PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR DENGAN SUARA KERAS SETELAH SHALAT
Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
---
----
DAFTAR ISI :
- HUKUM MENGERASKAN SUARA DALM BERDZIKIR SETELAH SHALAT
- PENDAPAT PERTAMA: DISUNNAHKAN MENGERASKAN SUARA DZIKIR SETELAH SHALAT
- DALIL PENDAPAT PERTAMA:
- DALIL DZIKIR BERSAMA SETELAH SHALAT DAN LAINNYA :
- PENDAPAT KEDUA: DI SUNNAHKAN BERDZIKIR DENGAN SUARA PELAN DAN LIRIH.
- DALIL PENDAPAT KEDUA :
- PENDAPAT KETIGA : TIDAK BOLEH (HARAM & BID’AH) BERDZIKIR SETELAH SHALAT DENGAN MENGERASKAN SUARA
- TARJIH :
****
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
HUKUM MENGERASKAN SUARA DALM BERDZIKIR SETELAH SHALAT
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengeraskan
suara dalam berdzikir setelah selesai shalat frdhu menjadi tiga pendapat:
===
SINGKAT-NYA :
Pertama : Disunnahkan
mengeraskan suara dzikir setelah shalat.
Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah, sebagian
ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah muta’akhkhirin, dan dipilih oleh
Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Syeikh Bin Baz, serta Ibnu Utsaimin.
Kedua : Disunnahkan berdzikir
dengan suara lirih dan pelan.
Ini adalah madzab Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian
Hanafiyah. Pendapat ini juga dikutip dari mayoritas ulama dan dibenarkan oleh
Al-Mardawi.
Ketiga : Tidak
diperbolehkan (bid’ah dan haram).
Ini adalah pendapat Syeikh al-Albani.
===***===
RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :
****
PENDAPAT PERTAMA:
DISUNNAHKAN MENGERASKAN SUARA
DZIKIR SETELAH SHALAT.
Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah (lihat
*Hasyiyah Ibnu Abidin* 1/666 dan *Hasyiyah Ath-Thahthawi* hal. 214).
Ibnu Hajar Al-Haitami – salah seorang ulama
Syafi’iyyah – menukil dalam *Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra* (1/158) dari
Al-Mutawalli dan selainnya, tentang disunnahkannya jamaah mengeraskan suara
dalam berdzikir secara terus-menerus, berdasarkan lahiriah hadits Ibnu Abbas.
Serta ini adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah
mutaakhkhirin (lihat *Kasyaf al-Qina’* karya al-Buhuti 1/366. Sebagaimana
dinukil oleh Al-Buhuti rahimahullah dalam *Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’*
(2/388) dari sebagian ulama Hanbali tentang disunnahkannya mengeraskan zikir
setelah shalat. Namun Al-Mardawi berkata:
(هٰذِهِ الْمَسْأَلَةُ
لَيْسَ لِلْأَصْحَابِ فِيهَا كَلَامٌ)
“Dalam masalah ini para sahabat (ulama Hanabilah)
tidak banyak membicarakannya,” dalam *Tashhih al-Furu’* 2/231).
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm, namun
beliau membatasinya pada takbir saja. Ia berkata:
(وَرَفْعُ الصَّوْتِ
بِالتَّكْبِيرِ إِثْرَ كُلِّ صَلَاةٍ: حَسَنٌ)
“Mengeraskan suara dengan takbir setelah setiap shalat
adalah sesuatu yang baik.” (*Al-Muhalla* 3/180).
Demikian pula Ibnu Taimiyah berpendapat:
(وَيُسْتَحَبُّ الْجَهْرُ
بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ لَا التَّكْبِيرِ «فِي كَشَّافِ الْقِنَاعِ: وَالتَّكْبِيرِ»
عَقِيبَ الصَّلَاةِ).
“Disunnahkan mengeraskan bacaan tasbih dan tahmid,
bukan takbir, setelah shalat.” (*Al-Fatawa al-Kubra* 5/336; lihat juga *Kasyaf
al-Qina’* 1/366 dan *Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’* 2/84).
Pendapat yang sama juga dipegang oleh Syeikh Bin Baz,
beliau berkata:
(السُّنَّةُ الْجَهْرُ
بِالذِّكْرِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَعَقِبَ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ التَّسْلِيمِ)
“Disunnahkan mengeraskan zikir setelah shalat lima
waktu dan setelah shalat Jumat, setelah salam.” (*Majmu’ Fatawa Ibnu Baz*
11/191).
Begitu juga Syeikh Ibnu Utsaimin berpendapat:
(الْجَهْرُ بِالذِّكْرِ
بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ سُنَّةٌ... وَقَدِ اخْتَارَ الْجَهْرَ بِذَلِكَ
شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ – رَحِمَهُ اللهُ – وَجَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ
وَالْخَلَفِ؛ لِحَدِيثَيِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَالْجَهْرُ
عَامٌّ فِي كُلِّ ذِكْرٍ مَشْرُوعٍ بَعْدَ الصَّلَاةِ سَوَاءٌ كَانَ تَهْلِيلًا، أَوْ
تَسْبِيحًا، أَوْ تَكْبِيرًا، أَوْ تَحْمِيدًا؛ لِعُمُومِ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
وَلَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ التَّفْرِيقُ بَيْنَ التَّهْلِيلِ وَغَيْرِهِ، بَلْ
جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ يَعْرِفُونَ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ
ﷺ بِالتَّكْبِيرِ، وَبِهٰذَا يُعْرَفُ الرَّدُّ عَلَى مَنْ قَالَ لَا جَهْرَ فِي التَّسْبِيحِ
وَالتَّحْمِيدِ وَالتَّكْبِيرِ. وَأَمَّا مَنْ قَالَ: إِنَّ الْجَهْرَ بِذَلِكَ بِدْعَةٌ
فَقَدْ أَخْطَأَ؛ فَكَيْفَ يَكُونُ الشَّيْءُ الْمَعْهُودُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ
بِدْعَةً؟).
“Mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah...
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah serta sekelompok ulama salaf dan khalaf, berdasarkan dua hadits
Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhuma. Lafaz ‘mengeraskan’ ini
berlaku umum untuk semua jenis zikir yang disyariatkan setelah shalat, baik
tahlil, tasbih, takbir, maupun tahmid, berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.
Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membedakan antara satu zikir dengan yang
lain.
Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan bahwa para sahabat mengetahui selesainya shalat Nabi ﷺ melalui takbir. Maka ini menjadi bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa mengeraskan tasbih, tahmid, dan takbir adalah bid’ah.
Adapun orang yang mengatakan bahwa mengeraskan suara dalam
hal itu adalah bid’ah, maka ia telah keliru; bagaimana mungkin sesuatu yang
dikenal pada masa Rasulullah ﷺ dianggap sebagai bid’ah?”” (*Majmu’ Fatawa wa
Rasail Ibnu Utsaimin* 13/247–248).
Dan dalam kesempatan lain, Syeikh al-Utsaimin berfatwa:
فَإِنَّ الْمَعْرُوفَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ أَنَّهُمْ بَعْدَ الصَّلَاةِ يَذْكُرُونَ
اللهَ بِصَوْتٍ مُرْتَفِعٍ .... فَرَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ
الْمَفْرُوضَةِ سُنَّةٌ
“Yang telah maklum dan dikenal dari Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya adalah bahwa mereka setelah shalat berzikir kepada Allah dengan suara yang keras... maka mengeraskan suara dalam berzikir setelah shalat fardu adalah sunnah”. [Baca: Majmu’ Fatawa wa Rosaa’il al-‘Utsaimin 13/269 dan Fatawa Arkan al-Islam hal. 340]
Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih
Muslim (5/84) setelah menyabutkan hadits Ibnu ‘Abbas, dia berkata:
"هٰذَا دَلِيلٌ
لِمَا قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ
وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوبَةِ، وَمِمَّنِ اسْتَحَبَّهُ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ
ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ".
“Ini menjadi dalil bagi sebagian ulama salaf yang
berpendapat bahwa disunnahkan mengeraskan suara dalam takbir dan zikir setelah
shalat wajib. Di antara ulama mutaakhkhirin yang juga berpendapat demikian
adalah Ibnu Hazm azh-Zhahiri.”
****
DALIL PENDAPAT PERTAMA:
Mereka berdalil dengan hadits-hadits Nabi ﷺ, diantaranya adalah sbb:
---
HADITS KE-1.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
«أَنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ، بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوبَةِ كَانَ
عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا
بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ»
“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berzikir ketika
orang-orang telah selesai dari shalat fardhu telah ada pada masa Rasulullah ﷺ.”
Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui bahwa mereka telah
selesai (shalat) ketika aku mendengar dzikir itu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 841 dan Muslim no.
583).
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata :
«مَا كُنَّا نَعْرِفُ
انْقِضَاءَ صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَّا بِالتَّكْبِيرِ». قَالَ عَمْرٌو: " فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِأَبِي مَعْبَدٍ فَأَنْكَرَهُ، وَقَالَ: لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهَذَا، قَالَ عَمْرٌو:
وَقَدِ اَخْبَرَنِيهِ قَبْلَ ذَلِكَ "
“Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah ﷺ kecuali dengan (mendengar) takbir.”
Amr berkata: “Lalu aku menyebutkan hal itu kepada Abu
Ma‘bad, maka ia mengingkarinya dan berkata: Aku tidak pernah meriwayatkan ini
kepadamu.”
‘Amr berkata: “Padahal sebelumnya ia telah
menceritakannya kepadaku.”
(HR. Muslim no. 121/583).
Disebutkan dalam kitab *Al-Mukhtashar An-Nashih* karya
Al-Muhallab Al-Asadi 1/417 nomor 841:
"وقَالَ سُفْيَانُ: أَعْرِفُ انْقِضَاءَ
صَلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ".
Sufyan berkata, “Aku mengetahui berakhirnya shalat
Nabi ﷺ dengan
takbir.”
Abu Al-Muzhaffar Yahya bin Hubairah Adz-Dzahli
Asy-Syaibani berkata dalam kitab *Al-Ifshah ‘an Ma‘ani Ash-Shahih* (3/32):
"فِي هَذَا
الحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ رَفْعَ النَّاسِ أَصْوَاتَهُمْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ انْقِضَاءِ
المَكْتُوبَاتِ سُنَّةٌ."
“Hadits ini menjadi dalil bahwa mengeraskan suara
dalam berzikir ketika selesai shalat wajib adalah sunnah.”
----
HADITS KE 2 :
Ibnu Abi Barzah Al-Aslami meriwayatkan dari ayahnya
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ
قَالَ - وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ فِي سَفَرٍ - رَفَعَ صَوْتَهُ حَتَّى يُسْمِعَ
أَصْحَابَهُ:
«اللَّهُمَّ أَصْلِحْ
لِي دِينِيَ الَّذِي جَعَلْتَهُ عِصْمَةَ أَمْرِي، اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ
الَّتِي جَعَلْتَ فِيهَا مَعَاشِي». (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)
«اللَّهُمَّ أَصْلِحْ
لِي آخِرَتِيَ الَّتِي جَعَلْتَ إِلَيْهَا مَرْجِعِي». (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)
«اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْكَ». (ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ)
«اللَّهُمَّ لَا
مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ
مِنْكَ الْجَدُّ».
Rasulullah ﷺ apabila selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau berdoa –dan
menurutku beliau mengucapkannya ketika sedang dalam perjalanan– dengan suara
yang keras hingga terdengar oleh para sahabatnya:
“Ya Allah, perbaikilah untukku agamaku yang Engkau
jadikan sebagai penjaga urusanku. Ya Allah, perbaikilah untukku duniaku yang
Engkau jadikan tempat kehidupanku,” beliau mengucapkannya tiga kali.
“Ya Allah, perbaikilah untukku akhiratku yang Engkau
jadikan tempat kembaliku,” beliau mengucapkannya tiga kali.
“Ya Allah, aku berlindung dengan keridaan-Mu dari
kemurkaan-Mu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan)-Mu,” beliau
mengucapkannya tiga kali.
“Ya Allah, tidak ada yang dapat menahan apa yang Engkau
berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, serta tidak
berguna kekayaan bagi pemiliknya di hadapan-Mu.”
STATUS HADITS :
Hadits ini memiliki sanad yang sangat lemah,
sebagaimana yang dikatakan Syu’iab al-Arna’uth dalam Takhrij al-Adzkar karya
an-Nawawi hal. 227 no. 643 dan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah hal. 231.
Aku (penulis) mengatakan: sanadnya sangat lemah,
karena Ishaq bin Yahya bin Thalhah telah ditinggalkan oleh sejumlah imam hadits.
Namun Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits
Shuhaib radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi serupa, yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (733) dan *‘Amalul Yaum wal Lailah* (137 dan 445),
Ibnu Khuzaimah dalam *Shahih*-nya (745), Ath-Thabarani dalam *Al-Mu‘jam
Al-Kabir* (7298) dan *Ad-Du‘a* (653), serta Ibnu Hibban (2026), melalui jalur
Musa bin ‘Uqbah dari ‘Atha’ bin Abi Marwan dari ayahnya yang berkata:
حَدَّثَنِي كَعْبٌ أَنَّ صُهَيْبًا حَدَّثَهُ:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يَنْصَرِفُ بِهَذَا الدُّعَاءِ مِنْ صَلَاتِهِ وَذَكَرَهُ
“Kepada saya bercerita Ka‘b, bahwa Shuhaib
menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ berdoa dengan doa ini ketika selesai shalat.”
Aku (penulis) mengatakan: sanadnya lemah, karena Abu
Marwan tidak dikenal, sebagaimana dikatakan oleh An-Nasa’i.
Kesimpulannya: hadits ini lemah.
Catatan: sebagai doa mutlak (tanpa kaitan waktu dan
jumlah tertentu), doa ini juga disebutkan dalam hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya (2720).
---
HADITS KE 3.
Dari Abu Az-Zubair, ia berkata:
" ابْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ
حِينَ يُسَلِّمُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ،
وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ ، لَهُ النِّعْمَةُ وَالْفَضْلُ وَالْبَلَاءُ
الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
".
قال ابنُ الزُّبيرِ: «كان رسولُ اللهِ
ﷺ يُهلِّلُ بهنَّ دُبُرَ كلِّ صلاةٍ»
Sesungguhnya Ibnu Az-Zubair biasa mengucapkan setiap
selesai shalat ketika salam:
“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah
kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya segala nikmat, bagi-Nya segala keutamaan, dan
bagi-Nya pujian yang indah. Tidak ada Tuhan selain Allah, kami ikhlas beragama
untuk-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya.”
Ibnu Az-Zubair berkata: “Rasulullah ﷺ biasa bertakbir dengan bacaan ini setiap
selesai shalat.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 594).
Makna dalilnya:
أنَّ قولَه: (يُهلِّلُ)، أي: يرفَعُ صوتَه؛
فالتَّهليلُ رفعُ الصَّوتِ
Ucapannya “bertahlil” maksudnya adalah beliau ﷺ mengeraskan suaranya, karena “tahlil”
berarti mengeraskan suara.
----
HADITS KE 4 :
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dan Abadah bin
Abi Lubabah, keduanya mendengar Warrad, penulis (sekretaris) Mughirah bin
Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Mu‘awiyah bin Abi Sufyan menulis surat
kepada Mughirah bin Syu‘bah: “Tulislah kepadaku sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah ﷺ yang beliau
ucapkan setelah shalatnya.” Maka Mughirah menulis kepadanya:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ فِي
دُبُرِ صَلَاتِهِ إِذَا قَضَاهَا: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ
لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ،
وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ»
“Aku mendengar Rasulullah ﷺ ketika telah menyelesaikan
shalat-nya mengucapkan:
‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan segala pujian,
di tangan-Nya segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah,
tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat
memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak berguna kekayaan dan kedudukan bagi
pemiliknya di hadapan-Mu.”
[Diriwayatkan oleh Muslim dalam *Shahih*-nya (593/138)
melalui jalur Sufyan dengan sanad yang sama.
Juga diriwayatkan oleh Bukhari (844 dan 6330) serta
Muslim (593) melalui berbagai jalur dari Warrad].
---
HADITS KE 5 :
Dari Atha bin Abu Marwan, dari ayahnya:
أَنَّ كَعْبًا حَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ
الَّذِي فَرَقَ الْبَحْرَ لِمُوسَى، إِنَّا نَجِدُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ دَاوُدَ
نَبِيَّ اللَّهِ كَانَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ: اللَّهُمَّ أَصْلِحْ
لِي دِينِيَ الَّذِي جَعَلْتَهُ لِي عِصْمَةً، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي جَعَلْتَ
فِيهَا مَعَاشِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَأَعُوذُ يَعْنِي
بِعَفْوِكَ مِنْ نِقْمَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ،
وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي كَعْبٌ أَنَّ صُهَيْبًا
حَدَّثَهُ أَنَّ مُحَمَّدًا ﷺ كَانَ يَقُولُهُنَّ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنْ صَلَاتِهِ.
