Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR DENGAN SUARA KERAS SETELAH SHALAT

 PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR DENGAN SUARA KERAS SETELAH SHALAT

Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---


----

DAFTAR ISI :

  • HUKUM MENGERASKAN SUARA DALM BERDZIKIR SETELAH SHALAT
  • PENDAPAT PERTAMA: DISUNNAHKAN MENGERASKAN SUARA DZIKIR SETELAH SHALAT
  • DALIL PENDAPAT PERTAMA:
  • DALIL DZIKIR BERSAMA SETELAH SHALAT DAN LAINNYA :
  • PENDAPAT KEDUA: DI SUNNAHKAN BERDZIKIR DENGAN SUARA PELAN DAN LIRIH.
  • DALIL PENDAPAT KEDUA :
  • PENDAPAT KETIGA : TIDAK BOLEH (HARAM & BID’AH) BERDZIKIR SETELAH SHALAT DENGAN MENGERASKAN SUARA
  • TARJIH :

****

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

HUKUM MENGERASKAN SUARA DALM BERDZIKIR SETELAH SHALAT

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengeraskan suara dalam berdzikir setelah selesai shalat frdhu menjadi tiga pendapat:

===

SINGKAT-NYA :

Pertama : Disunnahkan mengeraskan suara dzikir setelah shalat.

Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah muta’akhkhirin, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Syeikh Bin Baz, serta Ibnu Utsaimin.

Kedua : Disunnahkan berdzikir dengan suara lirih dan pelan.

Ini adalah madzab Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanafiyah. Pendapat ini juga dikutip dari mayoritas ulama dan dibenarkan oleh Al-Mardawi.

Ketiga : Tidak diperbolehkan (bid’ah dan haram).

Ini adalah pendapat Syeikh al-Albani.

===***===

RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :

****

PENDAPAT PERTAMA:
DISUNNAHKAN MENGERASKAN SUARA DZIKIR SETELAH SHALAT.

Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah (lihat *Hasyiyah Ibnu Abidin* 1/666 dan *Hasyiyah Ath-Thahthawi* hal. 214).

Ibnu Hajar Al-Haitami – salah seorang ulama Syafi’iyyah – menukil dalam *Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra* (1/158) dari Al-Mutawalli dan selainnya, tentang disunnahkannya jamaah mengeraskan suara dalam berdzikir secara terus-menerus, berdasarkan lahiriah hadits Ibnu Abbas.

Serta ini adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah mutaakhkhirin (lihat *Kasyaf al-Qina’* karya al-Buhuti 1/366. Sebagaimana dinukil oleh Al-Buhuti rahimahullah dalam *Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’* (2/388) dari sebagian ulama Hanbali tentang disunnahkannya mengeraskan zikir setelah shalat. Namun Al-Mardawi berkata:

(هٰذِهِ الْمَسْأَلَةُ لَيْسَ لِلْأَصْحَابِ فِيهَا كَلَامٌ)

“Dalam masalah ini para sahabat (ulama Hanabilah) tidak banyak membicarakannya,” dalam *Tashhih al-Furu’* 2/231).

Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm, namun beliau membatasinya pada takbir saja. Ia berkata:

(وَرَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ إِثْرَ كُلِّ صَلَاةٍ: حَسَنٌ)

“Mengeraskan suara dengan takbir setelah setiap shalat adalah sesuatu yang baik.” (*Al-Muhalla* 3/180).

Demikian pula Ibnu Taimiyah berpendapat:

(وَيُسْتَحَبُّ الْجَهْرُ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ لَا التَّكْبِيرِ «فِي كَشَّافِ الْقِنَاعِ: وَالتَّكْبِيرِ» عَقِيبَ الصَّلَاةِ).

“Disunnahkan mengeraskan bacaan tasbih dan tahmid, bukan takbir, setelah shalat.” (*Al-Fatawa al-Kubra* 5/336; lihat juga *Kasyaf al-Qina’* 1/366 dan *Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’* 2/84).

Pendapat yang sama juga dipegang oleh Syeikh Bin Baz, beliau berkata:

(السُّنَّةُ الْجَهْرُ بِالذِّكْرِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَعَقِبَ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ التَّسْلِيمِ)

“Disunnahkan mengeraskan zikir setelah shalat lima waktu dan setelah shalat Jumat, setelah salam.” (*Majmu’ Fatawa Ibnu Baz* 11/191).

Begitu juga Syeikh Ibnu Utsaimin berpendapat:

(الْجَهْرُ بِالذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ سُنَّةٌ... وَقَدِ اخْتَارَ الْجَهْرَ بِذَلِكَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ – رَحِمَهُ اللهُ – وَجَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ؛ لِحَدِيثَيِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَالْجَهْرُ عَامٌّ فِي كُلِّ ذِكْرٍ مَشْرُوعٍ بَعْدَ الصَّلَاةِ سَوَاءٌ كَانَ تَهْلِيلًا، أَوْ تَسْبِيحًا، أَوْ تَكْبِيرًا، أَوْ تَحْمِيدًا؛ لِعُمُومِ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَلَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ التَّفْرِيقُ بَيْنَ التَّهْلِيلِ وَغَيْرِهِ، بَلْ جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ يَعْرِفُونَ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ، وَبِهٰذَا يُعْرَفُ الرَّدُّ عَلَى مَنْ قَالَ لَا جَهْرَ فِي التَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ وَالتَّكْبِيرِ. وَأَمَّا مَنْ قَالَ: إِنَّ الْجَهْرَ بِذَلِكَ بِدْعَةٌ فَقَدْ أَخْطَأَ؛ فَكَيْفَ يَكُونُ الشَّيْءُ الْمَعْهُودُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ بِدْعَةً؟).

“Mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah... 

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah serta sekelompok ulama salaf dan khalaf, berdasarkan dua hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhuma. Lafaz ‘mengeraskan’ ini berlaku umum untuk semua jenis zikir yang disyariatkan setelah shalat, baik tahlil, tasbih, takbir, maupun tahmid, berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah membedakan antara satu zikir dengan yang lain.

Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan bahwa para sahabat mengetahui selesainya shalat Nabi melalui takbir. Maka ini menjadi bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa mengeraskan tasbih, tahmid, dan takbir adalah bid’ah. 

Adapun orang yang mengatakan bahwa mengeraskan suara dalam hal itu adalah bid’ah, maka ia telah keliru; bagaimana mungkin sesuatu yang dikenal pada masa Rasulullah dianggap sebagai bid’ah?”” (*Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin* 13/247–248).

Dan dalam kesempatan lain, Syeikh al-Utsaimin berfatwa:

فَإِنَّ الْمَعْرُوفَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ أَنَّهُمْ بَعْدَ الصَّلَاةِ يَذْكُرُونَ اللهَ بِصَوْتٍ مُرْتَفِعٍ .... فَرَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَفْرُوضَةِ سُنَّةٌ

“Yang telah maklum dan dikenal dari Rasulullah dan para sahabatnya adalah bahwa mereka setelah shalat berzikir kepada Allah dengan suara yang keras... maka mengeraskan suara dalam berzikir setelah shalat fardu adalah sunnah”. [Baca: Majmu’ Fatawa wa Rosaa’il al-‘Utsaimin 13/269 dan Fatawa Arkan al-Islam hal. 340]

Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (5/84) setelah menyabutkan hadits Ibnu ‘Abbas, dia berkata:

"هٰذَا دَلِيلٌ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوبَةِ، وَمِمَّنِ اسْتَحَبَّهُ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ".

“Ini menjadi dalil bagi sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwa disunnahkan mengeraskan suara dalam takbir dan zikir setelah shalat wajib. Di antara ulama mutaakhkhirin yang juga berpendapat demikian adalah Ibnu Hazm azh-Zhahiri.”

****

DALIL PENDAPAT PERTAMA:

Mereka berdalil dengan hadits-hadits Nabi , diantaranya adalah sbb:

---

HADITS KE-1.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:

«‌أَنَّ ‌رَفْعَ ‌الصَّوْتِ، ‌بِالذِّكْرِ ‌حِينَ ‌يَنْصَرِفُ ‌النَّاسُ ‌مِنَ ‌المَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ»

“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu telah ada pada masa Rasulullah .”

Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai (shalat) ketika aku mendengar dzikir itu.”

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 841 dan Muslim no. 583).

Dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata :

«‌مَا ‌كُنَّا ‌نَعْرِفُ ‌انْقِضَاءَ ‌صَلَاةِ ‌رَسُولِ ‌اللهِ ﷺ إِلَّا بِالتَّكْبِيرِ». قَالَ عَمْرٌو: " فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِأَبِي مَعْبَدٍ فَأَنْكَرَهُ، وَقَالَ: لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهَذَا، قَالَ عَمْرٌو: وَقَدِ اَخْبَرَنِيهِ قَبْلَ ذَلِكَ "

“Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah kecuali dengan (mendengar) takbir.”

Amr berkata: “Lalu aku menyebutkan hal itu kepada Abu Ma‘bad, maka ia mengingkarinya dan berkata: Aku tidak pernah meriwayatkan ini kepadamu.”

‘Amr berkata: “Padahal sebelumnya ia telah menceritakannya kepadaku.”

(HR. Muslim no. 121/583).

Disebutkan dalam kitab *Al-Mukhtashar An-Nashih* karya Al-Muhallab Al-Asadi 1/417 nomor 841:

"وقَالَ سُفْيَانُ: أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ".

Sufyan berkata, “Aku mengetahui berakhirnya shalat Nabi dengan takbir.”

Abu Al-Muzhaffar Yahya bin Hubairah Adz-Dzahli Asy-Syaibani berkata dalam kitab *Al-Ifshah ‘an Ma‘ani Ash-Shahih* (3/32):

"فِي هَذَا الحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ رَفْعَ النَّاسِ أَصْوَاتَهُمْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ انْقِضَاءِ المَكْتُوبَاتِ سُنَّةٌ."

“Hadits ini menjadi dalil bahwa mengeraskan suara dalam berzikir ketika selesai shalat wajib adalah sunnah.”

----

HADITS KE 2 :

Ibnu Abi Barzah Al-Aslami meriwayatkan dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ قَالَ - وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ فِي سَفَرٍ - رَفَعَ صَوْتَهُ حَتَّى يُسْمِعَ أَصْحَابَهُ:

«اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِيَ الَّذِي جَعَلْتَهُ عِصْمَةَ أَمْرِي، اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي جَعَلْتَ فِيهَا مَعَاشِي». (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)

«اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي آخِرَتِيَ الَّتِي جَعَلْتَ إِلَيْهَا مَرْجِعِي». (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْكَ». (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)

«اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ».

Rasulullah apabila selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau berdoa –dan menurutku beliau mengucapkannya ketika sedang dalam perjalanan– dengan suara yang keras hingga terdengar oleh para sahabatnya:

“Ya Allah, perbaikilah untukku agamaku yang Engkau jadikan sebagai penjaga urusanku. Ya Allah, perbaikilah untukku duniaku yang Engkau jadikan tempat kehidupanku,” beliau mengucapkannya tiga kali.

“Ya Allah, perbaikilah untukku akhiratku yang Engkau jadikan tempat kembaliku,” beliau mengucapkannya tiga kali.

“Ya Allah, aku berlindung dengan keridaan-Mu dari kemurkaan-Mu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan)-Mu,” beliau mengucapkannya tiga kali.

“Ya Allah, tidak ada yang dapat menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, serta tidak berguna kekayaan bagi pemiliknya di hadapan-Mu.”

STATUS HADITS :

Hadits ini memiliki sanad yang sangat lemah, sebagaimana yang dikatakan Syu’iab al-Arna’uth dalam Takhrij al-Adzkar karya an-Nawawi hal. 227 no. 643 dan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah hal. 231.

Aku (penulis) mengatakan: sanadnya sangat lemah, karena Ishaq bin Yahya bin Thalhah telah ditinggalkan oleh sejumlah imam hadits.

Namun Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Shuhaib radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi serupa, yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (733) dan *‘Amalul Yaum wal Lailah* (137 dan 445), Ibnu Khuzaimah dalam *Shahih*-nya (745), Ath-Thabarani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (7298) dan *Ad-Du‘a* (653), serta Ibnu Hibban (2026), melalui jalur Musa bin ‘Uqbah dari ‘Atha’ bin Abi Marwan dari ayahnya yang berkata:

حَدَّثَنِي كَعْبٌ أَنَّ صُهَيْبًا حَدَّثَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يَنْصَرِفُ بِهَذَا الدُّعَاءِ مِنْ صَلَاتِهِ وَذَكَرَهُ

“Kepada saya bercerita Ka‘b, bahwa Shuhaib menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah berdoa dengan doa ini ketika selesai shalat.”

Aku (penulis) mengatakan: sanadnya lemah, karena Abu Marwan tidak dikenal, sebagaimana dikatakan oleh An-Nasa’i.

Kesimpulannya: hadits ini lemah.

Catatan: sebagai doa mutlak (tanpa kaitan waktu dan jumlah tertentu), doa ini juga disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya (2720).

---

HADITS KE 3.

Dari Abu Az-Zubair, ia berkata:

" ابْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ حِينَ يُسَلِّمُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ ، لَهُ النِّعْمَةُ وَالْفَضْلُ وَالْبَلَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ".

قال ابنُ الزُّبيرِ: «‌كان رسولُ اللهِ ﷺ يُهلِّلُ بهنَّ دُبُرَ كلِّ صلاةٍ»

Sesungguhnya Ibnu Az-Zubair biasa mengucapkan setiap selesai shalat ketika salam:

“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya segala nikmat, bagi-Nya segala keutamaan, dan bagi-Nya pujian yang indah. Tidak ada Tuhan selain Allah, kami ikhlas beragama untuk-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya.”

Ibnu Az-Zubair berkata: “Rasulullah biasa bertakbir dengan bacaan ini setiap selesai shalat.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 594).

Makna dalilnya:

أنَّ قولَه: (يُهلِّلُ)، أي: يرفَعُ صوتَه؛ فالتَّهليلُ رفعُ الصَّوتِ

Ucapannya “bertahlil” maksudnya adalah beliau mengeraskan suaranya, karena “tahlil” berarti mengeraskan suara.

----

HADITS KE 4 :

Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dan Abadah bin Abi Lubabah, keduanya mendengar Warrad, penulis (sekretaris) Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Mu‘awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepada Mughirah bin Syu‘bah: “Tulislah kepadaku sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah yang beliau ucapkan setelah shalatnya.” Maka Mughirah menulis kepadanya:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ إِذَا قَضَاهَا: «‌لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ»

“Aku mendengar Rasulullah ketika telah menyelesaikan shalat-nya mengucapkan:

‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan segala pujian, di tangan-Nya segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak berguna kekayaan dan kedudukan bagi pemiliknya di hadapan-Mu.”

[Diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya (593/138) melalui jalur Sufyan dengan sanad yang sama.

Juga diriwayatkan oleh Bukhari (844 dan 6330) serta Muslim (593) melalui berbagai jalur dari Warrad].

---

HADITS KE 5 :

Dari Atha bin Abu Marwan, dari ayahnya:

أَنَّ كَعْبًا حَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ الَّذِي فَرَقَ الْبَحْرَ لِمُوسَى، إِنَّا نَجِدُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ دَاوُدَ نَبِيَّ اللَّهِ كَانَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ: اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِيَ الَّذِي جَعَلْتَهُ لِي عِصْمَةً، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي جَعَلْتَ فِيهَا مَعَاشِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَأَعُوذُ يَعْنِي بِعَفْوِكَ مِنْ نِقْمَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.

قَالَ: وَحَدَّثَنِي كَعْبٌ أَنَّ صُهَيْبًا حَدَّثَهُ أَنَّ مُحَمَّدًا ﷺ كَانَ يَقُولُهُنَّ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنْ صَلَاتِهِ.

