Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

SHAHIHKAH HADITS “BERSANDAR PADA KEDUA TANGAN YANG MENGEPAL SAAT BANGKIT DARI SUJUD”???

SHAHIHKAH HADITS “BANGKIT DARI SUJUD SAMBIL BERSANDAR PADA KEDUA TANGAN YANG MENGEPAL MENUJU RAKAAT BERIKUTNYA”???

----

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

 ----

----

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • DIROSAH HADITS “BANGKIT DARI SUJUD SAMBIL BERSANDAR PADA KEDUA TANGAN MENGEPAL MENUJU RAKAAT BERIKUTNYA”
  • KATA AL-‘AJN (اَلْعَجْنُ) APAKAH ARTINYA MENGEPAL-KAN TANGAN?
  • HADIS-HADIS TENTANG ‘AJAN (MENGEPAL) KETIKA BANGKIT DARI SUJUD.
  • HADITS KE SATU : HADITS IBNU ABBAS RADHIYALLAHU ‘ANHUMA
  • HADITS KE DUA : HADITS IBNU UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHUMA
  • PENDAPAT SYEIKH AL-ALBANI TENTANG STATUS HADITS:
  • KESIMPULAN
  • PERBEDAAN PENDAPAT “ TATA CARA BANGKIT DARI SUJUD MENUJU BERDIRI”.

*****

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***====

PENDAHULUAN

Para ulama berbeda pendapat tentang cara bangkit dari sujud menuju rakaat kedua.

Sebagian ulama berpendapat bahwa berdiri dilakukan dengan bertumpu pada kedua tangan, dan mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 824) dari Abu Qilabah, ia berkata:

جَاءَنَا ‌مَالِكُ ‌بْنُ ‌الحُوَيْرِثِ، ‌فَصَلَّى ‌بِنَا ‌فِي ‌مَسْجِدِنَا ‌هَذَا، فَقَالَ: إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ، وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يُصَلِّي، قَالَ أَيُّوبُ: فَقُلْتُ لِأَبِي قِلَابَةَ: وَكَيْفَ كَانَتْ صَلَاتُهُ؟ قَالَ: مِثْلَ صَلَاةِ شَيْخِنَا هَذَا - يَعْنِي عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ - قَالَ أَيُّوبُ: وَكَانَ ذَلِكَ الشَّيْخُ «يُتِمُّ التَّكْبِيرَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الأَرْضِ، ثُمَّ قَامَ»

"Malik bin Al-Huwairits datang kepada kami, lalu ia shalat bersama kami di masjid ini. Ia berkata: 'Sesungguhnya aku shalat bersama kalian bukan karena ingin shalat, tetapi agar aku memperlihatkan kepada kalian bagaimana aku melihat Nabi shalat.'

Ayyub berkata: Aku pun bertanya kepada Abu Qilabah, 'Bagaimana cara shalatnya?'

Ia menjawab: 'Seperti shalatnya syaikh kami ini,' maksudnya Amr bin Salimah.

Ayyub berkata: 'Syaikh itu menyempurnakan takbir, dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia duduk, lalu bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya, kemudian berdiri.'"

Ibnu Rajab rahimahullah ta'ala berkata:

" وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْقَائِمِ إِلَى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الصَّلَاةِ: كَيْفَ يَقُومُ؟

فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: يَعْتَمِدُ بِيَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ، كَمَا فِي حَدِيثِ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ هَذَا...

وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَإِسْحَاقَ.

وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ كَانَ يَفْعَلُهُ، وَتَأَوَّلَهُ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ فَعَلَهُ لِعَجْزٍ وَكِبَرٍ.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ كَثِيرٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ فِي الْقِيَامِ إِلَى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، مِنْهُمْ: عُمَرُ، وَعُبَادَةُ بْنُ نُسَيٍّ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمَكْحُولٌ، وَالزُّهْرِيُّ، وَقَالَ: هُوَ سُنَّةُ الصَّلَاةِ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ وَغَيْرِهِ، وَرَخَّصَ فِيهِ قَتَادَةُ…

وَالْأَكْثَرُونَ عَلَى أَنَّهُ لَا تَلَازُمَ بَيْنَ الْجَلْسَةِ وَالِاعْتِمَادِ، فَقَدْ كَانَ مِنَ السَّلَفِ مَنْ يَعْتَمِدُ وَلَا يَجْلِسُ لِلِاسْتِرَاحَةِ، مِنْهُمْ: عُبَادَةُ بْنُ نُسَيٍّ، وَحَكَاهُ عَنْ أَبِي رَيْحَانَةَ الصَّحَابِيِّ...

وَلَا يَبْعُدُ إِذَا قُلْنَا: إِنَّ جَلْسَةَ الِاسْتِرَاحَةِ فَعَلَهَا تَشْرِيعًا لِلْأُمَّةِ، أَنْ يَكُونَ الِاعْتِمَادُ فَعَلَهُ كَذَلِكَ."

"Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang bangkit menuju rakaat kedua dalam shalat: bagaimana cara ia berdiri?

Sebagian berpendapat: ia bertumpu pada kedua tangannya di tanah, sebagaimana disebutkan dalam hadis Malik bin Al-Huwairits ini...

Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq.

Diriwayatkan pula dari Imam Ahmad bahwa beliau melakukannya, namun dijelaskan oleh Al-Qadhi Abu Ya’la dan lainnya bahwa beliau melakukannya karena lemah dan sudah tua.

Diriwayatkan dari banyak kalangan salaf bahwa mereka bertumpu pada kedua tangan ketika berdiri menuju rakaat kedua, di antaranya: Umar, Ubadah bin Nasi, Umar bin Abdul Aziz, Mak-hul, dan Az-Zuhri. Az-Zuhri berkata: 'Itu termasuk sunnah shalat.' Ini juga merupakan pendapat Al-Auza’i dan lainnya, serta Qatadah memberikan keringanan dalam hal ini...

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada keterikatan antara duduk istirahat (jalsah istirahah) dengan bertumpu pada tangan. Sebagian salaf ada yang bertumpu pada tangan tanpa duduk istirahat, seperti Ubadah bin Nasi, dan hal itu juga diriwayatkan dari sahabat Abu Raihanah.

Tidaklah jauh (kemungkinan) jika kita mengatakan bahwa duduk istirahat dilakukan oleh Nabi sebagai bentuk pensyariatan bagi umat, maka bertumpu dengan tangan pun dilakukan beliau dengan maksud yang sama." (Selesai, dari *Fathul Bari*, 7/291).

Madzab Syeikh Al-Albani mengenai *al-‘ajn* (mengepalkan tangan seperti kepalan tangan orang yang sedang mengulemi adonan tepung) saat bangkit dari sujud menuju rakaat berikutnya adalah sunnah. Beliau juga berpendapat bahwa seseorang harus bertumpu pada kedua tangannya saat berdiri dari sujud dengan berdalil pada beberapa hadis yang beliau anggap shahih, serta menolak pendapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa seharusnya meletakkan lutut terlebih dahulu.

Pandangan ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa sunnahnya adalah mendahulukan lutut ketika turun atau bangkit.

Perbedaannya dengan ulama lain: Al-Albani meyakini bahwa hadis tentang *al-‘ajn* adalah sahih dan menolak penafsiran sebagian ulama yang menganggapnya lemah.

===****====

DIROSAH HADITS 
“BANGKIT DARI SUJUD SAMBIL BERSANDAR PADA KEDUA TANGAN MENGEPAL MENUJU RAKAAT BERIKUTNYA”

****

KATA AL-‘AJN (اَلْعَجْنُ) APAKAH ARTINYA MENGEPAL-KAN TANGAN?

Seandainya katakan saja hadits tentang al-‘Ajan (اَلْعَجْنُ) ini adalah shahih, maka tidak serta merta bisa diartikan dengan mengepalkan tangan. Karena pengertian kata ‘ajn dengan makna mengepalkan tangan, adalah sesuatu yang dianggap asing (شَاذٌّ) oleh kebanyakan para ulama. 

Karena umumnya literatur kitab berbahasa arab dan juga dalam kamus-kamus standar, kata al-‘Ajn (اَلْعَجْنُ) diartikan dengan makna “bertopang kuat dengan kedua tangannya”. [Kamus Munawwir cetakan pustaka Progresif, hal 902 :]

Al Mu’jam Al Wasith : 2/586 : “‘Ajana adalah berdiri dengan menyandarkan tangannya di atas tanah, karena sudah tua atau karena gemuk”.

Demikian juga umumnya para ulama menjelaskan kata “‘ajn” ini dengan makna bertumpu dengan kuat, bukan menggenggam seperti tangan saat mau meninju. 

Al-Hafidz Ibnu ash-Sholah rahimahullah (wafat 643 H) mengatakan :

عَاجِنُ عَجِينِ الْخُبْزِ؛ فَيَقْبِضُ أَصَابِعَ كَفَّيْهِ وَيَضُمُّهَا كَمَا يَفْعَلُهُ عَاجِنُ الْعَجِينِ، وَيَتَّكِي عَلَيْهَا، وَيَرْتَفِعُ، وَلَا يَضَعُ رَاحَتَهُ عَلَى الْأَرْضِ، وَهَذَا جَعَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي دَرْسِهِ الْوَجْهَ الثَّانِي فِيهِ، وَعَمِلَ بِهِ كَثِيرٌ مِنْ عَامَّةِ الْعَجَمِ، وَغَيْرِهِمْ. وَهُوَ إِثْبَاتُ شَرْعِيَّةِ هَيْئَةٍ فِي الصَّلَاةِ لَا عَهْدَ بِهَا، بِحَدِيثٍ لَمْ يَثْبُتْ.

وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ؛ فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ الرَّجُلَ الْمُسِنَّ الْكَبِيرَ الَّذِي إِذَا قَامَ اعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ بِيَدَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَأَنْشَدُوا:

فَأَصْبَحْتُ كُنْتِيَّاً وَأَصْبَحْتُ عَاجِناً … وَشَرُّ خِصَالِ الْمَرْءِ كُنْتَ وَعَاجِنٌ

فَإِنْ كَانَ وَصْفُ الْكَبِيرِ بِذَلِكَ مَأْخُوذًا مِنْ عَاجِنِ الْعَجِينِ فَالتَّشْبِيهُ فِي شِدَّةِ الاعْتِمَادِ عِنْدَ وَضْعِ الْيَدَيْنِ، لَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّ أَصَابِعِهِمَا.

وَأَمَّا الَّذِي فِي كِتَابِ "الْمُحْكَمِ فِي اللُّغَةِ" لِلْمَغْرِبِيِّ الْمُتَأَخِّرِ الضَّرِيرِ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْعَاجِنِ: "إِنَّهُ الْمُعْتَمِدُ عَلَى الْأَرْضِ بِجُمُعِهِ". وَجُمُعُ الْكَفِّ بِضَمِّ الْجِيمِ هُوَ أَنْ يَقْبِضَهَا كَمَا ذَكَرُوهُ، فَغَيْرُ مَقْبُولٍ؛ فَإِنَّهُ مِنْهُ لَا يُقْبَلُ مَا يَتَفَرَّدُ بِهِ؛ فَإِنَّهُ كَانَ يَغْلِطُ، وَيَغْلِطُونَهُ كَثِيرًا، وَكَأَنَّهُ أَضَرَّ بِهِ فِي كِتَابِهِ مَعَ كِبَرِ حَجْمِهِ ضَرَارَتُهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Seseorang yang menguleni adonan roti, maka ia akan menggenggam jari-jarinya dan merapatkannya. Sebagaimana dilakukan oleh orang yang menguleni adonan, ketika hendak berdiri, maka ia akan bertumpu pada genggaman-nya, lalu ia bangkit tanpa meletakkan telapak tangannya ke tanah.

Inilah yang disebut oleh penulis kitab al-Wasith (Imam Ghozali) dalam kajian-nya sebagai pendapat kedua, lalu hal ini banyak diamalkan oleh khalayak orang-orang ‘ajam (non-Arab) dan selain mereka. Namun, hal itu berarti menetapkan suatu bentuk gerakan dalam shalat yang tidak dikenal sebelumnya, dan hanya berdasarkan hadits yang tidak sahih.

