Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENTINGNYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI

 PENTINGNYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI

---- 

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----


----

DAFTAR ISI :

  • PERINTAH MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA
  • PENTING-NYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH
  • PERANG IDEOLOGI.
  • MEDIA INFORMASI ADALAH SENJATA UTAMA DALAM PERANG IDEOLOGI
  • PEMBAGIAN MEDIA DAN SARANA DAKWAH :
  • KLASIFIKASI JENIS MEDIA UNTUK BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI
  • KLASIFIKASI JENIS PERTAMA: MEDIA YANG DIBACA (TULISAN ATAU KARYA ILMIAH):
  • KLASIFIKASI JENIS KEDUA: MEDIA SUARA (AUDIO)
  • KLASIFIKASI JENIS KETIGA: LEMBAGA ILMIAH DAN DAKWAH:
  • KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA TRANSPORTASI DAN KENDARAAN:

-----

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

 ===***===

PERINTAH MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukakan wajibnya menyampaikan ilmu agama :

DALIL KE 1 :

Allah SWT berfirman :

﴿۞ يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ﴾

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya”. [QS. Maidah: 67]

DALIL KE 2 :

Tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya.

Dari 'Abdullah bin 'Amru -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa Nabi bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (tidak berdosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".

HR. Bukhari (hadis nomor 3202), Abu Dawud, Hadis Nomor 3177; at-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Imam Ahmad, Hadis Nomor 6198.

DALIL KE 3 :

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-: Bahwasannya Rasulullah bersabda:

مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ثُمَّ لَا يُحَدِّثُ بِهِ كَمَثَلِ الَّذِي يَكْنِزُ الْكَنْزَ فَلَا يُنْفِقُ مِنْهُ.

“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menyampaikannya adalah seperti orang yang menyimpan harta namun tidak menafkahkannya darinya (membayarkan zakatnya)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 689; shahih – lihat Ash-Shahiihah no. 3479].

DALIL KE 4 :

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr -radhiyallahu ‘anhuma- : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda:

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ

“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 96, Al-Haakim 1/102, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 5/38-39; hasan].

DALIL KE 5 :

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah  :

"مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".

“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu lalu menyembunyikannya, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3658, At-Tirmidziy no. 2649, Ath-Thayalisiy no. 2534, Ibnu Abi Syaibah 9/55, Ahmad 2/263 & 305 & 344 & 353 & 499 & 508, Ibnu Maajah no. 261, Ibnu Hibbaan no. 95, Al-Haakim 1/101, Al-Baghawiy no. 140, dan yang lainnya; shahih].

===***===

PENTING-NYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH

Arti "Media" : Media adalah alat atau sarana komunikasi yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan informasi dari sumber ke penerima. Kata ini berasal dari bahasa Latin "medium", yang berarti "tengah" atau "perantara".

Media dapat berupa bentuk cetak, seperti koran dan majalah, hingga bentuk digital, seperti internet dan televisi.

Menguasai berbagai macam media sangat penting untuk berdakwah dan penyebaran agama Islam di era modern; karena media telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, berinteraksi, dan membentuk pandangan mereka.

Dengan menguasai berbagai macam media, para dai dapat memperluas jangkauan dakwah, beradaptasi dengan perubahan zaman, dan menghadapi tantangan dakwah digital.

Dakwah lewat media digital sangat penting karena menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam secara cepat serta efektif, memberikan kemudahan akses informasi keagamaan kapan saja dan di mana saja, serta menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan moralitas Islam di tengah banjir informasi. Manfaatnya termasuk membangun diskusi yang interaktif, menjangkau mereka yang malu datang ke majelis taklim, dan menghadirkan dakwah yang aktual, faktual, serta kontekstual.  

Berikut adalah beberapa alasan mengapa penguasaan berbagai macam media menjadi sangat penting dalam berdakwah dan penyebaran agama Islam:

1]. Memperluas jangkauan dan aksesibilitas :

Melampaui batasan geografis: Media digital seperti internet, media sosial, dan platform berbagi video memungkinkan pesan dakwah menjangkau audiens yang jauh lebih luas, tidak terbatas pada satu lokasi fisik seperti masjid.

Akses kapan saja, di mana saja: Konten dakwah digital dapat diakses oleh umat Islam di seluruh dunia kapan pun dan di mana pun mereka berada, memudahkan mereka untuk memperdalam pemahaman agama.

2]. Beradaptasi dengan perkembangan zaman

Menjangkau generasi milenial dan Gen Z: Generasi muda saat ini lebih akrab dengan media sosial. Dengan menguasai media, para dai dapat menyajikan pesan dakwah dalam format yang relevan dan menarik bagi mereka, seperti konten interaktif, video pendek, atau podcast.

Mengemas pesan dakwah secara kreatif: Penguasaan media memungkinkan dai untuk mengemas dakwah dalam format yang kreatif dan menghibur (misalnya, da'wahtainment), tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.

3]. Menghadapi tantangan dakwah di era digital

Melawan misinformasi: Di tengah maraknya hoaks dan misinformasi di media sosial, penguasaan media penting untuk menyebarkan narasi yang benar dan moderat tentang Islam. Para dai dapat menghadapi tantangan ini dengan menyajikan konten yang kredibel dan mendidik.

Membangun etika digital: Dengan menguasai media, para dai dapat menunjukkan etika dan adab yang baik dalam berkomunikasi di ruang digital, sehingga menjadi teladan bagi para pengikutnya. Ini membantu membangun komunitas virtual yang positif dan harmonis.

Menghadapi stereotip negatif: Menguasai media juga penting untuk melawan stereotip negatif tentang Islam yang seringkali disebarkan di media. Para dai dapat menampilkan citra Islam yang damai dan toleran dengan menyajikan konten yang inspiratif dan berfokus pada nilai-nilai universal.

4]. Meningkatkan keterampilan komunikasi

Memperkaya metode dakwah: Media menyediakan berbagai metode baru untuk berdakwah, mulai dari tulisan, gambar, video, hingga siaran langsung. Ini memungkinkan dai untuk memilih metode yang paling efektif sesuai dengan pesan dan audiens yang dituju.

Menciptakan interaksi dua arah: Media sosial memfasilitasi interaksi langsung antara dai dan audiensnya. Ini memungkinkan mereka untuk berdiskusi, menjawab pertanyaan, dan membangun hubungan yang lebih personal, yang tidak selalu mungkin dilakukan dalam dakwah tradisional.

Secara keseluruhan, menguasai media adalah keharusan strategis bagi para dai modern. Hal ini bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi tentang memastikan bahwa pesan-pesan kebaikan tetap relevan, efektif, dan dapat menjangkau sebanyak mungkin orang di era digital.

===***===

PERANG IDEOLOGI

***

Makna ideologi menurut para ahli:

Ia adalah seperangkat gagasan, kepercayaan, atau prinsip yang menjadi landasan teori ekonomi dan politik, pandangan hidup, serta pedoman untuk mencapai tujuan suatu masyarakat atau bangsa.

Beberapa para ahli seperti Karl Marx melihatnya sebagai alat untuk mencapai kesetaraan, sementara A.S. Hornby mendefinisikannya sebagai seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik.

***

Makna ideologi dalam Islam :

Ia adalah seperangkat keyakinan dan pemikiran yang berlandaskan akidah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, yang menjadi panduan bagi seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari cara berpikir, bersikap, hingga mengatur tatanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Islam sebagai ideologi bertujuan untuk mengatur kehidupan secara komprehensif dan dinamis agar sesuai dengan nilai-nilai ilahiah.

****

PERANG IDEOLOGI :

Perang ideologi adalah persaingan antara sistem nilai, keyakinan, dan agama yang saling berlawanan, di mana kelompok sekte atau agama tertentu berusaha mempromosikan ideologi mereka untuk memengaruhi opini publik dan menguasai dunia.

Perang ini dapat melibatkan penyebaran informasi, propaganda, pengaruh budaya, dan bahkan konflik bersenjata, dengan tujuan untuk memenangkan hati dan pikiran masyarakat luas.