Bahwa Ka‘b bersumpah demi Allah yang telah membelah laut untuk Musa, sesungguhnya kami mendapati dalam Taurat bahwa Dawud, Nabi Allah, apabila selesai dari shalatnya, beliau berdoa:

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang telah Engkau jadikan sebagai pelindungku, dan perbaikilah duniaku yang Engkau jadikan tempat kehidupanku. Ya Allah, aku berlindung kepada keridaan-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung kepada ampunan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari (azab)-Mu. Tidak ada yang dapat menahan apa yang Engkau berikan, tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak berguna bagi orang yang memiliki kekayaan di hadapan-Mu kekayaannya.”

Ka‘b berkata: Telah menceritakan kepadaku bahwa Shuhaib telah menceritakan kepadanya bahwa Muhammad biasa mengucapkan doa tersebut ketika beliau selesai dari shalatnya.

HR. An-Nasa’i dalam al-Kubra no. 1270 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no. 745.

STATUS HADITS : Sanadnya hasan.

Dinilai hasan oleh Abdul Qodir al-Arna’uth dalam Tahqiq Jami’ al-Ushul karya Ibnu al-Atsir (hamisy 4/228)

Diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dalam kitab *‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah* (no. 543) dengan sanadnya dari Abu Suhail bin Malik, dari ayahnya :

أَنَّهُ كَانَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يُؤُمُّ النَّاسَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، مِنْ دَارِ أَبِي جَهْمٍ، وَقَالَ كَعْبُ الأَحْبَارِ: وَالَّذِي فَلَقَ الْبَحْرَ لِمُوسَى، فَذَكَرَهُ.

“Bahwa ia biasa mendengar bacaan Umar bin Al-Khaththab ketika mengimami manusia di masjid Rasulullah dari rumah Abu Juhm. Dan Ka‘b Al-Ahbar berkata: Demi Dzat yang membelah laut untuk Musa ...., lalu ia menyebutkan hadis tersebut”.

Dan diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah* (no. 544) dan Ibnu Khuzaimah (no. 2565) dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Abi Marwan, dari ayahnya, bahwa Ka‘b telah menceritakan kepadanya, lalu ia menyebutkan hadis tersebut.

Dan diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah* (no. 545) dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Mughits, ia berkata: Ka‘b telah berkata, lalu ia menyebutkan hadis tersebut.

----

HADITS KE 6.

Dari Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

سمِعْتُ النبيَّ ﷺ يقولُ إذا قضى الصَّلاةَ: «‌لا إلهَ إلَّا اللهُ وحدَه لا شَرِيْكَ لَه»

Aku mendengar Nabi bersabda ketika telah selesai shalat: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.” (Diriwayatkan oleh Bukhori no. 844 dan Muslim no. 593).

Makna dalilnya: Dzikir tersebut tidak akan terdengar kecuali bila diucapkan dengan suara keras.

----

HADITS KE 7 :

Bacaan tahlil sebanyak sepuluh kali setelah salam dari shalat, hal ini disebutkan setelah shalat Subuh dan Magrib. Berdasarkan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

مَنْ قَالَ فِي ‌دُبُرِ ‌صَلَاةِ الفَجْرِ وَهُوَ ثَانٍ رِجْلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، كُتِبَتْ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، وَمُحِيَ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ، وَكَانَ يَوْمَهُ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ، وَحُرِسَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَلَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ أَنْ يُدْرِكَهُ فِي ذَلِكَ اليَوْمِ إِلَّا الشِّرْكَ بِاللَّهِ)

“Barang siapa yang mengucapkan setelah shalat Subuh, sementara ia masih dalam posisi duduk melipat kedua kakinya sebelum berbicara:

*Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qadiir*

(artinya : Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu)

Sebanyak sepuluh kali, maka akan dicatat baginya sepuluh kebaikan, dihapus darinya sepuluh keburukan, diangkat baginya sepuluh derajat, dan pada hari itu ia berada dalam perlindungan dari segala keburukan, dijaga dari setan, serta tidak ada dosa yang dapat mencelakakannya pada hari itu kecuali syirik kepada Allah.”

(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3470 dan Ibnu Hibban no. 2341.

At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih gharib.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib.” (Nataij al-Afkar, 2/321).

Al-Albani berkata dalam *Shahih at-Targhib wat-Tarhib* (no. 472): “Hasan li ghairihi (hasan karena penguat dari riwayat lain).””)

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan : “setelah shalat Magrib”.

----

HADITS KE 8 :

Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu berkata:

‌مَا ‌دَنَوْتُ ‌مِنْ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ ﷺ فِي دُبُرِ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ وَلَا تَطَوُّعٍ، إِلَّا سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَخَطَايَايَ كُلَّهَا، اللَّهُمَّ أَنْعِشْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَاهْدِنِي لِصَالِحِ الْأَعْمَالِ وَالْأَخْلَاقِ، إِنَّهُ لَا يَهْدِي لِصَالِحِهَا، وَلَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ»

“Tidaklah aku mendekat kepada Rasulullah setelah shalat wajib maupun shalat sunnah, kecuali aku mendengarnya berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosaku dan semua kesalahanku. Ya Allah, angkatlah aku (dari kelemahan), perbaikilah keadaanku, dan tunjukilah aku kepada amal serta akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepada yang baik maupun menolak yang buruk kecuali Engkau.’”

Profesor Dr. Husamuddin bin Musa ‘Affanah dalam *Fatawa Yas’alunak* (7/54) mengatakan:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ السُّنِّيِّ، وَجَوَّدَ إِسْنَادَهُ الْهَيْثَمِيُّ فِي "مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ" (١٠/١١١).

وَقَالَ الشَّيْخُ الْأَلْبَانِيُّ: حَسَنٌ، انْظُرْ "صَحِيحُ الْجَامِعِ" (١٢٦٦).

وَقَالَ الْهَيْثَمِيُّ فِي "مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ" (١٠/١١١): "وَإِسْنَادُهُ جَيِّدٌ". وَقَالَ (١٠/١٧٣): "رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ وُثِّقُوا".

وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَالْحَدِيثُ حَسَنٌ بِالطَّرِيقِ الثَّانِي، وَالشَّاهِدُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu As-Sunni, dan Al-Haitsami dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/111) menilai sanadnya baik.

Syaikh Al-Albani juga menilainya hasan dalam *Shahih Al-Jami’* (no. 1266).

Al-Haitsami berkata dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/111): “Sanadnya baik.” Dan pada (10/173) beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan para perawinya terpercaya.”

Secara keseluruhan, hadits ini berstatus *hasan* melalui jalur kedua, dengan penguat dari hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a‘lam.

Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *An-Nataij* (2/287) berkata:

عَلِيُّ بْنُ يَزِيدَ مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيفِهِ، وَمَدَارُ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَيْهِ.

“Ali bin Yazid disepakati kelemahannya, dan jalur hadits ini berporos padanya.”

Disebutkan dalam *Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah* (65/363):

وَفِيهِ دَلَالَةٌ بَيِّنَةٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الدُّعَاءِ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَالنَّافِلَةِ.

“Hadits ini mengandung dalil yang jelas tentang disyariatkannya berdoa setelah shalat wajib maupun sunnah.”

----

HADITS KE 9 :

Dari Muslim bin Abu Bakrah:

أَنَّهُ كَانَ سَمِعَ وَالِدَهُ يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ". فَجَعَلْتُ أَدْعُو بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، أَنَّى عَلِمْتَ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قُلْتُ: يَا أَبَتِ، سَمِعْتُكَ تَدْعُو بِهِنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ، فَأَخَذْتُهُنَّ عَنْكَ. قَالَ: فَالْزَمْهُنَّ يَا بُنَيَّ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ ﷺ كَانَ يَدْعُو بِهِنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ.

“Bahwa ia pernah mendengar Ayahnya [Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu] mengucapkan setelah selesai shalat;

"اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ"

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran, kefakiran dan siksa kubur) '.

Lalu aku pun berdoa dengan doa tersebut. Ayahku lalu bertanya; "Wahai anakku, dari mana engkau belajar ucapan-ucapan itu?"

Aku menjawab; "Wahai ayahku, setiap selesai shalat aku mendengarmu membaca itu, maka aku mengamalkan itu darimu!"

Ayahku lalu berkata; "Wahai anakku, amalkanlah selalu, sebab Nabi selalu membaca doa itu setiap selesai shalat."

[HR. An-Nasaa'i no. 5480] Di SHAHIH-kan oleh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i.

Lafadz lain: Muslim bin Abu Bakrah berkata:

«‌كَانَ أَبِي يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، فَكُنْتُ أَقُولُهُنَّ. فَقَالَ أَبِي: أَىْ بُنَىَّ عَمَّنْ أَخَذْتَ هَذَا؟ قُلْتُ: عَنْكَ. قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُهُنَّ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ»

“Dulu ayahku senantiasa membaca pada dubur Shalat:

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu daripada kekufuran, kefakiran, dan juga azab kubur.’

Maka aku pun membaca kesemuanya itu (di penghujung solatku).

Maka bapaku bertanya kepadaku: ‘Wahai anakku, dari siapakah engkau mengambil ini (yakni bacaan doa ini)?’

Aku menjawab: ‘Dari engkau.’

Maka bapaku berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah membacanya di dubur solat.’”

[HR. An-Nasaa'i no. 1346] Di SHAHIH-kan oleh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i.

MAKNA DUBUR SHOLAT:

Yang dimaksud DUBUR SHOLAT di sini menurut al-Haafidz Ibnu Hajar adalah setelah selesai Shalat [Fathul Baari 11/133].

Dan dalam ad-Duror As-Saniyyah di sebutkan:

وفي هذا الحديثِ يُخبِرُ مُسلِمُ بنُ أبي بَكْرةَ: "أنَّه كان سمِعَ والِدَه يقولُ في دبُرِ الصَّلاةِ"، أي: يَدعو بدعواتٍ عَقِبَ الانتهاءِ مِن صلاتِه، وقيل: المرادُ بدبُرِ الصَّلاةِ: ما كان قبل السَّلامِ

Dalam hadits ini, Muslim bin Abi Bakra menceritakan: “Dia mendengar ayahnya mengucapkan doa di dubur shalat,[[yaitu, dia berdoa dengan doa-doa tsb setelah menyelesaikan sholatnya]].

Dan ada yang mengatakan: Yang dimaksud dubur shalat adalah sebelum salam

Al-Haafidz Ibnu hajar dalam Fathul Baari 11/133 berkata:

فَإِنْ قِيلَ: الْمُرَادُ بِدُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ قُرْبُ آخِرِهَا وَهُوَ التَّشَهُّدُ، قُلْنَا: قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالذِّكْرِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ، وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا، فَكَذَا هَذَا حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُخَالِفُهُ.

Jika ada yang mengatakan: Bahwa yang dimaksud dengan kata "دُبُر كلَّ صَلاةٍ" [dubur setiap shalat] itu menjelang akhir shalat yaitu tasyahud ; Maka kami akan mengatakan: bahwa telah ada hadits perintah untuk berdzikir pada setiap [دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ], dan yang dimaksud dengan itu adalah setelah selesai shalat sesuai Ijma'para ulama ".

Dan begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah, beliau berkata:

قُلْت: قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالذِّكْرِ دُبُرَ الصَّلَاةِ وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا

“Saya berkata: telah datang riwayat tentang dzikir pada دُبُرَ الصَّلَاةِ [duburish shalah], dan yang dimaksud adalah setelah salam menurut ijma’.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)

----

HADITS KE 10:

Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، يَقُولُ: «اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، ‌أَنَا ‌أَشْهَدُ ‌أَنَّكَ ‌أَنْتَ ‌الرَّبُّ ‌وَحْدَكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، اجْعَلْنِي مُخْلِصًا لَكَ وَأَهْلِي فِي كُلِّ سَاعَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ اسْمَعْ وَاسْتَجِبْ، اللَّهُ الْأَكْبَرُ، اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، الْأَكْبَرُ الْأَكْبَرُ، حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ»

Aku mendengar Rasulullah berdoa di akhir shalat dengan doa:

“Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan satu-satunya, tiada sekutu bagi-Mu.

Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.

Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa seluruh hamba adalah bersaudara.

Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, jadikanlah aku orang yang ikhlas kepada-Mu di setiap waktu, juga keluargaku, di dunia dan di akhirat, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.

Ya Allah, dengarlah dan kabulkanlah. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah adalah cahaya langit dan bumi, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik pelindung. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar.”

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal al-Yaum wa al-Lailah* (no. 101) dengan sanad yang sama.

Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (no. 1508) – dan dari jalurnya oleh Al-Baihaqi dalam *Ad-Da‘awat al-Kabir* (1/73/94) –, Ahmad (4/369), Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (13/178–179, no. 7216), Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam al-Kabir* (5/210, no. 5122) – dan dari jalurnya pula oleh Al-Mizzi dalam *Tahdzib al-Kamal* (8/387–388) –, Asy-Syajari dalam *Al-Amali* (1/249), Ad-Daraquthni dalam *Al-Afrad* (q. 36/A – *Athraf al-Gharaib*), dan Al-Baihaqi dalam *Al-Asma’ wa ash-Shifat* (1/340–341, no. 272) melalui berbagai jalur dari Al-Mu‘tamir bin Sulaiman dengan sanad tersebut.

Ad-Daraquthni berkata dalam *Al-Afrad*:

"تَفَرَّدَ بِهِ مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ دَاوُدَ الطَّفَاوِيِّ عَنْ أَبِي مُسْلِمٍ الْبَجَلِيِّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ"

“Hadits ini diriwayatkan secara tunggal oleh Al-Mu‘tamir bin Sulaiman dari Dawud ath-Thafawi dari Abu Muslim al-Bajali dari Zaid bin Arqam.”

Aku (penulis) berkata: Tidak sebagaimana yang dikatakan rahimahullah, karena hadits ini juga diikuti oleh Jarir bin ‘Abd al-Hamid dalam riwayat Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (13/179/7217): Diriwayatkan oleh Ishaq bin Abi Isra’il dari Jarir dengan sanad yang sama.

Namun, sanad hadits ini tetap lemah karena dua sebab:

Pertama: Abu Muslim al-Bajali tidak dikenal, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam *Al-Mizan*. Dalam *At-Taqrib* disebutkan: “Maqbul” — artinya diterima jika ada penguat, tetapi bila tidak, maka lemah. Dan dalam hadits ini tidak ada penguatnya.

Kedua: Dawud ath-Thafawi lemah dalam periwayatan hadits, sebagaimana disebutkan dalam *At-Taqrib*.

----

HADITS KE 11 :

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

مَا صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً مَكْتُوبَةً إِلَّا أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَيْنَا، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ ‌إِنِّي ‌أَعُوذُ ‌بِكَ ‌مِنْ ‌كُلِّ ‌عَمَلٍ ‌يُخْزِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ صَاحِبٍ يُرْدِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ أَمَلٍ يُلْهِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ فَقْرٍ يُنْسِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ غِنًى يُطْغِينِي»

Rasulullah tidak pernah shalat fardu bersama kami melainkan setelah selesai shalat beliau menghadap kami dan berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setiap perbuatan yang mempermalukanku, aku berlindung kepada-Mu dari setiap teman yang mencelakaiku, aku berlindung kepada-Mu dari setiap cita-cita yang melalaikanku, aku berlindung kepada-Mu dari setiap kemiskinan yang membuatku lupa, dan aku berlindung kepada-Mu dari setiap kekayaan yang membuatku sombong.”

Sanad hadits ini lemah; diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam *Nataij al-Afkar* (2/297–298) melalui jalur Abu al-Qasim al-Baghawi (Ibnu Mani’) dengan sanad tersebut.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam *Musnad*-nya (4/23/3102 – *Kasyf*), dan oleh Al-Ma’mari dalam *‘Amal al-Yaum wa al-Lailah* sebagaimana disebut dalam *Nataij al-Afkar* (2/298) melalui jalur Thalut bin ‘Abbad.

Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ al-Zawaid* (10/110):

رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِيهِ بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ، وَقَدْ وُثِّقَ. وَرَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ عُقْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَصَمُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ جِدًّا

“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar, di dalam sanadnya terdapat Bakr bin Khunais; ia ditinggalkan (matruk), namun ada yang menilainya tsiqah. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya‘la, di dalam sanadnya terdapat Uqbah bin Abdullah al-Asham, dan ia sangat lemah”.

Al-Hafidz rahimahullah berkata:

"… وَكانَ عابِدًا، قالَ ابْنُ عَدِيٍّ: هُوَ مِمَّن يُكْتَبُ حَدِيثُهُ، وَقالَ أَبُو حاتِمٍ الرَّازِيُّ: لا يَبْلُغُ التَّرْك، وَضَعَّفَهُ جَماعَةٌ".

“Ia adalah seorang ahli ibadah. Ibnu ‘Adi berkata: haditsnya masih boleh ditulis. Abu Hatim ar-Razi berkata: tidak sampai derajat ditinggalkan, meskipun banyak yang melemahkannya.”

Maka sanad hadits ini lemah, tetapi dapat dijadikan pertimbangan (syahid).

Al-Bazzar berkata:

"لَمْ يَرْوِهِ عَنِ الجَعْدِ إِلَّا أَبُو عِمْرانَ، وَلا عَنْهُ إِلَّا بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ، وَلَيْسَ بِالقَوِيِّ".

“Tidak ada yang meriwayatkannya dari Al-Ja’d kecuali Abu Imran, dan tidak ada yang meriwayatkannya darinya kecuali Bakr bin Khunais, dan ia tidak kuat.”

Namun pernyataan itu tidak tepat, karena ada penguat lain.

Telah menguatkannya ‘Uqbah bin Abdullah ar-Rifa’i dari Al-Ja’d dengan sanad yang sama; diriwayatkan oleh Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (7/313/4352), dan oleh Ath-Thabarani dalam *Ad-Du‘a* (2/1095/657), serta melalui keduanya Al-Hafidz Ibnu Hajar meriwayatkannya dalam *Nataij al-Afkar* (29912).

----

HADITS KE 12 :

Dari Mush‘ab bin Sa‘d dan Amr bin Maimun, keduanya berkata:

أَنَ سَعْدٌ، يُعَلِّمُ بَنِيهِ هَؤُلَاءِ الكَلِمَاتِ ‌كَمَا ‌يُعَلِّمُ ‌المُكَتِّبُ ‌الغِلْمَانَ وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ دُبُرَ الصَّلَاةِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ البُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَرْذَلِ العُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَعَذَابِ القَبْرِ»

Sa‘d biasa mengajarkan kepada anak-anaknya doa-doa ini sebagaimana seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya, dan beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah biasa berdoa dengan doa-doa ini setelah selesai salat:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari umur yang paling buruk (pikun), dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia serta dari azab kubur.”

[HR. At-Tirmidzy no. 3567, an-Nasa’i dalam al-Kubra no. 7861, Ibnu Khuzaimah no. 746, dan Ibnu Hibbaan (al-Ihsan no. 2024).

Hadits ini dinilai hasan shahih oleh at-Tirmidzi. Dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-A’dzomi dan oleh al-Albani.

----

HADITS KE 13 :

Dari Mughirah bin Syu‘bah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌كَانَ، ‌إِذَا ‌فَرَغَ ‌مِنَ ‌الصَّلَاةِ ‌وَسَلَّمَ، ‌قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ»

Bahwa Rasulullah apabila selesai dari salat dan telah memberi salam, beliau berkata:

“Tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak berguna kekayaan seseorang di hadapan-Mu”.

(Diriwayatkan oleh Bukhori no. 6404 dan Muslim no. 137-(593)

----

HADITS KE 14 :

Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi , beliau bersabda:

"مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، مِائَةَ مَرَّةٍ، قَبْلَ أَنْ يَثْنِيَ رِجْلَهُ؛ كَانَ أَفْضَلَ أَهْلِ الْأَرْضِ عَمَلًا إِلَّا مَنْ قَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ".

“Barang siapa yang membaca setelah shalat Subuh:

*La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulk wa lahul hamd, yuhyi wa yumit, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir*

(artinya : Tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)

sebanyak seratus kali sebelum ia melipat kakinya (yakni sebelum beranjak dari tempat shalatnya), maka ia akan menjadi manusia terbaik di muka bumi dalam hal amal, kecuali orang yang membaca dzikir yang sama seperti bacaannya.”

STATUS HADITS :

Sanad hadits ini hasan; diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (8/280/8075) dan *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (7/175/7200) melalui jalur ‘Abdus Shamad bin ‘Abdul Warits.

Ath-Thabrani juga meriwayatkannya dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (8075), dan dari jalur beliau pula Asy-Syajari dalam *Amali*-nya (1/246), serta Ibnu Hajar dalam *Nataij Al-Afkar* (2/308) melalui jalur Asad bin Musa dari Adam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

"هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَآدَمُ بْنُ الْحَكَمِ بَصْرِيٌّ؛ قَالَ ابْنُ مَعِينٍ: صَالِحٌ، وَفِي رِوَايَةٍ: لَا شَيْءَ. وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: لَا بَأْسَ بِهِ. وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزُّورٌ، وَهُوَ صَدُوقٌ، تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُهُمْ بِغَيْرِ قَادِحٍ يَقْتَضِي طَرْحَ حَدِيثِهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ". أ.ه‍.

“Hadits ini hasan. Adam bin Al-Hakam adalah seorang dari Bashrah. Ibnu Ma’in berkata: *Salih.* Dalam riwayat lain: *Laisa bihi syai’* (tidak mengapa dengannya). Abu Hatim berkata: *La ba’sa bih* (tidak masalah dengannya). Adapun Abu Ghalib, namanya Hazzur, ia seorang yang jujur. Ada sebagian ulama yang menilai lemah dirinya, tetapi tidak sampai membuat haditsnya ditolak. Wallahu a‘lam.”

Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/108): “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* dan *Al-Awsath*, dan para perawi *Al-Awsath* semuanya tsiqah.”

Al-Mundziri berkata dalam *At-Targhib wat-Tarhib* (1/168): “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Awsath* dengan sanad yang baik.”

Syaikh Al-Albani rahimahullah, juga menganggapnya *hasan* dalam *Shahih At-Targhib wat-Tarhib* (1/263/471, cetakan Maktabah Al-Ma‘arif).

----

HADITS KE 15 :

Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدْعُو بِهَذِهِ الدَّعَوَاتِ كُلَّمَا سَلَّمَ: "اللَّهُمَّ، لَا تُخْزِنِي يَوْمَ القِيَامَةِ، وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ الْبَأْسِ؛ فَإِنَّ مَنْ تُخْزِهِ يَوْمَ الْبَأْسِ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ"

Rasulullah biasa berdoa dengan doa-doa ini setiap kali selesai salam (dari shalat):

“Ya Allah, janganlah Engkau mempermalukanku pada hari kiamat, dan janganlah Engkau mempermalukanku pada hari peperangan, karena siapa yang Engkau permalukan pada hari peperangan, sungguh Engkau telah mempermalukannya.”

STATUS HADITS :

Sanadnya lemah, di dalamnya terdapat Ar-Rayan bin Al-Ja’d. Abu Hatim berkata: “Ia dikenal di Ramla, haditsnya bisa ditulis.” Ibnu Hibban menilainya tsiqah, namun keduanya tidak menyebutkan seorang perawi pun darinya kecuali Isa bin Musa.

Adapun Isa bin Musa, ia adalah seorang yang jujur, namun terkadang salah dan kadang melakukan tadlis. Ia banyak meriwayatkan hadits dari orang-orang yang lemah, sebagaimana disebutkan dalam kitab *At-Taqrib*.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Bisyran dalam *Al-Amali* (2/170/1281) melalui jalur As-Sari bin Yahya dari Ar-Rayan dengan sanad yang sama.

Namun Ar-Rayan berbeda dalam riwayatnya, sebab Abdullah bin Al-Mubarak meriwayatkannya dari Yahya bin Hassan dari seorang laki-laki dari Bani Kinana, bahwa Nabi biasa berdoa (lalu disebutkan doa tersebut).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/234), Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (3/20/2524), dan Abu Nu’aim dalam *Ma’rifatush Shahabah* (2/645/1722).

Aku (penulis) berkata: Sanadnya sahih, dan ketidaktahuan terhadap nama sahabat tidak berpengaruh, karena seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil.

Al-Haitsami berkata dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/112):

"رَوَاهُ أَحْمَدُ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ".

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya terpercaya.”

Namun ia terlewat menyebut bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang sesuai dengan syaratnya.

----

HADITS KE 16:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dari Nabi , beliau bersabda:

"ما مِنْ عَبْدٍ بَسَطَ كَفَّيْهِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِلٰهِي وَإِلٰهَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ، وَإِلٰهَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ - عَلَيْهِمُ السَّلَامُ - أَسْأَلُكَ أَنْ تَسْتَجِيبَ دَعْوَتِي؛ فَإِنِّي مُضْطَرٌّ، وَتَعْصِمَنِي فِي دِينِي؛ فَإِنِّي مُبْتَلًى، وَتَنَالَنِي بِرَحْمَتِكَ؛ فَإِنِّي مُذْنِبٌ، وَتَنْفِيَ عَنِّي الْفَقْرَ؛ فَإِنِّي مُتَمَسْكِنٌ؛ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ - عَزَّ وَجَلَّ - أَنْ لَا يَرُدَّ يَدَيْهِ خَائِبَتَيْنِ."

“Tidaklah seorang hamba membentangkan kedua telapak tangannya setelah setiap shalat kemudian mengucapkan: -Ya Allah, Tuhanku dan Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub, serta Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil ‘alaihimussalam, aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengabulkan doaku karena aku adalah orang yang sangat membutuhkan-Mu; lindungilah aku dalam agamaku karena aku sedang diuji; limpahkanlah rahmat-Mu kepadaku karena aku orang yang berdosa; dan jauhkanlah dariku kemiskinan karena aku orang yang sangat membutuhkan; melainkan menjadi hak atas Allah ‘azza wa jalla untuk tidak menolak kedua tangannya dalam keadaan hampa.”

STATUS HADITS :

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu As-Sunni dalam kitab *‘Amal Al-Yaum wal-Lailah* hal. 100 no. 138, dan oleh Ibnu Al-A’rabi dalam *Al-Mu‘jam* (2/609) nomor 1204 melalui jalur Ishaq bin Khalid Al-Balsi dengan sanad tersebut.

Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu ‘Iraq dalam *Tanzih Asy-Syari‘ah* (2/334) no. 55.

Serta oleh Ibnu ‘Asakir dalam *Tarikh Dimasyq* (16/383) melalui jalur Ishaq bin Khalid bin Yazid Al-Asadi dengan sanad yang sama.

Adapun Ad-Dailami menukilkannya secara mu‘allaq dalam *Musnad Al-Firdaus* sebagaimana disebutkan dalam *Zahr Al-Firdaus* (13/209–210) dari jalur Abu Asy-Syaikh dengan sanad yang sama.

Adz-Dzahabi berkata dalam *Al-Mizan* (2/631 no. 5112):

عَبدُ العَزِيزِ بْنُ عَبدِ الرَّحْمٰنِ البَالِسِيُّ عَنْ خُصَيْفٍ؛ اتَّهَمَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَضَرَبَ عَلَى حَدِيثِهِ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُ: لَيْسَ بِثِقَةٍ، وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ: كَتَبْنَا عَنْ عُمَرَ بْنِ سِنَانٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ خَالِدٍ عَنْهُ نُسْخَةً شَبِيهًا.

“Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Balsi meriwayatkan dari Khushaif; dia dituduh berdusta oleh Imam Ahmad, dan Imam Ahmad mencoret hadits-haditsnya” (lihat *Al-‘Ilal wa Ma‘rifat Ar-Rijal* 3/319 no. 5419). An-Nasa’i dalam *Adh-Dhu‘afa wal-Matrukun* (hal. 168 no. 415) dan ulama lainnya berkata: “Ia tidak terpercaya.” Ibnu Hibban dalam *Al-Majruhin* (2/121 no. 739) berkata: “Kami menulis (mencatat) dari Umar bin Sinan dari Ishaq bin Khalid darinya (yakni dari Abdul Aziz) sebuah kumpulan hadits yang serupa.”

Hadits ini sangat lemah karena terdapat beberapa cacat:

Pertama, Khushaif al-Jazari adalah perawi yang lemah dan tidak mendengar langsung dari Anas.

Kedua, Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Qurasyi adalah perawi yang ditinggalkan (matruk), dan Imam Ahmad menuduhnya berdusta. Ibnu ‘Adi berkata dalam kitab *Al-Kamil* (3/942): “Ia meriwayatkan dari Khushaif dari Anas dan selain Khushaif hadits-hadits yang batil.”

Ketiga, Ishaq al-Balsi adalah perawi munkar hadits, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Adi.

-----

HADITS KE 17 :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كانَ مَقامي بَيْنَ كَتِفَيِ النَّبِيِّ ﷺ حتّى قُبِضَ، فَكانَ يَقولُ إذا انْصَرَفَ مِنَ الصَّلاةِ: «اللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمُرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِمَهُ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِي يَوْمَ أَلْقَاكَ».

“Posisiku berada di antara kedua bahu Nabi hingga beliau wafat. Beliau biasa berdoa ketika selesai dari shalat: ‘Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada bagian akhirnya, sebaik-baik amalanku pada penutupnya, dan jadikanlah sebaik-baik hariku adalah hari ketika aku bertemu dengan-Mu.’”

STATUS HADITS :

Hadits ini sangat lemah, karena memiliki beberapa cacat:

Pertama: Shalih bin Abi Al-Aswad; Adz-Dzahabi berkata dalam *Al-Mizan* (2/288): “Lemah.” Ia juga berkata dalam *Al-Mughni fi Adh-Dhu‘afa* (1/302): “Haditsnya munkar.” Ibnu Hajar berkata dalam *Nataij Al-Afkar* (2/293): “Tidak dapat dipercaya.”

Kedua: Abul Malik An-Nakha‘i (Abdul Malik An-Nakha‘i); ditinggalkan haditsnya sebagaimana disebut dalam *At-Taqrib*.

Ketiga: Ali bin Zaid bin Jud‘an; lemah karena buruk hafalannya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (9/157/9411) – dan darinya juga Ibnu Hajar dalam *Nataij Al-Afkar* (2/291–292) – melalui jalur Abu Bakr bin Abi An-Nadhr dari Abu An-Nadhr, dari Abu Malik An-Nakha‘i, dari Abu Al-Muhajjal, dari keponakan Anas, dari Anas.

Ath-Thabrani berkata:

"لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي الْمُحَجَّلِ إِلَّا أَبُو مَالِكٍ، وَلَا عَنْهُ إِلَّا أَبُو النَّضْرِ، تَفَرَّدَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ".

“Tidak ada yang meriwayatkannya dari Abu Al-Muhajjal kecuali Abu Malik, dan tidak ada yang meriwayatkannya darinya kecuali Abu An-Nadhr; yang menyendirinya adalah Abu Bakr.”

Ibnu Hajar berkata:

"هُوَ أَبُو بَكْرِ بْنُ النَّضْرِ بْنِ أَبِي النَّضْرِ نُسِبَ إِلَى جَدِّهِ، وَهُوَ مِنْ شُيُوخِ مُسْلِمٍ، وَاسْمُ جَدِّهِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، وَهُوَ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيحَيْنِ، وَأَبُو الْمُحَجَّلِ اسْمُهُ رُدَيْنِيٌّ، وَاسْمُ أَبِيهِ مُرَّةُ، وَقِيلَ: مُخَلَّدَةُ، وَثَّقَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ.

وَاسْمُ ابْنِ أَخِي أَنَسٍ حَفْصٌ ..... وَهُوَ مُوَثَّقٌ، وَالْهَيْثَمُ شَيْخُ الطَّبَرَانِيِّ مِنَ الْحُفَّاظِ، فَلَمْ يَبْقَ فِي هَذَا السَّنَدِ إِلَّا أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ بِالِاتِّفَاقِ، وَقَدِ اخْتُلِفَ عَلَيْهِ فِي شَيْخِهِ".