Seandainya hadits itu pun sahih, maka maknanya tidak seperti itu; sebab kata (العَاجِنُ) dalam bahasa Arab, artinya adalah : orang tua yang sudah lanjut usia, yang apabila hendak berdiri, ia bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya karena sudah lemah.

Mereka juga mengutip syair:

فَأَصْبَحْتُ كُنْتِيَّاً وَأَصْبَحْتُ عَاجِناً … وَشَرُّ خِصَالِ الْمَرْءِ كُنْتَ وَعَاجِنٌ

“Lalu aku menjadi tua renta dan menjadi ‘aajin (orang yang bertumpu) *** dan seburuk-buruk sifat seseorang adalah tua renta dan lemah.”

Jika penyebutan orang tua dengan istilah “عَاجِنٌ” diambil dari perumpamaan orang yang menguleni adonan, maka keserupaannya hanya pada kuatnya tumpuan tangan di tanah ketika berdiri, bukan pada cara menggenggam jari-jarinya.

Adapun yang disebutkan dalam kitab *Al-Muhkam fi al-Lughah* karya Al-Maghribi (seorang ulama buta dari kalangan ulama belakangan), bahwa “عَاجِنٌ” adalah : orang yang bertumpu pada tanah dengan “جُمُعُهُ” (telapak tangannya yang digenggam), dan “جُمُعُ الْكَفِّ” -dengan mendhommahkan huruf jim- berarti menggenggam telapak tangan, sebagaimana dijsebutkan mereka, maka pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab, Al-Maghribi ini termasuk orang yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam hal-hal yang ia sendiri meriwayatkannya tanpa dukungan dari ulama lain, karena ia sering melakukan kesalahan dan dan banyak para ulama yang menyalahkannya. Seakan-akan kebutaan matanya juga turut mempengaruhi karyanya itu, meskipun kitabnya berukuran besar. Wallaahu ‘alam”. [Baca : Syarah Musykil Al-Wasith : 2/142-143]]

Jelasnya menurut al-Maghraby : makna al-‘Ajin adalah "Orang yang bertumpu ke tanah dengan mengepal dan mengumpulkan telapak tangannya".

Dan al-Imam ar-Rofi’i berkata dalam kitabnya Fathul Aziz 1/258 , menukil dari penulis *Al-Mujmal*:

(اَلْعَاجِنُ) هُوَ الَّذِي إِذَا نَهَضَ اعْتَمَدَ عَلَى يَدَيْهِ كَأَنَّهُ يَعْجُنُ أَيِّ الْخَمِيرِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى الْخَبَرِ كَمَا يَضَعُ عَاجِنُ الْخَمِيرِ، وَهُمَا مُتَقَارِبَانِ

(Al-‘Aajin) adalah orang yang ketika berdiri bertumpu pada kedua tangannya seakan-akan sedang menguleni adonan.

Lalu Al-Rafi’i berkata: “Boleh jadi makna hadits itu seperti halnya orang yang menempatkan adonan, dan keduanya hampir sama”.

Dan al-Imam An-Nawawi berkata dalam *al-Majmu’ Syarh Al-Muhadhdhab* 3/442:

"وَهُوَ (العَاجِنُ) بِالنُّونِ. وَلَوْ صَحَّ كَانَ مَعْنَاهُ قَائِمًا مُعْتَمِدًا بِبَطْنِ يَدَيْهِ كَمَا يَعْتَمِدُ الْعَاجِزُ وَهُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ عَاجِنَ الْعَجِينِ".

“Al-‘Aajin dengan huruf nun.” Ia berkata: “Seandainya hadits ini sahih, maknanya adalah berdiri bertumpu pada telapak tangannya sebagaimana orang lemah (الْعَاجِزُ), yaitu orang tua lanjut usia, dan yang dimaksud bukan orang yang menguleni adonan.”

Dan demikian pula an-Nawawi berkata dalam “Tanqih” (al-Badrul Munir karya Ibnu al-Mulaqqin 3/681) :

إِنَّه بالنُّون وَهُوَ الرجل المسن الَّذِي حطمه الْكبر فَصَارَ بِحَيْثُ إِذا قَامَ اعْتمد بيدَيْهِ عَلَى الأَرْض، فَهَذَا صَوَابه لَو صَحَّ هَذَا اللَّفْظ، قَالَ: وَأما مَا نقل عَن الْغَزالِيّ فِي درسه أَنه قَالَ: رُوِيَ بالنُّون وَالزَّاي وبالنون أولَى، وَإنَّهُ الَّذِي يقبض بيدَيْهِ وَيقوم مُعْتَمدًا عَلَيْهَا، وَعلله بعلة فَاسِدَة، وَالصَّوَاب أَن الحَدِيث بَاطِل لَا يحْتَج بِهِ وَيقوم ويداه مبسوطتان مُعْتَمدًا عَلَى راحتيه وبطون أَصَابِعه".

“Bahwa dengan huruf nun, dan maknanya adalah orang tua yang karena usia menjadi lemah, sehingga ketika berdiri bertumpu dengan tangannya di tanah. Inilah makna yang benar seandainya lafadz hadits ini sahih.”

Sedangkan apa yang ditukil dari Al-Ghazali dalam pelajarannya bahwa ia berkata: “Diriwayatkan dengan huruf (ن) dan (ز). Sementara dengan (ن) itu lebih tepat, dan maknanya adalah orang yang menggenggam dengan tangannya dan berdiri bertumpu padanya,” maka alasan yang diajukan cacat. Yang benar adalah hadits ini palsu, tidak dapat dijadikan hujah, dan berdiri dengan kedua tangan terbuka bertumpu pada telapak tangannya dan bagian dalam jari-jarinya”. [Selesai]

Penafsiran kata ‘Ajan dengan mengepal ini juga dibantah oleh ulama kontemporer hari ini, diantaranya Syaikh Bakr Abu Zaid (salah satu anggota dewan fatwa al-Lajnah ad-Daimah - KSA), beliau berkata :

اَلْعَجْنُ: هُوَ أَن يَقُومَ الْمُصَلِّي مِنْ رَكْعَةٍ إِلَى أُخْرَى عَلَى هَيْئَةِ الْعَاجِنِ، وَهُوَ أَن يَجْمَعَ يَدَيْهِ وَيَتَّكِي عَلَى ظُهُورِهُمَا عِنْدَ الْقِيَامِ كَحَالِ مَنْ يَعْجُنُ الْعَجِينَ.

وَهَذِهِ: هَيْئَةٌ أَعْجَمِيَّةٌ، لَيْسَتْ سُنَّةً شَرْعِيَّةً، كَمَا يَشِيرُ إِلَيْهِ كَلَامُ ابْنِ الصَّلَاحِ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -. وَأَنَّ هَذِهِ يَفْعَلُهَا الْمُسِنُّ اضْطِرَارًا لَا اخْتِيَارًا لِيَسْتَعِينَ بِهَا عَلَى الْقِيَامِ.

ثُمَّ الْعَجْنُ لَهُ صِفَتَانِ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ: الْمَذْكُورَةُ، وَالثَّانِيَةُ بِبَسْطِ الْكَفَّيْنِ عَلَى الْأَرْضِ، كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ مِنْ حَالِ النِّسَاءِ عِنْدَ عَجْنِ الْعَجِينِ.

وَمَتَى كَانَ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ، أَوِ الْعَمَلُ حَالَ الْعَجْزِ، سُنَّةً مِنْ سُنَنِ الْهُدَى؟

عَلَى أَنَّ بَعْضَهُمْ قَالَ: إِنَّ لَفْظَ الْحَدِيثِ: عَلَى هَيْئَةِ الْعَاجِزِ وَرَسْمُ «الزَّاء» وَ «النُّون» مُتَقَارِبَانِ.

مَعَ أَنَّ الْحَدِيثَ ضَعِيفٌ لَا تَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ، وَتَرْكُ التَّسَنُّنِ بِهِ مُدَى الْقُرُونِ عَلَّةٌ قَادِحَةٌ.

“Al-‘Ajn : yaitu ketika seorang imam shalat berdiri dari satu rakaat ke rakaat berikutnya dengan cara seperti orang yang menguleni adonan (العَاجِنُ), yaitu mengepalkan kedua tangannya dan bertumpu pada punggung tangannya saat berdiri, sebagaimana orang yang sedang menguleni adonan.

Ini adalah gerakan dari kalangan ‘ajam (non-Arab), bukan sunnah syar’i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Shalah - rahimahullah ta’ala.

Gerakan ‘ajn ini dilakukan oleh orang yang sudah tua karena terpaksa, bukan karena pilihan, untuk membantunya dalam berdiri.

Kemudian, kata al-‘Ajn memiliki dua bentuk dalam bahasa Arab:

Pertama : yang disebutkan tadi.

Kedua : yaitu dengan meletakkan kedua telapak tangan di tanah, sebagaimana lazim dilakukan oleh para wanita saat menguleni adonan.

Jika perbuatan itu menyerupai kaum wanita atau dilakukan dalam keadaan lemah, apakah hal itu menjadi sunnah dari sunnah-sunnah hidayah?

Sebagian orang-orang mengatakan: kata dalam hadits adalah كَالعَاجِزِ (artinya : seperti orang yang lemah) bukan كَالعَاجِنِ (artinya : seperti orang menguleni adonan). Sementara bentuk huruf “ز” dan “ن” hampir sama.

Dan lagi pula, padahal hadits itu lemah dan tidak dapat dijadikan hujah. Dan perbuatan tersebut (yakni mengepalkan tangan saat bangkit dai sujud) itu tidak pernah ada yang mengamalkannya selama berabad-abad, maka ini merupakan suatu alasan yang melemahkan hadits tsb”. [Laa Jadiida Fii Ahkaami asholaat hal. 47-48]

===***===

HADIS-HADIS TENTANG ‘AJAN (MENGEPAL) KETIKA BANGKIT DARI SUJUD.

****

HADITS KE PERTAMA : IBNU ABBAS RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

Dari Ibnu Abbas :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى الأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ

bahwa Rasulullah apabila berdiri dari shalatnya, beliau menempatkan tangannya pada lantai sebagaimana al Ajin menempatkan tangannya.”

STATUS HADITS : 

Hadits ini bathil dan tidak ada asalnya alias PALSU.

Al-Hafdiz Ibnu al-Mulaqqin rahimahullah berkata:

هَذَا الْحَدِيثُ ذَكَرَهُ الرَّافِعِيُّ تَبَعًا لِلْغَزَالِيِّ، فَإِنَّهُ أَوْرَدَهُ كَذَلِكَ فِي «وَسِيطِهِ»، وَالْغَزَالِيُّ تَبِعَ إِمَامَهُ، فَإِنَّهُ أَوْرَدَهُ كَذَلِكَ فِي نِهَايَتِهِ، (وَلَا يَحْضُرُنِي) مَنْ خَرَّجَهُ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ بَعْدَ الْبَحْثِ عَنْهُ.

Hadits ini disebutkan oleh Ar-Rafi‘i mengikuti Al-Ghazali, karena Al-Ghazali juga mencantumkannya demikian dalam kitab *Al-Wasith*. Dan Al-Ghazali mengikuti imamnya, karena imamnya juga mencantumkannya demikian dalam kitab *An-Nihayah*. Dan aku tidak menemukan siapa di antara para ahli hadits yang meriwayatkannya melalui jalur ini setelah aku menelusurinya. [Al-Badrul Munir : 3/678 hadits no. 95]

Ibnu ash-Sholah dalam Syarah Musykil al-Wasith 2/141 berkata :

هَذَا حَدِيثٌ لَا يُعْرَفُ، وَلَا يَصِحُّ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ، وَقَدْ نُسِبَ إِلَى رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، وَقَدْ صَارَ فِي هَذَا الْكِتَابِ، وَفِي "الْوَجِيزِ" (1/44) مَظِنَّةً لِلْغَلَطِ، فَمَنْ غَالَطَ فِي لَفْظِهِ؛ بِقَوْلِهِ: الْعَاجِزُ بِالزَّايِ، وَإِنَّمَا هُوَ بِالنُّونِ.

