Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM HADIAH DARI ORANG YANG BERMU'AMALAH DENGAN RIBA

HUKUM MENERIMA HADIAH DARI SESEORANG YANG BERMU'AMALAH DENGAN RIBA

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

----

DAFTAR ISI :

  • MU’AMALAH RASULULLAH DAN UMAR (RA) DENGAN NON MUSLIM
  • APAKAH BOLEH MENERIMA HADIAH DARI SESEORANG YANG BERMUAMALAH DENGAN RIBA?
  • HUKUM MENERIMA HADIAH BERUPA KENDARAAN KREDIT BANK RIBAWI
  • FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN :
  • FATWA SYEIKH BIN BAZ :
  • HUKUM MENERIMA HADIAH DARI NEGARA YANG BERMU'AMALAH DENGAN RIBA
  • HUKUM HADIAH DARI BANK RIBA UNTUK PARA PEMILIK REKENING GIRO

----

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

MU’AMALAH RASULULLAH DAN UMAR (RA) DENGAN NON MUSLIM

Rasulullah pernah bermuamalah dengan orang-orang Yahudi dalam jual beli, dan beliau juga menerima hadiah dari mereka, padahal mereka bermuamalah dengan riba. 

Begitu pula yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu dan lainnya. 

Allah Ta‘ala berfirman tentang orang-orang Yahudi:

﴿فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيراً * وَأَخْذِهِمُ الرِّبا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ﴾

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka sering menghalangi manusia dari jalan Allah, serta karena mereka memakan riba, padahal mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (An-Nisa: 160–161)

Meski demikian, Rasulullah tetap menerima hadiah dari orang-orang Yahudi. Beliau menerima hadiah seekor kambing dari seorang wanita Yahudi di Khaibar, dan beliau juga bermuamalah dengan mereka. Bahkan beliau wafat dalam keadaan baju besinya tergadai pada seorang Yahudi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

لَمَّا فُتِحتْ خَيبَرُ أُهدِيَتْ لِرَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شاةٌ فيها سُمٌّ، فقالَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اجمَعوا لي مَن كان مِنَ اليَهودِ هنا. فقال لهم رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: مَن أبوكم؟ قالوا: فُلانٌ. قال: كَذَبتُم، بل أبوكم فُلانٌ. فقالوا: صَدَقتَ وبَرِرتَ. ثم قال لهم: هل أنتُم صادِقيَّ عن شَيءٍ إنْ سَألتُكم عنه؟ قالوا: نَعَمْ يا أبا القاسِمِ، وإنْ كَذَبناكَ عَرَفتَ كَذِبَنا كما عَرَفتَه في أبينا. فقال لهم رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: مَن أهلُ النارِ؟ فقالوا: نَكونُ فيها يَسيرًا ثم تَخلُفوننا فيها. فقال لهم رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اخسَؤُوا، واللهِ لا نَخلُفُكم فيها أبَدًا. ثم قال لهم رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هل أنتُم صادِقيَّ عن شَيءٍ إنْ سألتُكم عنه؟ قالوا: نَعَمْ يا أبا القاسِمِ. فقال: هل جَعَلتُم في هذه الشاةِ سُمًّا؟ فقالوا: نَعَمْ. فقال: فما حَمَلَكم على ذلك؟ فقالوا: أرَدْنا إنْ كُنتَ كاذِبًا أنْ نَستَريحَ مِنكَ، وإنْ كُنتَ نَبيًّا لم يَضُرَّكَ

Ketika Khaibar ditaklukkan, Rasulullah diberi hadiah seekor kambing yang di dalamnya terdapat racun. Rasulullah bersabda: “Kumpulkanlah untukku orang-orang Yahudi yang ada di sini.” Lalu Rasulullah berkata kepada mereka: “Siapa bapak kalian?” Mereka menjawab, “Fulan.” Beliau berkata: “Kalian dusta, bapak kalian adalah fulan.” Mereka berkata: “Engkau benar dan telah berbuat baik.”

Kemudian Rasulullah berkata lagi: “Apakah kalian akan jujur kepadaku jika aku bertanya tentang sesuatu?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Abu Al-Qasim. Jika kami berdusta kepadamu, engkau pasti tahu sebagaimana engkau tahu kebohongan kami tentang bapak kami.”

Beliau bertanya: “Siapa penghuni neraka?” Mereka menjawab: “Kami akan berada di dalamnya sebentar saja, kemudian kalian akan menggantikan kami di dalamnya.”

Rasulullah bersabda: “Kalian hina! Demi Allah, kami tidak akan menggantikan kalian di dalamnya selamanya.”

Kemudian beliau bertanya lagi: “Apakah kalian akan jujur kepadaku tentang sesuatu jika aku bertanya?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Abu Al-Qasim.”

Beliau bertanya: “Apakah kalian telah menaruh racun dalam kambing ini?” Mereka menjawab: “Ya.”

Beliau bertanya: “Apa yang mendorong kalian melakukan itu?” Mereka menjawab: “Kami ingin, jika engkau seorang pendusta, kami akan terbebas darimu. Namun jika engkau seorang nabi, racun itu tidak akan membahayakanmu.”

(HR. Bukhari no. 3169)

Kisah ini menunjukkan satu kenyataan yang tetap: bahwa orang-orang Yahudi tidak pernah menepati perjanjian dan janji mereka sepanjang sejarah!