“Ia adalah Abu Bakr bin An-Nadhr bin Abi An-Nadhr yang dinisbatkan kepada kakeknya. Ia termasuk guru Muslim, dan nama kakeknya adalah Hasyim bin Al-Qasim, termasuk perawi *Ash-Shahihain*. Adapun Abu Al-Muhajjal namanya Rudaini bin Murrah, ada juga yang mengatakan Mukhallad, dan ia dinilai tsiqah oleh Yahya bin Ma‘in. Nama keponakan Anas adalah Hafsh … yang juga dinilai tsiqah. Al-Haitsam, guru Ath-Thabrani, adalah salah satu ahli hadits terpercaya. Maka yang tersisa dalam sanad ini hanyalah Abu Malik An-Nakha‘i, dan ia lemah berdasarkan kesepakatan. Bahkan terjadi perbedaan padanya dalam menyebut gurunya.”

Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/110):

"فِيهِ أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ".

“Dalam sanadnya terdapat Abu Malik An-Nakha‘i, dan ia lemah.”

Aku (penulis) berkata: Sanadnya sangat lemah karena Abu Malik An-Nakha‘i adalah perawi yang ditinggalkan, sebagaimana dalam *At-Taqrib*.

Secara keseluruhan, hadits ini sangat lemah karena bertumpu pada Abu Malik An-Nakha‘i yang ditinggalkan haditsnya, dan dalam riwayatnya pun terdapat kerancuan: terkadang ia meriwayatkannya dari Abu Al-Muhajjal dari keponakan Anas dari Anas, dan terkadang dari Ibnu Jud‘an dari Anas.

----

HADITS KE 18:

Dari Azhar bin Abdullah dari Tamim ad-Dari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"مَنْ قَالَ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، إِلٰهًا وَاحِدًا صَمَدًا، لَمْ يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ؛ كَتَبَ اللهُ - عَزَّ وَجَلَّ - لَهُ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَسَنَةٍ"

“Barang siapa yang membaca setelah shalat Subuh:

*Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lah, ilahan wahidan shomadan, lam yattakhidz shahibatan wa la waladan, wa lam yakun lahu kufuwan ahad*

(artinya : Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Tuhan yang Maha Esa dan tempat bergantung, yang tidak mempunyai istri maupun anak, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya) ; maka Allah 'azza wa jalla akan mencatat baginya empat puluh ribu kebaikan.”

STATUS HADITS :

Hadis ini memiliki sanad yang lemah; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (5/514/3473) dan Abu Nu’aim dalam *Ma’rifat ash-Shahabah* (1/451–452/1296) dari Qutaibah bin Sa’id dengan sanad yang sama.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (4/103), Ath-Thabrani dalam *al-Mu’jam al-Kabir* (2/57–58/1278), dan Ibnu ‘Adiy dalam *al-Kamil* (3/930) melalui jalur Laits bin Sa’d dengan sanad yang sama.

Aku (penulis) berkata: Sanad hadis ini lemah karena dua sebab:

Pertama, sanadnya terputus antara Azhar bin Abdullah dan Tamim ad-Dari; sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizzi dalam *Tahdzib al-Kamal* (2/327): “Ia meriwayatkan dari Tamim ad-Dari secara mursal (tanpa sanad langsung).”

Kedua, Khalil bin Murrah dinilai lemah oleh mayoritas ulama.

At-Tirmidzi berkata:

"هٰذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هٰذَا الْوَجْهِ، وَالْخَلِيلُ بْنُ مُرَّةَ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ؛ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ - يَعْنِي: الْبُخَارِيَّ -: هُوَ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ" أ. هـ.

“Hadis ini gharib, tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini, dan Khalil bin Murrah bukanlah orang yang kuat menurut para ahli hadis. Muhammad bin Ismail (yakni Al-Bukhari) berkata: “Ia munkar hadis”. [Selesai]

Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menilai hadis ini lemah dalam *Dha’if Sunan at-Tirmidzi* (687).

----

HADITS KE 19:

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

"أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ"

“Rasulullah memerintahkanku untuk membaca surat-surat pelindung (Al-Mu’awwidzat) setiap selesai shalat.”

STATUS HADITS :

Hadis ini sanadnya sahih. 

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal Al-Yaum wal-Lailah* sebagaimana disebutkan dalam *Tuhfatul Asyraf* (7/312) dan *Nataijul Afkar* (2/274) dengan sanad yang sama.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (4/155), Ibnu Abdi Al-Hakam dalam *Futuh Mishr* (hal. 195), Ath-Thabrani dalam *Ad-Du‘a* (2/1105–1106/677), dan dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (17/254/811) — dan melalui jalurnya diriwayatkan pula oleh Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam *Juz’ min Haditsi Abi Abdirrahman Abdullah bin Yazid Al-Muqri’ mimma wafaqa riwayata Al-Imam Ahmad bin Hanbal fi Al-Musnad* (76/33), serta oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam *Nataijul Afkar* (2/275) — juga oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’abul Iman* (2/512/2565), Muhammad bin Al-Husain Al-Bazzar dalam *Fawaiduhu* sebagaimana disebut dalam *At-Tadwin fi Akhbar Qazwin* (1/172), Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam *Juz’uhu* (76/33), dan Ibnu Hajar dalam *Nataijul Afkar* (2/274) melalui berbagai jalur dari Abdullah bin Yazid Al-Muqri’.

Aku (penulis) berkata: Sanad ini sahih.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (5/171/2903) dari Qutaibah bin Sa‘id, dari Ibnu Lahi‘ah, dari Yazid bin Abi Habib, dari ‘Ali bin Rabi‘ah dengan sanad yang sama.

At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan gharib.” Ucapannya benar; meskipun Ibnu Lahi‘ah dikenal kurang kuat hafalannya karena kitab-kitabnya terbakar, namun riwayat Qutaibah bin Sa‘id darinya tergolong baik, sebagaimana riwayat para ‘Abadilah.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (2/86/1523), An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (3/68) dan *Al-Kubra* (1/397/1259), Ahmad (4/201), Ibnu Khuzaimah dalam *Shahih-nya* (1/372/755), Ibnu Hibban dalam *Shahih-nya* (2347 – *Mawarid*), Ibnu Al-Mundzir dalam *Al-Awsath* (3/227/1560), Ibnu Abdi Al-Hakam dalam *Futuh Mishr* (hal. 195), Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (17/254/812), Al-Hakim (1/253), Al-Baihaqi dalam *Ad-Da‘awat Al-Kabir* (1/80–81/105), dan Al-Mizzi dalam *Tahdzibul Kamal* (7/458) melalui jalur Al-Laits bin Sa‘d, dari Hunain bin Abi Hakim, dari ‘Ali bin Rabi‘ah dengan sanad yang sama.

Aku (penulis) berkata: Sanad ini hasan, para perawinya terpercaya kecuali Hunain, yang dinilai jujur (shaduq).

Kesimpulannya, hadis ini sahih tanpa keraguan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menilainya sahih dalam *Nataijul Afkar* (2/274), demikian pula Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam *As-Shahihah* (645).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وَأَمَّا قَوْلُ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ‌أَنْ ‌اقْرَأْ ‌بِالْمُعَوِّذَاتِ ‌دُبُرَ ‌كُلِّ ‌صَلَاةٍ فَهَذَا بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا.

Adapun perkataan Uqbah bin Amir: “Rasulullah memerintahkanku untuk membaca Al-Mu’awwidzat setelah setiap shalat,” maka yang dimaksud adalah setelah selesai dari shalat (yakni setelah salam). [Majmu’ al-Fatawa 22/500]

----

HADITS KE 20:

Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ؛ كَانَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ قَاتَلَ عَنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - حَتَّى يُسْتَشْهَدَ"

“Barang siapa membaca Ayat Kursi setelah setiap salat wajib, maka ia akan mendapatkan kedudukan seperti orang yang berperang membela para nabi Allah ‘azza wa jalla hingga ia mati syahid.”

STATUS HADITS :

Sanadnya lemah. Syaikh Al-Albani rahimahullah, berkata dalam kitab *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/663):

"وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الذُّهْلِيُّ لَمْ أَجِدْ لَهُ تَرْجَمَةً، وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ثِقَةٌ فِي رِوَايَتِهِ عَنِ الشَّامِيِّينَ، وَلَا نَدْرِي أَهَذِهِ مِنْهَا أَوْ لَا؟

وَعَبْدُ الحَمِيدِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَبُو الْمُتَّقِي؛ قَالَ فِي "التَّقْرِيبِ": "صَدُوقٌ؛ إِلَّا أَنَّهُ ذَهَبَتْ كُتُبُهُ؛ فَسَاءَ حِفْظُهُ"". أ.ه‍.

“Sanad ini lemah. Dawud bin Ibrahim Adz-Dzahli tidak aku temukan biografinya, dan Ismail bin Ayyasy adalah tsiqah (terpercaya) dalam riwayatnya dari penduduk Syam, namun kita tidak tahu apakah riwayat ini termasuk dari jalur mereka atau tidak. Adapun Abdurrahim bin Ibrahim Abu Al-Muttaqi, dalam *At-Taqrib* disebutkan: ‘Ia jujur, hanya saja kitab-kitabnya hilang sehingga hafalannya menjadi buruk.’” Selesai.

----

HADITS KE 21 :

Dari Abu Umamah (Al Bahili) radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَحُلْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ"

“Barang siapa membaca ayat kursi setelah setiap salat wajib, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian.”

STATUS HADITS :

Sanadnya lemah, tetapi hadis ini sahih melalui jalur lainnya.

Syaikh Al-Albani rahimahullah, berkata dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/661):

"وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ؛ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ الْكِلَاعِيُّ الْحِمْصِيُّ لَهُ تَرْجَمَةٌ جَيِّدَةٌ فِي «تَارِيخِ ابْنِ عَسَاكِرَ» (15/ 323/ 2).

وَالْيَمَانُ بْنُ سَعِيدٍ؛ أَظُنُّهُ مُحَرَّفًا! مِنَ الْيَمَانِ بْنِ يَزِيدَ؛ فَقَدْ أَوْرَدَهُ هَكَذَا فِي «الْمِيزَانِ» وَقَالَ: «عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُمَيْرٍ الْحِمْصِيِّ بِخَبَرٍ طَوِيلٍ فِي عَذَابِ الْفُسَّاقِ، أَظُنُّهُ مَوْضُوعًا».

قَالَ الْحَافِظُ فِي «اللِّسَانِ»: «وَأَفَادَ شَيْخُنَا فِي «الذَّيْلِ»: أَنَّ الدَّارَقُطْنِيَّ قَالَ فِي «الْمُؤْتَلِفِ وَالْمُخْتَلِفِ»: مَجْهُولٌ، وَتَبِعَهُ ابْنُ مَاكُولَا».

قُلْتُ (الألباني): وَقَرِينُهُ أَحْمَدُ بْنُ هَارُونَ؛ قَالَ الذَّهَبِيُّ: «صَاحِبُ مَنَاكِيرَ عَنِ الثِّقَاتِ؛ قَالَهُ ابْنُ عَدِيٍّ».

قَالَ الْحَافِظُ: «وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي «الثِّقَاتِ»»، وَذَلِكَ فِي (8/ 38)، وَقَدْ تُوبِعَ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِ الْإِسْنَادِ ثِقَاتٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ». أ. هـ"

“Sanad hadis ini lemah. Muhammad bin Ubaidillah bin Al-Fadl Al-Kala’i Al-Himshi memiliki biografi yang baik dalam *Tarikh Ibnu Asakir* (15/323/2).

Adapun Al-Yaman bin Sa’id, tampaknya terjadi kesalahan penulisan, seharusnya ‘Al-Yaman bin Yazid’, sebagaimana disebutkan demikian dalam *Al-Mizan*, dan ia berkata: ‘Dari Muhammad bin Humair Al-Himshi dalam satu hadis panjang tentang azab orang-orang fasik, aku kira hadis itu maudhu (palsu).’

Al-Hafizh dalam *Lisan al-Mizan* mengatakan: ‘Guru kami menyebutkan dalam kitab *Adh-Dhayl*, bahwa Ad-Daraquthni berkata dalam *Al-Mu’talif wal Mukhtalif*: “Ia majhul (tidak dikenal),” dan hal ini diikuti oleh Ibnu Makula.’

Aku (Al-Albani) berkata: Temannya, Ahmad bin Harun, menurut Adz-Dzahabi, “Ia meriwayatkan kemunkaran dari perawi-perawi terpercaya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Adi.”

Al-Hafidz berkata: “Ibnu Hibban menyebutkannya dalam *Ats-Tsiqat* (8/38).” Ia juga memiliki penguat, dan seluruh perawi lainnya terpercaya sesuai syarat Imam Al-Bukhari.”

[Selesai perkataan beliau secara lengkap, rahimahullah].

Namun, hadis ini memiliki banyak jalur lain yang membuatnya sahih.

Hadis ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal al-Yaum wal-Lailah* (100), Ibnu Syahin dalam *Al-Juz’ al-Khamis min al-Afraad* (232/34), Ad-Daraquthni dalam *Al-Afraad* (263a), Ar-Ruyani dalam *Musnad*-nya (2/311–312/1268), Ibnu Hibban dalam *Kitab Ash-Shalah al-Mufrad* (dalam *Nataij al-Afkar* 2/280), Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam al-Kabir* (8/114/7532), *Al-Mu’jam al-Awsath* (8/92–93/8068), *Musnad asy-Syamiyyin* (2/9/824), dan *Ad-Du’a* (2/1104/675).

Juga oleh Asy-Syajari dalam *Al-Amali* (1/111), Ibnu Al-‘Adim dalam *Tarikh Halab* (5/2307), Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam *Akhbar Ashbahan* (1/354), Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam *At-Targhib fi Ad-Du’a* (81), Ibnu Al-Jauzi dalam *Al-Maudhu’at* (1/344), Ibnu Hajar dalam *Nataij al-Afkar* (2/278–279), Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam *Al-Ahadits al-Mukhtarah*, dan Ad-Dimyathi dalam *Juz’-nya* (dalam *Nataij al-Afkar* 2/278–280), juga dalam *Al-Laa’ali al-Mashnu’ah* (1/230), serta Ibnu Mardawaih dalam *Tafsir*-nya (dalam *Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim* 1/307) dengan berbagai jalur dari Muhammad bin Humair.

Aku (Al-Albani) berkata: Sanadnya sahih; para perawinya terpercaya menurut syarat Al-Bukhari.

Hadis ini juga disahihkan oleh Ibnu Katsir dan As-Suyuthi dalam *Al-Laa’ali al-Mashnu’ah* (1/230), dan oleh Syaikh kami Al-Albani rahimahullah dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/661–662) dengan syarat Al-Bukhari.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ini hadis hasan gharib.”

Beliau juga berkata dalam *An-Nukat ‘ala Ibn ash-Shalah* (2/849): “Hadis tentang membaca ayat kursi setelah salat itu sahih; diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban.”

Ad-Daraquthni dalam *Al-Afraad* berkata: “Hadis ini gharib, hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Humair.”

Ibnu Hajar berkata:

"وَهُوَ مِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ وَكَذَا شَيْخُهُ، وَقَدْ غَفَلَ أَبُو الْفَرَجِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فَأَوْرَدَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي «الْمَوْضُوعَاتِ» مِنْ طَرِيقِ الدَّارَقُطْنِيِّ، وَلَمْ يَسْتَدِلَّ لِمَدَّعَاهُ إِلَّا بِقَوْلِ يَعْقُوبَ بْنِ سُفْيَانَ: مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْرٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ.

قُلْتُ: وَهُوَ جَرْحٌ غَيْرُ مُفَسَّرٍ فِي حَقِّ مَنْ وَثَّقَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَأَخْرَجَ لَهُ الْبُخَارِيُّ."