Perang ideologi dalam Islam, bisa disebut pula jihad ideologi.

===

CIRI-CIRI PERANG IDEOLOGI :

Pertentangan Nilai:

Perang ideologi berpusat pada perbedaan mendasar tentang bagaimana umat manusia dunia seharusnya berkeyakinan, berprilaku dan berhukum. Begitu pula yang berkaitan dengan kehidupan politik bernegara misalnya antara khilafah, demokrasi dan otoritarianisme, atau kapitalisme dan komunisme.

Perang Gagasan:

Pertempuran utama terjadi di ranah pikiran dan gagasan, dengan tujuan memenangkan pengakuan dan dukungan masyarakat.

Penggunaan Beragam Saluran: Melibatkan propaganda, media sosial, pendidikan, program kebudayaan, serta kampanye informasi untuk menyebarkan pandangan mereka.

Dampak Luas:

Perang ideologi dapat menciptakan ketegangan internasional, perseteruan antar bangsa dan antar agama, memengaruhi kebijakan, dan membentuk dinamika sosial di berbagai belahan dunia.

Tujuan Politik dan Ekonomi dari perang Ideologi :

Tujuannya adalah untuk meraih pengaruh politik, sosial, atau ekonomi, serta mengubah cara hidup masyarakat sesuai ideologi yang diyakini.

===

CONTOH PERANG IDEOLOGI :

Contoh ke 1 : Perang Ideologi antar agama dan kepercayaan :

Contohnya : Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad ke-16 M, sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad ke 9-10 M melalui para pedagang Muslim India, Arab, dan Persia.

Sejak awal kedatangannya, kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana persaingan alias perang berebut masa dan pengikut .

Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat pula persaingan, konfrontasi, dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat.

Pengalaman konflik dan persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut menjelaskan sikap dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara.

Contoh ke 2 : Perang Dingin:

Diantara contoh klasik perang ideologi antara Amerika Serikat yang menganut kapitalisme dan demokrasi, dengan Uni Soviet yang menganut komunisme.

Perang ini tidak melibatkan pertempuran militer besar antara kedua negara adidaya, melainkan melalui perang proksi dan penyebaran pengaruh ideologi.

Dampak dan Tren Terkini dari perang Ideologi:

Peran Media Sosial: Media sosial dan disinformasi menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan ideologi dan memengaruhi opini publik.

Munculnya Hoaks dan Disinformasi: Berita palsu dan kampanye disinformasi digunakan untuk memanipulasi pandangan dunia.

Peran Negara Otoriter:

Negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok semakin aktif dalam mempromosikan model pemerintahan otoriter mereka dan menantang nilai-nilai liberal yang dominan di dunia.

===***===

MEDIA ADALAH SENJATA UTAMA DALAM PERANG IDEOLOGI

Salah satu sarana dan wasilah jihad ideologi adalah media dakwah.

Sesungguhnya media dakwah termasuk perkara yang sama sekali tidak mungkin ditinggalkan dalam jihad fi sabilillah, demi untuk menyebarkan ideologi Islam dan memerangi ideologi kafir, karena tidak terbayang oleh akal orang yang berakal sehat untuk mencapai suatu tujuan tanpa menggunakan media, sarana atau alat yang menghantarkan kepadanya.

Rasulullah telah menggunakan sarana dan media yang tersedia pada masanya, beliau menyuarakan kebenaran di bukit Shafa, berseru kepada Quraisy dengan panggilan wahai kaum di pagi hari.

Beliau juga menyampaikan dakwahnya di tempat pertemuan manusia dan pasar-pasar mereka.

Beliau berkeliling di tempat-tempat manasik haji, menemui kabilah-kabilah, menyampaikan risalah, dan mencari pertolongan untuk agama.

Sesungguhnya di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang da’i adalah menentukan apa yang ia dakwahkan serta menggunakan sarana yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada objek dakwah. Sebab sama sekali tidak terbayang adanya dakwah tanpa sarana.

Media Informasi merupakan salah satu wasilah (sarana) untuk berdakwah.

Adapun makna wasilah dakwah, Al-Jauhari berkata :

الوَسِيلَةُ ما يَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى الغَيْرِ، وَالجَمْعُ الوُسُلُ وَالوَسَائِلُ ..

 “Al-Wasilah adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada orang lain. Bentuk jamaknya al-wusul dan al-wasa’il.” Ash-Shihah, bab (Wasl) 5/1841.

Ibnu Katsir berkata:

"الوَسِيلَةُ هِيَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى تَحْصِيلِ المَقْصُودِ"

“Al-Wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan.” Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 2/55)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

" إِنَّ الدَّاعِيَ الَّذِي يَدْعُو غَيْرَهُ إِلَى أَمْرٍ، لَا بُدَّ فِيمَا يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ أَمْرَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: المَقْصُودُ وَالمُرَادُ.

وَالثَّانِي: الوَسِيلَةُ وَالطَّرِيقُ المُوصِلُ إِلَى المَقْصُودِ.

فَلِهَذَا يُذْكَرُ الدَّعْوَةُ تَارَةً إِلَى اللهِ، وَتَارَةً إِلَى سَبِيلِهِ، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ المَعْبُودُ المَرَادُ المَقْصُودُ بِالدَّعْوَةِ."

“Sesungguhnya seorang da’i yang mengajak orang lain kepada suatu perkara, maka dalam dakwahnya terdapat dua hal yang mesti ada:

Pertama: tujuan dan maksud yang dituju.

Kedua: sarana (wasilah) dan jalan yang menghantarkan kepada tujuan.

Karena itulah dakwah terkadang disebut dakwah kepada Allah dan terkadang disebut dakwah kepada jalan-Nya, sebab Dialah yang disembah, yang dimaksud, dan tujuan dakwah” (Al-Fatawa 15/162).

Seorang da’i dituntut secara akal dan syariat untuk menggunakan sarana syar’i yang sesuai, yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada mad’u (orang yang didakwahi), khususnya ketika seorang da’i memahami bahwa agama terbagi dua:

1]. Ibadah: yang memperbaiki urusan akhirat. Asalnya adalah tauqif dalam jenis, sifat, jumlah, sebab, dan waktunya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

﴿أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ﴾

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura ayat 21).

2]. Adat atau muamalah: yang memperbaiki urusan dunia. Asalnya adalah halal dan boleh, seperti akad, syarat, dan sarana. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

﴿قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ﴾

“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan idzin kepadamu atau kamu mengada-adakan terhadap Allah?” (4: Yunus ayat 59).

Berdasarkan hal ini, maka siapa yang mengklaim suatu ibadah, wajib baginya mendatangkan dalil. Dan siapa yang melarang suatu adat atau muamalah, juga wajib baginya mendatangkan dalil.

Barangkali apa yang dicontohkan Syaikhul Islam sejalan dengan hal ini, beliau berkata:

" وَلَوْ سُئِلَ العَالِمُ عَمَّنْ يَعْدُو بَيْنَ جَبَلَيْنِ: هَلْ يُبَاحُ لَهُ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُ عَلَى وَجْهِ العِبَادَةِ كَمَا يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالمَرْوَةِ، قَالَ: إِنْ فَعَلَهُ عَلَى هَذَا الوَجْهِ حَرَامٌ مُنْكَرٌ، يُسْتَتَابُ فَاعِلُهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ.

وَلَوْ سُئِلَ: عَنْ كَشْفِ الرَّأْسِ، وَلُبْسِ الإِزَارِ، وَالرِّدَاءِ، أَفْتَى بِأَنَّ هَذَا جَائِزٌ، فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُ يَفْعَلُهُ عَلَى وَجْهِ الإِحْرَامِ كَمَا يُحْرِمُ الحَاجُّ، قَالَ: إِنَّ هَذَا حَرَامٌ مُنْكَرٌ..."

