PENTINGNYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI
Di Tulis Oleh Abu Haitsam
Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
DAFTAR ISI :
- PERINTAH MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA
- PENTING-NYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH
- PERANG IDEOLOGI.
- MEDIA INFORMASI ADALAH SENJATA UTAMA DALAM PERANG IDEOLOGI
- PEMBAGIAN MEDIA DAN SARANA DAKWAH :
- KLASIFIKASI JENIS MEDIA UNTUK BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI
- KLASIFIKASI JENIS PERTAMA: MEDIA YANG DIBACA (TULISAN ATAU KARYA ILMIAH):
- KLASIFIKASI JENIS KEDUA: MEDIA SUARA (AUDIO)
- KLASIFIKASI JENIS KETIGA: LEMBAGA ILMIAH DAN DAKWAH:
- KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA TRANSPORTASI DAN KENDARAAN:
-----
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
PERINTAH MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA
Berikut ini dalil-dalil yang menunjukakan wajibnya
menyampaikan ilmu agama :
DALIL KE 1 :
Allah SWT berfirman :
﴿۞ يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ﴾
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya”. [QS. Maidah: 67]
DALIL KE 2 :
Tentang kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman
menyembunyikannya.
Dari 'Abdullah bin 'Amru -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ
بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang
kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (tidak berdosa). Dan siapa yang
berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya
di neraka".
HR. Bukhari (hadis nomor 3202), Abu Dawud, Hadis Nomor 3177; at-Tirmidzi,
Hadis Nomor 2593; dan Imam Ahmad, Hadis Nomor 6198.
DALIL KE 3 :
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-: Bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ثُمَّ لَا يُحَدِّثُ
بِهِ كَمَثَلِ الَّذِي يَكْنِزُ الْكَنْزَ فَلَا يُنْفِقُ مِنْهُ.
“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menyampaikannya
adalah seperti orang yang menyimpan harta namun tidak menafkahkannya darinya
(membayarkan zakatnya)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no.
689; shahih – lihat Ash-Shahiihah no. 3479].
DALIL KE 4 :
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr -radhiyallahu ‘anhuma- : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya
dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Hibbaan no. 96, Al-Haakim 1/102, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad
5/38-39; hasan].
DALIL KE 5 :
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah ﷺ :
"مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ
أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu lalu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari
kiamat kelak”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3658, At-Tirmidziy no. 2649,
Ath-Thayalisiy no. 2534, Ibnu Abi Syaibah 9/55, Ahmad 2/263 & 305 & 344
& 353 & 499 & 508, Ibnu Maajah no. 261, Ibnu Hibbaan no. 95,
Al-Haakim 1/101, Al-Baghawiy no. 140, dan yang lainnya; shahih].
===***===
PENTING-NYA MENGUASAI BERBAGAI MACAM MEDIA DALAM BERDAKWAH
Arti "Media" : Media adalah alat atau sarana
komunikasi yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan informasi dari
sumber ke penerima. Kata ini berasal dari bahasa Latin "medium", yang
berarti "tengah" atau "perantara".
Media dapat berupa bentuk cetak, seperti koran dan
majalah, hingga bentuk digital, seperti internet dan televisi.
Menguasai
berbagai
macam media sangat penting untuk berdakwah dan penyebaran agama
Islam di era modern;
karena media telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk memperoleh
informasi, berinteraksi, dan membentuk pandangan mereka.
Dengan
menguasai berbagai macam media, para dai dapat memperluas
jangkauan dakwah, beradaptasi dengan perubahan zaman, dan menghadapi tantangan
dakwah digital.
Dakwah
lewat
media digital sangat penting karena menjangkau audiens yang
lebih luas dan beragam secara cepat serta efektif, memberikan kemudahan akses
informasi keagamaan kapan saja dan di mana saja, serta menjadi sarana untuk
menyebarkan nilai-nilai positif dan moralitas Islam di tengah banjir informasi.
Manfaatnya termasuk membangun diskusi yang interaktif, menjangkau mereka yang
malu datang ke majelis taklim, dan menghadirkan dakwah yang aktual, faktual,
serta kontekstual.
Berikut
adalah beberapa alasan mengapa penguasaan berbagai macam media menjadi sangat penting dalam berdakwah dan penyebaran
agama Islam:
1]. Memperluas jangkauan dan aksesibilitas :
Melampaui
batasan geografis: Media digital seperti internet, media sosial, dan platform
berbagi video memungkinkan pesan dakwah menjangkau audiens yang jauh lebih
luas, tidak terbatas pada satu lokasi fisik seperti masjid.
Akses
kapan saja, di mana saja: Konten dakwah digital dapat diakses oleh umat Islam
di seluruh dunia kapan pun dan di mana pun mereka berada, memudahkan mereka
untuk memperdalam pemahaman agama.
2]. Beradaptasi dengan perkembangan zaman
Menjangkau
generasi milenial dan Gen Z: Generasi muda saat ini lebih akrab dengan media
sosial. Dengan menguasai media, para dai dapat menyajikan pesan dakwah dalam
format yang relevan dan menarik bagi mereka, seperti konten interaktif, video
pendek, atau podcast.
Mengemas
pesan dakwah secara kreatif: Penguasaan media memungkinkan dai untuk mengemas
dakwah dalam format yang kreatif dan menghibur (misalnya, da'wahtainment),
tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.
3]. Menghadapi tantangan dakwah di era digital
Melawan
misinformasi: Di tengah maraknya hoaks dan misinformasi di media sosial,
penguasaan media penting untuk menyebarkan narasi yang benar dan moderat
tentang Islam. Para dai dapat menghadapi tantangan ini dengan menyajikan konten
yang kredibel dan mendidik.
Membangun
etika digital: Dengan menguasai media, para dai dapat menunjukkan etika dan
adab yang baik dalam berkomunikasi di ruang digital, sehingga menjadi teladan
bagi para pengikutnya. Ini membantu membangun komunitas virtual yang positif
dan harmonis.
Menghadapi
stereotip negatif: Menguasai media juga penting untuk melawan stereotip negatif
tentang Islam yang seringkali disebarkan di media. Para dai dapat menampilkan
citra Islam yang damai dan toleran dengan menyajikan konten yang inspiratif dan
berfokus pada nilai-nilai universal.
4]. Meningkatkan keterampilan komunikasi
Memperkaya
metode dakwah: Media menyediakan berbagai metode baru untuk berdakwah, mulai
dari tulisan, gambar, video, hingga siaran langsung. Ini memungkinkan dai untuk
memilih metode yang paling efektif sesuai dengan pesan dan audiens yang dituju.
Menciptakan
interaksi dua arah: Media sosial memfasilitasi interaksi langsung antara dai
dan audiensnya. Ini memungkinkan mereka untuk berdiskusi, menjawab pertanyaan,
dan membangun hubungan yang lebih personal, yang tidak selalu mungkin dilakukan
dalam dakwah tradisional.
Secara
keseluruhan, menguasai media adalah keharusan strategis bagi para dai modern.
Hal ini bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi tentang memastikan bahwa
pesan-pesan kebaikan tetap relevan, efektif, dan dapat menjangkau sebanyak
mungkin orang di era digital.
===***===
PERANG IDEOLOGI
***
Makna
ideologi menurut para ahli:
Ia adalah seperangkat gagasan,
kepercayaan, atau prinsip yang menjadi landasan teori ekonomi dan politik,
pandangan hidup, serta pedoman untuk mencapai tujuan suatu masyarakat atau
bangsa.
Beberapa
para ahli seperti Karl Marx melihatnya sebagai alat untuk mencapai
kesetaraan, sementara A.S. Hornby mendefinisikannya sebagai seperangkat gagasan
yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik.
***
Makna ideologi dalam Islam :
Ia adalah seperangkat keyakinan
dan pemikiran yang berlandaskan akidah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan
Hadis, yang menjadi panduan bagi seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari
cara berpikir, bersikap, hingga mengatur tatanan sosial, politik, ekonomi, dan
budaya.
Islam
sebagai ideologi bertujuan untuk mengatur kehidupan secara komprehensif dan
dinamis agar sesuai dengan nilai-nilai ilahiah.
****
PERANG IDEOLOGI :
Perang
ideologi adalah persaingan antara sistem nilai, keyakinan, dan agama yang saling berlawanan, di mana kelompok sekte atau agama tertentu berusaha mempromosikan
ideologi mereka untuk memengaruhi opini publik dan menguasai dunia.
Perang
ini dapat melibatkan penyebaran informasi, propaganda, pengaruh budaya, dan
bahkan konflik bersenjata, dengan tujuan untuk memenangkan hati dan pikiran
masyarakat luas.