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

تُوُفِّيَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ودِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ، بثَلَاثِينَ صَاعًا مِن شَعِيرٍ

“Rasulullah wafat sementara baju besinya tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum.” (HR. Bukhari no. 2916)

Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya 3/163 membuat bab berjudul :

بَابُ ‌قَبُولِ ‌الهَدِيَّةِ ‌مِنَ ‌المُشْرِكِينَ

“Bab Menerima Hadiah dari Orang Musyrik.”

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi  bersabda:

"هَاجَرَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِسَارَةَ، فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ، فَقَالَ: أَعْطُوهَا آجَرَ " وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ".

“Ibrahim ‘alaihis salam berhijrah bersama Sarah, lalu masuk ke sebuah negeri yang rajanya zalim. Maka raja itu berkata: Berikanlah kepadanya Hajar.”

Dan pernah pula Nabi  diberi hadiah seekor kambing beracun.

Abu Humaid juga meriwayatkan bahwa Raja Ailah menghadiahkan kepada Nabi  seekor bagal putih, memberinya pakaian burdah, dan menulis surat untuknya mengenai wilayah laut mereka, yakni negeri mereka”. [HR. Bukhori 3/163]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam *Majmu‘ Al-Fatawa* (29/319) menyebutkan:

"أنَّ عمرَ بنَ الخطَّابِ رضيَ اللَّهُ عنْهُ رفعَ إليهِ أنَّ بعضَ عُمَّالِهِ يأخذُ خَمرًا من أَهلِ الذِّمَّةِ عن الجزيةِ فقالَ عمرُ : ولُّوهم بيعَها وخذوا منهم أثمانَها".

“Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menerima laporan bahwa sebagian pegawainya mengambil khamr dari Ahli Dzimmah sebagai jizyah, maka Umar berkata: ‘Suruhlah mereka menjualnya, lalu ambillah uang cash hasil penjualannya dari mereka.’”

===***===

APAKAH BOLEH MENERIMA HADIAH DARI SESEORANG YANG BERMUAM'ALAH DENGAN RIBA?

Boleh hukumnya menerima hadiah dari seseorang yang bermu'amalah dengan riba selama hadiah itu sendiri tidak haram pada zatnya, misalnya bukan berupa minuman keras.

Kaidah dalam hal ini adalah:

أَنَّ مَا حُرِمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الْكَاسِبِ فَقَطْ، دُونَ مَنْ أَخَذَهُ مِنْهُ بِطَرِيقٍ مُبَاحٍ.

“Sesuatu yang haram karena cara memperolehnya, maka keharamannya hanya berlaku bagi orang yang memperolehnya saja, tidak berlaku bagi orang lain yang mengambilnya melalui cara yang halal”.

Hadiah itu bukanlah penghasilan yang haram pada zatnya. Hadiah tidak haram pada dirinya sendiri seperti khamar atau harta hasil curian. Oleh karena itu, boleh menerima hadiah dari seseorang yang bermu’amalah dengan riba, karena keharamannya hanya berlaku bagi orang yang memperolehnya, bukan bagi orang yang menerimanya dengan cara yang dibolehkan.

Meskipun demikian, harus dibedakan antara hadiah yang halal dengan harta yang diperoleh melalui cara-cara yang haram pada dasarnya.

Berikut penjelasan rinci mengenai hukum menerima hadiah dari seseorang yang bemu’amalah dengan riba:

Kondisi ini berbeda dengan berinteraksi langsung dalam transaksi riba dengan orang tersebut.

Kondisi pertama:

Boleh menerima hadiah dari seseorang yang bermu'amlah dengan riba jika hadiah itu pada asalnya halal, dan penerima tidak bermaksud menyetujui perbuatannya.

Kondisi kedua:

Tidak boleh menerima hadiah jika hadiah tersebut haram pada asalnya, seperti harta curian atau khamar.

Kondisi ketiga:

Boleh menerima hadiah jika penerimaan itu tidak menunjukkan persetujuan terhadap perbuatannya, melainkan hanya sebagai hadiah yang mubah.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :

فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ قَبُولُ الْهَدِيَّةِ مِمَّنْ يَتَعَامَلُ بِالرِّبَا، وَأَيْضًا يَجُوزُ مَعَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ، إِلَّا إِذَا كَانَ فِي هَجْرِهِ مَصْلَحَةٌ، يَعْنِي فِي عَدَمِ مُعَامَلَتِهِ وَعَدَمِ قَبُولِ هَدِيَّتِهِ مَصْلَحَةٌ فَنَعَمْ. فَنَتَّبِعُ هَذَا ابْتِغَاءَ لِلْمَصْلَحَةِ، أَمَّا مَا حُرِّمَ لِعَيْنِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الْآخِذِ وَغَيْرِهِ، فَالْخَمْرُ مَثَلًا لَوْ أَهْدَاهُ إِلَيَّ يَهُودِيٌّ مَثَلًا أَوْ نَصْرَانِيٌّ مِمَّنْ يَرَوْنَ إِبَاحَةَ الْخَمْرِ فَلَا يَجُوزُ لِي قَبُولُهُ، لِأَنَّهُ حَرَامٌ لِعَيْنِهِ، وَلَوْ أَنَّ إِنْسَانًا سَرَقَ مَالَ شَخْصٍ وَجَاءَ إِلَيَّ فَأَعْطَانِيهِ، فَهَذَا الْمَالُ الْمَسْرُوقُ يَحْرُمُ عَلَيَّ أَخْذُهُ لِأَنَّهُ حَرَامٌ لِعَيْنِهِ.