“Seandainya seorang alim ditanya tentang orang yang berlari di antara dua gunung, apakah itu boleh? Ia akan menjawab: Ya, boleh. Tetapi jika dikatakan bahwa ia melakukannya dalam rangka ibadah seperti sa’i antara Shafa dan Marwah, maka ia akan berkata: Jika dilakukan dengan maksud itu, maka perbuatan tersebut haram, mungkar, dan pelakunya diminta bertobat. Jika ia bertobat maka dimaafkan, jika tidak maka ia dibunuh.

Seandainya ia ditanya tentang menyingkap kepala, memakai izar dan rida, maka ia akan berfatwa: Itu boleh. Tetapi jika dikatakan bahwa ia melakukannya dengan maksud ihram seperti seorang yang berhaji, maka ia akan berkata: Itu haram dan mungkar” (Majmu’ al-Fatawa 11/632).

Prof. DR. Mushthofa Makhdum (guru ushul fiqih saya di UIM) berkata :

" وَالخُلَاصَةُ أَنَّ مَقْصُودَ الدَّعْوَةِ الإِسْلَامِيَّةِ هِدَايَةُ النَّاسِ وَتَحْقِيقُ المَصَالِحِ لَهُمْ، فَكُلُّ وَسِيلَةٍ عَادِيَّةٍ تُؤَدِّي إِلَى هَذَا المَقْصُودِ، وَتُحَقِّقُهُ دُونَ أَنْ يُعَارِضَهَا نَهْيٌ شَرْعِيٌّ فَإِنَّهَا تَكُونُ فِي دَائِرَةِ المَشْرُوعِيَّةِ وَالاِعْتِبَارِ.."

Kesimpulannya, tujuan dakwah Islam adalah memberi petunjuk kepada manusia dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Maka setiap sarana adat yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut tanpa adanya larangan syar’i, maka ia termasuk sah dan dianggap dalam syariat (Qawa’id al-Wasa’il fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Dr. Musthafa bin Karama Allah Makhdum, hlm. 343).

Apabila makna umum dari sarana adalah segala hal yang menghantarkan kepada tujuan, baik kebaikan maupun keburukan, maka makna khusus yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah segala hal yang digunakan seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya kepada mad’u. Dari sini tampak jelas pentingnya sarana, sebab sarana bukan monopoli seseorang saja, melainkan terbuka untuk semua orang. Karena itu kita melihat musuh-musuh umat ketika mereka berusaha merusak umat Islam atau menghalangi orang non-muslim dari Islam, baik dengan memasukkan mereka ke dalam apa yang mereka serukan, atau dengan mempertahankan mereka pada keadaan mereka, maka mereka menggunakan berbagai macam sarana untuk mencapai tujuan mereka.

Saya sebutkan satu contoh dari sarana yang digunakan oleh mereka, yaitu sarana yang digunakan oleh kaum Nasrani, yakni sarana mempengaruhi pikiran melalui nama-nama tokoh atau nama pribadi atau nama produk.

Misalnya nama-nama yang diberikan sebagian orang kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan.

Nama-nama asing yang terlihat di jalanan kita sering menemukan kesamaan dengan nama yang ada di negeri kafir.

Demikian pula masalah penamaan dengan nama-nama orang kafir, terutama nama perempuan atau selebriti, sehingga nama tersebut menjadi biasa dan melekat di benak kalangan kaum muslimin, padahal nama tersebut adalah nama khusus bagi orang kafir. Hal ini membuat sulit untuk membedakan, walaupun hanya sekadar nama.

(Lihat: At-Tanshir Mafhûmuhu wa Ahdâfuhu wa Subul Muwaajahatihi, Prof. Dr. Ali bin Ibrahim an-Namlah).

Walaupun kita mengatakan bahwa media dan sarana (wasilah) itu terbuka untuk semua, namun mereka berpegang pada prinsip :

"الغَايَةُ تُبَرِّرُ الوَسِيلَةَ".

“Demi Tujuan akhir, maka itu menghalalkan segala cara (wasilah)”.

Sedangkan kita dalam Islam berprinsip :

"الوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ الغَايَاتِ أَوِ المَقَاصِدِ".

“Bahwa hukum wasilah (sarana) mengikuti hukum tujuan akhirnya atau maksudnya”. 

Pemilihan media dan sarana (wasilah) yang tepat merupakan sebab tercapainya tujuan. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa ada sebagian pemikiran yang mendapatkan penyebaran luas karena sarana yang digunakan untuk menyebarkannya, meskipun pada hakikatnya ia batil.

Sementara itu, kita dapati ada para da’i di beberapa tempat yang dakwahnya mengalami kelesuan atau kelemahan, padahal Islam itu sendiri memiliki potensi besar untuk menyebar karena kesesuaiannya dengan zaman, tempat, dan fitrah yang Allah ciptakan manusia di atasnya.

Namun penyebarannya menjadi sedikit, dan jika ditelusuri penyebabnya, maka akan ditemukan bahwa buruknya dalam penggunaan media dan sarana memiliki peran dalam hal itu.

Berdasarkan kaidah syariat dikatakan :

"الوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ المَقَاصِدِ".

“Bahwa sarana  (wasilah) memiliki hukum tujuan”,

Maka harus diketahui aturan-aturan yang menjaga media dan sarana tersebut dan orang yang menggunakannya dari kekeliruan dan kekacauan.

Ada dua aturan yang harus diperhatikan, yaitu:

Pertama: idzin syar’i.

Yakni bahwa media dan sarana tersebut harus diperbolehkan. Baik idzin dengan nash (datang secara eksplisit dalam dalil), maupun idzin karena masuk di bawah kaidah umum seperti hukum mubah, yaitu salah satu dari lima hukum taklifi syar’i. Sesuatu yang mubah tidak menjadi haram hanya karena seseorang meniatkan niat yang baik dengannya. Perlu dibedakan antara niat baik secara umum dengan niat mendekatkan diri dan beribadah murni.

Kedua: maslahat.

Yaitu mencakup kesesuaian keadaan, pemilihan sarana, serta dominannya maslahat atas mafsadat. Hal ini membutuhkan ketelitian dan kebersihan hati.

===***===

PEMBAGIAN MEDIA DAN SARANA DAKWAH :

Setelah menjelaskan pentingnya dan aturan-aturan syariat terkait sarana dakwah, yang pada hakikatnya juga merupakan wadah dari metode dakwah, maka kita mulai menyebutkan beberapa media dan sarana dakwah yang dapat dibagi ke dalam tiga bagian:

BAGIAN PERTAMA: MEDIA DAN SARANA MAKNAWI.

Yaitu sarana yang berkaitan langsung dengan diri da’i itu sendiri, seperti kesabarannya, perencanaannya, perhitungannya, dan kecintaannya terhadap kebaikan bagi orang lain, sebagaimana doa Nabi :

"اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ".

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui”

(Hadis riwayat Bukhari no. 3477 dan Muslim no. 1702).

Dan selain itu, hal-hal yang kebanyakan kembali kepada fitrah lalu ditambah dengan usaha dalam perkara lain.

BAGIAN KEDUA : MEDIA DAN SARANA KHUSUS.

Media dan Sarana (wasilah) ini tidak berlaku untuk semua orang, melainkan terkait dengan negara Islam dan waliyyul amr (pemimpin umat Islam) yang bertanggung jawab atas urusan mereka.

Di antara tugasnya adalah menjaga agama dan mendakwahkannya. Hal ini terwujud dalam jihad di jalan Allah, yang merupakan salah satu sarana penyebaran agama ini.

Demikian pula amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan sarana dakwah, karena itu termasuk misi para nabi ‘alaihimussalam. Mengajak kepada peng-esaan Allah (tauhid) adalah amar ma’ruf, sedangkan melarang syirik dan kekufuran adalah nahi munkar.

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi :

﴿الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ﴾

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapati tertulis (sifat-sifatnya) di sisi mereka dalam Taurat dan Injil, yang menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar” (QS. Al-A’raf ayat 175).

Amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan sesuai urutan yang datang dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

"مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ"

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (Hadits Riwayat Muslim, no. 49).

Dari pembagian ini kita ketahui bahwa ada bagian yang tidak pantas dilakukan oleh seluruh umat, karena akan menimbulkan kekacauan dan pertentangan, yaitu yang berkaitan dengan tangan (kekuasaan).