Perang ideologi dalam Islam, bisa disebut pula jihad
ideologi.
===
CIRI-CIRI PERANG IDEOLOGI :
Pertentangan
Nilai:
Perang
ideologi berpusat pada perbedaan mendasar tentang bagaimana umat manusia dunia seharusnya berkeyakinan, berprilaku dan berhukum. Begitu pula yang
berkaitan dengan kehidupan politik bernegara misalnya
antara khilafah,
demokrasi dan otoritarianisme, atau kapitalisme dan
komunisme.
Perang
Gagasan:
Pertempuran
utama terjadi di ranah pikiran dan gagasan, dengan tujuan memenangkan pengakuan dan
dukungan masyarakat.
Penggunaan
Beragam Saluran: Melibatkan propaganda, media sosial, pendidikan, program
kebudayaan, serta kampanye informasi untuk menyebarkan pandangan mereka.
Dampak
Luas:
Perang
ideologi dapat menciptakan ketegangan internasional, perseteruan antar bangsa dan
antar agama, memengaruhi kebijakan, dan membentuk
dinamika sosial di berbagai belahan dunia.
Tujuan
Politik dan Ekonomi dari perang Ideologi :
Tujuannya
adalah untuk meraih pengaruh politik, sosial, atau ekonomi, serta mengubah cara
hidup masyarakat sesuai ideologi yang diyakini.
===
CONTOH PERANG IDEOLOGI :
Contoh ke 1 : Perang
Ideologi antar agama dan kepercayaan :
Contohnya : Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara
pada abad ke-16 M, sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam. Islam
sendiri datang pada abad ke 9-10 M melalui para pedagang Muslim India, Arab,
dan Persia.
Sejak awal kedatangannya, kedua agama itu sudah
diwarnai oleh suasana persaingan alias perang berebut masa dan pengikut .
Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah
terlibat pula persaingan, konfrontasi, dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara,
dan Eropa Barat.
Pengalaman konflik dan persaingan antara masyarakat
kedua agama tersebut menjelaskan sikap dan perasaan negatif satu sama lain,
sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara.
Contoh ke 2 : Perang Dingin:
Diantara contoh klasik perang ideologi
antara Amerika Serikat yang menganut kapitalisme dan demokrasi, dengan Uni
Soviet yang menganut komunisme.
Perang
ini tidak melibatkan pertempuran militer besar antara kedua negara adidaya,
melainkan melalui perang proksi dan penyebaran pengaruh ideologi.
Dampak
dan Tren Terkini dari perang Ideologi:
Peran
Media Sosial: Media sosial dan disinformasi menjadi alat yang kuat untuk
menyebarkan ideologi dan memengaruhi opini publik.
Munculnya
Hoaks dan Disinformasi: Berita palsu dan kampanye disinformasi digunakan untuk
memanipulasi pandangan dunia.
Peran
Negara Otoriter:
Negara-negara
seperti Rusia dan Tiongkok semakin aktif dalam mempromosikan model pemerintahan
otoriter mereka dan menantang nilai-nilai liberal yang dominan di dunia.
===***===
MEDIA ADALAH SENJATA UTAMA DALAM PERANG IDEOLOGI
Salah satu sarana dan wasilah jihad ideologi adalah media
dakwah.
Sesungguhnya media dakwah termasuk perkara yang sama
sekali tidak mungkin ditinggalkan dalam jihad fi sabilillah, demi untuk
menyebarkan ideologi Islam dan memerangi ideologi kafir, karena tidak terbayang
oleh akal orang yang berakal sehat untuk mencapai suatu tujuan tanpa
menggunakan media, sarana atau alat yang menghantarkan kepadanya.
Rasulullah ﷺ telah menggunakan sarana dan media yang tersedia pada masanya,
beliau ﷺ menyuarakan
kebenaran di bukit Shafa, berseru kepada Quraisy dengan panggilan wahai kaum di
pagi hari.
Beliau ﷺ juga menyampaikan dakwahnya di tempat pertemuan manusia dan
pasar-pasar mereka.
Beliau ﷺ berkeliling di tempat-tempat manasik haji, menemui
kabilah-kabilah, menyampaikan risalah, dan mencari pertolongan untuk agama.
Sesungguhnya di antara kewajiban yang harus dilakukan
oleh seorang da’i adalah menentukan apa yang ia dakwahkan serta menggunakan
sarana yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada objek dakwah. Sebab sama
sekali tidak terbayang adanya dakwah tanpa sarana.
Media Informasi merupakan
salah satu wasilah (sarana) untuk berdakwah.
Adapun makna wasilah dakwah, Al-Jauhari berkata :
الوَسِيلَةُ ما يَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى
الغَيْرِ، وَالجَمْعُ الوُسُلُ وَالوَسَائِلُ ..
“Al-Wasilah
adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada orang lain.
Bentuk jamaknya al-wusul dan al-wasa’il.” Ash-Shihah, bab (Wasl) 5/1841.
Ibnu Katsir berkata:
"الوَسِيلَةُ
هِيَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى تَحْصِيلِ المَقْصُودِ"
“Al-Wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk
mencapai tujuan.” Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 2/55)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
" إِنَّ الدَّاعِيَ
الَّذِي يَدْعُو غَيْرَهُ إِلَى أَمْرٍ، لَا بُدَّ فِيمَا يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ أَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: المَقْصُودُ وَالمُرَادُ.
وَالثَّانِي: الوَسِيلَةُ وَالطَّرِيقُ
المُوصِلُ إِلَى المَقْصُودِ.
فَلِهَذَا يُذْكَرُ الدَّعْوَةُ تَارَةً
إِلَى اللهِ، وَتَارَةً إِلَى سَبِيلِهِ، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ المَعْبُودُ المَرَادُ
المَقْصُودُ بِالدَّعْوَةِ."
“Sesungguhnya seorang da’i yang mengajak orang lain
kepada suatu perkara, maka dalam dakwahnya terdapat dua hal yang mesti ada:
Pertama: tujuan dan maksud yang dituju.
Kedua: sarana (wasilah) dan jalan yang menghantarkan
kepada tujuan.
Karena itulah dakwah terkadang disebut dakwah kepada
Allah dan terkadang disebut dakwah kepada jalan-Nya, sebab Dialah yang
disembah, yang dimaksud, dan tujuan dakwah” (Al-Fatawa 15/162).
Seorang da’i dituntut secara akal dan syariat untuk menggunakan
sarana syar’i yang sesuai, yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada mad’u
(orang yang didakwahi), khususnya ketika seorang da’i memahami bahwa agama
terbagi dua:
1]. Ibadah: yang memperbaiki
urusan akhirat. Asalnya adalah tauqif dalam jenis, sifat, jumlah, sebab, dan
waktunya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
﴿أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ﴾
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(Asy-Syura ayat 21).
2]. Adat atau muamalah: yang
memperbaiki urusan dunia. Asalnya adalah halal dan boleh, seperti akad, syarat,
dan sarana. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
﴿قُلْ أَرَأَيْتُم
مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا
قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ﴾
“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya
halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan idzin kepadamu atau kamu
mengada-adakan terhadap Allah?” (4: Yunus ayat 59).
Berdasarkan hal ini, maka siapa yang mengklaim suatu
ibadah, wajib baginya mendatangkan dalil. Dan siapa yang melarang suatu adat
atau muamalah, juga wajib baginya mendatangkan dalil.
Barangkali apa yang dicontohkan Syaikhul Islam sejalan
dengan hal ini, beliau berkata:
" وَلَوْ سُئِلَ
العَالِمُ عَمَّنْ يَعْدُو بَيْنَ جَبَلَيْنِ: هَلْ يُبَاحُ لَهُ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ.
فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُ عَلَى وَجْهِ العِبَادَةِ كَمَا يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالمَرْوَةِ،
قَالَ: إِنْ فَعَلَهُ عَلَى هَذَا الوَجْهِ حَرَامٌ مُنْكَرٌ، يُسْتَتَابُ فَاعِلُهُ،
فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ.
وَلَوْ سُئِلَ: عَنْ كَشْفِ الرَّأْسِ،
وَلُبْسِ الإِزَارِ، وَالرِّدَاءِ، أَفْتَى بِأَنَّ هَذَا جَائِزٌ، فَإِذَا قِيلَ:
إِنَّهُ يَفْعَلُهُ عَلَى وَجْهِ الإِحْرَامِ كَمَا يُحْرِمُ الحَاجُّ، قَالَ: إِنَّ
هَذَا حَرَامٌ مُنْكَرٌ..."