Bahwa Ka‘b bersumpah demi Allah yang telah membelah
laut untuk Musa, sesungguhnya kami mendapati dalam Taurat bahwa Dawud, Nabi
Allah, apabila selesai dari shalatnya, beliau berdoa:
“Ya Allah, perbaikilah
agamaku yang telah Engkau jadikan sebagai pelindungku, dan perbaikilah duniaku
yang Engkau jadikan tempat kehidupanku. Ya Allah, aku berlindung kepada
keridaan-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung kepada ampunan-Mu dari
hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari (azab)-Mu. Tidak ada yang dapat
menahan apa yang Engkau berikan, tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau
tahan, dan tidak berguna bagi orang yang memiliki kekayaan di hadapan-Mu
kekayaannya.”
Ka‘b berkata: Telah menceritakan kepadaku bahwa
Shuhaib telah menceritakan kepadanya bahwa Muhammad ﷺ biasa mengucapkan doa tersebut ketika
beliau selesai dari shalatnya.
HR. An-Nasa’i dalam al-Kubra no. 1270 dan Ibnu
Khuzaimah dalam Shahihnya no. 745.
STATUS HADITS : Sanadnya hasan.
Dinilai hasan oleh Abdul Qodir al-Arna’uth dalam
Tahqiq Jami’ al-Ushul karya Ibnu al-Atsir (hamisy 4/228)
Diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dalam kitab *‘Amal
Al-Yaum wa Al-Lailah* (no. 543) dengan sanadnya dari Abu Suhail bin Malik, dari
ayahnya :
أَنَّهُ كَانَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يُؤُمُّ النَّاسَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، مِنْ دَارِ
أَبِي جَهْمٍ، وَقَالَ كَعْبُ الأَحْبَارِ: وَالَّذِي فَلَقَ الْبَحْرَ لِمُوسَى، فَذَكَرَهُ.
“Bahwa ia biasa mendengar bacaan Umar bin Al-Khaththab
ketika mengimami manusia di masjid Rasulullah ﷺ dari rumah Abu Juhm. Dan Ka‘b Al-Ahbar berkata: Demi Dzat yang
membelah laut untuk Musa ...., lalu ia menyebutkan hadis tersebut”.
Dan diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal Al-Yaum
wa Al-Lailah* (no. 544) dan Ibnu Khuzaimah (no. 2565) dengan sanadnya dari
‘Atha’ bin Abi Marwan, dari ayahnya, bahwa Ka‘b telah menceritakan kepadanya,
lalu ia menyebutkan hadis tersebut.
Dan diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal Al-Yaum
wa Al-Lailah* (no. 545) dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Mughits, ia
berkata: Ka‘b telah berkata, lalu ia menyebutkan hadis tersebut.
----
HADITS KE 6.
Dari Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
سمِعْتُ النبيَّ ﷺ يقولُ إذا قضى الصَّلاةَ:
«لا إلهَ إلَّا اللهُ وحدَه لا شَرِيْكَ لَه»
Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda ketika telah selesai shalat: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya.”
(Diriwayatkan oleh Bukhori no. 844 dan Muslim no. 593).
Makna dalilnya: Dzikir tersebut
tidak akan terdengar kecuali bila diucapkan dengan suara keras.
----
HADITS KE 7 :
Bacaan tahlil sebanyak sepuluh kali setelah salam dari
shalat, hal ini disebutkan setelah shalat Subuh dan Magrib. Berdasarkan hadits
dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الفَجْرِ
وَهُوَ ثَانٍ رِجْلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، كُتِبَتْ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، وَمُحِيَ عَنْهُ
عَشْرُ سَيِّئَاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ، وَكَانَ يَوْمَهُ ذَلِكَ كُلَّهُ
فِي حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ، وَحُرِسَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَلَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ
أَنْ يُدْرِكَهُ فِي ذَلِكَ اليَوْمِ إِلَّا الشِّرْكَ بِاللَّهِ)
“Barang siapa yang mengucapkan setelah shalat Subuh,
sementara ia masih dalam posisi duduk melipat kedua kakinya sebelum berbicara:
*Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lah,
lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qadiir*
(artinya : Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia
menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu)
Sebanyak sepuluh kali, maka akan dicatat baginya
sepuluh kebaikan, dihapus darinya sepuluh keburukan, diangkat baginya sepuluh
derajat, dan pada hari itu ia berada dalam perlindungan dari segala keburukan,
dijaga dari setan, serta tidak ada dosa yang dapat mencelakakannya pada hari
itu kecuali syirik kepada Allah.”
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3470 dan Ibnu
Hibban no. 2341.
At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih gharib.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ini adalah hadits hasan
gharib.” (Nataij al-Afkar, 2/321).
Al-Albani berkata dalam *Shahih at-Targhib wat-Tarhib*
(no. 472): “Hasan li ghairihi (hasan karena penguat dari riwayat lain).””)
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan : “setelah
shalat Magrib”.
----
HADITS KE 8 :
Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu berkata:
مَا دَنَوْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ فِي دُبُرِ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ وَلَا تَطَوُّعٍ، إِلَّا سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَخَطَايَايَ كُلَّهَا، اللَّهُمَّ أَنْعِشْنِي، وَاجْبُرْنِي،
وَاهْدِنِي لِصَالِحِ الْأَعْمَالِ وَالْأَخْلَاقِ، إِنَّهُ لَا يَهْدِي لِصَالِحِهَا،
وَلَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ»
“Tidaklah aku mendekat kepada Rasulullah ﷺ setelah shalat wajib maupun shalat sunnah,
kecuali aku mendengarnya berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosaku dan semua
kesalahanku. Ya Allah, angkatlah aku (dari kelemahan), perbaikilah keadaanku,
dan tunjukilah aku kepada amal serta akhlak yang baik, karena tidak ada yang
dapat memberi petunjuk kepada yang baik maupun menolak yang buruk kecuali
Engkau.’”
Profesor Dr. Husamuddin bin Musa ‘Affanah dalam
*Fatawa Yas’alunak* (7/54) mengatakan:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ السُّنِّيِّ،
وَجَوَّدَ إِسْنَادَهُ الْهَيْثَمِيُّ فِي "مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ"
(١٠/١١١).
وَقَالَ الشَّيْخُ الْأَلْبَانِيُّ: حَسَنٌ،
انْظُرْ "صَحِيحُ الْجَامِعِ" (١٢٦٦).
وَقَالَ الْهَيْثَمِيُّ فِي "مَجْمَعِ
الزَّوَائِدِ" (١٠/١١١): "وَإِسْنَادُهُ جَيِّدٌ". وَقَالَ
(١٠/١٧٣): "رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ وُثِّقُوا".
وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَالْحَدِيثُ حَسَنٌ
بِالطَّرِيقِ الثَّانِي، وَالشَّاهِدُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu
As-Sunni, dan Al-Haitsami dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/111) menilai sanadnya
baik.
Syaikh Al-Albani juga menilainya hasan dalam *Shahih
Al-Jami’* (no. 1266).
Al-Haitsami berkata dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/111):
“Sanadnya baik.”
Dan
pada (10/173) beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan para
perawinya terpercaya.”
Secara keseluruhan, hadits ini berstatus *hasan*
melalui jalur kedua, dengan penguat dari hadits Abu Ayyub Al-Anshari
radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a‘lam.
Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *An-Nataij* (2/287)
berkata:
عَلِيُّ بْنُ يَزِيدَ مُتَّفَقٌ عَلَى
تَضْعِيفِهِ، وَمَدَارُ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَيْهِ.
“Ali bin Yazid disepakati kelemahannya, dan jalur
hadits ini berporos padanya.”
Disebutkan dalam *Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah*
(65/363):
وَفِيهِ دَلَالَةٌ بَيِّنَةٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ
الدُّعَاءِ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَالنَّافِلَةِ.
“Hadits ini mengandung dalil yang jelas tentang
disyariatkannya berdoa setelah shalat wajib maupun sunnah.”
----
HADITS KE 9 :
Dari Muslim bin Abu Bakrah:
أَنَّهُ كَانَ سَمِعَ وَالِدَهُ
يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ". فَجَعَلْتُ أَدْعُو بِهِنَّ،
فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، أَنَّى عَلِمْتَ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قُلْتُ: يَا
أَبَتِ، سَمِعْتُكَ تَدْعُو بِهِنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ، فَأَخَذْتُهُنَّ
عَنْكَ. قَالَ: فَالْزَمْهُنَّ يَا بُنَيَّ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ ﷺ كَانَ
يَدْعُو بِهِنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ.
“Bahwa ia pernah mendengar Ayahnya [Abu Bakrah
radhiyallahu ‘anhu] mengucapkan setelah selesai shalat;
"اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ"
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran,
kefakiran dan siksa kubur) '.
Lalu aku pun berdoa dengan doa tersebut. Ayahku
lalu bertanya; "Wahai anakku, dari mana engkau belajar ucapan-ucapan
itu?"
Aku menjawab; "Wahai ayahku, setiap selesai
shalat aku mendengarmu membaca itu, maka aku mengamalkan itu darimu!"
Ayahku lalu berkata; "Wahai anakku, amalkanlah
selalu, sebab Nabi ﷺ selalu membaca doa itu setiap selesai shalat."
[HR. An-Nasaa'i no. 5480] Di SHAHIH-kan oleh
al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i.
Lafadz lain: Muslim bin Abu Bakrah berkata:
«كَانَ
أَبِي يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، فَكُنْتُ أَقُولُهُنَّ. فَقَالَ
أَبِي: أَىْ بُنَىَّ عَمَّنْ أَخَذْتَ هَذَا؟ قُلْتُ: عَنْكَ. قَالَ: إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُهُنَّ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ»
“Dulu ayahku senantiasa membaca pada dubur Shalat:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan
kepada-Mu daripada kekufuran, kefakiran, dan juga azab kubur.’
Maka aku pun membaca kesemuanya itu (di penghujung
solatku).
Maka bapaku bertanya kepadaku: ‘Wahai anakku, dari
siapakah engkau mengambil ini (yakni bacaan doa ini)?’
Aku menjawab: ‘Dari engkau.’
Maka bapaku berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah ﷺ
membacanya di dubur solat.’”
[HR. An-Nasaa'i no. 1346] Di SHAHIH-kan oleh
al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i.
MAKNA DUBUR SHOLAT:
Yang dimaksud DUBUR SHOLAT di sini menurut
al-Haafidz Ibnu Hajar adalah setelah selesai Shalat [Fathul Baari 11/133].
Dan dalam ad-Duror As-Saniyyah di sebutkan:
وفي هذا الحديثِ يُخبِرُ
مُسلِمُ بنُ أبي بَكْرةَ: "أنَّه كان سمِعَ والِدَه يقولُ في دبُرِ
الصَّلاةِ"، أي: يَدعو بدعواتٍ عَقِبَ الانتهاءِ مِن صلاتِه، وقيل: المرادُ
بدبُرِ الصَّلاةِ: ما كان قبل السَّلامِ
Dalam hadits ini, Muslim bin Abi Bakra
menceritakan: “Dia mendengar ayahnya mengucapkan doa di dubur shalat,[[yaitu,
dia berdoa dengan doa-doa tsb setelah menyelesaikan sholatnya]].
Dan ada yang mengatakan: Yang dimaksud dubur shalat
adalah sebelum salam
Al-Haafidz Ibnu hajar dalam Fathul Baari 11/133
berkata:
فَإِنْ قِيلَ: الْمُرَادُ بِدُبُرِ
كُلِّ صَلَاةٍ قُرْبُ آخِرِهَا وَهُوَ التَّشَهُّدُ، قُلْنَا: قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ
بِالذِّكْرِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ، وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا،
فَكَذَا هَذَا حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُخَالِفُهُ.
Jika ada yang mengatakan: Bahwa yang dimaksud
dengan kata "دُبُر كلَّ صَلاةٍ" [dubur setiap shalat] itu menjelang
akhir shalat yaitu tasyahud ; Maka kami akan mengatakan: bahwa telah ada hadits
perintah untuk berdzikir pada setiap [دُبُرِ
كُلِّ صَلاةٍ], dan
yang dimaksud dengan itu adalah setelah selesai shalat sesuai Ijma'para ulama
".
Dan begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdurrahman
Al Mubarkafuri Rahimahullah, beliau berkata:
قُلْت: قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ
بِالذِّكْرِ دُبُرَ الصَّلَاةِ وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا
“Saya berkata: telah datang riwayat tentang dzikir pada دُبُرَ الصَّلَاةِ [duburish shalah], dan yang dimaksud
adalah setelah salam menurut ijma’.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)
----
HADITS KE 10:
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، يَقُولُ: «اللَّهُمَّ
رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، أَنَا أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ الرَّبُّ وَحْدَكَ
لَا شَرِيكَ لَكَ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، اجْعَلْنِي مُخْلِصًا
لَكَ وَأَهْلِي فِي كُلِّ سَاعَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
اسْمَعْ وَاسْتَجِبْ، اللَّهُ الْأَكْبَرُ، اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ،
الْأَكْبَرُ الْأَكْبَرُ، حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ»
Aku mendengar Rasulullah ﷺ berdoa di akhir shalat dengan doa:
“Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku
bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan satu-satunya, tiada sekutu bagi-Mu.
Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.
Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku
bersaksi bahwa seluruh hamba adalah bersaudara.
Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu,
jadikanlah aku orang yang ikhlas kepada-Mu di setiap waktu, juga keluargaku, di
dunia dan di akhirat, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, dengarlah dan kabulkanlah. Allah Mahabesar,
Allah Mahabesar, Allah adalah cahaya langit dan bumi, Allah Mahabesar, Allah
Mahabesar, cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik pelindung. Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah* (no. 101) dengan sanad yang sama.
Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (no. 1508) – dan dari
jalurnya oleh Al-Baihaqi dalam *Ad-Da‘awat al-Kabir* (1/73/94) –, Ahmad
(4/369), Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (13/178–179, no. 7216), Ath-Thabrani
dalam *Al-Mu‘jam al-Kabir* (5/210, no. 5122) – dan dari jalurnya pula oleh
Al-Mizzi dalam *Tahdzib al-Kamal* (8/387–388) –, Asy-Syajari dalam *Al-Amali*
(1/249), Ad-Daraquthni dalam *Al-Afrad* (q. 36/A – *Athraf al-Gharaib*), dan
Al-Baihaqi dalam *Al-Asma’ wa ash-Shifat* (1/340–341, no. 272) melalui berbagai
jalur dari Al-Mu‘tamir bin Sulaiman dengan sanad tersebut.
Ad-Daraquthni berkata dalam *Al-Afrad*:
"تَفَرَّدَ
بِهِ مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ دَاوُدَ الطَّفَاوِيِّ عَنْ أَبِي مُسْلِمٍ
الْبَجَلِيِّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ"
“Hadits ini diriwayatkan secara tunggal oleh
Al-Mu‘tamir bin Sulaiman dari Dawud ath-Thafawi dari Abu Muslim al-Bajali dari
Zaid bin Arqam.”
Aku (penulis) berkata: Tidak sebagaimana yang
dikatakan rahimahullah, karena hadits ini juga diikuti oleh Jarir bin ‘Abd
al-Hamid dalam riwayat Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya (13/179/7217): Diriwayatkan
oleh Ishaq bin Abi Isra’il dari Jarir dengan sanad yang sama.
Namun, sanad hadits ini tetap lemah karena dua sebab:
Pertama: Abu Muslim al-Bajali tidak dikenal,
sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam *Al-Mizan*. Dalam *At-Taqrib*
disebutkan: “Maqbul” — artinya diterima jika ada penguat, tetapi bila tidak,
maka lemah. Dan dalam hadits ini tidak ada penguatnya.
Kedua: Dawud ath-Thafawi lemah dalam periwayatan hadits,
sebagaimana disebutkan dalam *At-Taqrib*.
----
HADITS KE 11 :
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
مَا صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً مَكْتُوبَةً إِلَّا أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَيْنَا،
فَقَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ عَمَلٍ يُخْزِينِي، وَأَعُوذُ
بِكَ مِنْ كُلِّ صَاحِبٍ يُرْدِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ أَمَلٍ يُلْهِينِي،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ فَقْرٍ يُنْسِينِي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ كُلِّ غِنًى يُطْغِينِي»
Rasulullah ﷺ tidak pernah shalat fardu bersama kami melainkan setelah
selesai shalat beliau menghadap kami dan berdoa: “Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari setiap perbuatan yang mempermalukanku, aku berlindung kepada-Mu
dari setiap teman yang mencelakaiku, aku berlindung kepada-Mu dari setiap
cita-cita yang melalaikanku, aku berlindung kepada-Mu dari setiap kemiskinan
yang membuatku lupa, dan aku berlindung kepada-Mu dari setiap kekayaan yang
membuatku sombong.”