Al-muhtasib (seorang petugas amar am’ruf nahyi munkar) yang memiliki wewenang berbeda dengan al-muhtasib sukarela, masing-masing sesuai kapasitasnya.

Seorang pemimpin memiliki otoritas atas yang dipimpinnya, berbeda dengan orang biasa. Al-Imam An-Nawawi menyinggung persoalan ini ketika menjelaskan hadis tersebut (Baca : Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 2/25).

BAGIAN KETIGA: MEDIA DAN SARANA UMUM:

Media dan Sarana (wasilah) ini dapat dilakukan oleh masyarakat umum, dan sebenarnya inilah yang penting bagi kita, berkaitan dengan diri kita, dan sebaiknya kita mengambilnya serta hal-hal yang semisalnya. Hal ini bukanlah terbatas, karena sebagian sarana bisa sesuai pada zaman ini, namun bisa jadi tidak sesuai pada masa mendatang.

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah memiliki perkataan yang indah tentang hal ini. Ketika beliau ditanya mengenai pemberitahuan masuknya bulan Ramadhan melalui telegram dan meriam, beliau rahimahullah menjelaskan tentang media ini dengan perkataannya:

(وَالْحَاصِلُ أَنَّ إِيصَالَ الْأَخْبَارِ بِالرَّمْيِ [أَيْ الرَّمْيُ بِالْمِدْفَعِ] وَالْبَرْقِيَّاتِ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُوَصِّلُ الْخَبَرَ إِلَى الْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، هُوَ عِبَارَةٌ وَتَعْبِيرٌ عَمَّا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وُلَاةُ الْأَمْرِ، وَثَبَتَ عِنْدَهُمْ مُقْتَضَاهُ، وَهُوَ مِنَ الطُّرُقِ الَّتِي لَا يَرْتَابُ النَّاسُ فِيهَا، وَلَا يَحْصُلُ لَهُمْ أَدْنَى شَكٍّ فِي ثُبُوتِ خَبَرِهَا. وَمَنْ تَوَقَّفَ فِيهَا فِي بَعْضِ الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ، لَمْ يَتَوَقَّفْ بِشَكِّهِ فِي أَنَّهَا أَفَادَتِ الْعِلْمَ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِظَنِّهِ أَنَّ هَذَا الطَّرِيقَ الْمُعَيَّنَ لَمْ يَكُنْ مِنَ الطُّرُقِ الْمُعْتَادَةِ فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ، وَهَذَا لَا يُوجِبُ التَّوَقُّفَ. فَكَمْ مِنْ أُمُورٍ حَدَثَتْ لَمْ يَكُنْ لَهَا فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ وُجُودٌ، وَصَارَتْ أَوْلَى وَأَحَقَّ بِالدُّخُولِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمُورِ الْمَوْجُودَةِ قَبْلَ ذَلِكَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ)

“Kesimpulannya adalah bahwa penyampaian berita dengan tembakan meriam dan telegram serta semisalnya, yang dapat menyampaikan berita ke tempat-tempat yang jauh, merupakan ungkapan dan media (wasilah) dari apa yang telah disepakati oleh para penguasa dan telah tetap pada mereka kebenarannya.

Itu adalah cara yang tidak diragukan manusia dan tidak menimbulkan keraguan sedikit pun tentang kebenaran beritanya.

Barangsiapa yang ragu dalam hal ini terkait sebagian urusan syariat, maka keraguannya itu bukan karena ia meragukan bahwa sarana tersebut memberikan kepastian, namun karena ia menyangka bahwa cara tertentu ini bukan termasuk cara yang lazim pada masa dahulu. Hal itu tidaklah mengharuskan adanya keraguan.

Betapa banyak hal baru yang sebelumnya tidak ada pada masa lalu, namun kemudian menjadi lebih utama dan lebih pantas untuk digunakan dibandingkan dengan banyak hal yang sudah ada sebelumnya. Wallahu a’lam”. (Fatawa As-Sa’diyyah hlm. 240–241).

Maka media dan sarana umum ini adalah hal yang sebagian kita dapat melakukannya. Seorang manusia penting untuk mengetahui kemampuannya sendiri, karena tidak baik bila terlalu banyak dipaksakan sesuatu yang tidak sesuai baginya, khususnya dengan adanya pengalaman dan kedewasaan, karena setiap orang dimudahkan menuju apa yang diciptakan untuknya.

Maka manusia harus mengetahui apa yang bisa ia lakukan untuk memberikan kebaikan bagi dirinya dan umat Islam.

Janganlah seseorang di antara kita seperti orang yang kehabisan tenaga di tengah jalan, tidak menyisakan kendaraan dan tidak pula berhasil mencapai tujuan. Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai media dan sarana (wasilah), kita perlu menegaskan bahwa manusia harus memperlakukan sarana sesuai dengan kualifikasi ilmiah.

Yang dimaksud bukan hanya kualifikasi pendidikan formal, tetapi juga kemampuan ilmiahnya dan ilmu yang telah ia peroleh, karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak bisa memberikannya. Maka diperlukan kualifikasi ilmiah, kemampuan intelektual, dan juga kemampuan fisik. Semua hal ini jelas dibutuhkan sesuai keadaan dan kedudukan masing-masing sarana.

===***===

KLASIFIKASI JENIS MEDIA UNTUK BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI

Media dan sarana umum itu banyak, beragam, dan selalu baru sebagaimana telah disebutkan, di antaranya:

****

KLASIFIKASI JENIS PERTAMA:
MEDIA YANG DIBACA (TULISAN ATAU KARYA ILMIAH):

Karena manusia membaca tulisan, maka tidak selayaknya dikatakan bahwa mereka telah meninggalkan kitab-kitab induk (sumber asli). Buktinya adalah kenyataan yang terlihat, yaitu banyaknya perpustakaan yang dibuka dan beragamnya koleksi yang dipajang di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pembaca. Oleh karena itu, mulai muncul karya-karya baru yang sebelumnya terasa asing bagi pandangan dan pemikiran kita.

Seandainya tidak ada pembaca, buku-buku tersebut tidak akan ditemukan, padahal buku memiliki kredibilitas yang lebih dibandingkan selainnya.

Ada pula yang membaca majalah dan surat kabar, yang penting tulisan itu tetap dibaca. Tulisan yang dibaca juga biasanya dijaga dan dipelihara, buktinya adalah perpustakaan rumah. Bahkan yang hanya meletakkannya sekadar hiasan, tetap saja ada orang yang datang lalu membacanya.

Sering kali ketika kita bertamu ke suatu rumah, tuan rumah pergi sebentar dan kita pun sibuk membaca koleksi bukunya tanpa terasa lamanya waktu ditinggalkan.

====

MACAM-MACAM MEDIA BACAAN DAN TULISAN

Media dan Sarana (wasilah) bacaan dan tulisan juga beragam, di antaranya:

----

PERTAMA : MEDIA KARYA TULIS (KARANGAN):

Tujuan dari karya tulis tidak boleh sekadar menulis atau untuk bersaing, melainkan harus dilandasi kebutuhan.