“Seandainya seorang alim ditanya tentang orang yang
berlari di antara dua gunung, apakah itu boleh? Ia akan menjawab: Ya, boleh.
Tetapi jika dikatakan bahwa ia melakukannya dalam rangka ibadah seperti sa’i
antara Shafa dan Marwah, maka ia akan berkata: Jika dilakukan dengan maksud
itu, maka perbuatan tersebut haram, mungkar, dan pelakunya diminta bertobat.
Jika ia bertobat maka dimaafkan, jika tidak maka ia dibunuh.
Seandainya ia ditanya tentang menyingkap kepala,
memakai izar dan rida, maka ia akan berfatwa: Itu boleh. Tetapi jika dikatakan
bahwa ia melakukannya dengan maksud ihram seperti seorang yang berhaji, maka ia
akan berkata: Itu haram dan mungkar” (Majmu’ al-Fatawa 11/632).
Prof. DR. Mushthofa Makhdum (guru
ushul fiqih saya di UIM) berkata :
" وَالخُلَاصَةُ
أَنَّ مَقْصُودَ الدَّعْوَةِ الإِسْلَامِيَّةِ هِدَايَةُ النَّاسِ وَتَحْقِيقُ المَصَالِحِ
لَهُمْ، فَكُلُّ وَسِيلَةٍ عَادِيَّةٍ تُؤَدِّي إِلَى هَذَا المَقْصُودِ، وَتُحَقِّقُهُ
دُونَ أَنْ يُعَارِضَهَا نَهْيٌ شَرْعِيٌّ فَإِنَّهَا تَكُونُ فِي دَائِرَةِ المَشْرُوعِيَّةِ
وَالاِعْتِبَارِ.."
Kesimpulannya, tujuan dakwah Islam adalah memberi
petunjuk kepada manusia dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Maka setiap
sarana adat yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut tanpa adanya
larangan syar’i, maka ia termasuk sah dan dianggap dalam syariat (Qawa’id
al-Wasa’il fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Dr. Musthafa bin Karama Allah
Makhdum, hlm. 343).
Apabila makna umum dari sarana adalah segala hal yang
menghantarkan kepada tujuan, baik kebaikan maupun keburukan, maka makna khusus
yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah segala hal yang digunakan seorang
da’i untuk menyampaikan dakwahnya kepada mad’u. Dari sini tampak jelas
pentingnya sarana, sebab sarana bukan monopoli seseorang saja, melainkan
terbuka untuk semua orang. Karena itu kita melihat musuh-musuh umat ketika
mereka berusaha merusak umat Islam atau menghalangi orang non-muslim dari
Islam, baik dengan memasukkan mereka ke dalam apa yang mereka serukan, atau
dengan mempertahankan mereka pada keadaan mereka, maka mereka menggunakan
berbagai macam sarana untuk mencapai tujuan mereka.
Saya sebutkan satu contoh dari sarana yang digunakan
oleh mereka, yaitu sarana yang digunakan oleh kaum Nasrani, yakni sarana
mempengaruhi pikiran melalui nama-nama tokoh atau nama pribadi atau nama produk.
Misalnya nama-nama yang diberikan sebagian orang
kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan.
Nama-nama asing yang terlihat di jalanan kita sering menemukan
kesamaan dengan nama yang ada di negeri kafir.
Demikian pula masalah penamaan dengan nama-nama orang
kafir, terutama nama perempuan atau selebriti, sehingga nama tersebut menjadi
biasa dan melekat di benak kalangan kaum muslimin, padahal nama tersebut adalah
nama khusus bagi orang kafir. Hal ini membuat sulit untuk membedakan, walaupun hanya
sekadar nama.
(Lihat: At-Tanshir Mafhûmuhu wa Ahdâfuhu wa
Subul Muwaajahatihi, Prof. Dr. Ali bin Ibrahim an-Namlah).
Walaupun kita mengatakan bahwa media dan sarana (wasilah) itu
terbuka untuk semua, namun mereka berpegang pada prinsip :
"الغَايَةُ
تُبَرِّرُ الوَسِيلَةَ".
“Demi Tujuan akhir, maka itu menghalalkan
segala cara (wasilah)”.
Sedangkan kita dalam Islam berprinsip :
"الوَسَائِلُ
لَهَا حُكْمُ الغَايَاتِ أَوِ المَقَاصِدِ".
“Bahwa hukum wasilah
(sarana) mengikuti hukum tujuan akhirnya atau maksudnya”.
Pemilihan media dan sarana (wasilah) yang tepat
merupakan sebab tercapainya tujuan. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa ada
sebagian pemikiran yang mendapatkan penyebaran luas karena sarana yang
digunakan untuk menyebarkannya, meskipun pada hakikatnya ia batil.
Sementara itu, kita dapati ada para da’i di beberapa
tempat yang dakwahnya mengalami kelesuan atau kelemahan, padahal Islam itu
sendiri memiliki potensi besar untuk menyebar karena kesesuaiannya dengan
zaman, tempat, dan fitrah yang Allah ciptakan manusia di atasnya.
Namun penyebarannya menjadi sedikit, dan jika
ditelusuri penyebabnya, maka akan ditemukan bahwa buruknya dalam penggunaan media
dan sarana memiliki peran dalam hal itu.
Berdasarkan kaidah syariat dikatakan :
"الوَسَائِلُ
لَهَا حُكْمُ المَقَاصِدِ".
“Bahwa sarana (wasilah) memiliki hukum
tujuan”,
Maka harus diketahui aturan-aturan yang menjaga media
dan sarana tersebut dan orang yang menggunakannya dari kekeliruan dan
kekacauan.
Ada dua aturan yang harus diperhatikan, yaitu:
Pertama: idzin syar’i.
Yakni bahwa media dan sarana tersebut harus
diperbolehkan. Baik idzin dengan nash (datang secara eksplisit dalam dalil),
maupun idzin karena masuk di bawah kaidah umum seperti hukum mubah, yaitu salah
satu dari lima hukum taklifi syar’i. Sesuatu yang mubah tidak menjadi haram
hanya karena seseorang meniatkan niat yang baik dengannya. Perlu dibedakan
antara niat baik secara umum dengan niat mendekatkan diri dan beribadah murni.
Kedua: maslahat.
Yaitu mencakup kesesuaian keadaan, pemilihan sarana,
serta dominannya maslahat atas mafsadat. Hal ini membutuhkan ketelitian dan
kebersihan hati.
===***===
PEMBAGIAN MEDIA DAN SARANA DAKWAH :
Setelah menjelaskan pentingnya dan aturan-aturan
syariat terkait sarana dakwah, yang pada hakikatnya juga merupakan wadah dari
metode dakwah, maka kita mulai menyebutkan beberapa media dan sarana dakwah
yang dapat dibagi ke dalam tiga bagian:
BAGIAN PERTAMA: MEDIA DAN SARANA
MAKNAWI.
Yaitu sarana yang berkaitan langsung dengan diri da’i
itu sendiri, seperti kesabarannya, perencanaannya, perhitungannya, dan
kecintaannya terhadap kebaikan bagi orang lain, sebagaimana doa Nabi ﷺ:
"اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ".
“Ya Allah, ampunilah kaumku
karena mereka tidak mengetahui”
(Hadis riwayat Bukhari no. 3477 dan Muslim no. 1702).
Dan selain itu, hal-hal yang kebanyakan kembali kepada
fitrah lalu ditambah dengan usaha dalam perkara lain.
BAGIAN KEDUA : MEDIA DAN SARANA
KHUSUS.
Media dan Sarana (wasilah) ini tidak berlaku untuk
semua orang, melainkan terkait dengan negara Islam dan waliyyul amr (pemimpin
umat Islam) yang bertanggung jawab atas urusan mereka.
Di antara tugasnya adalah menjaga agama dan
mendakwahkannya. Hal ini terwujud dalam jihad di jalan Allah, yang merupakan
salah satu sarana penyebaran agama ini.
Demikian pula amar ma’ruf dan nahi munkar juga
merupakan sarana dakwah, karena itu termasuk misi para nabi ‘alaihimussalam.
Mengajak kepada peng-esaan Allah (tauhid) adalah amar ma’ruf, sedangkan
melarang syirik dan kekufuran adalah nahi munkar.
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi ﷺ:
﴿الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ﴾
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang
ummi, yang mereka dapati tertulis (sifat-sifatnya) di sisi mereka dalam Taurat
dan Injil, yang menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari
yang mungkar” (QS. Al-A’raf ayat 175).
Amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan sesuai
urutan yang datang dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ"
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran,
maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika
tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (Hadits
Riwayat Muslim, no. 49).
Dari pembagian ini kita ketahui bahwa ada bagian yang
tidak pantas dilakukan oleh seluruh umat, karena akan menimbulkan kekacauan dan
pertentangan, yaitu yang berkaitan dengan tangan (kekuasaan).
Al-muhtasib (seorang petugas amar am’ruf nahyi munkar)
yang memiliki wewenang berbeda dengan al-muhtasib sukarela, masing-masing
sesuai kapasitasnya.
Seorang pemimpin memiliki otoritas atas yang
dipimpinnya, berbeda dengan orang biasa. Al-Imam An-Nawawi menyinggung
persoalan ini ketika menjelaskan hadis tersebut (Baca : Syarh an-Nawawi ‘ala
Shahih Muslim, 2/25).
BAGIAN KETIGA: MEDIA DAN SARANA
UMUM:
Media dan Sarana (wasilah) ini dapat dilakukan oleh
masyarakat umum, dan sebenarnya inilah yang penting bagi kita, berkaitan dengan
diri kita, dan sebaiknya kita mengambilnya serta hal-hal yang semisalnya. Hal
ini bukanlah terbatas, karena sebagian sarana bisa sesuai pada zaman ini, namun
bisa jadi tidak sesuai pada masa mendatang.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah memiliki
perkataan yang indah tentang hal ini. Ketika beliau ditanya mengenai
pemberitahuan masuknya bulan Ramadhan melalui telegram dan meriam, beliau
rahimahullah menjelaskan tentang media ini dengan perkataannya:
(وَالْحَاصِلُ أَنَّ
إِيصَالَ الْأَخْبَارِ بِالرَّمْيِ [أَيْ الرَّمْيُ بِالْمِدْفَعِ] وَالْبَرْقِيَّاتِ
وَنَحْوِهَا مِمَّا يُوَصِّلُ الْخَبَرَ إِلَى الْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، هُوَ عِبَارَةٌ
وَتَعْبِيرٌ عَمَّا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وُلَاةُ الْأَمْرِ، وَثَبَتَ عِنْدَهُمْ مُقْتَضَاهُ،
وَهُوَ مِنَ الطُّرُقِ الَّتِي لَا يَرْتَابُ النَّاسُ فِيهَا، وَلَا يَحْصُلُ لَهُمْ
أَدْنَى شَكٍّ فِي ثُبُوتِ خَبَرِهَا. وَمَنْ تَوَقَّفَ فِيهَا فِي بَعْضِ الْأُمُورِ
الشَّرْعِيَّةِ، لَمْ يَتَوَقَّفْ بِشَكِّهِ فِي أَنَّهَا أَفَادَتِ الْعِلْمَ، وَإِنَّمَا
ذَلِكَ لِظَنِّهِ أَنَّ هَذَا الطَّرِيقَ الْمُعَيَّنَ لَمْ يَكُنْ مِنَ الطُّرُقِ
الْمُعْتَادَةِ فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ، وَهَذَا لَا يُوجِبُ التَّوَقُّفَ. فَكَمْ
مِنْ أُمُورٍ حَدَثَتْ لَمْ يَكُنْ لَهَا فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ وُجُودٌ، وَصَارَتْ
أَوْلَى وَأَحَقَّ بِالدُّخُولِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمُورِ الْمَوْجُودَةِ قَبْلَ
ذَلِكَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ)
“Kesimpulannya adalah bahwa penyampaian berita dengan
tembakan meriam dan telegram serta semisalnya, yang dapat menyampaikan berita
ke tempat-tempat yang jauh, merupakan ungkapan dan media (wasilah) dari apa
yang telah disepakati oleh para penguasa dan telah tetap pada mereka
kebenarannya.
Itu adalah cara yang tidak diragukan manusia dan tidak
menimbulkan keraguan sedikit pun tentang kebenaran beritanya.
Barangsiapa yang ragu dalam hal ini terkait sebagian
urusan syariat, maka keraguannya itu bukan karena ia meragukan bahwa sarana
tersebut memberikan kepastian, namun karena ia menyangka bahwa cara tertentu
ini bukan termasuk cara yang lazim pada masa dahulu. Hal itu tidaklah
mengharuskan adanya keraguan.
Betapa banyak hal baru yang sebelumnya tidak ada pada
masa lalu, namun kemudian menjadi lebih utama dan lebih pantas untuk digunakan
dibandingkan dengan banyak hal yang sudah ada sebelumnya. Wallahu a’lam”.
(Fatawa As-Sa’diyyah hlm. 240–241).
Maka media dan sarana umum ini adalah hal yang
sebagian kita dapat melakukannya. Seorang manusia penting untuk mengetahui
kemampuannya sendiri, karena tidak baik bila terlalu banyak dipaksakan sesuatu
yang tidak sesuai baginya, khususnya dengan adanya pengalaman dan kedewasaan,
karena setiap orang dimudahkan menuju apa yang diciptakan untuknya.
Maka manusia harus mengetahui apa yang bisa ia lakukan
untuk memberikan kebaikan bagi dirinya dan umat Islam.
Janganlah seseorang di antara kita seperti orang yang
kehabisan tenaga di tengah jalan, tidak menyisakan kendaraan dan tidak pula berhasil
mencapai tujuan. Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai media dan sarana
(wasilah), kita perlu menegaskan bahwa manusia harus memperlakukan sarana
sesuai dengan kualifikasi ilmiah.
Yang dimaksud bukan hanya kualifikasi pendidikan
formal, tetapi juga kemampuan ilmiahnya dan ilmu yang telah ia peroleh, karena
orang yang tidak memiliki sesuatu tidak bisa memberikannya. Maka diperlukan
kualifikasi ilmiah, kemampuan intelektual, dan juga kemampuan fisik. Semua hal
ini jelas dibutuhkan sesuai keadaan dan kedudukan masing-masing sarana.
===***===
KLASIFIKASI JENIS MEDIA UNTUK BERDAKWAH DAN PERANG IDEOLOGI
Media dan sarana umum itu banyak, beragam, dan selalu
baru sebagaimana telah disebutkan, di antaranya:
****
KLASIFIKASI JENIS PERTAMA:
MEDIA YANG DIBACA (TULISAN
ATAU KARYA ILMIAH):
Karena manusia membaca tulisan, maka tidak selayaknya
dikatakan bahwa mereka telah meninggalkan kitab-kitab induk (sumber asli).
Buktinya adalah kenyataan yang terlihat, yaitu banyaknya perpustakaan yang
dibuka dan beragamnya koleksi yang dipajang di dalamnya. Hal ini menunjukkan
bahwa masih ada pembaca. Oleh karena itu, mulai muncul karya-karya baru yang
sebelumnya terasa asing bagi pandangan dan pemikiran kita.
Seandainya tidak ada pembaca, buku-buku tersebut tidak
akan ditemukan, padahal buku memiliki kredibilitas yang lebih dibandingkan
selainnya.
Ada pula yang membaca majalah dan surat kabar, yang
penting tulisan itu tetap dibaca. Tulisan yang dibaca juga biasanya dijaga dan
dipelihara, buktinya adalah perpustakaan rumah. Bahkan yang hanya meletakkannya
sekadar hiasan, tetap saja ada orang yang datang lalu membacanya.
Sering kali ketika kita bertamu ke suatu rumah, tuan
rumah pergi sebentar dan kita pun sibuk membaca koleksi bukunya tanpa terasa
lamanya waktu ditinggalkan.
====
MACAM-MACAM MEDIA BACAAN DAN TULISAN
Media dan Sarana (wasilah) bacaan dan tulisan juga
beragam, di antaranya:
----
PERTAMA : MEDIA KARYA TULIS (KARANGAN):
Tujuan dari karya tulis tidak boleh sekadar menulis
atau untuk bersaing, melainkan harus dilandasi kebutuhan.