Sanad hadits ini lemah; diriwayatkan oleh Ibnu Hajar
dalam *Nataij al-Afkar* (2/297–298) melalui jalur Abu al-Qasim al-Baghawi (Ibnu
Mani’) dengan sanad tersebut.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam
*Musnad*-nya (4/23/3102 – *Kasyf*), dan oleh Al-Ma’mari dalam *‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah* sebagaimana disebut dalam *Nataij al-Afkar* (2/298) melalui jalur
Thalut bin ‘Abbad.
Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ al-Zawaid* (10/110):
رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِيهِ بَكْرُ بْنُ
خُنَيْسٍ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ، وَقَدْ وُثِّقَ. وَرَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ عُقْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْأَصَمُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ جِدًّا
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar, di dalam
sanadnya terdapat Bakr bin Khunais; ia ditinggalkan (matruk), namun ada yang
menilainya tsiqah. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya‘la, di dalam sanadnya
terdapat Uqbah bin Abdullah al-Asham, dan ia sangat lemah”.
Al-Hafidz rahimahullah berkata:
"… وَكانَ عابِدًا،
قالَ ابْنُ عَدِيٍّ: هُوَ مِمَّن يُكْتَبُ حَدِيثُهُ، وَقالَ أَبُو حاتِمٍ الرَّازِيُّ:
لا يَبْلُغُ التَّرْك، وَضَعَّفَهُ جَماعَةٌ".
“Ia adalah seorang ahli ibadah. Ibnu ‘Adi berkata: haditsnya
masih boleh ditulis. Abu Hatim ar-Razi berkata: tidak sampai derajat
ditinggalkan, meskipun banyak yang melemahkannya.”
Maka sanad hadits ini lemah, tetapi dapat dijadikan
pertimbangan (syahid).
Al-Bazzar berkata:
"لَمْ يَرْوِهِ
عَنِ الجَعْدِ إِلَّا أَبُو عِمْرانَ، وَلا عَنْهُ إِلَّا بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ، وَلَيْسَ
بِالقَوِيِّ".
“Tidak ada yang meriwayatkannya dari Al-Ja’d kecuali
Abu Imran, dan tidak ada yang meriwayatkannya darinya kecuali Bakr bin Khunais,
dan ia tidak kuat.”
Namun pernyataan itu tidak tepat, karena ada penguat
lain.
Telah menguatkannya ‘Uqbah bin Abdullah ar-Rifa’i dari
Al-Ja’d dengan sanad yang sama; diriwayatkan oleh Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya
(7/313/4352), dan oleh Ath-Thabarani dalam *Ad-Du‘a* (2/1095/657), serta
melalui keduanya Al-Hafidz Ibnu Hajar meriwayatkannya dalam *Nataij al-Afkar*
(29912).
----
HADITS KE 12 :
Dari Mush‘ab bin Sa‘d dan Amr bin Maimun, keduanya
berkata:
أَنَ سَعْدٌ، يُعَلِّمُ بَنِيهِ هَؤُلَاءِ
الكَلِمَاتِ كَمَا يُعَلِّمُ المُكَتِّبُ الغِلْمَانَ وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ دُبُرَ الصَّلَاةِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ
بِكَ مِنَ الجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ البُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَرْذَلِ العُمُرِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَعَذَابِ القَبْرِ»
Sa‘d biasa mengajarkan kepada anak-anaknya doa-doa ini
sebagaimana seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya, dan beliau berkata:
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ biasa
berdoa dengan doa-doa ini setelah selesai salat:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat
pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu
dari umur yang paling buruk (pikun), dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah
dunia serta dari azab kubur.”
[HR. At-Tirmidzy no. 3567, an-Nasa’i dalam al-Kubra
no. 7861, Ibnu Khuzaimah no. 746, dan Ibnu Hibbaan (al-Ihsan no. 2024).
Hadits ini dinilai hasan shahih oleh at-Tirmidzi. Dan
dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-A’dzomi dan oleh al-Albani.
----
HADITS KE 13 :
Dari Mughirah bin Syu‘bah:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ، إِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا
مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ»
Bahwa Rasulullah ﷺ apabila selesai dari salat dan telah memberi salam, beliau
berkata:
“Tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan,
dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak berguna
kekayaan seseorang di hadapan-Mu”.
(Diriwayatkan oleh Bukhori no. 6404 dan Muslim no. 137-(593)
----
HADITS KE 14 :
Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، مِائَةَ مَرَّةٍ، قَبْلَ أَنْ يَثْنِيَ رِجْلَهُ؛ كَانَ أَفْضَلَ أَهْلِ الْأَرْضِ عَمَلًا إِلَّا مَنْ قَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ".
“Barang siapa yang membaca setelah shalat Subuh:
*La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulk wa lahul hamd, yuhyi wa yumit, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir*
(artinya : Tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)
sebanyak seratus kali sebelum ia melipat kakinya (yakni sebelum beranjak dari tempat shalatnya), maka ia akan menjadi manusia terbaik di muka bumi dalam hal amal, kecuali orang yang membaca dzikir yang sama seperti bacaannya.”
STATUS HADITS :
Sanad hadits ini hasan; diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (8/280/8075) dan *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (7/175/7200) melalui jalur ‘Abdus Shamad bin ‘Abdul Warits.
Ath-Thabrani juga meriwayatkannya dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (8075), dan dari jalur beliau pula Asy-Syajari dalam *Amali*-nya (1/246), serta Ibnu Hajar dalam *Nataij Al-Afkar* (2/308) melalui jalur Asad bin Musa dari Adam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
"هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَآدَمُ بْنُ الْحَكَمِ بَصْرِيٌّ؛ قَالَ ابْنُ مَعِينٍ: صَالِحٌ، وَفِي رِوَايَةٍ: لَا شَيْءَ. وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: لَا بَأْسَ بِهِ. وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزُّورٌ، وَهُوَ صَدُوقٌ، تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُهُمْ بِغَيْرِ قَادِحٍ يَقْتَضِي طَرْحَ حَدِيثِهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ". أ.ه.
“Hadits ini hasan. Adam bin Al-Hakam adalah seorang dari Bashrah. Ibnu Ma’in berkata: *Salih.* Dalam riwayat lain: *Laisa bihi syai’* (tidak mengapa dengannya). Abu Hatim berkata: *La ba’sa bih* (tidak masalah dengannya). Adapun Abu Ghalib, namanya Hazzur, ia seorang yang jujur. Ada sebagian ulama yang menilai lemah dirinya, tetapi tidak sampai membuat haditsnya ditolak. Wallahu a‘lam.”
Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/108): “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* dan *Al-Awsath*, dan para perawi *Al-Awsath* semuanya tsiqah.”
Al-Mundziri berkata dalam *At-Targhib wat-Tarhib* (1/168): “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Awsath* dengan sanad yang baik.”
Syaikh Al-Albani rahimahullah, juga menganggapnya *hasan* dalam *Shahih At-Targhib wat-Tarhib* (1/263/471, cetakan Maktabah Al-Ma‘arif).
----
HADITS KE 15 :
Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
كانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدْعُو بِهَذِهِ
الدَّعَوَاتِ كُلَّمَا سَلَّمَ: "اللَّهُمَّ، لَا تُخْزِنِي يَوْمَ القِيَامَةِ،
وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ الْبَأْسِ؛ فَإِنَّ مَنْ تُخْزِهِ يَوْمَ الْبَأْسِ فَقَدْ
أَخْزَيْتَهُ"
Rasulullah ﷺ biasa berdoa dengan doa-doa ini setiap kali selesai salam (dari
shalat):
“Ya Allah, janganlah Engkau mempermalukanku pada hari
kiamat, dan janganlah Engkau mempermalukanku pada hari peperangan, karena siapa
yang Engkau permalukan pada hari peperangan, sungguh Engkau telah
mempermalukannya.”
STATUS HADITS :
Sanadnya lemah, di dalamnya terdapat Ar-Rayan bin
Al-Ja’d. Abu Hatim berkata: “Ia dikenal di Ramla, haditsnya bisa ditulis.” Ibnu
Hibban menilainya tsiqah, namun keduanya tidak menyebutkan seorang perawi pun
darinya kecuali Isa bin Musa.
Adapun Isa bin Musa, ia adalah seorang yang jujur,
namun terkadang salah dan kadang melakukan tadlis. Ia banyak meriwayatkan hadits
dari orang-orang yang lemah, sebagaimana disebutkan dalam kitab *At-Taqrib*.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Bisyran dalam
*Al-Amali* (2/170/1281) melalui jalur As-Sari bin Yahya dari Ar-Rayan dengan
sanad yang sama.
Namun Ar-Rayan berbeda dalam riwayatnya, sebab
Abdullah bin Al-Mubarak meriwayatkannya dari Yahya bin Hassan dari seorang
laki-laki dari Bani Kinana, bahwa Nabi ﷺ biasa berdoa (lalu disebutkan doa tersebut).
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/234),
Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (3/20/2524), dan Abu Nu’aim dalam *Ma’rifatush
Shahabah* (2/645/1722).
Aku (penulis) berkata: Sanadnya sahih, dan
ketidaktahuan terhadap nama sahabat tidak berpengaruh, karena seluruh sahabat
adalah orang-orang yang adil.
Al-Haitsami berkata dalam *Majma’ Az-Zawaid* (10/112):
"رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ".
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya
terpercaya.”
Namun ia terlewat menyebut bahwa hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang sesuai dengan syaratnya.
----
HADITS KE 16:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"ما مِنْ عَبْدٍ
بَسَطَ كَفَّيْهِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِلٰهِي وَإِلٰهَ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ، وَإِلٰهَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ
- عَلَيْهِمُ السَّلَامُ - أَسْأَلُكَ أَنْ تَسْتَجِيبَ دَعْوَتِي؛ فَإِنِّي مُضْطَرٌّ،
وَتَعْصِمَنِي فِي دِينِي؛ فَإِنِّي مُبْتَلًى، وَتَنَالَنِي بِرَحْمَتِكَ؛ فَإِنِّي
مُذْنِبٌ، وَتَنْفِيَ عَنِّي الْفَقْرَ؛ فَإِنِّي مُتَمَسْكِنٌ؛ إِلَّا كَانَ حَقًّا
عَلَى اللهِ - عَزَّ وَجَلَّ - أَنْ لَا يَرُدَّ يَدَيْهِ خَائِبَتَيْنِ."
“Tidaklah seorang hamba membentangkan kedua telapak
tangannya setelah setiap shalat kemudian mengucapkan: -Ya Allah,
Tuhanku dan Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub, serta Tuhan Jibril, Mikail, dan
Israfil ‘alaihimussalam, aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengabulkan doaku
karena aku adalah orang yang sangat membutuhkan-Mu; lindungilah aku dalam
agamaku karena aku sedang diuji; limpahkanlah rahmat-Mu kepadaku karena aku
orang yang berdosa; dan jauhkanlah dariku kemiskinan karena aku orang yang
sangat membutuhkan; melainkan menjadi hak atas Allah ‘azza wa jalla
untuk tidak menolak kedua tangannya dalam keadaan hampa.”
STATUS HADITS :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu As-Sunni dalam kitab
*‘Amal Al-Yaum wal-Lailah* hal. 100 no. 138, dan oleh Ibnu Al-A’rabi dalam
*Al-Mu‘jam* (2/609) nomor 1204 melalui jalur Ishaq bin Khalid Al-Balsi dengan
sanad tersebut.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu ‘Iraq dalam
*Tanzih Asy-Syari‘ah* (2/334) no. 55.
Serta oleh Ibnu ‘Asakir dalam *Tarikh Dimasyq* (16/383)
melalui jalur Ishaq bin Khalid bin Yazid Al-Asadi dengan sanad yang sama.
Adapun Ad-Dailami menukilkannya secara mu‘allaq dalam
*Musnad Al-Firdaus* sebagaimana disebutkan dalam *Zahr Al-Firdaus* (13/209–210)
dari jalur Abu Asy-Syaikh dengan sanad yang sama.
Adz-Dzahabi berkata dalam *Al-Mizan* (2/631 no. 5112):
عَبدُ العَزِيزِ بْنُ عَبدِ الرَّحْمٰنِ
البَالِسِيُّ عَنْ خُصَيْفٍ؛ اتَّهَمَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَضَرَبَ عَلَى حَدِيثِهِ،
وَقَالَ النَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُ: لَيْسَ بِثِقَةٍ، وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ: كَتَبْنَا
عَنْ عُمَرَ بْنِ سِنَانٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ خَالِدٍ عَنْهُ نُسْخَةً شَبِيهًا.
“Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Balsi meriwayatkan dari
Khushaif; dia dituduh berdusta oleh Imam Ahmad, dan Imam Ahmad mencoret hadits-haditsnya”
(lihat *Al-‘Ilal wa Ma‘rifat Ar-Rijal* 3/319 no. 5419). An-Nasa’i dalam
*Adh-Dhu‘afa wal-Matrukun* (hal. 168 no. 415) dan ulama lainnya berkata: “Ia
tidak terpercaya.” Ibnu Hibban dalam *Al-Majruhin* (2/121 no. 739) berkata:
“Kami menulis (mencatat) dari Umar bin Sinan dari Ishaq bin Khalid darinya
(yakni dari Abdul Aziz) sebuah kumpulan hadits yang serupa.”
Hadits ini sangat lemah
karena terdapat beberapa cacat:
Pertama, Khushaif al-Jazari adalah perawi yang lemah
dan tidak mendengar langsung dari Anas.
Kedua, Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Qurasyi adalah
perawi yang ditinggalkan (matruk), dan Imam Ahmad menuduhnya berdusta. Ibnu
‘Adi berkata dalam kitab *Al-Kamil* (3/942): “Ia meriwayatkan dari Khushaif
dari Anas dan selain Khushaif hadits-hadits yang batil.”
Ketiga, Ishaq al-Balsi adalah perawi munkar hadits,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Adi.
-----
HADITS KE 17 :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
كانَ مَقامي بَيْنَ كَتِفَيِ النَّبِيِّ
ﷺ حتّى قُبِضَ، فَكانَ يَقولُ إذا انْصَرَفَ مِنَ الصَّلاةِ: «اللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ
عُمُرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِمَهُ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِي يَوْمَ
أَلْقَاكَ».
“Posisiku berada di antara kedua bahu Nabi ﷺ hingga beliau wafat. Beliau biasa berdoa
ketika selesai dari shalat: ‘Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada
bagian akhirnya, sebaik-baik amalanku pada penutupnya, dan jadikanlah
sebaik-baik hariku adalah hari ketika aku bertemu dengan-Mu.’”
STATUS HADITS :
Hadits ini sangat lemah, karena memiliki beberapa
cacat:
Pertama: Shalih bin Abi Al-Aswad; Adz-Dzahabi berkata
dalam *Al-Mizan* (2/288): “Lemah.” Ia juga berkata dalam *Al-Mughni fi
Adh-Dhu‘afa* (1/302): “Haditsnya munkar.” Ibnu Hajar berkata dalam *Nataij
Al-Afkar* (2/293): “Tidak dapat dipercaya.”
Kedua: Abul Malik An-Nakha‘i (Abdul Malik An-Nakha‘i);
ditinggalkan haditsnya sebagaimana disebut dalam *At-Taqrib*.
Ketiga: Ali bin Zaid bin Jud‘an; lemah karena buruk
hafalannya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
*Al-Mu‘jam Al-Awsath* (9/157/9411) – dan darinya juga Ibnu Hajar dalam *Nataij
Al-Afkar* (2/291–292) – melalui jalur Abu Bakr bin Abi An-Nadhr dari Abu
An-Nadhr, dari Abu Malik An-Nakha‘i, dari Abu Al-Muhajjal, dari keponakan Anas,
dari Anas.
Ath-Thabrani berkata:
"لَمْ يَرْوِهِ
عَنْ أَبِي الْمُحَجَّلِ إِلَّا أَبُو مَالِكٍ، وَلَا عَنْهُ إِلَّا أَبُو النَّضْرِ،
تَفَرَّدَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ".
“Tidak ada yang meriwayatkannya dari Abu Al-Muhajjal
kecuali Abu Malik, dan tidak ada yang meriwayatkannya darinya kecuali Abu
An-Nadhr; yang menyendirinya adalah Abu Bakr.”
Ibnu Hajar berkata:
"هُوَ أَبُو
بَكْرِ بْنُ النَّضْرِ بْنِ أَبِي النَّضْرِ نُسِبَ إِلَى جَدِّهِ، وَهُوَ مِنْ شُيُوخِ
مُسْلِمٍ، وَاسْمُ جَدِّهِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، وَهُوَ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيحَيْنِ،
وَأَبُو الْمُحَجَّلِ اسْمُهُ رُدَيْنِيٌّ، وَاسْمُ أَبِيهِ مُرَّةُ، وَقِيلَ: مُخَلَّدَةُ،
وَثَّقَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ.
وَاسْمُ ابْنِ أَخِي أَنَسٍ حَفْصٌ
..... وَهُوَ مُوَثَّقٌ، وَالْهَيْثَمُ شَيْخُ الطَّبَرَانِيِّ مِنَ الْحُفَّاظِ، فَلَمْ
يَبْقَ فِي هَذَا السَّنَدِ إِلَّا أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ بِالِاتِّفَاقِ،
وَقَدِ اخْتُلِفَ عَلَيْهِ فِي شَيْخِهِ".