Haji Khalifah berkata:

(ثُمَّ إنَّ التَّأليفَ على سَبْعَةِ أَقْسامٍ لا يُؤلِّفُ عالِمٌ عاقِلٌ إلَّا فيها، وهي: إِمَّا شَيءٌ لَمْ يُسْبَقْ إلَيْهِ فيَخْتَرِعُهُ، أو شَيءٌ ناقِصٌ يُتِمُّهُ، أو شَيءٌ مُغْلَقٌ يَشْرَحُهُ، أو شَيءٌ طَويلٌ يَخْتَصِرُهُ دُونَ أنْ يُخِلَّ بِشَيءٍ مِنْ مَعانِيهِ، أو شَيءٌ مُتَفَرِّقٌ يَجْمَعُهُ، أو شَيءٌ مُخْتَلِطٌ يُرَتِّبُهُ، أو شَيءٌ أَخْطَأَ فيه مُصَنِّفٌ فَيُصْلِحُهُ. ويَنْبَغِي لِكُلِّ مُؤَلِّفِ كِتابٍ في فَنٍّ قدْ سُبِقَ إلَيْهِ أنْ لا يَخْلُوَ كِتابُهُ مِنْ خَمْسِ فَوائِدَ: اسْتِنْباطُ شَيءٍ كانَ مُعْضِلاً، أو جَمْعُهُ إنْ كانَ مُفَرَّقاً، أو شَرْحُهُ إنْ كانَ غامِضاً، أو حُسْنُ نَظْمٍ وتَأليفٍ، أو إسْقاطُ حَشْوٍ وتَطْويلٍ)

“Kemudian sesungguhnya penulisan karya tulis terbagi menjadi tujuh bagian. Tidaklah seorang alim yang berakal menulis karya tulisnya kecuali dalam salah satunya:

(1) sesuatu yang belum pernah ditulis lalu ia menciptakannya;

(2) sesuatu yang kurang lalu ia menyempurnakannya;

(3) sesuatu yang sulit lalu ia menjelaskannya;

(4) sesuatu yang panjang lalu ia meringkasnya tanpa merusak maknanya;

(5) sesuatu yang tercerai-berai lalu ia mengumpulkannya;

(6) sesuatu yang campur aduk lalu ia menyusunnya;

(7) atau sesuatu yang salah lalu ia memperbaikinya.

Dan setiap penulis dalam satu bidang yang telah ada sebelumnya sebaiknya tidak mengosongkan bukunya dari lima manfaat:

1] menyelesaikan suatu masalah yang sulit,

2] mengumpulkan masalah yang tercerai-berai,

3] menjelaskan masalah yang samar,

4] memperindah susunan dan penulisan,

5] atau membuang hal yang berlebihan dan bertele-tele” (Kasyf adz-Dzunun 1/36-35).

Maka kerja dakwah adalah bisnis perdagangan dengan Allah, bukan perdagangan materi dengan dirham dan dinar. Perdagangan materi bersandar pada persaingan, sehingga yang kuatlah yang bertahan.

Namun pekerjaan dakwah berbeda: jika seorang da’i melihat orang lain telah melaksanakan apa yang ia ingin lakukan, maka hendaklah ia memuji Allah karena ada yang telah melaksanakan tugas itu.

Masih banyak bidang lain, sehingga ia bisa mencari jalan yang lain. Artinya, bukan tujuan para da’i untuk menjatuhkan pribadi orang lain atau meremehkan, melainkan saling menguatkan, mendukung, meluruskan, mendekatkan, membimbing, menasihati, bukan menelanjangi aib (orang lain).

----

KEDUA : MEDIA ARTIKEL-ARTIKEL (RISALAH):

Media artikel (risalah) terbagi menjadi dua:

Jenis pertama : Artikel (risalah) pribadi .

Contohnya seperti yang dilakukan sebagian lembaga dakwah, atau yang dilakukan sebagian individu dengan mengirim artikel kepada para hobiis korespondensi yang disebutkan dalam majalah atau surat kabar, atau artikel yang dikirim kepada sahabat karena cinta dan persaudaraan.

Jenis kedua : artikel khusus (risalah) .

Yakni artikel dalam berbagai masalah aqidah, fiqih, akhlak, adab, dan lainnya. Artikel jenis kedua inilah yang paling banyak saat ini. Dari satu sisi, ini merupakan fenomena yang baik, tetapi dari sisi lain bisa membawa mudharat, terutama bila pembacanya adalah orang yang gemar membaca. Bisa jadi mereka hanya membaca artikel-artikel itu dan meninggalkan kitab-kitab besar dan kitab-kitab utama yang menjadi sumbernya, baik secara langsung maupun mendekati.

Di antara bentuk artikel (risalah) baru yang menarik adalah pesan singkat (SMS). Jika digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, ia dapat memberi pengaruh yang besar.

----

KETIGA : KATA PENGANTAR UNTUK KARYA TULIS ORANG LAIN:

Biasanya diminta dari seseorang yang memiliki kedudukan ilmiah atau sosial, sesuai dengan karya yang ditulis. Bagi siapa pun yang diminta menulis pengantar buku, khususnya bila buku itu terkait dengan ilmu syariat, hendaklah ia menyertakan ajakan kepada Allah dan menghindari pujian berlebihan kepada penulis, cukup secukupnya saja agar menjaga kebenaran dan persahabatan di antara keduanya.

Sering kali seseorang membaca pengantar suatu buku dan mendapati bahwa isinya lebih banyak memuji penulis daripada membicarakan isi buku. Ini seakan memberikan rekomendasi mutlak kepada penulis, padahal suatu hari nanti penulis itu bisa saja menulis sesuatu yang tidak layak dan tidak sesuai dengan reputasi baik yang telah diberikan sebelumnya. Terutama jika ia termasuk ulama yang dikenal, maka yang utama adalah menilai karya tulisnya, bukan orangnya. Bahkan seorang penulis yang menyimpang sekalipun, jika tidak dikritik idenya melainkan hanya pribadinya, bisa jadi suatu hari ia kembali kepada kebenaran dan bertaubat kepada Allah.

Maka yang tetap penting adalah isi tulisan itu, karena ia akan tetap berada di perpustakaan umum dan pribadi. Oleh karena itu, kita harus menghindari celaan mutlak atau rekomendasi mutlak terhadap orang, kecuali dengan batasan syariat, sambil menutup dengan kalimat:

هَكَذَا أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَداً

“Demikianlah menurutku, Allah-lah yang Maha Mengetahui, dan aku tidak menyanjung seorang pun di hadapan Allah.”

----

KEEMPAT : MEDIA SURAT KABAR DAN MAJALAH:

Media ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

1] surat kabar dan majalah yang khusus membahas ilmu-ilmu syar’i, dan keterlibatan di dalamnya tidak bermasalah.

2] Sedangkan yang kedua adalah surat kabar dan majalah umum dengan topik yang beragam.

Berpartisipasi di dalamnya merupakan hal yang baik dan dianjurkan, hanya saja sebaiknya peserta – terutama jika ia seorang tokoh berpengaruh dan terkenal – memiliki peran dalam menentukan beberapa hal, di antaranya:

*Menentukan tempat publikasi tulisannya. Sebagaimana diketahui, surat kabar umum memiliki rubrik yang beragam, sehingga jika ia ingin ikut berpartisipasi, maka ia perlu menetapkan syarat agar tulisannya ditempatkan pada bagian yang sesuai dan jauh dari hal-hal yang tidak pantas.

*Mensyaratkan agar tidak ada campur tangan yang mengubah makna, yang bisa menyebabkan perubahan substansi dari tulisan yang ia buat.

Seorang penulis yang tujuannya berdakwah kepada Allah melalui tulisannya seharusnya menulis dengan hidup dan bersemangat. Sebab, sering kali tulisan sebagian orang terasa lemah meskipun didukung dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Akan tetapi, kekuatan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah membutuhkan cara penyampaian yang kuat pula, sehingga sisi istidlal (pengambilan dalil) benar-benar jelas dan terang. Karena ada perbedaan besar antara dalil dengan pemahaman darinya.

Pembaca pada umumnya sudah mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah, sebab keduanya ada di tangan mereka, tetapi bagaimana seorang penulis mampu membuka wawasan mereka terhadap teks-teks tersebut, itulah yang penting.

Hal lain yang perlu disyaratkan penulis adalah agar tulisannya tidak diterbitkan pada waktu yang tidak tepat, misalnya ketika pembaca secara umum sedang sibuk dengan suatu hal besar atau peristiwa baru yang menyita perhatian mereka, sehingga fokus bacaan mereka tertuju pada berita, penyebab, dan dampak dari peristiwa itu.

