OLEH HAMZAH SAAT MABUK BERAT
KISAH ini terjadi sebelum diharamkannya MUNUMAN
KERAS
كَانَتْ
لِي شَارِفٌ مِنْ نَصِيبِي مِنَ الْمَغْنَمِ، يَوْمَ بَدْرٍ، وَكَانَ رَسُولُ
اللّهِ ﷺ أَعْطَانِي شَارِفاً مِنَ الْخُمُسِ يَوْمَئِذٍ. فَلَمّا أَرَدْتُ أَنْ
أَبْتَنِيَ بِفَاطِمَةَ، بِنْتِ رَسُولِ اللّهِ ﷺ، وَاعَدْتُ رَجُلاً صَوّاغاً
مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ يَرْتَحِلُ مَعِيَ. فَنَأْتِي بَإِذْخِرٍ أَرَدْتُ أَنْ
أَبِيعَهُ مِنَ الصّوّاغِينَ. فَأَسْتَعِينَ بِهِ فِي وَلِيمَةِ عُرْسِي.
فَبَيْنَا
أَنَا أَجْمَعُ لِشَارِفَيّ مَتَاعاً مِنَ الأَقْتَابِ وَالْغَرَائِرِ
وَالْحِبَالِ. وَشَارِفَايَ مُنَاخَانِ. إِلَىَ جَنْبِ حُجْرَةِ رَجُلٍ مِنَ
الأَنْصَارِ. وَجَمَعْتُ حِينَ جَمَعْتُ مَا جَمَعْتُ. فَإِذَا شَارِفَايَ قَدِ
اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ مِنْ
أَكْبَادِهِمَا. فَلَمْ أَمْلِكْ عيْنَيّ حِينَ رَأَيْتُ ذَلِكَ الْمَنْظَرَ
مِنْهُمَا.
قُلْتُ:
مَنْ فَعَلَ هَذَا؟
قَالُوا: فَعَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ. غَنّتْهُ قَيْنَةٌ
وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: أَلاَ يَا حَمْزَ لِلشّرُفِ النّوَاءِ.
فَقَامَ حَمْزَةُ بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا، وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا.
فَأَخَذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا.
قَالَ عَلِيّ: فَانْطَلَقْتُ حَتّىَ أَدْخُلَ
عَلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ وَعِنْدَهُ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ. قَالَ فَعَرَفَ
رَسُولُ اللّهِ ﷺ فِي وَجْهِيَ الّذِي لَقِيتُ.
فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ "مَا لَكَ؟"
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ وَاللّهِ مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ قَطّ. عَدَا
حَمْزَةُ عَلَىَ نَاقَتَيّ فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا.
وَهَا هُوَ ذَا فِي بَيْتٍ مَعَهُ شَرْبٌ. قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللّهِ ﷺ
بِرِدَائِهِ فَارْتَدَاهُ. ثُمّ انْطَلَقَ يَمْشِي. وَاتّبَعْتُهُ أَنَا وَزَيْدُ
بْنُ حَارِثَة. حَتّىَ جَاءَ الْبَابَ الّذِي فِيهِ حَمْزَةُ. فَاسْتَأْذَنَ،
فَأَذِنُوا لَهُ. فَإِذَا هُمْ شَرْبٌ. فَطَفِقَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ يَلُومُ
حَمْزَةَ فِيمَا فَعَلَ. فَإِذَا حَمْزَةُ مُحْمَرّةٌ عَيْنَاهُ. فَنَظَرَ
حَمْزَةُ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ إِلَىَ رُكْبَتَيْهِ.
ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ سُرّتِهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ
إِلَىَ وَجْهِهِ.
فَقَالَ حَمْزَةُ: وَهَلْ أَنْتُمْ إِلاّ عَبِيدٌ
لأَبِي؟ فَعَرَفَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ أَنّهُ ثَمِلٌ.
فَنَكَصَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ عَلَىَ عَقِبَيْهِ الْقَهْقَرىَ. وَخَرَجَ وَخَرَجْنَا
مَعَهُ.
"Dahulu
saya pernah memiliki seekor unta dari hasil pembagian harta rampasan perang
Badr, pada hari itu pula Rasulullah ﷺ memberikan seekor unta dari bagian seperlima.
Maka Ketika
saya hendak membina rumah tangga dengan Fatimah -puteri Rasulullah ﷺ - saya telah
mengadakan perjanjian dengan seorang tukang emas dari Bani Qainuqa' untuk pergi
bersamaku sambil membawa idzkhir (semacam tumbuh-tumbuhan) yang akan saya jual,
dan uang hasil penjualan itu dapat saya pergunakan untuk penyelenggaraan
pernikahan saya.
Pada saat
mempersiapkan barang-barang bagi keperluan kedua unta tersebut, seperti pelana,
karung dan tali. Yang mana Saat itu kedua unta saya terikat di samping rumah
seorang Anshar, dan tiba-tiba saya mendapati kedua untaku -setelah
mempersiapkan barang-barang yang perlu dipersiapkan- sudah terpotong-potong
punuknya, terbelah perutnya dan telah terambil hatinya. Kedua mataku tidak
kuasa menahan tetesan air mata melihat pemandangan itu, lalu aku bertanya,
"Siapakah
yang melakukan semua ini?"
Orang-orang
menjawab,
"Hamzah
bin Abdul Mutthalib, dan dia sekarang berada di rumah ini bersama-sama dengan
orang-orang Anshar yang suka meminum minuman keras.
[Penyebab
Hamzah memotong-motong dua unta tsb] Dia dan teman-temannya sedang dihibur oleh
seorang penyanyi perempuan yang dalam salah satu nyanyiannya terselip kata-kata
:
'Wahai
Hamzah, ingatlah pada unta-unta yang montok.'
Maka
Hamzah pun berdiri dengan membawa pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk
kedua unta tersebut dan ia belah perut keduanya kemudian hati keduanya di
ambil."
Ali
berkata, "Kemudian saya langsung pergi menemui Rasulullah ﷺ yang pada saat itu
beliau sedang duduk bersama Zaid bin Haritsah."
Ali
berkata, "Melihat raut mukaku, ternyata Rasulullah ﷺ tahu akan peristiwa
yang terjadi."
Maka
Rasulullah ﷺ bertanya: "Apa yang terjadi denganmu?"
saya
menjawab, "Wahai Rasulullah, demi Allah belum pernah seumur hidupku
melihat kejadian seperti hari ini. Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia
telah memotong punuknya dan membelah isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah
bersama teman-temannya yang suka meminum minuman keras."
Ali
berkata, "Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil jubahnya.
Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang disebutkannya itu dengan
berjalan kaki, sementara saya dan Zaid mengikutinya dari belakang.
Sesampainya
di depan pintu rumah yang di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah ﷺ meminta izin masuk.
Para penghuni rumah pun memberikan izin masuk. Ternyata mereka adalah para
peminum minuman keras.
Lalu
Rasulullah ﷺ mulai mencela Hamzah terhadap apa yang telah
diperbuatnya. Pada saat itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai
mengamati Rasulullah ﷺ dari kedua lutut naik ke pusar dan akhirnya ke
wajah beliau.
Kemudian
Hamzah berkata :
"Kalian
ini tidak lain hanyalah para budak bapakku."
Akhirnya
Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk berat.
Lalu
beliau mundur ke belakang dan keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar
mengikuti beliau ﷺ." [Selesai]
Makna Qoynah (القَيْنَةُ):
القَيْنَةُ (جَمْعُها: القِيانُ) تَعني
في اللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ الأَمَةَ (الجَارِيَةَ) أَوِ المُغَنِّيَةَ، وَغَالِبًا
ما تُطْلَقُ عَلَى الجَارِيَةِ المُغَنِّيَةِ أَوِ المُطْرِبَةِ. كَمَا تُطْلَقُ أَيْضًا
عَلَى الماشِطَةِ الَّتِي تُتْقِنُ المَشْطَ وَتُزَيِّنُ العَرُوسَ. وَيُسْتَخْدَمُ
المُصْطَلَحُ لِوَصْفِ طَبَقَةٍ اجْتِمَاعِيَّةٍ مِنَ النِّسَاءِ فِي العَالَمِ الإِسْلَامِيِّ
قَبْلَ العَصْرِ الحَدِيثِ، كُنَّ مُدَرَّبَاتٍ عَلَى الفُنُونِ وَالتَّرْفِيهِ.
“Qainah (jamaknya:
Qiyan) berarti dalam bahasa Arab budak perempuan (jariyah) atau penyanyi wanita.
Namun kata ini lebih sering digunakan untuk menyebut penyanyi wanita atau
biduanita (wanita yang berprofesi sebagai penyanyi).
Istilah ini juga
digunakan untuk penyebutan tukang rias yang mahir menyisir rambut dan menghias
pengantin.
Istilah tersebut
dipakai untuk menggambarkan suatu kelas sosial dari kalangan perempuan di dunia
Islam sebelum zaman modern, yang terlatih dalam dunia seni dan hiburan”.
----
Hadis Ali diatas ini memiliki beberapa penguat, diantaranya:
Diriwayatkan
dari Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya Ali (alaihimus
salam) ia berkata:
كانت لِي شارِفٌ مِن
نَصِيبي مِن المَغْنَمِ وَدَفَعَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ نُثارَهُ مِن الخُمُسِ،
وَاعَدْتُ رَجُلًا صَوّاغًا أَنْ يَرْتَحِلَ مَعِي فَنَأْتِيَ بِإِذْخِرٍ أَرَدْتُ
أَنْ أَبِيعَهُ مِنَ الصَّوّاغِينَ وَأَسْتَعِينُ بِثَمَنِهِ عَلَى الدُّخُولِ بِفاطِمَةَ
وَعُرْسِها.
قال: فَحَمَلْتُ شارِفَيَّ
عِنْدَ حائِطِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصارِ وَمَضَيْتُ لِأَجْمَعَ الحِبالَ وَالغَرائِرَ
وَالأَقْتابَ وَجِئْتُ وَقَدْ بُقِرَ بَطْنُ شارِفَيَّ وَاجْتُبَّ أَسْنِمَتُهُما،
قال: فَلَمْ أَمْلِكْ عَيْنَيَّ أَنْ بَكَيْتُ ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هذا بِشارِفَيَّ؟
قالوا: عَمُّكَ حَمْزَةُ فَعَلَهُ وَهذا هُوَ فِي البَيْتِ مَعَهُ شُرْبٌ، عِنْدَهُم
قَيْنَةٌ وَحَلَفُوا فَقالَتْ:
أَلا
يا حَمْزَ المشرِفَ النَّوّاءَ … وَهُنَّ مُعَقَّلاتٌ بِالفِناءِ
زُجَّ
السِّكِّينَ فِي اللَّبّاتِ مِنها … فَضَرَّجَهُنَّ حَمْزَةُ بِالدِّماءِ
وَأَطعَمَ
مِن شَرائِحِها كَبابًا … مُهَلْوَجَةً عَلَى رَهَجِ الصَّلاءِ
فَأَصْلَحَ
مِن أَطايِبِها طَبِيخًا … لِشُرْبِكَ مِن قَدِيرٍ أَو سَواءِ
فَأَنْتَ
أَبا عِمارَةَ المُرَجَّى … لِكَشْفِ الضُّرِّ عَنّا وَالبَلاءِ
فَقامَ إِلى شارِفَيْكَ فَقَتَلَهُما،
قالَ عَلِيٌّ: فَجِئْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَهُوَ فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ مَعَهُ مَوْلاهُ
زَيْدٌ قالَ: ما جاءَ بِكَ] فِداكَ أَبِي وَأُمِّي يا عَلِيُّ، قُلتُ ما فَعَلَ عَمُّكَ
بِشارِفَيَّ وَخَبَّرْتُهُ الخَبَرَ، فَقامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَبِسَ نَعْلَيْهِ وَرِداءَهُ
ثُمَّ انْطَلَقَ يَمْشِي وَاتَّبَعْتُهُ أَنا وَزَيْدٌ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ وَدَخَلَ
البَيْتَ وَقالَ: يا حَمْزَةُ ما حَمَلَكَ عَلى ما فَعَلْتَ بِشارِفَيَّ ابْنِ أَخِيكَ؟
فَرَفَعَ رَأْسَهُ وَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلى يَدَي رَسُولِ اللهِ ﷺ وَإِلى ساقَيْهِ،
فَصَوَّبَ النَّظَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ قالَ: أَلَسْتُمْ وَآباؤُكُم عَبِيدًا لِأَبِي،
فَرَجَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ القَهْقَرى وَقالَ: إِنَّ غَنَمَكَ وَجِمالَكَ عَلَيَّ فَغَرِمَهُما
لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ.
فَلَمّا أَصْبَحَ غَدا حَمْزَةُ
عَلى رَسُولِ اللهِ يَعْتَذِرُ فَقالَ: مَهْ يا عَمُّ فَقَدْ سَأَلْتُ اللهَ فَعَفا
عَنكَ.
Aku
mempunyai seekor unta betina dari bagianku pada harta rampasan perang, dan
Rasulullah ﷺ memberikan kepadaku sisa bagian beliau
dari seperlima.
Aku
telah berjanji dengan seorang tukang emas bahwa ia akan berangkat bersamaku
untuk mengambil rumput idzkhir yang aku ingin menjualnya kepada para tukang
emas, lalu aku akan gunakan hasil penjualannya untuk pernikahanku dengan
Fatimah dan acara pernikahannya.
Ia
berkata: Maka aku menambatkan untaku di dekat kebun seorang laki-laki Anshar lalu
aku pergi untuk mengumpulkan tali, karung, dan pelana. Ketika aku kembali,
ternyata perut unta betinaku telah dibelah dan punuknya diambil. Aku tidak
kuasa menahan air mataku hingga menangis lalu aku berkata:
Siapa
yang melakukan hal ini terhadap untaku?
Mereka
berkata: Pamanmu Hamzah yang melakukannya, ia sedang berada di rumah bersama
orang-orang yang minum, mereka ditemani seorang penyanyi wanita. Mereka
bersumpah lalu penyanyi itu berkata:
Wahai Hamzah yang mulia nan gagah… sementara unta-unta itu terikat
di halaman
Tancapkanlah pisau ke leher-lehernya… lalu engkau penuhi
dengan darah
Engkau potong dagingnya jadi panggangan… yang lezat di atas
bara api
Engkau masak bagian terbaiknya menjadi hidangan… untuk
teman-teman minummu dalam kuali
Maka engkaulah wahai Abu ‘Amarah yang diharap… untuk
menyingkirkan kesulitan dan bencana dari kami
Maka
Hamzah pun bangkit menuju kedua untaku lalu menyembelih keduanya.
Ali
berkata: Aku pun mendatangi Rasulullah ﷺ yang
berada di rumah Ummu Salamah bersama Zaid, maulanya.
Beliau
bertanya: Apa yang membuatmu datang, wahai Ali, ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu?
Aku
berkata: “Apa yang dilakukan pamanmu terhadap kedua untaku?”.
Lalu
aku ceritakan peristiwanya. Maka Rasulullah ﷺ berdiri,
mengenakan sandal dan rida’ beliau, kemudian berjalan, aku dan Zaid
mengikutinya. Beliau memberi salam, meminta izin lalu masuk ke rumah itu, dan
bersabda:
Wahai
Hamzah, apa yang membuatmu melakukan hal itu terhadap unta-unta anak saudaramu?
Maka
ia mengangkat kepalanya dan memandang kepada tangan Rasulullah ﷺ lalu ke betis beliau, kemudian menunduk memandang lagi, lalu
berkata:
Bukankah
kalian dan bapak-bapak kalian hanyalah budak ayahku?
Maka
Rasulullah ﷺ pun mundur ke belakang seraya bersabda: “Sesungguhnya
kambing dan untamu itu menjadi tanggunganku”.
Maka
Rasulullah ﷺ menggantikan untukku keduanya.
Ketika
pagi tiba, Hamzah datang kepada Rasulullah ﷺ untuk
meminta maaf. Maka beliau bersabda:
“Sudahlah
wahai paman, aku telah memohon ampun kepada Allah untukmu dan Allah telah
memaafkanmu”.
Mereka
berkata :
قالوا: وَاتَّخَذَ عُتْبانُ
بْنُ مالِكٍ طَعامًا فَدَعا رِجالًا مِنَ المُسْلِمِينَ فِيهِم سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقّاصٍ
وَكانَ قَدْ شَوى لَهُم رَأْسَ بَعِيرٍ، فَأَكَلُوا وَشَرِبُوا الخَمْرَ حَتّى أَخَذَتْ
مِنْهُم، ثُمَّ إِنَّهُمُ افْتَخَرُوا عِنْدَ عُتْبانَ وَانْتَسَبُوا وَتَناشَدُوا
الأَشْعارَ، فَأَنْشَدَ سَعْدٌ قَصيدَةً فِيها هِجاءُ الأَنْصارِ وَفَخْرٌ لِقَوْمِهِ،
فَقامَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصارِ وَأَخَذَ لَحْيَيِ البَعِيرِ فَضَرَبَ بِهِ رَأْسَ سَعْدٍ
فَشَجَّهُ شَجَّةً، فَانْطَلَقَ سَعْدٌ إِلى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَشَكا إِلَيْهِ الأَنْصارِيَّ
فَقالَ عُمَرُ (رَضِيَ اللهُ عَنْهُ): اللّهُمَّ بَيِّنْ لَنا رَأْيَكَ فِي الخَمْرِ
بَيانًا وافِيًا، فَأَنْزَلَ اللهُ تَحْرِيمَ الخَمْرِ فِي سُورَةِ المائِدَةِ: ﴿يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ﴾ إلى قوله: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾،
وَذلِكَ بَعْدَ غَزْوَةِ الأَحْزابِ بِأَيّامٍ، فَقالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنا يا رَبِّ.
Bahwa
Itban bin Malik membuat makanan dan mengundang sekelompok kaum Muslimin, di
antara mereka ada Sa’d bin Abi Waqqash. Ia telah memanggang kepala unta untuk
mereka, lalu mereka makan dan minum khamar hingga mereka dipengaruhi olehnya.
Kemudian mereka saling berbangga di sisi Itban, menyebutkan nasab dan saling
melantunkan syair.
Sa’d
membacakan sebuah qasidah yang berisi ejekan terhadap kaum Anshar dan
kebanggaan untuk kaumnya. Maka seorang laki-laki Anshar berdiri lalu mengambil
rahang unta dan memukulkannya ke kepala Sa’d hingga terluka.
Maka
Sa’d mendatangi Rasulullah ﷺ dan mengadukan
perbuatan orang Anshar itu.
Lalu
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ya
Allah, jelaskanlah kepada kami hukum-Mu tentang khamar dengan penjelasan yang
sempurna. Maka Allah menurunkan pengharaman khamar dalam surat Al-Maidah ayat:
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar dan judi… hingga firman-Nya: Maka
apakah kalian akan berhenti?” (Q.S. Al-Maidah: 90–91).
Itu
terjadi beberapa hari setelah perang Ahzab. Maka Umar berkata: Kami berhenti
wahai Rabb.
Anas
bin Malik berkata:
حُرِّمَتْ وَلَمْ يَكُنْ
يَوْمَئِذٍ لِلْعَرَبِ عَيْشٌ أَعْجَبُ مِنها إِلَيْهِمْ يَوْمَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِم،
وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَثْقَلَ عَلَيْهِمْ مِن تَحْرِيمِها
Khamar
diharamkan, padahal saat itu tidak ada sesuatu pun dari kehidupan Arab yang
lebih mereka sukai melebihi khamar ketika diharamkan. Dan tidak ada sesuatu
yang lebih berat atas mereka dibandingkan pengharamannya.
Ia
berkata:
فَأَخْرَجْنا الحِبابَ إِلى
الطَّريقِ فَصَبَبْنا ما فِيهِ، فَمِنّا مَنْ كَسَرَ حَبَّهُ، وَمِنّا مَنْ غَسَلَهُ
بِالماءِ وَالطِّينِ، وَلَقَدْ غَدَتْ أَزِقَّةُ المَدِينَةِ بَعْدَ ذاكَ الحِينِ كُلَّما
مَطَرَتِ اسْتُبِينَ بِها لَوْنُ الخَمْرِ وَفاحَتْ رِيحُها.
Maka
kami keluarkan bejana-bejana khamar ke jalan lalu kami tumpahkan isinya. Ada di
antara kami yang memecahkan bejananya, ada pula yang membasuhnya dengan air dan
tanah. Sungguh lorong-lorong Madinah setelah saat itu, setiap kali turun hujan,
masih tampak warna khamar dan tercium baunya.
[Lihat : Tafsir
ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya
Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul
Bari 6/200]
===***===
FAIDAH DARI HADITS KISAH UNTA ALI
****
FAIDAH
PERTAMA :
PENTINGNYA TAHAPAN DALAM BERDAKWAH DAN MEMAHAMI KONDISI MEDAN DAKWAH
===
KASIH SAYANG ALLAH DENGAN BERTAHAP DALAM MENGHARAMKAN YANG DIHARAMKAN
Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Kehendak,
memberikan pelajaran dan hikmah yang perlu oleh para da’i dalam menyampaikan
syari’at-Nya.
Diantaranya dengan menerapkan konsep tahapan
serta memperhatikan medan dakwah serta kondisi dan keadaan umat.
Dan diantara hikmah
dari penerapan bertahap dalam syariat adalah untuk memberikan kemudahan bagi
manusia. Agama Islam memperhatikan sunnatullah dalam hal bertahap ketika menetapkan
hukum bagi manusia, baik dalam bentuk kewajiban maupun larangan. Maka ketika
mewajibkan ibadah, syariat menetapkannya secara bertahap, begitu pula ketika
mengharamkan hal-hal yang haram, dilakukan juga secara bertahap.
Allah ta'ala
berkehendak agar menurunkan syariat-Nya secara bertahap menjadi suatu sunnah
yang jelas dalam sirah Nabi ﷺ dan syariatnya. Oleh sebab itu Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur. Allah ta'ala berfirman:
﴿وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ
لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلًا﴾
"Dan Al-Qur’an
itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar engkau membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian"
(Al-Isra: 106).
Ibnu Katsir
berkata:
نَزَلَ مُفرقًا مُنَجَّمًا عَلَى الْوَقَائِعِ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً. قَالَهُ عِكْرِمَةُ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ
"Al-Qur’an diturunkan secara terpisah,
berangsur-angsur sesuai kejadian kepada Rasulullah ﷺ dalam
dua puluh tiga tahun. Demikian dikatakan Ikrimah dari Ibnu Abbas." [Tafsir
Ibnu Katsir 5/127 Tahqiq Sami as-Salamah - Cet. Dar Taibah]
Syekh Qaradhawi
berkata tentang pentingnya memperhatikan sunnah bertahap:
(وَهٰذِهِ السُّنَّةُ
الإِلٰهِيَّةُ فِي رِعَايَةِ التَّدَرُّجِ، يَنْبَغِي أَنْ تُتَّبَعَ فِي سِيَاسَةِ
النَّاسِ، وَعِنْدَمَا يُرَادُ تَطْبِيقُ نِظَامِ الإِسْلَامِ فِي الْحَيَاةِ، وَاسْتِئْنَافُ
حَيَاةٍ إِسْلَامِيَّةٍ مُتَكَامِلَةٍ، فَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُقِيمَ "مُجْتَمَعًا
إِسْلَامِيًّا حَقِيقِيًّا"، فَلَا نَتَوَهَّمْ أَنَّ ذٰلِكَ يَتَحَقَّقُ بِجَرَّةِ
قَلَمٍ، أَوْ بِقَرَارٍ يَصْدُرُ مِنْ مَلِكٍ أَوْ رَئِيسٍ، أَوْ مَجْلِسِ قِيَادَةٍ
أَوْ بَرْلَمَانَ؛ إِنَّمَا يَتَحَقَّقُ ذٰلِكَ بِطَرِيقَةِ التَّدَرُّجِ؛ أَيْ بِالإِعْدَادِ
وَالتَّهْيِئَةِ الْفِكْرِيَّةِ وَالنَّفْسِيَّةِ، وَالأَخْلَاقِيَّةِ وَالاِجْتِمَاعِيَّةِ،
وَهُوَ نَفْسُ الْمَنْهَجِ الَّذِي سَلَكَهُ النَّبِيُّ ﷺ لِتَغْيِيرِ الْحَيَاةِ الْجَاهِلِيَّةِ
إِلَى حَيَاةٍ إِسْلَامِيَّةٍ...)
“Dan sunnah ilahiah
dalam memperhatikan tahapan ini harus diikuti dalam mengatur urusan manusia,
juga ketika hendak menerapkan sistem Islam dalam kehidupan dan memulai kembali
kehidupan Islam yang menyeluruh. Jika kita ingin mendirikan ‘masyarakat Islam
yang sejati’, jangan kita berangan-angan bahwa hal itu dapat terwujud dengan
sekali gores pena, atau dengan keputusan yang dikeluarkan oleh seorang raja
atau presiden, atau dewan pimpinan atau parlemen. Hal itu hanya bisa terwujud
dengan cara bertahap; yaitu dengan persiapan dan pembinaan pemikiran, jiwa,
akhlak, serta masyarakat. Inilah metode yang ditempuh Rasulullah ﷺ dalam
mengubah kehidupan jahiliah menjadi kehidupan Islam...”
[Dari kitab
*Al-Khashaish Al-‘Ammah lil Islam*, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Maktabah Wahbah,
cetakan kelima 1999, halaman 167].
Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa sifat bertahap adalah salah satu ciri terpenting dalam
dakwah dan pensyariatan. Jika kita ingin membimbing manusia untuk mengenal
Allah dan mentauhidkan-Nya, maka kita harus memulai dengan dalil-dalil akal
untuk menetapkan tauhid, yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah
di alam semesta dan pada diri manusia, kemudian dengan memperhatikan ayat-ayat
Al-Qur’an, merenungi kemukjizatan, kebesaran, dan hikmahnya.