هَذِهِ الْقَاعِدَةُ تُرِيحُكَ مِنْ إِشْكَالَاتٍ كَثِيرَةٍ، مَا حُرِمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الْكَاسِبِ دُونَ مَنْ أَخَذَهُ بِطَرِيقِ الْحَلَالِ، إِلَّا إِذَا كَانَ فِي هَجْرِهِ وَعَدَمِ الْأَخْذِ مِنْهُ وَعَدَمِ قَبُولِ هَدِيَّتِهِ وَعَدَمِ الْمُبَايَعَةِ مَعَهُ وَالشِّرَاءِ مَصْلَحَةٌ تُرْدِعُهُ عَنْ هَذَا الْعَمَلِ، فَهَذَا يُهْجَرُ مِنْ أَجْلِ الْمَصْلَحَةِ.

Berdasarkan kaidah ini, maka boleh menerima hadiah dari seseorang yang bermuamalah dengan riba, dan juga boleh melakukan jual beli dengannya, kecuali jika meninggalkan interaksi dengannya mengandung kemaslahatan, yakni jika tidak bermuamalah dan tidak menerima hadiahnya akan membawa manfaat (sebagai bentuk nasihat dan peringatan), maka hal itu dianjurkan. Jadi, kita mengikuti hal tersebut demi kemaslahatan.

Adapun sesuatu yang haram karena zatnya sendiri, maka hukumnya haram bagi siapa pun, baik yang memberinya maupun yang menerimanya. Misalnya, khamr — jika seorang Yahudi atau Nasrani yang menganggap khamr itu halal memberikan khamr kepada saya, maka saya tidak boleh menerimanya, karena khamr itu haram pada zatnya. Atau jika seseorang mencuri harta orang lain, lalu datang dan memberikannya kepada saya, maka harta curian itu juga haram bagi saya, karena keharamannya melekat pada zat harta tersebut.

Kaidah ini akan membuatmu tenang dari banyak persoalan. Apa pun yang haram karena cara memperolehnya, maka haram bagi orang yang memperolehnya saja, bukan bagi orang yang mendapatkannya dengan cara halal — kecuali jika dengan meninggalkan interaksi, tidak menerima hadiahnya, dan tidak bermuamalah dengannya terdapat kemaslahatan untuk membuatnya jera dari perbuatan tersebut, maka ia boleh dijauhi demi kemaslahatan”.

[Sumber: Lihat *As’ilah al-Bab al-Maftuh* 1/76 karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, Liqo al-Bab al-Maftuh 2/59 dan 151/24 ].

Dalam al-Fiqhu al-Muyassar 11/139, Syeikh Abdullah ath-Thoyyar, Syeikh Abdullah al-Muthlaq dan Syeikh Muhammad al-Musa berkata :

أَمَّا الْكَسْبُ الَّذِي يَكُونُ مُحَرَّمًا كَالْكَسْبِ عَنْ طَرِيقِ الرِّبَا أَوْ عَنْ طَرِيقِ الْغِشِّ – أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ – فَهَذَا حَرَامٌ عَلَى الْكَاسِبِ، وَلَيْسَ حَرَامًا عَلَى مَنْ أَخَذَهُ بِحَقٍّ، وَدَلِيلُ ذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَقْبَلُ مِنَ الْيَهُودِ، وَيُجِيبُ دَعْوَتَهُمْ، وَيَأْكُلُ مِنْ طَعَامِهِمْ، وَيَشْتَرِي مِنْهُمْ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْيَهُودَ يَتَعَامَلُونَ بِالرِّبَا كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي الْقُرْآنِ.

وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ لَيْسَ عَلَى أَوْلَادِ الْمُرَابِي إِثْمٌ إِذَا أَكَلُوا مِنْ مَالِهِ الرِّبَوِيِّ الْبَحْتِ، أَوْ لَبِسُوا مِنْهُ، أَوْ سَافَرُوا بِهِ إِذَا لَمْ يُوجَدْ لَهُمْ طَرِيقٌ آخَرُ يَتَكَسَّبُونَ مِنْهُ، فَلَهُمْ أَخْذُ جَمِيعِ مَا يَحْتَاجُونَهُ مِنْ مَالِ أَبِيهِمْ وَهُوَ حَلَالٌ لَهُمْ وَلَيْسَ بِحَرَامٍ، وَإِنَّمَا الْإِثْمُ عَلَى الْأَبِ.

لَكِنْ يَجِبُ عَلَى الْأَوْلَادِ نَصْحُ وَالِدِهِمْ بِالطَّرِيقِ الَّتِي يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِمْ نَفْعُهَا، فَإِذَا تَيَسَّرَتْ طُرُقٌ أُخْرَى لِلْكَسْبِ وَلَمْ يَحْتَاجُوا إِلَى هَذَا الْمَالِ فِي ضَرُورِيَّاتِ حَيَاتِهِمْ، وُجِبَ عَلَيْهِمُ الِاسْتِغْنَاءُ عَنْهُ.

Seandainya seseorang mengambil harta milik orang lain secara langsung, lalu ia ingin memberikannya kepada orang lain melalui jual beli atau hibah, maka dikatakan: hal itu haram, karena harta tersebut haram secara zatnya.