“Ia adalah Abu Bakr bin An-Nadhr bin Abi An-Nadhr yang
dinisbatkan kepada kakeknya. Ia termasuk guru Muslim, dan nama kakeknya adalah
Hasyim bin Al-Qasim, termasuk perawi *Ash-Shahihain*. Adapun Abu Al-Muhajjal
namanya Rudaini bin Murrah, ada juga yang mengatakan Mukhallad, dan ia dinilai
tsiqah oleh Yahya bin Ma‘in. Nama keponakan Anas adalah Hafsh … yang juga
dinilai tsiqah. Al-Haitsam, guru Ath-Thabrani, adalah salah satu ahli hadits
terpercaya. Maka yang tersisa dalam sanad ini hanyalah Abu Malik An-Nakha‘i,
dan ia lemah berdasarkan kesepakatan. Bahkan terjadi perbedaan padanya dalam
menyebut gurunya.”
Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/110):
"فِيهِ أَبُو
مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ".
“Dalam sanadnya terdapat Abu Malik An-Nakha‘i, dan ia
lemah.”
Aku (penulis) berkata: Sanadnya sangat lemah karena
Abu Malik An-Nakha‘i adalah perawi yang ditinggalkan, sebagaimana dalam
*At-Taqrib*.
Secara keseluruhan, hadits ini sangat lemah karena
bertumpu pada Abu Malik An-Nakha‘i yang ditinggalkan haditsnya, dan dalam
riwayatnya pun terdapat kerancuan: terkadang ia meriwayatkannya dari Abu
Al-Muhajjal dari keponakan Anas dari Anas, dan terkadang dari Ibnu Jud‘an dari
Anas.
----
HADITS KE 18:
Dari Azhar bin Abdullah dari Tamim ad-Dari
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ قَالَ
بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ
لَهُ، إِلٰهًا وَاحِدًا صَمَدًا، لَمْ يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا، وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ؛ كَتَبَ اللهُ - عَزَّ وَجَلَّ - لَهُ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَسَنَةٍ"
“Barang siapa yang membaca setelah shalat Subuh:
*Asyhadu an la ilaha
illallah wahdahu la syarika lah, ilahan wahidan shomadan, lam yattakhidz
shahibatan wa la waladan, wa lam yakun lahu kufuwan ahad*
(artinya : Aku bersaksi
bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Tuhan yang
Maha Esa dan tempat bergantung, yang tidak mempunyai istri maupun anak, dan
tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya) ; maka Allah 'azza wa
jalla akan mencatat baginya empat puluh ribu kebaikan.”
STATUS HADITS :
Hadis ini memiliki sanad yang lemah; diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi (5/514/3473) dan Abu Nu’aim dalam *Ma’rifat ash-Shahabah*
(1/451–452/1296) dari Qutaibah bin Sa’id dengan sanad yang sama.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad (4/103), Ath-Thabrani
dalam *al-Mu’jam al-Kabir* (2/57–58/1278), dan Ibnu ‘Adiy dalam *al-Kamil*
(3/930) melalui jalur Laits bin Sa’d dengan sanad yang sama.
Aku (penulis) berkata: Sanad hadis ini lemah karena
dua sebab:
Pertama, sanadnya terputus antara Azhar bin Abdullah
dan Tamim ad-Dari; sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizzi dalam *Tahdzib
al-Kamal* (2/327): “Ia meriwayatkan dari Tamim ad-Dari secara mursal (tanpa
sanad langsung).”
Kedua, Khalil bin Murrah dinilai lemah oleh mayoritas
ulama.
At-Tirmidzi berkata:
"هٰذَا حَدِيثٌ
غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هٰذَا الْوَجْهِ، وَالْخَلِيلُ بْنُ مُرَّةَ لَيْسَ
بِالْقَوِيِّ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ؛ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ - يَعْنِي:
الْبُخَارِيَّ -: هُوَ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ" أ. هـ.
“Hadis ini gharib, tidak kami ketahui kecuali melalui
jalur ini, dan Khalil bin Murrah bukanlah orang yang kuat menurut para ahli
hadis. Muhammad bin Ismail (yakni Al-Bukhari) berkata: “Ia munkar hadis”. [Selesai]
Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menilai hadis ini
lemah dalam *Dha’if Sunan at-Tirmidzi* (687).
----
HADITS KE 19:
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
"أَمَرَنِي
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ"
“Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk membaca surat-surat pelindung (Al-Mu’awwidzat)
setiap selesai shalat.”
STATUS HADITS :
Hadis ini sanadnya sahih.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i
dalam *‘Amal Al-Yaum wal-Lailah* sebagaimana disebutkan dalam *Tuhfatul Asyraf*
(7/312) dan *Nataijul Afkar* (2/274) dengan sanad yang sama.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (4/155), Ibnu
Abdi Al-Hakam dalam *Futuh Mishr* (hal. 195), Ath-Thabrani dalam *Ad-Du‘a*
(2/1105–1106/677), dan dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabir* (17/254/811) — dan melalui
jalurnya diriwayatkan pula oleh Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam *Juz’ min Haditsi
Abi Abdirrahman Abdullah bin Yazid Al-Muqri’ mimma wafaqa riwayata Al-Imam
Ahmad bin Hanbal fi Al-Musnad* (76/33), serta oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
*Nataijul Afkar* (2/275) — juga oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’abul Iman*
(2/512/2565), Muhammad bin Al-Husain Al-Bazzar dalam *Fawaiduhu* sebagaimana
disebut dalam *At-Tadwin fi Akhbar Qazwin* (1/172), Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam
*Juz’uhu* (76/33), dan Ibnu Hajar dalam *Nataijul Afkar* (2/274) melalui
berbagai jalur dari Abdullah bin Yazid Al-Muqri’.
Aku (penulis) berkata: Sanad ini sahih.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
(5/171/2903) dari Qutaibah bin Sa‘id, dari Ibnu Lahi‘ah, dari Yazid bin Abi
Habib, dari ‘Ali bin Rabi‘ah dengan sanad yang sama.
At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan gharib.”
Ucapannya benar; meskipun Ibnu Lahi‘ah dikenal kurang kuat hafalannya karena
kitab-kitabnya terbakar, namun riwayat Qutaibah bin Sa‘id darinya tergolong
baik, sebagaimana riwayat para ‘Abadilah.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud
(2/86/1523), An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (3/68) dan *Al-Kubra* (1/397/1259),
Ahmad (4/201), Ibnu Khuzaimah dalam *Shahih-nya* (1/372/755), Ibnu Hibban dalam
*Shahih-nya* (2347 – *Mawarid*), Ibnu Al-Mundzir dalam *Al-Awsath* (3/227/1560),
Ibnu Abdi Al-Hakam dalam *Futuh Mishr* (hal. 195), Ath-Thabrani dalam
*Al-Mu‘jam Al-Kabir* (17/254/812), Al-Hakim (1/253), Al-Baihaqi dalam
*Ad-Da‘awat Al-Kabir* (1/80–81/105), dan Al-Mizzi dalam *Tahdzibul Kamal*
(7/458) melalui jalur Al-Laits bin Sa‘d, dari Hunain bin Abi Hakim, dari ‘Ali
bin Rabi‘ah dengan sanad yang sama.
Aku (penulis) berkata: Sanad ini hasan, para perawinya
terpercaya kecuali Hunain, yang dinilai jujur (shaduq).
Kesimpulannya, hadis ini sahih tanpa keraguan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menilainya sahih dalam *Nataijul Afkar*
(2/274), demikian pula Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam *As-Shahihah* (645).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَأَمَّا قَوْلُ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ اقْرَأْ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ
فَهَذَا بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا.
Adapun perkataan Uqbah bin Amir: “Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk membaca
Al-Mu’awwidzat setelah setiap shalat,” maka yang dimaksud adalah setelah
selesai dari shalat (yakni setelah salam). [Majmu’ al-Fatawa 22/500]
----
HADITS KE 20:
Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al-Bahili
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ قَرَأَ
آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ؛ كَانَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ قَاتَلَ
عَنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - حَتَّى يُسْتَشْهَدَ"
“Barang siapa membaca Ayat Kursi setelah setiap salat
wajib, maka ia akan mendapatkan kedudukan seperti orang yang berperang membela
para nabi Allah ‘azza wa jalla hingga ia mati syahid.”
STATUS HADITS :
Sanadnya lemah. Syaikh Al-Albani rahimahullah, berkata
dalam kitab *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/663):
"وَهَذَا إِسْنَادٌ
ضَعِيفٌ، دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الذُّهْلِيُّ لَمْ أَجِدْ لَهُ تَرْجَمَةً، وَإِسْمَاعِيلُ
بْنُ عَيَّاشٍ ثِقَةٌ فِي رِوَايَتِهِ عَنِ الشَّامِيِّينَ، وَلَا نَدْرِي أَهَذِهِ
مِنْهَا أَوْ لَا؟
وَعَبْدُ الحَمِيدِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
أَبُو الْمُتَّقِي؛ قَالَ فِي "التَّقْرِيبِ": "صَدُوقٌ؛ إِلَّا أَنَّهُ
ذَهَبَتْ كُتُبُهُ؛ فَسَاءَ حِفْظُهُ"". أ.ه.
“Sanad ini lemah. Dawud bin Ibrahim Adz-Dzahli tidak
aku temukan biografinya, dan Ismail bin Ayyasy adalah tsiqah (terpercaya) dalam
riwayatnya dari penduduk Syam, namun kita tidak tahu apakah riwayat ini
termasuk dari jalur mereka atau tidak. Adapun Abdurrahim bin Ibrahim Abu
Al-Muttaqi, dalam *At-Taqrib* disebutkan: ‘Ia jujur, hanya saja kitab-kitabnya
hilang sehingga hafalannya menjadi buruk.’” Selesai.
----
HADITS KE 21 :
Dari Abu Umamah (Al Bahili) radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ قَرَأَ
آيَةَ الْكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَحُلْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ"
“Barang siapa membaca ayat kursi setelah setiap salat
wajib, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian.”
STATUS HADITS :
Sanadnya lemah, tetapi hadis ini sahih melalui jalur
lainnya.
Syaikh Al-Albani rahimahullah, berkata dalam
*As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/661):
"وَهَذَا إِسْنَادٌ
ضَعِيفٌ؛ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ الْكِلَاعِيُّ الْحِمْصِيُّ
لَهُ تَرْجَمَةٌ جَيِّدَةٌ فِي «تَارِيخِ ابْنِ عَسَاكِرَ» (15/ 323/ 2).
وَالْيَمَانُ بْنُ سَعِيدٍ؛ أَظُنُّهُ
مُحَرَّفًا! مِنَ الْيَمَانِ بْنِ يَزِيدَ؛ فَقَدْ أَوْرَدَهُ هَكَذَا فِي «الْمِيزَانِ»
وَقَالَ: «عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُمَيْرٍ الْحِمْصِيِّ بِخَبَرٍ طَوِيلٍ فِي عَذَابِ
الْفُسَّاقِ، أَظُنُّهُ مَوْضُوعًا».
قَالَ الْحَافِظُ فِي «اللِّسَانِ»:
«وَأَفَادَ شَيْخُنَا فِي «الذَّيْلِ»: أَنَّ الدَّارَقُطْنِيَّ قَالَ فِي «الْمُؤْتَلِفِ
وَالْمُخْتَلِفِ»: مَجْهُولٌ، وَتَبِعَهُ ابْنُ مَاكُولَا».
قُلْتُ (الألباني): وَقَرِينُهُ أَحْمَدُ
بْنُ هَارُونَ؛ قَالَ الذَّهَبِيُّ: «صَاحِبُ مَنَاكِيرَ عَنِ الثِّقَاتِ؛ قَالَهُ
ابْنُ عَدِيٍّ».
قَالَ الْحَافِظُ: «وَذَكَرَهُ ابْنُ
حِبَّانَ فِي «الثِّقَاتِ»»، وَذَلِكَ فِي (8/ 38)، وَقَدْ تُوبِعَ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِ
الْإِسْنَادِ ثِقَاتٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ». أ. هـ"
“Sanad hadis ini lemah. Muhammad bin Ubaidillah bin
Al-Fadl Al-Kala’i Al-Himshi memiliki biografi yang baik dalam *Tarikh Ibnu
Asakir* (15/323/2).
Adapun Al-Yaman bin Sa’id, tampaknya terjadi kesalahan
penulisan, seharusnya ‘Al-Yaman bin Yazid’, sebagaimana disebutkan demikian
dalam *Al-Mizan*, dan ia berkata: ‘Dari Muhammad bin Humair Al-Himshi dalam
satu hadis panjang tentang azab orang-orang fasik, aku kira hadis itu maudhu
(palsu).’
Al-Hafizh dalam *Lisan al-Mizan* mengatakan: ‘Guru
kami menyebutkan dalam kitab *Adh-Dhayl*, bahwa Ad-Daraquthni berkata dalam
*Al-Mu’talif wal Mukhtalif*: “Ia majhul (tidak dikenal),” dan hal ini diikuti
oleh Ibnu Makula.’
Aku (Al-Albani) berkata: Temannya, Ahmad bin Harun,
menurut Adz-Dzahabi, “Ia meriwayatkan kemunkaran dari perawi-perawi terpercaya,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Adi.”
Al-Hafidz berkata: “Ibnu Hibban menyebutkannya dalam
*Ats-Tsiqat* (8/38).” Ia juga memiliki penguat, dan seluruh perawi lainnya
terpercaya sesuai syarat Imam Al-Bukhari.”
[Selesai perkataan beliau secara lengkap, rahimahullah].
Namun, hadis ini memiliki
banyak jalur lain yang membuatnya sahih.
Hadis ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *‘Amal
al-Yaum wal-Lailah* (100), Ibnu Syahin dalam *Al-Juz’ al-Khamis min al-Afraad*
(232/34), Ad-Daraquthni dalam *Al-Afraad* (263a), Ar-Ruyani dalam *Musnad*-nya
(2/311–312/1268), Ibnu Hibban dalam *Kitab Ash-Shalah al-Mufrad* (dalam *Nataij
al-Afkar* 2/280), Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam al-Kabir* (8/114/7532),
*Al-Mu’jam al-Awsath* (8/92–93/8068), *Musnad asy-Syamiyyin* (2/9/824), dan
*Ad-Du’a* (2/1104/675).
Juga oleh Asy-Syajari dalam *Al-Amali* (1/111), Ibnu
Al-‘Adim dalam *Tarikh Halab* (5/2307), Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam *Akhbar
Ashbahan* (1/354), Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam *At-Targhib fi Ad-Du’a* (81),
Ibnu Al-Jauzi dalam *Al-Maudhu’at* (1/344), Ibnu Hajar dalam *Nataij al-Afkar*
(2/278–279), Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam *Al-Ahadits al-Mukhtarah*, dan
Ad-Dimyathi dalam *Juz’-nya* (dalam *Nataij al-Afkar* 2/278–280), juga dalam
*Al-Laa’ali al-Mashnu’ah* (1/230), serta Ibnu Mardawaih dalam *Tafsir*-nya (dalam
*Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim* 1/307) dengan berbagai jalur dari Muhammad bin
Humair.
Aku (Al-Albani) berkata: Sanadnya sahih; para
perawinya terpercaya menurut syarat Al-Bukhari.
Hadis ini juga disahihkan oleh Ibnu Katsir dan
As-Suyuthi dalam *Al-Laa’ali al-Mashnu’ah* (1/230), dan oleh Syaikh kami
Al-Albani rahimahullah dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2/661–662) dengan
syarat Al-Bukhari.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ini hadis hasan
gharib.”
Beliau juga berkata dalam *An-Nukat ‘ala Ibn
ash-Shalah* (2/849): “Hadis tentang membaca ayat kursi setelah salat itu sahih;
diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban.”
Ad-Daraquthni dalam *Al-Afraad* berkata: “Hadis ini
gharib, hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Humair.”
Ibnu Hajar berkata:
"وَهُوَ مِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ
وَكَذَا شَيْخُهُ، وَقَدْ غَفَلَ أَبُو الْفَرَجِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فَأَوْرَدَ هَذَا
الْحَدِيثَ فِي «الْمَوْضُوعَاتِ» مِنْ طَرِيقِ الدَّارَقُطْنِيِّ، وَلَمْ يَسْتَدِلَّ
لِمَدَّعَاهُ إِلَّا بِقَوْلِ يَعْقُوبَ بْنِ سُفْيَانَ: مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْرٍ لَيْسَ
بِالْقَوِيِّ.
قُلْتُ: وَهُوَ جَرْحٌ غَيْرُ مُفَسَّرٍ
فِي حَقِّ مَنْ وَثَّقَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَأَخْرَجَ لَهُ الْبُخَارِيُّ."