 “Ia termasuk perawi Imam Al-Bukhari, demikian pula gurunya. Namun, Ibnu Al-Jauzi keliru ketika memasukkan hadis ini dalam *Al-Maudhu’at* melalui jalur Ad-Daraquthni, dan tidak memberikan alasan selain perkataan Ya’qub bin Sufyan: ‘Muhammad bin Humair tidak kuat.’

Aku [Ibnu Hajar] katakan: Ini bentuk jarh (celaan) yang tidak dijelaskan alasannya terhadap seorang perawi yang telah ditetapkan tsiqah oleh Yahya bin Ma’in, dan Imam Al-Bukhari meriwayatkan darinya”. [Nataa’ij al-Afkaar 2/279]

Kalaupun diterima, hal itu tidak berarti bahwa hadisnya palsu.

Al-Hafizh Adh-Dhiya’ juga mengingkari tindakan Ibnu Al-Jauzi ini dan memasukkan hadis tersebut dalam *Al-Ahadits al-Mukhtarah mimma laisa fi ash-Shahihain*.

Ibnu Abdul Hadi berkata:

لَمْ يُصِبْ أَبُو الْفَرَجِ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ.

“Ibnu Al-Jauzi keliru; hadis ini sahih.” [di kutip dari ‘Ajalah ar-Roghib 1/178 oleh Abu Usamah al-Hilaly dan Raudhatul Muhadditsiin 11/333 no. 5333].

----

HADITS KE 22:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

" إِنَّ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ، وَالْآيَتَيْنِ مِنْ آلِ عِمْرَانَ: {شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ} [آل عمران: 18]، وَ {قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ} [آل عمران: 26] إِلَى قَوْلِهِ: {وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [آل عمران: 27] مُعَلَّقَاتٌ، مَا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حِجَابٌ، لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُنْزِلَهُنَّ تَعَلَّقْنَ بِالْعَرْشِ، قُلْنَ: رَبَّنَا، تُهْبِطُنَا إِلَى أَرْضِكَ، وَإِلَى مَنْ يَعْصِيكَ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: بِي حَلَفْتُ، لَا يَقْرَأُكُنَّ أَحَدٌ مِنْ عِبَادِي دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا جَعَلْتُ الْجَنَّةَ مَثْوَاهُ عَلَى مَا كَانَ مِنْهُ، وَإِلَّا أَسْكَنْتُهُ حَظِيرَةَ الْقُدُسِ، ‌وَإِلَّا ‌نَظَرْتُ ‌إِلَيْهِ ‌بِعَيْنِي ‌الْمَكْنُونَةِ ‌كُلَّ ‌يَوْمٍ سَبْعِينَ نَظْرَةً، وَإِلَّا قَضَيْتُ لَهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ حَاجَةً، أَدْنَاهَا الْمَغْفِرَةُ، وَإِلَّا أَعَذْتُهُ مِنْ كُلِّ عَدُوٍّ وَنَصَرْتُهُ مِنْهُ، وَلَا يَمْنَعُهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ "

Terjemahnya :

“Sesungguhnya surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan tiga ayat dari surat Ali Imran yaitu:

﴿شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴾

(Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. [QS. Al-Imran: 19])

Dan

﴿قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾

(Artinya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [QS. Al-Imran: 26])

﴿تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾

 (Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)". [QS. Al-Imran: 27])

adalah ayat-ayat yang tergantung (di langit); tidak ada penghalang antara ayat-ayat itu dan Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah hendak menurunkannya, ayat-ayat itu bergantung di ‘Arsy seraya berkata:

“Wahai Tuhan kami, apakah Engkau akan menurunkan kami ke bumi, kepada orang-orang yang durhaka kepada-Mu?”

Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Demi Diri-Ku, Aku bersumpah, tidaklah seorang pun dari hamba-Ku membaca kalian setiap selesai shalat, melainkan Aku jadikan surga sebagai tempat tinggalnya, apa pun keadaannya. Aku tempatkan dia di taman suci, Aku pandang dia dengan pandangan khusus-Ku setiap hari sebanyak tujuh puluh kali, Aku kabulkan baginya setiap hari tujuh puluh kebutuhan, yang paling rendah di antaranya adalah ampunan, Aku lindungi dia dari setiap musuh dan Aku tolong dia darinya, dan tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian.”

STATUS HADITS :

Hadis ini maudhu‘ (palsu).

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam *Al-Majruhin* (1/223), Al-Khallal dalam *Al-Amali* (26–27/14), Al-Jurqani dalam *Al-Abathil wal Manakir* (2/277–278/682), Al-Mustaghfiri dalam *Fadha’il Al-Qur’an* (hal. 108/B), dan Ibnu Al-Jauzi dalam *Al-Maudhu‘at* (1/244) melalui berbagai jalur dari Muhammad bin Zanbur.

Juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam *Muwaddih Awhaam Al-Jam‘ wat-Tafriq* (2/371), dan Abu Al-Husain Al-Baghawi dalam *Ma‘alim At-Tanzil* (2/24–25) melalui jalur Muhammad bin Abi Al-Azhar dari Al-Harits dengan sanad yang sama.

Ibnu Hibban berkata:

"مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَالْحَارِثُ كَانَ مِمَّنْ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ"

“Hadis ini palsu, tidak memiliki asal, dan Al-Harits termasuk orang yang meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi yang terpercaya.” [*Al-Majruhin* (1/223)]

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam *As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (2/138–139):

"وَثَّقَهُ الْمُتَقَدِّمُونَ مِثْلُ ابْنِ مَعِينٍ وَغَيْرِهِ، لَكِنْ قَالَ الذَّهَبِيُّ فِي «الْمِيزَانِ»: وَمَا أَرَاهُ إِلَّا بَيِّنَ الضَّعْفِ؛ فَإِنَّ ابْنَ حِبَّانَ قَالَ فِي «الضُّعَفَاءِ»: رَوَى عَنِ الثِّقَاتِ الْأَشْيَاءَ الْمَوْضُوعَاتِ، وَقَالَ الْحَاكِمُ: رَوَى عَنْ حُمَيْدٍ وَجَعْفَرِ الصَّادِقِ أَحَادِيثَ مَوْضُوعَةً.

زَادَ فِي «الْمُغْنِي»: قُلْتُ: أَنَا أَتَعَجَّبُ كَيْفَ خَرَّجَ لَهُ النَّسَائِيُّ؟!

ثُمَّ سَاقَ لَهُ الذَّهَبِيُّ أَحَادِيثَ هَذَا أَحَدُهَا، ثُمَّ قَالَ: قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ. وَأَقَرَّهُ فِي «الْمِيزَانِ».

وَأَقَرَّهُ الْحَافِظُ فِي «التَّهْذِيبِ»، وَلَكِنَّهُ قَالَ: وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ مِمَّنْ دُونَ الْحَارِثِ."

“Para ulama terdahulu seperti Ibnu Ma‘in dan lainnya menilainya tsiqah, tetapi Adz-Dzahabi dalam *Al-Mizan* berkata: ‘Aku tidak melihatnya kecuali sangat lemah; karena Ibnu Hibban menyebut dalam *Adh-Dhu‘afa*: dia meriwayatkan dari orang-orang yang kuat hadis-hadis palsu.’ Al-Hakim juga berkata: ‘Ia meriwayatkan dari Humaid dan Ja‘far Ash-Shadiq hadis-hadis yang palsu.’ Dalam *Al-Mughni* disebutkan: ‘Aku heran bagaimana An-Nasa’i bisa meriwayatkan darinya!’ Kemudian Adz-Dzahabi menyebutkan hadis ini sebagai salah satu contohnya dan berkata: ‘Ibnu Hibban menilai hadis ini palsu, tidak memiliki asal.’ Penilaian ini juga disetujui dalam *Al-Mizan*, dan dikukuhkan oleh Al-Hafizh dalam *At-Tahdzib*; namun beliau mengatakan: ‘Yang tampak bagiku, cacatnya bukan dari Al-Harits, tetapi dari perawi di bawahnya.’ Pendapat ini juga didukung oleh Asy-Syaikh Al-Mu‘allimi rahimahullah dalam *At-Tankil* (2/223).”

Lalu Syeikh al-Albani berkata :

بَلْ عَلَّتُهُ الْحَارِثُ هَذَا؛ لِأَنَّ مَدَارَ الْحَدِيثِ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ زَنْبُورٍ عَنْهُ؟! وَابْنُ زَنْبُورٍ لَمْ يَتَّهِمْهُ أَحَدٌ، بِخِلَافِ الْحَارِثِ، وَقَدْ أَوْرَدَهُ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي «الْمَوْضُوعَاتِ» وَقَالَ (1/245): «تَفَرَّدَ بِهِ الْحَارِثُ، قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: كَانَ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ، رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ»، وَقَالَ ابْنُ خُزَيْمَةَ: «الْحَارِثُ كَذَّابٌ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا الْحَدِيثِ». ا. هـ

“Bahkan cacat hadis ini ada pada Al-Harits itu sendiri, karena sanad hadis ini berputar pada Muhammad bin Zanbur darinya! Dan tidak ada seorang pun yang menuduh Ibn Zanbur, berbeda dengan Al-Harits. Ibnu Al-Jauzi telah mencantumkannya dalam kitab *Al-Maudhu‘at* dan berkata (1/245): “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Al-Harits. Ibnu Hibban berkata: ‘Ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi terpercaya. Ia meriwayatkan hadis ini, padahal tidak ada asalnya.’ Ibnu Khuzaimah berkata: ‘Al-Harits adalah pendusta, dan hadis ini tidak memiliki asal.’” (Selesai perkataan al-Albani).

Al-Jurqani berkata:

«هَذَا حَدِيثٌ بَاطِلٌ؛ تَفَرَّدَ بِهِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ»

“Hadis ini batil; diriwayatkan secara tunggal dari Ja‘far bin Muhammad oleh Al-Harits bin ‘Umair.”

Kemudian ia menyebutkan ucapan Ibnu Khuzaimah di atas dalam kritik terhadap hadis ini.

Al-Baghawi berkata:

«رَوَاهُ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ».

“Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Harits bin ‘Umair, dan ia adalah perawi yang lemah.”

«وَقَدْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ ابْنُ حِبَّانَ وَابْنُ الْجَوْزِيِّ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِبَعِيدٍ عِنْدِي».

Asy-Syaukani berkata dalam *Al-Fawaid Al-Majmu‘ah* (hal. 297): “Ibnu Hibban dan Ibnu Al-Jauzi telah dengan tegas menyatakan bahwa hadis ini palsu, dan menurutku hal itu memang tidak jauh (benar adanya).”

Penulis katakan :

Namun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam *Al-Majlis Al-‘Asyir min Ashl Al-Amali*, sebagaimana disebutkan dalam *Nataij Al-Afkar* (2/280) – dan dikutip darinya oleh Ibnu ‘Iraq dalam *Tanzih Asy-Syari‘ah* (1/288), serta Al-Fatni dalam *Tazkirah Al-Maudhu‘at* (hal. 79) – dengan lafaz:

"لَمْ نَرَ لِلْمُتَقَدِّمِينَ فِيهِ طَعْنًا، بَلْ أَثْنَى عَلَيْهِ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، وَوَثَّقَهُ ابْنُ مَعِينٍ وَأَبُو حَاتِمٍ، وَالنَّسَائِيُّ، وَأَخْرَجَ لَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ، وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي «الضُّعَفَاءِ»؛ فَأَفْرَطَ فِي تَوْهِينِهِ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ جَلِيلُونَ، إِلَّا أَنَّ فِي الْإِسْنَادِ اِنْقِطَاعًا، وَقَدْ أَفْرَطَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي حُكْمِهِ بِوَضْعِهِ، وَلَعَلَّهُ اِسْتَعْظَمَ ثَوَابَهُ، وَإِلَّا فَحَالُ رُوَاتِهِ كَمَا تَرَى." ا. هـ.

“Kami tidak menemukan adanya celaan dari ulama terdahulu terhadapnya (Al-Harits), bahkan Hammad bin Zaid memujinya, Ibnu Ma‘in, Abu Hatim, dan An-Nasa’i menilainya tsiqah. Para penulis kitab Sunan juga meriwayatkan darinya. Ibnu Hibban memang mencantumkannya dalam *Adh-Dhu‘afa* dan sangat berlebihan dalam melemahkannya. Para perawi lainnya adalah orang-orang yang mulia, hanya saja dalam sanadnya terdapat keterputusan. Ibnu Al-Jauzi telah berlebihan dalam menghukumi hadis ini sebagai palsu; mungkin karena ia menganggap ganjaran yang disebutkan di dalamnya terlalu besar. Jika tidak, maka keadaan para perawinya seperti yang engkau lihat.” Selesai.

As-Suyuthi juga mengatakan hal yang serupa dalam *Al-La’ali Al-Mashnu‘ah* (1/229–230).

----

HADITS KE 23 :

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi beliau bersabda:

"ثَلاثٌ مَن كُنَّ فِيهِ وَاحِدَةٌ مِنهُنَّ زُوِّجَ مِنَ الحُورِ العِينِ حَيْثُ شَاءَ: رَجُلٌ اؤتُمِنَ عَلَى أَمَانَةٍ خَفِيَّةٍ شَهِيَّةٍ فَأَدَّاهَا مِنْ مَخَافَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَرَجُلٌ عَفَا عَنْ قَاتِلِهِ، وَرَجُلٌ قَرَأَ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرَ مَرَّاتٍ"

“Tiga perkara; siapa yang salah satunya ada padanya, maka ia akan dikawinkan dengan seorang bidadari di surga sesuai yang ia kehendaki: seorang laki-laki yang diberi amanah terhadap sesuatu yang tersembunyi dan menggoda, lalu ia menunaikannya karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla; seorang laki-laki yang memaafkan pembunuhnya; dan seorang laki-laki yang membaca *Qul huwallahu ahad* sepuluh kali setiap selesai shalat.”

STATUS HADITS :

Hadis ini sangat lemah sanadnya. Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam *Fadhail Surah Al-Ikhlas* (51/13) melalui jalur Muhammad bin Harun Al-Hadhrami.

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam *As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (2/108):

"وَهَذَا أَشَدُّ ضَعْفًا مِنْ سَابِقِهِ: الأَنْصَارِيُّ مَجْهُولٌ، وَالخَلِيلُ بْنُ مُرَّةَ ضَعِيفٌ جِدًّا، وَعَمْرُو بْنُ خَالِدٍ كَذَّابٌ" أ. هـ.

“Hadis ini lebih lemah dari yang sebelumnya: Al-Anshari tidak dikenal, Al-Khalil bin Murrah sangat lemah, dan Amr bin Khalid adalah pendusta.”

Aku (penulis) berkata: Amr bin Khalid yang pendusta itu tidak terdapat dalam sanad Ibnus Sunni sebagaimana dalam *naskah asli tulisan tangan*, tetapi hanya kesalahan dalam *versi cetak*. Yang benar adalah Umar bin Khalid Ar-Raqqi, karena dialah yang disebut dalam jalur periwayatan dari Al-Khalil bin Murrah. Selain itu, Sulaiman adalah anak dari Umar bin Khalid Ar-Raqqi, bukan anak dari Amr bin Khalid sebagaimana dijelaskan dalam *Tahdzib Al-Kamal* (8/343).

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam *Tarikh Dimasyq* (17/274/1) melalui jalur Hammad bin Abdurrahman, dari Ismail bin Ibrahim Al-Anshari dengan sanad yang sama.

Syaikh al-Albani berkata dalam *Adh-Dha‘ifah* (2/108):

"إِلَّا أَنَّ حَمَّادًا هَذَا مِمَّا لَا يُفْرَحُ بِمُتَابَعَتِهِ؛ قَالَ أَبُو زُرْعَةَ: "يَرْوِي أَحَادِيثَ مُنَاكِيرَ"، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: "شَيْخٌ مَجْهُولٌ، مُنْكَرُ الحَدِيثِ ضَعِيفٌ"" أ. هـ.

“Namun Hammad ini tidak dapat dijadikan penguat, karena Abu Zur‘ah berkata: ‘Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar.’ Abu Hatim juga berkata: ‘Ia seorang syaikh yang tidak dikenal, hadisnya munkar dan lemah.’”