Adapun penghasilan yang haram karena cara memperolehnya — seperti penghasilan dari riba, penipuan, dan semacamnya — maka itu haram bagi orang yang memperolehnya, bukan bagi orang lain yang mengambilnya dengan cara yang benar. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah menerima pemberian dari orang-orang Yahudi, memenuhi undangan mereka, memakan makanan mereka, dan bertransaksi dengan mereka. Padahal sudah diketahui bahwa orang-orang Yahudi bermuamalah dengan riba, sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

Berdasarkan kaidah ini, anak-anak dari seseorang yang bermuamalah dengan riba tidak berdosa jika mereka memakan makanan dari harta riba ayahnya, mengenakan pakaian darinya, atau bepergian dengannya, apabila mereka tidak memiliki cara lain untuk mencari penghidupan. Maka mereka boleh mengambil segala kebutuhan mereka dari harta ayahnya, dan hal itu halal bagi mereka serta tidak haram. Dosa hanya ditanggung oleh sang ayah.

Namun, anak-anak wajib menasihati ayah mereka dengan cara yang paling mungkin membawa manfaat. Jika kemudian tersedia cara lain untuk mencari penghasilan dan mereka tidak lagi membutuhkan harta itu untuk kebutuhan pokok hidupnya, maka wajib bagi mereka untuk tidak lagi bergantung pada harta tersebut.

===***===

HUKUM MENERIMA HADIAH BERUPA KENDARAAN KREDIT BANK RIBAWI

FATWA ISLAM-QA NO. 508892:

Islam Question and Answer nomor 508892:

PERTANYAAN:

Apakah boleh menerima hadiah jika hadiah itu diperoleh melalui akad ribawi?

Saya bekerja di sebuah perusahaan jasa medis. Perusahaan ini memberikan mobil baru kepada karyawan yang mencapai jenjang jabatan tertentu. Mobil tersebut adalah mobil baru, dan perusahaan yang membayar cicilannya kepada bank. Saya tidak mengetahui secara detail akad antara perusahaan dengan pihak bank, tetapi mobil itu menjadi milik karyawan selama ia tetap bekerja di perusahaan selama 7 tahun setelah diberikan mobil tersebut. Jika karyawan keluar sebelum masa itu, maka perusahaan akan mengambil kembali mobil tersebut.

Apakah saya berdosa jika saya menerima mobil ini dan tetap bekerja di perusahaan selama 7 tahun, atau jika saya keluar dan mengembalikannya kepada perusahaan? Apakah saya berdosa jika ternyata akad antara perusahaan dan bank mengandung unsur riba?

Perlu diketahui bahwa perusahaan menyediakan transportasi umum bagi seluruh karyawan. Namun bagi karyawan dengan jabatan tinggi, mereka diberi fasilitas mobil dengan ketentuan seperti di atas. Perusahaanlah yang membayar seluruh cicilan tanpa sedikit pun beban bagi karyawan. Jika karyawan menolak mobil tersebut, maka ia tidak akan mendapatkan tunjangan transportasi, karena perusahaan sudah menyediakan fasilitas umum, dan ia juga tidak akan menerima uang yang setara dengan cicilan mobil yang dibayarkan perusahaan kepada bank setiap bulan.

Lalu, apa yang harus saya lakukan?

JAWABAN :

Pertama:

Jika karyawan tidak ada hubungannya dengan akad pembelian mobil tersebut, tidak diminta untuk menandatangani atau mengajukan permohonan ke bank, maka tidak mengapa baginya menggunakan mobil itu, baik perusahaan membelinya dengan akad yang halal maupun dengan akad ribawi.

Penjelasannya sebagai berikut:

1]. Jika perusahaan memiliki mobil tersebut melalui akad yang halal, seperti akad murabahah di mana bank membeli mobil itu untuk dirinya sendiri, kemudian menjualnya kepada perusahaan, maka tidak ada larangan bagi karyawan untuk memanfaatkan mobil tersebut, dan hal ini jelas hukumnya.

(Lihat penjelasan tentang ketentuan akad murabahah pada artikel : Bai‘ al-Murabahah lil-Āmir bisy-Syirā).

2]. Jika perusahaan memiliki mobil tersebut melalui akad yang haram, seperti bank tidak membeli mobil itu terlebih dahulu lalu menjualnya, tetapi hanya membayar harganya untuk perusahaan kemudian menagihnya secara cicilan dengan tambahan, maka itu termasuk pinjaman ribawi. Jika perusahaan melakukan hal ini, berarti mereka jatuh dalam dosa dan riba, namun tetap saja perusahaan memiliki mobil itu secara hukum syariat.

Sebab, orang yang meminjam uang dengan cara ribawi tetap sah memiliki uang pinjamannya. Pinjaman ribawi, meskipun haram dan tercela, tetap menyebabkan kepemilikan secara hukum menurut pendapat yang kuat. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah, dan salah satu pendapat dalam mazhab Syafi‘iyah, yaitu bahwa peminjam uang riba tetap memiliki uang yang dipinjamnya dan wajib mengembalikannya dalam nilai yang sama. Karena itu, pembelian mobil dengan uang hasil pinjaman ribawi tetap sah, dan mobil itu menjadi milik peminjam, meskipun ia berdosa karena terlibat riba dan wajib bertaubat.

Dosa dari transaksi pinjaman ribawi itu melekat pada pelaku pinjaman, bukan pada harta (uang) itu sendiri.

(Lihat: al-Manfa‘ah fi al-Qardh karya Dr. Abdullah bin Muhammad al-‘Umrani, hlm. 245–254).

Jika perusahaan telah memiliki mobil itu, maka boleh baginya memanfaatkannya, termasuk memberikannya kepada karyawan dalam bentuk hadiah atau hibah, dan tidak ada dosa bagi karyawan selama ia tidak turut serta atau membantu dalam akad yang haram tersebut.

Kedua:

Syarat bahwa karyawan harus bekerja selama tujuh tahun agar mobil itu menjadi miliknya, termasuk dalam kategori hibah yang digantungkan pada syarat.