“Ia
termasuk perawi Imam Al-Bukhari, demikian pula gurunya. Namun, Ibnu Al-Jauzi
keliru ketika memasukkan hadis ini dalam *Al-Maudhu’at* melalui jalur
Ad-Daraquthni, dan tidak memberikan alasan selain perkataan Ya’qub bin Sufyan:
‘Muhammad bin Humair tidak kuat.’
Aku [Ibnu Hajar] katakan: Ini bentuk jarh (celaan)
yang tidak dijelaskan alasannya terhadap seorang perawi yang telah ditetapkan
tsiqah oleh Yahya bin Ma’in, dan Imam Al-Bukhari meriwayatkan darinya”. [Nataa’ij
al-Afkaar 2/279]
Kalaupun diterima, hal itu tidak berarti bahwa
hadisnya palsu.
Al-Hafizh Adh-Dhiya’ juga mengingkari tindakan Ibnu
Al-Jauzi ini dan memasukkan hadis tersebut dalam *Al-Ahadits al-Mukhtarah mimma
laisa fi ash-Shahihain*.
Ibnu Abdul Hadi berkata:
لَمْ يُصِبْ أَبُو الْفَرَجِ، وَالْحَدِيثُ
صَحِيحٌ.
“Ibnu Al-Jauzi keliru; hadis ini sahih.” [di kutip
dari ‘Ajalah ar-Roghib 1/178 oleh Abu Usamah al-Hilaly dan Raudhatul
Muhadditsiin 11/333 no. 5333].
----
HADITS KE 22:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِنَّ فَاتِحَةَ
الْكِتَابِ، وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ، وَالْآيَتَيْنِ مِنْ آلِ عِمْرَانَ: {شَهِدَ اللَّهُ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ} [آل عمران: 18]، وَ {قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ}
[آل عمران: 26] إِلَى قَوْلِهِ: {وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [آل عمران:
27] مُعَلَّقَاتٌ، مَا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حِجَابٌ، لَمَّا
أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُنْزِلَهُنَّ تَعَلَّقْنَ بِالْعَرْشِ، قُلْنَ: رَبَّنَا، تُهْبِطُنَا
إِلَى أَرْضِكَ، وَإِلَى مَنْ يَعْصِيكَ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: بِي حَلَفْتُ،
لَا يَقْرَأُكُنَّ أَحَدٌ مِنْ عِبَادِي دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا جَعَلْتُ الْجَنَّةَ
مَثْوَاهُ عَلَى مَا كَانَ مِنْهُ، وَإِلَّا أَسْكَنْتُهُ حَظِيرَةَ الْقُدُسِ، وَإِلَّا
نَظَرْتُ إِلَيْهِ بِعَيْنِي الْمَكْنُونَةِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ نَظْرَةً،
وَإِلَّا قَضَيْتُ لَهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ حَاجَةً، أَدْنَاهَا الْمَغْفِرَةُ،
وَإِلَّا أَعَذْتُهُ مِنْ كُلِّ عَدُوٍّ وَنَصَرْتُهُ مِنْهُ، وَلَا يَمْنَعُهُ مِنْ
دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ "
Terjemahnya :
“Sesungguhnya surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan tiga
ayat dari surat Ali Imran yaitu:
﴿شَهِدَ اللَّهُ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴾
(Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al
Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. [QS. Al-Imran: 19])
Dan
﴿قُلِ اللَّهُمَّ
مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ
وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
(Artinya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. [QS. Al-Imran: 26])
﴿تُولِجُ اللَّيْلَ
فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾
(Engkau
masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau
keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang
hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab
(batas)". [QS. Al-Imran: 27])
adalah ayat-ayat yang tergantung (di langit); tidak
ada penghalang antara ayat-ayat itu dan Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah
hendak menurunkannya, ayat-ayat itu bergantung di ‘Arsy seraya berkata:
“Wahai Tuhan kami, apakah
Engkau akan menurunkan kami ke bumi, kepada orang-orang yang durhaka
kepada-Mu?”
Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Demi Diri-Ku, Aku
bersumpah, tidaklah seorang pun dari hamba-Ku membaca kalian setiap selesai
shalat, melainkan Aku jadikan surga sebagai tempat tinggalnya, apa pun
keadaannya. Aku tempatkan dia di taman suci, Aku pandang dia dengan pandangan
khusus-Ku setiap hari sebanyak tujuh puluh kali, Aku kabulkan baginya setiap
hari tujuh puluh kebutuhan, yang paling rendah di antaranya adalah ampunan, Aku
lindungi dia dari setiap musuh dan Aku tolong dia darinya, dan tidak ada yang
menghalanginya masuk surga kecuali kematian.”
STATUS HADITS :
Hadis ini maudhu‘ (palsu).
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam *Al-Majruhin*
(1/223), Al-Khallal dalam *Al-Amali* (26–27/14), Al-Jurqani dalam *Al-Abathil
wal Manakir* (2/277–278/682), Al-Mustaghfiri dalam *Fadha’il Al-Qur’an* (hal.
108/B), dan Ibnu Al-Jauzi dalam *Al-Maudhu‘at* (1/244) melalui berbagai jalur
dari Muhammad bin Zanbur.
Juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
*Muwaddih Awhaam Al-Jam‘ wat-Tafriq* (2/371), dan Abu Al-Husain Al-Baghawi
dalam *Ma‘alim At-Tanzil* (2/24–25) melalui jalur Muhammad bin Abi Al-Azhar
dari Al-Harits dengan sanad yang sama.
Ibnu Hibban berkata:
"مَوْضُوعٌ
لَا أَصْلَ لَهُ، وَالْحَارِثُ كَانَ مِمَّنْ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ"
“Hadis ini palsu, tidak memiliki asal, dan Al-Harits
termasuk orang yang meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi yang
terpercaya.” [*Al-Majruhin* (1/223)]
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam
*As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (2/138–139):
"وَثَّقَهُ
الْمُتَقَدِّمُونَ مِثْلُ ابْنِ مَعِينٍ وَغَيْرِهِ، لَكِنْ قَالَ الذَّهَبِيُّ فِي
«الْمِيزَانِ»: وَمَا أَرَاهُ إِلَّا بَيِّنَ الضَّعْفِ؛ فَإِنَّ ابْنَ حِبَّانَ قَالَ
فِي «الضُّعَفَاءِ»: رَوَى عَنِ الثِّقَاتِ الْأَشْيَاءَ الْمَوْضُوعَاتِ، وَقَالَ
الْحَاكِمُ: رَوَى عَنْ حُمَيْدٍ وَجَعْفَرِ الصَّادِقِ أَحَادِيثَ مَوْضُوعَةً.
زَادَ فِي «الْمُغْنِي»: قُلْتُ: أَنَا
أَتَعَجَّبُ كَيْفَ خَرَّجَ لَهُ النَّسَائِيُّ؟!
ثُمَّ سَاقَ لَهُ الذَّهَبِيُّ أَحَادِيثَ
هَذَا أَحَدُهَا، ثُمَّ قَالَ: قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: مَوْضُوعٌ لَا أَصْلَ لَهُ. وَأَقَرَّهُ
فِي «الْمِيزَانِ».
وَأَقَرَّهُ الْحَافِظُ فِي «التَّهْذِيبِ»،
وَلَكِنَّهُ قَالَ: وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ مِمَّنْ دُونَ الْحَارِثِ."
“Para ulama terdahulu seperti Ibnu Ma‘in dan lainnya
menilainya tsiqah, tetapi Adz-Dzahabi dalam *Al-Mizan* berkata: ‘Aku tidak
melihatnya kecuali sangat lemah; karena Ibnu Hibban menyebut dalam *Adh-Dhu‘afa*:
dia meriwayatkan dari orang-orang yang kuat hadis-hadis palsu.’ Al-Hakim juga
berkata: ‘Ia meriwayatkan dari Humaid dan Ja‘far Ash-Shadiq hadis-hadis yang
palsu.’ Dalam *Al-Mughni* disebutkan: ‘Aku heran bagaimana An-Nasa’i bisa
meriwayatkan darinya!’ Kemudian Adz-Dzahabi menyebutkan hadis ini sebagai salah
satu contohnya dan berkata: ‘Ibnu Hibban menilai hadis ini palsu, tidak
memiliki asal.’ Penilaian ini juga disetujui dalam *Al-Mizan*, dan dikukuhkan
oleh Al-Hafizh dalam *At-Tahdzib*; namun beliau mengatakan: ‘Yang tampak
bagiku, cacatnya bukan dari Al-Harits, tetapi dari perawi di bawahnya.’
Pendapat ini juga didukung oleh Asy-Syaikh Al-Mu‘allimi rahimahullah dalam
*At-Tankil* (2/223).”
Lalu Syeikh al-Albani
berkata :
بَلْ عَلَّتُهُ الْحَارِثُ هَذَا؛ لِأَنَّ
مَدَارَ الْحَدِيثِ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ زَنْبُورٍ عَنْهُ؟! وَابْنُ زَنْبُورٍ لَمْ
يَتَّهِمْهُ أَحَدٌ، بِخِلَافِ الْحَارِثِ، وَقَدْ أَوْرَدَهُ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي
«الْمَوْضُوعَاتِ» وَقَالَ (1/245): «تَفَرَّدَ بِهِ الْحَارِثُ، قَالَ ابْنُ حِبَّانَ:
كَانَ يَرْوِي عَنِ الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ، رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ، وَلَا أَصْلَ
لَهُ»، وَقَالَ ابْنُ خُزَيْمَةَ: «الْحَارِثُ كَذَّابٌ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا الْحَدِيثِ».
ا. هـ
“Bahkan cacat hadis ini ada pada Al-Harits itu
sendiri, karena sanad hadis ini berputar pada Muhammad bin Zanbur darinya! Dan
tidak ada seorang pun yang menuduh Ibn Zanbur, berbeda dengan Al-Harits. Ibnu
Al-Jauzi telah mencantumkannya dalam kitab *Al-Maudhu‘at* dan berkata (1/245):
“Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Al-Harits. Ibnu Hibban berkata: ‘Ia
meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi terpercaya. Ia meriwayatkan
hadis ini, padahal tidak ada asalnya.’ Ibnu Khuzaimah berkata: ‘Al-Harits
adalah pendusta, dan hadis ini tidak memiliki asal.’” (Selesai perkataan
al-Albani).
Al-Jurqani berkata:
«هَذَا حَدِيثٌ بَاطِلٌ؛
تَفَرَّدَ بِهِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ»
“Hadis ini batil; diriwayatkan secara tunggal dari
Ja‘far bin Muhammad oleh Al-Harits bin ‘Umair.”
Kemudian ia menyebutkan ucapan Ibnu Khuzaimah di atas
dalam kritik terhadap hadis ini.
Al-Baghawi berkata:
«رَوَاهُ الْحَارِثُ
بْنُ عُمَيْرٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ».
“Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Harits bin ‘Umair, dan
ia adalah perawi yang lemah.”
«وَقَدْ صَرَّحَ
بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ ابْنُ حِبَّانَ وَابْنُ الْجَوْزِيِّ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِبَعِيدٍ
عِنْدِي».
Asy-Syaukani berkata dalam *Al-Fawaid Al-Majmu‘ah*
(hal. 297): “Ibnu Hibban dan Ibnu Al-Jauzi telah dengan tegas menyatakan bahwa
hadis ini palsu, dan menurutku hal itu memang tidak jauh (benar adanya).”
Penulis katakan :
Namun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
*Al-Majlis Al-‘Asyir min Ashl Al-Amali*, sebagaimana disebutkan dalam *Nataij
Al-Afkar* (2/280) – dan dikutip darinya oleh Ibnu ‘Iraq dalam *Tanzih
Asy-Syari‘ah* (1/288), serta Al-Fatni dalam *Tazkirah Al-Maudhu‘at* (hal. 79) –
dengan lafaz:
"لَمْ نَرَ
لِلْمُتَقَدِّمِينَ فِيهِ طَعْنًا، بَلْ أَثْنَى عَلَيْهِ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، وَوَثَّقَهُ
ابْنُ مَعِينٍ وَأَبُو حَاتِمٍ، وَالنَّسَائِيُّ، وَأَخْرَجَ لَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ،
وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي «الضُّعَفَاءِ»؛ فَأَفْرَطَ فِي تَوْهِينِهِ، وَبَقِيَّةُ
رِجَالِهِ جَلِيلُونَ، إِلَّا أَنَّ فِي الْإِسْنَادِ اِنْقِطَاعًا، وَقَدْ أَفْرَطَ
ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي حُكْمِهِ بِوَضْعِهِ، وَلَعَلَّهُ اِسْتَعْظَمَ ثَوَابَهُ،
وَإِلَّا فَحَالُ رُوَاتِهِ كَمَا تَرَى." ا. هـ.
“Kami tidak menemukan adanya celaan dari ulama terdahulu
terhadapnya (Al-Harits), bahkan Hammad bin Zaid memujinya, Ibnu Ma‘in, Abu
Hatim, dan An-Nasa’i menilainya tsiqah. Para penulis kitab Sunan juga
meriwayatkan darinya. Ibnu Hibban memang mencantumkannya dalam *Adh-Dhu‘afa*
dan sangat berlebihan dalam melemahkannya. Para perawi lainnya adalah
orang-orang yang mulia, hanya saja dalam sanadnya terdapat keterputusan. Ibnu
Al-Jauzi telah berlebihan dalam menghukumi hadis ini sebagai palsu; mungkin
karena ia menganggap ganjaran yang disebutkan di dalamnya terlalu besar. Jika
tidak, maka keadaan para perawinya seperti yang engkau lihat.” Selesai.
As-Suyuthi juga mengatakan hal yang serupa dalam *Al-La’ali Al-Mashnu‘ah* (1/229–230).
----
HADITS KE 23 :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
"ثَلاثٌ مَن
كُنَّ فِيهِ وَاحِدَةٌ مِنهُنَّ زُوِّجَ مِنَ الحُورِ العِينِ حَيْثُ شَاءَ: رَجُلٌ
اؤتُمِنَ عَلَى أَمَانَةٍ خَفِيَّةٍ شَهِيَّةٍ فَأَدَّاهَا مِنْ مَخَافَةِ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ، وَرَجُلٌ عَفَا عَنْ قَاتِلِهِ، وَرَجُلٌ قَرَأَ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ}
فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرَ مَرَّاتٍ"
“Tiga perkara; siapa yang salah satunya ada padanya,
maka ia akan dikawinkan dengan seorang bidadari di surga sesuai yang ia
kehendaki: seorang laki-laki yang diberi amanah terhadap sesuatu yang
tersembunyi dan menggoda, lalu ia menunaikannya karena takut kepada Allah ‘Azza
wa Jalla; seorang laki-laki yang memaafkan pembunuhnya; dan seorang laki-laki
yang membaca *Qul huwallahu ahad* sepuluh kali setiap selesai shalat.”
STATUS HADITS :
Hadis ini sangat lemah sanadnya. Diriwayatkan oleh
Al-Khallal dalam *Fadhail Surah Al-Ikhlas* (51/13) melalui jalur Muhammad bin
Harun Al-Hadhrami.
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam
*As-Silsilah Adh-Dha‘ifah* (2/108):
"وَهَذَا أَشَدُّ
ضَعْفًا مِنْ سَابِقِهِ: الأَنْصَارِيُّ مَجْهُولٌ، وَالخَلِيلُ بْنُ مُرَّةَ ضَعِيفٌ
جِدًّا، وَعَمْرُو بْنُ خَالِدٍ كَذَّابٌ" أ. هـ.
“Hadis ini lebih lemah dari yang sebelumnya:
Al-Anshari tidak dikenal, Al-Khalil bin Murrah sangat lemah, dan Amr bin Khalid
adalah pendusta.”
Aku (penulis) berkata: Amr bin Khalid yang pendusta itu tidak terdapat dalam sanad Ibnus Sunni sebagaimana dalam *naskah asli tulisan tangan*, tetapi hanya kesalahan dalam *versi cetak*. Yang benar adalah Umar bin Khalid Ar-Raqqi, karena dialah yang disebut dalam jalur periwayatan dari Al-Khalil bin Murrah. Selain itu, Sulaiman adalah anak dari Umar bin Khalid Ar-Raqqi, bukan anak dari Amr bin Khalid sebagaimana dijelaskan dalam *Tahdzib Al-Kamal* (8/343).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam *Tarikh
Dimasyq* (17/274/1) melalui jalur Hammad bin Abdurrahman, dari Ismail bin
Ibrahim Al-Anshari dengan sanad yang sama.
Syaikh al-Albani berkata dalam *Adh-Dha‘ifah* (2/108):
"إِلَّا أَنَّ
حَمَّادًا هَذَا مِمَّا لَا يُفْرَحُ بِمُتَابَعَتِهِ؛ قَالَ أَبُو زُرْعَةَ:
"يَرْوِي أَحَادِيثَ مُنَاكِيرَ"، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: "شَيْخٌ مَجْهُولٌ،
مُنْكَرُ الحَدِيثِ ضَعِيفٌ"" أ. هـ.
“Namun Hammad ini tidak dapat dijadikan penguat,
karena Abu Zur‘ah berkata: ‘Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar.’ Abu Hatim juga
berkata: ‘Ia seorang syaikh yang tidak dikenal, hadisnya munkar dan lemah.’”