Hadits ini tidak dikenal, tidak sahih, dan tidak boleh dijadikan hujjah. Hadits ini dinisbatkan kepada riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dan hadits tsb disebutkan dalam kitab ini (al-Wasith karya al-Ghazali) serta dalam *Al-Wajiz* ( karay al-Ghazali1/44) dan telah menjadi sumber kesalahan. Maka dia telah melakukan kekeliruan dalam lafadznya dengan mengucapkannya menggunakan huruf zay (الْعَاجِزُ), karena yang benar adalah dengan huruf nun (العَاجِنُ).

al-Imam An-Nawawi berkata dalam *At-Tanqih* (manuscrift 110/A):

"هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ بَاطِلٌ لَا يُعْرَفُ نَسَبُهُ، بَعْضُهُمْ إِلَى رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَلَا يَصِحُّ".

“Ini adalah hadits yang lemah dan batil, tidak dikenal asal-usulnya, sebagian orang menisbatkannya kepada riwayat Ibnu Abbas, namun tidak sahih.”

Dan ia berkata dalam *Al-Majmu‘* (3/442):

"حَدِيثٌ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ".

“Hadits yang lemah atau batil, tidak memiliki asal.”

Jamaluddin al-Isnawi dalam al-Muhimmaat 3/102 berkata:

وَالْحَدِيثُ لَمْ يَثْبُتْ.

“Hadits tersebut tidak terbukti shahih”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab *At-Talkhish* (1/625–626 no. 392):

قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ فِي كَلَامِهِ عَلَى الْوَسِيطِ: هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ

وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ: هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ.

وَقَالَ فِي التَّنْقِيحِ: ضَعِيفٌ بَاطِلٌ .

Ibnu Shalah berkata dalam pembahasannya atas *Al-Wasith*: Hadits ini tidak sahih, tidak dikenal, dan tidak boleh dijadikan hujjah.

An-Nawawi berkata dalam *Syarh Al-Muhadzdzab*: Ini adalah hadits yang lemah atau batil, tidak memiliki asal.

Dan ia berkata dalam *At-Tanqih*: Lemah dan batil.

Syaikh Al-Albani berkata dalam *As-Silsilah Adh-Dha’ifah wal-Maudhu‘ah* (2/393 no. 968) setelah menukil perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar diatas:

هَذِهِ هِيَ كَلِمَاتُهُمْ كَمَا نَقَلَهَا الْحَافِظُ الْعَسْقَلَانِيُّ عَنْهُمْ، دُونَ أَنْ يَتَعَقَّبَهُمْ بِشَيْءٍ، اَللَّهُمَّ إِلَّا بِأَثَرِ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي عَزَاهُ فِي "الْفَتْحِ" لِعَبْدِ الرَّزَّاقِ، فَإِنَّهُ عَزَاهُ هُنَا لِلطَّبَرَانِيِّ فِي "الْأَوْسَطِ"، فَلَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ الْمَرْفُوعِ صَرَاحَةً، مِصْدَاقًا لِلْقَوْلِ الْمَشْهُورِ: كَمْ تَرَكَ الْأَوَّلُ لِلْآخِرِ.

“Inilah ucapan-ucapan mereka sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Al-‘Asqalani dari mereka tanpa memberikan sanggahan sedikit pun, kecuali pada atsar Ibnu Umar yang dinisbatkannya dalam *Fathul Bari* kepada Abdur Razzaq, sedangkan di sini ia menisbatkannya kepada Ath-Thabarani dalam *Al-Awsath*. Maka ia tidak menemukan hadits marfu‘ ini secara jelas, sebagai pembenaran terhadap ungkapan yang masyhur: Betapa banyak yang ditinggalkan oleh orang terdahulu untuk disempurnakan oleh orang kemudian.”

Dan Syeikh al-Khothib asy-Syarbini rahimahullah mengatakan:

أَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي فِي الْوَسِيطِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ"، فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَإِنْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى ذَلِكَ وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْعَاجِنِ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ لَا عَاجِنَ الْعَجِينِ..

Adapun hadits yang terdapat dalam kitab Al-Wasith dari Ibnu Abbas

"Bahwa Rasulullah jika bangkit dari shalatnya, beliau meletakkan tangannya di atas tanah seperti Al-'Aajin (mengepal adonan tepung)", maka ini bukanlah hadits shahih, jika pun shahih maka dibawa pada makna yang telah disebutkan, yang mana maksud dari kata Al-'Ajiin (dalam hadits) adalah ‘orang yang sudah tua, bukan orang yang mengadon tepung’.”

[Mughni Al-Muhtaj : 1/182]

Dan Syeikh Bin Baaz ketika ditanya tentang keshahihan hadits tersebut, beliau menjawab:

الْمَعْرُوفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَالْإِنْسَانُ يَعْتَمِدُ كَيْفَ شَاءَ عَلَى يَدَيْهِ عَلَى بُطُونِهَا، أَوْ عَلَى ظُهُورِهَا، يَعْتَمِدُ حَيْثُ شَاءَ، هَذَا هُوَ الْأَصْلُ ... اِنْتَهَى.

Yang telah ma’ruf (maklum), hadits ini tidak sahih. Dan seseorang boleh bersandar dengan cara yang ia kehendaki, baik pada telapak tangannya atau pada punggungnya, ia bersandar sesuai yang ia inginkan. Itulah asal (ketentuan dasarnya) ... Selesai. Dari “Situs Syaikh Bin Baz”.

----

AT-TAHRIIF (salah tulis huruf):

Hadits al-‘Ajin (العَاجِنُ) ini diriwayatkan pula oleh Imam al-Haramain dalam Nihayatul Mathlab 2/171 dengan lafadz “al-Ajiz” (العَاجِزُ), lalu diikuti oleh al-Imam al-Ghazali dalam kitabnya “al-Basith”, “al-Wasith” (2/142-143) dan “al-Wajiiz”; karena tiga kitab ini adalah ringkasan dari “Nihayatul Mathlab”.

Imam al-Haramain Abdul Malik al-Juwainy (wafat 478 H) berkata:

وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِزُ"

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Bahwa Nabi apabila berdiri dalam shalatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di tanah sebagaimana orang yang lemah meletakkannya.” [Mathlab 2/171]

Al-Hafidz Ibnu ash-Sholah dalam Musykil al-Wasiith 2/141-142 berkata :

"وَقَدْ نُسِبَ هَذَا الْحَدِيثُ إِلَى رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، وَقَدْ صَارَ فِي هَذَا الْكِتَابِ (الوَسِيْطِ)، وَفِي "الْوَجِيزِ" مَظِنَّةً لِلْغَلَطِ، فَمَنْ غَالَطَ فِي لَفْظِهِ؛ بِقَوْلِهِ: الْعَاجِزُ بِالزَّايِ، وَإِنَّمَا هُوَ بِالنُّونِ، وَقَدْ جَعَلَهُ صَاحِبُ الْكِتَابِ فِيمَا عُلِّقَ عَنْهُ مِنْ دَرْسِهِ بِالزَّايِ أَحَدَ الْوَجْهَيْنِ فِيهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ.

وَمَنْ غَالَطَ فِي مَعْنَاهُ غَيْرَ غَالِطٍ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ: هُوَ بِالنُّونِ وَلَكِنَّهُ عَاجِنٌ عَجِينَ الْخُبْزِ؛ فَيَقْبِضُ أَصَابِعَ كَفَّيْهِ وَيَضُمُّهَا كَمَا يَفْعَلُهُ عَاجِنُ الْعَجِينِ، وَيَتَّكِئُ عَلَيْهَا، وَيَرْتَفِعُ، وَلَا يَضَعُ رَاحَتَهُ عَلَى الْأَرْضِ، وَهَذَا جَعَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي دَرْسِهِ الْوَجْهَ الثَّانِيَ فِيهِ، وَعَمِلَ بِهِ كَثِيرٌ مِنْ عَامَّةِ الْعَجَمِ، وَغَيْرِهِمْ.

وَهُوَ إِثْبَاتُ شَرْعِيَّةِ هَيْئَةٍ فِي الصَّلَاةِ لَا عَهْدَ بِهَا، بِحَدِيثٍ لَمْ يَثْبُتْ، وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ؛ فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ الرَّجُلُ الْمُسِنُّ الْكَبِيرُ الَّذِي إِذَا قَامَ اعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ بِيَدَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ".

‌‌Hadits ini dinisbatkan kepada riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dalam kitab ini (al-Wasith karya al-Ghozali) dan juga dalam *al-Wajiz*, hadits tersebut menjadi sumber terjadinya kekeliruan.

Ada yang keliru dalam lafadznya, dengan membaca “al-‘ājiz” (العَاجِزُ) menggunakan huruf (ز), padahal yang benar adalah “al-‘ājin” (العَاجِنُ) dengan huruf (ن). Penulis kitab ini (al-Imam al-Ghazali) menyebut dalam pelajaran yang diriwayatkan darinya bahwa huruf (ز) adalah salah satu dari dua kemungkinan bacaannya, padahal tidak demikian.

Ada pula yang keliru dalam maknanya, meskipun tidak keliru dalam lafadznya. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “al-‘ājin (العَاجِنُ)” dengan huruf (ن), maknanya yaitu :

Orang yang menguleni adonan roti; maka ia menggenggam jari-jarinya, menekannya, bertumpu padanya, lalu bangkit tanpa meletakkan telapak tangannya di tanah.

Makna seperti ini dijadikan oleh mushonnif (al-Imam al-Ghazali) dalam kajian-nya sebagai pendapat kedua, maka banyak orang ‘ajam (non-Arab) serta selain mereka yang mengamalkannya. Padahal ini merupakan penetapan suatu bentuk gerakan dalam salat yang tidak dikenal dalam syariat, dan ini hanya berdasarkan hadits yang tidak sahih.

Seandainya hadits itu pun sahih, maka maknanya tidak seperti itu, karena “al-‘ājin” dalam bahasa Arab berarti : orang tua renta yang ketika berdiri harus bertumpu dengan kedua tangannya di tanah karena sudah lemah. [SELESAI]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab *At-Talkhish* (1/625–626 no. 392):

وَقَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ: نُقِلَ عَنْ الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ قَالَ في دَرْسِه هُوَ بِالزَّاي، وَبِالنُّونِ أَصَحُّ، وَهُوَ الَّذِي يَقْبِضُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ مُعْتَمِدًا عَلَيْهَا.

قَالَ: وَلَوْ صَحَّ الْحَدِيثُ لَكَانَ مَعْنَاهُ قَامَ مُعْتَمِدًا بِبَطْنِ يَدَيْهِ كَمَا يَعْتَمِدُ الْعَاجِزُ وَهُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَلَيْسَ الْمُرَادُ عَاجِنَ الْعَجِينِ".

“Ia juga berkata dalam *Syarh Al-Muhadzdzab*: Diriwayatkan dari Al-Ghazali bahwa ia berkata dalam kajian-nya: ‘lafalnya dengan huruf (ز), namun dengan huruf (ن) lebih sahih, artinya orang yang menggenggam kedua tangannya lalu berdiri bersandar padanya’.

Ia (an-Nawawi) berkata: Seandainya hadits itu sahih, maka maknanya adalah berdiri dengan bersandar pada kedua telapak tangannya sebagaimana orang yang lemah bersandar, yaitu orang tua renta, bukan seperti orang yang mengaduk adonan. (Syarh Al-Muhadzdzab karya An-Nawawi 3/421)

Dan Al-Hafidz Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badr 3/680-681 berkata :

وَقَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الْكِتَابِ نَقْلًا عَنْ صَاحِبِ (الْمُجْمَلِ): إِنَّ (الْعَاجِنَ) هُوَ الَّذِي إِذَا نَهَضَ اعْتَمَدَ عَلَى يَدَيْهِ كَأَنَّهُ يَعْجِنُ أَيِ الْخَمِيرَ، قَالَ: وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى الْخَبَرِ كَمَا يَضَعُ عَاجِنُ الْخَمِيرِ. قَالَ الرَّافِعِيُّ: هُمَا مُتَقَارِبَانِ.

وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي «شَرْحِ الْمُهَذَّبِ»: الْعَاجِنُ بِالنُّونِ. قَالَ: وَلَوْ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ لَكَانَ مَعْنَاهُ قَامَ مُعْتَمِدًا بِبَطْنِ يَدَيْهِ كَمَا يَعْتَمِدُ الْعَاجِزُ، وَهُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ عَاجِنَ الْعَجِينِ. (وَكَذَا قَالَ فِي «تَنْقِيحِهِ».