Setelah iman kepada
Allah bersemayam di hati, barulah masuk tahap berikutnya, yaitu menyiapkan jiwa
untuk menerima hukum. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan hukum, memberi tahu
manusia, dan menyampaikannya sedikit demi sedikit. Kita menerima dari mereka
hal yang sederhana terlebih dahulu, lalu membawa mereka naik bertahap sedikit
demi sedikit menuju kesempurnaan, hingga mereka dapat mengamalkan seluruh
ajaran Islam. Kita tidak boleh memilih sebagian yang sesuai dengan selera kita
lalu meninggalkan yang lainnya. Islam itu satu kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan, hanya saja ia melalui tahapan, langkah-langkah, dan
prioritas.
Seorang da’i yang
bijak pasti memperhatikan sunnah bertahap dalam dakwahnya, serta mampu
menerapkannya dengan baik sesuai pemahamannya terhadap realitas, tabiat
sesuatu, dan hakikat agama.
Dari kitab:
*Khashishah at-Tadarruj fi ad-Da‘wah ila Allah (Fiqh at-Tadarruj)*.
===***===
TAHUN PENGHARAMAN KHOMR (MINUMAN KERAS):
Islam bertahap
dalam pengharaman khamr, hingga akhirnya diharamkan secara total di Madinah
pada tahun delapan hijriah saat penaklukan kota Makkah [Islamqa no. 239223].
Itban
bin Malik – rdhiyallahu ‘anhu- berkata :
أَنْزَلَ اللهُ تَحْرِيمَ
الخَمْرِ فِي سُورَةِ المائِدَةِ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ﴾ إلى قوله: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾، وَذلِكَ بَعْدَ غَزْوَةِ
الأَحْزابِ بِأَيّامٍ، فَقالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنا يا رَبِّ.
Allah
menurunkan pengharaman khamar dalam surat Al-Maidah ayat:
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar dan judi… hingga firman-Nya: Maka
apakah kalian akan berhenti?” (Q.S. Al-Maidah: 90–91).
Itu
terjadi beberapa hari setelah perang Ahzab. Maka Umar berkata: Kami berhenti
wahai Rabb”.
[Lihat : Tafsir
ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya
Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul
Bari 6/200. Sementara Perang Ahzab terjadi pada bulan Syawwal tahun 5 Hijriah].
Namun Dalam riwayat
Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah disebutkan bahwa khamar diharamkan pada saat
Rasulullah ﷺ mengepung Bani Nadhir . (lihat Sirah Ibnu Hisyam 3/211).
Dan Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata:
فَإِنَّ الْخَمْرَ حُرِّمَتْ سَنَةَ
ثَلَاثٍ بَعْدَ أُحُدٍ بِاتِّفَاقِ النَّاسِ
"Sesungguhnya
khamr diharamkan pada tahun ketiga setelah perang Uhud menurut kesepakatan
ulama." [Majmu’ al-Fatawa 14/117]
Dan Al-Qurthubi
berkata dalam kitab "Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an" 6/214:
وَكَانَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ سَنَةَ ثَلَاثٍ
بَعْدَ وَقْعَةِ أُحُدٍ
"Pengharaman
khamr terjadi pada tahun ketiga setelah perang Uhud."
Al-Hafizh berkata
dalam Fath al-Bari:
ذَكَرَ ابنُ إِسْحَاقَ أَنَّ تَحْرِيمَ
الخَمْرِ كَانَ فِي وَاقِعَةِ بَنِي النَّضِيرِ، وَهِيَ بَعْدَ وَقْعَةِ أُحُدٍ، وَذَلِكَ
سَنَةَ أَرْبَعٍ عَلَى الرَّاجِحِ، وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ أَنَسَ بنَ مَالِكٍ -رضي
اللَّه عنه- كَانَ السَّاقِيَ يَوْمَ حُرِّمَتْ، وَأَنَّهُ لَمَّا سَمِعَ المُنَاديَ
بِتَحْرِيمِهَا بَادَرَ فَأَرَاقَهَا، فَلَوْ كَانَ ذَلِكَ سَنَةَ أَرْبَعٍ لَكَانَ
أَنَسٌ يَصْغُرُ عَنْ ذَلِكَ، وَالذِي يَظْهَرُ أَنَّ تَحْرِيمَهَا كَانَ عَامَ الفَتْحِ
سَنَةَ ثَمَانٍ.
لِمَا رَوَى الإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
وَالإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ -وَاللَّفْظُ لِأَحْمَدَ- مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بنِ وَعْلة قَالَ: سَأَلْتُ ابنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
بَيْعِ الخَمْرِ، فَقَالَ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ صَدِيقٌ مِنْ ثَقِيفٍ، أَوْ مِنْ
دَوْسٍ، فَلَقِيَهُ بِمَكَّةَ عَامَ الفَتْحِ بِرَاوِيَةِ خَمْرٍ يُهْدِيهَا إِلَيْهِ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَا أبَا فُلَانٍ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ
حَرَّمَهَا؟ "، فَأَقبُلَ الرَّجُلُ عَلَى غُلَامِهِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَبِعْهَا،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَا أَبَا فُلَانٍ، بِمَاذَا أَمَرْتهُ؟ " قَالَ:
أَمَرتُهُ أَنْ يَبِيعَهَا، فَقَالَ ﷺ: "إِنَّ الذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ
بَيْعَهَا"، فَأَمَرَ بِهَا فَأُفْرِغَتْ فِي البَطْحَاءِ.
وَرَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ وَأَبُو يَعْلَى
بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ مِنْ حَدِيثِ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يُهْدِي لِرَسُولِ
اللَّهِ ﷺ كُلَّ عَامٍ رَاوِيَةَ خَمْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عَامَ حُرِّمَتْ جَاءَ بِرَاوِيَةٍ
فَقَالَ له رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "هَلْ شَعَرْتَ أَنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ بَعْدَكَ؟
"
فَقَالَ تَمِيمٌ: أَفَلَا أَبِيعُهَا
وَأَنْتَفِعُ بِثَمَنِهَا؟ فنَهَاهُ.
فيسْتَفَادُ مِنْ حَدِيثِ تَمِيمٍ تَأْيِيدُ
الوَقْتِ المَذْكُورِ -وَهُوَ العَامُ الثَّامِنُ الهِجْرِيُّ- فَإِنَّ إِسْلَامَ تَمِيمٍ
كَانَ بَعْدَ الفَتْحِ.
Ibnu Ishaq
menyebutkan bahwa pengharaman khamar terjadi pada peristiwa Bani Nadhir, yaitu
setelah Perang Uhud, dan itu pada tahun keempat menurut pendapat yang kuat.
Namun hal itu masih perlu ditinjau, karena Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu
adalah pelayan minum pada hari khamar diharamkan. Ketika ia mendengar penyeru
mengumumkan pengharamannya, ia segera menumpahkannya. Jika hal itu terjadi pada
tahun keempat, maka usia Anas saat itu terlalu kecil. Yang tampak jelas adalah
bahwa pengharamannya terjadi pada tahun Fathu Makkah, yaitu tahun kedelapan.
Hal ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(lafazhnya dari Ahmad), melalui jalur Abdurrahman bin Wa’lah, ia berkata: Aku
bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang jual beli khamar. Ia
berkata: Rasulullah ﷺ mempunyai seorang sahabat dari kabilah Tsaqif atau dari kabilah
Daus. Ia menemuinya di Makkah pada tahun Fathu Makkah dengan membawa sebuah
wadah besar berisi khamar untuk dihadiahkan kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ
bersabda: “Wahai Abu Fulan, tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah
mengharamkannya?” Lalu orang itu menoleh kepada pembantunya dan berkata:
“Pergilah, juallah ini.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Abu Fulan,
apa yang engkau perintahkan kepadanya?” Ia menjawab: “Aku memerintahkannya
untuk menjualnya.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan meminumnya juga
mengharamkan menjualnya.” Maka beliau memerintahkan agar wadah itu ditumpahkan
di tanah lapang.
(Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Musaqat, Bab Pengharaman Jual Beli Khamar,
hadis nomor 1579. Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis
nomor 2041).
Al-Rawiyah: wadah
air besar. Lihat Lisan al-Arab 5/380.
Imam Ahmad dan Abu
Ya’la meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari hadis Tamim ad-Dari radhiyallahu
'anhu bahwa ia dahulu setiap tahun menghadiahkan kepada Rasulullah ﷺ sebuah
wadah besar berisi khamar. Ketika datang tahun saat khamar diharamkan, ia
datang membawa sebuah wadah, lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah
engkau tahu bahwa setelahmu khamar telah diharamkan?” Maka Tamim berkata:
“Apakah tidak boleh aku menjualnya dan mengambil manfaat dari harganya?” Beliau
pun melarangnya.
(Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 17995. Dan disebutkan oleh Al-Hafizh
dalam Fath al-Bari 9/162, dan beliau diam terhadapnya).
Dari hadis Tamim
ini dapat dipahami adanya penguat bahwa waktu yang disebutkan —yaitu tahun
kedelapan hijriah— adalah benar, karena keislaman Tamim terjadi setelah Fathu
Makkah”. (Lihat : Fath al-Bari 9/161 dan 11/150).
===***===
MENGAPA
DALAM PENGHARAMAN KHAMR JUGA DILAKUKAN SECARA BERTAHAP?
MENGAPA
SYARIAT TIDAK MENGHARAMKANNYA SEKALIGUS?
Jawaban-nya :
Karena minum khamr
pada masa jahiliah sudah menjadi kebiasaan yang mengakar pada bangsa Arab, dan
sulit bagi mereka meninggalkannya, maka hukum-hukum tentang khamr diturunkan
secara bertahap, mulai dari celaan terhadapnya, peringatan darinya, hingga
akhirnya pengharaman yang tegas dan final.
Al-Qurthubi
rahimahullah ta'ala berkata:
«تَحْرِيمُ الْخَمْرِ
كَانَ بِتَدْرِيجٍ وَنَوَازِلَ كَثِيرَةٍ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا مُولَعِينَ بِشُرْبِهَا،
وَأَوَّلُ مَا نَزَلَ فِي شأنها ﴿يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ
فِيهِما إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنافِعُ لِلنَّاسِ﴾ [البقرة: 219] أَيْ فِي تِجَارَتِهِمْ،
فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ تَرَكَهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا: لَا حَاجَةَ
لَنَا فِيمَا فِيهِ إِثْمٌ كَبِيرٌ، وَلَمْ يَتْرُكْهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا:
نَأْخُذُ مَنْفَعَتَهَا وَنَتْرُكُ إِثْمَهَا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ : ﴿لَا تَقْرَبُوا
الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى﴾ [النساء: 43] فَتَرَكَهَا بَعْضُ النَّاسِ وَقَالُوا:
لَا حَاجَةَ لَنَا فِيمَا يَشْغَلُنَا عَنِ الصَّلَاةِ، وَشَرِبَهَا بَعْضُ النَّاسِ
فِي غَيْرِ أَوْقَاتِ الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ﴾ الْآيَةَ -
فَصَارَتْ حَرَامًا عَلَيْهِمْ حَتَّى صَارَ يَقُولُ بَعْضُهُمْ: مَا حَرَّمَ اللَّهُ
شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ الْخَمْرِ».
“Pengharaman khamr
ditetapkan secara bertahap dengan beberapa peristiwa, karena mereka begitu
gemar meminumnya. Tahap pertama, yang turun terkait khamr adalah firman Allah
Ta'ala:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada
manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219).
Yakni manfaat dari
sisi perdagangan. Maka ketika ayat ini turun, sebagian orang meninggalkan khamr
dan berkata: Kami tidak butuh sesuatu yang di dalamnya ada dosa besar. Namun
sebagian yang lain tetap meminumnya seraya berkata: Kami ambil manfaatnya dan
tinggalkan dosanya. Lalu turun ayat:
“Janganlah kalian
mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisā’: 43).
Maka sebagian orang
meninggalkan khamr seraya berkata: Kami tidak butuh sesuatu yang membuat kami
lalai dari shalat. Namun sebagian yang lain tetap meminumnya di luar waktu
shalat, hingga turun ayat:
“Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian
beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kalian lantaran khamr dan judi, serta menghalangi kalian dari mengingat
Allah dan shalat. Maka tidakkah kalian mau berhenti?” (Al-Māidah: 90–91).
Sejak saat itu
khamr menjadi haram bagi mereka, sampai-sampai ada yang berkata: Tidak ada
sesuatu yang Allah haramkan lebih berat daripada khamr.” (Tafsir al-Qurthubi,
6/286).
Dan dengan ini
jelas bahwa kewajiban syariat tidak datang kecuali setelah hati dipenuhi oleh
iman, dan kekuasaan iman menjadi lebih kuat daripada kekuasaan hawa nafsu. Hal
itu melalui tahapan panjang. Tahap pertama adalah menanamkan iman kepada Allah
di dalam hati, ini adalah awal jalan, kemudian meningkat sedikit demi sedikit
dalam perjalanan para salik menuju tingkatan tertinggi orang-orang yang
berjalan dan derajat orang-orang yang bertakwa.
Islam datang pada
masa ketika manusia meminum khamr, dan khamr memiliki pengaruh kuat atas akal
mereka. Mereka telah terbiasa dan kecanduan. Maka Islam tidak masuk dengan
benturan langsung, melainkan dengan memperhatikan keadaan mereka dan kecintaan
mereka terhadap khamr. Islam membawa mereka secara bertahap, dan menyiapkan
jiwa mereka sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya.
Tentang hal ini,
Imam Al-Jasshas berkata dalam tafsir ayat:
(وَلَم يَختَلِف
أَهلُ النَّقلِ في أَنَّ الخَمرَ قَد كانَت مُباحَةً في أَوَّلِ الإِسلامِ، وَأَنَّ
المُسلِمينَ قَد كانوا يَشرَبونَها بِالمَدينَةِ، وَيَتَبايَعونَ بِها، مَعَ عِلمِ
النَّبِيِّ ﷺ بِذَلِكَ، وَإِقرَارِهِم عَلَيها، إِلى أَن حَرَّمَها اللهُ تَعالى:
﴿إِنَّمَا الخَمرُ وَالمَيسِرُ...﴾، وَقَد كانَت مُحَرَّمَةً قَبلَ ذَلِكَ في بَعضِ
الأَحوَالِ، وَهِي أَوقاتُ الصَّلاةِ، بِقَولِهِ تَعالى: ﴿وَلَا تَقرَبوا﴾، وَأَنَّ
بَعضَ مَنافِعِها قَد كانَ مُباحًا، وَبَعضَها مَحظورًا بِقَولِهِ تَعالى: ﴿قُل فيهِما
إِثمٌ كَبيرٌ﴾ إِلى أَن تَمَّ تَحرِيمُها بِقَولِهِ تَعالى: ﴿فَاجتَنِبوهُ﴾)
(Tidak ada
perbedaan di kalangan ahli riwayat bahwa khamr pada awal Islam adalah mubah, dan
kaum Muslimin meminumnya di Madinah serta memperjualbelikannya, dengan
sepengetahuan Rasulullah ﷺ dan persetujuannya, hingga Allah mengharamkannya. Sebelumnya
khamr telah diharamkan dalam keadaan tertentu, yaitu pada waktu shalat. Dan
sebagian manfaatnya halal, sebagian lagi haram, hingga akhirnya diharamkan
dengan firman-Nya: jauhilah). [Baca: Ahkamul Qur’an, karya Al-Jashshas, Darul
Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cetakan 1/1994, Juz 1, Halaman 392]
Marilah kita
renungkan perkataan Imam Al-Jasshas ketika menegaskan bahwa khamr mubah pada
awal Islam, dan Islam datang sementara manusia sudah kecanduan khamr. Maka
tampaklah hikmah agama ini dalam memilih prioritas, menentukan titik awal, dan
menyusun rencana pengobatan.
Pengobatan dimulai
dari dalam jiwa. Pada awalnya tidak berbicara tentang pengharaman khamr, dan
tidak menjadikannya sebagai isu yang layak dibahas pada tahap awal dakwah.
Perhatian diarahkan kepada pembenahan akidah, seruan untuk mentauhidkan Allah
dan mengagungkan-Nya. Ketika kecintaan kepada Allah menjadi perkara terbesar,
maka persoalan khamr menjadi kecil dan melemah. Ketika Allah memerintahkan
untuk mengharamkannya secara bertahap, maka mereka pun menyambut perintah itu,
dan meninggalkan khamr. Bahkan mereka membencinya, membenci minumnya, peminumnya,
penjualnya, pembuatnya, peraciknya, hasil keuntungannya, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya.
====
BAHAYA KHAMR DAN PERLUNYA TAHAPAN REHABILTIASI PECANDUNYA :
Sesungguhnya
syariat yang penuh hikmah itu lebih mengetahui tabiat dan karakter sesuatu. Di
antara sifat khas khamr adalah pengaruhnya terhadap akal.
Dikatakan :
وَقَدْ سُمِّيَتْ
خَمْرًا لِمُخَامَرَتِهَا الْعَقْلَ
“Khamr
disebut demikian karena menutupi akal”.
(Mukhtār al-Shihāh, hlm. 166, Maktabah Lubnān, 1989).
Khamr memiliki
kendali atas akal, sehingga sangat sulit bagi peminumnya—lebih-lebih
pecandunya—untuk meninggalkannya sekaligus.
Karena itu, harus
ada tahapan untuk mempersiapkan jiwa agar dapat menerima hukum. Oleh sebab itu,
pengharaman khamr berlangsung melalui beberapa tahap sebagaimana disebutkan
para mufassir.
Namun, saya memilih
apa yang disebutkan oleh al-Qurthubi rahimahullah ta'ala sebagaimana yang telah
disebutkan diatas dalam tafsir firman Allah Ta'ala:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian
beruntung.” (QS. Al-Māidah: 90).
Proses Tahapan pengharaman khamar:
Pada tahun
kedelapan hijriah khamar diharamkan secara final. Dalam riwayat Ibnu Ishaq
dalam kitab Sirah disebutkan bahwa khamar diharamkan pada saat Rasulullah ﷺ
mengepung Bani Nadhir (lihat Sirah Ibnu Hisyam 3/211).
===***===
PENGHARAMAN KHAMAR BERLANGSUNG MELALUI EMPAT TAHAP:
****
TAHAPAN PERTAMA:
Tahap memberi
isyarat arah ketika Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nahl:
﴿وَمِن ثَمَرَاتِ
النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا﴾
“Dan dari buah
kurma dan anggur kamu membuat darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang
baik.” (Surah An-Nahl ayat 67).
Ayat ini menjadi
yang pertama mengetuk kesadaran kaum muslimin dengan menempatkan minuman
memabukkan (yaitu khamar) berlawanan dengan rezeki yang baik, seolah-olah ia
adalah sesuatu, sedangkan rezeki yang baik adalah sesuatu yang lain.
TAHAPAN
KEDUA:
Tahap menggugah
kesadaran keagamaan melalui logika syariat dalam jiwa kaum muslimin, ketika
turun ayat dalam Surah Al-Baqarah:
﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا﴾
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
daripada manfaatnya.” (Surah Al-Baqarah ayat 219).
Di dalamnya
terdapat isyarat bahwa meninggalkannya lebih utama, karena dosanya lebih besar
daripada manfaatnya.
====
TAHAPAN KETIGA:
Tahap memutus
kebiasaan minum khamar dan menimbulkan pertentangan antara khamar dengan
kewajiban salat, ketika turun ayat dalam Surah An-Nisa:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴾
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam
keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.” (Surah
An-Nisa ayat 43).
Salat itu ada lima
waktu yang sebagian besar berdekatan, sedangkan jarak antar waktu salat tidak
cukup untuk mabuk kemudian sadar kembali.
Sebab turunnya
ayat:
Sebab turunnya
firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk,” adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan At-Thahawi dalam Syarh Musykil
al-Atsar dengan sanad sahih dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ia
berkata:
صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ
عَوْفٍ -رضي اللَّه عنه- طَعَامًا، فَدَعَانَا فَأَكَلْنَا، وَسَقَانَا مِنَ الخَمْرِ،
فَأَخَذَتْ فِينَا، وَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ، فَقَدَّمُونِي [في رواية أخرى عند الطحاوي:
فقدموا عليًا في صلاة المغرب]، فَقَرَأْتُ: (قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ. وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ)، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ. . .﴾
Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu 'anhu membuat makanan untuk kami, lalu ia mengundang kami. Kami
pun makan dan diberi minum khamar hingga memengaruhi kami, kemudian waktu salat
pun tiba. Mereka pun memajukanku (dalam riwayat lain dari At-Thahawi: mereka
memajukan Ali untuk mengimami salat Maghrib), lalu aku membaca:
“Katakanlah:
wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan
kami menyembah apa yang kalian sembah.”
Maka Allah ‘Azza wa
Jalla menurunkan firman-Nya:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam
keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan...”.
(Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dalam Jami’-nya, Kitab Tafsir, Bab Surah An-Nisa, hadis nomor 3275;
Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab Asy-Syarb, Bab Pengharaman Khamar, hadis nomor
3275; dan At-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, hadis nomor 4776–4777).
Umar bin Khattab
radhiyallahu 'anhu berkata sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thahawi dalam Syarh
Musykil al-Atsar dengan sanad sahih:
سَمِعْتُ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
يُنَادِي: "إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانٌ"
Aku mendengar
penyeru Rasulullah ﷺ berseru: “Apabila salat telah didirikan, maka janganlah orang
mabuk mendekati salat.” (Diriwayatkan oleh At-Thahawi dalam Syarh Musykil
al-Atsar, hadis nomor 1494).
====
TAHAPAN KEEMPAT DAN TERAKHIR:
Kemudian datanglah
tahap keempat yang bersifat tegas dan terakhir, di mana jiwa kaum muslimin
sudah benar-benar siap menerimanya. Maka yang tersisa hanyalah larangan, yang
langsung diikuti oleh ketaatan dan kepatuhan tanpa ragu. Maka turunlah firman
Allah Ta’ala:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian dengan anak panah
adalah najis termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung.”
(Surah Al-Maidah ayat 90, lihat juga Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthb
rahimahullah ta’ala 2/974).
Imam Ahmad
meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad hasan melalui penguat, dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
حُرِّمَتِ الخَمْرُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ المَدِينَةَ وَهُمْ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، وَيَأْكُلُونَ
المَيْسِرَ، فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ
ﷺ: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ﴾
فَقَالَ النَّاسُ: مَا حُرِّمَ عَلَيْنَا،
إِنَّمَا قَالَ: ﴿فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ﴾ وَكَانُوا يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، حَتَّى
إِذَا كَانَ يَوْمٌ مِنَ الأَيَّامِ، صَلَّى رَجُلٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ، أَمَّ أَصْحَابَهُ
فِي المَغْرِبِ، خَلَطَ فِي قِرَاءَتِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهَا آيَةً أَغْلَظَ
مِنْهَا: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴾ [سورة النساء آية (٤٣)]، فَكَانَ النَّاسُ يَشْرَبُونَ
حَتَّى يَأْتِيَ أَحَدُهُمُ الصَّلَاةَ وَهُوَ مُفِيقٌ.
ثُمَّ نَزَلَتْ آيَةٌ أَغْلَظُ مِنْ ذَلِكَ:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [سورة المائدة
آية (٩٠)]، فَقَالُوا: انْتَهَيْنَا رَبَّنَا
Khamar diharamkan
sebanyak tiga kali. Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, sementara
mereka minum khamar dan makan dari hasil judi. Mereka bertanya kepada
Rasulullah ﷺ tentang hal itu, maka Allah menurunkan kepada Nabi-Nya ﷺ
firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.” (Surah
Al-Baqarah ayat 219).
Maka orang-orang
berkata: “Khamar belum diharamkan atas kita. Hanya disebutkan: ‘Pada keduanya
terdapat dosa besar’.” Mereka pun tetap meminumnya. Hingga pada suatu hari,
seorang dari kalangan Muhajirin mengimami salat Maghrib bersama
sahabat-sahabatnya, lalu ia mencampuradukkan bacaannya. Maka Allah menurunkan
ayat yang lebih keras dari sebelumnya: “Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendekati salat sedang kalian mabuk hingga kalian mengetahui
apa yang kalian ucapkan.” (Surah An-Nisa ayat 43). Maka orang-orang tetap
minum, tetapi mereka pastikan bahwa ketika masuk waktu salat, mereka dalam
keadaan sadar.
Kemudian turunlah
ayat yang lebih keras lagi: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
khamar, judi, berhala, dan undian dengan anak panah adalah najis termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung.” (Surah Al-Maidah ayat
90). Maka mereka pun berkata: “Kami berhenti, wahai Rabb kami.” (Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 8620).
Al-Hafizh Ibnu
Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1/579):
أَمَّا إِثْمُهُمَا فَهُوَ فِي الدِّينِ،
وَأَمَّا المَنَافِعُ فَدُنْيَوِيَّةٌ، مِنْ حَيْثُ إِنَّ فِيهَا نَفْعَ البَدَنِ،
وَتَهْضِيمَ الطَّعَامِ، وَإِخْرَاجَ الفَضَلَاتِ، وَتَشْحِيذَ -أَيْ تَحْرِيكَ- بَعْضِ
الأَذْهَانِ، وَلَذَّةَ الشِّدَّةِ المُطْرِبَةِ الَّتِي فِيهَا، وَكَذَا بَيْعُهَا
وَالِانتِفَاعُ بِثَمَنِهَا، وَمَا كَانَ يُقَمِّشُهُ -أَيْ يَجْمَعُهُ- بَعْضُهُمْ
مِنَ المَيْسِرِ فَيُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عِيَالِهِ، وَلَكِنْ هَذِهِ المَصَالِحُ
لَا تُوَازِي مَضَرَّتَهُ وَمَفْسَدَتَهُ الرَّاجِحَةَ؛ لِتَعَلُّقِهَا بِالعَقْلِ
وَالدِّينِ.