Haji Khalifah berkata:
(ثُمَّ إنَّ التَّأليفَ على سَبْعَةِ أَقْسامٍ لا يُؤلِّفُ عالِمٌ عاقِلٌ
إلَّا فيها، وهي: إِمَّا شَيءٌ لَمْ يُسْبَقْ إلَيْهِ فيَخْتَرِعُهُ، أو شَيءٌ ناقِصٌ
يُتِمُّهُ، أو شَيءٌ مُغْلَقٌ يَشْرَحُهُ، أو شَيءٌ طَويلٌ يَخْتَصِرُهُ دُونَ أنْ
يُخِلَّ بِشَيءٍ مِنْ مَعانِيهِ، أو شَيءٌ مُتَفَرِّقٌ يَجْمَعُهُ، أو شَيءٌ مُخْتَلِطٌ
يُرَتِّبُهُ، أو شَيءٌ أَخْطَأَ فيه مُصَنِّفٌ فَيُصْلِحُهُ. ويَنْبَغِي لِكُلِّ مُؤَلِّفِ
كِتابٍ في فَنٍّ قدْ سُبِقَ إلَيْهِ أنْ لا يَخْلُوَ كِتابُهُ مِنْ خَمْسِ فَوائِدَ:
اسْتِنْباطُ شَيءٍ كانَ مُعْضِلاً، أو جَمْعُهُ إنْ كانَ مُفَرَّقاً، أو شَرْحُهُ إنْ
كانَ غامِضاً، أو حُسْنُ نَظْمٍ وتَأليفٍ، أو إسْقاطُ حَشْوٍ وتَطْويلٍ)
“Kemudian sesungguhnya penulisan karya tulis terbagi
menjadi tujuh bagian. Tidaklah seorang alim yang berakal menulis karya tulisnya
kecuali dalam salah satunya:
(1) sesuatu yang belum pernah ditulis lalu ia
menciptakannya;
(2) sesuatu yang kurang lalu ia menyempurnakannya;
(3) sesuatu yang sulit lalu ia menjelaskannya;
(4) sesuatu yang panjang lalu ia meringkasnya tanpa
merusak maknanya;
(5) sesuatu yang tercerai-berai lalu ia
mengumpulkannya;
(6) sesuatu yang campur aduk lalu ia menyusunnya;
(7) atau sesuatu yang salah lalu ia memperbaikinya.
Dan setiap penulis dalam satu bidang yang telah ada
sebelumnya sebaiknya tidak mengosongkan bukunya dari lima manfaat:
1] menyelesaikan suatu masalah yang sulit,
2] mengumpulkan masalah yang tercerai-berai,
3] menjelaskan masalah yang samar,
4] memperindah susunan dan penulisan,
5] atau membuang hal yang berlebihan dan bertele-tele”
(Kasyf adz-Dzunun 1/36-35).
Maka kerja dakwah adalah bisnis perdagangan dengan
Allah, bukan perdagangan materi dengan dirham dan dinar. Perdagangan materi
bersandar pada persaingan, sehingga yang kuatlah yang bertahan.
Namun pekerjaan dakwah berbeda: jika seorang da’i
melihat orang lain telah melaksanakan apa yang ia ingin lakukan, maka hendaklah
ia memuji Allah karena ada yang telah melaksanakan tugas itu.
Masih banyak bidang lain, sehingga ia bisa mencari
jalan yang lain. Artinya, bukan tujuan para da’i untuk menjatuhkan pribadi
orang lain atau meremehkan, melainkan saling menguatkan, mendukung, meluruskan,
mendekatkan, membimbing, menasihati, bukan menelanjangi aib (orang lain).
----
KEDUA : MEDIA ARTIKEL-ARTIKEL (RISALAH):
Media artikel (risalah) terbagi menjadi dua:
Jenis pertama : Artikel (risalah)
pribadi .
Contohnya seperti yang dilakukan sebagian lembaga
dakwah, atau yang dilakukan sebagian individu dengan mengirim artikel kepada
para hobiis korespondensi yang disebutkan dalam majalah atau surat kabar, atau
artikel yang dikirim kepada sahabat karena cinta dan persaudaraan.
Jenis kedua : artikel khusus
(risalah) .
Yakni artikel dalam berbagai masalah aqidah, fiqih,
akhlak, adab, dan lainnya. Artikel jenis kedua inilah yang paling banyak saat
ini. Dari satu sisi, ini merupakan fenomena yang baik, tetapi dari sisi lain
bisa membawa mudharat, terutama bila pembacanya adalah orang yang gemar
membaca. Bisa jadi mereka hanya membaca artikel-artikel itu dan meninggalkan
kitab-kitab besar dan kitab-kitab utama yang menjadi sumbernya, baik secara
langsung maupun mendekati.
Di antara bentuk artikel (risalah) baru yang menarik
adalah pesan singkat (SMS). Jika digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, ia
dapat memberi pengaruh yang besar.
----
KETIGA : KATA PENGANTAR UNTUK KARYA TULIS ORANG LAIN:
Biasanya diminta dari seseorang yang memiliki
kedudukan ilmiah atau sosial, sesuai dengan karya yang ditulis. Bagi siapa pun
yang diminta menulis pengantar buku, khususnya bila buku itu terkait dengan
ilmu syariat, hendaklah ia menyertakan ajakan kepada Allah dan menghindari
pujian berlebihan kepada penulis, cukup secukupnya saja agar menjaga kebenaran
dan persahabatan di antara keduanya.
Sering kali seseorang membaca pengantar suatu buku dan
mendapati bahwa isinya lebih banyak memuji penulis daripada membicarakan isi
buku. Ini seakan memberikan rekomendasi mutlak kepada penulis, padahal suatu
hari nanti penulis itu bisa saja menulis sesuatu yang tidak layak dan tidak
sesuai dengan reputasi baik yang telah diberikan sebelumnya. Terutama jika ia
termasuk ulama yang dikenal, maka yang utama adalah menilai karya tulisnya,
bukan orangnya. Bahkan seorang penulis yang menyimpang sekalipun, jika tidak
dikritik idenya melainkan hanya pribadinya, bisa jadi suatu hari ia kembali
kepada kebenaran dan bertaubat kepada Allah.
Maka yang tetap penting adalah isi tulisan itu, karena
ia akan tetap berada di perpustakaan umum dan pribadi. Oleh karena itu, kita
harus menghindari celaan mutlak atau rekomendasi mutlak terhadap orang, kecuali
dengan batasan syariat, sambil menutup dengan kalimat:
هَكَذَا أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ
وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَداً
“Demikianlah menurutku, Allah-lah yang Maha
Mengetahui, dan aku tidak menyanjung seorang pun di hadapan Allah.”
----
KEEMPAT : MEDIA SURAT KABAR DAN MAJALAH:
Media ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1] surat kabar dan majalah yang khusus membahas
ilmu-ilmu syar’i, dan keterlibatan di dalamnya tidak bermasalah.
2] Sedangkan yang kedua adalah surat kabar dan majalah
umum dengan topik yang beragam.
Berpartisipasi di dalamnya merupakan hal yang baik dan
dianjurkan, hanya saja sebaiknya peserta – terutama jika ia seorang tokoh
berpengaruh dan terkenal – memiliki peran dalam menentukan beberapa hal, di
antaranya:
*Menentukan tempat publikasi tulisannya. Sebagaimana
diketahui, surat kabar umum memiliki rubrik yang beragam, sehingga jika ia
ingin ikut berpartisipasi, maka ia perlu menetapkan syarat agar tulisannya
ditempatkan pada bagian yang sesuai dan jauh dari hal-hal yang tidak pantas.
*Mensyaratkan agar tidak ada campur tangan yang
mengubah makna, yang bisa menyebabkan perubahan substansi dari tulisan yang ia
buat.
Seorang penulis yang tujuannya berdakwah kepada Allah
melalui tulisannya seharusnya menulis dengan hidup dan bersemangat. Sebab,
sering kali tulisan sebagian orang terasa lemah meskipun didukung dengan dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi, kekuatan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah
membutuhkan cara penyampaian yang kuat pula, sehingga sisi istidlal
(pengambilan dalil) benar-benar jelas dan terang. Karena ada perbedaan besar
antara dalil dengan pemahaman darinya.
Pembaca pada umumnya sudah mengetahui Al-Qur’an dan
Sunnah, sebab keduanya ada di tangan mereka, tetapi bagaimana seorang penulis
mampu membuka wawasan mereka terhadap teks-teks tersebut, itulah yang penting.
Hal lain yang perlu disyaratkan penulis adalah agar
tulisannya tidak diterbitkan pada waktu yang tidak tepat, misalnya ketika
pembaca secara umum sedang sibuk dengan suatu hal besar atau peristiwa baru
yang menyita perhatian mereka, sehingga fokus bacaan mereka tertuju pada
berita, penyebab, dan dampak dari peristiwa itu.