Ar-Rafi’i berkata dalam kitabnya dengan menukil dari penulis *Al-Mujmal*: Sesungguhnya (al-‘ajin) adalah orang yang apabila bangkit (dari duduk) ia bertumpu pada kedua tangannya seolah sedang menguleni adonan. Ia berkata: Dan boleh jadi makna hadits itu adalah sebagaimana orang yang meletakkan adonan roti. Ar-Rafi’i berkata: Keduanya memiliki makna yang berdekatan.

An-Nawawi berkata dalam *Syarh Al-Muhadzdzab*: Kata *al-‘ajin* menggunakan huruf nun. Ia berkata: Seandainya hadits ini sahih, maka maknanya adalah seseorang berdiri dengan bertumpu pada telapak tangannya sebagaimana orang tua renta yang lemah bertumpu, dan bukan yang dimaksud adalah orang yang menguleni adonan. (Demikian pula ia katakan dalam *Tanqih*-nya). [SELESAI]

*****

HADITS KE DUA : HADITS IBNU UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

Disebutkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (4/213), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa‘id Ar-Razi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar bin Aban, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa‘labah, dari Al-Azraq bin Qais, ia berkata:

" رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ‌وَهُوَ ‌يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: (رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ، يَعْنِي: يَعْتَمِدُ".

“Aku melihat Abdullah bin Umar melakukan ‘ajin (gerakan seperti mengaduk adonan) dalam shalat, yakni ia bersandar pada kedua tangannya ketika berdiri. Maka aku bertanya: Wahai Abu Abdurrahman, apa ini? Ia menjawab: Aku melihat Rasulullah melakukan ‘ajn dalam shalat”. Maksudnya : bersandar.” *Al-Mu‘jam Al-Awsath* (4/213)

PERHATIAN: ath-Thabarani menjelaskan bahwa yang dimaksud kata "يَعْجِنُ" dari perkataan Ibnu Umar di sini adalah "bersandar".

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibrahim Al-Harbi dalam *Gharibul Hadits* (2/525), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, dari Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari Al-Azraq bin Qais:

" رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ؛ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ ، فَقُلْتُ لَهُ ، فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ".

“Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajin dalam shalat. yakni ; ia bersandar pada kedua tangannya ketika berdiri. Maka aku bertanya kepadanya, lalu ia berkata: Aku melihat Rasulullah melakukannya.”

STATUS HADITS :

Ath-Thabarani berkata:

" لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْأَزْرَقِ إِلَّا الْهَيْثَمُ، تَفَرَّدَ بِهِ: يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ ".

“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Azraq kecuali Al-Haitsam, dan yang menyendirinya dalam periwayatan adalah Yunus bin Bukair.” [*Al-Mu‘jam Al-Awsath* (4/213)]

Sedangkan Al-Haitsam adalah perawi yang tidak dikenal (Majhul).

----

Pernyataan para ahli hadits tentang seorang rawi yang bernama Al-Haitsam Bin 'Alqamah Bin Qais Bin Tsa'labah.

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :

خَرَّجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي «أَوْسَطِهِ». وَالْهَيْثَمُ هَذَا، غَيْرُ مَعْرُوفٍ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْعَاجِنُ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي يَعْتَمِدُ إِذَا قَامَ بِبَطْنِ يَدَيْهِ، لَيْسَ هُوَ عَاجِنَ الْعَجِينِ.

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Awsath*, dan Al-Haitsam ini tidak dikenal. Sebagian ulama berkata : Al-'Aajin, adalah orang tua yang hendak berdiri dengan menumpukan telapak tangannya, bukanlah itu seperti orang yang mengadon tepung . [Fathul Bari : 7/293]

Ibnu Rajab rahimahullah ta‘ala berkata:

"خَرَّجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي «أَوْسَطِهِ». وَالْهَيْثَمُ هَذَا، غَيْرُ مَعْرُوفٍ." اِنْتَهَى.

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Awsath*, dan Al-Haitsam ini tidak dikenal.” (selesai, *Fathul Bari* 7/293).

Al Imam Khatib Syarbini juga mengatakan : “Hadits yang menyebutkan Nabi ber’ajan tidaklah shahih.” [Mughni al Muhtaj (1/392)]

Dan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata dalam kitab *At-Tahdīts* (halaman 57–58):

"لَا يَصِحُّ فِي مَشْرُوعِيَّةِ الْعَجْنِ فِي الصَّلَاةِ حَدِيثٌ"

“Tidak ada satu pun hadis yang sahih tentang disyariatkannya perbuatan ‘al-‘ajn’ (gerakan seperti menguleni adonan) dalam shalat.”

Dan Syeikh Qosim Ukhailaat berkata :

حَدِيثُ الْعَجْنِ فِي الصَّلَاةِ مُنْكَرٌ، تَفَرَّدَ بِالْعَجْنِ الْهَيْثَمُ بْنُ عِمْرَانَ وَهُوَ مَجْهُولٌ، وَخَالَفَهُ مَنْ هُوَ أَوْثَقُ عَنْ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ فِي الِاعْتِمَادِ عَلَى الْيَدَيْنِ فِي الْقِيَامِ دُونَ ذِكْرِ ‌الْعَجْنِ، وَهُوَ عَمَلٌ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ قَبْلًا.

“Hadis tentang *al-‘ajn* (gerakan seperti mengaduk adonan) dalam shalat adalah hadis yang mungkar. Yang meriwayatkan lafadz *al-‘ajn* hanya Haitsam bin Imran, dan ia seorang yang majhul (tidak dikenal). Ia pun menyelisihi perawi yang lebih terpercaya yang meriwayatkan dari Al-Azraq bin Qais dari Ibnu Umar secara mauquf (berhenti pada sahabat), hanya menyebutkan tentang bersandar pada kedua tangan ketika berdiri, tanpa menyebut lafadz *al-‘ajn*. Perbuatan tersebut juga tidak pernah dinukil dari siapa pun sebelumnya”.

Dan dia juga berkata :

وَحَكَمَ عَلَيْهِ ضِيَاءُ الرَّحْمٰنِ الْأَعْظَمِيُّ بِأَنَّهُ «مُنْكَرٌ». [الْجَامِعُ الْكَامِلُ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الشَّامِلِ الْمُرَتَّبِ عَلَى أَبْوَابِ الْفِقْهِ (٢/ ٥٧٣)]. وَمِمَّنْ ضَعَّفَهُ ابْنُ رَجَبٍ وَالنَّوَوِيُّ وَالْعَدَوِيُّ وَالْحُوَيْنِيُّ وَقَوْمٌ.

وَحَسَّنَهُ الشَّيْخُ الْأَلْبَانِيُّ، وَلَيْسَ كَذٰلِكَ كَمَا رَأَيْتَ.

Hadis tersebut dinilai oleh Dhiyā’ur Rahmān al-A‘dzomī sebagai “hadits munkar”. (Al-Jāmi‘ al-Kāmil fī al-adīth al-aḥīḥ al-Shāmil al-Muratab ‘alā Abwāb al-Fiqh, 2/573).

Di antara ulama yang mendhaifkannya adalah Ibnu Rajab, An-Nawawi, Al-‘Adawi, Al-Huwaini, dan beberapa ulama lainnya.

Sedangkan Syaikh Al-Albani menilainya hasan, namun tidak demikian sebagaimana yang telah engkau ketahui”.

[(https://bit.ly/3xKirjV)]

Singkatnya :

Al-Haitsam adalah perawi yang tidak dikenal (مَجْهُولٌ), dan tidak ada yang mengikutinya (لَمْ يُتَابَعْ عَلَيْهِ) dalam riwayat ini. Ia telah keliru dalam dua hal:

Pertama: ia meriwayatkannya secara marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah ), padahal Hammad bin Salamah meriwayatkannya dari Al-Azraq secara mauquf (berhenti pada Ibnu Umar). Hammad adalah seorang imam dari kalangan para imam kaum muslimin, dan ia telah diikuti oleh Abdullah (Ubaidillah) bin Umar bin Aban dalam riwayatnya dari Nafi’ dengan status mauquf.

Kedua: ia menyebut adanya kata “يَعْجِنُ” di dalamnya, sementara dalam riwayat Hammad bin Salamah yang mauquf hanya disebut: “وَيَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ” (artinya : dan ia bertumpu pada kedua tangannya), tanpa ada penyebutan tentang “يَعْجِنُ.”

Demikian pula Abdullah bin Umar bin Aban meriwayatkannya dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara mauquf pada Ibnu Umar, sebagaimana riwayat Hammad bin Salamah. [Dikutip dari kitab *An-Nukat Ash-Shaghir ‘ala At-Talkhish Al-Habir* karya Syaikh Yusuf Al-Furaihi].

Riwayat yang menyebut tentang sifat “يَعْجِنُ” datang hanya melalui satu jalur saja, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari kalangan penyusun kitab Shahih, Musnad, maupun Sunan. Riwayat tersebut hanya dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam dua kitabnya, *Al-Mu’jam Al-Awsath* dan *Al-Mu’jam Al-Kabir*, melalui jalur Yunus bin Bukair. Dan kitab *Mu’jam* karya Ath-Thabarani merupakan tempat bagi riwayat-riwayat munkar dan gharib.

Ketiga : ath-Thabarani sendiri sebagai perawi utama hadits ibnu Umar ini menjelaskan bahwa yang di maksud “يَعْجِنُ” dalam hadits adalah “يَعْتَمِدُ”, yakni bersandar.  

****

PENDAPAT SYEIKH AL-ALBANI rahimahullah:

Syaikh Al-Albani berbeda pendapat dengan para ulama lainnya. Ia berpendapat bahwa hadits Ibnu Umar ini derajatnya hasan . Dan dia mengatakan bahwa Al-Haitsam dalam sanad ini adalah Al-Haitsam bin Imran, bukan Haitsam bin al-Qamah ats Tsa’labah.

Padahal Haitsam bin Imran ataupun Hisyam bin al-Qamah adalah sama-sama majhul sehingga hadits dari keduanya adalah lemah.

Dalam Tamam al-Minnah hal. 196-197 berkata :

رَوَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْحَرْبِيُّ بِسَنَدٍ صَالِحٍ مَرْفُوعًا عَنْهُ، يَرْوِيهِ الْأَزْرَقُ بْنُ قَيْسٍ:

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجُنُ فِي الصَّلَاةِ، يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ؟ فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَفْعَلُهُ.

وَهُوَ حَدِيثٌ عَزِيزٌ - كَمَا ذَكَرْتُ هُنَاكَ - لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنَ الْمُخْرِجِينَ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْهُمْ وَالْمُتَأَخِّرِينَ...

قُلْتُ: وَلَازِمُ هَذِهِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ أَنْ يَرْفَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، إِذْ لَا يُمْكِنُ الِاعْتِمَادُ عَلَى الْأَرْضِ عِنْدَ الْقِيَامِ إِلَّا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ...

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ جَلْسَةِ الِاسْتِرَاحَةِ.

Diriwayatkan oleh Abu Ishaq Al-Harbi dengan sanad yang baik, marfu‘ darinya (Nabi ), diriwayatkan oleh Al-Azraq bin Qais:

“Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajnuun’ dalam shalat, yaitu bertumpu pada kedua tangannya ketika berdiri. Maka aku bertanya kepadanya, dan ia menjawab: Aku melihat Rasulullah melakukannya.”

Hadis ini tergolong hadis mulia – sebagaimana telah disebutkan di sana –, namun tidak pernah disebutkan oleh para pentakhrij hadis terdahulu maupun yang kemudian.

Aku (al-Albani) berkata: Konsekuensi dari sunnah yang sahih ini adalah bahwa seseorang mengangkat kedua lututnya sebelum tangannya, karena tidak mungkin bertumpu pada tanah ketika berdiri kecuali dengan cara seperti ini.

Dan dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang disyariatkannya duduk istirahat (jalsah al-istirahah). [SELESAI]

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 2/392 berkata:

فَأَخْرَجَهُ ‌أَبُو ‌إِسْحَاقَ ‌الْحَرْبِيُّ ‌فِي "غَرِيبِ الْحَدِيثِ" (5 / 98 / …) عَنِ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ: يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ فِي الصَّلَاةِ إِذَا قَامَ، فَقُلْتُ لَهُ:؟ فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَفْعَلُهُ.