Hadis ini memiliki dua syahid (penguat):

Pertama, hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dengan makna serupa. Diriwayatkan oleh Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (3/332/1794), darinya pula Ibnu Hajar dalam *Nataij Al-Afkar* (2/277–278), At-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (3/347/3361) dan *Ad-Du‘a* (2/1103/673), Abu Muhammad Al-Jauhari dalam *Al-Fawaid Al-Muntaqah* (4/2), dan Abu Muhammad Al-Khallal dalam *Fadhail Surah Al-Ikhlas* (hal. 53) dari Umar bin Nabhan, dari Abu Syaddad, dari Jabir dengan makna yang serupa.

At-Thabrani berkata: “Hadis ini tidak diriwayatkan kecuali dengan sanad ini.”

Ibnu Hajar berkata:

"هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ؛ وَأَبُو شَدَّادٍ لَا يُعْرَفُ اسْمُهُ وَلَا حَالُهُ، وَالرَّاوِي عَنْهُ أَخْرَجَ لَهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَهُ جَمَاعَةٌ" أ. هـ.

“Hadis ini gharib. Abu Syaddad tidak diketahui nama maupun keadaannya, dan perawi yang meriwayatkan darinya —yang juga diriwayatkan oleh Abu Dawud— dinilai lemah oleh banyak ulama.”

Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/102):

"رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ عُمَرُ بْنُ نُبْهَانَ وَهُوَ مَتْرُوكٌ".

“Diriwayatkan oleh Abu Ya‘la, dan di dalamnya terdapat Umar bin Nabhan yang ditinggalkan (matruk).”

Al-Mundziri juga melemahkannya dalam *At-Targhib wat-Tarhib* (3/208).

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

"وَهُوَ ضَعِيفٌ جِدًّا؛ عُمَرُ بْنُ نُبْهَانَ، قَالَ ابْنُ مَعِينٍ: "لَيْسَ بِشَيْءٍ"، وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الضُّعَفَاءِ" (2/90): "يَرْوِي الْمَنَاكِيرَ عَنِ الْمَشَاهِيرِ فَاسْتَحَقَّ التَّرْك"، وَأَبُو شَدَّادٍ لَمْ أَعْرِفْهُ" أ. هـ.

 

“Hadis ini sangat lemah; Umar bin Nabhan menurut Ibnu Ma‘in ‘tidak ada nilainya,’ dan Ibnu Hibban berkata dalam *Adh-Dhu‘afa* (2/90): ‘Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari para perawi terkenal, maka ia pantas ditinggalkan.’ Adapun Abu Syaddad, aku tidak mengenalnya.”

Kedua, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dengan makna serupa. Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (23/945) dan Ad-Dainuri dalam *Al-Mujalasah* (4/352/1487) melalui jalur Rawwad bin Al-Jarrah, dari Muhammad bin Muslim, dari Abdullah bin Al-Hasan, dari Ummu Salamah secara marfu’.

Aku katakan :

Sanad ini lemah, karena Abdullah bin Al-Hasan tidak bertemu dengan Ummu Salamah, dan Abdullah bin Muslim (atau dalam riwayat Ad-Dainuri disebut Muhammad bin Muslim) tidak diketahui.

Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (9/302): “Diriwayatkan oleh At-Thabrani, dan di dalam sanadnya ada sejumlah perawi yang tidak aku kenal.”

Rawwad bin Al-Jarrah juga lemah (dho’if). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

"صَدُوقٌ اخْتَلَطَ بِآخِرَةٍ؛ فَتُرِكَ".

“Ia seorang yang jujur, tetapi pada akhir hidupnya mengalami kekacauan hafalannya sehingga ditinggalkan.”

Syaikh al-Albani juga melemahkannya dalam *Adh-Dha‘ifah* (3/437/1276).

Secara keseluruhan, hadis ini sangat lemah sekali, dan semua jalur serta penguatnya tidak dapat dijadikan sandaran. Wallahu a’lam.

**** 

DALIL DZIKIR BERSAMA SETELAH SHALAT DAN LAINNYA :

---

HADITS KE 1:

Dari Al-A’masy, ia berkata:

اخْتَلَفُوا فِي الْقَصَصِ فَأَتَوْا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالُوا: أَكَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَقُصُّ فَقَالَ: إِنَّمَا بُعِثَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِالسَّيْفِ وَلَكِنٍ قَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَأَنْ " أَذْكُرَ اللهَ ‌مَعَ ‌قَوْمٍ ‌بَعْدَ ‌صَلَاةِ ‌الْفَجْرِ ‌إِلَى ‌طُلُوعِ ‌الشَّمْسِ ‌أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا، وَمَا فِيهَا وَلَأَنْ أَذْكُرَ اللهَ مَعَ قَوْمٍ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا "

Orang-orang berselisih pendapat tentang kisah-kisah (ceramah atau peng-kisah-an setelah shalat), lalu mereka mendatangi Anas bin Malik dan berkata: “Apakah Rasulullah pernah bercerita (menyampaikan kisah)?”

Anas menjawab: “Rasulullah diutus dengan membawa pedang. Akan tetapi, aku pernah mendengarnya bersabda: ‘Sungguh, duduk berzikir kepada Allah bersama suatu kaum setelah shalat Subuh hingga matahari terbit lebih aku sukai daripada dunia dan segala isinya. Dan duduk berzikir kepada Allah bersama suatu kaum setelah shalat Asar hingga matahari terbenam lebih aku sukai daripada dunia dan segala isinya.’”

[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 2/86 no. 555]

Hadits ini disebutkan pula oleh as-Suythi dalam kitab *Al-Jami‘ Ash-Shaghir* nomor 7199, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’ab Al-Iman* dari Anas, dan diberi tanda derajat hasan.

Dan hadits ini nilai hasan sanadnya oleh Ibnu Hajar al-Haitsami dalam al-Majma’ 10/105 dan oleh al-Manawi dalam at-Taysiir Bi Syarh al-Jami’ ash-Shaghir 2/282.

Dan Al-Manawi dalam Faidhul Qodir 5/254 no. 7199 berkata:

"رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ الْهَيْثَمِيُّ: سَنَدُهُ حَسَنٌ ا.هـ، وَمِنْ ثَمَّ رَمَزَ الْمُصَنِّفُ لِحُسْنِهِ، وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي السُّنَنِ الْكُبْرَى مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ أَنَسٍ بِاخْتِصَارٍ، وَتَعَقَّبَهُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمُهَذَّبِ بِأَنَّ يَزِيدَ وَاهٍ".

“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’ab Al-Iman* dari Anas bin Malik.” Al-Haitsami berkata: “Sanadnya hasan.” Karena itu, penulis memberi simbol hasan. Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam *As-Sunan Al-Kubra* dari hadits Yazid Ar-Raqasyi dari Anas dengan redaksi yang ringkas. Namun, Adz-Dzahabi dalam *Al-Muhadzdzab* mengkritiknya dengan mengatakan bahwa Yazid adalah perawi yang lemah”. [Selesai]

[Lihat pula : al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 55].  

Yazid yang dimaksud di sini , ia adalah Yazid bin Aban Ar-Raqasyi.

An-Nasa’i berkata: “Ia matruk (ditinggalkan haditsnya).” Ahmad berkata: “Yazid munkar haditsnya.” Ibnu Ma’in berkata: “Dalam haditsnya ada kelemahan.” Ad-Daruquthni dan ulama lainnya juga berkata: “Ia lemah.” Al-Fallasi berkata: “Ia tidak kuat.”

(Sumber: *Adh-Dhu‘afa* karya An-Nasa’i, no. 142, halaman 110).

Syeikh Al-Albani menilai nya DHO’IF dalam *Dha’if Al-Jami’* (no. 4636) serta dalam *As-Silsilah Adh-Dha’ifah* (no. 2298).

---

HADITS KE 2 :

Dari Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda :

لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً.

Duduk bersama suatu kaum yang berzikir kepada Allah Ta‘ala mulai dari shalat Subuh hingga matahari terbit lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang dari keturunan Ismail. Dan duduk bersama suatu kaum yang berzikir kepada Allah mulai dari shalat Asar hingga matahari terbenam lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang.

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3667) dengan lafaz ini, juga oleh Abu Ya’la (3392), dan Ath-Thabrani dalam *al-Mu‘jam al-Awsath* (6022).

Hadits ini dinilai Hasan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 3667].

----

HADITS KE 3:

Dari Abu Sa’id al-Khudry dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عليهمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَن عِنْدَهُ.

Tidaklah suatu kaum duduk bersama untuk berzikir kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, melainkan para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat akan meliputi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. [HR. Muslim no. 2700]

Lafadz Ibnu Majah :

ما جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

Tidaklah suatu kaum duduk bersama dalam suatu majelis untuk berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat akan menaungi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.

[HR. Ibnu Majah no. 3073. Dinilai hasan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah].

****

PENDAPAT KEDUA:
DI SUNNAHKAN BERDZIKIR DENGAN SUARA PELAN DAN LIRIH

Madzab Syafi’i dan Hanbali berpendapat: hal itu tidak disyariatkan kecuali bagi seorang imam yang ingin agar orang lain belajar darinya. Maka imam boleh mengeraskan zikir sampai ia mengetahui bahwa para jamaah telah mempelajarinya, kemudian setelah itu ia melirihkannya.

Dan ini juga merupakan pendapat sebagian madzab Maliki, serta sebagian ulama Hanafi.

[lihat : Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/666; Hasyiyah Ath-Thahthawi, hlm. 214, Al-Madkhal karya Ibnu al-Hajj, 2/276), Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 3/487; dan Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 1/150].

Dan ada sebagian para ulama yang menukil pendapat ini dari mayoritas para ulama.

Ibnu Rajab juga berkata:

(وَحُكِيَ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ خِلَافُ ذَلِكَ، وَأَنَّ الْأَفْضَلَ الْإِسْرَارُ بِالذِّكْرِ).

“Mayoritas ulama berpendapat sebaliknya, bahwa yang afdhol (lebih utama) adalah melirihkan zikir.” (Fath al-Bari, 5/235).

An-Nawawi berkata:

(نَقَلَ ابْنُ بَطَّالٍ وَآخَرُونَ أَنَّ أَصْحَابَ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعَةِ وَغَيْرَهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَمِ اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِيرِ).

“Ibnu Baththal dan lainnya menukil bahwa para pengikut madzab-madzab yang mu’tabar dan selain mereka sepakat tidak disunnahkan mengeraskan suara dalam zikir dan takbir.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 5/84; lihat juga Al-Furu’ karya Ibnu Muflih, 2/231).

Ibnu Baththal berkata:

(وَلَمْ أَجِدْ مِنَ الْفُقَهَاءِ مَنْ يَقُولُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ إِلَّا مَا ذَكَرَهُ ابْنُ حَبِيبٍ فِي الْوَاضِحَةِ، قَالَ: يُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ فِي الْعَسَاكِرِ وَالثُّغُورِ بِأَثَرِ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ تَكْبِيرًا عَالِيًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَهُوَ قَدِيمٌ مِنْ شَأْنِ النَّاسِ).

“Aku tidak menemukan seorang pun dari kalangan fuqaha yang mengatakan seperti isi hadits (tentang mengeraskan zikir setelah shalat), kecuali apa yang disebutkan oleh Ibnu Habib dalam kitab Al-Wadhihah: disunnahkan bertakbir di barisan tentara dan di perbatasan negeri setelah shalat Subuh dan Isya dengan suara keras sebanyak tiga kali. Dan ini merupakan kebiasaan lama manusia.” (Syarh Shahih al-Bukhari, 2/458).

An-Nafrawi berkata:

(اُخْتُلِفَ: هَلِ الأَفْضَلُ فِي الأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ السِّرُّ أَوِ الْجَهْرُ؟

قَالَ بَعْضُهُمْ: يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِهَا لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ"،

وَفِي مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ الزُّبَيْرِ: "كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ بِصَوْتِهِ:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ".

وَحَمَلَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْحَدِيثَ عَلَى أَنَّهُ جَهَرَ زَمَنًا يَسِيرًا حَتَّى عَلَّمَهُمْ صِفَةَ الذِّكْرِ لَا أَنَّهُ دَاوَمَ عَلَى الْجَهْرِ، فَاخْتَارَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ إِخْفَاءَ الذِّكْرِ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ الْإِمَامُ بِرَفْعِ صَوْتِهِ تَعْلِيمَ الْجَمَاعَةِ أَوْ إِعْلَامَهُمْ،

قُلْتُ: وَفِي كَلَامِ أَئِمَّتِنَا فِي التَّكْبِيرِ الْمَطْلُوبِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ مَا يُوَافِقُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّهُمْ عَدُّوا رَفْعَ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ بِدْعَةً).

“Terjadi perbedaan pendapat apakah yang lebih utama dalam zikir-zikir yang disyariatkan setelah shalat adalah secara pelan atau keras?

Sebagian ulama berkata: disunnahkan mengeraskan suara ketika berzikir.

Ini berdasarkan dalil hadits sahih dari Ibnu Abbas dalam Shahihain, ia berkata: ‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir.’

Dan dalam Shahih Muslim dari Zubair disebutkan: ‘Rasulullah apabila selesai dari shalatnya, beliau mengucapkan dengan suaranya:

“Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku walahul hamdu, wahuwa ‘alaa kulli syai’in qadiir, laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim, laa ilaaha illallaah, wa laa na’budu illaa iyyah, lahun ni’mah walahul fadhl walahuts-tsanaa’ul hasan, laa ilaaha illallaahu mukhlishiina lahud-diina walau karihal kaafiruun”.’

(Artinya : Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, milik-Nya segala keutamaan, dan milik-Nya segala pujian yang indah. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya).

Imam Syafi’i rahimahullah menafsirkan hadits ini bahwa Nabi mengeraskan zikirnya dalam waktu yang singkat untuk mengajarkan tata cara zikir kepada para sahabat, bukan berarti beliau terus-menerus melakukannya dengan keras.

Karena itu, Imam Syafi’i memilih agar imam dan makmum melirihkan zikir, kecuali bila imam bermaksud mengeraskan suaranya untuk mengajarkan jamaah atau memberi tahu mereka.

Aku (an-Nafrawi) berkata: Dalam perkataan para ulama kami mengenai takbir hari raya, terdapat kesesuaian dengan pendapat Syafi’i, karena mereka menilai mengeraskan suara dalam takbir sebagai hal yang bid’ah.” (Al-Fawakih ad-Dawani, 1/492; lihat juga Al-Madkhal karya Ibnu al-Hajj, 2/276).

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Mardawi dari madzhab Hanbali. Ia berkata:

(قُلْتُ: الصَّوَابُ الإِخْفَاتُ فِي ذَلِكَ، وَكَذَا كُلُّ ذِكْرٍ).

“Menurutku, yang benar adalah melirihkan bacaan zikir, demikian pula semua jenis zikir lainnya.” (Tashhih al-Furu’, 2/231).

Sebagian orang mungkin merasa bingung dengan pendapat madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa sunnah dalam berzikir setelah shalat —baik tahlil, takbir, maupun tasbih— adalah dilakukan dengan suara lirih (pelan), bukan dikeraskan. Dan tidak disunnahkan untuk mengeraskan zikir kecuali oleh imam sesekali, dengan tujuan mengajarkan zikir tersebut kepada jamaah. Maka dalam konteks ini, tidak mengapa imam mengeraskan zikirnya untuk tujuan pengajaran. Setelah jamaah belajar, zikir itu kembali dilakukan dengan lirih sebagaimana sunnah.