---

KELIMA : MEDIA INTERNET :

Termasuk sarana modern yang, meskipun bersifat audiovisual, namun aktivitas membacanya lebih dominan dibandingkan mendengar, adalah internet. “Tidak mungkin lagi untuk mengabaikan internet, menganggapnya tidak ada, atau menyebutnya semata-mata sebagai sesuatu yang buruk yang diciptakan Barat untuk merusak dan menyesatkan umat Islam. Mengapa? Karena alasan sederhana: pengalaman nyata telah membuktikan bahwa internet adalah sesuatu yang bisa dikendalikan dan dimanfaatkan sesuai yang kita kehendaki”. [Al-Internet fi Khidmat al-Islam, karya Abdul Mun’im Hasan al-Nahdi, hlm. 10.]

Oleh sebab itu, menjauhi internet pada masa kini justru merupakan bentuk menyia-nyiakan salah satu peluang terbaik dalam bidang dakwah kepada Allah.

Bagi yang ingin berpartisipasi melalui internet, sebaiknya ia memiliki bekal ilmu syar’i yang memadai, juga kemampuan berdialog dan meyakinkan. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari tulisan panjang, diskusi serius, percakapan ringan, hingga apa yang dikenal dengan istilah “chatting”. Seorang da’i tidaklah membutuhkan selain pertolongan Allah, lalu memanfaatkan sarana ini dengan cara yang terbaik, sehingga perannya bisa benar-benar efektif dan memberikan kontribusi nyata.

****

KLASIFIKASI JENIS KEDUA: MEDIA SUARA (AUDIO)

Media ini mencakup hal-hal yang dapat dilihat dan yang tidak dapat dilihat, dan masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendengar sesuai dengan kekuatan materi, kualitas penyampaian, serta kesesuaian waktu dan kondisi. Media suara memiliki berbagai jenis, di antaranya:

----

KE 1. PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN:

Pengajaran dengan berbagai bentuknya, baik melalui pendidikan formal, halaqah Al-Qur’an, maupun pelajaran ilmiah lainnya di masjid. Seorang pengajar, siapapun muridnya, apabila memperhatikan keadaan dan situasi serta berbicara dengan bahasa yang dipahami oleh mereka, maka nasihat dakwahnya akan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan dan semangat belajar mereka, bahkan sekalipun murid-murid itu masih di tingkat dasar.

Amr bin Al-‘Ash pernah berkata kepada sekelompok orang yang duduk di dekat Ka’bah setelah beliau selesai thawaf dan bergabung dengan mereka, sedangkan mereka menyingkirkan anak-anak muda dari majelis mereka. Beliau berkata:

"لَا تَفْعَلُوا! أَوْسِعُوا لَهُمْ، وَأَدْنُوهُمْ وَأَلْهِمُوهُمْ، فَإِنَّهُمْ الْيَوْمَ صِغَارُ قَوْمٍ يُوشِكُ أَنْ يَكُونُوا كِبَارَ قَوْمٍ آخَرِينَ، قَدْ كُنَّا صِغَارَ قَوْمٍ أَصْبَحْنَا كِبَارَ آخَرِينَ".

“Jangan lakukan itu! Lapangkan tempat untuk mereka, dekatkan mereka, dan berilah mereka inspirasi. Karena mereka hari ini hanyalah anak-anak kecil dari suatu kaum, namun sebentar lagi mereka akan menjadi tokoh-tokoh besar dari kaum lain. Dahulu kami pun merupakan anak-anak kecil dari suatu kaum, lalu kami menjadi tokoh-tokoh besar dari kaum lain.”

Imam Ibnu Muflih rahimahullah memberikan komentar terhadap perkataan ini:

"وَهَذَا صَحِيحٌ لَا شَكَّ فِيهِ، وَالْعِلْمُ فِي الصِّغَرِ أَثْبَتُ، فَيَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِصِغَارِ الطَّلَبَةِ لَا سِيَّمَا الأَذْكِيَاءُ الْمُتَيَقِّظُونَ الْحَرِيصُونَ عَلَى أَخْذِ الْعِلْمِ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ عَلَى ذَلِكَ صِغَرُهُمْ أَوْ فَقْرُهُمْ وَضَعْفُهُمْ مَانِعًا مِنْ مُرَاعَاتِهِمْ وَالِاعْتِنَاءِ بِهِمْ".

“Hal ini benar tanpa keraguan. Ilmu yang dipelajari sejak kecil akan lebih melekat. Maka hendaknya memperhatikan para pelajar kecil, khususnya yang cerdas, tanggap, dan bersemangat dalam menuntut ilmu. Tidak selayaknya usia muda, kefakiran, atau kelemahan mereka menjadi penghalang untuk memberikan perhatian dan bimbingan kepada mereka.”

(Al-Ādāb Asy-Syar‘iyyah wal Manah Al-Mar‘iyyah, 1/244).

Guru yang sukses adalah guru yang berusaha membuka wawasan para murid dan menghubungkan mereka dengan Sang Pencipta melalui setiap kesempatan yang muncul dalam penjelasan dan penyampaian pelajarannya, apa pun mata pelajaran yang diajarkan. Hal ini merupakan salah satu dasar dan tujuan utama pendidikan. Selain itu, ini juga merupakan tanda keberkahan seseorang jika ia diberi taufik untuk melakukannya.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

(... فَإِنَّ بَرَكَةَ الرَّجُلِ تَعْلِيمُهُ لِلْخَيْرِ حَيْثُ حَلَّ، وَنَصْحُهُ لِكُلِّ مَنِ اجْتَمَعَ بِهِ، قَالَ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنِ الْمَسِيحِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ﴿وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ﴾ أَيْ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ دَاعِيًا إِلَى اللهِ مُذَكِّرًا بِهِ، مُرَغِّبًا فِي طَاعَتِهِ، فَهَذَا مِنْ بَرَكَةِ الرَّجُلِ، وَمَنْ خَلَا مِنْ هَذَا فَقَدْ خَلَا مِنَ الْبَرَكَةِ، وَسُحِقَتْ بَرَكَةُ لِقَائِهِ وَالِاجْتِمَاعِ بِهِ ...).

Sesungguhnya keberkahan seseorang terletak pada ajarannya terhadap kebaikan di mana pun ia berada, serta nasihatnya kepada siapa pun yang ditemuinya. Allah Ta’ala berfirman tentang Isa ‘alaihis-salām: *‘Dan Dia menjadikan aku orang yang diberkahi di mana saja aku berada’* (QS. Maryam: 31), yakni sebagai pengajar kebaikan, penyeru kepada Allah, pemberi peringatan, dan pendorong untuk taat kepada-Nya. Maka inilah makna keberkahan seseorang. Barang siapa yang tidak memiliki hal ini, maka ia telah kehilangan keberkahan, dan pertemuan dengannya pun tidak membawa manfaat apa pun.”

(Risālah ilā Kulli Muslim, hlm. 5–6 dan Risalah Ibnu al-Qoyyim Ilaa Ahadi Ikhwanih hal. 5-6).

----

KE 2 : KHUTHBAH:

Khutbah sudah ada sejak zaman dahulu kala, karena manusia selalu membutuhkan sarana untuk berbicara dan menyampaikan sesuatu kepada orang lain — baik untuk memberi tahu mereka tentang hak dan kewajiban mereka, dari para ulama maupun para pemimpin mereka. Maka setiap orang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada masyarakat akan berkhutbah dengan cara yang sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Al-Jahizh berkata:

ثُمَّ اِعْلَمْ بَعْدَ ذٰلِكَ أَنَّ جَمِيعَ خُطَبِ الْعَرَبِ مِنْ أَهْلِ الْمَدَرِ وَالْوَبَرِ وَالْبَدْوِ وَالْحَضَرِ عَلَى ضَرْبَيْنِ: مِنْهَا الطِّوَالُ، وَمِنْهَا الْقِصَارُ، وَلِكُلِّ ذٰلِكَ مَكَانٌ يَلِيقُ بِهِ وَمَوْضِعٌ يُحْسِنُ بِهِ.

*“Ketahuilah bahwa seluruh khutbah orang Arab — baik dari kalangan penduduk kota maupun pedesaan, orang yang tinggal di tenda maupun di bangunan permanen — terbagi menjadi dua jenis: khutbah panjang dan khutbah pendek. Masing-masing memiliki tempat dan kondisi yang sesuai.”* (Al-Jahizh, *Al-Bayan wa al-Tabyin*, juz 2, halaman 7.)