قُلْتُ: وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ، وَهُوَ هَكَذَا: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ (الْأَصْلُ: عَبْدُ اللهِ وَهُوَ خَطَأٌ مِنَ النَّاسِخِ) بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ بِهِ.

قُلْتُ: وَابْنَا قَيْسٍ ثِقَتَانِ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيحِ، وَالْهَيْثَمُ هُوَ ابْنُ عِمْرَانَ الدِّمَشْقِيُّ، أَوْرَدَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ" (2 / 296).

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Ishaq Al-Harbi dalam *Gharib Al-Hadits* (5/98/…) dari Al-Azraq bin Qais:

“Aku melihat Ibnu Umar melakukan al-‘Ajn dalam shalat, yakni ; ia bertumpu pada kedua tangannya ketika berdiri".

Maka aku berkata kepadanya: (mengapa engkau lakukan itu?)

Ia menjawab: Aku melihat Rasulullah melakukannya.”

Aku (al-Albani) berkata: Sanadnya hasan, dan redaksinya seperti ini: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah (dalam naskah tertulis Abdullah, dan itu kesalahan penyalin) bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, dari Haitsam bin ‘Athiyyah, dari Qais bin Al-Azraq bin Qais dengan sanad tersebut.

Aku berkata: Dua orang dari keturunan Qais adalah tsiqah (terpercaya) dan termasuk perawi kitab shahih. Adapun Haitsam adalah Ibn ‘Imran Ad-Dimasyqi, yang disebutkan oleh Ibn Hibban dalam *As-Tsiqat* (2/296)”. [Selesai]

Lalu al-Albani dalam foot note nya mengutip perkataan Ibnu al-Atsir (wafat 630 H), penulis kitab an-Nihayah tentang makna “يَعْجِنُ”:

(أَيْ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ كَمَا يَفْعَلُ الَّذِي يَعْجِنُ الْعَجِينَ. "نِهَايَةٌ". اهـ)

Artinya : (yaitu bertumpu pada kedua tangannya ketika bangkit dari sujud, sebagaimana orang yang menguleni adonan — "An-Nihayah" 3/188).

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam (*As-Silsilah Ash-Shahihah* 6/380-381 no. 2674) berkata :

وَقَالَ الطَّبَرَانِيُّ: "لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْأَزْرَقِ إِلَّا الْهَيْثَمُ، تَفَرَّدَ بِهِ يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ".

قُلْتُ: وَهُوَ صَدُوقٌ حَسَنُ الْحَدِيثِ مِنْ رِجَالِ مُسْلِمٍ، وَفِيهِ كَلَامٌ لَا يَنْزِلُ حَدِيثُهُ عَنْ مَرْتَبَةِ الْحَسَنِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى.

"لَكِنْ شَيْخُهُ الْهَيْثَمُ بْنُ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسِ بْنِ ثَعْلَبَةَ لَمْ أَعْرِفْهُ، وَلَمْ أَرَ أَحَدًا ذَكَرَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يَكُونَ وَقَعَ فِي الرِّوَايَةِ شَيْءٌ مِنَ التَّحْرِيفِ، فَقَدْ أَخْرَجَ الْحَدِيثَ أَبُو إِسْحَاقَ الْحَرْبِيُّ فِي «غَرِيبِ الْحَدِيثِ» هَكَذَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنِ الْهَيْثَمِ، عَنْ عَطِيَّةَ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ بِهِ.

وَالْحَرْبِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ حَافِظٌ، فَرِوَايَتُهُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى رِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ الرَّازِيِّ، فَإِنَّ هَذَا وَإِنْ وَثَّقَهُ مُسْلِمَةُ بْنُ قَاسِمٍ، فَقَدْ قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: «لَيْسَ بِذَاكَ»، فَقَوْلُهُ فِي الْإِسْنَادِ: «الْهَيْثَمُ بْنُ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسِ بْنِ ثَعْلَبَةَ» يَكُونُ مِنْ أَوْهَامِهِ إِنْ كَانَ مَحْفُوظًا عَنْهُ، وَالصَّوَابُ قَوْلُ الْحَرْبِيِّ: «الْهَيْثَمُ عَنْ عَطِيَّةَ بْنِ قَيْسٍ». وَالْهَيْثَمُ هَذَا هُوَ ابْنُ عِمْرَانَ الدِّمَشْقِيُّ، وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وَقَدْ رَوَى عَنْهُ جَمْعٌ مِنَ الثِّقَاتِ."

“Ath-Thabrani berkata: “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Al-Azraq kecuali oleh Al-Haitsam, dan hanya Yūnus bin Bukair yang meriwayatkannya secara tunggal.”

Aku (al-Albani) berkata: Yūnus bin Bukair adalah seorang yang jujur, haditsnya hasan, termasuk perawi Muslim. Meskipun ada pembicaraan tentangnya, namun haditsnya tidak turun dari derajat hasan, insya Allah ta'ala.

Akan tetapi, gurunya yaitu Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa‘labah tidak aku kenal, dan aku tidak melihat seorang pun yang menyebutkannya. Maka aku khawatir dalam riwayat ini terdapat kekeliruan, karena Abu Ishaq Al-Harbi telah meriwayatkan hadits ini dalam *Gharibul Hadits* dengan lafadz: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, dari Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari Al-Azraq bin Qais, dengan sanad tersebut.

Al-Harbi adalah seorang imam yang terpercaya dan hafizh, sehingga riwayatnya lebih kuat daripada riwayat Ali bin Sa‘id Ar-Razi. Sebab, meskipun Ali bin Sa‘id ditashihkan oleh Maslamah bin Qasim, namun Ad-Daraquthni berkata: ‘Ia tidak sekuat itu.’ Maka ucapannya dalam sanad: ‘Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa‘labah’ merupakan kekeliruannya jika memang riwayat itu benar darinya. Yang benar adalah sebagaimana disebutkan oleh Al-Harbi: ‘Al-Haitsam dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Dan Al-Haitsam ini adalah Ibnu Imran Ad-Dimasyqi, yang dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban. Beberapa perawi terpercaya juga meriwayatkan darinya.” (Selesai).

===

KRITIKAN :

Kritikan pertama : Parnyataan para ahli hadits tentang seorang rawi yang bernama al-Haitsam bin Imran:

Jika seandainya kita mengikuti pendapat Syeikh al-Albani bahwa Al-Haitsam yang dimaksud dalam sanad hadits diatas adalah al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy, (bukan Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa‘labah). Maka penulis katakan :

Al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy telah meriwayatkan darinya 5 ulama hadits, dan tidak ada yang mentsiqahkan (menganggapnya bisa dipercaya) kecuali Ibnu Hibban (Ats-Tsiqat, 7/577) dan itu saja tidak cukup untuk memastikan bahwa perawi tersebut terpercaya ; karena menurut Ibnu Hibban majhul hal itu dianggap tsiqot.

Memang para ulama hadits berbeda pendapat tentang kedudukan rawi yang seperti ini. Namun, sebagian besar mereka memasukkannya kedalam kelompok rawi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya) yang mana haditsnya tidak bisa diterima. Lihat Jarh Wa at-ta’diil, Ibnu Abi Hatim (2/38), ‘Abdil Hadi (1/104), Al-Jarh wat Ta'dil (4/82-83)

---

Kritikan Kedua : Parnyataan para ahli hadits tentang seorang rawi yang bernama Yunus Bin Bukair

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan :

عَنْ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: لَيْسَ هُوَ عِنْدِي حُجَّةٌ، يَأْخُذُ كَلَامَ ابْنِ إِسْحَاقَ، فَيُوصِلُهُ بِالْأَحَادِيثِ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ، وَقَالَ مَرَّةً: ضَعِيفٌ.

Dari Abu Daud, beliau berkata : Dia (Yunus Bin Bukair) bukanlah hujjah bagiku, dia juga telah mengambil ucapan Ibnu Ishaq lalu menyambungkannya dengan hadits-hadits, dan An-Nasa'i berkata : Dia tidak kuat, ditempat lain beliau berkata : Dia dha'if. [Tahdzibut Tahdzib: 4/260]

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan :

قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ: كَتَبْتُ عَنْهُ، وَلَسْتُ أُحَدِّثُ عَنْهُ.

“'Ali Ibnul Madini berkata : Aku menulis tentangnya, namun tidak mengambil hadits darinya”. [Siyar A'lam An-Nubala' : 9/247]

Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar tanpa lafadz اَلْعَجْنُ (mengaduk adonan), dan dengan status mauquf (hanya perbuatan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam *Al-Mushannaf* (3/376):

Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dalam *Al-Awsath* (3/199), Ibnu Abi Syaibah (1/395), dan Al-Baihaqi (2/135) melalui jalur Al-Azraq bin Qais, ia berkata:

" رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ، ينهَض فِي الصَّلَاةِ، ‌وَيَعْتَمِدُ ‌عَلَى ‌يَدَيْهِ".

“Aku melihat Ibnu Umar bangkit dalam shalat dan bersandar pada kedua tangannya.”

Al-‘Allamah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah telah memperluas pembahasan tentang kritikan dan  bantahan terhadap penshahihan hadits al-‘Ajan ini dan isi yang dikandungnya dalam sebuah risalah khusus berjudul :

كَيْفِيَّةُ النُّهُوضِ فِي الصَّلَاةِ، وَتَضْعِيفُ حَدِيثِ اَلْعَجْنُ"

Tata Cara Bangkit dalam Shalat dan Dho’ifnya Hadits Al-‘Ajn (mengepalkan tangan seperti tangan orang yang sedang mengadon roti).

----

Kritikan ketiga : makna al-Ajn yang benar, tidak seperti yang diafahami oleh Syeikh al-Albani.

Al-Hafidz Ibnu ash-Sholah rahimahullah (wafat 643 H) berkata :

وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ؛ فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ الرَّجُلَ الْمُسِنَّ الْكَبِيرَ الَّذِي إِذَا قَامَ اعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ بِيَدَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَأَنْشَدُوا:

فَأَصْبَحْتُ كُنْتِيَّاً وَأَصْبَحْتُ عَاجِناً … وَشَرُّ خِصَالِ الْمَرْءِ كُنْتَ وَعَاجِنٌ

فَإِنْ كَانَ وَصْفُ الْكَبِيرِ بِذَلِكَ مَأْخُوذًا مِنْ عَاجِنِ الْعَجِينِ فَالتَّشْبِيهُ فِي شِدَّةِ الاعْتِمَادِ عِنْدَ وَضْعِ الْيَدَيْنِ، لَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّ أَصَابِعِهِمَا.

Seandainya hadits itu pun sahih, maka maknanya tidak seperti itu; sebab kata (العَاجِنُ) dalam bahasa Arab, artinya adalah : orang tua yang sudah lanjut usia, yang apabila hendak berdiri, ia bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya karena sudah lemah.

Mereka juga mengutip syair:

فَأَصْبَحْتُ كُنْتِيَّاً وَأَصْبَحْتُ عَاجِناً … وَشَرُّ خِصَالِ الْمَرْءِ كُنْتَ وَعَاجِنٌ

“Lalu aku menjadi tua renta dan menjadi ‘aajin (orang yang bertumpu) *** dan seburuk-buruk sifat seseorang adalah tua renta dan lemah.”

Jika penyebutan orang tua dengan istilah “عَاجِنٌ” diambil dari perumpamaan orang yang menguleni adonan, maka keserupaannya hanya pada kuatnya tumpuan tangan di tanah ketika berdiri, bukan pada cara menggenggam jari-jarinya.

[Baca : [Syarah Musykil Al-Wasith : 2/142-143]]

----

Kritikan ke empat : Orang yang pertama kali mengartikan al-Ajn itu “menggenggam”, dia adalah al-Magribi (Ibnu Sayyiduh al-Mursiy, Seorang Ulama Buta, dari Andalus- Eropa, wafat tahun 458 H).