“Adapun dosa
keduanya adalah dalam agama, sedangkan manfaatnya bersifat duniawi; berupa
manfaat bagi tubuh, membantu pencernaan makanan, melancarkan pembuangan
kotoran, menggerakkan sebagian akal, serta kenikmatan dari rasa mabuk yang
memabukkan di dalamnya. Demikian pula hasil dari penjualannya dan pemanfaatan
harganya, serta apa yang dikumpulkan sebagian orang dari hasil judi lalu
dibelanjakan untuk dirinya atau keluarganya. Namun semua kemaslahatan itu tidak
sebanding dengan kerusakan dan mudarat besar yang ditimbulkannya, karena
berkaitan dengan akal dan agama”.
Sebab Turunnya
Ayat:
Disebutkan dalam
sebab turunnya ayat tentang pengharaman khamr secara total, sebagaimana
diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya dari Sa’d bin Abi Waqqash
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الأَنْصَارِ
وَالمُهَاجِرِينَ، فَقَالُوا: تَعَالَ نُطْعِمْكَ وَنَسْقِيكَ خَمْرًا، وَذَلِكَ قَبْلَ
أَنْ تُحَرَّمَ الخَمْرُ، قَالَ: فَأَتَيْتُهُمْ فِي حَشٍّ (1) فَإِذَا رَأْسُ جَزُورٍ
(2) مَشْوِيٌّ عِنْدَهُمْ، وَزِقٌّ (3) مِنْ خَمْرٍ، قَالَ: فَأَكَلْتُ وَشَرِبْتُ
مَعَهُمْ، قَالَ: فَذُكِرَتِ الأَنْصَارُ وَالمُهَاجِرُونَ عِنْدَهُمْ، فَقُلْتُ: المَهُاجِرُونَ
خَيْر مِنَ الأَنْصَارِ، قَالَ: فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَحَدَ لَحْيَيِ (4) الرَّأْسِ
فَضَرَبَنِي بِهِ فَجَرَحَ بِأَنْفِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَخْبَرتُهُ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيَّ -يَعْنِي نَفْسَهُ- شَأْنَ الخَمْرِ: ﴿يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ﴾
“… Aku
mendatangi sekelompok orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Mereka berkata:
‘Mari, kami beri engkau makan dan kami beri minum khamr.’ Hal itu terjadi
sebelum khamr diharamkan. Ia berkata: Aku pun mendatangi mereka di sebuah *hasy*
(1). Ternyata ada kepala unta (2) yang sedang dipanggang di hadapan mereka, dan
ada sebuah wadah (*ziqq*) (3) berisi khamr.
Ia berkata: Maka
aku makan dan minum bersama mereka. Lalu disebutkanlah perihal Anshar dan
Muhajirin di hadapan mereka, maka aku berkata: ‘Muhajirin lebih baik daripada
Anshar.’ Lalu ada seorang dari mereka mengambil salah satu rahang (4) dari
kepala itu, kemudian memukulku dengan rahang tersebut hingga melukai hidungku.
Aku pun mendatangi Rasulullah ﷺ lalu menceritakan hal itu kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat
mengenai diriku – yakni tentang khamr – yaitu firman-Nya:
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan”. [Surah Al-Ma’idah ayat (90)”.
Riwayat ini
dikeluarkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya – Kitab Keutamaan Para Sahabat – Bab
Keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu – no. hadis (2412) (43)].
Mufradat:
(1) *al-Hasy*:
dengan fathah pada huruf *ha*, artinya kebun. Lihat *An-Nihayah* (1/376).
(2) *al-Jazur*:
artinya unta, baik jantan maupun betina. Lihat *An-Nihayah* (1/258).
(3) *az-Ziqq*:
dengan kasrah pada huruf *za*, artinya setiap wadah yang dibuat untuk minuman
dan sejenisnya. Lihat *Lisan al-‘Arab* (6/60).
(4) *al-Lihyan*:
yaitu dua tulang rahang yang terdapat gigi dari dalam mulut. Lihat *Lisan
al-‘Arab* (12/259).
Diriwayatkan pula
oleh An-Nasa’i dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
نَزَلَ تَحْرِيمُ الخَمْرِ فِي قَبِيلَتَيْنِ
مِنْ قَبَائِلِ الأَنْصَارِ، شَرِبُوا حَتَّى إِذَا ثَمِلُوا (١)، عَبَثَ بَعْضُهُمْ
بِبَعْضٍ، فَلَمَّا صَحَوْا جَعَلَ الرَّجُلُ يَرَى الأَثَرَ بِوَجْهِهِ وَبِرَأْسِهِ
وَلحْيَتِهِ، فَيَقُولُ: فَعَلَ بِي هَذَا أَخِي فُلَان، وَاللَّهِ لَوْ كَانَ بِي
رَؤُوفًا رَحِيمًا مَا فَعَلَ هَذَا بِي، قَالَ: وَكَانُوا إِخْوَةً لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
ضَغَائِنُ (٢)، فَوَقَعَتْ فِي قُلُوبِهِمُ الضَّغَائِنُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ: ﴿إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ. . .﴾ إِلَى قَوْلُه تَعَالَى: ﴿فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾
“Turunnya
pengharaman khamr terjadi pada dua kabilah dari kalangan Anshar. Mereka minum
hingga ketika mabuk (1), sebagian mereka mulai mengganggu sebagian yang lain.
Setelah sadar, seseorang melihat bekas (luka) pada wajah, kepala, dan
jenggotnya, lalu ia berkata:
‘Saudaraku si Fulan
yang melakukan ini kepadaku. Demi Allah, seandainya ia penyayang tentu ia tidak
akan melakukan ini kepadaku.’
Padahal mereka
adalah saudara-saudara yang sebelumnya tidak ada rasa dendam (2) di hati
mereka. Namun setelah itu masuklah rasa dendam ke dalam hati mereka. Maka Allah
Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya khamr, judi…(hingga
firman-Nya: Maka berhentilah kalian (darinya).”
Riwayat ini
dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam *As-Sunan al-Kubra* – Kitab Tafsir – Bab
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya khamr dan judi…” no. hadis (11086).
Dikeluarkan pula
oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* – Kitab Asyribah – Bab tentang hadis-hadis
pengharaman khamr – no. hadis (7301), dan sanadnya disahihkan oleh Al-Hafizh
dalam *Fathul Bari* (11/150).
(1) Makna
*as-tsamil*: yaitu orang yang terpengaruh oleh minuman hingga mabuk. Lihat
*An-Nihayah* (1/216).
(2) Makna
*adh-dhaghain*: jamak dari *dhighn* (dengan kasrah pada *dhad*), artinya
dendam, permusuhan, dan kebencian. Lihat *An-Nihayah* (3/84).
Imam Ahmad
meriwayatkan dalam *Musnad*-nya, dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih dari Umar
bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الخَمْرِ، قَالَ
عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا،
فنَزَلَتْ: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ﴾، فَدُعِيَ عُمَرُ -رضي اللَّه
عنه-، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ بَيَانًا
شَافِيًا، فنَزَلَتْ: ﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى﴾، فَدُعِيَ عُمَرُ -رضي اللَّه عنه-، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الخَمْرِ
بَيَانًا شَافِيًا، فنَزَلَتْ: ﴿فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾، فَقَالَ عُمَرُ -رضي
اللَّه عنه-: انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا.
Ketika turun ayat
pengharaman khamr, Umar radhiyallahu 'anhu berdoa: “Ya Allah, jelaskanlah
kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah
ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi”.
Lalu Umar
radhiyallahu 'anhu dipanggil, kemudian ayat itu dibacakan kepadanya. Ia
berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan
yang memuaskan.” Maka turunlah ayat:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam
keadaan mabuk”.
Lalu Umar
radhiyallahu 'anhu dipanggil, kemudian ayat itu dibacakan kepadanya. Ia
berkata:
“Ya Allah,
jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka
turunlah ayat: “Maka apakah kalian mau berhenti (darinya)?”.
Lalu Umar
radhiyallahu 'anhu berkata: “Kami berhenti, kami berhenti.”
[Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam *Musnad*-nya – no. hadis (378); Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak*
– Kitab Tafsir – Bab Kisah Turunnya Ayat Pengharaman Khamr – no. hadis (3155);
dan At-Tirmidzi dalam *Jami’*-nya – Kitab Tafsir – Bab dari Surah Al-Ma’idah –
no. hadis (3301)].
Imam Muslim
meriwayatkan dalam *Shahih*-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ
بِالمَدِينَةِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ! (1) إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ
(2) بِالخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللَّهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ
مِنْهَا شَيْءٌ مِنْهَا فَلْيَبِعْهُ، وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ"، قَالَ: فَمَا لَبِثْنَا
إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّم الخَمْرَ،
فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الآيَةُ (3) وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ مِنْهَا فَلَا يَشْرَبْ
وَلَا يَبِعْ".
Aku mendengar
Rasulullah ﷺ berkhutbah di Madinah, beliau bersabda: “Wahai manusia! (1)
Sesungguhnya Allah Ta’ala sedang memberi isyarat (2) tentang khamr, dan boleh
jadi Allah akan menurunkan ketentuan mengenai hal itu. Maka barangsiapa yang
memiliki sesuatu darinya, hendaklah ia menjualnya dan memanfaatkannya.” Ia
berkata: Tidak lama setelah itu Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya
Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka barangsiapa yang mendapatkan ayat
ini (3) sedang ia masih memiliki sesuatu darinya, maka janganlah ia meminumnya
dan jangan pula menjualnya.”
Ia berkata: Lalu
orang-orang segera menuangkan apa yang ada pada mereka di jalan-jalan Madinah
hingga tumpah ruahlah khamr itu.
[Diriwayatkan oleh
Muslim dalam *Shahih*-nya – Kitab Al-Musaqah – Bab Pengharaman Khamr – no.
hadis (1578); dan diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* – Kitab
Tafsir – Bab Kisah Turunnya Ayat Pengharaman Khamr – no. hadis (3156)].
(1) Dalam riwayat
Al-Hakim disebutkan Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai penduduk
Madinah.”
(2) *Yu‘ridu li
bisy-syai’*: artinya belum menjelaskannya. Lihat *Lisan al-‘Arab* (9/149).
(3) Imam An-Nawawi
berkata dalam *Syarh Shahih Muslim* (11/4):
هي قوله تَعَالَى في سورة المائدة آية
(٩١): ﴿إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ. . . فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴾
Yang dimaksud
adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat (91):
“Sesungguhnya
khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan… Maka apakah kalian mau berhenti
(darinya)?”
===
KECEPATAN
PARA SAHABAT DALAM MEMATUHI PERINTAH RASULULLAH ﷺ:
Ketika turun ayat
tentang pengharaman khamr, para sahabat radhiyallahu 'anhum segera menumpahkan
khamr yang ada pada mereka tanpa menunda.
Al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dalam *Shahih* mereka dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
كُنْتُ سَاقِيَ القَوْمَ يَوْمَ حُرِّمَتِ
الخَمْرُ، قَالَ: وَكَانَ أَبُو طَلْحَةَ قَدِ اجْتَمَعَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَصْحَابِهِ،
فَجَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَلَا إِنَّ الخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ، قَالَ: فَقَالَ لِي
أَبُو طَلْحَةَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ، قَالَ: فَخَرَجتُ فنَظَرْتُ، فَسَمِعْتُ مُنَادِيًا
ينَادِي: أَلَا إِنَّ الخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَخْبَرتُهُ، فَقَالَ:
اذْهَبْ فَأَهْرِقْهَا، قَالَ: فَجِئْتُ فَأَهْرَقْتُهَا
“Aku adalah seorang
pelayan minuman kaum itu pada hari khamr diharamkan. Saat itu Abu Talhah
bersama beberapa sahabatnya, lalu datang seorang laki-laki berkata:
‘Ketahuilah, khamr
telah diharamkan.’
Maka Abu Talhah
berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan lihatlah.’
Aku pun keluar dan
melihat, ternyata aku mendengar seorang penyeru menyerukan:
‘Ketahuilah, khamr
telah diharamkan.’
Aku pun memberitahu
Abu Talhah. Lalu ia berkata: ‘Pergilah dan tumpahkanlah khamr itu.’ Maka aku
pun pergi dan menumpahkannya.”
[Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. (2464); Muslim no.(1980); dan Ahmad no. (13376)].
Dalam riwayat
Al-Bukhari di *Al-Adab Al-Mufrad* dengan sanad sahih, Anas radhiyallahu 'anhu
berkata:
فَمَا قَالُوا: مَتَى؟ أَوْ حَتَّى نَنْظُرَ،
قَالُوا: يَا أَنَسُ! أَهْرِقْهَا
“Mereka tidak
berkata: ‘Kapan?’ atau ‘Nanti kita pertimbangkan dulu,’ tetapi mereka berkata:
‘Wahai Anas, tumpahkanlah ia.’”
[Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam *Al-Adab Al-Mufrad* – no. hadis (946)].
Dan Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَكَانَ خَمْرُهُمْ
يَوْمَئِذٍ الْفَضِيخَ الْبُسْرَ وَالتَّمْرَ
Adapun khamar mereka pada hari itu adalah
campuran perasan busr (kurma muda) dan kurma masak”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 13376, Ad-Darimi
(2089), Al-Bukhari (2464, 4620), Muslim (1980/3), Abu Dawud (3673), Abu Ya’la
(3361, 3362, 3462), Abu ‘Awanah 5/256–257, Al-Baihaqi 8/286, dan Al-Wahidi
dalam *Asbabun Nuzul* hlm. 140 melalui jalur Hammad bin Zaid dengan sanad ini.
Abu Dawud, Abu Ya’la pada riwayat pertama, dan Abu ‘Awanah dalam salah satu
riwayatnya hanya meriwayatkan bagian pertama saja.
Syuaib Al-Arnauth dalam
Tahqiq al-Musnad 21/78 berkata:
“Sanadnya
shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim”.
====
PARA SAHABAT KEBINGUNGAN TERKAIT KAWAN-KAWANNYA YANG MENINGGAL SEBELUM TURUNNYA WAHYU PENGHARAMAN KHAMR
Para sahabat
radhiyallahu 'anhum merasa bingung mengenai keadaan saudara-saudara mereka yang
telah wafat sementara ketika menjelang wafat mereka masih meminum khamr sebelum
turunnya wahyu pengharamannya. Maka mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang
hal itu.
Ibnu Hibban
meriwayatkan dalam *Shahih*-nya dengan sanad sahih sesuai syarat Bukhari dan
Muslim dari Al-Bara’ radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
مَاتَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ وَهُمْ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ، فَلَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُهَا، قَالَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: فكَيْفَ بِأَصْحَابِنَا الذِينَ مَاتُوا وَهُمْ يَشْرَبُونَهَا،
فنَزَلَتْ: ﴿لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا
طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ﴾
“Beberapa orang
dari sahabat Rasulullah ﷺ telah wafat sedangkan mereka meminum khamr. Ketika turun ayat
pengharamannya, sebagian sahabat Rasulullah ﷺ berkata:
‘Bagaimana dengan
saudara-saudara kami yang telah wafat sedangkan mereka telah meminumnya?’
Maka turunlah
firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada dosa
bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh terhadap apa yang mereka telah
makan, apabila mereka bertakwa, beriman, dan beramal saleh”. (Surah Al-Ma’idah ayat 93).”
[Hadis ini
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam *Shahih*-nya no. (5350), At-Tirmidzi dalam
*Jami’*-nya no. (3303).
Dan hadis ini
memiliki syahid dari Anas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari – no. hadis (4620) dan
Muslim dalam *Shahih*-nya – no. hadis (1980)].
Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
قَدْ قُتِلَ سُهَيْلُ ابْنُ بَيْضَاءَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ: ﴿لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ
فِيمَا طَعِمُوا﴾ [المائدة: 93] إِلَى آخِرِ الْآيَةَ. قَالَ: وَكَانَ خَمْرُهُمْ يَوْمَئِذٍ
الْفَضِيخَ الْبُسْرَ وَالتَّمْرَ
Sebagian mereka berkata: “Sungguh Suhail bin
Baidha’ telah terbunuh, sedangkan khamar itu masih ada dalam perutnya.”
Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shalih terhadap apa yang telah mereka makan (sebelum
pengharaman)”
(Al-Maidah: 93) hingga akhir ayat.
Adapun khamar mereka pada hari itu adalah
campuran perasan busr (kurma muda) dan kurma masak”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 13376, Ad-Darimi
(2089), Al-Bukhari (2464, 4620), Muslim (1980/3), Abu Dawud (3673), Abu Ya’la
(3361, 3362, 3462), Abu ‘Awanah 5/256–257, Al-Baihaqi 8/286, dan Al-Wahidi
dalam *Asbabun Nuzul* hlm. 140.
Syuaib Al-Arnauth dalam
Tahqiq al-Musnad 21/78 berkata:
“Sanadnya
shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim”.
===
HUKUM BEROBAT DENGAN KHOMR (MINUMAN KERAS)
Adapun orang yang
beranggapan bahwa khamar boleh digunakan untuk berobat, maka pendapat itu
dibantah dengan hadis shahih dari Rasulullah ﷺ.
أَنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ الْجُعْفِيَّ
سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الْخَمْرِ فَنَهَاهُ أَوْ كَرِهَ أَنْ يَصْنَعَهَا، وَقَالَ:
إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ؛ فَقَالَ: «إِنَّهَا لَيْسَتْ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهَا
دَاءٌ».
Bahwa Thariq bin
Suwaid Al-Ju’fi bertanya kepada Nabi ﷺ tentang khamar, maka beliau
melarangnya atau membencinya untuk dibuat. Ia berkata: Aku hanyalah membuatnya
untuk obat. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya ia
bukan obat, tetapi penyakit”. [HR. Muslim no. 1984].
Dari Jabir
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
قَدِمَ نَفَرٌ مِنْ جَيْشَانَ مِنْ أَهْلِ
الْيَمَنِ، فَقَالَوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَمِعْنَا بِذِكْرِكَ، فَأَحْبَبْنَا أَنْ
نَأْتِيَكَ، فَنَسْمَعَ مِنْكَ، فَقَالَ: النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلِمُوا تَسْلَمُوا» ،
قَالَ: فَأَسْلَمُوا، وَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْنَا وَانْهَنَا، فَإِنَّا
نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ نَهَانَا عَنْ أَشْيَاءَ كُنَّا نَأْتِيَهَا، وَأَمَرَنَا
بِأَشْيَاءَ لَمْ نَكُنْ نَقْرَبُهَا، قَالَ: فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ، وَنَهَاهُمْ،
ثُمَّ خَرَجُوا، حَتَّى جَاءُوا رِحَالِهِمْ، وَقَدْ خَلَّفُوا فِيهَا رَجُلًا، فَقَالَوا:
اذْهَبْ، فَضَعْ مِنْ إِسْلَامِكَ عَلَى يَدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، مِثْلَ الَّذِي وَضَعْنَا،
وَسَلْهُ عَنْ شَرَابِنَا، فَإِنَّا نَسِينَا أَنْ نَسْأَلَهُ، وَقَدْ كَانَ مِنْ أَهُمُ
الْأَمْرِ عِنْدَنَا، فَجَاءَ ذَلِكَ الْفَتَى، فَأَسْلَمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
إِنَّ النَّفْرَ الَّذِينَ جَاءُوكَ، وَأَسْلَمُوا عَلَى يَدَيْكَ قَدْ أَمَرُونِي
أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ شَرَابٍ يَشْرَبُونَهُ، بِأَرْضِهِمْ مِنَ الذُّرَةِ، يُقَالُ
لَهُ: الْمِزْرُ، وَأَرْضُهُمْ أَرْضٌ بَارِدَةٌ، وَهُمْ يَعْمَلُونَ لِأَنْفُسِهِمْ،
وَلَيْسَ لَهُمْ مَنْ يَمْتَهِنُ الْأَعْمَالَ دُونَهُمْ، وَإِذَا شَرِبُوهُ قَوَوا
بِهِ عَلَى الْعَمَلِ، قَالَ: «أَوَمُسْكِرٌ هُوَ؟» ، قَالَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ، قَالَ:
النَّبِيُّ ﷺ: «كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ» ، قَالَ: فَأَفْزَعَهُمْ ذَلِكَ، فَخَرَجُوا
بِأَجْمَعِهِمْ، حَتَّى جَاءُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ
، إِنَّ أَرْضَنَا أَرْضٌ بَارِدَةٌ، وَإِنَّا نَعْمَلُ لِأَنْفُسِنَا، وَلَيْسَ لَنَا
مِنْ يُمْتَهَنُ دُونَ أَنْفُسِنَا، وَإِنَّمَا شَرَابٌ نَشْرَبُهُ بِأَرْضِنَا مِنَ
الذُّرَةِ، يُقَالُ لَهُ: الْمِزْرُ، وَإِذَا شَرِبْنَاهُ، فَأُعِنَّا عَلَى الْبَرْدِ،
وَقَوِينَا عَلَى الْعَمَلِ، فَقَالَ: «أَمُسْكِرٌ هُوَ؟» ، قَالُوا: نَعَمْ، فَقَالَ:
النَّبِيُّ ﷺ: «كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، إِنَّ عَلَى اللَّهِ عَهْدًا لِمَنْ
يَشْرَبُ مُسْكِرًا، أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟، قَالَ: «عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ» ، أَوْ «عُصَارَةُ
أَهْلِ النَّارِ»
Telah datang
sekelompok orang dari Jaishan, dari penduduk Yaman. Mereka berkata: Wahai
Rasulullah, kami mendengar tentang engkau, maka kami ingin datang kepadamu dan
mendengar langsung darimu.
Nabi ﷺ
bersabda: “Masuklah Islam, niscaya kalian akan selamat.”
Maka mereka pun
masuk Islam. Mereka lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, perintahkanlah kami dan
laranglah kami, sebab kami melihat bahwa Islam telah melarang kami dari hal-hal
yang biasa kami lakukan, dan memerintahkan kami dengan hal-hal yang sebelumnya
tidak pernah kami lakukan’.
Maka Nabi ﷺ
memerintahkan mereka dan melarang mereka. Kemudian mereka kembali hingga sampai
di tempat tinggal mereka, sementara mereka menyuruh seorang laki-laki (pemuda)
pergi kesana (di Madinah).
Mereka berkata
kepada lelaki itu : Pergilah, letakkan keislamanmu di tangan Rasulullah ﷺ
sebagaimana kami telah melakukannya, dan tanyakan kepadanya tentang minuman
kami, sebab kami lupa menanyakannya, padahal itu merupakan hal yang penting
bagi kami.
Lalu lelaki itu
datang dan masuk Islam. Ia berkata:
Wahai Rasulullah,
sesungguhnya sekelompok orang yang datang kepadamu dan masuk Islam di tanganmu
telah memerintahkan aku untuk menanyakan kepadamu tentang minuman yang mereka
minum di negeri mereka dari biji gandum (jagung), disebut *mizru*. Negeri
mereka sangat dingin, dan mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, tidak ada
orang lain yang bekerja menggantikan mereka. Jika mereka meminumnya, mereka
kuat untuk bekerja.
Nabi ﷺ
bersabda: “Apakah itu memabukkan?”
Ia menjawab: Ya.
Maka Nabi ﷺ
bersabda: “Setiap yang memabukkan itu haram.”
Hal itu membuat
mereka terkejut setelah mendapat kabar dari lelaki itu, maka mereka semua
kembali kepada Rasulullah ﷺ. Mereka berkata:
Wahai Rasulullah,
negeri kami adalah negeri yang dingin, dan kami bekerja untuk diri kami
sendiri, tidak ada yang mengerjakan pekerjaan itu selain kami. Sesungguhnya
minuman yang kami minum di negeri kami dari jagung disebut *mizru*. Jika kami
meminumnya, ia membantu kami menghadapi dingin dan menguatkan kami untuk bekerja.
Maka Nabi ﷺ
bersabda: “Apakah ia memabukkan?” Mereka menjawab: Ya. Nabi ﷺ
bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram. Sesungguhnya atas Allah suatu
janji bagi siapa saja yang meminum minuman memabukkan, bahwa Allah akan
memberinya minum dari *thinatu al-khabal*.”
Mereka bertanya:
Wahai Rasulullah, apakah *thinatu al-khabal* itu?
Beliau bersabda:
“Keringat penghuni neraka,” atau “Perasan penghuni neraka.”
[Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dalam al-Mustakhraj 5/102 no. 7953 dengan lafadz
ini].
Dan diriwayatkan
pula oleh Muslim no. 2002 dengan lafadz lebih ringkas, yaitu :
أَنَّ رَجُلًا قَدِمَ مِنْ جَيْشَانَ،
وَجَيْشَانُ مِنَ الْيَمَنِ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ شَرَابٍ يَشْرَبُونَهُ بِأَرْضِهِمْ
مِنَ الذُّرَةِ، يُقَالُ لَهُ: الْمِزْرُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَوَ مُسْكِرٌ هُوَ؟»
قَالَ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، إِنَّ عَلَى اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ»
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: «عَرَقُ أَهْلِ
النَّارِ» أَوْ «عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ»
Bahwa seorang
laki-laki datang dari Jaishan, dan Jaishan adalah bagian dari Yaman. Ia
bertanya kepada Nabi ﷺ tentang minuman yang mereka minum di negeri mereka dari jagung,
yang disebut *mizru*. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Apakah ia memabukkan?”
Ia menjawab: Ya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram. Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla telah membuat janji bagi siapa saja yang meminum minuman
memabukkan, bahwa Dia akan memberinya minum dari *thinatu al-khabal*.” Mereka
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah *thinatu al-khabal* itu? Beliau menjawab:
“Keringat penghuni neraka” atau “Perasan penghuni neraka.”