---
KELIMA : MEDIA INTERNET :
Termasuk sarana modern yang, meskipun bersifat
audiovisual, namun aktivitas membacanya lebih dominan dibandingkan mendengar,
adalah internet. “Tidak mungkin lagi untuk mengabaikan internet, menganggapnya
tidak ada, atau menyebutnya semata-mata sebagai sesuatu yang buruk yang
diciptakan Barat untuk merusak dan menyesatkan umat Islam. Mengapa? Karena
alasan sederhana: pengalaman nyata telah membuktikan bahwa internet adalah
sesuatu yang bisa dikendalikan dan dimanfaatkan sesuai yang kita kehendaki”.
[Al-Internet fi Khidmat al-Islam, karya Abdul Mun’im Hasan al-Nahdi, hlm. 10.]
Oleh sebab itu, menjauhi internet pada masa kini
justru merupakan bentuk menyia-nyiakan salah satu peluang terbaik dalam bidang
dakwah kepada Allah.
Bagi yang ingin berpartisipasi melalui internet,
sebaiknya ia memiliki bekal ilmu syar’i yang memadai, juga kemampuan berdialog
dan meyakinkan. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari tulisan panjang,
diskusi serius, percakapan ringan, hingga apa yang dikenal dengan istilah
“chatting”. Seorang da’i tidaklah membutuhkan selain pertolongan Allah, lalu
memanfaatkan sarana ini dengan cara yang terbaik, sehingga perannya bisa
benar-benar efektif dan memberikan kontribusi nyata.
****
KLASIFIKASI JENIS KEDUA: MEDIA SUARA (AUDIO)
Media ini mencakup hal-hal yang dapat dilihat dan yang
tidak dapat dilihat, dan masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendengar
sesuai dengan kekuatan materi, kualitas penyampaian, serta kesesuaian waktu dan
kondisi. Media suara memiliki berbagai jenis, di antaranya:
----
KE 1. PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN:
Pengajaran dengan berbagai bentuknya, baik melalui
pendidikan formal, halaqah Al-Qur’an, maupun pelajaran ilmiah lainnya di
masjid. Seorang pengajar, siapapun muridnya, apabila memperhatikan keadaan dan
situasi serta berbicara dengan bahasa yang dipahami oleh mereka, maka nasihat
dakwahnya akan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan dan semangat belajar
mereka, bahkan sekalipun murid-murid itu masih di tingkat dasar.
Amr bin Al-‘Ash pernah berkata kepada sekelompok orang
yang duduk di dekat Ka’bah setelah beliau selesai thawaf dan bergabung dengan
mereka, sedangkan mereka menyingkirkan anak-anak muda dari majelis mereka.
Beliau berkata:
"لَا تَفْعَلُوا!
أَوْسِعُوا لَهُمْ، وَأَدْنُوهُمْ وَأَلْهِمُوهُمْ، فَإِنَّهُمْ الْيَوْمَ صِغَارُ
قَوْمٍ يُوشِكُ أَنْ يَكُونُوا كِبَارَ قَوْمٍ آخَرِينَ، قَدْ كُنَّا صِغَارَ قَوْمٍ
أَصْبَحْنَا كِبَارَ آخَرِينَ".
“Jangan lakukan itu! Lapangkan tempat untuk mereka,
dekatkan mereka, dan berilah mereka inspirasi. Karena mereka hari ini hanyalah
anak-anak kecil dari suatu kaum, namun sebentar lagi mereka akan menjadi
tokoh-tokoh besar dari kaum lain. Dahulu kami pun merupakan anak-anak kecil
dari suatu kaum, lalu kami menjadi tokoh-tokoh besar dari kaum lain.”
Imam Ibnu Muflih rahimahullah memberikan komentar
terhadap perkataan ini:
"وَهَذَا صَحِيحٌ
لَا شَكَّ فِيهِ، وَالْعِلْمُ فِي الصِّغَرِ أَثْبَتُ، فَيَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِصِغَارِ
الطَّلَبَةِ لَا سِيَّمَا الأَذْكِيَاءُ الْمُتَيَقِّظُونَ الْحَرِيصُونَ عَلَى أَخْذِ
الْعِلْمِ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ عَلَى ذَلِكَ صِغَرُهُمْ أَوْ فَقْرُهُمْ
وَضَعْفُهُمْ مَانِعًا مِنْ مُرَاعَاتِهِمْ وَالِاعْتِنَاءِ بِهِمْ".
“Hal ini benar tanpa keraguan. Ilmu yang dipelajari
sejak kecil akan lebih melekat. Maka hendaknya memperhatikan para pelajar
kecil, khususnya yang cerdas, tanggap, dan bersemangat dalam menuntut ilmu.
Tidak selayaknya usia muda, kefakiran, atau kelemahan mereka menjadi penghalang
untuk memberikan perhatian dan bimbingan kepada mereka.”
(Al-Ādāb Asy-Syar‘iyyah wal Manah Al-Mar‘iyyah, 1/244).
Guru yang sukses adalah guru yang berusaha membuka
wawasan para murid dan menghubungkan mereka dengan Sang Pencipta melalui setiap
kesempatan yang muncul dalam penjelasan dan penyampaian pelajarannya, apa pun
mata pelajaran yang diajarkan. Hal ini merupakan salah satu dasar dan tujuan
utama pendidikan. Selain itu, ini juga merupakan tanda keberkahan seseorang
jika ia diberi taufik untuk melakukannya.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
(... فَإِنَّ بَرَكَةَ
الرَّجُلِ تَعْلِيمُهُ لِلْخَيْرِ حَيْثُ حَلَّ، وَنَصْحُهُ لِكُلِّ مَنِ اجْتَمَعَ
بِهِ، قَالَ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنِ الْمَسِيحِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ﴿وَجَعَلَنِي
مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ﴾ أَيْ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ دَاعِيًا إِلَى اللهِ مُذَكِّرًا
بِهِ، مُرَغِّبًا فِي طَاعَتِهِ، فَهَذَا مِنْ بَرَكَةِ الرَّجُلِ، وَمَنْ خَلَا مِنْ
هَذَا فَقَدْ خَلَا مِنَ الْبَرَكَةِ، وَسُحِقَتْ بَرَكَةُ لِقَائِهِ وَالِاجْتِمَاعِ
بِهِ ...).
“Sesungguhnya
keberkahan seseorang terletak pada ajarannya terhadap kebaikan di mana pun ia
berada, serta nasihatnya kepada siapa pun yang ditemuinya. Allah Ta’ala
berfirman tentang Isa ‘alaihis-salām: *‘Dan Dia
menjadikan aku orang yang diberkahi di mana saja aku berada’* (QS. Maryam: 31),
yakni sebagai pengajar kebaikan, penyeru kepada Allah, pemberi peringatan, dan
pendorong untuk taat kepada-Nya. Maka inilah makna keberkahan seseorang. Barang
siapa yang tidak memiliki hal ini, maka ia telah kehilangan keberkahan, dan
pertemuan dengannya pun tidak membawa manfaat apa pun.”
(Risālah ilā Kulli Muslim, hlm. 5–6 dan Risalah Ibnu al-Qoyyim
Ilaa Ahadi Ikhwanih hal. 5-6).
----
KE 2 : KHUTHBAH:
Khutbah sudah ada sejak zaman dahulu kala, karena
manusia selalu membutuhkan sarana untuk berbicara dan menyampaikan sesuatu
kepada orang lain — baik untuk memberi tahu mereka tentang hak dan kewajiban
mereka, dari para ulama maupun para pemimpin mereka. Maka setiap orang yang
ingin menyampaikan sesuatu kepada masyarakat akan berkhutbah dengan cara yang
sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Al-Jahizh berkata:
ثُمَّ اِعْلَمْ بَعْدَ ذٰلِكَ أَنَّ جَمِيعَ
خُطَبِ الْعَرَبِ مِنْ أَهْلِ الْمَدَرِ وَالْوَبَرِ وَالْبَدْوِ وَالْحَضَرِ عَلَى
ضَرْبَيْنِ: مِنْهَا الطِّوَالُ، وَمِنْهَا الْقِصَارُ، وَلِكُلِّ ذٰلِكَ مَكَانٌ يَلِيقُ
بِهِ وَمَوْضِعٌ يُحْسِنُ بِهِ.
*“Ketahuilah bahwa seluruh khutbah orang Arab — baik
dari kalangan penduduk kota maupun pedesaan, orang yang tinggal di tenda maupun
di bangunan permanen — terbagi menjadi dua jenis: khutbah panjang dan khutbah
pendek. Masing-masing memiliki tempat dan kondisi yang sesuai.”* (Al-Jahizh,
*Al-Bayan wa al-Tabyin*, juz 2, halaman 7.)