Al-Hafidz Ibnu ash-Sholah rahimahullah berkata :

وَأَمَّا الَّذِي فِي كِتَابِ "الْمُحْكَمِ فِي اللُّغَةِ" لِلْمَغْرِبِيِّ الْمُتَأَخِّرِ الضَّرِيرِ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْعَاجِنِ: "إِنَّهُ الْمُعْتَمِدُ عَلَى الْأَرْضِ بِجُمُعِهِ". وَجُمُعُ الْكَفِّ بِضَمِّ الْجِيمِ هُوَ أَنْ يَقْبِضَهَا كَمَا ذَكَرُوهُ، فَغَيْرُ مَقْبُولٍ؛ فَإِنَّهُ مِنْهُ لَا يُقْبَلُ مَا يَتَفَرَّدُ بِهِ؛ فَإِنَّهُ كَانَ يَغْلِطُ، وَيَغْلِطُونَهُ كَثِيرًا، وَكَأَنَّهُ أَضَرَّ بِهِ فِي كِتَابِهِ مَعَ كِبَرِ حَجْمِهِ ضَرَارَتُهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun yang disebutkan dalam kitab *Al-Muhkam fi al-Lughah* karya Al-Maghribi (seorang ulama buta dari kalangan ulama belakangan), bahwa “عَاجِنٌ” adalah :

orang yang bertumpu pada tanah dengan cara “جُمُعُهُ” (telapak tangannya yang digenggam), dan “جُمُعُ الْكَفِّ” -dengan mendhommahkan huruf jim- berarti menggenggam telapak tangan,

Sebagaimana disebutkankan oleh mereka, maka pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab, Al-Maghribi termasuk orang yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam hal-hal yang ia sendiri meriwayatkannya tanpa dukungan dari ulama lain, karena ia sering melakukan kesalahan dan dan banyak par ulama yang menyalahkannya. Seakan-akan kebutaan matanya juga turut mempengaruhi karyanya itu, meskipun kitabnya berukuran besar. Wallaahu ‘alam”.

[Baca : [Syarah Musykil Al-Wasith : 2/142-143]]

Jelasnya menurut al-Maghriby : makna al-‘Ajin adalah "Orang yang bertumpu ke tanah dengan mengepal dan mengumpulkan telapak tangannya".

----

Adakah tata cara khusus meletakkan kedua tangan di tanah saat bangkit dari sujud? 

Tidak terdapat hadits yang sahih dari Nabi tentang tata cara khusus meletakkan kedua tangan di tanah saat bangkit dari sujud. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sandaran dilakukan pada telapak tangan dan jari-jarinya.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata:

وَلَمْ تَرِدْ فِي السُّنَّةِ هَيْئَةٌ مُحَدَّدَةٌ لِكَيْفِيَّةِ وَضْعِ الْيَدَيْنِ عَلَى الْأَرْضِ.

“Tidak terdapat dalam sunnah tata cara tertentu tentang bagaimana meletakkan tangan di tanah.” [ISLAMQA no. 460740]

Beliau juga berkata:

وَالْحَاصِلُ؛ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ صِفَةٌ مَخْصُوصَةٌ فِي كَيْفِيَّةِ وَضْعِ الْيَدَيْنِ عَلَى الْأَرْضِ حَالَ الْقِيَامِ مِنَ السُّجُودِ، وَنَصَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الِاعْتِمَادَ يَكُونُ عَلَى بَطْنِ الْكَفِّ وَالْأَصَابِعِ.

“Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat sahih dari Rasulullah yang menetapkan cara khusus dalam meletakkan tangan di tanah ketika bangkit dari sujud. Sebagian ulama hanya menjelaskan bahwa tumpuan dilakukan pada telapak tangan dan jari-jari.” [ISLAMQA no. 460740]

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata berkata :

المَعْرُوفُ أَنَّ حَدِيثَ الْعَجْنِ لَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَالإِنْسَانُ يَعْتَمِدُ كَيْفَ شَاءَ عَلَى يَدَيْهِ عَلَى بُطُونِهَا، أَوْ عَلَى ظُهُورِهَا، يَعْتَمِدُ حَيْثُ شَاءَ، هَذَا هُوَ الأَصْلُ ... اِنْتَهَى.

“Diketahui bahwa hadis tentang ‘al-‘ajn’ (mengepalkan tangan seperti tangan orang menguleni adonan) tidaklah sahih. Seseorang boleh bertumpu pada tangannya dengan cara apa pun yang ia kehendaki — baik pada telapak tangannya maupun pada punggungnya — ia boleh bertumpu sesuai yang ia inginkan. Itulah hukum asalnya...” (selesai). [Dikutip dari “Situs Syaikh”.

An-Nawawi rahimahullah ta‘ala berkata:

"وَإِذَا اعْتَمَدَ بِيَدَيْهِ جَعَلَ بَطْنَ رَاحَتَيْهِ وَبُطُونَ أَصَابِعِهِ عَلَى الْأَرْضِ بِلَا خِلَافٍ" اِنْتَهَى

“Apabila seseorang bersandar dengan kedua tangannya, maka ia meletakkan telapak tangannya dan bagian bawah jari-jarinya di atas tanah tanpa ada perbedaan pendapat.” [Selesai dari *Al-Majmu‘ Syarh Al-Muhadzdzab* (3/422)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

"إِذَا احْتَاجَ أَنْ يَعْتَمِدَ عِنْدَ الْقِيَامِ عَلَى يَدَيْهِ فَلْيَعْتَمِدْ، عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَتْ، سَوَاءٌ اعْتَمَدَ عَلَى ظُهُورِ الْأَصَابِعِ، أَيْ جَمِيعِ أَصَابِعِهِ، أَوْ عَلَى رَاحَتِهِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، الْمُهِمُّ أَنَّهُ إِذَا احْتَاجَ إِلَى الِاعْتِمَادِ فَلْيَعْتَمِدْ، وَإِنْ لَمْ يَحْتَجْ فَلَا يَعْتَمِدْ". اِنْتَهَى.

“Apabila seseorang membutuhkan untuk bertumpu pada kedua tangannya ketika bangkit berdiri (dalam shalat), maka hendaknya ia bertumpu — dengan cara apa pun — baik dengan menumpukan pada punggung jari-jarinya, seluruh jari-jarinya, telapak tangannya, atau cara lainnya. Yang penting, jika ia membutuhkan untuk bertumpu maka lakukanlah, namun jika tidak membutuhkan maka jangan bertumpu.” [Selesai dari *Majmu’ Fatawa al-‘Utsaimin* (13/182)].

Syeikh al-Khothib asy-Syarbini ahimahullah mengatakan :

وَيُسَنُّ أَنْ يَعْتَمِدَ فِي قِيَامِهِ مِنَ السُّجُودِ وَالْقُعُودِ عَلَى يَدَيْهِ، لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِالتَّوَاضُعِ وَأَعْوَنُ لِلْمُصَلِّي وَلِثُبُوتِهِ فِي الصَّحِيحِ عَنْ فِعْلِهِ ﷺ، وَكَيْفِيَّةُ الِاعْتِمَادِ أَنْ يَجْعَلَ بَطْنَ رَاحَتِهِ وَبُطُونَ أَصَابِعِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَسَوَاءٌ فِيهِ الْقَوِيُّ وَالضَّعِيفُ، وَأَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي فِي الْوَسِيطِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ"، فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَإِنْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى ذَلِكَ وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْعَاجِنِ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ لَا عَاجِنَ الْعَجِينِ..

Dan disunnahkan agar bertumpu saat hendak bangun dari sujud dan duduk dengan kedua tanganya, dikarenakan hal itu juga menggambarkan ketawadhu'an, terlebih lagi bisa membantu orang yang shalat, juga telah terbukti secara valid bahwa itu pernah dilakukan Nabi , dan tata cara bertumpunya yakni dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jarinya di atas tanah baik dia orang yang kuat ataupun yang lemah, adapun hadits yang terdapat dalam kitab Al-Wasith daripada Ibnu Abbas

"Bahwa Rasulullah jika bangkit dari shalatnya, beliau meletakkan tangannya di atas tanah seperti Al-'Aajin (mengepal adonan tepung)", maka ini bukanlah hadits shahih, jika pun shahih maka dibawa pada makna yang telah disebutkan yang mana maksud dari kata Al-'Ajiin (dalam hadits) adalah ‘orang yang sudah tua, bukan orang yang mengadon tepung’.”

[Mughni Al-Muhtaj : 1/182]

****

KESIMPULAN PENULIS

Dalam masalah ini, menurut penulis yang awam ini : hujjah yang lebih kuat adalah hujjah yang berada di pihak para ulama hadits yang mendho’ifkan hadits al-‘Ajn riwayat Ibnu Umar tersebut, karena tidak seorang pun dari kalangan salaf yang menyatakan anjuran terhadap bentuk gerakan al-‘Ajn (Yakni : bangkit dengan bersandar pada kedua tangan mengepal seperti kepalan tangan orang yang sedang menguleni adonan roti, sebagaimana makna al-‘Ajan yang difahami oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah).

Hal ini juga telah disangkal oleh Ibnu Sholah dan lainnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab “At-Talkhish Al-Habir”.

Apa yang dinukil dari Al-Allamah Al-Albani rahimahullah tidaklah menunjukkan bahwa hadits tersebut menjadi kuat atau sahih. Bahkan sekalipun dianggap bahwa (Al-Haitsam) yang dimaksud adalah Haitsam bin Imran - bukan Haitsam bin al Qamah ats Tsa’labah- maka keunikannya dalam meriwayatkan lafadz (ya‘jinu) ini tetap dianggap mungkar, karena lafadz tersebut tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat lainnya.

Adapun kemungkinan penguat, maka itu hanya berkaitan dengan makna umum yaitu (bersandar pada kedua tangan), bukan secara khusus dengan lafadz (al-‘ajn/ mengepal) ini. Terlebih lagi, lafadz tersebut tidak secara tegas menunjukkan bentuk gerakan al-‘Ajn ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.

Bahkan dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani disebutkan bahwa (al-‘ajn) ditafsirkan dengan (bersandar), sebagaimana telah disebutkan diatas :

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

(رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ)، يَعْنِي: يَعْتَمِدُ".

Aku melihat Rasulullah melakukan ‘ajn dalam shalat”. Maksudnya : bersandar.” [*Al-Mu‘jam Al-Awsath* (4/213)]

Adapun Syaikh Al-Albani yang menyebutkan berbagai jalur hadits, maka hal itu tidak menambah kekuatannya sedikit pun jika jalur-jalur tersebut lemah dan mungkar, terlebih lagi jika ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada satu pun generasi sebelumnya yang mengamalkan hadits al-‘Ajn ini sepanjang masa.

Dan janganlah kita lupakan perkataan Imam Ahmad rahimahullah:

إِيَّاكَ أَنْ تَتَكَلَّمَ فِي مَسْأَلَةٍ لَيْسَ لَكَ فِيهَا إِمَامٌ. اِنْتَهَى.

“Jangan sekali-kali engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam (pendahulu) di dalamnya. (Selesai).” [Masaa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawiyah 1/8].

Dalam *Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi* 2/263 karya Ibnu Rajab disebutkan:

{قَالَ أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ: ((أَكْثَرُ طَالِبِي الْحَدِيثِ فِي هَذَا الزَّمَانِ يَغْلِبُ عَلَيْهِمْ كُتُبُ الْغَرِيبِ دُونَ الْمَشْهُورِ، وَسَمَاعُ الْمُنْكَرِ دُونَ الْمَعْرُوفِ، وَالِاشْتِغَالُ بِمَا وَقَعَ فِيهِ السَّهْوُ وَالْخَطَأُ مِنْ رِوَايَةِ الْمَجْرُوحِينَ وَالضُّعَفَاءِ، حَتَّى لَقَدْ صَارَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَكْثَرِهِمْ مُجْتَبًى، وَالثَّابِتُ مَصْرُوفًا عَنْهُ مُطَّرَحًا، وَذَلِكَ لِعَدَمِ مَعْرِفَتِهِمْ بِأَحْوَالِ الرُّوَاةِ وَمَحَلِّهِمْ، وَنُقْصَانِ عِلْمِهِمْ بِالتَّمْيِيزِ، وَزُهْدِهِمْ فِي تَعَلُّمِهِ، وَهَذَا خِلَافُ مَا كَانَ عَلَيْهِ الْأَئِمَّةُ الْمُحَدِّثُونَ، وَالْأَعْلَامُ مِنْ أَسْلَافِنَا الْمَاضِينَ)).}

Abu Bakar Al-Khathib berkata: “Kebanyakan penuntut ilmu hadits di zaman sekarang lebih banyak mempelajari kitab-kitab yang berisi riwayat-riwayat gharib (yang aneh dan langka) daripada yang masyhur, lebih banyak mendengar hadits-hadits munkar daripada yang ma’ruf, dan sibuk dengan riwayat yang terdapat kesalahan dan kekeliruan dari perawi yang cacat dan lemah. Hingga akhirnya, hadits yang sahih menjadi sesuatu yang dijauhi dan ditinggalkan oleh kebanyakan mereka.

Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan mereka terhadap keadaan para perawi dan kedudukan mereka, kekurangan ilmu mereka dalam membedakan hadits yang sahih dari yang lemah, serta kurangnya semangat mereka untuk mempelajari ilmu tersebut. Padahal, hal ini bertentangan dengan keadaan para imam ahli hadits dan para ulama besar dari generasi terdahulu.” [Lihat Pula : Qurrotu ‘Ain al-Muhtaj karya Muhmmad al-Atsyubi 1/249]

Apa yang disebutkan oleh Al-Khathib itu benar. Kita dapati banyak orang yang mengaku menekuni hadits, akan tetapi tidak memperhatikan kitab-kitab pokok yang sahih seperti *Ash-Shahihain*, *As-Sunan*, dan semisalnya. Mereka justru sibuk dengan kitab-kitab berisi riwayat ganjil seperti *Musnad Al-Bazzar*, *Mu’jam Ath-Thabarani*, atau riwayat-riwayat tunggal dalam *Ad-Daraquthni*, padahal kitab-kitab itu merupakan kumpulan riwayat gharib dan munkar.

 ===***===

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG 
“TATA CARA BANGKIT DARI SUJUD MENUJU BERDIRI”.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara bangkit dari sujud menuju berdiri menjadi dua pendapat:

****

PENDAPAT PERTAMA:

Disunnahkan mengangkat tangan sebelum lutut ketika bangkit dari sujud, kecuali jika hal itu terasa berat baginya; maka ia boleh bertumpu pada kedua tangannya ketika bangkit.

Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah. (Baca : *Tabyīn al-aqāiq* karya Az-Zayla‘i dengan *Hāsyiah Asy-Syalabi* (1/116), *Al-Bināyah* karya Al-‘Aini (2/250), dan *Marāqī al-Falāḥ* karya Asy-Syarnablāli (hal. 100, 107)).

Juga merupakan pendapat mazhab Hanabilah (Baca : *Al-Mubdi‘* karya Burhānuddin Ibnu Muflih (1/406), serta *Al-Mughnī* karya Ibnu Qudāmah (1/380)).

Dan merupakan pendapat Dāwud az-Zāhiri (Baca : *Al-Majmū* karya An-Nawawi (3/444)).

Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Qayyim.

Ibnu Qayyim berkata:

(ٱلْبَعِيرُ إِذَا بَرَكَ، فَإِنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ أَوَّلًا، وَتَبْقَى رِجْلَاهُ قَائِمَتَيْنِ، فَإِذَا نَهَضَ، فَإِنَّهُ يَنْهَضُ بِرِجْلَيْهِ أَوَّلًا، وَتَبْقَى يَدَاهُ عَلَى الْأَرْضِ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي نَهَى عَنْهُ ﷺ، وَفَعَلَ خِلَافَهُ، وَكَانَ أَوَّلُ مَا يَقَعُ مِنْهُ عَلَى الْأَرْضِ الْأَقْرَبُ مِنْهَا فَالْأَقْرَبُ، وَأَوَّلُ مَا يَرْتَفِعُ عَنِ الْأَرْضِ مِنْهَا الْأَعْلَى فَالْأَعْلَى، وَكَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ أَوَّلًا، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ جَبْهَتَهُ، وَإِذَا رَفَعَ، رَفَعَ رَأْسَهُ أَوَّلًا، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، وَهَذَا عَكْسُ فِعْلِ الْبَعِيرِ، وَهُوَ ﷺ نَهَى فِي الصَّلَاةِ عَنِ التَّشَبُّهِ بِالْحَيَوَانَاتِ؛ فَنَهَى عَنْ بُرُوكٍ كَبُرُوكِ الْبَعِيرِ، وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ، وَافْتِرَاشٍ كَافْتِرَاشِ السَّبُعِ، وَإِقْعَاءٍِ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ).

“Unta, ketika duduk, meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sementara kedua kakinya masih berdiri. Dan ketika bangkit, ia berdiri dengan kedua kakinya terlebih dahulu sementara kedua tangannya masih di tanah.

Inilah yang dilarang oleh Rasulullah , dan beliau melakukan kebalikannya. Bagian tubuh yang paling dekat dengan tanahlah yang pertama kali menyentuhnya, dan yang paling tinggi darinya yang terakhir. Maka beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, lalu dahinya. Ketika bangkit, beliau mengangkat kepalanya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, lalu kedua lututnya.

Ini adalah kebalikan dari perbuatan unta. Rasulullah melarang dalam shalat menyerupai binatang; beliau melarang duduk seperti duduknya unta, menoleh seperti rubah, berbaring seperti binatang buas, dan duduk seperti anjing.” (Zadul Ma’ad, 1/224)

Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Bin Baz.

Syeikh Bin Baz berkata:

(هَذَا هُوَ الصَّوَابُ: أَنْ يَسْجُدَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ أَوَّلًا، ثُمَّ يَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ يَضَعَ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ عَلَى الْأَرْضِ، هَذَا هُوَ الْمَشْرُوعُ، فَإِذَا رَفَعَ، رَفَعَ جَبْهَتَهُ أَوَّلًا، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، هَذَا هُوَ الْمَشْرُوعُ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَهُوَ الْجَامِعُ بَيْنَ الْحَدِيثَيْنِ).

“Inilah pendapat yang benar: hendaknya seseorang sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya di tanah, lalu meletakkan dahi dan hidungnya di tanah. Inilah cara yang disyariatkan. Ketika bangkit, hendaknya ia mengangkat dahinya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, lalu kedua lututnya. Inilah tata cara yang disyariatkan dan datang dari sunnah Nabi , serta merupakan penggabungan antara dua hadis.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/62)

Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Ibnu Utsaimin berkata:

(هٰذَا يَنْبَنِي عَلَى صِحَّةِ الحَدِيثِ الوَارِدِ فِي ذٰلِكَ، وَقَدْ أَنْكَرَ النَّوَوِيُّ - رَحِمَهُ اللهُ - فِي *المَجْمُوعِ* صِحَّةَ هٰذَا الحَدِيثِ، أَيْ: إِنَّهُ يَقُومُ كَالعَاجِنِ، وَبَعْضُ المُتَأَخِّرِينَ صَحَّحَهُ، وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَالَّذِي يَظْهَرُ مِنْ حَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَجْلِسُ لِأَنَّهُ كَبِرَ وَأَخَذَهُ اللَّحْمُ، فَكَانَ لَا يَسْتَطِيعُ النُّهُوضَ مِنَ السُّجُودِ إِلَى القِيَامِ مَرَّةً وَاحِدَةً، فَكَانَ يَجْلِسُ، ثُمَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْهَضَ وَيَقُومَ اعْتَمَدَ عَلَى يَدَيْهِ؛ لِيَكُونَ ذٰلِكَ أَسْهَلَ لَهُ، هٰذَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِ النَّبِيِّ ﷺ؛ وَلِهٰذَا كَانَ القَوْلُ الرَّاجِحُ فِي هٰذِهِ الجِلْسَةِ - أَعْنِي الجِلْسَةَ الَّتِي يُسَمِّيهَا العُلَمَاءُ جِلْسَةَ الاِسْتِرَاحَةِ - أَنَّهُ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهَا لِكِبَرٍ، أَوْ ثِقَلٍ، أَوْ مَرَضٍ، أَوْ أَلَمٍ فِي رُكْبَتَيْهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذٰلِكَ، فَلْيَجْلِسْ، ثُمَّ إِذَا احْتَاجَ أَنْ يَعْتَمِدَ عِنْدَ القِيَامِ عَلَى يَدَيْهِ فَلْيَعْتَمِدْ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَتْ، سَوَاءٌ اعْتَمَدَ عَلَى ظُهُورِ الأَصَابِعِ، أَيْ: جَمِيعِ أَصَابِعِهِ، أَوْ عَلَى رَاحَتِهِ، أَوْ غَيْرِ ذٰلِكَ، المُهِمُّ أَنَّهُ إِذَا احْتَاجَ إِلَى الاِعْتِمَادِ فَلْيَعْتَمِدْ، وَإِنْ لَمْ يَحْتَجْ فَلَا يَعْتَمِدْ).

“Hal ini tergantung pada keabsahan hadis yang berkenaan dengan masalah tersebut. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ telah mengingkari keabsahan hadis tentang hal itu, yaitu tentang cara bangkit seperti orang yang sedang menguleni adonan. Namun sebagian ulama muta’akhkhirin menilainya sahih.

Bagaimanapun juga, yang tampak dari keadaan Nabi adalah bahwa beliau ketika sudah lanjut usia dan tubuhnya mulai berat, tidak lagi mampu bangkit dari sujud langsung berdiri sekaligus. Maka beliau duduk terlebih dahulu, kemudian ketika hendak berdiri, beliau bertumpu pada kedua tangannya agar lebih mudah baginya. Inilah yang tampak dari keadaan Nabi .

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat tentang duduk ini—yakni yang disebut para ulama dengan ‘duduk istirahat’—adalah bahwa jika seseorang membutuhkannya karena sudah tua, berat badan, sakit, atau rasa nyeri pada lutut atau semisalnya, maka hendaknya ia duduk.

Kemudian bila ia perlu bertumpu dengan kedua tangannya ketika berdiri, maka silakan bertumpu dengan cara apa pun, baik bertumpu pada punggung jari-jarinya, seluruh jarinya, atau telapak tangannya, atau selainnya.

Yang penting, jika ia butuh bertumpu maka boleh bertumpu, dan jika tidak membutuhkan maka tidak perlu bertumpu.” (Majmu‘ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 13/182).

Beliau juga berkata:

(إِذَا كَانَ الإِنسَانُ مُحْتَاجًا لِهٰذِهِ الجِلْسَةِ «أَيْ جِلْسَةِ الاِسْتِرَاحَةِ»، فَالسُّنَّةُ أَنْ يَجْلِسَ، وَإِلَّا فَلْيَنْهَضْ مُعْتَمِدًا عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ بِدُونِ جُلُوسٍ).

“Jika seseorang membutuhkan duduk ini—yakni duduk istirahat—maka sunnah baginya untuk duduk. Namun jika tidak membutuhkannya, hendaknya ia langsung bangkit dengan bertumpu pada ujung jari-jari kakinya tanpa duduk.” (Majmu‘ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 13/219).

===

DALIL-DALIL

DALIL PERTAMA: Dari atsar sahabat.

Dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ia berkata:

رَمقْتُ ابنَ مَسعودٍ فرأيتُهُ يَنهَضُ علَى صدورِ قَدميهِ، ولا يَجلِسُ إذا صلَّى في أوَّلِ رَكْعةٍ حينَ يَقضي السُّجودَ

“Aku memperhatikan Ibnu Mas‘ud, maka aku melihatnya bangkit dengan bertumpu pada ujung jari-jari kakinya dan tidak duduk ketika salat pada rakaat pertama setelah selesai dari sujud.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/394) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (2/125, no. 2870) dengan lafadzhnya. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Al-Baihaqi (2/125), Ibnu Qayyim dalam Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha (hlm. 160), dan Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi (3/950).

Dalam satu riwayat disebutkan:

رمَقْتُ عبدَ اللهِ بنَ مسعُودٍ في الصَّلاةِ، فرأيتُهُ ينهَضُ، ولا يجلِسُ، قال: ينهَضُ على صُدُورِ قَدَمَيْهِ في الرَّكْعَةِ الأولى، والثَّانيةِ

“Aku memperhatikan Abdullah bin Mas’ud ketika shalat, lalu aku melihat beliau bangkit tanpa duduk. Beliau bangkit dengan bertumpu pada bagian depan kedua kakinya pada rakaat pertama dan kedua.”

Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam *Al-Mushannaf* (2966), Ath-Thabarani (9/306) (9327), dan Al-Baihaqi (2875).

Dinyatakan sahih oleh Al-Baihaqi, dan Al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ Az-Zawaid* (2/139): “Para perawinya adalah para perawi hadis sahih.”