===***===
HARAMNYA KHAMR DAN ADZAB BAGI PECANDU-NYA
Adapun apa yang
datang tentang pengharamannya dalam Kitab Allah dan dijelaskan oleh sunnah,
maka hadis-hadis tentang pengharamannya sangat banyak. Di antaranya sbb :
Ke 1 : Pecandu
Khamr sama dengan penyembah berhala :
diriwayatkan dari
Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَهُوَ
مُدْمِنُ خَمْرٍ لَقِيَ الله وَهُوَ كَعَابِدِ وَثَنٍ»
“Barang siapa mati
dalam keadaan sebagai pecandu khamar, maka ia akan berjumpa dengan Allah
seperti penyembah berhala”.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir* (12/45) no. 12428,
Abu Nu’aim dalam *Al-Hilyah* (9/253), lihat juga perkataan Al-Haitsami dalam
*Al-Majma’* (5/74), dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam *Shahih Al-Jami’*
(6549).
Ke 2 : Pecandu
Khamr tidak akan masuk surga.
Rasulullah ﷺ juga
bersabda:
«لَا يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ، مُدْمِنُ خَمْرٍ»
“Tidak akan masuk
surga orang yang menjadi pecandu khamar”.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3376, Ahmad dalam *Al-Musnad* (27484), Ibnu
Abi ‘Ashim dalam *As-Sunnah* (321), Al-Bazzar (2182 – *Kasyfu Al-Astar*),
Ath-Thabrani dalam *Musnad Asy-Syamiyyin* (2212), dan Al-Mizzi dalam biografi
Sulaiman bin ‘Utbah dalam *At-Tahdzib* 12/40 melalui jalur Sulaiman bin ‘Utbah
dengan sanad ini.
Hadits ini
dishahihkan oleh Al-Albani dalam *Shahih Ibnu Majah* dan dinilai hasan sanadnya
oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam *Takhrij Ibnu Majah* 4/465. Hadits ini juga
dinilai hasan oleh Al-Bazzar dan Al-Bushairi. Abu Idris adalah ‘Aidzullah bin
Abdullah Al-Khaulani.
Ke 3 : Pecandu
Khamr, kelak di akhirat tidak akan mendapatkan minuman khamr.
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda:
«كُلُّ مُسْكِرٍ
خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ
وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ، لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ»
Setiap yang memabukkan
adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa meminum
khamar di dunia lalu mati dalam keadaan selalu meminumnya tanpa bertaubat, maka
ia tidak akan meminumnya di akhirat. [HR. Muslim no. 2003]
Dalam riwayat lain:
«حُرِمَهَا فِي
الْآخِرَةِ، فَلَمْ يُسْقَهَا»
Allah
mengharamkannya di akhirat maka ia tidak akan diberi minum darinya. [HR. Muslim
77-(2003)]
Dalam riwayat lain:
«مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ
فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ، إِلَّا أَنْ يَتُوبَ»
“Barangsiapa
meminum khamar di dunia, maka ia tidak akan meminumnya di akhirat, kecuali jika
ia bertaubat.” [HR. Muslim 78-(2003)]
Ke 4 : Semua
minuman yang memabukkan itu diharamkan :
Dari Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:
«حُرِّمَتِ الْخَمْرُ
قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا، وَمَا أَسْكَرَ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ»
“Khamar diharamkan,
baik sedikit maupun banyaknya, dan setiap minuman yang memabukkan adalah
haram”.
[Diriwayatkan oleh
An-Nasai (5684), Ibnu Abi Syaibah (24542), dan Ath-Thabrani (12/113) (12633).
Dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 5701].
Ia juga berkata:
" مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يُحَرِّمَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ فَلْيُحَرِّمِ النَّبِيذَ
"
“Barang siapa yang
merasa senang mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, maka
hendaklah ia mengharamkan nabidz”.
[Hadits
ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 2028, Ath-Thayalisi (2743), An-Nasai 8/322,
Ath-Thahawi 4/223, dan Ath-Thabrani (12738) melalui berbagai jalur dari Syu’bah
dengan sanad yang sama.
Diriwayatkan pula
oleh Abu Ya’la (2344) dari jalur Abu Nadrah, dari Ibnu Abbas, dengan lafaz:
“Barangsiapa yang senang untuk mengharamkan …”. Hadits ini telah disebutkan
sebelumnya dengan nomor (185), dan akan datang lagi dengan nomor (3157), lihat
juga nomor (2476), (2771), dan (3257).
Syu’aib Al-Arna’uth
berkata dalam *Tahqiq Al-Musnad* 3/470:
“Sanadnya shahih
sesuai syarat Muslim, para perawinya tsiqat (terpercaya) para perawi Al-Bukhari
dan Muslim, kecuali Abu Al-Hakam – namanya Imran bin Al-Harits As-Sulami
Al-Kufi – maka ia termasuk perawi Muslim”.]
Ke 5 : Seorang
mukmin, saat minum khamr, maka dia bukan orang beriman:
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يَزْنِي الزَّانِي
حِينَ يَزْنِي وَهُو مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ،
وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَعْيُنَهُمْ
وَهُوَ مُؤْمِنٌ»
Tidaklah seorang
pezina berzina dalam keadaan ia beriman, dan tidaklah seorang peminum meminum ketika
ia meminum sedang ia beriman, dan tidaklah seorang pencuri mencuri ketika ia
mencuri sedang ia beriman. [HR. Bukhori no. 6782]
[Baca pula : Nihayatul
Arb karya Syihabuddin an-Nuwairi 4/81-82]
****
FAIDAH
KE DUA :
TAHAPAN PENGHARAMAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN
KERAS.
Pada awalnya musik
yang diiringi biduanita serta bermabuk-mabukkan dengan minuman keras itu
dihalalkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu di atas di awal pembahasan. Yang ringkasan lafadznya adalah sbb :
Ali
radhiyallahu ‘anhu berkata :
فَإِذَا
شَارِفَايَ قَدِ اجْتُبّتْ أَسْمِنَتُهُمَا، وَبُقِرَتْ خَوَاصِرُهُمَا، وَأُخِذَ
مِنْ أَكْبَادِهِمَا. فَلَمْ أَمْلِكْ عيْنَيّ حِينَ رَأَيْتُ ذَلِكَ الْمَنْظَرَ
مِنْهُمَا. قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ قَالُوا: فَعَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ. غَنّتْهُ
قَيْنَةٌ وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: ’أَلاَ يَا حَمْزَ لِلشّرُفِ
النّوَاءِ’. فَقَامَ حَمْزَةُ
بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا، وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. فَأَخَذَ مِنْ
أَكْبَادِهِمَا.
قَالَ
عَلِيّ: فَانْطَلَقْتُ حَتّىَ أَدْخُلَ عَلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ ... قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللّهِ وَاللّهِ مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ قَطّ. عَدَا حَمْزَةُ عَلَىَ
نَاقَتَيّ فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. وَهَا هُوَ ذَا فِي
بَيْتٍ مَعَهُ شَرْبٌ.
قَالَ
فَدَعَا رَسُولُ اللّهِ ﷺ بِرِدَائِهِ فَارْتَدَاهُ. ثُمّ انْطَلَقَ يَمْشِي.
وَاتّبَعْتُهُ أَنَا وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَة. حَتّىَ جَاءَ الْبَابَ الّذِي فِيهِ
حَمْزَةُ. فَاسْتَأْذَنَ، فَأَذِنُوا لَهُ. فَإِذَا هُمْ شَرْبٌ. فَطَفِقَ رَسُولُ
اللّهِ ﷺ يَلُومُ حَمْزَةَ فِيمَا فَعَلَ. فَإِذَا حَمْزَةُ مُحْمَرّةٌ عَيْنَاهُ.
فَنَظَرَ حَمْزَةُ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ ﷺ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ إِلَىَ
رُكْبَتَيْهِ. ثُمّ صَعّدَ النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ سُرّتِهِ. ثُمّ صَعّدَ
النّظَرَ فَنَظَرَ إِلَىَ وَجْهِهِ.
فَقَالَ
حَمْزَةُ: وَهَلْ أَنْتُمْ إِلاّ عَبِيدٌ لأَبِي؟ فَعَرَفَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ
أَنّهُ ثَمِلٌ. فَنَكَصَ رَسُولُ اللّهِ ﷺ عَلَىَ عَقِبَيْهِ الْقَهْقَرىَ.
وَخَرَجَ وَخَرَجْنَا مَعَهُ.
Tiba-tiba
saya mendapati kedua untaku sudah terpotong-potong punuknya, terbelah perutnya
dan telah terambil hatinya. Kedua mataku tidak kuasa menahan tetesan air mata
melihat pemandangan itu, lalu aku bertanya : "Siapakah yang melakukan
semua ini?"
Orang-orang
menjawab : "Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan dia sekarang berada di rumah
ini bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang suka meminum minuman keras.
Penyebab
Hamzah memotong-motong dua unta adalah dia dan teman-temannya sedang dihibur
oleh seorang biduanita (penyanyi wanita) yang dalam salah satu bait lagu-nya
terselip kata-kata :
'Wahai Hamzah, ingatlah pada unta-unta yang montok.'
Maka
Hamzah pun berdiri dengan membawa pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk
kedua unta tersebut dan ia belah perut keduanya kemudian hati keduanya di
ambil."
Ali
berkata, "Kemudian saya langsung pergi menemui Rasulullah ﷺ ..... Lalu aku berkata
: "Wahai Rasulullah, demi Allah belum pernah seumur hidupku melihat
kejadian seperti hari ini. Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia telah
memotong punuknya dan membelah isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah
bersama teman-temannya yang suka meminum minuman keras."
Ali
berkata, "Kemudian Rasulullah ﷺ
mengambil jubahnya. Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang aku sebutkan
dengan berjalan kaki, sementara aku dan Zaid mengikutinya dari belakang.
Sesampainya
di depan pintu rumah yang di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah ﷺ meminta izin masuk. Para penghuni rumah pun memberikan izin
masuk. Ternyata mereka adalah para peminum minuman keras.
Lalu
Rasulullah ﷺ mulai mencela Hamzah terhadap apa yang
telah diperbuatnya. Pada saat itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai
mengamati Rasulullah ﷺ dari kedua lutut
naik ke pusar dan akhirnya ke wajah beliau.
Kemudian
Hamzah berkata :
"Kalian ini tidak lain hanyalah para budak
bapakku."
Akhirnya
Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk
berat.
Lalu
beliau mundur ke belakang dan keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar
mengikuti beliau ﷺ."
[HR.
Bukhori no. 3091 dan Muslim no. 1979]
Dalam
lafadz riwayat Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya Ali -radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
فَحَمَلْتُ شارِفَيَّ عِنْدَ
حائِطِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصارِ وَمَضَيْتُ لِأَجْمَعَ الحِبالَ وَالغَرائِرَ وَالأَقْتابَ
وَجِئْتُ وَقَدْ بُقِرَ بَطْنُ شارِفَيَّ وَاجْتُبَّ أَسْنِمَتُهُما، قال: فَلَمْ أَمْلِكْ
عَيْنَيَّ أَنْ بَكَيْتُ ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ فَعَلَ هذا بِشارِفَيَّ؟ قالوا: عَمُّكَ
حَمْزَةُ فَعَلَهُ وَهذا هُوَ فِي البَيْتِ مَعَهُ شُرْبٌ، عِنْدَهُم قَيْنَةٌ وَحَلَفُوا
فَقالَتْ:
أَلا
يا حَمْزَ المشرِفَ النَّوّاءَ … وَهُنَّ مُعَقَّلاتٌ بِالفِناءِ
زُجَّ
السِّكِّينَ فِي اللَّبّاتِ مِنها … فَضَرَّجَهُنَّ حَمْزَةُ بِالدِّماءِ
وَأَطعَمَ
مِن شَرائِحِها كَبابًا … مُهَلْوَجَةً عَلَى رَهَجِ الصَّلاءِ
فَأَصْلَحَ
مِن أَطايِبِها طَبِيخًا … لِشُرْبِكَ مِن قَدِيرٍ أَو سَواءِ
فَأَنْتَ
أَبا عِمارَةَ المُرَجَّى … لِكَشْفِ الضُّرِّ عَنّا وَالبَلاءِ
فَقامَ إِلى شارِفَيْكَ فَقَتَلَهُما،
قالَ عَلِيٌّ: فَجِئْتُ رَسُولَ
اللهِ ﷺ ... وَخَبَّرْتُهُ الخَبَرَ. فَقامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَبِسَ نَعْلَيْهِ
وَرِداءَهُ ثُمَّ انْطَلَقَ يَمْشِي وَاتَّبَعْتُهُ أَنا وَزَيْدٌ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ
وَدَخَلَ البَيْتَ
وَقالَ: يا حَمْزَةُ ما حَمَلَكَ
عَلى ما فَعَلْتَ بِشارِفَيَّ ابْنِ أَخِيكَ؟ فَرَفَعَ رَأْسَهُ وَجَعَلَ يَنْظُرُ
إِلى يَدَي رَسُولِ اللهِ ﷺ وَإِلى ساقَيْهِ، فَصَوَّبَ النَّظَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ
قالَ: أَلَسْتُمْ وَآباؤُكُم عَبِيدًا لِأَبِي، فَرَجَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ القَهْقَرى
وَقالَ: إِنَّ غَنَمَكَ وَجِمالَكَ عَلَيَّ فَغَرِمَهُما لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ.
فَلَمّا أَصْبَحَ غَدا حَمْزَةُ
عَلى رَسُولِ اللهِ يَعْتَذِرُ فَقالَ: مَهْ يا عَمُّ فَقَدْ سَأَلْتُ اللهَ فَعَفا
عَنكَ.
Aku
menambatkan untaku di dekat kebun seorang laki-laki Anshar lalu aku pergi untuk
mengumpulkan tali, karung, dan pelana.
Ketika
aku kembali, ternyata perut unta betinaku telah dibelah dan punuknya diambil.
Aku tidak kuasa menahan air mataku hingga menangis lalu aku berkata:
Siapa yang melakukan hal ini terhadap untaku?
Mereka
berkata: Pamanmu Hamzah yang melakukannya, ia sedang berada di rumah bersama
orang-orang yang minum, mereka ditemani seorang penyanyi wanita. Dan mereka
bersumpah, lalu biduanita itu berdendang:
Wahai Hamzah yang mulia nan gagah… sementara unta-unta itu
terikat di halaman
Tancapkanlah pisau ke leher-lehernya… lalu engkau penuhi
dengan darah
Engkau potong dagingnya jadi panggangan… yang lezat di atas
bara api
Engkau masak bagian terbaiknya menjadi hidangan… untuk
teman-teman minummu dalam kuali
Maka engkaulah wahai Abu ‘Amarah yang diharap… untuk
menyingkirkan kesulitan dan bencana dari kami
Maka
Hamzah pun bangkit menuju kedua untaku lalu menyembelih keduanya.
Ali
berkata: Aku pun mendatangi Rasulullah ﷺ ..... Lalu aku ceritakan peristiwanya. Maka
Rasulullah ﷺ berdiri, mengenakan sandal dan rida’
beliau, kemudian berjalan, aku dan Zaid mengikutinya. Beliau memberi salam,
meminta izin lalu masuk ke rumah itu, dan bersabda:
Wahai
Hamzah, apa yang membuatmu melakukan hal itu terhadap unta-unta anak saudaramu?
Maka
ia mengangkat kepalanya dan memandang kepada tangan Rasulullah ﷺ lalu ke betis beliau, kemudian menunduk memandang lagi, lalu
berkata:
Bukankah kalian dan
bapak-bapak kalian hanyalah budak ayahku?
Maka
Rasulullah ﷺ pun mundur ke belakang seraya bersabda: “Sesungguhnya
kambing dan untamu itu menjadi tanggunganku”.
[Lihat : Tafsir
ats-Tsa’alabi 5/441-442 Cet. Dar at-Tafsiir - Jeddah dan Nihayatul Arb karya
Syihabuddin an-Nuwairi 4/80, Asbab an-Nuzul oleh al-Wahidi hal. 208 dan Fathul
Bari 6/200].
----
FIQIH HADITS :
Dua hadits diatas
menunjukkan bahwa alunan musik di Makkah Madinah dan sekitarnya pada masa
Jahiliyah dan awal Islam, pada umumnya senantiasa disertai dengan biduanita dan
tidak bisa lepas dari mabuk-mabukkan minuman keras alias khamr.
Setelah khamr (minuman
keras) diharamkan, maka diharamkan pula musik dan biduanita yang disertai dengan
minuman keras.
Ada yang mengatakan
:
لَمْ يُحَرَّمِ الْمُوسِيقَى بِشَكْلٍ
مُطْلَقٍ فِي الْإِسْلَامِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَتْ آرَاءُ الْفُقَهَاءِ حَوْلَهَا،
فَالْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي السُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ تُشِيرُ إِلَى تَحْرِيمِ
مَا ارْتَبَطَ بِمَفَاسِدَ مُعَيَّنَةٍ، مِثْلَ الْغِنَاءِ فِي مَجَالِسِ اللَّهْوِ
وَالْخَمْرِ، بَيْنَمَا تُجِيزُ نُصُوصٌ أُخْرَى الْغِنَاءَ وَالْمُوسِيقَى فِي الْمُنَاسَبَاتِ
الْفَرِحَةِ أَوْ كَنَوْعٍ مِنَ الْحُدَاءِ أَوْ تَحْفِيزٍ لِلْعَمَلِ.
“Musik tidak
diharamkan secara mutlak dalam agama Islam, melainkan para fuqaha berbeda
pendapat tentangnya. Dalil-dalil yang terdapat dalam sunnah Nabi ﷺ
menunjukkan adanya larangan terhadap apa yang terkait dengan kemafsadatan
tertentu, seperti nyanyian dalam tempat-tempat maksiat dan khomr (tempat
mabuk-mabukan). Sementara itu, terdapat nash lain yang membolehkan nyanyian dan
musik pada kesempatan yang menggembirakan, atau sebagai bentuk *al-huda’*
(nyanyian pengiring perjalanan) atau dorongan untuk semangat ber-amal”.
****
HADITS-HADITS YANG MENGHARAMKAN MUSIK YANG DIIRINGI DENGAN BIDUANITA DAN MINUMAN KERAS :
HADITS KE SATU :
Dari Abu Malik
Al-Asy’ariy, ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :
"لَيَشْرَبَنَّ
نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى
رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلاَرْضَ
وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ اْلقِرَدَةَ وَ اْلخَنَازِيْرَ".
“Sungguh ada
segolongan dari umatku yang minum khamr yang mereka menamakannya bukan nama
(asli)nya, kepala mereka disibukkan dengan goyangan mengikuti irama musik
dan nyanyian biduanita.
Allah akan menenggelamkan
mereka ke dalam tanah dan merubah mereka menjadi kera dan babi”.
(HR. Ahmad no.
22900, Abu Daud no. 3688 dan Ibnu Majah 2/1333, no. 4020) Di Shahihkan
al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3263 dan ar-Ribaa’i dalam Fathul
Ghoffaar 4/1967.
Dalam riwayat lain
Abu Malik berkata : aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"يَكُونُ
فِي أُمَّتِي الْخَسْفُ وَالْمَسْخُ وَالْقَذْفُ ” ، قُلْنَا : فِيمَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ ؟ قَالَ : ” بِاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ ، وَشُرْبِهِمُ الْخُمُورَ".
“Di umat ini kelak
nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi),
dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Beliau ditanya,
“Karena apa hal itu terjadi wahai Rasulullah!”
Beliau ﷺ menjawab, “Karena mereka telah menjadikan para biduwanita sebagai hiburan
mereka dan mereka suka minum minuman keras [khamr]”.
[HR. Ath Thabrani
dalam Mu’jam Al Kabir (3333)]
Di dalam sanadnya
terdapat al-Ghaz . Al Ghaz tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Hisyam
(perawi tsiqah) meriwayatkan darinya, sehingga statusnya majhul hal [Tidak
dikenal kondisinya] . Sedangkan ayahnya, Abu Al Ghaz Rabi’ah bin ‘Amr,
statusnya mukhtalif fii shahbatihi [diperdepatkan apakah dia seoarang
sahabat ? ] namun Ad Daruquthni men-tsiqah-kannya. Sedangkan para perawi
lainnya adalah tsiqah. Karena adanya perawi yang majhul sanad
ini tidak bisa menjadi syahid.
HADITS KEDUA :
Dari ‘Imran bin
Husain bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
" فِيْ
هذِهِ اْلاُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: اِذَا ظَهَرَتِ
اْلقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ".
“Pada ummat ini
akan ada (siksaan berupa) ditenggelamkan ke bumi, diganti rupa dan dilempar
batu dari langit”. Lalu ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin
bertanya, “Ya Rasulullah, kapan peristiwa itu terjadi ?”.
Beliau
menjawab, “Apabila telah merajalela penyanyi-penyanyi dan musik, dan khamr
diminum (dimana-mana)”.
(HR.
Tirmidzi 3/336, no. 2212 & 2309.
Hadits ini
dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abbaad bin Ya’quub
Al-Kuufiy dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Qudduus, Ia orang syiah.
Keduanya dla’if.
Namun dinyatakan
oleh asy-Syaukani dalam Neil al-Awthar 8/262 : bahwa hadits ini Hasan lighorihi
HADITS KETIGA :
Dari Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Nabi ﷺ bersabda:
سيكونُ في آخرِ الزمانِ خَسْفُ وقذفٌ
ومَسْخٌ ، إذا ظَهَرَتِ المعازِفُ والقَيْناتُ ، واسْتُحِلَّتِ الخمْرُ
“Di umat ini kelak
nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi),
dilempari batu dan diubah wajahnya. Itu terjadi pada para penyanyi, para
lelaki yang memakai sutra dan para peminum khamr”.
Muhammad bin
Shadaqah Al Jublani statusnya shaduq, Ziyad bin Abi Ziyad Al Jashash
dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia dhaif”. Sedangkan perawi lainnya tsiqah. Sehingga
sanad ini lemah namun bisa menjadi syahid.
Namun di shahihkan
oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 3665.
HADITS KE EMPAT :
Diriwayatkan dengan
jalan lain, dicatat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (117) dari jalan
Shalih bin Abdillah dengan sanadnya Dari Ali bin Abi
Thalib (ra) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
” إِذَا
فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خِصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاءُ فَذَكَرَ
مِنْهَا إِذَا اتُّخِذَتِ الْقِيَانُ وَالْمَعَازِفُ
“
“Jika umatku
melakukan 15 perbuatan, maka mereka layak mendapatkan bala bencana”.
Beliau menyebutkan
diantaranya berprofesi menjadi penyanyi dan bermain alat musik.
Al Faraj bin
Fadhalah statusnya dhaif. Adapun yang lainnya
perawi tsiqah. Sehingga sanad ini juga lemah namun bisa
menjadi syahid.
HADITS KE LIMA :
Diriwayatkan dengan
jalan lain, dicatat oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi (4)
dengan sanadnya dari ‘Aisyah (ra), Rasulullah ﷺ bersabda
:
«يَكُونُ فِي
أُمَّتِي خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ» قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: «إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ،
وَظَهَرَ الرِّبَا، وَشُرِبَتِ الْخَمْرُ، وَلُبِسَ الْحَرِيرُ، كَانَ ذَا عِنْدَ
ذَا»
“Di umat ini kelak
nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi),
dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Aisyah bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah mereka itu bersyahadat laailaaha illallah?“.
Beliau menjawab,
“Ya, itu terjadi ketika banyak penyanyi, riba merajalela, khamr banyak
diminum, sutra banyak dipakai lelaki, lalu begini dan begitu”.
Abu Ma’syar di sini
adalah Nazif bin Abdirrahman As Sindi, statusnya dhaif. Al Husain bin Mahbub
tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Ibnu Abid Dunya meriwayatkan
darinya, sehingga ia statusnya majhul haal.
Selainnya, tsiqah. Sehingga sanad ini sangat lemah dan tidak bisa
menjadi syahid.
Dan masih ada
beberapa jalur lagi yang tidak lepas dari kelemahan.
Hadits ini memiliki
beberapa banyak jalur yang saling menguatkan dan mengangkat derajatnya minimal
menjadi hasan li ghairihi. Akan terdapat masalah lain, yaitu terdapat
jalur lain secara mursal, disebutkan dalam al-Mushannaf karya Ibnu
Abi Syaibah (36843) dengan sandanya dari Ibnu Saabith , ia
berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
” إِنَّ فِي أُمَّتِي
خَسْفًا وَمَسْخًا وَقَذْفًا ” ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ
يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ فَقَالَ : ” نَعَمْ ، إِذَا
ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْخُمُورُ وَلُبِسَ الْحَرِيرُ".
“Di umat ini kelak
nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi),
dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Beliau ditanya,
“wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang yang bersyahadat laailaaha
illallah?”
Beliau menjawab,
“Iya, itu terjadi ketika alat-alat musik merajalela, banyak muncul para
penyanyi dan banyak orang minum khamr, serta banyak orang memakai sutra”.
Semua
perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin ‘Amr bin Murrah, ia
berstatus shaduq.
Para ulama hadits
berbeda pendapat mengenai masalah تعليل الموصول بالإرسال [ilat sanad maushul dengan sanad mursal yaitu apakah hadits
yang maushul menjadi cacat jika ternyata ada jalan lain
yang mursal ?.
Syaikh Jamaluddin
Al Qasimi menjelaskan:
فَقَدْ كَثُرَ إِعْلَالُ الْمَوْصُوْلِ
بِالْإِرْسَالِ، وَالْمَرْفُوعِ بِالْوَقْفِ إِذَا قُوِّيَ الْإِرْسَالُ أَوْ الْوَقْفِ
بِكُونِ رَاوِيهِمَا أَضْبَطَ أَوْ أَكْثَرَ عَدَدًا عَلَى الِاتِّصَالِ أَوْ الرَّفْعِ
وَقَدْ يُعَلُّونَ الْحَدِيثِ.