Kebolehan menggantungkan hibah pada syarat merupakan pendapat sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah, dan ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim rahimahumallah.

Al-Mardawi rahimahullah berkata dalam al-Inshof (20/391):

"ظَاهِرُ كَلَامِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ أَبِي الْحَارِثِ صِحَّةُ دَفْعِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ إِلَى الْآخَرِ مَالًا عَلَى أَنْ لَا يَتَزَوَّجَ، وَمَنْ لَمْ يَفِ بِالشَّرْطِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْعِوَضَ، لِأَنَّهَا هِبَةٌ مَشْرُوطَةٌ بِشَرْطٍ فَتَنْتَفِي بِانْتِفَائِهِ" اِنْتَهَى.

“Lafaz Imam Ahmad dalam riwayat Abu al-Harits menunjukkan sahnya pemberian harta dari salah satu pihak suami istri kepada yang lain dengan syarat tertentu. Barang siapa yang tidak memenuhi syarat itu, maka ia tidak berhak atas harta tersebut, karena ini termasuk hibah yang digantungkan pada syarat, maka batal dengan tidak terpenuhinya syarat tersebut.”

Dalam al-Insaf (17/44) disebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memilih pendapat bolehnya menggantungkan hibah pada syarat.

Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata, ketika menolak pendapat yang mengatakan hibah tidak boleh digantungkan pada syarat:

"وَهَذَا الْحُكْمُ غَيْرُ ثَابِتٍ بِالنَّصِّ وَلَا بِالْإِجْمَاعِ، فَمَا الدَّلِيلُ عَلَى بُطْلَانِ تَعْلِيقِ الْهِبَةِ بِالشَّرْطِ؟

وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ عَلَّقَ الْهِبَةَ بِالشَّرْطِ، فِي حَدِيثِ جَابِرٍ لَمَّا قَالَ: لَوْ قَدْ جَاءَ مَالُ الْبَحْرَيْنِ لَأَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ هَكَذَا، ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ، وَأَنْجَزَ ذَلِكَ لَهُ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ مَالُ الْبَحْرَيْنِ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

فَإِنْ قِيلَ: كَانَ ذَلِكَ وَعْدًا. قُلْنَا: نَعَمْ، وَالْهِبَةُ الْمُعَلَّقَةُ بِالشَّرْطِ وَعْدٌ، وَكَذَلِكَ فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ إِلَى النَّجَاشِيِّ بِهَدِيَّةٍ مِنْ مِسْكٍ، وَقَالَ لِأُمِّ سَلَمَةَ: إِنِّي قَدْ أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَ مِنْ مِسْكٍ، وَلَا أَرَى النَّجَاشِيَّ إِلَّا قَدْ مَاتَ، وَلَا أَرَى هَدِيَّتِي إِلَّا مَرْدُودَةً، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ فَهِيَ لَكِ. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ.

فَالصَّحِيحُ: صِحَّةُ تَعْلِيقِ الْهِبَةِ بِالشَّرْطِ عَمَلًا بِهَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ." اِنْتَهَى.

“Ketentuan itu tidak didukung oleh nash maupun ijmak. Apa dalil yang menunjukkan batalnya hibah yang digantungkan pada syarat? Padahal telah sah dari Nabi bahwa beliau menggantungkan hibah pada syarat, sebagaimana dalam hadis Jabir ketika Nabi bersabda: ‘Jika harta Bahrain datang kepadaku, aku akan memberimu begini, begini, dan begini (tiga kali segenggam).’ Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menunaikan janji itu setelah Nabi wafat ketika harta Bahrain datang.”

Jika dikatakan bahwa hal itu hanyalah janji, maka jawabnya: benar, hibah yang digantungkan pada syarat memang termasuk janji. Nabi juga pernah melakukan hal serupa ketika beliau mengirim hadiah berupa minyak kesturi kepada Raja Najasyi, lalu berkata kepada Ummu Salamah: “Aku telah mengirim hadiah berupa sehelai kain dan beberapa ons minyak kesturi kepada Najasyi. Aku menduga Najasyi telah wafat, dan aku menduga hadiahnya akan dikembalikan. Jika dikembalikan kepadaku, maka itu untukmu.” (HR. Ahmad).

Karena itu, pendapat yang benar adalah bolehnya menggantungkan hibah pada syarat, berdasarkan dua hadis ini.

(Lihat: Ighotsah al-Lahfan 2/16–17, dan Hasyiyah Ibnu Abidin 5/710).

Dalam al-Ma‘ayir asy-Syar‘iyyah hlm. 268 disebutkan:

"مُسْتَنَدُ مَشْرُوعِيَّةِ تَعْلِيقِ الْهِبَةِ عَلَى إِتْمَامِ الْإِجَارَةِ: هُوَ أَنَّ الْهِبَةَ تَقْبَلُ التَّعْلِيقَ، وَقَدْ وَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجَاشِيَّ هِبَةً مُعَلَّقَةً عَلَى وُجُودِهِ حَيًّا حِينَ وُصُولِ حَامِلِهَا إِلَيْهِ." اِنْتَهَى.

“Dalil kebolehan menggantungkan hibah pada syarat selesainya akad sewa adalah karena hibah memang dapat digantungkan pada syarat. Nabi memberikan hibah kepada Najasyi yang digantungkan pada keberadaannya masih hidup ketika hadiah itu sampai kepadanya.”