Dalam kitab *Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah* halaman 245 dari kitab-kitab madzhab Syafi’i disebutkan:

"يُسِرُّ كُلُّ مُصَلٍّ بِالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ، إِلَّا الإِمَامَ الْمُرِيدَ تَعْلِيمَ الْحَاضِرِينَ... فَيَجْهَرُ؛ أَيْ: بِكُلٍّ مِنْهُمَا إِلَى أَنْ يَتَعَلَّمُوا فَيُسِرَّ، وَعَلَيْهِ حَمَلَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُ أَحَادِيثَ الْجَهْرِ"

“Setiap orang yang shalat hendaknya melirihkan zikir dan doanya, kecuali imam yang ingin mengajarkan kepada jamaah yang hadir, maka ia boleh mengeraskan suara dalam keduanya hingga mereka belajar, setelah itu hendaklah ia melirihkannya. Atas dasar inilah Imam Syafi’i dan para sahabatnya menafsirkan hadits-hadits tentang zikir dengan suara keras.”

Da’iratul Iftaa al-‘Aam -Jordania dalam fatwa no. 3868 (24-04-2024) mengatakan :

وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الإِشْكَالِ أَنَّ الْمَسَاجِدَ الْيَوْمَ لَا تَخْلُو عَادَةً مِنْ مُصَلٍّ جَدِيدٍ لَمْ يَتَعَلَّمْ أَحْكَامَ الذِّكْرِ الْمَشْرُوعِ بَعْدَ الصَّلَاةِ؛ فَلَا حَرَجَ فِي جَهْرِ الإِمَامِ بِالذِّكْرِ مُطْلَقًا – بَعْدَ كُلِّ صَلَاةٍ – لِتَعْلِيمِ النَّاسِ.

Jawaban atas kebingungan tersebut adalah bahwa masjid-masjid di masa kini hampir tidak pernah sepi dari orang-orang baru yang belum mengetahui tata cara zikir yang disyariatkan setelah shalat. Oleh karena itu, tidak mengapa imam mengeraskan zikirnya secara umum setelah setiap shalat sebagai bentuk pengajaran bagi jamaah.

====

DALIL PENDAPAT KEDUA :

---

MACAM DALIL PERTAMA: DARI AL-QUR’AN :

KE 1. Firman Allah:

﴿قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا﴾

" Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" " [Al-Isra: 110]

Makna dalil: Allah melarang untuk mengeraskan suara dalam doa.

KE 2. Firman Allah secara umum:

﴿ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [QS. Al-A’raf: 55]

Allah memerintahkan agar berdoa dengan penuh kerendahan hati dan suara lirih.

KE 3. Firman Allah secara umum:

﴿وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ﴾

" Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. [QS. Al-Araf: 205]

Allah memerintahkan agar mengingat-Nya dalam hati dengan penuh kerendahan hati dan rasa takut.

----

MACAM DALIL KE DUA: DARI HADITS

Hadits larangan berdzikir dengan suara nyaring dan keras dalam melakukan perjalanan atau berkendara.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ، هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ ‌ارْبَعُوا ‌عَلَى ‌أَنْفُسِكُمْ، ‌فَإِنَّكُمْ ‌لَا ‌تَدْعُونَ ‌أَصَمَّ ‌وَلَا ‌غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»

“Kami bersama Rasulullah , dan ketika Maka ketika kami sampai di tepi sebuah lembah, kami bertakbir dan bertahlil sehingga suara kami terdengar keras (tinggi dan berisik). Maka Nabi bersabda: ‘Hai manusia, bersikaplah tenang terhadap dirimu, karena kalian tidak berdoa kepada Dzat tuli atau yang jauh. Sesungguhnya Dia bersama kalian, Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat, Maha Suci nama-Nya dan Maha Tinggi keagungan-Nya.’”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2992) dan ini adalah haditsnya, dan juga oleh Muslim (2704)]

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 17/26 berkata:

"فِيهِ ‌النَّدْبُ ‌إِلَى ‌خَفْضِ ‌الصَّوْتِ ‌بِالذِّكْرِ ‌إِذَا ‌لَمْ ‌تَدْعُ حَاجَةٌ إِلَى رَفْعِهِ فَإِنَّهُ إِذَا خَفَضَهُ كَانَ أَبْلَغَ فِي تَوْقِيرِهِ وَتَعْظِيمِهِ فان دعت حاجةالى الرَّفْعِ رَفَعَ كَمَا جَاءَتْ بِهِ أَحَادِيثُ".

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk merendahkan suara dalam dzikir jika tidak ada keperluan untuk meninggikan suaranya. Karena dengan merendahkan suara dzikir itu akan lebih terasa khidmat dalam penghormatan. Namun jika ada keperluan untuk mengangkat suara, maka dibolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits lainnya”.

Lafadz Riwayat lain: Dari Abu Musa, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزَاةٍ، فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ فِي وَادٍ إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ، قَالَ: فَدَنَا مِنَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ‌ارْبَعُوا ‌عَلَى ‌أَنْفُسِكُمْ، ‌فَإِنَّكُمْ ‌لَا ‌تَدْعُونَ ‌أَصَمَّ ‌وَلَا ‌غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا» ثُمَّ قَالَ: «يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً هِيَ مِنْ كُنُوزِ الجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»

“Kami bersama Rasulullah dalam peperangan, maka tidaklah kami naik lembah atau kami turun lembah kecuali kami melengkingkan (meninggikan) suara kami dengan takbir. Lalu Rasulullah mendekati kami dan bersabda: ‘Hai manusia, bersikaplah tenang terhadap dirimu, karena kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli atau yang jauh, kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’

Kemudian beliau bersabda: ‘Hai Abdullah bin Qais, maukah aku mengajarkan kepadamu satu kalimat dari harta surga: Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6610)

Dan lafadz riwayat lain: Dari Abu Musa, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزَاةٍ، فَرَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا فَدَنَا مِنَّا، فَقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ ‌ارْبَعُوا ‌عَلَى ‌أَنْفُسِكُمْ، ‌فَإِنَّكُمْ ‌لَا ‌تَدْعُونَ ‌أَصَمَّ ‌وَلَا ‌غَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، وَإِنَّ الَّذِي تَدْعُونَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِكُمْ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً هِيَ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ "

Kami berada bersama Rasulullah dalam sebuah peperangan, lalu kami meninggikan suara kami, maka beliau mendekat kepada kami dan berkata:

"Hai manusia, jagalah diri kalian, karena kalian tidak memanggil orang tuli atau orang yang jauh, melainkan kalian memanggil Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian doakan itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher untanya.

Kemudian beliau bersabda : 'Hai Abdullah bin Qais, tidakkah aku ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang termasuk harta karun surga: Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah'."

[Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Bahr Al-Zakhar 19/8 No. 2990].

Dalam lafadz Musnad Abu Ya’la 13/231 nomor 7252:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفَرٍ، فَكَانَ الْقَوْمُ إِذَا عَلَوْا شَرَفًا كَبَّرُوا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَيُّهَا النَّاسُ ‌ارْبِعُوا ‌عَلَى ‌أَنْفُسِكُمْ، ‌فَإِنَّكُمْ ‌لَا ‌تَدْعُونَ ‌أَصَمَّ ‌وَلَا ‌غَائِبًا، وَلَكِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا»

Dari Abu Musa, ia berkata: “Kami bersama Nabi dalam sebuah perjalanan. Ketika orang-orang menaiki dataran tinggi, mereka mengucapkan takbir. Maka Nabi bersabda: ‘Hai manusia, jagalah diri kalian, karena kalian tidak memanggil orang tuli atau orang yang jauh, tetapi kalian memanggil Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.’”

Makna dalilnya:

Dalam hadits-hadits tersebut terdapat larangan meninggikan suara dalam doa dan dzikir.

----

MACAM DALIL KE TIGA : LOGIKA

Pertama : Mengangkat suara dalam dzikir dapat menimbulkan gangguan bagi orang yang sedang shalat.

Kedua : Berzikir secara israr (tidak meninggikan suara) lebih mendekatkan kepada keikhlasan dan lebih dekat kepada terkabulnya doa.

Ketiga :

Hadits-hadits tentang menjadikan suara keras dalam dzikir setelah shalat sesungguhnya hanya untuk tujuan pendidikan atau pengajaran.

****

PENDAPAT KETIGA :
TIDAK BOLEH (HARAM & BID’AH) BERDZIKIR SETELAH SHALAT DENGAN MENGERASKAN SUARA

Ini adalah pendapat Syeikh al-Albani. Beliau berkata :

الثَّابِتُ فِي السُّنَّةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ؛ لِمَا يَتَرَتَّبُ مِنْ وَرَاءِ ذَلِكَ مِنَ التَّشْوِيشِ.

“Yang tetap dalam sunnah adalah bahwa tidak boleh (haram hukumnya) mengeraskan suara dalam berzikir, karena hal itu menimbulkan gangguan (suara yang mengacaukan orang lain).” (Maktabah Silsilah al-Huda wan-Nur, kaset nomor 428).

Pernyataan al-Kalabadzy :

Al-Kalabadzi dalam kitab *Bahr al-Fawaid (Ma‘ani al-Akhbar)* halaman 273 dan setelahnya meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " إِنَّ مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ سَأَلَ رَبَّهُ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَبِّ أَبَعِيدٌ أَنْتَ فَأُنَادِيَكَ، أَمْ قَرِيبٌ فَأُنَاجِيَكَ؟ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ: يَا مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي ".

Sungguh, Musa bin Imran berdoa kepada Tuhannya sambil mengangkat kedua tangannya dan berkata: ‘Wahai Tuhanku, apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu, ataukah Engkau dekat sehingga aku dapat bermunajat kepada-Mu?’ Maka Allah mewahyukan kepadanya: ‘Wahai Musa bin Imran, Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku.’”

Lalu Al-Kalabadzi berkata :

قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: «أَبَعِيدٌ أَنْتَ فَأُنَادِيَكَ» عَلَى مَعْنَى الِاسْتِرْشَادِ فِي الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ مِنْ جِهَةِ الْجَهْدِ وَالْإِخْفَاءِ، وَلَيْسَ عَلَى مَعْنَى الْبُعْدِ الَّذِي هُوَ الْغَيْبَةُ، أَوْ بُعْدُ الْمَسَافَةِ، وَلَا عَلَى الْقُرْبِ الَّذِي هُوَ الْحُضُورُ وَالْجُهُودُ بِمَعْنَى الْحُلُولِ، تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا، وَحَاشَى كَلِيمَهُ الْمَعْنِيَّ فِي رُتْبَتِهِ الْمُصْطَفَى مِنْ بَرِيَّتِهِ أَنْ يَخْطُرَ بِبَالِهِ مَا لَا يَجُوزُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى، أَوْ أَنْ يَصِفَهُ بِصِفَاتِ الْمُحْدَثِينَ، فَكَأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُولُ: أَدْعُوكَ إِذَا دَعَوْتُكَ رَافِعًا صَوْتِي بِالنِّدَاءِ، جَاهِرًا بِالدُّعَاءِ، كَمَا يُخَاطَبُ مَنْ هُوَ بَعِيدٌ، وَيُنَادَى مَنْ هُوَ غَائِبٌ، إِذَا دَعَوْتُكَ خَافِضًا صَوْتِي مُخَافِتًا فِي دُعَائِي، كَمَا يُخَاطَبُ الْقَرِيبُ، وَيُدْعَى الْمُنَاجَى، قَالَ اللَّهُ لَهُ: «أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي»

كَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: ادْعُنِي دُعَاءَ الْمَرْءِ جَلِيسَهُ، وَالْجَلِيسُ لَا يُنَادَى جَهْرًا، وَلَا يُخَافَتُ سِرًّا، كَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: اجْعَلْ دُعَاءَكَ لِي بَيْنَ الْمُخَافَتَةِ وَالْجَهْرِ

وَقَدْ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ﷺ: «أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا»

Syaikh rahimahullah berkata: Boleh jadi ucapan beliau ‘apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu’ bermakna permohonan petunjuk dalam cara berdoa dan berzikir, apakah dengan suara keras atau dengan suara lembut. Bukan dalam arti jauh yang bermakna ghaib atau jauh dalam jarak, dan bukan pula dekat dalam arti hadir secara fisik atau dekat dalam makna keberadaan secara hakiki, Maha Tinggi Allah dari hal itu setinggi-tingginya.

Dan mustahil bagi seorang Nabi yang Allah ajak berbicara langsung (Musa) yang memiliki kedudukan istimewa di antara makhluk-Nya, terlintas dalam pikirannya sesuatu yang tidak layak bagi Allah Ta’ala, atau menyifati-Nya dengan sifat makhluk.

Seolah-olah beliau (Musa) berkata:Aku berdoa kepada-Mu dengan suara keras dan lantang, sebagaimana seseorang berbicara kepada yang jauh dan menyeru orang yang tidak hadir. Ataukah aku berdoa kepada-Mu dengan suara lembut dan pelan, sebagaimana seseorang berbicara kepada yang dekat dan bermunajat kepada teman duduknya?”

Maka Allah berfirman kepadanya: “Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku.”

Seakan-akan Allah berfirman kepadanya: “Berdoalah kepada-Ku sebagaimana seseorang berdoa kepada teman duduknya. Teman duduk tidak dipanggil dengan suara keras, dan tidak pula diseru dengan suara yang terlalu pelan.”

Dengan kata lain, “Jadikan doamu kepada-Ku di antara suara yang terlalu keras dan suara yang terlalu pelan.”

Dan sungguh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad : “Wahai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak sedang menyeru Dzat yang tuli dan tidak pula yang ghaib, tetapi kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kemudian Al-Kalabadzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي سَفَرٍ، فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسَكُمْ»

“Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan. Ketika kami mendaki suatu tempat tinggi, kami bertakbir. Maka Rasulullah bersabda: ‘Wahai manusia, tenangkanlah diri kalian.’”

Lalu Al-Kalabadzi berkata :

وَذَكَرَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى قَوْلِهِ: «أَمْ قَرِيبٌ أَنْتَ فَأُنَاجِيَكَ» أَيْ: أَنَا فِي صِفَةِ الْبُعْدِ عَنْكَ وَالْإِقْصَاءِ أَوْ بِصِفَةِ الْقُرْبِ وَالْإِدْنَاءِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ: بَاعَدْتَنِي عَنْكَ وَأَقْصَيْتَنِي عَنْ بَابِكَ سَخَطًا عَلَيَّ فَأُنَادِيَكَ صَارِخًا، وَأَدْعُوكَ جَاهِرًا مُسْتَغِيثًا مِنْ بُعْدِكَ وَالْفِرَاقِ مِنْكَ، أَوْ أَدْنَيْتَنِي مِنْكَ، وَقَرَّبْتَنِي إِلَيْكَ قَبُولًا لِي، وَرِضًا عَنِّي فَأُنَاجِيَكَ نَجْوَى الْمُقَرَّبِينَ، وَأَدْعُوكَ دُعَاءَ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَكَأَنَّهُ أَرَادَ بُعْدَهُ عَنِ اللَّهِ وَقُرْبَهُ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ لَفْظُ الْخَبَرِ عَلَى لَفْظِ بُعْدِ اللَّهِ عَنْهُ وَقُرْبِهِ مِنْهُ؛ لِأَنَّ مَنْ بَعُدْتَ عَنْهُ فَقَدْ بَعُدَ عَنْكَ، وَمَنْ قَرُبْتَ مِنْهُ فَقَدْ قَرُبَ مِنْكَ، فَكَأَنَّهُ يَقُولُ: أَبْعَدْتَنِي عَنْكَ أَمْ أَدْنَيْتَنِي مِنْكَ؟ فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَيْهِ: «أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي» ، فَكَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: إِنَّ عَلَامَةَ مَنْ قَرَّبْتُهُ مِنِّي وَأَدْنَيْتُهُ إِلَيَّ أَنْ يَكُونَ ذَاكِرًا لِي، فَمَنْ وَجَدَ نَفْسَهُ لِي ذَاكِرًا، فَلْيَعْلَمْ أَنِّي قَرَّبْتُهُ مِنِّي، كَأَنِّي جَلِيسُهُ، فَكَأَنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَلَطَّفَ لَهُ، وَرَأَفَ بِهِ، وَتَعَطَّفَ عَلَيْهِ، فَأَخْبَرَهُ عَنْ أَوْصَافِ الْقُرْبِ، إِذْ كَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مُقَرَّبَهُ وَمُصْطَفَاهُ وَكَلِيمَهُ وَمُجْتَبَاهُ، وَوَارَى عَنْهُ أَوْصَافَ الْبُعْدِ فَلَمْ يُخْبِرْهُ بِعَلَامَاتِ مَنْ بَاعَدَهُ عَنْهُ، كَمَا أَخْبَرَهُ بِعَلَامَةِ مَنْ قَرَّبَهُ مِنْهُ عَطْفًا عَلَيْهِ، وَلُطْفًا بِهِ كَيْلَا يُوحِشَهُ إِذْ كَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يُطِيقُ أَنْ يَسْمَعَ بِأَوْصَافِ الْبُعْدِ، وَعَلَامَاتِ الْإِقْصَاءِ، وَأَمَارَاتِ الطَّرْدِ، وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمْ يَكُنْ بَعِيدًا مِنْهُ، وَلَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْصَافُ مَنْ بَاعَدَهُ الْحَقُّ مِنْ نَفْسِهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى قَوْلِهِ: «أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي» أَخْبَرَهُ بِقُرْبِهِ مِنْهُ، وَتَقْرِيبِهِ إِيَّاهُ، كَأَنَّهُ يَقُولُ: كَيْفَ تَكُونُ بِأَوْصَافِ الْبُعْدِ مِنِّي وَأَنْتَ لِي ذَاكِرًا، وَمَنْ كَانَ لِي ذَاكِرًا كُنْتُ لَهُ جَلِيسًا، أَخْبَرَهُ بِأَنَّهُ مُنِعَ بِأَبْلَغِ غَايَاتِ الْقُرْبِ، وَأَقْصَى نِهَايَاتِ الدُّنُوِّ إِلَيْهِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: أَنْتَ مِنِّي بِالْقُرْبِ وَالدُّنُوِّ بِمَنْزِلَةِ الْمَرْءِ مِنْ جَلِيسِهِ. وَلَمْ يَقُلْ فِي الْحَدِيثِ: إِنَّ مَنْ ذَكَرَنِي جَلِيسِي؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَكَانَتِ الْحَالَةُ مُكْتَسِبَةً، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلَالَةُ الْخُصُوصِ وَالْإِفْضَالِ عَلَى مَنْ آَثَرَهُ اللَّهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَلُّ مِنْ أَنْ يُرَامَ مُجَالَسَتُهُ وَالدُّنُوَّ إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الْبُعْدُ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ أَنَّهُ هُوَ الْجَلِيسُ إِظْهَارًا لِفَضْلِهِ، وَتَقَرُّبًا إِلَى عَبْدِهِ، وَلُطْفًا بِذَاكِرِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى {مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ} [المجادلة: 7] ، وَكَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} [المائدة: 54] ، جَلَّ اللَّهُ الْبَرُّ الرَّءُوفُ الرَّحِيمُ بِعِبَادِهِ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dalam riwayat ini disebutkan pula bahwa boleh jadi makna sabda Nabi Musa “Apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu, ataukah Engkau dekat sehingga aku dapat bermunajat kepada-Mu?” adalah sebagai berikut:

Seolah-olah beliau bermaksud: “Apakah aku berada dalam keadaan jauh dari-Mu dan Engkau menjauhkan aku dari-Mu karena kemurkaan-Mu kepadaku, sehingga aku harus menyeru-Mu dengan suara keras, berdoa kepada-Mu dengan lantang, berseru memohon pertolongan karena jauhnya jarak dan perpisahan dari-Mu? Ataukah Engkau telah mendekatkan aku kepada-Mu, menerima aku, dan meridhai aku, sehingga aku bermunajat kepada-Mu dengan munajat orang-orang yang dekat, berdoa kepada-Mu sebagaimana doa orang-orang yang bersahabat dengan-Mu?”

Jadi, beliau bermaksud menjelaskan tentang keadaan dirinya: apakah ia termasuk orang yang dijauhkan dari Allah atau yang didekatkan kepada-Nya. Meskipun secara lahiriah ucapannya terdengar seperti menggambarkan jarak antara Allah dan dirinya, namun maksudnya bukan demikian. Karena siapa pun yang dijauhkan dari Allah, maka sebenarnya dialah yang menjauh dari Allah; dan siapa pun yang didekatkan kepada Allah, maka sesungguhnya dialah yang mendekat kepada-Nya.

Maka seakan-akan Musa berkata: “Apakah Engkau menjauhkan aku dari-Mu, ataukah Engkau mendekatkan aku kepada-Mu?”

Lalu Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya: “Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku.

Seakan-akan Allah berfirman kepadanya: “Tanda seseorang yang Aku dekatkan dan Aku jadikan dekat kepada-Ku adalah bahwa ia senantiasa mengingat-Ku. Maka barang siapa mendapati dirinya mengingat-Ku, hendaklah ia mengetahui bahwa Aku telah mendekatkannya kepada-Ku, seakan-akan Aku adalah teman duduknya.”

Seolah-olah Allah Yang Maha Perkasa sedang berlemah lembut kepadanya, penuh kasih dan rahmat, lalu mengabarkan kepadanya tentang sifat kedekatan, karena beliau (Musa) adalah hamba yang didekatkan, dipilih, diajak berbicara, dan dijadikan kekasih. Allah menyembunyikan darinya sifat-sifat orang yang dijauhkan dari-Nya, sehingga Allah tidak memberitahukan tanda-tanda orang yang dijauhkan, sebagaimana Ia memberitahukan tanda-tanda orang yang didekatkan. Semua itu karena kasih sayang dan kelembutan Allah kepadanya, agar beliau tidak merasa sedih, sebab Nabi Musa tidak sanggup mendengar tentang sifat-sifat orang yang dijauhkan, tanda-tanda pengusiran, dan ciri-ciri penolakan.

Selain itu, Nabi Musa memang bukan termasuk orang yang jauh dari Allah, dan tidak memiliki sifat-sifat orang yang dijauhkan oleh Allah dari diri-Nya Yang Maha Agung.

Boleh jadi pula makna firman Allah: “Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku” adalah bahwa Allah mengabarkan kepadanya tentang kedekatan dan penghormatan-Nya, seakan-akan Allah berfirman: “Bagaimana mungkin engkau berada dalam sifat jauh dari-Ku, sedangkan engkau mengingat-Ku? Barang siapa mengingat-Ku, maka Aku menjadi teman duduknya.

Dengan itu, Allah mengabarkan bahwa orang yang mengingat-Nya telah mencapai puncak kedekatan dan keintiman dengan-Nya, seakan-akan Allah berkata kepadanya: “Engkau berada di sisi-Ku, dalam kedekatan dan keintiman, sebagaimana kedudukan seorang teman dengan teman duduknya.”

Dalam hadits itu, Allah tidak berfirman: “Barang siapa mengingat-Ku, ia adalah teman duduk-Ku.” Karena jika demikian redaksinya, maka kedekatan itu akan tampak sebagai sesuatu yang bisa diusahakan oleh hamba, bukan sebagai anugerah istimewa dari Allah. Maka tidak akan menunjukkan kekhususan dan keutamaan bagi orang yang Allah pilih.

Allah Mahasuci dari kemungkinan bahwa manusia dapat “duduk bersama-Nya” dalam makna fisik atau mendekat kepada-Nya dalam arti jarak. Maka penyebutan “Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku” dimaksudkan untuk menunjukkan keutamaan, penghormatan, dan kelembutan Allah kepada hamba-Nya yang berzikir kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia adalah yang keempat di antara mereka, dan tidak (pula) antara lima orang melainkan Dia yang keenamnya” (Al-Mujadalah: 7).

Dan sebagaimana firman-Nya: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (Al-Maidah: 54).

Maha Suci Allah, Dzat Yang Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Lembut dan Maha Mengetahui segala sesuatu. [SELESAI]

Abu Al-Fadhl ‘Iyadh Al-Busti berkata dalam kitab *Ikmal Al-Mu’allim* (2/535):

قَالَ الطَّبَرِيُّ: فِيهِ الْإِبَانَةُ عَنْ صِحَّةِ فِعْلِ مَنْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمَرَاءِ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلَاتِهِ وَيُكَبِّرُ مَنْ وَرَاءَهُ، قَالَ غَيْرُهُ: وَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا مِنَ الْفُقَهَاءِ مَنْ قَالَ بِهَذَا إِلَّا مَا ذَكَرَهُ ابْنُ حَبِيبٍ فِي الْوَاضِحَةِ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ التَّكْبِيرَ فِي الْعَسَاكِرِ وَالْبُعُوثِ إِثْرَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ، تَكْبِيرًا عَالِيًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَهُوَ قَدِيمٌ مِنْ شَأْنِ النَّاسِ، وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ مُحْدَثٌ. قِيلَ: وَذِكْرُ ابْنِ عَبَّاسٍ لَهُ يَدُلُّ عَلَى تَرْكِ ذَلِكَ فِي وَقْتِهِ، وَإِلَّا فَلَيْسَ كَانَ يَكُونُ لِقَوْلِهِ مَعْنًى.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: " كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ " فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ [بِحَضْرَةِ] الْجَمَاعَةِ مَعَهُ، وَكَانَ يَعْلَمُهَا بِمُشَاهَدَةِ ذَلِكَ، وَلِأَنَّهُ كَانَ صَغِيرًا مِمَّنْ لَا يُوَاظِبُ عَلَى صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ، وَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ.

وَقَوْلُ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: " فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِأَبِي مَعْبَدٍ فَأَنْكَرَهُ وَقَالَ: لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ " قَالَ عَمْرٌو: " وَقَدْ أَخْبَرَنِيهِ قَبْلَ ذَلِكَ "، وَإِدْخَالُ مُسْلِمٍ لَهُ دَلِيلٌ عَلَى قَوْلِهِ بِصِحَّةِ الْحَدِيثِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ مَعَ إِنْكَارِ الْمُحَدَّثِ عَنْهُ إِذَا حَدَّثَ عَنْهُ بِهِ ثِقَةٌ، وَهَذَا إِذَا أَنْكَرَهُ لِاسْتِرَابَةٍ أَوْ تَشَكُّكٍ أَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ، فَالَّذِي عَلَيْهِ مُعْظَمُ الْعُلَمَاءِ وَأَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِيُّونَ إِعْمَالُهُ، وَذَهَبَ الْكَرْخِيُّ إِلَى إِبْطَالِهِ، وَأَمَّا إِنْكَارُهُ إِنْكَارَ قَطْعٍ وَتَكْذِيبٍ أَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ قَطُّ فَيَجِبُ رَدُّهُ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ، وَذَلِكَ لِتَقَابُلِ الْعَدَالَتَيْنِ وَلَيْسَ إِحْدَاهُمَا بِأَوْلَى بِالْعَمَلِ مِنَ الْأُخْرَى، فَيَسْقُطُ الْحَدِيثُ.

Ath-Thabari berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kebenaran perbuatan sebagian pemimpin yang bertakbir setelah shalatnya, lalu orang-orang di belakangnya juga bertakbir.”

Ulama lain berkata: “Aku tidak menemukan seorang pun dari para fuqaha yang berpendapat demikian, kecuali apa yang disebutkan oleh Ibnu Habib dalam kitab *Al-Wadhihah*: Mereka dahulu menganjurkan bertakbir di barisan pasukan dan tentara setelah shalat Subuh dan Isya dengan suara keras sebanyak tiga kali. Itu merupakan kebiasaan lama manusia. Namun Imam Malik berpendapat bahwa hal itu adalah perbuatan baru (bid’ah).”

Dikatakan pula: “Penyebutan Ibnu Abbas terhadap hal itu menunjukkan bahwa amalan tersebut telah ditinggalkan pada masanya, karena jika masih dilakukan, maka tidak akan ada makna dari ucapannya.”

Adapun sabda beliau: *‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir’*, maka secara lahiriah menunjukkan bahwa ia tidak hadir bersama jamaah ketika itu, dan ia mengetahuinya karena melihat tanda tersebut. Hal itu juga karena ia (yakni perawi) masih kecil dan termasuk orang yang belum terbiasa menghadiri shalat berjamaah, serta belum diwajibkan atasnya.

Ucapan ‘Amr bin Dinar dalam hadits ini: *“Lalu aku ceritakan hal itu kepada Abu Ma‘bad, namun ia mengingkarinya dan berkata: Aku tidak meriwayatkannya kepadamu.”* ‘Amr berkata: *“Padahal sebelumnya ia telah menceritakannya kepadaku.”*

Pencantuman hadits ini oleh Imam Muslim menunjukkan bahwa beliau menilai hadits tersebut sahih dalam bentuk riwayat seperti ini, meskipun orang yang diriwayatkan darinya mengingkarinya. Jika pengingkaran itu disebabkan karena ragu atau lupa bahwa ia pernah meriwayatkannya, maka mayoritas ulama, para imam hadits, dan para ahli ushul berpendapat bahwa hadits tersebut tetap diamalkan.

Adapun Al-Karkhi berpendapat bahwa hadits seperti ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Namun, bila pengingkaran itu bersifat pasti — yakni sang perawi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak pernah meriwayatkannya — maka hadits tersebut harus ditolak oleh seluruh ulama. Hal ini karena kedua perawi sama-sama adil, dan tidak ada yang lebih utama untuk diambil riwayatnya, sehingga hadits itu gugur (tidak dapat dijadikan dalil).

===***===

TARJIH :

Mengucapkan dzikir dengan suara keras setelah shalat memiliki ketentuan hukum syar’i yang terperinci. Hal ini termasuk sunnah menurut sebagian para ulama, dan disyariatkan untuk mengeraskan suara dalam dzikir selama tidak menimbulkan gangguan, sebagaimana yang disebutkan dalam sunnah Rasulullah .

Namun, makruh mengeraskan suara dalam dzikir jika hal itu mengganggu orang yang sedang shalat atau membuat kekacauan, dan inilah yang menjadi dasar pendapat mazhab Syafi’i dalam menganjurkan dzikir dengan suara pelan.

Dzikir dengan suara keras adalah sunnah yang dianjurkan.

Yang diriwayatkan dari para sahabat: para sahabat dahulu mengeraskan suara dalam berdzikir pada masa Rasulullah . Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengetahui bahwa shalat telah selesai ketika mendengar suara dzikir keras. Ibnu Zubair juga berkata bahwa Nabi bertakbir dan bertahlil dengan suara keras setelah setiap shalat.

Pendapat Ibnu Utsaimin: beliau berpendapat bahwa mengeraskan suara dalam dzikir adalah disyariatkan, dengan catatan suara tersebut tidak sampai mengganggu.

Penyebab perbedaan pendapat tentang dzikir dengan suara keras:

1]. Tujuan pengajaran dzikir: sebagian ulama berpendapat bahwa dzikir dengan suara keras disyariatkan untuk mengajarkan dzikir kepada kaum muslimin. Setelah mereka menghafalnya, maka dzikir dilakukan dengan suara pelan.

2]. Batasan dzikir dengan suara keras: sebagian lainnya berpendapat bahwa mengeraskan suara dalam dzikir tidak termasuk sunnah kecuali bila tidak menyebabkan gangguan bagi orang lain.

Batasan dzikir dengan suara keras:

1]. Mengeraskan suara: suara dalam berdzikir tidak boleh terlalu keras hingga menimbulkan gangguan.

2]. Tujuan pengajaran: mengeraskan suara boleh dilakukan untuk mengajarkan dzikir kepada orang lain.

 

Hukum mengeraskan suara dalam dzikir jika menimbulkan gangguan:

1]. Makruh: mengeraskan suara dalam dzikir makruh hukumnya apabila mengganggu jamaah lain atau menimbulkan kebisingan.

2]. Dilarang tanpa alasan: makruh bahkan bisa mendekati haram jika dilakukan tanpa kebutuhan syar’i dan menyebabkan gangguan.

3]. Dianjurkan dzikir pelan: apabila kondisi tidak memungkinkan, maka dzikir dengan suara pelan (sir) lebih utama dan sesuai sunnah.

Posting Komentar

0 Komentar