“Banyak
terjadi ta’lil (pencacatan) terhadap hadits maushul karena
terdapat jalan lain yang mursal. Juga terhadap hadits mar’fu karena
terdapat jalan lain yang mauquf. Jika jalan yang mursal atau mauquf itu
perawinya lebih kuat dari sisi dhabt-nya atau lebih banyak jalan-jalannya
dibanding dengan yang muttashil atau marfu, maka ketika itu haditsnya
menjadi tercatati” (Qawa’id At Tahdits, 131)
Jika kita gabungkan
jalan-jalan yang maushul, hadits ini tidak bisa tercacati
oleh mursal-nya sebab jalan-jalannya lebih banyak dan kualitas perawinya
lebih bagus karena saling menguatkan.
Kesimpulannya :
Karena banyaknya
syahid mala status derajat hadits ini bisa menjadi hasan, seperti yang
katakan Asy-Syaukani dalam kitabnya Neilul Author, 8/262), bahkan Syeikh
Al-Albani dalam Shahih Al Jami’no. 3665 menetapkan bahwa derajat hadits ini
bisa menjadi shahih. Wallahu’alam.
****
KUMPULAN HADITS YANG MEMBOLEHKAN MUSIK REBANA DAN NYANYIAN TANPA MIRAS DAN BIDUANITA:
Definisi Alat Musik :
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin
Nubala’ berkata:
المَعازِفُ هِيَ كُلُّ اسْمٍ لِآلَةِ
لَهْوٍ أَوْ مَلاهِ يُسْتَعْمَلُ فِي الغِنَاءِ أَوِ الشِّعْرِ.
“Al Ma’azif adalah setiap nama dari alat musik
atau permainan (al-malahi) yang digunakan untuk mengiringi nyanyian atau
sya’ir.”
Alat Musik atau
ma’aazif adalah semua alat yang menimbulkan bunyi-bunyian, baik dengan
cara dipukul, digesek, dipetik, ditiup, ditekan dan lain sebagainya.
Definisi Nyanyian :
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari
berkata:
الغِنَاءُ هو الأشعارُ التي تُتَغَنَّى
بصوتٍ جَميلٍ ونَغْمٍ مُنْتَظَمٍ
“Al Ghina (nyanyian) adalah sya’ir-sya’ir yang
disenandungkan dengan suara yang indah serta nada yang teratur.”
====
PERTAMA
: KUMPULAN HADITS NYANYIAN DAN MUSIK DI HARI RAYA :
HADITS KE 1:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
دَخَلَ أَبُو
بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا
تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا
بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ
رَسُولِ اللهِ ﷺ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ،
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا،
وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakar masuk
(ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan dari wanita Anshar sedang
bernyanyi (sambil bermain musik) tentang apa yang dikatakan orang-orang Anshar
pada masa Bu’ats (perang di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).”
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Keduanya bukanlah biduanita (wanita yang berprofesi sebagai penyanyi).”
Abu Bakar lalu berkata: “Apakah seruling-seruling
setan di rumah Rasulullah ﷺ!?”
Saat itu sedang hari raya, maka
Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai
Abu Bakar, biarkan mereka; karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya,
dan ini adalah hari raya kita.”
(HR. Bukhari, no. 909 dan Muslim no.
1479 )
Dan dalam hadits riwayat Muslim no. 1479 terdapat tambahan :
جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ
“Dua budak
perempuan yang bermain musik REBANA”.
Perbedaan antara GENDANG dan
REBANA [DUFF] : adalah kalau gendang itu tertutup dari dua sisi, berbeda dengan
rebana yang terbuka salah satu sisinya.
HADITS KE 2 :
Dalam hadits riwayat Bukhari no.944 disebutkan bahwa : “Dua anak
perempuan tersebut memainkan musik REBANA di hari-hari Mina (hari Tasyrik
/11 – 13 Dzul Hijjah).
Dari ['Aisyah
radliallahu 'anha]
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنًى تُغَنِّيَانِ
وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ
فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ
دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ
أَيَّامُ مِنًى وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَسْتُرُنِي وَأَنَا
أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ
bahwa Abu Bakr
radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu 'anha) saat di sisinya ada
dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi, bermain REBANA dan menabuhnya
pada hari-hari Mina.
Sementara Nabi ﷺ menutup
wajahnya dengan kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan
menghardik kedua sahaya itu. Maka Nabi ﷺ melepas kain yang menutupi
wajahnya dan berkata: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari
Raya 'Ied".
Hari-hari saat itu
adalah hari-hari Mina (Tasyriq/ 11 – 13
Dzul Hijjah).
Dan berkata 'Aisyah
radliallahu 'anha; "Aku melihat Nabi ﷺ menutupi aku dengan
(badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu bermain di
dalam masjid.
Tiba-tiba dia
('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan mereka. Maka Nabi ﷺ
berkata:
"Biarkanlah mereka, dengan keamanan
bagi Bani Arfidah, yaitu : rasa kemaanan. (yakni
: Biarkan mereka, karena kami telah memberi mereka rasa aman)". [Selesai]
HADITS KE TIGA :
NONTON BARENG
Dari 'Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
دَخَلَ عَلَيَّ رَسولُ اللَّهِ ﷺ
وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى الفِراشِ،
وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ
الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ
فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ،
يَلْعَبُ السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا
قالَ: تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى
خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ: حَسْبُكِ؟
قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.
"Rasulullah ﷺ masuk
menemuiku saat ketika di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bersenandung
dengan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar
lalu memalingkan wajahnya (ke arah lain).
Kemudian masuklah
Abu Bakar mencelaku, ia mengatakan, "Seruling-seruling setan (kalian
perdengarkan) di hadapan Nabi ﷺ!"
Rasulullah ﷺ lantas
memandang kepada Abu Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."
Setelah beliau
sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi isyarat kepada kedua sahaya
tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.
Saat Hari Raya
'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya
mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta
kepada Nabi ﷺ, atau beliau yang menawarkan kepadaku:
"Apakah
kamu mau menonton-nya?"
Maka aku jawab,
"Ya, mau."
Maka beliau
menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya
sambil beliau ﷺ berkata: "Teruskan hai Bani Arfadah!"
Demikianlah
seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: "Apakah kamu
merasa sudah cukup?"
Aku jawab,
"Ya, sudah."
Beliau ﷺ lalu berkata: "Kalau begitu pergilah."
[HR. Bukhori no.
2906 dan Muslim no. 892].
===
KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM ACARA PERNIKAHAN :
HADITS KE 1 .
Nabi ﷺ bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ
الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pembeda antara
[pernikahan] yang halal dan yang haram adalah musik Rebana (tabuhan) dan lantunan
(syair-syair) saat (pesta) pernikahan.”
(HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah
dan Tirmidzi . Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albany dalam kitab ‘Adabuz
Zafaf, hal. 96 dan al-Arna’uuth ).
Maksudnya : adalah pernikahan yang
sembunyi-sembunyi tanpa diumumkan kepada manusia itu dikhawatirkan sama dengan
zina, kecuali ada saksi . Maka agar menjadi jelas dan tanpa ada keraguan bahwa
itu halal, maka adakanlah acara nyanyi dan menabuh alas musik rebana supaya
pernikahannya diketahui orang-orang disekitarnya dan tidak menimbulkan kesalah
fahaman.
Al-Qori berkata dalam al-Mirqaat
5/2073 no. 3153 :
"أَي: فَرْقٌ بَيْنَهُمَا (الصَّوْتُ) أَي:
الذِّكْرِ، وَالتَّشْهِيرِ بَيْنَ النَّاسِ (وَالدَّفُّ) أَي: ضَرْبُهُ (فِي النِّكَاحِ)
فَإِنَّهُ يُتَمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ، قَالَ ابْنُ الْمَلِكِ: "لَيْسَ الْمُرَادُ
أَن لَّا فَرَقَ بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ فِي النِّكَاحِ إِلَّا هَذَا الْأَمْرَ؛
فَإِنَّ الْفَرَقَ يَحْصُلُ بِحُضُورِ الشُّهُودِ عِندَ الضِّدِّ، بَلِ الْمُرَادُ
التَّرْغِيبُ إِلَى إِعْلَانِ أَمْرِ النِّكَاحِ بِحَيْثُ لَا يَخْفَى عَلَى الْأَبَاعِدِ،
فَالسُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِضَرْبِ الدُّفِّ، وَأَصْوَاتُ الْحَاضِرِينَ بِالتَّهْنِئَةِ،
أَوِ النُّغُمَةِ فِي إِنشَادِ الشِّعْرِ الْمُبَاحِ".
Ada perbedaan antara keduanya
(suara), yaitu menyebutkannya, dan memasyhurkan di antara manusia (dan menabuh alat
musik Rebana ) yaitu memukulnya (dalam acara perkawinan) karena dengannya
menjadi sempurnalah pernikahan itu diumumkan.
Ibnu al-Malik berkata: "Maksudnya
bukanlah agar tidak ada perbedaan antara yang halal dan haram dalam perkawinan
kecuali hal ini; karena perbedaannya terjadi dengan kehadiran para saksi dalam
hal yang berlawanan dengannya, akan tetapi yang dimaksud adalah untuk
memotivasi agar dalam pernikahan itu diadakan pengumuman perkawinan agar tidak
tersembunyi bagi orang-orang yang tinggal jauh, karena yang sunnah adalah
mengumumkan perkawinan dengan memukul alat musik rebana, dan terdengarnya suara
para hadirin dengan ucapan selamat atau melalui nyanyian syair-syair yang
berisi penyampaian yang mubah dan diperbolehkan”. [Selesai]
Dalam kitab Syarah as-Sunnah
[dikutip dari al-Mirqaat 5/2073 no. 3153] , Imam al-Baghawi berkata :
مَعْنَاهُ (يَعْنِي الصَّوْتَ) إِعْلَانُ النِّكَاحِ، وَاضْطِرَابُ الصَّوْتِ
بِهِ، وَالذِّكْرُ فِي النَّاسِ كَمَا يُقَالُ فُلَانٌ قَدْ ذَهَبَ صَوْتُهُ فِي النَّاسِ.
انتهى.
Maknanya (kata “suara” dalam
hadits) adalah mengumumkan perkawinan, hiruk pikuk suara berkaitan dengannya,
dan disebut-sebut di tengah-tengan manusia seperti yang dikatakan:
"Seseorang telah kehilangan suaranya karena tenggelam di tengah hiruk
pikuk manusia. [Selesai].
HADITS KE 2 :
Dari Aisyah
radliallahu 'anha berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
" أَعْلِنُوا
هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ
بِالدُّفُوفِ "
"Umumkanlah
pernikahan, adakanlah di masjid, dan pukullah alat musik rebana untuk
mengumumkannya." [HR. Tirmidzy no. 1089 dan Baihaqi no. 15095 . Dan ini
adalah lafadz Baihaqi].
Abu Isa berkata :
"Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini. Isa bin Maimun Al Anshari
dilemahkan dalam riwayat ini. Isa bin Maimun yang meriwayatkan dari Ibnu Abu
Najih At Tafsir itu adalah tsiqah."
Di hasankan
sanadnya oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam Hiayatur Ruwaah 3/266 .
HADITS KE 3 :
Dari 'Aisyah radhiallahu
anha dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"أَعْلِنُوا
هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ".
"Umumkanlah
pernikahan ini, dan tabuhlah alat musik ghirbal (rebana)".
[HR. Ibnu Majah no. 1895 dan
Baihaqi no. 15094. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah ].
HADITS KE 4 : SARAN LANGSUNG DARI
NABI ﷺ :
Dari
Aisyah radhiallahu anha :
أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ
نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ
يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
Bahwasannya Aisyah radhiyallahu anha ikut menghadiri pernikahan
seorang wanita dengan laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabiyullah ﷺ bersabda:
"
يَا عَائِشَة مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ
اللَّهْوُ ".
“Wahai Aisyah, apakah kalian tidak memiliki hiburan [menabuh
rebana dan nyayi-nyayi] ? Sesungguhnya orang-orang Anshar menyenangi hiburan .”
(HR. Bukhari, no. 4765).
Dalam al-Mausu'ah al-haditsiyah di jelaskan sebagai berikut :
والمرادُ باللَّهْوِ: ضَربُ الدُّفِّ والتَّغنِّي بشِعرٍ
ليس فيه إثمٌ، وليس بالأغانِي المُهيِّجةِ للشُّرورِ المُشتملةِ على وَصْفِ الجَمالِ
والفُجورِ، والمُصاحبةِ لأنواع المعازِفِ المُختلِفةِ؛ فإنَّ ذلك مَنْهيٌّ عنه في
النِّكاحِ كما في غيرِه، وقوله: «فإنَّ الأنصارَ يُعجبُهمُ اللَّهوُ» أي: يُحبُّون
مِثلَ هذا النَّوعَ مِن اللَّهْوِ؛ لِمَا فيهم مِن الرِّقَّةِ وحُبِّ الفَرَحِ.
وفي الحَديثِ: مُراعاةُ أعرافِ المُجتمَعِ بما لا يُخالِفُ
شَرْعَ اللهِ عزَّ وجلَّ.
وفيه: مَشروعيَّةُ خُروجِ المرأةِ مِن بَيْتِها لأمرٍ
مُباحٍ.
وفيه: مشاركةُ المرأةِ غَيْرَها من النِّساءِ في الأفراحِ
والمناسَباتِ.
Yang dimaksud dengan al-Lahwu (hiburan) dalam hadits adalah :
Memukul alat musik rebana dan menyanyikan lagu-lagu dengan puisi yang
tidak ada kata-kata mengandung dosa di dalamnya , dan bukan dengan lagu-lagu
yang membangkitkan keburukan, seperti yang mengandung deskripsi tentang
kecantikan dan kekejian serta diiringi dengan berbagai macam jenis alat musik ,
yang mana hal ini adalah diharamkan dalam pernikahan dan yang lainnya.
Dan perkataan beliau ﷺ :
“Orang Anshar menyukai hiburan” artinya: mereka menyukai hiburan semacam
ini; Karena kelembutan dan cinta mereka akan kegembiraan .
Dan dalam hadits terdapat faidah-faidah sbb :
1. Melestarikan adat istiadat masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum Allah SWT.
2. Di syariatkannya seorang wanita meninggalkan rumahnya untuk hal yang
diperbolehkan.
3. Partisipasi wanita dengan wanita lain dalam acara-acara bersuka ria
dan acara-acara lainnya yang berhubungan dengan sesuatu ".
HADITS KE 5.
Rabi’ binti
Mu’awwadz bin ‘Afra’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ﷺ
غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي،
وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ
يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي
غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ
تَقُولِينَ
”Nabi ﷺ datang menemuiku
pada pagi hari ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku
seperti kamu duduk di dekatku. Lalu gadis-gadis kecil kami memukul alat musik rebana
dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika
salah seorang dari mereka melantunkan nyanyian :
’Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang
akan terjadi besok’,
Maka beliau bersabda,
’Tinggalkan (Ucapan
"Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok") itu, dan katakanlah apa yang telah engkau ucapkan
sebelumnya.’”
(HR. Bukhari no. 4001, Abu Dawud no. 4922, dan Tirmidzi no.
1090)
Ibnu Baththal dalam syarah Shahih al-Bukhori 7/263 berkata :
"قَالَ الْمُهَلَّبُ: السُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِالدُّفِّ
وَالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ؛ لِيَكُونَ ذَلِكَ فَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّفَّاحِ
الَّذِي يَسْتَسْرِ بِهِ. وَفِيهِ: إِقْبَالُ الْعَالِمِ وَالْإِمَامِ إِلَى الْعُرْسِ
وَإِنْ كَانَ فِيهِ لَعِبٌ وَلَهْوٌ مَا لَمْ يَخْرُجْ اللَّهْوُ عَنِ الْمُبَاحَاتِ
فِيهِ. وَفِيهِ: جَوَازُ مَدْحِ الرَّجُلِ فِي وَجْهِهِ بِمَا فِيهِ، وَإِنَّمَا الْمَكْرُوهُ
مِنْ ذَلِكَ مَدْحُهُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ".
Al-Muhallab berkata: "Yang Sunnah adalah mengumumkan pernikahan
dengan Rebanaan dan nyanyian yang mubah ; agar ada perbedaan yang jelas antara
nikah dan perbuatan cabul yang sembunyi-sembunyi [zina]. Dalam hal ini, seorang
ulama dan imam dianjurkan untuk menghadiri acara pernikahan, meskipun di sana
terdapat permainan dan hiburan, asalkan hiburan tersebut tidak melampaui batas
yang diizinkan. Dalam hal ini, juga diizinkan untuk memuji seseorang dengan
sifat yang ada pada dirinya, asalkan pujian tersebut sesuai dengan kenyataan.
Namun, yang dimakrukan adalah memuji seseorang dengan sesuatu yang tidak ada
pada dirinya."
Dan hadits ini menunjukkan bahwa nyanyian (sebagai perbuatan
tersendiri) menjadi haram jika mengandung perkataan yang bertentangan dengan
agama.
Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar berkata:
“Hadits tersebut mengandung dalil bolehnya ditabuh rebana
dalam pesta pernikahan. Boleh juga didendangkan beberapa kalimat semisal
(syair), seperti: kami datang kami datang dst. Asalkan bukan lagu yang
membangkitkan kekejian dan kejahatan.”
HADITS KE 6 :
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
أَنْكَحَتْ عَائِشَةُ ذَاتَ قَرَابَةٍ
لَهَا مِنْ الْأَنْصَارِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ - فَقَالَ: "أَهْدَيْتُمْ
الْفَتَاةَ؟ " قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: "أَرْسَلْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي؟
" قَالَتْ: لَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -: "إِنَّ الْأَنْصَارَ قَوْمٌ
فِيهِمْ غَزَلٌ، فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ
… فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"
Dahulu ‘Aisyah
pernah menikahkan kerabatnya dari kaum Anshar, lalu Rasulullah ﷺ datang
dan bertanya : “Apakah kalian mengantarkan wanita (pengantin perempuan)?”.
Mereka menjawab, “Ya”.
Beliau ﷺ
bertanya, “Apakah kalian mengantarkannya disertai dengan seseorang yang
akan bernyanyi ?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidak”.
Maka Rasulullah ﷺ berkata
: “Sesungguhnya kaum Anshar itu adalah kaum yang suka hiburan. Alangkah baiknya
kalau kalian mengantarnya dengan disertai seorang yang
menyanyikan lagu:
أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ
*** فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"
“Kami
datang kepada kalian, kami datang kepada kalian *** penghormatan kepada kami
dan penghormatan kepada kalian”.
[HR. Ibnu Majah juz
1, hal. 612, no. 1898]
Syu'aib al-Arna'uth
berkata:
"حَسَنٌ لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ الأَجْلَحِ
- وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُجِيَّةَ الْكِنْدِيِّ -، وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ
عَلَى الأَجْلَحِ كَمَا سَيَأْتِي. فَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ فِي "شَرْحِ مُشْكِلِ
الآثَارِ" (3321) مِنْ طَرِيقِ جَعْفَرِ بْنِ عَوْنٍ، بِهَذَا الإِسْنَادِ.
وَأَخْرَجَهُ
أَحْمَدُ (15209)، وَالْبَزَّارُ (1432 - كِشَفِ الأَسْتَارِ) وَالنَّسَائِيُّ فِي
"الْكُبْرَى" (5540) مِنْ طَرِيقِ الأَجْلَحِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، بَدَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ."
"Derajat
hadits Hasan Lighoirihi . Dan sanad ini lemah karena kelemahan al-Ajlah - yang
mana dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah al-Kindi -, dan telah terjadi
perbedaan pendapat tentang al-Ajlah seperti yang akan dijelaskan. Ath-Thahawi
meriwayatkannya dalam "Syarh Mushkil al-Atsar" (3321) dari jalur
Ja'far bin 'Aun dengan sanad ini.
Ahmad
meriwayatkannya (15209), dan al-Bazzar (1432 - Kasyf al-Astar) dan al-Nasa'i
dalam "Al-Kubra" (5540) dari jalur al-Ajlah, dari Abu al-Zubair, dari
Jabir bin Abdullah, menggantikan Abdullah bin Abbas."
HADITS KE 7 (MUSIK PADA ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI ﷺ WAFAT):
Dari Abul Husain
(nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :
كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ
عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا
عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ عِنْدِى جَارِيَتَانِ
يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا يَوْمَ بَدْرٍ،
وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ. وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ.
فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ اِلاَّ
اللهُ.
Dahulu (pada zaman para sahabat setelah Nabi ﷺ wafat)
ketika kami di Madinah pada hari ‘Asyura’ (di bulan Muharram), pada waktu itu
ada wanita-wanita sedang memukul alat musik rebana dan bernyanyi, lalu kami
masuk pada Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu 'anha, lalu kami ceritakan
kepadanya yang demikian itu.
Maka dia berkata
: “Dahulu Rasulullah ﷺ datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di
dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya)
menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan
diantara yang mereka nyanyikan adalah :
“Dan diantara kita
ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi”.
Maka (Rasulullah ﷺ)
menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak
ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.
[HR. Ibnu Majah
1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan al-Arna’uth dalam Takhrij
Ibnu Majah].
Dan diriwayatkan
pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922), at-Tirmidzi (1115), dan
an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur Khalid bin Zakwan,
dengan sanad ini.
Dan juga terdapat
dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan "Sahih Ibn Hibban" (5878).
HADITS KE 8 (MUSIK PADA
ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI ﷺ WAFAT): :
Al-Bayhaqi dalam
kitabnya “السنن الكبرى” di no. (14469)
meriwayatkan dengan sanad yang bagus (Hasan) : Dari ‘Aamir bin
Saad Al-Bajali mengatakan:
"شَهِدْتُ
ثَابِتَ بْنَ وَدِيعَةَ وَقُرَظَةَ بْنُ كَعْبِ الْأَنْصَارِيُّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا
غِنَاءٌ فَقُلْتُ لَهُمَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَا : " إِنَّهُ قَدْ رُخِّصَ فِي
الْغِنَاءِ فِي الْعُرْسِ وَالْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي غَيْرِ نِياحَةٍ."
Saya menyaksikan
Thabit bin Wadii’ah dan Qurodzoh bin Ka'b al-Anshaary di sebuah acara
pernikahan, dan kebetulan ada nyanyi-nyanyi, maka saya bertanya tentang itu
kepada mereka berdua , lalu mereka berdua mengjawab : Sesungguhnya menyanyi itu
telah di bolehkan pada acara pernikahan dan begitu juga di bolehkan menangisi
orang mati selain ratapan “. ( Sanadnya Hasan )
HADITS KE 9 (MUSIK PADA
ZAMAN SAHABAT SETELAH NABI ﷺ WAFAT) :
Dan al-Nasa'i
(3383) meriwayatkan dengan sanad SHAHIH : Dari Amir bin Saad yang
berkata:
دَخَلْتُ
عَلَى قَرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ،
وَإِذَا جَوَارٍ يَتغَنَّيْنَ قُلْتُ: أَنْتُمَ أَصَحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَهْلُ
بَدْرٍ يَفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ قَالَا: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا،
وَإِنْ شِئْتَ فَاذْهَبْ فَإِنَّهُ قَدْ «رُخِّصَ لَنَا فِي اللهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ»
Saya pergi ke
Qaradzoh ibnu Ka'b dan Abu Mas’ud al-Anshari dalam sebuah acara pernikahan, dan
ternyata di sana ada para budak perempuan sedang bernyanyi , Lalu saya berkata
: Anda berdua adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ , dan
dari anggota pasukan perang Badar, Apakah yang demikian ini dilakukan
dikalangan kalian ? .
Maka salah satu
dari keduanya menjawab : “ Duduklah bersama kami jika anda mau , tapi jika anda
ingin pergi, silahkan ! Sesungguhnya
telah di bolehkan bagi kami hiburan pada acara pernikahan “.
[ Di SHAHIHKAN
al-Albaani dalam Takhrij Misykaat al-Mashaabih no. 3159 dan dihasankan sanadnya
oleh abdul Qodir al-Arna’uth dalam Takhrij Jami’ al-Ushul Li Ibnil Atsiir
11/440 no. 8978].
Yang dimaksud
dengan الغِنَاءُ (bernyanyi) dalam riwayat ini, adalah bernyanyi sambil menabuh alat musik Rebana
berdasarkan dalil riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 12250 dan al-Bayhaqi dalam
As-Sunan al-Kubra (7/472 no. 14693) :
وَجَوَارِي
يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيُغَنِّينَ
“ Dan
para budak perempuan menabuh Rebana dan sambil bernyanyi “.
====
KETIGA : KUMPULAN HADITS NYANYI DAN MUSIK DI SELAIN HARI RAYA DAN PESTA PERNIKAHAN :
Dari
Abdullah bin Bardah dari bapaknya Buraidah::
أَنَّ أُمَّةَ سَوْدَاءَ أَتَتْ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ - وَرَجَعَ
مِنْ بَعْضِ مَغَازِيهِ -
فَقَالَتْ إِنِّي كُنتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ صَالِحًا (وَفِي رِوَايَةٍ سَالِمًا)
أَنْ أُضْرَبَ عِنْدَكَ بِالدِّفِّ [وَأَتَغَنَّى]؟
قَالَ: "إِنْ كُنْتِ فَعَلْتِ
(وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: نَذَرْتِ)، فَافْعَلِي، وَإِنْ كُنْتِ لَمْ تَفْعَلِي
فَلَا تَفْعَلِي".
فَضَرَبَتْ، فَدَخَلَ أَبُو
بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، وَدَخَلَ غَيْرُهُ وَهِيَ تَضْرِبُ.
ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ، قَالَ:
فَجَعَلَتْ دُفَّهَا خَلْفَهَا، (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: تَحْتَ اسْتِهَّا
ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ)، وَهِيَ مُقَنَّعَةٌ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
"إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَفْرُقُ (وَفِي رِوَايَةٍ: لَيَخَافُ) مِنْكِ يَا عُمَرُ!
أَنَا جَالِسٌ هَهُنَا [وَهِيَ تَضْرِبُ]، وَدَخَلَ هَؤُلَاءِ [وَهِيَ تَضْرِبُ]، فَلَمَّا
أَنْ دَخَلْتَ [أَنْتَ يَا عُمَرُ] فَعَلَتْ مَا فَعَلَتْ، (وَفِي الرِّوَايَةِ: أَلْقَتْ
الدَّفَّ) .