Hadis Jabir diriwayatkan oleh al-Bukhari (2296) dan Muslim (2314):

Nabi bersabda:

لَوْ قَدْ جَاءَ مَالُ الْبَحْرَيْنِ قَدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ الْبَحْرَيْنِ حَتَّى قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَ مَالُ الْبَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَنْ كَانَ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَةٌ أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِي كَذَا وَكَذَا فَحَثَى لِي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هِيَ خَمْسُ مِائَةٍ وَقَالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا ".

“Jika harta Bahrain datang kepadaku, aku akan memberimu begini, begini, dan begini.” Namun harta Bahrain belum datang sampai Nabi wafat. Ketika harta itu datang di masa Abu Bakar, beliau berkata: “Siapa yang memiliki janji atau utang dari Nabi hendaklah datang kepadaku.” Maka Jabir datang dan berkata, “Nabi telah berjanji kepadaku demikian dan demikian.” Maka Abu Bakar menuangkan segenggam penuh harta kepadanya, dan setelah dihitung ternyata berjumlah lima ratus, lalu Abu Bakar berkata: “Ambillah dua kali lipatnya.”

Adapun hadis Ummu Salamah tentang hadiah kepada Najasyi diriwayatkan oleh Ahmad (27276) dan Ibnu Hibban (5114), dan dinilai lemah oleh Syu‘aib al-Arna’uth dalam Takhriij al-Musnad.

Dengan demikian, jika kamu telah menyelesaikan masa kerja tujuh tahun, maka mobil itu menjadi milikmu sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan. Namun jika kamu tidak menyelesaikan masa itu, maka kamu tidak berhak atas mobil tersebut.

Dan Allah Maha Mengetahui. [SELESAI]

****

FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN :

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Silsilah Liqā al-Bāb al-Maftūḥ

Pertanyaan:

Apa hukum menerima hadiah dari seseorang yang bermuamalah dengan riba?

Penanya:

Apa hukumnya menerima hadiah dari orang seperti itu?

Syaikh:

Apa maksudmu? Coba ulangi.

Penanya:

Hadiah dari seseorang yang bermuamalah dengan riba, padahal kita tidak tahu apakah hadiah itu berasal dari hasil riba secara langsung atau dari harta yang halal atau haram.

Syaikh :

Aku akan bertanya kepadamu: Apakah orang-orang Yahudi memakan riba atau tidak?

Penanya:

Apa?

Syaikh :

Orang-orang Yahudi, apakah mereka memakan riba atau tidak? Mereka memakannya, bukan? Ya, mereka memakan riba.

Syaikh :

Allah berfirman:

﴿فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيراً * وَأَخْذِهِمُ الرِّبا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ﴾

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka sering menghalangi manusia dari jalan Allah, serta karena mereka memakan riba, padahal mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (An-Nisa: 160–161)

Meskipun begitu, Rasulullah tetap menerima hadiah dari mereka. Beliau menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi yang menghadiahkan kambing di Khaibar, dan beliau juga bermuamalah dengan mereka, bahkan beliau wafat sementara baju besinya masih tergadai di tangan seorang Yahudi.

Karena itu, ada kaidah penting:

أَنَّ مَا حُرِّمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الْكَاسِبِ فَقَطْ دُونَ مَنْ أَخَذَهُ مِنْهُ بِطَرِيقٍ مُبَاحٍ

“Apa yang diharamkan karena cara memperolehnya, maka keharamannya hanya berlaku bagi orang yang memperolehnya, bukan bagi orang lain yang menerimanya dengan cara yang halal.”

Apakah engkau paham kaidah ini? Coba jelaskan, apa yang kamu pahami darinya?

Penanya:

...

Syaikh :

Apakah ada di antara kalian yang memahami kaidah diatas ini? “Mā urima likasbih... dst” apa maksudnya?

Penanya:

...

Syaikh :

Yang dimaksud adalah sesuatu yang diharamkan karena cara memperolehnya, bukan karena zat bendanya.

Penanya:

Ya, maksudnya sesuatu yang haram karena cara orang itu mendapatkannya...

Syaikh :

Benar.

Jadi hadiah dari orang yang hartanya berasal dari riba boleh diterima, begitu pula jual beli dengannya juga boleh, kecuali jika dalam menjauhi atau tidak bermuamalah dengannya terdapat maslahat, seperti dapat membuatnya sadar dan meninggalkan perbuatan riba, maka itu boleh dilakukan demi kemaslahatan.

Adapun sesuatu yang haram karena zatnya, maka tetap haram bagi siapa pun yang mengambilnya.

Contohnya: minuman keras.

Kalau misalnya seorang Yahudi atau Nasrani yang menganggap khamr itu halal memberikannya kepadaku sebagai hadiah, apakah boleh aku menerimanya? Tidak boleh, karena itu haram karena zatnya.

Atau jika seseorang mencuri harta orang lain lalu memberikannya kepadaku, apakah boleh aku mengambilnya? Jawabannya: tidak boleh, karena harta itu haram secara zatnya.

Apakah sekarang sudah jelas?

Kaidah ini akan membuatmu tenang dari banyak persoalan:

مَا حُرِّمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الْكَاسِبِ دُونَ مَنْ أَخَذَهُ بِطَرِيقٍ الْحَلَالِ، إِلَّا إِذَا كَانَ فِي هَجْرِهِ وَعَدَمِ الْأَخْذِ مِنْهُ، وَعَدَمِ قَبُولِ هَدِيَّتِهِ، وَعَدَمِ الْمُبَايَعَةِ مَعَهُ وَالشِّرَاءِ، مَصْلَحَةٌ تُرْدِعُهُ عَنْ هَذَا الْعَمَلِ، فَهَذَا يُهْجَرُ مِنْ أَجْلِ ابْتِغَاءِ الْمَصْلَحَةِ.