Hadis ini memiliki dua
syahid (penguat):
Pertama, hadis dari Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dengan makna serupa. Diriwayatkan oleh Abu
Ya‘la dalam *Musnad*-nya (3/332/1794), darinya pula Ibnu Hajar dalam *Nataij
Al-Afkar* (2/277–278), At-Thabrani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (3/347/3361) dan
*Ad-Du‘a* (2/1103/673), Abu Muhammad Al-Jauhari dalam *Al-Fawaid Al-Muntaqah*
(4/2), dan Abu Muhammad Al-Khallal dalam *Fadhail Surah Al-Ikhlas* (hal. 53)
dari Umar bin Nabhan, dari Abu Syaddad, dari Jabir dengan makna yang serupa.
At-Thabrani berkata: “Hadis ini tidak diriwayatkan
kecuali dengan sanad ini.”
Ibnu Hajar berkata:
"هَذَا حَدِيثٌ
غَرِيبٌ؛ وَأَبُو شَدَّادٍ لَا يُعْرَفُ اسْمُهُ وَلَا حَالُهُ، وَالرَّاوِي عَنْهُ
أَخْرَجَ لَهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَهُ جَمَاعَةٌ" أ. هـ.
“Hadis ini gharib. Abu Syaddad tidak diketahui nama
maupun keadaannya, dan perawi yang meriwayatkan darinya —yang juga diriwayatkan
oleh Abu Dawud— dinilai lemah oleh banyak ulama.”
Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (10/102):
"رَوَاهُ أَبُو
يَعْلَى، وَفِيهِ عُمَرُ بْنُ نُبْهَانَ وَهُوَ مَتْرُوكٌ".
“Diriwayatkan oleh Abu Ya‘la, dan di dalamnya terdapat
Umar bin Nabhan yang ditinggalkan (matruk).”
Al-Mundziri juga melemahkannya dalam *At-Targhib
wat-Tarhib* (3/208).
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
"وَهُوَ ضَعِيفٌ
جِدًّا؛ عُمَرُ بْنُ نُبْهَانَ، قَالَ ابْنُ مَعِينٍ: "لَيْسَ بِشَيْءٍ"،
وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الضُّعَفَاءِ" (2/90): "يَرْوِي الْمَنَاكِيرَ
عَنِ الْمَشَاهِيرِ فَاسْتَحَقَّ التَّرْك"، وَأَبُو شَدَّادٍ لَمْ أَعْرِفْهُ"
أ. هـ.
“Hadis ini sangat lemah; Umar bin Nabhan menurut Ibnu
Ma‘in ‘tidak ada nilainya,’ dan Ibnu Hibban berkata dalam *Adh-Dhu‘afa* (2/90):
‘Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari para perawi terkenal, maka ia pantas
ditinggalkan.’ Adapun Abu Syaddad, aku tidak mengenalnya.”
Kedua, dari Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha dengan makna serupa. Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam
*Al-Mu‘jam Al-Kabir* (23/945) dan Ad-Dainuri dalam *Al-Mujalasah* (4/352/1487)
melalui jalur Rawwad bin Al-Jarrah, dari Muhammad bin Muslim, dari Abdullah bin
Al-Hasan, dari Ummu Salamah secara marfu’.
Aku katakan :
Sanad ini lemah, karena Abdullah bin Al-Hasan tidak
bertemu dengan Ummu Salamah, dan Abdullah bin Muslim (atau dalam riwayat
Ad-Dainuri disebut Muhammad bin Muslim) tidak diketahui.
Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (9/302):
“Diriwayatkan oleh At-Thabrani, dan di dalam sanadnya ada sejumlah perawi yang
tidak aku kenal.”
Rawwad bin Al-Jarrah juga lemah (dho’if). Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata:
"صَدُوقٌ اخْتَلَطَ
بِآخِرَةٍ؛ فَتُرِكَ".
“Ia seorang yang jujur, tetapi pada akhir hidupnya mengalami
kekacauan hafalannya sehingga ditinggalkan.”
Syaikh al-Albani juga melemahkannya dalam
*Adh-Dha‘ifah* (3/437/1276).
Secara keseluruhan, hadis ini sangat lemah sekali, dan semua jalur serta penguatnya tidak dapat dijadikan sandaran. Wallahu a’lam.
****
DALIL DZIKIR BERSAMA SETELAH SHALAT DAN LAINNYA :
---
HADITS KE 1:
Dari Al-A’masy, ia berkata:
اخْتَلَفُوا فِي الْقَصَصِ فَأَتَوْا
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالُوا: أَكَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَقُصُّ فَقَالَ: إِنَّمَا
بُعِثَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِالسَّيْفِ وَلَكِنٍ قَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَأَنْ
" أَذْكُرَ اللهَ مَعَ قَوْمٍ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى طُلُوعِ
الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا، وَمَا فِيهَا وَلَأَنْ أَذْكُرَ اللهَ
مَعَ قَوْمٍ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا "
Orang-orang berselisih pendapat tentang kisah-kisah
(ceramah atau peng-kisah-an setelah shalat), lalu mereka mendatangi Anas bin
Malik dan berkata: “Apakah Rasulullah ﷺ pernah bercerita (menyampaikan kisah)?”
Anas menjawab: “Rasulullah ﷺ diutus dengan membawa pedang. Akan tetapi,
aku pernah mendengarnya bersabda: ‘Sungguh, duduk berzikir kepada Allah bersama
suatu kaum setelah shalat Subuh hingga matahari terbit lebih aku sukai daripada
dunia dan segala isinya. Dan duduk berzikir kepada Allah bersama suatu kaum
setelah shalat Asar hingga matahari terbenam lebih aku sukai daripada dunia dan
segala isinya.’”
[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 2/86 no. 555]
Hadits ini disebutkan pula oleh as-Suythi dalam kitab
*Al-Jami‘ Ash-Shaghir* nomor 7199, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’ab
Al-Iman* dari Anas, dan diberi tanda derajat hasan.
Dan hadits ini nilai hasan sanadnya oleh Ibnu Hajar
al-Haitsami dalam al-Majma’ 10/105 dan oleh al-Manawi dalam at-Taysiir Bi Syarh
al-Jami’ ash-Shaghir 2/282.
Dan Al-Manawi dalam Faidhul Qodir 5/254 no. 7199 berkata:
"رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ
فِي الشُّعَبِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ الْهَيْثَمِيُّ: سَنَدُهُ حَسَنٌ ا.هـ،
وَمِنْ ثَمَّ رَمَزَ الْمُصَنِّفُ لِحُسْنِهِ، وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي السُّنَنِ
الْكُبْرَى مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ أَنَسٍ بِاخْتِصَارٍ، وَتَعَقَّبَهُ
الذَّهَبِيُّ فِي الْمُهَذَّبِ بِأَنَّ يَزِيدَ وَاهٍ".
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu’ab
Al-Iman* dari Anas bin Malik.” Al-Haitsami berkata: “Sanadnya hasan.” Karena
itu, penulis memberi simbol hasan. Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam
*As-Sunan Al-Kubra* dari hadits Yazid Ar-Raqasyi dari Anas dengan redaksi yang
ringkas. Namun, Adz-Dzahabi dalam *Al-Muhadzdzab* mengkritiknya dengan
mengatakan bahwa Yazid adalah perawi yang lemah”. [Selesai]
[Lihat pula : al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 55].
Yazid yang dimaksud di sini , ia adalah Yazid bin Aban
Ar-Raqasyi.
An-Nasa’i berkata: “Ia matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Ahmad berkata: “Yazid munkar haditsnya.” Ibnu Ma’in berkata: “Dalam haditsnya
ada kelemahan.” Ad-Daruquthni dan ulama lainnya juga berkata: “Ia lemah.”
Al-Fallasi berkata: “Ia tidak kuat.”
(Sumber: *Adh-Dhu‘afa* karya An-Nasa’i, no. 142,
halaman 110).
Syeikh Al-Albani menilai nya DHO’IF dalam
*Dha’if Al-Jami’* (no. 4636) serta dalam *As-Silsilah Adh-Dha’ifah* (no. 2298).
---
HADITS KE 2 :
Dari Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda :
لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ
اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ
يَذْكُرُونَ اللهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً.
Duduk bersama suatu kaum yang berzikir kepada Allah
Ta‘ala mulai dari shalat Subuh hingga matahari terbit lebih aku sukai daripada
memerdekakan empat orang dari keturunan Ismail. Dan duduk bersama suatu kaum
yang berzikir kepada Allah mulai dari shalat Asar hingga matahari terbenam
lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang.
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3667) dengan lafaz ini,
juga oleh Abu Ya’la (3392), dan Ath-Thabrani dalam *al-Mu‘jam al-Awsath*
(6022).
Hadits ini dinilai Hasan
oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 3667].
----
HADITS KE 3:
Dari Abu Sa’id al-Khudry dan Abu Hurairah bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda :
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ
عليهمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَن عِنْدَهُ.
Tidaklah suatu kaum duduk bersama untuk berzikir
kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, melainkan para malaikat akan
mengelilingi mereka, rahmat akan meliputi mereka, ketenangan akan turun kepada
mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di
sisi-Nya. [HR. Muslim no. 2700]
Lafadz Ibnu Majah :
ما جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ
اللَّهَ فِيهِ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
Tidaklah suatu kaum duduk bersama dalam suatu majelis
untuk berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat akan mengelilingi mereka,
rahmat akan menaungi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, dan Allah
akan menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.
[HR. Ibnu Majah no. 3073. Dinilai hasan sanadnya oleh
al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah].
****
PENDAPAT KEDUA:
DI SUNNAHKAN BERDZIKIR
DENGAN SUARA PELAN DAN LIRIH
Madzab Syafi’i dan Hanbali berpendapat: hal itu tidak
disyariatkan kecuali bagi seorang imam yang ingin agar orang lain belajar
darinya. Maka imam boleh mengeraskan zikir sampai ia mengetahui bahwa para
jamaah telah mempelajarinya, kemudian setelah itu ia melirihkannya.
Dan ini juga merupakan pendapat sebagian madzab Maliki,
serta sebagian ulama Hanafi.
[lihat : Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/666; Hasyiyah
Ath-Thahthawi, hlm. 214, Al-Madkhal karya Ibnu al-Hajj, 2/276), Al-Majmu’ karya
An-Nawawi, 3/487; dan Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 1/150].
Dan ada sebagian para ulama yang menukil pendapat ini dari
mayoritas para ulama.
Ibnu Rajab juga berkata:
(وَحُكِيَ عَنْ أَكْثَرِ
الْعُلَمَاءِ خِلَافُ ذَلِكَ، وَأَنَّ الْأَفْضَلَ الْإِسْرَارُ بِالذِّكْرِ).
“Mayoritas ulama berpendapat sebaliknya, bahwa yang afdhol
(lebih utama) adalah melirihkan zikir.” (Fath al-Bari, 5/235).
An-Nawawi berkata:
(نَقَلَ ابْنُ بَطَّالٍ
وَآخَرُونَ أَنَّ أَصْحَابَ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعَةِ وَغَيْرَهُمْ مُتَّفِقُونَ
عَلَى عَدَمِ اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِيرِ).
“Ibnu Baththal dan lainnya menukil bahwa para pengikut
madzab-madzab yang mu’tabar dan selain mereka sepakat tidak disunnahkan
mengeraskan suara dalam zikir dan takbir.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 5/84;
lihat juga Al-Furu’ karya Ibnu Muflih, 2/231).
Ibnu Baththal berkata:
(وَلَمْ أَجِدْ مِنَ
الْفُقَهَاءِ مَنْ يَقُولُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ إِلَّا مَا ذَكَرَهُ ابْنُ
حَبِيبٍ فِي الْوَاضِحَةِ، قَالَ: يُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ فِي الْعَسَاكِرِ وَالثُّغُورِ
بِأَثَرِ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ تَكْبِيرًا عَالِيًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَهُوَ
قَدِيمٌ مِنْ شَأْنِ النَّاسِ).
“Aku tidak menemukan seorang pun dari kalangan fuqaha
yang mengatakan seperti isi hadits (tentang mengeraskan zikir setelah shalat),
kecuali apa yang disebutkan oleh Ibnu Habib dalam kitab Al-Wadhihah:
disunnahkan bertakbir di barisan tentara dan di perbatasan negeri setelah
shalat Subuh dan Isya dengan suara keras sebanyak tiga kali. Dan ini merupakan
kebiasaan lama manusia.” (Syarh Shahih al-Bukhari, 2/458).
An-Nafrawi berkata:
(اُخْتُلِفَ: هَلِ
الأَفْضَلُ فِي الأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ السِّرُّ أَوِ الْجَهْرُ؟
قَالَ بَعْضُهُمْ: يُسْتَحَبُّ رَفْعُ
الصَّوْتِ بِهَا لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
"كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ"،
وَفِي مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ الزُّبَيْرِ:
"كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ بِصَوْتِهِ:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ،
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ
الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ".
وَحَمَلَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ الْحَدِيثَ عَلَى أَنَّهُ جَهَرَ زَمَنًا يَسِيرًا حَتَّى عَلَّمَهُمْ صِفَةَ
الذِّكْرِ لَا أَنَّهُ دَاوَمَ عَلَى الْجَهْرِ، فَاخْتَارَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ
إِخْفَاءَ الذِّكْرِ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ الْإِمَامُ بِرَفْعِ صَوْتِهِ تَعْلِيمَ
الْجَمَاعَةِ أَوْ إِعْلَامَهُمْ،
قُلْتُ: وَفِي كَلَامِ أَئِمَّتِنَا فِي
التَّكْبِيرِ الْمَطْلُوبِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ مَا يُوَافِقُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ؛
لِأَنَّهُمْ عَدُّوا رَفْعَ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ بِدْعَةً).
“Terjadi perbedaan pendapat apakah yang lebih utama
dalam zikir-zikir yang disyariatkan setelah shalat adalah secara pelan atau
keras?
Sebagian ulama berkata: disunnahkan mengeraskan suara
ketika berzikir.
Ini berdasarkan dalil hadits sahih dari Ibnu Abbas
dalam Shahihain, ia berkata: ‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah ﷺ dengan takbir.’
Dan dalam Shahih Muslim dari Zubair disebutkan:
‘Rasulullah ﷺ apabila
selesai dari shalatnya, beliau mengucapkan dengan suaranya:
“Laa ilaaha illallaah
wahdahu laa syariika lah, lahul mulku walahul hamdu, wahuwa ‘alaa kulli syai’in
qadiir, laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim, laa ilaaha
illallaah, wa laa na’budu illaa iyyah, lahun ni’mah walahul fadhl
walahuts-tsanaa’ul hasan, laa ilaaha illallaahu mukhlishiina lahud-diina walau
karihal kaafiruun”.’
(Artinya : Tidak ada tuhan yang berhak disembah
selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya
segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali
kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, milik-Nya segala keutamaan, dan milik-Nya
segala pujian yang indah. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah
dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya).
Imam Syafi’i rahimahullah menafsirkan hadits ini bahwa
Nabi ﷺ mengeraskan
zikirnya dalam waktu yang singkat untuk mengajarkan tata cara zikir kepada para
sahabat, bukan berarti beliau terus-menerus melakukannya dengan keras.
Karena itu, Imam Syafi’i memilih agar imam dan makmum
melirihkan zikir, kecuali bila imam bermaksud mengeraskan suaranya untuk
mengajarkan jamaah atau memberi tahu mereka.
Aku (an-Nafrawi) berkata: Dalam perkataan para ulama
kami mengenai takbir hari raya, terdapat kesesuaian dengan pendapat Syafi’i,
karena mereka menilai mengeraskan suara dalam takbir sebagai hal yang bid’ah.”
(Al-Fawakih ad-Dawani, 1/492; lihat juga Al-Madkhal karya Ibnu al-Hajj, 2/276).
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Mardawi dari
madzhab Hanbali. Ia berkata:
(قُلْتُ: الصَّوَابُ
الإِخْفَاتُ فِي ذَلِكَ، وَكَذَا كُلُّ ذِكْرٍ).
“Menurutku, yang benar adalah melirihkan bacaan zikir,
demikian pula semua jenis zikir lainnya.” (Tashhih al-Furu’, 2/231).
Sebagian orang mungkin merasa bingung dengan pendapat
madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa sunnah dalam berzikir setelah shalat
—baik tahlil, takbir, maupun tasbih— adalah dilakukan dengan suara lirih
(pelan), bukan dikeraskan. Dan tidak disunnahkan untuk mengeraskan zikir
kecuali oleh imam sesekali, dengan tujuan mengajarkan zikir tersebut kepada
jamaah. Maka dalam konteks ini, tidak mengapa imam mengeraskan zikirnya untuk
tujuan pengajaran. Setelah jamaah belajar, zikir itu kembali dilakukan dengan
lirih sebagaimana sunnah.