“Sesungguhnya
budak perempuan hitam menghampiri Rasulullah ﷺ sepulang beliau dari suatu peperangan,
lalu ia berkata :
“
Sesungguhnya aku telah bernadzar jika Allah memulangkan engkau dalam keadaan
selamat, maka aku akan menabuh alat musik rebana di sisi engkau dan
bernyanyi”.
Rasulullah
ﷺ
menjawab : “Jika kamu telah bernadzar, maka lakukan lah !. Tapi jika kamu tidak
bernadzar, maka jangan kamu lakukan itu “!.
Lalu ia
pun menabuh alat musik rebana. Tidak lama kemudian masuklah Abu Bakar, namun ia
tetap berdendang menabuh rebana dan bernyanyi . Lalu yang lain juga masuk, dan
ia pun tetap berdendang.
Kemudian
Umar datang dan masuk , maka ketika ia melihat Umar , ia pun segera menaruh
rebana itu di belakangnya
Sebagian
riwayat menyebutkan : “Ditaruh di bawah bokongnya dan mendudukinya. Lalu ia pun
diam”.
Rasulullah
ﷺ
bersabda : “Sesungguhnya syeithan benar-benar takut padamu wahai Umar. Karena
ketika aku duduk di sini, dan orang-orang ini masuk , ia tetap berdendang. Akan
tetapi begitu kamu masuk, wahai Umar, dia langsung berhenti , ia melakukan
sebagaimana yang ia lakukan”.
Sebagian
riwayat mengatakan : “Ia melempar rebananya”.
(
HR. Turmudzi 2/293-294 , Ibnu Hibbaan no. 1193 dan 2186 , Baihaqi 10/77 dan
Imam Ahmad 5/353 dan 356 ].
Lafadz
Tirmidzi :
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا
انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ
بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ
فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ
عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا
عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ
تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ
Rasulullah ﷺ
berangkat menuju salah satu peperangan, ketika beliau ﷺ telah pulang, seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi
beliau sambil berkata;
"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah
mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi
didekat baginda."
Maka Rasulullah ﷺ
bersabda: "Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan lakukan namun jika
tidak, maka jangan kamu lakukan."
Budak wanita itu pun menabuh rebana, kemudian Abu Bakar masuk dan budak
itu masih menabuh rebana, Ali masuk, dia pun masih menabuh rebana, kemudian
Utsman masuk dan dia tetap menabuh rebananya, dan ketika Umar masuk, budak itu
menyembunyikan rebananya di balik pangkalnya dan duduk di atasnya."
Lalu Rasulullah ﷺ
bersabda; "sesungguhnya setan benar-benar takut darimu wahai Umar, karena
ketika aku sedang duduk dia (budak wanita) menabuh rebananya lalu Abu Bakar
masuk dan ia masih menabuh, lalu Ali masuk dan ia masih menabuh, lalu Utsman
masuk dan ia masih menabuh, namun tatkala kamu yang masuk wahai Umar ia segera
membuang rebananya."
Turmudzi
berkata : Hadits Hasan Shahih Ghoriib “.
Hadits
ini di shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu al-Qath-than sebagaimana yang
disebutkan oleh al-Albaani dlm ash-Shahihah no. 1609 dan 2261 .
Dan
Syeikh al-Albaani dalam (إِرْوَاءُ
الْغَلِيلِ) (8/214) berkata : “Sanadnya SHAHIH sesuai
syarat Muslim “.
Pernyataan
Syeikh Al-Albani - semoga Allah merahmatinya - sebagai berikut:
" ويَجُوزُ لَه – أي للعَرِيْسِ – أن يَسْمَحَ للنِّسَاءِ بِإِعْلَانِ
النِّكَاحِ بِالضِّرْبِ عَلَى الدُّفِّ فَقَطْ، وَبِالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ الَّذِي
لَيْسَ فِيهِ وَصْفُ الجَمَالِ وَذِكْرُ الْفُجُورِ."
"Dan
diperbolehkan baginya - yaitu pengantin pria – untuk mempersilahkan para wanita
meramaikan suasana pernikahan dengan memukul alat musik Rebana saja, dan dengan
menyanyikan nyanyian yang dibolehkan yang tidak mengandung deskripsi kecantikan
dan penyebutan kemaksiatan ...”.
Kemudian
Syeikh menyebutkan dalil-dalilnya tentang hal tersebut." [ Dari Kitab "Aadab Al-Zafaaf"
(halaman 93)].
HADITS KE 2 :
Diriwayatkan dari Amru bin
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :
أنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ، قَالَ: أَوْفِي
بِنَذْرِكِ، قَالَتْ: إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَذْبَحَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا، مَكَانٌ
كَانَ يُذْبَحُ فِيهِ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، قَالَ: لِصَنَمٍ؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ:
لِوَثَنٍ؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: أَوْفِي بِنَذْرِكِ.
“Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah
bernadzar untuk menabuh alat musik rebana di hadapan anda “.
Beliau ﷺ
berkata: "Penuhi nadzarmu!"
Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan
di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah
menyembelih di sana .
Beliau ﷺ
bertanya : "Untuk patung?" Ia berkata ; tidak. Beliau ﷺ bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia berkata; tidak.
Beliau ﷺ berkata: "Penuhi nadzarmu!".
HR.
Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih
Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إِرْوَاءُ
الْغَلِيلِ) (2/213-214 )
HADITS KE 3
(Musik dan Biduanita Di selain hari raya dan pernikahan) :
Diriwayatkan oleh
Ahmad dlm Musnadnya (15720), dan al-Nasa'i di kitab as-Sunan al-Kubra (8960)
dengan sanad yang shahih : Dari al-Sa'ib bin Yazid :
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ
اللهِ ﷺ فَقَالَ: " يَا عَائِشَةُ أَتَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: لَا،
يَا نَبِيَّ اللهِ، فَقَالَ: " هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلَانٍ تُحِبِّينَ
أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَعْطَاهَا طَبَقًا فَغَنَّتْهَا،
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " قَدْ نَفَخَ الشَّيْطَانُ فِي مَنْخِرَيْهَا "
“Bahwa seorang
wanita datang kepada Rasulullah ﷺ , dan beliau bertanya :
“Wahai
Aisyah, apakah kamu mengenal wanita ini?
Dia menjawab : “
Tidak, wahai Nabi Allah”. Beliau ﷺ berkata : Dia ini qoynah (biduanita)
dari bani Fulan , Apakah kamu ingin dia menyanyi untukmu ?”.
Aisyah menjawab :
Iya .
Dia berkata : Lalu beliau
memberikan kepadanya nampan (piring besar untuk ditabuh), maka dia
menyanyikannya.
Lalu Rosulullah ﷺ
bersabda : “Sungguh Setan telah menghembuskan napas ke dalam dua lubang
hidungnya”.
Dan al-Haitsami
mencatatnya dalam "Al-Majma'" (8/130) dan berkata:
"روَاهُ
أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الكَبِيرِ" وَرِجَالُ أَحْمَدَ رِجَالُ
الصَّحِيحِ".
"Diriwayatkan
oleh Ahmad dan al-Ṭabarani dalam 'Al-Kabir,'
dan perawi-perawi Ahmad termasuk dalam perawi yang shahih."
Syeikh al-Albaani
dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 3281 berkata :
إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ
“Sanadnya
Shahih sesuai standar Shahih Bukhori dan Muslim”.
Dan di Shahihkan
pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 24/497.
Makna Qoynah (القَيْنَةُ):
القَيْنَةُ (جَمْعُها: القِيانُ) تَعني
في اللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ الأَمَةَ (الجَارِيَةَ) أَوِ المُغَنِّيَةَ، وَغَالِبًا
ما تُطْلَقُ عَلَى الجَارِيَةِ المُغَنِّيَةِ أَوِ المُطْرِبَةِ. كَمَا تُطْلَقُ أَيْضًا
عَلَى الماشِطَةِ الَّتِي تُتْقِنُ المَشْطَ وَتُزَيِّنُ العَرُوسَ. وَيُسْتَخْدَمُ
المُصْطَلَحُ لِوَصْفِ طَبَقَةٍ اجْتِمَاعِيَّةٍ مِنَ النِّسَاءِ فِي العَالَمِ الإِسْلَامِيِّ
قَبْلَ العَصْرِ الحَدِيثِ، كُنَّ مُدَرَّبَاتٍ عَلَى الفُنُونِ وَالتَّرْفِيهِ.
“Qainah (jamaknya:
Qiyan) berarti dalam bahasa Arab budak perempuan (jariyah) atau penyanyi
perempuan, dan sering digunakan untuk menyebut penyanyi perempuan atau biduan.
Istilah ini juga
digunakan untuk penyebutan tukang rias yang mahir menyisir rambut dan menghias
pengantin.
Istilah tersebut
dipakai untuk menggambarkan suatu kelas sosial dari kalangan perempuan di dunia
Islam sebelum zaman modern, yang terlatih dalam seni dan hiburan”.
Namun dalam hadits
ini tidak dijelaskan bahwa nyanyian budak perempuan ini dilakukan dengan
iringan alat musik. Akan tetapi pada umumnya ungkapan kata “menyanyi” itu
termasuk sambil menabuh Rebana , sebagaimana dalam Atsar sahabat riwayat Amir
bin Saad yang tersebut diatas.
As-Sindi mengatakan
dalam kitabnya “الحَاشِيَةُ
عَلَى المُسْنَدِ“ :
"أَن تُغَنِّيك" بالتشديد، وَفيهِ جَوَازُ ذَلِكَ عَلَى قَلَّةٍ
مِنْ غَيْرِ عُرْسٍ وَعِيدٍ، كَمَا يَجُوزُ فِيهِمَا وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا كَانَتْ
أَيَّامَ عِيدٍ.
"قَدْ نَفَخَ": أَيْ فَلِذَلِكَ اتَّخَذَتْ ذَلِكَ عَادَةً،
وَأَمَّا التَّغْنِي أَحِيَانًا، فَجَائِزٌ، فَلَا مُنَافَاةَ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ
الْإِذْنِ السَّابِقِ الدَّالِ عَلَى الْجَوَازِ، وَفِيهِ حُسْنُ الْمُعَاشَرَةِ مَعَ
الْأَهْلِ".
“ Kata : "
أن تُغَنِّيك(Agar dia Menyanyi untukmu)" dibaca
dengan tasydiid , dalam kata tsb menunjukkan bolehnya bernyanyi dalam jumlah
yang sedikit di selain acara pernikahan dan hari raya , sama seperti halnya
diperbolehkan pada keduanya , dan bisa jadi dlm hadits tsb terjadi di hari-hari
raya Idul Fitri.
"Dia telah
menghembuskan napas ": Artinya, dia telah menjadikannya sebagai kebiasaan.
Adapun untuk menyanyi yang kadang-kadang maka itu diperbolehkan. Tidak ada
kontradiksi antara ijin ini dan ijin sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ijin
tersebut diperbolehkan, dan termasuk membanguan hubungan intim yang baik dengan
keluarga. [Dikutip dari Hamisy al-Musnad 24/497 oleh Syu’aib al-Arna’uth].
HADITS KE 4 (Musik di
Sekitar Kota Madinah di Hari-Hari Biasa) :
Dari Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَاِذَا
هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفّهِنَّ وَ يَتَغَنَّيْنَ وَ يَقُلْنَ:
نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ
… يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ»
bahwasanya Nabi ﷺ pernah
melewati bagian dari kota Madinah, tiba-tiba beliau melewati para wanita yang
memukul alat musik rebana dan bernyanyi, mereka mengucapkan :
“Kami tetangga dari Bani
Najjar *** Alangkah baiknya Muhammad sebagai tetanggaku”.
Maka Nabi ﷺ
bersabda “ “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian”.
[HR. Ibnu Majah 1/612, no. 1899, ath-Thabarani dalam ash-Shaghiir no.
78 , Ibnu as-Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 229 dan al-Khollaal dalam
al-Jami’ hal. 60]
Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah, juga oleh
al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah dan juga oleh Fuad Abdul Baaqi dalam
Ta’liiq Ibnu Majah 1/612 no. 1899.
HADITS
KE 5 : (Musik dan Nyanyian di Hari ‘Asyura pada zaman Sahabat)
Dari Abul Husain (nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :
كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى
يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ
مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ :
صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ عِنْدِى جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ
آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا يَوْمَ بَدْرٍ، وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ.
وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ
تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ اِلاَّ اللهُ.
Dahulu
(pada zaman para sahabat setelah Nabi ﷺ wafat) ketika kami di Madinah pada hari ‘Asyura’ (di bulan
Muharram), pada waktu itu ada wanita-wanita sedang memukul alat musik rebana
dan bernyanyi, lalu kami masuk pada Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu
'anha, lalu kami ceritakan kepadanya yang demikian itu.
Maka dia berkata : “Dahulu Rasulullah ﷺ datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di
dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya)
menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan
diantara yang mereka nyanyikan adalah :
“Dan diantara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan
terjadi besok pagi”.
Maka (Rasulullah ﷺ)
menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak
ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.
[HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan
al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah].
Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922),
at-Tirmidzi (1115), dan an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur
Khalid bin Zakwan, dengan sanad ini.
Dan juga terdapat dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan
"Sahih Ibn Hibban" (5878).
HADITS
KE 6 ( Nyanyi diiringi Alat Musik Sejenis Kecapi di hari-hari biasa)
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (radhiyallahu ‘anhu)
:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ
ﷺ
خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ
أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ
سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ
لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ
تَقُولُ فِي غِنَائِهَا:
هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ *** إنْ لَهَوْتُ مِنْ
حَرَجٍ.
فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ
ﷺ
، وَقَالَ : لَا حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar ketika Hassan (radhiyallahu ‘anhu)
telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat (radhiyallahu
‘anhum) duduk dua shaf.
Dan di tengah-tengah mereka terdapat budak
perempuan milik Hassan (radhiyallahu ‘anhu) bernama Sirin membawa mizhar-nya
(sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) lalu ia berdendang untuk para
sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan:
“Celaka! Apakah ada dosa atas diriku jika aku
berdendang?”
Maka Rasulullah ﷺ tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa
(tidak ada dosa atas dirimu).”
[HR. Ibnu Asaakir dalam Tarikh Damasqus 12/415 ]
Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asaakir menyebutkan hadits Abdullah bin
‘Abbas (radhiyallahu ‘anhu) di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyqi (12/415)
dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah
bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (radhiyallahu ‘anhu) .
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah ﷺ, bahkan tergolong hadits yang maudhu’
(palsu).
Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab
beliau Al-Maudhu’aat (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang
Bolehnya Nyanyian).
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Takhrij
beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab
(hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil.
HADITS
KE 7 : NYANYIAN DAN MUSIK HIJRAH
Al-Imam al-Baihaqi dalam Dalaa’il an-Nubuwwah 5/266 meriwayatkan dari
Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah rahimahullah (228 H) beliau berkata :
"لَمَّا قَدِمَ رسول الله ﷺ الْمَدِينَةَ جَعَلَ النِّسَاءُ
وَالصِّبْيَانُ وَالْوَلَائِدُ يَقُلْنَ:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا = مِنْ ثَنِيَّاتِ
الْوَدَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا = مَا دَعَا
لِلَّهِ دَاعْ"
“Ketika Nabi Muhammad ﷺ datang
ke Madinah, maka para wanita, anak-anak kecil , dan bayi yang baru lahir
mengucapkan:
“Bulan purnama telah terbit atas kita *** dari Tsaniyyatul Wadaa’ “
“Maka wajiblah kita mengucapkan syukur *** atas apa yang da’i serukan
kepada Allah ”
Diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Khula'i dalam “Al-Fawa'id” (2/59),
dan Al-Bayhaqi dalam “Dala'il Al-Nubuwwah” (No. 752, 2019), dan Al -Hafiz Ibnu
Hajar mengaitkannya dalam “Fath Al-Bari” (7/261) dengan Abu Sa’id dalam “Syaraf
Al-Mustafa”: Semuanya berasal dari ulama terpercaya Abu Khalifah Al-Fadhel bin
Al-Habbab (w. 305 AH) - lihat biografinya dalam “Siyar Alam Al-Nubala'”
(14/7) - dari Ibnu Aisyah ....
Sanad hadits ini lemah, karena adanya keterputusan yang
besar. Ibnu Aisyah meninggal terlambat, dan dia adalah salah satu syekh
Imam Ahmad dan Abu Dawud, lalu bagaimana dia bisa meriwayatkan suatu peristiwa
yang terjadi pada masa Nabi ﷺ tanpa
sanad?
Itulah sebabnya Al-Hafidz Al-Iraqi, rahimahullah, berkata: “Mu’dhol.”
[Dari “Takhradj Al-Ihya” (1/571)].
Al-Hafiz Ibnu Hajar, rahimahullah, berkata: “Ini adalah sanad yang
Mu’dhol.” [“Fath al-Bari” (7/262)].
Syekh Al-Albani, rahimahullah, berkata:
"وَهَذَا
إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، لَكِنَّهُ مُعْضَلٌ، سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ
ثَلَاثَةُ رُوَاةٍ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِنَّ ابْنَ عَائِشَةَ هَذَا مِنْ شُيُوخِ أَحْمَدَ
وَقَدْ أَرْسَلَهُ... فَالْقِصَّةُ بِرِمَّتِهَا غَيْرُ ثَابِتَةٍ."
"Ini adalah sanad yang lemah. Para perawinya dapat dipercaya,
tetapi Mu’dhol. Tiga atau lebih perawi dihilangkan dari sanadnya. Ibnu
Aisyah ini adalah salah satu dari Syeikh Ahmad dan beliau yang memursalkannya
... jadi kisah keseluruhannya tidak terbukti.” [Baca :“adh-Dha’iifah” (2/63)].
Al-‘Allaamah Ibnu al-Qayyim menjelaskan asal muasal cerita yang
menceritakan kepada kita saat beliau ﷺ tiba dari Mekkah menuju Madinah, dan dia berkata:
"هُوَ وَهْمٌ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ "ثَنِيَّاتِ الْوَادِعِ"
إِنَّمَا هِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الشَّامِ، لَا يَرَاهَا الْقَادِمُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى
الْمَدِينَةِ، وَلَا يَمُرُّ بِهَا إِلَّا إِذَا تَوَجَّهَ إِلَى الشَّامِ."
“Itu adalah khayalan belaka, karena “Tsaniyyat al-Wadaa' hanya dari
arah Syaam , maka orang yang datang dari Mekkah ke Madinah tidak akan
melihatnya, dan dia tidak akan melewatinya kecuali jika dia menuju arah ke
Syam. [Akhir kutipan. “Zad al-Ma’ad” (3/551)].
Itulah sebabnya Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"ولعَلَّ ذَلكَ كَان في قُدُوْمه مِنْ غَزْوَة تَبُوك".
“Mungkin ini terjadi pada saat kedatangannya dari Perang Tabuk.” [
“Fath al-Bari” (7/262)].
Namun, alasan ini tidak bisa diterima begitu saja, karena di antara
para perawi kisah ini diketahui bahwa hal itu terjadi ketika Nabi Muhammad ﷺ datang dari Mekah ke Madinah, sebagaimana yang Imam Al-Bayhaqi
katakan :
"هَذَا يَذْكُرُهُ عُلَمَاؤُنَا
عِنْدَ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةِ مِنْ مَكَّةَ، لَا أَنَّهُ لِمَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ عِنْدَ مَقْدَمِهِ مِنْ تَبُوكَ."
“Hal ini disebutkan oleh para ulama kami : Yaitu ketika beliau ﷺ datang ke Madinah dari Mekah, bukan ketika Beliau datang ke
Madinah dari arah Tsaniyat al-Wada’ saat beliau datang dari Tabuk. [“Dalaa’il
an-Nubuwwah”].
Banyak sejarawan menyebutkan bahwa Tsaniyat al-Wada' adalah dari arah
Mekah, dan mungkin ada Tsaniyat lain dari arah Syaam dengan nama yang sama.
Yang lain juga menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ memasuki Madinah, beliau melewati rumah-rumah kaum Ansar,
hingga beliau melewati Bani Saa'idah, dan rumah mereka berada di sebelah utara
Madinah dekat Tsaniyat al-Wada' . Beliau tidak memasuki pedalaman Madinah
kecuali dari arah itu hingga beliau tiba di rumahnya di sana.
Lihat: “Mu'jam al-Buldan” oleh Yaqut al-Hamawi (2/86), “Thorh
al-Tatsriib” oleh al-Iraqi (7/239-240), “Subul al-Hudaa wa al-Rasyaad” oleh
ash-Shoolihi al-Shami (3/277), dan “ al-Atsar al-Muqtafaa li Qishotil Hijrotil
Mushtofaa” karya Abu Turab Adz-Dzoohiri (hal. 155-162).
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
"ضَعْفُ سَنَدِ هَذِهِ الأبياتِ لَا يَعْنِي عَدَمَ جَوَازِ
ذِكْرِهَا أَوْ حِكَايَتِهَا أَوْ إِنشَادِهَا، فَمَعَانِيهَا صَحِيحَةٌ حَسِنَةٌ،
وَشُهْرَتُهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ شُهْرَةٌ ذَائِعَةٌ وَاسِعَةٌ، وَلَيْسَ فِيهَا
شَيْءٌ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يُتَشَدَّدَ
فِي إِسْنَادِهَا، إِنَّمَا هِيَ مِنْ كَلَامِ الصَّحَابَةِ رَضِوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.
وَقَدْ ذَهَبَ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى التَّسَاهُلِ
وَالتَّخْفِيفِ فِي مَرْوِيَّاتِ السِّيرَةِ، وَالْقِصَصِ، وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِينَ الَّتِي لَا يَنْبَنِي عَلَيْهَا عَقِيدَةٌ أَوْ شَرِيعَةٌ."
"Kelemahan sanad (rantai perawi) pada syair [طَلَعَ
البَدْرُ] ini tidak berarti bahwa menyebutkan,
menceritakan, atau menyanyikannya itu tidak dibolehkan. Maknanya sahih dan
baik, dan popularitasnya di kalangan umat Islam sangat luas. Apalagi Syair
tersebut bukan sabda Nabi Muhammad ﷺ , maka tidak perlu memperkeras dalam sanadnya. Sebaliknya,
syair ini berasal dari perkataan para Sahabat, semoga Allah meridhai
mereka."
Lagi pula mayoritas para ulama
berpendapat adanya kelonggaran dan keringanan dalam riwayat yang berkaitan
dengan biografi, kisah, dan ucapan para sahabat dan para tabi’iin yang tidak
berkaitan dengan pondasi aqidah atau syariat” . [Islamqa no. 119722]
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah dalam “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi”
(1/372) berkata :
"يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ رحمه الله : لَا تَأْخُذُوا هَذَا الْعِلْمَ فِي الْحَلَالِ
وَالْحَرَامِ إلَّا مِنَ الرُّؤُسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ
الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ، وَلَا بَأْسَ بِمَا سَوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ".
“Sufyan al-Thawri rahimahullah berkata: Janganlah kamu mengambil
ilmu tentang apa yang halal dan apa yang haram kecuali dari para pemimpin yang
terkenal ilmunya dan mengetahui apa yang ditambahkan dan apa yang dikurangi.
Dan adapun ilmu selain itu semua ; maka tidak mengapa mengambil dari para
syeikh”.
Ibnu Abi Hatim berkata :
"ثَنَا أَبِي نَا عَبْدَة قَالَ: قِيلَ لِابْنِ الْمُبَارَكِ
- وَرَوَى عَنْ رَجُلٍ حَدِيثًا - فَقِيلَ: هَذَا رَجُلٌ ضَعِيفٌ! فَقَالَ: يَحْتَمَلُ
أَنْ يُرَوِّيَ عَنْهُ هَذَا الْقَدَرُ أَوْ مِثْلُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ. قُلْتُ لِعُبَيْدَةَ:
مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ؟ قَالَ: فِي أَدَبٍ فِي مَوْعِظَةٍ فِي زُهْدٍ."
Telah bercerita pada kami ayahku : telah mengkabarkan pada ku Abdah :
Dikatakan kepada Ibnu al-Mubarak : Telah diriwayatkan sebuah hadits
dari seorang laki-laki . Lalu ada yang mengatakan . Ini adalah lelaki yang
lemah!
Dia berkata: Mungkin boleh saja sekadar ini atau hal serupa
diriwayatkan darinya. Saya berkata kepada Abdah: Seperti apa itu ? Dia
bersabda: Dalam hal yang berkaitan dengan adab nasihat tentang kezuhudan”.
[“Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)]
Lalu Ibnu Rajab berkata :
"وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي مُوسَى بْنِ عَيِّينَةَ: يُكْتَبُ
مِنْ حَدِيثِهِ الرَّقَاقِ.
وَقَالَ ابْنُ عَيِّينَةَ: لَا تَسْمَعُوا مِنْ بَقِيَّةِ –
اسم واحد من الرُوَاةِ - مَا كَانَ فِي سُنَّةٍ، وَاسْمَعُوا مِنْهُ مَا كَانَ فِي
ثَوَابٍ وَغَيْرِهِ.
وَقَالَ أَحْمَدُ فِي ابْنِ إِسْحَاقَ: يُكْتَبُ عَنْهُ الْمَغَازِي
وَشُبَهِهَا.
وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي زِيَادِ الْبَكَائِيِّ: لَا بَأْسَ
فِي الْمَغَازِي، وَأَمَّا فِي غَيْرِهَا فَلَا."
Dan Ibnu Ma'in berkata tentang Musa bin Uyaynah: “Hadits darinya
tentang ar-Raqaaiq boleh ditulis”.
Dan Ibnu Uyaynah berkata: Jangan kalian dengar dari Baqiyyah - nama
salah satu perawi - apa saja yang berkaitan dengan sunnah, akan tetapi silahkan
dengar apa yang berkaitan dengan pahala dan hal-hal lain darinya”.