Islam dtang lalu memberikan kekuatan dan makna baru
kepada khutbah. Dari sisi kekuatan, Islam memperindah gaya bahasanya,
memperindah susunan kata-katanya, dan menghiasinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
hadits-hadits Rasulullah ﷺ, serta
kisah-kisah dan syair-syair Arab. Para khatib sangat terpengaruh oleh Al-Qur’an
dan sabda Rasulullah ﷺ. Adapun
dari sisi pentingnya, khutbah dijadikan sebagai ibadah — baik bagi yang
menyampaikan maupun yang mendengarkan. Sebagaimana dalam hadits:
(... وَمَنْ مَسَّ
الْحَصَى فَقَدْ لَغَا)
*“Barang siapa yang memainkan kerikil (saat khutbah),
maka sungguh ia telah berbuat sia-sia.”* (HR. Muslim no. 857).
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi khatib untuk memperhatikan
hak para pendengarnya. Karena mereka diwajibkan mendengarkan khutbah, maka
khatib harus memperhatikan isi materi, waktu penyampaian, panjang-pendek
khutbah, kondisi jamaah, dan kesesuaian dengan keadaan serta peristiwa yang
sedang terjadi agar khutbahnya benar-benar membawa manfaat dan bimbingan.
----
KE 3 : MAW’IDZOH (NASIHAT)
Mau‘izhah adalah sarana lisan yang digunakan oleh
seorang penceramah untuk memengaruhi audiens dengan gaya yang sesuai dengan
kondisi dan situasi. Rasulullah ﷺ sering memberikan mau‘izhah kepada para sahabatnya dengan
nasihat yang sesuai dengan keadaan waktu itu.
Di antaranya hadits dari Al-‘Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هٰذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟
*“Rasulullah ﷺ memberi kami nasihat yang sangat menyentuh setelah shalat
Subuh, hingga mata kami berlinang air mata dan hati kami bergetar. Maka salah
seorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, nasihat
ini seakan nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’…”*
(HR. At-Tirmidzi no 7676 dan Abu Dawud no. 4607.
At-Tirmidzi menilai hadis ini hasan sahih).
Biasanya, orang yang mendengarkan mau‘izhah tidak
berada dalam kondisi siap secara khusus — bisa jadi setelah shalat wajib atau
dalam suatu acara sosial. Karena itu, penceramah harus memperhatikan kondisi
para pendengarnya dan tidak membuat mereka bosan.
----
KE 4 : MUHADHOROH (CERAMAH)
Ceramah berbeda dengan mau‘izhah. Dalam ceramah, para
pendengar datang dengan kesiapan untuk mendengarkan. Ceramah biasanya disusun
berdasarkan fakta-fakta ilmiah, disampaikan dalam waktu yang lebih panjang, dan
membahas topik secara mendalam. Biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau
diskusi di akhir acara. Oleh karena itu, seorang penceramah perlu memiliki
kesiapan ilmiah, mental, dan psikologis agar mampu menjawab pertanyaan dengan baik
dan mengakui bila ia belum mengetahui jawabannya.
----
KE 5 : NADWAH (SEMINAR)
Seminar memiliki keunggulan karena diikuti oleh
beberapa pembicara, sehingga menghindarkan pendengar dari rasa jenuh.
Pergantian pembicara dan variasi tema membuat acara lebih menarik — asalkan
moderator tidak mendominasi pembicaraan sehingga mengurangi peran para
narasumber.
----
KE 6 : RADIO
Penyiaran melalui radio memiliki kesamaan dengan
tulisan di surat kabar atau majalah dari sisi penyebaran pesan. Apabila seorang
dai melihat pentingnya berpartisipasi dalam program radio, hendaknya ia
berupaya agar pesannya membawa perbaikan dan memberikan pengaruh positif bagi
para pendengar. Tingkat efektivitas dan cara penyampaian tentu berbeda-beda
sesuai kemampuan masing-masing dai.
----
KE 7 : TELEVISI DAN SALURAN SATELIT
Berpartisipasi dalam dakwah melalui televisi atau
saluran satelit tidak lagi bisa dianggap sebagai sesuatu yang sepenuhnya buruk.
Karena suara para dai kini dapat menjangkau jutaan manusia di seluruh dunia.
Mengingat adanya persaingan ketat dengan pihak-pihak yang menentang Islam dalam
hal akidah, moral, dan keyakinan, para dai perlu melakukan kajian yang serius
untuk menemukan cara paling tepat dalam menggunakan media ini agar dapat
membawa manfaat sebesar-besarnya atau setidaknya mengurangi keburukan yang
mungkin terjadi.
---
KE 8 : KASET, CD DAN FLASH DISK ISLAMI
Kaset, cd dan flash disk Islami adalah media dakwah
yang lama namun terus diperbarui. Kini banyak lembaga Islam yang secara khusus
memproduksi dan mendistribusikan kaset, cd dan flash disk dengan berbagai isi —
mulai dari pelajaran ilmiah, ceramah, nasyid, hingga kisah sejarah yang
menghubungkan generasi sekarang dengan masa lalu mereka. Semua ini menjadikan
kaset, cd dan flash disk sebagai sarana dakwah yang mudah didengarkan dan
disebarluaskan. Lembaga-lembaga yang mengelolanya hendaknya terus berinovasi,
memperhatikan kualitas isi, dan mempermudah penyebaran serta kepemilikannya.
****
KLASIFIKASI JENIS KETIGA: LEMBAGA ILMIAH DAN DAKWAH:
Kerja kelembagaan memiliki kelebihan karena bersifat
kolektif — melibatkan banyak orang dengan berbagai ide dan pemikiran. Setiap
anggota diberdayakan sesuai kemampuannya, demi kemajuan dan keberlangsungan
lembaga tersebut. Ini merupakan bentuk pemanfaatan terbaik terhadap potensi
manusia, serta memastikan lembaga tidak bergantung pada satu orang saja yang
bila berhenti atau meninggal, maka kegiatan tidak akan berhenti.
Kerja lembaga juga memiliki ciri keteraturan dan
ketelitian, jauh dari sikap spontan dan tidak terencana. Setiap anggota
memahami hak dan tanggung jawabnya, dan keputusan diambil melalui dewan atau
majelis yang ditunjuk, bukan oleh individu secara sepihak. Karena itu, kegiatan
lembaga-lembaga seperti ini biasanya lebih sedikit kesalahan dan lebih banyak
manfaatnya.
Lembaga-lembaga dakwah dan sosial di negeri-negeri
Islam merupakan contoh nyata dari sistem kerja seperti ini. Termasuk di
dalamnya adalah pusat-pusat kegiatan musim panas dan kegiatan sekolah yang
menjaga waktu para pemuda, melatih mereka berbicara dan berinteraksi,
memberikan pengalaman ilmiah dan praktis yang membantu pembentukan kepribadian
dan masa depan mereka, serta menuntun mereka untuk berperan aktif dalam
melayani masyarakat dan umatnya.
****
KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA DAN SARANA LAINNYA
Sarana-sarana ini pada umumnya memiliki sifat berupa
hubungan langsung dengan orang yang menjadi objek dakwah.
Di antaranya:
KE 1]. MENDATANGI TEMPAT ORANG-ORANG YANG DIDAKWAHI.
Seorang dai yang sungguh-sungguh ingin menyampaikan
kebenaran kepada manusia wajib menggunakan sarana ini. Nabi Muhammad ﷺ sendiri pernah mendatangi daerah ‘Ukadz,
Dzul Majaz, dan tempat-tempat lainnya, serta menghadiri majelis dan pertemuan
kaum Quraisy. Namun, orang yang hendak melakukannya haruslah dibekali dengan
ilmu, kekuatan iman, serta cara berdakwah yang paling tepat sesuai dengan
kondisi zaman, tempat, dan kemampuan.
KE 2]. MEMENUHI UNDANGAN :
Apabila seorang dai merasa memiliki kemampuan untuk
memberikan manfaat dan berbicara dengan baik, maka sudah sepatutnya ia memenuhi
undangan tersebut. Memenuhi undangan merupakan salah satu hak seorang Muslim
atas saudaranya, terlebih jika dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran yang
tidak bisa diubah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"خَمْسٌ تَجِبُ
لِلمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ: رَدُّ السَّلَامِ، وَتَشْمِيتُ العَاطِسِ، وَإِجَابَةُ
الدَّعْوَةِ، وَعِيَادَةُ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ."