Islam dtang lalu memberikan kekuatan dan makna baru kepada khutbah. Dari sisi kekuatan, Islam memperindah gaya bahasanya, memperindah susunan kata-katanya, dan menghiasinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Rasulullah , serta kisah-kisah dan syair-syair Arab. Para khatib sangat terpengaruh oleh Al-Qur’an dan sabda Rasulullah . Adapun dari sisi pentingnya, khutbah dijadikan sebagai ibadah — baik bagi yang menyampaikan maupun yang mendengarkan. Sebagaimana dalam hadits:

(... وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا)

*“Barang siapa yang memainkan kerikil (saat khutbah), maka sungguh ia telah berbuat sia-sia.”* (HR. Muslim no. 857).

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi khatib untuk memperhatikan hak para pendengarnya. Karena mereka diwajibkan mendengarkan khutbah, maka khatib harus memperhatikan isi materi, waktu penyampaian, panjang-pendek khutbah, kondisi jamaah, dan kesesuaian dengan keadaan serta peristiwa yang sedang terjadi agar khutbahnya benar-benar membawa manfaat dan bimbingan.

----

KE 3 : MAW’IDZOH (NASIHAT)

Mau‘izhah adalah sarana lisan yang digunakan oleh seorang penceramah untuk memengaruhi audiens dengan gaya yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Rasulullah sering memberikan mau‘izhah kepada para sahabatnya dengan nasihat yang sesuai dengan keadaan waktu itu.

Di antaranya hadits dari Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟

*“Rasulullah memberi kami nasihat yang sangat menyentuh setelah shalat Subuh, hingga mata kami berlinang air mata dan hati kami bergetar. Maka salah seorang berkata: Wahai Rasulullah, nasihat ini seakan nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’…”*

(HR. At-Tirmidzi no 7676 dan Abu Dawud no. 4607. At-Tirmidzi menilai hadis ini hasan sahih).

Biasanya, orang yang mendengarkan mau‘izhah tidak berada dalam kondisi siap secara khusus — bisa jadi setelah shalat wajib atau dalam suatu acara sosial. Karena itu, penceramah harus memperhatikan kondisi para pendengarnya dan tidak membuat mereka bosan.

----

KE 4 : MUHADHOROH (CERAMAH)

Ceramah berbeda dengan mau‘izhah. Dalam ceramah, para pendengar datang dengan kesiapan untuk mendengarkan. Ceramah biasanya disusun berdasarkan fakta-fakta ilmiah, disampaikan dalam waktu yang lebih panjang, dan membahas topik secara mendalam. Biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau diskusi di akhir acara. Oleh karena itu, seorang penceramah perlu memiliki kesiapan ilmiah, mental, dan psikologis agar mampu menjawab pertanyaan dengan baik dan mengakui bila ia belum mengetahui jawabannya.

----

KE 5 : NADWAH (SEMINAR)

Seminar memiliki keunggulan karena diikuti oleh beberapa pembicara, sehingga menghindarkan pendengar dari rasa jenuh. Pergantian pembicara dan variasi tema membuat acara lebih menarik — asalkan moderator tidak mendominasi pembicaraan sehingga mengurangi peran para narasumber.

----

KE 6 : RADIO

Penyiaran melalui radio memiliki kesamaan dengan tulisan di surat kabar atau majalah dari sisi penyebaran pesan. Apabila seorang dai melihat pentingnya berpartisipasi dalam program radio, hendaknya ia berupaya agar pesannya membawa perbaikan dan memberikan pengaruh positif bagi para pendengar. Tingkat efektivitas dan cara penyampaian tentu berbeda-beda sesuai kemampuan masing-masing dai.

----

KE 7 : TELEVISI DAN SALURAN SATELIT

Berpartisipasi dalam dakwah melalui televisi atau saluran satelit tidak lagi bisa dianggap sebagai sesuatu yang sepenuhnya buruk. Karena suara para dai kini dapat menjangkau jutaan manusia di seluruh dunia. Mengingat adanya persaingan ketat dengan pihak-pihak yang menentang Islam dalam hal akidah, moral, dan keyakinan, para dai perlu melakukan kajian yang serius untuk menemukan cara paling tepat dalam menggunakan media ini agar dapat membawa manfaat sebesar-besarnya atau setidaknya mengurangi keburukan yang mungkin terjadi.

---

KE 8 : KASET, CD DAN FLASH DISK ISLAMI

Kaset, cd dan flash disk Islami adalah media dakwah yang lama namun terus diperbarui. Kini banyak lembaga Islam yang secara khusus memproduksi dan mendistribusikan kaset, cd dan flash disk dengan berbagai isi — mulai dari pelajaran ilmiah, ceramah, nasyid, hingga kisah sejarah yang menghubungkan generasi sekarang dengan masa lalu mereka. Semua ini menjadikan kaset, cd dan flash disk sebagai sarana dakwah yang mudah didengarkan dan disebarluaskan. Lembaga-lembaga yang mengelolanya hendaknya terus berinovasi, memperhatikan kualitas isi, dan mempermudah penyebaran serta kepemilikannya.

****

KLASIFIKASI JENIS KETIGA: LEMBAGA ILMIAH DAN DAKWAH:

Kerja kelembagaan memiliki kelebihan karena bersifat kolektif — melibatkan banyak orang dengan berbagai ide dan pemikiran. Setiap anggota diberdayakan sesuai kemampuannya, demi kemajuan dan keberlangsungan lembaga tersebut. Ini merupakan bentuk pemanfaatan terbaik terhadap potensi manusia, serta memastikan lembaga tidak bergantung pada satu orang saja yang bila berhenti atau meninggal, maka kegiatan tidak akan berhenti.

Kerja lembaga juga memiliki ciri keteraturan dan ketelitian, jauh dari sikap spontan dan tidak terencana. Setiap anggota memahami hak dan tanggung jawabnya, dan keputusan diambil melalui dewan atau majelis yang ditunjuk, bukan oleh individu secara sepihak. Karena itu, kegiatan lembaga-lembaga seperti ini biasanya lebih sedikit kesalahan dan lebih banyak manfaatnya.

Lembaga-lembaga dakwah dan sosial di negeri-negeri Islam merupakan contoh nyata dari sistem kerja seperti ini. Termasuk di dalamnya adalah pusat-pusat kegiatan musim panas dan kegiatan sekolah yang menjaga waktu para pemuda, melatih mereka berbicara dan berinteraksi, memberikan pengalaman ilmiah dan praktis yang membantu pembentukan kepribadian dan masa depan mereka, serta menuntun mereka untuk berperan aktif dalam melayani masyarakat dan umatnya.

****

KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA DAN SARANA LAINNYA

Sarana-sarana ini pada umumnya memiliki sifat berupa hubungan langsung dengan orang yang menjadi objek dakwah.

Di antaranya:

KE 1]. MENDATANGI TEMPAT ORANG-ORANG YANG DIDAKWAHI.

Seorang dai yang sungguh-sungguh ingin menyampaikan kebenaran kepada manusia wajib menggunakan sarana ini. Nabi Muhammad sendiri pernah mendatangi daerah ‘Ukadz, Dzul Majaz, dan tempat-tempat lainnya, serta menghadiri majelis dan pertemuan kaum Quraisy. Namun, orang yang hendak melakukannya haruslah dibekali dengan ilmu, kekuatan iman, serta cara berdakwah yang paling tepat sesuai dengan kondisi zaman, tempat, dan kemampuan.

KE 2]. MEMENUHI UNDANGAN :

Apabila seorang dai merasa memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat dan berbicara dengan baik, maka sudah sepatutnya ia memenuhi undangan tersebut. Memenuhi undangan merupakan salah satu hak seorang Muslim atas saudaranya, terlebih jika dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran yang tidak bisa diubah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

"خَمْسٌ تَجِبُ لِلمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ: رَدُّ السَّلَامِ، وَتَشْمِيتُ العَاطِسِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَعِيَادَةُ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ."