Apa yang diharamkan karena cara memperolehnya, maka keharamannya hanya berlaku bagi orang yang memperolehnya, bukan bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang halal, kecuali jika dalam menjauhi dan tidak menerima hadiah atau tidak bermuamalah dengannya ada maslahat yang bisa mencegahnya dari perbuatan itu, maka menjauhinya dilakukan demi kemaslahatan.

Bahkan dalam hal makanan pun demikian — bukankah Rasulullah menerima undangan orang Yahudi dan makan dari makanan mereka, bahkan makan dari masakan wanita Yahudi itu juga? Ya, benar. [SELESAI]

****

FATWA SYEIKH BIN BAZ :

Fatwa syeikh Bin Baz rahimahullah agak sedikit berbeda dengan fatwa Syeikh al-Utsaimin diatas.

Pertanyaan kepada Syaikh Bin Baz:

Apakah diterima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba?

Jawaban:

إِذَا كَانَتْ أَمْوَالُهُ كُلُّهَا رِبًا لَا، أَمَّا إِذَا كَانَتْ لَهُ أَعْمَالٌ رِبَوِيَّةٌ وَأَعْمَالٌ أُخْرَى فَلَا بَأْسَ؛ مِثْلَمَا اشْتَرَى النَّبِيُّ مِنَ الْيَهُودِ وَهُمْ يَتَعَاطَوْنَ الرِّبَا، اشْتَرَى مِنْهُمْ طَعَامًا؛ لِأَنَّهُمْ يَأْكُلُونَ الرِّبَا، وَعِنْدَهُمْ أَعْمَالٌ أُخْرَى، أَمَّا إِذَا كَانَ لَا، إِنْسَانٌ مَا عِنْدَهُ دَخْلٌ إِلَّا الرِّبَا فَلَا، لَا تُقْبَلْ مُعَامَلَتُهُ.

Jika seluruh hartanya berasal dari riba, maka tidak boleh. Namun jika dia memiliki usaha ribawi dan juga usaha lain yang halal, maka tidak mengapa; sebagaimana Rasulullah membeli makanan dari orang-orang Yahudi padahal mereka bermuamalah dengan riba, sebab mereka memakan riba namun juga memiliki usaha lain. Adapun jika seseorang tidak memiliki penghasilan kecuali dari riba, maka tidak boleh bermuamalah dengannya.

 ----

Pertanyaan:

Bagaimana dengan orang yang memiliki harta campuran antara yang halal dan yang haram, apakah dikhawatirkan ada bahaya dalam bermuamalah dengannya?

Jawaban:

الْمُخْتَلِطُ لَا بَأْسَ أَنْ يُعَامَلَ، وَهُوَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ وَيَحْذَرَ.

Harta yang bercampur antara halal dan haram tidak mengapa untuk bermuamalah dengannya, namun dia wajib bertakwa kepada Allah dan berhati-hati.

 ---

Pertanyaan:

Apakah dikhawatirkan doanya tidak dikabulkan?

Jawaban:

وَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ قَبُولِ الدُّعَاءِ، أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ قَبُولِ الدُّعَاءِ.

Ya, makan dari hasil riba dan harta haram termasuk sebab tidak dikabulkannya doa.

Sumber: Nomor 23 dari hadis ( لَا يَتَمَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ /Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian).

===***===

HUKUM MENERIMA HADIAH DARI NEGARA YANG BERMU'MALAH DENGAN RIBA

FATWA ISLAM WEB NO. 113316 (09 – 10 – 2008 M)

Pertanyaan:

Saya seorang warga negara Turki dan sedang kuliah di universitas. Negara memberikan kepada saya sejumlah uang setiap bulan sebagai bantuan tanpa imbalan apa pun. Negara tersebut bertransaksi dengan riba dan merupakan negara sekuler. Bagaimana hukum uang tersebut dalam agama, apakah haram? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.

Jawaban:

Tidak mengapa engkau menerima uang tersebut dari negara sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara. 

Adapun fakta bahwa negara itu bertransaksi dengan riba dan merupakan negara sekuler tidak menghalangi diterimanya bantuan atau hadiah darinya, karena harta negara tersebut mengandung uang yang haram seperti hasil riba dan lainnya, namun juga bercampur dengan harta halal yang diperoleh dari cara-cara yang dibenarkan. Maka hukumnya sama seperti orang yang memiliki harta campuran antara halal dan haram.

Sejumlah ulama telah menegaskan bahwa boleh menerima hadiah dari orang seperti itu selama hadiah tersebut tidak berasal langsung dari harta yang haram. Rasulullah sendiri pernah menerima hadiah dari para raja dan bertransaksi dengan orang-orang Yahudi serta kaum musyrik.

Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya 3/163 membuat bab berjudul :

بَابُ ‌قَبُولِ ‌الهَدِيَّةِ ‌مِنَ ‌المُشْرِكِينَ

“Bab Menerima Hadiah dari Orang Musyrik.”

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

"هَاجَرَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِسَارَةَ، فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ، فَقَالَ: أَعْطُوهَا آجَرَ " وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ".

“Ibrahim ‘alaihis salam berhijrah bersama Sarah, lalu masuk ke sebuah negeri yang rajanya zalim. Maka raja itu berkata: Berikanlah kepadanya Hajar.”

Dan pernah pula Nabi diberi hadiah seekor kambing beracun.