“Lima hak seorang Muslim atas saudaranya: menjawab
salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit,
dan mengiringi jenazah.” (HR. Muslim, 4/1704, hadis no. 2172)
Namun, seorang dai hendaknya tidak mendominasi
pembicaraan sehingga orang lain tidak dapat saling berinteraksi, sebab tujuan
utama dari acara sosial adalah untuk saling bertemu setelah lama berpisah dan
mempererat hubungan keluarga atau pertemanan. Jika seorang dai terlalu banyak
bicara, hal itu bisa menimbulkan rasa enggan di hati sebagian hadirin untuk
mengundangnya kembali.
Agar seorang dai dapat memberikan pengaruh yang kuat
kepada orang yang didakwahi, ia harus mudah dihubungi. Jika seorang dai terlalu
menjaga jarak dan terlalu idealis dalam menjaga waktunya hanya untuk menuntut
ilmu secara pribadi, maka para mad’u (orang yang didakwahi) bisa saja beralih
kepada orang lain. Lalu, apa manfaat ilmu yang diperoleh jika tidak disampaikan
kepada orang lain?
Selain itu, seringkali orang yang didakwahi menghadapi
masalah yang membutuhkan bantuan seseorang untuk membantunya mengatasinya.
Siapa lagi yang lebih pantas membantu selain para dai, yang disebut sebagai
“dokter hati”?
Namun, seorang dai tetap harus mendidik mad’unya untuk
menghargai waktu dan menghormati janji, sambil tetap memberi keringanan bagi
orang awam atau pendatang yang hanya memiliki sedikit waktu untuk menemuinya.
KE 3]. MEMBANTU URUSAN MEREKA DAN MENDAMAIKAN DI
ANTARA MEREKA.
Berusaha membantu kepentingan orang-orang yang
didakwahi merupakan akhlak yang mulia dan bukti nyata bahwa seorang dai tidak
mementingkan diri sendiri. Sikap ini menunjukkan rasa cinta terhadap kebaikan
bagi orang lain. Ketika orang-orang datang kepada seorang dai untuk meminta
bantuannya dalam memenuhi kebutuhan mereka, hal ini menjadi sarana bagi dai
untuk menaklukkan hati mereka, karena kebaikan akan meninggalkan pengaruh
mendalam dalam diri manusia — bahkan dapat mengubah kebencian menjadi cinta.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ نَفَّسَ
عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ..."
“Barang siapa melepaskan (menghilangkan) satu
kesusahan seorang mukmin dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan darinya
satu kesusahan dari kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang
yang kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa
menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat.
Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. Muslim, 4/2074, hadis no. 2699)
Jika seseorang yang didakwahi tidak mendapatkan apa
pun dari seorang dai selain wajah yang ramah dan penuh senyum, hal itu sudah
cukup memberikan pengaruh positif — apalagi jika disertai dengan bantuan nyata.
Sebagaimana ungkapan sya’ir berikut ini :
لَا خَيْلَ عِنْدَكَ
تُهْدِيهَا وَلَا مَالُ *** فَلْيَسْعَدِ النُّطْقُ إِنْ لَمْ تَسْعَدِ الْحَالُ
Tidak ada kuda atau harta
yang bisa engkau hadiahkan *** maka biarlah ucapan yang baik menggantikan jika
keadaan tak mampu.
(Lihat: *Syarh Diwan Abu Thayyib Al-Mutanabbi* karya
Al-‘Ukbari, 3/276, qasidah no. 215)
Apalagi jika orang itu merasakan perhatian dan
kesungguhan dai dalam membantunya, seperti ketika ia menghadapi masalah di
rumah atau kesulitan dalam studi. Seorang dai seharusnya tidak membuatnya putus
asa, juga tidak menanamkan harapan kosong yang berlebihan.
Sebagaimana halnya membantu urusan orang lain, seorang
dai juga sebaiknya berusaha mendamaikan sesama Muslim. Ini termasuk perbuatan
baik yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
﴿لاَ خَيْرَ فِي
كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفِ أَوْ إِصْلاَحٍ
بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضاَتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ
أَجْراً عَظِيماً﴾
“Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan
rahasia mereka, kecuali pembicaraan orang yang menyuruh (manusia) bersedekah,
berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Barang siapa melakukan
itu untuk mencari keridaan Allah, maka Kami akan memberinya pahala yang besar.”
(QS. An-Nisa: 114)
Sebagian keluarga mengalami pertikaian di antara
anggotanya, begitu pula sebagian teman atau rekan kerja. Dalam kondisi seperti
itu, seorang dai perlu turun tangan untuk memperbaiki hubungan mereka, terutama
jika diminta untuk melakukannya. Ia tidak boleh menghindar jika mampu,
sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Sa‘id yang berkata:
قُلْتُ: لِعَائِشَةَ: أَكَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ قَاعِدٌ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، بَعْدَمَا
حَطَمَهُ النَّاسُ.
Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Apakah
Nabi ﷺ shalat
sambil duduk?”
Beliau menjawab: “Ya, setelah beliau menjadi lemah
karena urusan manusia.” (HR. Muslim, 1/506, hadis no. 732)
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:
"قَالَ الرَّاوِي
فِي تَفْسِيرِهِ: يُقَالُ حَطَمَ فُلَانًا أَهْلُهُ إِذَا كَبِرَ فِيهِمْ، كَأَنَّهُ
لِمَا حَمَلَهُ مِنْ أُمُورِهِمْ وَأَثْقَالِهِمْ وَالِاعْتِنَاءِ بِمَصَالِحِهِمْ
سَيَّرُوهُ شَيْخًا مَحْطُومًا، وَالْحَطْمُ الشَّيْءُ الْيَابِسُ."
“Perawi berkata dalam penafsirannya: dikatakan
seseorang ‘dihancurkan oleh keluarganya’ apabila ia telah menua karena
banyaknya beban dan urusan mereka. Seolah-olah karena tanggung jawab dan
perhatian terhadap kepentingan mereka, ia menjadi seperti orang tua yang
lemah.”
Demikianlah keadaan Rasulullah ﷺ — beliau adalah teladan utama dan manusia
paling sempurna akhlaknya. Maka setiap da’i hendaknya meneladani beliau dalam
hal ini.
****
KLASIFIKASI JENIS KEEMPAT: MEDIA TRANSPORTASI DAN KENDARAAN:
Seorang da’i yang menyeru kepada Allah, ketika sedang
berkendara bersama saudara-saudaranya, baik secara individu maupun
berkelompok—baik kendaraannya berupa hewan tunggangan ataupun alat transportasi
modern—hendaknya memanfaatkan sarana ini untuk berdakwah kepada Allah ﷻ. Yaitu dengan memanfaatkan setiap momen
untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini merupakan bagian dari kebiasaan
Rasulullah ﷺ bersama
para sahabatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
"بَيْنَا أَنَا
رَدِيفُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا
آخِرَةُ الرَّحْلِ، فَقَالَ: (يَا مُعَاذُ). قُلْتُ: لَبَّيْكَ رَسُولَ اللهِ وَسَعْدَيْكَ
..."
“Ketika aku sedang membonceng Nabi ﷺ dan antara aku dengan beliau tidak ada
penghalang selain bagian belakang pelana, beliau bersabda, ‘Wahai Mu’adz.’ Aku
menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah dan aku siap melaksanakan
perintahmu…’” (HR. Bukhari, 10/397, Hadis nomor 5367).
Metode Rasulullah ﷺ ini untuk memberikan jawaban dan solusi bagi mereka yang
beralasan sempitnya waktu atau terbatasnya kesempatan sehingga tidak bisa
memberikan sesuatu kepada orang yang didakwahi.
Sebagai penutup, betapa banyak sarana dakwah yang bisa
diterapkan dengan mudah dan tanpa biaya besar, baik secara fisik maupun
finansial. Misalnya, dengan mengajak para pemilik toko untuk berpartisipasi
dalam dakwah secara umum melalui pemasangan papan-papan petunjuk berisi nasihat
dan pesan dakwah di dalam toko mereka. Jika barang dagangannya berkaitan dengan
keperluan wanita, maka arahkan pesan sesuai kebutuhan mereka; jika bukan, maka
sesuaikan dengan pengunjung tokonya.
Demikian pula dengan menyebarkan majalah-majalah Islam
seperti *Majalah Ad-Da’wah*. Seorang pembaca yang telah selesai membacanya dan
tidak bermaksud menyimpannya dapat meletakkannya di tempat umum, seperti di
toko-toko, rumah makan atau tempat tukang cukur. Mungkin saja ada satu kata
atau kalimat di dalamnya yang menjadi sebab hidayah bagi pembacanya, walaupun
si pembaca pertama tidak meniatkannya demikian. Karena hati manusia memiliki
kunci, dan terkadang ia terbuka atau tertutup pada waktu yang berbeda-beda.
0 Komentar