“Lima hak seorang Muslim atas saudaranya: menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengiringi jenazah.” (HR. Muslim, 4/1704, hadis no. 2172)

Namun, seorang dai hendaknya tidak mendominasi pembicaraan sehingga orang lain tidak dapat saling berinteraksi, sebab tujuan utama dari acara sosial adalah untuk saling bertemu setelah lama berpisah dan mempererat hubungan keluarga atau pertemanan. Jika seorang dai terlalu banyak bicara, hal itu bisa menimbulkan rasa enggan di hati sebagian hadirin untuk mengundangnya kembali.

Agar seorang dai dapat memberikan pengaruh yang kuat kepada orang yang didakwahi, ia harus mudah dihubungi. Jika seorang dai terlalu menjaga jarak dan terlalu idealis dalam menjaga waktunya hanya untuk menuntut ilmu secara pribadi, maka para mad’u (orang yang didakwahi) bisa saja beralih kepada orang lain. Lalu, apa manfaat ilmu yang diperoleh jika tidak disampaikan kepada orang lain?

Selain itu, seringkali orang yang didakwahi menghadapi masalah yang membutuhkan bantuan seseorang untuk membantunya mengatasinya. Siapa lagi yang lebih pantas membantu selain para dai, yang disebut sebagai “dokter hati”?

Namun, seorang dai tetap harus mendidik mad’unya untuk menghargai waktu dan menghormati janji, sambil tetap memberi keringanan bagi orang awam atau pendatang yang hanya memiliki sedikit waktu untuk menemuinya.

KE 3]. MEMBANTU URUSAN MEREKA DAN MENDAMAIKAN DI ANTARA MEREKA.

Berusaha membantu kepentingan orang-orang yang didakwahi merupakan akhlak yang mulia dan bukti nyata bahwa seorang dai tidak mementingkan diri sendiri. Sikap ini menunjukkan rasa cinta terhadap kebaikan bagi orang lain. Ketika orang-orang datang kepada seorang dai untuk meminta bantuannya dalam memenuhi kebutuhan mereka, hal ini menjadi sarana bagi dai untuk menaklukkan hati mereka, karena kebaikan akan meninggalkan pengaruh mendalam dalam diri manusia — bahkan dapat mengubah kebencian menjadi cinta.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

"مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ..."

“Barang siapa melepaskan (menghilangkan) satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim, 4/2074, hadis no. 2699)

Jika seseorang yang didakwahi tidak mendapatkan apa pun dari seorang dai selain wajah yang ramah dan penuh senyum, hal itu sudah cukup memberikan pengaruh positif — apalagi jika disertai dengan bantuan nyata. Sebagaimana ungkapan sya’ir berikut ini :

لَا خَيْلَ عِنْدَكَ تُهْدِيهَا وَلَا مَالُ *** فَلْيَسْعَدِ النُّطْقُ إِنْ لَمْ تَسْعَدِ الْحَالُ

Tidak ada kuda atau harta yang bisa engkau hadiahkan *** maka biarlah ucapan yang baik menggantikan jika keadaan tak mampu.

(Lihat: *Syarh Diwan Abu Thayyib Al-Mutanabbi* karya Al-‘Ukbari, 3/276, qasidah no. 215)

Apalagi jika orang itu merasakan perhatian dan kesungguhan dai dalam membantunya, seperti ketika ia menghadapi masalah di rumah atau kesulitan dalam studi. Seorang dai seharusnya tidak membuatnya putus asa, juga tidak menanamkan harapan kosong yang berlebihan.

Sebagaimana halnya membantu urusan orang lain, seorang dai juga sebaiknya berusaha mendamaikan sesama Muslim. Ini termasuk perbuatan baik yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:

﴿لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفِ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضاَتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً

“Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Barang siapa melakukan itu untuk mencari keridaan Allah, maka Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 114)

Sebagian keluarga mengalami pertikaian di antara anggotanya, begitu pula sebagian teman atau rekan kerja. Dalam kondisi seperti itu, seorang dai perlu turun tangan untuk memperbaiki hubungan mereka, terutama jika diminta untuk melakukannya. Ia tidak boleh menghindar jika mampu, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Sa‘id yang berkata:

قُلْتُ: لِعَائِشَةَ: أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ قَاعِدٌ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، بَعْدَمَا حَطَمَهُ النَّاسُ.

Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Apakah Nabi shalat sambil duduk?”

Beliau menjawab: “Ya, setelah beliau menjadi lemah karena urusan manusia.” (HR. Muslim, 1/506, hadis no. 732)

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

"قَالَ الرَّاوِي فِي تَفْسِيرِهِ: يُقَالُ حَطَمَ فُلَانًا أَهْلُهُ إِذَا كَبِرَ فِيهِمْ، كَأَنَّهُ لِمَا حَمَلَهُ مِنْ أُمُورِهِمْ وَأَثْقَالِهِمْ وَالِاعْتِنَاءِ بِمَصَالِحِهِمْ سَيَّرُوهُ شَيْخًا مَحْطُومًا، وَالْحَطْمُ الشَّيْءُ الْيَابِسُ."

“Perawi berkata dalam penafsirannya: dikatakan seseorang ‘dihancurkan oleh keluarganya’ apabila ia telah menua karena banyaknya beban dan urusan mereka. Seolah-olah karena tanggung jawab dan perhatian terhadap kepentingan mereka, ia menjadi seperti orang tua yang lemah.”

Demikianlah keadaan Rasulullah — beliau adalah teladan utama dan manusia paling sempurna akhlaknya. Maka setiap da’i hendaknya meneladani beliau dalam hal ini.

****

KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA TRANSPORTASI DAN KENDARAAN:

Seorang da’i yang menyeru kepada Allah, ketika sedang berkendara bersama saudara-saudaranya, baik secara individu maupun berkelompok—baik kendaraannya berupa hewan tunggangan ataupun alat transportasi modern—hendaknya memanfaatkan sarana ini untuk berdakwah kepada Allah . Yaitu dengan memanfaatkan setiap momen untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini merupakan bagian dari kebiasaan Rasulullah bersama para sahabatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

"بَيْنَا أَنَا رَدِيفُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا آخِرَةُ الرَّحْلِ، فَقَالَ: (يَا مُعَاذُ). قُلْتُ: لَبَّيْكَ رَسُولَ اللهِ وَسَعْدَيْكَ ..."

“Ketika aku sedang membonceng Nabi dan antara aku dengan beliau tidak ada penghalang selain bagian belakang pelana, beliau bersabda, ‘Wahai Mu’adz.’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah dan aku siap melaksanakan perintahmu…’” (HR. Bukhari, 10/397, Hadis nomor 5367).

Metode Rasulullah ini untuk memberikan jawaban dan solusi bagi mereka yang beralasan sempitnya waktu atau terbatasnya kesempatan sehingga tidak bisa memberikan sesuatu kepada orang yang didakwahi.

Sebagai penutup, betapa banyak sarana dakwah yang bisa diterapkan dengan mudah dan tanpa biaya besar, baik secara fisik maupun finansial. Misalnya, dengan mengajak para pemilik toko untuk berpartisipasi dalam dakwah secara umum melalui pemasangan papan-papan petunjuk berisi nasihat dan pesan dakwah di dalam toko mereka. Jika barang dagangannya berkaitan dengan keperluan wanita, maka arahkan pesan sesuai kebutuhan mereka; jika bukan, maka sesuaikan dengan pengunjung tokonya.

Demikian pula dengan menyebarkan majalah-majalah Islam seperti *Majalah Ad-Da’wah*. Seorang pembaca yang telah selesai membacanya dan tidak bermaksud menyimpannya dapat meletakkannya di tempat umum, seperti di toko-toko, rumah makan atau tempat tukang cukur. Mungkin saja ada satu kata atau kalimat di dalamnya yang menjadi sebab hidayah bagi pembacanya, walaupun si pembaca pertama tidak meniatkannya demikian. Karena hati manusia memiliki kunci, dan terkadang ia terbuka atau tertutup pada waktu yang berbeda-beda.

Posting Komentar

0 Komentar