Ahmad berkata tentang Ibnu Ishaq : Silahkan ditulis darinya tentang
peperangan dan sejenisnya.
Ibnu Ma'in berkata tentang Ziyad Al-Bakai: Tidak ada salahnya meriwayatkan
darinya tentang peperangan, tapi dalam hal lain, tidak. [Akhiri kutipan
dari Ibnu Rajab / “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)].
Tidak ada keraguan bahwa bait-bait Sya’ir “ Thola’al Badru ‘Alaina
....” ini adalah salah satu riwayat yang lebih layak ditoleransi dalam kisah
dan narasinya.
Prof. DR. Akram Dhiya Al-‘Umari mengatakan:
"أمَّا اشتراطُ الصِّحَّةِ الحَدِيثِيَّةِ في قَبُولِ الأخْبَارِ
التَّارِيخِيَّةِ التي لا تَمسُّ العَقِيدَةَ وَالشَّرِيعَةَ فَفِيهِ تَعْسُفٌ كَثِيرٌ،
وَالخَطَرُ النَّاجِمُ عَنْهُ كَبِيرٌ؛ لأنَّ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ التي
دُونَهَا أسْلافُنَا المُؤَرِّخُونَ لَمْ تُعَامَلْ مُعَامَلَةَ الأحَادِيثِ، بَلْ
تَمَّ التَّسَاهُلُ فِيهَا، وَإِذَا رَفَضْنَا مِنْهُجَهُمْ فَإِنَّ الحَلَقَاتِ الفَارِغَةِ
في تَارِيخِنَا سَتَمْثُلُ هَوَّةً سَحِيقَةً بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَاضِينَا مِمَّا
يُولِدُ الحِيرَةَ وَالضِّيَاعَ وَالتَّمَزُّقَ وَالانْقِطَاعِ.. وَلَكِنْ ذَلِكَ لَا
يَعْنِي التَّخْلِي عَنْ مِنْهَجِ المُحَدِّثِينَ فِي نَقْدِ أَسَانِيدِ الرِّوَايَاتِ
التَّارِيخِيَّةِ، فَهِي وَسِيلَتُنَا إلَى التَّرْجِيحِ بَيْنَ الرِّوَايَاتِ الَّتِي
تَتَعَارَضُ، كَمَا أَنَّهَا خَيْرٌ مَعِينٌ فِي قَبُولِ أَوْ رَفْضِ بَعْضِ النَّصُوصِ
الْمُضْطَرَبَةِ أَوِ الشَّاذَّةِ عَنِ الإِطَارِ الْعَامِّ لِتَارِيخِ أُمَّتِنَا،
وَلَكِنَّ الإِفَادَةَ مِنْهَا يَنْبَغِي أَنْ تَتَمَّ بِمُرَوِّنَةٍ، آخِذِينَ بِعَيْنِ
الِاعْتِبَارِ أَنَّ الأَحَادِيثَ غَيْرَ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، وَأَنَّ
الأُولَى نَالَتْ مِنَ الْعِنَايَةِ مَا يُمْكِنُهَا مِنَ الصُّمُودِ أَمَامَ قَوَاعِدِ
النَّقْدِ الصَّارِمَةِ."
“Adapun persyaratan keshahihan hadits dalam menerima berita
sejarah yang tidak mempengaruhi aqidah dan syariah, terdapat banyak kesewenang-wenangan
[mestinya jangan terlalu dipersulit], dan bahaya yang diakibatkannya sangat
besar, karena riwayat-riwayat sejarah yang dicatat oleh sejarawan pendahulu
kita tidak pernah diperlakukan seperti terhadap hadits-hadits Nabawi ,
melainkan diperlakukan dengan toleransi.
Dan jika kita menolak manhaj mereka [para sejarawan], maka
episode-episode kosong dalam sejarah kita akan mewakili kesenjangan besar
antara kita dan masa lalu pendahulu kita, yang akan menimbulkan kebingungan,
kehilangan, perpecahan dan diskontinuitas.
Namun hal ini tidak berarti meninggalkan metode dan manhaj para ulama
ahli hadits dalam mengkritisi sanad-sanad riwayat sejarah, karena ini adalah
cara kita untuk mempertimbangkan riwayat-riwayat yang saling bertentangan. Dan
juga merupakan alat yang bagus dan berguna dalam menerima atau menolak beberapa
teks yang bermasalah atau menyimpang dari kerangka umum sejarah umat kita,
namun pemanfaatannya harus dilakukan secara fleksibel, dengan mempertimbangkan
bahwa hadits bukanlah riwayat sejarah. Dan hadits itu harus mendapat perhatian
yang lebih cukup agar hadits tersebut dapat bertahan dalam menghadapi
kaidah-kaidah kritik yang ketat”. [Akhiri kutipan dari kitab “Diraasat
Taarikhiyyah hal. 27].
Syeikh al-Munajjid berkata :
"فَالْخُلَاصَةُ أَنَّهُ لَا حُرُجَ فِي إِنْشَادِ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ،
وَالِاسْتِئْنَاسِ بِهَا، وَحِفْظِهَا، وَتَعْلِيمِهَا الْأَوْلَادِ الصَّغَارِ، وَإِنْ
لَمْ تُثْبَتْ بِالْأَسَانِيدِ الصَّحِيحَةِ، فَإِنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْأَحْدَاثِ تَكْفِي
رِوَايَتِهَا وَشَهْرَتِهَا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، ثُمَّ إِنَّ الْقِصَّةَ لَمْ
تَتَضَمَّنْ نِسْبَةَ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ إِلَى مُعَيِّنٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا
تَنْسِبُهَا لِلنِّسَاءِ وَالصُّبَيَّانِ وَالْوَلَائِدِ [يَعْنِي: الْجَوَارِي الصُّغَارِ]؛
فَهَذَا أَسْهَلُ لِشَأْنِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ"
Intinya, tidak ada salahnya melantunkan bait-bait sya’ir tersebut,
menghibur diri dengannya, menghafalnya, dan mengajarkannya kepada anak kecil,
meskipun sanadnya tidak shahih.
"Sebab peristiwa semacam ini sudah cukup diakui riwayatnya dan
sudah terkenal di kalangan para ulama. Selain itu, kisah tersebut tidak
mencakup penunjukan bahwa bait-bait ini berasal dari seseorang yang spesifik di
antara para sahabat, melainkan disebutkan sebagai karya para wanita, anak-anak,
dan para budak perempuan kecil. Ini adalah hal yang lebih mudah untuk dipahami.
Wallaahu a’lam.
HADITS KE 8 : NYANYIAN PENYEMANGAT JIHAD :
Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata,
جَعَلَ المُهَاجِرُونَ والأنْصَارُ يَحْفِرُونَ الخَنْدَقَ
حَوْلَ المَدِينَةِ، ويَنْقُلُونَ التُّرَابَ علَى مُتُونِهِمْ، وهُمْ يقولونَ:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا ... علَى الإسْلَامِ
ما بَقِينَا أبَدَا
قالَ: يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وهو
يُجِيبُهُمْ:
اللَّهُمَّ إنَّه لا خَيْرَ إلَّا خَيْرُ الآخِرَهْ...
فَبَارِكْ في الأنْصَارِ والمُهَاجِرَهْ .....
"Ketika kaum Muhajirin dan Anshar tengah menggali parit di
sekeliling Madinah [saat perang Ahzaab], dan memikul tanah di atas
pundak-pundak, mereka bersenandung :
"Kami adalah orang-orang yang telah berbai'at kepada Muhamamd atas
Islam, dan kami masih tetap seperti itu selama-lamanya."
Anas melanjutkan, "Ketika Nabi ﷺ mendengar itu, maka beliau membalasnya:
"Ya Allah, sesungguhnya tidak ada kebaikan (yang hakiki) kecuali
kebaikan akhirat, maka berkahilah kaum Anshar dan Muhajirin."
[HR. Bukhori no. 4099 dan Muslim no. 1805].
Syarah Hadits :
وَفِي
الحَدِيْثِ: إنْشَادُ الشِّعْرِ، والارْتِجَازُ في حَالِ العَمَلِ والجِهَادِ،
والاسْتِعَانَةُ بِذَلِكَ لتَنْشِيْطِ النُّفُوْسِ، وتَسْهِيْلِ الأعْمَالِ.
"Di dalam hadits terdapat menyanyikan syair, merangkai kata-kata
indah dalam keadaan beraktivitas dan berjihad, serta dengan hal tersebut bisa
membantu untuk menghidupkan semangat dan memudahkan pekerjaan." [ad-Duror
as-Saniyyah].
KE SEMBILAN : NYANYIAN AL-HUDAA
DAN AN-NASHEB :
Nyanyian al-Hudaa dan an-Nasheb
adalah nyanyian Arab Badui yang diperbolehkan untuk dinyanyikan dan didengarkan
. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan diperbolehkannya .
Makna Al-Hudaa’ atau Al-Hidaa’ [الْحِدَاءُ] dan makna
An-Nasheb ( النَصْب ) :
AL-HUDAA :
Al-Jauhary dalam
kitabnya As-Shihaah (7/159) berkata :
"الْحِدَاءُ: الْحِدْوُ سُوقُ الْإِبِلِ وَالْغِنَاءُ لَهَا."
Dan Hadaa’ ( الحداء ) :
penggiringan unta disertai nyanyian untuknya.
Ada yang mengatakan :
"الْحِدَاءُ: حَيْثُ كَانَ يُنْشَدُهُ الْحَادِّي
مُمْتَطِيًا نَاقَتَهُ، مُتَقَدِّمًا قَافِلَتَهُ لِيُحَثِّ إِبِلَهُ عَلَى الْمَسِيرِ
وَفِي مُحَاوَلَةٍ لِتَخْفِيفِ عُنَاءِ السَّفَرِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ تِلْكَ الْإِبِلِ،
وَيُعْرَفُ كَذَلِكَ كَغِنَاءِ إِنْشَادِيٍّ يُؤَدِّيهِ الْحَادِّي لِعِيسَهُ (جِمَالِهِ)
إِذَا مَا تَفَرَّقَتْ أَوِ ابْتَعَدَتْ عَنْهُ."
Al-Hudaa’ : Di mana
seseorang yang menyanyikan nyanyian al-hudaa’ , dia menyanyikannya sambil
mengendarai untanya, serta ia berjalan paling depan kafilahnya , dengan
nyanyian tsb agar bisa mengarahkan untanya berjalan diatas jalur , dan bisa
juga digunakan dalam upaya untuk meringankan rasa lelah dan letih dalam
perjalanan , baik pada dirinya sendiri dan pada unta itu.
Dan itu dikenal
juga dengan nyanyian vokal ( غِنَاءٌ
إِنْشَادِيٌّ ) yang dilakukan oleh penyanyi al-Hudaa’
kepada unta-untanya di saat unta-unta tsb terpencar atau menjauh darinya .
"AL-HUDAA :
Nyanyian dan dendangan kegembiraan untuk gembala dan unta.
"al-Hidā'" atau "al-Hudā'" - dengan dibaca
kasrah pada huruf ḥāʾ atau dhommah - atau "Hadwu" dikenal dalam kamus bahasa Arab
sebagai penggiringan unta dan nyanyian untuknya. Dalam bentuk jamaknya:
"Aḥdīyah" atau "Aḥdūah".
Dikatakan tentang
seseorang:
رَجُلٌ حَادٌ وحِدَاءٌ وَهُو الذي يحْدُو
الابلَ أي يُغَنَّي لها لتَتبُّعِه
"Rajulun
ḥādun wa-hidā'", yang berarti seseorang yang menyanyi untuk unta-untanya agar
mengikutinya.
Orang Arab
mengatakan:
فُلَانٌ حِدَاءُ قَرَاقِرِيًّا، أَيْ
جَهْوَرِيُّ الصَّوْتِ الشَّدِيدِ النَّبرَاتِ يُقَدِّمُ أَبْلَهُ وَيَحْدُوهَا.
"Fulan ḥādāʾ qarāqiryā",
yang berarti seseorang dengan suara yang keras dan penuh nada, yang memimpin
unta-untanya dan menyanyikan lagu untuknya.
Orang Arab menyebut
"al-Hidā'" sebagai bagian dari jenis puisi yang
disebut "Bahr Rajaz" atau "Bahr Rijāz", yang berarti penyairnya disebut "Rājiz" atau "Rājāz", yang berarti penyair yang menulis puisi dengan irama yang
teratur.
Jenis puisi ini
dinamai "Rajaz" karena sedikitnya bagian dan huruf serta kemudahan
pembuatannya, sehingga bait puisinya berkisar antara satu hingga tiga bait,
bisa lebih atau kurang sedikit.
Nama "al-Hidā'" digunakan oleh orang Arab di pasar unta dan dalam nyanyian
untuknya. Unta-unta tersebut terpesona oleh suara penyanyinya, dan mereka dikelilingi
oleh gelombang kegembiraan dan sukacita. Mereka menari dengan gerakan indah dan
lincah, hanya dapat dipahami oleh mereka yang hidup bersama unta dan
menggembalakannya dari padang rumput ke padang rumput atau ke mata air."
Abu al-Fadl Ahmad
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan dalam kitabnya (Fath al-Bari
Syarah Sahih al-Bukhari):
"حِداءُ سُوقِ الْإِبِلِ يَكُونُ بِضَرْبٍ
مُخَصَّصٍ مِنَ الشِّعْرِ وَالْغِنَاءِ، وَهُوَ مَا يُسَمِّيهِ الْأَعْرَابُ الْأَوَائِلُ
(الرَّكْبَانِيّ) وَيُسَمِّيهِ الْعَرَبُ الْآخِرُونَ (الْهِجَيْنِيّ)، وَهُوَ قَصِيدُ
أَصْحَابِ السَّفَرِ وَالْقَوَافِلِ."
Hudaa’ adalah
menggiring unta yang diiringi dengan lantunan khusus dari Syair dan nyanyian,
yang oleh orang-orang Arab awal namakan (Rukbaanii ) dan orang-orang Arab akhir
menyebutnya (Al-Hujaini), dan itu adalah qosiidah orang-orang dalam safar dan
kafilah-kafilah.
Para sejarawan dan
para perawi Arab, termasuk Abu al-Hasan Ali bin al-Husayn al-Mas'udi (wafat 346
H/957 M) dalam karyanya "Muruj al-Dhahab wa Ma'adin al-Jawhar"
menyebutkan:
"إنَّ
"الحِدَاءَ" كَانَ عِندَ العَرَبِ قَبْلَ "الغِنَاءِ"، انحَدَرَ
إِلَيْهِمْ وَتَوَارَثُوهُ مِنْ جَدِّهِمُ الْأَكْبَرِ مُضَرَ بْنِ نَزَارِ بْنِ مَعْدِ
بْنِ عَدْنَانَ بْنِ أَدٍ، وَأَصْلُهُ كَمَا يَرَوْنُ أَنَّ مَضَرَ قَدْ سَقَطَ عَنْ
بَعِيرِهِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَانْكَسَرَتْ يَدُهُ، فَجَعَلَ يَقُولُ: يَا يَايَدَاهُ
يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، وَكَانَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا فَتَجَمَّعَتْ
حَوْلَهُ الْإِبِلُ وَطَابَتْ لَهَا السَّيْرُ مَعَهُ، فَاتَّخَذَهُ العَرَبُ حِدَاءً
بِرَجْزِ الشِّعْرِ، وَجَعَلُوا كَلَامَهُ أَوَّلَ الْحِدَاءِ، فَقَالَ حَادِيهِمْ:
يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ، يَا هَادِياً يَا هَادِياً، أَوْ قَالَ: وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ،
هَبِيْبًا هَبِيْبًا."
Sesungguhnya
"al-Hida" (الحداء) telah ada di kalangan Arab sebelum "Nyanyian" (الغِنَاءُ). Tradisi ini turun temurun
kepada mereka dan diwariskan dari kakek mereka yang paling tua, Mudhor bin
Nizar bin Ma'd bin 'Adnan bin Ad. Menurut mereka, asal usulnya adalah ketika
Mudhor jatuh dari unta-nya dalam salah satu perjalanannya sehingga tangannya
patah. Dia mulai berdendang :
يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ
وَايَدَاهُ
'Ya tangan, ya
tangan,' atau 'Wa yadah, wa yadah.'
Karena dia memiliki
suara yang bagus, maka unta-unta pun berkumpul di sekitarnya dan perjalanan
mereka menjadi lancar bersamanya. Kemudian, orang Arab menjadikan Mudhor
sebagai pencetus nyanyian (الحُدَاء) dengan syair yang terjalin. Mereka membuat perkataan Mudhor
sebagai awal dari nyanyian al-Hida, dan seorang penyanyi di antara mereka
berkata :
"يا يَدَاهُ
يا يَدَاهُ، يا هادِياً يا هادِياً، أو قال: وايَدَاه وايَدَاه، هَبِيْيًا هَبِيْيًا"
'Wa yadah, wa yadah,'
atau 'Ya hadi, ya hadi,' atau 'Wa yadah, wa yadah,''Habiban, habiban.'"
AN-NASHEB ( النَصْب ):
Al-Johary
mengatakan dalam kitabnya Al-Shihaah (2/146) :
"وَالنَّصْبُ:
غِنَاءٌ يُشَبِّهُ الْحِدَاءَ إِلَّا أَنَّهُ أَرَقُّ مِنْهُ."
“An-Nasheb ( النَصْب ) :
nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih halus” . [Dan lihat
pula Lisan Al-Arab (1/758)].
----
HUKUM
NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA
Ibn
Abd al-Barr berkata dalam kitabnya التمهيد
(22/296):
"وَهَذَا الْبَابُ
مِنَ الْغِنَاءِ قَدْ أَجَازَهُ الْعُلَمَاءُ وَوَرَدَتْ الْآثَارُ عَنْ السَّلَفِ
بِإِجَازَتِهِ. وَهُوَ يُسَمَّى غِنَاءُ الرُّكْبَانِ وَغِنَاءُ النَّصْبِ وَالْحِدَاءِ.
هَذِهِ الْأَوْجُهُ مِنَ الْغِنَاءِ لَا خِلَافَ فِي جَوَازِهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ."
“Dan
dalam Bab ini , yakni nyanyian yang seperti ini telah dibolehkan oleh para
ulama, dan terdapat atsar-atsar dari para ulama salaf yang membolehkannya , dan
itu disebut nyanyian pengendara ( غِنَاءُ
الرُّكْبَانِ ) , nyanyian النَّصْبِ, dan الحُداء.
Tidak ada perbedaan pendapat antar para ulama tentang diperbolehkannya “. [Selesai]
Kesimpulan :
1. Tidak ada khilaf antar ulama akan di bolehkannya nyanyian
al-Huda dan an-Nasheb .
2. Al-Huda dan an-Nasheb sama-sama nyanyian budaya arab
sejak zaman dahulu .
3. Antara Al-Huda dan an-Nasheb terdapat kesamaan .
Sama-sama nyanyian pengendara dan penggembala Unta . Cuma bedanya kalo Nasheb
itu lebih lembut رَقِيق dan terdapat تَمْطِيط / suara yg tinggi
dan panjang .
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN KEGEMBIRAAN
Yakni di maksud dengan musik kegembiraan dan yang semisalnya di sini
adalah musik dan nyanyian yang bertujuan sebagai ungkapan kegembiraan dan
hiburan semata, yang tidak dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk-mabukan,
atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram, atau untuk
mengiringi syair-syair cabul atau kemaksiatan lainnya.
Ada dua pendapat :
PENDAPAT PERTAMA :
Yang
membolehkan musik dan Nyanyian Yang Ber-etika dan Ber-adab.
Mereka berkesimpulan sebagai berikut :
Kesimpulan pertama :
Bahwa hadits-hadits tersebut dengan terang menjadi dalil dibolehkannya
musik dan nyanyian dalam berbagai kondisi kegembiraan. Dengan merujuk
kepada hadits yang sama , yaitu hadits Buraidah tentang nadzarnya wanita
hitam dengan menabuh rebana menjadi dalil kuat bahwa menabuh rebana (bermain
alat musik) tidaklah haram; jika benar haram, bagaimana mungkin Rasulullah ﷺ membolehkan seseorang bernadzar dengan
sesuatu yang haram ?.
Yang pasti Rosulullah ﷺ melarang nadzar yang haram . Berikut ini contoh hadits yang
melarang nadzar yang haram :
Contoh ke 1 : Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin
Hushain (RA) , dia berkata :
وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ
الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ
وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ
ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ
الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ
تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا
فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ –
قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ
نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ
رَآهَا النَّاسُ . فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ .
فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا
. فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ .
فَقَالَ " سُبْحَانَ اللَّهِ
بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا
لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
الْعَبْدُ " .
" Ada seorang wanita Anshar tertawan
(para perampok) bersama dengan unta Nabi ﷺ yang biasa disebut dengan
Adhba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu
orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil
curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.
Kemudian wanita Anshar tersebut dapat
melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap
kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun
meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah ia mengendarai unta
penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu ia menghardiknya
hingga berlari kencang.
Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan
kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak
dapat menagkapnya.
Wanita itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah
menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta 'adhba' itu. Sesampainya di
Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, Ini
adalah Al Adhba', unta Rasulullah ﷺ!.
Wanita itu berkata (dengan
redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan
disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah ﷺ dan
memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.
Maka Rasulullah ﷺ
berkomentar: " Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan ia
kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka ia
akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan
kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang
hamba". [ HR. Muslim no. 3099 ]
Contoh ke 2 : Diriwayatkan
dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :
أنَّ امرأةً ، أتتِ النَّبيَّ ﷺ
فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ، إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ بالدُّفِّ ، قالَ :
أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا ، مَكانٌ كانَ يذبحُ
فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ، قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ : لوثَنٍ ، قالت : لا ،
قالَ : أوفي بنذرِكِ
“ Bahwa seorang wanita telah datang kepada
Nabi ﷺ dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah
bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.
Beliau ﷺ berkata: "Penuhi
nadzarmu!"
Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar
untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu
orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .
Beliau ﷺ bertanya : "Untuk
patung?" Ia menjawab : tidak. Beliau ﷺ bertanya lagi : "Untuk
berhala?" Ia menjawab : tidak. Beliau ﷺ berkata: "Penuhi nadzarmu!".
HR. Abu
Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi
Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إِرْوَاءُ
الْغَلِيلِ) (2/213-214 )
Kesimpulan kedua :
Menanggapi hadits-hadits yang mengisyaratkan keharaman musik dan nyayian
di atas, maka pihak yang membolehkan memahami bahwa maksud hadits tersebut
adalah pemberitahuan nabi ﷺ akan
terjadinya zaman kerusakan umat, dimana orang-orang sudah tidak mempedulikan
lagi halal-haram, dan merajalelanya pergaulan bebas dan perzinaan, yang
biasanya dibarengi dengan minuman keras, penyanyi atau penari dan musik.
Kesimpulan ketiga :
Al-Kalbaani dalam makalahnya mengatakan :
"وَمِنْ أَكْبَرِ دَلَائِلِ إِبَاحَتِهِ أَنَّهُ مِمَّا كَانَ
يَفْعَلُ إِبَّانَ نُزُولِ الْقُرْآنِ، وَتَحْتَ سَمْعِ وَبَصَرِ الْحَبِيبِ ﷺ، فَأَقَرَّهُ،
وَأَمَرَ بِهِ، وَسَمِعَهُ، وَحَثَّ عَلَيْهِ، فِي الْأَعْرَاسِ، وَفِي الْأَعْيَادِ."
“Salah satu dalil
terbesar dari dibolehkannya adalah bahwa itu adalah apa yang dia lakukan selama
turunnya wahyu Al-Qur'an, dan di bawah pendengaran dan penglihatan Nabi ﷺ yang tercinta,
jadi dia menyetujuinya, memerintahkannya, mendengarnya, dan menganjurkannya, di
pesta pernikahan dan pada hari raya”.
BANTAHAN :
Perkataan al-Kalbaani
di atas dibantah oleh syeikh Sa’ad as-Subai’iy dengan mengatakan :
الجواب:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَخَّصَ بِالْغِنَاءِ بِغَيْرِ الْمَعَازِفِ، بِضَرْبِ الدُّفِّ
لِلنِّسَاءِ خَاصَّةً فِي الْعِيدِ، وَعِنْدَ قُدُومِ الْغَائِبِ، وَشَرَّعَهُ فِي
الْأَعْرَاسِ كَمَا هُوَ مُبْسُوطٌ فِي مَظَانِّهِ مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ. فَهُوَ
مُسْتَثْنَى مِنْ تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ. وَهَذَا لَيْسَ
مَحَلاً لِلنِّزَاعِ!
Jawabannya: Nabi ﷺ, memberikan rukhshoh
nyanyian tanpa alat musik, dengan memukul rebana khusus untuk para wanita,
terutama pada hari raya Idul Fitri, dan pada saat kedatangan seseorang yg lama
tidak berjumpa , dan mensyariatkannya dalam pesta pernikahan, seperti yang
dijelaskan dalam referensi-referensi dari kitab-kitab para ulama. Maka yang ini
dikecualikan dari larangan bernyanyi dengan alat-alat musik dan seruling. Kalau
yang ini bukan masalah yang diperselisihkan !
JAWABAN :
Justru, Suara wanita dan penampilan fisiknya jauh lebih menimbulkan
fitnah dan jauh lebih menggoda dari pada suara dan fisik lelaki . Maka
diperbolehkannya bagi lelaki itu masuk dalam katagori Qiyas Awlaa [ analogi
yang lebih utama diperbolehkannya].
Kemudian dianalogikan kepada hukum haramnya minuman keras . Sedikit dan
banyak nya sama saja haram hukumnya . Dan hukumnya berlaku bagi pria dan wanita
. Dengan demikian jika musik dan nyanyian itu diharamkan , maka diharamkan pula
dalam pernikahan dan yang semisalnya .
****
PENDAPAT KEDUA :
Yang
mengharamkan musik dan nyanyian .
Mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tersebut menjadi dalil dibolehkannya
musik dan nyanyian hanya dalam momen-momen tertentu, yakni:
menyambut tamu, pernikahan [walimahan], hari raya, dan kondisi tertentu
[kejadian khusus (waqi’) yang terbatas ] dengan merujuk pada hadits Buraidah
tentang pelaksanaan nadzar seorang wanita hitam dengan menabuh rebana .
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang
tertutup dari dua sisi dinamakan gendang, itu yang tidak dibolehkan. Karena ia
termasuk alat nyanyian. Sementara semua bentuk nyanyian musik itu haram,
kecuali ada dalil yang membolehkannya, yaitu rebana dalam acara resepsi
pernikahan.” (Fatawa Islamiyah, 3/186).
Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,
“Kalau gendang tidak dibolehkan memukulnya dalam pernikahan, cukup dengan
rebana saja.” (Fatawa Islamiyah, 3/185).
Fatwa para mufti Lajnah Daimah di Arab Saudi ,
berkata, “Adapun gendang dan semisalnya dari peralatan musik yang dipukul,
tidak dibolehkan mempergunakannya sebagai pengiring nasyid ini. Karena Nabi ﷺ dan para
shahabatnya (radhiyallahu ‘anhu) tidak pernah melakukan hal itu.” (Fatawa no.
3259. Tanggal 13/10/1400 H)
****
DALIL PENDAPAT KEDUA: YANG MENGHARAMKAN MUSIK SECARA MUTLAK
DALIL PERTAMA :
Al-Bukhari
meriwayatkan dalam Sahihnya, secara MUALLAQ [tanpa sanad] dengan SHIGAT JAZEM
no. (5286) :
Dari
Abd al-Rahman bin Ghanam al-Ash'ari berkata: Abu Amer - atau Abu Malik -
al-Ash'ari mengatakan: Demi Allah , dia tidak berdusta padaku , dia mendengar
Nabi ﷺ bersabda :
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى
أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ،
وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ
لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ
إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ
آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah
di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Tiba-tiba ada Seorang yang
fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah
kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi
kera dan babi hingga hari kiamat. [HR. Bukhari no. (5286)]
Hadits ini di dhaifkan oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah ; karena terputus sanadnya , dan di
dalam sanadnya terdapat Abu Malik Al-Ash'ari , yang mana dia itu MAJHUL
Penulis katakan
:
Hadits tersebut
riwayatkan secara maushul oleh Ibn Hibban dalam Sahihnya (6574), al-Tabarani di
al-Mujam al-Kabeer (3339), Musnad al-Shamiyyin (588), al-Bayhaqi di Sunan
al-Sughra (4320), dan al-Sunan al-Kubra (6317) , dan hadits tersebut Shahih
.
Ibnu Sholah berkata
dalam kitabnya علوم الحديث hal.
(67):
"وَلَا الْتِفَاتَ إِلَى أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ حَزْمٍ
الظَّاهِرِيِّ الْحَافِظِ فِي رَدِّهِ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ ، مِنْ
حَدِيثِ أَبِي عَامِرٍ ، أَوْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ : " لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ .
مِنْ
جِهَةِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ أَوْرَدَهُ قَائِلًا فِيهِ : قَالَ هِشَامُ بْنُ
عَمَّارٍ وَسَاقَهُ بِإِسْنَادِهِ ، فَزَعَمَ ابْنُ حَزْمٍ أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ
فِيمَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَهِشَامٍ ، وَجَعَلَهُ جَوَابًا عَنِ الِاحْتِجَاجِ
بِهِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ . وَأَخْطَأَ فِي ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ ،
وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ مَعْرُوفُ الِاتِّصَالِ بِشَرْطِ الصَّحِيحِ" .
"Tidak usah
mengindahkan kritikan Abu Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiry dalam bantahannya
terhadap apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu ‘Aamir, atau Abu Malik
al-Ash'ari dari Rasulullah ﷺ :
" لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ
"Akan
ada di antara umatku , kaum-kaum yang menghalalkan sutra , anggur, dan
alat-alat musik. ...." ( SA al-Hadits ) .
Di satu sisi,
Al-Bukhari menyebutkannya dengan mengatakan : bahwa Hisham bin Ammar berkata :
lalu beliau imam Bukhory menyebutkan sanadnya .... . Di sini Ibnu Hazem mengira ada sanad yang
terputus antara Bukhory dan Hisyam , lalu dia menjadikannya sebagai bantahan
atas haramnya musik-musik. Dan ternyata dalam hal ini dia salah dari beberapa
arah , dan yang benar hadits ini adalah shahih dan dikenal sanadnya nyambung
sesuai standar syarat hadits shahih “.
Imam Ibnu al-Qayyim
berkata dalam Rawdhat al-Muhibbiin (130):
“وَأَمَّا
أَبُو مُحَمَّدٍ فَإِنَّهُ عَلَى قَدْرِ يُبْسِهِ وَقَسُوتِهِ فِي التَّمَسُّكِ بِالظَّاهِرِ
وَإِلْغَائِهِ لِلْمَعَانِي وَالْمُنَاسِبَاتِ وَالْحُكْمِ وَالْعِلَلِ الشَّرْعِيَّةِ
انماع في بَابِ الْعِشْقِ وَالنَّظَرِ وَسَمَاعِ الْمَلَاهِي الْمُحَرَّمَةِ فَوُسِعَ
هَذَا الْبَابُ جِدًّا وَضُيِقَ بَابُ الْمُنَاسِبَاتِ وَالْمَعَانِي وَالْحُكْمِ الشَّرْعِيَّةِ
جِدًّا.
وَهُوَ مَعَ انْحِرَافِهِ فِي الطَّرَفَيْنِ
حِينَ رَدَّ الْحَدِيثَ الَّذِي رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ فِي تَحْرِيمِ
آلَاتِ اللَّهْوِ بِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ غَيْرُ مُسْنَدٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ
لَقِيَ مَنْ عَلَّقَهُ عَنْهُ وَسَمِعَ مِنْهُ وَهُوَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَخُفِيَ
عَلَيْهِ أَنَّ الْحَدِيثَ قَدْ أَسْنَدَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أُئِمَّةِ الْحَدِيثِ
غَيْرَ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ فَأَبْطَلَ سُنَّةَ صَحِيحَةٍ ثَابِتَةً عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ لَا مَطْعَنَ فِيهَا بِوَجْهٍ".
“Adapun Abu
Muhammad, maka sesungguhnya dia itu diatas kering dan kerasnya dalam berpegang
teguh terhadap faham DZOHIRI ( yang tampak dari nash-nash ) dan menghapus makna-makna ,
munasabah-munasabah , hikmah-hikmah dan illat-illat hukum syar’i , maka faham
ini telah membuat Abu Muhammad menjadi leleh dalam bab tentang kerinduan ,
pandangan , penyimakan suara hiburan yang diharamkan , maka dia sangat
memperluas dalam bermudah-maudahan dalam membolehkan bab tsb , dan sangat
mempersempit bab munasabat-munasabat hukum yang menunjukkan keharamannya ,
begitu juga makna-mkananya dan illat-illat hukum syar’inya .
Dan dia dengan
penyimpangannya di kedua sisi ketika membantah hadits yang Al-Bukhari
diriwayatkan dalam Sahihnya tentang pengharaman alat-alat hiburan dengan alasan
MU’ALLAQ alias sanadnya tidak nyambung , rupanya ada yang tersembunyi darinya
bahwa Al-Bukhari bertemu dengan seseorang yang di-TA’LIQ-nya dan dia mendengar
langsung darinya, yaitu Hisham bin Ammar, dan juga ada yang tersembunyi dari
Abu Muhammad Ibnu Hazem bahwa hadits tersebut sanadnya telah disambungkan oleh
lebih dari satu imam hadits selain Hisham bin Ammar, oleh karena itu dia
membatalkan hadits yang shahih nan kokoh dari Rosulullah ﷺ , tidak
ada sisi yang bisa menikam keshahihan nya dari arah manapun”. ( Baca pula : تَهْذِيبُ
سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ (2/228).
Dalam kitab إغاثة
اللهفان (1/259)
, تغليق التعليق (5/22)
dan فتح الباري (10/52)
di katakan :
"وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ
مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ حَلَالًا
لَمَا ذَمَّهُمْ عَلَى اسْتِحَالَتِهَا وَلَمَّا قُرِّنَ اسْتِحَالَتُهَا بِاسْتِحَالَةِ
الزِّنَا وَالْخَمْرِ وَالْحَرِيرِ!".
“Indikasi dari
hadits ini tentang pengharaman alat-alat musik adalah bahwa jika memang
dibolehkan, maka tentunya dia tidak akan
mencela orang-orang yang menghalalkannya , dan kalo seandainya di bolehkan ,
maka tentunya tidak akan sandingkan
dengan penghalalan perzinahan, minuman keras, dan sutra!”.
DALIL KE DUA :
Dari Abu Umamah,
dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda :
" لاَ
تَبِيْعُوا اْلقَيْنَاتِ وَ لاَ تَشْتَرُوْهُنُّ وَ لاَ تُعَلّمُوْهُنَّ وَ لاَ
خَيْرَ فِيْ تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ وَ فِيْ مِثْلِ هذَا
اُنْزِلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ اْلحَدِيْثِ
لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ (اِلى آخِرِ اْلآيَةِ)".
“Janganlah
kalian menjual para budak penyanyi wanita, jangan kalian membeli mereka
dan jangan pula kalian ajari mereka itu, karena sama sekali tidak ada
kebaikannya memperdagangkan mereka itu, dan hasilnya pun haram, dan seperti ini,
diturunkan ayat (yang artinya) :
‘Diantara manusia
ada yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (orang) lain
dari jalan Allah, (QS Luqman : 6) sampai akhir ayat’”.
(HR. Tirmidzi 5/25
no. 1282, 3247, Ibnu Majah no. 2168, Ahmad 22280 dan Thabrani no 7749 ] .
Hadits ini dha’if
sekali karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilaal.
Syu’aib al-Arnauth
berkata : Dho’if Jiddan [ lemah sekali] . (Lihat Takhrij al-Musnad no. 22280].
Begitu pula yang dinyatakan al-Albaani dalam Tahriim Aalaatit Tharb no. 68.
DALIL KE TIGA :
Dari Nafi' Maula
Ibnu Umar ia berkata :
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ:
فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا
نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْتُ: لَا. قَالَ: فَرَفَعَ أُصْبُعَيْهِ
مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ
مِثْلَ هَذَا.
" [Ibnu Umar]
mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya seraya
menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, "Wahai Nafi', apakah kamu
mendengar sesuatu?" Aku menjawab, "Tidak." Nafi' melanjutkan;
"Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari keduanya telinganya",
lantas ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi ﷺ, lalu
beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga melakukan seperti ini."
[HR. Abu Daud no. 4924 ]
Abu Daud, perawi hadits, berkata : Abu
Ali Al Lu`lu`I berkata
: "Aku mendengar Abu Dawud berkata : "Hadits
ini derajatnya munkar”.
Lalu Abu Daud menyebutkan jalur lain dari Muth'im Ibnul Miqdam dari Nafi’, ia berkata :
كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ
صَوْتَ زَامِرٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ
"Aku bersama
[Ibnu Umar], lalu ia mendengar suara orang berseruling…lalu ia menyebutkan
seperti hadits tersebut."
Abu Dawud berkata : "Dan inilah yang paling mungkar."
Namun hadits ini di shahihkan al-Albaani dalam
Shahih Abu Daud no. 4924.
LAFADZ LAIN :
Nafi’ , dia berkata
:
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ
زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ
الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ
فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ
إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -ﷺ- وَسَمِعَ صَوْتَ
زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah
mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua
telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain.
Beliau berkata : “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?”
Aku (Nafi’) berkata
: “Iya, aku masih mendengarnya”
Kemudian beliau
terus berjalan, sampai aku berkata : “Aku tidak mendengarnya lagi”
Barulah setelah itu
Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu
berkata :
“Beginilah aku
melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling
dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi”
[HR Ahmad 4725] Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Umar (ra) saat
mendengar suara seruling tersebut, beliau tidak menyuruh si penggembala untuk menghentikan
tiupan serulingnya. Ibnu ‘Umar juga tidak menyuruh Nafi’ untuk ikut menutup
telinganya.
Sehingga
mendengarkan nyanyian dan musik tanpa kebutuhan (seperti yang disebutkan pada
pembahasan mubah) adalah perbuatan yang makruh (makruh diambil dari kata
karahah, artinya dibenci).
Dan dari Mujahid,
ia berkata:
"كُنْتُ
مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ طَبْلٍ فَاَدْخَلَ اِصْبَعَيْهِ فِى
اُذُنَيْهِ، ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى فَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ:
هكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ
".
Dahulu ketika saya
bersama Ibnu ‘Umar, tiba-tiba mendengar suara tambur, lalu (Ibnu ‘Umar)
memasukkan kedua jarinya ke kedua telinganya, kemudian ia mundur, sehingga
berbuat demikian tiga kali. Kemudian ia berkata, “Demikianlah dahulu
Rasulullah ﷺ berbuat”.
(HR. Ibnu Majah
1/611, no. 1901.
Hadits ini
dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Laits bin Abi Sulaim.
Akan tetapi dishahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 1555 ,
namun dengan lafadz "
زُمَّارَةُ رَاعٍ " [seruling penggembala] , adapun yang
dengan lafadz طَبْلٌ
[ gendang] maka itu riwayat munkar.
DALIL KEEMPAT : HADITS LARANGAN
AL-KUUBAH :
Dari Qais bin Habtar yang berkata :
سَألْتُ
ابنَ عبَّاسٍ عن الجَرِّ الأبيضِ، والجرِّ الأخضرِ، والجرِّ الأحمرِ، فقال: إنَّ
أوَّلَ مَن سأَلَ النَّبيَّ ﷺ وفْدُ عبدِ القيسِ، فقالوا: إنَّا نُصِيبُ مِنَ
الثُّفْلِ، فأيُّ الأسقيةِ؟ فقال: لا تَشرَبوا في الدُّبَّاءِ، والمُزَفَّتِ،
والنَّقِيرِ، والحَنْتَمِ، واشْرَبوا في الأسقيةِ، ثمَّ قال: إنَّ اللهَ حرَّمَ
علَيَّ -أو حرَّمَ- الخمرَ، والمَيْسِرَ، والكُوبةَ، وكلُّ مُسكِرٍ حرامٌ. قال
سفيانُ: قلْتُ لعلِيِّ بنِ بَذِيمَةَ: ما الكُوبةُ؟ قال: الطَّبْلُ.
Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang Al Jarr [wadah air
minum dari tembikar] putih, Al Jarr hijau dan Al Jarr merah.
Maka Beliau berkata “sesungguhnya yang pertama kali
bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu
adalah delegasi [utusan] ‘Abdul Qais, mereka berkata “sesungguhnya kami
memperoleh peralatan, maka tempat-tempat air mana [yang boleh digunakan]?.
Beliau berkata “Janganlah kalian minum dari Ad-Dubaa’,
Al-Muzaffat, An-Naqiir dan Al-Hantam, tetapi minumlah dari tempat-tempat air
!”.
Kemudian Beliau berkata : “sesungguhnya Allah telah
mengharamkan atasku atau telah mengharamkan khamr, judi, Al-Kuubah dan setiap yang
memabukkan adalah haram”.
Sufyaan berkata : aku bertanya kepada Aliy bin Badziimah,
apakah Al-Kuubah itu?. Ia berkata “gendang”.
[HR. Ahmad no 2476 dan Abu Dawud 3/331 no. 3696 Di shahihkan oleh
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 4/158]
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkannya dalam kitabnya “Al-Asyribah”
hal 79 no 193, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/356 no 3696, Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 5/114 no 2729, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 12/187 no 5365, Al
Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20780, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya
41/273-274 semuanya dengan jalan sanad Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari
Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar : dari Ibnu ‘Abbas dengan matan
yang menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.
Adapun Ath Thahawiy juga menyebutkan hadits ini
dalam kitabnya Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/223 no 6487 dengan sanad yang sama
tetapi tanpa menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.
RIWAYAT LAIN :
Abu Ahmad Az Zubairiy dalam periwayatan dari Sufyaan
memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah, sebagaimana yang disebutkan
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam Al Arba’iin hal 99 no 39 dan Ibnu Muqriy
dalam Mu’jam-nya hal 375 no 1257 :
Telah menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata
telah menceritakan kepada kami Sufyaan Ats Tsawriy dari Aliy bin Badziimah dari
Qais bin Habtar dari ‘Ibnu ‘Abbaas dari Rasulullah ﷺ yang berkata
:
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي
الطَّبْلَ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan
khamar, judi, Al-Kuubah yaitu gendang dan semua yang memabukkan adalah haram”.
Perhatian :
Mengenai hadits Qabiishah di atas yaitu lafaz “ya’niy
Ath Thabl” setelah lafaz Al-Kuubah bukanlah bagian dari lafaz hadits
Rasulullah ﷺ tetapi ia adalah
perkataan Ali bin Badziimah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abu Ahmad
Az Zubairiy dari Sufyaan. Jadi telah terjadi idraaj [penyusupan kata] dalam
matan haditsnya.
----
PEMBAHASAN MAKNA AL-KUUBAH :
Terdapat
perselisihan soal makna Al-Kuubah di sisi para ulama. Sebagian mengatakan bahwa
Al-Kuubah adalah gendang dan dikatakan juga bahwa Al-Kuubah adalah dadu yang
dipakai pada permainan judi.
Ibnu Atsir
berkata :
إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ هي
النَّرْدُ وقيل الطَّبْل وقيل البَرْبَطُ
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah” itu maksudnya adalah dadu, dikatakan
itu gendang dan dikatakan itu gitar [Baca : An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits
Wal Atsar karya Ibnu Atsir hal 815]
Abu Ubaid Al
Haraawiy berkata :
وأما الكُوبة فإنّ محمد بن كثير أخبرني أن الكُوبة
النرد في كلام أهل اليمن وقال غيره الطبل
“Adapun
Al-Kuubah maka sesungguhnya Muhammad bin Katsiir mengabarkan kepadaku
bahwasanya Al-Kuubah adalah dadu dalam perkataan penduduk Yaman, dan berkata
selainnya bahwa itu adalah gendang [Lihat : Ghariib Al Hadiits karya Abu Ubaid
Al Haraawiy 5/304]
Dan Abu Ubaid
berkata :
وفي الحديث إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ
قَالَ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ الْكُوبَةُ النَّرْدُ وَيُقَالُ
الطَّبْلُ وَقِيلَ الْبَرْبَطُ
Dan dalam
hadits “sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah”. Ibnu Arabiy
berkata Al-Kuubah adalah dadu, dan ada yang mengatakan itu adalah gendang, dan
dikatakan itu adalah gitar [Baca : Al Gharibain Fii Al Qur’an Wal Hadiits Abu
Ubaid 5/1654]
Pendapat yang mengatakan Al-Kuubah adalah gendang memiliki
hujjah dari perkataan para perawi hadits yang mengharamkan Al-Kuubah. [nampak
dalam sebagian riwayat bahwa perawi-perawi tersebut menyisipkan penafsiran
mereka ke dalam hadits]. Mereka adalah sbb :
1] Aliy bin Badziimah sebagaimana
disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476
2] Yahya bin Yuusuf Az Zammiy
sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779
3] Muhammad bin ‘Abdullah bin
Abdul Hakam sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no
20783
4] Yahya bin Ishaaq sebagaimana
disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Al Asyribah hal 40 no 27
Terdapat kaidah
bahwa tafsir perawi hadits terhadap hadits yang ia riwayatkan lebih didahulukan
dibanding tafsir selainnya. Sehingga dengan kaidah ini sebagian ulama
merajihkan bahwa makna Al-Kuubah adalah gendang.
Kaidah ini
benar hanya saja ia tidak bersifat mutlak. Apalagi terdapat bukti kuat yang
menunjukkan bahwa makna Al-Kuubah pada masa sahabat Nabi ﷺ bukan gendang
atau tambur, melainkan adalah nardu atau dadu. Sebagaimana yang
diriwayatkan Imam Bukhori dalam Adabul Mufrad 1/433 no 1267 , dia berkata :
Telah
menceritakan kepada kami ‘Ishaam yang berkata telah menceritakan kepada kami
Hariiz dari Salman Al ‘Alhaaniy dari Fadhalah bin ‘Ubaid dan pada saat itu ia
berkumpul pada suatu perkumpulan, maka telah sampai kepadanya kabar :
أَنَّ
أَقْوَامًا يَلْعَبُونَ بِالْكُوبَةِ فَقَامَ غَضْبَانًا يَنْهَى عَنْهَا أَشَدَّ النَّهْيِ
ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنَّ اللَّاعِبَ بِهَا لِيَأْكُلَ قَمَرَهَا كَآكِلِ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ
وَمُتَوَضِّئٌ بِالدَّمِ يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ.
“Bahwa
sekelompok orang bermain dengan Kuubah maka ia berdiri marah dan
melarangnya dengan larangan yang keras kemudian berkata ketahuilah bahwa
bermain dengan itu untuk memakan hasilnya maka seperti memakan daging babi dan
berwudhu’ dengan darah. Yang dimaksud Kuubah adalah An-Nardu [dadu]”.
(Selesai).
Riwayat ini
sanadnya shahih sampai Fadhalah bin ‘Ubaid (ra) dan ia adalah seorang sahabat
Nabi ﷺ . [Baca : Al
Jarh Wat Ta’dil 7/77 no 433].
Berikut ini penjelasan jarh wa ta’diil para perawinya :
1] ‘Ishaam bin Khalid Al
Hadhramiy termasuk salah satu guru Bukhariy dalam kitab Shahih-nya.
Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam
Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 372]
2] Hariiz bin ‘Utsman Al Himshiy.
Abu Dawud berkata “guru-guru Hariiz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata
“tsiqat tsiqat”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Duhaim menyatakan ia baik
sanadnya shahih haditsnya dan tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]
3] Salman bin Sumair Asy Syammiy.
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia termasuk guru Hariiz dan Abu
Dawud mengatakan bahwa semua guru Hariiz tsiqat. [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no
230]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/374]. Pendapat yang
rajih ia seorang yang tsiqat berdasarkan apa yang disebutkan Abu Dawud dan Al
Ijliy berkata “tabiin syam yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 651].
Lafaz “يَعْنِي
بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ” [Kuubah
yang dimaksud adalah dadu] bisa jadi berasal dari para perawi sanad tersebut
termasuk Al Bukhariy. Hanya saja kami tidak menemukan qarinah kuat yang
menunjukkan milik siapa lafaz tersebut. Tetapi riwayat tersebut sangat
bersesuaian dengan hadits Nabi ﷺ dalam Shahih Muslim berikut ini :
Dari Sulaiman
bin Buraidah dari Ayahnya bahwasanya Nabi ﷺ bersabda
" مَنْ
لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ
وَدَمِهِ ".
“Barang
siapa yang bermain dadu maka ia seperti mencelupkan tangannya dalam daging babi
dan darahnya” [Lihat : Shahih Muslim 4/1770 no 2260]
Maka nampak
bahwa makna Al-Kuubah dalam riwayat Fadhalah bin ‘Ubaid tersebut adalah
An-Nardu yaitu dadu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Kuubah sebagai
dadu sudah dikenal di masa sahabat Nabi ﷺ.
Berdasarkan hal
ini maka kami menilai pendapat yang lebih rajih adalah yang menyatakan bahwa
makna Al-Kuubah adalah dadu [yang dipakai dalam perjudian]. Terbukti bahwa
penafsiran tersebut sudah dikenal di masa sahabat sedangkan penafsiran
Al-Kuubah adalah bermakna gendang , maka itu berasal dari para perawi hadits
yang hidup jauh setelah masa sahabat Nabi ﷺ.
Kesimpulan : Hadits pengharaman Al-Kuubah adalah hadits yang shahih
hanya saja tidak tepat jika hadits tersebut dijadikan hujjah untuk mengharamkan
musik atau alat musik [yaitu gendang]. Pendapat yang rajih adalah makna
Al-Kuubah tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu yang sering dipakai dalam
perjudian.
===***===
YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :
Kesepakatan antara Pihak yang Membolehkan dan Mengharamkan Musik dan
Nyanyian
Kedua belah pihak sepakat bahwa musik-musik yang dibarengi dengan
kegiatan yang haram, seperti mabuk, atau tarian wanita di depan laki-laki non
mahram, atau untuk mengiringi syair-syair cabul, adalah haram, dan
inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.
PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :
Al-Hafidz
al-Muhaddits, Ibnu Rajab -rahimaullah- berkata:
" وَلَا رَيْبَ
أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ
يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ
وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ
فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"
خَرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، بِإِسْنَادٍ فِيهِ ضَعْفٌ".
"Tidak
diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati,
dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian
mereka biasanya berdasarkan syair zaman Jahiliyah yang menyebutkan tentang
peperangan dan meratapi mereka yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana
[perkusi] mereka seperti tanah liat yang digunakan untuk menghaluskan tepung,
tanpa ada jingling di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah
dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -:
"أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"
"Umumkanlah
pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".
Hadits ini
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah."
Lalu Al-Hafidz
Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):
"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي
أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ
لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا
كَانَ فِي مَعْنَاهَا .
فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ فَارِسٍ وَالرُّومِ
ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ
الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ
الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ
الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ، الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا،
بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ
أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ، وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."
“Dulu pada zaman
Nabi ﷺ, beliau mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti
hari raya , pernikahan dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak
berjumpa , untuk menabuh rebana oleh
para budak perempuan , sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja
yang semakna dengannya.
Namun setelah
terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ nampak lah
di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah terbiasa
lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang diiringi
oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan
syair-syair yang menggambarkan minuman-minuman keras yang diharamkan dan
lukisan-lukisan cantik yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam
jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat
musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang
berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan
mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya".
[Selesai].
0 Komentar