Dalam kitab *Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah*
halaman 245 dari kitab-kitab madzhab Syafi’i disebutkan:
"يُسِرُّ كُلُّ
مُصَلٍّ بِالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ، إِلَّا الإِمَامَ الْمُرِيدَ تَعْلِيمَ الْحَاضِرِينَ...
فَيَجْهَرُ؛ أَيْ: بِكُلٍّ مِنْهُمَا إِلَى أَنْ يَتَعَلَّمُوا فَيُسِرَّ، وَعَلَيْهِ
حَمَلَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُ أَحَادِيثَ الْجَهْرِ"
“Setiap orang yang shalat hendaknya melirihkan zikir
dan doanya, kecuali imam yang ingin mengajarkan kepada jamaah yang hadir, maka
ia boleh mengeraskan suara dalam keduanya hingga mereka belajar, setelah itu
hendaklah ia melirihkannya. Atas dasar inilah Imam Syafi’i dan para sahabatnya
menafsirkan hadits-hadits tentang zikir dengan suara keras.”
Da’iratul Iftaa al-‘Aam -Jordania dalam fatwa no. 3868
(24-04-2024) mengatakan :
وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الإِشْكَالِ
أَنَّ الْمَسَاجِدَ الْيَوْمَ لَا تَخْلُو عَادَةً مِنْ مُصَلٍّ جَدِيدٍ لَمْ يَتَعَلَّمْ
أَحْكَامَ الذِّكْرِ الْمَشْرُوعِ بَعْدَ الصَّلَاةِ؛ فَلَا حَرَجَ فِي جَهْرِ الإِمَامِ
بِالذِّكْرِ مُطْلَقًا – بَعْدَ كُلِّ صَلَاةٍ – لِتَعْلِيمِ النَّاسِ.
Jawaban atas kebingungan tersebut adalah bahwa
masjid-masjid di masa kini hampir tidak pernah sepi dari orang-orang baru yang
belum mengetahui tata cara zikir yang disyariatkan setelah shalat. Oleh karena
itu, tidak mengapa imam mengeraskan zikirnya secara umum setelah setiap shalat
sebagai bentuk pengajaran bagi jamaah.
====
DALIL PENDAPAT KEDUA :
---
MACAM DALIL PERTAMA: DARI AL-QUR’AN :
KE 1. Firman Allah:
﴿قُلِ ادْعُوا اللَّهَ
أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا﴾
" Katakanlah: "Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu" " [Al-Isra: 110]
Makna dalil: Allah melarang
untuk mengeraskan suara dalam doa.
KE 2. Firman Allah secara umum:
﴿ادْعُوا رَبَّكُمْ
تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan
suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas [QS. Al-A’raf: 55]
Allah memerintahkan agar berdoa dengan penuh kerendahan
hati dan suara lirih.
KE 3. Firman Allah secara umum:
﴿وَاذْكُر رَّبَّكَ
فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ
وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ﴾
" Dan sebutlah (nama) Tuhanmu
dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai”. [QS. Al-Araf: 205]
Allah memerintahkan agar mengingat-Nya dalam hati
dengan penuh kerendahan hati dan rasa takut.
----
MACAM DALIL KE DUA: DARI HADITS
Hadits larangan berdzikir dengan suara nyaring dan keras
dalam melakukan perjalanan atau berkendara.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَكُنَّا
إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ، هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا،
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ
لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ،
تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»
“Kami bersama Rasulullah ﷺ, dan ketika Maka ketika kami sampai di
tepi sebuah lembah, kami bertakbir dan bertahlil sehingga suara kami terdengar keras
(tinggi dan berisik). Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Hai manusia, bersikaplah tenang terhadap dirimu,
karena kalian tidak berdoa kepada Dzat tuli atau yang jauh. Sesungguhnya Dia
bersama kalian, Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat, Maha Suci nama-Nya dan Maha
Tinggi keagungan-Nya.’”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2992) dan ini adalah
haditsnya, dan juga oleh Muslim (2704)]
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 17/26 berkata:
"فِيهِ
النَّدْبُ إِلَى خَفْضِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ إِذَا لَمْ تَدْعُ حَاجَةٌ إِلَى
رَفْعِهِ فَإِنَّهُ إِذَا خَفَضَهُ كَانَ أَبْلَغَ فِي تَوْقِيرِهِ وَتَعْظِيمِهِ فان
دعت حاجةالى الرَّفْعِ رَفَعَ كَمَا جَاءَتْ بِهِ أَحَادِيثُ".
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk merendahkan
suara dalam dzikir jika tidak ada keperluan untuk meninggikan suaranya. Karena dengan
merendahkan suara dzikir itu akan lebih terasa khidmat dalam penghormatan.
Namun jika ada keperluan untuk mengangkat suara, maka dibolehkan sebagaimana
disebutkan dalam hadits-hadits lainnya”.
Lafadz Riwayat lain: Dari Abu Musa, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزَاةٍ،
فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ فِي وَادٍ
إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ، قَالَ: فَدَنَا مِنَّا رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ
لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا»
ثُمَّ قَالَ: «يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً هِيَ مِنْ
كُنُوزِ الجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»
“Kami bersama Rasulullah ﷺ dalam peperangan, maka tidaklah kami naik lembah
atau kami turun lembah kecuali kami melengkingkan (meninggikan) suara kami dengan
takbir. Lalu Rasulullah ﷺ mendekati
kami dan bersabda: ‘Hai manusia, bersikaplah tenang terhadap dirimu, karena
kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli atau yang jauh, kalian berdoa kepada
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’
Kemudian beliau bersabda: ‘Hai Abdullah bin Qais,
maukah aku mengajarkan kepadamu satu kalimat dari harta surga: Tidak ada daya
dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(6610)
Dan lafadz riwayat lain: Dari Abu Musa, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزَاةٍ،
فَرَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا فَدَنَا مِنَّا، فَقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّمَا
تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، وَإِنَّ الَّذِي تَدْعُونَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ
مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِكُمْ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلَا أُعَلِّمُكَ
كَلِمَةً هِيَ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
"
Kami berada bersama Rasulullah ﷺ dalam sebuah peperangan, lalu kami
meninggikan suara kami, maka beliau mendekat kepada kami dan berkata:
"Hai manusia, jagalah diri kalian, karena kalian
tidak memanggil orang tuli atau orang yang jauh, melainkan kalian memanggil
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian doakan itu
lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher untanya.
Kemudian beliau ﷺ bersabda : 'Hai Abdullah bin Qais, tidakkah aku ajarkan
kepadamu sebuah kalimat yang termasuk harta karun surga: Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan Allah'."
[Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Bahr Al-Zakhar
19/8 No. 2990].
Dalam lafadz Musnad Abu Ya’la 13/231 nomor 7252:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي سَفَرٍ،
فَكَانَ الْقَوْمُ إِذَا عَلَوْا شَرَفًا كَبَّرُوا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَيُّهَا
النَّاسُ ارْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ
وَلَا غَائِبًا، وَلَكِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا»
Dari Abu Musa, ia berkata: “Kami bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Ketika
orang-orang menaiki dataran tinggi, mereka mengucapkan takbir. Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Hai manusia, jagalah diri
kalian, karena kalian tidak memanggil orang tuli atau orang yang jauh, tetapi
kalian memanggil Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.’”
Makna dalilnya:
Dalam hadits-hadits tersebut terdapat larangan meninggikan
suara dalam doa dan dzikir.
----
MACAM DALIL KE TIGA : LOGIKA
Pertama : Mengangkat suara dalam dzikir dapat
menimbulkan gangguan bagi orang yang sedang shalat.
Kedua : Berzikir secara israr (tidak meninggikan
suara) lebih mendekatkan kepada keikhlasan dan lebih dekat kepada terkabulnya
doa.
Ketiga :
Hadits-hadits tentang menjadikan suara keras dalam
dzikir setelah shalat sesungguhnya hanya untuk tujuan pendidikan atau
pengajaran.
****
PENDAPAT KETIGA :
TIDAK BOLEH (HARAM & BID’AH)
BERDZIKIR SETELAH SHALAT DENGAN MENGERASKAN SUARA
Ini adalah pendapat Syeikh al-Albani. Beliau berkata :
الثَّابِتُ فِي السُّنَّةِ أَنَّهُ لَا
يَجُوزُ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ؛ لِمَا يَتَرَتَّبُ مِنْ وَرَاءِ ذَلِكَ مِنَ
التَّشْوِيشِ.
“Yang tetap dalam sunnah adalah bahwa tidak boleh (haram
hukumnya) mengeraskan suara dalam berzikir, karena hal itu menimbulkan gangguan
(suara yang mengacaukan orang lain).” (Maktabah Silsilah al-Huda wan-Nur, kaset
nomor 428).
Pernyataan al-Kalabadzy :
Al-Kalabadzi dalam kitab *Bahr al-Fawaid (Ma‘ani
al-Akhbar)* halaman 273 dan setelahnya meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " إِنَّ
مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ سَأَلَ رَبَّهُ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَبِّ أَبَعِيدٌ
أَنْتَ فَأُنَادِيَكَ، أَمْ قَرِيبٌ فَأُنَاجِيَكَ؟ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ: يَا
مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي ".
“Sungguh, Musa bin
Imran berdoa kepada Tuhannya sambil mengangkat kedua tangannya dan berkata:
‘Wahai Tuhanku, apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu, ataukah
Engkau dekat sehingga aku dapat bermunajat kepada-Mu?’ Maka Allah mewahyukan
kepadanya: ‘Wahai Musa bin Imran, Aku adalah teman duduk bagi orang yang
mengingat-Ku.’”
Lalu Al-Kalabadzi berkata :
قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَجُوزُ
أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: «أَبَعِيدٌ أَنْتَ فَأُنَادِيَكَ» عَلَى
مَعْنَى الِاسْتِرْشَادِ فِي الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ مِنْ جِهَةِ الْجَهْدِ وَالْإِخْفَاءِ،
وَلَيْسَ عَلَى مَعْنَى الْبُعْدِ الَّذِي هُوَ الْغَيْبَةُ، أَوْ بُعْدُ الْمَسَافَةِ،
وَلَا عَلَى الْقُرْبِ الَّذِي هُوَ الْحُضُورُ وَالْجُهُودُ بِمَعْنَى الْحُلُولِ،
تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا، وَحَاشَى كَلِيمَهُ الْمَعْنِيَّ
فِي رُتْبَتِهِ الْمُصْطَفَى مِنْ بَرِيَّتِهِ أَنْ يَخْطُرَ بِبَالِهِ مَا لَا يَجُوزُ
عَلَى اللَّهِ تَعَالَى، أَوْ أَنْ يَصِفَهُ بِصِفَاتِ الْمُحْدَثِينَ، فَكَأَنَّهُ
عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُولُ: أَدْعُوكَ إِذَا دَعَوْتُكَ رَافِعًا صَوْتِي بِالنِّدَاءِ،
جَاهِرًا بِالدُّعَاءِ، كَمَا يُخَاطَبُ مَنْ هُوَ بَعِيدٌ، وَيُنَادَى مَنْ هُوَ غَائِبٌ،
إِذَا دَعَوْتُكَ خَافِضًا صَوْتِي مُخَافِتًا فِي دُعَائِي، كَمَا يُخَاطَبُ الْقَرِيبُ،
وَيُدْعَى الْمُنَاجَى، قَالَ اللَّهُ لَهُ: «أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي»
كَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: ادْعُنِي دُعَاءَ
الْمَرْءِ جَلِيسَهُ، وَالْجَلِيسُ لَا يُنَادَى جَهْرًا، وَلَا يُخَافَتُ سِرًّا،
كَأَنَّهُ يَقُولُ لَهُ: اجْعَلْ دُعَاءَكَ لِي بَيْنَ الْمُخَافَتَةِ وَالْجَهْرِ
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ
مُحَمَّدٍ ﷺ: «أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ
أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا»
Syaikh rahimahullah berkata: Boleh jadi ucapan beliau
‘apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu’ bermakna permohonan petunjuk
dalam cara berdoa dan berzikir, apakah dengan suara keras atau dengan suara
lembut. Bukan dalam arti jauh yang bermakna ghaib atau jauh dalam jarak, dan
bukan pula dekat dalam arti hadir secara fisik atau dekat dalam makna
keberadaan secara hakiki, Maha Tinggi Allah dari hal itu setinggi-tingginya.
Dan mustahil bagi seorang Nabi yang Allah ajak
berbicara langsung (Musa) yang memiliki kedudukan istimewa di antara
makhluk-Nya, terlintas dalam pikirannya sesuatu yang tidak layak bagi Allah
Ta’ala, atau menyifati-Nya dengan sifat makhluk.
Seolah-olah beliau (Musa) berkata:“Aku berdoa kepada-Mu
dengan suara keras dan lantang, sebagaimana seseorang berbicara kepada yang
jauh dan menyeru orang yang tidak hadir. Ataukah aku berdoa kepada-Mu dengan
suara lembut dan pelan, sebagaimana seseorang berbicara kepada yang dekat dan
bermunajat kepada teman duduknya?”
Maka Allah berfirman kepadanya: “Aku adalah teman
duduk bagi orang yang mengingat-Ku.”
Seakan-akan Allah berfirman kepadanya: “Berdoalah
kepada-Ku sebagaimana seseorang berdoa kepada teman duduknya. Teman duduk tidak
dipanggil dengan suara keras, dan tidak pula diseru dengan suara yang terlalu
pelan.”
Dengan kata lain, “Jadikan doamu kepada-Ku di antara
suara yang terlalu keras dan suara yang terlalu pelan.”
Dan sungguh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah
berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ: “Wahai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya
kalian tidak sedang menyeru Dzat yang tuli dan tidak pula yang ghaib, tetapi
kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kemudian Al-Kalabadzi meriwayatkan dengan sanadnya dari
Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي سَفَرٍ،
فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا
عَلَى أَنْفُسَكُمْ»
“Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami
mendaki suatu tempat tinggi, kami bertakbir. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Wahai manusia, tenangkanlah
diri kalian.’”
Lalu Al-Kalabadzi berkata :
وَذَكَرَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى
قَوْلِهِ: «أَمْ قَرِيبٌ أَنْتَ فَأُنَاجِيَكَ» أَيْ: أَنَا فِي صِفَةِ الْبُعْدِ عَنْكَ
وَالْإِقْصَاءِ أَوْ بِصِفَةِ الْقُرْبِ وَالْإِدْنَاءِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ: بَاعَدْتَنِي
عَنْكَ وَأَقْصَيْتَنِي عَنْ بَابِكَ سَخَطًا عَلَيَّ فَأُنَادِيَكَ صَارِخًا، وَأَدْعُوكَ
جَاهِرًا مُسْتَغِيثًا مِنْ بُعْدِكَ وَالْفِرَاقِ مِنْكَ، أَوْ أَدْنَيْتَنِي مِنْكَ،
وَقَرَّبْتَنِي إِلَيْكَ قَبُولًا لِي، وَرِضًا عَنِّي فَأُنَاجِيَكَ نَجْوَى الْمُقَرَّبِينَ،
وَأَدْعُوكَ دُعَاءَ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَكَأَنَّهُ أَرَادَ بُعْدَهُ عَنِ اللَّهِ
وَقُرْبَهُ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ لَفْظُ الْخَبَرِ عَلَى لَفْظِ بُعْدِ اللَّهِ عَنْهُ
وَقُرْبِهِ مِنْهُ؛ لِأَنَّ مَنْ بَعُدْتَ عَنْهُ فَقَدْ بَعُدَ عَنْكَ، وَمَنْ قَرُبْتَ
مِنْهُ فَقَدْ قَرُبَ مِنْكَ، فَكَأَنَّهُ يَقُولُ: أَبْعَدْتَنِي عَنْكَ أَمْ أَدْنَيْتَنِي
مِنْكَ؟ فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَيْهِ: «أَنَا جَلِيسُ مَنْ ذَكَرَنِي» ، فَكَأَنَّهُ
يَقُولُ لَهُ: إِنَّ عَلَامَةَ مَنْ قَرَّبْتُهُ مِنِّي وَأَدْنَيْتُهُ إِلَيَّ أَنْ
يَكُونَ ذَاكِرًا لِي، فَمَنْ وَجَدَ نَفْسَهُ لِي ذَاكِرًا، فَلْيَعْلَمْ أَنِّي قَرَّبْتُهُ
مِنِّي، كَأَنِّي جَلِيسُهُ، فَكَأَنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَلَطَّفَ لَهُ، وَرَأَفَ بِهِ،
وَتَعَطَّفَ عَلَيْهِ، فَأَخْبَرَهُ عَنْ أَوْصَافِ الْقُرْبِ، إِذْ كَانَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ مُقَرَّبَهُ وَمُصْطَفَاهُ وَكَلِيمَهُ وَمُجْتَبَاهُ، وَوَارَى عَنْهُ
أَوْصَافَ الْبُعْدِ فَلَمْ يُخْبِرْهُ بِعَلَامَاتِ مَنْ بَاعَدَهُ عَنْهُ، كَمَا
أَخْبَرَهُ بِعَلَامَةِ مَنْ قَرَّبَهُ مِنْهُ عَطْفًا عَلَيْهِ، وَلُطْفًا بِهِ كَيْلَا
يُوحِشَهُ إِذْ كَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يُطِيقُ أَنْ يَسْمَعَ بِأَوْصَافِ الْبُعْدِ،
وَعَلَامَاتِ الْإِقْصَاءِ، وَأَمَارَاتِ الطَّرْدِ، وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ
لَمْ يَكُنْ بَعِيدًا مِنْهُ، وَلَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْصَافُ مَنْ بَاعَدَهُ الْحَقُّ
مِنْ نَفْسِهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى قَوْلِهِ: «أَنَا جَلِيسُ
مَنْ ذَكَرَنِي» أَخْبَرَهُ بِقُرْبِهِ مِنْهُ، وَتَقْرِيبِهِ إِيَّاهُ، كَأَنَّهُ
يَقُولُ: كَيْفَ تَكُونُ بِأَوْصَافِ الْبُعْدِ مِنِّي وَأَنْتَ لِي ذَاكِرًا، وَمَنْ
كَانَ لِي ذَاكِرًا كُنْتُ لَهُ جَلِيسًا، أَخْبَرَهُ بِأَنَّهُ مُنِعَ بِأَبْلَغِ
غَايَاتِ الْقُرْبِ، وَأَقْصَى نِهَايَاتِ الدُّنُوِّ إِلَيْهِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ
لَهُ: أَنْتَ مِنِّي بِالْقُرْبِ وَالدُّنُوِّ بِمَنْزِلَةِ الْمَرْءِ مِنْ جَلِيسِهِ.