Dinyatakan sahih pula oleh Al-Albani dalam *Ashlu Shifat Shalatin Nabi* (3/950).

Makna dalil:

Dalam ucapannya: “Bangkit dengan bertumpu pada bagian depan kedua kakinya” terdapat isyarat bahwa beliau tidak bersandar pada tanah dengan tangannya ketika berdiri. (*Al-Muhith Al-Burhani* karya Ibnu Mazah, 1/366).

DALIL KEDUA: 

Bahwa mengangkat tangan sebelum lutut sesuai dengan cara manusia berdiri; karena ketika seseorang bangkit dari tanah, bagian tubuh yang ataslah yang terangkat terlebih dahulu. (*Zadul Ma‘ad* karya Ibnu Qayyim, 1/224).

DALIL KE TIGA : Mengangkat tangan sebelum lutut berbeda dengan cara bangkitnya unta, karena unta ketika berdiri terlebih dahulu menegakkan kedua kakinya sementara kedua tangannya masih di tanah. Inilah yang dilarang oleh Rasulullah , dan beliau melakukan kebalikannya. (*Zadul Ma‘ad* karya Ibnu Qayyim, 1/224).

***

PENDAPAT KE DUA:
Disunnahkan bangkit dari sujud dengan bertumpu pada kedua tangan.

Ini adalah pendapat mazhab Malikiyah (Hasyiyah Al-‘Adawi ‘ala Kifayati Ath-Thalib Ar-Rabbani, 1/272; lihat juga Adz-Dzakhirah karya Al-Qarafi, 2/196; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah karya Ibnu Juzai, hlm. 46).

Dan juga pendapat mazhab Syafi’iyah (Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 3/445; lihat juga Asna Al-Mathalib karya Zakariya Al-Anshari, 1/163).

Serta ini adalah pendapat sebagian ulama salaf.

Ibnu Al-Mundzir berkata:

(فَرَوَيْنَا عَنْ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا أَرَادَ الْقِيَامَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ: ثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: ثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنِ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَنْهَضُ فِي الصَّلَاةِ وَيَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ. وَهَكَذَا فَعَلَ مَكْحُولٌ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَابْنُ أَبِي زَكَرِيَّا، وَالْقَاسِمُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَأَبُو مَخْرَمَةَ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ).

“Kami meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau bertumpu pada kedua tangannya ketika hendak berdiri. Ismail telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Abu Bakar meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Waki’ meriwayatkan kepada kami dari Hammad bin Salamah dari Al-Azraq bin Qais, ia berkata: Aku melihat Ibnu Umar bangkit dalam shalat dengan bertumpu pada kedua tangannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Mak-hul, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abi Zakariya, Al-Qasim Abu Abdurrahman, dan Abu Makhramah. Pendapat ini juga dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.” (Al-Awsath, 3/367).

Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Al-Albani. 

Ia berkata:

(الِاعْتِمَادُ عَلَى الْيَدَيْنِ فِي النُّهُوضِ إِلَى الرَّكْعَةِ، ثُمَّ "كَانَ ﷺ يَنْهَضُ - مُعْتَمِدًا عَلَى الْأَرْضِ - إِلَى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ").

“Bertumpu pada kedua tangan ketika bangkit menuju rakaat berikutnya, sebagaimana disebutkan bahwa Rasulullah bangkit dengan bertumpu pada tanah menuju rakaat kedua.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi (3/824).

===

DALIL-DALIL:

Dalil Pertama: 

Dari Abu Qilabah, ia berkata:

"جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فَصَلَّى بِنَا فِي مَسْجِدِنَا هَذَا، فَقَالَ: إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ، وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يُصَلِّي، قَالَ أَيُّوبُ: فَقُلْتُ لِأَبِي قِلَابَةَ: وَكَيْفَ كَانَتْ صَلَاتُهُ؟ قَالَ: مِثْلَ صَلَاةِ شَيْخِنَا هَذَا، يَعْنِي عَمْرَو بْنَ سُلَيْمَةَ، قَالَ أَيُّوبُ: وَكَانَ ذَلِكَ الشَّيْخُ يُتِمُّ التَّكْبِيرَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السُّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ قَامَ".

Malik bin Al-Huwairits datang kepada kami dan shalat bersama kami di masjid ini. Ia berkata: “Sesungguhnya aku shalat bersama kalian bukan karena ingin shalat, tetapi karena aku ingin memperlihatkan kepada kalian bagaimana aku melihat Nabi shalat.”

Ayyub berkata: Maka aku bertanya kepada Abu Qilabah, “Bagaimana cara shalatnya?”

Ia menjawab: “Seperti shalatnya syaikh kami ini,” yaitu Amr bin Sulaimah.

Ayyub berkata: Dan syaikh itu menyempurnakan takbir, dan apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia duduk lalu bertumpu pada tanah, kemudian bangkit berdiri. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 824).

Dalil Ke Dua:

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (3/369, no. 2847) dari Al-Azraq bin Qais, ia berkata:

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ إِذَا " قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ ‌اعْتَمَدَ ‌عَلَى ‌الْأَرْضِ ‌بِيَدَيْهِ " ‌فَقُلْتُ ‌لِوَلَدِهِ ‌وَلِجُلَسَائِهِ: لَعَلَّهُ يَفْعَلُ هَذَا مِنَ الْكِبَرِ؟ قَالُوا: لَا وَلَكِنْ هَذَا يَكُونُ"

“Aku melihat Ibnu Umar apabila bangkit dari dua rakaat, ia bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya.” Maka aku berkata kepada anaknya dan orang-orang yang duduk bersamanya: “Mungkin ia melakukan hal ini karena sudah tua?” Mereka menjawab: “Tidak, tetapi memang seperti itulah caranya.”

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 4014) melalui jalur Hammad dengan ringkas. [Lihat :Al-Muhadzdzab karya Adz-Dzahabi (2/1581)]

Kemudian Al-Baihaqi berkata:

وَرُوِّينَا عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ " يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا نَهَضَ "

“Dan telah diriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa beliau bertumpu pada kedua tangannya ketika bangkit berdiri.”

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (no. 2964) dan Ibnu Abi Syaibah (no. 4015) melalui jalur Nafi’.

Kemudian Al-Baihaqi berkata lagi:

 وَكَذَلِكَ كَانَ يَفْعَلُ الْحَسَنُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ التَّابِعِينَ

“Demikian pula yang dilakukan oleh Al-Hasan dan banyak dari kalangan tabi’in.”

Lihat pula Mushannaf Abdurrazzaq (no. 2962), dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (no. 4008, 4009, 4012, 4013, 4018).

Al-Albani berkata dalam Tamaamul Minnah hal. 200 tentang hadis Al-Azraq bin Qais diatas:

قُلْتُ: وَهَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ كُلُّهُمْ فَقَوْلُهُ: "هَكَذَا يَكُونُ" صَرِيحٌ فِي أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ اِتِّبَاعًا لِسُنَّةِ الصَّلَاةِ وَلَيْسَ لِسِنٍّ أَوْ ضَعْفٍ

“Saya katakan: sanadnya baik, seluruh perawinya terpercaya. Maka ucapannya ‘begitulah caranya’ menunjukkan dengan jelas bahwa Ibnu Umar melakukannya sebagai bentuk mengikuti sunnah shalat, bukan karena usia tua atau kelemahan fisik.”

KOMENTAR :

Namun Syaikh Ahmad Syakir berkata:

وَسَوَاءُ أَكَا نَ لِهَذَا الاِعْتِمَادِ مِن سُنَنِ الصَّلَاةِ، أَمْ كَانَ عَنْ كِبَرِ السِّنِّ وَضَعْفِ الْقُوَّةِ، فَإِنَّهُ يُنَافِي النَّهْيَ الْمُطْلَقَ الَّذِي رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْغِزَّالِ....

أَمَّا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْغِزَّالُ، الَّذِي رَوَاهُ بِاللَّفْظِ: "نَهَى أَنْ يَعْتَمِدَ الرَّجُلُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا نَهَضَ فِي الصَّلَاةِ": فَإِنَّهُ ثِقَةٌ، وَثَقَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ مُسْلِمَةُ: "ثِقَةٌ كَثِيرُ الْخَطَأِ". وَقَدْ اِنْفَرَدَ بِهَذَا اللَّفْظِ، لَمْ نَجِدْ مِن تَابَعَهُ عَلَيْهِ، بَلْ وَجَدْنَا الْحُفَّاظَ الْكِبَارَ خَالَفُوهُ فِيهِ، فَلَا مِنَاصَ مِنْ أَنْ نَقُولَ: إِنَّ رِوَايَتَهُ وَهْمٌ، كَمَا قَالَ الْبَيْهَقِيُّ.

وَأَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ 1/272، وَعَنْهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي "السُّنَنِ" 2/136 مِن طَرِيقِ هِشَامِ بْنِ يُوسُفَ، عَنْ مُعْمَرٍ، بِهِ. وَلَفْظُهُ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى رَجُلًا وَهُوَ جَالِسٌ مُعْتَمِدٌ عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: إِنَّهَا صَلَاةُ الْيَهُودِ. وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ، وَوَافَقَهُ الذَّهَبِيُّ.

قُلْنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ - وَهُوَ الصَّنْعَانِيُّ - لَمْ يُخْرِجْ لَهُ مُسْلِمٌ

“Baik perbuatan bertumpu itu termasuk sunnah shalat atau karena faktor usia tua dan lemahnya kekuatan, keduanya tidak bertentangan dengan larangan mutlak yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdul Malik Al-Ghazzal....

Adapun Muhammad bin Abdul Malik Al-Ghazzal, yang meriwayatkan dengan lafadz:

"نَهَى أَنْ يَعْتَمِدَ الرَّجُلُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا نَهَضَ فِي الصَّلَاةِ"

‘Nabi melarang seseorang bertumpu pada kedua tangannya ketika bangkit dalam shalat,

maka ia adalah perawi yang terpercaya. An-Nasa’i menilainya tsiqah, dan Maslamah berkata: ‘Tsiqah, namun banyak kesalahan.’ Ia meriwayatkan hadis ini sendirian, dan tidak ada yang mengikutinya dalam hal ini. Bahkan para huffaz besar menyalahi riwayatnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali mengatakan bahwa riwayatnya keliru, sebagaimana dikatakan oleh Al-Baihaqi.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim (1/272), dan darinya Al-Baihaqi dalam As-Sunan (2/136) melalui jalur Hisyam bin Yusuf dari Ma’mar. Lafadznya:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى رَجُلًا وَهُوَ جَالِسٌ مُعْتَمِدٌ عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: إِنَّهَا صَلَاةُ الْيَهُودِ

“Nabi melarang seseorang yang sedang duduk bertumpu pada tangan kirinya dalam shalat, lalu beliau bersabda: ‘Itu adalah shalatnya orang-orang Yahudi.’”

Al-Hakim berkata: “Hadis ini sahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.” Adz-Dzahabi menyetujui penilaiannya.

Kami katakan: Hisyam bin Yusuf – yaitu As-Shan’ani – tidak diriwayatkan oleh Imam Muslim (lihat Tahqiq Al-Musnad 5/519, dan juga 10/418 oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan para peneliti Musnad Ahmad).

Dalil ke tiga :

Karena hal itu lebih efektif untuk menghadirkan khusyu’ dan kerendahan hati, serta lebih membantu bagi orang yang shalat dan lebih menjamin agar ia tidak terjatuh.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

1. Bertumpu di tempat sujud  ketika bangkit dari sujud, sunnah menurut sebagian ulama. Sedangkan ulama yang lain berpendapat yang sunnah adalah bertumpu di paha, kecuali bagi orang yang lemah.

2. as-Sunnah menjelaskan bahwa tata cara bertumpu adalah dengan membuka telapak tangan.

3. Hadits yang menyebutkan sifat Nabi ketika bertelekan adalah dengan ber’ajan (mengepal) statusnya lemah sekali sehingga tidak bisa diamalkan.

4. Seandainya saja dipaksakan haditsnya bisa diterima, makna makna yang tepat dari kata ‘Ajan bukanlah mengepalkan tangan seperti bertinju, tapi bertumpu dengan kuat.

Wallahu a’lam

 

Posting Komentar

0 Komentar