Abu Humaid juga meriwayatkan bahwa Raja Ailah menghadiahkan kepada Nabi seekor bagal putih, memberinya pakaian burdah, dan menulis surat untuknya mengenai wilayah laut mereka, yakni negeri mereka”. [sLs]

Maka tidak mengapa engkau menerima uang tersebut dan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla atau untuk hal-hal yang mubah. [SELESAI]

===****====

HUKUM HADIAH DARI BANK RIBA UNTUK PARA PEMILIK REKENING GIRO

Dalam fatwa Islam web no. 127526 (03 – 10 – 2009 M) disebutkan :

أَمَّا الْحُكْمُ عَلَى هَدَايَا الْبُنُوكِ فَهِيَ جَائِزَةٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ، لِأَنَّ أَمْوَالَ الْبَنْكِ يَخْتَلِطُ فِيهَا الْحَلَالُ بِالْحَرَامِ، وَمَنْ كَانَ كَذَلِكَ يُكْرَهُ مُعَامَلَتُهُ فِي مَالِهِ وَلَا يُحَرَّمُ.

“Adapun hukum hadiah dari bank adalah boleh dengan hukum makruh, karena harta bank bercampur antara yang halal dan yang haram. Orang yang hartanya demikian, maka dimakruhkan bertransaksi dengan hartanya, namun tidak diharamkan”.

Uraian dan Penjelasannya sbb :

Hadiah dari bank untuk para pemilik rekening giro hukumnya makruh dengan tingkatan makruh, tidak sampai haram secara mutlak, karena termasuk dalam kaidah :

"كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا"

Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba” yang hukumnya haram. Namun karena dana bank bercampur antara yang halal dan yang haram, sebagian ulama membolehkannya dengan hukum makruh.

Hal ini mencakup hadiah seperti jam tangan karena saldo tertentu, atau kesempatan mengikuti undian berhadiah.

Oleh karena itu, hadiah-hadiah tersebut dianggap sebagai bentuk manfaat yang diberikan sebagai imbalan atas pinjaman (yakni uang yang disimpan di bank), dan sebagian ulama membolehkannya dengan hukum makruh.

Masalah ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Larangan terhadap hadiah:

*] Transaksi perbankan dengan bank yang beroperasi secara riba tidak diperbolehkan secara syar’i kecuali dalam keadaan darurat, dan keadaan darurat itu diukur sesuai kebutuhannya.

*] Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat hukumnya haram.

*] Hadiah yang diberikan karena adanya praktik riba hukumnya haram.

Kebolehan hadiah dengan hukum makruh:

*] Dana bank bercampur antara yang halal dan yang haram, sehingga tidak seluruhnya haram untuk bertransaksi dengannya.

*] Boleh mengambil manfaat dari hadiah tersebut dengan hukum makruh, karena adanya campuran antara uang halal dan haram.

Secara umum, mayoritas ulama berpendapat bahwa hadiah dari bank hukumnya makruh, sehingga harus berhati-hati dan sebisa mungkin menghindari segala bentuk transaksi yang mengandung riba.

Yang sebaiknya dilakukan:

*] Jangan mengambil hadiah tersebut, karena termasuk manfaat tambahan dari pinjaman, dan hal itu dilarang dalam syariat Islam.

*] Singkirkan uang hasil riba, jika memiliki hubungan dengan bank konvensional, maka uang riba yang diterima dari bank harus disalurkan untuk kepentingan umum umat Islam tanpa niat mendapatkan pahala.

*] Carilah alternatif perbankan Islam, usahakan menjauh dari bank konvensional sebisa mungkin, dan gunakan bank-bank Islam yang tidak bertransaksi dengan riba.

===***===

FATWA SYEIKH SHOLEH AL-FAUZAAN

Syaikh Shalih Al-Fauzan berfatwa : bahwa tidak boleh menerima hadiah dari bank-bank ribawi, meskipun hadiah tersebut diberikan sebagai imbalan atas rekening giro yang tidak menghasilkan bunga secara langsung. Beliau memandang bahwa hadiah semacam itu merupakan bentuk tipu daya terhadap riba dan cara untuk menarik nasabah agar bertransaksi dengan bank ribawi.

Berikut penjelasan rinci fatwanya:

Alasan syar’i: Syaikh berpendapat bahwa rekening giro di bank ribawi pada hakikatnya merupakan akad pinjaman dari nasabah kepada bank. Dalam syariat Islam, setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat (baik berupa tambahan uang maupun hadiah barang) termasuk riba yang diharamkan, karena hadiah dalam kasus ini bukanlah pemberian murni, tetapi merupakan imbalan yang disyaratkan atau sudah menjadi kebiasaan sebagai balasan atas penyimpanan uang di bank.

Hukum hadiah: Hadiah dalam kondisi ini dianggap sebagai sarana untuk mendorong masyarakat agar berhubungan dengan bank yang berlandaskan riba. Oleh karena itu, hadiah tersebut bukanlah hadiah murni, melainkan manfaat yang timbul akibat pinjaman.

Sikap nasabah: Seorang muslim wajib menghindari transaksi dengan bank ribawi sejauh mungkin. Jika terpaksa menyimpan uang di sana (karena tidak ada alternatif bank Islam yang aman dan demi menjaga harta dari hilang), maka tidak boleh baginya menerima bunga maupun hadiah dari bank tersebut.

Kesimpulan: Tidak boleh mengambil hadiah yang diberikan oleh bank sebagai imbalan atas rekening giro, karena hal itu termasuk dalam kaidah :

"كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا"

“setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba.”

 

 

Posting Komentar

0 Komentar