وَلَمْ يَقُلْ فِي الْحَدِيثِ: إِنَّ مَنْ ذَكَرَنِي جَلِيسِي؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ
كَذَلِكَ لَكَانَتِ الْحَالَةُ مُكْتَسِبَةً، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلَالَةُ الْخُصُوصِ
وَالْإِفْضَالِ عَلَى مَنْ آَثَرَهُ اللَّهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَلُّ مِنْ
أَنْ يُرَامَ مُجَالَسَتُهُ وَالدُّنُوَّ إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الْبُعْدُ، وَإِنَّمَا
ذَكَرَ أَنَّهُ هُوَ الْجَلِيسُ إِظْهَارًا لِفَضْلِهِ، وَتَقَرُّبًا إِلَى عَبْدِهِ،
وَلُطْفًا بِذَاكِرِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى {مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ
إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ} [المجادلة: 7] ،
وَكَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} [المائدة: 54] ، جَلَّ
اللَّهُ الْبَرُّ الرَّءُوفُ الرَّحِيمُ بِعِبَادِهِ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dalam riwayat ini disebutkan pula bahwa boleh jadi
makna sabda Nabi Musa “Apakah Engkau jauh sehingga aku harus menyeru-Mu,
ataukah Engkau dekat sehingga aku dapat bermunajat kepada-Mu?” adalah
sebagai berikut:
Seolah-olah beliau bermaksud: “Apakah aku berada
dalam keadaan jauh dari-Mu dan Engkau menjauhkan aku dari-Mu karena
kemurkaan-Mu kepadaku, sehingga aku harus menyeru-Mu dengan suara keras, berdoa
kepada-Mu dengan lantang, berseru memohon pertolongan karena jauhnya jarak dan
perpisahan dari-Mu? Ataukah Engkau telah mendekatkan aku kepada-Mu, menerima
aku, dan meridhai aku, sehingga aku bermunajat kepada-Mu dengan munajat
orang-orang yang dekat, berdoa kepada-Mu sebagaimana doa orang-orang yang
bersahabat dengan-Mu?”
Jadi, beliau bermaksud menjelaskan tentang keadaan
dirinya: apakah ia termasuk orang yang dijauhkan dari Allah atau yang
didekatkan kepada-Nya. Meskipun secara lahiriah ucapannya terdengar seperti
menggambarkan jarak antara Allah dan dirinya, namun maksudnya bukan demikian.
Karena siapa pun yang dijauhkan dari Allah, maka sebenarnya dialah yang menjauh
dari Allah; dan siapa pun yang didekatkan kepada Allah, maka sesungguhnya
dialah yang mendekat kepada-Nya.
Maka seakan-akan Musa berkata: “Apakah Engkau
menjauhkan aku dari-Mu, ataukah Engkau mendekatkan aku kepada-Mu?”
Lalu Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya: “Aku adalah
teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku.”
Seakan-akan Allah berfirman kepadanya: “Tanda
seseorang yang Aku dekatkan dan Aku jadikan dekat kepada-Ku adalah bahwa ia
senantiasa mengingat-Ku. Maka barang siapa mendapati dirinya mengingat-Ku,
hendaklah ia mengetahui bahwa Aku telah mendekatkannya kepada-Ku, seakan-akan
Aku adalah teman duduknya.”
Seolah-olah Allah Yang Maha Perkasa sedang berlemah
lembut kepadanya, penuh kasih dan rahmat, lalu mengabarkan kepadanya tentang
sifat kedekatan, karena beliau (Musa) adalah hamba yang didekatkan, dipilih,
diajak berbicara, dan dijadikan kekasih. Allah menyembunyikan darinya
sifat-sifat orang yang dijauhkan dari-Nya, sehingga Allah tidak memberitahukan
tanda-tanda orang yang dijauhkan, sebagaimana Ia memberitahukan tanda-tanda
orang yang didekatkan. Semua itu karena kasih sayang dan kelembutan Allah
kepadanya, agar beliau tidak merasa sedih, sebab Nabi Musa tidak sanggup
mendengar tentang sifat-sifat orang yang dijauhkan, tanda-tanda pengusiran, dan
ciri-ciri penolakan.
Selain itu, Nabi Musa memang bukan termasuk orang yang
jauh dari Allah, dan tidak memiliki sifat-sifat orang yang dijauhkan oleh Allah
dari diri-Nya Yang Maha Agung.
Boleh jadi pula makna firman Allah: “Aku adalah
teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku” adalah bahwa Allah mengabarkan
kepadanya tentang kedekatan dan penghormatan-Nya, seakan-akan Allah berfirman: “Bagaimana
mungkin engkau berada dalam sifat jauh dari-Ku, sedangkan engkau mengingat-Ku?
Barang siapa mengingat-Ku, maka Aku menjadi teman duduknya.”
Dengan itu, Allah mengabarkan bahwa orang yang
mengingat-Nya telah mencapai puncak kedekatan dan keintiman dengan-Nya,
seakan-akan Allah berkata kepadanya: “Engkau berada di sisi-Ku, dalam
kedekatan dan keintiman, sebagaimana kedudukan seorang teman dengan teman
duduknya.”
Dalam hadits itu, Allah tidak berfirman: “Barang
siapa mengingat-Ku, ia adalah teman duduk-Ku.” Karena jika demikian
redaksinya, maka kedekatan itu akan tampak sebagai sesuatu yang bisa diusahakan
oleh hamba, bukan sebagai anugerah istimewa dari Allah. Maka tidak akan
menunjukkan kekhususan dan keutamaan bagi orang yang Allah pilih.
Allah Mahasuci dari kemungkinan bahwa manusia dapat “duduk
bersama-Nya” dalam makna fisik atau mendekat kepada-Nya dalam arti jarak.
Maka penyebutan “Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-Ku”
dimaksudkan untuk menunjukkan keutamaan, penghormatan, dan kelembutan Allah
kepada hamba-Nya yang berzikir kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak ada
pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia adalah yang keempat di
antara mereka, dan tidak (pula) antara lima orang melainkan Dia yang keenamnya”
(Al-Mujadalah: 7).
Dan sebagaimana firman-Nya: “Dia mencintai mereka
dan mereka mencintai-Nya” (Al-Maidah: 54).
Maha Suci Allah, Dzat Yang Maha Baik, Maha Penyayang,
Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Lembut dan Maha Mengetahui segala
sesuatu. [SELESAI]
Abu Al-Fadhl ‘Iyadh Al-Busti berkata dalam kitab
*Ikmal Al-Mu’allim* (2/535):
قَالَ الطَّبَرِيُّ: فِيهِ الْإِبَانَةُ
عَنْ صِحَّةِ فِعْلِ مَنْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمَرَاءِ يُكَبِّرُ بَعْدَ
صَلَاتِهِ وَيُكَبِّرُ مَنْ وَرَاءَهُ، قَالَ غَيْرُهُ: وَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا مِنَ
الْفُقَهَاءِ مَنْ قَالَ بِهَذَا إِلَّا مَا ذَكَرَهُ ابْنُ حَبِيبٍ فِي الْوَاضِحَةِ:
كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ التَّكْبِيرَ فِي الْعَسَاكِرِ وَالْبُعُوثِ إِثْرَ صَلَاةِ
الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ، تَكْبِيرًا عَالِيًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَهُوَ قَدِيمٌ مِنْ
شَأْنِ النَّاسِ، وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ مُحْدَثٌ. قِيلَ: وَذِكْرُ ابْنِ عَبَّاسٍ
لَهُ يَدُلُّ عَلَى تَرْكِ ذَلِكَ فِي وَقْتِهِ، وَإِلَّا فَلَيْسَ كَانَ يَكُونُ لِقَوْلِهِ
مَعْنًى.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: " كُنْتُ أَعْرِفُ
انْقِضَاءَ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِالتَّكْبِيرِ " فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ
يَكُنْ [بِحَضْرَةِ] الْجَمَاعَةِ مَعَهُ، وَكَانَ يَعْلَمُهَا بِمُشَاهَدَةِ ذَلِكَ،
وَلِأَنَّهُ كَانَ صَغِيرًا مِمَّنْ لَا يُوَاظِبُ عَلَى صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ، وَلَا
يَلْزَمُهُ ذَلِكَ.
وَقَوْلُ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فِي هَذَا
الْحَدِيثِ: " فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِأَبِي مَعْبَدٍ فَأَنْكَرَهُ وَقَالَ: لَمْ
أُحَدِّثْكَ بِهِ " قَالَ عَمْرٌو: " وَقَدْ أَخْبَرَنِيهِ قَبْلَ ذَلِكَ
"، وَإِدْخَالُ مُسْلِمٍ لَهُ دَلِيلٌ عَلَى قَوْلِهِ بِصِحَّةِ الْحَدِيثِ عَلَى
هَذَا الْوَجْهِ مَعَ إِنْكَارِ الْمُحَدَّثِ عَنْهُ إِذَا حَدَّثَ عَنْهُ بِهِ ثِقَةٌ،
وَهَذَا إِذَا أَنْكَرَهُ لِاسْتِرَابَةٍ أَوْ تَشَكُّكٍ أَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ، فَالَّذِي
عَلَيْهِ مُعْظَمُ الْعُلَمَاءِ وَأَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِيُّونَ إِعْمَالُهُ،
وَذَهَبَ الْكَرْخِيُّ إِلَى إِبْطَالِهِ، وَأَمَّا إِنْكَارُهُ إِنْكَارَ قَطْعٍ وَتَكْذِيبٍ
أَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ قَطُّ فَيَجِبُ رَدُّهُ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ، وَذَلِكَ لِتَقَابُلِ
الْعَدَالَتَيْنِ وَلَيْسَ إِحْدَاهُمَا بِأَوْلَى بِالْعَمَلِ مِنَ الْأُخْرَى، فَيَسْقُطُ
الْحَدِيثُ.
Ath-Thabari berkata: “Dalam hadits ini terdapat
penjelasan tentang kebenaran perbuatan sebagian pemimpin yang bertakbir setelah
shalatnya, lalu orang-orang di belakangnya juga bertakbir.”
Ulama lain berkata: “Aku tidak menemukan seorang pun
dari para fuqaha yang berpendapat demikian, kecuali apa yang disebutkan oleh
Ibnu Habib dalam kitab *Al-Wadhihah*: Mereka dahulu menganjurkan bertakbir di
barisan pasukan dan tentara setelah shalat Subuh dan Isya dengan suara keras
sebanyak tiga kali. Itu merupakan kebiasaan lama manusia. Namun Imam Malik
berpendapat bahwa hal itu adalah perbuatan baru (bid’ah).”
Dikatakan pula: “Penyebutan Ibnu Abbas terhadap hal
itu menunjukkan bahwa amalan tersebut telah ditinggalkan pada masanya, karena
jika masih dilakukan, maka tidak akan ada makna dari ucapannya.”
Adapun sabda beliau: *‘Aku mengetahui selesainya shalat
Rasulullah ﷺ dengan
takbir’*, maka secara lahiriah menunjukkan bahwa ia tidak hadir bersama jamaah
ketika itu, dan ia mengetahuinya karena melihat tanda tersebut. Hal itu juga
karena ia (yakni perawi) masih kecil dan termasuk orang yang belum terbiasa
menghadiri shalat berjamaah, serta belum diwajibkan atasnya.
Ucapan ‘Amr bin Dinar dalam hadits ini: *“Lalu aku
ceritakan hal itu kepada Abu Ma‘bad, namun ia mengingkarinya dan berkata: Aku
tidak meriwayatkannya kepadamu.”* ‘Amr berkata: *“Padahal sebelumnya ia telah
menceritakannya kepadaku.”*
Pencantuman hadits ini oleh Imam Muslim menunjukkan
bahwa beliau menilai hadits tersebut sahih dalam bentuk riwayat seperti ini,
meskipun orang yang diriwayatkan darinya mengingkarinya. Jika pengingkaran itu
disebabkan karena ragu atau lupa bahwa ia pernah meriwayatkannya, maka
mayoritas ulama, para imam hadits, dan para ahli ushul berpendapat bahwa hadits
tersebut tetap diamalkan.
Adapun Al-Karkhi berpendapat bahwa hadits seperti ini
tidak dapat dijadikan hujjah.
Namun, bila pengingkaran itu bersifat pasti — yakni
sang perawi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak pernah meriwayatkannya — maka
hadits tersebut harus ditolak oleh seluruh ulama. Hal ini karena kedua perawi
sama-sama adil, dan tidak ada yang lebih utama untuk diambil riwayatnya,
sehingga hadits itu gugur (tidak dapat dijadikan dalil).
===***===
TARJIH :
Mengucapkan dzikir dengan suara keras setelah shalat
memiliki ketentuan hukum syar’i yang terperinci. Hal ini termasuk sunnah
menurut sebagian para ulama, dan disyariatkan untuk mengeraskan suara dalam
dzikir selama tidak menimbulkan gangguan, sebagaimana yang disebutkan dalam
sunnah Rasulullah ﷺ.
Namun, makruh mengeraskan suara dalam dzikir jika hal
itu mengganggu orang yang sedang shalat atau membuat kekacauan, dan inilah yang
menjadi dasar pendapat mazhab Syafi’i dalam menganjurkan dzikir dengan suara
pelan.
Dzikir dengan suara keras adalah sunnah yang
dianjurkan.
Yang diriwayatkan dari para sahabat: para sahabat
dahulu mengeraskan suara dalam berdzikir pada masa Rasulullah ﷺ. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mengetahui bahwa shalat telah selesai ketika mendengar suara dzikir keras. Ibnu
Zubair juga berkata bahwa Nabi ﷺ bertakbir dan bertahlil dengan suara keras setelah setiap
shalat.
Pendapat Ibnu Utsaimin: beliau berpendapat bahwa
mengeraskan suara dalam dzikir adalah disyariatkan, dengan catatan suara
tersebut tidak sampai mengganggu.
Penyebab perbedaan pendapat tentang dzikir dengan
suara keras:
1]. Tujuan pengajaran dzikir: sebagian ulama
berpendapat bahwa dzikir dengan suara keras disyariatkan untuk mengajarkan
dzikir kepada kaum muslimin. Setelah mereka menghafalnya, maka dzikir dilakukan
dengan suara pelan.
2]. Batasan dzikir dengan suara keras: sebagian
lainnya berpendapat bahwa mengeraskan suara dalam dzikir tidak termasuk sunnah
kecuali bila tidak menyebabkan gangguan bagi orang lain.
Batasan dzikir dengan suara
keras:
1]. Mengeraskan suara: suara dalam berdzikir tidak
boleh terlalu keras hingga menimbulkan gangguan.
2]. Tujuan pengajaran: mengeraskan suara boleh
dilakukan untuk mengajarkan dzikir kepada orang lain.
Hukum mengeraskan suara dalam
dzikir jika menimbulkan gangguan:
1]. Makruh: mengeraskan suara dalam dzikir makruh
hukumnya apabila mengganggu jamaah lain atau menimbulkan kebisingan.
2]. Dilarang tanpa alasan: makruh bahkan bisa
mendekati haram jika dilakukan tanpa kebutuhan syar’i dan menyebabkan gangguan.
3]. Dianjurkan dzikir pelan: apabila kondisi tidak
memungkinkan, maka dzikir dengan suara pelan (sir) lebih utama dan sesuai
sunnah.
0 Komentar